Beng Ciang Hong In Lok Jilid 36

Ci Giok Hian menghunus pedangnya untuk membantu suaminya. Tapi melihat suaminya kalah, niatnya dibatalkan.

"Lebih baik aku minta maaf, mungkin pengemis itu marah karena kesombongan suamiku?" pikir Ci Giok Hian.

Baru saja Ci Giok Hian akan maju untuk minta maaf, pengemis tua itu sudah langsung berkata, "Kau isterinya, kan? Ternyata kau lebih baik dari suamimu!"

"Lo Cian-pwee mohon kau maafkan suamiku demi memandang muka gurunya, Bun Yat Hoan," kata Ci Giok Hian.

"Hm! Aku tidak bisa kau gertak dengan nama Bun Yat Hoan, untuk apa aku harus mengalah kepadanya?" kata si pengemis tua. "Tapi, karena kau yang meminta maaf, baiklah."

"Terima kasih, aku mewakili suamiku untuk minta maaf padamu, Lo Cian-pwee. "

Pengemis tua itu tertawa. "Kalian sudah menikah, kan? Tapi aku tahu kalian belum menjadi suami-isteri yang sejati. Apa kau suka kepadanya?" kata pengemis tua itu pada Ci Giok Hian.

Wajah nona Ci jadi merah padam.

"Kau jangan menggodaku, aku menikah dengan apa dan siapa-pun, aku harus setia pada suamiku!" kata Ci Giok Hian.

"Baiklah, aku ingin bertanya padamu. Tapi kau harus menjawabnya dengan jujur!" kata si pengemis.

"Silakan," kata Ci Giok Hian.

"Aku tidak percaya pada suamimu, maka itu aku bertanya padamu. Tentang lukisan Hiat-to-tong-jin, seberapa banyak yang kau ketahui?" kata si pengemis itu.

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti!" kata Ci Giok Hian. "Aku baru kali ini mendengarnya."

"Masakan Seng Cap-si Kouw tak pernah mengatakannya padamu?" kata si pengemis.

"Tidak pernah, malah sejak aku menikah belum pernah aku bertemu dengannya," kata Ci Giok Hian.

"Sebelum kau menikah?"

"Aku hanya pernah tinggal semalam, ketika aku baru kenal pada bibinya. Jadi mana mungkin rahasia itu diberitahukan kepadaku," kata Ci Giok Hian.

"Satu lagi, apakah kau kenal dengan isteri kedua Ciauw Goan Hoa bernama Kho Siauw Hong?" kata si pengemis.

"Aku pernah mendengar nama Ciauw Goan Hoa, tapi belum pernah bertemu dengannya," kata Ci Giok Hian. "Apalagi dengan isteri keduanya!" Sesudah termenung sejenak pengemis tua itu berkata lagi.

"Baiklah, untuk sementara ucapanmu kuanggap benar. Tapi untuk sementara kalian terpaksa harus kusandera!" katanya.

"Kau mau menahan kami? Maaf, kami masih ada urusan yang harus diselesaikan, tolong bebaskan kami!" kata Ci Giok Hian.

"Aku memang baik padamu," kata si pengemis. "Tapi aku tidak mau tahu tentang urusanmu. Jika kau mau pergi, silakan tapi kau boleh pergi tanpa suamimu!"

"Jika suamiku kau tahan, sudah tentu aku pun tidak akan pergi! Tapi katakan apa alasannya kau menahan kami?" kata Ci Giok Hian.

"Kau tanya alasannya? Baiklah itu akan kukatakan. Jika aku hanya menghadapi bibinya, aku pun tidak takut. Tapi bibinya bersahabat dengan Han Tay Hiong. Jika mereka sampai bergabung dengannya, aku bukan tandingan mereka. Tapi jika keponakannya ada di tanganku, bibinya pun harus berpkir dua kali, jika dia akan mencelakaiku!" kata si pengemis tua.

"Ada permusuhan apa Lo Cian-pwee dengan bibinya?" "Kau cerewet dan banyak bertanya! aku katakan terus

terang, aku tidak akan memaksamu harus ikut aku, jika mau pergi silakan saja. Jika kau sayang pada suamimu lebih baik kau ikut dengan kami!" kata si pengemis tua.

Sesudah itu dia seret Seng Liong Sen seperti dia menyeret bangkai binatang. Melihat begitu Ci Giok Hian terpaksa ikut.

"Tolong katakan, siapa namamu Lo Cian-pwee?" "Kau gadis cerewet, panggil saja aku pengemis tua, beres!" katanya.

Giok Hian akhirnya diam.

Sekalipun membawa seorang tawanan pengemis tua itu bisa berjalan cepat. Sedangkan Ci Giok Hian yang mengerahkan seluruh kemampuannya pun tetap tertinggal di belakang.

Si pengemis tua pun sadar pada kemampuan Ci Giok Hian, maka itu dia tidak ingin meninggalkannya terlalu jauh. Dia tetap menjaga jarak sehingga Ci Giok Hian bisa mengikutinya.

Saat mengikuti pengemis tua yang membawa suaminya, tiba-tiba Ci Giok Hian ingat sesuatu. Dia mengambil kotak perhiasannya, di sana terdapat pemerah bibir. Diam-diam dia menulis surat di sehelai saputangan untuk ditinggalkan di tengah jalan. Isi tulisan itu demikian

"Kami tertangkap seorang pengemis tua! Jika ada yang mene-mukan saputangan ini, tolong antarkan pada Ong Ceecu. Upahnya tusuk kundai emas ini."

Tertanda Ci Giok Hian dan Seng Liong Sen.

Surat itu ditulis sambil berjalan dengan tergesa-gesa. Tidak heran jika tulisan itu tidak karuan macamnya. Diam- diam surat itu dia tancapkan di sebatang pohon. Harapan untuk bisa ditemukan, memang sangat tipis. Tapi Ci Giok Hian berharap, siapa tahu ada orang yang menemukannya?

Dia tidak minta saputangannya dikirim ke Bun Tay-hiap, karena jarak dari situ ke tempat Elun Yat Hoan cukup jauh. Sebaliknya ke Ong Cee-cu jaraknya lebih singkat. Selain itu daerah yang dia lewati memang termasuk kekuasaan Ong Cee-cu Ong It Teng. Kelihatan pengemis tua yang membawa  suaminya  mendaki,  Ci  Giok  Hian  pun  ikut mendaki. Tak lama mereka sudah melihat rumah batu di atas bukit. Begitu sampai mereka mendengar suara seseorang. Ternyata orang itu tidak bisa bicara alias gagu. Suara orang itu berisik. Orang itu seorang pemuda berusia sekitar tujuh atau delapan belas tahun, dia memakai baju kulit binatang.

Tubuh pemuda itu kekar. Tingginya hampir sama dengan pengemis tua. Saat itu si pemuda sedang mendukung seekor harimau kumbang yang cukup besar. Begitu besarnya hingga kaki harimau kumbang itu menjulur ke tanah dan agak terseret-seret.

"Dasar bandel, kau kusuruh menjaga rumah malah berburu macan kumbang," orang tua itu mengomeli si anak muda.

Pemuda itu tak menghiraukan teguran si orang tua. Entah dia tuli atau tidak. Tapi sikapnya seperti anak dungu. Ci Giok Hian mengawasinya saja.

"Dia muridku, harap maklum dia gagu! Dia tidak berniat jahat padamu. Kau jangan takut!" kata pengemis tua itu pada Giok Hian.

Pemuda itu terus mengawasi Ci Giok Hian.

"Hai bocah, apa yang kau perhatikan? Dia isteri orang, kenapa kau awasi terus?" bentak si pengemis tua.

Anak muda itu ah-ah-uh-uh, entah apa yang ingin dia katakan.

"Nona, dia bilang kau cantik!" kata si pengemis tua. Saat itu Ci Giok Hian sedang berpikir.

"Dia mampu membunuh harimau kumbang yang begitu besar, berarti anak muda ini lihay. Jadi tanpa si pengemis pun kami tak bisa berbuat apa-apa?" pikir Ci Giok Hian. Tak lama mereka sampai di rumah batu lalu masuk ke dalam rumah. Si pengemis tua lalu menyeret Seng Liong Sen dan dimasukkan ke sebuah kamar.

"Kau diam di kamar itu sampai bibimu datang dan memohon kepadaku, baru kau akan kubebaskan!" kata pengemis tua.

Lalu orang tua itu membuka jalan darah Seng Liong Sen yang tertotok. Seng Liong Sen tidak pernah mendapat hinaan seperti itu seumur hidupnya. Bukan main marahnya Seng Liong Seng, dia mendengus.

"Jika kau berani bunuh saja aku!" kata Seng Liong Sen. Tapi tak lama dia mengaduh kesakitan. Rupanya Seng

Liong Sen diserang hingga kesakitan.

"Tak ada gunanya kubunuh kau, tapi jika kau tak mau berhenti bicara, akan kusiksa kau lebih hebat lagi!" kata si pengemis.

Mendengar ancaman itu Ci Giok Hian cemas, dia memohonkan ampun untuk suaminya pada si pengemis  tua. Sambil tertawa pengemis itu berkata, 'Baiklah, karena permintaanmu, nona, aku ampuni dia!"

Sesudah itu sambil tertawa pengemis itu berkata lagi. "Sekalipun   totokanku   sudah   kubebaskan,   tapi akibat

nyerinya masih terasa, dia masih kesakitan. Jika dia mau,

minum arakku agar bebas dari kesakitan. Sayang arakku ini sudah terkena ludahku," kata si pengemis sambil menjatuhkan tempat araknya.

Sekalipun jijik dan mual mendengar arak itu sudah terkena ludah si pengemis, namun karena tak tahan sakit Seng  Liong  Sen  meraih  tempat  arak  itu.  Dia  minum beberapa teguk. Tibatiba pengemis tua itu merebut tempat arak dari tangan Seng Liong Sen.

"Huss! Jangan kau habiskan, sekalipun aku pengemis kotor menjijikan, tapi aku sayang pada arakku itu!" kata si pengemis.

Selang sesaat Seng Liong Sen memang merasakan tubuhnya mulai nyaman. Dia kaget merasakan totokan  khas si pengemis tua itu. Sekarang tidak berani banyak bicara.

"Nona, bila kau bersedia merawat suamimu di sini, baiklah. Di sini kau bisa bebas bergerak. Mau pergi pun kau tak akan kuhalangi asal kau tidak membawa dia!" kata si pengemis.

Sesudah itu orang tua itu menoleh pada si gagu, muridnya.

"Kau dengar kata-kataku tidak?" kata si pengemis tua. Pemuda itu mengangguk.

"Saat aku pergi dan dia mau kabur, patahkan saja kakinya. Tapi jika Nona Ci yang mau pergi, jangan kau ganggu atau menghalangi dia!" kata si pengemis tua lagi.

"Uh, uh!" pemuda itu mengangguk tanda mengerti.

Sesudah berpesan pengemis tua itu pergi. Dengan wajah kemerah-merahan Liong Sen berkata pada Ci Giok Hian.

"Adik Giok Hian, sekalipun kau ingin mengabdi sebagai isteriku, tetapi kita jadi suami-isteri hanya pura-pura saja. Jika kau mau, kau jangan ikut menderita bersamaku, pergilah!" kata Seng Liong Sen.

Ucapan suaminya itu sungguh mengagetkan Ci Giok Hian, padahal dia tulus ingin menemani sang suami. Tapi dia    heran    kenapa    malah    dicemooh    demikian   oleh suaminya? Tak heran jika akhirnya Ci Giok Hian pun jadi berduka.

"Kita sudah menikah dengan sah, kenapa kau masih berkata begitu, suamiku?" kata Ci Giok Hian. "Kita ditawan dan ada di tangan orang, bersabarlah, suamiku!"

"Kau sangat baik padaku, Adik Giok Hian. Entah bagaimana aku membalas budimu?" kata Seng Liong Sen.

"Kita suami-isteri, kau jangan berkata begitu," kata Giok Hian.

Sesudah Ci Giok Hian tahu sifat suaminya, pikiran Ci Giok Hian pun melayang jauh. Dia ingat pada Kok Siauw Hong yang ramah dan sopan. Akhirnya dia jadi murung sekali. Tapi nasi sudah jadi bubur, lalu mau menyalahkan siapa dia?

Dikisahkan saat itu Ci Giok Phang sedang ada di tempat Ong It Teng di Thay-ouw (Telaga Besar). Dia sedang cemas karena adik perempuan dan iparnya Seng Liong Sen belum tiba juga di tempat itu. Saat Ci Giok Phang kebingungan, hari itu datang seorang pengemis dari golongan Kay-pang ke tempat Ong It Teng. Pengemis itu mengenakan baju tambal delapan dan mengaku bernama Tay Ek. Ci Giok Phang dan Kong-sun Po diperkenalkan oleh Ong It Teng pada pengemis itu.

"Aah kebetulan!" kata Tay Ek.

"Apa yang kebetulan?" tanya Ong It Teng.

"Bukankah adik Tuan Ci itu bernama Ci Giok Hian?" kata Tay Ek pada Ci Giok Phang.

"Ya, apa Tay Hiang-cu mengetahui dia ada di mana?" tanya Giok Phang.

"Benar, kau lihat ini!" kata Tay Ek. Pengemis itu menunjukkan sebuah tusuk kundai dan saputangan pada Ci Giok Phang. Sesudah memeriksa barangbarang itu Ci Giok Phang terperanjat.

"Benar benda-benda itu milik adikku!" kata Giok Phang. "Bagaimana Tay Hong-cu mendapatkan benda-benda itu?"

"Beberapa waktu ini di Siong-hong-nia muncul seorang pengemis tua yang aneh. Dia sering tidur di tepi jalan setapak yang berbahaya," kata Tay Ek menjelaskan. "Muridku pernah bertemu dengannya. Muridku mengira pengemis itu dari golongan tua Kay-pang kami. Tetapi rupanya dia bukan orang dari golongan kami. Karena curiga lalu kuselidiki. Kebetulan adik perempuanmu dan suaminya pun sampai di sana."

Ci Giok Phang mengangguk sambil memperhatikan saputangan adiknya. Ong It Teng pun melihat tulisan di sapu tangan itu.

"Jadi mereka ditawan oleh pengemis tua itu!" kata Ong It Teng. "Apa dia tak tahu kalau Seng Siauw-hiap murid Bun Tay-hiap? Lalu berapa tinggi ilmu silat pengemis tua itu?"

"Karena kepandaian silatnya tinggi, aku tidak berani bertindak. Karena aku takut adik perempuanmu salah duga, nanti dia mengira pengemis tua itu dari Kay-pang. Maka itu aku harus melapor pada Ketua kami. Sayang sekarang Pangcu kami sedang ada di wilayah Utara. Maka itu untuk memenuhi permintaan adikmu itu, aku datang ke mari untuk menyampaikan benda ini pada Ong Cee-cu!" kata Tay Ek mengisahkan pengalamannya.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" kata Ong It Teng. "Pengemis itu lihay, jika kita datang beramai-ramai akan membuat musuh kaget. Sebaiknya kita cari tokoh silat untuk menghadapi dia!” "Kalau begitu, kami bertiga saja yang pergi ke sana," kata Ci Giok Phang mengajukan diri." Aku harap Tay Hiang-cu mau menjadi penunjuk jalan!"

Ong It Teng mengangguk setuju. Dia yakin Giok Phang, Kong-sun Po dan Wan Say Eng sanggup menghadapi pengemis tua itu. Tidak berapa lama merekapun berangkat.

Di tengah perjalanan Ci Giok Phang berkata pada Tay Ek, "Berapa jauh dari sini ke tempat pengemis tua itu?"

"Dalam dua hari kita akan sampai di sana," jawab Tay Ek.

"Jika demikian kita akan sampai dalam empat hari, tapi apakah si pengemis tua itu masih ada di sana?" kata Ci Giok Phang.

"Aku kira dia akan tetap ada di sana, aku pun tahu persembunyiannya," kata Tay Ek.

"Kau tahu persembunyiannya?"

"Tahu!" kata Tay Ek. "Aku pernah mengintainya dan aku hampir dihajar oleh pengemis gagu."

"Jadi dia punya murid?" kata Wan Say Eng.

"Benar, aku tak tahu berapa tinggi ilmu silat bocah gagu itu?" kata Tay Ek. "Tempo hari ketika muridku mencari bahan obat. Tiba-tiba dia mendengar auman harimau kumbang. Dia lihat bocah gagu itu sedang bertarung dengan harimau kumbang, dan mampu mengalahkannya. Malah ketika diikuti, muridku melihat persembunyian mereka di sana!"

"Saat pengemis gagu itu kepergok muridku, dia mengancam dan menyuruhnya pergi. Dia mendemontrasikan kekuatannya dengan membenturkan kepalanya ke batu hingga hancur. Muridku itu cerdas, dia memberi tanda, bahwa dia ingin bersahabat dengan si gagu. Muridku lalu memberinya kue yang dia bawa. Tapi bocah gagu itu menolak dan meminta agar muridku segera pergi. Muridku tahu apa maksud si gagu, dia seolah mau bilang bahwa guru dia keras dan tidak mau ada orang lain mengetahui tempat tinggalnya."

"Kalau begitu adikku pasti disekap di persembunyiannya itu," kata Ci Giok Phang. "Tapi kenapa dia memusuhi adikku?"

"Mungkin saja suami adikmu musuh dia!" kata Tay Ek. "Sudah jangan ribut, bukankah kita sudah akan sampai?"

kata Wan Say Eng.

Ci Giok Phang menggelengkan kepalanya karena bingung. Tapi sesudah lewat sehari dia tahu jawabnya. Mungkin karena Seng Liong Sen keponakan Seng Cap-si Kouw, pengemis tua itu memusuhinya.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Ci Giok Hian tidak dijaga keras seperti suaminya, dia bisa bebas bergerak ke mana dia suka. Malah di saat bocah gagu itu sedang masak, dia juga ikut membantu memasak.

Pada suatu hari saat Ci Giok Hian pergi mencari kayu bakar untuk masak, tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda. Saat diperhatikan Ci Giok Hian melihat seorang pria berpakaian hijau sedang memacu kudanya ke alas bukit ke arah Giok Hian berada.

"Siapa orang itu? Apakah dia tamu si pengemis tua?" pikir Ci Giok Hian.

Saat Giok Hian berpapasan pemuda berbaju hijau itu berpikir. "Oh cantiknya gadis ini, dia ternyata lebih cantik dari puteri pulau Beng-shia-to!" gerutu pemuda itu.

Nona Ci mendengar gerutuan itu. Dulu jika ada lelaki yang mengawasinya pasti Ci Giok Hian akan marah, tapi ketika itu dia diam saja. Dia terus mengumpulkan kayu bakar yang akan dibawa pulang.

"Siapa Nona Wan yang dikatakannya, apakah dia wanita yang ke Kang-lam bersama Kakakku seperti kata seorang budak tua tempo hari padaku?" pikir Ci Giok Hian.

Begitu sampai Ci Giok Hian menaruh kayu bakar, dan nona Ci masuk ke kamarnya. Tak lama dengar derap kaki kuda sedang mendatangi. Kemudian terdengar suara pengemis tua itu bicara.

"Oh, kau datang! Aku sudah mengira pasti Jie Siauw-ya akan menyuruhmu datang ke mari," kata pengemis tua itu. "Aku dengar Seng Cap-si Kouw datang ke Istana Perdana Menteri, hingga Jie Siauw-ya mendapat kesulitan, bukan?"

Mendengar kata-kata itu Ci Giok Hian bertambah bingung saja. Mengapa seorang Perdana menteri punya hubungan dengan para pengemis? Pikir nona Ci.

"Benar, kedatanganku atas perintah Jie Siauw-ya. Si Iblis Perempuan itu memang menunggumu di sana!" kata orang itu.

"Lebih baik kau kembali, suruh dia datang menemuiku  di sini!" kata si pengemis tua.

"Ke sini?" tanya si baju hijau.

"Ya. Dulu tempat ini memang kurahasiakan padanya, sekarang tidak! Silakan kau kembali, katakan pada Siauw- ya, aku tak sempat ke sana. Kutemui dia di sini saja!" kata  si pengemis. "Baik, kalau begitu aku mohon diri," kata si baju hijau.

"Tunggu, jangan tergesa-gesa. Ada yang akan kusampaikan kepadamu. Duduklah dulu," kata si pengemis tua.

"Apa yang ingin kau katakan? Apa kau mau bilang kau sudah punya murid perempuan?" kata si baju hijau sambil tertawa.

"Siapa bilang? Oh, pasti tadi kau bertemu dengannya," kata si pengemis. "Dia isteri keponakan si Iblis Perempuan, Nyonya Seng!"

Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian tahu, mereka sedang membicarakan Seng Cap-si Kouw, bibi Seng Liong Sen.

"Hm! Cantiknya nyonya muda itu!" kata si baju hijau.

Sekarang si baju hijau sadar, mengapa si pengemis tua  itu berani menyuruh si Iblis Perempuan datang ke persembunyiannya. Rupanya sekarang dia sudah punya tawanan sebagai jaminan keselamatannya.

"Selama ini kau selalu bersama Jie Siauw-ya, bagaimana apakah ilmu silatnya sudah ada kemajuan?" tanya si pengemis tua.

"Beberapa waktu yang lalu Jie Siauw-ya bertarung dengan anak muda, sayang Jie Siauw-ya kalah oleh pemuda itu. Terutama ilmu totoknya yang aneh dari pemuda musuhnya itu!" kata si baju hijau. "Mungkin "Keng-sin-ci- hoat" milik Jie Siauw-ya belum sempurna. Tadinya Jie Siauw-ya akan menemuimu, tapi karena kedatangan si Iblis Perempuan itu dia tak kadi datang!"

Jelas sudah si pengemis tua ini guru Han Hie Sun, sedang si baju hijau bernama An Tong, pelayan Jie Siauw- ya Han Hie Sun. "Hm! Jadi Jie Siauw-ya kalah. Siapa nama pemuda itu?" kata si pengemis tua.

"Namanya Kong-sun Po," kata An Tong.

"Apa? Kong-sun Po? Apa dia anak Kong-sun Khie?" kata si pengemis tua. "Aku kenal Kong-sun Khie, tapi dulu ilmu totoknya tidak hebat sekali!"

"Yang aneh ilmu totoknya sama dengan milikmu!" kata si baju hijau.

"Kenapa bisa begitu? Baik akan kuselidiki pemuda itu!" kata si pengemis. "Apa ada masalah lain?"

"Ada! Kong-sun Po datang bersama yang lain!" "Siapa mereka itu?"

"Yang pria she Ci dari Pek-hoa-kok, sedang yang wanita she Wan dari Beng-shia-to!" kata si baju hijau agak pelan.

Ci Giok Hian masih mendengarkan dengan jelas.

"Oh, yang dia bicarakan pasti kakakku Giok Phang!" pikir Ci Giok Hian.

"Yang perempuan sangat cantik, hanya adatnya jelek," kata An Tong menjelaskan tanpa diminta.

Pengemis tua itu tertawa.

"Aku tahu sekarang, rupanya Han Hie Sun menginginkan bocah perempuan itu, maka itu dia dihajar!" kata si pengemis tua.

An Tong mengangguk, tapi dia membela majikannya. "Itu salah Bong Sian dan Teng Kian si penjilat itu! Dia

ingin menyenangkan Jie Siauw-ya malah menyusahkan. Dibanding Nyonya Seng jelas Nona Wan kalah jauh!" kata An Tong. "Aku memang ingin muridku punya isteri yang cantik, tapi aku tak mau dia berbuat kurangajar. Katakan pada Jie Siauwya, aku sudah punya pilihan. Sesudah masalah Seng Cap-si Kouw beres, urusan itu akan kuurus juga!" kata si pengemis tua.

"Baik," kata An Tong.

An Tong pun pamit. Sesudah An Tong pergi Ci Giok Hian bingung, siapa nona yang dikatakan An Tong pada si pengemis.

"Nona Ci, mari!" kata si pengemis memanggil Ci Giok Hian.

Ci Giok Hian keluar dari kamar menemuinya. "Ada apa Lo Cian-pwee?" tanya Ci Giok Hian.

"Aku sudah tahu penyakit suamimu, bahkan aku yakin dia tak bisa diobati lagi," kata si pengemis tua.

"Maksud Cian-pwee?"

"Kau masih muda, apakah kau tetap ingin jadi janda seumur hidupmu?" kata si pengemis tua.

"Kau kira aku ini perempuan apa? Sudah kau jangan bicara soal itu!" sentak Ci Giok Hian.

"Aku bicara demi kebaikanmu, aku punya murid putera kedua Perdana Menteri. "

Sebelum pengemis tua itu selesai bicara, Giok Hian langsung memotong.

"Aku tawananmu, kalau kau mau membunuhku silakan saja. Jika kau memaksaku, aku bisa bunuh diri!" kata Ci Giok Hian. Pengemis tua itu tertawa.

"Ternyata kau setia, Nona Ci! Jika kau tak mau ya sudah, aku tidak memaksa! Cuma aku kasih tahu, suamimu ini tidak berguna. Aah, sudahlah jika sudah tenang kau pikir-pikir saja dulu..." kata si pengemis tua. Dengan jengkel Ci Giok Hian kembali ke kamarnya, dia lihat suaminya mengawasi di bibirnya terlihat senyuman pahit.

"Ada apa? Apa hari ini kau merasa baikan?" kata Giok Hian.

"Kau tertimpa rejeki besar, kenapa kau tolak?" kata Seng Liong Sen yang rupanya mendengarkan kata-kata si pengemis tua.

Mendengar sindiran itu Ci Giok Hian jengkel.

"Hm! Kau anggap aku ini perempuan apa? Aku tak butuh kesenangan, sekarang kita berada di tangan orang, kita tidak bisa meninggalkan tempat ini. Tunggu sampai kita bebas, tanpa kau usirpun aku akan pergi sendiri!" kata Ci Giok Hian sengit.

Melihat Ci Giok Hian marah suaminya menunduk. "Maaf, aku emosi mendengar ucapan pengemis tua itu.

Dia  benar,  murid  anak  perdana  menteri,  ilmu  silatnya

tinggi. Dibanding aku, aku ini suami apa. Dia juga lebih baik dariku!" kata Liong Sen.

"Tadi jika kau mendengar pembicaraanku dengan pengemis itu, kau seharusnya mendengar juga apa jawabanku!" kata Giok Hian. "Ini malah kau mencurigaiku! Sekalipun kau kesal, kau tak pantas mengejekku!"

"Sudah, aku minta maaf. Aku salah bicara, mari kita bicarakan soal lain saja. Tadi si pengemis akan mengundang Bibiku, ya kan?"

"Ya. Dari nada ucapannya aku kira dia dan bibimu punya masalah!" kata Ci Giok Hian. "Jika Bibi datang, kita tidak perlu cemas lagi," kata Liong Sen.

"Dia lihay, aku khawatir bibimu pun tak akan sanggup melawannya?" kata Ci Giok Hian.

"Jangan cemas, ilmu pedang Bibiku lihay sekal. Dia juga ahkli racun terkenal. Jika dia datang kita punya harapan bisa pergi dari sini!" kata Seng Liong Sen.

"Ilmu totok si tua sangat lihay, kau juga sudah mencobanya. Betapa lihaynya, bukan?" kata Ci Giok Hian.

"Aku punya cara lain, tapi apa kau bisa membantuku?" tanya Seng Liong Sen.

"Baik, aku mau. Tapi apa bisa berhasil, tenaga dalamku lain dengan yang kau pelajari?" kata Giok Hian.

"Kau ingat saat kita mau menikah, bukan?" "Ya."

"Waktu itu Kok Siauw Hong datang. Aku kira dia hendak mengacau, ternyata tidak. Malah dia memberi hadiah padaku." kata Seng Liong Sen.

"Maksudmu hadiah apa?" tanya Ci Giok Hian.

"Hadiah itu sebenarnya bukan dari dia, tapi dari orang lain," kata Liong Sen. "Hadiah dari Kang-lam Tay-hiap sebuah kitab Tay-hang-pat-sek. Ilmu silat yang jadi idaman semua jago persilatan di kalangan Kang-ouw."

"Bukan main berharganya hadiah itu!" kata Ci Giok Hian. "Lalu kenapa tidak ..."

"Maksudmu kenapa aku tidak bilang padamu?" kata Seng Liong Sen. "Itu karena aku takut kau selalu ingat padanya!"

Ci Giok Hian mengangguk mengerti. "Sayang aku belum sempat melatihnya," kata Seng Liong Sen. "Sekalipun sederhana delapan jurus itu lihay sekali!"

"kau benar," kata Ci Giok Hian.

"Untuk melatih ilmu ini harus menggunakan tenaga dalam. Tapi tenaga dalamku tidak kupelajari dari guruku, aku belajar dari Bibiku tenaga dalam ilmu sesat. Itu yang membuat aku bingung." kata Seng Liong Sen.

"Bagaimana, bisakah aku membantumu?" tanya Giok Hian.

Seng Liong Sen mengangguk karena tak ada cara lain dia harus berterus terang pada Giok Hian.

"Tahukah kau kenapa Kang-lam Tay-hiap meminta Siauw

Hong menyampaikan hadiah itu padaku?" kata Liong Sen.

"Tidak," jawab Ci Giok Hian.

"Maksud beliau agar aku belajar bersama Siauw Hong, tapi

Siauw Hong rupanya tidak tertarik. Maka itu dia berikan hadiah itu padaku." kata Liong Sen.

"Jadi semua dia berikan padamu?" kata Ci Giok Hian. "Ya, malah Kang-lam Tay-hiap dengan tegas

mengatakan hadiah itu untukku, tetapi Siauw Hong boleh ikut mempelajarinya," kata Seng Liong Sen.

"Baik! Katakan bagaimana aku bisa membantumu?" kata Ci Giok Hian.

"Aku dengar kau yang mengobati Nona Han." "Ya. Juga dengan bantuan arak keluarga kami!" kata Ci Giok Hian mulai mengerti maksud suaminya.

"Selain dengan arak, tentu masih ada cara lain?" kata Seng Liong Sen.

"Ya, aku mengerti sedikit "Siauw-yang-sin-kang" dari Kok Siauw Hong," kata Ci Giok Hian.

"Maaf, aku harap kau tidak salah paham," kata Liong Sen. "Mungkin Kang-lam Tay-hiap menyuruhku belajar bersama Kok Siauw Hong, ya karena "Siauw-yang-sin- kang" yang dia miliki itu!"

"Jadi kau ingin kuajari "Siauw-yang-sin-kang"? Baik, kenapa tidak kau katakan terus-terang saja sejak tadi!" kata Ci Giok Hian. "Tapi tidak kujamin karena pengetahuanku tentang lwee-kang itu belum sempurna!"

Saat Ci Giok Hian mengajari suaminya, dia jadi sadar betapa liciknya Seng Liong Sen. Saat itu dia ingat betapa bedanya sifat Siauw Hiong dengan suaminya.

"Aah, jika saja aku tidak serakah dan ingin menjadi isteri seorang Beng-cu, aku tidak akan menjadi isteri Siauw Hong!" pikir Giok Hian.

Berpikir tentang Kok Siauw Hong, Ci Giok Hian jadi malu sendiri. Selang beberapa lama sesudah berlatih Siauw- yangsin-kang, tenaga Liong Sen sudah mulai pulih kembali. Tentu saja kemajuan ini tidak mereka tunjukkan pada si gagu yang sering mengantar makanan untuk mereka.

Suatu hari ketika Seng Liong Sen sedang berlatih dan konsentrasi, dia mendengar suara bibinya bicara.

"Thay Thian, aku dalang memenuhi undanganmu!" kata Seng Cap-si Kouw dengan nyaring.

Mendengar suara itu, Seng Liong Sen kaget juga girang. "Bibi datang!" bisik Seng Liong Sen dengan girang.

Si bocah gagu yang melihatnya, segera memberi isyarat pada Liong Sen dan Giok Hian agar mereka tidak sembarang bergerak.

"Huss! Jangan girang dulu, bocah itu mengancam. Saatnya belum tiba..." bisik Ci Giok Hian pada suaminya. Seng Liong Sen menuruti nasihat isterinya.

"Aaah, sudah lama kita tidak saling bertemu," kata pengemis tua sambil tertawa. "Silakan masuk!"

"Jangan banyak aturan, kita kawan lama. Mari keluar kita bereskan urusan lama kita!" kata Seng Cap-si Kouw.

Dia tak segera masuk. Ini pun disadari oleh si pengemis, mungkin Iblis Perempuan itu takut terperangkap.

"Urusan lama yang mana?"

"Hai, jangan berlagak lupa dan pura-pura bodoh!" kata si Iblis Perempuan. "Keluarkan lukisan tubuh itu, kenapa kau kangkangi sendiri?"

"Jadi masalah itu!" kata si pengemis tua.

"Ya. Kali ini kau tak bisa menghindar lagi! Ilmu muridmu pasti dari lukisan itu!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Kau benar, memang muridku belajar dari lukisan itu. Aku kagum kau pandai menyelidik, kau benar-benar lihay!" kata si pengemis tua.

"Maka itu jangan kau remehkan aku!" kata si Iblis. "Sekarang segera kau serahkan benda itu padaku! Kau sudah menyimpannya selama duapuluh tahun, sekarang giliranku!"

"Sabar!" kata si pengemis tua. "Aku masih ingin bicara!" "Bicaralah segera! Aku tak mau buang waktu di sini!" kata si Iblis Perempuan.

"Tahukah kau, mengapa kau kuundang masuk?" "Kenapa?" tanya Seng Cap-si Kouw.

"Karena aku punya seseorang yang akan kutunjukkan padamu!" kata si pengemis.

"Siapa dia?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Aku kira pasti kau ingin menemuinya!" kata si pengemis tua.

"Siapa dia? Katakan!" desak Seng Cap-si Kouw. "Dia keponakanmu!"

"Jangan ngawur, mana mungkin keponakanku datang ke tempatmu!" kata si Iblis Perempuan.

"Untuk apa aku membohongimu? Jika kau tidak percaya, kupanggil dia keluar!"

Sesudah itu pengemis tua itu memerintah si gagu menyeret Seng Liong Sen keluar dari kamar tahanannya. Si gagu menyeret Seng Liong Sen keluar, dia menurut saja seolah tenaga dia belum pulih. Sedangkan Ci Giok Hian mengikuti dari belakang suaminya.

Sampai di depan pintu Liong Sen berteriak, "Bibi tolongi aku!" kata Seng Liong Sen.

"Lihatlah, bukan saja keponakanmu, tapi isterinya juga ada di sini!" kata si pengemis tua "Houw Jie, sudah! Gusur dia ke dalam!"

"Hm! Kau orang terhormat, kenapa kau tak tahu malu menyiksa seorang pemuda?" bentak Seng Cap-si Kouw. "Hm! Ha, ha, ha! Jangan menghina, kau juga menggunakan muridku untuk mengorek rahasiaku, lalu kenapa aku tidak boleh mengundang keponakanmu ini?" ejek si pengemis tua.

Tiba-tiba Seng Cap-si Kouw maju, tapi ditangkis oleh si pengemis tua di depan pintu. Sambutan si pengemis membuat Seng Cap-si Kouw mundur beberapa langkah. Tapi tak lama sudah maju lagi. Melihat lawan bisa menyerang sesukanya, si pengemis tua meladeninya. 

"Sesudah kau kubantu mendapatkan lukisan itu, tapi kenapa kau menipuku, sungguh keterlaluan," kata Seng Cap-si Kouw.

"Terpaksa kulakukan, sekarang tinggal pilih! Kau ingin keponakanmu dan isterinya, atau lukisan itu?" kata pengemis tua.

Saat adu bicara Iblis perempuan itu melepaskan senjata rahasianya. Tak lama terdengar suara ledakan dan asap bersama jarum halus menyerang ke arah lawan. Tapi si pengemis tua sudah siap, dia menangkis dengan kedua tangannya hingga jarum dan racun tak mengenainya.

"Hai Iblis tua, aku memang tahu kau lihay ilmu racun, tapi untuk itu aku sudah siap!" kata si Pengemis tua. "Aku sudah minum Pek-leng-tan buatan Thian-san. Sudahlah, kau jangan mencoba menyerangku dengan senjata rahasiamu itu! Jika kau mau, bertarung secara ksatria saja!"

"Baik, mari kita bertarung, kau kira aku takut padamu?" kata Seng Cap-si Kouw.

Tiba-tiba Iblis Tua ini menerjang, tongkat bambu hijaunya menyambar ke jalan darah lawan.

Diserang begitu si pengemis tertawa. "Hm! Kau Iblis tak tahu diri, rupanya kau mau pamer kepandaian di depanku, ya?!"

"Tutup mulutmu! Kau siksa keponakan dan isterinya, aku tidak tinggal diam!" kata si Iblis Perempuan.

"Gampang jika kau ingin membawa pulang mereka," kata si pengemis tua. "Jika kau bersumpah, bahwa kau tidak akan meminta Hiat-tong-tong-jin di tanganku, dia boleh pergi dari sini!"

"Hm! Majulah dan gunakan kepandaianmu!" kata Seng Cap-si Kouw. "Hari ini kita bertarung untuk menentukan siapa yang kalah dan menang!"

Saat itu si pengemis tua tak besenjata, padahal dia harus melawan si Iblis Perempuan yang bersenjata tongkat bambu hijau yang lihay. Tak heran jika si pngemis tua itu sulit mendekati lawannya. Sebaliknya Seng Cap-si Kouw pun sulit mendekati lawannya yang lihay itu. Saat bertarung pengemis tua tahu lawan hendak mencari kesempatan dia lengah dan ingin merampas tawanan. Maka itu dia langsung menyerang dengan dahsyat ke arah Iblis Perempuan itu. Tapi yang diserang dengan mudah memunahkan serangan si pengemis tua.

"Hm! Thay Thian, sekalipun jurus Hok-mo-ciang-hoat- mu sudah lihay, tapi melawanku tak ada apa-apanya!" kata Seng Cap-si Kouw,

Melihat serangannya selalu gagal pengemis tua itu berseru.

"Awas aku akan menggunakan tongkat pemukul anjingku untuk menghajarmu!" kata si pengemis.

"Silakan, mau apa saja aku ladeni!" kata Seng Cap-si Kouw. Sekali pun bukan anggota Kay-pang, tetapi pengemis tua itu lihay ilmu tongkat pemukul anjingnya. Keduanya samasama lihay, baik tongkat bambu Seng Cap-si Kouw maupun pentungan pemukul anjing si pengemis. Serangan mereka masih berimbang dan berbahaya.

Saat kedua senjata mereka bentrok, Seng Cap-si Kouw kaget.

Buru-buru dia ubah ilmu silatnya meladeni lawan. Tapi serangan totokan tongkat si pengemis sungguh lihay sekali. Kelihatan Seng Cap-si Kouw hampir kewalahan.

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Pertarungan antara Seng Cap-si Kouw dengan pengemis tua masih berlangsung. Untuk menghindari serangan dari pengemis tua itu, Iblis Perempuan ini terpaksa bergerak kian ke mari dengan gesit.

"Ilmu yang dia cangkok dari lukisan itu sungguh lihay," pikir Seng Cap-si Kouw. "Totokannya demikian hebat hingga sulit kuhindari."

Iblis Perempuan itu bisa saja kabur seenaknya, tapi dengan demikian dia gagal memperoleh lukisan tubuh itu, sedang keponakan dan isterinya ada di tangan pengemis tua. Berpikir begitu akhirnya dia memutuskan untuk bertarung mati-matian.

Seng Liong Sen tidak bisa menyaksikan pertarungan hebat itu, dia hanya bisa mendengar suara pertempuran itu dari jauh. Seng Liong Sen berpikir, sekarang sudah tiba saatnya untuk melarikan diri. Maka itu dia berpura-pura sakit dan merintih.

"Saudara gagu, tolong beri air untuk suamiku," kata Ci Giok Hian pada si gagu.

Tanpa sangsi si gagu mengambilkan air untuk Seng Liong Sen. Saat si gagu lengah Seng Liong Sen menotok bocah gagu itu. Secangkir teh di tangannya tanpa sengaja terlempar dan airnya menyiram muka Seng Liong Sen. Ci Giok Hian kaget secara reflek dia totok si gagu hingga terjungkal tidak berdaya ke lantai.

"Luar biasa, hampir saja aku celaka..." kata Seng Liong Sen. "Jika kau tak berhasil menotoknya, aku bisa celaka!"

"Apa kau sudah bisa bergerak bebas, Liong Sen?" kata Ci Giok Hian.

"Maksudmu lari?"

"Ya!" kata Ci Giok Hian.

"Mungkin bisa, tapi...." Seng Liong Sen tak meneruskan kata-katanya.

Ci Giok Hian mengerti.

"Aku tahu maksudmu, kau mengkhawatirkan Bibimu, tapi aku juga tidak yakin bisa membantu Bibimu!" kata Ci Giok Hian.

"Sudahlah, kita harus segera pergi dari sini. Bibi hebat ilmu meringankan tubuhnya, jika dia tak sanggup melawan pasti dia bisa meloloskan diri!" kata Seng Liong Sen.

Mendengar jawaban itu Ci Giok Hian mengangguk, sekarang dia lebih tahu sifat suaminya yang licik, tapi dia tidak banyak bicara. Dia turuti saja kemauan suaminya itu. Langkah kaki suami-isteri itu terdengar oleh si pengemis tua.

"Houw Jie!" dia memanggil muridnya.

Panggilan itu tak dijawab, tahulah dia apa yang telah terjadi atas diri muridnya.

"Hm! Aku berikan kebebasan padamu, ternyata kau malah melukai muridku!" kata si pengemis.

"Bagus, menantuku! Kalian lari jauh-jauh!" teriak Iblis Perempuan itu.

Saat itu si nenek sedang terdesak, mendengar keponakan dan menantunya bisa lolos dia girang. Saat itu dia menyerang si pengemis tua dengan hebat. Serangan Seng Cap-si Kouw yang gesit dan berbahaya membuat si pengemis tua kerepotan dan tak sempat mengejar Seng Liong Sen dan isterinya yang kabur.

"Hm! Boleh saja mereka kabur, tapi kau harus tetap di sini!" kata pengemis tua pada Seng Cap-si Kouw,

Tiba-tiba dengan ganas dia serang Seng Cap-si Kouw, jika perlu membunuhnya. Dia pikir jika tidak sekarang, kelak Iblis Perempuan itu akan tetap menjadi gangguan baginya. Dia gunakan tongkatnya untuk terus mendesak Seng Cap-si Kouw dengan hebat

Saat Ci Giok Hian dan Liong Sen mengetahui tidak ada yang mengejar lagi, mereka girang.

"Kita lolos, semua ini berkat bantuanmu, Giok Hian," kata Seng Liong Sen.

Tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda sedang mendatangi, dua penunggang kuda sedang melarikan kudanya. "Salah seorang dari mereka pernah datang ke mari!" bisik Ci Giok Hian pada suaminya.

Tak lama mereka sudah sampai. An Tong, yang pernah datang itu melihat Ci Giok Hian dan Liong Sen sedang berdiri. Dia sudah langsung bicara pada kawannya.

"Jie Siauw-ya, orang cantik yang kumaksudkan itu dia orangnya!" kata An Tong sambil menunjuk ke arah Ci Giok Hian. "Aah heran mereka bisa meloloskan diri?"

Han Hie Sun mengawasi Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian, lalu mengangguk.

"Apa yang kau katakan benar," kata Han Hie Sun. "Dia lebih cantik dari Nona Wan!"

Han Hie Sun melompat dari kudanya, Liong Sen langsung membentak.

"Bagus! Jadi kau murid si pengemis tua itu!" kata Seng Liong Sen. "Rupanya kau cari mampus sendiri!"

Seng Liong Sen sudah tahu, dia murid seorang jago silat. Tapi karena Han Hie Sun anak seorang Perdana Menteri, Liong Sen mengira ilmu silatnya tidak selihay gurunya. Maka itu Seng Liong Sen tidak pandang sebelah mata. Begitu maju dia serang lawannya dengan sebuah cengkraman.

Di luar dugaan Seng Liong Sen, ternyata Han Hie Sun lihay, dia sudah berhasil mencangkok kepandaian si pengemis tua dengan baik. Kiranya Seng Liong Sen bukan tandingan Han Hie Sun yang lihay itu. Han Hie Sun bergerak cepat, dia totok jalan darah Liong Sen hingga terdengar Liong Sen mengeluh dan akhirnya tidak berdaya.

"Bukan aku, tapi kau yang mau mampus!" kata Han Hie Sun. Dia mau melemparkan tubuh Seng Liong Sen ke jurang.

"Kurang ajar!" kata Ci Giok Hian yang segera menghunus pedangnya dan menyerang Han Hie Sun ke bagian kakinya.

Niat Han Hie Sun melemparkan Liong Sen batal karena dia harus menyelamatkan kakinya dari serangan lawan. Lalu dia tertawa terkekeh.

"Dia suamimu?" kata Hie Sun, "ternyata ilmu silatmu lebih baik dari suamimu!"

Saat Han Hie Sun menghindari serangan Giok Hian, An Tong baru saja turun dari kudanya.

"Sabar Nona Ci, dia calon suamimu! Jie Siauw-ya pun tertarik pada... Aduh!" teriak An Tong.

Belum habis ocehan An Tong, Ci Giok Hian sudah menusuk lehernya. Tak ampun lagi An Tong pun menjerit kesakitan dan bergulingan di tanah. Giok Hian mengira An Tong lihay seperti majikannya. Dia tak mengira dengan mudah dia berhasil membunuh orang itu. Saat Ci Giok Hian kaget,

Han Hie Sun membentak.

"Tak kusangka kau begitu kejam, Nona!" kata Han Hie Sun. "Tapi hm! Aku malah sangat tertarik padamu!"

"Tutup mulutmu! Awas pedanglu!" kata Ci Giok Hian yang kembali menyerang lawannya.

Tetapi serangan itu tak membuat Han Hie Sun gentar. Segera dia buka kipasnya dipakai menangkis. Pedang Ci Giok Hian pun tersampok berubah arah.

"Bagaimana nona cantik?" kata Han Hie Sun. Pertanyaan itu oleh Giok Hian tidak dijawab, tapi yang datang tiga serangan beruntunnya. Serangan itu tertuju ke arah tiga sasaran jalan darah lawan. Ternyata Han Hie Sun bukan lawan yang ringan. Dia lipat kipasnya, lalu balas menyerang dengan hebat. Terpaksa Ci Giok Hian mundur beberapa langkah menghindari serangan lawan.

"Bagaimana nona manis, apa sudah kau pikirkan kalau nyawa suamimu berada di tanganku?" kata Han Hie Sun mwengejek. "Suamimu tertotok totokan khasku, dan kau telah membunuh budakku, apa kau rela jiwa suamimu menjadi ganti budakku?"

Ucapan Han Hie Sun membuat Ci Giok Hian kaget. Dia tidak bisa menerka apakah ucapan pemuda itu hanya gertakan atau sebenarnya. Ternyata kelihatan Seng Liong Sen tergeletak tidak berdaya di tanah.

"Jika aku mampu mengalahkannya, bagaimana aku bisa menyelamatkan suamiku?" pikir Ci Giok Hian kebingungan.

Terpaksa Ci Giok Hian bertanya.

"Apa maumu?" Han Hie Sun tertawa terbahak-bahak. "Kau telah membunuh budakku, seharusnya kau

mengganti dengan jiwa suamimu! Jika kau mau minta ampun untuknya, aku bersedia mengampuninya. Asal kau turuti kehendakku!" kata Han Hie Sun sambil tersenyum.

"Apa maumu?" tanya Ci Giok Hian.

"Aku dengar kau cuma menikah pura-pra, karena suamimu tak bisa memenuhi kewajibannya sebagai suami. Benarkah begitu?" kata Han Hie Sun. "Selanjutnya, karena kau sudah menolong jiwanya, maka aku pikir sebagai isteri kau sudah memenuhi kewajibanmu dengan baik. Selanjutnya tidak perlu aku jelaskan apa mauku! Mungkin Guruku pun pernah mengatakan padamu, mengenai apa mauku!"

Mendengar kata-kata pemuda itu, amarah Seng Liong Sen meluap sampai ke ubun-ubunnya. Tapi apa mau dia tidak berdaya, memakipun dia tak bisa.

"Bedebah, tutup mulut kotormu!. Kami suami-isteri sekalipun harus mati di tanganmu, kami tidak menyesal!" kata Ci Giok Hian.

Ucapan Ci Giok Hian melegakan hati Seng Liong Sen. Dia sadar Ci Giok Hian seorang wanita setia. Saat itu Ci Giok Hian menyerang dengan ilmu silat andalan keluarga Ci. Kepandaian Han Hie Sun memang lebih lihay, namun karena serangan Giok Hian dilakukan dengan nekat, tak urung Hie Sun terdesak juga.

"Aah, tidak kusangka kau wanita sejati dan sangat setia pada suamimu," kata Han Hie Sun sambil tertawa mengejek. "Begitu berhargakah dia hingga kau bela dia mati-matian? Aku iri pada suamimu yang mendapatkan isteri begitu setia!"

Sambil berkata Han Hie Sun terus membalas serangan Giok Hian, dia berharap tenaga Giok Hian lama-lama akan terkuras juga. Tapi Giok Hian cerdik, dia tahu cara lawan menangkis dan menyerang, maksudnya untuk menghabiskan tenaga dia. Dia bisa kabur, tapi bagaimana dengan Liong Sen? Dia tidak tega meningalkan suaminya begitu saja. Jika dia terus bertarung, lama-lama dia akan kehabisan tenaga. Tapi karena tidak ada pilihan lain, terpaksa dia harus bertarung matimatian. Dia pikir jika dia kalah, dia akan bunuh diri. Maka itu dia terus bertarung sampai akhirnya kehabisan tenaga......

Dikisahkan Ci Giok Phang, Kong-sun Po, Wan Say Eng dan Tay Ek. Mereka telah sampai di tempat tujuan. Baru saja tiba mereka sudah mendengar suara bentrokan senjata tajam dari kejauhan.

"Ternyata ada orang yang berani datang ke mari dan bertarung di sini!" kata Tay Ek.

Mereka semua berlari menuju ke arah suara pertarungan itu. Di sana mereka menyaksikan Seng Cap-si Kouw sedang bertarung melawan pengemis tua. Mereka kaget juga. Saat itu Seng Cap-si Kouw sedang terdesak. Melihat kedatangan Kong-sun Po dan kawan-kawannya, Seng Cap-si Kouw kaget. Melawan si pengemis tua saja dia hampir kalah, apalagi sekarang Kong-sun Po datang bersama teman- temannya.

Saat Seng Cap-si Kouw sedang bimbang, dia diserang oleh pengemis tua hingga tidak berani meninggalkan kalangan karena kuatir terluka oleh serangan si pengemis tua yang ganas.

"Kita harus membantu siapa?" tanya Wan Say Eng.

"Hadapi pengemis tua itu dulu," kata Giok Phang. "Jangan! Aku akan membantu si Iblis Perempuan, kalian

masuk ke rumah itu. Cari adikmu dan iparmu!" kata Kong- sun Po.

Sebenarnya Seng Cap-si Kouw sudah mau kabur dengan risiko terluka oleh si pengemis tua. Tiba-tiba Kong-sun Po masuk gelanggang dia membantu si Iblis Perempuan.

Pengemis tua itu kaget mendapat lawan baru ini

"Kau dari mana anak dungu? Kenapa kau ikut campur urusan kami?" kata si pengemis.

Pengemis tua itu menggunakan tongkatnya menyerang Kong-sun Po, tapi dengan cepat pemuda itu menangkis dengan payungnya. "Trang!" terdengar benda beradu kera.

Pengemis itu kaget, dia tidak mengira kalau payung itu terbuat dari besi baja atau benda pusaka.

"Siapakah pemuda ini?" pikir pengemis itu..

Betapapun gesitnya gerakan si pengemis, tapi karena dia dikeroyok oleh Kong-sun Po dan Seng Cap-si Kouw, tentu saja dia jadi kewalahan. Kesempatan ini digunakan oleh si Iblis Perempuan untuk menyerang jalan darah si pengemis tua ke hampir jalan darah-nya yang penting. Akhirnya pengemis tua ini harus berusaha menghindar dan mundur agar tidak menjadi korban lawannya.

Pengemis tua sudah tahu bagaimana lihaynya gin-kang Seng Cap-si Kouw. Sekalipun dia sudah mengeluarkan Kengsin-ci-hoat yang dipelajari dari gambar peta tubuh, namun dia belum mampu mengalahkan Iblis Perempuan itu.

Kong-sun Po pernah mempelajari ilmu itu dari Bu-lim Thiankiauw, jurusnya tidak berbeda dengan Keng-sin-ci- hoat si pengemis tua. Maka itu ketika diserang dia bisa menghindari serangan pengemis tua itu.

Melihat gerakan Kong-sun Po yang mirip dengan dirinya, selain heran pengemis tua itu pun kaget juga.

Melihat pengemis itu kebingungan Seng Cap-si Kouw mengejeknya.

"Hm! Ternyata kau belum lihay, anak muda saja tak mampu kau lawan!" ejek Seng Cap-si Kouw.

Bukan main panas hati si pengemis tua mendengar ejekan itu. Dia serang Seng Cap-si Kouw dengan serangan bertubitubi dan dahsyat. Iblis Perempuan ini kaget hingga dia    harus    membela    diri    mati-matian.    Melihat  Iblis Perempuan itu terdesak, Kong-sun Po tak tinggal diam. Payungnya menotok ke punggung si pengemis tua. Tapi si pengemis tua lihay, dia tangkis serangan itu dengan tangan kanannya.

Saat serangannya tidak mengenai sasaran, dan pukulan si pengemis tua pun datang, Kong-sun Po kaget. Dia terdorong hebat beberapa langkah ke belakang.

"Sungguh lihay!" kata Kong-sun Po.

"Memang aku tak mampu mengalahkannya dengan cepat, tapi kenapa kau sendiri minta bantuan dia?" ejek si pengemis tua pada Seng Cap-si Kouw.

Mendengar ejekan itu hati si Iblis Perempuan dongkol bukan main.

"Memang benar kata dia, jika aku menang melawan si pengemispun tidak terhormat. Sedang dengan anak muda itu, aku pun masih punya ganjalan. Ditambah lagi akan muncul Nona Wan dan Ci Giok Phang, tidak mustahil mereka tak akan menyulitkan aku!" pikir Seng Cap-si Kouw.

Saat itu pengemis tua sedang sibuk menangkis serangan Kong-sun Po. Melihat kesempatan ini oleh Seng Cap-si Kouw dipakai untuk kabur jauh-jauh.

"Bagus, kau mau kabur ya?" kata si pengemis tua.

"Aku tak ingin mengeroyokmu, sekarang kau hadapi saja dia, kelak kita bertemu lagi!" kata si Iblis Perempuan.

"Baik, sampai jumpa lagi kelak," kata si pengemis tua. "Sekarang kau boleh pergi!"

Lain di mulut lain di hati, sebenarnya dia senang Seng Capsi Kouw pergi. Dengan demikian dia hanya menghadapi Kongsun Po seorang saja. Benar saja sekarang karena bertarung satu lawan satu, Kong-sun Po sering terdesak, walau masih sulit untuk dijatuhkannya.

"Hm! Jadi kaulah orang yang pernah bertarung dengan muridku itu, ya?" kata si pengemis tua.

"Kalau iya, kenapa?" kata Kong-sun Po. "Siapa gurumu?" kata si pengemis.

"Kau sendiri belajar dari mana?" balas Kong-sun Po.

"Hm! Anak kecil jangan banyak bicara! Apakah kau juga ingin memiliki lukisan itu? Aku kira kau masih bocah, jadi tidak pantas ikut campur dalam masalah ini!" kata si pengemis tua.

Pengemis tua itu terus mendesak, untung saat itu Wan Say Eng dan Ci Giok Phang muncul.

"Mana si Iblis Perempuan itu?" kata Ci Giok Phang. "Apa adikmu ketemu?" kata Kong-sun Po.

Melihat Kong-sun Po terdesak, Wan Say Eng dan Ci Giok Phang maju untuk membantu. Karena dikeroyok si pengemis tua itu terdesak juga. Pengemis tua itu kaget bukan main dan tidak mengira lawan yang masih muda itu ternyata lihay semua. Ci Giok Phang yang sedang cemas karena takut adiknya berada dalam bahaya, lalu bertanya.

"Pengemis tua, mana adikku?" kata Ci Giok Phang. Sambil bertanya Giok Phang menyerang dengan hebat.

Tapi   pedang   Ci   Giok   Phang   yang   menusuk   ke arah

pengemis tua itu disam-pok baju si pengemis tua. Dengan tongkatnya dia menangkis serangan payung Kong-sun Po.

"Mereka sudah kabur dari tempatku," kata si pengemis tua. "Bohong! Aku tidak percaya, kecuali jika aku melihatnya sendiri!" kata Ci Giok Phang.

"Siapa yang minta kau percaya padaku?" kata si pengemis.

Ucapan Ci Giok Phang membuat si pengemis tua yang angin-anginan itu gusar. Dia serang Ci Giok Phang dengan membabi-buta. Serangan pengemis yang dahsyat membuat Kong-sun Po terdesak. Begitupun Ci Giok Phang, dia hanya bisa bertahan saja. Sedangkan Wan Say Eng yang ilmu silatnya belum sempurna benar terdesak lebih parah.

Kong-sun Po masih memiliki ilmu simpanan dari keluarga ibunya, dengan ilmu silat Tay-hang-pat-sek dia menggempur pengemis tua itu. Dia gunakan jurus "Penakluk harimau dan naga". Usaha Kong-sun Po ternyata berhasil. Si pengemis mulai terdesak. Dengan demikian Kong-sun Po berhasil menolongi dua kawannya yang terdesak itu.

"Celaka, jika harus bertarung lebih lama, aku bisa kalah oleh mereka!" pikir si pengemis saat dia mulai terdesak. "Dari mana datangnya setan-setan kecil ini?"

-o~DewiKZ~Aditya~aaa~o-

Saat itu di tempat lain Han Hie Sun, murid si pengemis tua sedang di atas angin karena berhasil mendesak Ci Giok Hian.

"Nona, kenapa kau melawanku mati-matian, aku mencintaimu. Maukah kau?" kata Han Hie Sun sambil tertawa.

Bukan main dongkolnya Ci Giok Hian, dia serang Han Hie Sun dengan serangan mautnya; jika perlu dia siap untuk mati bersama lawannya. Ci Giok Hian memang sudah nekat sekali. "Jangan sia-siakan jiwa dan wajahmu yang cantik, Nona Ci!" ejek Han Hie Sun. "Jika kau suka padaku, jiwa suamimu pun bisa selamat!"

"Jangan banyak bicara!" kata Ci Giok Hian yang terus menusukkan pedangnya.

Ketika itu keadaan Ci Giok Hian sangat kritis, tapi di saat sangat berbahaya muncul seorang pemuda.

"Hai, ternyata kau Giok Hian!" kata pemuda itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar