Beng Ciang Hong In Lok Jilid 43

 
Jen Thian Ngo memeriksai tawon yang berjatuhan itu, ternyata mereka belum mati. Tapi pada sayapnya tertancap jarum halus. Sambil mencabuti jarum-jarum itu, Jen Thian Ngo membiarkan tawon-tawon itu terbang kembali.

"Kau sudah berlatih selama tiga bulan, ternyata hasilnya lumayan, walau belum sempurna benar!" kata Jen Thian Ngo. "Kau harus rajin berlatih hingga mahir benar!"

"Tentu. Mana berani aku berpuas diri, malah aku ingin mohon petunjuk dari Kiong Cici," kata Hong Siauw manja. "Aku dengar ilmu silat keluarga Kiong lihay sekali!"

Mendengar ucapan nona Jen Hong siauw ini, Kiong Mi Yun jadi berpikir.

"Hm! Aku rasa ini ancaman bagiku, jika aku berani kabur, pasti nasibku akan sama seperti tawon-tawon itu!" pikir Kiong Mi Yun.

"Jangan bergurau Adi Siauw, barangkali kau salah dengar. Aku cuma belajar sedikit dari Ayahku, mana boleh dikatakan ilmu silatku lebih istimewa?" kata Kiong Mi Yun.

"Jangan see-ji, Kiong Cici," kata nona Jen.

"Benar," kata Jen Thian Ngo. "Aku dan ayahmu sahabat lama, kau tidak perlu sungkan. Kalian masih muda, bergaulan.

Sekarang karena aku ada urusan, kalian bersenang- senang saja!"

Dengan perasaan segan Kiong Mi Yun diajak.berkeliling di taman bunga oleh Jen Hong Siauw.

"Sungguh indah taman bungamu ini, Jen Cici. Di sini aku seolah berada di kahyangan saja," kata Kiong Mi Yun.

"Mana bisa dibandingkan dengan Hek-hong-to, di sana aku dengar bunga-bunga bermekaran sepanjang tahun." Kata Hong Siauw. "Taman ini ciptaan Ayahku, dia telah berusaha keras!" "Aku tak tahu cara menata taman, kau saja yang menjelaskannya padaku," kata nona Kiong.

"Aku sendiri tidak mengerti, kata Ayah taman ini ditata dengan Pat-kwa-tin ciptaan Khong Beng yang terkenal pada zaman Sam Kok. Bagi yang tak tahu, dia akan terus berputarputar di sekitar taman dan tak akan menemukan jalan untuk keluar!" kata Hong Siauw.

Kiong Mi Yun kaget.

"Wah hebat sekali!" kata nona Kiong. "Aku ingin tahu, bagaimana jika orang yang terjebak di sini gin-kangnya tinggi. Dia bisa melompat kian-kemari! Apa dia tak bisa keluar dari sini?"

"Aku kira begitu, sekalipun dia memiliki gin-kang sangat lihay," kata Hong Siauw. "Melihat keadaan tin ini harus dari tempat yang tinggi. Misalnya dari atas bukit buatan itu! Tapi jarak bukit-bukitan itu sangat berjauhan letaknya. Bagaimana orang itu bisa mencapai jarak yang demikian jauhnya? Ditambah lagi di atas bukit itu dipasang jebakan."

"Wah, memang hebat tata taman ini!" puji nona Kiong. "Tapi, kenapa kalian harus takut didatangi musuh, padahal ayahmu selihay itu?"

"Kepandaian Ayahku memang tinggi, dia pun disegani. Tapi jangan lupa. pasti ada juga orang yang memusuhinya," kata Hong Siauw.

Mendengar jawaban itu Kiong Mi Yun menilai bahwa nona Hong Siauw berbeda dengan ayahnya. Dia manis budi.

Tak lama keduanya semakin akrab, ditambah kagi mereka memang sebaya. Malamnya Kiong Mi Yun tidur di kamar  Jen  Hong  Siauw.  Nona  itu  senang  berbincang- bincang. Saat berbincang mereka sampai bicara ke soal pribadi.

"Maaf, aku dengar sejak kecil kau sudah dijodohkan dengan Kong-sun Po, apa benar?" kata Hong Siauw.

Wajah Kiong Mi Yun berubah merah.

"Aku dengar katanya Ayahmu tidak suka pada calon suamimu ya. Apa benar?" kata Hong Siauw lagi.

"Kau tahu dari siapa? Ayahmu yang bilang, ya?" kata Kiong Mi Yun.

Secara tidak langsung nona Kiong sudah mengakuinya. "Aku dengar ilmu silat calon suamimu itu lihay sekali.

Tapi aku heran kenapa ayahmu tidak menyetujui calon suamimu?"

"Masalahnya begini. Kog-sun Po ingin bergabung dengan Hong-lai-mo-li. Sedangkan Ayahku ingin mengajak dia ke Hekhong-to dan menikah denganku. Kong-sun Po menolak, maka itu Ayahku kurang senang padanya!" kata Kiong Mi Yun.

"Cita-cita calon suamimu patut dipuji, tapi aku juga menghargai keinginan ayahmu. Rupanya dia ingin suamimu dekat denganmu, jadi kenapa harus berkelana?" kata Hong Siauw.

"Dulu aku pun berpikir seperti Ayahku, agar suamiku tetap tinggal bersama. Tapi setelah aku pikir itu kurang tepat! Apalagi sesudah aku berkelana, dan mendapat banyak pengalaman. Sebab aku sendiri melihat bagaimana orang Mongol dan orang Kim menindas rakyat bangsa kita. Ibu yang kehilangan anak dan suaminya aku pikir tidak seharusnya kita hanya memikirkan urusan pribadi saja!" kata Kiong Mi Yun. Kiong Mi Yun lalu menceritakan pahit getir pengalamannya bertualang dan menyaksikan sendiri penderitaan rakyat hingga Jen Hong Siauw tertarik juga.

"Memang, kami hidup di Hek-hong-to tenang, kalau perlu kejadian yang mengharukan di sini, jangan dihiraukan. Tapi betulkan cara hidup seperti itu? Kita biarkan penderitaan berjuta-juta rakyat Tiong-goan?" kata Mi Yun mengakhir ceritanya.

"Aku dengar dari Ayahku, ayahmu tak suka pada calon suamimu, bukan karena dia berjuang untuk rakyat. Tapi karena soal lain yang tidak dikatakan padamu! Tapi menurutku, bagi kita para gadis, jika ada pria yang mencintai dan dicintainya, hal itu sudah beres. Dia tidak mau tahu, apakah dia jahat atau dia itu baik? Maaf, bukan maksudku akan mengatakan calon suamimu itu jahat, lho!" kata Hong Siauw.

"Tapi aku tidak sependapat denganmu," kata Kiong Mi Yun. "Contohnya, jika calon suamimu berpihak pada musuh, dan kau mengetahuinya, apa kau masih suka kepadanya?"

"Kau benar, tapi pemuda yang kumaksud tidak seburuk itu," kata Jen Hong Siauw.

"Aku sudah cerita tentang pribadiku, sekarang giliranmu. Bukankah kau juga sudah punya pemuda idaman. Coba ceritakan padaku!" kata Mi Yun.

Wajah nona Jen berubah merah.

"Mana boleh aku dibandingkan dengan kalian!" kata nona Jen. "Kalian sejak kecil sudah ditunangkan, sedang aku dengan dia baru saja kenal!"

"Pasti calonmu itu ganteng, ayo ceritakan tentang dia!" kata Kiong Mi Yun. Ketika nona Jen menolak Mi Yun menakut-nakutinya.

"Jika tak mau akan kukitik-kitik pinggangmu!" ancam nona Kiong.

Saat tangan nona Kiong mengenai pinggangnya, dia tertawa terkekeh-kekeh.

"Sudah! Sudah aku geli, sudah akan kukatakan...." kata nona Jen.

"Aku tahu kau sering berkelana di kalangan Kang-ouw, sekarang aku ingin bertanya. Pernah kau dengar seorang pemuda bernama Yan Hoo?" kata nona Jen.

"Yan Hoo?" kata Kiong Mi Yun berpikir sejenak. "Tapi maaf, aku belum pernah mendengar nama itu!"

"Kata Ayahku, dia seorang pendekar ternama," kata nona Jen agak kecewa.

"Maaf, mungkin aku saja yang kurang pengalaman. Selama di Kim-kee-leng aku tak pernah mendengar nama itu. Nanti jika aku sudah kembali ke sana lagi, akan kucari tahu tentang dia!" kata Kiong Mi Yun. "Ceritakan bagaimana pertemuanmu dengannya?"

"Suatu hari, aku keluar rumah sendirian. Aku dihadang penjahat, saat aku bertarung dengan penjahat, dia lewat dan membantuku mengusir penjahat itu. Sepulang ke rumah aku ceritakan kejadian itu kepada Ayahku. Ayah bilang, dia penah bertemu dengan pemuda yang aku katakan itu. Kata Ayahku, dia belum lama berkelana dan belum begitu terkenal." kata nona Jen.

Mendengar cerita itu Kiong Mi Yun Sangsi. Dia kira siapa tahu tipuan seperti itu adalah tipu yang dilakukan atas dirinya oleh Jen Thian Ngo. Kiong Mi Yun heran, kenapa Jen Thian Ngo tega mempermainkan anak perempuannya sendiri?

"Hai, kau melamun ya? Apa yang kau lamunkan?" kata nona Jen.

"Oh tidak, aku malah girang kau telah punya pria pilihan," kata Mi Yun. "Apa kalian sudah bertemu lagi sejak kejadian itu?"

"Kata Ayahku dia akan datang bertamu ke mari," kata nona Jen, "tapi sudah satu tahun dia tidak pernah datang!"

"Kalau begitu kau sangat merindukannya, bukan?" goda Mi Yun. "Asal di hatimu ada dia dan dia memikirkanmu, ditambah ayahmu pun setuju tidak ada masalah!"

"Aku berterus-terang kau malah menggodaku," kata nona Jen.

Kedua nona ini bersahabat karib, bahkan pada hari-hari berikutnya mereka semakin akrab saja. Mi Yun mencemaskan nasib nona Jen, sebab dia tidak yakin pemuda yang dikatakan idaman nona Jen ini orang baik- baik.

Suatu hari seorang pelayan langsung masuk ke kamar Jen Hong Siauw sambil tertawa.

"Eh, apa yang kau tertawakan?" bentak Hong Siauw. "Kenapa kau masuk tanpa permisi dulu, kau tidak sopan!"

"Maaf, sio-cia, karena terburu-buru ingin menyampaikan kabar gembira, aku lupa minta izin masuk!" kata si pelayan.

"Kabar apa?" kata si nona.

"Telah tiba seorang tamu agung," kata si pelayan.

"Itu tamu Ayahku, apa hubungannya denganku?" kata nona Jen Hong Siauw. "Tamu itu bernama Yan Hoo, Ibu Nona menyuruhku memberitahumu. Sekarang dia sedang ngobrol dengan Lo- ya, apa kau tak ingin menemuinya?" kata si pelayan.

Nona Jen girang, tapi tidak dia tunjukkan di depan pelayannya.

"Kau ini ada-ada saja, dia tamu Ayahku. Sudah cukup Ayah yang menemaninya!" kata si nona.

"Apa benar begitu?" kata si pelayan yang sudah tahu isi hati nonanya. "Setahuku kau sudah lama menunggu kedatangannya, bukan?"

"Iih, tidak tahu malu! Ayo pergi!" kata si nona dengan wajah berubah merah.

Kiong Mi Yun geli melihat tingkah serba-salah nona Jen.

Kiong Mi Yun lalu mengusulkan.

"Bagaimana kalau kita intai dia dari balik gorden?" kata Kiong Mi Yun. "Tak ada salahnya bukan, kalau aku berkenalan dengan calon suamimu?"

"Kalau ketahuan Ayah,aku jadi tidak enak," kata nona Jen.

"Kenapa? Malah aku pikir Ayahmu akan memanggilmu untuk menemuinya. Sedangkan aku mungkin tak boleh. Maka itu aku usulkan padamu untuk mengintai saja dari jauh." kata nona Kiong.

Jen Hong Siauw mengangguk, lalu mereka bejalan ke dekat ruang tamu dari sana mereka mengintai. Di ruang tamu telihat Jen Thian Ngo sedang berbincang dengan seorang pemuda asing.

"Eh, cakap sekali calon suamimu itu!" kata Mi Yun perlahan.

Tak lama terdengar kata-kata Jen Thian Ngo. "Kong-cu, apa yang kau maksud ilmu itu bernama Kengsin-ci-hoat?" kata Jen Thian Ngo.

Kiong Mi Yun kaget mendengar kata-kata itu. Dia tahu itu ilmu yang ada dalam lukisan Hiat-to-tong-jin yang diperebutkan.

"Paman Jen benar, karena kau sudah berpengalaman dan berpengetahuan luas, maka aku ingin menanyakan beberapa bagian ilmu itu pada Paman!" kata Yan Hoo. "Apakah Paman bersedia memberi petunjuk?"

Jen Thian Ngo tertawa terbahak-bahak.

"Apa kau tak salah, Kong-cu! Ibarat pribahasa, kau bertanya pada orang buta saja!" kata Jen Thian Ngo.

"Harap Paman jangan see-ji-see-ji (sungkan)!" kata Yan Hoo. "Aku memohon dengan sungguh-sungguh!"

"Kita sudah seperti orang sendiri, kenapa aku sungkan padamu," kata Jen Thian Ngo. "Terus-terang aku memang tahu tentang ilmu totok itu dari orang lain. Aku kira gurumu lebih lihay, tanyakan saja pada gurumu."

"Terus-terang aku tidak belajar tiam-hiat dari guruku, aku belajar dari orang lain yang usianya lebih muda dariku," kata Yan Hoo.

Sesudah mendengar percakapan itu baik Kiong Mi Yun maupun nona Jen Hong Siauw, manggut-manggut. Walau pendapat di otak mereka berbeda-beda.

Mendengar kata-kata itu berarti ayahnya setuju pada pemuda itu untuk dijadikan menantunya. Maka itu yang lain tidak dia pikirkan. Sebaliknya Kiong Mi Yun, dia jadi keheranan.

"Siapa sahabat muda Jen Thian Ngo yang dikatakannya itu?" pikir Kiong Mi Yun. "Maaf Yan Kong-cu, bisa kau sebutkan nama sahabat mudamu itu?" kata Jen Thian Ngo.

"Tapi katakan dulu, siapa anak muda yang dimaksudkan Jen Lo-cian-pwee itu?" kata Yan Hoo.

"Baik, kalau begitu kita masing-masing menulis nama pemuda itu!" kata Jen Thian Ngo. "Kemudian kita cocokkan, siapa tahu orangnya sama!"

Sesudah nama itu selesai ditulis dan masing-masing menunjukkannya, mereka berseru.

"Kong-sun Po!" kata mereka hampir bersamaan.

Mendengar ucapan itu Kiong Mi Yun heran. Dia tidak mengerti kenapa Kong-sun Po bisa bersahabat dengan Yan Hoo? Karena kaget mendengar nama Kong-sun Po disebut, Kiong Mi Yun menghela napas hingga terdengar oleh Jen Thian Ngo.

"Apakah itu Hong Siauw?" kata Jen Thian Ngo.

"Ya, kami sedang melihat-lihat bunga bersama Kiong Cici!" kata Hong Siauw.

"Kebetulan, kau ke mari! Coba kau lihat siapa tamu kita ini?" kata ayah si nona.

Sesudah nona Jen masuk menemuinya bersama Kiong Mi Yun, pemuda itu memberi hormat dan berkata manis.

"Nona Jen, kau tak mengira aku berkunjung ke tempatmu, bukan?" kata Yan Hoo.

Semula nona Kiong tak ingin bertemu dengan pemuda itu. Tapi karena nama Kong-sun Po disebut-sebut oleh pemuda itu, dia tertarik juga, kebetulan Jen Thian Ngo menyilakan mereka datang. Sesudah Jen Thian Ngo memperkenalkan nona Kiong dan siapa ayah nona itu. Pemuda itu agak kikuk dan berkata begini.

"Jadi ayah nona ini Hek-hong To-cu?!" kata Yan Hoo. "Aku kagum pada ayahmu, nona!"

"Ah, aku kira ada yang tidak kau ketahui, nona ini justru tunangan sahabatmu Kong-sun Po!" kata Jen Thian Ngo.

"Keterlaluan, apa saja dia bicarakan denganku, kecuali soal kekasihnya ini, dia tak bilang apa-apa. Awas, jika aku bertemu akan kuhukum dia minum arak tiga mangkuk!" kata Yan Hoo.

Di luar dugaan pembicaraan Jen Thian Ngo dan Yan Hoo itu, justru tujuannya untuk memancing munculnya nona Kiong. Maka sengaja mereka membicarakan tentang Kong-sun Po dengan suara agak keras. Karena betapa tingginya ilmu Jen Thian Ngo, jadi tidak mungkin dia tidak tahu pembicaraannya didengar orang lain.

Sekalipun curiga, tapi Kiong Mi Yun pun ragu, kenapa Kong-sun Po mau mengajari Keng-sin-ci-hoat pada kenalan barunya. Walaupun Kiong Mi Yun tahu, ilmu itu tak akan bisa dipelajari dalam waktu singkat. Sekalipun bakat orang yang belajar itu luar biasa.

"Mohon maaf, di manakah Yan Kong-cu bertemu dengannya?" kata Kiong Mi Yun.

"Aku berkenalan dengannya di tempat Bun Tay-hiap. Kami hanya berkumpul sebulan lamanya lalu berpisah lagi.Kami berdua di sana bertukar ilmu silat, atau tegasnya aku minta diajari olehnya! Karena kau tunangannya, pasti pengetahuan tentang ilmu itu kau lebih paham!" kata Yan Hoo. "Sayang aku hanya tahu sedikit dan tak ada artinya," kata Kiong Mi Yun.

"Jangan sungkan, akan kutunjukkan jurus yang kupelajari dari Saudara Kong-sun, jika ada yang salah tolong kau beri tahu," kata Yan Hoo.

"Maaf, aku tidak berani apalagi membetulkan kesalahan segala," kata nona Kiong. "Tapi jika Yan Kong-cu mau menunjukkan padaku untuk menambah pengetahuanku, silakan saja!"

"Baik," kata Yan Hoo.

Sesudah itu Yan Hoo mulai bersilat sedang Kiong Mi Yun mengamatnya. Melihat gaya dan gerak Yan Hoo, Kiong Mi Yun yakin Yan Hoo mendapatkan ilmu itu dari Kong-sun Po. Yang membuat nona Kiong heran, kenapa Kong-sun Po mau mengajarkannya pada Yan Hoo? Dia juga heran hanya sebulan bersama Kong-sun Po, Yan Hoo telah berhasil mencangkok ilmu Kong-sun Po dengan sempurna.

Padahal ada yang tak diketahui nona Kiong. Sebenarnya ilmu yang diperoleh dari Kong-sun Po didapatkan oleh Yan Hoo dengan cara licik. Ditambah lagi Yan Hoo juga belajar dari ayahnya yang lihay. Tapi di depan Kiong Mi Yun dia sengaja melakukan kesalahan kecil, sehingga nona Kiong percaya ilmu itu diperoleh dari kekasihnya.

"Harap kau tidak mentertawakannya," kata Yan Hoo sesudah selesai menunjukkan ilmu silatnya itu.

"Jika kau tak bilang lebih dulu, pasti aku mengira kau dan Kong-sun Po saudara seperguruan," kata nona Kiong. "Bukan aku hendak memujimu, jika kau tidak berlatih  terus, kau akan lebih mahir dari Kong-sun Po!" Pujian Kiong Mi Yun itu membuat nona Jen bangga sekali.

"Lalu bagaimana pendapatmu Ayah?" kata nona Jen.

Jen Thian Ngo diam saja, dia seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Tadi aku lihat Paman keheranan, apa ada yang salah?" kata Yan Hoo.

"Aku tidak bisa ilmu itu, tapi menurut perasaanku ada sesuatu yang salah," kata Jen Thian Ngo.

"Mohon Paman jelaskan," kata Yan Hoo.

"Dari semua ilmu silat yang paling utama pertahanan sendiri," kata Jen Thian Ngo. "Tetapi gayamu tadi agak kendur, dan ini memberi kesempatan pada lawan untuk menyerangmu! Apa betul begitu?"

"Aku tidak tahu yang kutahu Kong-sun Po pun berbuat begitu!" kata Yan Hoo. "Aku hanya menirunya. Tapi kata Kong-sun Po, itu diperoleh dari gurunya. Ketika lawan terpancing melihat "lowongan" itu untuk menyerang, kita serang dia! Sayang ilmu ini belum kucoba."

"Guru Kong-sun Po itu ialah Tam Yu Cong," kata Jen Thian Ngo. "Sedang Tam Yu Cong jago zaman ini, jumlah orang seperti dia tidak banyak!"

Keterangan itu membuat nona Kiong lebih yakin, sebab tak mungkin Kong-sun Po mau menceritakan kelemahannya sendiri, apalagi Yan Hoo bukan sahabatnya.

"Ya, sudahlah. Kau boleh jalan-jalan bersama Hong Siauw dan nona Kiong untuk melepas lelah!" kata Jen Thian Ngo. Mereka lalu keluar dan berjalan ke taman. Tapi sampai di taman, Kiong Mi Yun tak mau mengganggu kemesraan nona Jen dan Yan Hoo, dia berkata memberi alasan.

"Kebetulan aku kurang sehat, maka itu aku akan kembali ke kamarku saja!" kata nona Kiong.

Saat nona Jen kuatir dan akan mengikutinya, nona Kiong berbisik.

"Aku tak apa-apa, aku cuma ingin kau bebas berdua saja!" bisik nona Kiong.

Nona Jen sangat berterima kasih pada sahabatnya itu.

Setiba di kamar Kiong Mi Yun semakin curiga. Dia pikir, Kong-sun Po memang baik, tapi untuk mengajarkan ilmu rahasia yang tidak masuk diakal Kiong Mi Yun.

"Kalau begitu mereka memang bersahabat baik? Tetapi kenapa Kong-sun Po tak pernah membicarakan hubungan pribadinya?" pikir Kiong Mi Yun.

Saat nona Jen kembali ke kamarnya dia agak terlambat.

Nona Kiong menggodanya.

"Kok kau buru-buru kembali?" kata nona Kiong.

"Aku menguatirkan keadaanmu," kata nona Jen. "Dia masih ingin bicara denganmu, aku kira kau ingin tahu lebih banyak tentang kekasihmu. Maka itu aku berjanji akan mengajak kau menemuinya besok!"

"Aku kira kalian asyik sendiri, ternyata kalian juga membicarakan Kong-sun Po juga!" kata nona Kiong.

Saat bicara nada suara nona Jen sedikit aneh, hal ini membuat nona Kiong sedikit curiga.

"Eeh ada apa dengan Kong-sun Toa-ko, coba kaujelaskan?" kata nona Kiong. Sesudah berganti pakaian dan naik ke pembaringan, nona Jen mulai bercerita.

"Kita seperti saudara, jika aku cerita secara terbuka kau jangan marah, ya?" kata nona Jen.

"Mana mungkin aku marah padamu," kata Kiong Mi Yun. "Lalu ada apa, apa yang terjadi dengan Kong-sun Toa-ko, coba kaujelaskan..."

"Dengan dia tidak terjadi apa-apa," kata nona Jen. "Tapi ada kejadian yang tidak terduga ..."

"Katakan, kenapa dia?" desak Kiong Mi Yun.

Sesudah menatap ke arah Kiong Mi Yun, akhirnya nona Jen mulai bicara.

"Katakan padaku! Apa benar guru pertama calon suamimu itu bernama Ciu Cioh?" kata nona Jen.

"Lalu kenapa gurunya itu?" desak Kiong Mi Yun. "Beliau sangat terkenal seperti Bun Tay-hiap, tapi

katanya dia menjadi Cong-peng, apa benar begitu?" kata nona Jen.

"Benar! Lalu apa karena dia melawan bangsa Kim kemudian dianggap salah?" kata Mi Yun.

"Bukan maksudku begitu," kata nona Jen. "Apa benar Kong-sun Toa-ko kenal dengan putera Perdana Menteri Han To Yu yang bernama Han Hie Sun?"

"Bukan cuma kenal, tapi mereka pernah bertarung, kata Kong-sun Toa-ko orang she Han itu tidak baik!" jawab Kiong Mi Yun.

"Tapi saat datang ke Lim-an, Kong-sun Toa-ko menjadi tamu Han Hie Sun yang terhormat," kata nona Jen. "Apa? Kau bilang dia pernah menjadi tamu Perdana Menteri Han?" kata Kiong Mi Yun kaget.

"Benar, aku akan menjelaskan padamu dari awal," kata nona Jen. "Aku kira kau juga tahu tempat tinggal Bun Tayhiap di Thian-tiok-san. Jaraknya sangat dekat dengan istana Perdana Menteri Han To Yu. Ciu Tay-hiap sering datang ke istana Perdana Menteri untuk mendesak Kaisar Song agar memerangi bangsa Kim. Malah belum lama ini Ciu Cioh tinggal sebulan lamanya di rumah perdana menteri itu."

"Sebagai panglima dan dia diundang oleh Han To Yu, memang apa anehnya jika dia bermalam di rumahnya?" kata Kiong Mi Yun.

"Itu memang tidak aneh, tapi kejadian itu ada hubungannya denganmu," kata nona Jen.

"Apa hubungannya denganku?" kata nona Kiong.

Sesudah merenung sebentar nona Kiong akhirnya berkata.

"Oh, aku mengerti sekarang. Saat Ciu Cioh ada di rumah Han To Yu, Kong-sun Po ada di tempat Bun Tay-hiap, begitu maksudmu?" kata Kiong Mi Yun.

"Benar, karena jarak tempat mereka dekat, maka Kong- sun Po menemui gurunya," kata nona Jen.

"Itu wajar saja kan? Apa saat itu Han Hie Sun mau balas dendam kepada Kong-sun Toa-ko?" tanya Mi Yun.

"Tidak! Malah Han Hie Sun mengagumi Kong-sun Po, dan dia ingin bersahabat. Katanya Perdana Menteri Han juga suka pada Kong-sun Toa-ko," kata nona Jen. Dia sudah tahu watak kekasihnya jujur dan polos, mana mungkin dia disukai Han To Yu, karena Kong-sun Po tidak pernah menyanjung-nyanjung pejabat negeri.

"Hm! Aku tahu, pacarmu yang bilang begitu padamu, kan?" kata Kiong Mi Yun.

"Ya, karena dia bersama Kong-sun Toa-ko, maka itu dia tahu jelas persoalannya," kata nona Jen. "Karena sudah telanjur, akan aku katakan terus-terang padamu. Sebenarnya Han To Yu punya dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Menurut Yan Hoo, Han To Yu sepakat akan mengambil Kong-sun Po menjadi menantunya!"

Bukan main kagetnya Kiong Mi Yun.

"Benarkah begitu? Apa kau tidak sedang bergurau padaku?" kata nona Kiong. "Yan Kong-cu itu cakap, jika aku jadi Han To Yu aku akan lebih memilih dia menjadi menantunya! Sedangkan Kong-sun Toa-ko mirip orang desa, mana mungkin Han To Yu memilih dia?"

"Aku tidak berbohong, keinginan Han To Yu ada alasannya. Dia ingin merangkul guru Kong-sun Toa-ko, jika puterinya dijodohkan dengan murid Ciu Tay-hiap, itu jalan yang paling baik untuk menarik Ciu Tay-hiap ke pihaknya."

Kiong Mi Yun jadi bingung. Dia pikir cerita itu masuk akal juga. Jika Ciu Cioh ingin berkuasa, dia harus dekat dengan Han To Yu. Dengan wajah berubah merah Kiong Mi Yun bertanya.

"Apa Ciu Tay-hiap menyetujuinya?"

"Ciu Tay-hiap jujur dan setia, dia memimpin rakyat melakukan perlawanan terhabap serbuan bangsa asing. Sedang  Han  To  Yu  pejabat  yang  berkuasa  sekarang  ini. Untuk mendapat dukungan terpaksa Ciu Tay-hiap harus merangkul Han To Yu," kata nona Jen.

Ucapan nona Jen ini sekaligus jawaban untuk nona Kiong.

Melihat perubahan wajah nona Kiong, Jen Hong Siauw berusaha menenangkan hatinya.

"Jangan terlalu dipikirkan, Kiong cici! Di dunia ini masih banyak pemuda yang cakap. " kata Jen Hong Siauw.

"Aku ikut gembira jika ceritamu itu benar," kata Mi Yun. "Sudah malam sudah karut, mari kita tidur!"

Mereka mencoba tidur, tapi keduanya tak bisa tidur. Malah tiba-tiba Kiong Mi Yun bangun dan duduk merenung.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Kiong Cici?" tanya nona Jen. "Kenapa kau tidak tidur?"

"Kau juga masih belum tidur?" kata Mi Yun. "Ada yang sedang aku pikirkan."

"Tentang apa?" tanya nona Jen.

"Tentang Yan Kong-cumu itu, aku ingin tahu asal- usulnya siapa dia dan dari mana asalnya?" kata Kiong Mi Yun.

Nona Jen kaget dia mengira Kiong Mi Yun sedang memikirkan kekasihnya, karena itu dia memikirkan Yan Hoo.

"Jadi kail aneh mendengar ucapanku itu?" kata Kiong Mi Yun yang melihat nona Jen kaget. "Aku tak bisa tidur karena aku ingin membicarakan sesuatu denganmu!" "Kenapa kau tanyakan asal-usulnya, apa yang aneh? Oh, kau curiga tentang bicaranya yang campur-aduk dari berbagai daerah?" kata nona Jen.

"Ya, itu sebabnya aku bingung, sebenarnya dia berasal dari mana?" kata Kiong Mi Yun.

"Aku dengar dia sejak kecil suka berkelana, itu sebabnya ucapannya tidak murni!" kata nona Jen. "Katanya dia dari Buseng di Propinsi Shoa-tang. Lalu kenapa kau tanyakan soal itu?"

Kiong Mi Yun diam saja. Tapi nona Jen mendesaknya.

Sesudah didesak akhirnya Kiong Mi Yun menjawab juga.

"Aku ingin bertanya, apakah dia pernah ke Tay-toh atau tidak?"*) kata Kiong Mi Yun.

"Sayang, aku tidak tahu soal itu," kata nona Jen. "Aku baru dua kali bertemu, barangkali dia pernah ke sana! Kenapa kau tanyakan soal itu, Kiong Cici?"

"Tidak apa, tadi aku asal bertanya saja, mari kita tidur!" kata Kiong Mi Yun.

Kiong Mi Yun pura-pura tidur, sedang otaknya bekerja keras. Dari logat bicara Yan Hoo itulah timbul kecurigaan nona Kiong kepadanya. Dia peminat bahasa, saat ikut ayahnya ke Mongol, dia sempat meneliti perbedaan berbagai dialek yang ada di sana. Kebetulan di kota Bit-in- kwan tempat mereka tinggal di Mongol, justru terdapat berbagai bangsa. Ada orang Mongol, orang Han maupun orang Kim.

Maka itu nona Kiong mengira bukan saja Yan Hoo pernah ke Tay-toh, tapi dia juga pernah tinggal di sana.

"Kalau begitu dia bangsa Kim! Tapi ah, barangkali aku salah duga?" begitu pikir nona Kiong. "Aku kira dia bohong mengatakan pada Jen Hong Siauw bahwa dia orang dari Buseng! Hm! Jen Thian Ngo orangnya licik dan licin, jika dia berani sekongkol dengan pihak Mongol, kenapa dia juga tidak berani bersekongkol dengan bangsa Kim? Aku yakin Yan Hoo ini bukan orang baik-baik!"

Nona Kiong jadi semakin bingung.

"Jika benar dia orang Kim, kenapa Kong-sun Toa-ko mengajari dia Keng-sin-ci-hoat? Jelas itu pelajaran dari Kong-sun Toa-ko!" pikir Kiong Mi Yun. "Jika benar mereka bekumpul di satu tempat, kenapa Bun Tay-hiap dan Ciu Tay-hiap pun bisa tertipu olehnya?"

Sesudah lama berpikir akhirnya Mi Yun mengambil kesimpulan.

"Misteri ini baru bisa terungkap jika aku bertemu dengan Kong-sun Toa-ko, tapi apa mungkin? Dari mana dia tahu aku terkurung di sini? Celaka aku ini!" pikir Kiong Mi Yun yang semalaman tidak bisa tidur sama sekali.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

*). Ketika cerita ini terjadi kota Tay-toh belum bernama Peking (Beijing menurut dialek Pin-yin). Perlu diketahui pada zaman Song ketika itu Tiongkok belum seluas sekarang. Wilayahnya masih kecil. Para pengarang cersil pada umumnya memusuhi bangsa Ceng (Boan) atau Manchu. Hingga terjadi pemeo di kalangan mereka, bahwa bangsa Boan yang menaklukan Kerajaan Beng (Ming) itu, adalah penjahat, musuh bangsa dan Negara.

Jika kita iseng melihat peta Tiongkok zaman sebelum Zaman Penjajahan Boan, Tiongkok tidak luas. Atas jasa bangsa Manchu itulah, Tiongkok menjadi selebar sekarang. Bangsa Manchu sesudah menduduki Tiongkok, mereka sengaja telah melebur diri baik bahasa maupun budayanya. Mereka justru memakai bahasa Tionghoa dan kebudayaan Tionghoa. Ketika mereka memperluas Negara Tiongkok yang didukinya, lalu meluaskannya dengan cara berperang ke berbagai arah. Atau mereka menggunakan perkawinan politik, misalnya ketika mereka berhasil menguasai Monggolia, mereka gunakan cara "perkawinan politik". Puteri Kaisar Kong Hie dinikahkan dengan putera raja Mongol dan seterusnya. Namun, yang kita tahu sampai hari ini, musuh bangsa Han adalah bangsa Boan. Jika diingat jasa bangsa Boan, sebenarnya merekalah yang memperluas daerah Tiongkok. Namun, secara patriot memang pantas juga, jika bangsa Han memusuhi bangsa Mancu yang memang penjajah negaranya. Tapi jasanya tetap ada. Red.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Sedikitpun Kiong Mi Yun tidak mengira, kalau Kong- sun Po sedang mencarinya. Pemuda itu justru sedang menuju ke tempatnya, karena Kong-sun Po sengaja datang mencari sang kekasih yang dirindukan itu.

Semakin dekat ke rumah Jen Thian Ngo, orang she Han itu semakin kuatir. Maka itu orang she Han itu memohon.

"Jika sudah sampai di rumah orang itu, aku harap kau tidak menyusahkan aku," kata orang she Han.

"Jangan takut, aku tidak akan menyeret-nyeret kau, jika sampai terjadi walau aku berkelahi dengannya," kata Kong- sun Po. "Aku yakin jika aku mati olehnya dia akan berterima kasih kepadamu!" "Aku tidak ingin kau mati, malah aku harap kau bisa mengalahkannya," kata orang she Han itu."Sudah, ayo kita cari dia!" kata Kong-sun Po.

Tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda. Tak lama tampak dua penunggang kuda mendatangi dari belakang mereka. Saat Kong-sun Po menoleh dan sudah saling melihat, mereka hampir bersamaan kaget. Mereka itu Ci Giok Hian dan Seng Liong Sen.

"Eeh, ternyata kau? Kok kau ada di sini?" kata Ci Giok Hian girang.

"Tenyata kita bertemu lagi di sini," kata Seng Liong Sen. "Bulan lalu aku bertemu gurumu," kata Kong-sun Po. "Sayang aku tak ada di tempat," kata Seng Liong Sen.

Saat itu Ci Giok Hian langsung turun dari kudanya.

"Kau mau ke mana Kong-sun Toa-ko?" kata Ci Giok Hian sambil tersenyum manis.

Melihat isterinya bersikap ramah pada Kong-sun Po, Seng Liong Sen sudah lama tahu bahwa Kong-sun Po ini sahabat Kok Siauw Hong, timbul rasa cemburunya.

Begitu Seng Liong Sen dan Kong-sun Po sudah turun dari kuda mereka dan mereka saling memberi hormat, Seng Liong Sen bertanya kepada Kong-sun Po.

"Eh, Saudara Kong-sun, siapa sahabatmu ini?" kata Liong Sen.

"Dia Han Toa-ko dari Tiauw-houw-kan!" jawab Kong- sun Po. "Aku ke sini diantar olehnya."

"Ada urusan apa kau minta diantar ke mari?" kata Seng Liong Sen heran sekali. "Aku akan mencari Paman Kok Siauw Hong, katanya Jen Thian Ngo tinggal di sini," kata Kong-sun Po.

Mendengar nama Kok Siauw Hong disebut-sebut, tentu saja Seng Liong Sen bertambah kurang senang.

"Jadi Paman Kok Siauw Hong tinggal di sini? Giok Hian, kenapa kau tak memberitahuku?" kata Seng Liong Sen agak kurang senang. "Jika aku tahu, kita bisa membawa oleh-oleh untuknya. Siapa tahu kita juga bisa bertemu dengan Siauw Hong di sini!"

Ci Giok Hian tahu suaminya kurang senang, tapi dia diam saja.

"Aku yakin Kok Siauw Hong tidak ada di sini, aku ke sini untuk mencari seseorang!" kata Kong-sun Po.

"Siapa?" tanya Ci Giok Hian.

"Nona Kiong, kau ingat tidak Nona Ci, nona yang kumaksud itu dulu pernah mengambil arakmu!" kata Kong- sun Po.

"Aah, aku ingat. Nona itu yang kau cari? Seharusnya aku tahu saat kau sendirian, kenapa aku tidak menanyakan di mana dia?" kata Ci Giok Hian sambil tertawa karena ingat kejadian dulu.

"Bukankah dia puteri Kiong To-cu?" kata Seng Liong Sen.

"Ya, benar! Dia seorang nona yang baik!" kata Kong-sun Po.

"Kok kau bicara soal mengambil arak segala, bagaimana ceritanya?" kata Seng Liong Sen pada isterinya.

Mendengar pertanyaan suaminya hati Ci Giok Hian tersentak.    Ci    Giok    Hian    sadar    jika    Kong-sun   Po menceritakan kejadian itu, pasti suaminya akan bertambah cemburu. Ingat peristiwa dulu Ci Giok Hian jadi berduka.

"Dia baik," kata Ci Giok Hian. "Tapi agak nakal dan iseng, arak buatan keluarga kami dia curi. Maka itu aku berkelahi dengannya. Dari situ kita jadi saling kenal satu sama lain!"

kata Ci Giok Hian mendahului Kong-sun Po agar pemuda itu tidak cerita tentang kejadian dulu itu.

Mata Ci Giok Hian pun dikedipkan ke arah Kong-sun Po yang mengerti maksudnya.

"Aah, di kalangan Kang-ouwjika berkelahi lalu jadi sahabat itu biasa," kata Seng Liong Sen. "Dulu kita juga begitu, kan?"

Tapi tak lama sikap Seng Liong Sen jadi dingin dan aneh. Tak lama Seng Liong Sen berkata lagi.

"Kau mencari dia di rumah Jen Thian Ngo, kenapa begitu?" kata Seng Liong Sen.

"Aku dengar dari Han Toa-ko, dia tinggal di sini!" kata Kong-sun Po.

"Aneh?" kata Seng Liong Sen. "Jen Thian Ngo itu di kalangan Kang-ouw dikenal jujur dan seorang pendekar, ternyata dia juga bersahabat dengan Kiong To-cu? Aku baru tahu!"

"Aku tak tahu apa mereka bersahabat atau tidak? Aku sendiri tidak yakin, apa Jen Thian Ngo ini bermaksud baik atau. sebaliknya?" kata Kong-sun Po.

Ci Giok Hian pernah mendengar dari Kok Siauw Hong yang mencurigai sikap pamannya itu. Maka itu dia juga heran kenapa nona Kiong ada di rumahnya? "Bagaimana jika dia tak mau menyerahkan nona Kiong padamu? Kau akan bertarung dengannya?" kata Seng Liong Sen.

"Benar! Jika perlu aku akan bertarung dengannya!" kata Kong-sun Po.

"Eh, Giok Hian, jika tidak salah ingat, kau pernah bilang, keluarga Jen sahabat keluargamu, bukan?" kata Liong Sen.

"Benar," jawab isterinya. "Dulu Ayahku dengan Jen Thiang Ngo bersahabat, sesudah Ayahku meninggal dia jarang datang lagi ke tempat kami."

Dulu adik perempuan Jen Thian Ngo memang pernah dijodohkan dengan ayah Ci Giok Hian, tapi mereka batal berbesanan. Sesudah agak lama Liong Sen berpikir  akhirnya dia bicara.

"Maaf, Saudara Kong-sun, rasanya jika kau langsung mencari nona Kiong ke rumahnya, aku rasa itu kurang sopan!" kata Seng Liong Sen.

"Menurutmu seharusnya aku bagaimana?" tanya Kong- sun Po.

Seng Liong Sen berpikir lagi. Tak lama dia mulai menyampaikan rencananya.

"Bagaimana jika kami dulu yang ke sana, pasti Jen Thian Ngo tidak akan mencurigai kami. Jika benar nona Kiong ada di rumahnya, Giok Hian bisa menemuinya, lalu menanyakan kenapa dia ada di situ. Sesudah masalahnya jelas, baru kita minta agar dia membebaskan nona Kiong. Jika dia menolak kita bisa bersama-sama menghajar dia! Bagaimana menurut pendapatmu?" kata Liong Sen. Orang she Han yang sejak tadi ikut mendengarkan tertawa.

"Benar! Itu siasat yang baik," kata orang she Han itu. "Baik, aku setuju," kata Kong-sun Po. "Tapi bagaimana

aku bisa menghubungimu?" kata Kong-sun Po.

"Mudah saja! Nanti malam kau naik ke atas gunung, aku akan menemuimu," kata Seng Liong Sen. "Tempat pertemuan itu harus agak jauh dari rumah Jen Thian Ngo. Lalu kau nyalakan api unggun, aku akan menemuimu di sana. Aku yakin kami bisa menyelidiki tentang nona Kiong untukmu."

Kong-sun Po polos dia percaya saja. Sekarang dia yakin Kiong Mi Yun ada di rumah Jen Thian Ngo, maka itu orang she Han itu dia pikir sudah boleh dibebaskan.

"Baik, usulmu aku terima," kata Kong-sun Po. "Terima kasih atas bantuan kalian!"

"Jangan segan-segan, kami ini sahabatmu juga," kata Liong Sen. "Kalau begitu kami jalan lebih dulu! Sampai nanti malam!"

Sesudah suami-isteri itu pergi, orang she Han itu berkata pada Kong-sun Po.

"Apa sekarang aku boleh pergi?" kata orang she Han. "Aku lihat kau takut pada Jen Thian Ngo, baik pergilah!"

kata Kong-sun Po.

Mendengar dia bebas, orang she Han itu girang. Sesudah dia bebas dia bisa memberi kabar pada Kim Jit atau yang lainnya. Sedikit pun Kong-sun Po tidak curiga, orang she Han yang dia bebaskan itu punya niat jahat. Sesudah itu Kong-sun Po terpaksa menunggu sampai hari sudah gelap. Dikisahkan Seng Liong Sen dan isterinya sudah naik ke atas gunung. Tapi di sepanjang jalan Ci Giok Hian tak habishabisnya heran melihat sikap suaminya itu. Maka itu di tengah jalan dia bertanya pada suaminya.

"Liong Sen aku lihat semula kau tidak simpatik pada Kong-sun Toa-ko, tapi tiba-tiba kau ingin membantunya, kenapa?" kata Ci Giok Hian.

Suaminya cuma tertawa sambil berkata.

"Bantuanku ini pun masih membutuhkan kerja-sama denganmu," kata Liong Sen sambil tersenyum sinis.

Menyaksikan wajah sinis suaminya Ci Giok Hian kaget dan ngeri. Ci Giok Hian sadar di "balik" kebaikan suaminya ada maksud jahat. Dugaan Ci Giok Hian ternyata benar. Tiba-tiba Seng Liong Sen berkata pada isterinya.

"Giok Hian, kau lebih membela suamimu atau sahabatmu?" kata Seng Liong Sen.

"Aneh kau ini, tentu saja aku lebih membela suamiku!" kata Ci Giok Hian.

"Baik, akan kukatakan terus-terang, sebenarnya aku ke rumah Jen Thian Ngo bukan untuk urusan Kong-sun Po, tapi demi kepentinganku!" kata Seng Liong Sen.

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti?" kata Ci Ciok Hian.

Seng Liong Sen segera mendekatkan kudanya ke dekat kuda Ci Giok Hian. Setengah berbisik dia berkata pada isterinya.

"Untuk kepentinganku agar aku bisa menjadi lelaki sejati sebagai suamimu!" bisik Seng Liong Sen. "Kau mengerti maksudku?" Wajah Ci Giok Hian terasa panas dan berubah merah karena malu. Sejak mereka menikah mereka memang belum pernah berhubungan badan layaknya suami-isteri karena Seng Liong Sen impotent gara-gara Tik Bwee memberinya racun.

"Jadi kau pikir Jen Thian Ngo bisa mengobatimu?" kata Giok Hian menegaskan.

"Tidak! Hek-hong To-cu juga tidak akan bisa mengobatiku. Begitu pun Bibiku Seng cap-si Kouw, mungkin tidak bisa mengobatiku, karena dia juga tidak punya obat pemunahnya. Tapi ingat! Bibiku itu ahli racun dan dia bisa berusaha menyembuhkan aku!" jawab Seng Liong Sen.

"Heran? Kenapa kita tidak mencari Bibimu saja? Lalu untuk apa kita menemui Jen Thian Ngo?" kata Ci Giok Hian.

"Memang Jen Thian Ngo tidak ada  hubungannya dengan Bibiku, tetapi... Hm! Temanmu itu kan ada hubungannya!" kata Seng Liong Sen dengan senyum liciknya.

"Di rumah Jen Thian Ngo ada temanku? Siapa dia? Oh, jadi yang kau maksudkan nona Kiong itu!" kata Giok Hian baru sadar.

"Ya, jika aku ingin bertemu dengan Bibiku, aku harus menggunakan dia!" kata Liong Sen kembali tersenyum licik.

"Aneh, aku tidak mengerti apa maksudmu?" kata isterinya.

"Baik, aku jelaskan. Aku dengar Bibiku ada di Hek-hong- to, dia tertipu oleh ayah nona Kiong!" kata Seng Liong Sen. "Aah, apa benar begitu? Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?" kata Ci Giok Hian.

"Aku tak mau bilang karena takut kau menyulitkan aku," kata Seng Liong Sen sinis.

Itu cuma alasan Seng Liong Sen saja.

"Aku heran, Bibimu itu cerdas dan lihay, kenapa sampai bisa tertipu oleh Kiong Cauw Bun?" kata Ci Giok Hian.

"Ketika itu Bibi ada di daerah suku Biauw. Dia dikepung orang-orang yang menuduh Bibiku mencelakai Han Tay Hiong. Saat itu Kiong Cauw Bun pun ada di sana. Dengan licik dia menipu Bibiku dengan suatu rencana busuk. Setelah Bibiku cacat, Kiong Cauw Bun mem-bawa bibiku ke pulaunya." kata Seng Liong Sen.

"Dari mana kau tahu cerita itu?" tanya isterinya.

"Bu Hian Kam menceritakan kejadian itu kepada guruku. Tentang Bibiku aku dengar dari orang Biauw yang menyaksikan kejadian itu. Semua cerita itu bisa dipercaya!" kata Seng Liong Sen.

Ci Giok Hian mengangguk, dia jadi ingat kenapa Liong Sen mengajaknya pergi ke utara, ternyata karena itu.

"Jika kau sudah tahu Bibimu ada di tempat Hek-hong Tocu, kenapa kau ajak aku ke utara?" tanya Giok Hian ingin tahu.

"Semula ke utara untuk menyandera Beng Cit Nio yang aku tahu baik padamu," kata Seng Liong Sen. "Dengan menyandera Beng Cit Nio Han Tay Hiong akan muncul dan meminta pada Kiong Cauw Bun agar membebaskan Bibiku. Aku tahu kekuatan Beng Cit Nio sudah berkurang setelah dia bertarung dengan Bibi dulu. Sebenarnya rencana ini  baru  akan  kukatakan  sesampai  kita  di  rumah.  Tapi sekarang ada perubahan mendadak karena aku dengar puteri Kiong Cauw Bun ada di tempat Jen Thian Ngo. Dengan demikian kita tak perlu buang tenaga terlalu  banyak lagi!"

"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya isterinya.

Ci Giok Hian tahu suaminya licik, tetapi dia tidak mengira suaminya akan menggunakan tipu-muslihat serendah itu.

"Kau masih bertanya, tentu kita harus menangkap nona Kiong untuk dijadikan sandera. Kita paksa agar ayahnya menyerahkan Bibiku! Bukankah ini lebih baik daripada mencari Beng Cit Nio?" kata Seng Liong Sen.

"Jen Thian Ngo lihay, apa kita mampu mengalahkannya?" tanya isterinya. "Selain itu aku dengar puteri Jen Thian No juga lihay. Bagaimana kita bisa melaksanakan rencana ini?"

"Tenang saja, kalau perlu puteri Jen Thian Ngo juga kita sandera. Dengan demikian ayahnya tidak berdaya!" kata Liong Sen. "Usaha kita memang sulit dan berbahaya, tapi untuk kebahagiaan kita bersama maka itu harus kita tempuh bersama juga!"

"Bagaimana dengan Kong-sun Po?" tanya isterinya. "Biarkan saja anak dungu itu, untuk apa kita temui lagi

dia?" kata Seng Liong Sen. "Hm! Kenapa kau sebut-sebut

dia? Hm kau terkenang pada bekas kekasihmu, ya?" "Keterlaluan sekali kau menghinaku!" kata Giok Hian.

"Maafkan, aku salah bicara," kata Seng Liong Sen yang takut isterinya akan marah. "Hm! Baik, kuikuti kehendakmu. Hati-hati bicaramu, nanti kata-katamu didengar orang!" kata Ci Giok Hian.

Dengan tak banyak bicara lagi mereka bergegas mencari rumah Jen Thian Ngo. Sesudah mendapat petunjuk dari tetangga rumah Jen Thian Ngo, mereka pun singgah. Kedatangan dua tamu itu disambut oleh Jen Thian Ngo dengan perasaan heran dan curiga.

"Aah, kebetulan, bagaimana kalian bisa ada di daerah ini?" kata Jen Thian Ngo.

"Sudah lama kami dengar kau tinggal di sini, aku juga sudah lama ingin berkunjung ke mari," kata Seng Liong Sen berbasa-basi.

Melihat kedua muda-mudi itu hendak berlutut, Jen Thian Ngo mencegahnya. Dia menyuruh keduanya bangun sambil kedua tangan Jen Thian Ngo mencoba mengangkat mereka.

Seng Liong Sen kaget, dia merasakan tenaga orang tua itu kuat sekali. Seng Liong Sen sadar tuan rumah mungkin hendak menunjukkan tenaga-dalamnya yang tinggi.

"Nona Ci, ternyata kau sudah bersuami!" kata Jen Thian Ngo. "Kenapa tidak mengundangku saat kalian menikah?"

"Cuma pesta kecil-kecilan, mana berani kami menyusahkan Paman," kata Ci Giok Hian dengan malu- malu.

"Karena itu mohon maafkan kami," sambung Seng Liong Sen.

"Dulu orang tua Giok Hian sahabatku, sebaiknya kalian bermalam saja di sini untuk beberapa hari," kata Jen Thian Ngo. "Jika Paman tidak keberatan baiklah, malah aku ingin minta petunjukmu, Paman," kata Seng Liong Sen.

Sesudah mereka duduk Jen Thian Ngo mulai bicara. "Syukurlah kalian datang. Saat di Cie-lo-san aku dan

keponakanku Siauw Hong berpisah, apa kalian pernah berjumpa dengannya?" kata Jen Thian Ngo.

Orang tua ini khawatir karena kedatangan kedua anak muda itu hendak menyelidiki keadaannya, karena dia ingat Kok Siauw Hong pernah menangkap Ih Hoa Liong, muridnya. Ketika ditanya muridnya itu tak mau menjelaskan apa yang dikatakan pada Siauw Hong. Sebab Jen Thian Ngo cemas, Kok Siauw Hong akan menyebarkan kabar bahwa dia sekongkol dengan bangsa Mongol bisa berabe. Maka itu dia mencoba mengorek keterangan dari Seng Liong Sen dan isterinya.

"Aku pernah bertemu dengannya di Siong-hong-nia," kata Seng Liong Sen. "Tetapi aku tak tahu, pernahkah dia menemui Guruku?"

"Apa dia bicara tentang aku dengan kalian?"

"Tidak! Kami hanya bertemu sebentar, yang aku tahu dia sedang mencari Han Tay Hiong!"

Mendengar jawaban Seng Liong Sen, Jen Thian Ngo pun melihat pada wajah Liong Sen tampak kebencian dia pada Kok Siauw Hong. Sekalipun Seng Liong Sen berusaha menyembunyikannya, tapi Jen Thian Ngo yang berpengalaman mengetahui hal itu.

"Dia benci karena tahu isterinya bekas kekasih keponakanku. Sikapnya baik kepadaku. Entah jika dia sudah tahu aku bersekongkol dengan bangsa Mongol?" pikir Jen Thian Ngo. Sekalipun puas tapi Jen Thian Ngo masih belum tahu, apa maksud kedatangan Seng Liong Sen dan isterinya itu.

"Mana puterimu? Apa dia sudah punya calon?" kata Giok Hian.

Niat Ci Giok Hian ingin menanyakan Kiong Mi Yun, karena takut Jen Thian Ngo curiga, dia mengalihkan pertanyaan dan menanyakan puteri tuan rumah dulu.

"Dia belum punya pacar, biarlah dia sudah dewasa.

Terserah dia saja," kata Jen Thian Ngo.

Mendengar basa-basi isterinya, Seng Liong Sen mulai tak sabar, dia langsung bicara.

"Aku dengar nona Kiong ada di rumahmu, apa benar?" kata Seng Liong Sen.

"Apa yang kau maksud itu puteri Kiong To-cu?" kata Jen Thian Ngo agak curiga.

"Ya, dia sahabat baik isteriku," kata Seng Liong Sen. "Aku kenal ayahnya, tapi sudah lama tidak pernah

bertemu dengannya," kata Jen Thian Ngo. "Dia memang ada di sini! Aah cepat sekali kau mendengar tentang dia?"

"Aku dengar dari seorang kawanku, tadinya aku tidak percaya," kata Seng Liong Sen.

Jen Thian Ngo memang cerdas, dari kawan yang mana Seng Liong Sen mendapat informasi? Jika dari anak buah Jen Thian Ngo yang diperintahkan "menculik" nona Kiong, tentu saja tidak mungkin. Dengan demikian terbuka sudah rahasia Seng Liong Sen. Dia jelas berbohong. Jen Thian Ngo sudah tahu kedatangan kedua suami-isteri itu mencari nona Kiong.

"Tunggu sebentar, akan kupanggil puteriku dan nona Kiong agar menemui kalian!" kata Jen Thian Ngo. Ketika itu di kamar Jen Gong Siauw, Kiong Mi Yun dan Hong Siauw sedang bercerita hal yang lucu, saat Mi Yun menyamar jadi pria dan jatuh cinta kepada Han Pwee Eng yang sebenarnya tunangan Kok Siauw Hong

"Sungguh menggelikan," kata Kiong Mi Yun.

"Kenapa geli, walau kejadian itu lucu juga," kata Hong Siauw.

"Aku tidak bisa menyalahkan Siauw Hong," kata Mi Yun.

"Aku kira Giok Hian juga salah, kenapa kekasih orang dia rebut? Aku dengar sekarang Giok Hian sudah menikah dengan Seng Liong Sen!" kata Jen Hong Siauw.

Tak lama ayahnya datang dan ayahnya mengatakan suamiisteri itu ingin bertemu dengan mereka, Hong Siauw bereaksi.

"Aku sebal menemui mereka!" kata Hong Siauw.

"Aku ingin tahu keadaan di luaran, mari kita temui saja mereka!" kata Kiong Mi Yun.

Mereka bersama-sama menemui suami-isteri itu.

Ci Giok Hian girang bertemu dengan Kiong Mi Yun, tapi dia jadi malu sendiri karena suaminya berniat jahat pada sahabatnya itu.

Di ruang tamu ada Jen Thian Ngo, maka itu saat Ci Giok Hian bicara dia agak kikuk. Hal ini dilihat oleh Kiong Mi Yun yang sedikit curiga. Wajah Ci Giok Hian tidak segembira dulu, saat dia berkelana.

"Apakah hidupnya tidak bahagia?" begitu Kiong Mi Yun menduga-duga. "Aku senang kalian yang muda-muda bisa bergaul," kata Jen Thian Ngo. "Sebenarnya masih ada seorang lagi, dia tamu mudaku yang perlu kuundang ke mari untuk berkenalan dengan kalian!"

"Siapa dia, Paman?" kata Ci Giok Hian.

"Dia Yan Kong-cu!" jawab tuan rumah. "Aku rasa ada baiknya kalian berkenalan dengannya."

Ci Giok Hian segera dapat menangkap nada pembicaraan Jen Thian Ngo. Maka itu Ci Giok Hian menduga, Yan kong-cu itu pasti caton puteri tuan rumah.

"Ah, selamat Hong Siauw, ternyata kau sudah punya....

Kenapa tidak kau perkenalkan pada kami?" kata Ci Giok Hian.

"Aku baru kenal dengannya, kau jangan bicara begitu aku jadi malu," kata Hong Siauw.

Dia bilang begitu tapi hatinya senang sekali.

"Kalau begitu, mari kita bicara di tempat lain saja," kata Ci Giok Hian.

Pucuk dicinta ulam tiba, begitu kata pepatah. Sebenarnya nona Kiong pun ingin bicara berdua saja dengan Ci Giok Hian, maka itu dia senang sekali.

"Kau mau bermalam di sini?" kata Kiong Mi Yun. "Mungkin!" jawab Giok Hian.

"Kalau begitu kau minta izin pada suamimu, agar malam ini saja kau tidur bersamaku," kata Mi Yun.

Seng Liong Sen yang mendengar kata-kata itu justru senang sekali.

"Kalian sahabat lama, jangankan hanya semalam beberapa malam pun boleh saja!" kata Liong Sen. "Sebelum kau pergi, kenalan dulu dengan Yan Kong-cu, dia juga bukan orang lain," kata Jen Thian Ngo. "Apa kau tak keberatan, Nyonya Seng?"

"Oh, tidak, kami orang kang-ouw tidak ada masalah." kata Ci Giok Hian yang mengira Jen Thian Ngo salah paham, karena baru menikah dia tidak mau bertemu dengan lelaki lain.

"Kalau begitu tunggu sebentar, sebelum kalian masuk," kata Jen Thian Ngo.

Sesudah itu Jen Thian Ngo masuk ke dalam akan mengundang Yan Kong-cu alias Wan-yen Hoo. Tetapi sebelum mereka keluar lagi, Jen Thian Ngo memberitahu Wan-yen Hoo, siapa saja tamunya itu. Dengan ramah Wan-yen Hoo memberi hormat kepada Seng Liong Sen.

"Sudah lama aku dengar namamu yang terkenal di kalangan kang-ouw, hari ini beruntung kita bisa berkenalan di sini," kata Wan-yen Hoo.

"Aku baru saja mengembara, bagaimana sudah dikatakan terkenal?" kata Seng Liong Sen yang sebenarnya dia senang mendapat pujian itu.

"Aku bukan mau omong kosong, kau memang sudah terkenal bah-wa kau pengganti gurumu, Seng Siauw-hiap!" kata Wan-yen Hoo.

Melihat wajah Wan-yen Hoo yang ganteng, tapi mulutnya manis hanya dibuat-buat Ci Giok Hian ngeri dan sebal juga.

Sesudah itu dia juga memuji-muji Ci Giok Hian yang katanya mereka merupakan pasangan serasi. Sesudah berbasa-basi Ci Giok Hian yang hatinya tidak senang, langsung   mengajak   Hong   Siauw   dan   Kiong   Mi  Yun meninggalkan ruang tamu. Nona Hong Siauw agak kecewa melihat sikap Ci Giok Hian ini, tapi dia tetap ikut masuk.

Sesudah semua pergi, Seng Liong Sen berbincang- bincang dengan gembira bersama Wan-yen Hoo, seolah cocok dengan pemuda yang baru dikenalnya itu.

Mereka berbincang sampai jauh malam. Suatu saat Wan- yen Hoo mengajak Seng Liong Sen jalan-jalan di taman untuk menikmati cahaya rembulan yang indah.

Tiba-tiba Seng Liong Sen ingat kepada Kong-sun Po. Dia yakin bocah itu sedang menunggu dia di suatu tempat. Pembicaraan semakin asyik sampai bicara ke soal syair. Dia lalu membicarakan syair-syair Su Tung-po yang terkenal di zaman Song Utara. Wan-yen Hoo membacakan syair-syair Su Tung Po itu. Kemudian dia membacakan sajak orang asing. Sesudah itu dia bertanya pada Seng Liong Sen.

"Tahukah kau sajak siapa yang kubacakan tadi?" kata Wan-yen Hoo sambil mengawasike arah Seng Liong Sen.

"Tidak," jawab Seng Liong Sen jujur.

"Itu sajak bangsa Kim, ciptaan Wan-yen Liang!" kata Wan-yen Hoo menjelaskan. "Dia orang yang mengalahkan Kerajaan Song dulu!"

"Eh, apa maksudnya membicarakan sajak bangsa asing?" pikir Seng Liong Sen keheranan.

Sesudah itu Wan-yen Hoo bicara soal ilmu silat yang dia katakan, ilmu silat bangsa asing tak kalah lihaynya dengan ilmu silat bangsa Han. Seng Liong Sen tersinggung mendengar hal itu.

"Anda benar, misalnya saja Bu-lim Thian-kiauw Tam Yu Cong, dia lihay dan dia bangsa Kim," kata Seng Liong  Sen. "Tapi menurutku semua ilmu silat yang ada tidak setinggi milik bangsa Han!"

"Anda murid Bun Tay-hiap, pasti sudah mewarisi semua kepandaiannya, bukan?" kata Wan-yen Hoo agak panas mendengar negaranya diremehkan oleh Seng Liong Sen.

"Benar, tapi walaupun aku muridnya, aku tidak berbakat seperti beliau, jadi ilmu silatku masih rendah," kata Seng Liong Sen merendah sambil memberi hormat.

Sebenarnya Seng Liong Sen mengakui, dia seorang jago silat ternama.

"Sebaliknya aku, aku tidak memperoleh guru silat yang ternama, sekalipun aku pernah belajar ilmu silat bangsa Kim," kata Wan-yen Hoo. "Kebetulan kita berkenalan di sini, maukah kau menunjukkan beberapa jurus kepadaku sebagai pelajaran bagiku?"

Seng Liong Sen sedikit kaget, ketika dia tahu secara  halus sahabat barunya ini menantang dia. Maka itu dia berkata lagi.

"Kau sebagai sahabat baruku, tidak perlu kau bilang aku memberi petunjuk segala," kata Seng Liong Sen.

"Aku dengar gurumu ahli tiam-hiat, maka itu aku ingin belajar kenal dengan ilmu tersebut. Maafkan kelancanganku," kata Wan-yen Hoo.

Kaget juga Seng Liong Sen mendengar permintaan yang sebenarnya bemaksud menantang ilmu totoknya itu. Sebelum dia sempat menjawab, dengan cepat jari Wan-yen Hoo menotok ke arah dada Seng Liong Sen.

Bukan main kagetnya Seng Liong Sen, tapi segera dia berkelit sambil memuji.

"Totokan yang hebat!" kata Seng Liong Sen. Sesudah itu Liong Sen balas menyerang dengan sebuah totokan yang juga lihay.

"Bagus! Totokan yang bagus sekali!" puji Wan-yen Hoo sambil mengelak.

"Awas seranganku!" kembali Wan-yen Hoo menotok dengan sebuah gerakan yang indah.

Gerakan totokan itu belum pernah dilihat oleh Seng Liong Sen, maka itu dia keheranan.

"Ilmu macam apa ini?" pikir Seng Liong Sen.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar