Beng Ciang Hong In Lok Jilid 28

 
Sambil berjalan Wan Say Eng terus melamun sehingga jalannya agak lamban. Sedang Kong-sun Po saat itu hanya berpikir, selekasnya mereka sampai ke Pek-hoa-ko. Sesudah mengobati Ci Giok Phang, dia akan buru-buru ke Kim-kee- leng untuk menemui Kiong Mi Yun. Saat Kong-sun Po melihat Wan Say Eng berjalan lambat dia heran, apalagi ketika diperhatikan nona itu seperti sedang melamun.

"Mumpung matahari belum silam ke arah barat, kita harus segera mempercepat perjalanan." kata Kong-sun Po. "Sesudah beres menyembuhkan Ci Giok Phang, kita harus ke Kim-keeleng. Kau sahabat Mi Yun pasti kau juga ingin bertemu dengannya? Bagaimana kalau kita bersama-sama ke sana?"

"Kau tidak perlu ke Pek-hoa Kok," kata Wan Say Eng sambil tersenyum.

"Kenapa?"

"Aku akan mencoba mengobati Ci Giok Phang, jika aku tidak bisa menyembuhkannya untuk apa kau ikut? Lebih baik kau ke Kim-kee-leng, Kak Mi Yun sedang menunggu- nunggu kau di sana! Ingat hati-hati di perjalanan, usahakan jangan sampai bertemu dengan ayah Kak Mi Yun!" kata Wan Say Eng. Mendengar ucapan nona Wan yang masuk akal, Kong- sun Po girang. Ditambah dia ingin segera bertemu dengan Kiong Mi Yun. Maka itu dia langsung mengucapkan terima kasih dan pergi. Wan Say Eng mengawasi pemuda itu dari belakang. Sesudah pemuda itu tidak kelihatan lagi, nona Wan menghela napas panjang.

"Di hatinya hanya ada Mi Yun seorang, aku harus mengalah demi kebahagiaan mereka. Kalau Ayahku sampai tersesat, itu masalah nanti. Siapa tahu kelak akan ada orang yang menolongi Ayah!" pikir nona Wan.

Wan Say Eng segera berangkat ke Pek-hoa-kok, di sepanjang perjalanan Wan Say Eng tidak mendapat gangguan apapun. Tak lama dia sudah sampai diYang-ciu. Karena belum tahu letak Pek-hoa-kok nona Wan Say Eng bertanya pada seseorang. Sesudah diberi petunjuk Wan Say Eng segera ke Pek-hoa-kok. Ketika itu musim semi. Begitu Wan Say Eng memasuki lembah itu, dia kagum menyaksikan keindahan lembah itu.

"Tempat ini sunguh indah," pikir Wan Say Eng. "Ci Giok Hian dan adiknya tinggal di sini sungguh nyaman. Oh, alangkah indahnya tempat ini!"

Hati Wan Say Eng tiba-tiba mulai gelisah.

"Ci Giok Phang terluka sampai saat ini hampir satu bulan lamanya. Entah dia sudah mati atau masih hidup? Jika dia sudah mati, maka sia-sialah usahaku ini." pikir Wan Say Eng.

Alis Wan Say Eng berkerut.

"Jika dia masih hidup, pasti sakitnya parah sekali. Aku tidak kenal dengannya. Tetapi aku datang ke mari, apakah dia tidak akan salah sangka. Lalu dia menganggap aku ini perempuan apa?" pikir Wan Say Eng. Mengingat orang yang akan dia obati seorang pemuda, Wan Say Eng jadi bimbang dan merasa jengah. Namun, masalah ini mungkin sangat menarik.

"Mudah-mudahan dia masih hidup!" pikir nona Wan. "Dengan demikian aku akan tinggal di sini beberapa hari, sekalipun aku harus mengobati orang, tetapi rasanya aku tidak akan bosan melihat keindahan tempat ini!"

Dugaan Wan Say Eng bahwa Ci Giok Phang yang sedang sakit pasti sedang tergeletak di tempat tidur, ternyata tidak begitu.

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Saat pulang sakit Ci Giok Phang kian hari kian membaik. Orang yang mengantarnya pulang adalah Beng Teng. Piauwsu ini tinggal di rumah Ci Giok Phang beberapa hari lamanya. Sekarang karena sudah sehat Ci Giok Phang sedang berlatih ilmu pedang di halaman belakang rumahnya.

Hari itu Ci Giok Phang sedang menghimpun hawa murninya. Saat dia mencoba Iwee-kangnya ternyata tidak ada masalah. Betapa girangnya Ci Giok Phang saat itu.

"Hampir sebulan aku tidak berlatih, hari ini cuaca sangat cerah." pikir Ci Giok Phang. "Aku pun senang bahwa aku mulai sehat!"

Daun-daun kering yang terkena angin pedangnya tampak berhamburan. Saat itu dia sedang berlatih ilmu Lok-eng- kiamhoat.

Tiba-tiba Ci Giok Phang dikejutkan oleh suara orang yang memujinya.

"Ilmu pedang yang bagus!" kata orang itu. Ci Giok Phang kaget dia menghentikan latihannya. Dia langsung menengadah ke atas tembok. Dia kaget melihat ada orang di atas tembok. Mereka bertiga salah seorang to- su berumur sekitar limapuluh tahun, sedang yang lainnya dua orang pemuda dan entah sejak kapan mereka berada di tempat itu?

To-su itu tertawa suaranya aneh, dan bertanya pada Ci Giok Phang.

"Apa adikmu ada di rumah?" kata to-su itu. Ci Giok Phang mengawasi ketiga orang itu.

"Tuan-tuan ini siapa? Dan dari mana?" kata Ci Giok Phang.

'Jadi kau tidak kenal padaku," kata pemuda yang bertubuh jangkung dingin. "Tetapi kau kenal pada pukulan Hua-hiattoku, kan?"

Pemuda itu menunjukkan telapak tangannya tampak mulai merah. Seketika itu juga tercium bau amis, Ci Giok Phang kaget bukan kepalang.

"Ada hubungan apa kau dengan See-bun Souw Ya?" Lelaki jangkung itu tertawa.

"Matamu cukup tajam, begitu kau lihat tanganku kau langsung tahu asal-usulku! See-bun Souw Ya itu Suhuku, Pouw Yang Hian adalah Su-hengku!" kata si jangkung.

Dia ternyata murid kedua See-bun Souw Ya bernama The Yu Po. Ci Giok Phang memang pernah bertemu dengan See-bun Souw Ya maupun Pouw Yang Hian.  Tetapi dia tidak pernah bertemu dengan The Yu Po.

Pria yang satu lagi langsung menghunus golok. "Sudah lama aku mengetahui ilmu pedang keluarga Ci, apa kau kenal golokku ini?" kata lelaki itu. "Kampung Cok-kee-cuang sangat terkenal ilmu goloknya," kata Ci Giok Phang. "Jika aku tak salah kau adalah majikan muda kampung Cok-kee-cuang. Benar kan?"

"Karena kau sudah mengenali golokku, maka aku pun berlaku sopan padamu! Suruh adikmu keluar! Dengan demikian kami tidak perlu menggeledah rumahmu, dan tidak perlu bentrok denganmu!" kata orang itu.

Ci Giok Phang panas bukan main. Tetapi dia seorang pemuda yang jujur dan tenang. Dia juga berpikir, mungkin tosu itu adalah adik ketua Cok Kee-cuang bernama Thauw Khong. Dia langsung berkata.

"Ada masalah apa kalian mencari adikku?"

"Adikmu pulang membawa lelaki liar bernama Seng Liong Sen, kan?" kata The Yu Po. "Dia musuh kami! Dengan mengan-dalkan pemuda liar itu, adikmu telah memunahkan Hua-hiat-to Su-hengku. Terus-terang kami datang untuk balas-dendam. Segera kau suruh mereka keluar!"

Sesudah dikalahkan oleh Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian di rumah Beng Cit Nio, CokTay Ju dan The Yu Po minta bantuan pada su-siok (paman) Cok Tay Ju.

Saat Ci Giok Phang mendengar permintaan mereka dia jadi melongo.

"Aah, aku belum pernah dengar dia mengatakan punya teman bernama Seng Liong Sen? Mana mungkin dia membawanya pulang ke mari? Jangan-jangan mereka bicara sembarangan saja!" pikir Ci Giok Phang.

Ci Giok Phang tidak percaya pada keterangan The Yu Po. Dia hanya tahu adiknya itu calon isteri Kok Siauw Hong. Ditambah lagi nona itu tidak pulang. Karena ucapan The Yu Po dianggap kurang berkenan, Ci Giok Phangjadi marah.

"Kalian sembarangan bicara, enyah dari sini!" bentak Ci Giok Phang.

"Justru kami datang akan menangkap adikmu, kau mau apa?" kata The Yu Po.

"Kalau begitu jangan salahkan aku kurang hormat!" kata Ci Giok Phang.

Dia langsung menyerang The Yu Po dengan pedangnya. The Yu Po menghindar dan balas menyerang. Seketika itu Ci Giok Phang mulai mencium bau amis. hingga kaget.

"Ilmu silat The Yu Po lebih hebat dibanding dengan Pouw Yang Hian!" pikir Ci Giok Phang.

Dia gunakan Liong-jiauw-pouw (Naga menggerakkan tubuh). Tampak pedangnya menyambar ke arah The Yu Po.

The Yu Po tidak mengira betapa lihay ilmu pedang Ci Giok Phang. dia ingin menarik serangannya, tetapi sudah terlambat. Terpalsa The Yu Po melangsungkan serangan itu, tujuannya agar bisa terluka bersama-sama.

Melihat The Yu Po dalam bahaya, tiba-tiba mereka merasakan serangan angin. Ternyata itu serangan dari Thauw Khong To-jin.

"Yu Po, cepat mundur!"

The Yu Po melompat mundur. Tenaga keras itu langsung menghantam pedang Ci Giok Phang hingga miring. Pada saat bersamaan Ci Giok Pang bergerak cepat mengubah jurusnya. Kelihatan pedang Ci Giok Phang menyerang ke arah Thauw Khong To-jin, hingga membuat to-jin itu terperanjat. "Lwee-kangnya tinggi sekali, maka itu kami harus bergabung baru bisa mengalahkannya," pikir Thauw Khong.

Thauw Khong mengangkat kakinya menendang pedang Ci Giok Phang. Pedang Ci Giok Phang terlepas. Ketika itu The Yu Po dan Cok Tay Ju akan menggeledah rumah, tapi tiba-tiba mereka kaget mendengar teriakan Thauw Khong.

"Mundur!" kata Thauw Khong.

"Kalian tahan bocah ini, biar aku yang memeriksa ke dalam rumah!" kata Thauw Khong.

"Benar, lebih baik Su-siokmu yang masuk ke dalam!" kata The Yu Po.

"Sebenarnya tidak sulit mengalahkan bocah itu, tetapi aku khawatir Yu Po dan Tay Ju tidak akan sanggup melawan Seng Liong Sen!" pikir Thauw Khong. "Walaupun bisa mungkin mengalahkannya harus di atas limapuluh jurus!"

The Yu Po dan Cok Tay Ju memang pernah dikalahkan oleh Seng Liong Sen, maka itu mereka khawatir tidak akan sanggup melawan Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian yang mereka kira ada di dalam rumah. Mereka berani mengejar Liong Sen dan Ci Giok Hian karena mereka mengandalkan Thauw Thong To-jin, Tetapi mereka jadi heran sebab sudah sekian lama Thauw Thong belum juga mampu mengalahkan Ci Giok Phang. Mereka berdua sudah langsung bertarung dengan Ci Giok Phang.

"Tahan bocah ini sampai aku kembali!" kata Thauw Thong. "Baik, jangan khawatir Su-siok, sesudah bocah ini kami kalahkan, kami akan masuk membantu Su-siok!" kata Tay Ju.

Dia serang Ci Giok Phang dengan goloknya. Setelah menyaksikan sejenak, Cok Tay Ju langsung menyerang, Thauw KhongTo-jin mengeluh.

"Tay Ju begitu ceroboh, aku khawatir dia kalah oleh bocah itu!" pikir Thauw Khong.

Oleh karena ingin menjaga wibawa Cok Tay Ju dia tidak memperingatkan keponakannya itu. Ditambah lagi ada The Yu Po membantu Cok Tay Ju, dia yakin kedua pemuda itu tidak mudah dikalahkan oleh Ci Giok Phang. Thauw Khong langsung masuk ke dalam rumah.

Saat Cok Tay Ju menyerang, Ci Giok Phang menangkis serangan itu dengan jurus Hoan-pek-ceng-kouw (Membalikan tangan menusuk dada). Gerakan pedang Ci Giok Phang tampak lamban, ini membuat Cok Tay Ju girang.

"Bagus, mungkin kau sudah tahu kelihayanku!" pikir Tay Ju.

Cok Tay Ju memutar goloknya menghantam ke arah pedang Ci Giok Phang, tapi tiba-tiba Ci Giok Phang menggerakkan ujung pedang dan mengarah ke tangan Cok Tay Ju. Ini jurus sangat berbahaya, kurang sigap tangan Cok Tay Ju akan buntung.

Tay Ju kaget buru-buru dia menggunakan jurus Honghoang-to-wa (Cendrawasih berebut sarang).

Golok Tay Ju diputar untuk melindungi tubuhnya, dan dia melompat mundur. Tanpa terasa dia berkeringat karena kagetnya. Saat itu The Yu Po pun menyerang. Ketika tercium bau amis yang menyengat, Ci Giok Phang serasa mau muntah.

"Oh, sungguh lihay pukulan orang ini!" pikir Giok Phang.

Untuk menghindari serangan lawan ini Ci Giok Phang menyerang secara berturut-turut sebanyak tujuh kali. Tidak heran karena serangan itu The Yu Po harus mundur, dia tidak mampu mendekati tubuh Ci Giok Phang.

Ternyata Ci Giok Phang yang baru sembuh tenaganya belum pulih. Tidak heran lama-kelamaan pemuda ini mulai terdesak. Melihat lawan mulai terdesak The Yu Po berteriak pada kawannya.

"Saudara Cok mari kita serang dia secara serentak!" kata The Yu Po.

"Baik, hati-hati ilmu pedangnya lihay. Tapi napasnya mulai tersengal-sengal!" kata Cok Tay Ju.

The Yu Po langsung memperhatikan gerak-gerik Ci Giok Phang. Dia sudah melihat wajah Ci Giok Phang mulai pucatpasi. Keringatnya mulai membasahi keningnya.

"Saudara Cok, kau benar. Dia mulai kelelahan, kita tidak perlu buru-buru membunuhnya!" kata The Yu Po. "Kepung dia supaya kehabisan nafas!"

Mendadak Ci giok Phang menyerang dengan hebat, melihat serangan itu Yu Po terpaksa mundur. Beberapa kali terdengar suara benturan yang nyaring. Saat itu Ci Giok Phang menggunakan jurus Lian-hoan-cit-cauw (Tujuh jurus beruntun). Karena The Yu Po mundur, Cok Tay Ju maju menangkis serangan Giok Phang, tetapi tidak bisa membalas menyerang. Dia hanya mampu bertahan. Kembali The Yu Po menyerang dengan Hua-hiatto ke arah lawan. Karena Iwee-kang Ci Giok Phang belum pulih, mata pemuda itu berkunang-kunang tidak tahan menahan bau amis serangan lawan. Hal ini membuat Giok Phang kaget dan keringat dinginnya mengucur deras.

Melihat hal itu The Yu Po yang sering memandang enteng lawan kambuh lagi. Dia tertawa sambil berteriak.

"Dia hampir mampus! Ha, ha, ha,ha!" kata Yu Po. "Dia akan kutangkap hidup-hidup untuk kuserahkan pada Su- siok!"

Tiba-tiba Ci Giok Phang menyerangnya. Dia kaget dan segera melompat mundur. Cok Tay Ju menangkis serangan itu.

"Tang!"

Pedang Ci Giok Phang tertangkis hingga miring ke samping. Tubuh pemuda ini terhuyung. Melihat hal itu Cok Tay Ju girang. Dia mengejar Ci Giok Phang sambil membentak.

"Roboh kau!"

Golok Cok Tay Ju mengarah ke tubuh Ci Giok Phang. Jika golok itu mengenai punggung Ci Giok Phang, maka celakalah dia.

Di luar dugaan ternyata itu siasat Ci Giok Phang untuk mengelabui lawannya. Dia terhuyung bukan karena pukulan lawan. Saat itu dia menggunakan jurus Cui-pat- sian (Gerakan delapan dewa mabuk). Tiba-tiba pedang di tangan Ci giok Phang berkelebat, disusul suara jeritan.

"Aaakh!" Lengan Cok Tay Ju terkena pedang Ci Giok Phang. Tetapi sesudah itu Ci Giok Phang langsung kehabisan tenaga. Akhirnya Ci Giok Phang pun roboh.

Saat melihat Cok Tay Ju terluka tangannya, The Yu Po pun melihat Ci Giok Phang roboh. Tetapi dia tidak berani menyerang lawannya karena curiga lawannya berpura-pura roboh.

"Dia berpura-pura untuk menjebakku?" pikir The Yu Po. Keraguan  The  Yu  Po  justru  telah  menyelamatkan  Ci

Giok Phang dari bahaya maut. Ci Giok Phang masih sadar.

Segera dia himpun hawa murninya. Lalu melompat bangun.

"Baik," kata Ci Giok Phang. "Sekarang kita satu lawan satu!"

Luka Cok Tay Ju cukup parah, saat itu dia sedang mengobati lukanya.

Melihat Ci Giok Phang bangun lagi The Yu Po kaget. Dia tidak berani maju dia hanya menyerang dari jarak jauh. Selesai mengobati lukanya Cok Tay Ju yang geram langsung maju lagi.

"Baik, mari kita adu jiwa!" kata Tay Ju.

Dia langsung menyerang, tapi tiba-tiba kakinya terasa sakit seperti digigit semut, akhirnya ngilu hingga dia terjatuh duduk. Melihat kawannya jatuh The Yu Po terperanjat. Akhirnya dia ragu untuk menyerang.

Saat itu Ci Giok Phang yang sudah tidak sanggup melawan hendak kabur. Tetapi terdengar bentakan keras.

"Kalian berdua tidak berguna! Ayo minggir! Hai bocah she Ci kau mau kabur ke mana?" kata Thauw Thong To-jin yang muncul dari dalam rumah. Sesudah mencari kian ke mari tak menemukan Seng Liong Sen dan Ci Giok Hian, dia langsung keluar lagi. Saat Thauw Thong mau menyerang

kerbau! Kalian tidak tahu malu menghina orang yang sudah terluka! Di sini masih ada aku!" kata bentakan itu. Tak lama muncul seorang nona, dia adalah Say Eng.

Begitu sampai nona Wan mendengar suara beradunya senjata, maka itu dia langsung ke halaman belakang. Ternyata dia lihat Ci Giok Phang sedang dikepung oleh tiga orang lawan. Dia girang karena Ci Giok Phang masih mampu menghadapi dua orang lawan, sekalipun dia sedang terluka parah. Munculnya nona Wan yang sangat mendadak itu membuat Thauw Thong To-jin terkejut.

"The Yu Po tangkap dia!" kata Thauw Khong. "Aku yakin kau mampu menangkapnya!"

Cok Tay Ju berusaha bangun.

"Nona busuk, rupaya kau yang menyerang secara diamdiam!" bentak Cok Tay Ju.

Cok Tay Ju memang terkena jarum Bwee-hoa-ciam yang dilepas oleh nona Wan. Untung jarum itu tidak beracun. Cok Tay Ju gusar bukan main langsung menyerang dengan goloknya. Thauw Khong kaget atas kedatangan nona Wan, dia pun malu dihina oleh nona ini. Melihat Ci Giok Phang sudah terluka, dia pun berpikir.

"Bocah ini tidak mungkin kabur!" pikirnya.

Sesudah itu dia bersikap seolah seorangjago tua yang terhormat.

"Asal kau tidak pergi, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan padamu," kata Thauw Khong. Dia lalu mengawasi ke arah Cok Tay Ju.

"Tay Ju, sekalipun nona ini menyebalkan, kau jangan lukai

dia!" kata Thauw Khong. "Tangkap dia hidup-hidup agar kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan padanya!"

"Baik, Su-siok," kata Tay Ju. Dia tatap nona Wan.

"Nona busuk, lebih baik kau menyerah saja!" kata Tay Ju.

"Nona terima kasih. Tapi ini urusanku, aku tidak ingin kau terlibat!" kata Ci Giok Phang.

Saat dia mau maju melawan Cok Tay Ju, tiba-tiba Thauw Khong membentak.

"Aku suruh kau diam malah maju!" kata Thauw Khong. Dia memungut sebuah kerikil yang dia sentil ke arah Ci

Giok Phang. Saat itu juga Ci Giok Phang roboh terkena batu kerikil itu. Tampak Thauw Khong bangga sesudah memamerkan kepandaiannya.

"Hidung kerbau! Kau bisanya menghina orang yang sudah terluka, apa hebatnya?" kata nona Wan sambil tertawa ingin.

"Nona busuk, beraninya kau menghina Su-siokku!" kata Tay Ju. "Dia bandel tidak mau mendengar nasihat Su- siokku, diberi

pelajaran sudah pantas! Sekarang aku yang akan menghajarmu! Apa kau tidak mau menyerah?" "Apa kepandaianmu menyuruh aku menyerah? Kau orang kampung Cok-kee-cuang, kan?" kata nona Wan.

"Hm! Ternyata kau tahu siapa aku ini." kata Tay Ju. "Aku dengar ilmu golokmu itu hebat, ayo serang aku!"

kata nona Wan.

Dia awasi nona Wan yang cantik itu.

"Pamanku menyuruhku menangkapmu hidup-hidup. Kau malah menantangku. Jika aku serang kau pasti binasa!" kata Tay Ju. Nona Wan tertawa dingin.

"Mari serang, aku tak yakin golokmu mampu melukaiku! Jika kau tidak mau maka aku yang akan menyerangmu!" kata nona Wan.

Tay Ju diam, tiba-tiba nona Wan melancarkan serangannya. Sinar keemasan menyambar.

"Awas Tay Ju!" Thauw Khong memperingatkan.

Cok Tay Ju mencoba menangkis dengan goloknya. Dia tidak melihat senjata rahasia lawan, maka itu dia berkata nyaing.

"Kau cari mampus nona..."

Tetapi sebelum habis kata-katanya, lengan kanannya sangat ngilu. Tahu-tahu golok Cok Tay Ju sudah berpindah tangan ke tangan nona Wan. Thauw Khong To-jin kaget. Dia berpikir.

"Jangan-jangan nona ini puteri dia?" pikir Thauw Khong. "Golok jelek ini harus dibuang karena tidak berguna!"

kata nona Wan.

Golok itu dia tancapkan ke tanah hingga yang terlihat tinggal gagangnya saja. Mata Cok Tay Ju terbelalak. Saat itu The Yu Po maju. "Gadis siluman, rasakan pukulanku!" kata Yu Po.

Melihat Thauw Khong ragu menghadapi gadis ini, Yu Po mendahuluinya. Dia berharap mampu merobohkan nona Wan. Jika dia kalah, pasti Thauw Khong akan membantu dia, itu yang ada di benak Yu Po.

"Hm! Pukulan Hua-hiat-to, pasti kau murid See-bun Souw Ya!" kata nona Wan. "Tahukah kau, ketika suhumu bertemu denganku dia tidak berani kurang ajar! Kau begini sombong, jangan harap kau bisa melukaiku!"

"Memang aku belum mahir Hua-hiat-to, tapi aku mampu merobohkanmu!" kata Yu Po.

Sambil bicara Yu Po langsung menyerang, nona Wan pu menangkis serangan itu.

"Plaak!"

Tubuh Yu Po terhuyung ke belakang, sebaliknya nona Wan tetap berdiri tegak di tempatnya.

"Kau memang tidak tahu diri, rasakan pukulanku!" kata Wan Say Eng yang langsung menyerang.

Sepasang tangan nona Wan bergerak mengurung The Yu Po. Sekalipun ilmu silat The Yu Po tidak rendah, namun saat mengetahui Hua-hiat-tonya tidak bisa melukai nona Wan, dia kaget dan nyalinya jadi ciut. Ilmu pukulan nona Wan pun banyak macamnya hingga dia jadi bertambah bingung. Dia kaget menyaksikan telapak tangan nona Wan bersinar keemasan. Ini membuat mata The Yu Po berkunang-kunang. Sesudah lewat belasan jurus The Yu Po terhuyung karena bahunya terkena pukulan nona Wan. Rupanya tangan nona itu keemas-emasan karena dia mengenakan sarung tangan pusaka terbuat dari benang emas. Khasiatnya untuk merebut senjata lawan dan bisa menangkis pukulan beracun. "Aduh!" The Yu Po menjerit kesakitan.

Tubuhnya langsung roboh ke tanah. Dia bergulingan karena takut disusul oleh serangan nona Wan. Sesudah dua lawannya kalah nona Wan menghadapi Thauw Khong To- jin.

"To-su hidung kerbau bau, kau ingin bertarung denganku? Jangan beraninya hanya menghina orang yang sedang terluka!" kata nona Wan.

"Hm! Jangan tekebur, nona kecil! Jika kau ingin mengalahkan aku kau harus berlatih beberapa tahun lagi. Jangan kau kira aku tidak berani padamu. Tapi katakan dulu terus-terang. Mungkin benar apa yang dikatakan Thauw Khong?"

Maka itu buru-buru nona Wan menjawab. "Dia Ayahku!" kata nona Wan. "Kenapa?" Thauw Khong kaget bukan kepalang. "Apa ayahmu juga datang ke mari?"

"Ayahku menyuruh Paman Kiong Cauw Bun mengajakku pesiar ke Tiong-goan," kata nona Wan, "tak lama lagi dia akan menyusul ke mari! Apa kau ingin bertemu dengan Ayahku?"

Ucapan nona Wan ini untuk menggertak Thauw Khong hingga dia jadi agak gugup dan tidak berani berbuat apa- apa.

"Dia pasti puteri ketua pulau Beng-shia-to!" pikir Thauw Khong. "Tentang munculnya Kiong Cauw Bun itu pasti bukan kabar bohong! Jika mereka semua muncul, aku bisa celaka!"

Berpikir demikian Thauw Khong ingin segera meninggalkan tempat itu. "Maafkan, aku tidak tahu jika Ci Kong-cu kawan nona," kata Thauw Khong. "Jika kau bertemu Paman Kiong dan ayahmu, tolong sampaikan salamku."

Kemudian dia mengawasi ke arah Cok Tay Ju dan The Yu Po.

"Kalian semua buta, beraninya kalian kurangajar pada nona Wan! Cepat pergi!" kata Thauw Khong.

Mendengar teguran Thauw Khong kedua pemuda itu bungkam. Mereka langsung mengikuti Thauw Khong meninggalkan tempat itu. Sesudah mereka pergi, nona Wan menarik napas lega.

"Sungguh berbahaya!" katanya.

Dia hampiri Ci Giok Phang yang tergeletak di tanah. Diawasinya wajah pemuda itu yang mulai pucat-pasi. Keringat pemuda itu membasahi dahi dan tubuhnya.

"Dia terluka oleh pukulan Cit-sat-ciang, belum sebulan sudah terluka lagi, tapi dia kuat dan bisa bertahan. Jika aku yang terluka bisa celaka?" pikir nona Wan.

Ci Giok Phang berusaha bangun.

"Terima kasih atas bantuanmu, nona," kata Ci Giok Phang.

Wan Say Eng tersenyum dan menyuruhnya duduk. "Sekarang bukan saatnya berlaku sungkan," kata nona

Wan. ”Ijinkan aku mengobatimu!”

Nona ini langsung memeriksa nadi Ci Giok Phang, ternyata denyut nadinya bagus.

"Untung Iwee-kangmu tinggi," pikir nona Wan. "Kau bisa disembuhkan. Tetapi aku tidak tahu bagaimana mengobati orang yang terkena Hua-hiat-to, Ayahku belum mengajariku. Pada Kong-sun Po aku sudah berjanji akan mengobatinya. Apa yang bisa kulakukan sekarang?"

Tampak Wan Say Eng bingung dan gugup sekali. Dia jalan hilir-mudik sambil berpikir.

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Ketika itu Wan Say Eng benar-benar dalam kebingungan luar biasa. Dia tidak tahu bagaimana harus mengobati Ci Giok Phang. Melihat Wan Say Eng kebingungan, Ci Giok Phang tersenyum lalu berkata dengan suara perlahan.

"Nona, di kamarku ada arak Pek-hoa-ciu. Jika kau bersedia membantuku, tolong kau bawakan guci arak itu ke mari!" kata Ci Giok Phang.

"Baik," kata Wan Say Eng.

Dia mengira arak itu dapat menyembuhkan luka terpukul, dan belum tahu apakah arak itu juga bisa mengobati orang terkena pukulan Hua-hiat-to atau tidak. Tanpa membantah atau menolak permintaan Ci Giok Phang, dia masuk ke dalam rumah. Saat keluar dia membawa seguci arak di tangannya.

Sampai di luar dia lihat Ci Giok Phang sudah rebah pingsan di tanah. Ketika dibangunkan dia tetap pingsan, hanya denyut nadinya yang masih baik. Dalam kebingungan Wan Say Eng menunggui pemuda itu sampai sadar. Tapi karena lama belum juga sadar, dia berpikir akan mencekok anak muda itu dengan arak.

Saat dia membuka tutup guci itu, maka terciumlah bau harum yang luar biasa. Dia yakin arak itu mampu menyembuhkan luka anak muda itu. Saat Wan Say Eng akan meminumkan arak itu ke mulut Giok Phang, muncul dua orang ke tempat itu. Ternyata kedua orang itu pelayan atau pegawai di rumah Ci Giok Phang. Rupanya kedua orang itu bersembunyi saat melihat majikannya berkelahi. Mereka baru muncul saat keadaan sudah aman kembali.

"Majikanmu terluka parah, mungkin mengobatinya akan makan waktu lama," kata Wan Say Eng.

Kedua orang itu mengangguk. Kemudian mereka memberi tahu nona Wan.

"Keadaan di Yang-ciu mulai kacau. Bajak laut dari Tiangkang mulai beraksi. Su Thian Tek si kepala bajak bergabung dengan pihak Mongol, dia diangkat menjadi raja-muda. Tak heran maka tak lama lagi perang akan berkobar di sana. Jika Majikan kami tidak bisa segera disembuhkan, itu berbahaya sekali. Sedang semua pegawai di sini sudah diberhentikan oleh Majikan, jadi tinggal kami berdua saja!" kata orang itu.

Dalam keadaan panik nona Wan langsung berpikir.

Akhirnya dia mengambil keputusan.

"Aku sahabat majikanmu, jika kalian percaya biar akan kubawa dia ke Beng-shia-to," kata nona Wan. "Di sana akan kuobati. Sedang kalian boleh tinggal di sini menunggu rumah!"

Usul nona Wan mereka terima baik, karena mereka pikir daripada kelak tidak bisa melindungi majikan mereka dari bahaya, lebih baik majikannya dibawa pergi untuk diobati oleh nona yang kelihatannya baik dan sayang pada majikannya itu.

Sesudah itu Wan Say Eng membawa Ci Giok Phang pergi.

-o-DewiKZ^~^aaa-o- Entah berapa lama dia pingsan, saat sadar Ci Giok Phang merasakan tubuhnya seperti terayun-ayun. Dia membuka mata. Dia mendengar suara merdu di sampingnya.

"Aaah, rupanya kau sudah siuman," kata seorang nona. Ci Giok Phang mengawasi nona itu.

"Siapa kau?" kata Giok Phang.

"Eh, begitu cepatnya kau melupakan aku?" kata nona itu. Terasa angin bertiup. Giok Phang menghirup bau laut. "Oh, rupanya kau nona yang menolongiku," kata Giok

Phang baru sadar. "Ke mana para penjahat itu?"

"Sudah kabur semuanya," jawab Wan Say Eng. "Kau tak sadarkan diri selama tiga hari tiga malam."

"Tiga hari tiga malam, kalau begitu tempat apa ini?" kata Ci Giok Phang. "Rasanya aku berada di atas perahu!"

"Kau benar, kita ada di atas sebuah perahu," jawab nona Wan sambil tersenyum.

Wan Say Eng sengaja telah membeli sebuah perahu besar; perahu itu dibeli dari seorang saudagar di Yang-ciu. Dalam keadaan kacau kapal layar itu dijual dengan harga murah sekali. Sebuah kapal layar yang mewah dan ditata dengan baik. Jika saja ombak tidak besar, Ci Giok Phang tidak akan merasakan terayun-ayun. Nona Wan lalu menceritakan keadaan di Yang-ciu seperti kata pelayan Ci Giok Phang. Karena pemuda itu sudah tahu, dia tidak kaget.

"Sekarang kau akan kubawa ke Beng-shia-to untuk diobati!" kata nona Wan. "Oh, aku terlalu merepotkan Nona," kata Giok Phang. "Aku tidak tahu bagaimana aku harus berterima kasih padamu!"

"Terus-terangaku menolongmu atas permintaan sahabatku, dia tahu kau terkena pukulan Cit-sat-ciang. Maka itu aku diminta mengobatimu."

"Siapa kawanmu itu?"

"Dia bernama Kong-sun Po!" kata Wan Say Eng. "Nona Kiong yang berjalan bersamanya, juga sahabatku!"

"Sekarang mereka ada di mana?"

"Mereka ke Kim-kee-leng!" jawab nona Wan.

Ci Giok Phang berpikir, jika ada Kong-sun Po, luka terkena Hua-hiat-to bukan masalah, tapi sekarang mereka pergi ke Kim-kee-leng.

Melihat Ci Giok Phang kelihatan agak gugup, nona Wan mengerti apa yang dikhawatirkannya.

"Jika aku tidak bisa mengobatimu. Ayahku pasti bisa!" kata nona Wan memastikan.

"Maaf, sampai sekarang aku belum tahu namamu, Nona. Entah Ayahmu itu kaum Cian-pwee dari kalangan mana?" kata Giok Phang.

"Namaku Wan Say Eng dan Ayahku bernama Wan Ceng Liong tinggal di Beng-shia-to!" jawab nona Wan.

Ci Giok Phang hanya mengangguk karena dia baru mendengar nama itu.

"Jadi, kita sedang menuju ke tempat tinggalmu?" kata Ci Giok Phang. "Benar," jawab nona Wan. "Di sana pemandangannya indah, kau harus banyak beristirahat. Sudah jangan banyak bicara lagi!"

Mengingat harus berpisah dengan semua kawannya di Tiong-goan (Tiongkok), Ci Gik Phang jadi berduka.

Beberapa hari kemudian dengan berlatih Siauw-yang- sinkang dan minum arak Pek-hoa-ciu, lambat laun tenaga Ci Giok Phang mulai pulih, sekalipun lukanya belum sembuh benar. Kini dia sudah bisa keluar ke geladak kapal layar untuk melihat laut.

Suatu hari pada saat nona Wan sedang asyik bercerita dengan Giok Phang, mereka melihat ada kapal layar besar berbendera hitam.

"Kapal siapa itu?" tanya Ci Giok Phang.

"Bendera kapal itu berwarna hitam bergambar tengkorak, pasti itu bajak laut! Sebaiknya kita menghindar saja dari mereka!" kata nona Wan.

Mungkin kapal layar itu tidak melihat perahu layar mereka, atau mungkin juga mereka menganggap perahu mereka kurang berharga untuk dirampok. Maka itu kapal layar berbendera hitam itu dengan lajunya menghilang di tengah lautan. Hati nona Wan pun lega sudah.

"Nona Wan, kau lihay sekali, kenapa kau begitu takut pada mereka?" kata Ci Giok Phang.

"Kau terlalu memujiku, kepandaianku tidak seberapa. Jika bajak laut itu menyusahkan kita, mungkin sulit aku menghadapi mereka!"

Kapal layar besar itu ternyata milik Kiauw Sek Kiang, seorang  bajak  laut  yang  berilmu  tinggi.  Mereka  sering melakukan pembajakan terhadap kapal-kapal dagang asing yang dikawal kuat.

Suatu ketika Kiauw Sek Kiang pernah singgah ke Bengshia-to. Mereka akan menjadikan pulau itu sebagai sarang mereka. Ayah nona Wan tidak setuju, terjadilah pertarungan. Kiauw Sek Kiang dikalahkan oleh ayah nona Wan. Ketika peristiwa itu terjadi, Wan Say Eng baru berumur setahun. Sekarang nona Wan sudah berumur  tahun.

Jika kapal yang dipimpin Kiauw Sek Kiang itu tahu bahwa di kapal layar itu ada Wan Say Eng, puteri Wan Ceng Liong yang pernah mengalahkannya, pasti dia akan menyerang perahu layar itu.

Ketika senja mulai menjelang, pemandangan laut sangat indah karena tertimpa sinar matahari. Ketika itu nona Wan mengawasi wajah Ci Giok Phang yang tiba-tiba jadi murung.

"Eeh, kau kenapa? Tiba-tiba kau jadi murung, apa yang kau pikirkan?" tanya nona Wan.

"Aku ingat pada sahabat-sahabatku, sayang aku tidak bersama dengan mereka," kata Ci Giok Phang.

"Kau setia-kawan, sungguh patut dipuji. Pantas kawanmu pun baik padamu. Aku menyesal karena tidak punya kawan karib sepertimu," kata nona Wan.

"Kau bilang kau sahabat nona Kiong?"

"Kami memang bersahabat baik, waktu itu kami masih kecil," kata nona Wan.

Sesudah termenung sejenak, Ci Giok Phang langsung berkata. "Aku juga punya adik perempuan, tapi sekarang entah di mana dia?" kata Ci Giok Phang.

"Kau terlalu memikirkannya?"

"Ya! Mana bisa aku melupakannya?" kata Ci Giok Phang. "Kami berpisah di Lok-yang pada saat kota diserang musuh. Dia bilang dia akan pulang lebih dulu, tapi nyatanya dia tak ada di rumah."

"Alangkah bahagianya seandainya aku punya kakak sepertimu," kata nona Wan. "Tetapi kau jangan cemas, aku tahu ke mana adikmu pergi!"

"Kau tahu tentang adikku? Apakah kau pernah bertemu dengannya?" kata Ci Giok Phang bertubi-tubi.

"Benar, aku pernah bertemu dengan adikmu, tidak jauh dari sungai Huang-hoo," kata nona Wan.

"Dari mana kau tahu kalau itu adikku?" tanya Giok Phang.

"Aku kenal dengan teman pria yang berjalan bersamanya," kata nona Wan.

"Jadi dia sudah bertemu dengan Kok Siauw Hong?" kata Ci Giok Phang girang. "Jadi kau juga kenal dengannya?"

"Kok Siauw Hong katamu? Siapa dia?" kata nona Wan heran.

"Kalau bukan dia, lalu siapa orang yang berjalan bersama adikku itu?" Ci Giok Phangjadi bingung.

"Dia bernama Seng Liong Sen." kata nona Wan. "Seng Liong Sen?" Giok Phang mengingat-ingat.

Dia ingat ketika itu The Yu Po menyebut-nyebut nama itu. Jadi apa yang dikatakan oleh The Yu Po dan kawan- kawannya itu jelas ada dasarnya. "Mau ke mana mereka?" tanya Ci Giok Phang

"Aku kurang tahu, mau ke mana?" kata nona Wan. "Aku juga tidak begitu kenal pada Seng Liong Sen. Dia pernah ke Beng-shia-to, tapi hanya semalam saja. Waktu itu aku juga masih kecil!"

Mendengar keterangan nona Wan, Ci Giok Phang jadi sangsi. Padahal dia tahu adiknya itu seorang yang cerdas, tapi mengapa kali ini dia bertindak bodoh? Apakah kejadian itu tidak menyebabkan Kok Siauw Hong akan salah paham?

"Aku lihat mereka mesra sekali. Bukankah Seng Liong Sen itu bakal adik iparmu?" kata nona Wan. "Jadi aku kira kau tidak perlu cemas lagi!"

"Bukan! Dia bukan calon adik iparku! Kau salah sangka," kata Ci Giok Phang. "Tapi aku lega sesudah aku tahu tentang dia!"

"Dia bukan adik iparmu, aneh sekali?" kata nona Wan. "Aku kira kau yang salah sangka. Mana tahu kau tentang perasaan seorang gadis? Jika tidak jatuh hati. mana mau dia jalan bersama-sama?"

Sesudah berkata begitu, nona Wan jadi jengah sendiri, sebab sekarang pun dia sedang berjalan berdua saja dengan Ci Giok Phang. Maka tanpa terasa wajahnya jadi merah. Untung Ci Giok Phang sedang masgul, dia tidak melihat perubahan yang terjadi atas diri nona Wan. Saat nona Wan menengadah dia mengeluh.

"Ada apa?" kata Ci Giok Phang.

"Sebentar lagi pasti akan datang badai!" kata si nona.

Dugaan nona Wan benar sekali. Tak lama datang badai besar. Untung nona Wan sudah mahir memegang kemudi hingga perahu layarnya tidak terbalik dihantam gelombang. Sesudah bebas dari badai, dua hari kemudian perahu mereka sudah mulai mendekati sebuah pulau..

"Kita sudah sampai, barangkali Ayahku akan girang melihat aku pulang," kata nona Wan. "Ci Toa-ko, apa kau sudah bisa berjalan?"

"Aku kira bisa, tenagaku sudah hampir pulih," kata Ci Giok Phang.

Sesudah perahu menepi. Ci Giok Phang menyaksikan keindahan tempat itu. Dia kagum sekali. Mereka berjalan ke tengah pulau menuju ke rumah nona Wan. Tapi tiba- tiba, nona Wan bersuara heran, seolah dia teringat sesuatu.

"Ada apa?" tanya Ci Giok Phang. "Apa di pulau ini banyak ular berbisanya?"

"Tidak ada, tapi aku khawatir ada buaya!" kata nona Wan.

"Buaya itu hidup di air, masakan dia sampai ke daratan?" "Buaya yang kumaksudkan itu bajak laut yang tempo

hari kapalnya kita lihat itu!" kata nona Wan.

"Aku yakin ayahmu gagah, jadi mana takut dia pada segala bajak laut" kata Ci Giok Phang.

"Anak buah Ayahku banyak sekali, tapi herannya kenapa kita belum disambut oleh mereka?" kata nona Wan. "Eh, kau dengar sesuatu tidak?"

Saat Ci Giok Phang pasang telinga, dia mendengar suara orang.

Nona Wan mengajak Ci Giok Phang ke arah suara orang itu. Tak lama mereka bertemu dengan orang-orang itu. "Eh, Sio-cia (Nona), kau sudah pulang! Siapa pemuda ini?" kata orang itu.

"Dia temanku," jawab nona Wan singkat. "Di mana Ayah?"

"Kebetulan Nona pulang. Ayahmu sekarang sedang menghadapi musuh yang tangguh di sana!" kata orang tua itu.

"Apakah mereka kelompok Kiauw Sek Kiang?"

"Benar! Ayahmu sedang menghadapi mereka. To-cu melarang kami ke sana!" kata orang tua itu.

"Kau lindungi Ci Kong-cu! Ci Toa-ko aku akan melihat Ayahku dulu!" kata nona Wan.

Pelayan tua itu tercengang kelihatan dia kecewa.  Dia kira nona Wan datang membawa bala-bantuan yang tangguh. Tidak tahunya nona ini membawa orang sakit. Wan Say Eng maju terus, di sana dia lihat anak buah ayahnya banyak yang bersembunyi di semak-semak. Di tengah tegalan kelihatan ayah nona Wan sedang berhadapan dengan para bajak laut.

"Orang she Wan,! Dulu aku telah kau kalahkan. Sekarang aku datang untuk membalas dendam!"' kata seorang dari mereka.

"Sudah jangan banyak bicara," kata Wan Ceng Liong. "Kami berenam telah berlatih cukup lama, entah berguna

atau tidak? Sekarang kami datang untuk menghadapimu Wan To-cu!" kata Kiauw Sek Kiang. "Aku tidak bermaksud mengeroyokmu, tapi ilmu yang kami latih memang harus berenam. Kau juga boleh maju berenam seperti kami!" Tantangan itu seolah adil. tapi Wan Ceng Liong tidak punya anak buah yang ilmu silatnya tangguh. Itu sama saja dengan dia akan dikeroyok berenam.

"Karena kalian datang mencariku, baik akan kuhadapi kalian berenam dengan sendiri saja!" kata Wan Ceng Liong.

Wan Say Eng kaget.

"Ayah sendirian sedang musuh datang begitu banyak!" pikir nona Wan. "Apa mungkin Ayah sanggup menghadapi mereka?"

"Jadi kau sendiri yang akan menghadapi kami?" kata Kiauw Sek Kiang selanjutnya.

"Benar! Mari maju!" kata Wan Ceng Liong.

"Baik, aku hanya akan berurusan denganmu dan tidak akan mengganggu anak buahmu!" kata Kiauw Sek Kiang.

"Kau terlalu dini berkata begitu padaku, ayo maju," kata Wan Ceng Liong.

Selesai bicara Wan Ceng Liong langsung menyerang muka Kiauw Sek Kiang.

"Bagus!" kata Kiauw Sek Kiang.

Dia balas dengan pukulan Tay-si-pi-ciu hingga langsung mengetahui tenaga orang she Wan itu seimbang. Jika mereka bisa mengepung Wan Ceng Liong, maka mereka akan menang.

Baru saja dia menghindar dari pukulan lawan. Wan Ceng Liong langsung menyerang lagi dengan hebat. Dengan lincah dia bergerak ke segala penjuru. Tak lama dia sudah ada di hadapan seorang lelaki bewok. Orang itu bernama Ciong Bu Pa.

"Jangan sombong orang she Wan!" kata Ciong Bu Pa. Saat Wan Ceng Liong menyerang si bewok. tahu-tahu si bewok menggunakan tongkat orang-orangan dari kuningan menotok jalan darah di kaki lawan. Wan Ceng Liong kaget, buru-buru dia tangkis senjata lawannya.

"Taak!"

Tongkat Ciong Bu Pa miring ke samping, tapi disusul oleh serangan Wan Ceng Liong yang cepat. Dengan cepat Ciong Bu Pa menghindar, tapi tak urung tangan Wan Ceng Liong mengenai bahunya. Dia kesakitan dan mundur beberapa langkah ke belakang.

"Sayang!" kata Wan Ceng Liong

Tapi pukulannya tidak mampu merobohkan lawannya. Pertarungan semakin seru. Berkali-kali Wan Ceng Liong menyerang lawan. Baru saja Kiauw Sek Kiang menyerang, dia sudah didahului oleh Wan Ceng Liong dari samping. Tiba-tiba Kiauw Sek Kiang menjulurkan jari akan menotok jalan darah Lo-kiong-hiut di telapak tangan Wan Ceng Liong.

"Kena!" bentak Wan Ceng Liong.

Tapi pada saat itu laksana puluhan bayangan mengarah ke wajah Kiauw Sek Kiang, dan mengakibatkan mata Kiauw jadi silau. Dia mundur untuk menghindari serangan itu. Menyaksikan hal itu nona Wan girang bukan kepalang.

"Entah kapan aku sepandai Ayahku?" pikir nona Wan.

Melihat gelagat buruk bagi dirinya Kiauw Pek Kiang segera menggunakan tangannya untuk menghalau setiap serangan lawan. Dia malah sudah siap untuk adu jiwa dan binasa bersama lawannya.

Baru saja Wan Ceng Liong akan melancarkan pukulan mautnya,   dari   belakang   terasa   ada   sambaran   angin. Ternyata Ciong Bu Pa menyerang bersama keempat kawannya.

Wan Ceng Liong bergeser sedikit, tangannya langsung menghantam dua lawannya yang datang begitu dekat. Ketika kedua lawannya itu menangkis pukulan Wan Ceng Liong, datang dua kawannya yang lain ikut mengeroyok. Dengan jurus Kim-na-ciunya yang lihay Wan Ceng Liong memaksa keempat lawannya itu mundur. Kembali Ciong Bu Pa dan Kiauw Sek Kiang maju menyerang.

Mendapat serangan yang bergantian ini, Wan Ceng Liong kaget juga. Dia tidak menyangka keenam lawannya itu lihay. Dia merasa dalam bahaya. Sebenarnya ilmu silat Wan Ceng Liong lebih tinggi dari musuh-musuhnya. Tetapi serangan mereka bertubi-tubi dan dilakukan secara bergantian ini membuat Wan Ceng Liong agak kewalahan juga. Sedang Kiauw Sek Kiang yang ilmu silatnya paling tinggi, merupakan tulang punggung kelima kawan- kawannya. Tidak heran jika pertarungan itu kurang seimbang. Barisan lawan ini sekarang jadi Sulit ditembus oleh Wan Ceng Liong.

Merasa di atas angin kiauw Sek Kiang berteriak. "Kepandaian kami memang tidak seberapa, tapi kau pun akan sulit menembus barisan kami!" katanya.

"Baik, aku akan mengadu jiwa dengan kalian. Jika aku bisa membunuh salah satu dari kalian, itu sudah bisa dianggap impas!" kata Wan Ceng Liong. "Aku mati dan salah satu dari kalian juga harus mati!"

Wan Ceng Liong dengan mata mendelik langsung menyerang dengan hebat. Empat kawan Kiauw Sek Kiang jadi jerih juga menghadapi lawannya yang mulai nekat itu.

"Tahan! Jangan panik, terus kepung dia!" kata Kiauw Sek Kiang memberi semangat pada kawan-kawannya. Kiauw Sek Kiang menyerang dari depan, Ciong Bu Pa dari belakang. Sedang keempat kawannya masing-masing menyerang dari samping Wan Ceng Liong. Dikepung demikian Wan Ceng Liong jadi bingung, keringat dingin membasahi tubuhnya. Melihat ayahnya dalam bahaya nona Wan melemparkan pedang ke arah ayahnya.

"Terima pedang ini Ayah!" teriak nona Wan.

Pedang itu semula memang milik ayahnya, tajamnya luar biasa. Terlihat secercah cahaya meluncur ke tengah gelanggang pertempuran.

Kiauw Sek Kiang yang tahu, jika pedang itu jatuh ke tangan Wan Ceng Liong, maka orang she Wan itu akan berbahaya sekali baginya. Kiauw Sek Kiang langsung melompat, maksudnya akan menyambar pedang itu, sebelum sampai ke tangan Wan Ceng Liong.

"Terima dulu pukulanku ini!" bentak Wan Ceng Liong ke arah Kiauw Sek Kiang.

Pedang yang terdorong oleh tenaga Wan Ceng Liong, berbalik ke tubuh Kiauw Sek Kiang. Orang she Kiauw ini kaget bukan kepalang. Karena tidak berani menyambut pedang yang sedang meluncur deras ke arahnya, Kiauw Sek Kiang berkelit. Terdengar suara keras.

"Trang!"

Pedang itu bentrok dengan senjata milik Ciok Bu Pa yang mirip boneka dari kuningan. Pedang itu terpental dan berbalik hingga dengan mudah ditangkap oleh Wan Ceng Liong.

Setelah punya senjata di tangannya,, serangan-serangan Wan Ceng Liong datang bagaikan badai saja. Ciong Bu Pa mencoba menahan serangan itu dengan senjatanya. Namun,  pedang  Wan  Ceng  Liong  berkali-kali menghajar senjatanya, hingga di sana-sini berbekas kena pedang. Mula-mula Wan Ceng Liong berhasil mendesak musuh, tapi lama-lama kembali dia terdesak lagi. Melihat ayahnya dalam bahaya nona Wan maju, tapi dicegah ayahnya.

"Mundur kau anak Eng!" kata ayahnya.

"Tidak, mati hidup kita bersama!" kata nona Wan. "Jangan bandel, mundur!" kata sang ayah.

"Tidak, aku terpaksa melanggar perintahmu!" kata nona Wan yang terus maju.

Nona Wan menghunus belati dan menyerang salah seorang lawan ayahnya. Belati itu pemberian ibu nona Wan, tajamnya luar biasa. Gin-kang nona Wan cukup tinggi, oleh karena itu dia bertarung dari jarak dekat. Serangan nona Wan ganas sekali hingga orang yang diserangnya itu terpaksa mundur.

"Nona, akan kupenuhi cita-citamu ingin berbakti pada orang tuamu!" kata Kiauw Sek Kiang sambil tertawa. Dia cengkram nona Wan dengan tangannya. Pada saat bersamaan berkelebat pedang Wan Ceng Liong ke arah Ciong Bu Pa, sedang tangannya menyerang ke arah Kiauw Sek Kiang. Pukulan Wan Ceng Liong cukup keras.

"Anak Eng, gunakan kelincahanmu! Hindari setiap serangan musuh!" kata ayah nona Wan.

Wan Ceng Liong tahu adat anaknya keras kepala, maka itu dia memberi petunjuk cara bertarung kepada nona Wan.

Kiauw Sek Kiang berhasil mengelak dari serangan Wan Ceng Liong, tapi nona Wan berhasil melompat ke samping lawan, hingga cengkaraman Kiauw Sek Kiang mengenai tempat kosong. Ternyata pukulan Kiauw Sek Kiang tidak ringan. Wan Say Eng berusaha menghindari keras lawan keras, tubuhnya bergerak ringan dan lincah di antara keenam lawannya. Dengan bekerja sama dengan ayahnya, nona Wan berhasil mengubah situasi pertempuran menjadi seimbang kembali. Tetapi untuk merusak konsentrasi kepungan musuh mereka belum berhasil.

Lama kelamaan tenaga nona Wan mulai  agak berkurang. Saat senjata Ciong Bu Pa menyambar pinggangnya. Wan Say Eng segera menghindar ke samping, lalu menerobos melalui dua senjata lawan, tapi tidak urung rambutnya terpapas golok lawan sedikit. Saat menyaksikan adegan itu pelayan tua yang sedang menjaga Ci Giok Phang sempat menjerit kaget.

Menyaksikan nona Wan dan ayahnya dalam bahaya, Ci Giok Phang tidak sabaran. Dia melompat keluar dari persembunyiannya dan langsung ke tengah pertempuran.

"Mundur!" kata nona Wan. ”Teng Toa-siok ajak dia mundur!"

Belum habis kata-kata nona Wan salah seorang lawan sudah melemparkan tiga batang pisau terbang, dua ke arah Ci Giok Phang yang satu ke arah pelayan tua yang menyusul Ci Giok Phang, untuk mencegah Ci Giok Phang maju lebih jauh.

"Ci Kong-cu kembali. Kem. "

Saat pelayan tua itu hampir dekat dengan Ci Giok Phang, pisau terbang langsung menyambar ke tenggorokannya. Seketika pelayan tua itu roboh dengan tubuh berlumuran darah. Sedang dua pisau yang menyambar ke arah Ci Giok Phang berhasil disampok oleh pemuda ini, sehingga kedua pisau itu jatuh ke tanah. Ci Giok Phang terus maju ke dekat nona Wan. Sekalipun dalam keadaan terdesak dari sedang sakit, Ci Giok Phang terus maju. Dia tanggung mengeluarkan seluruh kemampuannya menyerang lawan dengan hebat. Saat Kiauw Sek Kiang akan mencengkram nona Wan, pedang Wan Ceng Liong tertahan oleh senjata Ciong Bu Pa. Ketika itu nona Wan sedang cemas bukan main, karena akan tercengkram oleh lawan, ayahnya tidak mungkin menolong dia. Untung tiba-tiba Ci Giok Phang menyerbu ke arahnya. Dengan pedangnya Ci Giok Phang menyerang Kiauw Sek Kiang.

Sebagai jago kelas satu. Kiauw Sek Kiang langsung tahu, penyerangnya bukan pesilat sembarangan. Dia kaget bukan main dan tidak menyangka jika di Beng-shia-to terdapat pesilat muda yang berilmu tinggi. Serangan itu sangat berbahaya, maka itu dia harus segera menyelamatkan diri. Serangan ke Wan Say Eng dia batalkan.

"Trang!"

Pedang Ci Giok Phang langsung terpental. Cepat luar biasa Wan Ceng Liong menyerang secara bertubi-tubi sebanyak tiga kali ke arah Ciong Bu Pa, dengan demikian orang she Ciong ini terpaksa mundur. Sesudah itu Wan Ceng Liong memindahkan serangannya ke arah Kiauw Sek Kiang. Dengan demikian orang she Kiauw itu tidak dapat menyerang Ci Giok Phang.

"Kenapa tak kau pikirkan kesehatanmu?" kata nona Wan yang girang juga khawatir bukan main pada keselamatan Giok Phang.

"Kau penyelamat jiwaku, jika aku berkorban untukmu itu pantas sekali," kata Ci Giok Phang. Sebagai pemuda jujur dan polos apa yang dia pikir langsung dia ucapkan, dia tidak peduli apakah ucapannya akan menimbulkan salah paham  atau  tidak.  Alangkah  bahagianya  nona  Wan saat mendengar pemuda itu berkata begitu. Dia senang dan girang bukan main.

"Terima kasih Ci toa-ko. mari kita bertarung bersama untuk mempertahankan hidup dan mati bersama!" kata nona Wan.

Ketika ayahnya mendengar puterinya memanggil pemuda itu dengan panggilan Ci Toa-ko. dia kaget.

"Eng, jadi dia bukan Kong-sun Po?" kata ayahnya. "Benar, dia Ci Toa-ko dari Pek-hoa-kok, sengaja dia

kubawa pulang untuk diperkenalkan kepada Ayah!" kata nona Wan.

"Rupanya anakku jatuh cinta pada pemuda ini. Tidak masalah, keluarga Ci dari Pek-hoa-kok juga terkenal!" pikir Wan Ceng Liong.

"Hm! Jangan girang dulu!" kata Kiauw Sek Kiang. "Baik, aku akan mengantarkan kalian semua ke neraka!"

"Puteriku, ternyata kau jeli, plihanmu tidak salah," kata Wan Ceng Liong. "Sampai matipun Ayah tidak akan membiarkan mereka melukai kalian!"

Sesudah itu Wan Ceng Liong menyerang dengan hebat, pedangnya bergerak kian ke mari. Pedang itu menyambar ke segala penjuru. Sebaliknya Ci Giok Phang yang belum sehat benar terpaksa diam di tempat. Dia hanya menangkis setiap serangan lawan yang datang kepadanya. Tetapi ini pun membuat dia lelah dan terdesak.

Sekarang Kiauw Sek Kiang dan kawan-kawannya berada di atas angin. Tidak heran sekarang mereka mengepung semakin rapat. Pada saat sangat berbahaya, terdengar suara suitan panjang. Mendengar suara suitan itu Kiauw Sek Kiang kaget bukan kepalang. Ketika dia menoleh tampak seorang tua berjubah hijau sudah berada di tempat mereka. Dia Kiong Cauw Bun. Bukan Kiauw Sek Kiang saja yang kaget, tetapi Ci Giok Phang pun ikut kaget saat melihat orang tua itu muncul.

"Rupanya aku datang tepat pada waktunya," kata Kiong Cauw Bun sambil tertawa. "Ilmu silat kalian semua sangat hebat dan bagus untuk ditonton!"

Pertarungan antara hidup dan mati itu oleh Kiong Cauw Bun dianggap tontonan yang menarik. Dari ucapannya itu seolah dia datang hanya untuk menonton perkelahian itu, alias tidak memihak ke mana pun.

Kiauw Sek Kiang sudah kenal adat Kiong Cauw Bun yang ganas, tentu saja dia jadi kaget bukan main. Tetapi sesudah tahu Kiong Cauw Bun hanya ingin menonton keramaian, hati Kiauw Sek Kiang lega juga.

Dia tahu hubungan antara Kiong Cauw Bun dan Wan Ceng Liong cukup akrab. Jika Kiong Cauw Bun membantu pihak Wan, maka celakalah mereka. Tapi Kiauw Sek Kiang tetap berpikir memikirkan sesuatu jalan yang terbaik.

"Jangan-jangan dia biarkan kami bertarung, sesudah kami semua kepayahan, dia akan turun tangan untuk keuntungan pihaknya?" pikir Kiauw Sek Kiang.

Tiba-tiba nona Wan berteriak.

"Paman Kiong! Sebaiknya kau jangan cuma menonton, ayo ikut bertarung!" kata nona Wan.

Kiauw Sek Kiang juga tidak mau kalah, dia juga berteriak. "Hek-hong To-cu, saat ini hanya kepandaianmu yang bisa disejajarkan dengan Beng-shia To-cu! Apa kau tidak ingin menjadi jago dan menjajalnya pada saat yang baik ini?" kata Kiauw Sek Kiang memanas-manasi Kiong Cauw Bun.

"Hm! Bagus juga usulmu itu! Tapi harus kupertimbangkan dulu, baik tidak usulmu itu?" kata Kiong Cauw Bun sambil tertawa.

"Paman Kiong, apa kau sudah lupa bagaimana kau berhasil menguasai Cit-sat-ciangl" kata nona Wan. "Maka itu aku ingatkan bagaimana hubungan kita selama ini."

Ucapan nona Wan jelas mengandung nada khawatir kalau Kiong Cauw Bun terpengaruh dan memihak pada lawan mereka.

"Jelas aku tidak lupa pada jasa ayahmu itu. Nona Wan!" kata Kiong Cauw Bun.

"Diam anak Eng, jangan sembarangan bicara," ayah nona Wan memperingatkan puterinya.

Lalu Wan Ceng Liong memandang ke arah Kiong Cauw Bun.

"Kiong-heng, kau tahu sifatku, aku bukan orang yang suka menerima bantuan orang. Jika kau ingin membantuku, terima kasih. Tapi harus bantuan yang keluar dari lubuk hatimu! Aku tidak memaksamu. Tetapi jika kau berniat mencelakakan aku pada kesempatan ini, aku pun tidak akan mudah berlutut di depanmu!" kata Wan Ceng Liong.

"Hek-hong To-cu, jika kau membantu pihakku, maka apapun yang ada di pulau ini akan menjadi milikmu! Karena yang kami inginkan hanya jiwa Wan Ceng Liong! Selain itu aku juga bersedia menghadiahkan barang yang ada di kapal layarku untukmu semuanya!" kata Kiauw Sek Kiang mencoba membujuk Cauw Bun.

Sambil tertawa Kiong Cauw Bun berkata dengan nyaring.

"Ternyata hadiah yang kalian sediakan untukku, jumlahnya tidak sedikit!" kata Kiong Cauw Bun.

Wan Say Eng tidak mau kalah dia juga berteriak. "Paman Kiong, apakah kau ingin tahu di mana Kiong

Mi Yun berada?" kata nona Wan. "Apa kau juga ingin tahu tentang kitab racun keluarga Suang?"

Kiong Cauw Bun tertawa terbahak-bahak.

"Oh, nona Wan kau ingin menyuapku dengan keterangan itu? Benar aku menghendakinya!"

Sesudah berkata begitu sorot mata Kiong Cauw Bun tertuju pada Ci Giok Phang yang ada dekat nona Wan.

"Hm! Kepandaianmu cukup tinggi, ternyata kau selamat dari pukulanku! Tapi aku bingung, keponakanku yang manis aku ingin bertanya. Sekarang di mana bocah yang bersamamu tempo hari? Kau sekarang malah berganti dengan bocah ini?"

"Paman Kiong bereskan dulu mereka, baru akan kuceritakan semuanya padamu!" kata nona Wan.

"Baik, kau akan kubantu. Tapi aku ingin bertanya, apakah kawan baikmu itu akan membalas dendam padaku atau tidak?" kata Kiong Cauw Bun.

"Tidak! Tidak mungkin!" kata nona Wan.

"Baik! Tapi aku ingin mendengar janji itu dari dia sendiri. Sesudah masalah ini beres, biar aku yang menentukan nasibnya!" kata Kiong Cauw Bun. Mendengar pembicaraan itu Ci Giok Phang gusar bukan kepalang.

"Seorang pria sejati lebih baik mati daripada minta ampun pada orang lain. Jika kau takut aku membalas- dendam lebih baik kau gunakan kesempatan baik ini!" kata Ci Giok Phang.

"Bagus! Kau seorang pria sejati!" memuji Kiong Cauw Bun.

"Bagus, memang dia tidak memalukan sebagai menantuku!" kata Wan Ceng Liong.

Ci Giok Phang belum sehat benar. Pikirannya juga sedang kacau. Saat itu Kiauw Sek Kiang langsung menyerangnya, tapi dengan cepat Ci Giok Phang menangkis serangan itu.

"Trang!"

Pedang Ci Giok Phang terpental. Saat itu bahaya mengancam pemuda ini. Tapi untung dengan kecepatan luar biasa, Wan Ceng Liong mengibaskan lengan bajunya hingga tubuh Ci Giok Phang terlempar sekitar beberapa meter jauhnya. Dengan demikian dia terhindar dari  pukulan Kiauw Sek Kiang.

Dengan sigap pula Hek-hong To-cu sudah langsung menyambar tubuh Ci Giok Phang, hingga pemuda ini tidak sampai jatuh ke tanah. Tetapi pemuda itu sudah tak sadarkan diri. Nona Wan kaget.

"Paman Kiong kau boleh menonton, tapi jangan lukai dia!" memperingatkan nona Wan.

Sesudah meletakkan Ci Giok Phang dan menotok jalan darahnya, Kiong Cauw Bun menyahut. "Baik! Saudara Wan mengingat hubungan kita, maka pantas aku membantumu," kata Kiong Cauw Bun. "Hanya untuk itu kau harus menerima syarat dariku. Jika aku menanyakan sesuatu pada Wan Say Eng, dia harus menjawab pertanyaanku dengan jujur! Tidak boleh membohongiku sedikit pun!"

"Baik, Paman Kiong aku berjanji!" sela Wan Say Eng. "Sejak dulu aku tidak bersedia ditekan oleh orang lain!"

kata Wan Ceng Liong.

"Dengar Hek-hong To-cu, dia tidak berbudi dan tidak tahu diri. Lebih baik kau bantu kami saja," kata Kiauw Sek Kiang.

"Kiauw Sek Kiang. lekas kau enyah dari sini!" bentak Kiong Cauw Bun dengan tiba-tiba.

"Aneh," pikir Kiauw Sek Kiang. "Pikiran orang ini begitu cepat berubah!"

"Persahabatan kami tidak bisa kau pecah belah begitu saja," kata Kiong Cauw Bun. "Enyah kau dari sini, apa kau tidak mendengar kata-kataku?"

Kiong Cauw Bun tiba-tiba maju dan melancarkan serangan.

"Plaaak!"

Kedua tangan mereka beradu dengan keras. Kiong Cauw Bun terhuyung mundur dua langkah, sedang Kiauw Sek Kiang cuma menggeliat, tetapi urat di tubuhnya berubah jadi hijau semuanya. Kelihatan seolah Kiauw Sek Kiang yang lebih unggul dari Kiong Cauw Bun, walau dia mengeluh. Pukulan Kiong Cauw Bun sangat beracun, sedang Kiauw Sek Kiang menggunakan jurus Tay-cui-pi- ciu.  Namun,  saat  dia  menyambut  pukulan  Kiong  Cauw Bun, keras melawan keras. Tak heran seketika itu juga dadanya terasa sesak dan mual ingin muntah. Tapi Iwee- kang Sek Kiang tinggi hingga dalam sekejap tenaganya pulih lagi. Dia sadar jika terus bertarung, paling kuat dia hanya bisa menahan tiga jurus saja.

Saat itu Kiong Cauw Bun berbalik, dia langsung menyerang Ciong Bu Pa. Dengan cepat Bu Pa mengangkat senjatanya menangkis serangan lawan. Sekalipun pukulan Kiong Cauw Bun tidak mengenai dirinya, tapi angin pukulan itu menyambar ke mukanya. Dia kaget langsung melompat keluar dari kalangan menjauhi lawan.

Saat Kiong Cauw Bun sedang menghadapi dua orang lawan tangguh, Wan Ceng Liong tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia serang dua musuh lainnya hingga kedua orang itu segera dia cengkram lalu dia lemparkan.

"Tidak ada gunanya aku bunuh kalian!" kata Wan Ceng Liong.

Saat itu kepungan musuh langsung berantakan. Kiauw Sek Kiang sadar dia sudah tidak mungkin bertarung lagi.

"Baik, Hek-hong To-cu, aku menuruti nasihatmu. Ijinkan kami pergi!" kata Kiauw Sek Kiang.

"Jika sejak tadi kau mendengar kata, aku tidak akan menyusahkanmu! Lekas pergi!" kata Kiong Cauw Bun.

Sesudah Kiauw Sek Kiang dan kawan-kawannya pergi. Wan Ceng Liong memberi hormat pada Kiong Cauw Bun.

"Terima kasih atas bantuanmu, Saudara Kiong!" kata Wan Ceng Liong.

-o-DewiKZ^~^aaa-o- Kiong Cauw Bun tertawa terbahak-bahak sambil melirik ke arah nona Wan dan Ci Giok Phang yang tergeletak karena lukanya. Kemudian jago Hek-hong-to ini memberi hormat pada Wan Ceng Liong.

"Sudahlah, kau tidak perlu mencaciku lagi! Karena  sudah tidak ada urusan di sini, aku mohon pamit!" kata Cauw Bun.

“Tunggu dulu!" kata Wan Ceng Liong.

"Ada apa yang hendak kau katakan?" kata Kiong Cauw Bun.

"Orang she Wan selalu membedakan antara budi dan dendam secara tegas," kata Wan Ceng Liong. "Tadi kau bilang kau harus berjanji padamu, lekas katakan!"

"Bukankah tadi kau telah menolak permintaanku?" kata Kiong Cauw Bun acuh tak acuh.

"Memang, tadi aku sedang terdesak, maka aku tidak bersedia ditekan orang pada saat aku terdesak," kata Wan Ceng Liong. "Sekarang kau telah membantuku tanpa bicara soal syarat, maka aku jadi tak enak hati, kebaikanmu patut kubalas!"

"Terima kasih, aku rasa tidak perlu," kata Kiong Cauw Bun. Dia berbalik lalu menyambar tubuh Ci Giok Phang yang dia kepit akan dibawa pergi.

"Lepaskan dia. Paman Kiong! Kau mau apakan dia?" teriak nona Wan.

"Aku yang menyelamatkan dia dari tangan Kiauw Sek Kiang, maka jadi hakku jika dia aku bawa pergi!" kata Kiong Cauw Bun. "Kau telah membantuku, Saudara Kiong. Aku harus berterima kasih," kata Wan Ceng Liong. "Sekarang kau beri muka padaku, bebaskan bocah itu untukku!"

"Saudara Wan kau membedakan antara dendam dan budi, aku juga demikian," kata Kiong Cauw Bun. "Dia punya masalah padaku, akan kubawa dia ke pulauku. Di sana dia harus merasakan sedikit siksaan dariku, sekalipun jiwanya akan kuampuni!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar