Beng Ciang Hong In Lok Jilid 38

Sekarang mereka bertarung, tapi kedua muda-mudi itu harus waspada pada gigitan ular-ular berbisa.

Wanita Biauw itu terus mendesak. Saat Siang Hoa dan nona Liong terdesak, wanita Biauw itu berteriak.

"Bibi Seng, bagaimana? Apa kubunuh mereka atau biarkan hidup?" kata wanita Biauw itu.

"Ditangkap hidup-hidup lebih baik," jawab Seng Cap-si Kouw.

"Akan kucoba," kata wanita Biauw itu.

Dia memutarkan golok lengkungnya menyerang dengan hebat. Dengan taktik mencoba memisahkan Ciauw Siang Hoa dengan nona Liong, wanita Biauw ini menyerang dengan gencar. Setiap saat ular hijaupun terus mengancam Siang Hoa maupun nona Liong.

Jarak antara nona Liong dan Bu Hian Kam tidak terlalu jauh. Saat Hian Kam melihat seekor ular menyambar ke arah calon isterinya, dia kaget, karena itu serangannya pada Seng Cap-si Kouw jadi kacau. Kesempatan ini tak disia- siakan oleh si Iblis Perempuan. Dia menyabet dengan tongkat bambu hijaunya, dan celakanya golok Hian Kam pun terlepas dari tangannya. Tiba-tiba tongkat hijau menotok jalan darah Hian Kam.

Si Iblis Perempuan menoleh ke arah bekas budaknya. "Tik Bwee, aku mau tahu bagaimana kau bisa

meloloskan diri dariku!" kata Seng Cap-si Kouw. "Apa kau masih akan mencari bantuan Kok Siauw Hong dan Beng Cit Nio! Dengar baik-baik, mereka semua sudah ada di tanganku. Jika kau mau menemuinya, akan kupertemukan!"

Kiat Bwee kaget bukan kepalang. Tak ada jalan lain dia harus bunuh diri daripada tertangkap oleh si Iblis Perempuan. Saat dia akan bunuh diri dia mendengar suara suitan. Alat suitan itu biasanya terbuat dari batang gelagah, ini kebiasaan bangsa Biauw. Bukan Kiat Bwee saja yang kaget, Seng Cap-si Kouw pun kaget mendengar suara suitan itu.

"Eeh, siapa orang itu? Beraninya dia main gila di sini!" kata Seng Cap-si Kouw.

Suitan itu ternyata membuat semua ular hijau itu diam dan tidak bergerak seolah ketakutan. Tak lama semua ular hijau itu menggeleser masuk ke dalam hutan tidak mau mendengar perintah para wanita bangsa Biauw itu. Baik pemimpin wanita Biauw maupun anak buahnya diam tertegun. Mereka pun akhirnya berbalik dan kabur ke dalam rimba. Sekarang tinggal Seng Cap-si Kouw seorang.

Melihat semua kabur Seng Cap-si Kouw tertegun keheranan. Dia tidak menyangka wanita Biauw yang begitu taat itu, semua telah meninggalkannya. Tiba-tiba dia dengar langkah orang dari dalam hutan. Saat dia menoleh, dia lihat seorang tabib berpakaian rombeng, berjalan menghampiri mereka. Melihat tabib itu Liong Thian Hiang senang bukan kepalang. Tetapi dia juga khawatir, apakah tabib itu kawan atau malah lawan. Tiba-tiba mereka dengar Seng Cap-si Kouw bicara.

"Siapa kau?" bentak Seng Cap-si Kouw. "Mengapa kau ikut campur urusan kami?"

Tabib berpakaian aneh itu tertawa terkekeh.

"Aku tahu siapa kau. masa kau sudah lupa siapa aku?" kata si tabib aneh itu.

Seng Cap-si Kouw mencoba mengingat-ingat wajah orang itu. Bukan main kagetnya dia, saat dia ingat siapa orang itu.

"Jadi.... jadi kau Ciok ....Oh jadi kau belum mati ya?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Beruntung memang, aku belum mati," kata si tabib aneh. "Ditambah lagi aku pun tidak ingin buru-buru mati! Aku harus balas-dendam, mana boleh aku buru-buru mati? Sekalipun bukan kau yang mencelakaiku, tapi kau ikut ambil bagian. Maka itu sebaiknya masalah itu kita selesaikan sekarang!"

"Kau pernah lolos sekali dariku, sekarang tidak! Mungkin kau sudah bosan hidup? Sekarang saatnya kau menghadap Giam Lo Ong (Si Raja Akherat)!" kata Seng Cap-si Kouw sambil mengetukkan tongkat bambu hijaunya ke tanah.

Dia serang si tabib aneh itu dengan serangan mautnya, di luar dugaan tabib itu sudah siaga. Begitu tongkat hijau sampai, si tabib menggunakan loncengnya menangkis.

"Trang!" Gerakan si tabib luar biasa. Dia gunakan jurus Boat-in- kianjit" atau "Menyibak awan melihat matahari". Tak lama keduanya sudah mulai bertarung dengan hebat. Seranganserangan tabib aneh dengan lonceng bergagang panjang dirasakan sangat merepotkan Seng Cap-si Kouw. Sekarang dia mulai terdesak mundur.

"Aneh jurus orang ini, dulu dia kalah olehku, tapi sekarang dia luar biasa," pikir si Iblis Perempuan.

Selain lihay munculnya si tabib aneh ini mengejutkan Seng Cap-si Kouw. Saking gugupnya Seng Cap-si Kouw jadi terdesak lawannya. Ditambah lagi tenaganya sudah agak terkuras. Siang Hoa dan Liong Thian Hiang yang sudah bebas dari kepungan musuh jadi bernafsu menyerang.

"Mari kita serang Seng Cap-si Kouw!" kata Siang Hoa. Kiat Bwee seolah tersedar dari kejutnya.

"Benar, mari kepung si Iblis Perempuan itu!" kata Kiat Bwee.

"Hm! Kau pikir gampang merintangiku, aku bisa pergi dan datang sesuka hatiku," kala Seng Cap-si Kouw mengejek.

Karena sudah kewalahan menghadapi tabib aneh itu, sebenarnya Seng Cap-si Kouw akan meninggalkan pertempuran. Ketika ada kesempatan baik, dia langsung kabur. Sedang orang-orang tidak mengejarnya.

Saat itu Nona Liong berusaha menolong membuka totokan pada Bu Hian Kam, tapi gagal. Kiat Bwee membantunya juga gagal. Melihat hal itu si tabib aneh tersenyum.

"Biar aku coba menolongnya," katanya.

Dia mencoba mengurut Bu Hian Kam, dan berhasil. "Terima kasih atas pertolongannya," kata Bu Hian Kam.

"Jangan see-ji (segan)," kata si tabib. "Nanti kau akan tahu sendiri, siapa aku ini..."

Siang Hoa mengawasi tabib itu, dia merasa seolah kenal dengan tabib aneh itu. Dia heran sekali. Tabib aneh itu pun sedang mengawasi ke arah Ciauw Siang Hoa. Ketika diperhatikan tampak tabib aneh itu seperti mengeluarkan air mata.

"Aneh, siapa sebenarnya kau? Bagaimana kau tahu tentang kami, bahkan kau memancing kami seolah kau tahu banyak tentang kami!" kata Ciauw Siang Hoa pada si tabib.

"Ooh, ternyata kau lupa padaku, Nak," kata si tabib aneh. "Sekarang jawab, benarkah di bawah ketiakmu ada tahi lalat? Saat rumahmu diserang, bukankah kau dibawa lari oleh Ong Sam?"

"Ooh jadi. Jadi kau Ayahku!" teriak Siang Hoa.

"Benar! Kau jangan menangis, nak," kata si tabib saat dia lihat Siang Hoa menangis. "Kita harus gembira karena bisa bertemu lagi!"

"Ayah, tahukah kau siapa Nona ini?" Tabib itu mengangguk.

"Aku tahu, aku pun pernah mencari ayahnya, maka aku tahu keluargamu tertimpa malang. Aku mencemaskan dirimu, Nona Yo! Tidak kukira hari ini kita bisa berkumpul, ternyata kalian juga kenal dengan anakku." kata si tabib.

Sesudah tertegun sejenak tabib itu berkata lagi.

"Namaku Ciok Leng, sahabat baik Yo Tay Ceng, ayah Nona Yo! Apa kau tahu, Nona Yo?" kata si tabib. "Aku tahu, ketika masih kecil Ayahku pernah bilang tentang Paman Ciok. Baru-baru ini aku juga mendengar tentang Paman dari seseorang. Tidak kukira kita bisa saling bertemu lagi. " kata Kiat Bwee.

"Kalian kira aku sudah mati, bukan?" kata Ciok Leng. "Nona  Yo  diculik  dan  dijual  pada  Seng  Cap-si Kouw

dijadikan  budaknya,"  kata  Siang  Hoa  menjelaskan   pada

ayahnya.

"Aku tahu, tapi aku tidak yakin kau puteri Yo Toa-ko, padahal aku pernah mengikuti kalian, sedangkan kalian tidak mengetahuinya," kata ayah Siang Hoa.

"Kenapa Ayah tak sejak dulu menemui kami?" kata Siang Hoa.

"Ketika itu saatnya belum tiba," kata sang ayah. "Karena masih ada yang belum jelas bagiku. Apa kalian pernah mendengar tentang peta tubuh Hioat-to-tong-jin? Nasib buruk keluarga kita ada kaitannya dengan lukisan itu!"

"Kami pernah mendengarnya dari Kho-si, ibu keduaku," jawab Siang Hoa.

"Yang kau maksud Kho Siauw Hong, isteri Ciauw Goan Hoa, bukan?”

"Ya. Dia sangat baik padaku," kata Siang Hoa. "Tapi sayang dia sudah meninggal dunia."

"Dia juga bernasib buruk dan menyedihkan," kata Ciok Leng. "Ayahnya dulu kawan ayah juga, saat mengawal lukisan dia coba berbuat curang dan gagal Tak diduga dia jadi ibu angkatmu, Nak."

"Untuk menghidar dari kejaran Kiauw Sek Kiauw, ibu rela  menjadi  isteri  kedua  ayah  angkatku,  Ciauw  Goan Hoa!" kata Siang Hoa. "Tapi tidak dinyana dia dipersulit oleh Kiauw Sek Kiang dan Seng Cap-si Kouw!"

Ayah Siang Hoa terharu.

"Kebetulan aku pun bisa selamat," kata Ciok Leng. "Saat bertarung melawan Kiauw Sek Kiang, aku terluka oleh anak buahnya. Bekas luka di mukaku ini akibat serangan anak buahnya itu."

"Sakit hati ini kita harus balas, Ayah," kata Siang Hoa. "Benar," kata Ciok Leng. "Saat aku terluka aku roboh,

Kiauw Sek Kiang mengira aku sudah mati. Sesudah mereka

pergi, aku kabur dan bersembunyi di sebuah goa. Aku lari ke Kui-ciu dan tinggal di kampung suku Biauw, lalu menyamar jadi tabib keliling. Aku sering berhasil mengobati orang Biauw dengan pengetahuan obatku. Kepala suku Biauw adalah sahabat Ayah."

"Pantas kau mengerti cara mengusir ular suku Biauw, Paman Ciok!" kata Bu Hian Kam.

"Aku juga tahu cara meniup seruling dari gelagah untuk mengumpulkan orang Biauw," kata Ciok Leng. "Saat aku meniup seruling itu, wanita-wanita Biauw itu mengira kepala suku mereka datang. Segera mereka kabur!"

"Sesudah tahu mereka dikelabui, pasti mereka akan datang lagi." kata Bu Hian Kam."Aku juga ingin tahu bagaimana Sam Kiong-cu bisa kenal dengan Seng Cap-si Kouw?"

"Mereka tinggal jauh dari sini, jika mau datang lagi akan makan waktu," kata Ciok Leng. "Mari kita pergi, di sepanjang jalan kita bisa bincang-bincang!"

"Benarkah ucapan Seng Cap-si Kouw, bahwa Beng Cit Nio  dan  Kok  Siauw  Hong  sudah  menjadi  tawanan  dan disembunyikan di perkampungan suku Biauw?" kata Kiat Bwee.

"Benar, maka itu kita akan menyelidikinya," kata Ciok Leng. "Aku sering keluar masuk daerah Biauw, dengan penyamaran wajahku yang kuubah hingga tidak dikenali. Saat aku menyamar jadi tabib dan mengembara ke berbagai tempat aku jadi orang lain. Malah aku beruntung tahu Seng Cap-si Kouw terlibat dalam pencurian lukisan itu. Dia tidak kenal pada Kiauw Sek Kiang, tapi dia kenal pada Kho Kiat, ayah Kho Siauw Hong, ibu angkat Siang Hoa!"

Semua mendengarkan dan mulai mengetahui masalah itu.

"Rupanya Kho Kiat mencintai Seng Cap-si Kouw," melanjutkan Ciok Leng. "Tapi Seng Cap-si Kouw sangat angkuh, karena dia lebih menyukai Han Tay Hiong. Maka itu dia tidak meladeni cinta Kho Kiat. Kho Kiat yang tergila-gila sendiri dia berusaha memikat hati Iblis Perempuan itu. Dia memberi tahu tentang peta tubuh dan meminta bantuan pada si Iblis Perempuan itu. Bahkan dia berjanji, jika peta itu berhasil dia dapatkan, dia akan menghadiahkan peta kepada si Iblis. Si Iblis Perempuan senang sekali, tapi dia tidak muncul dan hanya mengatur siasatnya saja. Obat bius yang dipakai mengerjai kami itu pemberian Seng Cap-si Kouw!"

"Kho Siauw Hong mengira obat bius itu diperoleh ayahnya dari Kiauw Sek Kiang." kata Kiat Bwee.

"Agar hubungan dan rahasianya tidak diketahui puteri dan isterinya, Kho Kiat malah tega membunuh isterinya sendiri, karena dia berniat menikahi Seng Cap-si Kouw!" kata Ciok Leng. "Aku juga pernah mencari Kho Kiat dengan maksud balas dendam. Saat aku menemukannya dia dalam keadaan sudah sangat parah. Kiranya dia  terluka oleh Kiauw Sek Kiang. Sebelum Kho Kiat mati, dia menceritakan perbuatannya padaku, dan aku percaya saja."

"Lalu kenapa wanita Biauw itu tunduk pada Seng Cap-si kouw?" tanya Kiat Bwee.

"Di kampung suku Biauw ini ada orang Han bernama Bong Tek Cie, dia punya anak perempuan tiga orang yang masingmasing bernama Say Giok, Say Goat dan Say Hoa. Maka itu Say Hoa dipanggil Sam Kiong-cu. Di daerah ini sering timbul penyakt, terutama di musim semi. Puteri ketiga Tek Cie terserang hawa beracun. Kebetulan datang Seng Cap-si Kouw si akhli racun. Dia berhasil menyembuhkan Say Hoa hingga dianggap malaikat penyelamat."

"Tidak heran jika Seng Cap-si Kouw menyembunyikan Han Tay Hiong di tempat ini. Apa kau tahu keadaan dusun mereka itu, Paman Ciok?" kata Kiat Bwee.

"Karena aku kenal dengan ketua suku Biauw di Kui-ciu, maka aku pun mengetahui keadaan desa mereka cukup baik," kata Ciok Leng. "Aku tahu jalan kecil menuju ke kampung mereka!"

Mereka berbincang sambil berjalan menyusuri jalan setapak melewati hutan bambu. Tiba-tiba mereka mendengar desiran angin meniup daun bambu.

"Eeeh," desis Ciok Leng.

"Kau mendengar sesuatu, Ayah?" tanya Siang Hoa. "Tenang saja, aku jalan di muka tapi kalian harus

waspada," kata Ciok Leng.

Saat berjalan di depan Ciok Leng tersentak. "Si Iblis Perempuan baru kukalahkan, tidak mungkin dia berani mengikutiku! Apa barangkali ada orang lain yang lebih lihay?" pikir Ciok Leng.

Selewat hutan bambu ternyata tidak terjadi apa-apa.

Ciok Leng mendekati puteranya.

"Siang Hoa, apa Kho-si memberitahumu ada di tangan siapa lukisan itu? Semula aku kira orang bertopeng itu Kiauw Sek Kiang, ternyata bukan. Sudah lama masalah ini aku selidiki, tapi belum juga terungkap!" kata Ciok Leng.

"Ibu angkat mengira orang itu Khu Kong, Su-heng Wan Ceng Liong dari Beng-shia-to. Oleh sebab itu ibu angkat pernah mencuri sebuah kitab ilmu tiam-hiat milik Khu Kong, ternyata salah dan itu bukan lukisan yang dicari!" kata Siang Hoa.

"Lukisan itu telah menelan banyak korban, Yo Toa-ko dan Kho Kiat, untung aku selamat sampai sekarang. Tetapi sampai saat ini aku belum bisa mengungkap siapa orang bertopeng itu?" kata Ciok Leng.

"Paman, masalah itu sudah bisa diketahui," kata Kiat Bwee.

"Benarkah? Siapa orang itu? Kenapa tidak kau katakan sejak tadi?" kata Ciok Leng.

"Sebenarnya aku juga sudah tahu, Ayah," kata Siang Hoa sambil tertawa. "Orang bertopeng itu ternyata si pengemis tua di Siong-hong-nia. Dia telah bertemu dengan Seng Cap-si Kouw. Malah Kok Siauw Hong pun pernah bertarung menjajal kepandaiannya,"

Kemudian Siang Hoa mengisahkan hal itu dengan jelas apa yang dia dengar dari Ong It Teng yang mendapat laporan dari Kong-sun Po. Ciok Leng kaget dan heran sekali.

"Kalau begitu dia bukan komplotan Kiauw Sek Kiang, lalu mengapa Seng Cap-si Kouw pun memusuhinya?" kata Ciok Leng.

Sebelum pertanyaan itu dijawab, mereka sampai di depan jurang yang sangat dalam. Untuk menyeberang memang terdapat sebuah jembatan batu alam. Lebar jembatan itu hanya setengah meter. Orang harus menyeberang secara seorang demi seorang.

"Biar aku dulu yang ke seberang!" kata Ciok Leng.

Sebelum Siang Hoa bertanya pada ayahnya, kenapa begitu, Ciok Leng telah melompat sambil berseru.

"Siapa kawan yang bersembunyi di sana? Silakan  keluar!" kata Ciok Leng.

Tak lama muncul dari bawah jembatan seorang pengemis tua yang membawa tempat arak dari kulit. Da bersembunyi di bawah jembatan batu. Menyaksikan kegesitan si pengemis tua melompat ke atas jembatan, Ciok Leng terperanjat.

Sesudah melihat dengan jelas orang itu, Ciok Leng tampak gusar. Rupanya Ciok Leng mengenali orang itu sebagai si orang bertopeng itu. Ketika itu dia memang sempat bertarung sebelum terluka.

"Hm! Kebetulan aku sedang mencarimu!" bentak Ciok Leng.

Orang itu tertawa terbahak-bahak.

"Kiranya kau, Ciok Leng. Aku kira kau sudah mampus, aku juga sedang mencarimu. Dengar dulu apa yang akan kukatakan. " Kata pengemis tua itu. Ciok Leng sedang gusar dia tidak mau menghiraukan omongan orang itu.

Dengan cepat dia angkat senjata kelenengannya dan menyerang pengemis itu dengan hebat. Karena pertarungan terjadi di atas jembatan batu yang sempit, sulit bagi keduanya bisa bergerak dengan leluasa. Maka itu datangnya suara kelenengan lawan tidak dikelit, melankan tangan pengemis tua itu menangkap senjata Ciok Leng tersebut dengan gesit.

"Lepaskan!" kata si pengemis tua.

Tapi mana mau Ciok Leng mengalah, dia mengubah serangannya sambil membentak.

"Terjun kau ke bawah!" kata Ciok Leng.

Keduanya sama kuat dan ulet, saat pertarungan berlangsung, suara kelenengan itu terus terdengar. Tapi sial gagang kelenengan itu patah jadi dua. Ciok Leng melemparkan senjatanya ke jurang, dia menyerang dengan tangan kosong. Untuk menghindari serangan lawan mengenai wajahnya, pengemis tua itu celentang ke belakang. Dia gunakan jurus "Tiat-pan-kio" (Jembatan Besi Melintang). Sesudah serangan Ciok Leng luput, dia sambar tangan Ciok Leng yang hendak dia putar untuk dipatahkan. Dia membentak dengan nyaring.

"Roboh!" kata pengemis tua. "Mana bisa!" kata Ciok Leng.

"Ternyata kau hebat sekarang, Saudara Ciok!" kata si pengemis tua sambil tertawa.

Ciauw Siang Hoa dan Kiat Bwee sudah sampai ke ujung jembatan. Menyaksikan pengemis tua itu  menotok ayahnya, Siang Hoa kaget. Dia tahu totokan si pengemis tua sangat lihay. Saat sedang cemas sekali, Siang Hoa mendengar ayahnya berkata nyaring.

"Biar aku adu jiwa denganmu!" kata Ciok Leng.

Bagai golok yang tajam telapak tangan Ciok Leng menebas leher pengemis tua itu. Serangan itu memaksa si pengemis tua harus menyelamakan diri dari bacokan tangan itu. Buruburu dia merunduk, sambil menunduk dia menotok tangan Ciok Leng yang terasa jadi kesemutan. Ciok Leng mengerahkan tenaga dalamnya, dalam sekejap jalan darahnya pulih kembali.

"Anak muda itu puteramu, kan?" kata pengemis tua pada Ciok Leng. "Selamat kau sudah berkumpul kembali dengan anakmu! Tapi kenapa kau mau mengadu jiwa denganku?

Jika

aku mati di tanganmu, aku ini si pengemis sebatang kara!"

"Kaulah yang menyebabkan kami sengsara, maka aku akan adu jiwa denganmu!" kata Ciok Leng.

Dia sadar si pengemis tua ingin berbaikan dengannya. "Melihat caramu berkelahi, rupanya kau mengingnkan

kita mati bersama-sama!" kata si pengemis tua.

"Benar, mati bersama-sama juga tidak jadi soal," kata Ciok Leng sengit.

Menyaksikan

perkelahian tingkat tinggi yang dahsyat itu kedua pasang muda-mudi itu kagum dan cemas. Pengemis tua itu tak banyak bicara, dia menyerang semakin hebat. Tiba-tiba terdengar suara keras.

"Plaak!" Dua pasang telapak tangan mereka beradu keras sekali. Saat itu kedua orang tua yang sedang bertarung itu berdiri tegak seolah mereka terpantek di tengah jembatan batu  yang curam itu. Keadaannya semakin menegangkan, karena mereka sedang mengadu tenaga dalam. Itu adalah saat yang paling berbahaya bagi keduanya. Akibatnya jika salah injak sudah bisa dibayangkan, keduanya akan terjatuh dari jembatan dan akan terluka parah atau paling tidak salah satu akan binasa.

"Ayah, hentikan! Berdamai saja dengannya!" teriak Siang Hoa dari seberang jembatan.

Pertarungan mereka hanya bisa dipisahkan, jika ada yang melerai dan orang itu pun ilmu silatnya jarus tinggi. Seruan Siang Hoa membuat Ciok Leng sadar, tapi dia harus tetap waspada jika dia tidak ingin celaka. Rupanya si pengemis tua pun menyadari apa yang ada di benak Ciok Leng. Maka itu dia berkata perlahan.

"Saudara Ciok, bagaimana? Apa sebaiknya kita berdamai saja?" katanya.

Saat bertarung Ciok Leng kaget, si pengemis masih bisa berkata-kata.

"Hebat, dia hebat sekali. Padahal sudah duapuluh tahun aku berlatih tenaga dalam, tapi tak sehebat dia!" pikir Ciok Leng.

Saat itu Ciok Leng merasakan dorongan tenaga dalam si pengemis tua terasa berkurang, barulah Ciok Leng bisa bicara.

"Apa masih ada yang bisa kita bicarakan antara kau dan aku?" kata Ciok Leng. "Kau jawab dulu pertanyaanku ini, Saudara Ciok!" kata si pengemis. "Kau lebih membenciku atau membenci Kiauw Sek Kiang?"

Ciok Leng terkenang kejadian yang lalu. Dia tertotok oleh si pengemis, tapi yang membuat sanak dan keluarganya berantakan justru bukan dia, tapi Kiauw Sek Kiang yang keji itu.

"Aku sakit hati pada Kiauw Sek Kiang sedalam lautan, tapi jika bukan gara-gara kau mencuri lukisan itu, mungkin aku tidak akan bermusuhan dengannya demikian hebat!" kata Ciok Leng.

"Jadi dendammu pada Kiauw Sek Kiang lebih dalam daripada kepadaku," kata si pengemis tua. "Sekalipun aku tahu kau tidak akan memaafkan aku, tapi bagaimana perasaanmu pada Seng Cap-si Kouw, kau benci tidak padanya?"

"Dasar bodoh, sudah tahu kenapa bertanya lagi?" kata Ciok Leng.

"Jadi kau juga benci padanya?!"

"Ya, Kiauw Sek Kiang musuh nomor satuku, dan Seng Capsi Kouw yang kedua!" jawab Ciok Leng. "Kau adalah..."

"Musuhmu yang ketiga, bukan?" meneruskan si pengemis.

"Benar," kata Ciok Leng. "Jika hari ini kau tidak membunuhmu, kelak aku pun akan mencarimu..."

"Baik! Aku setuju, aku kau anggap musuhmu yang ketiga. Kelak kau mau mencariku, itu urusan nanti saja." kata si pengemis. "Tapi aku girang hari ini kau bersedia berunding denganku!" "Berunding tentang apa?" kata Ciok Leng.

"Apa kau yakin kau bisa mengalahkan Seng Cap-si Kouw?"

"Jika belum tentu menang, aku juga tidak akan mudah dikalahkannya," kata Ciok Leng.

"Anggap saja kau bisa mengalahkannya, jika dia sendirian! Tapi bagaimana jika dia dibantu oleh orang- orang Biauw?" kata si pengemis tua. "Aku yakin kau akan kalah olehnya. Jika kau bermaksud menolongi kawan- kawanmu, aku tidak yakin kau akan berhasil!"

"Tak peduli aku akan berhasil atau tidak, apa urusannya denganmu?" kata Ciok Leng.

"Ada sangkut-pautnya denganku!" kata si pengemis tua. "Aku sendiri tidak sanggup melawan Seng Cap-si Kouw. apalagi jika dia dibantu oleh orang-orang Biauw!"

"Jadi kau juga memusuhi dia?"

"Ya. Karena dia ingin merebut lukisan itu dari tanganku, aku tidak mau menyerahkannya," kata si pengemis tua. "Dia benci padaku mungkin melebihi bencinya padamu!"

"Jadi kau ingin mengajakku bergabung melawan dia?" "Bukan   itu   saja!   Malah   kelak   kita   bisa   bergabung

melawan Kiauw Sek Kiang!" kata si pengemis tua. "Ingat,

bukankah aku ini hanya musuh nomor tigamu! Jika aku bisa membantu mengalahkan musuh pertama dan keduamu, permusuhan kita aku kira bisa disudahi, bukan?!"

Tawaran itu cukup memadai, namun Ciok Leng belum berani mengiakan. Dia tidak tahu apakah tawaran pengemis tua itu sungguh-sungguh atau malah hanya siasat. Ciok Leng sadar, jika dia berdamai dengan si pengemis tua,  maka dia tak bisa meminta gambar itu untuk dikembalikan padanya. Bagaimana nasib kematian orang she Yo, sahabatnya akibat gambar itu?

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Melihat lawannya tertegun sejenak, si pengemis tua seolah menebak jalan pikiran lawannya.Sambil tertawa dia berkata dengan lembut penuh persahabatan. "Aku tahu hatimu sangat mulia," kata si pengemis tua, "dulu kau berniat menyerahkan lukisan itu kepada Kaisar Song Selatan, bukan? Karena lukisan tubuh itu aku curi, kau marah kepadaku, iya kan? Untung usaha kalian mencari tahu tentang si pencuri tidak berhasil!"

"Kau mencuri barang orang, malah berani bicara seenakmu!" bentak Ciok Leng.

"Aku tidak bicara semauku, sekalipun dorna Cin Kwee ketika itu sudah binasa, namun para penggantinya di Kerajaan Song Selatan sama jahatnya! Seandainya waktu itu kalian berhasil mengambil lukisan tubuh itu lalu diserahkan kepada Kaisar Song, pasti barang itu tetap akan jatuh ke tangan para dorna yang jahat itu! Maka kupikir tidak ada salahnya jika benda itu ada di tangan sesama orang Kang-ouw." kata si pengemis tua.

"Tidak selayaknya kau mnguasai lukisan itu!" kata Ciok Leng gusar bukan main.

Pengemis tua itu tertawa terbahak-bahak.

"Kau benar, memang si Pengemis Tua ini tidak berhak dan tidak pantas memiliki lukisan itu! Sekarang, jika kau bersedia berdamai denganku, lukisan itu dengan tulus hati akan kuserahkan padamu. Sesudah ada di tanganmu, terserah kau akan berikan kepada siapa lukisan itu? Apa kau setuju dan percaya pada kata-kataku ini?" kata si pengemis tua.

"Hm! Jika benar kau bersedia menyerahkan lukisan itu, kenapa aku tidak percaya padamu?" kata Ciok Leng yang tertarik pada tawaran lawannya itu. Kemudian dia berkata lagi, "Sesudah masalah kita di sini selesai, tidak perlu kau serahkan lukisan itu kepadaku. "

"Lalu harus kuserahkan pada siapa lukisan itu?" kata si pengemis tua keheranan.

"Kau serahkan sendiri pada Liu Lie-hiap di Kim-kee- leng!" jawab Ciok Leng.

"Baik, akan kupenuhi permintaanmu itu," kata si pengemis tua. "Mari kita berdamai, kita sudahi pertarungan ini."

Sesudah itu masimg-masing menarik kembali tangan mereka. Menyaksikan kejadian itu Ciauw Siang Hoa girang sekali. Dia menghampiri ayahnya dan memberi hormat pada si pengemis.

"Ayah, atas kerelaan Lo Cian-pwee ini rasanya usaha kita akan sukses!" kata Ciauw Siang Hoa.

"Kau benar, Nak. Tapi aku belum tahu siapa nama beliau?" jawab sang ayah.

"Margaku Thio, dulu aku dipanggil Thio Hong-chu (Si Thio Gila)," jawab si pengemis tua tanpa diminta. "Aku juga dipanggil Thio Thay Thian!" "Saudara Thian, kita akan menuntut balas dan menyelamatkan Han Tay Hiong. Apa kau punya rencana?" kata Ciok Leng.

"Sebenarnya aku membutuhkan bantuan kalian," jawab Thio Thay Thian.

"Bantuan bagaimana?" tanya ayah Siang Hoa.

"Kau pancing Seng Cap-si Kouw agar mengejarmu ke tempat yang jauh," kata si pengemis tua. "Jika tidak, aku yakin dia sempat untuk minta bantuan kepada suku Biauw untuk mengejar kalian! Jika kalian bisa mengulur waktu selama mungkin, aku bisa masuk ke perkampungan suku Biauw untuk menolongi kawan kita! Soal balas-dendam pada Seng Cap-si Kouw untuk sementara kita tunda dulu!"

"Bagus, tapi jika kau sendiri yang masuk ke sarang musuh, apa itu tidak berbahaya bagimu?" kata ayah Siang Hoa.

"Jangan kalian cemaskan diriku, aku sudah tahu di mana mereka menahan Han Tay Hiong dan Kok Siauw Hong? Kebetulan aku juga bisa bahasa Biauw. Malah aku pikir kaulah yang harus waspada menghadapi si Iblis Perempuan itu!" kata Thio Thay Thian.

"Kalau begitu baiklah, akan kupancing dia ke puncak gunung," kata ayah Siang Hoa.

Sesudah membagi tugas, si pengemis menunjuk ke suatu arah.

"Kau lihat di sana ada api, pasti orang-orang Biauw sudah mulai mengejar kalian!" kata si pengemis tua.

Ciok Leng mengajak anaknya dan kawannya menuju ke suatu  tempat,  mereka  berharap  agar  dilihat  oleh  orang- orang Biauw. Dengan cara demikian Ciok Leng dan kawan- kawannya hendak memancing lawan.

Sesudah mereka pergi Thio Thay Thian menarik napas panjang, saat itu seolah dadanya lapang. Padahal sebelumnya dadanya seolah tertekan benda berat.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Di suatu tempat Han Tay Hiong sedang duduk bersila, dia menempati sebuah kamar yang sunyi. Orang tua ini sedang keracunan, sehingga tampak wajahnya pucat dan tidak leluasa bergerak. Setiap malam sebelum dia tidur, Han Tay Hiong berusaha memulihkan tenaga dalamnya dengan berlatih.

Malam itu pada tengah malam tampak Han Tay Hong agak gelisah, dia mencoba menenangkan hatinya tetapi tidak berhasil. Dia berada di tempat itu hampir tiga bulan lamanya. Katanya saat itu dia sedang dirawat oleh Seng Cap-si Kouw yang rutin memberinya sebuah pil untuk memulihkan kekuatannya. Tetapi dia merasakan keadaannya belum pulihpulih juga. Jika Seng Cap-si Kouw akan berpergian, pil dititipkan kepada ketua suku Biauw untuk diberikan kepadanya. Sekalipun Seng Cap-si Kouw mengatakan dia sudah berusaha keras, tetapi lama kelamaan Han Tay Hiong pun jadi sangsi juga. Apa benar perempuan itu mengobatinya?

Pada tengah malam itu saat suasana begitu sunyi, Han Tay Hiong mendengar suara terompet dari batang gelagah, alat tiup itu adalah alat khas bangsa Biauw. Tidak lama Han Tay Hiong mendengar banyak langkah kaki orang Biauw bergerak keluar dari kampung mereka.

Han Tay Hiong curiga, tapi tidak tahu apa yang terjadi. Dia juga heran kenapa Seng Cap-si Kouw tidak datang menjenguknya. "Aku sudah jatuh ke tangannya, jika dia ingin mencelakakan aku maka aku tidak berdaya melawannya! Aku pun tidak tahu bagaimana nasib puteriku Pwee Eng sekarang? Aku harap aku bisa bertemu lagi dengannya sebelum aku binasa." pikir Han Tay Hiong..

Saat melamun tiba-tiba daun jendela terbuka dengan mendadak. Menyusul dengan terbukanya jendela, sesosok tubuh manusia melayang masuk ke dalam kamar itu.

"Siapa kau?" bentak Han Tay Hiong.

Dengan bantuan cahaya rembulan Han Tay Hiong melihat seorang pengemis masuk ke dalam kamarnya. Dia kaget karena seolah dia mengenali pengemis itu.

Sebelum hilang rasa terkejutnya dia dengar pengemis itu tertawa sambil berkata, "Han Toa-ko, duapuluh tahun lamanya kita tidak pernah bertemu. Bagaimana keadaanmu, apa kau sehat?"

"Siapa kau?"

"Aku ThioThay Thian!"

"Eeh, Saudara Thio, kenapa kau juga ada di sini?" kata Han Tay Hiong.

"Suaramu perlahankan, nanti didengar orang. Kedatanganku untuk membalas budimu dulu. Aku akan mencoba membawamu keluar dari tempat ini," bisik Thio Thay Thian.

Ketika masih muda mereka adalah sahabat, usia Han Tay Hiong lebih tua dari Thio Thay Thian. Saat baru berkenalan Thay Thian belum lama berkelana di kalangan Kang-ouw. Ketika itu Thay Thian ini pemberang dan sering membuat onar. Suatu saat dia bentrok dengan murid Bu-tong-pay. Beruntung Han Tay Hiong bisa mendamaikan persengketaan mereka.

Saat Han Tay Hiong mengasingkan diri di kota Lok- yang; orang she Thio berhasil mencuri lukisan dan kabur.

"Kau mau menolongku pergi dari sini? Apa maksudmu?" kata Han Tay Hiong.

"Hai Kanda Han. apa kau memang ingin mati di tempat ini? Aku kira Seng Cap-si Kouw bukan orang baik-baik!" kata Thio Thay Thian.

"Apa kau mengetahui sesuatu?" tanya Han Tay Hiong. "Sudah jangan banyak bicara, kau akan segera mengerti

jika kau kupertemukan dengannya," kata Thio Thay Thian.

"Separuh badanku sudah lumpuh, bagaimana kau bisa ikut kau keluar dari sini?" tanya Han Tay Hiong.

"Jangan cemas, aku tahu kau terkena racun berbahaya, kebetulan aku membawa sebuah teratai salju dari Thay-san.

Kau kunyah teratai ini, aku yakin tak lama lagi kau akan bisa berjalan." Kata Thio Thay Thian.

Teratai salju itu barang langka, entah dari mana si pengemis tua itu mendapatkannya. Han Tay Hiong sangat berterima kasih, lalu dia makan tetratai itu. Kemudian dia mengerahkan tenaga dalamnya, dan berhasil mendorong racun yang ada di tubuhnya. Selang beberapa saat benar saja Han Tay Hiong merasakan tubuhnya nyaman. Dia anggap sekarang dia sudah bisa berjalan kaki lagi.

Mereka kemudian keluar dari kamar itu. Dengan menyusuri taman, mereka mengambil jalan yang berliku- liku di perbukitan. Tak lama mereka sampai di rumpun bambu. Di sepanjang jalan Han Tay Hiong berpikir keras. "Siapakah orang yang akan dipertemukan denganku itu?" pikir sang jago tua ini.

Tak lama mereka sudah melihat sebuah rumah batu. Di depan pintu rumah batu itu tampak dua orang Biauw berdiri kaku. Mereka sudah ditotok semuanya.

"Silakan! Orang di dalam rumah batu itulah yang akan kau temui!" kata Thio Thay Thian.

Tiba-tiba dia menendang pintu rumah batu itu. "Brak!"

Berbareng dengan hancurnya pintu, dari dalam rumah batu yang gelap itu terdengar suara teguran.

"Siapa di luar?"

Mendengar suara itu bukan main senangnya hati Han Tay Hiong. "Siauw Hong!" kata Han Tay Hiong. Sesudah saling bertemu Han Tay Hiong langsung bertanya. "Siauw Hong, mana Pwee Eng?"

"Oh, kau Gak-hu (Mertuaku)," kata Siauw Hong. "Jika kuceritakan tentu ceritanya sangat panjang. Aku dikurung karena tertangkap oleh Seng Cap-si ouw!"

"Aku minta kau datang menemuiku, malah dia mengurungmu di sini!" kata Tay Hiong.

Saat mereka berbincang, Thio Thay Thian berkata dari luar rumah batu.

"Bicara dengan tenang, aku akan mengajak seseorang untuk kupertemukan dengan kalian!" kata Thio Thay Thian. "Dengan demikian masalahnya akan lebih jelas!"

Di tempat lain Beng Cit Nio yang tertangkap oleh Seng Capsi Kouw ditahan di rumah batu yang lebih kuat dibanding  tempat  Kok  Siauw  Hong  ditahan.  Tempat itu dikelilingi tembk batu yang tingginya mencapai sepuluh meteran. Di bagian atasnya terdapat lubang untuk menurunkan makanan pada Beng Cit Nio.

Mungkin karena ilmu silat Beng Cit Nio dianggap sangat tinggi, maka dia ditahan di tempat yang istimewa itu. Karena dianggap tempat itu sangat kokoh dan tersembunyi, tempat itu tidak dijaga.

Saat Beng Cit Nio sedang duduk bersemedi, terdengar seperrti ada orang yang mengetuk-ngetuk dinding rumah batu. Ketika Beng Cit Nio menengadah ke atas, dia melihat cahaya memancar ke bawah. Tidak lama seutas tambang dadung meluncur ke bawah, ketika diperhatikan itu bukan kiriman makanan untuknya.

"Pegang tambangnya erat-erat!" kata suara dari atas. "Kau mau apa?"

"Jangan berisik, pegangi talinya aku ingin menolongimu," kata orang di atas sana.

Saat Beng Cit Nio meraih tambang itu, bersamaan dengan itu dia mendengar suara keras di atas. Tak lama tampak cahaya terang, ternyata lubang di atas yang semula ditutupi batu besar, sekarang sudah tergolek dan tampak lubang menganga.

Beng Cit Nio yakin, orang yang menggolekkan batu besar itu mempunyai tenaga yang besar. Karena Beng Cit Nio masih ragu-ragu, dia tidak langsung naik. Tetapi tak lama dia pun nekat, dia pegangi tambang besar itu. Tak lama dia merasakan tubuhnya ditarik naik.

Sampai di atas dia tahu penolongnya itu seorang pengemis tua. "Kau ini siapa?" tanya Beng Cit Nio. "Apalagi kau orang Kay-pang?" "Jangan hiraukan aku, ayo kau ikut aku," kata Thio Thay Thian. "Jangan khawatir aku tidak berniat jahat, kalau tidak mengapa kau kutolongi."

Si Pengemis tua berjalan dimuka diikuti oleh Beng Cit Nio. Maka tanpa banyak bicara Beng Cit Nio terus mengikutinya.

Sejak ditinggalkan oleh Thio Thay Thian, Kok Siauw Hong telah menceritakan pengalamannya pada Han Tay Hiong. Sesudah mendengar cerita anak muda itu Han Tay Hiong terkejut. Sedikit pun dia tidak mengira kalau orang yang mencelakai keluarganya itu Seng Cap-si Kouw adanya.

Han Tay Hiong sudah berpengalaman, tetapi mengalami kejadian yang menimpa dirinya membuat dia ngeri juga.

"Aku tidak mengira dia sekeji itu. Aku sendiri sudah curiga padanya," kata Han Tay Hiong. "Kalau begitu kematian Ibu Pwee Eng diakah yang melakukannya."

"Mungkin begitu!" jawab Kok Siauw Hong. Saat itu Beng Cit Nio pun muncul.

"Biar aku yang menjelaskannya," kata Beng Cit Nio.

"Jadi kau juga ada di sini, Cit Nio?" kata Han Tay Hiong.

"Oh, tidak kusangka aku bisa bertemu lagi denganmu," kata Beng Cit Nio. "Aku  bebas,  dibebaskan  oleh  Tuan  ini. "

"Dia Thio Thay Thian, sahabatku," jawab Han Tay Hiong.

Han Tay Hiong mengucapkan terima kasih pada sahabatnya. "Silakan kalian bicara aku akan mencari seseorang. Jika tubuhmu sudah merasa enakan, kau susul aku di depan sana!" kata Thio Thay Thian pada Han Tay Hiong.

"Baik," jawab Han Tay Hiong.

Perkiraan dari Ciok Leng tidak keliru. Ternyata sesudah melihat Ciok Leng dan kawan-kawannya, orang-orang Biauw itu langsung mengejar mereka. Seng Cap-si Kouw dan Bong Tek Cie serta orang Biauw yang terpancing mengejar Ciok Leng dan kawan-kawannya.

Ciok Leng lari ke atas puncak gunung, mereka disusul dan Seng Cap-si Kouw. Tak lama Seng Cap-si Kouw dan Ciok Leng sudah mulai bertarung. Bu Hian Kam dan kawan-kawannya mengepung Bong Tek Cie.

Karena lonceng bergagang panjang atau senjata Ciok Leng sudah rusak, terpaksa dia menghadapi Seng Cap-si Kouw dengan tenaga pukulan tangannya saja. Tentu saja pertarungan yang tidak seimbang ini membuat Ciok Leng agak terdesak juga. Untung Seng Cap-si Kouw tidak berani menyerang dekat, dia juga mengkhawatirkan serangan tangan Ciok Leng yang dahsyat.

Saat keadaan mulai gawat untung Thio Thay Thian muncul. Dia tiba dengan didahului suara suitan batang gelagah. Melihat Thio Thay Thian muncul, orang Biauw langsung menghujaninya dengan anak panah.

Ratusan anak panah itu ternyata tidak mampu menghalangi kedatangan Thio Thay Thian yang lihay. Semua anak panah itu berterbangan laksana burung kecil pada saat Thay Thian mengibaskan lengan bajunya. Tak lama Thay Thian sudah bercokol di atas gunung.

Menyaksikan kejadian itu Seng Cap-si Kouw terperanjat. "Jadi kalian ingin mengerubutiku?" kata dia. Dengan tak banyak bicara Thay Thian menghantamkan pukulannya ke arah si Iblis Perempuan hingga dia terdorong mundur.

"Aku hampir binasa di tanganmu, untuk apa aku harus bicara soal aturan segala?" kata Thay Thian.

"Saudara Thio, biarkan aku menghajar Iblis perempuan ini. Kau bantu saja anak-anak muda itu!" kata Ciok Leng.

"Sebenarnya aku tak perlu turun tangan sendiri, nanti juga akan ada orang yang membuat perhitungan dengannya," kata Thay Thian.

Sesudah itu dia mendatangi Bong Tek Cie yang bersenjata golok berbentuk bulan sabit. Begitu sampai Bong Tek Cie menyambut Thay Thian dengan sebuah serangan, yang dikibas oleh lengan baju Thio Thay Thian. Anehnya lengan baju itu tidak rusak oleh golok bulan sabit lawan. Sambil mengejek Thay Thian berkata nyaring.

"Hm harumnya, dari mana bau harum ini?" katanya.

Sebenarnya serangan Bong Tek Cie yang beracun menimbulkan bau tak sedap, karena terdiri dari berbagai bisa binatang yang sangat beracun. Ketika mengetahui lawannya tidak mempan oleh racun serangannya Bong Tek Cie kaget.

"Jadi kaukah si pengemis tua yang menyamar jadi ketua kami?" kata Bong Tek Cie.

Tanpa menghiraukan pertanyaan lawan, Thio Thay Thian menyerahkan tempat araknya pada Bu Hian Kam.

"Kalian minum arak ini, tak lama lagi kalian akan segar kembali!" kata Thay Thian. Bu Hian Kam dan keempat kawannya mundur untuk minum arak, sedang Thay Thian langsung menghadapi Bong Tek Cie. Dia maju sambil tertawa.

"Apa yang kau tertawakan?" kata Bong Tek Cie. "Jangan sombong, jika aku kalah olehmu, apa kau sanggup menghadapi anak buahku yang banyak itu? Kau harus waspada panah anak buahku beracun, sedang di sini tidak ada jalan bagimu untuk bisa meloloskan diri. Jika anak buahku menghujammu dengan anak panah, maka binasalah kalian semua!"

Saat mereka adu bicara anak buah Bong Tek Cie atau suku Biauw sudah semakin dekat.

"Bong Tek Cie, kita tidak bermusuhan, untuk apa berkelahi. Jika aku mati oleh anak buahmu, kau pun tidak akan lolos dari tanganku! Percayalah aku bermaksud baik, bagaimana pendapatmu?" kata Thio Thay Thian.

Mendengar peringatan itu Bong Tek Cie sadar, apa yang dikatakan orang she Thio itu ada benarnya. Sebelum anak buahnya membunuh Thio Thay Thian, mungkin dia sudah binasa oleh lawannya.

"Kau bilang kau ingin berbuat baik padaku, tapi apa alasanmu kau mengacau di tempatku?" kata Bong Tek Cie.

"Aku mengaku utusan ketuamu tidak semuanya salah, ketuamu itu sahabatku, jika kau tidak percaya coba kau periksa ini!" kata Thio Thay Thian sambil tertawa.

Thio Thay Thian menyerahkan bumbung bambu yang dilukis warna-warni pada Bong Tek Cie.

Melihat benda itu orang she Bong kaget.

"Benarkah ketua kami yang memberimu "Lek-giok-tek- hu" itu?" kata Bong Tek Cie. "Jika bukan dari dia lalu dari siapa?" kata Thay Thian. "Bagaimana aku bisa tahu berharganya benda ini di depan mata kalian?" kata Thio Thay Thian. "Jika aku pencuri, aku pun tidak akan mengambil benda itu, kalau aku tidak tahu gunanya!"

Benda itu sebagai tanda "persahabatan" antara suku Han dan orang Biauw. Rupanya segelintir pembesar Han memusuhi orang Biauw, sehingga orang Biauw menganggap "orang Han sebagai penindas bangsanya". Itu sebabnya jika ada orang Han ke daerah Biauw, dia akan dibunuh. Tapi jika membawa benda itu, dia dianggap sahabat suku Biauw. Orang Han yang membawa "benda" itu, bisa berkeliaran bebas di daerah suku Biauw.

"Aku tahu Seng Cap-si Kouw baik pada kalian dan pernah mengobati suku kalian, namun pada dasarnya dia itu orang jahat," kata Thio Thay Thian. "Ketuamu khawatir kalian tertipu, lalu memerintahkan aku menyelidiki apa yang dilakukannya di sini! Ternyata dia menghasut agar kalian bermusuhan dengan pendekar bangsa Han. Jika diteruskan kalian akan celaka!"

Sebenarnya Thio Thay Thian berbohong, tapi karena dia memegang "benda berharga" itu, Bong Tek Cie jadi takluk. Ditambah lagi dia juga takut oleh kepandaian lawan, jadi dia percaya saja. Saat anak buahnya sampai ke tempat mereka, Bong Tek Cie berteriak keras.

"Tahan! Jangan memanah!" katanya.

Sesudah itu Bong Tek Cie berkata pada Thay Thian. "Kalau begitu kami tidak akan mengganggu kalian

karena kau tamu ketua kami. Tapi Seng Cap-si Kouw pun tidak akan kucelakakan, karena dia penolong kami!" kata Bong Tek Cie. "Baik, kami pun tidak akan mengganggu kalian, permisi," kata Thio Thay Thian. "Mengenai masalah kami akan kubereskan dengan dia saja!"

Sesudah itu Bong Tek Cie berseru keras. "Seng Cap-si Kouw, bukan aku tak mau membantumu, mereka sahabat ketua kami!" kata Bong Tek Cie.

Sesudah itu dia memberi komando agar anak buahnya mundur teratur dari atas gunung.

Sesudah minum arak dari Thay Thian maka Bu Hian Kam dan kawan-kawannya segera kembali. Mereka membantu Ciok Leng mengepung Seng Cap-si Kouw. Menganggap dia tidak perlu membantu lagi, Thio Thay Thian pun pergi. Dia juga yakin tak lama lagi Han Tay Hiong dan Kok Siauw Hong akan segera datang.

Sesudah ada kesepakatan dan saling mengerti antara Han Tay Hiong dan Beng Cit Nio, mereka langsung mencari Seng Cap-si Kouw bersama-sama.

Saat keluar dua penjaga, yaitu menantu Bong Tek Cie memergokinya. Tapi sebelum bisa berbuat apa-apa kedua orang itu sudah ditotok oleh Han Tay Hiong hingga tidak berdaya.

"Eeh, tenagamu sudah pulih," kata Beng Cit Nio girang. "Benar, ini berkat teratai Thian-san pemberian Thay

Thian," kata Han Tay Hiong.

Sesudah itu mereka beramai-ramai menuju ke tempat yang ditunjukkan Thio Thay Thian pada mereka. Melihat Han Tay Hiong yang sudah segar sedang mendatangi bersama Kok Siauw Hong dan Beng Cit Nio, bukan main kagetnya Seng Cap-si Kouw. "Tay Hiong segera kau bantu aku!" teriak Seng Cap-si Kouw.

"Baik, kau akan segera kubantu!" jawab Han Tay Hiong.

Tapi sesudah dekat Seng Cap-si Kouw jadi kaget melihat sorot mata Han Tay Hiong yang tajam dan sangat benci kepadanya. Apalagi Beng Cit Nio pun sudah menghampirinya bersama Kok Siauw Hong. Dengan tidak berpikir panjang lagi, dia berbalik dan menyerang ke arah Ciauw Siang Hoa dengan serangan gertakan. Saat Ciok Leng datang hendak menyelamatkan puteranya, kesempatan itu tak disia-siakan oleh Seng Cap-si  Kouw. Dia menyerang dari celah kepungan yang kurang  ketat. Saat itu pun Han Tay Hiong tiba.

"Tay Hiong, apa kau lupa pada kebaikanku?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Hm! Kau bicara seenaknya, tunggu balasan kebaikanmu akan datang," kata Han Tay Hiong.

Dari jarak kurang-lebih tiga sampai empat langkah, Tay Hiong segera melancarkan serangan dahsyat ke punggung si Iblis Perempuan. Tak lama Seng Cap-si Kouw merasakan hantaman yang dahsyat pada punggungnya. Dia kaget lalu dengan mnggunakan tongkat yang dia tekan ke tanah, dia langsung melompat dan melayang jauh dari kalangan.

"Kau mau kabur ke mana?" teriak Thio Thay Thian.

Thay Thian membentangkan kedua tangannya, lalu menyerang dengan hebat. Sayang, serangan Thay Thian tidak mampu menghadang si Iblis Perempuan itu kabur.

"Eh, Kok Toa-ko, kau juga ada di sini!" kata Kiat Bwee. Buru-buru Kiat Bwee memberi hormat pada Han Tay

Hiong. "Han Lo-cian-pweee, sebenarnya meracunimu dulu itu Seng Cap-si Kouw! Aku saksinya!" kata Kiat Bwee.

"Aku sudah tahu," jawab Han Tay Hiong. "Kalian jangan ikut campur, biar aku yang menghadapinya!"

Han Tay Hiong mencoba mengejar ke arah si Iblis Perempuan yang sudah lari jauh itu.

Ketika mereka berada di atas gunung, ke mana Seng Cap-si Kouw lari sebenarnya dia menemui jalan buntu. Tapi dengan menggunakan gin-kangnya yang tinggi, terpaksa dia lari ke atas untuk mengulur waktu saja. Sedikit pun dia tidak menduga kalau Han Tay Hiong terus mengejarnya. Saat itu kawan-kawannya sudah tertinggal di belakang.

Seng Cap-si Kouw menoleh karena merasa ada orang mengejarnya. Ternyata dia mengenali Han Tay Hiong.

"Han Tay Hiong, memang aku yang menaruh racun dalam arak yang kau minum. Tapi maksudku itu baik agar kau selalu ada di sampingku. Aku meracunimu tapi aku juga menyelamatkan kau. Apa kau tidak mau memaafkan dosaku?" kata Seng Cap-si Kouw lirih.

"Aku ingin tahu, bagaimana isteriku mati?" kata Han Tay Hiong. "Tanpa bersalah padamu, kenapa isteriku kau bunuh. Hal ini aku akan mengadakan perhitungan denganmu!"

"Isterimu diracun oleh Beng Cit Nio!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Bohong!" bentak Han Tay Hiong.

"Dia memfitnahku, apa kau tidak percaya padaku?" kata si Iblis Perempuan. "Jangan banyak bicara dan jangan memfitnah orang lain, siapa yang akan percaya pada omonganmu!" bentak Han Tay Hiong.

Melihat Han Tay Hiong tidak mau mengerti, Seng Cap-si Kouw menduga tak ada pilihan lain, dia jadi nekat.

"Karena kau memaksa, aku akan adu jiwa denganmu!" kata Seng Cap-si Kouw.

Tongkat bambu hijaunya bergerak, dia menyerang ke beberapa bagian berbahaya di tubuh Han Tay Hiong. Melihat cara lawan yang sudah nekat menyerangnya, Han Tay Hiong segera siaga.

"Adu jiwa pun boleh, memang nyawaku pun semula sudah hampir binasa!" kata Han Tay Hiong.

Saat tongkat mengarah ke tubuhnya, Han Tay Hiong menyentil tongkat itu dengan jari tangannya hingga tongkat hijau itu melenceng ke arah lain. Dengan tangan kirinya Han Tay Hiong menepuk kepala Seng Cap-si Kouw.

Ketika itu tangan Seng Cap-si Kouw yang memegang tongkat bambu hijau terasa sakit, dia melompat menghindari serangan Han Tay Hiong.

Seng Cap-si Kouw tertawa.

"Sudah tua pun kau masih pemarah seperti dulu!" kata Seng Cap-si Kouw. "Apa gunanya kita bertarung sampai mati. Aku ini sebatang kara tidak sepertimu masih punya anak dan menantu!"

"Hm! Tutup mulutmu, aku tetap tidak akan mengampunimu!" bentak Han Tay Hiong.

Beberapa kali Seng Cap-si Kouw berhasil menghindari serangan Han Tay Hiong yang ganas. "Han Tay Hiong, kau memang jago silat. Aku pikir kau tahu, keadaanmu belum pulih benar. Tenagamu akan terkuras habis. Apa benar kau ingin binasa bersamaku?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Ya, kalau perlu kita mati bersama-sama!" kata Han Tay Hiong.

"Baik, walau kita dilahirkan berlainan waktu, apa salahnya jika kita bisa mati bersama-sama," ejek Seng Cap- si Kouw.

Seng Cap-si Kouw terus membujuk agar Han Tay Hiong mau berdamai dan hidup bersama. Tapi Han Tay Hiong malah mengejek.

"Pada dasarnya aku sangat benci padamu!" kata Han Tay Hiong. "Apa kau sudah gila?"

Seng Cap-si Kouw kaget mendengar kebencian Han Tay Hiong dikemukakan di depannya. Wajahnya berubah sebentar merah, sebentar lagi pucat-pasi.

"Baik Han Tay Hiong, sekarang kuputuskan, jika kau tidak membunuhku, maka akulah yang akan membunuhmu!" kata Seng Cap-si Kouw sambil tertawa.

Saat diserang Seng Cap-si Kouw mengulur waktu dengan memancing Han Tay Hiong agar naik gunung lebih tinggi.

"Han Tay Hiong, di sinilah kuburan kita!" kata si Iblis Perempuan dengan suara menyeramkan.

Sekarang Han Tay Hiong baru sadar, kalau dia telah terpancing ke tempat yang berbahaya sekali. Di atas gunung dia menyaksikan tempat yang curam dan berbahaya. Gerakan Seng Cap-si Kouw pun gesit, terpaksa Han Tay Hiong menghadapinya dengan sabar. Serangan Han Tay Hiong terus dilancarkan dengan dahsyat.

Di bawah mereka Thio Thay Thian dan kawan- kawannya menyaksikan pertarungan dua jago dengan ilmu tingkat tinggi. Tapi bagaimana pun mereka merasa ngeri juga. Di antara mereka hanya Thio Thay Thian yang mampu menyusul ke atas. Tapi karena tempat kedua jago itu bertarung sangat sempit, tak mungkin Thay Thian bisa memijakkan kakinya di sana. Dia menyesali Han Tay Hiong, kenapa dia bisa terpancing oleh si Iblis Perempuan jahat itu.

Saat pertarungan sedang seru-serunya tak lama terdengar suara tiupan seruling dari rumput gelagah. Selang sesaat muncul pasukan wanita suku Biauw yang dipimpin oleh Samkiong-cu atau Bong Say Hoa.

Dari jarak lumayan cukup jauh, Bong Say Hoa berteriak. "Bibi Seng, jangan khawatir, kami akan memanah dari sini!" kata Say Hoa.

"Baik jangan mencemaskan diriku, kalian sudah boleh langsung memanah ke mari!" jawab Seng Cap-si Kouw.

Si nona sadar Seng Cap-si Kouw lihay, dia juga akhli racun. Maka itu dia yakin Bibi Seng-nya bisa terhindar dari bahaya. Ditambah lagi Seng Cap-si Kouw pun gin-kangnya tinggi dan lincah. Sedangkan anak buahnya pun memang akhli memanah. Tanpa ragu-ragu si nona mengeluarkan perintah memanah! Dalam sekejap ratusan anak panah menghambur ke arah Han Tay Hiong. Melihat hujan panah, Han Tay Hiong membuka bajunya untuk menangkis serangan anak panah itu. Dengan demikian konsentrasi Han Tay Hong jadi terpecah dua. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Seng Cap-si Kouw. Tapi secara tiba-tiba anak panah nona Biauw itu sekarang ditujukan juga pada Seng Cap-si Kouw, dia kaget lalu berseru nyaring.

"Nona Bong, ayahmu sudah pulang, Apa dia tak bilang aku sahabat kalian? Jika kau mau bukti, akan kutunjukkan padamu. Tapi aku mohon hentikan dulu kalian memanah ke arah kami!" kata Seng Cap-si Kouw.

Nona Bong tidak menghiraukkan peringatan itu. Dia malah berteriak.

"Sekalipun kau tunjukan tanda itu, aku sudah tidak percaya lagi padamu!" kata nona Bong.

"Aku tidak bohong, sesudah masalah ini selesai harapanmu akan kuselesaikan juga. Kau akan kupertemukan dengan keponakanku Seng Liong Sen!" teriak Seng Cap-si Kouw yang mulai putus asa.

Rupanya nona Biauw itu telah jatuh cinta pada Seng Liong Sen. Maka itu tentang perkawinan Seng Liong Sen dengan Ci Giok Hian sengaja dirahasiakan oleh Seng Cap- si Kouw kepada nona Bong, karena hal itu bisa dipakai alasan olehnya untuk meminta bantuan dari suku Biauw.

Tapi hujan anak panah masih berlanjut. Mengetahui nona Bong tidak menghiraukan peringatannya, Seng Cap-si Kouw mencoba mengganggu Han Tay Hiong agar menjadi sasaran anak panah. Sial bagi Han Tay Hiong sebuah anak panah mengenai tubuhnya, dia menjerit kaget.

"Aduh!"

Seng Cap-si Kouw tertawa.

"Jangan senang dulu, sekalipun aku harus mati, tapi kau pun harus mati sebelum aku mati!" kata Han Tay Hiong mengejek. Kaget karena mendengar kata-kata penuh "dendam" dari orang yang dicintainya itu Seng Cap-si Kouw jadi lengah. Serangan tongkatnya jadi ngawur dan Han Tay Hiong berhasil mencengkram tongkat bambu hijau itu. Segera Han Tay Hiong menyalurkan tenaga dalamnya lewat tongkat bambu hijau itu. Maksudnya untuk menghajar Seng Cap-si Kouw dengan hebat.

Teman-teman Han Teiy Hiong yang berada di bawah jadi ngeri. Serangan Han Tay Hiong itu sungguh dahsyat hingga Seng Cap-si Kouw tak mampu bertahan dan sadar bahwa dia akan binasa. Sebaliknya tubuh Han Tay Hiong pun jadi sasaran empuk anak panah anak buah nona Bong.

Thio Thay Thian mengira kedua jago itu akan binasa bersama. Sedangkan Han Tay Hiong berharap, sebelum terkena anak panah, Seng Cap-si Kouw harus mati lebih dulu.

Ketika keadaan sangat tegang, ternyata di saat kritis muncul seorang berjubah hijau dari atas puncak gunung. Pakaiannya yang lebar mampu menangkis hujan panah itu. Sesudah hinggap di dekat kedua jago yang sedang bertarung, dia memisahkan pertarungan itu dengan menyentilkan tangannya. Tak lama terpisahlah pertarungan kedua jago yang menentukan itu.

Saat itu Seng Cap-si Kouw hanya menunggu kematian. Tapi karena datangnya orang berbaju hijau itu, dia selamat. Sekarang dia awasi orang yang memisahkannya itu. Ternyata dia Kiong Cauw Bun. Bukan main kagetnya si Iblis Perempuan ini, begitu pun Han Tay Hiong.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar