Beng Ciang Hong In Lok Jilid 44

 
Seng Liong Sen tahu gurunya ahli tiam-hiat, tapi jurus yang dipakai Wan-yen Hoo tak dikenalinya. Sekarang Seng Liong Sen tak berani menganggap remeh totokan lawan itu. Tapi kelihatan Wan-yen Hoo sangat bernapsu ingin menjatuhkan lawannya. Seng Liong Sen kaget saat jari Wan-yen Hoo menyentuh tubuhnya, dia langsung kesemutan. Untung Wan-yen Hoo belum mahir sekali, hingga serangannya belum lihay sekali.

Melihat musuh keterlaluan ingin menjatuhkannya, Seng Liong Sen panas juga. Dia keluarkan seluruh kepandaiannya. Tangannya bergerak dengan cepat sekali. Tiba-tiba terdengar suara kain yang robek. Ternyata pakaian yang dikenakan Wan-yen Hoo robek bagian dadanya. Tapi tak lama terdengar suara keras.

"Buuk!"

Seng Liong Sen mundur terdorong oleh pukulan lawan. Terlihat Seng Liong Sen sempoyongan. Saat itu Wan-yen Hoo melompat. Sebelum Seng Liong Sen roboh ke tanah, dia sempat menahannya. Seng Liong Sen terjatuh tak berdaya. "Maaf, Seng Siauw-hiap!" kata Wan-yen Hoo sambil tertawa.

Seng Liong Sen berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk membuka totokan lawan. Namun sia-sia saja sampai Wan-yen Hoo menolonginya.

"Ternyata kau lebih lihay, Saudara Yan!" kata Liong Sen sambil menunduk malu.

"Bukan itu masalahnya," kata Wan-yen Hoo. "Aku bukan lebih lihay, tapi aku kira kau pun tahu sebabnya!"

Seng Liong Sen tidak mengerti apa maksud Wan-yen Hoo berkata begitu.

"Tolong Anda jelaskan, aku tidak mengerti," kata Liong Sen.

"Ilmu totokmu lihay, tapi tenaga dalammu yang kurang bagus," kata Wan-yen Hoo. "Jika tenaga dalammu kuat, mungkin aku sudah roboh olehmu. Tapi sayang. "

"Apa yang sayang?" tanya Liong Sen penasaran.

"Tapi maaf jika aku bicara terus-terang padamu," kata Wan-yen Hoo. "Barangkali tenaga kelelakianmu telah hilang entah gara-gara apa? Tapi ah, sudahlah tak perlu kukatakan lagi. "

"Kau benar," kata Seng Liong Sen dengan malu-malu. "Tapi aku tak tahu apa kau tahu bagaimana akibatnya nanti?"

"Sekarang coba kerahkan tenagamu ke perut, apa ada perasaan aneh tidak?" kata Yan Hoo alias Wan-yen Hoo.

Saat dia mencoba mengerahkan tenaganya ke perut, keringat dingin Seng Liong Sen bercucuran. Dia kaget bukan kepalang. "Heran sekali," kata Seng Liong Sen. "Baru sekarang aku merasa begini! Coba kau katakan, kenapa begini?"

Wan-yen Hoo berbisik.

"Ini akibat ada yang salah dari anggota tubuhmu!" bisik Wan-yen Hoo. "Akibatnya kau bisa lumpuh total!"

Bukan main kagetnya Liong Sen mendengar keterangan itu.

"Tapi ini baru gejala saja. Akibatnya akan dirasakan tiga tahun lagi," kata Wan-yen Hoo menambahkan. "Aku heran permusuhan apa di antara kalian, hingga begitu kejinya orang yang mengerjaimu?"

"Jika Wan-yen Hoo tahu penyakitku, maka aku yakin Wan-yen Hoo bisa mengobatiku!" pikir Seng Liong Sen.

Tetapi dia malu untuk berterus-terang, hingga sampai saat itu dia tutupi rahasia pribadinya itu. Sekarang terpaksa dia harus berterus-terang pada sahabat barunya ini.

"Orang yang mencelakakan aku itu, dia seorang budak Bibiku. Terus-terang dia mencintaiku secara sepihak,  Dialah pelakunya hingga aku... aku jadi tidak bisa melakukan kewajiban sebagai suami. Jika kau tahu cara mengobatinya, aku mohon petunjukmu. Aku akan bereterima kasih sekali padamu!" kata Seng Liong Sen.

"Jangan berkata begitu, aku akan berusaha, hanya..." "Hanya apa? Katakan saja!" desak Seng Liong Sen.

"Kau pernah dengar nama obat Thian-sim-ciok dari Sengsiok-hay di Kun-lun-san?" kata Wan-yen Hoo.

Seng Seng Liong Sen bingung karena dia baru mendengar nama obat itu.

"Belum pernah," kata Liong Sen terus terang. "Obat itu sangat sulit, sekalipun khasiatnya lambat, tapi jika diminum secara teratur pasti akan pulih penyakitmu itu!" kata Wan-yen Hoo.

"Benarkah? Apa kau punya obat itu?"

"Sekarang aku tidak punya, jika mau bisa kita cari," kata Wan-yen Hoo. "Tapi tempat itu jauh dari sini. Apa kau mau ke sana atau tidak?"

"Di mana itu?"

"Di Tay-toh, di negeri Kim!" jawab Wan-yen Hoo. "Obat itu milik raja Kim dan ada di istananya!"

"Jadi kau.... Kau...." Liong Sen tak meneruskan katakatanya.

"Benar, aku pangeran Kim, sheku Wan-yen. Putera Wan-yen Tiang Cie!" kata Wan-yen Hoo.

'Jadi kau. " Lagi-lagi kata-kata Liong Sen terputus.

"Tenang! Bukankah Tam Yu Cong juga pangeran Kim?" kata Wan-yen Hoo. "Sekali pun Ayahku panglima perang, aku tidak ikut campur urusan pemerintah. Aku lebih senang bergaul dengan orang yang cocok denganku."

"Setahuku Tam Yu Cong membantu bangsa Han, tapi kau siapa?" pikir Seng Liong Sen.

"Orang tidak ada yang tahu aku ini siapa, kecuali Paman Jen. Sekarang karena kau sahabatku aku berterus-terang padamu," kata Wan-yen Hoo.

"Terima kasih atas kepercayaanmu, tapi mana boleh aku bergaul denganmu, kau seorang pangeran," kata Seng Liong Sen.

"Kau sendiri murid jago ternama, jika kau bergaul denganmu  malah  kau  yang  rugi!"  kata  Wan-yen  Hoo. "Begini saja, jika keberatan pergi bersama-sama, kau boleh datang sendiri ke Tay-toh (Bei-jing atau Pak-khia). Kau akan kuberi alamat yang sangat rahasia!"

"Maaf, aku tidak bisa pergi, tak apa jika penyakitku tak bisa disembuhkan, ini sudah takdirku," kata Seng Liong Sen.

"Tak perlu kau putus asa, kau punya isteri yang cantik, ingat itu!" kata Wan-yen Hoo membujuknya.

"Dia benar, isteriku cantik. Jika mati aku bisa jadi penasaran!" pikir Seng Liong Sen.

"Kau seorang Bu-lim Beng-cu," kata Wan-yen Hoo lagi. "Jika kau sampai lumpuh, wah sayang sekali! Aku tahu bibimu memang ahli racun, tapi kau jangan terlalu berharap kepadanya. Apalagi sekarang dia ada di tangan Kiong To- cu yang lihay! Pikirkan itu!"

Seperti kaget Seng Liong Sen berpikir keras.

"Dia seolah bisa menebak rencana kedatanganku. Jika sampai dia menyebar luaskan soal kelemahanku, wah bisa berabe aku! Apakah aku terima saja tawarannya? Jika aku terima, pasti dia akan minta imbalan dariku entah imbalan apa?" begitu Seng Liong Sen berpikir.

Melihat Seng Liong Sen bingung, Wan-yen Hoo seperti tahu apa yang ada di otak Seng Liong Sen.

"Aku tahu kau takut rahasiamu itu tersebar di luaran, kan? Aku jamin, aku ini sahabatmu aku tidak akan menyiarkannya" kata Wan-yen Hoo.

Sesudah berpikir sejenak akhirnya Liong Sen berkata pada orang Kim itu. "Baiklah, kita bicara terus terang. Imbalan apa yang kau inginkan dariku?" kata Seng Liong Sen.

Wan-yen Hoo tertawa. Sebenarnya bukan karena pengetahuan Wan-yen Hoo luar biasa, sehingga dia tahu rahasia Seng Liong Sen. See-bun Chu Sek itu keponakan See-bun Souw Ya. Dari dialah Wan-yen Hoo mengetahui tentang Kiong Cauw Bun berhasil memboyong Seng Cap-si Kouw. Sedangkan tentang penyakit Seng Liong Sen diketahuinya dari Han Hie Sun. Dia tahu dari gurunya dan pernah menawarkan Ci Giok Hian kepada Han Hie Sun untuk dijadikan isterinya. Wan-yen Hoo tidak mengira kalau hal itu sekarang sangat berguna baginya.

Sebenarnya penyakit "impotent" yang diderita Seng Liong Sen tak ada hubungannya dengan tenaga dalamnya. Tapi rasa sakit di perut Seng Liong Sen akibat totokan Wan-yen Hoo. Semua itu hanya bualan orang Kim ini saja.

"Jangan sungkan, aku ini sahabatmu," kata Wan-yen Hoo sambil tertawa.

"Jika kau tak mau berterus-tterang aku juga tak berani menerima pertolonganmu," kata Seng Liong Sen.

"Baiklah, kalau begitu aku akan berterus-terang," kata Wan-yen Hoo. "Ada sesuatu benda yang aku inginkan."

Mendengar orang Kim itu menginginkan sesuatu barang, hati Liong Sen lega. Itu berarti dia tidak pelu berkhianat pada guru maupun sahabat-sahabatnya bangsa Han.

"Benda apa itu? Coba kaujelaskan!" kata Seng Liong Sen. "Aku perlu payung besi milik Kong-sun Po!" kata Wan-yen Hoo.

"Jadi kau ingin payung orang itu, tapi...." Seng Liong Sen tak meneruskan kata-katanya. "Kenapa?" tanya Wan-yen Hoo. "Kau keberatan?"

"Bukan! Bukan aku keberatan, masalahnya aku tak tahu entah di mana dia sekarang? Ditambah lagi dia lihay, mungkin bukan lawanku?" kata Seng Liong Sen.

Wan-yen Hoo tertawa terbahak-bahak.

"Kau tidak jujur, Saudara Seng!" kata Wan-yen Hoo. "Maksudmu?" kata Seng Liong Sen.

"Hm! Bukankah tadi siang kau bersamanya? Masakan kau tak tahu dia ada di mana?" kata Wan-yen Hoo.

Sedikitpun Seng Liong Sen tak mengira, informasi tentang kedatangannya telah diketahui Wan-yen Hoo dari Jen Thian Ngo. Sedangkan Jen Thian Ngo tahu masalah itu dari anak buahnya yang ditemui oleh orang she Han yang dilepaskan oleh Kong-sun Po. Mendengar keterangan Wan- yen Hoo yang rinci, Seng Liong Sen jadi gelagapan dan serba-salah.

"Ternyata kau lebih cepat nendapat informasi yang akurat," kata Seng Liong Sen. "Tadi siang memang aku bertemu dengannya! Tetapi..."

"Tetapi apa lagi?" kata Wan-yen Hoo. "Kau takut padanya?"

"Dia dan aku punya hubungan, kakek Kong-sun Po guru Ciu Cioh, sedang Ciu Cioh guru Kong-sun Po..." kata Seng Liong Sen.

"Semua itu aku sudah tahu!" kata Wan-yen Hoo. "Kau jangan takut, Kong-sun Po hanya sendirian. Jika kita bunuh siapa yang tahu? Karena dia lihay mungkin aku bukan tandingannya. Tapi dia temanmu. Mala itu dia tidak akan curiga jika kau temui. Saat dia lengah kau totok dia, beres kan? Jika kau gagal ada aku dan Jen Lo-cian-pwee. Ingat itu!"

"Apa, kau bilang Jen Thian Ngo ikut. "

"Ya, aku sudah bicara terus terang padanya," kata Wan- yen Hoo.

Bukan main kagetnya Seng Liong Sen, hingga keringat dingin membasahi tubuhnya.

"Apakah tindakan kita tidak terlalu kejam?" kata Liong Sen.

"Kenapa? Sepengetahuanku, dia bukan sahabat karibmu, aku tahu itu! Apa kau mau mengorbankan masa depanmu sendiri?" kata Wan-yen Hoo.

"Ah, dia sudah bersekongkol dengan Jen Thian Ngo. Jika ajakannya aku tolak, ini berbahaya bagiku dan isteriku!"pikir Seng Liong Sen.

Sesudah lama berpikir akhirnya Seng Liong Sen mengangguk. "Baiklah," kata dia.

Wan-yen Hoo tertawa senang.

"Nah, begitu itu namanya kau sahabat baikku!" kata Wan – yen Hoo.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Wan-yen Hoo memang jahat, selain menginginkan payung Kong-sun Po, dia juga ingin memiliki Negara Song seluruhnya. Tapi dia juga ngeri oleh perlawanan para patriot bangsa Han. Oleh karena itu dia butuh dukungan, misalnya dari orang yang seperti Seng Liong Sen dan orang Han yang tega menjual negaranya pada bangsa asing.

Maka itu dia berusaha memancing Seng Liong Sen agar mau datang ke Tay-toh (Bei-jing). Di sana dia akan memaksa pemuda itu agar tunduk kepadanya. Apalagi rahasia pribadi Seng Liong Sen, terutama tentang penyakit impotentnya. Dwngan demikian Seng Liong Sen bisa diancam dengan mengatakan, dia akan membuka rahasianya di depan umum. Pemuda itu pasti ketakutan. Jika Seng Liong Sen sudah tunduk, dia bisa dijadikan mata- mata bangsa Kim di tengah para patriot bangsa Han.

Di tempat lain Jen Hong Siauw menemani Ci Giok Hian. Nona Ci tidur bersama Kiong Mi Yun dan Hong Siauw. Dengan demikian mereka bertiga bisa berbincang- bincang dengan leluasa.

Sebenarnya Ci Giok Hian kecewa karena ditemani Hong Siauw, jadi dia tidak bisa bicara empat mata dengan Kiong Mi Yun. Maka itu saat mereka di tempat tidur, Ci Giok Hian hanya bercerita tentang masa kecil dan petualangannya di kalangan kang-ouw. Itu pun bukan yang penting-penting, tapi soal biasa saja.

"Dulu saat kita masih kecil, kau senang wangi dupa Liongyan-hiang. Aku pernah memberimu sebungkus. Apa kau masih punya sisanya?" kata Giok Hian.

"Ah, aku hampir lupa, dupa itu sangat harum, mencium harumnya terkadang aku tertidur lelap," kata Hong Siauw.

"Karena aku sayang dan harganya mahal, tapi sekarang aku lupa di mana aku menyimpannya? Ah, aku ingat di kamar baca, baik akan kuambil dulu dupa itu, ya!"

Sesudah Jen Hong Siauw pergi, Ci Giok Hian mendekati Kiong Mi Yun dan berkata dengan perlahan. "Mi Yun," bisik Ci Giok Hian, "totok aku!" Kiong Mi Yun bingung.

"Kenapa?" tanya Kiong Mi Yun.

"Jangan banyak bertanya, lekas kau totok aku sesudah itu kau harus segera kabur dari sini," bisik Ci Giok Hian.

"Tidak! Sebelum kau bicara jelas aku tak mau. Kenapa aku harus menotokmu dan lari?" bisik Mi Yun.

"Ada orang yang akan mencelakakan kau," bisik Giok Hian.

"Siapa?"

"Jangan banyak bertanya, kerjakan perintahku!" bisik Giok Hian. "Jika ayal-ayalan bisa terlambat!"

"Teima kasih, tapi aku tidak mau pergi," bisik Mi Yun.

Saat itu Kiong Mi Yun berpikir orang yang ingin mencelakakan dia itu Jen Thian Ngo. Jika dia tentu dia sudah tahu. Saking gugup dan terburu-burunya, akhirnya Ci Giok Hian membuka rahasia. Melihat Kiong Mi Yun tak mengindahkan peringatannya, Giok Hian heran.

"Kakak Mi Yun, orang yang akan mencelakakanmu itu dia suamiku!" bisik Ci Giok Hian.

Mata Giok Hian mengeluarkan air mata.

"Oh, kiranya begitu!" Mi Yun baru sadar. "Ah, kau baik sampai kau sampai berani menentang keinginan suamimu!"

Sambil menyeka air matanya Giok Hian mendesak MiYun.

"Semua kuberitahu padamu, kenapa kau tak segera pergi?" kata Giok Hian. "Aku bukan tak mau, tapi bagaimana aku bisa keluar dari sini?" kata Kiong Mi Yun.

"Kenapa?" bisik Ci Giok Hian.

"Di rumah ini dipasang berbagai alat rahasia, kita bisa keluar jika Hong Siauw mau membantu kita!" bisik Kiong Mi Yun.

"Tidak mungkin, mana mau dia menentang ayahnya!" bisik Ci Giok Hian yang jadi bingung sendiri.

"Memang aku juga ragu apa dia mau membantuku atau tidak, jika dia mau sudah lama aku kabur dari sini!" kata Mi Yun dengan suara perlahan.

"Kalau begitu ayo kita lari bersama, kita hadapi bahaya itu bersama-sama!" bisik Ci Giok Hian.

"Jangan! Aku tak ingin hubungan kau dengan suamimu retak! Selain itu aku yakin kau juga tidak tahu tentang perangkap yang dipasang oleh tuan rumah," kata Kiong Mi Yun. "Jika kita kabur pun akan sia-sia saja!"

"Jangan pedulikan suamiku, aku tak suka pada orang seperti dia!" kata Ci Giok Hian.

"Jika kau tak berkata begitu aku tak berani berterus- terang. Semula aku juga heran, kenapa suamimu mau bersekongkol dengan JenThian Ngo?" kata Kiong Mi Yun.

"Terus-terang dia tidak bersekongkol dengannya, tapi dia punya rencana lain," kata Ci Giok Hian. "Sebenarnya,. ah

sulit kukatakan. Sebenarnya dia tak ingin mencelakaimu, dia hanya akan menyanderamu dan menemui ayahmu, lalu mengadakan tukar-menukar kau dengan bibinya!"

Kiong Mi Yun berpikir tidak pantas ayahnya menawan Seng Cap-si Kouw, sekalipun wanita itu jahat. Seng Liong Sen  akan  menyandera  dia,  ini  pun  perbuatan  tidak baik, maka itu dia pikir ada rencana lain di benak suami Giok Hian?

Akhirnya nona Kiong berbisik.

"Baik, karena kau menyelamatkan aku, jika kita bisa lolos dari sini, aku akan memohon pada Ayahku agar dia membebaskan bibi suamimu!" kata Kiong Mi Yun.

"Apalagi kau punya cara untuk melolos dari sini?" bisik Ci Giok Hian.

"Kita coba saja, siapa tahu berhasil," kata Mi Yun. "Jika Hong Siauw kembali, kita bicara terus terang dengannya. Dia dan ayahnya berbeda jauh. Aku juga akrab dengannya. Siapa tahu dia mau menolong kita!"

"Bagaimana jika dia menolak, bukankah ini bisa semakin kacau," kata Giok Hian. "Tapi tak ada salahnya jika kita coba!"

Hari semakin malam sedang nona Jen tak muncul- muncul juga.

Dikisahkan saat nona Jen akan ke kamar baca, dia harus melintasi taman. Saat sampai di taman dia dengar ada dua lelaki sedang bicara. Dia kenal itu suara Wan-yen Hoo dan Seng Liong Sen. Karena ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan, nona Jen mengendap-endap mendekati mereka secara diam-diam.

"Akan kudengarkan, apa yang mereka bicarakan. Nanti akan kukageti mereka!" begitu pikir nona Jen.

Mendengar pembicaraan Wan-yen Hoo yang sengaja membuka rahasia dirinya, Jen Hong Siauw terkejut. Dia dengar bagaimana liciknya Wan-yen Hoo memperdaya suami Ci Giok Hian. Apa yang dia dengar Wan-yen Hoo bicara. "Terus-terang, aku pangeran kerajaan Kim, Ayahku Wan-yen Tiang Cie!" kata-kata itu membuat Hong Siauw terperanjat. Kata lain yang membuat dia bertambah kaget, katanya ayahnya pun komplotan Wan-yen Hoo. Saat itu tangan dan kaki nona Jen dingin dan sedikit gemetar.

"Tidak mungkin, apa benar Ayahku seorang pengkhianat?" pikir nona Jen Hong Siauw.

Dia tahu ayahnya terhormat di kalangan kang-ouw. Tapi apa yang dia dengar dari mulut calon suaminya, pasti  bukan omong kosong belaka. Malah saat sebulum masuk ke kamar, dia memang melihat orang she Li menemui ayahnya. Dia benci pada Li Jie Koay. Dia tahu orang she Li itu jahat. Dia

mendengar kalau ayahnya membicarakan soal payung pusaka. Sesudah mendengar pembicaraan Wan-yen Hoo yang meminta agar Seng Liong Sen merampas payung dari Kong-sun Po, Hong Siauw bertambah yakin ayahnya berkomplot dengan orang-orang jahat itu.

Tak lama Hong Siauw mendengar Wan-yen Hoo bicara lagi.

"Mari kita berangkat, pasti si dungu itu sedang menunggumu, ada tempat yang bagus untuk menghabisi dia. " kata Wan-yen Hoo.

"Baik," jawab Liong Sen.

Lalu keduanya meninggalkan tempat itu.

Sesudah keadaan sunyi kembali, Hong Siauw mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar-debar.

"Ah, jadi Ayahku itu orang jahat!" pikir Jen Hong Siauw. Tanpa berpikir lagi dia lari ke kamarnya. Saat itu Ci Giok Hian dan Kiong Mi Yun sedang menunggu Hong Siauw kembali ke kamarnya. Melihat Hong Siauw muncul sambil lari, keduanya kaget. Begitu masuk dia langsung menangis.

"Eh, kenapa kau menangis. Kalau dupa itu hilang, sudah saja jangan kau pikirkan," kata Ci Giok Hian.

"Bukan soal dupa," kata nona Jen.

"Laku apa?" kata Kiong Mi Yun mencoba menghibur. "Coba tenangkan hatimu, dan ceritakan apa yang terjadi pada kami!"

"Masalah ini tak boleh ayal-ayalan, lekas kau tinggalkan tempat ini Kiong Cici!" kata Jen Hong Siauw.

Memang semula akan minta tolong pada Hong Siauw, malah sekarang Hong Siauw yang menawarkan pertolongan itu tanpa diminta lagi.

"Kami memang mau pergi, tapi...." Kiong Mi Yun tak meneruskan kata-katanya.

"Aku tahu, jangan takut! Kalian akan kuantar keluar dari sini!" kata nona Jen Hong Siauw.

"Aku juga ikut kalian!" kata Ci Giok Hian.

"Benar, aku tahu suamimu.... Ah sudah nanti saja kuceritakan!" kata Jen Hong Siauw.

"Rupanya dia sudah tahu sifat suamiku?" pikir Giok Hian.

Atas petunjuk Jen Hong Siauw mereka berhasil meloloskan diri dari rumah Jen Thian Ngo. Sesampai di atas gunung Kiong Mi Yun dan Ci Giok Hian mengucapkan terima kasih pada Jen Hong Siauw.

"Silakan kau pulang!" kata Ci Giok Hian. "Aku tidak mau pulang!" kata nona Jen.

"Tapi nanti ayahmu marah?" kata Ci Giok Hian.

"Aku tidak peduli padanya, aku juga tak ingin bertemu lagi dengannya," kata nona Jen.

"Kenapa?" tanya Kiong Mi Yun.

"Kong-sun Po berada di sekitar hutan ini, mereka akan mencelakakan dia! Ayo kita harus mencarinya!" kata Hong Siauw.

Di suatu tempat Kong-sun Po sedang menunggu kedatangan Seng Liong Sen dengan tak sabar. Sekalipun dia sudah menyalakan api unggun, tapi Seng Liong Sen tak muncul-muncul. Tentu saja Kong-sun Po jadi gelisah.

Tiba-tiba terdengar suara daun terpijak kaki orang. Tak lama Seng Liong Sen tiba sambil tertawa

"Saudara Kong-sun, sudah lama kau menungguku? Aku membawa kabar baik," kata Seng Liong Sen.

"Kau sudah bertemu dengannya, bagaimana apa kalian bisa menolonginya?" tanya Kong-sun Po'

"Jangan kuatir dia sudah keluar dari rumah Jen Thian Ngo!" kata Liong Sen.

"Di mana dia sekarang?" tanya Kong-sun Po girang. "Aku disuruh isteriku memberi tahumu, bahwa malam

ini nona Kiong dan dia akan melarikan diri. Mereka menunggumu di sebelah barat hutan ini!" kata Liong Sen.

Tanpa banyak curiga bagaimana Liong Sen dan isterinya bisa begitu cepat membebaskan kekasihnya. Kong-sun Po langsung mengucapkan terima kasih pada Seng Liong Sen.

"Bagus sekarang mari kita susul mereka, tolong kau tunjukkan jalannya," kata Kong-sun Po. Seng Liong Sen girang karena tipu-muslihatnya berhasil.

Lalu dia menunjuk ke arah barat.

"Mereka sedang menunggu kita di sana. Tapi sebaiknya kita ambil jalan berputar supaya tidak kepergok musuh!" kata Seng Liong Sen.

Tanpa pikir panjang Kong-sun Po yang ingin segera bertemu dengan kekasihnya, dia berjalan di depan diikuti Seng Liong Sen. Tak lama mereka sampai di sebuah jalan sempit yang berbahaya. Jalan itu berada di tebing gunung, jurangnya curam sekali.

Saat tiba di tempat itu jantung Seng Liong Sen berdebar. "Sampai di jurang, kau dorong dia ke jurang! Begitu

pesan Wanyen Hoo kepadanya.

Tapi aneh sampai di sini Seng Liong Sen malah ragu- ragu. Dia tak tega melakukan pembunuhan demikian keji. Dia pikir itu perbuatan manusia rendah. Tiba-tiba dia berpikir lain.

"Wan-yen Hoo dan Jen Thian Ngo telah bergabung, jika aku tak membunuhnya pasti mereka tak membiarkan aku lolos!" pikir Seng Liong Sen. "Celaka aku ini!"

Kong-sun Po yang merasa terlalu cepat berhenti menunggu Seng Liong Sen. Dia berkata pada sang kawan.

"Hati-hati Seng Siauw-hiap, jalannya licin!" kata Kong- sun Po.

Saat dia berhenti, ternyata Seng Liong Sen sudah ada di belakang Kong-sun Po.

"Terima kasih atas perhatianmu, aku juga hati-hati. Jalan di pegunungan memang begini," kata Seng Liong Sen. Sambil bicara suami Ci Giok Hian menotok Kong-sun Po. Tiba-tiba Kong-sun Po merasa sedikit kesemutan, lalu berkata pada kawan-nya.

"Apa yang kau lakukan, saudara Seng?" kata Kong-sun Po.

Untung Kong-sun Po tak sampai jatuh ke jurang.

Saat Seng Liong Sen menotok jantungnya berdebar, hingga tangannya agak gemetar. Sasaran totokannya jadi meleset, sehingga Kong-sun Po tidak terkena telak oleh totokannya. Semula Seng Liong Sen hendak mendorong Kong-sun Po ke jurang. Tapi karena tidak tega dia asal totok saja.

Sekarang Kong-sun Po sudah bisa berdiri tegak kembali. "Apa yang kau lakukan, saudara Seng?" kata Kong-sun

Po.

"Benar, aku pun ingin bertanya begitu!" kata suara seseorang.

Saat diawasi Kong-sun Po mengenali orang yang bicara itu Wan-yen Hoo.

Rupanya orang Kim itu sudah lama ada di situ sedang bersembunyi sebelum Kong-sun Po dan Seng Liong Sen tiba. Sesudah itu Wan-yen Hoo melompat, pedangnya di arahkan kepada Kong-sun Po.

"Kenapa Liong Sen ingin membunuhku?" pikir Kong-sun Po. Tapi karena pedang Wan-yen Hoo sudah tiba, Kong- sun Po tak sempat berpikir lebih jauh. Dia tak sempat untuk berkelit, tapi dia merasakan dadanya tertusuk pedang lawan. Tapi Kong-sun Po cukup lihay, sebelum pedang lawan menembus lebih dalam, dia sudah mengelak dan tangan yang satu dipakai menepis pedang, sedang tangan kanannya mencengkram tangan Wan-yen Hoo yang memegang pedang.

Di luar dugaan Wan-yen Hoo pun lihay. Dia tahu jika tusukannya gagal, lawannya akan membalas, maka itu dia tarik pedangnya. Lalu ditusukkan ke sasaran lain. Pukulan Kong-sun Po datang, dia gunakan tangannya menangkis serangan Kong-sun Po.

Saat kedua tangan mereka beradu, Kong-sun Po terdorong mundur beberapa langkah. Sedang Wan-yen Hoo pun terdorong mundur. Melihat Liong Sen diam saja seperti terpesona, Wan-yen Hoo membentak.

"Liong Sen kenapa diam, ayo maju lagi!" kata Wan-yen Hoo.

Saat itu Wan-yen Hoo sudah menusukkan pedangnya, tapi Kong-sun Po menangkis dengan membuka payungnya. Tak lama terdengar benturan keras, lelatu api pun memancar. Sekarang Kong-sun Po sudah bergeser menjauhi tebing jurang yang curam.

Seng Liong Sen yang baru diperingati oleh Wan-yen Hoo sudah maju menyerang, hingga Kong-sun Po kaget.

"Seng Liong Sen, apa kau tahu siapa dia?" kata Kong-sun Po.

"Pasti dia tahu!" ejek Wan-yen Hoo. "Jika tidak mana mau dia menyerangmu? Ayo serang lagi!"

"Keterlaluan, jika kau tahu siapa dia, kenapa seorang murid Bu Tay-hiap bersekongkol dengan bangsa Kim?" kata Sun Po.

"Tapi mertuamu mengurung Bibiku, kau tahu tidak?" bentak Seng Liong Sen. Saat itu mata Kong-sun Po mendelik ke arah Seng Liong Sen sambil mengawasinya dengan tajam. Saat Seng Liong Sen berpaling tak berani beradu mata dengan Kong-sun Po.

"Jika benarpun, apa hubungannya denganku?"kata Sun Po.

"Kau menantunya, kenapa tak ada hubungannya?" kata Seng Liong Sen.

"Sebagai Beng-cu kau tak pantas bergabung dengan bangsa Kim dan kau berniat mencelakaiku!" kata Kong-sun Po.

Wan-yen Hoo tertawa, dia mengejek.

"Dari siapa kau tahu mereka musuhku, justru mereka kawan lama kami," kata Wan-yen Hoo.

"Liong Sen..." tapi sebelum Kong-sun Po selesai bicara, Liong Sen memotongnya.

"Tutup mulutmu! Tadi tidak kudorong kau ke jurang pun, seharusnya kau bersyukur!" kata Seng Liong Sen.

Kong-sun Po memang sadar, jika mau tadi Liong Sen mendorongnya ke jurang. Mungkin karena dia ragu dia tak jadi mendorong Kong-sun Po.

"Apa maumu, Liong Sen?" kata Kong-sun Po.

"Aku akan menukarkan kau dengan Bibiku!" jawab Liong Sen.

Dia menyerang sambil berkata pada Wan-yen Hoo. "Wan-yen  Kong-cu  sebaiknya  kita  tangkap  dia  hidup-

hidup, lalu musnahkan ilmu silatnya!" kata Seng Liong Sen.

Tapi Wan-yen Hoo tampak cemas. Dia heran kenapa Jen Thian Ngo yang katanya akan membantu tapi tak munculmuncul? Akhirnya Wan-yen Hoo mengalah.

"Baiklah, Kong-sun Po jika kau mau selamat menyerahlah!" kata Wan-yen Hoo.

"Jika kalian mampu silakan bunuh, aku tak akan menyerah pada kalian, hai manusia-manusia busuk!" kata Kong-sun Po.

"Kau dengar Liong Sen, berarti kau juga termasuk manusia busuk!" kata Wan-yen Hoo memanasi hati Seng Liong Sen. "Apa kau tak ingin membunuhnya?"

Mendengar ucapan itu Seng Liong Sen jadi kalap dan nekat. Maka itu dia maju menyerang. Totokkan Seng Liong Sen bagaimanapun berpengaruh juga. Sedangkan dua  lawan Kong-sun Po bukan orang biasa. Mereka lihay semua.

Dugaan Kong-sun Po benar lama-lama dia mulai terdesak dikeroyok dua orang itu. Ditambah lagi dia berada di tepi jurang, jika salah injak dia akan terjatuh ke dalam jurang.

"Hai bocah, sebaiknya terima usul Seng Liong Sen, menyerah saja!" Wan-yen Hoo membujuk.

Hati pangeran ini tak tenang. Dia merasa heran kenapa Jen Thian Ngo belum datang juga. Dia juga takut jika Kong-su Po nekat, bukan tak mungkin mereka berdua akan jatuh ke dalam jurang bersama Kong-sun Po.

Tetapi Kong-sun Po tidak menghiraukan ocehan pangeran Kim itu, dia terus bertahan sambil melakukan perlawanan sebisanya. Keberanian dan kenekatan Kong- sun Po ini membuat kedua lawannya bingung bukan kepalang. Dikisahkan tiga orang nona, Kiong Mi Yun, Jen Hong Siauw sebagai petunjuk jalan dan Ci Giok Hian sudah jauh meninggalkan rumah Jen Thian Ngo. Mereka bertiga bergegas hendak menolongi Kong-sun Po yang berada dalam bahaya.

"Aku dengar mereka bilang Kong-sun Po menunggu di sekitar sini," kata Jen Hong Siauw.

Tak lama mereka melihat ada api unggun. "Lihat di sana ada api!" kata Jen Hong Siauw.

Mereka menuju ke api unggun itu, tapi Kong-sun Po tak ada di sana. Ci Giok Hian mencoba berkonsentrasi, sesudah itu dia mengajak kedua kawannya.

"Ikuti aku, aku seperti mendengar suara senjata," kata Ci Giok Hian.

Mereka terus menyusuri hutan. Tak lama Giok Hian berkata lagi.

"Benar itu suara senjata!" katanya.

Mereka bergegas menuju ke arah suara senjata beradu.

Tapi tiba-tiba terdengar suara teguran.

"Eh, anakku kenapa sudah jauh malam begini kau masih membawa tamu-tamu kita jalan-jalan" kata suara itu.

Dengan bantuan cahaya rembulan mereka mengenali orang itu Jen Thian Ngo. Bukan main terkejutnya ketiga nona itu.

"Ayah, tahukah kau bahwa mereka hendak mencelakai Kong-sun Toa-ko?" kata Jen Hong Siauw.

"Mereka? Siapa yang kau maksud mereka?" kata Jen Thian Ngo.

"Wan-yen Hoo dan Seng Liong Sen!" kata Hong Siauw. "Apa katamu?" kata Jen Thian Ngo seolah kaget. "Wan- yen Hoo yang mana?"

"Yan Kong-cu itu pangeran Kim!" jawab Hong Siauw. "Apa Ayah memang tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu?"

"Tidak mungkin! Kau jangan percaya omongan orang!" kata Jen Thian Ngo.

"Aku dengar sendiri!" bantah Jen Hong Siauw dengan berani.

Ci Giok Hian sudah tahu ini hanya siasat untuk mengulur waktu.

"Maaf Paman Jen, beri kami jalan! Kami akan ke atas memeriksanya!" kata Ci Giok Hian. "Di atas akan jadi jelas semuanya!"

"Benar, Paman," kata Kiong Mi Yun. "Aku dengar di atas ada orang sedang bertarung!"

"Hong Siauw, dia sangat baik padamu. Apa kau tak percaya kepadanya? Juga kau, Giok Hian! Kenapa suami sendiri kau curigai? Ayo kalian pulang, biar aku yang akan memeriksa ke atas!" kata Jen Thia Ngo.

Sambil berkata Jen Thian Ngo maju ke arah ketiga nona itu.

Saat itu Kiong Mi Yun dan Ci Giok Hian jadi serba salah. Jika mereka melawan mereka sulit akan mendapat kemenangan dari Jen Thian Ngo. Kembali lagi ke rumah, pasti Kong-sun Po celaka. Tapi saat mereka kebingungan, tiba-tiba Jen Hong Siauw maju.

"Ayah, jika kau halangi kami, lebih baik aku mati di depanmu!" kata Hong Siauw. "Hai jangan!" teriak Kiong Mi Yun yang kaget melihat nona Jen sedang memegang belati yang ditandalkan ke lehernya.

Tapi Ci Giok Hian menyenggol tangan Kiong Mi Yun agar tidak mencegahnya. Melihat puterinya nekat hendak bunuh diri, Jen Thian Ngo kelabakan karena tahu sifat puterinya yang keras kepala. Maka itu dia tak berani maju, dia hanya bisa membujuk saja.

"Jangan begitu, anakku! Lepaskan pisaumu kau membuat kaget Kiong Cicimu saja!" kata Jen Thian Ngo.

"Ayah pulang bersamaku, sampai di rumah baru kubuang pisau ini!" ancam Hong Siauw.

"Baik, baiklah. Ayo kalian juga ikut kami pulang!" kata Jen Thian Ngo pada Ci Giok Hian dan Kiong Mi Yun.

"Tidak! Hanya Ayah dan aku yang pulang, biar mereka pergi!" kata Hong Siauw.

Tampak Jen Thian Ngo kebingungan.

"Celaka dia keras kepala, jika tak kuturuti bisa berabe!" pikir Jen Thian Ngo. "Baik pura-pura kuturuti dia, sampai di rumah baru kubujuk dia. Aku kira Seng Liong Sen dan Wan-yen Hoo akan mampu menghadapi bocah itu.Tapi jika kedua nona itu kubiarkan hidup, aku bisa celaka. Biar lebih baik aku kembali untuk membereskan mereka!"

Saat itu Hong Siauw memperhatikan sikap ayahnya. Tibatiba Ci Giok Hian menjerit, mereka kaget melihat pakaian Jen Hong Siauw sudah penuh darah. Rupanya Hong Siauw tahu jalan pikiran ayahnya, maka itu dia jadi nekat akan bunuh diri.

Ci Giok Hian dan Kiong Mi Yun memburu ke a rah Hong  Siauw,  tapi  sudah  didahului  Jen  Thian  Ngo  yang menotok jalan darah puterinya supaya darah yang mengalir berhenti. Kiong Mi Yun menangisi Jen Hong Siauw.

"Jen Mei-mei, kenapa kau nekat membela kami sampai begini?" kata Kiong Mi Yun.

"Sudah! Kalian pergi dari sini, jangan pura-pura menangisinya!" bentak Jen Thian Ngo.

"Benar! Segera kalian tolongi Kong-sun Toa-ko! Ayah kau jangan salahkan mereka. Mereka baik padaku hingga aku rela men-olongi mereka!" kata Jen Hong Siauw.

Maka pergilah Kiong Mi Yun dan Ci Giok Hian ke tempat terdengar senjata beradu. Saat itu Kong-sun Po sedang bertarung mati-matian melawan dua musuhnya. Keadaan Kong-sun Po benar-benar mulia kepayahan.

"Kong-sun Po, menyerahlah!" kata Wan-yen Hoo.

Sebenarnya Wan-yen Hoo dan Liong Sen pun sudah kelelahan.

Tapi Kong-sun Po tetap melawan dia tak meladeni bujukan Wan-yen Hoo itu.

Seng Liong Sen mulai kalap dia serang Kong-sun Po hinggga pedangnya mengenai tangan Kong-sun Po. Saat itu Wan-yen Hoo pun membarenginya dengan serangan kipas bajanya hingga payung Kong-sun Po terlepas dari tangannya.

Wan-yen Hoo segera maju, kakinya akan mecolek payung itu untuk diambil olehnya. Tapi Kong-sun Po lebih cepat, lalu menginjak payung itu. Tangannya langsung menghantam ke arah Wan-yen Hoo. Saat itu Kong-sun Po sudah benar-benar nekat. Bahu Wan-yen Hoo terhajar olehnya, tapi tangan Kong-sun Po pun tergores kipas baja lawan. Melihat lawan mulai kalap Wan-yen Hoo agak jerih juga.

"Seng Liong Sen lekas bunuh dia!" kata Wan-yen Hoo. Seng Liong Sen maju akan menyerang lagi. Tapi saat itu

Ci Giok Hian dan Kiong Mi Yun tiba di tempat itu.

"Awas Kong-sun Toa-ko, kau diserang dari belakang!" teriak Kiong Mi Yun.

"Hentikan, Liong Sen!" bentak Ci Giok Hian sengit. Melihat isterinya datang Seng Liong Sen kaget,

begitupun Kong-sun Po yang melihat kedatangan Kiong Mi Yun.

Kong-sun Po jadi bersemangat, dia tangkis serangan Wan-yen Hoo dengan sebelah tangannya, sedang tangan yang lain dipakai menghantam ke arah Seng Liong Sen.

"Duuk!"

Seng Liong Sen mundur ke belakang. Dia kaget saat dia tak merasa kakinya bertumpu pada tebing jurang, maka jatuhlah Seng Liong sen ke dalam jurang.

Ketika itu mulut Ci Giok Hian ternganga, tapi tak keluar suara. Sesudah agak lama baru dia menjerit dan memburu ke tepi jurang. Betapapun jahatnya Seng Liong Sen adalah suaminya. Maka itu Ci Giok Hian memeriksa jurang untuk melihat apakah suaminya selamat atau tidak.

Wan-yen Hoo pun tak kurang kagetnya, karena sekarang dia sendirian saja. Buru-buru dia membalikkan tubuhnya dan kabur.

Sesudah musuh lari semua Kong-sun Po baru merasakan tangannya yang terluka dan mengeluarkan darah sakit sekali. Dia terduduk di tepi jurang. "Kong-sun Toa-ko, bagaimana lukamu?" kata Kiong Mi Yun.

Segera luka Kong-sun Po diobati dengan obat bubuk, lalu lukanya dibalut dengan kain pembalut.

Sedang Ci Giok Hian masih berdiri terpaku di tepi jurang, air matanya berlinang-linang. Dia mau menangis tapi tak bisa. Melihat Ci Giok Hian bersedih, Kiong Mi Yun bingung karena tidak tahu bagaimana harus menghiburnya.

Tak lama sesudah Kong-sun Po bisa bediri, dia dekati Ci Giok Hian sambil berkata perlahan.

"Nona Ci, aku tak berani meminta maaf padamu. Sebenarnya kejadian yang menimpa suamimu tidak kusengaja. " kata Kong-su Po.

"Jangan cemas aku tahu," kata Ci Giok Hian. "Dia berdosa kematiannya memang sudah takdirnya! Malah aku yang harus kau maafkan!"

Sesudah itu Ci Giok Hian menangis.

"Kenapa harus berduka,suamimu memang tak berharga untuk didukakan," pikir Kiong Mi Yun.

Sebenarnya Ci Giok Hian bukan sedang berduka untuk suaminya yang jatuh ke jurang, tapi dia berduka untuk dirinya sendiri. Jika dia dulu tak mau menikah dengannya, mungkin kejadian ini tidak akan terjadi.

Kiong Mi Yun mendekati nona Ci lalu menarik tangannya untuk menjauhi tepi jurang. Sesudah itu Kiong Mi Yun berkata pada Kong-sun Po.

"Kong-sun Toa-ko, apakah saat Seng Liong Sen jatuh kau dengar dia berteriak atau tidak?" kata Kiong Mi Yun. "Ya, aku dengar," kata Kong-sun Po. "Mari kita turun ke jurang untuk memeriksa apakah dia selamat atau sudah mati? Tidak mustahil dia masih hidup!"

"Jangan!" kata Ci Giok Hian.

Kedua kawannya merasa heran mereka saling pandang.

Tak lama Ci Giok Hian meneruskan.

"Sekalipun dia masih hidup, aku juga sudah tidak... tidak..." Ci Giok Hian tidak meneruskan kata-katanya.

Mungkin Ci Giok Hian berat untuk melanjutkan katakatanya hingga terhenti.

"Jangan berkecil hati, kejelekkan Seng Toa-ko masih bisa diperbaiki, jika mau tadi dia bisa mendorongku ke jurang, tapi tak jadi dia lakukan," kata Kong-sun Po. "Mungkin dia terpengaruh kata-kata Wan-yen Hoo, jika dia masih hidup dan terluka, kita masih bisa mengobatinya!"

"Kong-sun Toa-ko kau baik sekali, memang bagaimanapun dia suamiku, aku memang harus mengurus mayatnya!" kata Ci Giok Hian.

Sambil dituntun oleh Kiong Mi Yun mereka turun ke jurang untuk mencari Seng Liong Sen. Mereka heran dan kaget sekali sampai di bawah mereka tak menemukan Seng Liong Sen di sana. Pemuda itu entah ke mana perginya?

"Mungkin hanya terluka ringan dan sudah pergi dari sini!" kata Kong-sun Po.

"Aku tidak yakin," kata Ci Giok Hian. "Kecuali lwe- kangnya tinggi sekali. Malah aku kira mayatnya sudah dimakan binatang buas. Sekalipun dia masih hidup aku menganggapnya sudah mati saja! Aku hanya ingin memohon sesuatu pada kalian!" "Kau telah membantuku, aku sendiri belum sempat berterima kasih. Kenapa kau malah memohon sesuatu pada kami, katakan saja!" kata Kiong Mi Yun.

Sesudah menyeka air matanya, Ci Giok Hian mulai bicara.

"Dia jahat, matipun pantas!" kata Ci Giok Hian. "Tapi aku dan dia sudah menjadi suami-isteri, aku minta kalian bersedia untuk tidak mengejeknya, hingga dia dimusuhi orang!"

"Jangan kuatir, kami tak akan membicarakannya," kata Mi Yun.

"Diceritakan pun tak apa, asal sebab kematiannya jangan kalian ceritakan," kata Giok Hian.

"Akan kami katakan dia disergap oleh Wan-yen Hoo dan terjatuh ke jurang," kata Kong-sun Po.

"Begitupun boleh, Dengan demikian jika masih  hidup dia tidak akan dicemooh orang," kata Kiong Mi Yun.

"Rasanya tak mungkin dia masih hidup," bantah Ci Giok Hian, "jika benar masih hidup pun aku tak berani memohon pada kalian untuk menutupi dosanya!"

"Sekalipun cinta Giok Hian tidak teguh, tapi paling tidak bagi Liong Sen dia isteri yang baik!" pikir Kiong Mi Yun yang segera memegang tangan Ci Giok Hian.

"Kakak Ci mari kita pergi!" kata Mi Yun. "Kau mau ke mana?"

Kelihatan Ci Giok Hian bingung.

"Entahlah, aku tak tahu mau ke mana?" kata Ci Giok Hian.

"Bagaimana jika kita bersama-sama ke Kim-kee-leng?" "Ya, mari ikut bersama kami saja," kata Kong-sun Po. "Di sana kau bisa bertemu dengan Cici Han Pwee Eng!"

Kata-kata Kong-sun Po justru membuat Ci Giok Hian bertambah duka. Dia merasa malu kelak jika dia bertemu dengan Han Pwee Eng maupun dengan Kok Siauw Hong.

"Terima kasih, rasanya aku harus pulang dulu!" kata Ci Giok Hian.

Kiong Mi Yun tahu mungkin nona Ci tak ingin bertemu bekas kekasihnya, dia mengangguk.

"Baiklah, kau istirahat dulu nanti kami akan menjengukmu!" kata Mi Yun sambil tersenyum.

Mereka turun dari gunung, sampai di bawah mereka berpisah mengambil jalan masing-masing. Kiong Mi Yun dan Kong-sun Po mengawasi kepergian Ci Giok Hian sampai jauh sekali. Mereka ikut berduka atas nasib sahabatnya itu.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Sedikitpun tak ada yang mengira apa sebenarnya yang dialami Seng Liong Sen saat dia jatuh ke dalam jurang yang dalam itu? Melihat dalamnya jurang tersebut tak ada orang yang akan mengatakan dia akan selamat. Apalagi hidup! Bahkan Ci Giok Hian pun sebagai isterinya sudah menganggap Seng Liong Sen mati. Tapi jika mati lalu di mana mayatnya? Cerita yang sebenarnya demikian. Ketika Seng Liong Sen merasakan kakinya menginjak tempat kosong, karena tubuhnya terjerumus, Seng Liong Sen pun sudah menduga.

"Mati aku!" pikir Seng Liong Sen.

Saat menghadapi ajal yang akan merenggut nyawanya, Seng Liong Sen merasa menyesal, kenapa dia mau berkomplot dengan pangeran Kim itu? Tapi tubuhnya sudah meluncur ke bawah dengan deras, sekalipun otaknya masih sadar. Tahutahu dia merasakan tubuhnya membentur benda keras.

"Heek!"

Dia juga masih mendengar suara dahan kayu patah, mungkin karena tertimpa tubuhnya yang berat. Sepintas lalu dia masih merasakan tubuhnya menghantam dahan cemara yang tumbuh di tepi jurang dengan dahan yang menonjol ke luar. Karena hantaman batang-batang cemara itu Seng Liong Sen merasakan sekujur tubuhnya sakit dan pedih. Akhirnya tubuh Seng Liong Sen nyangkut di salah satu dahan cemara dan sia girang karena tak sampai terjatuh ke dasar jurang.

"Oh, ternyata aku masih punya harapan untuk hidup?" pikir Liong Sen.

Dengan tergesa-gesa dia coba menjangkau sebuah dahan cemara, begitu berhasil terdengar suara dahan patah.

"Kraaak!"

"Celaka!" Seng Liong Sen mengeluh.

Kembali tubuhnya terjatuh ke bawah. Sekarang semua harapannya itu musnah sudah!

Sekarang sedikit pun dia tidak berani berharap akan selamat,  karena  jurangnya  begitu  curam.  Jika  tubuhnya jatuh terbanting ke bawah, maka nyawanya pun akan lenyap.

Tiba-tiba dia merasakan matanya gelap, tapi kedua tangannya menjangkau ke mana saja. Saat itu dia hampir pingsan ketika dirasakan ada sambaran angin hingga tubuhnya seolah tersanggah. Entah binatang apa yang menyergapnya, yang jelas berbulu. Sesudah itu dia pingsan tak tahu apa-apa lagi.

Seng Liong Sen tidak tahu berapa lama dia pingsan, sayupsayup telinganya menangkap ada orang sedang bicara.

"Untung Tay-wi berhasil meraih tubuhnya hingga dia tak jatuh ke jurang dan binasa!" kata suara itu. "Dia punya lweekang tinggi, pasti dia akan hidup!"

"Dari mana kau tahu lwee-kangnya tinggi, Ayah?" kata suara wanita.

Saat itu Seng Liong Sen sudah sadar.

"Ah, kiranya ada orang menyelamatkan aku! Entah siapa mereka ini?" pikir Liong Sen.

"Kenapa sampai terjerumus ke dalam jurang, mungkinkah Jen Thian Ngo dan anak buahnya yang mencelakakan dia?" kata suara perempuan. "Kalau kulihat pakaiannya, mungkin dia hendak dirampok!"

"Bisa jadi," sahut sang ayah. "Aku tak takut pada Jen Thian Ngo, tapi sebaiknya kita pun jangan bentrok dengannya! Sudah, kaujangan ceritakan kejadian ini!"

"Ya„ Ayah," kata yang perempuan.

Seng Liong Sen senang, sebab dari pembicaraan mereka Seng Liong Sen tahu, mereka bukan anak buah Jen Thian Ngo. Sesudah mendengar pembicaraan ayah dan anak itu, hati Seng Liong Sen lega juga. "Lihat Ayah, dia sudah sadar!" kata si nona.

Saat Seng Liong Sen membuka matanya, dia sedang terbaring di sebuah balai-balai bambu. Di sampingnya ada seorang kakek yang sudah beruban dan seorang nona yang baru berumur  tahun. Dandanan nona itu sangat sederhana.

"Lo-cian-pwee, terima kasih atas pertolongan kalian," kata Seng Liong Sen.

Ketika itu Seng Liong Sen akan bangun untuk memberi hormat. Orang tua itu segera mencegahnya.

"Kau terluka parah, jangan terlalu banyak bergerak!" kata orang tua itu.

Saat itu Seng Liong Sen memang merasakan sekujur tubuhnya sakit bukan main. Bahkan dia kuatir ada tulang yang patah terkena dahan kayu. Baru terpegang sedikit oleh si kakek, Liong Sen sudah meringis kesakitan.

Tak lama Seng Liong Sen merasakan ada arus yang mengalir ke tubuhnya, dia tahu orang tua itu sedang berusaha mengurangi rasa sakit Seng Liong Sen dengan menyalurkan tenaga dalamnya. Tentu saja Seng Liong Sen sangat bersyukur.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" kata si lelaki itu. "Mulai agak nyaman, terima kasih," kata Seng Liong

Sen.

"Mau berapa kali kau mengucapkan terima kasih," kata

si

nona. "Kau terlalu see-ji!" "Seharusnya kau berterima

kasih padanya," kata si kakek sambil menunjuk nona itu. "Terima kasih," kata Liong Sen.

"Hm. Kau bilang terima kasih, sebenarnya yang menyelamatkan nyawamu bukan aku, tapi Tay-wi!" kata

si nona sambil tertawa.

"Tay-wi? Siapa dia?" kata Liong Sen.

Nona itu bersuit, tak lama muncul dua orang hutan.

"Dia yang menyelamatkanmu!" kata si nona. "Yang kecil adiknya!"

Seng Liong Sen bengong.

"Rupanya ajalmu belum sampai. Ketika itu aku dan Tay- wi sedang mencari daun-daunan untuk obat. Untung saja ada pohon cemara yang menahan jatuhnya tubuhmu, hingga Taywi berhasil menangkap tubuhmu." kata si nona.

"Aaah, untung sekali aku," kata Liong Sen.

"Siapa namamu, kenapa kau terjatuh ke jurang?" kata si nona.

"Aku she Liong, namaku Sin," kata Seng Liong Sen menutupi identitasnya, terpaksa dia berbohong. "Di atas aku bertemu dua orang penjahat, karena tak sanggup melawan

mereka aku lari. Mereka mengejarku sampai aku terjerumus ke dalam jurang!"

"Setahuku lwee-kangmu tinggi, siapa yang mengajarimu?" kata si kakek.

"Aku cuma belajar beberapa jurus dari Ayahku," kata Liong Sen,

Saat orang tua itu menanyakan nama ayah Liong Sen, pemuda    ini    memberi    nama    palsu.    Orang    tua    itu menggelengkan kepala yang berarti dia tidak kenal nama itu.

Sebenarnya Liong Sen tidak berniat membohongi para penolongnya, tetapi karena takut terpaksa dia lakukan. Rupanya dia takut jika kakek itu kenal dengan gurunya, hingga rahasia dia bersekongkol dengan orang Kim akan ketahuan gurunya. Mendengar keterangan Seng Hiong Sen orang tua itu hanya manggut saja.

"Untung kau belajar Tong-cu-kang sejak kecil, kalau tidak maka lukamu tidak bisa segera sembuh. Sesudah kau beristirahat selama sebulan, lukamu akan pulih sama- sekali!" kata orang tua itu.

"Ayah, ilmu Tong-cu-kang itu ilmu apa?" kata si nona. "Ilmu yang hanya dilatih oleh anak lelaki," kata orang

tua   itu   sambil   tersenyum.   "Puteriku   orang   dusun, dia

kurang pengalaman. Harap tak kau tertawakan dia!'

Seng Liong Sen kaget, karena orang tua itu bisa menerkanya jika dia masih bujangan alias jejaka.

"Maaf, sejak tadi kita berbincang, kalau boleh aku tahu siapa nama Tuan?" kata Seng Liong Sen.

"Kami mengasingkan diri lebih dari duapuluh tahun, dan jarang bertemu orang, nama pun aku hampir lupa," kata orang tua itu.

"Jika dia harus tinggal lama di sini, apa salahnya Ayah memberi tahu nama Ayah," kata si nona.

Ayahnya tertawa. Si nona langsung memberi tahu nama ayahnya.

"Ayahku bernama Khie Wie, sedang namaku Khie Kie," kata si nona.

Nona itu menulis di tanah dan tulisannya bagus. "Tulisanmu bagus, Nona," kata Liong Sen. Rupanya dulu orang tua ini seorang jago aliran hitam, tapi tiba-tiba dia menghilang dari kalangan kang-ouw.

Seng Liong Sen memang pernah mendengar nama Khie Wie disebut-sebut gurunya. Malah orang tua ini dikira sudah mati, ternyata sekarang Liong Sen bertemu dengannya. Padahal sifat jago silat ini aneh dan urakan. Namun, kepada Seng Liong Sen dia ramah.

Selang sebulan luka-luka Seng Liong Sen pun sembuh.

Malah dia sudah bisa berjalan-jalan.

Waktu berjalan cepat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Tanpa terasa musim semi tiba. Ketika itu cuaca sangat indah. Nona Khie mengajak Liong Sen jalan-jalan menuruti ajakan nona itu. Berjalan dengan seorang nona dusun yang cantik hati Liong Sen gembira sekali.

Akhirnya mereka sampai di sebuah kali yang airnya jernih dan mengalir deras. Mata air itu datang dari atas gunung.

"Lepas sepatumu, biar kau kutuntun!" kata nona Khie. "Biar aku melompat sendiri," kata Seng Liong Sen. "Jangan, kau baru sembuh itu berbahaya," kata si nona. "Nona kau baik sekali padaku," kata Liong Sen.

Wajah nona dusun itu berubah merah. "Siapa bilang?" katanya.

Melihat sikapnya Liong Sen menduga nona dusun itu menyukai dirinya.

"Ayahnya menolongiku, sedang anaknya menyukaiku.

Ah, kebetulan!" pikir Liong Sen.

Dia tersenyum tapi tiba-tiba dia teringat isterinya. "Ah, mungkin isteriku mengira aku mati di jurang!" pikir Liong Sen. "Karena peristiwa tempo hari, dia melihat aku bersekongkol dengan Wan-yen Hoo, rasanya tidak mungkin aku jadi suaminya lagi? Sekarang puteri tuan penolongku mencintaiku, kenapa tidak aku rayu saja dia?"

"Liong Toa-ko, kau melamun ya? Lekas lepas sepatumu!" kata nona Khie.

"Hari ini hari yang menyenangkan hatiku," kata Liong Sen.

Kembali wajah nona Khie berubah merah.

"Ayo, hati-hati, batu di sini licin dan berbahaya, jangan melamun!" kata si nona.

"Ah, airnya sejuk sekali!" kata Seng Liong Sen yang sudah turun ke kali kecil itu.

Melihat airnya sangat jernih, iseng-iseng Seng Liong Sen mengawasi ke bawah untuk mengacai wajahnya. Karena kaget kakinya tergelincir di batu licin. Untung nona Khie segera datang menahan tubuhnya, jika tidak dia akan terjatuh ke dalam air.

"Eh, kau kenapa Liong Toa-ko?" kata nona Khie.

"Hm! Kenapa kau tidak bilang padaku?" kata Seng Liong Sen. "Kalau wajahku jadi begini! Bagaimana aku bisa bergaul di luaran?"

Ketika Seng Liong Sen terjatuh ke dalam jurang, dan tubuhnya membentur-bentur batu dan dahan pohon cemara, wajahnya terluka parah. Sesudah sembuh di wajah Seng Liong Sen meninggalkan bekas yang tak sedap dipandang. Begitu buruknya sampai dia hampir tak mengenali wajahnya lagi. Dulu Seng Liong Sen sering membanggakan kecakapan wajahnya dan kepandaian silatnya. Dia juga seorang sastrawan dan dia dianggap sebagai pendekar muda serba bisa. Sekarang wajahnya berubah jadi buruk sekali. Dia berpikir pantas di rumah nona Khie tidak sebuah kaca muka. Rupanya mereka telah menyembunyikan cermin itu darinya. Mungkin mereka pikir jika dia melihat wajahnya maka dia akan kecewa sekali!

"Kenapa kau berduka? Wajah orang bukan masalah, tapi hatinya yang baik itu yang penting!" kata si nona. "Kau jangan berduka, mungkin orang lain tak suka melihat wajahmu, tetapi aku sendiri suka padamu!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar