Beng Ciang Hong In Lok Jilid 32

Pada suatu hari mereka tiba di Ouw-lam. Pada saat keduanya sedang asyik berjalan, tiba-tiba mereka dengar ada suara kelenengan kuda dari arah belakang. Mereka segera menepi dengan cepat saat kedua kuda itu melintas dari arah belakang mereka. Saat nona Tik dan Liong mengawasi  ke  arah  penunggang  kuda  itu,  mereka terdiri dari seorang lelaki dan perempuan. Usia mereka baru sekitar duapuluh tahun. Penunggang kuda yang lelaki mengawasi ke arah Tik Bwee, dia kelihatan gugup. Sedang yang perempuan langsung menyelak.

"Kak, biar aku yang bicara dengan mereka!" kata penunggang kuda yang perempuan. Sesudah nona itu memberi hormat dan berkata.

"Nona Yo dan nona Liong, mungkin kalian lupa pada kami. Kita pernah bertemu dengan kalian dulu, tapi aku masih mengenali kalian!" kata nona itu.

Liong Thian Hiang keheranan.

"Pernah bertemu? Di mana dan kapan itu, ya? Aku minta maaf karena sudah lupa!" kata nona Liong.

Pemuda itu sedang mengawasi ke arah Tik Bwee, hampir saja Tik Bwee memakinya. Tapi setelah mata mereka saling mengawasi, Tik Bwee berpikir.

"Rasanya aku pernah bertemu dengannya, tapi entah di mana? Tapi adik perempuannya rasanya belum pernah bertemu denganku!" pikir Tik Bwee alias Yo Kiat Bwee.

"Kami she Ciauw, tempat tinggal kami di Ciauw-yang- kwan, Ayahku dengan ayah nona Liong pernah bertemu. Kami saja masih mengenali kalian berdua." kata nona itu.

Nona Liong mencoba mengingatnya, kemudian dia berkata.

"Apakah ayahmu itu Siang say Tay-hiap Ciauw Goan Hoa dari Ouw-lam?" kata nona Liong.

"Kau benar, ini Kakakku, namanya Ciauw Siang Hoa dan aku Ciauw Siang Yauw!" kata nona itu.

"Ayahku memang pernah cerita, tapi seingatku kita belum penah bertemu," kata nona Liong. "Bukankah bulan lalu kalian hadir di pesta pernikahan di rumah Bun Tay-hiap?" kata nona itu.

"Jadi kalian juga hadir?" kata nona Liong.

Mereka berdua mengangguk. Sekalipun masalahnya sudah jelas, Tik Bwee masih heran. Ketika itu Tik Bwee memang tidak memperhatikan tamu Bun Tay-hiap hingga dia tidak mengenali pemuda itu.

"Oh, begitu, sekarang apa yang kalian inginkan dari kami?" kata nona Liong.

"Semula kami tidak berani bicara soal persahabatan.  Tapi karena ayah nona Liong dan ayahku pernah bersahabat, aku kagum pada nona Yo (maksudnya Tik Bwee). Sekarang kebetulan kalian lewat di kampung kami, jadi apa salahnya jika kami mengundang kalian singgah ke tempat kami!" kata Ciauw Siang Yauw.

Liong Thian Hian mengucapkan terima kasih, dan menolak tawaran nona Ciauw karena dia ingin segera bertemu dengan kekasihnya. Dia hanya berjanji kelak dia akan singgah.

"Maaf, memang kalian berdua mau ke mana?" kata Ciauw Siang Yauw.

"Kami akan ke tempat Bu Yan Cun di Bu-kang-kwan," kata Tik Bwee mendahului nona Liong.

"Bu-kang-kwan sudah tidak jauh dari sini, sebaiknya kalian istirahat dulu di sini. Sekalipun Ciauw-yang tidak seindah Bukang-kwan, tapi di sini pun ada pemandangan yang indah!" kata Ciauw Siang Yauw.

Nona Liong heran atas ajakan yang seolah memaksa dari nona Ciauw ini, padahal mereka baru saling mengenal. Melihat nona Liong tidak bersedia singgah, nona Tik Bwee merasa tak enak hati. Dia lalu mengambil putusan cepat.

"Liong Cici, kau pergi dulu ke Bu-kang-kwan, biar aku yang singgah di tempat Ciauw Cici. Sesudah kau puas, barulah kau temui aku di sini!" kata Tik Bwee.

"Benar, itu yang paling baik," kata nona Ciauw.

Pemuda she Ciauw girang mendengar jawaban Tik Bwee.

"Bagus, itu pun lebih baik," kata Ciauw Siang Hoa ikut bicara. "Berikan kudamu pada nona Yo, kau naik kuda bersamaku saja!" kata pemuda itu kepada adiknya.

Ciauw Siang Hoa langsung menyerahkan kudanya pada Tik Bwee seolah khawatir nona itu akan berubah pikiran lagi.

Diam-diam nona Liong jadi geli, dia menduga Ciauw Siang Hoa jatuh hati pada Tik Bwee. Ternyata dugaan nona Liong keliru, sebab pikiran Tik Bwee ternyata lain dari dugaan nona Liong. Pada saat Tik Bwee menerima cambuk dari tangan Ciauw Siang Hoa, dia lihat ada tahi lalat di tangan pemuda itu.

"Aneh, bisa kebetulan seperti ini?" pikir Tik Bwee.

Tiba-tiba terbayang kejadian  tahun yang lalu, yaitu saat dia diculik oleh seseorang. Ketika itu dia membawa Kiat Bwee (Tik Bwee) ke sebuah kelenteng. Di tempat ini dia bertemu dengan orang yang wajahnya codet sedang membawa seorang bocah lelaki yang usianya sebaya dengannya. "Sudah tiga hari lamanya kau kutunggu di sini, dia pasti puteri kesayangan Yo Tay Ceng. Ternyata kau berhasil menculiknya!" kata orang bercodet itu.

"Sama-sama, kau juga sudah berhasil," kata si penculik. "Aku menerima pesanan orang," kata orang bercodet itu.

"syukur kau berhasil memenuhi pesanan orang itu."

"Ini bukan pesanan tapi akan kujadikan dia sebagai hadiah," kata si penculik.

"Hadiah untuk siapa?" tanya si muka codet.

"Aku dengar Seng Cap-si Kouw sedang mencari seorang pelayan yang cerdik," kata si penculik.

"Jadi kau kenal dengannya?"

"Tidak! Tapi kabar ini aku dengar dari kawan sekerjaku. Jika bocah ini kuberikan padanya mungkin dia bersedia berkenalan denganku. Bagaimana dengan bocah yang kau bawa itu?" kata si penculik.

"Sayangnya Seng Cap-si Koou hanya butuh budak perempuan, tidak butuh anak lelaki. Jadi aku tidak tahu harus kuapakan anak ini? Siapa tahu kelak ada yang mau " kata si muka codet.

Mereka ada di kelenteng seharian. Ketika itu Kiat Bwee ingin bicara dengan bocah lelaki itu, tapi si muka codet selalu mengawasinya. Saat anak lelaki itu menanyakan she Kiat Bwee, langsung mukanya ditampar dan dilarang banyak bicara. Kiat Bwee tak berani bicara tapi yang masih diingatnya ialah tahi lalat yang ada di tangan bocah lelaki itu.

Saat ini Kiat Bwee atau Tik Bwee berhadapan dengan bocah  yang  sama-sama  diculik  itu.  Dari  ucapan  kedua penculik, jelas Kiat Bwee mengetahui, bahwa penculikan atas diri mereka sudah direncanakan.

"Penculik itu pasti musuh Ayahku, sedang lelaki itu tak tahu aku, apakah dia masih ingat peristiwa itu atau tidak?" pikir Kiat Bwee.

Karena itulah Kiat Bwee bersedia ikut dengan kedua kakak beradik itu. Sesudah itu Kiat Bwee alias Tik Bwee berpisahan dengan nona Liong. Dengan naik kuda mereka melanjutkan perjalanan.

Selang dua hari mereka tiba di rumah Ciauw Goan Hoa. Tapi orang tua ini keheranan melihat anaknya membawa seorang gadis ke rumah mereka. Kemudian dia bertanya pada puterinya.

"Siapa dia?"

"Di tempat Bun Tay-hiap kami bertemu dengan puteri Paman Liong!"

"Jadi diakah nona Liong?" kata Ciauw Goan Hoa. "Bukan, dia nona Yo, dulu tetangga nona Liong. Dia

saudara angkat nona Liong. Tapi nona Liong tidak mau ke mari hanya nona Yo yang bersedia jadi tamu kita," kata Ciauw Siang Yauw.

"Kedatanganku hanya merepotkan Paman saja," kata Tik Bwee.

Sesudah memperhatikan keadaan Tik Bwee orang tua itu tertawa.

"Ayahmu sahabatku tidak kusangka kalian dari angkatan muda bisa bersahabat juga!" kata Ciauw Goan Hoa.

"Rupanya Paman dengan Ayahku..." "Ya, aku dengan ayahmu sangat akrab. Aku juga kenal dengan Liong Pek Giam," kata Ciauw Goan Hoa. "Duapuluh tahun yang lalu mendadak dia menghilang. Sejak saat itu, kami tidak pernah bertemu lagi. Sayang aku jadi kehilangan sahabat baikku. Barangkali sekarang kau bisa mengisahkan tentang ayahmu itu padaku."

"Menyesal Ayahku telah meninggal," kata Kiat Bwee. "Ketika masih kecil, aku diculik orang jahat, maka itu aku tidak tahu bagaimana keadaan Ayahku."

"Jadi sejak kecil kau diculik orang?" kata Ciauw Goan Hoa.

"Benar, Paman!" kata Kiat Bwee.

"Konon dia dijual ke rumah Seng Liong Sen yang baru- baru ini menikah!" kata Ciauw Siang Yauw.

"Kalau begitu kau adalah...." Ciauw Goan Hoan tidak jadi menyebut kata "budak" Seng Cap-si Kouw, karena dia anggap kurang sopan.

"Paman benar, aku ini budak Seng Cap-si Kouw, apakah Paman juga kenal pada Majikanku?" kata Kiat Bwee.

Ciauw Siang Hoa ikut bicara.

"Yo Cici hanya sebentar menderita, sekarang dia bukan pelayan lagi. Malah aku dengar Seng Siauw-hiap mengakui dia sebagai adik angkatnya!" kata Ciauw Siang Hoa.

"Aku tidak kenal pada Seng Cap-si Kouw," kata Ciauw Goan Hoa. "Karena dia terkenal, jadi aku hanya tahu namanya saja!"

"Paman, dulu kau sahabat Ayahku, pasti kau tahu tentang Ayahku!" kata Kiat Bwee.

"Aku tidak begitu tahu, hanya dulu ayahmu pernah menjadi  piauw-su.  Aku  dengar  ayahmu  sering  bentrok dengan orang dari kalangan Rimba Hijau. Mungkin karena itu ayahmu pun mengasingkan diri. Mengenai kejadian itu, sebenarnya aku juga tidak tahu jelas." kata Ciauw Goan Hoa.

Jawaban itu tidak memuaskan Kiat Bwee, tapi dia tidak berani mendesak terus. Sejak hari itu Kiat Bwee tinggal di rumah keluarga Ciauw. Dia bergaul akrab dengan Ciauw Siang Yauw dan jarang bertemu dengan Ciauw Siang Hoa.

Pada suatu malam saat rembulan bersinar terang, nona Ciauw mengajak Kiat Bwee menikmati pemandangan indah di taman bunga.

"Tempat ini sangat indah, kalian hidup bahagia."

"Jika kau suka keadaan di sini kau boleh menjadi. "

Nona Ciauw tak meneruskan kata-katanya. "Jadi apa?" tanya Kiat Bwee.

Takut Kiat Bwee tidak senang, nona Ciauw yang ingin mengatakan "jadi kakak iparku" lalu berkata lain.

"Jadi Kakakku dan kau pun boleh tinggal di sini selamanya!" kata nona Ciauw.

"Terima kasih atas kebaikanmu, tapi aku rasa aku tidak pantas menjadi Kakakmu. Aku ini hanya seorang bekas pelayan. " kata Kiat Bwee.

"Eh, kenapa kau ingat-ingat masa lalumu itu? Kau dan aku tidak ada bedanya!" kata nona Ciauw.

"Siapa bilang, derajat dan rejekiku jauh berbeda," kata Kiat Bwee.

Nona Ciauw mencoba menghibur Kiat Bwee. Tak lama nona Ciauw berkata pada kawannya. "Kau tunggu, aku mau ke kamar kecil dulu ya!" kata nona Ciauw.

Saat sedang sendiri di tepi kolam, tiba-tiba Kiat Bwee melihat ada bayangan laki-laki di dalam kolam. Ternyata orang itu Ciauw Siang Hoa. Kiat Bwee sadar perginya nona Ciauw pasti sudah direncanakan agar dia bisa berada berduaan dengan Ciauw Siang Hoa. Sekalipun dia tidak menaruh hati pada pemuda ini, tapi pertemuan seperti ini sangat dia harapkan.

"Nona Yo, kau belum tidur?" kata Ciauw Siang Hoa. "Adikmu mengajakku jalan-jalan di taman." kata Kiat

Bwee. "Ke mana dia?"

"Tidak usah kau cari, sebab aku ingin bicara denganmu!" kata Siang Hoa. "Aku kira dulu kita pernah bertemu, bukan?"

"Ya, ketika itu kau dibawa oleh lelaki bermuka codet, dan kau berada di sebuah kelenteng!" kata Kiat Bwee.

"Ya, ternyata kau nona yang aku lihat waktu itu!" kata Siang Hoa.

"Bagaimana kau bisa diculik oleh orang itu?" kata Kiat Bwee.

"Nasibku mungkin lebih buruk darimu, rumah dan keluargaku musnah, aku dibawa ke Kang-lam."

"Sebenarnya kau she apa?"

"She Ciok, ayahku seorang guru silat, ayahmu Yo Tay Ceng bukan?"

"Mengapa kau tanyakan lagi, bukankah ayahmu sudah mengatakannya?" kata Kiat Bwee. "Ya, saat baru datang Ayahku mengatakan nama ayahmu!" kata Ciauw Siang Hoa. "Aku juga pernah mendengar nama ayahmu itu."

"Kejadian itu pasti saat kau masih kecil, siapa yang mengatakan nama Ayahku itu? Bagaimana kau masih ingat hal itu?" kata Kiat Bwee.

"Waktu itu saat hancurnya rumah tanggaku, masakan aku lupa!" kata Ciauw Siang Hoa.

"Apa kau masih ingat semua, ceritakan padaku!"

"Hari itu Ayahku kedatangan seorang tamu, selain tamu itu diajak bicara di ruang baca," kata Ciauw Siang Hoa. "Kemudian Ayah memperingat-kan para pelayan, agar mereka tidak masuk ke ruang baca tanpa dipanggil. Aku tidak ingat mau apa orang itu menemui Ayahku. Tapi ketika aku melintas di depan kamar baca, aku dengar tamu Ayahku menyebutnyebut nama ayahmu, Dia mengajak Ayahku agar berangkat bersama-sama akan mencari ayahmu."

Kiat Bwee kelihatan bingung, dia rasa tidak mungkin ayah pemuda she Ciauw ini dan tamunya musuh ayahnya. Melihat nona Kiat Bwee kebingungan pemuda itu bicara lagi.

"Aku tidak tahu bagaimana hubungan Ayahku dengan ayahmu, tapi aku yakin mereka tidak bermusuhan!" kata Ciauw Siang Hoa.

"Darimana hal itu kau ketahui, padahal itu masalah orang tua dan kita tidak mengetahuinya," kata Kiat Bwee.

"Aku tidak bermaksud membela Ayahku, tapi aku memastikannya karena kejadian yang terjadi selanjutnya," kata Ciauw Siang Hoa. "Maksudmu kejadian apa?"

Ciauw Siang Hoa mengingat kejadian yang dialaminya dulu.

"Aku masih ingat waktu itu, saat aku sedang menguping di luar kamar baca, tiba-tiba menyambar sebuah senjata rahasia. Tamu itu membentak, 'Siapa di luar?”. Untung Ayahku cukup sebet dia berhasil menyampok senjata rahasia itu ningga melenceng dari sasaran. Kemudian kelihatan Ayahku membuka pintu. 'Ternyata benar si setan kecil, untung aku bertindak cepat! Ayo lekas pergi, kalau tidak kau sudah mampus!' Kemudian aku dengar tamu itu minta maaf pada ayahku. Aku lari dengan ketakutan ke kamar Ibuku."

"Sesudah kau pergi apa yang mereka bicarakan tidak kau ketahui, bagaimana kau yakin mereka bukan musuh Ayahku?" kata Kiat Bwee.

"Malam itu terjadi peristiwa yang tidak terduga. Peristiwa itulah yang telah mengubah nasibku dan nasib keluargaku. Malam harinya rumah kami didatangi para penjahat. Ayah dan tamu itu melakukan perlawanan sengit. Di antara para penjahat itu ada yang mengatakan, bahwa tamu Ayahku itu bukan orang she Yo, tapi orang she Pek. Tapi yang lain bilang, tak peduli siapa dia, agar tidak membocorkan rahasia harus dibunuh." kata Ciauw Siang Hoa.

"Kalau begitu musuh Ayahku penjahat itu!" pikir Kiat Bwee. "Mereka mengira Ayahku bersembunyi di rumah Paman Ciok, jadi tamu she Pek itu sahabat Ayahku."

"Saat penjahat menyerang, Ayahku menyuruh seorang budaknya membawaku kabur. Di belakang rumah kami hutan cemara," lanjut Ciauw Siang Hoa. "Budak tua itu membawaku  ke  tempat  persembunyian.  Suara beradunya senjata masih terdengar dari tempat persembunyian kami. Karena aku masih kecil hanya beberapa patah kata saja yang masih kuingat. Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu dengan Ayahku lagi. Barangkali Ayah dan tamunya telah terbunuh."

"Apa kau pernah pulang ke rumahmu?"

"Malang bagiku, budak tua yang membawaku lari terbunuh oleh sebuah anak panah. Untung aku selamat dari serangan anak panah karena tengkurup di tanah. Esok harinya kulihat rumahku telah terbakar menjadi puing. Mayat bergelimpangan karena ada yang terbakar. Saat kuhitung jumlahnya ada  sosok, padahal keluargaku berjumlah  orang, jadi aku mengira masih ada tiga orang lagi yang entah bagaimana nasibnya? Apakah mereka lolos dari pembunuhan atau bagaimana?

"Aku kira Ayahmu orang baik, pasti Tuhan melindunginya. Mungkin Paman Ciok masih hidup?" kata Kiat Bwee..

"Mudah-mudahan begitu," kata Siang Hoa. "Jika benar Ayahku masih hidup, bagaimana aku bisa menemuinya? Bagaimana pula Ayahku bisa mengenaliku?"

"Aku kira di dunia segalanya bisa saja terjadi," kata Kiat Bwee. "Kau jangan bersedih siapa tahu akan terjadi keajaiban? Aku ingin tahu bagaimana kau bisa diculik?"

'Saat aku sedang menangis di atas puing-puing rumahku, tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Saat aku menoleh ada orang berdiri di belakangku."

"Siapa dia?"

"Orang yang wajahnya codet itu!" "Mula-mula orang bercodet itu sangat baik padaku, dia mengaku she Ciu. Aku disuruh memanggil dia Paman Ciu. Kemudian dia mengajakku ke rumahnya dan berjanji akan membantu mencari ayahku. Aku sebenarnya takut pada orang itu, tapi karena aku sebatang kara terpaksa ikut dia. Sesudah kami pergi dari kampung halamanku, aku mulai sadar bahwa orang ini jahat. Selain memaki dia juga suka memukuliku. Seperti pada saat di kelenteng ketika aku ingin bicara denganmu."

"Ya, aku ingat. Lalu dia menjualmu kepada Paman Ciauw?"

"Tidak, Paman Ciauw yang menyelamatkan aku dari penjahat itu!" kata Ciauw Siang Hoa.

"Kalau begitu Paman Ciauw ini teman Ayahmu?" "Bukan, dia tidak kenal pada Ayahku!" "Bagaimana caranya dia menyelamatkanmu?"

"Ayah angkatku dulu seorang perwira tentara, anak buah Gouw Ciang-kun. Sesudah naik pangkat ayahku menjadi Congpeng di kota Un-ciu."

Sesudah berhenti sejenak Ciauw Siang Hoa melanjutkan ceritanya.

"Si Codet membawaku ke Kang-lam, ke tempat para penjahat penjual garam gelap yang terkadang juga menjual anak-anak yang berhasil diculik oleh para penculik anak- anak. Rupanya si Codet kawan akrab dengan para penjual garam gelap ini. Saat membawa anak-anak culikan di suatu tempa mereka terkepung oleh tentara. Para penjahat itu akhirnya terbunuh semua. Anak buahnya ditangkapi. Aku dan beberapa anak diselamatkan. Di antara anakanak itu kebanyakan anak orang kaya yang orang tuanya akan diperas.Tentara menggrebek mereka, dan anak-anak itu dikembalikan pada orang tua masing-masing. Karena aku sudah tidak punya sanak famili, aku dibawa pulang oleh perwira itu dan menganggap aku sebagai anak angkatnya."

"Lalu kau ceritakan asal-usulmu padanya?" kata Kiat Bwee.

"Ya," kata Ciauw Siang Hoa. "Ayah angkatku akan menyelidiki kejahatan ini, dia minta aku menyimpan rahasia diriku. Sampai adikku pun tidak mengetahui bahwa aku ini bukan kakak kandungnya."

"Kenapa begitu?"

"Isteri ayah angkatku ini isteri kedua..." "Jadi dia selir Paman Ciok?"

"Duapuluh tahun lamanya ayah angkatku bertugas di tempat jauh. dia meninggalkan isteri tua yang punya anak, yaitu adikku itu. Sedangkan tentang dia punya gundikpun masih dirahasiakan pada isteri tuanya." kata Siang Hoa.

"Oh, ternyata Paman Ciauw ini diam-diam  punya gundik di luaran," pikir Kiat Bwee.

"Saat ibu tiriku tahu bahwa aku anak yang diculik, dia mengusulkan agar aku dijadikan anak mereka," kata Siang Hoa.

"Kenapa begitu?"

"Jika ibu tiriku punya anak laki-laki, maka di mata isteri tua Ayah tiriku jadi terhormat. Ayah angkatku khawatir hartanya akan jatuh ke tangan familinya, maka dia mengangkat aku menjadi anak kandungnya dan mencatatkan namaku dalam silsilah keluarganya. Bahkan dia meminta agar aku merahasiakan asal-usulku." kata Siang Hoa.

"Riwayat hidupmu sungguh rumit," kata Kiat Bwee. Namun dalam hatinya Kiat Bwee menilai Ciauw Siang Hoa kurang jujur. Melihat Kiat Bwee kurang senang pemuda ini langsung bicara.

"Bukan maksudku ingin menguasai harta keluarga Ciauw, tapi ini terpaksa kulakukan karena ayah angkat telah menyelamatkan jiwaku. Kelak jika aku sudah bertemu dengan Ayahku, maka aku akan kembali pada Ayahku yang sejati!" kata Ciauw Siang Hoa.

Tiba-tiba Kiat Bwee mendengar ada suara, dia segera menoleh, tapi dia tidak melihat apa-apa.

"Jangan khawatir, tidak akan ada orang yang datang ke tempat ini," kata Ciauw Siang Hoa. "Tempat ini sengaja diatur oleh adik perempuanku, agar kita bisa leluasa bicara. Dia sekarang ada di kamarnya paling cepat dia baru akan menjemputmu setengah jam lagi!"

"Adikmu baik padamu, kau malah membohonginya. Tapi sebaliknya rahasiamu kau sampaikan padaku," kata Kiat Bwee alias Tik Bwee. "Apa kau lupa Paman Ciauw melarang kau membocorkan rahasia ini?"

"Sekalipun tidak aku katakan padamu, kau tahu aku bukan anak keluarga Ciauw. Kita senasib sejak pertemuan kita pertama kali, aku selalu ingat padamu," kata Ciauw Siang Hoa. "Malah kau sudah kuanggap menjadi keluargaku sendiri!"

Mendengar ucapan itu Kiat Bwee terharu.

"Aku juga selalu ingat pertemuan kita dulu. Apa Paman Ciauw sudah menyelidiki keadaan rumahmu dan siapa penjahat-penjahat itu?" kata Kiat Bwee.

"Tidak mudah menyelidiki kejadian masa lalu yang sudah lama, ditambah lagi jarak dari sini ribuan li," kata Siang Hoa. "Tapi Ayah angkatku pernah mengirim orang ke kampung halamanku. Utusan itu bilang rumahku telah musnah dan entah ke mana perginya Ayahku?"

Kiat Bwee menghela napas panjang.

"Semula aku berharap akan mendapatkan keterangan, tapi ternyata tetap terselubung mengenai kejadian yang menimpa keluargaku itu," pikir nona Kiat Bwee. "Tapi nasib dia lebih menyedihkan dibanding nasibku."

"Selama ini bagaimana keadaanmu selama di tempat keluarga Seng?" kata Ciauw Siang Hoa.

"Sekalipun kata ayahmu Seng Cap-si Kouw penjahat besar, tapi terhadapku dia baik," kata Kiat Bwee.

"Bagaimana sikap Seng Kong-cu padamu?" kata Siang Hoa.

"Mengapa kau tanyakan seal itu?" kata Kiat Bwee yang kelihatan kurang senang.

"Aku tidak bermaksud apa-apa, tapi perbuatanmu hari itu agak..." Siang Hoa tidak melanjutkan kata-katanya.

"Maksudmu aneh, begitu?" kata Kiat Bwee. "Terus terang aku salah mempermalukan dia di depan umum!"

"Bukan! Bukan itu maksudku," kata Siang Hoa. "Aku kagum padamu!"

"Kagum mengenai apanya?"

"Aku kagum karena keberanianmu, aku juga tidak tahu kenapa kau memusuhi Seng Kong-cu? Jika kau keberatan memberitahuku, aku juga tidak akan memaksamu. Padahal dia calon ketua persilatan di Kang-lam, tapi kau berani mempermalukannya di depan umum. Pasti itu menarik perhatianku!" kata Ciauw Siang Hoa.

Kiat Bwee senang dipuji demikian. "Itu bukan rahasia, kelak di lain kesempatan pasti akan aku ceritakan," kata Kiat Bwee.

Tiba-tiba Ciauw Siang Yauw muncul sambil tertawa.

"Waah. asyiknya kalian mengobrol," kata nona Ciauw. "Dasar, kau bilang hanya mau buang air kecil, kenapa

begitu lama?" kata Kiat Bwee mengomel.

"Bukan terima kasih kau malah ngomel, Kakakku kan menemanimu," kata nona Ciauw.

"Sudahlah, sudah larut malam. Kalian pergi tidur," kata Siang Hoa.

Kedua nona itu kembali ke kamarnya. Kiat Bwee tampak sangsi.

"Eh, bagaimana menurutmu Kakakku itu?" kata nona Ciauw.

"Eh, apa maksudmu?" kata Kiat Bwee.

"Bukankah kalian bicara akrab sekali, padahal setahuku Kakakku itu sangat pendiam, dengan aku saja dia jarang mau bicara. Tapi tadi dia bicara begitu lama denganmu! Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu tentang Kakakku itu?"

"Semua itu gara-gara kau, sekarang masih bertanya lagi," kata Kiat Bwee.

"Aku bertanya sungguh-sungguh, maukah kau jawab untukku?" kata nona Ciauw.

"Jika kalian kakak beradik baik padaku, aku juga begitu!" kata Kiat Bwee.

"Tapi aku yakin antara kau baik padaku dengan Kakakku  tentu  ada  bedanya,"  kata  nona  Ciauw  sambil tertawa. "Apa saja sih yang kalian bicarakan, asyik banget! Maukah kau menceritakannya padaku?"

"Yang kami bicarakan soal biasa, tentang indahnya suasana malam dan taman bungamu," kata Kiat Bwee.

"Aku tidak percaya, masa cuma itu yang kalian bicarakan?" kata nona Ciauw.

"Lalu kau kira apa yang kami bicarakan?"

"Mana kutahu, mungkin soal mesra-mesraan barangkali?" kata Siang Yauw sambil tertawa.

Kiat Bwee memegang tangan nona Ciauw, dia akan menggelitik nona itu.

"Setan kecil, ayo ngaku padaku, bukankah kau yang bersembunyi di balik semak itu tadi?" kata Kiat Bwee.

Ciauw Siang Yauw yang kegelian minta-minta ampun. "Lepaskan, aku paling tak tahan digelitik, aku geli!" kata

nona Ciauw.

"Katakan benarkah kau yang bersembunyi di sana?"

"Tidak! Aku tidak sembunyi, mungkin itu bukan aku!" "Lalu siapa? Aku mendengar suara dan melihat

bayanganmu, kalau bukan kau lalu siapa?" kata Kiat Bwee.

"Aku berada jauh di gunung-gunungan, jadi apa yang kalian bicarakan sungguh aku tidak mendengarnya," kata nona Ciauw.

"Tidak mungkin, bayangan yang kulihat di dekat kolam, kau jangan bohong!"

"Sungguh, aku tidak sembunyi di sana. Oh, barangkali Ibuku yang bersembunyi di sana!" kata nona Ciauw.

"Ibu mana?" "Apa Kakak tidak bilang padamu, dia anak ibu kedua Ayahku," kata nona Ciauw.

Mendengar keterangan itu Kiat Bwee jadi curiga, sebab tadi memang dia tidak melihat bayangan apa-apa. Dia hanya mendengar suara. Jika benar itu isteri muda ayah nona Ciauw, kenapa dia main sembunyi-sembunyian.

"Mungkin Ibuku ingin agar Kakak segera menikah, maka itu dia mencur dengar pembicaraan kalian," kata nona Ciauw.

Sudah beberapa hari Kiat Bwee berada di rumah keluarga Ciauw, tapi dia belum pernah bertemu dengan kedua isteri tuan rumah.

"Aku belum pernah bertemu dengan kedua ibumu, jika ibu mudamu ingin menemuiku, kenapa dia tidak menyuruhmu meminta aku menemuinya?" kata Kiat Bwee,

"Ibu mudaku sakit-sakitan, dia jarang keluar dari kamarnya," kata nona Ciauw. "Saat kau sampai kebetulan sakitnya sedang kambuh. Tetapi dia tahu kau sudah sampai ke mari. Malam tadi barangkali kesehatannya membaik. Ketika dia tahu Kakakku akan menemuimu, dia mengintai kalian!"

Mendengar keterangan itu Kiat Bwee jadi sangsi, dia kira pertemuan tadi tidak diberitahukan pada siapapun. Jadi dari mana ibu muda atau Kho-si mengetahui pertemuannya. Jelas dari awal perempuan itu menaruh perhatian pada Kiat Bwe.

"Tapi apa sebabnya?" pikir nona Kiat.

"Ibu kandungku sedang pergi ke rumah saudaranya, jika sudah pulang akan kuberitahu kau," kata nona Ciauw. Kiat Bwee ingin tahu lebih banyak tentang Ciauw Siang Hoa. Namun karena harus dirahasiakan, dia tidak banyak bertanya pada nona Ciauw.

Tiba-tiba Siang Yauw berkata lagi.

"Pertanyaanku belum kaujawab! Sebenarnya yang kutanyakan itu atas perintah Ayahku yang ingin tahu jawaban darimu!" kata nona Ciauw.

"Padahal ayahmu yang ingin tahu jawaban dariku, tapi kenapa kau yang menanyakannya," kata Kiat Bwee.

"Benar, Ayahku dan ibu-tiriku suka padamu, maka itu dia berharap kau mau menjadi menantunya," kata nona Ciauw. "Kau jangan berpura-pura. Tapi apa yang aku tidak tahu, apakah suka atau tidak kau pada Kakakku?"

"Lagi-lagi kau bercanda, ya? Apa kau ingin kukitik-kitik lagi?" kata Kiat Bwee.

"Sudah, jika kau malu menjawabnya sekarang, lain kali saja. Mari kita tidur," kata nona Ciauw.

Selang beberapa hari kemudian ibu kandung nona Ciauw pulang,

Kiat Bwee yang diberitahu ingin menemuinya. Tapi ibu kandung nona Ciauw masih belum bersedia ditemui. Bahkan walau sudah berkali-kali Kiat Bwee bertemu dengan Ciauw Siang Hoa. mengenai pengintaian ibu- mudanya belum diceritakan pada Ciauw Siang Hoa, karena nona Ciauw sering bersama-sama mereka.

Berhubung musuh besarnya belum terlacak, dan Kiat Bwee menaruh curiga pada ibu-muda Ciauw Siang Hoa,dedang Thian Hiang pun belum menyusul ke rumah keluarga Ciauw, maka Kiat Bwee pun jadi iseng sendiri.

-o-DewiKZ^~^aaa-o- Dikisahkan saat itu keadaan Liong Thian Hiang yang berada di rumah keluarga Bu sedang bergembira. Nona Liong mengira Kiat Bwee pun sudah menemukan kawan hidupnya di sana. Maka itu dia tidak segera menyusulnya.

Pada suatu hari Bu Hian Kam pesiar bersama kekasihnya Liong Thian Hiang ke atas bukit. Ketika itu justru jatuh pada musim semi. Cuaca hari itu sangat cerah. Di lereng bukit tampak bunga-bunga sedang bermekaran beraneka warna. Tak jauh dari situ tampak air terjun turun dari celah- celah bukit. Sinar matahari pun menambah keindahan pemandangan alam di sekitarnya.

Ketika itu kedua muda-mudi yang asyik pacaran itu sedang menikmati pemandangan alam yang sangat indah. Sesudah merasa lelah. Liong Thian Hiang mengajak Bu Hian Kam duduk beristirahat di tepi sungai. Tapi sebelum mereka istirahat nona Liong memetik beraneka macam bunga. Saat istirahat itu barulah bunga-bunga itu dia rangkai.

"Bagaimana, indah tidak?" kata Liong Thian Hiang. Bu Hian Kam mengambil rangkaian bunga itu, lalu dia kalungkan ke leher nona Liong.

"Bunga ini untukmu, tapi kini malah kau yang memberikannya kepadaku," kata nona Liong.

"Kebiasaan di tempat ini hanya pengantin wanita yang memakai kalung bunga," kata Bu Hian Kam sambil tersenyum.

"Ngaco!" kata si nona.

"Bukan ngaco, tapi dengan bunga itu kau tampak lebih cantik," kata Bu Hian Kam. "Aku juga belum tahu, apakah aku bernasib baik bisa menyunting bunga secantik kau atau tidak?"

Berhubung ayah nona Liong baru meninggal dua tahun yang lalu, masa berkabung nona Liong tinggal setahun lagi. Sedangkan ucapan Bu Hian Kam tadi seolah ingin membicarakan pernikahan mereka.

"Iih, kau ngaco lagi!" kata si nona.

"Kalau kau tidak suka membicarakan tentang kita, mari bicarakan tentang orang lain saja," kata Hian Kam. "Ayahku diundang oleh Bun Yat Hoan. Tapi karena hubungan Ayahku tidak akrab dan jarak rumah Bun Yat Hoan sangat jauh, aku tidak datang ke pesta pernikahan muridnya. Aku dengar pengantin perempuannya she Ci dan cantik sekali serta sangat terkenal."

"Ya, selain cantik dia juga cerdas dan ilmu silatnya tinggi. Tapi sayang, kau sudah kedahuluan Seng Liong Sen!" kata nona Liong menggoda.

"Bagiku, kau bagaikan bidadari, malah banyak yang iri kepadaku lho. Maka kenapa aku harus iri kepada orang lain?" kata Bu Hian Kam sambil tersenyum.

Tiba-tiba Nona Liong ingat pada Kiat Bwee, tanpa merasa dia menghela napas perlahan. Kejadian itu membuat Bu Hian Kam terperanjat. Dia awasi kekasihnya.

"Eeh, kenapa kau menghela napas? Aku bicara sewajarnya tanpa maksud lain!" kata pemuda itu.

"Kau salah paham, aku tidak peduli apakah kau menyukai perempuan lain atau tidak!" kata si nona.

"Lalu kenapa kau mengeluh?"

"Aku ingat pada Kak Kiat Bwee, dia she Yo. Dia bernasib malang sekali!" kata nona Liong. Bu Hian Kam pernah mendengar cerita nona Liong tentang Kiat Bwee.

"Memang kasihan, nasibnya buruk sekali. Tapi kau bilang dia sudah mendapat jodoh?" kata Bu Hian Kam.

"Aku berharap mudah-mudahan dia mendapatkan jodoh yang cocok," kata nona Liong. "Malah aku ingin bertanya padamu tentang pria pilihannya itu!"

"Maksudmu bagaimana?"

"Aku ingin tahu bagaimana keadaan orang she Ciauw yang kuceritakan padamu dulu. Apakah kau kenal dengan puteri Ciauw Goan Hoa?" kata nona Liong.

"Mereka keluarga akhli silat ternama," kata Bu Hian Kam. "Ciauw Goan Hoa pernah menjadi Cong-peng (Letnan). Hanya sayang kami tidak punya hubungan dengan mereka!"

"Bisa dikatakan kalian bertetangga, kenapa tidak berhubungan?"

"Tabiat Ciauw Goan Hoa agak aneh. dia tidak suka bergaul dengan tetangganya. Aku dengar familinya banyak di tempat jauh. Saat baru pulang kampung, memang dia berkirim kartu nama sebagai pemberitahuan sesama orang Kang-ouw. Namun, dia tidak mengundang kami ke rumahnya. Sejak saat itu kami tidak berhubungan lagi dengannya."

"Oh, begitu!" kata nona Liong. "Untung dia bekas pejabat, kalau tidak mungkin dia dituduh kepala penjahat yang mengasingkan diri'"

"Hati-hati menilai orang, setiap orang memiliki tabiat sendiri-sendiri," kata Bu Hian Kam. "Tapi putera-puterinya aneh, mereka bisa bergaul. Buktinya dia mau mengundang kami ke rumahnya. Aku jadi ingin ke sana. kau mau ikut?" kata nona Liong.

Tiba-tiba muncul seorang pelayan yang meminta mereka pulang karena ada tamu yang harus ditemui mereka. Tiba  di rumah benar saja ada dua orang tamu. Mereka masingmasing she Cio dan she Theng dari golongan tua. Mereka mengaku sebagai saudara angkat. Ketika ditanya mereka bermaksud menanyakan tentang tempat tinggal Yo Tay Ceng, ayah nona Yo Kiat Bwee.

"Apa betul dulu nona tetangganya?" tanya si tamu. "Benar, tapi Paman Yo sudah lama meninggal," kata

nona Liong.

"Tentang hal itu sudah lama kami dengar, tapi kami ingin mencari puterinya. Tadi dari Bu-ceng-cu, khabarnya nona pernah berjalan bersama puterinya itu. Apa benar, di mana dia sekarang?"..

Nona Liong jadi heran mendengar kata-kata tamu itu, sebab baru kali ini ia mendengar Yo Tay Ceng punya saudara angkat. Padahal mereka berasal dari Utara. Tapi karena dia kenal keluarga Bu, maka nona Liong pun merasa tidak masalah bila menjelaskan di mana adanya Yo Kiat Bwee pada mereka.

"Benar, kami pernah jalan bersama dan menghadiri pesta pernikahan di rumah Bun Tay-hiap," kata nona Liong.

"Apa yang menikah itu pemuda bernama Seng Liong Sen, keponakan Seng Cap-si Kouw yang terkenal  tahun yang lalu?" kata orang she Theng.

"Benar, malah aku dengar, dulu Yo Cici diculik dan dijual pada Seng Cap-si Kouw!" kata nona Liong. Kedua tamu itu saling pandang sesamanya.

"Kebetulan, sekarang nona Kiat ada di mana?" kata mereka hampir bersamaan.

"Dia ada di rumah keluarga Ciauw," kata Liong Thian Hiang.

"Pasti kalian juga pernah mendengar nama Ciauw Goan Hoa, dia tinggal di Ciauw-yang-kwan," kata Bu Yan Cun.

"Untunglah, kalau begitu dia akan mudah kami cari," kata orang she Cio. "Terima kasih atas keteranganmu ini, nona Liong!"

Keduanya lalu pamit. Sesudah kedua tamu itu pergi, nona Liong bertanya pada ayah Bu Hian Kam.

"Paman, kau percaya pada mereka? Rasanya aku belum pernah mendengar Paman Yo punya saudara angkat?" kata nona Liong yang kelihatan ragu-ragu.

"Dulu Paman Yo pernah bekerja di perusahaan ekpedisi di daerah Utara. Sudah pasti pergaulannya sangat luas. Tidak heran jika dia punya saudara angkat di mana-mana. Aku kira mereka orang baik-baik!" kata Bu Yan Cun.

"Kalau begitu, legalah hatiku," kata Bu Hian Kam.

Tapi nona Liong masih ragu-ragu. Malamnya dia tidak bisa tidur.

Esok harinya dia mengajak Bu Hian Kam menyusul Kiat Bwee di rumah keluarga Ciauw. Setelah ada kata sepakat. Bu Hian Kam mengajak nona Liong mengambil jalan pintas, supaya mereka bisa segera sampai di tempat tujuan.

Sudah belasan hari Kiat Bwee tinggal di rumah keluarga Ciauw. Tapi selama itu dia belum pernah bertemu dengan isteri muda Ciauw Goan Hoa. Sejak dia dengar dari Ciauw Siang Yauw, bahwa ibu-tirinya pernah mengintai saat dia bertemu dengan Ciauw Siang Hoa, Kiat Bwee jadi curiga.

Suatu hari Kiat Bwee pesiar ke suatu tempat bersama Ciauw Siang Yauw. Saat sudah kelelahan mereka istirahat di suatu tempat. Saat istirahat itulah Siang Yauw berkata pada Kiat Bwee.

"Aku dengar Seng Cap-si Kouw itu lihay, dan kau sudah ikut dia cukup lama. Bagaimana jika kau tunjukkan salah satu dua jurus ilmu silat yang kau pelajari darinya?” kata Ciauw Siang Yauw.

"Aku cuma pelayan, mana boleh aku belajar ilmu silatnya," kata Kiat Bwee. "Memang aku pernah diberi petunjuk beberapa jurus, tapi aku kira tidak pantas untuk diperlihatkan!"

"Kau jangan berkata begitu, apa kau masih belum menganggapku sebagai teman baikmu?" kata Ciauw Siang Yauw.

"Kalau begitu baiklah, sesudah aku kau pun harus menunjukkan kepandaianmu," kata Kiat Bwee.

Sesudah Kiat Bwee mempertunjukkan ilmu silatnya, Siang Yauw pun memainkan beberapa jurus ilmu silatnya.

"Apa nama ilmu golokmu itu? Aku kagum hingga mataku jadi silau melihatnya," kata Kiat Bwee memuji.

"Ini ilmu golok Pat-kwa (Delapan Diagram), bergerak berdasarkan garis Pat-kwa," kata Ciauw Siang Yauw. "Tapi Kakakku lebih lihay dibandingkan dengan aku!'*

"Kenapa begitu, tidak mungkin ayahmu pilih kasih," kata Kiat Bwee heran.

"Tidak! Ayah tidak pilih kasih. Kakakku sering bersama Ayah  dan  isteri  kedua  Ayahku.  Dia  yang  lebih  sering belajar ilmu silat keluarga kami. Malah cuma Kakakku yang belajar ilmu silat dari isteri muda Ayahku."

"Jadi ibu-tirimu juga bisa silat? Tapi kenapa dia sering – sakit-sakitan?" kata Kiat Bwee.

"Dia sudah sakit sejak menikah dengan Ayahku, apa sakitnya sejak dulu aku juga tidak tahu!" kata Ciauw Siang Yauw.

Kiat Bwee mengangguk, dia jadi bertambah sangsi. "Kalau begitu ibu-tirimu yang pilih kasih," kata Kiat

Bwee. "Tapi kalian berdua akur. kenapa kau tidak minta diajari pada kakakmu?"

"Dia mau mengajariku tapi aku yang enggan belajar darinya," kata Siang Yauw.

"Kenapa?"

"Aku kurang suka pada isteri-muda Ayah, sengaja aku membuatnya jengkel. Tapi aku suka pada Kakak apalagi sesudah kau.... kau. "

"Huss! Jangan ngaco!" kata Kiat Bwee yang tahu ke mana arah pembicaraan nona Ciauw ini.

Kiat Bwee berpikir keras.

"Kenapa dia tak suka pada ibu-tirinya, apakah wajahnya jelek. Atau dia galak sekali dan dingin?" pikir Kiat Bwee.

"Agaknya kau tidak senang jika aku menyebut-nyebut Kakakku. Apa kau memang tidak senang atau hanya berpurapura tidak suka?" kata Ciauw Siang Yauw sambil tertawa.

Tak lama tampak seseorang mendatangi.

"Tuh dia datang! Dia malah datang saat kita sedang membicarakannya!" kata Siang Yauw. Saat Kiat Bwee menoleh, benar saja kakak nona Ciauw mendatangi ke arah mereka.

"Kak, kau ingin bertemu Kakak Kiat, ya? Jangan terburuburu begitu!" menggoda Ciauw Siang Yauw.

"Aku menyusul kalian karena ada masalah. Jadi sengaja aku menyusul untuk memberitahu Nona Yo!" kata kakaknya.

"Ada masalah apa?" tanya Kiat Bwee.

"Di rumah telah kedatangan dua orang tamu. Mereka mengaku saudara angkat ayahmu, Nona Yo," kata Ciauw Siang Hoa.

"Dua orang tamu. siapa mereka?"

"Yang seorang mengaku she Cio, seorang lagi mengaku she Theng, usia mereka lebih dari limapuluh tahun. Mereka mengaku datang dari daerah Utara. Kau kenal dengan mereka?" kata Ciauw Siang Hoa.

"Tidak. Ayahku pun tidak pernah menceritakan tentang mereka!" kata Kiat Bwee.

"'Karena sejak maih kecil kau diculik, mungkin kau juga sudah lupa," kata Ciauw Siang Yauw.

"Benar barangkali begitu," kata Kiat Bwee.

"Aku sangsi apa maksud kedatangan kedua orang itu," kata Ciauw Siang Hoa. "Malah saat bicara dengan Ayah, dia bicara bisik-bisik dengan bahasa kalangan Kang-ouw, tentu saja aku jadi tidak mengerti. Sikap Ayah sangat hormat kepada mereka, tapi saat Ayah menyuruhku menyusul kalian, ada dua kalimat Ayah yang menimbulkan kecurigaanku. Sambil mengedipkan mata Ayah berkata padaku, 'Adik Yauw dan Nona Yo sedang ke rumah neneknya.  Mereka  belum  tentu  bisa  buru-buru  pulang. Bagaimana, ya?' kata ayah. Apa benar kau bilang pada Ayah kalian akan ke rumah Nenek?"

"Aku tidak bilang mau ke rumah Nenek." kata Ciauw Siang Yauw ikut heran.

"Tepat! Maka itu aku jadi curiga, apa maksud kedua orang itu terhadap Nona Yo? Jangan-jangan mereka berniat jahat?" kata Ciauw Siang Hoa.

"Kalau begitu kau hindari saja mereka Kakak Kiat Bwee," kata Ciauw Siang Yauw.

"Justru aku ingin tahu apa mau mereka? Biar akan kutemui mereka," kata Kiat Bwee.

"Kalau begitu, mari kita pulang. Sampai di sana kita lewat taman dekat ruang tamu. Nanti lewat jendela kau bisa mengintai mereka. Apakah kau kenal dengan mereka atau tidak?" kata nona Ciauw.

"Baik, mari kita pulang," kata Kiat Bwee.

Sesampai di rumah mereka mengendap-endap di taman bunga, kemudian mereka mengintai ke ruang tamu. Saat itu kedua tamu itu sedang ngobrol dengan ayah nona Ciauw. Kedua tamu itu kelihatan sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Kiat Bwee.

Melihat kedua orang itu Kiat Bwee sedikit terperanjat. Orang she Cio tidak dikenalinya, tapi orang she Theng itu samar-samar masih dikenalinya sebagai penculik saat dia masih kecil.

"Hm! Sungguh nekat orang ini, dia berani mencariku. Dengan demikian cita-citaku untuk membalas dendam akan terlaksana hari ini. Tapi dari keterangan Ciauw Siang Hoa tadi, aku kira dia punya hubungan baik dengan ayah angkatnya.  Sebaiknya  tidak  kuberitahukan  pada  Paman Ciauw tentang niatku akan membalas dendam ini!" pikir Kiat Bwee.

Sesudah Kiat Bwee mengambil keputusan, dia akan menyerang orang she Theng itu dengan jarum beracun. Tibatiba dia berdiri di muka jendela. Tangannya bergerak menyebarkan jarum beracun ke arah orang she Theng itu. "Kat-cu-ciam " (Jarum Kalajengking) itu senjata khas buatan keluarga Seng. Jika terkena jarum itu, lawan akan terluka dan tubuhnya akan membusuk tidak bisa diobati lagi. Senjata ampuh itu sengaja dia curi dari rumah Seng Cap-si Kouw agar bisa membalas dendam pada musuhnya.

Saat itu orang she Theng itu sedang asyik bicara dengan tuan rumah dan membelakangi jendela tempat Kiat Bwee menebarkan segenggam jarum ke arahnya. Jarum itu menyambar tanpa menimbulkan suara sedikitpun. hingga orang she Theng itu tampaknya tidak tahu datangnya bahaya atas dirinya.

Kiat Bwee girang dan yakin usaha balas-dendamnya akan berhasil. Tetapi di luar dugaan. Ciauw Goan Hoa mengibaskan tangannya, hingga sebelum jarum-jarum itu mengenai orang she Theng, jarum-jarum itu berhasil disampok oleh Ciauw Goan Hoa. Ketika jarum-jarum itu berjatuhan ke lantai. Kiat Bwee kecewa sekali! Dia  langsung menghunus pedangnya dan melompat lewat jendela ke dalam ruang tamu.

"Nona Yo jangan! Mereka tamu-tamuku. " teriak Goan

Hoa. Tapi pedang Kiat Bwee sudah menusuk ke arah orang she Theng itu.

"Paman, orang inilah penculikku yang telah membuat aku sengsara! Aku mohon Paman jangan ikut campur!" kata Kiat Bwee.

"Bagus! Kau masih mengenaliku!" kata orang she Theng. Sambil mengibaskan lengan baju yang terpapas kutung oleh pedang Kiat Bwee, dia sudah menghunus goloknya. Kiat Bwee menyerang sebanyak tiga kali. Tetapi sayang serangan Kiat Bwee berhasil ditangkis oleh orang she Theng itu.

Ciauw Siang Hoa maupun Ciauw Siang Yauw sudah sampai ke dalam ruang tamu. Mereka kaget menyaksikan pertarungan itu.

Ciauw Siang Hoa baru sadar, kalau dulu dia juga pernah bertemu sekali dengan orang she Theng itu di kelenteng. Sesudah mendengar Kiat Bwee bicara tentang orang she Theng itu, dia baru ingat semua kejadian itu dengan jelas.

Ilmu silat yang diperoleh Kiat Bwee dari Seng Cap-si Kouw ternyata mampu untuk mendesak orang she Theng mundur. Melihat keadaan makin gawat bagi kawannya, orang she Cio itu tidak tinggal diam. Sambil tertawa dia menyerang Kiat Bwee.

Tidak disangka orang she Cio ini lebih lihay dibandingkan kawannya. Buru-buru Ciauw Siang Hoa maju akan membantu, tapi tangkisan orang she Cio membuat tangan Ciauw Siang Hoa terasa panas karena berbenturan dengan tangan orang she Cio itu. Melihat Siang Hoa maju, orang she Cio jadi ragu melancarkan serangannya. Dia malu pada ayah Ciang Hoa, Ciauw Goan Hoa.

"Ciauw Goan Hoa, kau pasti sudah tahu siapa aku? Tolong suruh mundur puteramu ini, supaya dia jangan ikut campur!" kata orang she Cio.

Mendengar teguran itu Ciauw Goan Hoa jadi ragu. Dia mampu mengalahkan kedua tamunya itu, namun orang yang berada di belakang kedua tamunya itu membuat Ciauw Goan Hoa ragu-ragu. Maka itu dia minta puteranya supaya mundur teratur. Tapi Ciauw Siang Hoa seolah tidak mendengar peringatan ayah nya, dia hunus pedangnya dan langsung melancarkan serangan maut. Sebenarnya dia sudah lupa siapa orang she Cio ini, tetapi suara tawanya membuat dia ingat pada seseorang. Kenangan saat rumahnya hancur berantakan teringat kembali oleh Siang Hoa.

Suara tawa itu sangat dikenalinya dan diingat selama hidupnya. Dia ingat saat dibawa kabur oleh pelayan tua, tawa itu terdengar jelas olehnya. Jadi tawa itulah yang membuat dia geram. Dengan mata berapi-api dia menyerang dengan hebat. Tawa itu yang membuat Siang Hoa kalap.

Serangan Ciauw Siang Hoa tidak diduga oleh orang she Cio itu. Dia tak sempat menghunus senjatanya.

"Hentikan Siang Hoa!" teriak ayahnya.

Ciauw Siang Hoa tidak mau menghentikan serangannya. Sedang orang she Theng bertarung dengan Kiat Bwee. Melihat anaknya bandel Ciauw Goan Hoa melancarkan pukulan untuk memisahkan pertarungan antara Ciauw Siang Hoa dan orang she Cio itu.

Saat itu orang she Cio mengeluarkan Houw-thouw-kauw (Gaetan berkepala harimau), sedang Ciauw Siang Hoa sudah maju kembali menyerangnya.

"Ciauw Goan Hoa, kau tidak bisa mengendalikan anakmu, maka terpaksa aku yang akan menghukumnya," kata orang she Cio itu.

Dia menangkis serangan lawan sambil menjepit pedang Siang Hoa, sedang gaetan yang lain menyambar menyerang anak muda itu. Ketika keadaan sudah sangat kritis bagi anaknya,  Siang  Hoa,  untung  ayah  Siang  Hoa  sempat menyambit gaetan orang she Cio itu dengan sebuah cangkir.

"Trang!"

Cangkir hancur berantakan di lantai. Orang she Cio itu kaget. Melihat kesempatan ini Ciauw Siang Hoa menarik pedangnya dan langsung menyerang tangan orang she Cio hingga tergores meninggalkan luka cukup parah.

"Bagus! Kalian memusuhiku. Tunggu tiga hari lagi kami akan datang mencari kalian!" kata orang she Cio.

Sesudah itu dia mengambil bendera kecil yang dia sambitkan ke atas meja. Itu bendera bergambar tengkorak manusia berwarna hitam. Melihat bendera itu Ciauw Goan Hoa terperanjat.

"Kau kenal bendera itu, bukan?" kata orang she Cio. "Dalam tiga hari jika kau insaf, segera serahkan nona Yo pada kami!"

Sesudah itu kedua tamu tak diundang itu kabur. Ciauw Siang Hoa mengejar keluar.

"Dia musuh besarku, Ayah! Aku tidak bisa membiarkan dia lolos!" kata Ciauw Siang Hoa.

"Hoa, anakku kembali!" kata Ciauw Goan Hoa.

Tapi Siang Hoa sudah berlari jauh diikuti Ciauw Siang Yauw dan Kiat Bwee mengejar musuh. Terpaksa Ciauw Goan Hoa pun ikut mengejar. Jika perlu dia pun akan membantu anaknya melawan kedua tamu itu. Saat baru akan berhasil mengejar lawan, kelihatannya Ciauw Siang Yauw yang melompaii tembok pagar terjatuh. Tidak lama muncul seorang wanita yang rambutnya terurai. Kiranya dia isteri muda Ciauw Goan Hoa. Kho-si ikut mengejar. Saat mereka sudah dekat, dia menarik suaminya yang kaget karena tidak mengira isteri mudanya begitu lihay. Dia tahu isteri-mudanya bisa silat, tapi tidak mengira begitu lihay. Ciauw Siauw Yauw terjatuh, ternyata dia jatuh oleh hajaran senjata rahasia sang isteri.

"Heran kenapa dia serang anak Yauw dan aku tidak boleh menolongi si Hoa?" pikir Ciauw Goan Hoa.

Melihat suaminya bingung isteri mudanya seolah mengerti.

"Jangan cemas, anak Yauw akan pulih sesudah sejam kemudian." kata sang isteri muda.

Kemudian dia memanggil pelayannya.

"Bawa sio-cia ke kamarnya! Jangan sampai Toa-nio mengetahuinya!" kata Kho-si.

"Kau halangi anak Yauw mengejar musuh, tapi kenapa kau tidak mencegah Hoa mengejar mereka?" kata suaminya.

"Aku tidak ingin dikenali oleh mereka," jawab sang isteri. "Anak Hoa ingin balas-dendam, sulit dicegah. Jika kau susul mereka, pasti kau pun akan bertarung untuk membela anakmu. Aku tidak ingin kau berbuat begitu!"

"Kenapa?"

"Mari kita bicara di dalam saja," kata isterinya. dia bawa suaminya ke ruang tamu.

Sambil menunjuk bendera kecil di atas meja isterinya berkata.

"Sesudah melihat bendera ini, masakan kau tidak bisa mengenali siapa mereka?" kata isterinya.

"Kau juga tahu mengenai bendera ini?" kata suaminya. "Ya. Ini bendera bajak yang malang-melintang di wilayah Timur! Nama ketuanya Kiauw Sek Kiang. Orang she Cio itu anak buahnya!"

"Dari mana kau ketahui hal itu?"

"Apa kau lupa bagaimana kita bertemu? Saat itu kau bantu aku mengusir penjahat anak buah Kiauw Sek Kiang. Ketika itu dia masih bergerak di daratan," kata isterinya.

Duapuluh tahun yang lalu Ciauw Goan Hoa seorang komandan tentara di kota Tin-kang. Dia berhasil menolong seorang wanita yang sedang dikepung penjahat. Orang itu adalah Kho-si yang menjadi isteri-mudanya. Ketika itu ayah Kho-si jadi piauw-su dan barang antarannya dirampok penjahat. Sesudah menjadi piatu dia bersedia menjadi isteri Ciauw Goan Hoa yang menolonginya dari bahaya.

"Jadi mereka juga musuhmu?" kata suaminya. "Kenapa kau tidak menuntut balas pada mereka?"

"Musuh bersarku Kiauw Sek Kiang!" kata sang isteri- muda. "Jadi percuma jika aku hanya membunuh anak buahnya."

"Hoa sekalipun bukan anak kandungmu, tapi kaulah yang membesarkan dia. Kenapa kau tidak mencegahnya agar dia tidak masuk perangkap musuh?" kata suaminya.

"Aku tidak ingin kau menanam permusuhan, aku juga yakin anak Hoa dan nona Yo akan sanggup menghadapi mereka, maka itu aku tidak mencegahnya!" kata isterinya. "Terus terang aku sedang melatih ilmu silat khusus, jika sudah mahir aku yakin akau bisa mengalahkan Kiauw Sek Kiang!"

"Tapi, apa masih ada sesuatu yang kau rahasiakan padaku?" kata suaminya yang sedikit ragu-ragu "Memang ada yang mau kukatakan, sekarang lebih utama kita hindari musuh, kelak akan kuceritakan padamu!" kata isterinya.

Ciauw Siang Hoa dan Kiat Bwee mengejar kedua tamu tak diundang itu. Sesudah mereka sampai di luar kampung, sambil mengejar Ciauw Siang Hoa berteriak.

"Kau mau kabur ke mana bajingan!" kata Siang Hoa sambil menyambitkan piauw ke arah lawan. Tapi tidak mengenai sasaran.

Tiba-tiba kedua orang itu berhenti berlari. Malah orang she Cio itu tertawa dingin.

"Hm! Ada kesempatan baik, malah kalian memilih kematian!" kata orang she Cio itu. "Kau jangan lari!"

"Aku yakin mereka tidak akan lolos dari tangan kita!" kata orang she Theng.

Tak lama mereka sudah mulai bertarung. Mula-mula keadaan seimbang, tapi karena Kiat Bwee terlalu bernapsu dan kurang hati-hati, kedua muda-mudi ini mulai terdesak.

Malah dalam suatu serangan orang she Cio berhasil menggaet tusuk konde Kiat Bwee.

"Hati-hati, jangan terlalu bernapsu nona Yo, tak lama lagi Ayah akan tiba!" kata Ciauw Siang Hoa.

"Hm! Kau jangan berharap yang tidak-tidak," kata orang she Cio. "Kau panggil dia ayah, padahal bukan ayah kandungmu. Dia pun tidak sayang padamu!"

"Dia tidak akan memusuhi Kiauw To-cu, sekalipun harus menolongi puteranya," kata orang she Theng. "Lebih baik kalian menyerah, dengan demikian nyawamu akan selamat!" Dengan sabar Ciauw Siang Hoa menghadapi kedua musuh itu bersama Kiat Bwee. Tapi heran setelah sekian lama ayahnya belum juga muncul.

"Ke mana dia, kenapa tidak menolongiku?" pikir Siang Hoa. "Apa dia sudah tidak peduli pada keselamatanku?"

Orang she Theng sedang bertarung dengan Kiat Bwee. Sekalipun ilmu silatnya tidak tinggi, dia mampu menghadapi nona ini. Orang she Cio terlihat sering membantu orang she Theng menyerang Kiat Bwee, namun karena Kiat Bwee belajar silat dari Seng Cap-si Kouw,  maka dia masih mampu mengimbangi lawannya. Krena mereka sulit mengalahkan kedua muda-mudi ini, kelihatannya mereka mulai nekat. Saat kedua muda-mudi mulai kewalahan, tiba-tiba terlihat dua penunggang kuda mendatangi. Penunggang yang perempuan segera berteriak.

"Kiat Bwee, siapa yang sedang kalian hadapi itu?" kata si nona.

Melihat kedatangan nona itu Kiat Bwee girang.

"Kakak Liong, dia penculikku, mereka musuh besar keluargaku!" kata Kiat Bwee yang mengenali Liong Thian Hiang.

Mendengar jawaban itu Thian Hiang langsung meminta kawannya membantu.

"Hian Kam, kau serang orang yang bersenjata gaetan!" kata nona Liong.

Melihat pria yang datang bersama nona Liong masih muda, orang she Cio memandang rendah padanya. Tetapi sesudah bertarung sekian lama dia sadar bahwa pemuda ini lihay sekali. Dia bertambah kaget lagi saat mendengar jeritan orang she Theng itu. Rupanya kawannya ini tertusuk oleh  pedang  nona  Liong.  Orang  she  Cio  memang sudah sejak tadi ingin pergi, jadi melihat ketika Theng terluka maka dia pun berteriak.

"Lari!" katanya.

Tapi sebelum dia sempat kabur dengan jurus "Tiat- sohhengkang" (Rantai besi melintang di sungai), Bu Hian Kam menyerangnya dengan hebat, tak ampun lagi gaetan orang she Cio itu terlepas dari cekalannya. Rupanya Cio sudah kelelahan, apalagi sekarang dia menghadapi pemuda lihay. Untung dia lihay, sekalipun senjatanya tinggal satu, dia masih mampu membalas menyerang lawan. Sedang tangan kirinya dipakai menangkis pedang Ciauw Siang Hoa.

Berhubung pedang Bu Hian Kam belum bisa ditarik, dia gunakan tangannya menangkis serangan orang she Cio itu. Saat beradu tangan Hian Kam mundur beberapa langkah ke belakang, kesempatan ini digunakan untuk kabur oleh orang she Cio.

Orang she Theng ketakutan melihat kawannya kabur, dia juga ingin kabur. Tapi serangan Liong Thian Hiang dan Kiat Bwee secara berbareng membuat dia kaget. Pedang nona Liong berhasil melepaskan goloknya, sedang pedang Kiat Bwee melukai bahu orang she Theng ini. Kedua nona itu girang mereka tertawa.

"Bagaimana kau bisa menemukan musuh besarmu, Kakak Bwee? Siapa orang yang kabur tadi?"

"Nanti akan kujelaskan padamu," kata Kiat Bwee. "Orang yang kabur itu musuh besar keluargaku," kata

Ciauw Siang Hoa ikut bicara.

Sesudah itu Ciauw Siang Hoa mengancam orang she Theng dengan pedangnya. "Katakan! Kawanan penjahat mana yang menghancurkan rumahku? Apakah Ayahku terbunuh atau tidak?" kata Siang Hoa.

"Jawab, atas perintah siapa kau menculikku?" kata Kiat Bwee yang juga sengit.

"Anak sial! Kau telah melukaiku hingga ilmu silatku musnah. Bunuh saja aku dan jangan harap kau mendapat keterangan dariku!" kata orang she Theng.

Dia meringis kesakitan karena bahunya terluka. "Benarkah ucapanmu, baik rasakan pedangku ini!" kata

Kiat Bwee semakin gemas.

Sekarang Kiat Bwee menyerang iga lawannya dengan jarum beracunnya.

"Cress!"

"Aduuh!" teriak orang she Theng.

Tak lama dia merasakan tubuhnya kesemutan. Lama- lama semakin sakit, seolah digigit ratusan ular berbisa. Dia merintih kesakitan.

"Oh, sakitnya! Tolong berikan obat pemunahnya Nona!" kata orang she Theng. "Semua yang kau inginkan akan kujelaskan!"

Mendengar orang itu mau mengaku, Kiat Bwee akan memberi obat pemunah. Tapi tiba-tiba Bu Hian Kam berteriak.

"Siapa itu?"

Nona Liong menarik Kiat Bwee untuk menghindari serangan gelap. Orang she Theng yang terkena jarum pun langsung roboh dan tidak berkutik lagi.

"Dia terkena senjata rahasia!" teriak Kiat Bwee. Bu Hian Kam langsung mengejar orang itu. Saat diperiksa, benar saja, bagian belakang kepala orang she Theng itu tertembus sebuah panah kecil beracun berwarna hitam. Padahal orang she Theng itulah satu-satunya orang yang bisa memberi keterangan. Tetapi dia telah mati oleh kawannya yang tidak ingin orang she Theng itu membuka rahasia. Tak lama Bu Hian Kam sudah kembali, dia tidak berhasil mengejar musuh itu.

"Aneh," kata nona Liong. "Orang she Cio tadi tidak selihay orang yang dikejar oleh Hian Kam. Siapa dia?"

"Sudah, mari kita ke rumah Paman Ciauw, kita bicarakan nanti dengan beliau," kata Hian Kam.

Pulanglah mereka bersama-sama. Sampai di rumah mereka lihat Ciauw Goan Hoa masih berunding dengan isterimudanya. Melihat putera-puterinya pulang dengan selamat, Goan Hoa girang sekali.

"Eeh, bagaimana, apa kalian tidak apa-apa?" kata Goan Hoa. "Untung mereka berdua datang membantu kami," kata Ciauw Siang Hoa.

"Oh, terima kasih, bagaimana ayahmu baik-baik saja?" "Baik,  terima  kasih.  Paman," kata  Bu Hian Kam. "Saat

Paman pulang kampung, Ayah tidak sempat datang untuk

mengucapkan selamat pada Paman. Sekarang aku mewakili Ayahku menyampaikan salam pada Paman Ciauw!"

"Tidak apa, malah seharusnya aku yang berkunjung ke rumah ayahmu," kata Ciauw Goan Hoa. "Siapa Nona ini?"

"Dia puteri Liong Pek Giam, pendekar daerah Kang- lam. Kedatangan kami untuk menjemput Nona Yo," kata Bu Hian Kam. "Aku dengar dulu nona Yo tetangga kalian?" kata nona Liong. "Kemarin dua penjahat itu datang ke rumah keluarga Bu. Kemudian sesudah memperoleh keterangan, mereka menyusul ke mari. Aku curiga, maka itu kami menyusul ke mari. Kami bertemu saat puteramu dan nona Yo sedang bertarung dengan mereka. Kedatangan kami sungguh kebetulan."

"Ayahmu pun sudah lama kukagumi," kata Ciauw Goan Hoa. "Aku senang kalian selamat. Sebenarnya aku ingin menemui Ayah saudara Bu, tapi saatnya belum mengizinkan."

"Paman Ciauw benar, sesudah peristiwa tadi Paman jangan meninggalkan rumah. Biar aku akan minta Ayahku berkunjung ke mari, bagaimana?" kata Bu Hian Kam.

"Oh! Bukan begitu maksudku, malah kami akan pergi dari sini. Terima kasih atas kebaikanmu," kata Ciauw Goan Hoa.

"Ayah, kita mau pergi ke mana? Orang she Cio itu musuh besarku, malah aku berharap dia kembali lagi ke mari!" kata Ciauw Siang Hoa.

"Nak, kau tidak mengetahui bahwa orang she Cio itu punya andalan yang hebat. Dia mengandalkan Kiauw Sek Kiang, bajak laut yang sangat ganas itu!" kata ayahnya.

"Aku tidak ingin menyusahkan Ayah, maka itu aku tidak akan pergi dari sini!" kata Ciauw Siang Hoa tegas.

"Nak, bukan aku mau meninggalkanmu, tapi aku bukan tandingan Kiauw Sek Kiang. Jangan terburu napsu, seperti kata pepatah yang mengatakan : "Sepuluh tahun lagi juga belum terlambat bagi seorang pria sejati!" kata ayahnya. "Anakku, Ayahmu benar. Mari kau ikut kami bersamasama," kata Kho-si, isteri-muda Ciauw Goan Hoa. "Aku berjanji masalahmu akan kuselesaikan kelak!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar