Beng Ciang Hong In Lok Jilid 45

 
Semula Seng Liong Sen memang hanya ingin mempermainkan nona dusun itu. Saat mendengar ketulusan cintanya, Seng Liong Sen jadi terharu.

"Kau salah terka tentang pribadiku, barangkali pribadiku malah jauh lebih buruk dari wajahku ini!" kata Seng Liong Sen.

"Tidak! Ayahku bilang, kau pemuda yang sopan dan tampan," kata si nona.

Apa benar begitu? Rupanya sang ayah hanya ingin menghibur puterinya saja. Semula Seng Liong Sen akan mengakui kesalahan yang dilakukannya dulu, tetapi sayang dia tidak punya keberanian untuk itu.

"Jangan!" begitu kata hati Seng Liong Sen. "Jika kuberitahu keburukan sifatku dulu, apakah dia masih akan menyukaiku?"

"Liong Toa-ko, Ayahku ahli obat. Barangkali dia bisa mengobati wajahmu!" kata nona Khie. "Nasibku sudah begini, kelak aku tidak berani terlalu berharap mukaku bisa pulih lagi!" kata Seng Liong Sen. "Kau sangat baik padaku, aku bersyukur sekali"

Seng Liong Sen pikir bahwa perubahan wajahnya ini menurutnya akan ada gunanya. Jika dia sendiri tidak mengenali wajahnya, apalagi Ci Giok Hian, isterinya. Dengan wajah barunya dia bisa berkelana di kalangan kang- ouw dengan bebas. Bahkan dia juga tidak takut jika Kong- sun Po melaporkan dia pada gurunya.

"Anggap saja aku yang dulu sudah mati!" pikir Seng Liong Sen. "Sekarang aku jadi Liong Sen yang belum mereka kenali"

Sesudah berjalan-jalan sejenak, nona Khie yang sudah tak melihat Seng Liong Sen berduka, dia girang sekali.

"Ayo, kita jalan-jalan. Lihat, di sana banyak bunga yang indah-indah!" kata si nona riang.

"Ah, bagus sekali. Bunga apa namanya, nona?" kata Seng Liong Sen.

"Nama bunga itu Po-cun-hwa (Bunga Musim Semi)," jawab si nona. "Bunga ini hanya mekar pada musim semii"

"Bagus sekali nama bunga itu!" kata Seng Liong Sen. "Kau menyukainya? Biar aku lompat ke tebing untuk

mengambilnya!"

"Dinding tebing itu curam dan berbahaya, jangan kau lakukan itu!" kata Seng Liong Sen.

Nona Khie tak menghiraukan peringatan Seng Liong Siri. Dia lari dan melompat, lalu merayap bagaikan seekor kera di dinding tebing. Sesudah berhasil memetik setangkai bunga itu, dia turun kembali dengan gesit, lalu menyerahkan bunga itu pada Seng Liong Sen. Pemuda itu kagum menyaksikan kegesitan si nona, sambil menerima sekuntum bunga itu, dia awasi nona Khie dengan tajam.

"Apa yang sedang kau perhatikan? Kenapa kau hanya mengawasiku, apakah bunga ini memang indah sekali, tapi setelah dipadu denganmu, dia jadi kurang menarik dibanding dirimu!" kata Seng Liong Sen.

"Kenapa begitu?" kata si nona.

"Karena kau lebih cantik dari bunga ini!" kata Liong Sen. "Alangkah bahagianya aku, jika aku si buruk ini bisa menyuntingmu, bidadariku!"

"Hm! Kau sengaja ingin menyenangkan hatiku!" kata si nona.

Saat Liong Sen mau mengungkapkan isi hatinya, tak jauh dari mereka terdengar suara batuk.

"Eh, kau Ayah!" kata si nona.

Seng Liong Sen kaget setengah mati.

"Ah, jangan-jangan kata-kataku tadi didengar olehnya?" pikir Liong Sen.

Khie Wie mengawasi pemuda itu.

"Kalian gembira sekali, aku datang untuk mencarimu!" kata Khie Wie.

"Ada apa, Paman?" kata Liong Sen.

"Nak, kau pulang dulu, aku ingin bicara dengannya." kata Khie Wie.

Dengan wajah merah nona Khie meninggalkan mereka. Mungkin nona ini menduga ayahnya akan membicarakan soal perjodohannya dengan pemuda itu. Tapi nona Khie berpurapura kurang senang. "Urusan apa sih sampai aku tidak boleh ikut mendengar pembicaraan kalian?" kata si nona.

Sesudah anaknya pergi cukup jauh, baru Khie Wie bicara.

"Bagaimana keadaan lukamu?" kata Khie Wie.

"Sudah baik Paman! Terima kasih atas pertolongan Paman," kata Seng Liong Sen.

"Luka luarmu memang sudah sembuh, tapi aku tahu kau masih punya penyakit lain. Apakah kau tak tahu?" kata Khie Wie.

Seng Liong Sen kaget, karena dia tahu apa maksud orang tua itu. Jika ayahnya tahu dia "impoten", mana mungkin anak gadisnya dinikahkan denganku? Malah mungkin sang ayah marah, bila mengetahui Seng Liong Sen merayu anaknya.

"Di rumah kau masih punya siapa lagi?" kata Khie Wie mengalihkan pembicaraan.

"Tak ada siapa-siapa, hanya ada Bibiku. Sejak kecil aku sudah yatim-piatu," kata Seng Liong Sen.

"Aku tahu kau belum beristeri, apa kau sudah punya tunangan?"

Mula-mula Seng Liong Sen ragu, setelah berpikir hubungannya dengan Ci Giok Hian sulit dijalin kembali, akhirnya dia menjawab.

"Belum!" jawab Seng Liong Sen.

"Bagus!" kata orang tua itu. "Sekarang tanya padamu, tapi kau harus terus-terang. Apa yang kau lakukan dulu hingga orang begitu keji membuatmu bukan seperti laki- laki?" kata Khie Wie. "Ada penjahat besar bernama Kiong Cauw Bun, apa Paman kenal padanya?" kata Seng Liong Sen.

"Dulu, duapuluh tahun yang lalu aku pernah mendengar namanya," kata Khie Wie. "Tapi ketika itu dia sudah pergi dari Tiong-goan. Apalagi aku juga mengasingkan diri, hingga tidak kenal kepadanya."

Mendengar hal itu Seng Liong Sen jadi senang. Sebab jika dia cerita, pasti orang tua itu akan percaya saja.

"Jadi dia yang melakukannya padamu?" kata Khie Wie. "Ya," jawab Liong Sen.

"Kau masih muda, bagaimana kau bisa bermusuhan dengannya?" kata Khie Wie.

"Entahlah, aku pun tak merasa bersalah, tapi dia..." kata Seng Liong Sen.

"Mana boleh begitu?"

"Saat masih muda Bibiku sangat cantik, orang she Kiong itu pernah meminang Bibiku, tapi ditolak. Oleh karena itu dia pergi dari Tiong-goan," kata Seng Liong Sen.

"Jadi seperti itu ceritanya?" kata Khie Wie. "Yang aku dengar dia bersekongkol dengan Kong-sun Khie. Tapi ketika mereka kalah oleh Hong-lay-mo-li. karena tak bisa tinggal di Tiong-goan, dia kabur!"

"Barangkali begitu. Sedang yang aku ceritakan aku dengar dari Bibiku," kata Seng Liong sen agak kaget karena Khie Wie tahu cerita yang sebenarnya.

"Bisa juga terjadi seperti ceritamu. Lalu bagaimana lanjutannya?" kata Khie Wie.

"Tiga tahun yang lalu Kiong Cauw Bun muncul lagi untuk  mencari  Bibiku.  Dia  berhasil  menculik  Bibiku lalu dibawa ke pulau Hek-hong-to. Sekarang mungkin Bibiku sedang dia siksa! Sedangkan aku dipaksa minum arak beracun. Hingga akhirnya aku jadi begini!" kata Seng Liong Sen.

Seng Liong Sen sengaja berbohong. Sebab jika dia bilang Tik Bwee yang membuat dia impoten, dia takut Khie Wie akan bertanya siapa dia. Ceritanya akan panjang dan dia akan ketahuan belangnya. Tapi untung Khie Wie cuma mengangguk dan percaya saja ceritanya. 

"Jahat sekali dia, biar jika aku bertemu dengannya akan kubalaskan sakit hatimu!" kata Khie Wie.

"Kau telah menyelamatkan aku, Paman Khie, mana berani aku membuat kau repot," kata Liong Sen. "Dia tinggal di sebuah pulau yang jauh dari sini, itu akan berbahaya bagimu!"

"Memang, aku juga tak akan ke sana." Kata Khie Wie. "Tapi jika mau membalas dendam pasti ada caranya."

"Paman, aku dengar racun ini selain menyebabkan impoten, katanya juga akan membuat lumpuh orangnya, apa benar? Apa kau bisa mengobatinya?" kata Seng Liong Sen.

"Siapa yang bilang begitu?" kata Khie Wie. "Kau jangan percaya, itu cuma gertakan saja!"

Hati Seng Liong Sen pun lega. Sekarang tahu dia bahwa dia ditipu oleh Wan-yen Hoo dan mengutuknya. Dia girang dan yakin orang tua itu tahu obatnya.

Lama Seng Liong Sen menunggu, baru Khie Wie bicara lagi.

"Tidakkah kau berbohong padaku? Apa benar kau belum pernah mengganggu gadis orang?" kata Khie Wie. Pertanyaan itu membuat Seng Liong Sen kaget. "Belum pernah!" kata Seng Liong Sen.

"Bagus! Aku bertanya begitu karena aku pernah berbuat kesalahan. Itu sebabnya aku tak mau mengembara lagi di kalangan kang-ouw!" kata Khie Wie.

Diam-diam Seng Liong Sen bisa menerka ke mana arah pembicaraan orang she Khie itu. Rupanya ibu nona Khie pernah dia ganggu, hingga dia jera berbuat jahat lagi.

"Jika Kiong Cauw Bun menginginkan kau tak punya turunan, aku sebaliknya!" kata Khie Wie.

"Jadi... Jadi kau bisa mengobatiku?" kata Liong Sen. "Ya. Asalkan kau menguasai lwee-kang golongan kami,"

kata orang tua itu.

"Bagaimana caranya agar aku bisa jadi murid golongan Paman?" kata Seng Liong Sen.

"Ilmu silat kami hanya diajarkan pada orang sendiri. Jika kau ingin jadi muridku, kau harus jadi keluarga kami!" kata Khie Wie.

"Atas pertolongan Paman, jiwaku selamat. Apa yang Paman kehendaki dariku katakan saja!" kata Seng Liong Sen.

"Masalah ini tak bisa dipaksakan, terserah kau saja! Aku lihat anakku menyukaimu, bagaimana pendapatmu?" kata Khie Wie.

Ucapan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Seng Liong Sen, maka itu dia langsung memberi hormat.

"Gak-hu (Ayah-mertua) jika kau tak keberatan, aku bersedia menikahi puterimu," kata Seng Liong Sen. Tapi heran Khie Wie malah mencegah Seng Liong Sen berlutut.

"Tunggu dulu, jangan tergesa-gesa!" kata Khie Wie. "Masih ada yang perlu aku katakan padamu. Sesudah kau setuju baru boleh kau lakukan!"

"Silakan Paman katakan," kata Liong Sen.

"Jika kau telah menjadi menantuku, kau juga langsung jadi muridku. Kau tidak boleh berbohong pada Gurumu. Jika kau melanggar maka hukumannya berat sekali! Yaitu hukuman mati!"

Seng Liong Sen kaget dia merasa keberatan pada syarat itu. Tapi karena dia ingin sembuh akhirnya dia menjawab.

"Semua akan aku taati," katanya.

"Jika kelak kau menyakiti puteriku, sekalipun aku sudah mati aku punya cara untuk membunuhmu!" kata Khie Wie.

"Aku tidak berani berbuat jahat pada puterimu!" kata Seng Liong Sen yang jadi ngeri juga oleh ancaman itu.

"Yang terakhir, sesudah kau belajar silat dariku, kau harus melaksanakan tugas untuku!" kata Khie Wie.

"Katakan saja, tugas apa?" kata Seng Liong Sen.

"Nanti saja akan kukatakan padamu, mungkin tugas ringan atau barangkali malah tugas yang sulit! Bagaimana?"

"Baik, tugasmu akan kulaksanakan dengan baik, Su-hu!" kata Seng Liong Sen tanpa pikir panjang lagi.

"Mulai hari ini kau kuajari dasar lwee-kang perguruan kami," kata Khie Wie.

Sesudah Seng Liong Sen memberi hormat, dia diajak pulang. "Mungkin Khie Kie sedang menunggu kita!" kata Khie Wie. Sesampai di rumah Khie Wie memanggil puterinya,. "Anakku, mulai sekarang kau panggil dia Toa-ko!" kata sang ayah.

"Jadi Ayah tak menerima dia sebagai anak angkatmu.

Ayah?"

"Bukan itu saja, dia kuterima sebagai menantu dan muridku," kata Khie Wie sambil tertawa. "Tapi karena kau masih kecil, maka pernikahan kalian baru dilangsungkan tiga tahun lagi!"

"Ayah!" kata Khie Kie aleman.

"Sekarang kau ikut aku, Liong Sen!" kata Khie Wie.

Sesudah tinggal berdua Khie Wie mulai mengajarkan dasardasar lwee-kang perguruannya. Tangan Khie Wie diletakkan di bahu Seng Liong Sen lalu Liong Sen menjalankan lwee-kang yang diajarkannya. Tak lama pemuda ini merasakan ada hawa panas mengalir dari tangan gurunya.

Padahal setiap kali dia berlatih lwee-kang pelajaran dari gurunya, biasanya darahnya berjalan lancar dan sekujur badannya terasa segar. Seng Liong Sen heran kenapa lwekang ajaran Khie Wie ini aneh sekali?

"Ah, barangkali ini lwe-kang dari golongan hitam?" pikir Liong Sen. Tetapi karena dia ingin sembuh dari penyakitnya, terpaksa dia bertahan. Ternyata Seng Liong Sen tekadnya kuat. Khie Wie pun memuji keteguhan Seng Liong Sen ini.

"Tekadmu teguh, jika kau tahan menderita, selang beberapa hari pasti kau akan merasakan manfaatnya." kata Khie Wie. Sejak hari itu Seng Liong Sen giat berlatih dan ini berlangsung hingga beberapa hari. Setiap hari berlatih tiga kali. Selang lima hari, benar saja keadaan Seng Liong Sen bertambah baik. Rasa sakitnya semakin berkurang. Malah seperti orang kecanduan jika tidak berlatih tubuhnya terasa tidak enak seperti ketagihan madat.

Ilmu tenaga dalam ini ternyata membawa hasil baik. Hanya dalam sebulan saja Seng Liong Sen sudah merasa sehat dan bersemangat. Sekarang Seng Liong Sen yakin penyakit yang membuat pikirannya terganggu mungkin sudah lenyap. Pasti tenaga lelakinya sudah pulih lagi.

Nona Khie Kie lincah dan sangat terbuka, dia sering kelihatan duduk bersama. Selama ini mereka bergaul erat tapi masih dalam batas yang wajar. Tanpa terasa pergaulan yang bebas ini menimbulkan cinta Seng Liong Sen kepada nona Khie. Namun, kadang-kadang Seng Liong Sen masih terkenang kepada Ci Giok Hian, hingga pikirannya jadi risau.

Sesudah merasa penyakit dalam Seng Liong Sen dianggap sembuh, Khie Wie berkata kepada Seng Liong Sen.

"Sekarang untuk melanjutkan pelajaranmu, kau boleh belajar kepada Su-moaymu, ilmu silat keluargamu dasarnya sangat kuat, tentu tidak sukar bagimu untuk belajar ilmu silat perguruan kita. Setelah kau berlatih sebulan dua bulan lagi, baru aku akan mengajarmu lagi." kata Khie Wie.

Hari berjalan dengan cepat tanpa terasa sebulan telah berlalu....

Pada suatu hari Seng Liong Seng dan Khie Kie berlatih di luar rumah, mereka pergi ke sungai kecil. Karena kuatir melihat bayangan mukanya sendiri yang buruk, Seng Liong Sen melompati sungai itu. Tetapi tanpa disengaja bayangan itu tetap terlihat juga, hingga Seng Liong Sen kecewa sekali.

Melihat Seng Liong Sen demikian kecewa, nona Khie menghiburnya.

"Ayah pernah mengatakan ada cara untuk memulihkan wajahmu," kata Khie Kie.

"Benarkah?" kata Seng Liong Sen.

"Benar, hanya kata Ayah kau harus menunggu tiga tahun lagi, baru akan memberitahu cara pengobatannya. Ayah pun menyuruh aku yang mengobatimu. Karena masalah ini aku sampai bertengkar dengan Ayah, sebab aku minta sekarang juga agar Ayah mengobatimu. Biasanya Ayah selalu menuruti kehendakku, kali ini aneh dia menolak permintaanku dan harus menunggu tiga tahun lagi."

Seng Liong Sen ingat pada kata-kata Khie Wie, dia bilang tiga tahun lagi baru mereka boleh melangsungkan pernikahan mereka. Itu berarti setelah mereka menjadi suami-isteri baru ayah si nona akan mengobati wajahnya.

Seng Liong Sen heran, kenapa Khie Wie menentukan waktu seperti itu? Apa dia tidak senang anak perempuannya mendapat suami cakap?

Seng Liong Sen kebingungan dan tidak mengerti maksud Khie Wie itu? Tetapi dia pikir lebih baik wajahnya seperti sekarang. Dengan demikian kenalan lama tidak akan mengenali wajahnya. Menurut Liong Sen ini lebih menguntungkan bagi dirinya.

Sambil tertawa Seng Liong Sen berkata pada nona Khie. "Khie moay-moay, asal kau tidak mencela wajahku,  aku

tidak  butuh  wajah  cakap.  Bukankah  kehidupan  seperti

sekarang lebih membahagiakan kita ?" "Seng Toa-ko, aku tidak mempersoalkan wajahmu, tetapi aku tahu kau sangat berduka melihat wajahmu yang buruk itu! Aku tahu, kau jangan dustai aku."

"Sekarang aku tidak ingin wajahku yang dulu, aku harap kau jangan memohon lagi pada ayahmu!" kata Seng Liong Sen.

Mendengar Seng Liong Sen bicara dengan bersungguhsungguh, Khie Kie heran.

"Kenapa begitu?" tanya si nona.

"Banyak sebabnya, misalnya sekalipun wajahku seburuk ini, tapi kau tetap menyukaiku. Apalagi yang aku harapkan dari wajahku yang dulu? Malah yang aku inginkan kita bisa hidup bahagia seperti sekarang ini untuk selama-lamanya!" kata Seng Liong Sen.

Bukan main bahagianya nona ini mendengar kata-kata itu.

"Jangan bohong! Benarkah begitu?" kata si nona. "Jika kau senang begini aku juga senang! Maka kau akan kucintai seumur hidupku."

"Ini kukatakan setulus hatiku, apa kau tidak percaya!" kata Seng Liong Sen.

Seng Liong Sen menegaskan dengan mengucapkan kata "setulus hati" sampai dua kali, sebenarnya ucapan itu bukan sebenarnya "setulus hati" dari Seng Liong Sen.

"Akan lebih baik jika orang tidak mengenaliku lagi," pikir Seng Liong Sen. "Malah aku bisa menemui Ci Giok Hian tanpa dikenali olehnya! Sekalipun tidak mungkin hidup bersama lagi dengannya, tetapi aku puas asalkan aku bisa bertemu sekali lagi dengannya. Tapi aku juga ragu bisakah aku bertemu lagi dengannya?" Sekarang Seng Liong Sen sadar bahwa nona Ci tidak bisa dia lupakan. Tapi dia buru-buru menenangkan diri agar tidak terlihat sedang berpikir ke masalah lain oleh nona Khie.

Nona Khie melihatnya lalu menegur Seng Liong Sen. "Hei, apa yang sedang kau pikirkan? Mari kita berlatih

pedang,   apa   jurus   Ngo-heng-kiam-hoat   itu   sudah  kau

pahami?"

"Sebaiknya nanti saja kita berlatih lagi, "jawab Seng Liong Sen. "Khie su-moay, aku ingin bertanya sesuatu padamu, tapi kau jangan marah! Jika aku salah, anggap saja aku terlalu lancang!."

"Apa yang akan kau tanyakan, katakan saja! Aku tidak akan marah padamu," kata nona Khie.

"Apakah aku boleh mengetahui tentang ibumu, karena selama ini kau tidak pernah menceritakan tentang ibumu?" kata Liong Sen.

Mendengar pertanyaan itu wajah nona Khie berubah merah.

"Nama Ibuku saja sampai saat ini aku tidak tahu. Aku cuma tahu hari lahirnya jatuh sehari sesudah harian Tiong- ciu, yaitu tanggal  bulan delapan. Setiap kali tiba hari lahirnya itu, diam-diam aku terkenang kepada beliau." kata nona Khie.

"Kenapa ayahmu tidak memberitahumu?" tanya Seng Liong Sen. 'Terlalu sampai nama ibu sendiri saja kau tidak tahu, sungguh luar biasa."

"Memang luar biasa! Kata Ayah, Ibu meninggal karena sulit saat melahirkan. Ayah sangat mencintai Ibuku, setiap kali teringat kepada Ibuku, pasti Ayahku sangat berduka. Sejak kecil aku sudah dibiasakan tidak boleh membicarakan tentang Ibuku dengan Ayah." Kata nona Khie.

"Lalu dari mana kau mengetahui hari lahir ibumu?" tanya Seng Liong Sen.

"Setiap malam tanggal  bulan delapan Im-lek (Penanggalan orang Tionghoa), di luar tahuku pada tengah malam Ayahku pasti keluar rumah dan menangis sedih. Pada suatu saat kupergoki Ayah sedang menangis. Ketika aku tanya, kapan hari lahir Ibunya. Baru Ayah memberi tahu hari lahir Ibuku." jawab nona Khie.

"Kelakuan Khie Wie benar-benar aneh," pikir Seng Liong Sen.

"Seng Toa-ko, karena hari ini kau tidak bersemangat untuk latihan, mari kita pulang saja! Besok baru kita berlatih lagi," kata nona Khie.

Seng Liong Sen menerima baik usul itu. Semula dia ingin diam seorang diri di kamarnya. Tetapi ketika sampai di rumah Khie Wie langsung memanggilnya untuk diajak membicarakan sesuatu. Ternyata yang dibicarakan tentang masalah yang tidak terduga oleh Seng Liong Sen.

Setelah Seng Liong Sen datang ke kamar tulis, Khie Wie muncul sambil berkata pada anak muda itu.

"Sesudah kau kuajari ilmu silat apakah hasilnya lumayan?" kata Khie Wie.

"Benar, Suhu berkat petunjuk Su-moay, walaupun belum paham seluruhnya, tapi rasanya sudah ada kemajuan," jawab Liong Sen,

"Baik, kalau begitu besok kau sudah boleh turun gunung," kata Khie Wie. "Malam nanti kau akan kuberi petunjuk mengenai kunci ilmu pedang Ngo-heng-kiam-hoat itu!"

Mendengar gurunya mengatakan dia sudah boleh turun gunung, Seng Liong Sen terkejut dan girang.

"Apa Suhu hendak memberi tugas pada tee-cu?" kata Liong Sen sambil menyembunyikan rasa girangnya.

"Ya, kau harus melaksanakan syarat yang kukatakan dulu, bahwa kau harus melakukan tugas untukku? Nah, sekarang kau akan kutugaskan melaksanakannya." kata Khie Wie.

Ucapan guru atau calon mertuanya itu membuat hati Seng Liong Sen berdebar-debar, sebab tak dia ketahu apa tugas yang harus iia selesaikan itu?

"Katakan saja Suhu, tugas apa?" kata Liong Sen.

"Aku ingin agar kau membunuh seorang perempuan dan menampar seorang lelaki sebanyak dua kali!" kata Khie Wie.

Mendengar perintah itu Seng Liong Sen heran. "Siapakah laki-laki dan perempuan itu?" tanya Liong

Sen.

"Dia seorang Ti-hu (Bupati) bernama Gak Liang Cun, dia bertugas dan tinggal di kota Yang-ciu. Sedangkan yang perempuan isteri ketiga Ti-hu itu!" kata Khie Wie. "Pada tanggal  bulan tiga nanti hari ulang tahun Gak Liang Cun yang ke-. Di rumahnya akan diadakan pesta besar dan isteri tua serta kedua istri mudanya pasti akan keluar melayani para tamu suaminya. Kau harus menyusup ke sana, bagaimana caranya terserah kau saja! Tugasmu di depan semua tamunya sebanyak dua kali dan bunuh isteri kedunya.  Jangan  bunuh  isteri  pertamanya.  Selisih  usia kedua isteri muda Ti-hu itu dengan isteri pertama sekitar belasan tahun. Jelas mudah dibedakan. Tetapi jika kau  tidak bisa membedakan mana isteri kedua dan ketiga, lebih baik mereka kau bunuh dua-duanya!"

"Apakah Ti-hu kota Yang-ciu itu orang jahat? Kenapa harus membunuh isteri mudanya?” pikir Seng Liong Sen. "Jika Ti-hu yang jahat, seharusnya dia yang dibunuh. Tapi kenapa malah isteri mudanya saja yang harus dibunuh?"

"Kau tidak perlu banyak bertanya! Lakukan saja tugas itu dengan baik!" kata Khie Wie.

Nada ucapannya jelas dia kurang senang atas pertanyaan Seng Liong Sen itu.

Dengan tanpa alasan yang jelas, dan harus membunuh seorang perempuan yang belum dia ketahui dosanya Maka itu Seng Liong Sen jadi bingung dia merasa tidak tegajuga. Tapi dia tahu adat Khie Wie aneh, terpaksa dia menganggukkan kepalanya.

"Jika sudah sampai di Yang-ciu, akan kubunuh atau tidak perempuan itu, semua terserah aku. Mana bisa dia mengawasiku terus-menerus?" pikir Seng Liong Sen.

Maka itu dia langsung mengiakan saja.

"Masalah ini jangan sampai diketahui orang lain.

Sekalipun puteriku jangan kau beri tahu!" kata Khie Wie. "Baik, Suhu," kata Seng Liong Sen.

"Jika kau bekerja dengan baik, tanpa harus menunggu tiga tahun lagi, sepulang dari tugas itu, kau boleh menikah dengan puteriku. Ini ada dua bungkus obat untukmu!" kata sang calon mertua.

"Obat untuk apa, Su-hu?" tanya Liong Sen heran. "Bungkusan merah kau gunakan untuk merendam kepala perempuan hina itu! Sesudah obat ini kau campur air, kepala perempuan hina itu kau rendam dalam air obat itu. Dalam sekejap kepala itu akan menjadi kecil sebesar kepalan tangan. Kemudian kepala itu kau bawa ke mari!"

Mendengar ucapan Khie Wie, tanpa terasa kuduk Seng Liong Seng merinding.

"Lalu yang dibungkusan kain putih untuk apa?" kata Seng Liong Sen.

"Itu untukmu, ilmu tenaga dalam perguruan kita bisa cepat dilatih, tetapi untuk mencapai tinggi agak sulit! Saat pertama aku memberi petunjuk padamu, aku kurang hati- hati dan lupa hingga salah kuajarkan!" kata Khie Wie.

"Apa itu berbahaya, Su-hu?" kata Seng Liong Sen yang kaget bukan kepalang.

"Bahaya besar sekali tidak," jawab sang guru. "Apa lagi kau memiliki dasar lwee-Iang yang bagus dari dua aliran. Tetapi karena kesalahanku itu, kau bisa terserang penyakit lama. Maka itu kau bawa obat itu untuk kau makan. Aku yakin tidak terjadi apa-apa atas dirimu! Aku kira untuk pergi ke Yang-ciu kau hanya perlu waktu setengah tahun saja!"

Seng Liong Sen cukup cerdik, segera dia mengerti masalahnya. Ternyata calon mertua itu mengizinkan dia pergi ke Yang-ciu, tapi sebelum itu dia sudah mempersiapkan sesuatunya. Jika Seng Liong Sen melanggar janji, dia tidak akan lepas dari jerat Khie Wie. Terpaksa dia harus kembali karena membutuhkan pengobatan.

Mau tak mau Seng Liong Sen harus mengakui kelihayan dan kelicikan Khie Wie. "Apa aku harus tergantung terus dari obat itu?" kata Seng Liong Sen.

"Sesudah kau pulang dan berhasil menjalankan tugasmu, kau akan kuajari lwee-kang. Sesudah kau mahir, obat itu tidak diperlukan lagi!" kata sang guru. "Aku yakin kelak kau akan jadi tokoh persilatan!"

"Ah, bagaimana aku masih berharap terlalu jauh," pikir Seng Liong Sen. "Asalkan aku bisa terlepas dari cengkramannya saja, aku sudah sangat bersyukur!"

Tetapi dia menjawab dengan hormat. "Baik, Su-hu," kata Liong Sen.

Segera dia mengundurkan diri.

Ingat ilmu tenaga dalam dari orang she Khie ini, Seng Liong Sen jadi merinding. Dilatih hasilnya dia sering tak enak badan, tidak dilatih apa lagi. Dia seperti ketagihan madat saja, dan dia harus tetap berlatih.

Malam itu saat diadakan pesta perpisahan antara dia dan guru serta nona Khie, tampak Seng Liong Sen kurang bersemangat dan lesu sekali. Melihat sikap Seng Liong Sen nona Khie malah mengira pemuda itu sangat berat untuk berpisah dengannya.

Esok harinya....

Saat akan berangkat nona itu menghibur calon suaminya dengan berbagai nasihat dan kata-kata manis.

"Jangan cemas, setengah tahun itu tidak lama! Kau sudah akan kembali dan kita bertemu lagi," kata nona Khie.

Seng Liong Sen cuma mengangguk. Diam-diam nona ini menanyakan, tugas apa yang diberikan ayahnya pada Seng Liong Sen. Tetapi tidak dijawab oleh Liong Sen. Dia hanya bilang begini. "Aku sudah jadi yatim-piatu, yang ada cuma orang tua dari paman, maka urusan pernikahanku perlu dimintakan restu mereka." kata Seng Liong Sen.

Mengetahui pertanyaannya dialihkan nona itu diam saja.

Tak lama Seng Liong Sen melanjutkan.

"Menurut Suhu, jika aku sudah pulang pernikahan kita akan segera dilangsungkan. Bukankah kau sudah diberitahu hal itu oleh Ayahmu?" kata Liong Sen.

Nona Khie girang ternyata ucapan ayahnya memang benar. Sudah tentu dia girang sekali. Dengan wajah yang berubah merah dia berkata, "Ah, entahlah. Jadi cuma urusan ini saja dan tidak ada urusan lainnya?"

Hati Seng Liong Sen tergerak, dia pikir apakah si nona mengetahui urusan di Yang-ciu atau tidak?

Sebelum Seng Liong Sen berkata lebih jauh, dari dalam rumah terdengar Khie Wie berkata.

"Anak Kie, kenapa kau bicara tak ada habisnya, biar Liong Toa-komu berangkat! Jika dia sudah pulang nanti, kau bisa bicara dengannya sepuasnya! Berpisah hanya setengah tahun itu tidak lama." kata ayah nona Khie.

Seng Liong Sen kaget.

"Ah, untung aku tidak berkata apa-apa, jika aku bicara pasi dia mendengar pembicaraanku dengan puterinya!" pikir Seng Liong Sen. Wajah Khie Kie bersemu merah.

"Ayah, aku cuma ingin mengantarkan Seng Toa-ko, masa kau malah menegurku begitu? Baiklah Liong-toa-ko, semoga kau lekas sampai di tempat tujuan dan segera pulang, aku senantiasa menunggumu." kata si nona.

Melihat Khie Kie sungguh-sungguh mencintainya, tanpa terasa Seng Liong Sen terharu juga. "Kasihan dia, padahal saat ini yang sedang aku pikirkan justru bukan kau tetapi orang lain." pikir Seng Liong Sen.

Kota Yang-ciu yang dituju Seng Liong Sen kali ini justru kampung halaman Ci Giok Hian. Pek-hoa-kok tempat tinggal keluarga Ci yang terkenal di luar kota Yang-ciu.

Sesudah semua diatur beres Seng Liong Sen berangkat ke Yang-ciu. Di perjalanan dia tidak menemui gangguan apa- apa. Ketika perjalanan semakin dekat dengan tempat tujuan, jantung Seng Liong Sen berdebar tidak karuan. Ci Giok Hian memang selalu terkenang dalam benaknya.

"Barangkali sekarang dia ada di Kim-kee-leng atau malah ada di rumahnya? Jika dia ada di rumah, aku bisa menjenguknya dengan diam-diam. Dia pasti tak akan mengenaliku. Tapi setelah aku bertemu dengannya, apa yang bisa kukatakan padanya?" pikir Seng Liong Sen. Dia jadi bimbang sendiri dan menyesal karena perbuatannya yang lampau.

Ketika itu Ci Giok Hian memang ada di rumah.

Dia sampai di rumahnya sudah sebulan yang lalu. Di sana Ci Giok Hian tinggal bersama seorang budak tua, tukang kebunnya yang setia.

Ketika Ci Giok Hian baru pulang, dia rasakan hatinya seolah sudah beku. Kerjanya sepanjang hari hanya mengurung diri di kamar, dan jarang keluar kecuali mandi dan makan. Seharusnya dia harus menyampaikan kabar kematian suaminya kepada Bun Yat Hoan. Akan tetapi setelah dipikir beberapa kali, dia merasa tidak punya keberanian untuk berdusta pada Bun Yat Hoan. Jika dia laporkan menurut apa yang terjadi, dia semakin tidak berani. Maka itu dia mengambil keputusan untuk tidak keluar rumah lagi, dengan harapan orang akan melupakan dia selamanya. Dia sudah memutuskan akan mengasingkan diri di Pek-hoa-kok.

Dia tidak yakin orang bisa melupakan dirinya? Dia ingat pada Kok Siauw Hong, juga kepada Han Pwee Eng. Terutama pada kakaknya, Ci Giok Phang, Kong-sun Po dan Kiong Mi Yun... Dapatkah dia melupakan orang-orang itu? Memang sulit rasanya dia melupakan mereka. Terutama Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Dua orang yang paling lekat di hatinya.

"Mereka pasti sudah menikah di Kim-kee-leng? Apa mereka tahu saat ini aku sedang menderita di Pek-hoa-kok?" pikir Ci Giok Hian.

Ketika musim semi tiba, taman bunga milik Ci Giok Hian tidak terawat hingga tidak seindah dulu walau bunga- bunga itu tetap mekar di tengah semak rumput dan reruntuhan pagar.

Suatu hari Ci Giok Hian dan budak tua itu menata tanaman di taman bunga. Melihat keadaan ini dia terkenang masa lalu.

"Dua tahun aku pergi dari rumah hingga taman ini terlantar begini rupa. Hai, Lauw Ong, kau masih ingat dulu di saat begini pekerja kita memetik bunga untuk disuling dibuat arak. Mereka sibuk sekali," kata Ci Giok Hian mengenang masa lalunya.

"Dulu puluhan orang bekerja, sekarang tinggal Sio-cia dan aku berdua saja," kata budak tua itu. "Sebelum Sio-cia kembali hamba sendiri yang menjaga taman ini. Karena sendirian hamba tak sempat menanam bunga terlantar!" Sebagai keluarga besar ada puluhan orang yang bekerja di rumah ini.

"Aku senang kau tetap setia padaku," kata Ci Giok Hian sambil tersenyum. "Di mana mereka sekarang? Kok cuma kau sendiri saja?"

"Sio-cia, setelah kau meninggalkan rumah ini, daerah Kanglamjadi kacau. Keamanan sekitar Tiang-kang terganggu oleh bajak yang bergabung dengan bangsa Mongol. Untung saat ini bangsa Kim dan Mongol tidak bergerak sehingga keadaan jadi aman. Sedang orang-orang kita sudah banyak yang jadi tentara rakyat di daerah Kang- lam. Karena usiaku sudah lanjut hamba tidak ikut jadi tentara."

Mendengar ucapan itu Ci Giok Hian tersentak. Dia merasa malu, budak saja tahu kewajiban berjuang membela tanah airnya. Tapi kenapa dia malah mengurung diri? Akhirnya nona Ci termenung. Melihat majikannya diam, budak itu bertanya pada Ci Giok Hian.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Sio-cia?" "Ah, tidak. Mari kubantu kau!" kata nona Ci. Dia ikut mencabuti rumput di taman bungan.

Sang surya memancarkan cahaya terang, seolah nona Ci mandi cahaya saja. Hatinya yang sumpek perlahan-lahan mulai terbuka.

Tiba-tiba terdengar seseorang menyapa pada budak tua. "Hai, Lauw Ong, apa kau masih ingat padaku?"

Pintu pagar taman bunga memang sudah rusak dan belum dibetulkan. Maka dia bisa langsung masuk. Ketika Ci Giok Hian berpaling, ternyata dia Chan It Hoan budak tua keluarga Han Pwee Eng. Sebenarnya Chan It Hoan tokoh kalangan Kangouw. Dulu dia pernah ditolong Han Tay Hiong, dia bekerja sebagai pembantu di rumah Han Tay Hiong.

Terakhir dia membantu Bun Yat Hoan, ketika Giok  Hian menikah dengan Seng Liong Sen. Saat itu Chan It Hoan ikut membantu dalam pesta pernikahan itu. Bahkan ketika Han Pwee Eng diantarkan ke Yang-ciu untuk menemui calon suaminya, Chat It Hoan dan Liok Honglah yang mengantarkannya.

Sesudah terjadi keributan di Pek-hoa-kok, Liok Hong pulang ke Lok-yang, sedang Chan It Hoan mengabdi di tempat Bun Yat Hoan. Ketikia Ci Giok Hian menikah dengan Seng Liong Sen, Chan It Hoan pun ikut sibuk membantu. Sesudah memberi hormat, Chan It Hoan bertanya pada Ci Giok Hian.

"Nyonya mana Seng Siauw-hiap?" kata Chan It Hoan. "Bun Tay-hiap berharap dia segera kembali, karena banyak perkara yang perlu diurus!"

"Dia....ah dia tidak bisa menemui gurunya lagi. " kata

Ci Giok Hian terbata-bata.

Wajah Ci Giok Hian pun berubah merah.

Mendengar jawaban Ci Giok Hian, Chan It Hoan terkejut dan cepat bertanya lagi.

"Kenapa begitu?" tanya Chan It Hoan.

Sambil menangis tersedu-sedu Ci Giok Hian menjawab. "Dia. dia sudah meninggal!" kata Ci Giok Hian.

Mendengar penjelasan itu Chan It Hoan melongo seolah tidak percaya.

"Sungguh di luar dugaan, apa yang terjadi? Bagaimana dia meninggal?" kata Chan It Hoan. "Suatu hari dia bertemu dengan Wan-yan Hoo. Dia dikerjai oleh Wan-yen Hoo, urat nadinya terluka dan tak tertolong dan akhirnya meninggal," kata Ci Giok Hian.

Sekalipun merasa malu Ci Giok Hian terpaksa berdusta begitu. Kemudian dia menundukkan kepala. Dia tidak berani memandang ke wajah Chan It Hoan yang bengong keheranan seolah tidak percaya pada apa yang didengarnya. Melihat Ci Giok Hian berduka, Chan It Hoan menghiburnya.

"Nona kau jangan berduka, kita pasti akan menuntut balas," kata Chan It Hoan. "Kapan Seng Siauw-ya meninggal? Apa kau sudah mengirim kabar pada Bun Tay- hiap?"

"Tiga bulan yang lalu, memang belum kulaporkan! Kebetulan Paman Chan datang, harap paman saja yang menyampaikan kabar ini kepada Bun Tay-hiap," kata Ci Giok Hian.

"Baik, nona Ci," kata Chan It Hoan sambil mengangguk. "Tetapi mungkin tak bisa sekarang, karena aku belum mau pulang sekarang!"

"Lalu apa maksud kerdatangan Paman Chan ke mari?" kata Ci Giok Hian.

"Aku akan mencari tahu, apakah Ci Siauw-ya sudah pulang atau belum?" jawab Chan It Hoan. "Sebelum aku bertemu dengannya malah aku bertemu denganmu!"

"Kakak Giok Phang belum pulang," kata Ci Giok Hian. "Memang ada urusan apa kau mencari dia?"

Sesudah menarik napas akhirnya Chan It Hoan menjelaskan. "Sebenarnya masalah ini pun harus kau ketahui juga," kata Chan It Hoan, hanya. " Chan It Hoan ragu-radu.

"Kenapa?"

"Kedatanganku tidak kebetulan, kau  sedang berduka. "

kata Chan It Hoan.

Ci Giok Hian cerdik, dia bisa menduga apa maksud Chan It Hoan.

"Oh, kau ingin minta bantuan Kakakku? Katakan saja, asal aku bisa aku mau membantumu." kata Ci Giok Hian. "Tapi ini bukan urusanku, ini. "

"Apa urusan dinas tentara rakyat? Dan kau kuatir aku membocorkannya?" kata Ci Giok Hian.

"Bukan itu maksudku. Urusan ini sangat penting. Aku sedang mempertimbangkan pantaskah kau ikut masalah ini." kata Chan It Hoan.

"Katakan saja, mungkin saja aku bisa ikut membantu?" kata Ci Giok Hian.

"Aku dapat tugas dari Bun Tay-hiap ke Kim-kee-leng. Baru saja pulang dari sana. Sebenarnya kami merencanajan perampokan pada pembesar di kota Yang-ciu. Dananya akan kita sumbangkan untuk membantu tentara rakyat."

"Pembesar korup mana yang akan kalian jadikan sasaran?" kata Ci Giok Hian

"Ti-hu (Bupati) kota Yang-ciu yang bernama Gak Liang Cun!" kata Chan It Hoan.

"Kalau dia aku setuju. Aku dengar dia memang jahat dan rakyat memusuhinya!" kata Ci Giok Hian. "Tidak cuma itu saja, dia malah bersekongkol dengan Su Thian Tek, hampir sebagian besar perbekalan bajak Su Thian Tek atas dukungannya." kata Chan It Hoan.

"Aku dengar Su Thian Tek sudah takluk pada bangsa Mongol?"

"Sekarang bangsa Mongol dan bangsa Kim terus berperang, tapi tujuan mereka sama ingin menguasai Kerajaan Song! Akhir-akhir ini bangsa Kim dan Mongol berdamai, maka itu orang Kim ingin merangkul bajak Su Thian Tek agar mereka mengacau di daerah Kang-lam hingga dengan mudah mereka bisa menyerang negara Song! Maka itu Ti-hu itu pun menyumbang Su Thian Tek!"

Ketika itu Yang-ciu sudah jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Kim dan menjadi tapal batas antara kerajaan Kim dan Song.

"Dari keterangan yang kami dapat, Gak Liang Cun akan mengirim perbekalan ke Tay-toh (Bei-jing ibukota bangsa Kim). Maka itu kita merencanakan merampas perbekalan mereka itu. Terutama untuk menolong rakyat dari bencana banjir!" kata Chan It Hoan.

"Kapan kalian mulai turun tangan?"tanya Cu Giok Hian.

"Tepat tanggal  bulan ini pada hari ulang tahun Gak Liang Cun yang ke-. Hari itu pasti dia mengadakan pesta besar. Maka itu pada kesempatan itu kita gunakan untuk turun tangan. Seluruh pembesar yang hadir di pesta itu akan kita sergap seluruhnya."

"Itu sebuah rencana bagus, aku siap membantu kalian!" kata Ci Giok Hian.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- Ci Giok Hian kelihatan bersemangat, dia yang semula akan menyepi, akhirnya memilih akan berkelana lagi. Dia akan mengerjakan pekerjaan yang menggemparkan di kota Yangciu. Saat itu Chan It Hoan sedang memberi penjelasan kepada Ci Giok Hian.

"Yang akan memimpin gerakan ini Tu-thauw-leng, Tu Hok yang dulu pernah ikut ke Pek-hoa-kok, pasti kau masih ingat. Jika kau bersedia membantu, bagaimana jika malam ini kuajak dia ke sini untuk berunding?" tanya Chan It Hoan.

"Oh, jadi dia yang memimpin," kata Ci Giok Hian. "Bagus sekali jika dia yang datang."

Tu Hok salah seorang utusan Hong-lay-mo-li yang ikut mendamaikan peristiwa di Pek-hoa-kok dulu sehingga kedua pihak dapat dilerai. Ingat kejadian itu, tanpa terasa Ci Giok Hian jadi murung.

Melihat Ci Giok Hian murung Chan It Hoan seolah tahu perasaan Ci Giok Hian. Dia diam sejenak. Tak lama dia berkata dengan suara perlahan.

"Nona, ketika aku ada di Kim-kee-leng, teryata Kok Siauwya tidak ada di sana. Aku dengar mereka ada di Kang-lam, tetapi entah ada di mana? Nona, kado yang kau titipkan padaku masih kusimpan!"

Sesudah itu dia langsung mengeluarkan sebuah tusuk rambut batu Giok yang buatannya halus dan indah.

Tusuk kundai itu hadiah dari Kok Siauw Hong sebagai tanda  mata  untuk  Ci  Giok  Hian.  Sehari  sebelum  dia menikah dengan Seng Liong Sen, karena selalu berduka saat melihat benda itu, dia memutuskan untuk mengembalikan benda itu pada pemiliknya. Maka benda itu dia titipkan kepada Chan It Hoan agar diserahkan kepada Han Pwee Eng.

"Kalau begitu kau simpan saja benda itu, jika kau bertemu dengan nona Han kau serahkan kepadanya! Jadi selama Paman ada Kim-kee-leng, di sana ada siapa lagi?" kata Ci Giok Hian.

"Aku dengar bangsa Mongol akan menyerbu ke selatan, sedang dari Kim-kee-leng tidak banyak orang yang bisa diperbantukan! To-thauw-leng hanya ditemani oleh belasan orang berangkat dari sana. Bun Tay-hiap pun hanya mengirim beberapa orang ke sini. Maka itu aku ingat pada kalian dan sengaja aku datang ke mari untuk mencari kakakmu. Ditambah lagi hari ulang tahun pembesar itu sudah dekat, tinggal tiga hari lagi. "

"Kalau begitu malam ini kau undang dia kemari," kata Ci Giok Hian memberi kepastian.

"Baik, Nona Ci!" kata Chan It Hoan. Sesudah itu Chan It Hoan pun pamit.

Sepeninggal Chan It Hoan, nona Ci termenung sendirian. Dia ingat pada Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Tapi tibatiba dia ingat pada Seng Liong Sen. Bagaimanapun lelaki itu suaminya. Sayang jenazahnya tak sempat dilihatnya lagi.

Sedikit pun Ci Giok Hian tidak menyangka kalau saat itu Seng Liong Sen ada di kota Yang-ciu. Dia sudah tiba di kota ini dengan tugas yang hampir mirip seperti yang akan dilaksanakan Ci Giok Hian dan kawan-kawannya. Bedanya Seng  Liong  Sen  akan  membunuh  isteri  Ti-hu  she  Gak, sedangkan Ci Giok Hian dan kawan-kawannya hendak melakukan perampokan di rumah ti-hu itu.

Hari itu dia sudah tiba di Yang-ciu walau ulang tahun ti- hu itu masih tiga hari lagi. Jadi masih ada waktu luang baginya selama tiga hari lagi sebelum hari ulang tahun Gak Liang Cun dilaksanakan. Ketika mencari sebuah penginapan, pikiran dia sedang kacau sekali.

Dia jadi bimbang sekali. Khie Wie menyuruh dia membunuh seorang perempuan yang tidak ditahui apa dosanya? Dia bingung haruskah dia lakukan atau jangan? Jika sedang bingung, dulu biasanya diarundingkan dengan Ci Giok Hian.

Tanpa terasa wajah Ci Giok Hian terbayang di mukanya. Karena ingat isterinya, dia jadi tak tahan ingin bertemu dengan sang isteri. Sedang ulang tahun Gak Liang Cun masih tiga hari lagi.

"Jika aku menemuinya di Pek-hoa-kok, aku bisa melihat Giok Hian. Bagaimana jika sudah bertemu? Apa yang harus aku katakan padanya?" Seng Liong Sen berpikir.

Tiba-tiba saja kepalanya pening. Matanya gelap. Dia bangun dari tempat tidur sambil merintih kesakitan. Suaranya cukup keras. Baru dia ingat sudah sebulan pergi dari rumah Khie Wie. Dia juga sudah dinasihati penyakitnya akan kumat. Maka itu dia buru-buru mengambil obat dan buru-buru dia telan.

Sesaat setelah menelan obat itu, terasa ada hawa hangat di perutnya. Dia mulai merasa nyaman. Ketika dia rasakan sudah sehat kembali, terdengar pintu kamar dibuka dari luar. Ada dua orang yang masuk ke kamarnya, yang satu pemilik penginapan dan seorang lagi verpakaian tabib. "Tuan Anda tadi merintih seperti orang kesakitan, apa Tuan sakit?" tanya pemilik pengnapan kelihatan cemas.

Dari tubuh Seng Liong Sen tak hentinya keluar keringat dingin. Mereka kelihatan cemas bukan main. Mungkin suara rintihan pemuda itu terdengar oleh mereka.

"Aku tidak apa-apa, mungkin terlalu lelah di perjalanan saja! Perutku tadi memang sakit, tapi aku sudah minum obat. Sekarang sudah baikan," kata Seng Liong Sen.

Dia mengucapkan terima kasih.

"Ini tabib she Ong, beliau sangat terkenal di kota Souw- ciu. Hari ini kebetulan saja beliau lewat di sini!" kata pemilik penginapan. "Jika kau mau, kau bisa diperiksa olehnya!"

"Rasanya tidak perlu, maaf aku cuma merepotkan kalian, saja," kata Seng Liong Sen yang langsung mengucapkan terima kasih lagi.

Tabib Ong tak yakin pada ucapan Seng Liong Sen. Lalu dia perhatikan wajah pemuda itu. Sesudah termenung sejenak dia berkata bersungguh-sungguh.

"Lebih baik kau aku periksa!" kata tabib Ong.

Tanpa menunggu persetujuan Seng Liong Sen, tabib Ong segera memegang nadi pemuda itu dan memeriksa denyut nadinya.

Melihat Seng Liong Sen ragu-ragu dan kurang percaya pada tabib Ong itu, pemilik penginapan memberi penjelasan padanya.

"Tabib Ong tidak pernah mau mengobati orang di luaran, dia menolak undangan hartawan dan pembesar yang ingin diobati olehnya," kata si pemilik penginapan sambil   tertawa.   "Tetapi   beliau   sifatnya   aneh,   jika dia melihat ada penyakit yang belum ditemukannya, tanpa diminta pun beliau langsung memeriksa orang itu walaupun tidak dibayar!"

Mendengar keterangan itu sedikitpun Seng Liong Sen tidak percaya, malah dengan nada kurang puas dia meremehkan tabib keliling itu. Dia anggap tabib itu pasti cuma omong kosong.

"Mana mungkin dia bisa tahu penyakitku?" pikir Liong Sen.

"Ah, penyakitnya benar-benar aneh!" tiba-tiba tabib Ong berjingkrak keheranan.

Tak terduga, segera terdengar tabib itu bersuara heran, katanya : "Hai, ini benar-benar penyakit aneh !"

Saat si tabib memegang nadinya, Seng Liong Sen merasakan nadi di pergelangan tangannya terasa panas, seolah diserang suatu arus tenaga dalam yang kuat.

Seng Liong Sen merasa yakin tabib ini pasti orang pandai. Dia merasa seperti sedang dipijat oleh seorang ahli. Ketika itu dia rasakan jalan darahnya jadi lancar sekali.

"Aneh sekali!" pikir Seng Liong Sen terkejut. "Apakah dia ini seorang tokoh persilatan yang sengaja mengasingkan diri?"

Pemilik penginapan pun kaget oleh ucapan tabib Ong. "Penyakit apa yang diderita olehnya? Apa berbahaya?"

kata si pemilik penginapan dengan heran.

Seharusnya Seng Liong Sen yang menanyakan penyakit yang diderita. Tapi rupanya pemlik penginapan takut tamunya mati di penginapannya, maka dia yang mendahului Seng Liong Sen bertanya pada tabib Ong. "Aku tidak tahu penyakit apa ini? Aneh sekali!" kata si tabib sambil menggelengkan kepalanya, "Ini penyakit aneh, aku sendiri tidak tahu penyakit apa ini?"

"Apanya yang aneh?" tanya Seng Liong Sen.

"Aku tidak melihat ada tanda penyakit," kata tabib itu. "Tapi dari denyut nadimu, sebulan lagi penyakitmu akan kambuh lagi. Aku tak bisa menjelaskan sakit apa kau? Sebaiknya sebulan lagi kau datang ke tempatku di kota Souwciu."

"Jadi dalam sebulan ini Tuan ini tidak akan ada masalah?" kata si pemilik penginapan.

"Aku jamin begitu! Jika terjadi apa-apa sebelum sebulan, kau boleh datang ke tempatku. Kau boleh hancurkan papan merek pengobatanku!" kata si tabib.

Seng Liong Sen mengucapkan terima kasih. "Baik, sebulan lagi aku pasti akan datang ke tempatmu." kata Seng Liong Sen.

Sekalipun mulutnya berkata begitu, Seng Liong Sen sangsi pada kemampuan tabib itu. Dia juga kuatir jika diperiksa akan ketahuan penyakitnya. Jika itu diketahui oleh gurunya, itu bisa berabe.

Tapi suatu ketika Seng Liong Sen gembira juga. Dia pikir, siapa thau tabib itu pandai. Jika dia bisa sembuh, dia akan terlepas dari ketergantungan pada Khie Wie.

"Waktunya masih lama, kenapa aku tak mencari tahu, siapa sebenarnya Tabib Ong ini?" pikir Seng Liong Sen. Dia juga ingin tahu bagaimana kemampuan tabib itu.

Pada tengah malam, diam-diam Seng Liong Sen keluar dari kamarnya dan dia mencoba mengintai ke kamar tabib itu. Di penginapan itu hanya ada belasan kamar, sampai di kamar nomor tiga segera terdengar suara tabib Ong bicara dengan seseorang entah siapa.

"Ah, dia bicara dengan temannya. Biar akan kudengarkan apa yang mereka bicarakan," pikir Seng Liong Sen. Kemudian Seng Liong Sen menguping. Sekalipun tabib itu bicara sambil berbaring di tempat tidur, dan suaranya perlahan, tapi Seng Liong Sen bisa mendengar pembicaraan mereka.

"Chan It Hoan sudah ke Pek-hoa-kok. Bagaimana hasilnya?" kata tabib Ong.

"Ya, dia sudah ke sana, tapi tak bertemu dengan Ci Giok Phang!" kata teman tabib Ong.

"Dia bertemu dengan siapa?" tanya tabib Ong. "Dia bertemu degan Nona Ci!" jawab temannya.

"Nona Ci yang mana? Apa dia menantu Bun-Tay-hiap?" tabib Ong menegaskan. "Bukankah suaminya yang bernama Seng Liong Sen?"

"Ya," kata temannya. "Cuma aku dengar Seng Liong Sen sudah mati tanpa kuburannya."

Mendengar pembicaraan itu jatung Seng Liong Sen memukul keras, seolah akan mencelat keluar.

Terdengar tabib Ong menghela napas.

"Duabelas tahun yang lalu aku diundang Bun Yat Hoan untuk menyaksikan pemandangan kota Hang-ciu," kata tabib Ong. Sekarang aku mendengar tentang kematian murid kesayangannya. Betapa hancurnya dia. Aku dengar muridnya itu pandai dan cerdas sekali. Sayang dia meninggal tanpa kuburan! Aku yakin Bun Yat Hoan pasti sedih. Beberapa hari lagi kita pergi ke sana untuk menghiburnya!"

"Bukankah kau sudah berjanji kepada orang sakit yang ada di penginapan dan kau suruh dalam waktu bulan menemuimu di Souw-ciu?" kata temannya. "Apa kau sudah tahu, penyakit apa yang diderita orang itu Aku heran kenapa tabib terkenal seperti kau sampai menyerah tidak berdaya?"

Ketika Seng Liong Sen mendengar pembicaraan mereka beralih membicarakan dirinya, Seng Liong Sen mencoba menguping lebih jauh. Sesudah sekian lama tabib Ong tidak bicara lagi, mendadak terdengar suara daun jendela dibuka! Dengan sigap Seng Liong Sen bersembunyi tak lama sesudah daun jendela terbuka terlihat teman tabib Ong melompat keluar dari jendela.

Masih untung Seng Liong Sen sempat bersembunyi sehingga tidak terlihat oleh teman tabib Ong itu. Ketika sudah sunyi Seng Liong Sen pun buru-buru kembali ke kamarnya.

Ketika Seng Liong Sen mengintai lewat celah jendela, dia lihat orang itu menoleh kian-ke mari. Saat tahu tidak melihat ada gerakan apa-apa, dia melompat turun dari atas genting. Sayup-sayup terdengar orang itu berkata pada tabib Ong.

"Di luar tak ada siapa-siapa, kau jangan curiga!" kata orang itu. "Keadaan di luar penginapan sepi sakali."

Setelah keluar orang itu tidak masuk ke kamar  tabib Ong, dia langsung masuk ke kamar lain. Seng Liong Sen jadi tahu orang itu tidak tidur sekamar dengan tabib Ong, tapi tamu kamar lain. "Ah, ternyata tabib itu kenal pada Guruku," pikir Seng Liong Sen. "Untung aku berhati-hati! Jika aku tak salah ingat Chan It Hoan pelayan Han Pwee Eng. Saat aku akan pergi Suhu menyuruh dia ke Kim-kee-leng. Sekarang dia ada di Pek-hoakok. Jika aku ke sana bisa berabe jika bertemu dengannya!"

Esok harinya......

Penyakit Seng Liong Sen sudah agak baik, tapi agar dia tidak dilihat orang, maka itu dia terus mengunci diri di kamarnya.

Sedangkan tabib Ong sejak tadi pagi sudah keluar, seharian tidak pernah terlihat oleh Seng Liong Sen.

Sore harinya....

Penginapan di mana Seng Liong Sen bermalam kedatangan seorang tamu baru. Orang itu bertubuh pendek dan gemuk, dia mengenakan pakaian bagus. Tingkahnya seperti seorang hartawan kaya, nungkin dia seorang saudagar kaya. Pemilik penginapan menyambut kedatangan tamu ini dengan sikap hormat.

Seng Liong Sen dengar orang itu she Lauw, pemilik toko di Souw-ciu. Dia datang ke Yang-ciu untuk menghadiri pesta ulang tahun Ti-hu she Gak. Percakapan antara tamu dan pemilik penginapan itu didengar jelas oleh Seng Liong Sen.

Mendengar percakapan itu Seng Liong Sen tertarik juga. Diam-diam dia mendekati tamu itu, untuk diajak berkenalan. Kemudian tamu itu dia undang ke kamarnya.

Kepada tamu itu Seng Liong Sen mengaku sebagai pedagang kain sutera; "Anda membuka toko di mana?" tanya tamu she Lauw itu.

"Di Kay-hong," jawab Seng Liong Sen. "Aku ke Kang- lam untuk memperluas toko. Kalau perlu aku buka cabang di sini!"

Saudagar she Lauw tampak acuh tak acuh dia tidak tertarik pada keterangan Seng Liong Sen. Sikapnya dingin bahkan tidak menanggapi kata-kata Seng Liong Sen.

Tiba-tiba Liong Sen dikagetkan oleh sapaan orang dari luar kamarnya pada tamu orang she Lauw itu.

"Saudara Lauw, ternyata kau ada di sini! Pasti kau tak mengira aku sudah ada di sini juga, kan?" katanya sambil langsung masuk ke kamar Seng Liong Sen tanpa permisi lagi.

Suara orang itu dikenali Seng Liong Sen, ternyata orang itu teman tabib Ong yang semalam dia intai. Orang itu berpakaian bagus, wajahnya merah bercahaya. Dia mirip seorang saudagar juga.

"Saudara Sun," kata saudagar she Lauw sambil tertawa. "Jadi kau sudah ada di sini! Rupanya kalian sudah saling mengenal?"

"Saudara Liong, pasti kau tak kenal padaku. Tapi aku tahu namamu dari tabib Ong. Dia sahabatku." kata orang she Sun itu.

"Jadi Anda sahabat tabib Ong, aku pernah diperiksa olehnya," kata Seng Liong Sen.

Sesudah itu Seng Liong Sen ragu dan berpikir.

"Apakah dia tahu aku mengintainya semalam?" pikir Seng Liong Sen dengan perasaan was-was.

"Anda berjualan apa?" tanya Seng Liong Sen. "Siauw-tee pedagang beras, maka itu aku sering bertemu dengan saudara Lauw di Souw-ciu. Kita sesama kalangan pedagang. Kalian asyik sekali! Apa kalian sedang bicara soal dagang?" kata orang she Lauw.

Kata-kata orang she Lauw itu membuat Seng Liong Sen sedikit curiga. Dia jadi khawatir jangan-jangan rahasia dirinya sudah diketahui oleh mereka.

"Aku cuma seorang pedagang kecil, jauh jika dibanding dengan kalian berdua. Kami malah mau membicarakan  soal ulang tahun Ti-hu she Gak itu," kata Seng Liong Sen.

"Tadi sebelum kau ke mari, saudara Liong ini mau meyumbang kepada Ti-hu sebagai awal perkenalannya," kata orang she Lauw. "Karena baru kali ini ke sini dia belum kenal pada Gak Ti-hu!"

Tamu she Sun itu mengawasi ke arah Seng Liong Sen sejenak. Sesudah itu dia tertawa terbahak-bahak.

"Itu tidak sulit," kata orang she Sun. "Besok kau boleh ikut bersama kami ke sana!"

"Oh, terima kasih! Terima kasih," kata Seng Liong Sen.

Seng Liong Sen pikir ajakan orang she Sun itu sangat kebetuoan.

"Apa tabib Ong juga akan ikut ke pesta itu?" kata Liong Sen.

"Entahlah, aku belum tahu, bisa jadi dua akan hadir juga," jawab orang she Sun.

Ternyata sampai hari sudah malam, tabib Ong tidak pulang ke penginapan entah kenapa? Menjelang tengah malam, datang beberapa petugas dari kantor ti-hu. Mereka mengadakan pemeriksaan secara serentak ke semua penginapan di kota itu. Mungkin mereka curiga dan kuatir ada penyusup atau orang jahat yang bisa mengganggu keamanan saat pesta ulang tahun berlangsung.

Para petugas itu memeriksa setiap kamar, ketika sampai di kamar Seng Liong Sen, pemuda asing ini ditanya secara teliti.

"Siapa namamu dan dari mana kau datang? Apa maksud kedatanganmu ke kota Yang-ciu?"

Ketika itu tamu she Sun dan she Lauiw datang menemuinya. Mereka menjelaskan bahwa Liong Sen sahabat mereka. Mereka jamin atas nama mereka, bahwa Liong Sen orang baik. Dengan demikian para petugas, mungkin juga mereka kenal dengan mereka, akhirnya semua beres tak ada masalah.

Esok harinya. „

Seperti sudah dijanjikan semalam Seng Liong Sen ikut pada kedua saudagar itu pergi ke kediaman Gak Liang Cun untuk menghaturkan selamat ulang tahun. Ketika mereka berangkat tabib Ong memang belum pulang juga ke penginapan.

Gak Liang Cun sangat dikenal sebagai pembesar yang korup. Tidak heran jika pesta ulang tahunnya dirayakan dengan bersar-besaran. Gedungnya yang besar dan mewah sudah dihias warna-warni. Lampu-lampu berwarna merah sudah bergantungan memeriahkan suasana.

Orang-orang yang diundang pun banyak sekali, selain para pejabat setempat juga datang pejabat dari berbagai daerah. Terutama para kenalannya. Mereka berdatangan menghadiri pesta yang meriah itu. Di ruang tamu di tempat diselenggarakannya pesta, para tamu sudah berdatangan dan penuh sesak, hingga untuk berjalan pun rasanya sulit sekali. Sedang isteri pertama dan kedua isteri muda Buati Gak Liang Cun belum muncul di ruang pesta.

Seng Liong Sen sudah ada di tengah-tengah pesta bersama para tamu lainnya. Saat dia memperhatikan ke seluruh ruangan, dia sedikit kaget. Ternyata kedua saudagar she Lauw dan she Sun tidak kelihatan entah ke mana?

Di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang sengaja datang untuk mengucapkan selama ulang tahun itu, Seng Liong Sen menyaksikan banyak tamu-tamu yang berbincang di antara kenalan mereka.

Dari pembicaraan yang didengar Seng Liong Sen, ada tamu mengatakan, Wan-yen Ong-ya mengirim utusan untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Ada juga yang bilang kagum pada Gak Liang Cun. Dia mendapat perhatian dari sang pangeran. Padahal dulu atasan Gak Liang Cun berulang tahun, tapi dia tidak mendapat perhatian seperti Gak Liang Cun.

Entah karena lama menunggu tuan rumah muncul, kebanyakan tamu mengira tuan rumah sedang sibuk menyambut utusan dari Wan-yen Tiang Cie. Dalam waktu singkat mungkin belum bisa keluar untuk menyambut mereka. Maka itu para tamu yang merasa kesal bersama- sama keluar ruangan dan mereka menuju ke taman di belakang gedung. Di tempat ini mereka menyaksikan berbagai tontonan, seperti wayang orang, wayang kelitik dan tontonan lain yang sengaja didatangkan memeriahkan pesta.

Bukan saja para tamu yang lain, Seng Liong Sen pun sudah kesal. Bahkan dia sudah dongkol karena lama menunggu. Maka Seng Liong Sen pun ikut ke taman bersama  tamu-tamu  lain.  Suasana  pesta  sangat  meriah. Suara orang bicara pun ramai sekali hingga sulit ditangkap apa yang sedang mereka bicarakan.

Di panggung pertunjukan terdengar suara anak wayang menyanyi, suaranya mengingatkan Seng Liong Sen pada seseorang.

"Ah, bukankah itu suara isteriku, Giok Hian?" pikir Seng Liong Sen terperanjat.

Buru-buru Seng Liong Sen mendekat ke arah panggung untuk melihat lebih jelas, apakah benar itu suara isterinya? Dengan susah-payah Seng Liong Sen menyelinap di antara penonton yang berjubel berdesakan. Dari jauh dia sudah melihat seorang penyanyi sedang bernyanyi membawakan cerita "See-siang-kie" sebuah kisah roman yang terkenal. *)

*). See Siang Kie atau "Peristiwa Di Kamar Barat" roman klasik yang manis zaman Tang. Tak lama lagi buku ini akan diterbitkan oleh Penerbit Marwin.

Seng Liong Sen agak sangsi solah ketika itu dia sedang bermimpi. Karena memang benar orang itu Ci Giok Hian adanya. Jadi dia tidak sedang bermimpi.

"Heran, benarkah dia Giok Hian? Kenapa dia mau main sandiwara di tempat ini? Atau aku cuma salah lihat karena secara kebetulan wajah nona itu sama dengan wajah isteriku?" pikir Seng Liong Sen sangsi bukan main.

Memang sudah lama dia terkenang, bahkan siang dan malam dia mengenang isterinya dan ingin melihat wajah isterinya yang cantik itu. Tetapi sesudah bertemu dia terkesima dan bingung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang?

Saat di atas panggung terdengar suara yang merdu, dan gerak yang lincah memainkan tokoh si cantik, Ci Giok Hian mendapat tepuk-sorak dari penonton. Macam-macam teriakan penonton, ada yang memuji kecantikannya, malah ada yang berani menggoda. Siapa tahu nona di atas panggung itu tertarik oleh godaannya.

Ci Giok Hian memang tinggal di Pek-hoa-kok atau di wilayah Yang-ciu, tapi karena dia jarang keluar rumah ditambah lagi sekarang dia berdandan sebagai anak wayang dan tidak ada orang yang mengenali, kecuali Seng Liong Sen, suaminya!

"Eh, jangan-jangan Giok Hian bermaksud melakukan sesuatu sepertiku?" begitu yang ada di benak Seng Liong Sen.

Teriakan-teriakan penonton yang semakin histeris menggoda Ci Giok Hian membuat suara semakin riuh saja. Penonton hampir sulit dikendalikan sesama penonton mereka saling dorong.

Tiba-tiba muncul seorang pelayan menghampiri Ci Giok Hian.

"Nona Seng, hu-jin (nyonya rumah) meminta kau menyanyi di belakang!" kata pelayan itu.

"Baik," kata Ci Giok Hian.

Tak lama Ci Giok Hian berjalan mengikuti pelayan itu ke ruang belakang. Tanpa terasa Seng Liong Sen terus mengikuti rombongan isterinya ke ruang belakang.

Seng Liong Sen senang bukan kepalang saat mendengar Ci Giok Hian "dipanggil nona Seng" itu berarti "di hati" Ci Giok Hian masih ada kenangan atas dirinya.

Orang yang berdesakan mendorong kian-kemari, hingga Seng Liong Sen pun jadi terdorong kian-kemari. Dia dongkol lalu orang yang mendesak dia hajar dengan kepalannya. "Duuk!"

"Aduh! Aduh!" teriak orang itu.

Saat dia awasi orang yang memukulnya, orang itu langsung memaki.

"Dasar setan muka jelek! Kau mau merebut si cantik, ya?" kata orang itu.

Ketika itu wajah Seng Liong Sen genas bukan main, tetapi dia tidak meladeni orang itu. Ketika kepalanya sedikit pening. Tiba-tiba ada suara sangat tajam bicara dekatnya.

"Ingat akan pesan Khie Lo-cian-pwee, kau lindungi Gak Liang Cun! Orang yang harus kau bunuh cuma isteri keduanya!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar