Beng Ciang Hong In Lok Jilid 33

Saat orang sedang bicara Bu Hiang Kam menyela. "Sebagai tetangga kita wajib saling membantu, baiklah

aku pulang dulu untuk memberitahu Ayahku," kata Bu Hian Kam.

"Dia benar Ayah, mengapa kita tidak menerima bantuan mereka?" kata Ciauw Siang Hoa.

"Aku tidak ingin merepotkan orang lain," kata ayahnya.

Sebenarnya Ciauw Goan Hoa pun tidak rela meninggalkan harta-bendanya. Tapi jika dia mau minta bantuan ayah Bu Hian Kam, dia khawatir rahasia pribadinya akan diketahui orang lain.

"Sekalipun kita dibantu rasanya sulit untuk melawan mereka," kata Kho-si. "Daripada menyusahkan orang lain, lebih baik kita pergi saja. Anakku, jika ingat bagaimana aku membesarkanmu, kau ikut dengan kami."

Dia awasi anak lelakinya itu.

"Nak, kau harus ikut. Kita tidak pantas merepotkan orang lain," kata ayahnya tegas.

"Tidak Ayah, aku tidak mau pergi!" kata Ciauw Siang Hoa.

"Jika kau masih menganggap aku ayahmu, kau harus ikut. Aku tidak ingin kau mati sia-sia di sini!" kata Ciauw Goan Hoa.

Melihat ayahnya bersungguh-sungguh, akhirnya Siang Hoa mengalah juga. "Baiklah, Ayah. Silakan saudara Bu dan Nona Liong pulang. Terima kasih atas bantuan kalian!" kata Ciauw Siang Hoa.

Tiba-tiba terdengar suara tongkat beradu dengan lantai rumah.

"Siapa yang bilang mau pergi dari sini?" kata seorang wanita tua memakai tongkat.

Orang itu isteri pertama Ciauw Goan Hoa, dia she Lauw.

"Isteriku, kau tidak tahu masalahnya," kata suaminya. "Siapa yang tidak tahu? Tidak tahu tentang apa?" jawab

sang isteri tua. "Hm! Demi isteri-mudamu kau ingin meninggalkan kami berdua, kan?"

"Kakak jangan salah paham." kata Kho-si. "Ini semua salahku hingga kalian ikut susah. Musuh sangat lihay, kami terpaksa menghindarinya. Jika harus pergi pasti kami akan pergi bersama-sama!"

"Hm! Goan Hoa," kata Lauw-si pada suaminya. "Mana keberanianmu dulu! Apa kau benar-benar takut pada musuhmu? Atau karena kau ingin melindungi isteri- mudamu? Sudah lama aku bungkam, tapi sekarang aku harus ikut bicara! Kau mengangkat anak lelaki yang kau katakan anak kandungmu. Apa kau tidak malu ditertawakan oleh orang luar?"

"Ibu, bukan aku ingin membohongimu, tapi semua ini atas kehendak Ayah," kata Ciauw Siang Hoa. "Jangan salah duga, Aku tidak ingin menguasai harta keluarga Ciauw. Tapi jika Ibu melarang kami pergi, aku sangat setuju! Jika sakit hatiku sudah terbalas, pasti aku akan meninggalkan kalian semua!" "Kalau begitu, baik," kata Kho-si. "Biar aku pergi sendiri saja!"

"Kau juga jangan pergi, Bu!" kata Ciauw Siang Hoa. "Bu, sudah jangan ribut," kata Ciauw Siauw Yauw pada

ibu kandungnya. "Kakak Siang Hoa, aku tidak peduli kau siapa? Tapi kau tetap Kakakku!"

Tanpa terasa dua muda-mudi ini menangis.

"Hm! Ibu-mudamu telah menotokmu, kau malah membela dia!" kata ibu kandung Ciauw Siang Yauw.

"Bu, kita selama ini hidup rukun. Saat menghadapi musuh seharusnya kita semakin bersatu," kata Ciauw Siang Yauw.

Dia rangkul ibu kandungnya dengan mesra.

"Ibu menotokku, mungkin dia khawatir aku tidak bisa melawan musuh," kata Siang Yauw.

Mendengar jawaban adiknya. Siang Hoa kaget. Biasanya Siang Yauw kurang cocok dengan ibu keduanya. Tapi kali ini dia bicara begitu di luar dugaannya. Dengan gagah Ciauw Siang Hoa berdiri dan berkata dengan lantang.

"Seandainya kita harus mati di sini, biarlah kita mati bersama-sama!" kata Siang Hoa.

"Baik, anak Hoa! Jika kita sudah menyelesaikan masalah ini, dan kita tidak binasa, maukah kau pergi dari sini bersamaku?" kata Kho-si.

"Mau, Bu," jawab Ciauw Siang Hoa.

"Kakak, sejak saat ini aku tidak akan ikut campur urusan keluarga Ciauw. Aku tinggal di sini hanya untuk beberapa hari saja," kata Kho-si pada isteri tua Ciauw Goan Hoa. "Maka jika musuh itu datang, biar aku dan si Hoa yang menghadapinya!"

"Hm! Selama ada di sini, kau masih kuanggap keluargaku!" kata Lauw-si. "Musuh setangguh apapun kami tidak takut. Kami tidak akan bersembunyi, tapi akan menghadapinya bersama-sama!"

"Terima kasih, Kak," kata Kho-si.

Kho-si kembali ke kamar nya sambil menangis sedih. Sesudah itu redalah keributan di antara keluarga. Bu

Hiang Kam lagi-lagi mengajukan usul akan minta bantuan ayahnya.

"Tidak!" kata Lauw-si. "Urusan keluarga Lauw tidak perlu bantuan orang lain!"

"Orang itu musuhku juga!" kata Kiat Bwee ikut dongkol. "Aku kira mereka datang bukan hanya untuk keluarga Ciauw!"

Akhirnya Ciauw Goan Hoa memutuskan.

"Baik, kalian boleh tinggal di sini, tapi sebelum musuh datang kalian tidak boleh ke mana-mana!" kata Ciauw Goan Hoa.

Dia tidak ingin Bu Hiang Kam pergi minta bantuan pada ayahnya.

"Baik," kata Bu Hian Kam.

Pintu pagar segera dikunci. Tapi malam itu tidak ada kejadian apa-apa.

"Ayah, kenapa kita jadi tegang begini?" kata Ciauw Siang Yauw. "Musuh minta bantuan, tidak mungkin dia bisa segera datang ke mari!" "Jangan rewel, kau tahu apa? Orang she Kiauw itu jago Rimba Hijau, anak buahnya di mana-mana. Siapa tahu dia sudah ada di sekitar kita. Kita harus siaga!" kata ayahnya.

Ketika keadaan mulai hening, saat itulah salah seorang penjaga pintu pagar datang melapor.

"Tuan, di luar ada orang yang mengetuk pintu, kata orang itu dia sedang mencari seorang nona bernama Tik Bwee!" kata si penjaga.

"Tik Bwee, di sini mana ada nona yang bernama Tik Bwee?" kata Ciauw Goan Hoa.

Mendengar pembicaraan ini, Kiat Bwee bersama Liong Thian Hiang keluar.

"Akulah Tik Bwee," kata Kiat Bwee alias Tik Bwee. "Siapa yang mencariku?"

"Hm! Aku kira, jika kau yang dicari siapa lagi kalau bukan Kiauw Sek Kiang. Aneh, cepat sekali mereka tiba?" kata Ciauw Goan Hoa.

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Ciauw Goan Hoa mengira orang yang mencari nona Kiat Bee alias Tik Bwee itu Kiauw Sek Kiang dan konco- konconya. Tetapi penjaga pintu memberi penjelasan.

"Mereka bukan orang yang Tuan sebutkan, tapi sepasang muda-mudi yang wajahnya cakap," kata si penjaga pintu. "Mereka tidak mirip orang jahat!"

Kebetulan sebelum penjaga ini melapor, dia sempat mengintai tamu itu dari celah pintu pagar rumah.

Mendengar keterangan penjaga pintu, Ciauw Goan Hoa sangsi. Dia tahu Kiauw Sek Kiang dan kawan-kawannya berusia hampir limapuluh tahun semuanya. Sedang dari keterangan penjaga pintu jelas mereka bukan orang Kiauw Sek Kiang. Yo Kiat Bwee jadi sedikit gelisah.

"Orang yang tahu aku bernama Tik Bwee hanya keluarga marga Seng, sedang tamu itu sepasang muda-mudi. Apa barangkali mereka Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian?" pikir Tik Bwee.

Saat semua sedang bimbang Ciauw Goan Hoa berkata. "Baiklah,  suruh  mereka  masuk!  Aku  ingin  tahu  siapa

mereka   itu?   Beraninya   dia   datang   mencari   bahaya di

tempatku!" kata Ciauw Goan Hoa.

Penjaga pintu segera berlalu akan membukakan pintu. Tak lama masuk seorang pemuda tampan bersama seorang nona cantik yang rambutnya mengenakan pita kupu-kupu.

Sesudah mengawasi ke sekitarnya, yang wanita berkata lembut.

"Yang mana yang bernama Kak Tik Bwee?" kata si nona.

Sedang yang lelaki memberi hormat pada tuan rumah. "Paman, pasti Anda Ciauw Lo-cian-pwee. Maafkan kami

mengganggu ketentraman Paman sekalian!" katanya.

Tik Bwee tercengang, dia tidak kenal pada dua muda- mudi ini. Tapi sesesudah agak lama dia perhatikan, dia ingat pernah bertemu, tapi entah di mana?

"Sebenarnya kalian siapa?" kata Ciauw Goan Hoa.

Ciauw Goan Hoa jadi ragu, tapi jika mereka musuh tidak mungkin mereka sesopan itu pikirnya.

"Akulah Tik Bwee, tapi siapa kalian? Rasanya aku belum kenal dengan kalian!" kata Tik Bwee. "Aku Ci Giok Phang dari Pek-hoa-kok, dan nona ini bernama Wan Say Eng dari Beng-shia-to!" kata si pemuda.

Saat mendengar nama Beng Shia-to disebut-sebut., Tampak Ciauw Goan Hoa girang.

"Jadi nona puteri Beng-shia To-cu Wan Ceng (Kim) Liong?" kata Ciauw Goan Hoa.

"Benar, Paman. Aku ini puterinya," kata Wan Say Eng.

Tik Bwee baru ingat mengapa ia seolah sudah kenal dengan pemuda itu, karena pemuda itu kakak Ci Giok Hian. Wajah Ci Giok Phang dan Ci Giok Hian memang agak mirip.

"Nona Wan, aku memang sudah tahu nama besar ayahmu. Tetapi selama ini kami belum saling mengenal. Lalu mengapa Nona mencariku?" kata Ciauw Goan Hoa.

"Oh itu! Begini Paman Ciauw, aku datang untuk mencari Enci Tik Bwee ini!" kata Wan Say Eng.

"Dari mana kau tahu aku ada di sin?" kata Tik Bwee alias Kiat Bwee.

"Anak buah Kiauw Sek Kiauw pernah mengacau di sini, bukan?" kata Ci Giok Phang.

"Ya, memang begitu," kata Ciauw Goan Hoa. "Dia kabur setelah terluka oleh Nona Yo. Dari mana kau tahu mengenai hal itu?"

"Kebetulan kami bertemu dengan orang itu!" kata Giok Phang.

Ayah nona Wan berjanji pada Kiong Cauw Bun akan mencari See-bun Souw Ya untuk merebut kitab silat milik keluarga Suang. Maka dengan tidak menunggu sampai luka Ci Giok Phang sembuh dengan seorang diri Wan Kim Liong berangkat ke Tiong-goan. Selang beberapa waktu kemudian, luka Ci Giok Phang pun sembuh. Ketika terkenang kampung halamannya Ci Giok Phang ingin kembali ke Tiong-goan, Wan Say Eng pun ikut bersama Ci Giok Phang.

Sesudah hilang rasa kangennya, Ci Giok Phang yang tahu adiknya Ci Giok Hian pergi ke Kang-lam, lalu berangkat bersama Wan Say Eng untuk mencari adiknya.

Suatu hari mereka tiba di daerah Ciauw-yang-kwan.

Di tempat ini mereka menyaksikan pemandangan indah di To-hoa-nia. Si tempat itu banyak pohon Toh yang membuat mereka kagum sekali.

Ketika mereka sedang menikmati pemandangan indah itu, lewatlah sebuah kereta. Mereka tertarik saat mendengar percakapan orang di atas kereta itu. Sesekali terdengar rintihan kesakitan. Ci Giok Phang dan nona Wan curiga, apalagi suara itu seperti dikenalnya. Rupanya orang itu anak buah Kiauw Sek Kiang.

"Gadis busuk bernama Tik Bwee itu.. Jika tertangkap olehku akan kubeset kulitnya!" kata orang yang merintih itu.

"Kau tidak takut pada Seng Cap-si Kouw?" kata kawannya.

"Kenapa harus takut? Aku yakin Kiauw Toa-ko pun tidak takut padanya. Apalagi aku dengar gadis sial itu kabur dari tempat Seng Cap-si Kouw, mana berani dia minta bantuan pada Seng Cap-si Kouw?" kata orang yang merintih itu.

"Kiauw Toa-ko hanya ingin menahan gadis busuk itu, jadi tidak mudah kau membeset kulitnya," kata kawannya. "Kau benar, budak itu masih ada harganya bagi Kiauw Toako, tapi sebelumnya aku ingin menyiksa gadis itu!"

"Itu mudah jika kau mau, apa susahnya?" kata kusir kereta. "Aku tahu cara menyiksanya, jika kau mau akan kuajari!"

Mereka bicara seenaknya, karena saat itu tidak menyangka kalau di tepi jalan ada oranp mendengarkan pembicaraan mereka.

Saat Kiauw Sek Kiang dan anak buahnya datang ke Bengshia-to, saat itu Jiauw ikut rombongan Kiauw Sek Kiang. Kebetulan Ci Giok Phang dan Wan Say Eng pernah bertarung dengannya. Sekalipun wajahnya tidak jelas dalam kegelapan, namun mereka masih mengenali suaranya.

Mereka mengetahui nama Tik Bwee dari Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Menurut nona Han saat di tempat Seng Cap-si Kouw, Ci Giok Hian akrab dengan Tik Bwee. Mendengar nama nona Tik disebut-sebut oleh orang itu, Ci Giok Pang dan nona Wan curiga. Mereka pikir jika mengikuti orang she Jiauw, pasti mereka akan menemukan Ci Giok Hian.

Wan Say Eng mengambil sebuah batu kecil, alu membidik kaki kuda kereta itu. Kuda yang terkena hajaran batu itu, berjingkrak kaget karena kesakitan. Kuda itu pun roboh, sedang keretanya terguling karena tak ada keseimbangan.

"Kurangajar! Kalian berani membegalku, apa kalian buta?" kata kusir.

Kusir ini mengira mereka dibegal oleh begal biasa. "Orang she Jiauw keluar, kau ikut aku ke Beng-shia-to

untuk menghadap Ayahku!" kata Wan Say Eng dengan suara nyaring. Saat dibentak nona Wan, orang she Jiauw itu sedang duduk mendeprok di tanah merasakan sakit yang bukan main. Saat menoleh dan mengenali nona Wan, dia balas memaki.

"Hai bocah sial, ternyata kau! Sekalipun aku sudah terluka, aku masih sanggup membereskan kau!" kata orang she Jiauw.

Kusir kereta terkejut.

"Jadi mereka itu orang dari Beng-shia-to?" katanya.

"Ya, nona busuk itu puteri kesayangan Wan Ceng Liong!" jawab Jiauw. "Jangan cemas ayahnya sedang ke utara mencari See-bun Souw Ya, tidak mungkin ada di daerah selatan!"

"Hm! Siapa bilang aku takut hanya menghadapi dua bocah ingusan ini?" kata kusir orang she Khu.

"Baik, jika kau ingin mampus bersama orang she Jiauw, maju kalian berdua!" kata nona Wan.

"Sabar, menghadapi kalian tak perlu terburu-buru. Aku akan mengisap tembakau dulu," kata orang she Khu itu.

Dia sedang memegang sebuah cangklong berwarna kehitaman, panjangnya satu meter lebih. Mungkin cangklong itu terbuat dari kayu besi. Sedang ujung cangklong itu bulat sebesar cangkir. Kelihatan dia sedang mengisi tembakau pada cangklongnya. Lalu menyalakan api untuk menyulut tembakau.

"Tak perlu menunggu, mari kita serang meeka!" bisik Wan Say Eng pada Ci Giok Phang.

Baru saja nona Wan selesai bicara asap tembakau dari pipa orang she Khu menyambar. Ci giok Phang kaget, dia rasakan kepalanya pening. "Say Eng, awas asap beracun!" Giok Phang memperingatkan.

Nona Wan sedikitpun tidak gentar malah tertawa.

"Hm! Hanya asap tembakau mana bisa mencelakakan aku?" kata nona Wan.

Dia menyerahkan sebuah pil pada Giok Phang.

"Makan pil Phia-sia-tan buatan Ayahku!" kata nona Wan menambahkan.

"Tanpa asap in pun aku bisa menangkap kalian," kata si orang she Khu.

Dia maju dan menyerang dengan pipa panjangnya yang dijadikan sebagai senjata. Saat itu serangannya tertuju pada Ci Giok Phang. Tapi sekalipun sudah menelan obat dari noan Wan, namun kepala Ci Giok Phang masih terasa pusing. Terpaksa dia menangkis serangan lawan sekenanya. Dia hunus pedangnya untuk menangkis pipa lawan.

Orang she Khu itu kaget, ternyata Ci Giok Phang bisa menangkis serangannya.

"Adik Eng, kau yang menangkap orang she Jiauw, bangsat ini biar aku yang menghadapinya!" kata Ci Giok Phang.

"Baik, hati-hati," kata nona Wan.

Sambil menenteng pedang nona Wan menghampiri orang she Jiauw.

"Aku tidak akan melukaimu, tapi jawab pertanyaanku jangan bohong!" kata nona Wan.

Tetapi tiba-tiba orang she Jiauw mengeluarkan sepasang gaetannya, sambil bersandar pada kereta yang terguling, dia serang kaki nona Wan. "Bocah, sekalipun terluka aku tidak takut padamu!" kata orang she Jiauw itu.

"Sreet!"

Nona Wan kaget, hampir saja dia terluka terkena gaetan, untung hanya pakaiannya saja yang kena.

"Kau mau mampus, jangan salahkan aku!" kata nona Wan.

Nona Wan langsung menyerang hingga terjadi pertarungan seru cukup lama. Jika lawan tidak sedang terluka, nona Wan memang kalah setingkat, tapi sekarang orang she Jiauw itu sedang terluka, maka itu dia bertarung sambil bersandar ke kereta agar bisa berdiri dan tidak bisa bergerak. Akibatnya dia terus diserang oleh nona Wan. Lewat tigapuluh jurus orang she Jiauw mulai terdesak.

Ci Giok Phang dan orang she Khu kepandaianya sebanding, saat orang she Khu melihat kawannya terdesak, dia mulai gugup. Akibatnya dia juga terdesak oleh Ci Giok Phang. Saat Ci Giok Phang akan berhasil melukai lawan, dia dengar nona Wan menjerit. Tubuhnya tergelincir ke lereng bukit.

Ci Giok Phang yang kaget, membatalkan serangannya. Dia berlari akan menolongi nona Wan. Tapi saat Ci Giok Phang sampai ke tempat nona Wan jatuh, nona itu sudah bangun lagi.

"Lekas tangkap mereka! Sayang mereka sudah kabur!" kata si nona kesal.

Cepat orang she Khu ini membopong Jiauw dan mereka kabur. Dengan demikian mereka sulit dikejar lagi.

"Eh, bagaimana keadaanmu?" tanya Giok Phang. "Apa kau terluka?" "Tidak, aku tidak terluka," jawab nona Wan. "Lalu kenapa kau tergelincir?"

"Entahlah, akupun tak tahu kenapa?" kata nona Wan. "Padahal dia hampir kukalahkan. Saat akan  kutusuk dengan pedangku, mendadak tungkai kakiku kesemutan. Sakit luar biasa! Rasanya seperti disengat lebah. Maka tanpa kusadari aku tergelincir!"

Ci Giok Phang kaget, karena dia cemas nona Wan terkena senjata rahasia lawan. Saat nona Wan membuka sepatunya, dia melihat ada titik merah walau sudah tidak sakit lagi.

"Aneh," kata Ci Giok Phang, "kejadian ini tidak bisa terjadi karena kebetulan. Pasti ada orang lihay yang menyerangmu, adik Eng!"

"Kau benar. Mungkin karena orang itu ingin melindungi keparat itu, dia serang aku. Tapi mungkin karena takut kepada Ayahku, dia tidak berani melukaiku, begitu kan?" kata nona Wan yang cerdas.

"Aah sayang mereka lolos," kata Ci Giok Phang. "Jika berhasil kita tangkap akan kutanyai tentang adikku!"

"Jika hanya untuk mencari Ci Giok Hian, aku yakin aku juga bisa mencari jejaknya, tidak perlu menanyai mereka!" kata nona Wan Say Eng.

"Bagaimana caranya?"

"Aku lihat luka orang she Jiauw itu baru, pasti dia diserang orang gagah dan kejadiannya belum lama, ya kan?" kata si nona.

"Kau benar, sebab Tik Bwee tidak mungkin bisa melukai orang she Jiauw itu!" kata Giok Phang. "Sepengetahuanku di sekitar tempat ini tinggal pesilat tangguh she Ciauw, namanya Ciauw Goan Hoa!"

"Kalau begitu nona Tik ada di tempatnya!" kata Giok Phang.

Nona Wan mengangguk, kemudian mereka sepakat akan mencari rumah keluarga Ciauw tersebut. Begitu kisah yang disampaikan Ci Giok Phang pada Ciauw Goan Hoa. Mendengar cerita itu tuan rumah pun girang.

"Jadi orang she Jiauw itu musuh nona Wan!" kata Goan Hoa.

"Tapi kenapa dia juga mengacau di tempatmu?" tanya nona Wan.

Ciauw Goan Hoa tidak bersedia berterus-terang, dia hanya bilang perselisahan terjadi karena putera dan nona Tik Bwee. Karena nona Wan tidak ingin bertanya lebih jauh jelas diam saja.Tapi tak lama nona itu berkata lagi.

"Mereka pernah mengacau di Beng-shia-to, jika boleh kami bersedia membantu Lo Cian-pwee," kata nona Wan.

Secara pribadi Ciauw Goan Hoa memang senang dibantu, karena nona Wan ayanya pun terkenal. Ditambah lagi Ci giok Phang pun tampaknya gagah. Tapi karena identitas isteri keduanya Kho-sie tak ingin diketahui umum, dia jadi raguragu.

Saat orang she Ciauw sedang bingung Tik Bwee nyelak ikut bicara.

"Ci Kong-cu, kau bilang kalian sengaja datang mencariku, ada masalah apa?" kata Tik Bwee.

"Aku dengar adik Giok Hian kenal denganmu, Nona. Aku baru datang dari Beng-shia-to datang ke mari ingin bertanya padamu. Terus terang aku sedang mencari adikku. Aku dengar adikku ke Kang-lam, apa benar?" kata Ci Giok Phang.

"Aku hanya seorang budak," kata Tik Bwee alias Yo Kiat Bwee dengan dingin.

"Nona tidak perlu berkata begitu," kata Giok Phang agak kikuk, "dari nona Han Pwee Eng aku dengar Giok Hian banyak mendapat bantuanmu, maka kuucapkan terima kasih padamu."

"Aku tidak berani menerima ucapan terima kasihmu," kata Tik Bwee. "Mengenai keberadaan adikmu, memang aku tahu."

"Apa Nona bersedia memberitahuku?"

"Tentu, malah aku ingin mengucapkan selamat padamu," kata nona Kiat Bwee.

"Benar, saat Bun Yat Hoan menikahkan murid kesayangannya, kenapa kau tidak hadir! Padahal kau kakaknya," kata Ciauw Goan Hoa ikut bicara.

Bukan main kagetnya Ci Giok Phang saat mendengar adiknya telah menikah dengan Seng Liong Sen.

"Celaka, bagaimana aku bisa menerangkannya pada Kok Siauw Hong?" pikir Ci Giok Phang bingung sekali."Adikku ini aneh sekali, kenapa dia cepat berubah? Padahal pertunangannya dulu dengan Kok Siauw Hong sangat menggegerkan dunia Kang-ouw. Aneh jadi begini? Tapi karena sudah terjadi mau diapakan lagi?"

"Maaf, aku tidak mengetahui kejadian itu karena aku berada di Beng-shia-to," kata Giok Phang sesudah hatinya agak tenang. Ciauw Goan Hoa mengawasinya, dia lihat pemuda itu agak gugup. Dia yakin di balik kejadian itu ada sesuatu yang luar biasa.

"Jika kau mau mencari adikmu, bagus! Tawaran bantuanmu pun aku terima dengan baik. Tapi jika kau ingin mencari adikmu silakan saja, kami tidak berani menahan kalian di sini!" kata Ciauw Goan Hoa.

"Sekarang yang utama hadapi komplotan Kiauw Sek Kiang dulu, sebab jejak adikku sudah kuketahui. Untuk mencari adikku bisa lain hari saja!" kata Ci Giok Phang.

"Oh! Syukurlah kalau begitu, kalian sementara boleh tinggal di tempat kami," kata Ciauw Goan Hoa yang girang bukan kepalang.

"Jangan sungkan, kami juga pernah bentrok dengan mereka, mari kita hadapi bersama-sama," kata Giok Phang.

Sejak saat itu mereka tinggal di rumah Ciauw Goan Hoa.

Suatu hari anak muda itu berkumpul berlatih silat. Masingmasing menunjukkan kepandaiannya. Mereka bergembira. Setelah Bu Siang Kam dan Ciauw Siang Hoa selesai berlatih, dia bertanya pada nona Wan.

"Nona Wan, pengalamanmu banyak, bagaimana menurutmu latihan kami tadi?" kata Ciauw Siang Hoa.

"Bagus! Ilmu silatmu lihay, Ciauw Toa-ko!" kata nona Wan. "Jika kau bersedia mari kita berlatih bersama!"

Secara tiba-tiba tanpa memberitahu dulu, nona Wan menyerang. Hal ini membuat Ciauw Siang Hoa kaget. Kiranya nona Wan menggunakan jurus yang baru dia latih dengan Bu Hiang Kam. Ternyata itu ilmu silat ajaran dari isteri kedua ayah angkatnya. Siang Hoa heran, bagaimana nona Wan bisa menguasai ilmu silat itu dan dari mana dia belajar? Padahal ibu tirinya bilang bahwa itu jurus keluarga sangat rahasia. Jika karena melihat latihan saja, rasanya tidak mungkin secepat itu nona Wan menguasainya? Terpaksa mereka bertanding. Orang heran menyaksikan ilmu silat mereka serupa.

"Rupanya ilmu silat Ciauw Siang Hoa sealiran dengan ilmu Ayah nona Wan. Tapi ayah Siang Hoa kurasa tidak seperguruan dengan mertuaku," pikir Ci Giok Phang. "Mengapa ilmu silat mereka serupa? Aneh?"

Jadi selama berkumpul bersama Wan Say Eng, belum pernah Ci Giok Phang menyaksikan ilmu silat yang dipakai menyerang Ciauw Siang Hoa. Sekarang dia berpendapat, bahwa ilmu itu ilmu simpanan keluarga Wan dari Beng- shia-to dan tidak diajarkan pada orang lain.

Saat itu semua orang asyik menyaksikan pertarungan antara nona Wan dengan Ciauw Siang Hoa, hanya Kiat Bweelah yang mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. Tak jauh dari tempat mereka berlatih terlihat sebuah gedung bercat merah, dari jendela rumah itu terhalang oleh pepohonan rindang. Tapi samar-samar Yo Kiat Bwee melihat ada orang sedang mengawasi lewat jendela rumah bercat merah itu ke arah mereka. Kiat Bwee mengenali orang itu Kho-si adanya.

"Hm! Ternyata dia lagi!" pikir Kiat Bwee.

Tiba-tiba Wan Say Eng menghentikan latihannya, lalu keluar dari gelanggang.

"Cukup! Cukup! Rupanya ilmu silat kita tidak berbeda jauh," kata nona Wan. "Ciauw Toa-ko, dari mana kau mempelajari ilmu silatmu itu?"

Mendapat pertanyaan itu, Ciauw Siang Hoa kelihatan kaget      dan      ragu-ragu      menjawab      pertanyaan   itu. Keraguannya itu karena Kho-si mengingatkan agar dia tidak memberi tahu orang dari mana ilmu silat yang dia pelajari.

"Nona terlalu memuji, itu hanya ilmu silat biasa saja!" kata Ciauw Siang Hoa.

"Tapi jurusmu sama dengan ilmu yang dipakai oleh nona Wan," kata Kiat Bwee. "Jika kau bilang itu ilmu silat biasa, apa kau tidak meremehkan nona Wan?"

Sebenarnya tadi Ciauw Siang Hoa sangsi pada jurus  yang digunakan nona Wan. Sekarang saat mendengar teguran Kiat Bwee dia tertegun, karena ucapannya tadi membuat dia tidak enak hati pada nona Wan.

Ketika itu Ciauw Siang Yauw muncul hendak memanggil Ciauw Siang Hoa.

"Siapa yang menyuruhmu memanggilku?"

"Jie-nio," jawab Siang Yauw. "Sekarang Ayah pun berada di kamar Jie-nio. Mereka sepertinya sedang berunding."

Saat itu Siang Hoa memang sedang kebingungan mendengar pertanyaan Wan Say Eng tentang ilmu silatnya. Maka itu panggilan adiknya itu dia anggap seolah kebetulan sebagai alasan untuk pergi dari tempat itu. Sesudah pamitan Siang Hoa pun pergi.

Sepeninggal Ciauw Siang Hoa, sekarang Siang Yauw yang menemani tamu-tamunya.

"Kami sedang berlatih silat," kata Kiat Bwee. "Kau juga harus ikut latihan!"

"Baik, asal kau beri aku petunjuk," kata Siang Yauw. "Aku lelah, kau berlatih dengan Liong Cici saja," kata

Kiat Bwee. Sesudah saling memberi hormat dan berbasa-basi, Siang Yauw masuk ke gelanggang bersama Liong Thian Hiang. Wan Say Eng memperhatikan latihan mereka dengan cermat. Ternyata ilmu silat Siang Yauw berbeda dengan yang dimainkan oleh Ciauw Siang Hoa.

"Heran, kenapa bisa begitu?" bisik Wan Say Eng pada Kiat Bwee.

"Mereka bukan saudara kandung kalian, ilmu silat Siang Hoa mungkin bukan dari ayahnya!" kata Kiat Bwee.

Sifat Kiat Beee dan Wan Say Eng hampir sama. Semula Kiat Bwee memang hendak membuka rahasia keluarga Ciauw pada nona Wan, tapi hal itu tida dia lakukan, karena dia pikir untuk sementara dia beritahu saja sekedarnya secara samar-samar. Nona Wan tambah curiga. Dia pikir jangan-jangan nona Ciauw sengaja menyembunyikan ilmu silatnya.

"Biar akan kupaksa dia agar dia mau mengeluarkan ilmu silat sejatinya!" pikir nona Wan. "Jika dia bisa ilmu yang digunakan oleh Siang Hoa, maka terpaksa dia harus meladeniku dengan ilmu tersebut untuk melawanku!"

Tapi sayang sebelum Siang Yauw dan nona Liong selesai bertanding, Ciauw Goan Hoa muncul. Terpaksa latihan mereka dihentikan.

Kelihatan nya Ciauw Goan Hoa gelisah, begitu sampai dia langsung berkata pada Ci Giok Phang dan Wan Say Eng. Sikapnya bersungguh-sungguh.

"Kalian sudah beberapa hari tinggal di sini. Barangkali keparat Kiauw Sek Kiang tidak akan berani datang lagi. Mengingat kalian juga punya urusan sendiri, aku kira kalian jangan buang waktu di sini. Lekas cari adik perempuanmu! Buntalan   kalian   pun   sudah   kuperintahkan   agar   anak buahku menyiapkannya. Silakan kalian berangkat, tapi maaf aku tidak bisa mengantar kepergian kalian!" kata Ciauw Goan Hoa.

Tak lama kelihatan pelayan muncul sambil membawa buntalan Ci Giok Phang dan nona Wan.

Sikap Ciauw Goan Ho- ini tentu saja membuat nona Ciauw Siang Yauw jadi kurang enak hati. Namun, dia tidak membantah perintah sang ayah. Sedang nona Wan saat dia sudah menerima buntalannya, langsung mengajak Ci Giok Phang pergi. Ciauw Siang Yauw mewakili ayahnya mengantar tamu-tamunya. Dia mengucapkan selamat jalan dengan perasaan berat.

Di tengah jalan Ci Giok Phang tak hentinya menggerutu.

"Orang tua itu adatnya aneh sekali," kata Giok Phang. "Kenapa tiba-tiba dia mengusir kita? Alasan yang dia sampaikan pun tidak masuk akal!"

"Aku kira yang aneh bukan dia, tapi isteri keduanya. Malah aku pikir Kho-si ini orangnya misterius," kata Wan Say Eng.

"Tiga hari di sana belum pernah kita bertemu dengan kedua isteri orang tua itu," kata Ci Giok Phang. "Dari mana kau tahu dia aneh dan misterius?"

"Menurut bisikan nona Yo, ilmu silat Siang Hoa itu ajaran Kho-si," kata nona Wan.

"Benar, aku juga merasa heran. Tadi aku ingin bertanya padamu menge-nai hal itu," kata Ci Giok Phang. "Kenapa ilmu silat dia sama dengan yang kau gunakan? Kau sangsi itu ajaran Kho-si, apakah dia punya hubungan dengan Beng-shiato?" "Mungkin ada," kata nona Wan. "Tapi sekarang aku belum bisa memastikan, biar akan kuselidiki dulu, nanti kau kuberi tahu."

"Mengenai apa?" kata Giok Phang.

Tapi nona Wan sedang berpikir, maka itu pertanyaan Giok Phang seolah tidak didengarnya, Giok Phang pun tidak menanyakan lagi. "Ci Toa-ko, nanti malam kita kembali ke sana!" kata nona Wan.

"Kembali ke mana?"

"Sudah tentu ke rumah keluarga Ciauw," jawab nona Wan.

"Mereka tidak suka kita berada di sana, mau apa kita kembali ke sana?" kata Giok Phang.

"Kita ke sana secara diam-diam." kata nona Wan. "Aku kira cara itu kurang baik," kata Giok Phang.

"Aku akan menyelidiknya supaya jelas, sekalipun harus diam-diam seperti pencuri!" kata nona Wan.

Giok Phang mengangguk saja tak membantah, hanya dia sedikit merasa kurang enak hati. Tengah malam diam-diam kedua orang itu kembali lagi, mereka menyusup ke taman belakang rumah keluarga Ciauw.

"Akan kuselidiki kamar Kho-si, kau mengawasi di luar," bisik nona Wan.

Mengetahui niat kawannya, Giok Phang kaget juga, dia berbisik.

"Huss! Ilmu silat Kho-si belum kita ketahui, kau jangan cari penyakit!" bisik Giok Phang.

"Jangan cemas, aku membawa Kee-bin-ngo-koh-hoan- hunhiang  (Obat  bius  yang  mampu  membuat  lawan lelap sampai ayam berkokok). Obat bius itu khas buatan Beng- shia-to," bisik Wan Say Eng sambil tersenyum.

Tapi karena hatinya tidak tentram, ia mengikuti si nona. Mereka memutari bukit-bukit buatan. Menyelinap di antara semak-semak pohon bunga. Akhirnya mereka berdua sudah berada di bawah rumah berloteng bercat merah.

Ketika nona Wan hendak melompat, dia kaget karena dia merasa ada orang yang menyentuh tubuhnya. Dia menoleh, ternyata di belakangnya hanya ada Ci Giok Phang.

"Apa tadi kau yang menyentuhku?" tanya si nona. "Tidak!" kata Giok Phang sedikit heran.

"Aneh, aku merasa pinggangku ada yang menyentuh hingga ngilu. Aku kira kau yang menyentuhku tanpa sengaja? Tapi..." Nona Wan tidak meneruskan kata- katanya.

Dia sedikit terperanjat hingga hampir saja dia menjerit.

Dia kaget karena pedangnya yang disandang di pinggangnya lenyap entah ke mana? Sedang sarungnya masih tergantung. Menyaksikan hal itu Giok Phang kaget, mulutnya ternganga tidak bisa bicara.

Mereka mengawasi ke sekitar taman, mendadak mata mereka terbelalak. Pedang nona Wan kelihatan tertancap di sebuah pohon. Jelas sudah tadi nona Wan telah dicuri pedangnya tanpa dia merasa. Jelas itu perbuatan seorang yang ilmu silatnya lihay luar biasa.

Mereka mencoba menenangkan hatinya yang sedikit guncang. "Aku kira orang itu sengaja memperingati kita," kata Ci Giok Phang. "Bagaimana? Apa tidak lebih baik kita tinggalkan saja tempat ini!"

"Dia bisa datang dan pergi tanpa bekas, tak ubahnya bagai setan saja!" pikir nona Wan. "Kepandaian orang itu jelas lebih tinggi dariku. Jika dia mau tadi saja dia bisa mencelakaiku. Barangkali benar orang itu ingin memberi peringatan pada kami. Apa ini perbuatan Ciauw Goan Hoa? Aah, tidak mungkin! Sekalipun Kho-si kurasa ilmunya tidak setinggi orang itu?"

Nona Wan menghampiri pedangnya yang tertancap di pohon. Saat mereka sedang sangsi dan mau pergi. Tiba-tiba terdengar suara, pintu gerbang rumah keluarga Ciauw didobrak dari luar hingga terpentang lebar.

"Ciauw Goan Hoa, apa kau kira bisa menahanku dengan mengunci pintu rumahmu?" kata Kiauw Sek Kiang.

Di belakang orang she Kiauw tampak lima orang berdiri tegap. Mereka terdiri dari Ciong Bu Pa, orang she Jiauw dan orang she Khu, si kusir. Dua yang lainnya tidak dikenal. Tapi mereka pernah bertarung dengan Ci Giok Phang saat di Bengshia-to.

"Bagus bajingan she Kiauw" kata Ciauw Siang Hoa yang muncul paling dulu. "Aku memang akan mencarimu, tapi sekarang kau malah datang mencari mampus sendiri!"

"Diakah yang kau maksudkan?" kata Kiauw Sek Kian pada orang she Jiauw.

"Ya, dan seorang budak puteri Yo Tay Ceng!" jawab orang she Jiauw.

Kiauw Sek Kiang tertawa terbahak-bahak. "Bagus jika mereka semua ada di sini, aku bisa menghemat tenaga!" kata Kiauw Sek Kiang. "Ciauw Goan Hoa keluarlah kau!" Saat Siang Hoa maju, Kiat Bwee berada di belakang pemuda itu.

"Adik Ciauw, mundur saja. Biar ayahmu yang menghadapi mereka," bisik Kiat Bwee.

Siang Hoa berpkir lain, tak mungkin ayahnya mau mempedulikan dirinya. Maka dia genggam tangan Kiat Bwee.

"Enci Bwee, mari kita maju sekalipun kita harus mati bersama-sama!" kata Ciauw Siang Hoa.

Saat keduanya sudah siap akan maju, tiba-tiba ada bayangan melayang dan langsung berada di depan mereka berdua.

"Mundur! Biar aku yang menghadapi Kiauw To-cu!" kata Ciauw Goan Hoa.

Ciauw Siang Hoa girang, ternyata ayahnya masih peduli padanya. Maka itu dia genggam tangan Kiat Bwee.

"Kita turuti keinginan Ayahku!" bisik Ciauw Siang Hoa pada Kiat Bwee.

Bu Hian Kam danLiong Thian Hiang sudah langsung keluar. Mereka berdiri di samping Siang Hoa dan Kiat Bwee.

Sesudah memberi hormat Ciauw Goan Hoa berkata. "Kiauw To-cu, apa salahku hingga kau datang minta

pertanggung-jawabanku?" kata Ciauw Goan Hoa.

"Karena kau sudah hidup senang, kau lupa segalanya!" kata Kiauw Sek Kiang.

"Tolong kaujelaskan Kiauw To-cu!"

"Anakmu itu kau rebut dari Hoan Lo-sam, orang Hui- yangpang, betul tidak?" kata Kiauw Sek Kiang. "Kau benar," kata Goan Hoa. "Hui-yang-pang terlalu liar, sering melakukan penculikan terhadap anak-anak. Ketika itu karena aku seorang pejabat, sudah tentu tidak tinggal diam. Sesudah kuselamatkan anak itu, ternyata  tidak bisa kukembalikan pada keluarganya. Maka itu dia kuangkat menjadi anak angkatku!"

"Apa kau tak tahu dia anak keluarga Ciok, musuhku?" "Tidak! Aku tidak tahu," jawab Ciauw Goan Hoa.

"Tapi baru tahu sekarang pun belum terlambat," kata Kiauw Sek Kiang.

"Apa maksudmu?"

Kiauw Sek Kiang tertawa.

"Goan Hoa kau orang pandai, jangan berlagak bodoh segala! Mari kita bicara blak-blakan. Jika kau mau silakan kau bersikap netral dan serahkan bocah itu padaku! Sebab bagaimanapun dia toh bukan anakmu. Mengapa kau harus membelanya mati-matian? Sedang nona she Yo, anak sahabatku, dia akan kubawa juga! Hanya dua masalah itulah yang aku tuntut. Bagaimana kau setuju atau tidak?"

"Aku tidak setuju!" jawab Goan Hoa tegas.

Jawaban Ciauw Goan Hoa membuat Kiauw Sek Kiang kaget.

"Sudahkah kau pikirkan akibat dari ucapanmu itu?" kata Kiauw Sek Kiang. "Jika kau menolak berarti jiwamu dan keluargamu pun sulit untuk diselamatkan!"

"Memang dia bukan anak kandungku, tapi hubungan kami sudah dalam. Maka itu daripada ditertawakan orang Kang-ouw lebih baik kita mengadu jiwa!"

"Lalu bagaimana dengan nona Yo?" tanya Kiauw Sek Kiang. "Dia calon menantuku, berarti dia keluarga Ciauw juga! Maka itu tidak mungkin kami serahkan dia padamu!" kata Ciauw Goan Hoa tegas.

Sebenarnya belum ada kesepakatan Siang Hoa dan Kiat Bwee akan dinikahkan, ucapan Goan Hoa tadi hanya alasan belaka untuk melindungi Kiat Bwee.

Saat itu kedua muda-mudi itu saling menggenggam tangan, karena ucapan itu mereka sedikit malu hingga wajahnya merah.

Diam-diam Ci Giok Phang dan nona Wan yang ada di balik bukit buatan itu jadi tersenyum.

"Tak kusangka, Paman Ciauw pun bisa mencontoh adik Eng terhadap diriku. Mudah-mudahan mereka seperti kami, main-main jadi sungguhan!" pikir Ci Giok Phang,

Tiba-tiba terdengar Kiauw Sek Kiang tertawa.

"Kedua permintaanku semua kau tolak, bagaimana dengan masalah yang ketiga. Jika kau setuju baik mereka akan kutinggalkan!" kata Kiauw Sek Kiang.

"Katakan saja!" kata Goan Hoa yang agak ngeri terhadap orang she Kiauw ini.

"Aku dengar isteri keduamu orang she Kho, coba kau panggil dia untuk menemuiku, sebab aku mau bicara dengannya," kata Kiauw Sek Kiang.

"Hm! Apa maksudmu? Kau ingin menghinaku, bukan?" kata Goan Hoa.

"Bagaimana kau ini, anak dan menantumu tak kau serahkan padaku. Sekarang isteri keduamu pun tidak boleh bertemu denganku. Hm! Aku kira isterimu itu sudah tua dan tidak cantik, karena itu dia tidak boleh kutemui?"

"Jangan banyak bicara!" bentak Ciauw Goan Hoa. "Baik, terimalah seranganku!" kata Kiauw Sek Kiang.

Goan Hoa sudah tahu kelihayan Kiauw Sek kiang. Begitu diserang, dia gunakan ilmu cakar naganya untuk menangkis serangan lawan. Ilmu ini lihay, jurus-jurusnya khusus untuk mencengkram dan menangkap tangan lawan.

"Kau memang hebat, tapi menghadapiku kau harus belajar lebih jauh," begitu Kiauw mengejek lawannya.

Kiauw Sek Kiang terus melancarkan serangan berbahaya.

Sesudah lewat beberapa puluh jurus, sekalipun Ciauw Goan Hoa sudah berusaha sekuat tenaga, dia tetap  terdesak. Saat itu Goan Hoa sudah mulai mandi keringat.

"Ciauw Toa-ko, mari maju!" kata Kiat Bwee pada Siang Hoa.

Tapi sebelum keduanya maju ke tengah kalanga, terdengar suara pukulan keras. Goan Hoa terdorong mundur dua tiga langkah. Bersamaan dengan itu  Kiauw Sek Kiang maju menyerang nona Yo dan Siang Hoa dengan gerakan bagaikan burung elang menyambar seekor kelinci saja.

Melihat serangan itu. Liong Thian Hiang dan Bu Hian Kam pun bergerak. Keduanya menyerang Kiauw Sek Kiang pada bagian dadanya.

"Hm! Bocah bau kencur, kalian padaku?" kata Kiauw Sek Kiang.

"Trang!"

Pedang Bu Hian Kam tersentil oleh jari Kiauw Sek Kiang. Saat baju orang she Kiang dikibaskan, pedang nona Liong terlepas dari tangannya. Saat itu Siang Hoa dan nona Yo maju, Kiauw mengibaskan lengan baju hingga melibat pedang nona Liong, pedang itu menyambar ke arah kedua muda-mudi itu.

"Awas!" teriak pemuda she Ciauw.

Dia mengangkat goloknya untuk menangkis pedang yang meluncur bagaikan kilat itu.

Tapi tenaga Kiauw Sek Kiang lebih kuat, pada saat golok Siang Hoa beradu dengan pedang nona Liong, tangannya kesemutan. Pedang yang ditangkis Siang Hoa berubah ke arah Kiat Bwee. Untung Kiat Bwee segera merunduk hingga pedang lawan lewat di atas kepalanya.

"Jangan kau celakakan anakku!" bentak Ciauw Goan Hoa.

Dia serang pinggang Kiauw Sek Kiang dengan cengkraman mautnya. Kiauw berhasil mengelak, tapi kedua tangannya dipakai menyerang lawan. Buru-buru Goan Hoa membatalkan serangannya.

Kiauw Sek Kiang tertawa.

"Sekali pun kau undang Bu Yan Cun, aku tidak takut!" kata Kiauw Sek Kiang. "Kalian hanya bocah-bocah ingusan!"

Kiauw Sek Kiang dengan sekali serang berhasil mengetahui asal-usul ilmu pedang Bu Hian Kam.

"To-cu, jangan buang tenaga. Biar aku yang menangkap bocah-bocah ini!" kata Ciong Bu Pa.

Sebagai tangan kanan Kiauw Sek Kiang, kepandaian Ciong Bu Pa tidak boleh dipandang enteng. Tenaganya sangat kuat, senjatanya yang berbentuk boneka tembaga beratnya mencapai  kati. Ketika golok Siang Hoa dan pedang   Kiat   Bwee   bentrok,   terdengar   suara   nyaring dibarengi dengan letikan lelatu api. Kedua muda-mudi itu kesakitan.

Liong Thian Hiang buru-buru menjemput pedang yang tadi terlepas dari tangannya. Tak lama Bu Hian Kam pun maju mengeroyok Ciong Bu Pa. Dengan demikian Ciong Bu Pa dikeroyok empat muda-mudi.

Sedangkan Ciauw Goan Hoa didesak oleh Kiauw Sek Kiang hingga seolah sulit bernapas. Saat keadaan demikian menegangkan tiba-tiba terdengar suara ketukan tongkat ke tanah. Tak lama isteri Goan Hoa Lauw-si muncul sambil memegang tongkat berkepala naga.

"Nona Liong, Bu Kong-cu silakan kalian mundur! Ini urusan keluarga Ciauw, kalian orang luar tidak perlu ikut campur urusan kami," kata Lauw-si.

Sambil berdiri tegak dan mengangkat tongkat berkepala naga, Lauw-si menunjuk dengan tongkatnya ke arah Kiauw Sek Kiang.

"Hm! Sungguh beraninya kau menghina keluarga Ciauw!" kata Lauw-si.

"Siapa kau? Isteri tua atau isteri muda Goan Hoa?" tanya Kiauw Sek Kiang.

"Tutup mulutmu, bangsat! Terimalah seranganku ini!" kata Lauw-si dengan gusar.

Tongkat berkepala naga itu langsung menyambar ke kepala Kiauw Sek Kiang, tapi orang she Kiauw segera menyambut serangan itu tak kalah hebatnya. Namun, tangkisan Kiauw Sek Kiang tidak mampu menggempur tongkat lawan. Dia ulangi serangannya, kali ini dia berhasil membuat tongkat kepala naga itu miring ke samping. Kiauw Sek Kiang terperanjat, dia tahu kepandaian istri Goan Hoa tidak berada di bawah kepandaian suaminya. Jika kedua suami-isteri itu maju bersama, dia pasti akan terdesak.

"To-cu, minggir! Serahkan nenek ini padaku!" kata Ciong Bu Pa.

Bu Pa maju menyerang Lauw-si, dengan demikian Kiauw Sek Kiang jadi tidak terdesak lagi. Tiba-tiba dia tertawa mengejek.

"Aku minta isteri mudamu yang maju, malah kau suruh isteri tuamu yang keluar!" kata Kiauw Sek Kiang.

Pertarungan antara Bu Pa dan Lauw-si kelihatan seimbang. Mereka saling serang dengan hebat. Empat anak buah Kiauw Sek Kiang tak tinggal diam, mereka pun ikut maju untuk bertempur.

"Bibi Ciauw, masalah sudah jadi begini! Aku tak tahan membiarkan mereka merajalela di sini!" kata Bu Hian Kam.

Tak lama anak muda itu bersama nona Liong maju membantu keluarga Ciauw bertarung melawan musuh.

Lauw-si yang berhadapan dengan Ciong Bu Pa pun kaget, ternyata Bu Pa tak boleh dipandang ringan. Maka itu melihat muda-mudi itu membantu, dia diam saja.

Menyaksikan pertarungan semakin hebat, Ci Giok Phang dan Wan Say Eng pun muncul.

"Harap kami tidak dianggap ikut campur urusan orang lain, penjahat-penjahat ini juga musuh Beng-shia-to!" teriak Wan Say Eng.

Menyaksikan bermunculannya orang-orang gagah, Kiauw Sek Kiang sedikit kaget. Tapi tak lama dia pun tertawa. "Jadi kalian belum mampus? Kali ini kalian tidak akan mendapat bantuan dari Beng-shia To-cu dan Hok-hong To- cu! Jangan salahkan aku karena kalian cari mati sendiri!" kata Kiauw Sek Kiang.

Orang she Jiauw dan Khu yang dulu jadi kusir, matanya terbelalak merah saat melihat nona Wan dan Ci Giok Phang muncul.

"To-cu serahkan kedua manusia busuk ini pada kami!" kata orang she Jiauw.

Wan Say Eng tertawa.

"Kalian pandai berlari cepat, entah siapa yang menolong kalian?" kata nona Wan mengejek.

"Karena aku terluka, jangan kau kira aku takut padamu!" kata orang she Jiauw.

Dia putar sepasang gaetannya menyerang nona Wan. Sedang orang she Khu dengan senjata cangklongnya maju menyerang Ci Giok Phang.

"Sekarang kau sehat, bagaimana jika kau kalah lagi olehku?" ejek nona Wan.

"Jangan melamun, tak mungkin aku kalah olehmu!" kata si orang she Jiauw.

"Baiklah, jika kau kalah kau harus berlutut di  hadapanku, bagaimana?" kata nona Wan.

Orang she Jiauw ini dongkol bukan main. Dia berteriakteriak karena jengkelnya.

Dia tak sadar kalau saat itu dia terjebak oleh akal nona Wan. Sedangkan Nona Wan sadar kalau dia bukan tandingan orang she Jiauw, sengaja mengejek agar konsentrasi orang itu buyar. Karena dulu luka orang she Jiauw itu tidak parah, sekarang dia sudah sehat. Lukanya di bagian lutut terasa agak mengganggu juga. Nona Wan cerdas dan tahu kelemahan lawan, maka itu dia selalu mengarah ke lutut lawan.

Jika diukur kepandaian nona Wan bukan tandingan orang she Jiauw ini, tapi dalam gin-kang bisa dikatakan nona Wan sangat lihay, hingga dengan kecepatan serangan nona ini, orang she Jiauw itu akhirnya agak kewalahan juga. Lain lagi dengan Ci Giok Phang, di antara jago-jago muda yang sedang bertarung, dia bisa dikatakan yang tertinggi ilmu silatnya.

Maka tak heran jika Ci Giok Phang mampu mengimbangi kepandaian orang she Khu itu. Cangklong orang she Khu sangat berbahaya, sebab bisa dipakai menotok jalan darah, maupun menyemburkan asap berbisa. Di depan ketuanya orang she Khu tak ingin menggunakan asap berbisa. Itu sebabnya saat menghadapi Ci giok Phang yang lihay, serangan-serangannya bisa dipunahkan oleh pemuda she Ci itu. Tak heran sesudah bertarung cukup lama akhirnya dia terdesak.

Ketika itu Ciong Bu Pa sedang menghadapi Lauw-si, sedangkan Goan Hoa dalam keadaan terdesak, tidak mampu membalas serangan Kiauw Sek Kiang. Karena Ci Giok Phang dan Wan Say Eng menghadapi dua jago paling kuat, maka Bu Hian Kam, nona Liong, Kiat Bwee dan Ciauw Siang Hoa jadi lega dan mampu mengatasi lawan- lawannya.

"Segera siapkan Liok-hap-tin, kepung semua tanpa kecuali!" teriak Kiauw Sek Kiang pada anak buahnya.

Sambil berkata dia desak Ciauw Goan Hoa hingga dia terdesak  ke  tengah  kalangan.  Lauw-si  pun  didesak  oleh Ciong Bu Pa ke tengah kalangan. Tak lama Kiauw Sek Kiang berhasil memaksa lawan terkepung di tengah kalangan pertempuran.

Kerja-sama yang dijalin oleh barisan Liok-hap-tin cukup ampuh. Dengan demikian tenaga dan serangan mereka bertambah dua tiga kali lipat.Keluarga Ciauw yang terkepung tidak berdaya, hanya Ci Giok Phang sendiri yang masih bertahan.

"Serang dari kiri! Serang dari kanan!" begitu Wan Say Eng memberi komando pada kawan-kawannya.

Ci Giok Phang cerdas, dia segera mengerti apa maunya nona Wan. Maka itu dia serang orang she Khu seperti anjuran nona Wan. Mau tak mau orang she Khu ini harus mundur dari serangan Ci Giok Phang dan nona Wan. Nyaris orang she Khu ini binasa jika Kiauw Sek Kiang tak keburu menolong dengan kibasan lengan bajunya. Bahkan kibasan ini membuat pedang Giok Phang dan nona Wan jadi salah sasaran. Karena orang she Khu ini memang bukan anggota Liok-hap-tin dia jadi kurang paham tin tersebut.

Nona Wan segera mengetahui kelemahan lawannya ini. Ditambah lagi nona Wan pun pernah menyaksikan barisan itu saat di Beng-shia-to tempo hari. Dugaan nona Wan ternyata benar, serangan Giok Phang tadi berhasil membuyarkan barisan itu.

Keberhasilan ini tak berlangsung lama, karena Kiauw Sek Kiang segera mampu menutup kelemahannya itu.

"Hm! Aku ingin tahu berapa lama kalian bisa bertahan?" kata Kiauw Sek Kiang. "Maju! Serang!"

Tak lama barisan itu sudah mulai mengepung lagi. Makin  lama  kepungan  itu  semakin  mengecil  karena  tak mampu menahan serangan barisan Kiauw Sek Kiang. Saat keadaan semakin kritis, terdengar dengusan seorang perempuan.

"Hm! Kiauw Sek Kiang, bukankah kedatanganmu untuk mencariku? Baik aku akan berurusan denganmu, keluarga Ciauw tidak ada sangkut pautnya!" kata Kho-sie.

"Kho Siauw Hong, sudah  tahun aku mencarimu. Ternyata benar kau bersembunyi di rumah keluarga Ciauw!" kata Kiauw Sek Kiang. "Sungguh sayang, kau seumpama setangkai bunga yang tertanam di atas tahi kerbau. Martabatmu rendah, maka itu kau mau jadi gundik Ciauw Goan Hoa!"

"Jangan ngaco, hai manusia busuk!" kata Ciauw Goan Hoa.

Tanpa pikir panjang Goan Hoa maju menyerang Kiauw Sek Kiang.Tap dengan gesit Kiauw Sek Kiang merangkapkan kedua telapak tangannya. Tangan Ciauw Goan Hoa terjepit di antara kedua tangan Kiauw Sek Kiang. Saat itu pun meluncur pedang Ci Giok Phang ke arah iga Kiauw Sek Kiang. Melihat ada serangan. Kiauw Sek Kiang membatalkan serangan pada Ciauw Goan Hoa.Ini sebuah gerakan untuk menyelamatkan diri dari Kiauw Sek Kiang. Tanganya yang sebelah lagi dia pakai untuk menyerang Ci Giok Phang. Tangan yang lain ia pakai mendorong tubuh Goan Hoa. hingga Goan Hoa terdorong mundur. Tiba-tiba tangannya bergerak ke belakang untuk menyentil pedang Ci Giok Phang yang meluncur deras.

Bantuan Ci Giok Phang membuat tangan Goan Hoa selamat dari jepitan lawan, walau Goan Hoa tetap terluka. Maka itu dia berteriak pada Kho-si. "Siauw Hong, lekas pergi ke rumah keluarga Bu, kau harus minta bantuan pada mereka!" kata Ciauw Goan Hoa.

Dia sadar sekalipun bertambah bantuan, Ciauw tak  yakin akan menang. Tapi Goan Hoa berharap Kho-si bisa mencari bantuan pada Bu Yang Cun.

Namun nasihat suaminya tak dihiraukannya. Malah Kho-si terus menerjang maju. Saat itu Kho-si berhasil masuk ke tengah kepungan, karena memang disengaja oleh Kiauw Sek Kiang agar Kho-si pun terjebak dalam kepungannya.

Dengan rambut tergerai Kho-si yang bersenjata golok tipis, menerjang secara hebat pada Kiauw Sek Kiang.

"Kiauw Sek Kiang, mari kita adakan perhitungan, ini tak ada kaitannya dengan keluarga Ciauw, karena dia bukan musuhmu!" kata Kho-si.

Kiauw Sek Kiang tertawa.

"Kau kira aku tak tahu?" ejek Kiauw Sek Kiang. "Puteramu ini she Ciok, bukan she Ciauw! Dia anak Ciok It Biauw, sedang calon menantumu puteri Yo Tay Ceng! Jadi mana mungkin tak ada hubungannya denganku? Kau memang cerdik, kau atur siasat melindungi puteramu kau berharap bisa menguasai gambar itu, kan?"

Ciauw Siang Hoa sekarang sudah tahu ayahnya she Ciok, tapi dia tak tahu bagaimana ayahnya bermusuhan dengan Kiauw Sek Kiang. Sekarang sesudah mendengar percakapan Kho-si dan orang she Kiang, dia berpikir, "Kho- si pasti kenalan ayahku dan ada hubungannya dengan masalah yang terjadi sekarang?"

"Aku sudah menikah dengan Kho-si selama  tahun, tapi kenapa selama itu dia merahasiakan sesuatu padaku. Sekarang entah apa maksudnya gambar pusaka itu?" pikir Ciauw Goan Hoa.

Tiba-tiba Lauw-si menggabrukkan tongkat kepala naganya. "Siauw Hong, kau sudah jadi isteri suamiku. Itu berarti kau sudah jadi keluarga Ciauw. Mengapa kau tadi bilang akan membuat keputusan sendiri?" kata Lauw-si.

Sementara itu kepungan musuh bertambah ketat. Saat lauw-si bergerak akan membantu Kho-si, dia dihalangi oleh Ciong Bu Pa.

"Kho Siauw Hong, katakan putusan apa yang akan kau ambil?" kata Kiauw Sek Kiang.

"Jika ada kau tidak ada aku, sebaliknya jika aku ada maka kau harus tiada! Itu putusanku!" kata Kho-si sambil menyerang hebat.

"Ilmu silatmu maju pesat! Tapi mengadu jiwa denganku, selisihnya masih jauh," kata Kiauw Sek Kiang. "Begitu rapinya kau bersembunyi, maka aku yakin gambar itu sudah ada di tanganmu. Serahkan padaku, barangkali dengan demikian aku bisa mengampuni anakmu dan keluarga Ciauw!"

"Aku tidak mau diampuni olehmu!" kata Ciauw Goan Hoa. "Gambar itu tidak ada dan kau hanya bisa memperoleh jiwaku ini!" kata Kho-si alias Kho Siauw Hong. Kiauw Sek Kiang tertawa menghina.

"Tak kusangka kau mau jadi istri si tua bangka, malah kau pun memintakan ampun untuknya. Tapi menyesal aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu!" kata Kiauw Sek Kiang.

"Tutup mulutmu bedebah!" kata Ciauw Goan Hoa gusar bukan main. Kiauw Sek Kiang tertawa mengejek.

"Kau mau adu jiwa denganku?" kata Sek Kiang. "Baik, tapi tunggu sampai aku selesai mengus perempuan hina ini, baru kau kuhadapi!"

Tak lama barisan Liok-hap-tin bergerak melakukan pengepungan lebih ketat. Gerakan ini membuat Goan Hoa dan Kho-si terpisah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar