Beng Ciang Hong In Lok Jilid 42

 
Mendengar jawaban itu tentu saja Han Hie Sun jadi ngeri.

"Bun Yat Hoan," kata Bu Bong Tay-su. "Sekarang apa maumu, katakan saja. Apa kau kira kami takut padamu?"

"Apa mauku? Baik, jika kau ingin tahu kelihayanku, silakan aku terima tantanganmu!" kata Bun Tay-hiap.

Cian Tiang Cun tertawa. "Aku dan Pek Lo-su akan mengadakan perhitungan lama dengannya!" kata Cian Tiang Cun dengan angkuh.

"Benar, aku juga harus mengadakan perhitungan dengan Wan-yen Kong-cu!" kata Kong-sun Po yang tidak mau ketinggalan.

Mendengar tantangan Kong-sun Po tentu saja Wan-yen Hoo senang. Dia pikir karena pengaruh racun di tubuh Kong-sun Po belum seluruhnya punah, dia yakin akan memenangkan pertarungan.

"Baik, aku terima tantanganmu Kong-sun Siauw-hiap. Kita bertarung dalam tiga pasangan. Sesuai peraturan jika dua pasangan memperoleh kemenangan, maka dialah pemenangnya. Bagaimana kau setuju?" kata Wan-yen Hoo. "Silakan Saudara Pek maju lebih dulu!"

Bun Yat Hoan mengerti, Wan-yen Hoo ingin maju yang pertama. Tapi sudah didahului oleh permintaan Bun Yat Hoan pada Pek Tek.

"Baik, aku setuju bagaimana kehendakmu saja!" kata Bun Yat Hoan.

Pek Tek maju lebih dulu.

"Cian Tiang Cun, kau tamuku. Silakan kau dulu!" kata Pek Tek.

Wan-yen Hoo kecewa. Semula dia yang ingin maju lebih dulu dengan perhitungan pengaruh obat di tubuh Kong-sun Po masih bekerja. Tapi sekarang Cian Tiang Cun yang  maju lebih dulu.

"Mari," kata Cian Tiang Cun. "Terimalah seranganku!"

Tiba-tiba tangannya menyerang Pek Tek karena dia anggap  sekarang  sudah  tua  hingga  tenaganya  berkurang. Dia yakin, jika tak bisa mengalahkan Pek Tek, paling tidak mereka seimbang.

Tiga serangan Cian Tiang Cun berhasil ditangkis oleh Pek Tek. Pertarungan berlangsung seru, tapi Kong-sun Po agak mencemaskan keadaan Pek Tek yang sudah tua.

Tadi saat diserang pun Pek Tek mundur, jika dihitung dia sudah tujuh kali mundur. Tapi anehnya tiba-tiba dia berdiri tegak. Setiap serangan lawan dia hadapi dengan berani. Sekarang Kong-sun Po jadi lega, dia yakin Pek Tek bisa mengatasi lawannya. Begitu pun Bun Yat Hoan yang kelihatan tenang tersenyum simpul.

"Celaka, dugaanku keliru semakin tua dia semakin lihay." Pikir Cian Tiang Cun. "Rupanya sulit aku mengalahkannya dalam waktu singkat!"

Karena hatinya bimbang serangan Cian Tiang Cun tidak sehebat tadi. Malah dia seolah tidak mengharapkan kemenangan seperti tadi, karena pikirnya seimbang pun sudah bagus.

Pek Tek tahu lawannya mulai jerih, dia gunakan Kim-n;i elu, serangan ini membuat Cian Tiang Cun kewalahan.

Pertarungan berjalan cukup lama, sesudah lebih dari tigapuluh jurus, Cian Tiang Cun hanya mampu bertahan karena tidak bisa menyerang lawannya lagi.

Satu saat dengan terkejut Cian Tiang Cun melompat mundur. Bahunya berdarah. Jelas dia tercengkram serangan Pek Tek yang lihay.

"Pek Lo-su kau hebat, aku kagum padamu!" kata Cian Tiang Cun. "Kau juga hebat, tapi aku heran kenapa kau mau jadi budak bangsa Kim? Baik, aku tidak mengambil jiwamu, cukup sampai di sini saja!" kata Pek Tek.

Sebenarnya jika pertarungan lebih lama lagi Pek Tek akan kewalahan karena tenaganya terkuras. Untung Cian Tiang Cun menyerah kalah.

Menyaksikan kawannya kalah, Bu Bong Tay-su maju. "Hm! Masih ada dua partai lagi, belum tentu kami yang

kalah!" kata Bu Bong Tay-su yakin sekali. "Aku dengar kau

akhli Tie-pit-su-seng, silakan kau maju!"

"Baik," kata Bun Yat Hoan sambil tertawa. "Sepuluh tahun alat tulisku ini (maksudnya pit) aku simpan saja. Untuk memenuhi permintaanmu, terpaksa kugunakan lagi!"

Bu Bong membuka jubah merahnya.

"Senjataku hanya jubah ini, mohon kau berbelas kasihan padaku," kata Bu Bong Tay-su. "Jika kau tidak berbelas kasihan, baiklah aku akan menyerah kalah saja!"

"Baik, silakan kau maju!" kata Bun Yat Hoan.

"Awas!" kata Bu Bong yang langsung mengibaskan jubah merahnya ke arah Bun Yat Hoan.

Bun Yat Hoan menghindari serangan itu dengan mengelak sedikit, sedangkan pitnya langsung menotok jalan darah Iegie-hiat di iga lawan. Bu Bong Tay-su menggeser kakinya, dia hindari serangan Bun Yat Hoan. Sesudah itu Bu Bong pun menyabetkan jubah merahnya dengan hebat.

Bun Yat Hoan terkejut merasakan kehebatan kebutan lawannya ini. Sebagai jago Bun Yat Hoan bersikap tenang. Dia segera membalas dengan beberapa totokan ke arah lawan. Pitnya berkali-kali mengarah ke setiap jalan darah lawan. Tapi Bu Bong seorang jago yang lihay, dia mampu menangkis maupun menghindari totokan lawannya.

"Aah, ternyata pitmu yang dikatakan lihay, ternyata hanya begini saja," ejek Bu Bong.

Tapi Bun Yat Hoan cuma tertawa.

"Sabar, kau akan menyaksikan kelihayannya nanti!" kata Nun Tay-hiap.

Saat Bu Bong diserang dia gunakan jubah merahnya menutup tubuhnya. Saat itu seakan-akan Bu Bong berada di tengah warna merah jubahnya saja. Sedang pit Bun Yat Hoan tak mampu menerobos untuk melukainya.

Sebagai jago silat Bun Yat Hoan tahu betapa lihaynya Bu Bong Tay-su. Maka itu dia tidak berani sembarangan maju hingga terjebak akal musuhnya. Bun Yat Hoan mencari akal untuk merusak konsentrasi lawan, terutama mengalahkan tenaga dalamnya yang lihay.

Tiba-tiba Bun Yat Hoan melakukan serangan kilat, dan ditangkis oleh Bu Bong menggunakan jubahnya dan jubah melembung seperti balon menahan serangan lawan.

Saat itu terdengar suara senjata Bun Yat Hon yang mengenai jubah merah. Sekalipun tak bisa merobek jubah itu, tapi meninggalkan sedikit bekas.

Bu Bong Tay-su tersenyum puas.

"Hm! Tak salah dugaanku, pitnya tak mampu melubangi jubahku!" pikir Bu Bong.

Kelihatan Bu Bong girang sekali. Bu Bong tak sadar kalau itu cuma "tipuan" Bun Yat Hoan yang "membiarkan" lawannya senang kalau jubahnya tidak tembus. Sebenarnya Bun Yat Hoan sedang menunggu saat yang tepat untuk mengalahkan sang lawan. Bu Bong Tay-su yang kegirangan melancarkan serangan bertubi-tubi hingga Bun Yat Hoan harus terus mundur. Bu Bong Tay-su yang bertambah girang, terus melancarkan serangannya.

Tapi tiba-tiba terdengar bentakan Bun Yat Hoan. "Berhasil!" kata Bun Yat Hoan.

Memang di luar dugaan Bu Bong Tay-su, tiba-tiba pit Bu Yat Hoan menerobos cepat bagaikan kilat, bahkan mampu melubangi jubah merah lawan.

"Kiranya berhasil!" teriak Kong-sun Po.

Bu Bong Tay-su melemparkan jubah merahnya dengan keras ke muka Bun Yat Hoan. Lemparan jubah ini dibarengi dengan sebuah totokan yang lihay. Bun Yat Hoan kaget. Untuk menghindari serangan itu hanya ada satu cara, dia lemparkan pitnya lalu dengan kedua tangannya dia hantam jubah merah lawan hingga jatuh.

Bu Bong Tay-su tertawa terbahak-bahak.

"Kau berhasil melubangi jubah merahku, dan aku juga berhasil menjatuhkan pitmu! Pertandingan ini kita anggap seri saja!" kata Cu Bong.

Sebenarnya ucapan Bu Bong hanya untuk "menutupi" rasa malunya saja, karena tadi dia sesumbar bisa mengalahkan Bun Yat Hoan. Padahal dia pun sadar kalau dia telah kalah.

"Hm! Enak saja, kau memang tak tahu malu. Memang kau yang menjatuhkan pit Bun Tay-hiap?" kata Kong-sun Po.

"Sudah! Sudah, jangan paksa dia supaya mengaku kalah!" kata Bun Yat Hoan sambil tertawa. "Dia masih penasaran, biar dia maju lagi!" Bu Bong yang telah dikalahkan satu babak, lalu maju ingin menjajal yang kedua kalinya. Tapi Bun Yat Hoan melepaskan pit yang satunya, lalu dengan tangan kosong mereka akan bertarung.

Oleh karena pernah dikalahkan, sekarang Bu Bong tidak berani memandang ringan lawannya. Tapi Bu Bong melakukan serangan gencar. Jurusnya pun aneh hingga Bun Yat Hoan tertarik menyaksikannya. Sebagai jago bergelar Thie-pit-suseng (Sastrawan bersenjata pit besi), sekalipun tanpa Poankoan-pit, Bun Yat Hoan tetap lihay totokannya.

Pertarungan jadi semakin hebat, dan Bun Yat Hoan dengan tenang mempelajari serangan lawan. Dia tahu Bu Bong menggunakan jurus totokan yang ada di lukisan Hiat- to-tongjin.

Rupanya dia mempelajari lukisan itu yang dipinjam dari Wan-yen Tiang Cie yang bukan aslinya. Tapi sekalipun bagus belum seistimewa aslinya. Saat itu Pek Tek dan Kong-sun Po sedang asyik menyaksikan pertarungan tingkat tinggi itu. Tapi tiba-tiba Pek Tek membisiki telinga Kong-sun Po.

"Apa tidak kau dengar, rupanya pasukan musuh datang.

Tak lama lagi tempat ini akan terkepung!" bisik Pek Tek.

Pada saat keadaan mulai gawat, Kong-sun Po maju menantang.

"Wan-yen Hoo, mari kita bertanding!" kata Kong-sun Po.

"Hm! Kau kira aku takut padamu? Kau sudah berkali- kali aku kalahkan!" kata Wan-yen Hoo.

Wan-yen Hoo tak sadar kalau sekarang Kong-sun Po telah pulih dari keracunannya karena ditolong gurunya. Sedang  Kong-sun  Po  yang  tidak  sabar  dan  geram  pada Wan-yen Hoo langsung menyerang dengan jurus andalannya "Hui-liong-caythian" (Naga Terbang Ke Langit).

Wan-yen Hoo merasakan serangan Kong-sun Po sangat dahsyat hingga dia seolah terdorong pukulan dahsyat dan dia kaget! Terpaksa dia menggunakan jurus istimewanya untuk menghadapi lawan hingga dia baru bisa mengatasi serangan itu.

Kong-sun Po yang penasaran menyerang secara bergelombang, serangannya saling susul. Sekalipun Wan- yen Hoo lihay ilmu totoknya, tapi diserang demikian gencar dia tidak berdaya. Dengan demikian Wan-yen Hoo terdesak terus. Melihat kawannya dalam bahaya, Han Hie Sun maju.

"Kong-sun Siauw-hiap, aku juga ingin belajar kenal dengan ilmu silatmu!" kata Han Hie Sun.

Sebelum Han Hie Sun maju, Pek Tek menghadang di depannya.

"Hm! Han Kong-cu apa kau tidak tahu peraturan Kangouw?" kata Pek Tek. "Jika tanganmu gatal, baik kau akan kulayani barang satu dua jurus!"

Melihat Pek Tek tentu saja Han Hie Sun kaget.

"Mana aku berani melawanmu, Pek Lo-su! Aku maju karena kuatir Kong-sun Siauw-hiap menyusahkan tamu Ayahku." Kata Han Hie Sun.

"Karena memandang ayahmu, maka aku tidak ingin menyusahkan kau. Tapi jika aku disuruh mengalah pada pangeran asing itu, aku tidak bisa!" kata Pek Tek tegas.

Kelihatan Han Hie Sun jadi serba-salah.

Saat itu di luar rumah terdengar suara pertempuran. Soraksorai pun terdengar jelas. Ternyata itu perajurit dari gedung Perdana Menteri yang dipimpin oleh Su Hong. Mereka mendapat hadangan dari orang-orang Bun Yat Hoan.

Di tengah kalangan tiba-tiba Kong-sun Po mengeluarkan bentakan keras, dibarengi dengan serangan hebat ke kepala Wan-yen Hoo, Wan-yen Hoo yang kaget segera menjatuhkan diri hendak bergulingan untuk menyelamatkan diri dari serangan maut Kong-sun Po. Tetapi cengkraman Kong-sun Po membayanginya.

"Jangan lukai dia!" teriak Pek Tek.

Kong-sun Po berhasil mencengkram tengkuk Wan-yen Hoo.

"Baik, Pek Lo-su!" kata Kong-sun Po.

Saat itu Su Hong dan anak buanya sudah masuk ke dalam rumah Bun Yat Hoan. Melihat Wan-yen Hoo berada dalam cengkraman musuh, Su Hong menghentikan langkahnya. Mereka bengong keheranan.

"Jika ada masalah mari kita bicarakan!" kata Han Hie Sun. Sesudah mendengar majikan mudanya bicara, Su Hong pun ikut bicara.

"Ya! Kalian pun sudah terkepung. Di luar para pemanah telah siap! Kalian tidak bisa lolos!" kata Su Hong.

"Baik, kami tidak berharap akan selamat. Tetap sebelum aku mati, Wan-yen Hoo kubunuh lebih dulu!" kata Kong- sun Po.

"Kau keluar, hentikan pertempuran!" kata Han Hie Sun pada Su Hong.

Su Hong bergegas keluar.

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Han Hie Sun?" kata Kong-sun Po. "Menurut pepatah kuno: "Berdamai lebih baik daripada bertarung"," kata Han Hie Sun sambil tersenyum. "Bagaimana pendapatmu?"

"Baik, katakan apa maumu?" kata Kong-sun Po. "Bebaskan dia, dan aku akan membawa pasukanku

kembali!" kata Han Hie Sun.

"Baiklah, sekalipun aku curiga maksud kedatangan kalian, khususnya apa yang akan kau lakukan terhadap Bun Tayhiap? Katakan selanjutnya apa yang kau mau?" kata Kong-sun Po.

"Selanjutnya aku tidak tahu, terserah Ayahku saja!" kata Han Hie Sun.

"Kabulkan saja permintaannya! Jika Han To Yu ingin menghadapiku, silakan saja jika mampu!" kata Bun Yat Hoan.

Bun Yat Hoan berkata-kata sambil terus menyerang Bu Bong Tay-su, hingga lawannya hampir kehabisan napas. Sekarang pertarungan di luar sudah dihentikan, kini tinggal Bun Yat Hoan dan Bu Bong yang masih bertarung hebat.

"Harap hentikan perkelahianmu, Bu Bong Tay-su!" teriak Han Hie Sun.

Tapi Bu Bong seolah tidak mendengarnya dia masih bertarung. Rupanya pertarungan jago tingkat tinggi tidak mudah dihentikan begitu saja. Melihat lawan sudah kepayahan, akhirnya Bun Yat Hoan mengalah. Dia mundur perlahan-lahan, sedang Bu Bong Tay-su tampak kepayahan. Akhirnya dengan wajah lesu Bu Bong Tay-su mengeluh.

"Mari kita pulang saja!" kata Bu Bong.

Saat mereka akan pergi, Kong-sun Po membentak. "Tunggu!" kata Kong-sun Po.

Tangan Kong-sun Po masih mencengkram bahu Wan- yen Ho dengan keras.

"Kau mau apa lagi?" kata Han Hie Sun. "Bukankah kita sudah setuju berdamai?"

"Benar, aku tak ingkar janji. Tapi kembalikan payungku, jika kau kembalikan baru dia aku lepaskan!" kata Kong-sun Po.

"Tapi kau lihat sendiri, payung itu tidak kami bawa," kata Wan-yen Hoo.

"Masa bodoh, selama payungku belum kembali kau tetap di sini!" kata Kong-sun Po tegas.

Baik Wan-yen Hoo maupun Han Hie Sun jadi bingung. "Baik, akan kuusahakan," kata Han Hie Sun yang

langsung minta izin keluar.

Saat Han Hie Sun masuk dia datang bersama See-bun Chu Sek. Di tangan See-bun Chu Sek terdapat payung milik Kong-sun Po.

Sesudah dikalahkan di penginapan, See-bun pulang. Setelah sampai Su Hong bersama anak buahnya berangkat ke tempat Bun Yat Hoan. Sambil membawa payung See- bun Chu Sek menyusul dan dia kira mereka memperoleh kemenangan.

Tak diduga justru Wan-yen Hoo berada di tangan Kong- sun Po.

"Itu payungmu, sekarang bagaimana? Apakah kau mau membebaskan aku?" kata Wan-yen Hoo.

Sesudah menerima payung itu Kong-sun Po berniat melepaskan sanderanya. Tapi tiba-tiba Pek Tek berseru. "Tunggu dulu!" kata Pek Tek.

Mendengar ucapan Pek Tek, Han Hie Sun kaget. "Kau mau apa lagi, Pek Lo-su?" kata Han Hie Sun.

"Terus-terang aku tidak percaya pada kalian, maka itu kami minta diantar oleh Wan-yen Hoo. Jika kalian tidak percaya kalian boleh ikuti kami!" kata Pek Tek.

"Jika kalian tidak percaya pada kami, kami juga begitu!" kata Wan-yen Hoo.

Bun Yat Hoan gusar.

"Hm! Jangan kau samakan kami dengan bangsa Kim yang tak bisa dipercaya! Sesampai di kaki gunung, kau pasti kami bebaskan!" kata Bun Yat Hoan.

"Kau jangan takut, Wan-yen Kong-cu, kata-kata Bun Tayhiap dapat dipercaya!" kata Han Hie Sun.

Sesudah itu Bun Yat Hoan dan kawan-kawannya turun gunung dengan diantar oleh Han Hie Sun, sedang Wan-yen Hoo tetap disandera. Sampai di bawah Bun Tay-hiap memerintahkan agar Wan-ye Hoo dibebaskan.

"Katakan pada ayahmu, tentara rakyat tak bisa dimusnahkan! Kami akan tetap berj uang melawan musuh dan tidak memusuhi ayahmu. Tetapi jika kami terlalu didesak, kami pun tak segan-segan untuk bertindak!" kata Bun Yat Hoan.

Han Hie Sun hanya mengiakan tanpa banyak bicara, lalu Han Hie Sun dan Wan-yen Hoo segera meninggalkan mereka.

Sesudah kedua orang itu pergi Bun Yat Hoan mengatakan bahwa dia akan melakukan konsolidasi dengan kawan-kawan  seperjuangannya.  Bun  Yat  Hoan  meminta agar perubahan politik pemerintah disampaikan pada Hong- lai-mo-li. Maka itu dia tidak bisa ke Kim-kee-leng.

"Harap kau berhati-hati, musuhmu semakin banyak," kata Pek Tek pada Kong-sun Po.

"Baik," kata Kong-sun Po.

Mulutnya berkata begitu tapi hatinya malah berharap bisa bertemu lagi dengan pangeran Kim itu dan dia akan menghajarnya karena "pembalasannya" tadi, dia rasakan belum cukup, karena sakit hatinya dipermainkan oleh pangeran itu.

Maka berangkatlah Kong-sun Po. Sesudah menyeberangi sungai Tiang-kang dia berjalan menuju ke utara. Di sepanjang jalan dia tidak mengalami sesuatu dan aman- aman saja.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Dikisahkan Kong-sun Po sedang melakukan perjalanan menuju ke kota Kah-san-kwan di Shoa-tang seorang diri. Karena tidak ada gangguan di perjalanan, tak lama dia sudah sampai ke Shoa-tang. Sedang dari Kah-san-kwan ke Kim-keeleng hanya butuh tiga hari perjalanan saja..

Saat Kong-sun Po sedang berjalan santai, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda sedang mendatangi, dua penunggang kuda yang wajahnya tampak bengis  mengawasi padanya. Kong-sun Po menduga kedua penunggang kuda bersenjata lengkap itu orang kalangan Liok-lim (Golongan Rimba Hijau) alias para penjahat. Kedua penunggang kuda itu mengawasi ke arah Kong- sun Po dengan matanya yang tajam. Saat kuda mereka sudah dekat, Kong-sun Po menepi memberi jalan. Kedua penunggang kuda itu melintas dan salah seorang bicara. Tapi karena bahasa yang dipergunakan Kang-ouw, Kong-su Po tidak paham kata-katanya.

Kong-sun Po tidak takut pada kedua orang Rimba Hijau itu, karena jika dia dirampok pun uangnya hanya tinggal sepuluh tail saja. Tetapi kedua penjahat itu tidak bertindak apa-apa.

"Aah, aku terlalu bercuriga," pikir Kong-sun Po geli. Dengan santai Kong-sun Po melanjutkan perjalanan. Tapi tiba-tiba dia kaget ketika mendengar suara derap kuda. Saat dia menoleh, ternyata dua penunggang kuda tadi yang dia kira orang Lioklim itu sedang melarikan kudanya ke arahnya. Kong-su Po tak takut, dia menghentikan langkahnya berdiri di tengah jalan.

Lagi-lagi Kong-sun Po salah duga, ternyata kedua penunggang kuda itu tidak minta jalan. Malah mereka menepi ke kiri dan kanan lalu meneruskan perjalanan mereka. Kong-sun Po keheranan.

"Eh, mau apa orang-orang ini? Sekalipun wajahnya garang tapi belum tentu mereka penjahat!" pikir Kong-sun Po

Kong-su Po kembali melanjutkan langkahnya. Tapi menjelang sore. Tiba-tiba dari belakang dia muncul lagi dua penunggang kuda yang lain. Mereka berwajah garang dan membawa senjata. Saat melewati Kong-sun Po mereka menoleh hingga membuat Kong-sun Po curiga.

Karena cuaca semakin gelap, Kong-sun Po akan mencari tempat untuk bermalam. Saat itu kembali terdengar derap kaki kuda dari atas gunung mendatangi ke arah Kong-sun Po. Dari pembicaraan mereka Kong-sun Po menduga, orang-orang itu mengira dia membawa barang berharga. Tapi kawannya kurang yakin hingga keduanya berdebat. Sekarang Kong- sun Po semakin yakin, bahwa mereka memang dari golongan Liok-lim.

"Eeh, mereka pergi ke mana? Kenapa tidak kulihat lagi mereka? Jangan-jangan gunung itu sarang mereka?" pikir Kong-sun Po sambil mengawasi gunung yang ada di depannya.

Cuaca sudah gelap. Kong-sun Po jadi iseng dia ingin tahu mau apa mereka, dia berlari cepat untuk mencari tahu.

Sampai di tengah hutan Kong-sun Po kehilangan jejak mereka. Dia tak tahu di mana mereka berada.

Ketika Kong-sun Po sedang bingung mencari mereka, tibatiba dia mendengar suara.

"Plok! Plok!" itu dua tepukan tangan dari tempat gelap. Kong-sun Po tahu suara itu datang dari arah timur, rupanya mereka sudah sepakat akan bertemu di sana. Diam-diam Kong-sun Po menuju ke tempat suara tadi. Dia kaget saat melihat ada api unggun di tengah hutan terbuka. Malah Kong-sun Po pun lihat keenam penunggang kuda yang dia lihat dijalan tadi ada di situ.

Diam-diam Kong-sun Po naik ke atas pohon. Dari sana dia bisa melihat dengan jelas ke arah mereka. Tak lama Kong-sun Po mendengar salah seorang dari mereka bicara.

"Kelihatannya dia tidak membawa apa-apa, pasti ada yang dia sembunyikan. Jika bukan emas mungkin barang berharga lainnya," kata yang seorang. Kong-sun Po insyaf apa maksud mereka. Mereka itu penjahat yang sudah akhli dan tahu korbannya membawa barang apa. Contohnya jika dia membawa emas atau uang perak, maka orang itu akan berjalan lambat, sebaliknya jika membawa permata dia akan berjalan biasa. Tapi bawaannya lebih berharga.

Sedikitpun mereka tidak mengira benda berat yang dibawa Kong-sun Po payungnya. Maka itu salah seorang dari mereka berkata.

"Pasti dia membawa benda berat, maka itu kita harus waspada. Sungguh berani dia berjalan sendirian. Aku yakin dia pandai ilmu silat!" kata orang itu.

"Hm! Jadi kalian ragu terhadap diriku?" pikir Kong-sun Po geli.

"Tidak perlu," kata yang ketiga. "Itu makan waktu, kita pun akan kehilangan kesempatan baik!"

"Kita tidak boleh dianggap remeh, kenapa kita harus takut kepadanya?" kata orang keempat.

"Kita berenam masa kalah olehnya. Sekalipun dia pandai ilmu silat." kata orang kelima.

"Sabar," kata orang yang keenam. "Dia belum sampai ke sini, kenapa kalian ribut?"

"Sekalipun demikian harus kita rencanakan dulu bagaimana kita menyergapnya, jangan sampai saatnya malah kacaubalau," kata yang pertama.

"Tahukah kalian, kenapa aku bilang harus sabar, sebab Han Toa-ko dari Tiauw-houw-kan akan segera datang," kata orang yang keenam. "Pengalaman dia lebih luas. Sekarang dia sedang mencari tahu asal-usul bocah itu!" "Jika dia datang, tentu bagian kita akan lebih sedikit," kata kawannya.

Saat itu terdengar tepukan tangan dua kali. "Itu Han Toa-ko sudah tiba!" kata mereka.

Seorang pria yang memelihara bewok muncul sambil tertawa terbahak-bahak.

"Kalian salah duga, aku bukan Han Toa-ko! Apa aku boleh bergabung?" kata si bewok.

Ternyata dia bukan Han Toa-ko yang dimaksud mereka. "Aku dengar kau ikut See-cun Sian-seng dan hidup senang, apa kau masih ingin melakukan pekerjaan kaum Rimba Hijau, Kim Toa-ko?" kata orang yang keenam.

Dulu si bewok memang penjahat terkenal, bahkan lebih tekenal dari Han Toa-ko si Harimau Melompat. Tapi kemudian dia ikut bergabung dengan See-bun Souw Ya.

"Ah, hanya seekor domba kecil, apa artinya bagiku. Aku datang ke mari justru mau memberi kalian sesuatu yang lebih berharga!" kata orang she Kim itu.

"Wah, kami senang jika Kim Toa-ko mau berbagi rejeki dengan kami. Tapi katakan dulu, apa yang harus kami lakukan untuk mendapatkannya?" kata salah seorang dari keenam orang itu.

"Aku yakin kalian kenal dengan Hek-hong To-cu, bukan?" kata orang she Kim.

"Ya, kami kenal. Kami dengar dia sudah ada di Tiong- goan, apa benar?" kata mereka.

"Hebat pendengaran kalian, benar. Malah tak lama lagi dia bakal jadi Bu-lim Beng-cu!" kata orang she Kim itu. "Yang kami dengar yang akan menjadi Bu-lim Beng-cu se-Tionggoan itu See-bun Souw Ya, kalau begitu mereka bisa rebut dan berkelahi!" kata si orang pertama.

"Aku kira sebaiknya tidak berkelahi, malah See-bun harus beusaha mendekatinya," kata si orang she Kim.

"Apa benar? Apa mau See-bun Souw Ya berada di bawahnya?" kata orang pertama.

"Sudah jangan ribut, aku kira kalian tidak tahu masalahnya," kata orang she Kim. "Jangan salah See-bun Souw Ya bisa jadi Beng-cu jika didukung oleh Kok-su Mongol itu. Tapi jika Kok-su itu memilih Kiong To-cu, See- bun Souw Ya mana bisa membantah putusannya!  Sekalipun aku tahu mungkin See-bun kesal juga."

"Jadi begitu masalahnya, lalu apa hubungannya dengan rejeki yang Kim Toa-ko tawarkan kepada kami?" kata orang pertama mewakili yang lain.

"Tentu ada hubungannya," kata orang she Kim. "Ceritanya begini. Kiong To-cu hanya punya anak perempuan satusatunya. Semula nona itu mau ikut ayahnya ke Mongol. Tapi ketika di penginapan tiba-tiba nona itu pergi tanpa pamit dan entah ke mana. Aku diminta untuk mencari dia. Coba kalian bayangkan apa yang akan kita dapatkan jika kita menemukan nona itu. Tak lama lagi Kiong To-cu akan jadi Bu-lim Beng-cu di Tiongkok. Ditambah lagi bangsa Mongol akan memerintah negeri ini. Apa itu bukan rejeki besar bagi kita? Maka itu aku minta bantuan kalian untuk mencarinya."

Tapi keenam orang itu tak bicara, mungkin ragu-ragu.

Tapi salah seorang lalu bicara.

"Mangsa kami sudah ada di depan mata, sayang kalau tidak disambar. Bagaimana kalau ini dulu kami kerjakan. Sesudah itu baru pekerjaan Kiong To-cu, bagaimana?" kata salah seorang dari keenam orang itu.

"Kami kira paling lambat mangsa kita itu besok sudah lewat di sini!"

"Tapi kalian ingat, masalah Kiong To-cu dan Liong Siang Hoat-ong sangat penting! Jika kita ayal dan nona Kiong sudah kabur jauh, untuk mencarinya pasti akan susah sekali. Coba kalian pertimbangkan, bukankah urusan ini lebih besar dibanding dengan mangsa yang akan kalian terkam itu!" kata orang she Kim.

Saat mereka sedang berbincang salah seorang dari mereka berseru.

"Itu Han Toa-ko datang!" katanya. "Eh kok berdua?

Dengan siapa dia datang?" kata orang itu.

Semua orang itu tidak kenal dengan kawan Han Toa-ko itu, tapi Kong-sun Po di atas pohon malah mengenalinya. Dia See-bun Chu Sek, anak buah Wan-yen Hoo.

"Hm! Aku memang sedang mencarinya, malah bertemu di sini," pikir Kong-sun Po.

"Eh, kau juga datang Saudara See-bun!" kata orang she Kim yang juga kenal dengannya.

"Ternyata kau Kim Jit! Bagaimana keadaan Pamanku See-bun Souw Ya? Kenapa kau juga ada di sini, mau apa?" kata See-bun Chu Sek.

Orang she Kim itu tampak kebingungan.

"Beberapa hari yang lalu Pamanmu bersama Kok-su, dia juga membicarakan kau. Kenapa kau tidak ikut dengan Pamanmu?" kata orang she Kim yang dipanggil Kim Jit itu.

See-bun Chu Sek memang keponakan See-bun Souw Ya. "Aku punya majikan dan Pamanku juga punya majikan, jadi kami berjalan masing-masing, sekalipun cita-citanya aku kira sama!" kata See-bun Chu Sek.

"Hal itu aku sudah tahu, tapi yang ingin kutahui apa maksud kedatanganmu bersama Han Toa-ko ini?" kata Kim Jit.

"Katakan dulu, kau juga mau apa ke mari?" kata See-bun Chu Sek.

Kim Jit kelihatan bingung, dia tidak segera menjawab pertanyaan itu. Setahu dia paman See-bun Chu Sek bersaing ingin menjadi Beng-cu dengan Kiong To-cu. Maka itu dia bicara terus terang pada See-bun Chu Sek.

"Kami dapat tugas dari Kok-su untuk membantu Kiong Tocu mencarikan puterinya," kata Kim Jit.

"Jadi masalah itu. Kebetulan aku juga sedang mencari seseorang, mungkin ada hubungannya dengan nona Kiong yang kalian cari!" kata See-bun Chu Sek.

"Siapa dia?" kata Kim Jit.

"Seorang pemuda berpakaian sederhana, dia selalu membawa sebuah payung besi," kata See-bun Chu Sek.

"Aah, kebetulan. Pemuda itulah yang sedang kami intai dan akan kami sergap!" kata salah seorang dari enam orang itu. "Sesudah kita bekuk, hasilnya baik kita bagi sama saja!"

"Bagaimana kalian ini," kata Kim Jit. "Apa kalian kira pemuda itu lebih berharga daripada nona Kiong? Saudara See-bun, sebaiknya kau harus bantu aku dulu!"

"Tahukah kalian siapa pemuda itu, dan apa yang dia bawabawa?" kata See-bun Chu Sek.

"Ya, coba kau tolong jelaskan padaku!" kata Kim Jit. Sebenarnya bukan Kim Jit saja yang ingin tahu apa yang dibawa pemuda itu, tapi keenam orang itu pun ingin tahu.

"Namanya Kong-sun Po, dia membawa sebuah payung pusaka yang langka," kata See-bun Chu Sek. "Nama payung itu Hian-tiat-po-san!"

"Jadi dia membawa payung pusaka?" kata salah seorang dari keenam orang itu.

"Benda pusaka apa Hian-tiat-po-san itu?" kata yang lain. "Itu senjata terampuh di kalangan Kang-ouw," kata Kim

Jit. "Aku dengar senjata itu mampu menandingi berbagai senjata tajam macam apa saja!"

Yang paling diinginkan di kalangan Kang-ouw adalah sebuah senjata istimewa, kitab ilmu silat dan seekor kuda jempolan. Semua menggumam. Tiba-tiba salah seorang bicara.

"Payung hanya satu ada sembilan orang. Bagaimana cara membaginya?" kata orang itu.

"Memang benar payung cuma sebuah, tapi untuk usaha kalian pasti ada imbalannya," kata See-bun Chu Sek berjanji.

"Kalau begitu, apa imbalan yang akan kau berikan, See- bun Sian-seng?" kata salah seorang dari mereka.

"Aku bekerja untuk Pwee-lek (Pangeran) Kim bernama Wan-yen Hoo. Pemuda itu musuh besarnya, jika kalian bisa merampas payungnya, maka kalian akan diberi . tail perak. Apalagi jika sekalian bisa membunuh pemuda itu akan ditambah lagi . tail perak. Selain itu kalian juga boleh melakukan apa saja tak akan diganggu oleh pihak Kim!" kata See-bun Chu Sek. Jumlah hadiah itu cukup besar hingga membuat semua orang tertarik sekali. Melihat hal itu Kim Jit jadi bingung.

"Bagaimana dengan pekerjaan mencari nona Kiong?" katanya. "Pekerjaan itu jauh lebih menguntungkan, jangan kalian anggap remeh!"

Mendengar hal itu keenam orang itu bingung, mereka saling pandang tak bicara. Melihat hal itu See-bun Chu Sek kurang senang.

"Hm! Jadi Kim Toa-ko ingin bersaing denganku," kata See-bun Chu Sek. "Kalau begitu kita harus membuat janji!"

"Janji apa?" kata Kim Jit.

"Pertama Kim Toa-ko membantu usahaku, sesudah selesai aku janji akan membantumu!" kata See-bun Chu Sek.

"Jadi kau sudah tahu, di mana nona Kiong berada?" kata Kim Jit kaget.

"Aku sendiri tidak tahu di mana, tapi Han Toa-ko ini yang tahu," kata See-bun Chu Sek.

"Benar aku tahu di mana nona Kiong berada, Aku jamin dalam tiga hari ini dia tidak akan ke mana-mana," kata Han Toa-ko itu.

"Di mana?" kata Kim Jit.

"Sebaiknya kau bantu kami dulu, baru kau akan kubantu mencarikan nona Kiong. Bagaimana?" kata See-bun Chu Sek.

Rupanya karena See-bun Chu Sek ngeri menghadapi Kong-sun Po, dia mencari dukungan sebanyak-banyaknya.

"Baik," akhirnya Kim Jit buka suara. "Aku bersedia bekerjasama denganmu!" "Hm! Bagus! Memang seharusnya begitu, sama-sama saling menguntungkan. Oh, ya ada yang aku belum katakan pada kalian, nona Kiong itu kekasih Kong-un Po yang sedang kalian incar!" kata See-bun Chu Sek. "Tetapi karena Kiong To-cu tidak setuju puterinya menikah dengannya! Jika kau bisa membunuh dia, Kiong To-cu pasti senang sekali."

"Jadi begitu masalahnya," kata Kim Jit. "Ayo kita turun dan tunggu dia di bawah gunung saja!"

Di atas pohon Kong-sun Po tersenyum.

"Jadi orang she Han itu sudah tahu di mana Mi Yun berada. Dengan demikian aku bisa mencarinya dengan mudah!" pikir Kong-sun Po.

Sesudah itu Kong-sun Po melompat dari atas pohon. "Hai! Kalian tak usah menunggu lagi, aku ada di sini!

Siapa  yang  menginginkan  payungku,  silakan  maju!" kata

Kong-sun Po dengan lantang.

Mendengar seruan dan tantangan pemuda itu, semua orang itu tertegun sejenak. Mereka tidak menyangka orang yang mereka cari sudah lama ada di tempat itu.

"Hati-hati payung pusakanya, jangan sampai bentrok dengan senjata kalian," kata See-bun Chu Sek memperingatkan. "Serang dan kepung dia bersama-sama. Jika perlu gunakan senjata rahasia!"

Saat itu mereka menyerang beramai-ramai, tapi Kong- sun Po menangkis dengan payung besinya. Terdengar suara bentrokan senjata berkali-kali. Hasilnya ada yang goloknya gompal, toya besinya bengkok dan macam-macam lagi.

"Lepas senjata rahasia!" See-bun memberi komando. Sesudah musuhnya mundur Kong-sun Po segera membuka payung besinya, karena berhamburan senjata rahasia ke arahnya. Suara pletak-pletok nyaring terdengar berulangulang. Semua senjata rahasia itu berjatuhan ke tanah tak mampu menembus payung besi Kong-sun Po. Malah banyak senjata rahasia musuh yang mental dan berbalik menyerang kawan sendiri. Dua di antara mereka terkena senjata rahasia itu hingga terdengar suara keluhan saling susul.

"Ah, payungnya benar-benar hebat, kita harus segera mundur!" kata salah seorang.

"Jangan lari, siapa yang berani kabur, dia akan kubunuh!" kata Han Toa-ko dengan bengis. Dia mengancam orang yang tadi ketakutan itu. "Jika kita yang berjumlah banyak tak mampu mengalahkannya, bagaimana kalian bisa bertahan di dunia Kang-ouw?"

"Tenang! Kepung dia, dia tidak akan bisa lolos walaupun punya sayap?" kata Kim Jit.

"Serang dia dengan jarum!" kata See-bun Chu Sek.

Senjata Kim Jit bernama "Lian Cu Kauw" atau Cakar memakai rantai, senjata ini bisa dipakai menyerang dari jarak jauh, bahkan bisa ditarik maupun dipakai menyerang secara tiba-tiba. Kim Jit berhasil menggaet payung lawan. Tapi Kong-sun Po menyambar akan menarik rantai cakar itu, Kim Jit sudah menariknya kembali. Saat serangan Kim Jit datang buru-buu Kong-sun Po menutup payungnya dipakai menangkis. Tak lama terdengar suara nyaring, ternyata Kong-sun Po berhasil menyampok cakar berantai itu hingga terpental. Tapi dalam sekejap senjata itu sudah datang lagi menyambar ke arah bahu Kong-sun Po. "Sungguh lihay," pikir Kong-sun Po. "Pantas See-bun berusaha membujuknya!"

Kong-sun Po agak kewalahan juga, karena selain menghadapi sambaran cakar rantai Kim Jit, dia juga harus waspada terhadap serangan jarum halus lawan. Maka itu dia berpendapat, bahwa dia harus mengalahkan Kim Jit dan See-bun dulu. Dengan demikian yang lain dia pikir akan takluk sendiri.

Kong-sun Po segera menggunakan siasat "mengalah dulu" dan membiarkan dia diserang, hingga berulang-ulang dia harus mundur. Kim Jit girang, dia memberi semangat pada semua kawannya agar maju mengepung pemuda itu lebih rapat lagi. Melihat musuh

"terpancing" oleh akalnya, Kong-sun Po girang. Saat serangan cakar rantai datang, pemuda itu berkelit, hingga cakar menghajar tanah. Buru-buru Kong-sun Po melompat dan menginjak cakar rantai itu dengan kakinya. Sedangkan tangannya yang memegang payung dipakai memukul bahu Kim Jit. Tangan kosongnya pun bergerak menghajar lawan yang berada dekatnya.

"Aduuh!" teriak Kim Jit.

Betapapun hebat dan kuatnya Kim Jit, terhajar payung baja Kong-sun Po, dia menjerit kesakitan. Untung nyawanya selamat tapi Kim Jit akan cacat seumur hidup. Sedang kawanan penjahat yang terhajar pun mengaduh kesakitan karena terpukul tangan pemuda itu.

Saat itu See-bun Chu Sek maju, tapi disambut oleh serangan dahsyat Kong-sun Po. Karena dulu pernah dikalahkan, See-bun agak jerih pada pemuda ini.Kong-sun Po pun menyerang dengan tangannya yang sudah berwarna merah. Inilah jurus Hua-hiat-to yang menyiarkan bau amis. Melihat tangan lawan menyerang, See-bun Chu Sek tidak berani menangkisnya.

Ternyata serangan Kong-sun Po cepat sekali, walau See- bun Chu Sek sudah berusaha semampunya, tidak urung dia terkena pukulan lawan. Saat kedua tangan mereka beradu, See-bun Chu Sek menjerit keras.

"Aduh! Mati aku!" teriaknya.

See-bun Chu Sek melompat, tapi sayang lompatannya meleset hingga dia terjatuh ke bawah bukit.

Dari keenam kawanan penjahat itu, sudah banyak yang terluka dan kabur. Sedang sisanya amat ketakuan dan berusaha kabur sambil berteriak-teriak meninggalkan Han Toa-ko mereka.

Melihat orang-orang itu kabur, Kong-su Po meraup segenggam kerikil yang segera disambitkan ke arah mereka. Tak lama terdengar suara jeritan kesakitan dari orang-orang yang kabur itu. Han Toa-ko pun kabur, tapi dikejar oleh Kong-sun Po, pikir Kong-sun Po See-bun Chu Sek tak perlu dikejar, karena dia tidak akan tahan lama berlari dan dia akan roboh sendiri. Dia sudah terkena pukulan Hua-hiat-to yang lihay.

Kong-sun Po dengan gin-kang yang tinggi berhasil menyusul orang she Han itu.

"Berhenti!" bentak Kong-sun Po.

Orang she Han yang ketakutan itu tanpa terasa berlutut. Saat itu Kong-sun Po menekan bahu orang she Han itu dengan payungnya. Bukan main kagetnya orang she Han itu, dia tahu betapa hebatnya payung itu saat menghancurkan bahu Kim Jit tadi. Buru-buru orang she Han itu minta ampun. "Ampun Kong-sun Siauw-hiap," kata orang she Han.

"Baik kau kuampuni, tapi kau harus menuruti perintahku!" kata Kong-sun Po.

"Apa yang Kong-sun Siauw-hiap inginkan dariku, katakan saja!" kata orang she Han itu.

"Silakan berdiri!" kata Kong-sun Po. "Sekarang katakan di mana nona Kiong berada?"

"Jadi Siauw-hiap ingin tahu tentang nona itu, tapi...

.tapi..."

"Katakan jangan tapi-tapi saja!" kata Kong-sun Po mengancam dengan payungnya.

"Mohon sabar Siauw-hiap, kira-kira  li dari sini di sana ada gunung Sun-keng-san. Gunung itu ada di Kabupaten In-siu-kwan. Kau tahu kan?" kata orang she Han.

"Kau tahu kenapa nona itu ada di sana?" kata Kong-sun Po.

"Aku tidak tahu kenapa dia tinggal di sana," kata orang she Han.

"Siapa nama keluarga yang ditumpangi nona Kiong itu?

Katakan jangan bertele-tele!" kata Kong-sun Po.

"Dia tinggal di tempat Jen Thian Ngo, orang tua yang sudah lama mengasingkan diri. Apa kau kenal dengannya?" kata orang she Han.

"Jen Thian Ngo?" kata Kong-sun Po kaget.

Kong-sun Po tahu Jen Thian Ngo paman Kok Siauw Hong, tahun lalu dia baru bertemu dengannya. Tapi anehnya orang she Han ini mengatakan dia sudah lama mengasingkan diri.. "Setahuku dia bukan orang baik, apa yang dia lakukan di sana?" pikir Kong-sun Po.

"Jadi dia ada di sana, apa kau sahabat orang tua itu?" kata Kong-sun Po.

"Aku cuma kenalan biasa," jawab orang she Han itu. "Apa kau tahu dia bersahabat dengan orang Mongol,

See-bun Souw Ya itu sahabat baiknya," kata Kong-sun Po.

Mendengar ucapan Kong-sun Po orang she Han itu kaget.

"Oh begitu! Malah aku sendiri tidak tahu..." kata orang she Han yang wajahnya segera berubah.

Melihat perubahan itu Kong-sun Po yang sudah tahu hubungan Jen Thian Ngo dan orang Mongol sangat dirahasiakan. Sekarang Kong-sun Po malah dibukanya terangterangan. Tentu saja orang she Han itu kaget.

"Hm! Aku yakin kau tahu masalah ini!" ejek Kong-sun Po. "Kau jangan bohong!"

Kong-sun Po mengangkat payungnya akan menghantam orang she Han itu.

"Ampun! Ampun Kong-sun Siauw-hiap!" katanya. "Jadi kau akan bilang tidak tahu?" bentak Kong-sun Po.

"Maaf, aku tidak berani," kata orang she Han. "Terusterang aku memang tidak tahu dia konco bangsa Mongol, Aku memang pernah mendengar tentang Jen Thian Ngo dari See-bun Chu Sek tapi. "

"Tapi apa?" bentak Kong-sun Po.

"See-bun Chu Sek bilang Jen Thian Ngo seorang jago, maka dia pesan agar jangan memusuhinya," kata orang she Han. "Hm, jago apa. Dia justru pembohong besar, pengkhianat bangsa!" kata Kong-sun Po. "Lalu apa lagi yang dikatakan See-bun Chu Sek padamu?"

"See-bun Souw Ya menyuruh See-bun Chu Sek bekerja pada bangsa Kim, sehingga majikan mereka jadi berbeda tapi tujuannya sama! Mereka seolah hendak berdiri di atas dua buah perahu. Jika perahu yang satu tenggelam mereka masih punya perahu yang lainnya. Sebab baik bangsa Kim maupun bangsa Mongol yang menang, keluarga See-bun tetap akan berkuasa! Begitu katanya."

Ternyata paman dan keponakan ini berbagi tugas, dengan tujuan mana yang menang itu yang mereka abdi.

"Tapi apa hubungannya dengan Jen Thian Ngo?" kata Kong-sun Po.

"Kata See-bun Chu Sek, See-bun Souw Ya sering memujimuji orang she Jen itu. Dia membagi tugas dengan See-bun Chu Sek karena ingin meniru kecerdikan Jen Thian Ngo. Pertama-tama Jen Thian Ngo seolah mengabdi kepada semua pendekar yang menentang bangsa asing, sedang kaki yang lain menginjak ke pihak Mongol!" kata orang she Han.

"Jika demikian kenapa See-bun Chu Sek tidak langsung menemui Jen Thian Ngo dan minta agar nona Kiong diserahkan kepadanya?" kata Kong-sun Po.

"See-bun Chu Sek anak buah bangsa Kim, dia mendapat perintah dari Wan-yen Hoo agar mencari....ah...mencari..."

"Mencariku?" kata Kong-sun Po.

"Kau benar! Ditambah lagi Jen Thian Ngo tidak mengetahui See-bun Chu Sek bekerja untuk bangsa Kim, jadi  dia  hanya  kenal  See-bun  Souw  Ya.  Mereka  tidak mungkin berhubungan karena masing-masing tidak kenal!" kata orang she Han.

"Pantas saja dia bujuk Kim Jit, karena jika berhasil menangkapku, dia jadi berjasa pada bangsa Kim demikian juga Kim Jit, begitu?" kata Kong-sun Po.

"Ya, memang begitu. Sekarang kau sudah tahu semuanya, apa aku sudah boleh pergi?" kata orang she Han itu.

"Baik, tapi kau harus mengantarku dulu ke rumah Jen Thian Ngo!" kata Kong-sun Po.

'Oh aku tidak berani, kepandaian silatnya tinggi!" kata orang she Han.

"Jangan takut aku akan menjaga keselamatanmu,:" kata Kong-sun Po. "Sesudah kau tunjukkan rumahnya, kau boleh pergi!"

"Baik-baik," kata orang she Han yang jerih karena ancaman Kong-sun Po.

Dia menurut tapi otaknya tetap bekerja. Sampai di tempat Jen Thian Ngo dia akan melihat situasi. Sedang Kong-sun Po sadar Jen Thian Ngo itu seorang pesilat licik dan pengkhianat. Itu sebabnya Kok Siauw Hong pun mencurigai pamannya.

Kong-sun Po dan orang she Han menemukan kuda-kuda keenam penjahat itu masih ditambat. Dengan kuda itulah mereka berangkat ke In-siu-kwan.

Saat Kiong Mi Yun mengikuti ayahnya akan ke Ho-lin bersama Kok-su Mongol, di penginapan dia bisa meloloskan diri. Dalam perjalanan Kiong Mi Yun tiba di In-siu-kwan. Saat santai berjalan kaki tiba-tiba terdengar suara panggilan.

"Nona Kiong! Tunggu!" kata orang itu.

Kiong Mi Yun menoleh, dia mengenali Jen Thian Ngo. "Ah, bagaimana kau bisa ada di sini?" kata Jen Thian

Ngo. "Aku sahabat baik ayahmu. Singgah dulu rumahku ada di sini!"

Dulu tanpa sengaja Kiong Mi Yun pernah memergoki Jen Thian Ngo mendatangi rumah Han Tay Hiong. Di sana dia mencuri barang milik Han Tay Hiong. Kiong Mi Yun juga ingat dia mengirim muridnya yang bernama Ih Hoa Liong untuk menghubungi See-bun Souw Ya, saat mereka bersekongkol hendak merampok harta keluarga Han yang mau diangkut dan diserahlan pada lasykar rakyat. Kiong Mi Yun sudah tahu Jen Thian Ngo ini bukan orang baik.

Tapi karena seorang diri, Mi Yun berpikir. Dia bukan tandingan Jen Thian Ngo.

"Mana ayahmu?" kata Jen Thian Ngo.

"Ayah ada di Hek-hong-to dia tidak datang!" jawab nona Kiong.

"Kau sendiri mau ke mana, Nona Kiong?"

"Aku sudah puas berkelana di Tiong-goan, hari ini aku mau pulang!" kata Kiong Mi Yun. "Mungkin Ayahku sedang menungguku pulang!"

"Tapi sungguh aneh. cerita yang aku dengar berlainan sekali dengan ceritamu, nona?" kata Jen Thian Ngo.

"Apa yang beda?" tanya nona Kiong heran dan membuat jantungnya berdebar. "Aku dengar ayahmu sudah ada di sini, jadi bukan sedang menunggumu pulang." kata Jen Thian Ngo.

"Aaah masa?" kata nona Kiong. "Setahuku Ayahku sudah lama mengasingkan diri di Hek-hong-to. Mungkin ada sahabat lamanya yang mengundang beliau datang. Barangkali Paman benar dia sudah ada di sini?" kata Mi Yun karena sudah terbuka kebohongannya terpaksa berpura-pura.

"Kalau ayahmu tidak ada di Hek-hong-to, kau tidak perlu terburu-buru kembali ke sana. Aku sahabat ayahmu, kau singgah dulu saja di rumahku. Akan kuusahakan memberitahu ayahmu, supaya kau bisa bertemu dengannya," kata Jen Thian Ngo licin.

Ternyata di otak Jen Thian Ngo sudah ada sebuah rencana, karena dia sudah tahu Kok-su Mongol hendak menggaet ayah si nona. Yang belum diketahuinya bahwa nona Kiong justru kabur saat diajak ayahnya ke Mongol bersama Kok-su Mongol itu.

"Maaf, Paman Jen. Aku harus segera pulang. Aku hanya bilang mau tinggal setahun saja di Tiong-goan. Kau kan tahu watak Ayahku ditambah lagi ada urusan yang harus kubereskan di sana. Terima kasih atas kebaikanmu, Paman Jen!" kata nona Kiong hendak menolak ajakan Jen Thian Ngo ke rumahnya.

"Masalah apa, begitu pentingkah?" kata Jen Thian Ngo. "Itu menyangkut urusan pribadi!" jawab nona Kiong.

Tetapi urusan pribadi nona ini sudah diketahuinya, bahwa ayah nona Kiong tidak menyetujui hubungannya dengan Kong-sun Po. Barangkali nona Kiong hendak mencari pemuda itu. Sedang Kong-sun Po sahabat baik Kok Siauw Hong, keponakanku Kok Siauw Hong sekarang mencurigainya.

"Karena urusan pribadi, baiklah aku tak menghalangimu. Aku juga tidak perlu bertanya terlalu banyak padamu." kata Jen Thian Ngo. "Kelak kalau kau lewat lagi, silakan kau singgah di rumahku."

"Terima kasih, Paman Jen." kata nona Kiong.

"Baiklah, maaf aku tidak mengantarkan kau, harap hatihati!" kata Jen Thian Ngo. "Aku dengar di Tionggoan sahabat ayahmu banyak, tapi juga musuhnya!"

"Aku tahu, Paman, terima kasih," kata nona Kiong. Kiong Mi Yun merasa heran atas kebaikan Jen Thian

Ngo ini. Padahal dia mengira Jen Thian Ngo akan menyusahkannya.

Kiong Mi Yun meninggalkan Jen Thian Ngo, dia berjalan seorang diri. Sesudah meninggalkan In-siu-kwan terdengar suara suitan tiga kali. Tiba-tiba dari hutan muncul tiga orang tidak dikenal. Ketiga orang itu langsung menghadang nona Kiong.

"Eh, kalian mau apa? Jika kalian berniat merampas, kalian salah sasaran!" kata nona Kiong.

"Hm! Kami memang mau merampas, tapi bukan merampas barang tapi menangkap orang!" kata salah seorang dari mereka.

"Ayahmu memang tak dapat kami lawan, tapi aku tahu kau anaknya. Maka itu kau akan kuhajar agar tahu rasa!" kata orang yang kedua.

Saat mau meninggalkan Jen Thian Ngo, nona ini mendapat peringatan agar dia hati-hati pada  musuh-musuh ayahnya. Sekarang sudah terbukti musuh ayahnya menghadangnya.

"Hm! Aku memang anaknya! Kenapa aku harus bohong?"

kata nona Kiong.

Tak lama ketiga orang itu sudah mengambil posisi mengepung nona Kiong.

"Kami musuh besar ayahmu, kau akan kutangkap dan kujadikan isteri mudaku!" kata pemimpin ketiga orang itu.

"Jangan banyak bicara, tutup bacotmu!" bentak nona Kiong yang gusar karena dihina itu.

Ketiga orang itu ada yang bersenjata cambuk, ada juga yang membawa golok. Sedang yang seorang lagi bertangan kosong. Mereka bersama-sama maju menyerang nona Kiong. Bukan main gusarnya nona Kiong. Dia langsung menghunus pedang dan menyerang dengan hebat ke arah orang yang besenjata cambuk; sebelum serangannya sampai, serangan nona Kiong berubah arah. Dia tebas orang yang bersenjata golok, sedangkan gagang pedangnya dipakai menghantam orang yang bertangan kosong. Sekali serang tiga sasaran yang diarah oleh nona Kiong. Gerakannya cepat luar biasa.

Ternyata tiga lawan nona Kiong ini lihay. Mereka mampu menangkis maupun menghindari serangan nona Kiong. Saat pedang Mi Yun mengarah ke kaki orang bersenjata golok, dia tidak menghindari, tapi malah maju. Dia gunakan goloknya balas menyerang nona Kiong. Serangan itu sangat berbahaya hingga terpaksa Kiong Mi Yun menyelamatkan diri dari serangan itu.

Nona Kiong terpaksa menangkis serangan lawan, sedang gagang    pedangnya    tetap    menyodok    ke    perut  orang bertangan kosong dengan cepat. Lawannya ini lihay malah bisa dikatakan lebih lihay dari kedua kawannya. Gagang pedang Kiong Mi Yun berhasil ditang-kisnya hingga tangan nona Kiong kesemutan. Orang itu maju akan merebut pedang si nona.

Tak ada kesempatan untuk menangkis serangan itu, nona Kiong berkelit, sambil menyerang dengan jurus "Cit-sat- ciang".

"Rasakan kelihayan Cit-sat-ciangku!" kata si nona.

Melihat nona Kiong nekat, orang bertangan kosong itu jadi jerih j uga. Dia melompat mundur! Dengan demikian Kiong Mi Yun mampu menangkis golok lawan, dan menghindari sambaran cambuk lawan.

Kepungan terasa agak longgar, tapi untuk lolos dari kepungan pun nona Kiong sulit melakukannya.

"Kau lihay juga, bocah! Tapi jangan harap kau bisa lolos dari tanganku! Lebih baik kau jadi isteriku saja!" kata orang yang pertama yang jadi pemimpin mereka.

Bukan main jengkel dan dongkolnya nona ini. Tapi saat itu dia sibuk menghindari serangan orang bertangan kosong yang lihay itu.

"Hm! Aku harus sabar dan jangan terjebak oleh akal mereka!" pikir nona Kiong.

Sambil menghindari dan menangkis serangan lawan, Kiong Mi Yun berpikir keras.

"Saat kuserang dengan Cit-sat-ciang, mereka jerih. Sebaiknya kugunakan jurus itu untuk menghajar mereka!" pikir Kiong Mi Yun.

Sesudah itu nona Kiong menantang.

"Mari yang tidak takut mati silakan maju!" kata si nona. Orang yang bersenjata golok kaget melihat nona Kiong berlaku nekat.

"Ah, apa gunanya aku berkorban demi Jen Thian Ngo?" pikir orang bersenjata golok.

Saat dia diserang nona Kiong, dia berkelit ke samping. Kesempatan ini digunakan nona Kiong untuk meloloskan diri.

"Kau mau kabur ke mana?" bentak orang bertangan kosong.

Saat dikejar nona Kiong membacokkan pedangnya ke belakang. Dia kaget pedangnya terpental seperti menghantam benda kenyal.

"Kawan mari kejar dia, jurus Cit-sat-ciangnya belum sempurna!" kata orang bertangan kosong.

Rupanya ketiga orang ini memang suruhan Jen Thian Ngo untuk menghadang nona Kiong.

"Bocah, jangan lari!" teriak orang yang memegang cambuk.

"Taar!"

Cambuknya menyambar ke arah nona Kiong.

Kiong Mi Yun kaget dia melompat, tapi bagaimanapun cepatnya ujung baju nona Kiong tersambar cambuk hingga ujungnya robek sedikit.

Saat kakinya kembali menginjak tanah, nona Kiong sudah terkepung kembali. Maka itu dia bertarung mati- matian hingga kewalahan. Nona Kiong heran, sekalipun ada kesempatan melukai dirinya, tapi ketiga lawannya seolah tidak mau melukainya. Mereka hanya mengepung semakin rapat hingga Kiong Mi Yun tidak bisa meloloskan diri. "Kau tak akan bisa kabur, nona! Sebaiknya kau terima saja tawaran kami, kau jadi isteri muda!" kata orang yang memegang cambuk.

Bukan main gusar dan dongkolnya nona Kiong.

Saat dia hendak berbuat nekat, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras.

"Hentikan! Jangan bertarung!" kata orang itu.

Ternyata orang itu Jen Thian Ngo, ini tidak disangka oleh nona Kiong. Tapi ketiga orang itu tidak menghiraukan peringatan orang tua itu, mereka terus maju dan menyerang.

"Hai beraninya kalian berbuat seenak hatimu di daerahku, aku Jen Thian Ngo. Ayo berhenti semua!" kata Jen Thian Ngo.

"Harap Jen Sian-seng jangan ikut campur urusan kami. Kami kagum pada kegagahanmu!" kata orang yang memegang cambuk.

"Tak tahu malu, kalian beraninya mengepung anak perempuan. Aku lihat kalian ini bukan orang sembarangan!" kata Jen Thian Ngo.

"Harap Anda maklum, permusuhan kami dengan ayahnya sangat dalam. Kami ingin menuntut balas pada puterinya!" kata orang bersenjata golok.

Sesudah itu mereka bertiga langsung maju. Jen Thian Ngo melepaskan tiga senjata rahasia. Satu mengenai tangan orang yang memegang cambuk hingga cambuknya terlepas, yang satu mengenai golok dan golok itu pun terjauh. Tetapi satu senjata lagi yang mengarah ke orang bertangan kosong yang berhasil menangkapnya.Sesudah itu uang logam itu disambitkan ke arah pemiliknya. Saat itu Kiong Mi Yun yang gesit berhasil menusuk tangan kiri orang bertangan kosong itu.

"Awas, sakit hatiku ini akan kubalas!" ancam orang bertangan kosong sambil kabur bersama kawan-kawannya.

"Baik, kapan saja kau mau silakan temui aku!" kata Jen Thian Ngo dengan gagah.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Melihat Jen Thian Ngo yang sok pahlawan itu tentu saja membuat Kiong Mi Yun sangsi. Apa benar Jen Thian Ngo ini baik, atau ketiga orang itu justru suruhannya?

"Ah, jangan-jangan ini perangkap agar hutang budi kepadanya?" pikir nona Kiong.

Tetapi Kiong Mi Yun pura-pura tidak tahu, dia tidak berkata apa-apa. Kiong Mi Yun menganggap Kiong Cauw Bun menyelamatkan dia dari bahaya, tapi sebaliknya mungkin tidak.

"Terima kasih atas bantuanmu, Paman Jen!" kata si nona.

"Jangan see-ji (sungkan), aku ini sahabat ayahmu. Saat masih muda ayahmu banyak membuat masalah hingga musuhnya banyak!" kata Jen Thian Ngo. "Paman, siapa mereka itu? Ayah tidak pernah menyebut nama mereka, apa benar mereka musuh Ayahku?" kata nona Kiong.

"Musuh ayahmu banyak sekali, mungkin dia juga tidak tah berapa jumlahnya. Tapi musuh besarnya'aku tahu, yaitu Honglai-mo-li Liu Ceng Yauw dan Bu-lim Thian-kiauw Tam Yu Cong! Musuh yang lainnya, mana dianggap oleh ayahmu!" kata Jen Thian Ngo.

"Mereka berilmu tinggi, aku kira tak pantas jika dianggap ringan," kata Kiong Mi Yun.

"Terus terang tentang mereka aku tak tahu benar, tapi aku baru saja menerima khabar buruk bagimu!" kata Jen Thian Ngo.

"Kabar apa?" kata Kiong Mi Yun heran.

Mi Yun ragu-ragu, jika ada kabar kenapa tidak dikatakan saat dia bertemu, maka itu nona Kiong mengira ini cuma akal Jen Thian Ngo saja.

"Aku dengar banyak orang yang akan menghadangmu di sepanjang jalan yang akan kau lalui," kata Jen Thian Ngo. "aku kira sebaiknya kau hindari saja. Bagaimana kalau untuk sementara kau tinggal dulu di rumahku saja?"

Kiong Mi Yun agak sangsi.

Melihat si nona sangsi Jen Thian Ngo berkata lagi.

"Jika kau ada di tempatku, aku bisa membantumu memberi tahu ayahmu," kata Jen Thian Ngo. "Dengan demikian kau tidak perlu kuatir!"

"Hm! Aku kira dia baik hati hanya untuk menarik perhatian Ayahku, apa salahnya aku turuti permintaannya? Jika dia sudah tahu tentang Ayah pergi ke Hoo-lin, urusan lain bisa diurus nanti. Kalau perlu aku kabur dari rumahnya!" pikir nona Kiong.

"Baik, Paman, aku ikut ke rumahmu," kata nona Kiong.

Jen Thian Ngo senang, dia mengajak nona Kiong ke rumahnya.

Ternyata rumah Jen Thian Ngo ada di atas Sun-keng- san. Di sana ada tiga buah rumah , dua yang lainnya rumah petani. Rumah itu tampak mewah dan membelakangi gunung Sunkeng-san.

Begitu sampai Jen Thian Ngo bertanya pada  pegawainya.

"Mana Sio-cia?" kata Jen Thian Ngo.

"Tadi sio-cia sedang berlatih silat, entah dia sudah kembali ke kamarnya atau belum," kata si pelayan.

"Coba panggil dia!" kata Jen Thian Ngo.

"Jangan!" kata nona Kiong. "Biar aku yang menemuinya.

Aku juga ingin berkenalan dengan anakmu, Paman Jen!"

"Tapi dia belum apa-apa, mana pantas dilihat!" kata Jen Thian Ngo. "Dia lebih muda kau anggap saja adikmu!"

Jen Thian Ngo mengajak nona Kiong ke taman bunga. Di sana terdapat bukit buatan yang ditanami bunga yang indahindah.

"Rupanya orang ini bisa juga menikmati hidupnya," pikir nona Kiong.

Memang benar sampai di tempat itu. nona Kiong menyaksikan seorang nona cantik sedang berlatih senjata rahasia. Dia sedang menggunakan jarum Bwee-hoa-ciam (Jarum Bunga Bwee). Ketika itu musim semi dan bunga toh sedang berbunga lebat. Di sana pun tampak sekawanan lebah, kupu-kupu pun berterbangan kian-kemari hingga menambah keindahan pemandangan di tempat itu. Nona itu berlatih membidik lebah madu. Tak heran saat nona Kiong sampai sudah banyak lebah yang jatuh terkena jarum nona cantik itu.

"Siauw, lihat siapa yang datang!" kata Jen Thian Ngo pada puterinya.

"Siapa dia?" kata nona itu. "Dia Kiong Cici!"

"Oh, dia Kiong Cici."

"Sekarang kau tidak akan kesepian karena ada Kiong Cici," kata Jen Thian Ngo.

"Kiong Cici mari! Namaku Hong Siauw," kata nona itu. "Saat Ayah pulang, dia bilang kau bertemu dengannya. Tapi katanya kau tak mau singgah."

"Maaf, aku mengganggu latihanmu, kau lihay Adik Siauw!" kata Kiong Mi Yun.

"Ah, lagi-lagi kau bunuh lebah-lebah itu!" kata Jen ThianNgo.

"Ayah, kau terlalu meremehkan kepandaianku," kata Jen Hong Siauw.

"Memang apa yang bisa dibanggakan, apa kau sudah maju pesat dalam latihanmu?" kata Jen Thian Ngo.

"Periksa saja sendiri!" kata Hong Siauw sembari cemberut.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar