Beng Ciang Hong In Lok Jilid 34

Ciauw Goan Hoa yang tangannya terluka tak mampu membuka kepungan lawan semakin ketat. Sementara itu Khosi yang gusar bukan main maju melabrak Kiauw Sek Kiang. Kiauw Sek Kiang berkali-kali coba mencengkram Kho-si, namun selalu gagal. Malah dia heran menyaksikan Kho-si mampu menggunakan jurus-jurus pulau Beng-shia. Dia semakin kaget ketika melihat serangan Kho-si yang hebat sekali. Apalagi serangan itu ditujukan ke perut lawan. Tibatiba Kiauw Sek Kiang jadi kaget, ikat pinggangnya terbabat putus oleh golok Liu-yap-to milik Kho-si. Karena Kho-si tidak mengenal barisan lawan, saat dia akan mengulangi serangannya, posisi Kiauw Sek Kiang sudah diganti orang lain.

"Trang!"

Golok Kho-si berbalik malah hampir melukai dirinya. Dia kaget bukan kepalang. Menyaksikan adegan itu Wan Say Eng berdecak kagum. Kho-si menggunakan golok Liu- yap-to, tapi jurus yang digunakannya Ngo-heng-kiam-hoat.

"Aah, aku ingat pasti dia Su-ci (Kakak sepeguruan) yang belum pernah bertemu denganku?" pikir Wan Say Eng.

Dia ingat ayahnya pernah mengatakan, bahwa dia punya seorang kakak seperguruan.

Ketika itu Goan Hoa yang terus terdesak mulai kepayahan.   Tiba-tiba   dia   muntah   darah.   Dia  berjalan limbung. Ciauw Siang Yauw dan Ciauw Siang Hoa segera melihatnya. Mereka coba mendekati ayah mereka. Tapi mereka tetap tidak mampu menembus kepungan lawan.

Sekalipun sudah lama mengepung lawan, Kiauw Sek Kiang dan kawan-kawan belum berhasil mengalahkan lawan mereka. Dia tahu di antara lawan hanya Wan Say Eng yang tahu rahasia barisannya. Maka itu sesekali dia sengaja menyerang nona Wan dengan hebat agar konsentrasi si nona kacau.

Sekalipun dibantu oleh Kho-si yang serangannya cukup berarti, namun mereka hanya mampu bertahan saja.Dalam keadaan kritis terdengar suara benturan kecil. Ternyata tusuk kundai nona Wan terserang Poan-koan-pit (Senjata mirip alat tulis Tionghoa) yang Iihay. Ci Giok Phang yang melihat kejadian itu kaget. Dia segera memburu ke arah nona Wan. Tetapi di luar dugaan Ci Giok Phang, orang she Khu menyerang dia dari belakang dengan pipa cangklongnya ke arah kepala.

Dulu orang she Khu dikalahkan Ci Giok Phang di Beng- shiato. Maka kali ini untuk membalas dendam dia mengerahkan tenaga penuh saat menyerang Giok Phang.

Ci Giok Phang yang khawatir kekasihnya terluka, tanpa pikir lagi ia hendak menolonginya. Dia tak sadar bahaya mengancam dirinya. Tapi untung tiba-tiba terdengar suara nyaring.

"Tring!"

Entah dari mana datangnya, sepotong batu menyambar dan berhasil mengenai gagang poan-koan-pit orang she Khu itu. Tanpa terasa tangan orang she Khu kesemutan dan ngilu, senjatanya terlepas tak mampu dia cegah. "Siapa kau? Beraninya kau menyerangku secara gelap!" kata orang she Khu.

Tiba-tiba muncul seorang perempuan berpakian hitam, usianya diperkirakan baru  tahun. Dia memegang tongkat bambu hijau. Tapi entah kapan dia sudah ada di tempat itu?

"Aku yang menyerangmu!" kata perempuan berbaju hitam itu. "Dulu aku pernah menyelamatkan jiwamu, sekarang aku menolong Ci Kong-cu, bukankah itu adil?"

Dulu di tengah jalan ketika orang she Khu dan kawankawan bertemu Ci Giok Phang dan nona Wan, mereka tak akan lolos dari tangan muda-mudi ini. Pada saat yang kritis, entah dari mana sebuah jarum kecil telah menusuk kaki nona Wan. Dengan demikian orang she Khu dan Jiauw selamat. Rupanya perempuan inilah yang menyelamatkan mereka.

"Siapa kau?" bentak orang she Khu. "Kau mau membantu siapa?"

"Aku tidak ada di pihak mana pun," kata wanita berbaju hitam itu. "Tapi dalam masalah ini aku harus ikut campur. Kiauw Sek Kiang, tarik barisan anak-anakmu dari sini. Kelak aku akan mencarimu! Anak buahmu tidak kenal aku, tapi aku kira kau tahu siapa aku?"

Mendengar teguran itu, Kiauw Sek Kiang melengak. Dia tahu ilmu silat wanita itu lihay. Belum tentu dia dan kawankawannya mampu melawan. Sebenarnya dia tidak tahu siapa wanita itu. Tampak Kiauw Sek Kiang cemas dan ragu. Ciong Bu Pa yang berangasan gusar dan membentak.

"Hai perempuan iblis, kau bisa apa? Kau anggap barisan kami mainan anak-anak. Tapi apa kau berani masuk ke dalam barisan kami ini?" kata Ciong Bu Pa. "Kenapa aku takut? Malah di mataku barisanmu ini tidak ada artinya sama-sekali!" kata perempuan berbaju hitam itu.

Begitu kata-katanya selesai, wanita itu sudah melesat masuk ke dalam barisan. Dua orang anak buah Kiauw Sek Kiang yang menghadangnya, tak mampu menghalangi gerakan wanita itu. Bajunya pun tidak tersentuh.

Bu Pa langsung mengayunkan senjatanya. Dia menjyerang kepala wanita itu.

"Minggir!" kata wanita berbaju hitam.

Serangan Bu Pa ditangkis dengan tongkat bambu hijaunya, tak lama terdengar suara benturan nyaring.

Tangkisan wanita ini membuat senjata Ciong Bu Pa berubah arah, malah mengenai senjata dua kawan Ciong Bu Pa. Golok dan pedang kedua orang itu terpental ke atas. Ciong Bu Pa kaget bukan kepalang. Selain Ciong Bu Pa Kiat Bwee pun terperanjat menyaksikan munculnya wanita berbaju hitam itu. Tanpa terasa pedangnya jatuh.

"Prang!"

Melihat wajah Kiat Bwee pucat dan kelihatan gugup, nona Liong Thian Hiang kaget, dia menghampiri Kiat Bwee.

"Ada apa Enci Kiat Bwee, apa yang datang ini. "

Ucapan Liong Thian Hiang belum tuntas, terdengar suara Kiauw Sek Kiang.

"Ooh, jadi kau ini Seng Cap-si Kouw? Sudah lama aku mendengar namamu yang terkenal!" kata Kiauw Sek Kiang.

"Ternyata matamu tidak buta!" ejek Seng Cap-si Kouw. "Mohon bertanya, apa maksud kedatangan Seng Li-hiap

ke  mari?  Menurut  perasaanku  seperti  kata  pepatah,  "air sungai tidak pernah mengganggu air sumur" bukan?" kata Kiauw Sek kiang merendah.

"Dulu memang begitu, tapi sekarang kau yang melanggarnya," kata Seng Cap-si Kouw. "Jelas Tik Bwee pelayanku, tapi terang-terangan kau ingin menculiknya!"

"Baik, kau boleh bawa budakmu itu! Aku berjanji selanjutnya aku tidak akan mengganggunya," kata Kiauw Sek Kiang.

Tiba-tiba Kiauw Sek Kiang ingat sesuatu lalu berkata lagi.

"Masalah ini bukan urusanmu, kau sendiri bilang kau tidak memihak. Bagaimana jika kita anggap masalah ini sebagai usaha bersama?" kata Kiauw Sek Kiang.

"Aku memang ingin bicara denganmu, tapi sekarang silakan pergi. Biar aku yang akan mencari kalian!" kata Seng Cap-si Kouw.

Ciong Bu Pa kurang senang dia akan membisiki kakak angkatnya agar menolak keinginan Seng Cap-si Kouw itu. Tapi Kiauw Sek Kiang bertindak lain.

"Baiklah," kata Sek Kiang. "Terima kasih atas penghargaan Seng Li-hiap padaku. Mari saudara-saudara kita pergi!"

Barisan Kiauw Sek Kiang dibubarkan, ketika itu Siang Hoa gusar. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kesunyian tiba-tiba Seng Cap-si Kouw memecahkan kesunyian.

"Tik Bwee, apa kau masih menganggap aku sebagai majikanmu atau bukan?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Mohon ampun, Majikan, karena aku kabur dari tempatmu," kata Kiat Bwee alias Ti Bwee. "Soal itu sudah kuanggap selesai!" kata Seng Cap-si Kouw. "Yang aku tanyakan, kenapa kau mencederai keponakanku?"

"Semula aku dilahirkan di tengah sebuah keluarga baikbaik, tapi aku diculik oleh penjahat dan dijual dijadikan seorang budak," kata Kiat Bwee tegas. "Memang akulah yang mencederai keponakanmu. Sekarang terserah apa maumu?"

"Beraninya kau, ayo ikut aku!" kata Seng Li-hiap. Tapi Ciauw Siang Hoa bersama Siang Yauw dan Liong Thian Hiang mencoba menghalanginya.

"Kalian mau merintangiku?" kata Seng Cap-si Kouw bengis.

"Ayah nona Yo seorang jago dunia persilatan, mohon ampuni dia," kata Ciauw Siang Hoa.

"Malah keponakanmu Seng Siauw-hiap bilang, dia sudah tidak menganggap Tik Bwee sebagai budak lagi," kata Liong Thian Hiang.

"Sejak dulu aku sudah tahu dia puteri Yo Tay Ceng," kata Seng Cap-si Kouw, "jika aku tidak tahu masakan aku sebaik itu terhadapnya? Tapi sayang dia melupakan kebaikanku, maka itu dia harus diberi pelajaran. Lekas minggir! Tik Bwee ayo ikut aku!"

Tapi anak-anak muda itu tidak ingin membiarkan Tik Bwee dibawa oleh Seng Cap-si Kouw, mereka mencoba melindunginya.

"Hm! Jadi kalian ingin memusuhiku?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Tunggu!" kata Ciauw Goan Hoa dengan mulut masih berdarah.  "Hai  Ciauw  Goan  Hoa,  sebaiknya  kau  yang menghadapi aku. Aku tidak sudi menghadapi segala bocah itu. Ayo maju, apa kau menunggu aku menghajarmu?" kata Seng Cap-si Kouw.

Saat Seng Cap-si Kouw mengangkat tongkat bambunya, tiba-tiba terdengar suara tawa yang memekakkan telinga. Seng Cap-si Kouw yang mendengar suara tawa itu pun ikut kaget. Di turunkannya tongkat bambu yang tadi sudah dia angkat itu. Tak lama kelihatan seorang pelajar masuk ke taman.

Sambil mengibas-ngibaskan kipasnya pelajar itu berkata dingin. "Jadi inilah Seng Li-hiap, Seng Yu Ih yang  tahun yang lalu menggemparkan kalangan Kang-ouw? Kata pepatah mengatakan : Daripada mendengar lebih baik melihat orangnya. Ternyata bagiku lain, mendengar malah lebih baik daripada melihat orangnya!" kata pelajar itu.

"Oh, jadi kau ini Siauw Auw Kan-kun Hoa Kok Han, bukan?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Kau benar," kata Hoa Kok Han. "Kau dipanggil Li- hiap, tapi menyusahkan seorang gadis, apa itu tak merusak nama baikmu?"

"Duapuluh tahun yang lalu Seng Yu Ih sudah meninggal, jadi tak ada sangkut-pautnya denganku," kata Seng Cap-si Kouw. "Dia budakku, kau jangan ikut campur!"

"Kau mencari budakmu, tapi aku mencarimu!" kata Hoa Kok Han.

"Bagus, mau apa kau mencariku?" kata Seng Cap-si Kouw sambil mengangkat tongkatnya.

"Aku mencarimu bukan untuk berkelahi, tapi hanya untuk menanyakan khabar tentang seseorang!" kata Hoa Kok Han. "Siapa?" tanya Seng Cap-si Kouw.

"Han Lo-eng-hiong, Han Tay Hiong!" kata Hoa Kok Han. "Aku mendapat khabar beliau sedang berobat di tempatmu. Kami pernah mencari ke rumahmu, di sana kami tidak menemukan beliau. Di mana sekarang beliau berada?"

Ketika ada orang yang melihat Seng Cap-si Kouw berada di Kang-lam, Han Pwee Eng yang mendengar khabar ini segera minta bantuan Han Kok Han untuk mencari jejak ayahnya itu dari Seng Cap-si Kouw. Kebetulan Hoa Kok Han berada di Kang-lam.

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Sudah menjadi kebiasaan Seng Cap-si Kouw, bila ada orang yang menyinggung tentang pribadinya, dia akan gusar bukan kepa-lang. Apalagi jika ada yang mengungkit- ngungkit urusan pribadinya dengan Han Tay Hiong. Wajahnya tiba-tiba berubah merah, mungkin dia malu. Tiba-tiba dia menjadi gusar bukan kepalang.

"Hm! Ada sangkut-paut apa denganmu. Kenapa kau ikut campur urusan orang lain?" kata Seng Cap-si Kouw dengan bengis.

Siauw-auw-kan-kun Hoa Kok Han tertawa.

"Memang masalah itu tak ada kaitannya denganku, tapi puteri Han Lo-cian-pwee Han Pwee Eng ingin mencari ayahnya. Dia minta tolong aku menemuimu untuk menanyakan keadaan ayahnya!" kata Hoa Kok Han sabar.

"Mana dia ! Suruh dia menghadap padaku sendiri!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Dia ada di Kim-kee-leng," kata Hoa Kok Han. "Hm! Tidak! Sekalipun aku tahu di mana orang itu, tapi tidak akan aku katakan padamu!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Kalau begitu aku juga tidak akan memaksa padamu," kata Hoa Kok Han tetap sabar. "Silakan kau pergi, tapi hanya kau yang boleh pergi!"

Ketika itu Seng Capsi Kouw ingin mengajak Tik Bwee pergi.

Mendengar ucapan Hoa Kok Han dia jadi merandek. "Apa maumu?" kata Seng Cap-si Kouw.

Hoa Kok Han asyik mengipas tubuhnya dengan kipas di tangannya. Tapi sikapnya menghalangi Cap-si Kouw membawa nona Yo.

"Nona ini sahabat kami, bukan budakmu lagi. Maka itu dia tidak boleh pergi dari sini!" kata Hoa Kok Han.

"Hm! Selama ini tidak ada yang berani menantangku, sekalipun kau terkenal aku tidak takut padamu!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Sebagai orang gagah kau ingin menghina seorang yang lemah, terhitung apa sebenarnya dirimu?" kata Hoa Kok Han agak menghina.

"Tutup mulutmu! Aku tak punya waktu bicara panjang- lebar denganmu. Aku tidak pernah mengaku sebagai pendekar! Jika kau ingin membela budak itu, silakan saja  itu hakmu! Tapi syaratnya asal kau mampu mengalahkan aku!" kata Seng Capsi Kouw.

Dulu Hoa Kok Han ini angkuh, tapi sesudah menikah dengan Hong-lay-moli sifat angkuhnya hilang sendiri. Ucapan Seng Cap-si Kouw tadi dia anggap tantangan. Maka itu dia jadi kurang senang. "Baik, kau tidak bersedia diajak baik-baik, bagus. Tahukah kau aku ini biang yang senang menghadapi orang yang keras kepala sepertimu!" Hoa Kok Han segera bersiap.

Seng Cap-si Kouw pun tak tinggal diam. Tiba-tiba dia menyerang dengan tongkat bambu hijaunya ke arah Hoa Kok Han. Serangannya hebat sulit diduga.

"Hm! Sayang ilmu tongkatmu itu tidak seberapa!" kata Hoa Kok Han sambil tersenyum.

Serangan tongkat lawan dia tangkis dengan kipas di tangannya.

"Breet! Taak!"

Menyaksikan tongkat bambunya tertangkis, Seng Cap-si Kouw terperanjat juga.

"Memang pantas mengapa Siauw-auw-kan-kun Hoa Kok Han, Bu-lim-thian-kiauw dan Hong-lay-mo-li disebut tiga jago Kang-ouw!" pikir Seng Cap-si Kouw.

Seng Cap-si Kouw melihat Hoa Kok Han menangkis serangannya dengan gerakan sangat sederhana, tapi sebenarnya serangan itu menggunakan jurus lihay luar biasa. Sesudah berhasil menangkis serangan lawan, Hoa Kok Han sendiri terkejut.

"Dulu dia diberi gelar "Bidadari Bertangan Ganas".

Kiranya itu bukan omong kosong!' pikir Hoa Kok Han.

Pertarungan segera berlangsung, kedua jago ini mengeluarkan kepandaiannya masing-masing. Saat Seng Capsi Kouw menyerang dengan ganas, Hoa Kok Han menangkis serangan itu dengan kipasnya. Hoa Kok Han memperhatikan setiap serangan lawan dengan cermat. Tiba- tiba kipas Hoa Kok Han terbuka. Sekalipun kipas Hoa Kok Han seolah dari bahan kertas, namun tongkat Seng Cap-si Kouw tidak mampu tembus, apalagi merobeknya.

"Dia lihay," pikir Seng Cap-si Kouw. "Serangan maupun tangkisannya luar biasa. Jika aku tinggalkan dia sekarang, mau di taruh di mana mukaku?" pikir Seng Cap-si Kouw.

Sekalipun dia sudah menduga tak akan tahan lama, namun karena Seng Cap-si Kouw ini angkuh, ditambah dia juga malu jika dia langsung kabur, maka sebisanya dia coba bertahan.

Tiba-tiba Hoa Kok Han tertawa. Tongkat bambu Seng capsi Kouw ditahan oleh kipasnya. Secepat kilat tongkat itu berhasil dirampas oleh Hoa Kok Han. Seng Cap-si Kouw terperanjat. Tak lama terdengar Hoa Kok Han berkata.

"Ternyata tongkatmu tidak berharga, maka sekarang kukembalikan padamu!" kata Hoa Kok Han.

Saat tongkatnya terampas Seng Cap-si Kouw melompat mundur. Saat tongkat dilemparkan oleh Hoa Kok Han, Seng Cap-si Kouw tidak berani menyambut begitu saja. Tapi dia sengaja menunduk, dan membiarkan tongkat bambu itu melayang keluar dari pagar tembok.

Tongkat bambu Seng Cap-si Kouw sebenarnya benda luar biasa dari pegunungan Kun-lun. Bambu itu alot luar biasa, bahkan bisa keras bagaikan baja. Untuk mendapatkan tongkat itu Seng Cap-si Kouw harus bersusah payah. Sekarang tongkat itu terlempar keluar pagar. Dengan tidak memikirkan rasa malu dia melompat akan mengambil tongkatnya itu. Hoa Kok Han tertawa.

"Si Iblis perempuan sangat angkuh, maka itu aku memberinya pelajaran." kata Hoa Kok Han.

Ciauw Goan Hoa memberi hormat dan menghaturkan terima kasih pada Ciauw Goan Hoa. Kemudian Hoa Kok Han memberi sebutir pil buatan Siauw-lim-si untuk mengobati luka Ciauw Goan Hoa.

Nona Kiat maju, dia memberi hormat.

"Hoa Tay-hiap, terima kasih. Tapi aku belum kenal dengan orang-orang yang ada di Kim-kee-leng. " Kata Kiat

Bwee.

"Di sana ada temanmu, masa kau lupa!" kata Hoa Kok Han.

"Siapa temanku itu?"

"Nona Han Pwee Eng, dulu dia menerima banyak bantuanmu. Apa kau sudah lupa?" kata Hoa Kok Han.

"Mana mungkin aku melupakan dia, tapi derajat dia denganku berbeda," kata Tik Bwe. "Aku malu bertemu dengannya."

"Aku dengar ayahmu bernama Yo Tay Ceng, bukan?" "Ya. Apa Tay-hiap kenal pada Ayahku?"

"Tidak! Saat aku berkelana di kalangan Kang-ouw, ayahmu sudah meninggalkan kalangan Kang-ouw. Tapi ayah nona Han sahabat ayahmu!" kata Hoa Kok Han.

"Benarkah begitu? Terus-terang aku tidak tahu siapa saja teman-teman Ayahku," kata Tik Bwee.

"Semula nona Han pun tidak tahu jelas mengenai ayahmu. Tapi dari kenalannya di Kim-kee-leng, baru hal itu diketahuinya. Ketika aku diminta bantuan mencari tahu ayah nona Han, akupun sekalian mencari tahu tentang kau." kata Hoa Kok Han.

"Aku anak yatim-piatu, entah bagaimana aku mengucapkan terima kasih pada Hoa Tay-hiap dan nona Han?" kata Kiat Bwee. "Nona Han memikirkan nasibmu, jika kau mau sebaiknya kau ke Kim-kee-leng saja! Di sana kau bisa bertemu dengan sahabat-sahabat baik ayahmu," kata Hoa Kok Han.

"Terima kasih atas saran Hoa Tay-hiap, hanya aku minta waktu dua sampai tiga hari lagi baru aku ke sana," kata Kiat Bwee.

"Begitupun baik," kata Hoa Kok Han.

Tapi saat Hoa Kok Han saat bicara dengan Kiat Bwee, matanya terus ditujukan ke arah Ciauw Siang Hoa umtuk mengetahui ada hubungan apa antara nona Kiat dengan Siang Hoa.

"Memang sebaiknya kau tidak tergesa-gesa," kata Hoa Kok Han akhirnya. "Kalian berunding saja dulu!"

"Jika nona Han ada di Kim-kee-leng berarti Kok Siauw Hong pun ada di sana, bukan?" kata Ci Giok Phang.

"Ya, Kok Siauw Hong datang bersama nona Han. Tapi Siauw Hong mendapat tugas ke Kang-lam untuk mencari kontak dengan para pejuang di Kang-lam. Saat ini pasti Siauw Hong sudah ada di daerah selatan. Sekarang dengan nona Han dia telah berbaikan lagi. Jika ayah nona Han sudah bisa ditemukan, mungkin pernikahan mereka akan segera berlangsung. Tentang masa lalunya sudah lewat, jadi kau jangan memikirkannya lagi!" kata Hoa Kok Han.

Mendengar kabar itu Ci Giok Phang girang.

"Bagus, entah di mana Kok Siauw Hong sekarang? Aku ingin segera menemuinya!" kata Ci Giok Phang.

"Kau selanjutnya mau ke mana?" kata Hoa Kok Han. "Aku pikir sebaiknya aku ke Lim-an akan mencari Bun

Tayhiap," kata pemuda she Ci ini. Dia berkata akan menemui Bun Yat Hoan, tapi maksud sebenarnya dia akan mencari Ci Giok Hian karena belum yakin adik perempuannya itu sudah menikah dengan akhli waris Bun Yat Hoan.

"Aku juga sudah lama tidak bertemu dengan Bun Tay- hiap, bagaimana jika kita pergi bersama-sama saja?" kata Hoa Kok Han.

Ciauw Goan Hoa sudah langsung minum obat pemberian Hoa Kok Han. Dia bersama Lauw-si sudah masuk ke rumah. Orang yang masih menemani tamu hanya tinggal Ciauw Siang Yauw, Kho-si dan Ciauw Goan Hoa saja.

"Jauh-jauh kau datang, apa kau tidak mau istirahat dulu dua tiga hari di sini," kata Kho-si.

Dari wajah Kho-si ada yang ingin dia katakan, tapi dia kelihatan ragu.

"Apa tadi kau bertarung dengan perempuan iblis itu?" tanya Hoa Kok Han.

"Tidak," jawab Kho-si.

"Bibi Kho, coba kau tarik napas, apakah di bagian igamu terasa sakit atau tidak?" Kiat Bwee tiba-tiba berkata.

"Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu?" kata Kho-si yang memang sejak tadi merasakan iganya sakit.

Semula dia memang akan minta tolong pada Hoa Kok Han.

"Kau terkena racun Majikanku, Bi!" kata Kiat Bwee. Kho-si terperanjat juga Hoa Kok Han. "Betapa lihaynya iblis itu, sulit mencari tandingannya. Bagaimana dia meracuni orang sampai aku tak tahu?" kata Hoa Kok Han.

Kiat Bwee pengikut Seng Cap-si Kouw, tentu saja dia juga mahir ilmu racun. Sesudah Kho-si agak tenang dia bertanya pada Kiat Bwee.

"Racun apa yang dipakai melukaiku, Nona Yo? Masih tertolongkah aku?" kata Kho-si agak cemas.

Kiat Bwee berpikir beberapa saat.

"Bibi terkena racun ulat emas," kata Kiat Bwee. ”Memang bisa diobati, namun aku tidak tahu caranya. Biasanya racun bekerja sesudah lewat beberapa bulan, tapi bisa jadi hanya dalam beberapa hari ini!"

"Sungguh kejam iblis itu, padahal aku tidak bermusuhan dengannya!" kata Kho-si. "Apa maksudnya dia mencelakai aku?"

Kiat Bwee heran dan kaget. Seharusnya Seng Cap-si Kouw membalas dendam kepadanya karena Seng Liong Sen diracun olehnya, tapi sekarang yang terkena getahnya justru Kho-si.

Hoa Kok Han memberi sebutir Pek-leng-tan, pil dari bunga teratai salju dari gunung Thian. Untung obat itu bisa sedikit mengurangi penderitaan Kho-si.

Kho-si sadar untuk memusnahkan racun di tubuhnya harus orang yang meracun dirinya. Tapi dia mengucapkan terima kasih atas pemberian obat dari Hoa Kok Han yang baik hati itu.

"Mati dan hidup sudah takdir Tuhan!" kata Kho-si.

Siang Hoa dan Siang Yauw membawa sang ibu ke kamarnya. "Siang Yauw, kau jaga ayahmu!" kata Kho-si.

Siang Yauw minta maaf pada Hoa Kok Han akan membawa ibunya masuk. Ketika itu Hoa Kok Han sudah akan berangkat, tapi dia merasa tidak enak hati. Maka itu dia terpaksa menunggu di ruang tamu ditemani Kiat Bwee dan Ci Giok Phang serta yang lainnya.

Tak lama Siang Hoa muncul.

"Nona Wan dan nona Yo, ibu ingin bertemu dengan kalian. Mari ikut aku!" kata Siang Hoa.

Wan Say Eng sudah mengira apa yang akan dikatakan ibu Siang Hoa kepadanya. Hanya Kiat Bwee yang keheranan, apa maunya wanita itu. Setelah ada di kamar Kho-si, Siang Hoa akan meninggalkan kamar ibunya.

"Jangan pergi, kau boleh tetap di sini! Karena pembicaraanku ini ada kaitannya dengan kalian bertiga!" kata Kho-si.

Siang Hoa tak jadi pergi. Ibunya lalu menggapai ke arah nona Wan.

"Nona Wan, apakah kau punya Su-pek bernama Khu Kong?" kata Kho-si.

"Ya, Su-pek sudah meninggal," jawab nona Wan. "Katanya sebelum aku lahir!"

"Bukankah kau juga punya Su-ci, apakah itu kau ketahui?"

"Ayah pernah bilang begitu," kata nona Wan. "Kata Ayah Su-pek punya murid wanita yang sangat disayang. Tapi entah kenapa murid Su-pek itu kabur." kata nona Wan.

"Akulah Su-cimu!" kata Kho-si. "Aku menyesal atas kejadian dulu itu!" "Jadi kau Su-ciku, dugaanku ternyata benar," pikir nona Wan. "Kata Ayah sebelum meninggal, Su-pek masih memikirkan keadaan Su-ci. Tapi entah kenapa dia kabur?"

Tiba-tiba Kho-si menarik napas panjang.

"Kejadian itu jika diceritakan sangat panjang, harus dimulai seratus tahun yang lalu. " kata Kho-si.

"Aaah, seratus tahun yang lalu. Cerita Ibu mundurnya sangat jauh," pikir Siang Hoa.

Melihat Siang Hoa bingung, Kho-si memulai ceritanya. "Seratus tahun yang lalu, Kerajaan Song belum pindah

ke Selatan. Ibu kota kerajaan masih berada di Peng-lia.ng. Saat tentara Kim menyerang dan merebut ibukota Peng- liang, kaisar Wie dan Im tertawan musuh. Maka itu Kerajaan Song pindah ke Selatan." kata Kho-si memulai ceritanya. "Saat musuh menduduki ibukota, salah seorang keberi pengurus kas kerajaan, dengan menghadapi bahaya berhasil mengambil beberapa benda pusaka yang tidak ternilai harganya. Tetapi di antara benda itu, sebuah lukisan bernama "Hiat To Tong Jin", atau lukisan hiat-to di tubuh manusia yang paling berharga."

"Aku sudah mendengar cerita itu dari Ayahku," kata nona Wan. ."Lukisan itu bukan pusaka ketabiban, tapi lukisan peta tubuh yang sangat langka di dunia persilatan. Katanya sesudah Peng-liang jatuh, orang Kim telah membawa lukisan itu ke negaranya. Namun, karena tidak ada teks yang menjelaskannya, maka itu mereka mengumpulkan jago silat dan tabib ternama untuk mengungkap rahasia lukisan itu. Tetapi hasilnya tidak memuaskan."

"Apa kau pernah mempelajari ilmu totok dari lukisan itu atau tidak?" tanya Kho-si. "Tidak! Karena patung aslinya ada di istana Kerajaan Song, bagaimana aku bisa mempelajarinya, sedang Ayah juga tidak tahu tentang peta tubuh manusia itu!" kata nona Wan.

"Benarkah?" kata Kho-si.

Tiba-tiba jari Kho-si menyentil hingga pinggang nona Wan terasa kesemutan. Untung saat nona Wan menggeliat, Kiat Bwee segera memeganginya hingga nona Wan tidak sampai jatuh.

"Apa yang kau lakukan pada nona Wan, Bu?" kata Siang Hoa.

"Ternyata benar kau tidak pernah mempelajarinya," kata Kho-si. "Kalau kau pernah belajar, pasti kau tidak akan tertotok tadi." kata Kho-si yang lalu menepuk nona Wan untuk membebaskan totokannya.

"Mengapa kau uji aku, Su-ci?" kata nona Wan.

"Semula aku kira lukisan itu ada pada ayahmu," kata sucinya.

"Bagaimana bisa ada di tangan Ayahku?"

"Sesudah Guruku meninggal dunia, lukisan itu diserahkan pada su-te (adik seperguruannya), itu adalah ayahmu!" kata Kho-si.

"Tadi kau bilang lukisan itu dicuri oleh seorang thay- kam? Kenapa bisa berada di tangan Su-pek? Jika ada di tangan Supek, kau murid kesayangan Su-pek, pasti lukisan itu diberikan padamu!" kata nona Wan.

"Saat itu aku sangsi, apa benar lukisan itu ada di tangan Suhu? Dugaanku ternyata salah."

"Kenapa kau sangsi?" "Sabar pasti akan kuceritakan," kata Kho-si. "Tadi aku bilang lukisan itu dicuri oleh thay-kam istana, aku yakin kalian juga mencurigai thay-kam itu, bukan?"

"Ya, thay-kam itu seorang kepercayaan dan pemegang uang kas. Dia orang kepercayaan negara, tapi saat negara jatuh ke tangan musuh, dia mencuri pusaka istana. Sungguh jahat orang itu!" kata nona Wan.

"Ternyata kau salah duga terhadapnya," kata Kho-si. "Thay-kam itu justru seorang patriot yang cinta negara dan junjungannya," kata Kho-si.

"Kalau begitu dia ambil barang-barang itu bukan untuk kekayaan pribadi, melainkan dia tidak ingin benda itu diambil oleh musuh," kata Siang Hoa.

"Benar," kata Kho-si. "Sebenarnya thay-kam ini seorangjago persilatan. Semula diajuga ingin mempelajari peta tubuh itu. Maka itu dia rela dikeberi dan menjadi thay- kam di istana. Saat Kerajaan Songjatuh. Dengan menghadapi bahaya, dia curi lukisan itu. Namun ternyata lukisan itu sulit dipahami. Maka itu dia tidak jadi mempelajarinya. Malah dia bilang, dia tidak menginginkan peta tubuh manusia itu. Dia akan menyerahkan peta itu pada kaisar yang baru."

"Ternyata hati thay-kam itu mulia, bagaimana selanjutnya?" kata Siang Hoa.

Nona Wan keheranan bagaimana Kho-si bisa tahu begitu banyak masalah itu. Melihat nona Wan keheranan Kho-si melanjutkan ceritanya.

"Pasti kalian ingin tahu, siapa thay-kam itu, bukan? Dia adalah adik kakekku, nama thay-kam itu Kho Siauw. Dia sudah berumur  tahun. Barangkali kalian pernah mendengar namanya?" kata Kho-si. "Aku mengerti." kata nona Wan. "Kemudian ke mana lukisan itu sekarang?"

"Sesudah berhasil mencuri pusaka itu, adik kakekku tidak bisa keluar dari istana," kata Kho-si. "Lalu Kerajaan Song pindah ke Selatan. Sedang dorna Cin Kwee (dorna yang mencelakakan Panglima Gak Hui dengan fitnahnya), memegang kekuasaan. Maka adik kakek berpikir, jika pusaka itu dikirim ke Lim-an, dia khawatir pusaka itu akan jatuh ke tangan Cin Kwee. Maka dia tunggu sampai Cin Kwee meninggal, baru benda pusaka itu akan diserahkannya."

"Pembesar yang korup dan jahat, rasanya tidak akan ada habisnya," kata Siang Hoa. "Coba saja bayangkan, sesudah Cin Kwee mati, muncul yang lain, sesudah orang she Su mati, sekarang ada Han To Yu. Bukankah karena tekanan dari Han To Yu Ayah mengundurkan diri?"

"Usia siok-couw semakin lanjut, tapi Cin Kwee tidak matimati!" kata Kho-si melanjutkan ceritanya. "Ketika beliau sakit, dia memanggil keponakan lelakinya dan menceritakan tentang benda pusaka itu. Sebelumnya keonakannya diminta bersumpah, bahwa dia bersedia menyerahkan benda pusaka itu pada kerajaan. Dia dilarang memiliki benda-benda itu. Tahukah kalian siapa keponakan Siok-couw itu, dia adakah Ayahku!"

"Luar biasa! Ternyata keluarga Su-ci semua patriot negara," kata nona Wan.

Ucapan itu membuat wajah Kho-si merah.

"Jika aku menceritakan tentang Ayahku, perbuatannya sungguh memalukan. Karena Ayahku itu bukan seorang patriot! Aku sendiri juga bukan orang baik." kata Kho-si. Kata-kata Kho-si sungguh di luar dugaan nona Wan maupun Kiat Bwee dan Siang Hoa. Keadaan kamar jadi sunyi karena semuanya jadi serba salah.

"Seseorang yang menyadari kesalahannya dan mau mengubah kelakuannya, itu perbuatan yang terpuji!" kata nona Wan memecah kebuntuan."Lalu ke mana benda pusaka itu sekarang?"

"Ayahku berniat memiliki benda itu," kata Kho-si. "Tetapi keinginan Ayahku tidak terkabul."

"Kenapa?" tanya nona Wan.

"Karena khawatir Ayahku tidak akan mampu melaksanakan tugas itu, maka Siok-couw kemudian mencari seorang pembantu untuk Ayahku. Orang itu ayah nona Yo!" kata Khosi.

"Kenapa Ayahku yang dipilih?" kata Kiat Bwee.

"Waktu itu ayahmu seorang piauw-su di sebuah Piauw- kiok terkenal di Peng-liang. Ayahmu berbudi luhur, jujur dan ksatria. Usia ayahmu dan Siok-couwku berbeda jauh, tapi dia percaya pada ayahmu. Ayahku lalu diminta mengundang ayahmu, baru benda pusaka itu diserahkan pada Yo Tay Ceng dengan disaksikan oleh Ayahku!" kata Kho-si.

Sekarang jelas keterlibatan Yo Tay Ceng dalam masalah ini. Kelihatannya Siang Hoa gelisah. Dia ingat tentang apa yang dibicarakan Kho-si dengan Kiauw Sek Kiang tadi. Rupanya ayahnya terlibat dalam masalah ini.

"Apa hubungan masalah ini dengan Ayahku?" tanya Siang Hoa.

"Sekarang akan kuceritakan tentang ayahmu, Siang Hoa," kata Kho-si. "Apa Ayahku juga seorang piauw-su?" tanya Siang Hoa.

"Bukan, ayahmu seorang pendekar pengembara," kata Kho-si. "Dia sahabat karib Yo Tay Ceng!"

"Ayahku minta bantuan ayah Siang Hoa untuk mengantarkan benda pusaka itu?" kata Kiat Bwee.

"Ya, kau cerdas," kata Kho-si. "Ayah Siang Hoa bernama Ciok Leng, ayahku bernama Kho Kiat. Maksud Yo Tay Ceng akan minta bantuan Ciok Leng, ternyata tidak disetujui oleh Kho Kiat. Tetapi karena lukisan itu ada di tangan Yo Tay Ceng, terpaksa Kho Kiat setuju saja. Tapi Ayahku punya rencana lain."

"Rencana apa?" tanya Kiat Bwee.

"Dia ingin memiliki benda-benda pusaka itu," kata Kho- si tanpa ragu-ragu. "Karena Ayahku berpkir sendirian tidak mungkin melaksanakan niatnya, maka dia pun mencari teman."

"Siapa?" tanya Siang Hoa. "Kiauw Sek Kiang!" kata Kho-si.

"Kenapa bukan orang lain, malah Kiauw Sek Kiang yang dia minta bantuannya?" kata Siang Hoa.

"Memang dia keliru mencari teman, malah mengundang bencana baginya," kata Kho-si. "Ayahku mungkin menganggap tak ada orang yang bisa dipercaya selain Kiauw Sek Kiang, sebab Kiauw Sek Kiang itu Su-hengnya." kata Kho-si.

"Oh begitu!" kata Kiat Bwee hampir berbareng dengan Siang

Hoa. "Sesudah adik kakekku menyerahkan kotak benda pusaka pada YoTay Ceng, akhirnya Siok-couw meninggal," kata Khosi. "Selang lima tahun Yo Tay Ceng mendengar khabar Cih Kwee, si perdana menteri dorna itu mati. Di kerajaan Song Selatan muncul seorang patriot bernama Khu Un Bun. Dia pikir sudah sampai saatnya dia harus menyerahkan benda pusaka itu. Segera Yo Tay Ceng menutup piauw-kioknya dan berangkat ke Selatan bersama Kho Kiat dan Ciok Leng sambil membawa benda pusaka itu. Mereka akan menyerahkan benda itu pada kaisar lewat Khu Un Bun. Yo Tay Ceng dan Ciong Leng tidak sadar kalau Kho Kiat sudah membuat rencana dengan Kiauw Sek Kiang. Sedangkan Kiauw Sek Kiang sangat menginginkan benda pusaka itu. Selain harganya tidak ternilai, benda itu merupakan beda yang diinginkan oleh para jago persilatan, berikut benda berharga lainnya. Namun, karena khawatir tidak akan mampu mengalahkan Yo tay Ceng dan Ciok Leng, Kiauw Sek Kiang mengatur siasat keji. Dia minta Kho Kiat meracuni keduajago itu dengan racun yang tak berwarna dan berbau. Khasiat obat itu hanya mampu bertahan  jam untuk melemahkan lawan. Diam-diam Kho Kiat mencampur minuman dengan obat itu, dia juga ikut minum agar menghilangkan kecurigaan Yo Tay Ceng maupun Ciok Leng. Mereka sudah membuat rencana akan melaksanakan siasat keji itu di tempat yang berbahaya esok harinya."

"Kalau begitu, benda pusaka itu ada di tangan Kiauw Sek Kiang, kenapa dari nada bicaranya dia tidak dapat apa- apa?" kata Siang Hoa.

"Karena yang gagah ada lagi yang lebih gagah, sekalipun siasat mereka bagus, tapi ada orang lain yang mengerjai mereka!" kata Kho-si. "Siapa orang yang ikut dalam muslihat yang mereka jalankan itu?" kata Kiat Bwee. "Sampai sekarang aku juga tak tahu. Ayahku mencurigai Khu Kong, paman guru nona Wan!" kata Kho-si.

"Kenapa dia yang dicurigai?" kata nona Wan.

"Baik, tapi akan kuceritakan dulu kejadian malam itu," kata Kho-si. "Sesudah obat bius dicampur dalam air minum itu diminum. Semuanya tertidur. Lewat tengah malam, muncul orang bertopeng ke kamar mereka. Kho Kiat mengira orang bertopeng itu Kiauw Sek Kiang, su-hengnya. Tapi dia heran karena sang su-heng datang lebih cepat dari perjanjian. Untuk menghilangkan kecurigaan Yo Tay Ceng dan Ciok Leng, dia berteriak.

"Maling! Maling!" kata Kho Kiat pura-pura.

Kemudian Kho Kiat berpura-pura bertarung dengan orang bertopeng itu, diajuga akan berpura-pura terluka dan mengalah. Kho Kiat tidak menyangka kalau orang bertopeng itu menyerang dia dengan sungguh-sungguh. Malah memukulnya dengan hebat. Dengan demikian, Kho Kiat pun terpukul tak sanggup bangun. Yo Tay Ceng dan Ciok Leng bangun dan bertarung dengan orang bertopeng itu. Karena tenaga mereka berkurang, Yo Tay Ceng dan Ciok Leng pun tertotok oleh orang bertopeng itu. Sesudah itu dengan cepat orang bertopng itu membawa kabur kota benda pusaka itu."

"Oh, tak diduga," kata Siang Hoa. Kiat Bwee pun ikut heran.

"Memang semua itu di luar dugaan," kata Kho-si. "Mereka juga heran mengapa dengan mudah mereka dikalahkan orang bertopeng itu. Lama-lama Ayahku sadar bahwa orang bertopeng itu bukan su-hengnya. Tapi karena tidak jelas, dia mengira itu perbuatan su-hengnya. Di antara mereka bertiga, hanya Ayahku yang tidak tertotok. Kho Kiat akan membebaskan totokkan kawan-kawannya, tapi saat melihat wajah kedua kawannya, Ayahku jadi sangsi..."

"Kenapa?" tanya Kiat Bwee.

"Wajah kedua kawannya tampak gusar dan penasaran. Tapi karena tertotok mereka tak bisa bicara. Tapi dari wajahnya Ayahku tahu kalau dua kawannya mencurigai dia yang memasukkan racun ke dalam minuman mereka. Karena Ayahku tahu dia bersalah, ditambah lagi dia ingin tahu masalah itu. maka ditinggalkannya Yo Tay Ceng dan Ciok Leng begitu saja, karena Ayahku akan mencari Kiauw Sek Kiang." kata Kho-si.

"Untung saat itu dia tidak membunuh Ayahku dan ayah Siang Hoa," pikir Kiat Bwee.

Melihat wajah Kiat Bwee dia bisa menerka apa yang dipikirkan nona itu.

"Sejahat apapun Ayahku, dia tidak sejahat Kiauw Sek Kiang." kata Kho-si. "Sejak kejadian itu pikiran Ayahku tersiksa sendiri. Dan sejak saat itu pula dia tidak pernah bertemu lagi dengan ayah kalian!"

"Bagaimana dengan Kiauw Sek Kiang?" kata Kiat Bwee. "Karena sudah berjanji akan bertemu di suatu tempat, dia menemui Kiauw Sek Kiang. Tapi Kiauw Sek Kiang heran karena Ayahku tidak membawa benda pusaka itu. Sedang Ayahku curiga kalau Kiauw Sek Kiang sedang bersandiwara. Dia tanya apa orang yang bertopeng bukan Kaiuw Sek Kiang. Ketika dijawab bukan, Kho Kiat mengisahkan kejadian yang dialaminya. Kiauw Sek Kiang heran dan tak percaya. Dia siksa Ayahku hingga kepayahan, tapi karena memang bukan Ayahku pelaku pencurian  benda  itu,  dia  tidak  mengaku.  Sesudah  yakin tidak akan berhasil, Kiauw Sek Kiang meninggalkan Ayahku yang luka-parah. 'Kau kuampuni demi pusaka itu, jika kau masih berkeras tak mau menyerahkan lukisan itu, maka kau akan kusiksa lebih berat lag.' kata Kiauw Sek Kiang mengancam, sebelum dia pergi."

"Jahat sekali dia, padahal yang dia siksa su-tenya," kata Ciauw Siang Hoa.

"Menyedihkan keadaan Ayahku waktu itu," melanjutkan Kho-si. "Ketika itu aku baru berumur sepuluh tahun, ayah hanya semalam di rumah, esoknya dia kabur sambil membawaku. Dia takut dicari oleh su-hengnya, juga takut pada Yo Tay Ceng dan Ciok Leng. Kami bersembunyi di sebuah dusun sampai luka Ayahku sembuh. Aku ingat pada usia sepuluh tahun itu. Ayahku memanggilku. Ayah berkata, 'Nak, aku menyesal karena serakah menginginkan lukisan itu, maka jadi begini. Tapi mati di tangan Kiauw Sek Kiang aku tidak rela!" kata Ayah. Aku mengangguk dan berjanji akan membalas dendam pada musuh Ayahku. Sambil tersenyum dia berkata, 'Bagus! Tapi Ayahpun tak mampu melawan Kiauw Sek Kiang, bagaimana kau?' kata ayahku. Tapi aku berjanji pada Ayahku akan mencari guru yang pandai. Aku yakin ada orang yang lebih gagah dari Kiauw Sek Kiang.

'Guru yang pandai pasti ada," kata ayahku. 'Tapi sulit mencarinya. Tetapi adajalan yang singkat..." Aku tanyakan pada Ayah bagaimana. "Cari lukisan itu, jika kau bisa mempelajarinya, tak ada orang yang mampu menandingimu,* kata ayah. 'Jangan lupa cari juga orang bertopeng itu. Sekalipun dia tidak sejahat Kiauw Sek Kiang, dia tetap musuhku!' Lalu kubilang pada Ayahku, barangkali lukisan itu pembawa sial. Tetapi Ayahku teguh pada pendiriannya, bahkan sampai mati dia tetap penasaran kalau  tak  mendapatkan  benda  itu.  Terpaksa  aku berjanji akan memenuhi keinginan Ayahku. Tiba-tiba Ayahku bilang, "Dulu aku tak tahu siapa dia, tapi sekarang aku sudah tahu.'Aku bertanya, "siapa orang itu?"

Kho-si menghentikan ceritanya karena dia harus minum.

Semua yang mendengar ingin tahu lanjutan ceritanya.

"Kemudian Ayahku membuka bajunya, di bagian perutnya terdapat tanda telapak tangan berwarna ungu." Kata Kho-si.

"Sekarang aku mengerti," kata nona Wan. "Kenapa ayah Suci mengira yang melukainya adalah Khu-su-pek!"

"Ya," kata Kho-si. "Menurut Ayahku, luka itu disebabkan pukulan Tok-liong-ciang yang dilatih oleh Khu Kong."

"Aku kira Su-ci salah, ada lagi pukulan yang berciri mirip itu!" kata nona Wan.

"Pukulan apa?" tanya Kho-si.

"Cit-sat-ciang milik Kiong Cauw Bun," kata nona Wan. "Aku dengar pukulan itu berbeda luka Tok-liong-ciang

berwarna ungu, dan luka Cit-sat-ciang katanya berwarna hitam," kata Kho-si.

"Benar, tapi warna hitam itu baru timbul sesudah selama setengah tahun," kata nona Wan. "Jika dalam tiga bulan korban itu mati, warna bekas pukulan itu akan berwarna ungu kemudian baru hitam. Apa kau tak memperhatikannya?" kata nona Wan.

"Aku lupa, waktu itu aku masih kecil, mana berani aku memeriksa bekas luka Ayahku? Aku dengar Kiong Cauw Bun pernah bertanding dengan ayahmu dan dia kalah satu jurus. Dan aku dengar Cauw Bun baru berhasil sesudah dibantu oleh ayahmu, begitu bukan?" "Benar," kata nona Wan. "Dulu Ayahku dan dia bersahabat, tapi sekarang mereka bermusuhan."

"Jika dia punya lukisan itu, aku pikir tak mungkin dia bisa dikalahkan oleh ayahmu," kata Kho-si.

Dari ucapannya dia masih sangsi kalau orang bertopeng itu adalah Khu Kong, paman guru Wan Say Eng.

"Sekarang kau jangan pedulikan, siapa orang bertopeng itu," kata nona Wan. "Jika ayahmu mencurigai Khu Su-pek, maka Ayahmu menyuruh kau berguru pada Khu Su-pek, bukan? Tapi aku heran, mengapa Su-pek mau menerimamu?"

Khu Kong tinggal di Coa-to (Pulau Ular), pulau ini berada di bagian utara ratusan li dari Beng-shia-to. Nona Wan pun belum pernah ke sana. Ayahnya pernah beberapa kali ke sana. Ketika Kok Siauw Hong berguru pada Khu Kong, dia tidak pernah cerita kalau Khu Kong punya murid.

"Jika aku jelaskan, pasti kalian tidak percaya," kata Kho- si. "Kiauw Sek Kiang yang membantuku hingga aku diterima oleh Paman gurumu."

"Heran?" kata nona Wan. "Orang she Kiauw itu musuh besar kita, masa kau berani minta bantuannya? Setahuku Khu Su-pek dan Ayahku bermusuhan dengan Kiauw Sek Kiang. Bagaimana kau bilang dia yang membantumu?"

"Aku juga sangsi saat Ayahku merencanakan hal itu," kata Kho-si. "Tapi Ayah bilang,jika kau bertekad menuntut balas, caranya dengan pura-pura bekerja sama dengan musuh. Dengan demikian kau bisa mencuri benda pusaka itu. Jika kau bekerja-sama dengan Kiauw sampai gambar itu diperoleh, jangan kau serahkan gambar itu kepadanya. Baru kau bisa membalas dendamku." "Aku heran, mengapa keduajago itu bisa kau kelabui?" kata nona Wan.

"Setelah Ayahku meninggal, beliau  meninggalkan sebuah suat wasiat, isinya agar aku menemui Kiauw Sek Kiang. Dalam surat Ayahku memohon pada Kiauw Sek Kiang agar dia mau mengajari ilmu silat kaum sendiri. Jika dia mau Ayahku berjanji akan memberinya upah yang berharga." kata Kho-si.

"Pasti lukisan pusaka itu," kata nona Wan. "Ayahmu cerdas, dengan iming-iming lukisan itu tentu Kiauw Sek Kiang akan bersedia membantumu!"

"Benar, Kiauw Sek Kiang tertarik, dia bilang dia dan Ayahku itu saudara seperguruan, sekalipun mereka ribut berebut pusaka, tapi hubungan baik tetap terjaga. Dia bilang diajuga punya kewajiban melindungiku. Karena ayahmu berjanji, aku ingin tahu apa balas jasa dari ayahmu itu. Tapi Ayahku minta kau bersumpah dullu, baru kuberi tahu," kataku.

Kiauw Sek Kiang tertawa. Dia tak percaya, mana mungkin ayahku memintanya bersumpah dulu. Tapi akhirnya dia bersedia bersumpah "mungkin demi benda pusaka itu", maka dia pun bersumpah berat, katanya 'Jika dia melanggar janji, dia bersedia dihajar oleh orang bertopeng itu."

"Aah, sumpah begitu sama saja dengan tidak bersumpah," kata Kiat Bwee. "Dia tak kenal dengan orang bertopeng itu. Jadi mana mungkin orang itu akan memukul dia?"

"Sesudah itu aku berkata padanya," kata Kho-si melanjutkan ceritanya. "Aku bilang Ayahku sudah tahu, siapa orang bertopeng itu. Jika kau tidak percaya aku tak melanjutkan ceritaku. Akhirnya  Sek  Kiang mengaku, 'Aku memang sangsi ayahmu itu bohong padaku," kata dia. 'Sekarang mau tak mau aku percaya! Siapa dia?' Kukatakan bahwa orang itu Khu Kong. Ia terperanjat. 'Khu Kong ilmu sulatnya lebih tinggi dariku, janji upah dari ayahmu itu artinya omong kosong. Kecuali kau mau menuruti saranku,' kata Kiauw Sek Kiang. Lalu aku tanyakan bagaimana caranya. 'Akan kuusahakan agar kau jadi murid Khu Kong, kau nanti usahakan untuk mencuri benda pusaka itu darinya untukku," kata Kiauw Sek Kiang. Karena gagasan itu sesuai rencana Ayahku, aku terima permintaannya."

"Rupanya dia percaya padamu," kata nona Wan.

"Dia kira aku anak bodoh yang bisa dia kelabui," kata Khosi. "Selama aku di rumahnya dia baik padaku, dia berusaha menyenangkan hatinya. Rencana selanjutnya, jika aku berhasil mencuri lukisan itu, maka aku akan mempelajarinya dan tak memberikan padanya."

"Bagaimana caranya sampai kau bisa diterima berguru pada Khu Kong?" tanya nona Wan.

"Dia nengajari aku, bagaimana aku harus bicara. Setelah itu aku diajak ke kapal bajaknya. Sampai di Coa-to aku dibuang di pulau itu," kata Kho-si.

"Hatimu tabah sekali, Su-ci. Aku dengar di pulau itu banyak ular, jika aku mungkin sudah mati karena ketakutan," kata nona Wan.

"Saat itu umurku sekitar  tahun, tentu saja akupun takut," kata Kho-si. "Tapi kupikir, jika aku tak mau menentang bahaya, mana mungkin aku bisa membalas dendam? Ketika aku baru menginjakkan kakiku di sana. memang banyak ular menghampiriku. Sebelum ular-ular itu menyerangku, terdengar suara suitan. Ular-ular itu menyingkir dariku. Aku pingsan, saat sadar aku merasa ada orang yang memondongku. Saat kubuka mataku aku berada di sebuah kamar. Seorang kakek berwajah merah dan berambut putih mengawasiku sambil tersenyum. Dia membujukku agar aku tidak takut. Dia mena-nyakan bagaimana aku bisa ada di pulau itu.

"Pasti dia Khu Su-pek!" kata nona Wan.

"Ya. Kemudian kureka cerita bohong, bahwa aku sedang melakukan perjalanan bersama ayah-ibuku. Tapi malang kapal kami diserang perompak, orang tuaku kukatakan terbunuh. Karena aku sering menangis dan memaki, kawanan perampok marah lalu membuangku ke pulau Coa- to agar aku dimakan ular. Khu Kong percaya saja, apa lagi dia juga sempat melihat kapal bajak lewat di pulaunya. Maka itu aku dijadikan muridnya." kata Kho-si.

"Pantas Khu-su-pek sangat sayang padamu," kata nona Wan

Wajah Kho-si berubah merah.

"Ya, aku berdosa besar pada Guruku. Dia demikian sayang padaku, aku malah bermaksud jahat. Selama tujuh tahun aku berada di sana, aku sangat disayang. Padahal aku menganggap dia musuh ayahku. Aku punya banyak kesempatan jika saja aku mau membunuh beliau. Tapi karena Guruku sangat baik, maka kupikir membunuh Ayahku sudah terbayar oleh kebaikannya. Maka niatku mencuri benda pusaka itu aku batalkan."

"Dari ceritamu, aku rasa bahwa kau sangsi kalau orang bertopeng itu bukan gurumu, ya kan?" kata nona Wan.

"Benar, untung aku tak mencelakainya," kata Kho-si. "Suatu hari dia pergi mencari ikan, kesempatan itu kugunakan untuk masuk ke kamarnya. Kuperiksa semua peti dan lemari. Aku menemukan sebuah buku kecil. Dalam buku iti terdapat peta tubuh manusia, juga catatan menggunakan ilmu tiamhiat (totok). Itu jelas bukan benda pusaka, tapi mungkin saja salinan dari benda pusaka itu. Tapi aku pikir jika aslinya tak kutemukan, salinanyapun boleh juga! Karena lama tinggal di pulau itu, aku juga bisa mengayuh perahu. Aku juga sering naik perahu kecil pesiar di sekitar pulau itu. Malam itu aku lalu naik perahu dan kabur dari pulau itu. Dengan menempuh sedikit bahaya akhirnya aku sampai ke daratan lain."

Kemudian Kho-si mengambil buku kecil itu dan diserahkan pada nona Wan.

"Aku berdosa pada Suhu, bahkan tak bisa minta ampun di depan makamnya. Maka itu buku kecil ini kuserahkan padamu, Su-moay. Aku harap kau serahkan buku ini pada Su-siok, ayahmu!" kata Kho-si.

Setelah memeriksa buku kecil itu nona Wan tertawa.

"Ini memang bukan kitab pusaka itu, tapi ini ilmu totok perguruan kita," kata nona Wan. "Tapi kitab ini jerih payah kakek-guru kita."

"Guru belum mengajariku ilmu tiam-hiat, mungkin bakatku kurang, Maka itu aku berlatih sesuai buku itu. Hampir aku cedera. Sekalipun aku bisa ilmu tiam-hiat itu. tapi untuk melawan Kiauw Sek Kiang belum cukup! Maka itu aku yakin bahwa buku itu bukan benda pusaka yang sedang dicari-cari itu."

"Kau tak bisa mengalahkan dia, tapi dia mau membebaskanmu!" kata nona Wan.

"Memang mengherankan, saat dia hampir mengejarku, tiba-tiba dia terjatuh. Sesudah merangkak bangun tampak dia kebingungan dan langsung kabur! Aku heran, tiba-tiba aku kegatalan dan tak sadarkan diri. Ketika aku sadar, aku tidak terluka dan buku itu terletak di sampingku." Kata Kho-si.

"Pasti itu Seng Cap-si Kouw yang mempermainkanmu," kata Kiat Bwee. "Entah dengan obat apa dia menyadarkanmu?"

"Sekarang aku mengerti," kata Kho-si. "Aku yakin Seng Cap-si Kouw tahu tentang benda pusaka itu. Dia juga menginginkannya. Ketika aku tahu buku kecil itu bukan benda pusaka, dia kembalikan padaku. Dialah yang membuat Kiauw Sek Kiang ketakutan dan kabur! Sesudah aku pingsan, dia geledah tubuhku sampai dia menemukan buku kecil itu! Jika dia mau pasti aku sudah mati di tangannya."

"Jika dia sudah tahu benda pusaka itu tidak ada padamu, kenapa dia datang ingin mencelakakanmu?" kata Siang Hoa.

"Itu mudah dimengerti," kata Kiat Bwee. "Karena kami, tapi Bibi yang kena getahnya!"

"Ya, aku mengerti sekarang," kata Siang Hoa. "Karena benda itu tidak ada di tangan Khu Kong, dia anggap Kho Kiat telah membohonginya. Mungkin dia kira benda itu ada di tangan ayahmu atau Ayahku. Karena kau mau merawatku, dia kira Ayahku punya benda itu, dan kau menginginkan lukisan itu!"

Ucapan Siang Hoa membuat wajah Kho-si berubah merah, sbab apa yang dikatakan Siang Hoa benar. Dia memang berkeras ingin mengangkat anak, karena lukisan itu. Dia tidak curiga kalau ayahnya membohonginya.

Waktu itu di kamar sangat gelap, mungkin dia kira siapa tahu lukisan itu sudah disembunyikan oleh Yo Tay Ceng dan Ciok Leng. Sedang kotak gambar yang dibawa orang bertopeng itu mungkin barang lain. Karena Kho Kiat tidak melihatnya dengan jelas, maka dia pikir lukisan itu sudah dibawa kabur oleh orang bertopeng itu. Karena salah duga itu Kho-si jadi malu bukan main.

"Kenapa kau. Bu?" tanya Siang Hoa kaget.

"Jika benar aku memungutmu jadi anak angkatku karena lukisan itu, masihkah kau mau mengaku aku sebagai ibumu?" kata Kho-si.

"Mengapa Ibu berkata begitu, sedangkan aku ketika kau angkat masih kecil sekali. Darimana aku tahu tentang lukisan itu?" kata Siang Hoa.

"Mungkin benar pikiranku waktu itu begitu," kata Kho-si terus-terang. "Ketika itu aku berharap kalian bisa bertemu dengan ayah kandungmu. Dia pasti akan mewariskan lukisan itu kepadamu. Karena kau merasa berhutang budi padaku, barangkali jika kuminta pun lukisan itu akan kau berikan padaku?"

Mendengar ucapan ibunya itu Siang Hoa tertegun. "Seandainya benar Ibu berpikir begitu, aku tidak merasa

dendam padamu. Tapi dari mana kau tahu Ayahku belum mati?" kata Siang Hoa.

"Sesudah aku tahu buku kecil itu bukan lukisan pusaka yang kucari, langsung kuselidiki keluargamu," kata Kho-si. "Karena aku sangsi, lukisan itu ada pada ayahmu, atau di tangan ayah nona Yo.

Setelah peristiwa itu, karena khawatir perusahaan di mana dia bekerja terlibat, dia minta berhenti dan mengungsi ke daerah Selatan. Taopi aku tidak bisa menemuan jejaknya. Sedang Ciok Leng masih ada di kampung halamannya. Aku pernah ke kampungmu, yaitu sesudah keluargamu   diserang   para   perampok.   Aku menemukan budak ayahmu terluka. Sesudah kuobati dia bilang Ciok Leng terluka parah walau lolos dari sergapan perampok." Ciauw Siang Hoa kaget dan girang.

"Jika Ayah masih hidup, kenapa tak ada kabar apa-apa tentang dirinya?" kata Siang Hoa.

"Aku duga ayahmu tahu, bajak yang menyerbu ke rumahmu itu pasti komplotan Kiauw Sek Kiang," kata Kho-si. "Mungkin dia sedang belajar silat lagi, sebelum sempurna dia tak berani muncul. Dia takut persembunyiannya diketahui orang she Kiauw!"

"Bu, tidak kukira riwayatku begitu rumit," kata Siang Hoa.

"Aku juga merasa berdosa pada ayah angkatmu, apalagi hal ini sampai sekarang masih aku rahasiakan," kata Kho-si. "Ketika kedua kalinya aku didatangi Kiauw Sek Kiang, ayah angkatmu yang menyelamatkan aku. Aku telah berbohong pada ayah angkatmu, malah aku pun rela menjadi isteri muda ayah angkatmu. Dia baik kepadaku, maka itu akupun berat meninggalkan dia. Apa yang kujelaskan padamu, boleh kau katakan pada ayah angkatmu!"

"Aah, kenapa aku yang haru cerita pada Ayah, kenapa bukan Ibu sendiri?" pikir Siang Hoa.

Karena tak ingin menyusahkan ibunya, dia tidak bertanya, hanya berkata.

"Terima kasih atas keterangan Ibu," kata Siang Hoa. "Mngkin kau lelah, silakan Ibu istirahat saja."

"Tidak, sebab masih ada yang akan kubicarakan," kata Kho-si. "Nona Yo, kau ke mari!"

"Ada apa, Bi?" "Ayah kalian bersahabat," kata Kho-si. "Sejak kecil kalian juga sama-sama teraniaya oleh penjahat. Sekarang kalian saling bertemu, ini sudah takdir! Selanjutnya kalian harus tetap bersatu, maukah kau nona Yo?"

Wajah Kiat Bwee berubah merah.

"Sekarang aku tahu asal-usulku. Kakak Hoa sudah kuanggap sebagai saudara kandungku," kata Kiat Bwee.

Ibu Siang Hoa batuk-batuk.

"Tidak, bukan itu masudku, tapi aku ingin....." tapi sebelum ucapan ibunya selesai sudah dipotong oleh Siang Hoa.

"Sudah Bujangan khawatirkan kami. Masalah itu mudah kita bicarakan kelak," kata Siang Hoa. "Terutama sesudah Ibu sembuh!"

"Aku tidak yakin akan sembuh!" kata ibunya.

"Sekalipun aku tidak bisa mengobati Bibi, tapi bukan berarti Bibi tidak akan sembuh," kata Kiat Bwee.

"Aku tahu, untuk memunahkan racun aku harus minta kepada orang yang meracunku," kata Kho-si. "Karena seumur hidupku sudah tersiksa, jadi tak ingin aku tersiksa lagi oleh si Iblis Perempuan itu!"

Tak lama Kho-si muntah darah.

"Bu, bagaimana keadaanmu?" kata Siang Hoa. Dia rasakan tangan ibunya dingin.

Bibir Kho-si bergerak-gerak. Kiat Bwee dan Siang Hoa menghampirinya.

"Aku... aku tak ingin menyusahkan keluarga Ciauw. Jika aku mati, pasti Seng Cap-si Kouw tidak akan menyusahkan mereka lagi! Aku orang yang berdosa, apa yang menimpa diriku, itu suatu ganjaran yang adil dan setimpal. Nona Yo, aku minta kabulkan keingiananku. Karena itu aku akan meninggal dengan tenang. " kata Kho-si.

Mungkin dengan sengaja Kho-si memutuskan urat nadinya, ucapan yang terakhir membuat napasnya lemah. Kiat Bwee mendekat, tanpa disadari dia jadi berdekatan dengan Siang Hoa.

"Baik, Bi. Aku berjanji!" kata Kiat Bwee.

Kho-si tersenyum pedih. Akhirnya Kho-si pun meninggal.

Sementara itu Ci Giok Phang sedang menemani Hoa Kok Han di ruang tamu. Tiba-tiba mereka mendengar suara tangis di kamar.

Tak lama nona Wan dan Kiat Bwee keluar memberi tahu mereka, bahwa Kho-si telah tiada.

"Kenapa bisa meninggal begitu saja?" kata Hoa Kok Han.

Nona Wan hanya menghela napas.

Hoa Kok Han hanya mengangguk, karena tahu mungkin masalah pribadi.

"Tuan rumah sedang sakit, isterinya meninggal pula. Sedangkan Nona Yo tidak bisa segera pergi. Sebaiknya kami pamit saja" kata Hoa Kok Han.

Kiat Bwee mengantar kepergian Hoa Kok Han. Kepada nona Wan, Kiat Bwee berkata, "Jika masalah di sini sudah selesai, aku dan Siang Hoa pasti akan ke Kim-kee-leng. Selamat jalan!"

-o-DewiKZ^~^aaa-o- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar