Beng Ciang Hong In Lok Jilid 37

Ci Giok Hian mengenali suara itu, ternyata dia Kok Siauw Hong. Saat Tay Ek melapor ke Thay-ouw, Kok Siauw Hong tidak ada di tempat. Dia dengar Ci Giok Phang, Wan Say Eng dan Kong-sun Po pergi mencari Ci Giok Hian dan suaminya. Kok Siauw Hong yang diberi tahu oleh Ong It Teng jadi kaget. Sekalipun dia merasa canggung jika bertemu dengan Ci Giok Hian dan Seng Liong Sen, tapi dia tak bisa tinggal diam. Dia minta diberi tahu jalan pada Ong It Teng. Malam itu juga Kok Siauw Hong memacu kudanya menyusul ke Siong-hong-nia.

Ketika sampai Kok Siauw Hong tersesat. Dia tidak datang dari depan, tapi dari belakang bukit itu. Ketika itu dia dengar suara senjata beradunya senjata. Segera dia menuju ke arah suara itu. Ternyata dia lihat Ci Giok Hian sedang dalam bahaya.

"Mana Liong Sen, kok dia sendirian?" pikir Kok Siauw Hong.

Dalam keadaan kritis, Ci Giok Hian yang tidak mengira akan bertemu dengan Kok Siauw Hong. Dia kaget melebihi Kok Siauw Hong. Dia bingung dan bengong saja. Saat itu Han Hie Sun tak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Saat Ci Giok Hian lengah, Han Hie Sun maju.

"Roboh!" kata Han Hie Sun. "Giok Hian, awas!" teriak Kok Siauw Hong.

Ketika Kok Siauw Hong melompat akan menolongi Giok Hian, tiba-tiba terdengar suara robekan baju. Baju Ci Giok Hian yang terkena ujung kipas Han Hie Sun yang tajam itu robek!

Tapi Ci Giok Hian sudah mundur saat diperingati oleh Kok Siauw Hong. Dengan demikian hanya baju bagian dadanya saja yang terobek dan tidak melukai kulit dada Giok Hian yang putih mulus. Namun, karena robekan pakaiannya itu kulit dadanya terlihat jelas, hingga mau tak mau Giok Hian menunduk malu.

Panggilan mesra Kok Siauw Hong saat memperingatinya sudah lama tidak dia dengar. Baru sekarang dia mendengarnya lagi. Maka itu mau tak mau Ci Giok Hian terkenang masa lalunya, yaitu saat mereka masih bersamasama dan hidup bahagia. Saat Ci Giok Hian menoleh ke arah Seng Liong Sen yang terbaring tidak berdaya, Ci Giok Hian kaget! Mata sang suami ternyata sedang mengawasi ke arahnya. Buru-buru Giok Hian merapikan bajunya yang robek itu.

Saat itu Kok Siauw Hong sampai, tapi kedatangannya disambut oleh serangan kipas Han Hie Sun yang lihay. Melihat keadaan berbahaya itu, tanpa pikir panjang Ci Giok Hian ingin menolongi Kok Siauw Hong, sekalipun saat itu Seng Seng Liong Sen kurang senang karena bergabung dengan Kok Siauw Hong. Maka tanpa pikir panjang Giok Hian maju, tak lama mereka sudah bertarung mengepung Han Hie Sun yang lihay kipasnya itu.

"Adik Ci, tinggalkan aku! Biar aku yang menghadapi orang ini, kau istirahat saja," kata Kok Siauw Hong.

Ketika itu sayup-sayup Ci Giok Hian mendengar suara dari hidung Seng Liong Sen yang cemburuan. Saat Ci Giok Hian tahu Kok Siauw Hong mampu menghadapi Han Hie Sun, dia mundur teratur. Saat itu seharusnya Giok Hian mendekati suaminya yang tergeletak tidak berdaya. Tapi entah mengapa timbul rasa kurang senang Giok Hian pada sikap Liong Sen yang kasar dan hatinya kurang bersih itu. Maka itu saat mundur dia berdiri jauh-jauh dari kalangan tanpa menghiraukan Seng Liong Sen yang tergeletak tak berdaya.

Saat itu Siauw Hong maju, pedangnya terayun ke arah kepala Han Hie Sun.

"Hm! Kau berani melawanku. " kata Han Hie Sun.

Pedang Siauw Hong sudah dekat, buru-buru dia menghindar. Hampir saja mukanya terbabat oleh pedang lawan. Bukan main kagetnya Han Hie Sun, hampir saja kepalanya putus oleh pedang lawannya.

Ilmu totok Han Hie Sun lihay dan bukan tandingan Siauw Hong, namun kegesitan Kok Siauw Hong lebih baik dari Han Hie Sun. Ditambah lagi tenaga Han Hie Sun sudah terkuras saat dia melawan Ci Giok Hian.

Serangan Kok Siauw Hong yang menggunakan Cit- siukiam-hoat membuat Han Hie Sun kewalahan, waktu masih mampu bertahan. Kok Siauw Hong pun kaget menyaksikan kehebatan lawannya. Tiba-tiba Kok Siauw Hong menusuk dengan pedangnya. Ketika itu Han Hie Sun menghindari serangan itu dengan kipas bajanya. Pedang Siauw Hong yang tajam menyambar dan hampir melukai tangan Han Hie Sun. Melihat tangannya akan terpapas pedang, bukan main kagetnya Hie Sun. Terpaksa Hie Sun melemparkan kipas bajanya.

"Hm!" ejek Kok Siauw Hong. Han Hie Sun yang kehilangan kipas segera kabur. Kok Siauw Hong tidak mengejarnya, tapi dia berjalan menemui Ci Giok Hian.

Saat sudah berhadapan keduanya berdiri terpaku, seolah tidak bisa bicara. Selang sesaat baru terdengar Kok Siauw Hong bicara.

"Adik Giok Hian, Kakakmu mencarimu, apa kau sudah bertemu dengannya?" kata Kok Siauw Hong.

"Apa Kak Giok Phang datang? Tapi aku belum bertemu dengannya," jawab Ci Giok Hian.

"Lalu bagaimana kau bisa bebas dari tangan si pengemis?" tanya Siauw Hong. "Mari kita cari Kakakmu, pasti dia ada di tempat si pengemis tua itu!"

"Kakakku tidak ada di sana, saat aku melarikan diri aku hanya melihat Seng Cap-si Kouw sedang bertempur dengan pengemis tua!" kata Ci Giok Hian.

"Mari kita ke sana!" kata Siauw Hong.

"Tidak! Aku tak mau ke sana karena dia..." Ci Giok Hian tak bisa meneruskan kata-katanya dia hanya menunduk, Siauw Hong tersentak.

"Ya, ke mana suamimu?"

"Dia ditotok oleh Han Hie Sun, dia ada di sana. " kata

Giok Hian sambil menunjuk ke tempat Liong Sen tergeletak.

Kok Siauw Hong mengawasi ke arah yang ditunjuk Giok Hian. Di sana Seng Liong Sen tergeletak tidak berdaya. Bukan main kagetnya Seng Liong Sen, sedikit pun dia tidak mengira kalau dia akan bertemu dengan Kok Siauw Hong, saingan   dalam   perebutan   kekasih.   Kok   Siauw   Hong menghampiri Seng Long Sen, setiba di dekat suaminya, Giok Hian berkata pada Siauw Hong.

"Siauw Hong, tolong bebaskan totokannya! Dia baru saja mempelajari Siauw-yang-sin-kang, tapi..." Giok Hian tak meneruskan bicaranya.

Kok Siauw Hong langsung tahu apa yang diinginkan "bekas kekasihnya" itu, dia mengangguk. "Akan kucoba," katanya.

Dia mengerahkan tenaga dalam untuk membebaskan totokan Han Hie Sun pada Seng Liong Sen. Sekalipun sudah berusaha sekuat tenaga namun Kok Siauw Hong belum berhasil membebaskan totokan Seng Liong Sen. Saat itu Ci Giok Hian kelihatan gelisah bukan main. Dia sangat cemas. Tak lama Liong Sen muntah darah.

"Liong Sen, bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Giok Hian khawatir.

Seng Liong Sen berusaha bangun dan berkata dengan suara patah-patah.

"Aku tidak memerlukan bantuanmu, lebih baik aku..." Seng Liong Sen tak mampu meneruskan kata-katanya.

Tubuhnya limbung dan ambruk lagi ke tanah. Melihat sikap kaku suaminya, tampak Giok Hian jadi serba salah.

"Liong Sen, dia baik padamu, kenapa kau bicara begitu?" kata isterinya. "Apa kau lupa, jika totokan itu tidak terbuka, dalam tiga hari kau akan celaka! Kau harus minta maaf pada Kok Toa-ko!"

Semula Seng Liong Sen mengira totokan atas dirinya sudah punah, ternyata belum. Sekarang pun rasa sakitnya bertambah hebat. Sekalipun malu akhirnya dia minta maaf pada Kok Siauw Hong, karena jika tidak nyawanya bisa melayang.

"Sudah jangan diambil hati, aku pun sudah berusaha keras tapi tidak berhasil," kata Kok Siauw Hong.

Mendengar ucapan itu Seng Liong Sen berpikir lain. Dia mengira Kok Siauw Hong tidak mau membantunya lagi. Maka marahlah dia. Saat Seng Liong Sen mau memaki Siauw Hong, tiba-tiba mereka mendengar Kok Siauw Hong berkata girang.

"Bisa!"

"Apa yang bisa?" tanya Ci Giok Hian.

"Dengan cara lain," jawab Siauw Hong. "Orang she Han itu belajar dari si pengemis tua, bukan?

"Ya," jawab Giok Hian.

"Mari kita cari Giok Phang," kata Siauw Hong.

"Apa maksudmu mau mencari dia, aku kira dia juga tidak akan bisa memunahkan totokan itu!" kata Ci Giok Hian.

"Bukankah Kakakmu bersama Kong-sun Po? Aku yakin Kong-sun Po mampu mengobati suamimu!" kata Kok Siauw Hong.

Kok Siauw Hong berpikir begitu karena dia sudah tahu tentang lukisan tubuh manusia yang diperebutkan di kalangan Kang-ouw dari Wan Say Eng. Jika si pengemis tua guru Han Hie Sun, dia yakin ilmu totoknya dicangkok dari Hiat-to-tongjin itu. Tentang cerita lukisan itu Siauw Hong sudah tahu dari Ong It Teng yang mendapat keterangan dari nona Wan. Sedang Siauw Hong tahu Kong- sun  Po  bisa  ilmu  tersebut.  Maka  itu  Kok  Siauw  Hong mengajak Ci Giok Hian dan Seng Liong Sen untuk mencari Ci Giok Phang, Wan Say Eng dan Kong-sun Po.

Sambil membawa Seng Liong Sen yang berjalan dengan disanggah, di sebelah kiri dan sebelah kanan, mereka menuju ke tempat pengemis tua. Seng Liong Sen yang tidak berdaya diperlakukan demikian jadi merasa malu dan terhina sekali.

Saat sampai mereka segera mendengar bentrokan senjata tajam.

"Oh, ternyata mereka sedang bertarung, Kok Toa-ko.

Dugaanmu tepat sekali!" kata Ci Giok Hian.

Saat tiba mereka menyaksikan si pengemis tua sedang dikeroyok oleh Kong-sun Po, Ci Giok Phang dan Wan Say Eng. Saat itu Kok Siauw Hong berteriak memanggil Ci Giok Phang.

"Ci Toa-ko, Giok Hian ada di sini bersamaku!" teriak Kok Siauw Hong dengan ilmu mengirim suara dari jarak jauh.

"Kalian ada di mana?" kata Giok Phang juga dengan ilmu suara jarak jauh.. "Segera ke mari!"

"Jaga Liong Sen," kata Kok Siauw Hong.

Dia tinggalkan Liong Sen yang dijaga oleh isterinya, lalu dia memburu ke arah suara pertempuran itu.

Ketika Siauw Hong tiba, pengemis tua itu sedang menyerang Kong-sun Po dan Kong-su Po mencoba menahan serangan pengemis itu. Tapi karena Ci Giok Phang kehilangan konsentrasi, dia agak tertekan oleh serangan lawan. Dengan tidak banyak bicara lagi Kok Siauw Hong menghunus pedangnya, lalu menikam si pengemis tua dengan serangan mautnya. Tapi dengan tenang pengemis tua menangkis pedang Kok Siauw Hong dengan tongkatnya. Saat senjata mereka beradu Kok Siauw Hong kaget, karena dia merasakan serangan itu cukup dahsyat. Tangannya terasa kesemutan. Tapi Kok Siauw Hong cerdik, saat pedangnya tertekan tongkat lawan, dia meneruskan serangan itu ke bagian bawah hingga terpaksa pengemis itu harus mundur beberapa langkah menghindari serangan itu. Kelihatan pengemis tua itu terperanjat menerima serangan Kok Siauw Hong tersebut.

"Aneh, muncul lagi anak muda yang ilmu silatnya lain, mereka masing-masing memiliki keistimewaan sendiri- sendiri!" pikir pengemis tua. "Aah, aku tidak boleh buang waktu di sini, kalau tidak aku bisa celaka!"

"Ci Toa-ko, silakan kau mundur, biar aku yang menghadapinya," kata Kok Siauw Hong.

"Giok Hian ada di mana?" tanya Ci Giok Phang. "Itu mereka sudah tiba!" jawab Kok Siauw Hong.

Sambil menyanggah tubuh Seng Liong Sen, Ci Giok Hian sedang berjalan menghampiri mereka.

Ci Giok Phang segera menyongsong mereka. Sesudah saling bertemu Ci Giok Phang girang sekali, begitu juga Ci Giok Hian.

Di tengah gelanggang pertempuran pengemis tua itu melancarkan serangan dahsyat ke arah Kong-sun Po. Saat Kong-sun Po mundur, kesempatan itu digunakan oleh pengemis tua untuk meloloskan diri.

"Nah adik perempuanmu sudah kau temukan, mau apa lagi kalian?" kata pengemis itu mengejek. Saat Kong-sun Po hendak mengejar, Ci Giok Phang mencegahnya.

"Sudah, jangan dikejar. Dia sudah kalah untuk apa dikejar lagi?" kata Ci Giok Phang.

Sesudah pengemis tua itu kabur Kok Siauw Hong berkata pada Kong-sun Po.

"Seng Siauw-hiap tertotok oleh totokan pengemis tua, Saudara Kong-sun, tolong kau bebaskan dia dari totokan itu," kata Kok Siauw Hong.

Saat Kong-sun Po hendak memeriksa keadaan Seng Liong Sen, mereka dikagetkan oleh suara pintu didobrak dari dalam. Tak lama muncul si gagu. Ternyata tenaga dalamnya lihay dia mampu membebaskan totokan lawan. Dengan perasaan murka dia awasi Ci Giok Hian. Tapi sambil tertawa Ci Giok Hian berkata dengan sabar.

"Kau jangan marah padaku, karena aku mau meloloskan diri dari kalian, terpaksa kau kutotok!" kata Giok Hian. "Gurumu sudah pergi, segera kau susul dia!"

Sesudah mendapat penjelasan dari Ci Giok Hian kelihatan si gagu tidak marah lagi. Dia segera menyusul gurunya.

Kemudian Kong-sun Po mengobati Seng Liong Sen dari totokan si pengemis tua. Sesudah berusaha sekian lama dia berhasil. Seng Liong Sen dengan sikap malu-malu mengucapkan terima kasih pada Kong-sun Po.

"Jangan sungkan." kata Kong-sun Po. "Kau tidak perlu berterima kasih, kita semua sahabat!"

"Kak dari mana kalian tahu kami ada di sini?" tanya Giok Hian. "Dari tanda yang kau berikan, saputanganmu ditemukan oleh Tay Ek, Hiang-cu dari Kay-pang dan disampaikan pada Ong Cee-cu di Thay-ouw," jawab Ci Giok Phang.

"Jadi kalian dari sana?" kata Giok Hian, "kami berdua sebenanya hendak ke tempat Ong Cee-cu!"

"Bagus," kata Giok Phang. "Jadi kalian mau ke sana?" "Tidak, aku tidak mau ikut!" kata Seng Liong Sen. "Kenapa?" tanya Ci Giok Phang.

"Rasanya aku terluka dalam, oleh karena itu aku harus segera pulang untuk minta diobati oleh Guruku," jawab Seng Liong Sen.

Mendengar ucapan suaminya, Ci Giok Hian sadar, bahwa jiwa suami-nya memang sempit. Jika dia membujuknya agar ikut pergi bersama-sama, pasti Liong Sen mencurigainya bahwa dia ingin bersama-sama dengan Kok Siauw Hong. Maka itu Ci Giok Hian yang bijaksana lalu berkata.

"Baik, kita sama-sama pulang saja!" kata Giok Hian. Tetapi dalam benak Ci Giok Hian berpikir.

"Ternyata pikiran suamiku sempit, entah bagaimana aku bisa aku bisa hidup bersama dengannya untuk selamanya?" pikir Ci Giok Hian bingung.

"Karena kau terluka, aku dan Wan Say Eng akan mengantarkan kalian pulang," kata Ci Giok Phang. "Jika ada pesan dari Gurumu, katakan saja, minta bantuan Siauw Hong untuk menyampaikannya pada Ong Cee-cu!"

Sebenarnya Ci Giok Phang telah menangkap apa maksud Seng Liong Sen yang menolak pergi ke Thay-ouw. Tapi dia berpura-pura percaya karena dia pikir bagaimana pun Liong Sen adik iparnya. "Baiklah," kata Liong Sen. "Adik Giok Hian tolong kau sampaikan pesan Guru pada Kok Siauw-hiap, suaraku belum pulih. Lebih baik kau saja yang menjelaskannya!"

Ci Giok Hian heran melihat sikap kaku suaminya, tapi sekalipun agak kikuk dia terpaksa menurut. Dia menyampaikan semua pesan guru Seng Liong Sen pada Siauw Hong.

"Baik, akan kusampaikan," kata Kok Siauw Hong.

Sesudah berbincang sebentar akhirnya mereka berpisahan. Ci Giok Phang bersama Wan Say Eng ikut ke Hang-ciu bersama Ci Giok Hian dan Seng Liong Sen, sedangkan Kong-sun Po dan Kok Siauw Hong kembali ke Thay-ouw.

Sesudah berjalan berdua saja bersama Kong-sun Po, Kok Siauw Hong tampak murung.

"Saudara Kok, ada apa? Kelihatan kau sedang memikirkan sesuatu?" tanya Kong-sun Po pada kawannya.

"Tidak! Sudahlah jangan hiraukan aku," kata Siauw Hong.

"Jangan bohong, tak seperti biasanya, kau selalu banyak bicara, sekarang kau seperti malas bicara. Aku kira kau terkenang pada Nona Han, kan?" kata Kong-sun Po.

Mendengar nama nona Han disebut-sebut, tiba-tiba Kok Siauw Hong tersentak karena ada yang dia lupakan. Ternyata dia lupa menyampaikan titipan Han Pwee Eng untuk Ci Giok Hian.

"Wajar saja kau rindu kepadanya, kalian kan pernah mengalami guncanganh hebat! Sekarang kalian sudah akur kembali.   Malah   ketika   aku   mau   ke   mari,   Nona Han berpesan agar aku mencari tahu tentang kau," kata Kong- sun Po.

"Di antara sahabatku, kau yang paling polos. Tetapi kau sekarang bisa bergurau juga," kata Kok Siauw Hong.

"Benar kan kau terkenang pada Nona Han?" kata Kong- sun Po sambil tertawa.

"Sebagian dugaanmu memang benar, sebenarnya aku sedang memikirkan nasib ayahnya," jawab Kok Siauw Hong.

"Apa yang kuketahui Paman Han sedang berobat di rumah Seng Cap-si Kouw, tapi aneh karena sekarang si Iblis Perempuan itu ada di Kang-lam. Lalu dibawa ke mana Paman Han, ya?" kata Kong-sun Po yang juga heran dan bingung.

"Gara-gara tidak diketahui di mana keberadaan ayahnya itulah maka Nona Han jadi cemas sekali," kata Kok Siauw Hong. "Giok Hian bilang dia ada di tempat pengemis tua, sayang kita tidak bertemu dengannya!"

"Sebenarnya tadi aku bertemu dengannya, tapi jika sekarang bertemu lagi pun kita tidak bisa mendapat keterangan apa-apa darinya," kata Kong-sun Po.

"Jika bertemu lagi dengannya, walau dia tidak mau memberi keterangan pun paling tidak kita bisa tahu jejak Paman Han," kata Kok Siauw Hong.

"Sekarang entah kabur ke mana dia?" kata Kong-sun Po.

Mereka terus melanjutkan perjalanan. Saat menuruni bukit dari jauh mereka mendengar suara beradunya senjata tajam.

"Eeh! Siapa yang sedang bertarung? Apa si pengemis tua, tapi  siapa  lawannya? Aku kira  Giok Phang dan kawannya berjalan ke arah lain, aku kira bukan mereka yang sedang bertarung!" kata Kong-sun Po.

Mereka segera mempercepat langkah masing-masing dengan menggunakan gin-kang tinggi. Dari jauh Kong-sun Po seolah mengenali salah seorang dari orang yang sedang bertarung itu.

"Itu sepertinya Seng Cap-si Kouw!" kata Kong-sun Po.

Ketika sudah dekat memang benar itu Seng Cap-si Kouw yang sedang bertarung. Tapi lawannya bukan si pengemis tua melainkan Beng Cit Nio. Jago perempuan ini memang berangkat ke Kang-lam dengan maksud mencari Seng Cap- si Kouw, khususnya dia ingin mencari Han Tay Hiong. Maka itu dia mengikuti jejak si Iblis Perempuan, akhirnya mereka bertemu di tempat itu.

"Beng Cit Nio, puluhan tahun kita menjadi saudara misan, tapi sekarang kita bentrok gara-gara Han Tay Hiong. Ingat kita semua sudah tua, apa kau pikir Han Tay Hiong masih mau padamu?" kata Seng Cap-si Kouw mengejek.

Sambil mengejek Seng Cap-si Kouw tidak menghentikan tongkat bambu hijaunya yang dahsyat itu menyerang ke arah Beng Cit Nio.

"Tutup mulutmu! Apa kau kira aku sedang memperebutkan seorang pria tua denganmu? Aku datang hanya untuk bertarung dan mengadakan perhitungan denganmu!" kata Beng Cit Nio.

"Eeh, apa maksudmu?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Aku ingin bertanya, isteri Han Tay Hiong mati diracun oleh siapa? Kau pembunuhnya, tapi aku yang dituduh sebagai pembunuhnya!" kata Beng Cit Nio sengit. "Kau salah, isteri Han Tay Hiong meninggal karena sakit, dan tidak ada hubungannya denganku! Sebenarnya Han Tay Hiong pun tidak menuduhmu, kenapa kau bilang begitu?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Jadi kau masih mau menyangkal? Cara kau menaruh racun luar biasa," kata Beng Cit Nio. "Orang yang kau racun tidak berbekas. Tetapi Han Tay Hiong mencurigai pembunuh isterinya itu, jika bukan aku pasti kau! Di depanku dia tidak menuduhku, tapi anak perempuannya jelas menuduhku. Oleh sebab itu masalah ini harus diusut sampai tuntas!"

Ketika Kok Siauw Hong dan Kong-sun Po tiba, sebenarnya Kok Siauw Hong akan segera menampakkan diri. Tapi hal itu tidak dilakukannya dan dia mencegah Kong-sun Po. Tapi kinii dia kaget setelah mendengar pertengkaran kedua nenek itu. Sedikitpun dia tidak menyangka kalau ibu Han Pwee Eng mati diracun oleh Seng Cap-si Kouw, si Iblis Perempuan yang ganas itu.

"Jadi kau terus menuduhku?" ejek Seng Cap-si Kouw dengan gemas. "Sekarang terserah kau saja! Tapi jika kau ingin membunuhku, hm! Jangan harap kau bisa. Tapi jika aku membunuhmu, kau jangan menyesal!" kata Seng Cap-si kouw.

Tiba-tiba si Iblis Perempuan mengayunkan tongkatnya menyerang Beng Cit Nio. Pertarungan pun kembali terjadi. Kali ini walau Beng Cit Nio terdesak, dia masih mampu melawan.

"Eeh! Tidak kusangka tenagamu sudah pulih lagi, tapi jangan harap kau bisa melawanku. Maka itu aku sarankan, sebaiknya kau bunuh diri saja!" ejek Seng Cap-si Kouw.

Sekarang ilmu silat kedua wanita tua itu seimbang. Tapi karena  Beng  Cit  Nio  pernah  dibokong  oleh  Seng Cap-si Kouw saat dia bertarung dengan Chu Kiu Sek dan See-bun Souw Ya, dia terluka dalam. Sekarang kesehatannya belum pulih benar. Beng Cit Nio pun sadar, lawannya sangat kejam. Jadi untuk menghadapi Seng Cap-si Kouw yang ganas itu, terpaksa Beng Cit Nio bertarung dengan mati- matian. Malah kalau perlu dia akan menggunakan ilmu menyiksa diri agar mampu menambah kekuatan dirinya dalam sesaat. Dia sudah nekat bila perlu dia akan mati bersama-sama dengan lawannya.

Saat itu keduanya mendengar langkah kaki dua orang yang

menuju ke arah mereka.

"Hai Iblis Perempuan kejam, ternyata kau ingin mengacau lagi di sini!" bentak Kok Siauw Hong.

Tiba-tiba Kok Siauw Hong dan Kong-sun Po mendengar suara jeritan keras dari Beng Cit Nio. Dia langsung muntah darah. Tak lama dia limbung dan akhirnya roboh. Kiranya Beng Cit Nio terluka oleh ilmu menyakiti diri atau ilmu yang disebut "Thian-mo-tee-tay-hoat"-nya sendiri. Rupanya munculnya Kok Siauw Hong dan Kong-sun Po tadi telah mengganggu konsentrasinya saat dia sedang mengerahkan ilmu itu.

Dengan cepat Kok Siauw Hong maju, pedangnya di arahkan ke tubuh Seng Cap-si Kouw.

"Hai kau berani padaku?!" bentak Seng Cap-si Kouw.

Tongkat bambu hijaunya dia sabetkan ke belakang, ke arah pedang Kok Siauw Hong. Tak lama terdengar suara bentrokan kedua senjata bertubi-tubi. Sekali pun Kok Siauw Hong gagah, namun menghadapi Seng Cap-si Kouw cukup berat juga. Kok Siauw Hong merasakan serangan Seng Cap- si   Kouw   yang   ganas   mampu   mendorong   tubuhnya. Serangan si nenek datang bergelombang saling susul- menyusul tidak hentinya.

Melihat Kok Siauw Hong kewalahan, Kong-sun Po datang membantu. Dia menggunakan payungnya untuk menangkis serangan tong;at bambu hijau Seng Cap-si Kouw. Benturan kedua senjata itu menimbulkan lelatu api yang berhamburan bagaikan kembang api saja. Melihat anak muda yang lain bersenjata payung, Seng Cap-si Kouw kaget juga. Apalagi saat dia mengetahui payungnya  ternyata ampuh. Mungkin saja itu sebuah benda pusaka terbuat dari baja mumi. Terpaksa si nenek menggunakan tongkatnya dijadikan seolah pedang menyerang ke arah Kong-sun Po.

Kok Siauw Hong cemas melihat keadaan Beng Cit Nio yang muntah darah dan terduduk tadi.

"Beng Kouw-kouw (Bibi Beng), bagaimana keadaanmu?" kata Kok Siauw Hong.

"Aku tidak apa-apa, bunuh saja perempuan iblis itu!" jawab Beng Cit Nio.

Hati anak muda ini jadi lega, maka itu dia maju lagi dan berkonsentrasi untuk mengalahkan Iblis Perempuan itu. Padahal Kok Siauw Hong tak tahu sebenanya Beng Cit Nio terluka parah. Beng Cit Nio bersandar di sebuah pohon, napasnya tersengal-sengal kepayahan.

Sekalipun dikeroyok ternyata Seng Cap-si Kouw lebih menang dibanding Kong-sun Po dan Kok Siauw Hong yang mengepungnya. Dia masih mampu menyerang secara ganas dan bertubi-tubi. Tentu saja dua anak muda itu kaget bukan kepalang. Jika mereka kalah maka Beng Cit Nio pun akan celaka juga. Saat Kok Siauw Hong kebingungan, Beng Cit Nio memberi petunjuk.

"Kok Siauw-hiap bergerak ke Kian, duduki daerah Kim!" kata Beng Cit Nio.

Kok Siauw Hong maupun Kong-sun Po mengikuti petunjuk Beng Cit Nio, ternyata mereka berhasil menghindari serangan lawan, bahkan Kong-sun Po sempat menggoyahkan tongkat si Iblis Perempuan.

"Beng Cit Nio padahal saat mampusmu sudah tiba, tapi kenapa kau masih berani banyak bicara!" kata Seng Cap-si Kouw.

Tanpa mempedulikan ejekan Seng Cap-si Kouw, dengan bersemangat Beng Cit Nio memberi petunjuk pada kedua anak muda itu. Tak lama terlihat perubahan besar. Jika tadi dua anak muda itu terdesak, sekarang mereka malah mendesak lawannya.

"Dulu kami pernah menyelamatkan kau, sekarang pun kami tidak ingin mencelakaimu, tapi jawab pertanyaanku. Jika kau menolak, jangan harap kau bisa lolos!" bentak Kong-sun Po.

"Katakan, di mana kau sembunyikan Paman Han?" kata Kok Siauw Hong.

Seng Cap-si Kouw tertawa terbahak-bahak.

"Jadi kau datang untuk mencari mertuamu?" kata Seng Cap-si Kouw. "Aku dengan dia sahabat baik, kau jangan khawatir!"

"Tutup mulutmu, katakan di mana beliau berada? Jika tidak jangan harap kau bisa lolos!" kata Kok Siauw Hong. Saat itu Seng Cap-si Kouw dalam keadaan terkepung oleh kedua anak muda itu. Di luar dugaan tiba-tiba nenek ini muntah darah.

"Hm! Anak ingusan kalian berani mengancamku?" kata Seng Cap-si Kouw dengan nyaring.

Tiba-tiba dia menyerang dengan hebat, tentu saja hal ini membuat kedua anak muda yang mengepungnya keheranan. Payung Kong-sun Po tersampok miring, begitu pun pedang Kok Siauw Hong. Tiba-tiba tongkat si nenek itu langsung mengarah ke tubuh Kok Siauw Hong.

Kong-sun Po yang menyaksikan kawannya dalam bahaya dia kaget bukan main. Dia gunakan payungnya untuk menyelamatkan Kok Siauw Hong dari bahaya maut itu. Tibatiba Seng Cap-si Kouw menghentikan serangan mautnya.

"Karena kalian pernah membantuku, sekarang kuampuni kalian! Beng Cit Nio jika kau tidak mati, kelak kita bertemu lagi!" kata Seng Cap-si Kouw.

Sesudah itu dia mencelat dan pergi.

"Aaah, sayang dia kabur!" kata Beng Cit Nio lemah. Kiranya sesudah mengerahkan ilmu hitamnya, Beng Cit

Nio terluka parah. Kedua anak muda itu menghampiri Beng Cit Nio.

"Bibi Beng, bagaimana keadaanmu?" kata Kok Siauw Hong. "Dia sudah pergi, biar kelak kita adakan perhitungan lagi dengannya!"

Beng Cit Nio tertawa perlahan, wajahnya tampak pucatpasi. Dia terlihat kepayahan. "Bagaimana kedaanmu, Bi?" Kok Siauw Hong mengulangi pertanyaannya.

"Rasanya aku tidak akan tahan lebih lama lagi. " jawab

Beng Cit Nio.

Tiba-tiba dia muntah darah lagi. "Kenapa kau, Bibi?" kata Siauw Hong.

Tapi Beng Cit Nio diam saja, wajahnya merah membara.

"Dia keracunan ilmunya sendiri," kata Kong-sun Po  yang paham ilmu racun. "Untung belum parah, mungkin kita masih bisa mengobatinya."

"Bagaimana caranya?" tanya Kok Siauw Hong.

"Mari kita kerahkan hawa murni kita untuk menolonginya," kata Kong-sun Po.

Keduanya lalu mengerahkan tenaga dalam mereka untuk menolongi Beng Cit Nio. Bantuan tenaga dalam itu membuat Beng Cit Nio sadar kembali.

"Cukup, terima kasih," kata Beng Cit Nio.

Napas Kok Siauw Hong terengah-engah, karena memang lwee-kangnya kalah tinggi dari Kong-sun Po.

"Siauw Hong, kenapa kau tolongi aku, padahal aku tahu pasti kau pun dendam kepadaku," kata Beng Cit Nio.

"Bukankah saat aku masih kecil Kouw-kouw yang menyelamatkan jiwaku?" kata Kok Siauw Hong. "Ketika itu aku tergelincir dari pohon dan jatuh ke sungai yang airnya deras. Aku masih ingat semua kejadian itu!"

"Jadi kau masih mengingatnya, nak?" kata Beng Cit Nio. "Aku ingat, saat Pwee Eng menuduhmu sebagai pembunuh ibunya, aku pun menyangkal dan membelamu, karena aku tahu kau orang baik," kata Kok Siauw Hong.

"Baik, terima kasih jika kau mempercayaiku," kata Beng Cit Nio. "Sebenarnya aku tidak sebaik yang kau kira. Aku telah banyak melakukan kesalahan. Aku pernah bergabung dengan Chu Kiu Sek dan See-bun Souw Ya untuk mencelakai Paman Han-mu!"

"Yang telah lewat jangan kau pikirkan, Bibi. Paman Han masih hidup, Pwee Eng pun selamat," kata Kok Siauw Hong.

"Akan kuceritakan kejadian yang sebenarnya padamu," kata Beng Cit Nio yang napasnya tiba-tiba sesak.

"Sudah, Bibi harus istirahat saja dulu," kata Kok Siauw Hong.

"Tidak, jika hal itu belum aku ceritakan, aku belum tentram," kata Beng Cit Nio.

Kok Siauw Hong tidak bisa mencegah Beng Cit  Nio yang mulai bercerita, "Ketika kami masih muda, aku dan Seng Yu Ih (Seng Cap-si Kouw) sama-sama menyukai Han Tay Hiong," kata Beng Cit Nio. "Aku tahu Han Tay Hiong lebih menyukai Seng Cap-si Kouw, tetapi dia mengira Han Tay Hiong malah menyukaiku. Akhirnya kami berdua kecewa! Ternyata Han Tay Hiong lebih mencintai ibu Han Pwee Eng. Padahal aku tahu, baik ilmu silatnya maupun kecantikan kami berdua, sebenarnya tidak kalah oleh ibu Han Pwee Eng!"

Beng Cit Nio berhenti sejenak sebelum melanjutkan ceritanya. Sebaliknya Siauw Hong berpikir lain.

"Mungkin budi pekerti dan hati ibu Pwee Eng lebih baik dari kalian," pikir Kok Siauw Hong. "Di belakang rumah Han Tay Hiong terdapat bukit yang sunyi, dan sangat tersembunyi. Tempat itu sulit ditemukan oleh siapa pun. Jalan ke tempat itu pun harus melalui air terjun, karena pintu masuknya ada di balik air terjun itu!" melanjutkan Beng Cit Nio. "Tanpa diduga aku menemukan tempat itu! Maka itu aku tinggal di sana. Maksudku tinggal di sana hanya ingin dekat saja dengan rumah Han Tay Hiong. Tidak kuduga Seng Cap-si Kouw berpendapat lain. Diam-diam dia mendekati keluarga Han dan meracuni isteri Han Tay Hiong dengan keji. Sesudah berhasil dia membalikkan fakta dan memfitnah aku sebagai pembunuh isteri Han Tay Hiong. Sedang kisah selanjutnya kaupun sudah tahu. '"

"Paman Han orang baik dan bijaksana, pasti dia tahu masalah ini," kata Kok Siauw Hong.

"Semoga saja begitu. Tapi bagaimana keadaan Pwee Eng?" kata Beng Cit Nio. "Aku dengar kau ada masalah dengannya, benarkah itu? Dia nona yang baik, jaga dia baik-baik!"

"Tak lama lagi dia sudah akan menikah dengan Nona Han," kata Kong-sun Po ikut bicara.

"Benarkah? Syukur kalau begitu!" kata Beng Cit Nio. "Pwee Eng mengkhawatirkan keadaan ayahnya, maka

itu dia minta aku menyelidiki keadaannya," kata Kok Siauw Hong.

"Aku juga begitu, selama Han Tay Hiong ada di tangan perempuan jahat itu," kata Beng Cit Nio.

"Sayang dia sudah pergi, kalau tidak kita akan tahu di mana Paman Han berada!" kata Kok Siauw Hong.

Beng Cit Nio termenung, tiba-tiba wajahnya jadi cerah. "Aah, aku ingat sekarang. Di Ouw-lam ada sebuah tempat persembunyian Seng Cap-si Kouw. Aku yakin Han Tay Hiong disembunyikan di sana. Jika kita akan mencarinya aku harus ikut kalian ke Ouw-lam," kata Beng Cit Nio.

"Bagaimana dengan kesehatanmu?" kata Kok Siauw Hong.

"Tidak masalah. Jika hanya untuk berjalan saja aku masih bisa. Jika aku tidak ikut kalian ke tempat itu, mungkin kau tidak akan sampai ke sana," kata Beng Cit Nio.

"Tapi kami harus kembali dulu ke Thay-ouw untuk melapor pada Ong Cee-cu, apakah kau mau ikut bersama kami?" kata Kong-sun Po menjelaskan.

'Tidak! Aku tidak ingin menemui Ong Cee-cu, jika kalian mau kita harus berangkat sekarang juga!" kata Beng Cit Nio.

Kedua anak muda itu bingung sampai akhirnya Kok Siauw Hong mengambil jalan tengah.

"Kalau begitu biar aku dan Bibi Beng yang pergi ke Ouwlam, sesudah urusan Kong-sun Toa-ko selesai di Thay- ouw, kau susul kami ke Ouw-lam. Di sepanjang jalan aku akan memberi tanda panah, supaya kau mudah menemukan kami!" kata Kok Siauw Hong.

"Baik," kata Kong-sun Po menyetujui saran Kok Siauw Hong.

Maka berpisahlah mereka, dua ke Ouw-lam yang seorang ke Thay-ouw.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o- Setelah berpisahan dengan Beng Cit Nio dan Kok Siauw Hong, Sekarang Kong-sun Po berjalan sendirian. Dia menuju ke Thay-ouw. Saat sendiri Kong-sun Po jadi iseng. Dia ingin segera sampai ke Thay-ouw, agar bisa segera menyusul Beng Cit Nio dan Kok Siauw Hong ke Ouw-lam. Maka itu dia mempercepat jalannya. Keesokan harinya menjelang petang dia sudah sampai di Thay-ouw. Saat itu dia ingat pada berbagai kejadian yang dialaminya.

"Siauw Hong dan Nona Han sudah rujuk kembali, semoga kepergiannya bersama Beng Cit Nio bisa menemukan jejak calon mertuanya." pikir Kong-sun Po. "Giok Phang dan Nona Wan sudah bertundangan, entah di mana Mi Yun sekarang?".

Ingat pada Kiong Mi Yun yang bersedia berkorban baginya, nona ini rela bentrok dengan ayahnya demi dia, Kong-sun Po senang. Ingat Kiong Mi Yun dia pun ingat sahabat masih kecilnya, yaitu nona Wan Say Eng yang sudah punya calon suami, yaitu Ci Giok Phang. Sekarang hanya dia dan Kiong Mi Yun yang belum punya kepastian, ketika mereka masih saling mencari di mana keberadaan mereka masing-masing? Dia pun tidak tahu entah kapan dia bisa bertemu lagi dengan Kiong Mi Yun.

Setiba di Tong-teng-san Barat, di tempat Ong It Teng sudah tengah malam. Sebenarnya dia tidak ingin mengganggu tuan rumah, tapi malah Ong It Teng;ah yang datang menemuinya malam itu juga.

"Aku tidak mengira kau akan segera kembali," kata Ong It Teng pada Kong-sun Po.

"Apa ada masalah?" kata Kong-sun Po. "Ada dua sahabat datang mencari Ci Giok Phang dan Wan Say Eng, sekarang mereka masih ada di sini," kata Ong It Teng. "Kemarin juga ada orang mencarimu, karena kau tidak ada di sini, dia langsung pergi. Eeh, ke mana yang lain, kok kau pulang sendiri saja?" 

Kong-sun Po menceritakan pengalamannya.

"Siapa yang mencari Ci Giok Phang dan Nona Wan, apa dia juga kenal padaku?" kata Kong-sun Po.

"Salah seorang mengaku bernama Ciauw Siang Hoa, putera Ciauw Goan Hoa dari Ouw-lam, dia datang bersama tunangannya yang bernama Yo Kiat Bwee!" jawab Ong It Teng.

Nama kedua orang itu memang pernah di dengar dari Ci Giok Phang, maka itu dia jadi keheranan.

"Nona Kiat Bwee pernah menjadi pelayan Seng Cap-si Kouw, nasibnya sangat buruk. Katanya dia akan ke Kim- keeleng, tapi aneh kenapa dia datang ke sini. Lalu siapa orang yang lain yang mencariku?" kata Kong-sun Po.

Tiba-tiba Ong It Teng menegurnya.

"Apa kau punya hubungan dengan orang-orang dari Sungai Huang-hoo?" kata Ong It Teng.

"Tidak!" jawab Kong-sun Po.

"Orang yang mencarimu itu, salah seorang dari mereka!" kata Ong It Teng. "Dia mengaku bernama Chu Tay Peng!"

"Dia bernama Chu Tay Peng!" kata Kong-sun Po. "Oh dia! Dia ingin agar aku segera ke tempatnya!"

"Benar, dia bilang beitu! Dia bilang kau jangan lupa pada janjimu!" kata Ong It Teng. "Memang ada urusan apa dengan mereka?" Kong-sun Po menjelaskan pengalamannya, saat kawankawan Chu Tay Peng diserang oleh Pouw Yang Hian. Atas usul Kiong Mi Yun yang meminta agar Chu Tay Peng dan kawankawannya mengabdi pada perjuangan rakyat melawan serangan musuh. Sesudah lewat satu tahun Kong-sun Po akan mengobati luka mereka. Sekarang hampir setahun sudah.

"Kalau begitu kau harus menepati janjimu," kata Ong It Teng.

"Dia benar, tapi saat ini aku sedang menghadapi masalah sulit sekali!" kata Kong-sun Po.

"Masalah apa?" kata Ong It Teng.

"Masalah Kok Siauw Hong. Aku berjanji akan menyusul dia ke Ouw-lam," kata Kong-sun Po. "Menurut Beng Cit Nio, Han Tay Hiong disembunyikan di Ouw-lam. Maka itu aku harus menyusul Kok Siauw Hong ke Ouw-lam!"

"Bagaimanajanjimu dengan Chu Tay Peng?" kata Ong ItTeng. "Waktunya masih berapa lama lagi, sih?"

"Setengah bulan lagi," jawab Kong-sun Po.

Ong It Teng jadi ragu-ragu mengingat waktunya sangat singkat.

Dari dalam rumah muncul Ciauw Siang Hoa dan Yo Kiat Bwee menemui mereka. Melihat mereka muncul Kong-sun Po mengawasi untuk mengingat-ingat, apakah dia pernah bertemu dengan mereka atau belum.

"Mungkin kau lupa, kita pernah bertemu," kata Kiat Bwee alias Tik Bwee.

"Benarkah?" kata Kong-sun Po. "Di mana dan kapan itu?

Aku benar-benar lupa!" "Bukankah kau yang dulu bertarung dengan See-bun Souw Ya di depan air terjun? Ketika itu kau tidak mengetahui, aku melihatmu dari balik batu." kata Kiat Bwee.

"Jadi kalian sudah saling mengenal," kata Ong It Teng. "Aku  belum  pernah  bertemu  dengan  Kong-sun Siauw-

hiap, tapi namamu sering kudengar dari Ci Toa-ko. Aku

mengagumimu," kata Ciauw Siang Hoa.

Sesudah mengisahkan pengalamannya, Kong-sun Po menanyakan bagaimana Kiat Bwee bisa bertemu dengan Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian.

"Kami bertemu ketika mereka akan menikah," kata Kiat Bwee. "Saat mau ke mari pun kami bertemu dengan mereka di tengah jalan."

"Jadi Ci Giok Phang dan Nona Wan bersama-sama dengan mereka, bukan?" kata Kong-sun Po.

"Kami hanya bertemu dengan Seng Liong Sen dan isterinya, merekalah yang menyuruhku menemuimu di sini!" kata Kiat Bwee.

Saat bertemu di tengah jalan, Seng Liong Sen ingin membunuh Kiat Bwee yang mencelakakannya, tapi karena sedang terluka dia tidak berdaya. Sebenarnya Ci Giok Hian pun benci pada Kiat Bwee, tapi sekarang dia kurang senang pada sifat suaminya yang kurang jujur. Ditambah lagi Kiat Bwee memang harus dikasihani. Jika dia memusuhi Kiat Bwee, itu pun tak ada gunanya. Sedangkan obat pemunah untuk suaminya, Kiat Bwee pun tidak memilikinya. Maka itu Ci Giok Hian menyuruh Kiat Bwee pergi ke tempat Ong It Teng di Thay-ouw untuk bertemu dengan Kong-sun Po.

"Aah, masalah jadi semakin gawat. Padahal masalahku belum  selesai,  sekarang  ada  masalah  baru  lagi.  Entah ke mana perginya Ci Giok Phang dan Wan Say Eng?" kata Kong-sun Po.

"Mungkin mereka mengurus masalah lain. Mengingat kepandaian mereka, kau jangan mencemaskannya," kata Ong It Teng. "Sebenarnya masalahmu yang harus kau segera urus."

"Mengenai masalah apa, bisa kau beritahu kami?" kata Ciauw Siang Hoa.

Kong-sun Po menjelaskan, dia harus memenuhi janjinya pada Chu Tay Peng cs. Tapi sekarang dia harus menyusul Kok Siauw Hong ke Ouw-lam. Dengan demikian masalah itu jelas tidak bisa diselesaikan bersama-sama. Tiba-tiba Kiat Bwee tertawa.

"Jangan cemas, biar aku saja yang ke Ouw-lam Barat, aku memang ingin menemui Beng Cit Nio," kata Kiat Bwee.

"Aku senang mendengar usulmu. Tapi adat Beng Cit Nio keras. Apalagi dia bilang masalah ini jangan diberitahukan pada siapa pun. Jika kau pergi ke sana, lalu. "

"Jangan khawatir," kata Kiat Bwee. "Aku bekas budak Seng Cap-si Kouw dan bertetangga dengannya, aku tahu dia juga sayang kepadaku." '

"Apa kau tidak takut jika di sana bertemu dengan Seng Cap-si Kouw?" kata Kong-sun Po.

Dengan sikap gagah Kiat Bwee alias Tik Bwee berkata, "Justru kamilah yang ingin mencari dia untuk menuntut balas!"

Sesudah mendengar cerita ibu Ciauw Ciang Hoa, Kho-si, tahulah Tik Bwee, dia diculik dan dijadikan budak oleh Seng Cap-si Kouw dan hal itu bukan kejadian kebetulan. Nasib buruk Ciauw Siang Hoa dan dia justru ada kaitannya dengan Seng Cap-si Kouw. Paling tidak si Iblis Perempuan itu tahu masalahnya.

Kong-sun Po akhirnya setuju karena dia yakin Ciauw Siang Hoa dan Kiat Bwee mampu menghadapi Seng Cap-si Kouw.

Sesudah ada kesepakatan esok paginya mereka berangkat bersama-sama menyeberangi Thay-ouw dengan  diantar oleh anak buah Ong It Teng. Perahu mereka didayung ke tengah, tapi sesampai di tengah danau yang luas, mereka melihat sebuah sampan meluncur cepat. Di atas sampan itu terlihat sepasang muda-mudi sedang asyik menyaksikan pemandangan Thay-ouw yang indah. Ternyata Kiat Bwee mengenali sepasang muda-mudi di atas sampan itu, lalu dia memanggilnya.

"Liong Cici, kau juga ada di sini?" kata Kiat Bwee.

"Akh saudara Bu kiranya kau!" kata Ciauw Siang Hoa. Memang itu Bu Hian Kam dan Liong Thian Hiang, dua mudamudi yang mereka kenal.

Tampaknya mereka gembira sekali. Sesudah perahu- perahu mereka ke tepi, dari cerita Liong Thian Hiang, tahulah Kiat Bwee bahwa sepasang muda-mudi itu baru pulang dari rumah Ciauw Siang Hoa karena hendak mencari mereka. Sekarang kebetulan mereka bertemu di tengah danau. Nona Liong bercerita, mereka tahu keluarga Ciauw sudah pindah dari tetangga Ciauw Goan Hoa.

"Aneh? Ayah dan Ibuku tidak memberitahuku mereka akan pindah?" kata Siang Hoa. "Ke mana mereka pindah?"

"Tetanggamu tidak mengatakan ke mana mereka pindah!" kata nona Liong. "Sudah," kata Kiat Bwee. "Mungkin ayahmu pindah untuk menghindari gangguan dari si Iblis Perempuan yang ganas itu!"

"Tapi ke mana pindahnya, kenapa aku tidak diberi  tahu?" kata Siang Hoa.

Pemuda itu kelihatan berduka dia ingat bagaimana Ciauw Goan Hoa menyayangi dirinya.

"Tenang, mungkin kau hanya berpisah untuk sementara saja, kelak kau pun akan bertemu lagi dengan beliau," hibur Kiat Bwee.

"Mari kita tanya Liong Cici, bagaimana dia bisa sampai ke mari?"

"Kami kira kalian pergi ke Kim-kee-leng, maka itu kami bermaksud menyusul kalian ke sana," kata nona Liong.

Tiba-tiba wajahnya berubah kemerah-merahan. "Kami sudah bertunangan," kata Bu Hian Kam.

"Oh selamat! Selamat!" kata Kiat Bwee maupun Siang Hoa.

"Kami harap kalian pun meniru kami, segera bertunangan," kata Liong Thian Hiang menggoda.

"Aah, kau jangan bergurau Liong Cici, bicaralah soal yang penting-penting saja," kata Kiat Bwee menunduk malu.

"Apa itu tidak penting?" kata Liong Thian Hiang. "Baik, akan kujelaskan bagaimana kita bisa bertemu di sini. Aku mendapat keterangan tentangmu secara kebetulan saja. Ketika kami sedang minum di sebuah warung teh di tepi jalan, kami bertemu dengan kenalan lama. Dia Chan It Hoan, budak Nona Han!" "Aku dengar dari Kok Siauw Hong, orang itu ada di tempat Bun Tay-hiap," kata Kong-sun Po.

"Dia diutus oleh Bun Tay-hiap ke Kim-kee-leng menemui, Liu Beng-cu!" kata Bu Hian Kam. "Saat bertemu kami dia baru saja pulang dari Kim-kee-leng. Dari It Hoan kami tahu kalian tidak ada di sana. Lalu kami meninggalkan kedai minum hingga muncul kejadian yang tidak kami duga-duga. "

"Apa yang terjadi?" tanya Kiat Bwee.

"Kami bertemu seorang yang berpakaian seperrti tabib, pakaiannya kotor dan lapuk. Dia membawa sebuah lonceng dan langsung minta uang pada kami," kata Bu Hian Kam.

"Kenapa heran, tabib pengembara seperti itu sama dengan pengemis saja," kata Kiat Bwee sambil tertawa.

"Biasanya mereka menjual obat palsu dan menawarkannya pada seseorang, tapi ini tidak! Dia minta uang pada kami," kata Hian Kam. "Ketika itu aku memang sedang kesal, lalu bergurau dengannya. Aku bertanya apakah dia punya obat mujarab tidak. Tahukah kau apa jawab dia, jawabannya membuat aku kaget!"

"Dia bilang apa?" Kiat Bwee mendesak ingin tahu.

"Dia bilang dia hanya menjual obatnya pada orang lain, tidak akan menjualnya kepadaku! Dia bilang dia hanya akan menjual khabar padaku. Lalu aku tanyakan khabar apa? Dia bercerita. 'Suatu hari saat aku sedang beristirahat aku mendengar percakapan kami." katanya. Lalu dia bertanya pada kami. 'Apa kalian sedang cari itu orang yang masih muda. Dan yang perempuan she Yo sedang yang  pria she Ciauw?' "Jelas yang dia katakan khabar itu justru tentang kami berdua," kata Ciauw Siang Hoa. "Aneh sekali, aku tidak kenal dengannya."

"Dia membawa tempat arak berwarna merah atau tidak?" kata Kong-sun Po yang menduga si tabib pengemis di Sionghong-nia.

"Aku tidak melihatnya," kata Bu Hian Kam.

Bu Hian Kam kemudian memetakan wajah tabib berpakaian rudin itu pada mereka.

"Kalau begitu bukan si pengemis di Siong-hong-nia!" kata Kong-sun Po.

"Tapi kami senang karena kami mengetahui tentang keberadaan kalian," kata Bu Hian Kam. "Dia bilang dia melihat kalian minum di kedai itu!"

"Aneh?" kata Kiat Bwee. "Aku tidak pernah melihat dia, di mana warung itu berada?"

"Di Hek-hoo-wan," kata Bu Hian Kam.

"Kami tidak pernah ke sana," kata Siang Hoa, "apalagi minum!"

"Heran dia bisa menggambarkan wajah kalian dengan tepat, dia bilang dia bertemu kalian tiga hari yang lalu," kata Bu Hian Kam. "Kalian sedang membicarakan Ong Cee-cu. Dia heran, karena kalian masih muda, tapi sudah kenal dengan Ong Cee-cu."

"Berapa usia orang itu?" tanya Kiat Bwee.

"Sekitar limapuluh tahun lebih, maka itu kalian dianggap masih bocah," kata Bu Hian Kam.

"Aneh! Sekalipun dia omong kosong, tapi jejak kami diketahuinya," kata Ciauw Siang Hoa. "Waktu itu aku pun tidak percaya padanya," kata Hian Kam. "Tapi aku pikir Ayahku juga baik dengan Ong Cee- cu, apa salahnya aku ke tempatnya. Akhirnya kita bertemu di sini dengan kalian..."

"Menurut kalian, dia tokoh persilatan, bukan?" kata Sun Po.

"Sulit menduganya, dia berjalan pincang. Barangkali dia bisa silat!" kata Bu Hiang Kam.

"Rasanya sulit menebaknya," kata Kiat Bwee. "Mari kita lanjutkan saja perjalanan kita!"

"Baik, kita berpisah di sini saja," kata Kong-sun Po.

Sesudah itu mereka membuat perjanjian dengan tanda apa mereka bisa saling berkomunikasi.

"Jika kalian mau ke Ouw-lam, perhatikan tanda "panah" yang diberikan oleh Kok Siauw Hong. Di batu atau di atas pohon. Kalian boleh mengikuti "tanda panah" itu!" kata Kong-sun Po.

Sesudah Kong-sun Po meninggalkan mereka, Kiat Bwee tertawa.

"Kalau begitu kalian mau pulang kampung!" kata Kiat Bwee. "Ouw-lam dekat dengan tempat tinggal kalian!"

Memang rumah Ciang Hoa dan Hian Kam ada di Ouw- lam, tapi tempat pertemuan dengan Kok Siauw Hong entah di mana?

Dua hari kemudian keempat muda-mudi itu melakukan perjalanan ke Ouw-lam Barat. Sesudah menempuh jarak sekitar tiga puluh li, mereka belum juga menemukan tanda yang diberikan Kok Siauw Hong.

"Kenapa tidak ada tandanya? Apa barangkali telah terjadi sesuatu pada mereka?" kata Kiat Bwee cemas. "Heran! Tapi barangkali kita kurang awas hingga tidak melihat tanda panah itu," kata Bu Hian Kam.

"Menurut Kong-sun Po di tempat-tempat yang mudah terlihat Kok Siauw Hong membuat tanda," kata Kiat Bwee.

"Bagaimana jika kita lacak ulang kembali lagi ke asal," kata Liong Thian Hiang.

Sesudah bolak-balik mereka tetap tidak menemukan tanda itu.

"Kita berjalan di kiri dan mencari tanda itu, jika sudah  li tak menemukan apa-apa, kita balik lagi lewat sebelah kanan," kata Liong Thian Hiang.

Mereka mengikuti saran Liong Thian Hiang, tapi sudah dijalani  li, mereka tidak menemukan tanda tersebut. Ternyata sampai sore pun mereka belum menemukan tanda tersebut. Akhirnya mereka kembali lagi. Lalu menyusuri jalan di sebelah kanan. Sesudah berjalan beberapa li dalam keadaan cuaca yang mulai remang-remang. Akhirnya mereka menemukan sebuah batu yang kelihatannya seperti ada tandanya.

"Aah, ternyata kau cerdas, akhirnya ketemu juga tanda tersebut," kata Kiat Bwee.

"Sabar, coba kalian perhatikan, tanda panah ini agak aneh bentuknya," kata Bu Hian Kam.

Mereka segera memeriksa tanda itu dengan teliti.

Memang mereka menemukan tanda aneh.

"Sepertinya dirusak dengan tangan," kata Kiat Bwee. "Ya, orang yang merusak tanda ini menggunakan jurus

"jari sakti Kim-kong-cee-lek aliran Siauw-lim atau jurus It-

ci-siankang kaum Buddha," kata Ciauw Siang Hoa. "Tanda yang diberikan Siauw Hong menggunakan ujung pedang, dia tidak bisa jurus jari sakti," kata Kiat Bwee.

"Kalau begitu yang membuat "tanda" orang lain, apa akan kita ikuti atau jangan?" kata Liong Thian Hiang.

"Kita tidak kenal orang itu, jangan-jangan ini perangkap," kata Bu Hian Kam.

"Tetapi kita tidak menemukan tanda lain," kata Thian Hiang. "Bagaimana jika kita ikuti saja tanda itu, kita coba saja," kata Bu Hian Kam.

Merasa tidak punya pilihan, sekalipun ragu-ragu mereka ikuti tanda itu. Akhirnya mereka sampai ke daerah pegunungan.

Hari itu mereka tiba di sebuah hutan, mereka tidak menemukan tanda, maupun jalan yang pernah dilewati oleh manusia.

"Nama tempat ini Bukit Oh-kwie (Bukit Setan). Ini daerah paling tandus di Ouw-lam. Aku khawartir orang itu sengaja memancing kita ke mari," kata Bu Hiang Kam yang tampak cemas sekali.

Tiba-tiba Kiat Bwee berkata, "Lihat!"

Saat mereka berpaling ke tempat yang ditunjuk Kiat Bwee, di sana mereka lihat ada batu besar seolah temoat duduk atau sebuah altar, di atasnya tampak menumpuk tengkorak manusia. Setiap tumpuk ada tiga buah tengkorak. Yang paling atas menyeramkan, giginya menyeringai. Semua kaget dan merasa ngeri. Tapi karena Bu Hian Kam orang Ouw-lam, dia mengerti adat-istiadat setempat.

"Di daerah ini banyak agama sesat, tumpukan tengkorak ini mungkin bekas upacara salah satu agama sesat itu!" kata Bu Hian Kam menjelaskan. Ketika suasana sedang mencekam itu, terdengar suara seruling, iramanya tidak menentu. Suara seruling itu membuat bulu kuduk berdiri karena seramnya.

"Tenang, jangan gugup!" kata Bu Hian Kam. "Kita tunggu apa mau mereka?"

Tak lama muncul serombongan wanita bangsa Biauw, salah seorang mengenakan kerudung sutera halus. Tubuhnya kelihatan setengah telanjang. Pada kedua telinga orang itu terlihat anting-anting besar. Pakaian yang dikenakannya sangat berbeda dari yang lainnya. Agaknya dia pemimpin kaum wanita Biauw tersebut. Sedang wanita Biauw yang lain membawa bumbung bambu, entah untuk apa?

Rombongan orang Biauw itu terkejut ketika melihat keempat muda-mudi itu. Mereka langsung mengepung, dan terdengar suara seperti suara makian.

"Apa yang mereka katakan?" kata Liong Thian Hiang.

"Kata pemimpin mereka, kita telah memasuki daerah terlarang milik mereka!" kata Bu Hian Kam. "Mereka pun bilang yang perempuan akan dijadikan budak, sedang kami yang laki-laki akan mereka bunuh!"

"Segera jelaskan kepada mereka, kita tersesat dan tidak sengaja ke mari," kata Liong Thian Hiang.

Merasa mampu berbicara dengan bahasa Biauw, Bu Hian Kam melaksanakan usul Liong Thian Hiang. Dia berjalan mendekati pemimpin wanita Biauw itu. Tapi tiba- tiba kepalanya pening karena mencium bau yang aneh.

"Tahan napasmu, itu pasti udara beracun," kata Kiat Bwee. Kiat Bwee melompat mencoba menarik Bu Hian Kam, lalu memasukkan sebuah pil ke mulut pemuda itu. Dia memberikan pil pada kawannya yang lain. Memang saat itu Liong Thian Hiang maupun Siang Hoa merasakan kepalanya pening.

"Maaf, kami tersesat dan tidak sengaja memasuki wilayah kalian," kata Kiat Bwee.

"Kami tidak mau tahu, kenapa kalian memasuki wilayah terlarang kami, maka itu kalian harus dihukum mati!" kata pemimpin wanita Biauw itu.

Mereka kaget, rupanya wanita Biauw yang jadi pemimpin rombongan itu bisa bahasa Han. Dengan tidak menghiraukan permohonan Kiat Bwee, si pemimpin memerintahkan menangkap keempat orang yang mereka kepung itu.

"Karena kalian mendesak kami, maka kami pun terpaksa tidak memakai aturan," kata Kiat Bwee.

Kiat Bwee mengibaskan bajunya, segumpal asap menyambar membuat wanita Biauw yang berada paling depan kaget. Mereka melompat mundur.

Tak lama terdengar teriakan wanita Biauw yang kelihatan tubuhnya kegatalan. Kiranya Kiat Bwee menyebar obat bubuk yang membuat orang kegatalan. Pemimpin mereka menangkis serangan Kiat Bwee.

"Lepaskan si hijau agar menyerang mereka!" kata si pemimpin.

Kiat Bwee terperanjat, dia lihat wanita-wanita Biauw yang membawa bumbung bambu itu membuka tutup bumbungnya. Tak lama terdengar desisan ular hijau. Salah seekor menyambar ke arah Kiat Bwee. Kiat Bwee melompat mndur bersama Ciauw Siang Hoa, juga kawan-kawannya. Serempak mereka menghunus senjata untuk membunuh setiap ular hijau yang menyerang mereka.

Banyak ular hijau yang terbunuh oleh senjata keempat anak muda itu. Melihat serangan mereka tidak berhasil, seolah mengerti ular hijau itu menghentikan serangan mereka. Tetapi tak lama ular hijau itu terus bertambah. Ini membuat keempat muda-mudi itu cemas bukan kepalang.

Bu Hian Kam yang kesehatannya telah pulih, berbisik pada kawan-kawannya.

"Jika ingin menaklukkan mereka, kita harus menangkap pemimpin mereka!" bisik Bu Hian Kam.

"Ya, kita tangkap pemimpinnya dulu," jawab Kiat Bwee.

Sekarang mereka sedang dikepung kawanan ular hijau, sekalipun gagasan Bu Hian Kam itu baik, mereka sulit menembus kepungan ular hijau itu.

"Saudara Siang Hoa, kau bawa batu api tidak?" kata Bu Hian Kam.

"Memang kenapa. Aku bawa!" jawab Siang Hoa. "Kau nyalakan!" perintah Bu Hian Kam.

Ciauw Siang Hoa tidak tahu apa gunanya api bagi Bu Hian Kam, tapi dia menurut dan membuat api dengan batu api. Saat api memancar dan lelatunya berpencar, Bu Hian Kam menyebarkan jarum Bwee-hoa-ciam yang halus ke arah ularular itu. Dengan bantuan cahaya api itulah Bu Hian Kam berhasil membunuh ular hijau itu beberapa ekor. Saat itu oleh Bu Hian Kam digunakan untuk meloloskan diri dari kepungan ular hijau. Kiat Bwee pun ikut melompat keluar kepungan bersama Hian Kam. "Hm! Kalian berdua cari mampus, ya?" kata si pemimpin.

Tiba-tiba dia serang Kiat Bwee dan Hian Kam dengan sepuluh buah cincin yang ada di tangan wanita Biauw itu. Cincin itu jadi senjata rahasia yang ampuh. Tak lama terdengar suara siulan, dan ular-ular itu pun bergerak memperketat kepungan ke arah Ciauw Siang Hoa dan Liong Thian Hiang.

Bu Hian Kam dan Kiat Bwee menerjang ke depan sambil memutarkan goloknya. Tak lama terdengar suara beradunya senjata beberapa kali. Cincin si wanita Biauw pun berjatuhan ke tanah.

Kiat Bwee tak tinggal diam, dia sebar kembali obat gatalnya. Melihat hal itu para wanita Biauw itu mundur karena takut terkena lagi. Tapi yang tak sempat menghindar menjeritjerit kegata-lan.Mereka lari dan menceburkan diri ke dalam sungai.

Si pemimpin maju menyerang Yo Kiat Bwee. Melihat lawan datang, Kiat Bwee menusukkan pedangnya. Sayang tidak kena. Bahkan baju bagian bahunya terkoyak oleh lawan. Untung Kiat Bwee mengelak dan tidak tercengkram.

Bu Hian Kam datang membantu, sekarang pemimpin wanita Biauw itu dikeroyok berdua oleh Kiat Bwee dan Bu Hian Kam.

"Bukan minta maaf, malah kalian berani menyerangku!" kata wanita Biauw itu.

Saat itu golok pemimpin wanita Biauw bergerak. Hian Kam dan Kiat Bwee kaget menyaksikan kehebatan ilmu golok wanita Biauw itu. Bu Hian Kam mencoba menghindar, dia membabat tangan wanita Biauw itu dengan golok. "Lepas senjatamu!" kata Hian Kam.

Ternyata wanita Biauw itu lihay, dia mampu menghindari tebasan golok Bu Hian Kam. Bahkan membalas sambil berteriak.

"Coba senjata siapa yang lepas lebih dulu!" katanya.

Tiba-tiba golok berbentuk sabit wanita Biauw itu meluncur ke arah tangan Hian Kam. Dengan tenang Hian Kam melayani serangan itu. Kembali senjata mereka bentrok.

"Trang! Trang!"

Kiat Bwee memutar pedang, dia babat lengan wanita Biauw itu. Melihat serangan berbahaya dari Kiat Bwee, dia melompat mundur.

"Nona Yo, layani dia dengan taktik berputar-putar!" kata Bu Hian Kam. Kiat Bwee menurut, dia berputar-putar sambil menyerang. Karena serangan Kiat Bwee gencar, sekarang wanita Biauw itu mulai terdesak dan hanya bisa menghindar saja.

Memang cara menggunakan golok wanita Biauw itu berbeda sekali dengan ilmu golok yang dipelajari Hian Kam. Tak heran semula mereka terdesak. Sekarang karena bekerjasama dengan Kiat Bwee mereka berhasil mendesak wanita Biauw itu.

"Kami tidak ingin menyusahkanmu, lekas singkirkan semua ular-ularmu!" kata Hian Kam.

"Sudah hampir mati saja, kau masih banyak bicara," ejek wanita Biauw itu.

Saat Kiat Bwee dan Hian Kam mendesak, tiba-tiba ada orang bicara. "Tik Bwee, apa kau masih mengenaliku atau tidak?" kata suara itu nyaring sekali.

Mendengar suara itu Tik Bwee atau Kiat Bwee yang sudah lama mengenal suara itu jadi terperanjat sekali. Ternyata orang itu Seng Cap-si Kouw adanya.

"Sam Kiong-cu, kau tangkap orang yang dikepung ularmu, biar kedua orang ini aku yang meladeninya. Yang perempuan budakku yang melarikan diri dariku, akan kuhukum dia!" kata Seng Cap-si Kouw pada "Sam Kiong- cu" atau Puteri Ketiga bangsa Biauw itu.

"Seng Kouw-kouw, dugaanmu benar. Mereka tiba tepat waktu," kata wanita Biauw itu.

Tik Bwee alias Kiat Bwee tahu siapa Seng Cap-si Kouw. Maka daripada mati konyol, dia bertekad akan melawan matimatian. Tanpa banyak bicara Kiat Bwee menyerang Iblis Tua itu. Tapi dengan mudah serangan itu disampok oleh Seng Cap-si Kouw dengan tongkat bambu hijaunya.

"Kau mau memamerkan ilmu silat ajaranku di depanku, ya?" kata Seng Cap-si Kouw.

Sampokan bambu hijau Seng Cap-si Kouw hampir saja menjatuhkan pedang di tangan Kiat Bwee. Melihat kawannya dalam bahaya, Hian Kam maju membacok, tapi Seng Cap-si Kouw dengan gesit membalikkan tongkat bambu hijaunya menangkis serangan Hian Kam. Maka golok Hian Kam pun terpental kena sampokan itu. Tapi Bu Hian Kam pun tak tinggal diam, kembali dia menyerang. Dengan demikian pertarungan jadi tambah seru. Seng Cap- si Kouw heran, dia belum mampu mengalahkan pemuda itu.

"Tik Bwee, aku bunuh kaupun tak ada gunanya. Bagaimana jika kau ikut aku pulang, maka jiwamu akan kuampuni. Tapi jika kau tertangkap, maka nyawamu tidak tertolong lagi!" kata Cap-si Kouw.

Bukan main ngerinya Kiat Bwee.

"Dari pada tertangkap lebih baik aku bunuh diri," pikir Kiat Bwee.

Di tempat lain Ciauw Siang Hoa dan Liong Thian Hiang sedang dikepung ular hijau, karena ular-ularnya sebagian sudah mati, kepungan ular hijau mulai agak longgar. Tidak terduga wanita Biauw itu datang menyerang mereka.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar