Beng Ciang Hong In Lok Jilid 31

Pada saat sedang kebingungan dari arah sebuah lereng, kelihatan Kok Siauw Hong berjalan mendatangi. Di sepanjang jalan Kok Siauw Hong memutar otak. Dia bingung apa yang harus dia katakan, jika dia bertemu dengan Ci Giok Hian? Pada saat Kok Siauw Hong itu dia jadi kaget karena bertemu dengan Chan It Hoan di tempat itu.

"Eeh, Chan Toa-siok, apa khabar? Kapan Chan Toa-siok sampai?" kata Kok Siauw Hong.

"Khabar buruk!" kata Chan It Hoan. "Keluarga majikanku berantakan hingga aku harus hidup di pengembaraan!"

"Oh, rupanya Chan Toa-siok masih marah padaku?" kata Kok Siauw Hong.

"Oh, mana berani aku marah padamu, tapi aku ingin bertanya, kau mau apa datang ke mari?" kata Chan It Hoan.

"Aku ingin menemui Bun Tay-hiap dan Seng Siauw- hiap," jawab Kok Siauw Hong.

"Kau ingin menemui Seng Liong Sen? Untuk urusan apa?" kata Chan It Hoan. "Ada sedikit masalah yang harus kubicarakan dengan mereka," kata Siauw Hong.

"Maaf, kunasihati kau! Aku minta kau jangan mencari garagara lagi di tempat ini!" kata Chan It Hoan yang tiba- tiba saja jadi emosi.

"Aku kira Paman Chan salah paham, untuk apa aku cari gara-gara?" kata Kok Siauw Hong.

"Aku tidak salah paham, kau kira aku tidak tahu? Terusterang saja kau datang karena kau dengar Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian akan menikah, bukan?" kata Chan It Hoan.

"Masalah itu aku sudah tahu," kata Kok Siauw Hong. "Tetapi..."

"Tapi apa? Kau telah menyusahkan nona kami, apa itu belum cukup? Sekarang kau akan mengacaukan pernikahan nona Ci, begitu?" kata Chan It Hoan tambah sengit.

"Paman Chan, dengar dulu keteranganku. Kedatanganku atas perintah Liok-lim Beng-cu Liu Li-hiap” kata Kok Siauw Hong.

"Oh, jadi kau datang dari Kim Kee-leng?"

"Benar, malah nonamu pun ada di sana!" kata Siauw Hong.

"Jadi kalian bersama-sama dengan Nonaku?" kata Chan It Hoan yang berubah lebih ramah.

"Benar, aku ke Kim-kee-leng bersama nonamu. Dia telah memaafkan kesalahanku, semoga Paman juga begitu!" kata Kok Siauw Hong.

"Kau masih muda, jika kau bisa memperbaiki kesalahanmu, itu bagus sekali," kata Chan It Hoan. "Tapi, sebelum aku bertemu dengan Nonaku, aku masih belum percaya sepenuhnya keteranganmu."

"Baik, untuk apa aku berbohong pada Paman?" kata Kok Siauw Hong sambil tersenyum.

"Ya, jadi kau akan kembali ke Kim-kee-leng setelah tugasmu selesai?" kata Chan It Hoan.

"Benar," kata Kok Siauw Hong.

"Bagus, kalau begitu harap kau serahkan benda ini pada nonaku!" kata Chan It Hoan sambil menyerahkan batu giok pemberian Ci Giok Hian pada Siauw Hong.

Melihat benda yang diserahkan Chan It Hoan, wajah Kok Siauw Hong berubah serius.

"Dari mana Paman Chan mendapatkan benda ini?" kata Siauw Hong.

"Benda ini bukan hasil curian juga bukan milik nonaku, dari pertanyaanmu itu aku yakin kau tahu asal-usul benda ini?" kata Chan It Hoan.

"Benar aku tahu asal-usulnya, coba Paman jelaskan dari mana benda ini?" kata Siauw Hong.

"Dari nona Ci, dia ingin aku menyerahkannya pada nonaku. Sebaiknya benda itu kutitipkan padamu saja!" kata Chan It Hoan.

Dada Kok Siauw Hong serasa mau meledak, tapi dia mencoba menahan diri. Batu giok itu lalu dia simpan baik- baik.

"Dugaanku benar, pantas aku rasanya mengenali benda itu!" kata Siauw Hong. "Baik, akan kusampaikan benda ini pada nonamu. Katakan pada nona Ci jangan khawatir, pesannya akan kusampaikan sendiri pada nona Han!" Batu itu disebut "Liong-hong-pwee " atau Perjodohan Naga dan Burung Hong. Batu itu milik keluarga Kok Siauw Hong yang dia berikan kepada Ci Giok Hian sebagai tanda pengikat jodoh mereka.

Di luar dugaan batu itu kini berada di tangan Chan It Hoan, dan diserahkan sendiri oleh Ci Giok Hian untuk diberikan pada Han Pwee Eng. Sekarang benda itu kembali pada pemiliknya. Dari kejadian ini Kok Siauw Hong sadar, bahwa Ci Giok Hian telah memilih pria lain untuk menjadi suaminya. Je!'.snya dia telah memutuskan hubungannya dengan Kok Siauv Hong, dan ingin menjodohkan kembali Kok Siauw Hong dengtu, Han Pwee Eng.

"Nah, sekarang apa kau masih ingin bertemu dengan Bun Tay-hiap?" kata Chan It Hoan.

"Benar, aku harus menyampaikan pesan Liu Li-hiap," kata Kok Siauw Hong.

"Sesudah bertemu Bun Tay-hiap sebaiknya kau segera kembali, tidak perlu kau temui Seng Liong sen!" kata Chan It Hoan. "Tidak, aku harus menemuinya?" Untuk apa kau temui dia?"

"Aku juga dititipi barang untuk disampaikan kepadanya," kata Siauw Hong.

"Kenapa titipan itu tidak kau serahkan saja pada gurunya?" kata Chan It Hoan.

"Kau benar, baiklah. Tolong antarkan aku menemui Bun Tay-hiap!" kata Kok Siauw Hong.

"Baik, kau tunggu sebentar akan kulihat apakah Bun Tayhiap sudah bangun atau belum?" kata Chan It Hoan.

Jelas dari kata-katanya Chan It Hoan tidak ingin Kok Siauw Hong bertemu dengan Seng Liong Sen, maka itu dia akan mengatur dulu pertemuan Kok Siauw Hong dengan Bun Tayhiap.

Kok Siauw Hong setuju saja, padahal dia sedang mengemban tugas penting, tapi kenapa pertemuannya harus diatur seolah dia punya tugas rahasia saja. Kok Siauw Hong lalu menunggu. Saat sedang menunggu dia mendengar suara bentakan orang.

"Oh bagus! Ternyata kau menyusulku ke mari!"

Saat Kok Siauw Hong menoleh dia mengenali orang itu Seng Liong Sen.

Rupanya Seng Liong Sen bertemu dengan Kok Siauw Hong tanpa disengaja. Saat itu dia sedang bingung. Dia yakin satu dua hari ini pasti Kok Siauw Hong akan datang menemuinya. Ternyata itu benar. Semula Seng Liong Sen berpikir akan mempertemukan Kok Siauw Hong dengan Ci Giok Hian, seperti janjinya pada nona Ci. Tetapi rasa cintanya pada nona Ci membuat dia bimbang dan batal memenuhi janjinya.

"Aku tidak bisa membiarkan dia merusak kebahagiaan kami!" pikir Seng Liong Sen.

Maka itu dia langsung menegur Kok Siauw Hong dengan kasar. Kok Siauw Hong langsung memberi hormat.

"Aku kira kau salah paham, saudara Seng!" kata Siauw Hong.

Tetapi sebelum menjawab Seng Liong Sen sudah menghunus pedangnya.

"Hm! Kau mata-mata musuh yang lolos dari tangan Pek Locian-pwee, kau ke mari hendak mengelabuiku, bukan?" kata Seng Liong Sen yang langsung menyerang. Serangan itu sangat berbahaya ditambah lagi pedang Seng Liong Sen menusuk dengan jurus Keng-sin-pit-hoat ajaran Bun Tay-hiap. Serangan itu bertubi-tubi hingga Kok Siauw Hong terdesak.

"Walau tidak kubunuh dia, paling tidak aku harus mengusirnya agar dia tidak berani datang lagi!" pikir Seng Liong Sen.

Kok Siauw Hong kaget karena diserang oleh Seng Liong Sen. Melihat serangan maut lawan, akhirnya Kok Siauw Hong berpikir.

"Aku tidak boleh mengalah terus," pikir Kok Siauw Hong, "sebab dia kira aku takut kepadanya!"

Dengan cepat Kok Siauw Hong menghunus pedangnya lalu dia menggunakan Cit-siu-kiam-hoat untuk menghadapi serangan Seng Liong Sen ini. Ketika pertama kali bertemu di tengah danau. Kok Siauw Hong tercebur diserang Seng Liong Sen. Dengan demikian Seng Liong Sen mengira dengan mudah akan dapat mengalahkan Kok Siauw Hong. Tapi Seng Liong Sen kaget, saat Kok Siauw Hong bersungguh-sungguh meladeninya.

"Eh, aneh sekali! Kepandaiannya berbeda sekali dengan tempo hari. Jika aku kalah olehnya, masalah akan jadi kacau sekali!" pikir Seng Liong Sen.

Dengan tak sabar Seng Liong Sen melancarkan serangan hebat ke arah Kok Siauw Hong. Sebaliknya Kok Siauw Hong pun tidak tinggal diam. Dia juga melancarkan serangan hebat. Pedang Kok Siauw Hong meluncur ke arah sasaran. Sedang serangan Liong Sen pun sudah terlanjur dilancarkan. Untuk menangkis serangan Kok Siauw Hong, jelas sudah terlambat. Dada Seng Liong Sen akan tertusuk pedang   lawan.   Tetapi   Kok   Siauw   Hong   tidak berniat melukainya. Saat ujung pedang hampir mengenai dada lawan, tiba-tiba dia tahan.

"Seng Siauw-hiap, sekarang kau tahu bahwa aku tidak berniat jahat padamu, kan?!" kata Kok Siauw Hong.

Seng Liong Sen pemuda congkak, dinasihati begitu dia kurang senang. Bukan senang diberi hati, tiba-tiba Seng Liong Sen malah melancarkan serangan mendadak. Dia gunakan jurus Pek-hoo-thian-ih (Bangau putih membentangkan sayap). Serangan itu membuat Kok Siauw Hong kaget, dia melompat mundur. Untung ujung pedang Seng Liong Sen hanya mengenai lengannya.

"Aku tidak ingin mencelakaimu, kenapa benar kau ingin mengadu jiwa denganku?" kata Kok Siauw Hong.

Tapi karena serangan-serangan Seng Liong Sen semakin hebat, terpaksa Kok Siauw Hong harus waspada dan membalas serangannya.

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Sekembali dari pertemuannya dengan Chan lt Hoan, Ci Giok Hian pun termenung sendiri. Dia anggap sikap Seng Liong Sen akhir-akhir ini agak aneh. Nona Ci menduga, bahwa Chan It Hoan pernah mendengar tentang datangnya Kok Siauw Hong ke tempat itu. Maka itu nona Ci tidak jadi kembali ke kamarnya. Dia berbalik ke tempat tadi. Saat dia sampai kebetulan pertarungan antara Kok Siauw Hong dengan Seng Liong Sen tengah berlangsung. Melihat pertarungan itu Ci Giok Hian langsung berteriak.

"Hentikan! Hentikan!"

Saat itu baik Kok Siauw Hong maupun Seng Liong Sen sedang melancarkan serangan hebat. Melihat kedatangan Ci Giok  Hian  ini  Kok  Siauw  Hong  terperanjat.  Begitu pun serangan Liong Sen, entah tidak bisa dihentikan, atau memang gemas dia menusukkan pedangnya...

"Liong Sen, tahan!" kata Ci Giok Hian.

Ujung pedang Seng Liong Sen meluncur di atas bahu Kok Siauw Hong, ini membuat pakaian Siauw Hong terkena pedang Liong Sen. Untung Kok Siauw Hong tidak terluka.

"Oh, ternyata kalian saling mengenal, maafkan aku!" kata Seng Liong Sen. "Jadi dia ini saudara Kok, terimalah ucapan selamatku!"

Wajah nona Ci memerah. Jantungnya berdebar dia mencoba menenangkan hatinya.

"Liong Sen, dia adalah Kok Toa-ko yang aku katakan padamu...." kata Giok Hian. "Siauw Hong, aku kira kau ....

kau. "

"Ya, kau kira aku sudah mati di CengIiong-kouw, bukan? Memang aku telah hidup kembali setelah mati di Ceng-Iiong

selamat, aku girang," kata nona Ci.

"Selamat, selamat! Kawan lama telah bertemu kembali!

Tapi, apakah kedatanganmu

ini sengaja untuk mencari Giok Hian?" kata Seng Liong Sen yang cemburu bukan main.

Pertanyaan Seng Liong Sen ini membuat Ci Giok Hian tertegun, dia mengawasi Kok Siauw Hong dan ingin mendengar jawaban pemuda itu. Saat itu Kok Siauw Hong merabah ke sakunya, di sana terdapat batu giok yang baru diterimanya dari Chan It Hoan. Maka itu pemuda ini menjawab tegas.

"Benar, aku sudah tahu Ci Giok Hian ada di sini! Tetapi kedatanganku ke mari dengan dua masalah." kata Kok Siauw Hong. "Aku senang bisa bertemu lagi dengan Nona Ci di sini!"

Melihat sikap dingin Kok Siauw Hong hati Ci Giok Hian terasa pedih sekali.

"Pasti dia membenciku, tetapi bagaimaa aku menjelaskannya pada dia?" pikir Ci Giok Hian.

"Apa kedua urusan yang kau bawa itu?" kata Seng Liong Sen dengan tajam.

"Aku ingin membicarakannya denganmu," kata Kok Siauw Hong. "Pertama, aku akan menyampaikan bingkisan."

Dia lalu menyerahkan kitab ilmu silat pada Liong Sen. "Ini titipan dari Kang-lam Tay-hiap Ciu Cioh untukmu!

Kemarin secara kebetulan aku bertemu dengan beliau. Dia bilang mungkin dia tidak sempat menghadiri hari bahagia kalian! Maaf, aku sendiri terlambat mengetahui hal itu, hingga aku tidak punya bingkisan untuk kalian!" kata Kok Siauw Hong.

Seng Liong Sen semula akan pura-pura tidak kenal pada Kok Siauw Hong, tetapi secara terus-terang Kok Siauw Hong malah menjelaskannya.

"Terima kasih atas kebaikanmu, Kok-heng," kata Seng Liong Sen. "Kau sahabat nona Ci, jelas kau juga sahabatku. Apa kau bersedia bermalam untuk ikut merayakan pernikahan kami?" "Maaf, aku masih punya urusan penting, jadi aku harus segera kembali. Mungkin aku tidak bisa hadir dalam pesta pernikahan kalian," kata Kok Siauw Hong.

"Sayang sekali," kata Seng Liong Sen. "Urusan yang kedua mengenai apa?"

"Aku harus menemui gurumu untuk menyampaikan pesan dari Liu Li-hiap!" kata Kok Siauw Hong.

"Oh, begitu. Baik, mari kuantar kau menemui Guruku!" kata Seng Liong Sen.

"Aku sudah minta bantuan Chan Toa-siok," kata Siauw Hong.

Mendengar Kok Siauw Hong utusan dari Kim-kee-leng, Ci Giok Hian girang sekali.

"Siauw Hong, aku dengar Enci Pwee Eng ada di sana, apa benar?" kata nona Ci.

"Ya, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu," kata Siauw Hong.

"Mengenai apa?" tanya nona Ci agak terperanjat.

"Aku dan Pwee Eng merencanakan akan menikah tahun depan, kali ini aku menyesal tidak bisa menghadiri pernikahan kalian. Aku mohon tahun depan kalian suami- isteri bisa datang pada pernikahan kami!" kata Kok Siauw Hong.

Sebenarnya janji menikah itu belum ada di antara Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Kata-kata Kok Siauw Hong itu hanya untuk menentramkan hati Ci Giok Hian agar bisa menikah dengan Seng Liong Sen. Keterangan Kok Siauw Hong ini membuat Ci Giok Hian kaget dan juga girang. "Memang Han Pwee Eng lebih baik dariku!" kata nona Ci. "Baiklah, tahun depan aku akan datang!"

Sesudah itu nona Ci berpikir.

"Ternyata hati Kok Siauw Hong begitu cepat berubah, semalam aku masih mengenangnya!" pikir nona Ci.

Saat Chan It Hoan muncul, dia kaget menyaksikan ketiga orang yang sedang berkumpul itu.

"Oh, jadi kalian sudah saling mengenal?" kata Chan It Hoan.

"Benar," kata Kok Siauw Hong.

"Sudah kusampaikan mengenai kedatanganmu. Kok Siauwhiap. Harap Seng Siauw-hiap mau mengantarkan tamu gurumu ini!" kata Chan It Hoan.

"Baik," kata Seng Liong Sen.

"Chan Toa-siok, aku kurang enak badan, maukah kau mengantarkan aku?" kata Ci Giok Hian.

"Baik," kata Chan It Hoan.

Terus-terang Chan It Hoan kagum pada nona Ci yang ingin menghindari Kok Siauw Hong, bahkan dia merasa kagum pada Seng Liong Sen yang luhur budi. Tapi sebenarnya keadaannya justru sebaliknya. Kok Siauw Hong menemui Bun Tay-hiap. Saat bertemu guru Seng Liong Sen langsung berkata dengan gembira.

"Namamu dan nama ayahmu sudah lama aku kagumi," kata Bun Tay-hiap. "Sekarang aku bertemu denganmu. Kau sebaya dengan muridku Seng Liong Sen, dia banyak membantu urusanku."

"Terima kasih atas pujian Beng-cu, mana berani aku disamakan dengan muridmu!" kata Kok Siauw Hong. "Jangan sungkan," kata Seng Liong Sen.

"Sekarang, coba kau katakan, kau membawa khabar apa untuk kami?" kata Bun Tay-hiap.

Kok Siauw Hong memberi keterangan tentang keadaan di daerah utara, serta menyampaikan gagasan Liu Li-hiap untuk menghadapi musuh.

"Menurut pendapatku serangan tentara Mongol ke negeri Kim itu, hanya pura-pura. Padahal bangsa Mongol ingin menyerang negeri Song di Selatan. Yang harus kita utamakan adalah menyelamatkan negara Song!" kata Bun Tay-hiap.

"Lo Cian-pwee benar, tapi aku tidak berani mengambil putusan sendiri. Hal ini akan kulaporkan kepada Liu Li- hiap dulu." kata Kok Siauw Hong.

"Benar, tapi sebaiknya kau tingal di sini dulu, kami lebih memerlukan tenagamu di sini," kata Bun Tay-hiap.

"Terima kasih, tapi aku harus segera pergi untuk mengurus urusan lain. Aku diperitahkan ke Thay-ouw oleh Liu Li-hiap," kata Kok Siauw Hong.

"Ada yang belum kau ketahui, lusa muridku akan menikah dengan nona Ci. Aku harap kau bisa menunggu sampai pernikahan itu selesai," kata Bun Tay-hiap. "Aku kira Ong Ceecu di Thay-ouw pun tidak bisa datang sendiri ke mari, pasti dia akan mengirim utusannya ke mari."

"Mungkin begitu," kata Siauw Hong. "Padahal Li Beng- cu meminta aku bicara langsung pada Ong Cee-cu!"

Dia berbohong pada Bun Tay-hiap karena tidak punya alasan lain. Bun Tay-hiap manggut-manggut, karena berpikir urusan negara lebih utama daripada urusan pribadi. "Baiklah, aku tidak bisa menahanmu lebih lama di sini," kata Bun Tay-hiap. "Sesudah urusanmu selesai, aku harap kau datang lagi ke mari."

"Aku sendiri berharap bisa hadir dan ingin mohon petunjuk dari Tay-hiap," kata Kok Siauw Hong.

"Antarkan tamu kita, Liong Sen," kata Bun Tay-hiap pada muridnya.

Mereka berdua pamit, sampai di kaki bukit, Liong Sen berkata pada Kok Siauw Hong.

"Semula kita salah paham hingga harus bertarung, kemudian kita jadi sahabat. Aku berterima kasih atas kedatanganmu dan kau banyak membantuku!" kata Liong Sen.

Ucapan Liong Sen mengandung dua makna. Pertama terima kasih karena Siauw Hong mengantarkan kitab ilmu silat dari Ciu Cioh, dan kedua terima kasih atas bantuan Kok Siauw Hong yang pura-pura tidak mengerti.

"Tidak perlu sungkan, silakan kembali, semoga kalian hidup bahagia!" kata Kok Siauw Hong.

Dengan demikian mereka berpisah. Kok Siauw Hong berjalan sendiri. Di sepanjang jalan hati Kok Siauw Hong bimbang sekali. Di tengah jalan Kok Siauw Hong mendengar ada suara perempuan.

"Enci Bwee mari kita pulang saja! Kau jangan cari susah sendiri!" kata suara itu.

"Tapi aku ingin membuktikan, apakah khabar itu benar atau bohong!" kata yang lain.

"Jika benar bagaimana dan jika tidak bagaimana?" kata yang pertama. "Aku juga tidak tahu harus bagaimana?" kata Tik Bwee. "Tapi sekali lagi aku ingin bertemu dengannya!"

Kok Siauw Hong mengenali kedua perempuan itu, mereka ialah kedua orang gadis yang dia lihat di telaga See- ouw. Salah satunya Tik Bwee, pelayan Seng Cap-si Kouw. Dari Han Pwee Eng pemuda ini sudah mendengar tentang Tik Bwee. Dia cerdik dan ilmu silatnya tinggi. Tapi cintanya pada Seng Liong Sen dianggap sangat keliru. Tanpa terasa mereka saling berpapasan, kedua nona itu kaget.

"Liong Cici," kata Tik Bwee. "Apa kau masih kenal padanya, rasanya dia...”

"Ya, betul! Dia pria yang mengintai kita di tepi telaga beberapa hari yang lalu," kata nona Liong.

Ketika itu Tik Bwee memang sedang dongkol, maka itu dia hadang Kok Siauw Hong.

"Mau apa kau mengawasi kami terus? Dasar lelaki ceriwis!" kata Tik Bwee.

Tangan Tik Bwee melayang hendak menampar Kok Aiauw Hong. Melihat serangan Tik Bwee tersebut, Kok Siauw Hong mengelak, tapi Kok Siauw Hong tahu. Serangan itu cepat luar biasa. Sekarang dia sadar apa yang dikatakan Han Pwee Eng, bahwa nona ini lihay memang benar.

Sadar serangannya tak mengenai sasaran, Tik Bwee terkejut. Saat dia hendak menghunus pedangnya. Kok Siauw Hong langsung menegurnya.

"Pasti kau Enci Tik Bwee bukan? Aku justru ingin menemuimu!" kata Kok Siauw Hong.

"Kau dari mana dan siapa kau?" kata Tik Bwee. "Aku sahabat nona Han dan nona Ci, bukankah kau yang telah menitipkan sebuah benda untuk seseorang?" kata Siauw Hong.

"Nona Ci yang mana?" kata Tik Bwee dan termenung sejenak.

Tak lama Tik Bwee tersentak dan berkata lagi. "Oh, ya, pasti maksudmu Enci Tik Khim, bukan?"

"Benar, Tik Khim itu puteri keluarga Ci dari Pek-hoa- kok. Untuk menolongi ayah dan nona Han dia rela jadi pelayan di rumah Seng Cap-si Kouw. Begitu kan?" kata Siauw Hong.

"Kalau begitu... kau Kok Siauw-hiap dari Yang-ciu!"  kata Tik Bwee.

"Benar, aku Kok Siauw Hong," jawab pemuda itu. Wajah Tik Bwee berubah merah.

"Jadi nona Han telah memberitahumu tentang barang itu?" kata Tik Bwee.

"Benar, barang itu sekarang ada padaku," kata Kok Siauw Hong. "Seharusnya atas permintaan nona Han, kusampaikan barang ini pada yang berhak. Tetapi karena... Aah karena aku gagal melaksanakan pesan nona Han itu, maka barang itu harus kukembalikan kepadamu!"

Kok Siauw Hong mengeluarkan sebuah dompet dari sakunya yang dia serahkan pada nona Tik Bwee. Nona itu menerima dompet sulam itu dengan wajah merah.

"Bukankah kau dari sana? Apakah dia tidak ada di sana?" kata Tik Bwee ragu-ragu.

"Dia ada di sana, aku juga bertemu dengannya," kata Kok Siauw Hong. "Kalau sudah bertemu dengannya, kenapa tidak kau serahkan barang itu?" kata nona Liong ikut bicara.

"Aku pikir sebaiknya benda itu tidak aku serahkan padanya," kata Kok Siauw Hong sambil menghela napas panjang.

"Jadi, jadi benar khabar yang aku dengar itu?" kata Tik Bwee yang segera sadar apa maksud kata-kata Kok Siauw Hong itu.

"Benar, mereka akan menikah," kata Kok Siauw Hong.

Nona Liong mengira mendengar khabar itu, Tik Bwee akan menjerit histeris atau jatuh pingsan. Tetapi malah tidak. Tik Bwee tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Nona Liong segera mendekatinya.

"Enci Bwee, kau tidak apa-apa?"

"Tidak. Malah aku gembira sekali!" kata Tik Bwee. "Kalau begitu kedatangan kita ini tepat sekali!"

Melihat otak Tik Bwee mulai kurang beres nona Liong jadi cemas.

"Sebaiknya kita tidak ke sana, Enci Bwee!" kata nona Liong.

"Kenapa tidak, "kata Tik Bwee. "Majikan muda menikah kita sebagai pelayannya kenapa tidak ikut hadir?"

"Kasihan," pikir Kok Siauw Hong. "Dia masih muda dan cantik, lalu jadi pelayan dan jatuh cinta pada majikan mudanya. Tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan saja, hingga nasib nona ini semakin buruk! Aku saja kehilangan Giok Hian begitu terkejut, apalagi dia?"

"Sangat banyak rasa kecewa pada manusia, jika kita berhasil mengatasinya dan tidak memikirkannya, pasti hati kita akan lega kembali. Memang seperti kata Enci Liong, sebaiknya kalian tidak ke sana!" kata Kok Siauw Hong. "Maafkan aku karena lancang menasihatimu, padahal kita baru berkenalan."

"Siapa bilang aku akan berduka jika ke sana, dia keponakan majikanku. Apa salahnya jika aku menghadiri pesta pernikahannya?" kata Tik Bwee.

"Maafkan aku, Enci Tik Bwee," kata Siauw Hong yang kaget karena dia dimarahi nona tersebut.

Buru-buru Siauw Hong meninggalkan kedua nona itu. Sesudah tinggal berduaan nona Liong berkata pada Tik

Bwee.

"Pemuda she Kok itu sangat simpatik, bicaranya terusterang," kata nona Liong.

"Hm! Dari bicaramu kau tertarik padanya, kan? Hati-hati jika kau bertemu seorang lelaki. Kita kenal mukanya, belum tentu kau kenal hatinya. Semua lelaki hatinya palsu. Ditambah lagi kau juga baru kenal dia!" kata Tik Bwee.

"Siapa yang bilang aku menyukai dia?" kata nona Liong. "Hanya aku pikir nasihatnya tadi memang masuk akal. Enci Bwee apa benar kau mau ke sana?"

"Aku memang mau ke sana, jika kau takut aku berbuat onardi sana, sebaiknya kau jangan ikut aku. Lebih baik kau pulang lebih dulu!" kata Tik Bwee.

"Kau jangan bilang begitu, hubungan kita bagaikan hubungan saudara. Jika kau tidak mau mendengar nasihatku, baiklah. Tapi aku tetap akan menemanimu ke sana!" kata nona Liong.

"Enci Liong, ternyata hanya kau yang tahu isi hatiku, kau adalah sahabat sejatiku!" kata Tik Bwee. Di benak nona Liong mirip dengan pendapat Kok Siauw Hong. Tik Bwee dianggap gampang jatuh cinta, tapi pada pemuda yang salah dan tidak mencintainya, walau sebenarnya tidak demikian.

Semula Tik Bwee dijual ke keluarga Seng. Dia dibesarkan bersama Seng Liong Sen. Saat masih kecil mereka belum tahu apa-apa. Maka itu saat bermain-main mereka bermain wajar dan tidak membedakan pelayan dan anak majikan.

Pada suatu hari. Seng Liong Sen mengajak Tik Bwee bermain jadi pengantin. Saat itu Liong Sen berumur  tahun, sedang Tik Bwee baru  tahun. Tapi Tik Bwee cerdas apa artinya pengantin, maka dia menolak ajakan Seng Liong Sen itu.

"Kau anak majikanku dan aku hanya pelayan, tidak mungkin kita jadi pengantin," kata Tik Bwee.

"Siapa bilang tidak bisa! Nanti akan kukatakan pada Bibi bahwa aku akan menikahimu!" kata Liong Sen.

"Jangan! Kau jangan lakukan itu, nanti aku dipukul oleh Cap-si Kouw!" kata Tik Bwee.

"Jika Bibi memukulimu, kita kabur bersama-sama saja," kata Seng Liong Sen. "Kita pulang sesudah menikah, apa yang bisa dia lakukan pada kita?"

"Benarkah kau ingin menikahiku?" kata Tik Bwee kaget dan girang.

"Demi Tuhan, jika aku membohongimu lebih baik aku mati di. " kata Seng Liong Sen.

Tik Bwee segera menekap mulut Liong Sen dengan tangannya. "Jangan bersumpah, asal aku tahu kau mencintaiku aku senang. Kau jangan bilang pada Bibimu aku akan menunggu sampai kau menikahiku!" kata Tik Bwee.

Tidak lama kemudian Seng Liong Sen dikirim ke Kang- lam untuk belajar silat pada Bun Tay-hiap. Dia pergi selama sembilan tahun, dia baru pulang dua kali. Tetapi saat Seng Liong Sen berumur  tahun, Tik Bwee berumur  tahun. Tetapi saat pulang, Seng Liong Sen tidak pernah menyinggung masalah pribadi mereka, sekalipun Liong Sen tetap akrab dengan Tik Bwee.

Sebagai pelayan tentu saja Tik Bwee tidak berani menegur majikan mudanya. Apalagi mengenai soal pribadi mereka. Hal ini mungkin karena Tik Bwee seorang gadis yang tinggi hati. Tik Bwee tetap ingat janji Seng Liong Sen yang akan menikahinya. Dia mengira Seng Liong Sen tidak menyinggung soal itu, karena dia belum selesai belajar silat.

Ketika Seng Liong Sen pulang untuk kedua kalinya, ternyata ia datang berbarengan dengan Ci Giok Hian ke tempat Seng Cap-si Kouw. Sedangkan Tik Bwee tetap mengharap dan tetap menunggu khabar baik dari pemuda itu.

Ketika itu Tik Bwee tidak tahu asal-usul Ci Giok Hian yang oleh majikannya disuruh menyelamatkan HanTay Hiong. Saat nona ini bertemu dengan Seng Liong Sen, pemuda ini tahu bahwa nona Ci berasal dari Pek-hoa-kok. Melihat kecantikan nona Ci yang berasal dari keluarga terkenal, Seng Liong Sen jatuh cinta pada nona Ci. Dia telah melupakan Tik Bwee yang mencintainya.

Tik Bwee masih ingat pada saat dia menolak, ketika diajak main cinta atau jadi pengantin oleh Seng Liong Sen. Malah Liong Sen pernah bilang, rambut Tik Bwee bagus. Suatu hari dia membelikan cermin dan sebuah dompet yang diberikan  kepada  Tik  Bwee.  Cermin  itu  oleh  Tik  Bwee selalu disimpan, sampai suatu hari Seng Liong Sen pergi ke Kang-lam untuk berguru.

Saat tahu Liong Sen mencintai Ci Giok Hian, harapan Tik Bwee berakhir sudah. Dia berpikir tidak mungkin lagi merebut cinta pemuda itu. Maka itu dia berniat mengembalikan dompet itu pada Liong Sen, dengan harapan bahwa pemuda itu akan ingat masih ada seorang pelayan yang mencintainya.

"Hm, dia sudah menemukan calon isteri yang cantik, masakan dia masih ingat padaku," pikir Tik Bwee.

Tetapi rasa cemburunya tiba-tiba timbul.

"Mereka baru akan melangsungkan pernikahannya lusa," kata

Tik Bwee pada nona Liong. "Jadi kita tiak perlu tergesagesa ke sana! Kita akan datang tepat pada harian nikah mereka.

"Baiklah," kata nona Liong.

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Hari bahagia yang ditunggu-tunggu oleh Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian pun tiba. Suasana di rumah pendekar Bun di Kang-lam ramainya luar biasa. Sebenarnya saat itu keadaan negara sedang kacau, tapi karena yang mengadakan pesta seorang Beng-cu wilayah Kang-lam, tidak urung orang-orang gagah dari berbagai penjuru berdatangan ke Kang-lam untuk menghadiri pesta pernikahan itu.

Sesudah Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian selesai melakukan upacara pernikahan, Bun Tay-hiap langsung mengumumkan pengangkatan Seng Liong Sen sebagai Ciangbun-jin atau Akhli-waris partai.

Selesai pengumuman para pendekar berdatangan mengucapkan selamat pada Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian. Betapa girangnya Seng Long Sen hari itu. Tetapi dia tidak sadar kalau di antara tamunya ada seorang gadis yang sangat berduka atas kejadian itu.

Saat upacara sedang berlangsung pun Tik Bwee gadis malang itu akan menerobos masuik, tapi tidak jadi.

"Biar kuberi mereka kesempatan, ditambah lagi aku pun tidak ingin menyaksikan upacara pernikahan mereka!" pikir Tik Bwee.

Saat nona Liong melihat Tik Bwee ragu-ragu dan tidak jadi masuk ke ruang pesta, nona Liong berpikir bahwa Tik Bwee sudah mengubah niatnya, maka dia pun menasihatinya.

"Sekarang sudah terjadi pernikahan mereka, sebaiknya kita pergi saja. Jangan cari masalah!" kata nona Liong.

"Jangan terburu-buru, aku ingin menemui dia. Aku ingin tahu sikapnya terhadapku!" kata Tik Bwee.

Mendengar kawannya akan tetap berada di tempat itu nona Liong berpikir.

"Tik Bwee sudah lama tinggal di rumah Seng Cap-si Kouw. Diajuga sudah ketularan sifat majikannya. Jika aku yang mengalami hal itu hanya ada dua pilihan, aku bunuh Seng Liong Sen atau aku bersikap masa bodoh dan mencari laki-laki lain!" pikir nona Liong. "Untuk apa mencari susah sendiri?"

Rupanya nona Liong ini pun seorang yang aneh, pikirannya juga aneh seperti Tik Bwee. Sesudah menerima ucapan selamat Seng Liong Sen menyuguhi arak pada semua tamunya. Ketika itu adik seperguruan Seng Liong Sen menemui Bun Tay-hiap.

"Su-heng, di luar ada dua orang nona! Salah seorang mengaku masih keluarga Su-heng!" kata adik seperguruan Seng Liong Sen.

"Siapa namanya?" tanya Seng Liong Sen. "Dia bilang Tik Bwee!"

Mendengar nama itu Bun Tay-hiap tertegun dan merasa heran, sedangkan Seng Liong Sen langsung tertawa terbahakbahak.

"Ternyata pelayan Bibiku yang datang, sungguh dia berani mati. Sekarang sediakan tempat duduk untuknya, tapi jangan biarkan dia masuk ke ruang dalam!" kata Seng Liong Sen.

Mendengar kata-kata muridnya itu Bun Tay-hiap langsung bicara.

"Dalam pesta pernikahanmu tak seorang pun famili dari perempuan datang ke mari. Sekarang ada pelayan bibimu, kenapa tidak kau undang dia masuk? Lalu nona yang satunya itu siapa?" kata Bun Tay-hiap.

Kelihatan Bun Tay-hiap kurang senang pada sikap muridnya itu. Jika hari itu bukan pesta pernikahannya, mungkin Seng Liong Sen akan dimarahinya.

"Yang seorang mengaku she Liong, dia bilang masih famili Suhu!" kata murid Bun Tay-hiap.

"Nona she Liong? Apakah dia puteri Liong Pek Giam?" kata Bun Tay-hiap.

"Benar, Su-hu! Dia bilang dari Liong-giam-kwan!" "Kalau begitu lekas undang masuk!" kata Bun Tay-hiap.

Rupanya ayah nona Liong sahabat lama Bun Tay-hiap. "Baik, Su-hu!"

Tak lama murid Bun Tay-hiap sudah kembali bersama nona Liong dan Tik Bwee. Kedatangan dua nona ini tentu saja membuat Seng Liong Sen kaget. Dia khawatir kata- katanya tadi didengar oleh Tik Bwee dan nona temannya, Tiba-tiba dia berpikir.

"Aah, dia hanya seorang pelayan kenapa aku harus takut?" pikir Seng Liong Sen.

Kata-kata Seng Liong Sen tadi memang didengar oleh Tik Bwee sekalipun hanya samar-samar. Hal ini membuat Tik Bwee panas hatinya. Ditambah lagi Tik Bwee telah bertahuntahun ikut Seng Cap-si Kouw. Tidak heran jika sifat majikannya sudah nempel dalam sifatnya. Sekalipun dia merasa dendam, tapi saat dia masuk ke ruang tengah sikapnya tenang dan biasa-biasa saja.

Saat Tik Bwee dan nona Liong masuk, hadirin tampak terkejut. "Aah, tidak kusangka pelayan keluarga Seng ini begini cantik dan sikapnya agung sekali?" pikir salah seorang tamu.

Melihat kedua nona itu sudah masuk Bun Tay-hiap bangun untuk menyambut mereka.

"Hai, kau sudah dewasa Thian Hiang, aku hampir- hampir tidak mengenalimu," kata Bun Tay-hiap kepada nona Liong. "Ketika kau masih kecil aku pernah menimangmu."

Sikap nona Liong Thian Hiang demikian lembut, dia memberi hormat pada Bun Tay-hiap. "Ayahku selalu ingat pada Paman, hanya. " nona Liong

tidak meneruskan bicaranya. Kelihatan matanya merah dan dia menangis.

"Ah, aku lupa menanyakan tentang ayahmu, apakah dia baik-baik saja?" kata Bun Tay-hiap.

"Tahun yang lalu Ayahku telah meninggal, selain keadaan negara sedang kacau, kami juga tidak tahu Paman tinggal di mana? Maka aku tidak mengirim khabar duka itu pada Paman Bun. Untung aku bertemu dengan Kak Tik Bwee dan datang kemari. Dengan demikian aku bisa mengucapkan selamat. Kebetulan Paman sedang menikahkan muridmu." kata Liong Thian Hiang.

Menyampaikan khabar duka dan ucapan selamat sebenarnya tidak tepat. Tapi karena ayah nona Liong sahabatnya, maka nona Liong termasuk keponakannya, Bun Tay-hiap tersenyum dan berkata dengan ramah.

"Kau sudah dewasa, sedangkan ayahmu pun sudah berusia lanjut. Hari ini hari pernikahan muridku. Mari aku kenalkan kalian dengan kedua mempelai," kata Bun Tay- hiap ramah. "Tapi siapakah nona ini?"

"Nona ini she Yo, mungkin Paman pernah melihat dia, sebab dia tetangga kami," kata nona Liong.

Bun Tay-hiap mencoba mengingat-ingat, akhirnya dia tertawa.

"Aku sudah tua, memang aku ingat kalian punya tetangga bermarga Yo," kata Bun Tay-hiap.

"Aku hanya seorang pelayan, mana berani aku berkenalan dengan Bun Tay-hiap. Kedatanganku untuk melayani majikan mudaku," kata Tik Bwee. "Kau jangan sungkan nona, aku dengar kau pernah tinggal bersama-sama dengan Seng Liong Sen. Jadi tidak heran kalau kau seperti kakak beradik saja," kata Bun Tay- hiap. "Silakan kalian temui mereka!"

Seng Liong Sen merasa kurang senang oleh kedatangan Tik Bwee, tetapi karena gurunya mengatakan nona Liong saudara angkat Tik Bwe dan ayah nona Liong sahabat baik gurunya, terpaksa Liong Sen harus menyambut kedua nona itu dengan baik.

"Tuan-muda, Nona Ci, hamba datang untuk mengucapkan selamat bahagia pada kalian. Entah majikan muda masih sudi dilayani olehku atau tidak?" kata Tik Bwee.

"Jangan sungkan Enci Bwee, mana berani aku menganggapmu sebagai pelayan kami," kata nona Ci.

"Dulu lain, ketika kau datang dan menyamar jadi pelayan kau saudara angkatku, tetapi sekarang sudah lain," kata Tik Bwee. "Sekarang kau adalah majikan perempuanku!"

"Aah, Enci Bwee kau jangan bergurau, aku jadi tidak berani menerima arak yang kau suguhkan padaku," kata Ci Giok Hian.

"Benar, kau pernah tinggal di rumah Bibi bersamaku. Kita seperti kakak beradik saja. Mulai sekarang kau jangan menyebut bahwa kau seorang pelayan lagi!" tambah Seng Liong Sen.

"Hm! Dulu aku akan kau jadikan isterimu, sedang tadi kau anggap aku ini pelayan. Karena aku datang bersama Enci Liong, kau bilang aku saudaramu!" pikir Tik Bwee. Sekalipun dia sangat jengkel pada Seng Liong Sen, tapi sikap Tik Bwee saat itu tetap tenang dia tunjukkan seolah saat itu dia sangat berterima kasih pada pemuda itu.

"Terima kasih majikan muda, aku tidak akan melupakan kebaikanmu seumur hidupku," kata Tik Bwee.

"Enci Bwee kenapa kau bicara begitu? Silakan duduk dan minum," kata Seng Liong Sen.

Kelihatan pemuda ini girang karena berpikir. Tik Bwee seorang gadis yang tahu diri dan tidak berharap memjadi isterinya.

"Seng Siauw-hiap aku dengar Enci Bwee lama tinggal bersamamu," kata nona Liong. "Maka ijinkanlah aku menyuguhimu masing-masing secawan arak kepada kalian!"

"Nona Liong jangan sungkan," kata Seng Liong Sen. Kemudian Seng Liong Sen asyik bicara dengan nona Liong hingga dia mengabaikan Tik Bwee.

Saat tak ada yang memperhatikan dirinya, diam-diam Tik Bwee menuang secawan arak dari pocinya dengan dialingi lengan bajunya.

Ketika itu Seng liong Sen baru saja minum arak bersama Liong Thian Hiang. Tiba-tiba Seng Liong Sen ingat pada Tik Bwee.

"Sekarang giliranmu, Enci Bwee. Mari minum araknya!" kata Seng Liong Sen.

"Terima kasih Tuan-muda, kuucapkan semoga kalian berdua panjang umur," kata Tik Bwee.

Tik Bwee menyerahkan cawan araknya pada Liong Sen, sedang cawan kosong di tangan Seng Liong Sen dia ambil. "Terima kasih, hamba tidak berani menerima arak suguhan Tuan-muda, biar aku yang menuang arak itu sendiri," kata Tik Bwee.

Dia menuang arak dari poci ke cawan yang dia ambil dari tangan Seng Liong Sen dan langsung meminumnya.

"Enci Bwee, kenapa kau masih menganggap dirimu seorang pelayan? Padahal sudah kubilang. Kau jangan lagi menyebutnyebut kau seorang pelayan!" kata Seng Liong Sen.

"Baik, sekarang aku menurut, silakan Toa-ko minum araknya!" kata Tik Bwee.

"Nah, itu baru benar," kata Seng Liong Sen.

Dia angkat cawan pemberian Tik Bwee yang langsung diminum sampai habis. Saat Seng Liong Sen mengawasi ke arah Tik Bwee, mata nona Tik Bwee kelihatan hampa.

"Aah, rupanya dia belum bisa melupakan aku?" pikir Seng Liong Sen.

Memang saat masih kecil Tik Bwee sering memanggil Seng Liong Sen dengan panggilan mesra, "Toa-ko". Ci Giok Hian yang menyaksikan adegan aneh antara suaminya dengan nona Tik jadi heran.

"Kenapa dia bertukar cawan dengan suamiku, dan kenapa dia tidak menyuguhiku secawan arak?" pikir Ci Giok Hian.

Kecurigaan nona Ci bertambah besar. Segera diambilnya cawan kosong bekas Seng Liong Sen, lalu diisi arak. Dia hampiri Tik Bwee

"Enci Bwee, biar aku mewakili suamiku membalas suguhan arakmu tadi!" kata Ci Giok Hian. "Aah, aku tidak berani menerima kehormatan ini," kata Tik Bwee.

Sesudah cawan itu berada di tangannya tiba-tiba tangan Tik Bwee gemetaran dan...

"Prang!"

Cawan itu jatuh ke lantai hingga hancur berantakan. Dengan wajah merah Tik Bwee berkata pada Ci giok Hian.

"Maaf, aku tidak berani minum lagi, barangkali aku sudah mabuk!" kata Tik Bwee.

"Kau baru minum sedikit, mana mungkin sudah mabuk?" kata Ci Giok Hian.

"Terus-terang, aku jarang minum arak. Jika kau tidak percaya tanya saja suamimu," kata Tik Bwee.

"Liong Sen, apa kau juga mabuk?" kata nona Ci.

Dia pegang tangan suaminya yang segera digenggamnya erat-erat sambil mengerahkan Iwee-kang, tentu saja Liong Sen pun bereaksi menahan gempuran isterinya itu.

"Tidak! Aku tidak mabuk," kata Seng Liong Sen.

"Kau memang tidak mabuk, tapi justru aku yang agak pening dan sedikit mabuk," kata Ci Giok Hian.

Para tamu tertawa saat mendengar kata-kata Ci Giok Hian itu. Malah ada yang menggoda dan mengatakan masih sore pengantin perempuan sudah mau masuk ke kamar tidur. Tapi yang lain menambahkan.

"Sudah, kita memang sudah terlalu lama di sini. Biarkan mereka istirahat!" kata sang tamu.

Tiba-tiba Tik Bwee bicara lagi. "Toa-koku," kata Tik Bwee. "Aku tidak membawa bingkisan, maka itu terimalah dompet ini!"

Saat melihat dompet itu. Seng Liong Sen terperanjat. "Kau tidak perlu memberi bingkisan, kau bawa pulang

saja!" kata Seng Liong Sen.

Mendengar ucapan Seng Liong Sen, Tik Bwee merobek dompet itu hingga kaca yang ada di dalam dompet itu jatuh ke lantai.

"Prang!"

Kaca itu hancur berantakan di lantai. Bersama kaca itu berhamburanlah seikat rambut Tik Bwee sehingga membuat semua tamu kaget, heran, bingung dan terpesona.

"Benar, aku ini hanya seorang pelayan, jadi mana mungkin aku bisa disamakan dengan kalian!" kata Tik Bwee. "Akulah yang keterlaluan kau pun tidak bersedia menerima bingkisanku. Liong Cici, mari kita pergi!"

"Eeh, ada apa ini?" kata Bun Tay-hiap.

Jago tua ini kaget menyaksikan kejadian itu.

"Aku tidak tahu masalahnya. Paman," kata nona Liong. "Mungkin Enci Yo sedikit mabuk. Sekarang kami mohon pamit, biar nanti akan kuajak dia menemui Paman lagi untuk minta maaf!"

Kejadian itu tidak diduga oleh Seng Liong Sen. Dia tidak menyangka kalau Tik Bwee begitu berani membuka kedoknya di depan para tamu. Dia lebih cemas lagi jika sampai Tik Bwee membongkar masa kecilnya dulu. Maka itu Seng Liong Sen berteriak.

"Biarkan dia pergi, dasar budak yang tak tahu diuntung.

Membuat malu saja!" kata Seng Liong Sen. "Paman Bun, kau dengar sendiri apa kata muridmu itu.

Lebih baik kami pergi!" kata nona Liong Thian Hiang.

Sebagai orang tua yang berpengalaman Bun Tay-hiap langsung bisa menerka apa yang telah terjadi di antara anak muda itu.

"Aib keluarga tidak perlu diungkap di depan umum, asalkan nona Tik masih gadis dan Seng Liong Sen tidak merusaknya sudah bagus. Kenakalan remaja itu soal biasa. Sebaiknya aku pura-pura tidak peduli saja," pikir Bun Tay- hiap.

"Baiklah, jika kalian memaksa sudah akan pergi, silakan. Maaf Nona Yo, aku tidak bisa mengantarkan kalian!" kata Bun Tay-hiap.

Maka pergilah Tik Bwee dan nona Liong dari tempat itu.

Sesudah mereka pergi para tamu saling pandang, tapi tidak seorang pun yang berani menanyakan masalah apa yang terjadi di antara Seng Liong Sen dan kedua gadis itu.

Di antara orang yang hadir di tempat itu, Ci Giok Hian- lah yang paling tidak senang. Wajahnya merah-padam, begitu pun Seng Liong Sen. Dia masih marah sekalipun sedikit agak senang karena kedua nona itu sudah pergi. Wajah Seng Liong Sen pun tampak murung. Melihat gelagat kurang baik, para tamu satu persatu pulang.

Kamar pengantin yang dihias indah dan diterangi cahaya lilin seharusnya merupakan tempat yang menyenangkan. Tetapi saat itu nona Ci justru sedang murung, hatinya kesal sekali. Dia duduk diam tidak bergerak. Setelah Seng Liong Sen tahu keadaan sudah sunyi baru dia berkata pada Ci Giok Hian. "Enci Giok Hian aku menyesal atas kejadian tadi! Perbuatan kedua pelayan itu harap tidak mengganggu perasaanmu," kata Seng Liong Sen.

"Kenapa dia begitu berani mempermalukan kau di depan umum," kata Ci Giok Hian. "Apakah kau pernah berbuat sesuatu yang tidak pantas kepadanya? Jangan kau bohongi aku!"

Seng Liong Sen sedikit terperanjat, tetapi sudah tentu dia tidak mau berterus-terang.

"Aah, masakan aku mau bergaul rapat dengan seorang pelayan seperti dia? Apakah kau percaya?" kata Liong Sen.

"Benarkah?" kata Ci Giok Hian.

Mata nona Ci mengawasi Seng Liong Sen dengan tajam, seolah matanya hendak menembus ke dalam hati pemuda itu.

"Benar, aku tidak berbuat apa-apa padanya," kata Seng Liong Sen. "Ketahuilah olehmu, dia pelayan pribadi Bibiku, maka itu aku harus ramah-tamah padanya. Mungkin karena salah tangkap atas kebaikanku, diam-diam dia jatuh cinta kepadaku. Tetapi itu bukan salahku! Sebagai suami-isteri kita harus saling percaya. Tapi apa kau malah percaya pada kata-Kata budak itu?"

Nona Ci seorang gadis cerdas. Dari jawaban suaminya dia yakin terselip sesuatu yang tidak diungkapkannya. Tapi dia berpikir karena upacara pernikahan sudah berlangsung, apapun yang pernah terjadi dia tetap suami isten.

"Untuk apa aku menyelidiki masalah ini. dia mencintaiku setulus hati. Jika dulu dia pernah berbuat salah, untuk apa kupikirkan?" pikir nona Ci. Sekalipun demikian nona Ci tetap gelisah. Dia jadi ingat pada Kok Siauw Hong tidak berbohong padanya. Sedang apa yang terjadi atas Seng Liong Sen, baru kali ini diketahuinya.

Akhirnya Seng Liong Sen berkata lembut.

"Giok Hian, sudah jangan kau pikirkan soal budak itu! Mari tidur, besok kita masih harus menerima ucapan selamat dari saudara seperguruanku!" kata Seng Liong Sen.

Ketika Ci Giok Hian ingat, bahwa Seng Liong Sen calon Beng-cu hatinya girang.

"Mengapa aku harus ribut dengannya, malah seharusnya aku membantu dia!" pikir nona Ci. "Kenapa aku harus meributkan soal kecil itu!"

Melihat perubahan sikap isterinya. Liong Sen senang sekali. Seng Liong Sen mendekati isterinya.

"Giok Hian, apa tidak sebaiknya kau berganti pakaian dengan pakaian tidur saja?" kata Seng Liong Sen.

Pemuda ini mulai memeluk isterinya, hingga Ci Giok Hian kaget, wajahnya pun berubah merah.

"Kau jangan begitu," kata nona Ci malu-malu.

Dengan disinari cahaya sinar lilin yang agak terangbenderang, wajah Ci Giok Hian yang berubah jadi merah dan jadi bertambah cantik. Sikap Ci Giok Hian yang malu-malu membuat Seng Liong Sen tambah bernapsu ingin merangkul isterinya yang cantik itu.

"Kita sudah jadi suami isteri, kenapa kau masih bersikap malu-malu? Biarkan aku menciummu," kata Seng Liong Sen merayu. Tak lama mereka sudah mulai bercumbu memadu cinta. Saat sedang bermesraan dan semakin asyik, tiba-tiba Seng Liong Sen merasakan perutnya melilit kesakitan.

"Eeh, kenapa kau? Kenapa tanganmu jadi semakin dingin?" tanya Ci Giok Hian kaget.

Ci Giok Hian menempelkan telinganya ke dada suaminya, dia ingin memerika denyut jantung suaminya.

"Aah, jangan cemas aku tidak apa-apa!" kata Liong Sen.

Semakin lama suara Seng Liong Sen semakin lemah keadaannya kelihatan semakin parah. Ketika Ci Giok Hian memeriksa denyut jantung Liong Sen, ternyata berdebar semakin keras. Nona Ci sadar bahwa ada yang tidak beres atas suaminya.

"Celaka, pasti budak itu menaruh racun pada arak yang disuguhkan kepadamu!" kata Ci Giok Hian kaget.

Keadaan Seng Liong Sen jadi tidak karuan. Tubuhnya panas dingin. Mendengar ucapan isterinya Seng Liong Sen pun sadar.

"Ya, kau benar! Bibiku memang akhli racun. Tik Bwee ikut Bibiku sejak kecil, kepandaiannya menggunakan racun pum tidak bisa dianggap remeh. Celaka, mungkin aku dikerjai olehnya!" kata Seng Liong Sen.

Tubuh Seng Liong Sen semakin dingin bahkan dia mengeluh.

"Kedua kakiku terasa dingin, mungkin aku akan lumpuh tidak berdaya. " kata Seng Liong Sen.

"Kau istirahat sebentar, akan kupanggilkan seorang tabib," kata Ci Giok Hian.

"Tapi... Apa kejadian ini tidak akan menjadi tertawaan orang?" kata Seng Liong Sen. "Yang penting selamatkan dirimu, jadi bahan tertawaan orang jangan kau pikirkan!" kata Ci Giok Hian.

Ci Giok Hian buru-buru keluar dari kamar pengantin akan mencari tabib. Tapi aneh sekali sesudah isterinya keluar rasa sakit di perut Seng Liong Sen segera hilang. Bahkan dia sudah bisa bergerak leluasa. Ketika itu tamu- tamu Bun Yat Hoan belum pulang semua, di antaranya ada seorang tabib bernama Yap Thian Liu. Tabib ini bergelar "Tabib Hoa To". Tabib yang terkenal pada zaman "Sam Kok" (Kisah Tiga Kerajaan).

Saat guru Seng Liong Sen diberitahu oleh Ci Giok Hian tentang apa yang terjadi atas Seng Liong Sen, tentu saja Bun Tay-hiap kaget. Segera dia menemui Yap Thian Liu. Mereka bertiga buru-buru ke kamar pengantin. Sungguh mengherankan saar itu Seng Liong Sen kelihatan sehat- sehat saja. Saat Ci Giok Hian mencari guru Seng Liong Sen, guru dan tabib itu menghabiskan waktu kurang lebih setengah jam di kamar pengantin.

"Liong Sen apa yang terjadi, kok kelihatanya kau sehatsehat saja," kata Bun Tay Hiap.

"Benar, sekarang aku tidak merasakan apa-apa. Mungkin tadi karena aku merasa letih saja!" jawab Seng Liong Sen.

Aneh saat Ci Giok Hian yang kegirangan suaminya tidak keracunan, dia memeluk suaminya. Tiba-tiba tubuh Seng Liong Sen menggigil seperti kedinginan. Melihat hal itu tabib Yap terperanjat.

"Nyonya Seng, ijinkan aku memeriksa suamimu. Silakan kau duduk dulu di sana!" kata tabib Yap.

Dengan wajah berubah merah Ci Giok Hian melepaskan pelukannya. Tabib Yap Thian Liu segera memeriksa meh (nadi) Seng Liong Sen. Dengan teliti dia rasakan denyut nadi Seng Liong Sen.

Menyaksikan tabib Yap begitu lama dan serius memeriksa

suaminya, Ci Giok Hian sedikit cemas juga. Dia bingung kenapa tabib Yap demikian lama memeriksa suaminya.

"Apa suamiku terkena racun yang sangat berbahaya?" pikir Ci Giok Hian.

Selang sekian lama baru tabib Yap berkata sambil menggelengkan kepalanya.

"Aah, baru kali ini aku menemukan racun seperti di tubuh Seng Siauw-hiap?" kata tabib Yap keheranan.

"Dia terkena racun apa, bisakah dia tertolong?" kata Ci Giok Hian gugup.

"Racun ini tidak berbahaya, tapi.....Aah....." tabib Yap seolah sulit untuk menjelaskannya.

"Kalau racun itu tidak berbahaya sungguh beruntung, tapi

ada-apa, katakan saja!" kata Giok Hian dengan gugup dan

cemas sekali.

"Baik, sementara ini kau jangan dekati dulu suamimu," kata tabib Yap.

Sekalipun heran dan sangsi, Ci giok Hian menurut dia menjauh dan duduk di sebuah kursi. "Aneh," kata Seng Liong Sen, "saat aku dipeluk oleh isteriku tiba-tiba aku merasa kedinginan, tapi sekarang sudah baik lagi. Penyakit apa ini?"

"Sebaiknya Seng Siauw-hiap keluar sebentar ke halaman, nanti kau akan kuperiksa lagi," kata tabib Yap. "Bun Tay- hiap pun dipersilakan ikut kami."

Di luar keadaan agak gelap, rembulan terhalang oleh mega hingga cahayanya jadi suram. Mendengar permintaan tabib Yap hal itu membuat Ci Giok Hian keheranan. Dia tidak diajak keluar, Ci Giok Hian cerdik langsung menduga. Mungkin tabib Yap ingin membicarakan sesuatu yang tidak boleh kuketahui. Maka itu dia tetap tinggal di kamarnya. Sekalipun Ci Giok Hian bingung dan heran bukan main.

Tak lama Yap Thian Liu dan Seng Liong Sen serta Bun Tayhiap sudah ada di halaman. Tabib Yap segera mendekati Seng Liong Sen.

"Seng Siauw-hiap, maafkan kalau pertanyaanku ini kurang berkenan di hatimu. Aku ingin tahu, apakah kau merasakan sakit, jika sedang bermesraan dengan isterimu?" kata tabib Yap.

"Ya, benar begitu," jawab Liong Sen tanpa malu-malu.

"Kuketahui hal itu dari denyut nadimu," kata tabib Yap. "Saat isterimu menemui kami. kau kembali sehat, tapi saat kau dipeluk isterimu kau kesakitan sekali!"

"Eh, aneh sekali? Penyakit apa itu?" kata Bun Tay-hiap. "Muridmu terkena racun yang sangat aneh, orang yang

terkena  racun  ini  tidak  bisa  berhubungan  badan  dengan

perempuan," kata tabib Yap. "Tapi jika tidak berdekatan dengan  perempuan  dia  akan  sehat-sehat  saja.  Racun  ini pernah kubaca dari sebuah catatan kuno, hanya aku lupa namanya."

Seng Liong Sen kaget dan berpkir.

"Celaka malam pengantinku yang indah ini tidak bisa kunikmati, bahkan aku pun akan putus turunan karena tidak bisa punya anak!" pikir Seng Liong Sen.

"Menurut catatan kuno tabib sakti yang kau katakan itu, ada obat bisa memunahkan racun itu?" kata Bun Tay-hiap.

"Menurut catatan itu memang ada, tapi obatnya sulit dicari," kata tabib Yap.

"Kalau ada penawarnya, obat apa itu?" kata Seng Liong Sen sedikit agak lega juga.

"Jika ada, sesulit apapun masih ada harapan," kata Bun Tay-hiap.

"Obat itu ada di Seng-siok-hay Kun Lun-san, namanya Thian-sim-ciok (Batu hati langit). Obat itu mirip batu biasa, harus ditumbuk halus lalu diberi air dan diminum. Sesudah minum obat itu, tubuh si penderita akan terasa panas. Tapi batu itu sama dengan batu biasa. Mencarinya pun tidak mudah, Untuk mendaki ke atas gunung Kun-lun pun bukan sesuatu yang gampang," kata tabib Yap.

Mendengar keterangan itu, Seng Liong Sen kaget dan wajahnya pucat-pasi tanda dia putus asa.

"Apa barangkali aku harus jadi hwee-shio saja?" kata Liong Sen.

"Aku kira Seng Siauw-hiap tidak perlu jadi hwee-shio, asalkan kau tidak berdekatan dengan perempuan, kan tidak masalah." kata tabib Yap yang kelihatan geli mendengar ucapan Seng Liong Sen itu. "Bagaimana dengan isterinya, apa mereka harus berpisah?" kata Bun Tay-hiap yang ikut bingungjuga.

"Aku kira tidak harus begitu asal jangan berhubungan badan bagi Seng Siauw-hiap tidak masalah," kata tabib Yap.

Jawaban  itu  membuat  Bun  Tay-hiap  jadi  serba  salah.

Akhirnya dia berkata.

"Kita sedang menghadapi musuh, maka musuhlah yang harus kita utamakan. Tentang masalah pribadi bisa ditunda dulu. Aku kira ini sudah takdirmu, mengenai masalah pribadimu aku tidak ingin ikut campur. Terserah kalian saja!" kata Bun Tay-hiap yang bingung bukan main.

Dengan perasaan kacau dan bingung bukan main, akhirnya Seng Liong Sen kembali ke kamar pengantin. Ci Giok Hian yang ingin tahu apa saja yang mereka rundingkan, mendesak suaminya. Akhirnya Liong Sen menjelaskan apa yang dikatakan tabib Yap kepadanya, bahwa mereka tidak bisa melakukan hubungan sebagai mana layaknya suami isteri. Mendengar jawaban suaminya Ci Giok Hian kaget juga sedih memikirkan nasibnya. Selain mengutuk perbuatan Tik Bwee. tidak ada yang bisa dilakukannya. Sesudah itu Ci Giok Hian dengan lesu berkata.

"Ini sudah menjadi nasibku, untuk menjaga keselamatanmu kau tidur di kamar lain saja. Aku sudah senang jika kau mencintaiku dan aku mencintaimu," kata Ci Giok Hian.

Semula napsu Seng Liong Sen yang menggebu-gebu dan berharap bisa menikmati malam pertamanya dengan Ci giok Hian, ternyata tidak terkabul. Dia sangat kecewa, tapi ketika mendengar kata-kata Ci Giok Hian hatinya lega juga. "Biar bagaimana aku telah mampu merebut calon isteri Kok Siauw Hong!" pikir Seng Liong Sen bangga.

Sesudah itu Seng Liong Sen pindah ke kamar tulis demi keselamatan dirinya. Sekarang Ci Giok Hian berada sendirian di kamarnya. Saat sendirian itulah Ci Giok Hian terkenang pada Kok Siauw Hong. Tanpa terasa dia menangisi nasibnya yang malang dan masa depannya kelak.

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Dikisahkan Tik Bwee dan Liong Thian Hiang yang sedang melakukan perjalanan, sudah jauh meninggalkan kediaman Bun Tay-hiap. Ketika dia sampai di sebuah tempat yang keadaannya sangat sepi, mereka berhenti sejenak. Tiba-tiba Tik Bwee tertawa terbahak-bahak. Nona Liong pun tertawa.

"Aku senang kau telah membuat Seng Liong Sen malu di depan umum," kata nona Liong.

"Sayang masih ada yang tidak kau ketahui," kata Tik Bwee.

"Tentang apa?" tanya nona Liong.

"Dia telah mengecewakan aku maka kubalas hingga dia untuk selamanya tidak bisa...." Tik Bwee menghentikan katakatanya.

"Apa yang kau lakukan terhadapnya?" tanya nona Liong. "Aku tidak sampai membahayakan jiwanya, hanya ....

Aah sudahlah aku kira kau tidak perlu tahu!" kata Tik Bwee sambil tertawa.

Tetapi tak lama kelihatan diajadi berduka, mungkin memikirkan nasibnya yang buruk. Tik Bwee menyeka air matanya, sesudah itu saputangan yang dipakai menyeka air mata itu dia cabik-cabik sehingga hancur lalu ditebarkan. Menyaksikan tingkah-laku kawan seperjalanannya itu, nona Liong terkejut. Dia dengar Tik Bwee berkata, "Tik Bwee telah mati dan sekarang aku bukan budak keluarga Seng lagi, tetapi menjadi diriku, yaitu Yo Kiat Bwee!"

Nona Liong yakin, saputangan yang dihancurkan oleh Tik Bwee itu pasti tanda mata dari Seng Liong Sen. Menyaksikan sikap Tik Bwee ini, nona Liong sedikit lega. Dia pikir semula Tik Bwee sakit jiwa, ternyata tidak!

"Sesudah aku membalas dendam padanya, masih ada satu cita-citaku yang belum terlaksana," kata Tik Bwee.

"Tentang hal apa?" tanya nona Liong.

"Aku akan mencari orang yang membuat nasibku jadi buruk," kata Tik Bwee.

Nona Liong manggut-manggut.

"Apa kau akan mencari penjahat yang menculikmu saat kau masih kecil? Tapi masih ingatkah kau wajah orang itu?"

"Sekalipun aku masih kecil, aku yakin jika bertemu dengannya, aku masih mengenalinya!" kata Tik Bwee.

Rupanya ketika masih muda ayah nona Liong dan ayah Tik Bwee bersahabat. Yo Tay Keng seorang jago silat. Mereka juga bertetangga. Saat itu Yo Kiat Bwee atau Tik Bwee berumur tujuh tahun. Ketika itu Tik Bwee dan nona Liong Thian Hiang sedang bermain-main di lereng gunung, di belakang rumah mereka, tiba-tiba mereka bertemu dengan seseorang yang membiusnya, hingga Tik Bwee tak sadarkan diri. Kemudian Tik Bwee dibawa kabur.

Liong Thian Hiang berhasil menyelamatkan diri, lalu melaporkan pada ayahnya, apa yang telah terjadi atas Tik Bwee. Saat ayah Tik Bwee dan nona Liong mengejar ke tempat kejadian, penculik itu sudah lenyap.

"Memang kau wajib membalas perbuatan orang itu. Tetapi kita tidak tahu, di mana dia berada. Ke mana kau akan mencarinya? Kecuali jika kebetulan kau bertemu dengannya. Sedangkan orang tua kita sudah meninggal semuanya, jadi mau pulang pun aku rasa tidak ada gunanya. Bagaimana kalau kita pesiar ke tempat lain saja?" kata nona Liong.

"Mau ke mana kita?" tanya Tik Bwee.

"Ayahku mempunyai seorang sahabat, dia she Bun namanya Yan Cun, dia tinggal di Bu-kang-kwan, di Ouw- lam.

Aku dengar pemandangan di sana sangat indah," kata Liong Thian Hiang.

Alasan nona Liong mengajak Tik Bwee ke sana untuk pesiar, dia berharap agar Tik Bwee mendapatkan jodoh. Selain itu dia juga ingin bertemu dengan calon suaminya, putera Bu Yan Cun yang bernama Bun Hian Kam. Dia berharap siapa tahu calon suaminya punya kawan yang cocok untuk Tik Bwee.

"Sekarang aku sebatang kara, ke mana pun kau bersedia mengajakku, aku akan menemanimu!" kata Tik Bwee.

Sesudah ada kata sepakat, mereka melanjutkan perjalanannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar