Beng Ciang Hong In Lok Jilid 41

 
Tapi yang ada dalam pikiran Kong-sun Po lain.

"Jika mau melihatnya silakan saja, asal kuat mengangkatnya!" pikirnya.

Si pendek mendekat ke arah Kong-sun Po, lalu mengambil payung itu dan mengangkatnya. Kemudian dia buka dan dijajal.

"Aah berat sekali, pasti ini terbuat dari baja murni!" katanya.

Melihat si kate sanggup menggunakan payungnya Kong- sun Po kaget juga. Sebab jika anak buahnya lihay, entah berapa tinggi ilmu silat Yan Hoo? Sebelum Kong-sun Po menjawab kata-kata si pendek, Yan Hoo sudah bicara.

"Pasti gagang payung itu terbuat dari baja murni, bukan begitu Kong-sun Siauw-hiap?” Kata Yan Hoo.

Ternyata pengetahuan Yan Hoo luas, dia tahu payung itu terbuat dari besi apa.

"Aku kagum, pengetahuan Kong-cu sangat luas!" kata Kong-sun Po.

Han Hie Sun tertawa.

"Ayo kalian minum dulu. Sambil minum kita saksikan kepandaian Su Kauw-thauw dulu!" kata Han Hie Sun.

"Ya, Kong-cu!" kata Su Hong. "Tapi aku mohon izin Kongcu memakai pohon di taman sebagai sasaran."

"Silakan," kata Han Hie Sun. Su Hong pergi ke taman lalu dia mulai memukuli pohon itu, terakhir dia tendang. Tak lama daun-daun pohon itu berguguran. Sekarang pohon itu jadi gundul tinggal batang pohonnya saja.

"Tenaga dalam Anda bagus sekali," kata pengawal Yan Hoo memuji.

Yan Hoo diam saja. Padahal Su Hong ingin dipuji Yan Hoo. Ternyata dari pengikutnya dia hanya mendapat nilai sedangsedang saja. Su Hong kesal lalu berkata.

"Memang kepandaianku tidak berarti, masih perlu petunjuk," kata Su Hong.

Tiba-tiba maju seseorang.

"Kalau begitu, aku juga ingin mempertunjukkan kebolehanku di depan Yan Kong-cu, aku akan mainkan ilmu golokku!" katanya.

Orang itu lalu memainkan goloknya dan bergerak membacok kian ke mari, ranting-ranting yang tadi berjatuhan dari pohon akibat pukulan Su Hong, sekarang sudah terpotong-potong dengan cepat.

Anak buah Yan Hoo yang pendek kecil memuji. "Rupanya Anda ini Kwee Suhu bukan? Ternyata

kepandaianmu bukan omong kosong!" katanya.

"Belum, belum hebat. Malah masih harus mohon petunjuk dari Tok-koh Toa-ko!" kata orang she Kwee itu.

Orang yang dipanggil Tok-koh atau si pendek kurus tertawa.

"Aku pernah belajar, baiklah akan kutunjukkan pada kalian. Tapi jangan ditertawakan. Sebaiknya saudara See- bun Chu Sek yang memberi petunjuk sejurus saja!" Orang yang dipanggil she See-bun itu si jangkung. "Aah, kau sengaja ingin membuat malu aku, baiklah," kata See- bun Chu Sek.

Dia langsung berjalan ke sebuah pohon lain, pohon itu dia tepok dan sedikitpun tidak bergerak. Sesudah itu dia kembali ke tempatnya semula. Ketika itu Su Hong heran, dalam sekejap daun-daun pohon itu berubah kering menguning, kebetulan bertiup angin, maka serentak daun- daun itu berguguran ke tanah.

"Kwee Suhu, jika bersedia mohon kau belah batang kayu itu untuk memeriksa dalamnya," kata See-bun Chu Sek.

Orang she Kwee segera bergerak menggunakan goloknya memotong pohon itu, sesudah terpotong bagian dalam batang pohon itu sudah hancur seperti dimakan kutu bubuk.

"Luar biasa!" kata Su Hong. "Ilmu apa yang kau pelajari itu?"

"Aku pun tak tahu, tapi kata guruku itu jurus Hu-kut- ciang milik keluarga Suang!" kata See-bun Chu Sek.

"Luar biasa, jika orang yang terhajar entah bagaimana jadinya?" kata Su Hong.

"Benar, ilmu saudara See-bun ini istimewa. Pukulan itu jika mengenai manusia, sekalipun dia tidak langsung mati, paling tidak urat-urat nadinya akan putus dan dia akan lumpuh!" kata Tok-koh.

Mendengar keterangan itu Kong-sun Po kaget, karena ilmu itu diciptakan oleh kakek dari ibunya dan tidak diajarkan pada orang lain. Bahkan ayahnya belajar ilmu itu dari hasil mencuri. Dia heran kenapa See-bun Chu Sek bisa dan lihay. Apakah dia ada hubungannya dengan See-bun Souw   Ya?   See-bun   Souw   Ya   mengabdi   pada  bangsa Mongol, lalu jika dia masih sanak See-bun Souw Ya, sungguh berani dia menjadi tamu perdana menteri?

Kong-sun Po pun memuji kepandaian orang itu. "Kenapa kau ikut-ikutan memuji, Saudara Kong-sun?"

kata Yan Hoo.

"Kenapa tidak boleh?" kata Kong-sun Po.

"Jika mereka yang memuji itu memang pantas," kata Yan Hoo. "Karena mereka belum tahu ilmu itu, sedang kau akhlinya. Jadi tak sepantasmya kau memuji anak buahku karena ilmunya kalah tinggi olehmu!"

"Aku memang bisa ilmu itu, tapi bagian luarnya saja. Tapi saudara See-bun sudah mengubah Hu-kut-ciang demikian hebat. Aku kira jauh lebih baik dari pengetahuanku. Jika kau ingin petunjuk dariku, malah sebaliknya aku harus belajar dari Saudara See-bun!" kata Kong-sun Po.

"See-bun Chu Sek, ternyata aku kurang beruntung karena Kong-sun Siauw-hiap keberatan mmberi petunjuk," kata Yan Hoo.

"Benar, aku menyesal," kata See-bun Chu Sek.

"Jangan kecewa dulu, mungkin sesudah makan nanti saudara Kong-sun mau memenuhi harapanmu," kata Han Hie Sun. "To-koh Heng, silakan kau tunjukkan ilmu golokmu supaya kami lebih bertambah pengalaman."

"Jika tuan rumah yang memintamu, silakan kau tunjukan Tok-koh Heng!" kata Yan Hoo.

"Baik, aku ingin agar pertunjukanku dianggap sebagai tukar-menukar pengalaman dengan Kwee Suhu, tapi aku mohon kau pinjamkan hambamu untuk menemaniku," kata Tok-koh Heng pada Han Hie Sun. "Apa, mana ada orangku yang bisa ilmu golok untuk menemanimu?" kata Han Hie Sun.

"Tapi aku menginginkan orangmu yang belum tahu apaapa tentang ilmu golok, harap kau jangan kuatir golokku tidak akan melukainya," kata Tok-koh Heng.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Mendengar permintaan tamunya, Han Hie Sun heranjuga. Jika orangnya tidak tahu tentang ilmu silat, sedangkan tamunya akan menunjukkan ilmu silatnya, bagaimana jika salah tangan. Akibatnya malah anak buah Han Hie Sun bisa celaka. Tapi setelah diyakinkan bahwa tidak akan terjadi apaapa pada anak buahnya, Han Hie Sun tertawa.

"Oh, jika budak yang kau maksudkan itu tidak tahu ilmu silat di sini memang banyak," kata Han Hie Sun. "Siauw Siang Cu, mari kau maju ke depan!"

Pelayan yang bernama Siauw Siang Cu itu adalah pelayan yang selalu melayani dan mengantar serta menuang arak pada cawan tamu-tamu majikannya. Mendengar namanya dipanggil tentu saja pelayan ini ketakutan. Tubuhnya gemetaran.

"Hamba tidak bisa apa-apa, lalu apa yang harus hamba lakukan?" kata si pelayan dengan wajah pucat-pasi.

"Kau tidak perlu takut, lakukan saja apa yang aku perintahkan padamu," kata Tok-koh Heng sambil tertawa riang. Dia memungut sehelai daun lalu dia lumuri dengan tanah yang sudah dibasahi. Kemudian daun itu dia tempelkan di hidung si pelayan. Sesudah selesai menempelkan daun itu, Tok-koh Heng tibatiba beseru.

"Lihat apa yang ada di belakangmu!" peringatan itu mengagetkan si pelayan yang segera menoleh.

Saat Suaw Siang Cu menoleh itulah, golok Tok-koh Heng berkelebat dan menebas daun yang ada di hidung si pelayan. Si pelayan menjerit kaget, namun sedikit pun dia tidak terluka, sedang daun yang tadi ditempelkan di hidungnyajatuh seketika itu juga.

Tok-koh berseru agar pelayan itu menoleh, jika tidak demikian pasti pelayan itu akan kaget  melihat berkelebatnya golok hingga bisa melukai pelayan itu. Karena dia tidak tahu akan ditebas, maka berhasillah Tok- koh Heng mempertunjukkan keakhliannya.

Orang-orang yang menyaksikan pertunjukkan yang mendebarkan itu semua menghela napas lega. Mereka banyak yang mengkhawatirkan keselamatan pelayan itu. Tak lama terdengar sorakan para tamu yang gembira menyaksikan kehebatan Tok-koh Heng memainkan ilmu goloknya.

"Memang benar kata pepatah "Di atas langit masih ada langit yang lain; jika ada orang yang pandai pasti akan ada yang terlebih pandai lagi!" kata orang she Kwee kagum. "TernyataTok-koh Heng menggunakan jurus golok kilat yang lihay!"

"Harap Kwee Suhu jangan merendah, kaulah akhli golok kilat di kalangan Kang-ouw," kata Tok-koh Heng. Sikap Tok-koh Heng yand tidak congkak dan bersedia memuji kepandaian orang lain, membuat hati orang she Kwee itu lega juga.

"Dengan kehadiran Yan Kong-cu dan Tok-koh Heng ditambah lagi Kong-sun Siauw-hiap, rasanya kalian tidak perlu mempertunjukkan kebolehan kalian," kata Han Hie Sun.

"Benar, kita ingin melihat kepandaian Kong-sun Siauw- hiap, coba kau tunjukkan pada kami!" kata para tamu.

"Maaf, kepandaianku tidak seberapa. Jadi tidak pantas dipertontonkan, aku rasa tontonan tadi sudah kita saksikan dengan memuaskan," kata Kong-sun Po merendah.

"Aah, jangan merendah. Kalau Anda belum mau menunjukkan kepandaianmu, sebaiknya harus diberi minum arak dulu supaya bersemangat," kata Yan Hpo sambil tertawa.

Tiba-tiba jari tangan Yan Hoo menyentil sebuah cangkir arak,hingga melejit dan terlontar ke arah Kong-sun Po, sedang araknya tidak tumpah. Cawan arak itu langsung hinggap di depan Kong-sun Po. Semua penonton ternganga keheranan. Semua diam dan sunyi.

Kepandaian Yan Hoo terbilang luar biasa, dia mampu menyentil cawan arak yang berisi penuh dan araknya tidak tumpah. Begitu cawan sampai di depan Kong-sun Po, pemuda ini menggigit tepi cawan dan meminum isinya hingga habis. Sesudah itu perlahan-lahan dia meletakkan cawan itu di atas meja di depannya.

"Terima kasih pemberian araknya," kata Kong-sun Po. "Maaf aku tidak bisa minum arak terlalu banyak!"

Tiba-tiba semua tamu besorak memuji kepandaian Yan Hoo. Sebaliknya Yan Hoo tidak kelihatan gembira mendapat sorakan dari para penontonnya itu.

"Apa yang kalian puji, aku ini tidak sehebat Kong-sun Siauw-hiap!" kata Yan Hoo sambil tersenyum sinis.

Su Hong bersama yang lainnya memuji Yan Hoo yang merendah, tapi sebenarnya kepandaian Kong-sun Po sangat luar biasa. Han Hie Sun pun kaget menyaksikan kehebatan kedua tamunya.

"Menyuguhi arak dengan cara unik dan meerimanya dengan cara yang sama uniknya, sungguh suatu kepandaian yang langka!" kata Han Hie Sun sambil tertawa.

Tadi sentilan Yan Hoo luar biasa, jika Kong-sun Po tidak berkepandaian tinggi, maka cawan itu akan menyambar keras ke mukanya dan dia bisa celaka. Tak heran jika Kong- sun Po jadi kurang senang. Dia tidak tahu apa maksud Yan Hoo menyerangnya begitu? Semula dia juga akan membalas, tapi dia batalkan karena dia menganggap untuk apa bertengkar dengan orang itu. Saat Han Hie Sun menyu- guhinya secawan arak, dia pun menerimanya sambil tersenyum.

"Terima kasih," kata Kong-sun Po pada Han Hie Sun. "Ternyata kau hebat saudara Kong-sun, karena itu aku

pun ingin memberi secawan arak lagi," kata Yan Hoo.

Kong-sun Po heran melihat orang-orang itu mendesaknya untuk terus minum. Dia tidak tahu apa maksud mereka itu.

"Terina kasih, mana berani aku menerimanya. Tadi hanya pertunjukan tidak berarti, kenapa harus dipermasalahkan?" kata Kong-sun Po tetap merendah Melihat Kong-sun Po tetap menolak, Yan Hoo penasaran. Dia mencari cara lain.

"Tadi yang kau tunjukkan satu jurus yang indah, maka aku yakin kau punya yang lain. Aku mohon kau mau mempertunjukannya pada kami," kata Yan Hoo setengah memaksa.

"Mana aku berani, Andalah yang lihay. Malah aku ingin belajar darimu!" kata Kong-sun Po.

"Sejak awal sudah kukatakan, aku ini penonton yang baik, tetapi jika kau mau mari kita latihan bersama," kata Yan Hoo.

Sekalipun kata-katanya halus itu sebuah tantangan. "Mana berani, maaf aku tidak berani!" kata Kong-sun

Po.

Melihat keadaan mulai "panas" Han Hie Sun ikut bicara. "Kau benar Yan Kong-cu, ilmunya tadi tak seberapa

dibanding ilmu totoknya yang lihay!" kata Han Hie Sun.

"Saudara Han kau jangan bergurau, mana bisa kau kataka lihay?" kata Kong-sun Po.

Saat itu secara kebetulan seorang pelayan membawa nampan berisi makanan berikut alat makannya lengkap. Masakanku diberi nama Him-ciang (Kaki beruang).

"Ah, mumpung masih hangat, silakan cicipi, Sesudah itu baru kita berbincang lagi!" kata Han Hie Sun berbasa-basi selaku tuan rumah.

Saat itu Yan Hoo mengedipkan matanya pada dua anak buahnya. Tak lama Tok-koh Heng dan See-bun Chu Sek maju, seolah hendak melayani Kong-sun Po. Dengan sumpit di tangannya dia hendak mengambil masakan, seorang lagi akan menuang arak. "Jangan, jangan layani aku. Aku bisa mengambilnya sendiri!" kata Kong-sun Po.

Melihat Kong-sun Po memegang sumpit akan mengambil makanan, See-bun Chu Sek membalikkan sumpitnya dengan tujuan menahan sumpit Kong-sun Po.

"Anda jangan sungkan, biar kuambilkan!" kata See-bun Chu Sek. Sambil bicara sumpitnya bergerak hendak menotok pergelangan Kong-sun Po. Melihat sikap kurangajar itu bukan main gusarnya Kong-sun Po. Maka itu dia gunakan sumpitnya untuk membentur sumpit See-bun Chu Sek. Kong-sun Po pun mengerahkan tenaga dalamnya. Maka tak heran jika sumpit See-bun Chu Sek jadi bergetar keras ke samping. Sedang ujung sumpit Kong-sun Po mengarah ke jalan darah yang ada di telapak tangan See-bu Chu Sek. Bagai disambar petir kagetnya See-bun Chu Sek, buru-buru dia lepaskan sumpit di tangannya dan segera melompat mundur.

Baru saja Kong-sun Po bangun dari kursinya, Tok-koh Heng menahan bahu Kong-sun Po.

"Harap kau terima secawan arak ini, jika kau menolak pasti majikanku akan memarahiku!" kata Tok-koh Heng.

Kong-sun Po sadar Tok-koh Heng ahli jurus Hu-kut- ciang (ilmu menghancurkan tulang), dia berniat mencelakakan Kong-sun Po.

"Tadi sudah kubilang, aku tak bisa minum banyak!" kata Kong-sun Po.

Sesudah itu terdengar suara jeritan Tok-koh Heng. "Aduh!"

Kong-sun Po telah mengerahkan tenaga dalamnya menolak tekanan Tok-koh Heng dengan jurus Hou-the-sin- kang (ilmu pelindung tubuh). Terpaksa tangan yang tadi ada di bahu Kong-sun Po oleh Tok-koh Heng dilepaskan. Dalam kesakitan Tok-koh Heng segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk memulihkan lukanya.

"Kong-sun Siauw-hiap, aku berniat baik menyuguhimu arak. Jika kau tak mau tak apa, tapi jangan kau membuat aku malu!" kata Tok-koh Heng.

Su Hong bersama kawan-kawannya Cuma melongo heran. Yan Hoo berdiri sambil berkata.

"Jika Anda tak mau dilayani oleh dua pengikutku, biar aku yang melayanimu, kau mau kan? Jika tidak bisa secawan separuhnya pun boleh!" kata Yan Hoo.

"Aku bilang tidak, aku tidak mau minum!" kata Kong- sun Po.

"Jika kau tak mau minum, silakan makan," kata Yan Hoo.

Dengan sumpitnya dia jepit masakan kaki beruang itu yang dia sodokan ke arah Kong-sun Po. Begitu cepat gerakan sumpit Yan Hoo ke arah Kong-sun Po, hingga Kong-sun Po kaget. Kong-sun Po pun menggerakkan sumpitnya untuk menangkis serangan itu! Dengan sumpit itu dia balas menyerang menggunakan jurus "Keng-sin-ci- hoat"nya yang lihay.

"Hm! Kiranya Yan Kong-cu ingin menjajal ilmu silatku, ya?" Kong-sun Po berhasil.

Yan Hoo tertawa terbahak-bahak, sesudah menghindar dari serangan Kong-sun Po.

"Bagus! Bagus, ternyata Anda tidak cuma menyandang nama kosong!" kata Yan Hoo. "Aku memang ingin belajar kenal  dengan  ilmu  totokmu!  Jika  kau  katakan  tak  ingin menjajal ilmu totokmu, itu keterlaluan. Aku hanya ingin belajar kenal saja!"

"Hebat! Hebat, ternyata kalian sudah saling tukar- menukar pengetahuan kalian," kata Han Hie Sun ikut bicara.

"Eh, siapa sebenarnya Yan Hoo ini. Apakah su-heng dari Han Hie Sun? Ilmu totoknya lihay sekali," piker Kong-sun Po.

Ilmu totok Keng-sin-ci-hoat yang dipelajari Kong-sun Po dia peroleh dari Tam Yu Cong, tapi "peta tubuh manusia" aslinya ada di tangan Thio Thay Thian, guru Han Hie Sun. Yan Hoo terus mendesak ke arah Kong-sun Po, hingga mundur ke taman. Sekarang keduanya sedang a bertarung adu ilmu totok di taman. Kong-sun Po kesal, saat sumpit lawan dia jepit dia kerahkan tenaga dalamnya.

"Krek!"

Kedua sumpit mereka akhirnya patah jadi dua.

Yan Hoo kaget, dia buang sisa sumpit di tangannya, dengan jarinya dia menotok.

"Hm! Kiranya kau bukan hanya ingin saling-tukar pengetahuan silat, tapi kau bermaksiu jahat!" pikir Kong- sun Po. "Baik kau akan kuladeni!"

Ilmu totok Yan Hoo banyak ragamnya, tapi untung tenaga dalam Kong-sun Po lebih hebat darinya. Saat sumpit mereka patahpun, sebenarnya Kong-sun Po mampu melukai lawan. Tapi Yan Hoo tamu Han Hie Sun, dia tidak enak melukai tamu tuan rumah.

Akibat dari sikap tidak enak itu malah merugikan bagi Kong-sun Po. Sekarang Yan Hoo menyerang Kong-sun Po dengan jurus mematikan dan sepenuh tenaga, dengan demikian Kong-sun Po sekarang jadi terdesak. Melihat Kong-sun Po mulai terdesak, Su Hong yang memihak pada Yan Hoo bersama kawan-kawannya bersorak girang. Mendengar sorakan itu bukan main gusarnya Kong-sun Po, lawan yang sudah diberi hati itu sekarang malah ingin mencelakainya. Bahkan Yan Hoo tak jera-jera dan tak tahu malu.

Melihat dia dalam bahaya, dia bermaksud akan menggunakan jurus warisan dari keluarga ibunya. Maka itu dia ubah siasat ber-silatnya dan menyerang dengan tenaga dalam yang tinggi. Hingga lama kelamaan Yan Hoo pun mulai kewalahan. Tapi tiba-tiba Kong-sun Po heran karena dia merasa tenaganya mulai berkurang. Saat pertarungan sedang berjalan dengan hebatnya, Tok-koh Heng mengambil payung Kong-sun Po, dan See-bun Chu Sek mengikutinya.

”Dia bukan lawan cu-kong kita, mari kita mundur saja!" kata Tok-koh Heng pada kawannya. Melihat Tok-koh Heng mengambil payung orang Han Hie Sun pura-pura tidak tahu. Malah dia bilang dengan nyaring pada meeka.

"Jika Toa-ko mau istirahat, silakan saja," kata Han Hie Sun pada Tok-koh Heng.

"Hai, tinggalkan payungku!" teriak Kong-sun Po. "Yan Kong-cu, suruh anak buahmu menaruh payungku, jika tidak awas mereka akan kuurus sendiri!"

Karena gusar Kong-sun Po mengejar ke arah dua anak buah Yan Hoo itu, tapi dari belakang dia diikuti oleh Yan Hoo. Dengan jarinya dia hendak menotok punggung Kong- sun Po.

"Latihan kita belum selesai, kenapa kau mau pergi begitu saja?" kata Yan Hoo mengejek. Dia tahu diserang tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya lalu menangkis serangan Yan Hoo.

"Hm, kiranya kau sengaja mengatur siasat busuk ini!" kata Kong-sun Po.

"Dia hanya mau pinjam, kenapa kau gusar?" kata Yan Hoo.

Su Hong dan kawan-kawannnya ikut meledek. Mereka mengatakan bahwa Kong-sun Po terlalu pelit, payung saja dipersoalkan.

"Tenang Kong-sun Siauw-hiap, jika kau bisa mengalahkan dia, payung itu akan dikembalikan padamu! Tetapi jika kau kalah, maka payung itu akan kuhadiahkan pada pemenang pertarungan ini!" kata Han Hie Sun sambil tertawa.

Sambil menyerang Yan Hoo merasa heran, dia mengira obat yang dia taruh dalam cawan arak Kong-sun Po belum bekerja? Saat itu datang lagi serangan Kong-sun Po dengan sebuah totokan yang cepat dan dahsyat. Terpaksa Yan Hoo harus mundur untuk menghindari totokan berbahaya itu. Saat Kong-su Po menotok untuk ketiga kalinya, dia kaget tiba-tiba napasnya sesak. Dia juga terkejut bagian bawah ketiaknya kesemutan. Ternyata dia tertotok oleh Yan Hoo.

Dalam keadaan kepala mulai pening samar-samar Kong- sun Po mendengar suara tawa riuh. Dia juga masih mendengar ucapan Han Hie Sun sambil tertawa.

"Ternyata kau pemenangnya Yan Kong-cu, payung ini jadi milikmu. ..." Hanya itulah yang terakkhir didengar Kong-sun Po, sesudah itu dia pingsan.

Sesudah selang sekian lama Kong-sun Po baru sadar. Dia kaget, sekarang dia berada di sebuah kamar batu. Dia  gusar dan berteriak, "Han Hie Sun ternyata sifatmu rendah, kenapa kau jebak aku?" kata Kong-sun Po.

Dia menghajar dinding kamar batu itu sambil berteriakteriak, tapi usahanya membobol kamar itu sia-sia saja.

Sesudah tahu tidak ada hasilnya berbuat begitu, Kong- sun Po berkonsentrasi menenangkan pikirannya.

"Heran, bagaimana aku bisa dikerjai mereka, padahal arak yang kuminum dari poci yang sama?" pikir Kong-sun Po.

Rupanya tidak terpikir oleh Kong-sun Po kalau racunnya diletakkan di cawan arak. Jadi sekalipun araknya dari poci yang sama maka yang lain tidak keracunan, karena cawannya bebas dari racun. Racun yang digunakan buatan bangsa Kim yang sengaja dibawa dari negerinya oleh Yan Hoo. Ketika itu terdengar ada langkah orang. Karena gusar Kong-sun Po berteriak.

"Suruh Han Hie Sun menemuiku!" teriak Kong-sun Po. "Maaf, aku hanya disuruh membawa ini," kata orang itu.

Dia menaruh panggang ayam dan arak untuk Kong-sun Po.

"Bawa lagi makanan itu, aku tidak mau makan!" kata Kong-sun Po.

Dia dorong nampan yang disodorkan itu dengan keras hingga jatuh berantakan. Pelayan itu kaget lalu membersihkan makanan itu dan pergi. Selang sekian lama perut Kong-sun Po mulai lapar, malah hausnya tak tertahankan lagi. Tak lama pelayan itu datang lagi membawa makanan dan arak. "Tuan, aku tahu kau lapar, silakan makan. Jika Tuan mau bertarung lagi pun Tuan harus menghimpun tenagamu dulu," kata si pelayan.

Lalu dia sodorkan lagi nampan makanan itu pada Kong- sun Po lewat jendela kamar batu. Dalam keadaan lapar perlahanlahan otak Kong-sun Po pun jernih sendiri.

"Jika Han Hie Sun ingin membunuhku, sudah sejak tadi bisa dilakukannya. Jadi aku rasa tidak mungkin makanan ini dia bubuhi racun lagi?" pikir Kong-sun Po. "Pelayan itu benar aku harus makan sampai kenyang yang lain nanti baru kupikirkan lagi!"

Tanpa pikir panjang makanan itu ada racunnya atau tidak Kong-sun Po melahap makanan itu. Sesudah makan dia rasakan tenaganya sudah hampir pulih lagi. Dia awasi kamar tahanan itu, selain jendela untuk memasukan makanan tak ada lubang lain.

"Heran, jika mereka menginginkan payungku. Seharusnya sesudah berhasil dia membunuhku. Tapi kenapa tidak? Malah aku dikurung di sini." pikir Kong-sun Po keheranan.

Saat sedang berpikir pintu tahanan terbuka, dan muncullah Han Hie Sun dan Yan Hoo. Kong-sun Po langsung hendak menerjang keluar.

"Han Hie Sun perbuatanmu hina sekali, apa kau pikir ini perbuatan seorang eng-hiong?" kata Kong-sun Po.

"Sabar, jangan marah dulu Saudara Kong-sun," kata Han Hie Sun. "Apa yang aku lakukan justru demi kebaikanmu sendiri!"

"Hm! Kebaikan? Kalian telah merampas payungku dan menahanku di sini, apa itu yang kau maksud kebaikan? Seorang anak Perdana Menteri ternyata perbuatannya sama dengan penjahat murahan! Kenapa kau tidak membunuhku saja?" kata Kong-sun Po.

"Kau keterlaluan, payung itu sudah kukatakan sebagai hadiah untuk pemenang pertarungan tadi!" kata Han Hie Sun.

Mendengar ucapan itu bukan main marahnya Kong-sun Po karena dia tidak pernah bertaruh dengan payungnya itu.

"Jika dia mengalahkan aku dengan jujur, tak apa payung itu untuknya! Tapi kalian berbuat curang dan meracuniku!" kata Kong-sun Po.

"Saudara Kong-sun, bagaimana kau katakan aku curang?

Bukankah kaujatuh oleh totokanku?" kata Yan Hoo.

"Aku tahu kalian curang, jika bertarung secara jujur aku yakin aku tidak akan kalah olehmu!" kata Kong-sun Po gusar.

Kong-sun Po yakin mereka meracuninya, tapi bagaimana caranya dia membuktikannya.

Sambil tertawa Yan Hoo berkata lagi.

"Hm! Jadi kau merasa kurang puas, itu tidak masalah. Mari kita bertarung lagi. Jika kau berhasil mengalahkan aku, payung itu akan jadi milikmu lagi!" kata Yan Hoo.

"Sabar, baik aku jelaskan maksudku," kata Han Hie Sun. "Aku terpaksa melakukan semua itu karena aku kuatir kau tidak mau tinggal di rumahku lebih lama. Maka terpaksa kutahan kau di sini agar Yan Kong-cu bisa main-main denganmu! Jika kau penasaran, kau boleh bertanding lagi sampai kau puas. Jika perlu sampai tiga kali! Yan Kong-cu akan terus melayanimu! Dengan demikian kalian jadi bisa saling bertukar pengalaman." "Kalau begitu, baik. Silakan kau maju!" kata Kong-sun Po yang panas hatinya.

Sesudah itu keduanya sudah bertarung kembali.  Sekarang Kong-sun Po sudah tak menghiraukan siapa lawannya itu. Dia menyerang dengan hebat dan keras luar biasa. Pertarungan berjalan cukup lama, mula-mula Kong- sun Po bisa mendesak lawan, tetapi sesudah lewat limapuluh jurus, kembali tubuh Kong-sun Po mulai lemah. Jika dia lengah maka tubuhnya akan jadi sasaran totokan lawan. Ketika itu lagi-lagi Yan Hoo berhasil menotok dirinya hingga pingsan.

Saat kong-sun Po sadar dari pingsannya, dia sudah ada di dalam kamar tahanan lagi. Saat sadar itulah  Kong-sun Po berpikir keras.

"Aku yakin dalam makananku dia taruhi racun! Tapi dia seolah tak ingin mencelakaiku, maka itu kesempatan untuk mempelajari ilmu totoknya tak boleh aku sia-siakan. Dia memanfaatkan aku maka aku juga akan memanfaatkan mereka. Akan kuikuti apa mau mereka sekalian kupelajari ilmu si Yan Hoo ini!"

Sesudah Kong-sun Po mengambil keputusan akan mengerjai Yan Hoo, maka ketika pelayan itu mengantarkan makanan untuknya, tanpa pikir panjang dia makan saja makanan itu.

Ketika Yan Hoo dan Han Hie Sun kembali  menemuinya, dia lagi-lagi menantang bertanding. Sesudah bertarung sebanyak lima puluh jurus lebih, lagi-lagi Kong- sun Po merasakan tenaganya berkurang. Kembali dia tertotok oleh Yan Hoo.

Sejak saat itu Kong-sun Po dan Yan Hoo melakukan pertandingan   ulang.   Dia   sudah   mengeluarkan   seluruh kepandaiannya untuk menghadapi Yan Hoo. Tapi lagi-lagi dia dikalahkan dan dimasukkan kembali ke kamar tahanan.

Malamnya Kong-sun Po berkonsentrasi mengumpulkan seluruh kekuatan dan tenaga dalamnya, karena esok paginya kembali dia harus bertanding dengan Yan Hoo. Tiba-tiba terdengar pintu kamar tahanan berderit, ini membuat Kong-sun Po heran.

"Kenapa mereka datang malam-malam tidak pagi seperti biasanya?" pikir Kong-sun Po.

Saat pintu kamar tahanan terpentang, Kong-sun Po agak terperanjat. Orang itu bukan Han Hie Sun dan Yan Hoo, melainkan seorang kakek berjenggot putih. Dia langsung kenal siapa kakek itu, tak lain daripada Pek Tek adanya.

"Lo-cian-pwee, akhirnya kau datang juga. Apa kau sudah tahu masalahku?" kata Kong-sun Po.

"Jangan bersuara," bisik Pek Tek. "Kau akan kuajak keluar dari sini!"

"Lo-Cian-pwee, aku mau kau ajak ke mana?" kata Kong- sun Po lirih.

"Untuk menemui Gurumu," bisik Pek Tek. Mendengar hal itu Kong-sun Po girang.

"Jika aku sudah bertemu dengan Suhu rasa penasaranku akan bisa kubalas. Aku kira Han Hie Sun melakukan hal ini padaku di luar tahu ayahnya," pikir Kong-sun Po.

Kemudian Pek Tek mengajak Kong-sun Po ke sebuah taman. Di sini ada jalan yang berliku-liku sampai tiba-tiba Pek Tek menyuruh Kong-sun Po merunduk. Dari tempat itu terlihat sebuah gedung yang indah, penerangan gedung itu  cukup.  Dari  tirai  jendela  terlihat  dua  sosok bayangan tubuh manusia. Kong-sun Po mengenali bayangan itu adalah bayangan Han Hie Sun dan Yan Hoo.

"Aah, jadi ke kamar Suhu harus melewati kamar baca Han Hie Sun," pikir Kong-sun Po.

Mereka mendekam sambil mendengarkan pembicaraan Han Hie Sun dengan Yan Hoo. Walau samar-samar Kong- sun Po bisa mendengarnya.

"Selamat, selamat Pwee-leek, ternyata kau berhasil mencangkok ilmu totok Beng Beng Tay-su dari bocah itu!" kata Han Hie Sun. "Dengan ilmu totok yang ada dalam lukisan Hiat-to-tong-jin, berarti ilmumu sudah lengkap!"

Jelas dari pembicaraan Han Hie Sun dia tahu Yan Hoo bukan orang Han. Apalagi Han Hie Sun membahasakan dia "Pwee-lek" yakni panggilan Pangeran pada bangsa Kim.

"Han Kong-cu pandangan kita sama. Kau pun sudah menyaksikan ketika aku bertarung. Jadi aku yakin pengetahuanmu pun sudah bertambah bukan? Dan kita bisa saling tukar-menukar pengalaman!" kata Yan Hoo.

"Hm! Jadi dia mengajakku bertarung maksudnya ingin mencuri ilmu totokanku," pikir Kong-sun Po.

"Sudah lama aku ada di Tiong-goan, maka itu aku harus segera pulang," kata Yan Hoo. "Anak itu pun sudah tidak berguna lagi bagiku, tapi besok untuk terakhir kalinya akan

kutantang lagi dia bertarung! Sesudah itu terserah kau mau diapakan dia!"

"Kalau kau sudah tidak memerlukannya lagi, akan kubunuh saja dia beres!" kata Han Hie Sun.

Untung Pek Tek datang jika tidak Kong-sun Po bisa celaka. Dia bersyukur orang tua itu segera menyelamatkannya. "Ayo kita pergi dari sini!" bisik Pek Tek.

Sesudah itu tak lama mereka melintasi sebuah pagar, hingga akhirnya mereka sudah ada di luar gedung Perdana Menteri Han.

"Lo Cian-pwee, bukankah Suhu tinggal di gedung Perdana Menteri itu?" bisik Kong-sun Po.

"Tadi pagi dia pindah ke penginapan kecil," kata Pek Tek.

"Apa yang terjadi?"

"Jangan banyak bertanya, sesudah bertemu dengan gurumu kau akan tahu masalahnya," kata Pek Tek.

Pek Tek terus mengajak Kong-sun Po ke kota. Sampai di kota mereka menuju ke sebuah penginapan kecil. Mereka masuk ke penginapan saat fajar baru menyingsing.

Mereka mengetuk pintu kamar guru Kong-sun Po. "Masuk!" terdengar suara dari dalam.

"Saudara Ciu Cioh, kau harus bersyukur aku bisa menolongi

muridmu!" kata Pek Tek sambil tertawa.

Buru-buru Kong-sun Po berlutut memberi hormat pada gurunya.

"Suhu kenapa kau jadi ada di sini?" tanya sang murid.

Ciu Cioh alias Kheng Ciauw mengawasi muridnya.

"Sudah jangan banyak bicara dulu, sebaiknya kau kubantu memulihkan tenagamu. Kau harus duduk tenang, gunakan

tenaga dalammu, pakai jurus Tay-hang-pat-sek!" kata  Ciu Cioh. Kong-sun Po duduk untuk berkonsentrasi, sedang Ciu Cioh memegang kedua tangan anak muda itu. Segera Ciu Cioh menyalurkan tenaga dalamnya membantu sang murid memulihkan seluruh tenaganya. Sesudah agak lama Kong- sun Po merasakan tubuhnya segar kembali.

"Aku rasa sudah cukup," kata Ciu Cioh. "Apa masih ada yang tak enak pada tubuhmu?"

"Sudah segar, Suhu! Terima kasih. Aku dikerjai oleh  Han Hie Sun dan Yan Hoo, Suhu!" kata Kong-sun Po.

"Ya, mereka menaruhi obat pada makananmu, maka itu tenagamu makin berkurang," kata Ciu Cioh. "Syukur obat itu tidak terlalu berbahaya karena mereka punya rencana tertentu atas dirimu. Mereka ingin mencuri ilmu silatmu, maka itu dia tidak memusnahkan tenagamu. Selain itu tenagamu dengan mudah kupulihkan lagi!"

"Kalau begitu Suhu sudah tahu mereka mengerjaiku?" kata Kong-sun Po. "Siapa sebenarnya Yan Hoo itu? Dia mengambil payungku, apa Suhu bisa melaporkan perbuatan mereka pada Perdana Menteri?"

"Ah, bagaimana kau ini! Negeri Song yang besar ini saja akan diserahkan seluruhnya pada orang she Yan itu! Apa sih artinya sebuah payung? Mana bisa aku memintanya kembali?" kata Ciu Cioh.

"Jadi siapa orang she Yan itu?" desak Kong-sun Po.

"Dia bukan she Yan, tapi she Wan-yen, namanya memang Hoo!" kata sang guru.

"Jadi dia Wan-yen Hoo? Kalau begitu dia orang asing!" kata Kong-sun Po.

"Benar, ayah Wan-yen Hoo paman dari raja Kim sekarang,   namanya   Wan-yen   Tiang   Cie.   Dia  menjadi panglima besar dan pengawal pasukan kerajaan Kim!" kata Ciu Cioh.

"Jadi begitu? Pantas Han Hie Sun begitu hormat padanya," kata Kong-sun Po.

"Wan-yen Tiang Cie seorang jago kerajaan Kim nomor satu," kata Ciu Cioh lagi. "Setelah orang Kim memiliki Hiat-totong-ji di istana Song, Wan-yen Tiang Cie yang memimpin para akhli mempelajari ilmu silat yang ada di lukisan itu. Dengan mengumpulkan para ahli bangsa Kim, dalam jangka waktu sepuluh tahun, mereka berhasil melukis lukisan itu, sekalipun salinan lukisan itu tidak selengkap aslinya. Tak lama kemudian keberhasilan mereka luar biasa. Sedang sebagian dari lukisan itu jatuh ke tangan Tam Yu Cong, tetapi tidak selengkap yang diperoleh oleh orang Kim itu!"

"Pantas Wan-yen Hoo menantang aku bertarung, jadi tujuannya ingin mengetahui bagian yang ada di tangan Paman Tam," kata Kong-sun Po yang mulai sadar apa yang terjadi atas dirinya."Sedang lukisan asli yang ada di istana Song, sekarang ada di tangan guru Hie Sun."

"Kau benar, aku juga pernah mendengarnya," kata Pek Tek. "Jadi hubungan Han Hie Sun dengan Yan Hoo, selain urusan Negara juga soal ilmu silat dalam lukisan itu!"

"Kim dan Song sedang bermusuhan, walau sekarang sedang dilakukan gencatan senjata untuk sementara. Tapi kenapa Wan-yen Hoo mau datang ke tempat Han To Yu?" kata Kong-sun Po.

"Dia menjadi utusan rahasia negaranya," kata Ciu Cioh. "Bangsa Kim tak mau mengutus orang resmi mereka, mereka takut diketahui orang Mongol. Maka diutusnya Wan-yen Hoo untuk berunding dengan Han To Yu!" "Mereka sudah merampas separuh dari Negara Song, mau apa lagi mereka berunding?" kata Kong-sun Po.

"Ibukota Kerajaan Song sudah pindah ke selatan ke kota Hang-ciu, nama Lim-an yang artinya "Selamat untuk sementara". Para pejabat Song pun tidak memikirkan keselamatan rakyatnya. Bahkan panglima Gak Hui yang setia sampai jadi korban kebuasan dorna jahat bernama Cin Kwee. Aku kira kedatangan Yan Hoo lebih rumit dibanding hubungan Cin Kwee dengan bangsa Kim dulu!" kata Ciu Cioh.

"Apa yang mereka bicarakan, tahu Anda?" kata Pek Tek pada Ciu Cioh.

"Aku panglima perang Song, maka sedikit banyak aku diberi tahu oleh Han To Yu," kata Ciu Cioh. "Pada awal tahun lalu juga bangsa Mongol mengirim utusan ke negeri Song. Mereka mengajak Song bersekutu melawan bangsa Kim. Mereka bilang jika sudah mengalahkan bangsa Kim, wilayah yang diduduki bangsa Kim akan dikembalikan pada Kerajaan Song. Apa kalian percaya hal itu?"

"Mungkin itu cuma akal bangsa Mongol saja," kata Pek Tek. "Jika niat Mongol berserikat dengan Song, kenapa dia serang Siam-say dan Su-coan? Mereka juga menunggangi pemberontak bernama Su Thian Tek."

"Kau benar, pendapatmu hampir sama dengan semua patriot Song," kata Ciu Cioh. "Maka itu pembesar Song jadi ragu, perlukah mereka bersekutu dengan Mongol atau jangan? Mungkin karena bangsa Kim sudah mendengar hal ini, dia kirim Wan-yen Hoo. Aku kira kaisar dan Perdana Menteri Han pun bingung dan takut pada Negara Kim dan Mongol. Sedangkan jarak negara Mongol lebih jauh dibanding Negara Kim. Mereka pun takut jika Kim mendahului   Mongol   menyerang   ke   selatan! Sedangkan sambuntan Perdana Menteri pada Wan-yen Hoo mungkin hanya untuk menjajaki sampai sejauh mana tawaran pihak Kim pada Song."

"Kalau demikian Negara ini mirip roti yang diperebutkan oleh dua pihak," kata Pek Tek.

"Tapi kebetulan di Negara Mongol sedang kacau karena sedang mengganti Khan Agung mereka," kata Ciu Cioh. "Maka serangan ke Negara Kim paling tidak akan tertunda selama setahun. Nanti sesudah bisa menjajaki keinginan bangsa Kim, kaisar berniat berdamai dulu dengan pihak Kim. Politik ini mereka namakan "Mengikuti bertiupnya sang angin"."

"Apa tawaran pihak Kim, Suhu?" kata Kong-sun Po. "Mereka sepakat memerintah daerahnya masing-masing

dengan batas sungai Tiang-kang, selain sepakat menumpas para pengacau bersama-sama," kata Ciu Cioh.

"Kalau begitu, aku dan kawan-kawan terhitung para pengacau?" kata Kong-sun Po.

"Karena kau dari Kim-kee-leng, maka kau terhitung penjahat sejati!" kata Pek Tek sambil tertawa tebahak- bahak. "Sedangkan aku sebagai penghubung dari sana, jadi aku termasuk mata-mata para penjahat!"

"Kau seorang panglima, Suhu, apa rencanamu jika kau mendapat perintah kaisar menumpas para penjahat?" kata Kong-sun Po.

"Aku sudah meletakan jabatan,"kata Ciu Cioh.

"Jadi sekarang Suhu bukan pembesar lagi?" kata Kong- sun Po sedikit kaget.

"Dalam sidang di istana, aku menyampaikan pendapatku. Tapi karena Kaisar kurang senang dan berniat memindahkan aku ke tempat tugas yang lain. Maka itu aku meletakkan jabatan," kata Ciu Cioh.

"Barangkali pilihan Suhu tepat sekali," kata Kong-sun Po sambil tersenyum.

"Kau harus waspada, Saudara Ciu," kata Pek Tek. "Siapa tahu Han To Yu akan mencelakaimu!"

"Aku juga berpikir begitu," kata Ciu Cioh. "Maka itu aku langsung pindah ke sini!"

"Seharusnya aku sudah pergi dari sini, tapi karena cap jabatanku belum aku serahkan maka aku belum pergi. Ditambah lagi aku dengar Kong-sun Po terkurung di kamar batu, maka itu aku menunggumu sampai bebas!" kata Ciu Cioh.

"Terima kasih Lo Cia-pwee," kata Kong-sun Po  pada Pek Tek. "Atas tindakanmu ini, kau pun pasti kehilangan pekerjaanmu!"

"Sekalipun tidak terjadi kejadian ini, aku tetap mau berhenti," kata Pek Tek. "Apalagi pendirian pemerintah sudah berubah, jadi untuk apa aku terus bekerja pada mereka? Aku sudah tua tapi aku tidak takut mati. Yang aku cemaskan keadaan Bun Tay-hiap. Dari sini ke tempatnya tidak jauh. Aku kuatir tempat itu sudah diketahui oleh anak buah Han To Yu!"

"Aku mendapat tugas untuk menemui beliau," kata Kong-sun Po. "Bagaimana jika kita bersama-sama ke sana?"

Tiba-tiba di luar penginapan terdengar suara ribut-ribut. Saat itu seorang pelayan penginapan sedang dibentak- bentak. Mereka sedang menanyakan apakah ada Ciu Cong- peng   menginap   di   penginapan   itu.   Ketika   pelayan itu menjawab tidak tahu. Orang itu gusar bukan kepalang. Keadaan di luar tegang sekali.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Di dalam kamar Ciu Cioh, Pek Tek dan Kong-sun Po mengenali suara orang yang galak di luar sana. Orang itu adalah Su Hong, pengawal utama gedung Perdana Menteri Han. Sikapnya garang ketika pelayan mengatakan tidak tahu, dia dan anak buahnya akan segera menerobos masuk untuk menggeledah setiap kamar penginapan itu.

"Telinganya tajam sekali, mereka sudah tahu kau ada di sini," kata Pek Tek pada Ciu Cioh.

"Kita temui mereka, Sun Po kau sembunyi saja di sini. Jika mereka tidak menyebut-nyebut namamu, kau jangan keluar!" kata Ciu Cioh.

"Baik Suhu!" kata Kong-sun Po.

"Akan kubereskan urusanku dengan mereka," kata Pek Tek.

Sesudah itu Ciu Cioh dan Pek Tek keluar dari kamar itu. "Su Toa-ko, Ciu Cioh ada di sini!" kata Ciu Cioh.

Su Hong dan tiga orang pengikutnya diam. Dua di antaranya adalah Tok-koh Heng dan See-bun Chu Sek yang langsung menemui Ciu Cioh.

Begitu bertemu Su Hong kaget juga ketika bertemu muka dengan Pek Tek. Memang sudah dia duga, Pek Tek pasti ada  bersama  Ciu  Cioh.  Tapi  dia  tak  berani  langsung menuduh, dia kaget ternyata Pek Tek berani muncul bersama Ciu Cioh di hadapannnya.

"Pek Lo Suhu," kata Su Hong. "Tuan Perdana Menteri sedang mencarimu! Ternyata kau ada di sini untuk mengantarkan kepergian Ciu Tay-jin!"

"Bukan aku yang mau mengantarkan beliau, tapi kalianlah yang akan mengantar kepergian Ciu Tay-jin!" kata Pek Tek.

Su Hong bingung tidak tahu apa maksud ucapan Pek Tek, dia menjawab.

"Benar kami datang untuk mengucapkan selamat jalan pada Ciu Tay-jin, tapi kau datang ke mari untuk apa?" kata Su Hong.

"Dengar baik-baik, hari ini aku harus pergi dari Hang- ciu, tolong kau sampaikan pada Siang-ya (Perdana Menteri), kami mohon diri," kata Pek Tek.

"Mau pergi, kenapa? Padahal di Siang-hu (Gedung Perdana Menteri) kau cukup terhormat?" kata Su Hong.

"Terima kasih atas kebaikan dan penghargaan kalian padaku," kata Pek Tek. "Jika kalian ingin tahu, kenapa aku harus pergi kau tanyakan saja pada Han Kong-cumu!"

Su Hong tertawa dingin.

"Baiklah, urusanmu nanti kita bicarakan lagi," kata Su Hong.

"Kenapa kalian datang mencariku? Katakan terus-terang padaku," kata Ciu Cioh.

"Kedatangan kami atas perintah Siang-ya (Tuan Perdana Menteri) untuk bicara tiga masalah," kata Su Hong.

"Silakan kau katakan," kata Ciu Cioh. "Pertama sudah kubilang tadi, kami ingin mengucapkan selamat jalan, karena penggantimu sudah ada," kata Su Hong.

"Baik, pasti Siang-ya ingin agar aku segera menyerahkan cap jabatan, bukan? Baik itu akan segera kulaksanakan, jangan kuatir!" kata Ciu Cioh.

"Yang lain, benarkah Kong-sun Po itu muridmu?" kata Su Hong.

"Benar, dia memang muridku, lalu kenapa?"kata Ciu Cioh.

"Begini! Han Kong-cu senang padanya. Dia diundang datang ke Siang-hu, tetapi entah kenapa dia pergi tanpa pamit pada Han Kong-cu. Jadi aku diminta untuk menanyakan pada Ciu Tay-jin, apakah kau tahu di mana Kong-su Siauw-hiap berada?" kata Su Hong.

"Hm! Aku tidak mengerti maksud kata-katamu?” kata Ciu Sioh sambil tersenyum.

"Tetapi memang begitu pesan Han Kong-cu!" kata Su Hong

Kemudian Ciu Cioh memanggil muridnya. "Kong-sun Po, keluarlah kau!" kata Ciu Cioh. Dari dalam terdengar sahutan muridnya.

"Baik, Suhu!" kata Kong-sun Po yang langsung keluar.

Sampai di luar dia awasi Su Hong dan dua orang kawannya dengan mata mendelik.

"Kalian datang menemuiku agar aku memenuhi permintaan majikanmu, bukan? Dia bilang aku harus kembali untuk diajak bertarung lagi, begitu?" kata Kong-sun Po sengit. Sesudah tertawa Su Hong lalu berkata dengan pura-pura manis.

"Bukankah Wan-yen Kong-cu bermaksud baik dan ingin bertukar pengalaman denganmu," kata Su Hong. "Tapi kenapa kau pergi dari Siang-hu tanpa pamit?"

"Jika aku bilang sebenarnya, apa kau kira Han Hie Sun akan membebaskan aku pergi?" bentak Kong-sun Po.

"Sudahlah Su Hong, kau jangan berpura-pura bodoh!" kata Pek Tek. "Sebenarnya Han Hie Sun ingin tahu, bagaimana dia bisa membebaskan diri dari kamar tahanan, bukan? Katakan saja, aku yang membebaskannya!"

"Maaf, aku kira Pek Lo Su-hu dan Kong-sun Siauw-hiap agaknya salah paham," kata Su Hong. "Dengan sesungguhnya Han Kong-cu bermaksud baik. Malah jika Kong-sun Siauw-hiap mau kembali lagi, Han Kong-cu akan memintakan jabatan untuknya!"

"Hm! Sudahlah kau jangan banyak bicara lagi. Semalam aku dengar sendiri dia akan membunuhku!” bentak Kong- sun Po.

"Ah, aku kira kau salah paham, Ciu Tay-jin tolong jelaskan, apa maksud Perdana Menteri demi Negara!" kata Su Hong.

"Sekarang aku bukan pejabat lagi, maka itu aku tidak mau ikut campur lagi urusan Negara," kata Ciu Cioh. "Sekarang tolong kau jelaskan apa maksud yang ketiga itu?"

"Yang ketiga, dia berharap Pek Lo-su kembali ke gedungnya," kata Su Hong.

Perlahan-lahan Pek Tek menggunakan jari kakinya menggores ke jubin. Tak lama tampak bekas goresan seperti bekas digores dengan golok. "Ini tanda bahwa aku sudah memutuskan hubunganku dengan Siang-ya," kata Pek Tek tegas. "Sudah jangan banyak bicara lagi, kita ambil jalan masing-masing!"

Su Hong terkejut bukan kepalang. Menyaksikan betapa tinggi tenaga dalam Pek Tek membuat dia jadi kecil hati. Su Hong memang agak pengecut, dia lebih suka cari selamat. Maka itu dia langsung berkata lagi.

"Kalau kau tidak mau kembali, baiklah kalau begitu aku pamit!" kata Su Hong.

"Tunggu!" bentak Kong-sun Po.

Su Hong yang sudah akan pergi, terpaksa balik lagi. "Ada apa?" katanya.

"Kau menyampaikan tiga masalah, kalau begitu aku juga boleh mengajukan satu hal padamu!" kata Kong-sun Po.

"Apa yang hendak kau katakan, Kong-sun Siauw-hiap?" kata Su Hong dengan hati berdebar-debar.

"Masalah ini tidak ada hubungannya denganmu!" kata Kong-sun Po yang tubuhnya langsung melayang dan berdiri di depan pintu menghadang kedua anak buah Yan Hoo alias Wan-yen Hoo.

Tok-koh Heng tidak menyangka anak muda itu akan menghadangnya.

"Kau mau apa Saudara Kong-sun?" kata Tok-koh Heng sambil mendorongkan tangannya ke arah Kong-sun Po.

Gerakan ini memang sangat diharapkan oleh Kong-sun Po, secepat kilat tangan Kong-sun Po bergerak, lalu mencengkram pergelangan tangan Tok-koh Heng. Sedangkan tangan yang lain menyambar ke arah See-bun Chu Sek. "Jangan kasar begitu, bicara baik-baik, Kong-sun Siauwhiap," kata Su Hong yang kaget bukan kepalang.

"Jangan takut, mereka tidak akan kubunuh," kata Kong- sun Po. "Kalian pencuri payungku, sekarang aku tangkap pencurinya!"

Saat Tok-koh Heng berontak, Kong-sun Po memperkeras cekalan tangannya pada tangan Tok-koh Heng, hingga dia berkeringat dingin menahan sakit. Sambil meringis Tok-koh Heng berkata terbata-bata.

"Kong-sun Siauw-hiap, pa... payungmu su.. .sudah kuserahkan pada majikanku. Kau minta saja padanya!" kata Tok-koh Heng.

Su Hong memohon pada Ciu Cioh agar muridnya mengampuni Tok-koh Heng dan See-bun Chu Sek

Terpaksa Ciu Cioh berkata pada muridnya.

"Sun Po, ampuni mereka karena mereka hanya orang suruhan!" kata Ciu Cioh.

Masih dalam kegusaran Kong-sun Po mendorong kedua lawannya keluar.

"Heran, seharusnya pejabat menangkap maling, sekarang sebaliknya pejabat melindungi pencuri!" kata Kong-sun Po. "Baik, sekarang kuampuni kalian karena perintah Suhuku. Kelak aku masih akan mengadakan perhitungan dengan majikanmu!"

"Ucapanmu tepat, tapi dengan demikian kau jadi lawan Han To Yu, aku harap kelak kau waspada terhadapnya!" kata Pek Tek.

"Mereka orang-orang jahat, pantas kumaki mereka. Aku tidak takut pada Han To Yu. Sayang aku harus segera kembali  ke  Kim-kee-leng.  Tapi  kepergian  mereka  akan makan waktu dua jam, mereka baru bisa sampai di Siang- hu. Maka itu aku punya kesempatan untuk menemui Bun Tay-hiap tanpa gangguan mereka!" kata Kong-sun Po.

"Baik, kau dan Pek Lo-cian-pwee pergi temui Bun Tay- hiap, aku juga harus segera pergi dari sini," kata Ciu Cioh.

Mereka akhirnya berpisahan. Pek Tek dan Kong-sun Po ke tempat Bun Tay-hiap, sedang Ciu Cioh pergi ke tempat lain.

Letak Thian-tiok-san berada di tepi See-ouw, telaga yang sangat termasyur. Tempat tinggal Bun Yat Hoan sekitar  li dari kota Hang-ciu atau Lim-an. Sejak pagi mereka berangkat dan hampir senja baru sampai di tempat Bun Yat Hoan.

Begitu mereka sampai di depan rumah yang dituju, Kong-sun Po dan Pek Tek kaget. Dari dalam rumah Bun Yat Hoan tedengar suara berisik. Rupanya ada orang sedang bertengkar.

Ketika mereka menyelinap ke dalam, terlihat anak buah Bun Yat Hoan sedang bertengkar dengan orang-orang asing yang tidak dikenal oleh Kong-sun Po maupun Pek Tek. Sikap mereka jelas angkuh dan garang. Salah seorang yang bertengkar adalah anak buah Bun Yat Hoan dengan orang asing itu.

Dari jarak cukup jauh Kong-sun Po mengenali anak buah Bun Yat Hoan. dia adalah Chan It Hoan, bekas anak buah nona Han Pwee Eng. Sedang orang asing yang bertengkar dengan Chan It Hoan pun seperti dikenali oleh Kong-su Po, tapi dia lupa di mana pernah bertemu. Maka itu Kong-sun Po mencoba mengingat-ingat.

Akhirnya Kong-sun Po ingat, bahwa orang itu orang yang  dia  lihat  di  Siang-hu,  saat  dia  baru  datang  atas undangan Han Hie Sun. Rupanya mereka mendatangi tempat Bun Yat Hoan, tapi Yan Hoo datang atau tidak, dia belum tahu.

"Hm! Kau ini siapa? Beraninya kau menegurku!" kata orang itu dengan garang.

"Sudah wajar seekor anjing lebih galak dari majikannya," kata Chan It Hoan. "Orang lain takut pada Han To Yu, aku tidak!"

"Kurangajar!" kata orang itu.

Kedua tangannya menjulur akan mencengkram bahu Chan It Hoan.

Melihat serangan datang Chan It Hoan merunduk menghindari serangan lawan, lalu dia balas menyerang. Dia berhasil mencengkram tangan lawan. Ternyata kekuatan keduanya seimbang, saat tangan mereka bentrok keduanya tergetar.

Diam-diam Kong-sun Po melangkah, dia gunakan tenaga dalam saat menginjak lantai hingga berbekas. Ketika sudah dekat Kong-sun Po meneriaki Chan It Hoan.

"Chan Toa-siok, aku kenal mereka ini!" kata Kong-sun Po.

Kedatangan Kong-sun Po membuat orang-orang itu terperanjat. Mereka melompat ke samping,

"Siapa yang mengizinkan mereka masuk ke mari?" kata Kong-sun Po.

"Mereka datang bersama Han Hie Sun yang mengatakan ingin bertemu dengan Bun Tay-hiap," kata Chan It Hoan. "Tapi kau lihat sebagaian orang-orang ini bukan orang Han! Maka kuhalangi mereka masuk!" "Sekarang di mana Han Hie Sun berada?" kata Kong-sun Po.

"Mereka ada di dalam," kata Chan It Hoan. "Karena Hie Sun putera Perdana Menteri, Bun Tay-hiap mengizinkan mereka masuk!"

"Chan Toa-siok, mereka ini anak buah Wan-yen Tiang Cie, panglima besar bangsa Kim. Selain orang Kim di antara mereka pun ada penjilat bangsa, mereka orang Han!" kata Kong-sun Po.

"Jadi begitu! Mana boleh tempat kami dikotori oleh bangsa asing!" kata Chan It Hoan gusar bukan main.

Menyaksikan keadaan semakin tegang Pek Tek menengahi mereka.

"Sabar, temui Bun Yat Hoan dulu," kata Pek Tek.

Dia sadar orang-orang itu lihay semua. Jika Chan It Hoan bertarung dengan mereka, belum tentu Chan It Hoan akan menang. Maka posisi yang bakal merugikan itu perlu dicegah oleh Pek Tek.

Kong-sun Po dan Pek Tek masuk ke ruang tengah. Di sana mereka lihat Han Hie Sun dan Wan-yen Hoo, ditemani hweeshio berwajah merah dan seorang lelaki kurus berwajah pucat. Sekali lihat Pek Tek tahu, mereka orang-orang berilmu tinggi.

"Kedatangan mereka ke mari pasti bukan bermaksud baik," pikir Pek Tek.

Memang tak lama terdengar kata-kata Han Hie Sun. "Ayahku  sangat  kagum  pada  Bun  Tay-hiap  yang  jadi

Bengcu di sini, itu sebabnya Ayahku bilang seharusnya dia

yang datang sendiri menemui Anda di sini. Sayang Ayah terlalu sibuk hingga dia mengutusku ke mari untuk memberi hormat!" kata Han Hie Sun.

"Jangan sungkan, aku tidak berani menerima penghormatan dari ayahmu, siapa yang datang bersamamu ini?" kata Bun Yat Hoan.

"Dia Yan Kong-cu teman baikku," kata Han Hie Sun. "Sedangkan Bu Bong Tay-su ini sahabat Ayahku."

Han Hie Sun memperkenalkan sahabat-sahabatnya satupersatu pada Bun Yat Hoan. Sesudah diperkenalkan oleh Han Hie Sun tanpa basa-basi lagi Bu Bong Tay-su langsung bicara.

"Aku datang untuk belajar kenal dengan kepandaian Bun Tay-hiap yang terkenal itu!" kata Bu Bong Tay-su. "Harap Anda mau memberi muka pada pin-ceng!"

"Jika kita bertukar pengalaman di dunia persilatan, rasanya itu wajar saja," kata Cian Ji-sian-seng,

Mendengar tantangan tamu-tamunya Bun Yat Hoan segera berpikir.

"Jika kunjungan mereka atas perintah Han To Yu, sungguh tak pantas rasanya jika baru bertemu sudah menantang bertarung?" pikir Bun Yat Hoan.

Melihat Bun Yat Hoan agak ragu, Kong-sun Po yang tidak tahan mendengar ucapan si hwee-shio langsung maju ke depan. Melihat Kong-sun Po tiba-tiba muncul, Han Hie Sun sedikit terperanjat. Sambil tertawa Han Hie Sun menyambut.

"Oh, kiranya Kong-sun Siauw-hiap juga ada di sini?" kata Han Hie Sun.

Kata-kata Han Hie Sun tidak dihiraukan oleh Kong-sun Po, dia langsung memberi hormat pada Bun Tay-hiap. "Harap Bun Tay-hiap maklum, mungkin penjelasan Han Hie Sun kurang jelas, maka itu baik aku yang mengulang penjelasannya," kata Kong-sun Po.

"Jadi kau kenal dengan mereka?" kata Bun Tay-hiap. "Untuk dua orang itu aku tidak kenal, tapi Yan Kong-cu

hampir setiap hari berkelahi denganku. Dia sebenarnya she Wan-yen!" kata Kong-sun Po.

"Oh, jadi Kong-cu ini she Wan-yn marga kerajaan Kim, kau bangsa Kim atau Han?" kata Bun Yat Hoan.

"Untuk apa bicara soal kebangsaan?" kata Wan-yen Hoo.

"Hm! Kau menutupi identitasmu, baik kukatakan terus terang untukmu," kata Kong-sun Po. "Bun Tay-hiap, dia putera Wan-yen Tiang Cie, paman raja Kim. Dia diutus ke Kang-lam sebagai pangeran bangsa Kim, dia seorang utusan rahasia!"

"Kalau begitu aku besikap kurang hormat kepadanya," ejek Bun Yat Hoan.

"Dua yang lainnya, biar aku yang memberi penjelasan," Pek Tek ikut bicara.

Dia tunjuk hwee-shio berwajah merah itu.

"Bu Bong Tay-su kakak seperguruan Wan-yen Tiang Cie, dia baru turun gunung dan dia diangkat jadi Hak-su di kerajaan Kim." kata Pek Tek. "Dia masih punya kakak seperguruan yang ilmu silatnya juga lihay!"

"Kau punya keterangan yang lengkap tentang diriku," kata Bu Bong Tay-su dengan tenang.

"Sedang Cian Jie Seng atau Cian Tiang Cun asal-usulnya luar biasa, dia mantan pengawal istana Kerajaan Kim," kata Pek Tek. "Dia jarang turun ke kalangan Kang-ouw. Hanya aku beruntung bertemu dia di Ceng-ciu sepuluh tahun yang lalu dia pernah bertarung dengannya!"

"Rupanya Anda masih ingat pertemuan kita sepuluh tahun yang lalu," kata Cian Tiang Cun. "Dulu kita bertarung, namun tak diketahui siapa yang kalah dan menang! Baik sekarang aku mohon petunjuk darimu!"

Sesudah sekian lama saling memperkenalkan, Han Hie Sun yang cerdik melihat sikap Bun Yat Hoan yang tidak jerih, malah menantang dia jadi ngeri juga.

"Memang Bu Bong Tay-su yakin bisa mengalahkan Bun Yat Hoan, tapi jika gagal aku juga bisa mendapat kesulitan," pikir Han Hie Sun yang hatinya kebat-kebit juga.

Kemudian Han Hie Sun yang licik lalu berkata.

"Antara Kerajaan Kim dan Song sekarang telah terjalin hubungan baik, jika tidak percaya Bun Tay-hiap tanya saja Kong-sun Siauw-hiap," kata Han Hie Sun.

"Tidak perlu! Jika tak ada hubungan, bagaimana kau bisa mengantar mereka ke mari?" kata Bun Yat Hoan. "Perlu aku jelaskan, aku rakyat biasa yang buta politik! Jika Kim dan Song berserikat, itu urusan pemerintah. Jika kau ingin tahu pendirian rakyat Song, musuh adalah musuh! Mereka tamutamu ayahmu, tapi jelas mereka bukan sahabat kami!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar