Beng Ciang Hong In Lok Jilid 25

 
Kiong Cauw Bun mengawasi Kok Siauw Hong yang tampan.

"Barangkali puteriku tertarik kepada pemuda ini? Jika benar begitu, aku harus membunuh puteri Han Tay Hiong ini!" pikir Kiong Cauw Bun.

"Benarkah kau tahu jejak puteriku?" kata Kiong Cauw Bun pada Kok Siauw Hong.

"Aku dan puterimu membantu Kay-pang melaksanakan sebuah tugas. Tetapi karena bertemu dengan pasukan Mongol, kami cerai-berai hingga aku berpisah dengan puterimu. Tapi menurut dugaanku puterimu itu pergi ke Kimkee-leng. Sekarang kami pun mau mencari dia di sana!" kata Kok Siauw Hong. "Ke gunung Kim-kee-leng? Bukankah itu markas Hong Lay Mo Li?" kata Kiong Cauw Bun.

"Benar," kata Kok Siauw Hong. "Itu memang markas Liu Beng-cu!"

"Apa benar dia akan menemui Hong Lay Mo Li?"

"Aku tidak yakin benar, itu hanya dugaanku saja! Bersama puteri Lo Cian-pwee pun masih ada kawannya yang ingin ke Kim-kee-leng!" kata Siauw Hong'.

"Siapa dia?" kata Kiong Cauw Bun. "Namanya Kong-sun Po!"

Mendengar nama itu disebut Kiong Cauw Bun kaget dan girang.

"Kong-sun Po?" kata Kiong Cauw Bun. "Benar, Ang Kin pernah mengatakannya Hari itu selain nona Han masih ada seorang pemuda yang ada di rumah makan itu. Dia berhasil mengalahkan Pouw Yang Hian. Pasti dia Kong-sun Po! Seharusnya aku sudah bisa menebaknya!"

"Benar," kata Han Pwee Eng. "Apa Lo Cian-pwee kenal dengan Kong-sun Toa-ko?"

Kiong Cauw Bun tertawa.

"Benar aku kenal. Saat dia masih kecil aku pernah menggendongnya." kata Kiong Cauw Bun.

Mendengar keterangan itu Han Pwee Eng girang bukan kepalang.

"Oh, kalau begitu bagaimana jika Lo Cian-pwee pergi bersama kami ke Kim-kee-leng?" kata nona Han.

Sebelum dijawab Han Pwee Eng berpikir. "Kiong Mi Yun dan Kong-sun Po pasangan yang serasi. Rasanya aku bisa menjadi comblang mereka." pikir Han Pwee Eng.

Sebenarnya ada yang tidak diketahui oleh Han Pwee Eng, bahwa Kiong Mi Yun tunangan Kong-sun Po. Sedangkan Hong Lay Mo Li musuh besar Kiong Cauw Bun. Maka itu Kiong Cauw Bun menanggapi ajakan Han Pwee Eng dengan sinis.

"Buat apa aku ke Kim-kee-leng?" kata Kiong Cauw Bun. Mendengar jawaban dengan nada dingin dan sinis itu

Han Pwee Eng tertegun.

"Bukankah Lo Cian-pwee hendak mencarinya? Aku kira mereka ada di Kim-kee-leng, pasti Lo Cian-pwee akan bertemu dengan mereka!" kata nona Han.

Wajah Kiong Cauw Bun langsung berubah.

"Puteriku pasti tidak akan ke sana, Kong-sun Po pun tidak harus ke sana. Kecuali.. .kecuali.. ..Hm!" kata Kong Cauw Bun tidak tuntas.

"Kecuali bagaimana?" kata nona Han. Mendadak kening Kiong Cauw Bun berkerut.

"Hm! Gadis ini belum tahu asal-usulku. Dia mau ke Kimkee-leng. Mengapa aku harus memberi tahu dia?" pikir Kiong Cauw Bun.

"Nona Han kau terlalu banyak bicara!" kata Kiong Caiuw Bun

Mendengar teguran itu wajah nona Han berubah merah. Kok Siauw Hong pun mulai gusar. "Karena Lo Cian-pwee mau mencari nona Kiong, kami memberitahu Anda mengenai yang kami ketahui. Tetapi jika Lo Cian-pwee tidak mau ke Kim-keeleng, itu terserah Lo Cian-pwee saja! Terus-terang kami bersalah telah mengajakmu ke sana, maka itu kami mohon maaf dan pamit!" kata Kok Siauw Hong.

Ketika itu Kiong Cauw Bun seperti sedang berpikir. "Kecuali Kong-sun Po, mereka tidak mengetahui

asalusulku, jika dia tahu mana mungkin dia akan ke sana?" pikir Kiong Cauw Bun. "Sebaliknya Mi Yun pun tahu aku sangat benci pada Hong Lay Mo Li. Jadi mana mungkin dia bersama Kong-sun Po ke sana? Seandainya benar ke sana, aku harus segera menyusul untuk mencegah mereka ke sana! Supaya kepergianku ke daerah Kim-kee-leng tidak diketahui oleh Hong Lay Mo Li, maka aku harus membunuh mereka"

Saat itu dalam hati Kiong Cauw Bun bergolak dan terjadi kebimbangan. Tetapi tak lama dia berpikir lagi.

"Anakku dengan mereka bersahabat baik. Jika aku bunuh mereka, anakku pasti membenciku. Kalau begitu akan kukerjai pemuda ini agar dia sakit, dengan demikian mereka tidak jadi ke Kim-kee-leng." pikir Kiong Cauw Bun.

Sekalipun Kok Siauw Hong kurang senang pada Kiong Cauw Bun ini, tetapi karena merasa pernah dibantu melumpuhkan Eh Hua Liong dia memberi hormat.

"Lo Cian-pwee kami pamit!" kata dia.

"Jangan sungkan," kata Kiong Cauw Bun, "aku juga harus berterima kasih karena kalian telah memberitahu  jejak puteriku," kata Kiong Cauw Bun.

Kiong Cauw Bun memegang tangan Kok Siauw Hong sambil tersenyum. Kok Siauw Hong sedikit pun tidak curiga dia mengira itu sebagai tanda perpisahan dari Kiong Cauw Bun dengannya. "Kok Lo-tee aku lihat air mukamu kurang bagus, hati- hati dan jaga dirimu!" kata Kiong Cauw Bun.

Ucapan itu membuat Kok Siauw Hong tertegun, tapi Kiong Cauw Bun sudah pergi cukup jauh.

"Terima kasih atas pesanmu itu, Lo Cian-pwee!"

Pemuda itu berteriak menggunakan ilmu Coan-im-jip- pek (Ilmu menyampaikan suara dari jarak jauh). Han Pwee Eng tampak lega karena Siauw Hong masih bisa mengerahkan lwee-kangnya.

"Tadi terus-terang aku mencemaskan keadaanmu," kata si nona, "aku khawatir dia menyerangmu secara gelap!"

Kok Siauw Hong tertawa mendengar Han Pwee Eng begitu perhatian terhadapnya.

"Di Dunia Persilatan, memegang tangan orang untuk menjajal kepandaian seseorang, itu wajar! Dia tahu ilmu silatku masih rendah, dengan tidak menjajalku pun dia sudah tahu. Aku rasa tidak mungkin dia menyerangku, aku tidak bermusuhan dengannya Lihat, bukankah aku baik- baik saja" kata Kok Siauw Hong pada nona Han sambil tersenyum.

Pemuda ini tidak sadar sebenarnya dia dikerjai oleh Kiong Cauw Bun secara diam-diam. Dengan ilmu Cit-sat- ciang yang lihay dia serang pemuda ini, tapi yang diserang tidak merasakannya. Tetapi selang sehari baru reaksi serangan itu akan terasa.

”Kalau begitu, syukurlah," kata nona Han yang puas bukan main. "Mari kita tanya Ih Hua Liong!"

Pemuda itu mengangguk.

"Baik, mari kita tanya dia!" kata Kok Siauw Hong. Ih Hua Liong sedang tergeletak tidak berdaya di tanah, Kok Siauw Hong berusaha membebaskan totokannya.

Lama baru dia berhasil membebaskannya

"Aneh! Cara menotoknya sangat aneh!" kata Kok Siauw Hong.

"Kau mampu membebaskan dia itu terhitung luar biasa," kata nona Han. "Aku sudah pernah mendengar dari Ayahku cara menotok majikan pulau Hek-hong itu sangat istimewa!"

Selang sesaat wajah Ih Hua Liong mulai biasa kembali. "Ih Hua Liong, sekarang kau jangan berbuat

macammacam lagi. Cepat katakan yang sebenarnya!" kata Kok Siauw Hong.

"Apa yang harus aku katakan?" kata Ih Hua Liong. "Begitu cepat kau lupa. Baik akan kuulangi

pertanyaanku. Pertama, mengapa kau memfitnah aku? Kedua, apakah Pamanku tahu kau bersekongkol dengan bangsa Mongol. Cepat jawab pertanyaanku!" kata Kok Siauw Hong.

Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Ih Hua Liong, lalu dia mengertakkan giginya.

"Sekarang aku telah jatuh ke tangamu, maka aku tidak takut bicara sejujurnya padamu. Kedua pertanyaanmu itu bukan dua pertanyaan, tetapi satu pertanyaan saja."

Kok Siauw Hong mendengus dingin. "Hm! Lekas bicara!" kata Siauw Hong.

"Semua yang aku lakukan atas rencana pamanmu!" kata Ih Hua Liong perlahan. Sekalipun sudah lama Kok Siauw Hong mencurigai sepakterjang pamannya, tetapi sesudah mendengar pengakuan Ih Hua Liong pun Kok Siauw Hong tetap terkejut juga, sehingga nyaris tidak mempercayai ucapan murid Jen Thian Ngo. Dia terdiam beberapa saat lamanya.

"Benarkah apa yang kau katakan itu?" kata Siauw Hong. "Benar. Sedikitpun aku tidak membohongimu!" kata Ih

Hua Liong. "Semua kejadian itu rencana pamanmu. Dia bersekongkol dengan See-bun Souw Ya dan Chu Kiu Sek merampok harta Han Tay Hiong, aku ini hanya suruhan mereka!"

"Ketika hari itu terjadi perampokan, aku lihat sendiri Pamanku terluka parah," kata Kok Siauw Hong sedikit kurang yakin pada keterangan Ih Hua Liong.

Mendengar kata-kata Kok Siauw Hong, Ih Hua Liong tertawa dingin.

"Apakah kau pernah memeriksa lukanya? Kejadian itu hanya sandiwara saja!" kata Ih Hua Liong tegas.

Kok Siauw Hong menatapnya dengan tajam.

"Kau tidak ada di tempat kejadian, bagaimana kau bisa mengetahui itu cuma sandiwara?" kata Kok Siauw Hong penasaran.

"Semuanya sudah kami rundingkan masak-masak sebelum perampokan itu terjadi," kata Ih Hua Liong. "Baiklah, akan kukatakan dengan jujur. Guruku berpura- pura terluka parah agar dia ditinggalkan seorang diri. Dia menunggu aku kembali untuk menerima bagiannya!"

"Kau berjanji pada Pamanku akan bertemu di mana?" tanya nona Han. "Kami berjanji akan bertemu di rumahmu. Tetapi secara kebetulan kalian datang lalu Siang-koan Hok pun datang. Padahal Pamanku ada di ruang rahasia bawah tanah di rumahmu bersama Pauw Leng. Setelah kalian dan Siang- koan Hok datang, Guruku mengetahui bahwa harta itu telah dirampas kembali. Maka itu dia lalu kabur sebelum aku datang untuk melapor pada Guruku!" kata Ih Hua Liong.

"Jadi kau bertemu dengan Pauw Leng?" tanya Pwee Eng.

Ih Hua Liong mengangguk.

"Benar, Pauw Leng yang memberitahuku kejadian di rumahmu itu, sekarang dia juga sedang mencari Guruku!" kata Ih Hua Liong.

Mendengar keterangan itu Kok Siauw Hong bertambah kaget. "Jadi Pauw Leng juga bersekongkol dengan Gurumu?" kata Siauw Hong.

"Benar! Pauw Leng adalah penghubung kami. Diam- diam dia sering berhubungan dengan Cun Seng Hoat Ong dari Mongiol!" kata Ih Hua Liong.

Tampak Kok Siauw Hong berdiri termangu-mangu. "Tidak   kusangka   hati   manusia   sulit   diduga?"   pikir

pemuda itu. "Padahal Pamanku itu orang terkenal, malah

tokoh terkemuka di kalangan Kang-ouw. Tapi justru dia bersekongkol dengan musuh!"

Harapan Ih Hua Liong jika dia jujur, Kok Siauw Hong akan mengampuni dia. Itu sebabnya apa yang diketahuinya dikatakannya pada pemuda itu.

"Sebenarnya Pamanmu ingin "membabat rumput sampai ke akar-akarnya". Itu sebabnya dia ingin meminjam tangan See-bun Souw Ya dan Chu Kiu Sek untuk membunuhmu," melanjutkan  Ih  Hua  Liong.  "Jika  kau  ingin  membalas dendam, kau harus mencari Guruku! Aku memfitnahmu pun atas rencananya. Maka itu aku mohon ampuni jiwaku."

Saat itu hati Kok Siauw Hong sudah tenang.

"Baiklah, karena kau hanya pesuruh Pjimanku, aku akan mengampuni jiwamu. Tetapi kau tetap akan kuhukum!" kata Kok Siauw Hong.

Tiba-tiba punggung Ih Hua Liong dipukul, pukulan itu menghancurkan tulang pipe Ih Hua Liong.

Ih Hua Liong menjerit kesakitan kemudian pingsan.

Setelah sadar Kok Siauw Hong berkata lagi.

"Kuhilangkan kepandaianmu agar kelak kau tidak melakukan kejahatan. Itu mungkin bermanfaat bagimu kelak!" kata pemuda itu.

"Tidak kusangka, ternyata pamanmu itu jahat sekali," kata Han Pwee Eng. "Dulu aku hanya mengira pamanmu tidak cocok dengan Ayahku hanya karena urusan nama di dunia Kang-ouw. Tidak tahunya dia menginginkan harta Ayahku?!"

Kok Siauw Hong mengelah napas.

"Aku malu sekali punya Paman seperti itu. Mari kita berangkat, kita harus buru-buru ke Kim-kee-leng untuk mengungkap kejadian ini. Dengan demikian orang gagah tidak akan tertipu oleh akal Pamanku!" kata Kok Siauw Hong.  

-o-DewiKZ^~^aaa-o- Setelah itu Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng meninggalkan Ih Hua Liong yang tulang pipenya telah terluka. Mereka berangkat menuju ke Kim-kee-leng. Dalam perjalanan itu kelihatan mereka agak tergesa-gesa. Keesokan harinya tiba-tiba Kok Siauw Hong mengeluh kurang enak badan. Kemarin dia tidak merasakan apa-apa dan tubuhnya masih sehat. Hari ini dia merasakan dadanya sangat sakit. Melihat langkah kaki Kok Siauw Hong yang mulai goyah, nona Han terkejut sekali.

"Toa-ko air mukamu berubah pucat sekali," kata nona Han. "Lebih baik kita beristirahat saja dulu!"

"Tidak perlu, aku hanya merasa dadaku sedikit sakit. Mungkin karena terlalu banyak minum air dingin, sebentar lagi juga akan baik sendiri. Hari belum gelap kita masih bisa melanjutkan perjalanan." kata Kok Siauw Hong.

Mereka berjalan lagi beberapa lama. Tapi tiba-tiba Kok Siauw Hong merasakan tubuhnya panas dingin. Dia demam dan giginya gemerutuk menahan dingin.

"Barangkali aku terserang demam!" kata dia pada nona Han. Buru-buru Kok Siauw Hong mengerahkan ilmu Siauwyang-sin-kang untuk mengusir rasa demamnya. Tetapi dia berteriak kaget.

Saat mengerahkan ilmu itu terasa tubuhnya seperti ditusuk ribuan jarum. Saking sakitnya dia tidak bisa berjalan.

"Rupanya aku sakit tetapi entah sakit apa aku? Ini aneh sekali!" kata Kok Siauw Hong.

Han Pwee Eng terkejut bukan kepalang. "Apa kau keracunan?" kata si nona.

"Barangkali bukan, kau jangan banyak curiga," kata Kok Siauw Hong.

Ucapan pemuda itu menyatakan bahwa nona Han mencurigai Kiong Cauw Bun yang melukainya. Sebenarnya Kok Siauw Hong pun mencuriga orang tua itu yang melukai dengan diam-diam. Tetapi dia merasa tidak keracunan, dan tidak ingin nona Han cemas.

Melihat Kok Siauw Hong semakin payah, nona Han segera memapah pemuda itu. Dengan susah payah Han Pwee Eng memapah Kok Siauw Hong ke sebuah rumah milik penduduk setempat.

Sekarang kedua muda-mudi ini telah berada di sebelah selatan sungai Huang-hoo, sedangkan tentara Mongol sudah menyeberang ke sebelah utara. Saat itu hampir  semua penduduk di tempat itu sudah mengungsi, hanya tinggal beberapa keluarga saja yang masih tetap bertahan di sekitar tempat itu.

Sudah dua rumah yang didatangi, tetapimereka tidak bersedia menerimanya. Terpaksa Han Pwee Eng memapah Kok Siauw Hong ke sebuah rumah milik seorang petani. Ternyata rumah itu hanya dihuni oleh seorang petani tua. Ketika memohon untuk menumpang, nona Han baru tahu orang tua itu bisu dan tuli.

Lama sekali Han Pwee Eng berbicara dengan bahasa isyarat tangan, hingga lelaki tua itu mengerti maksud nona Han. Lelaki tua itu sangat baik, dia bersedia menerima mereka. Sambil berkata ah-ah-uh-uh, pria tua itu menyilakan kedua tamunya itu masuk ke dalam rumahnya.

Han Pwee Eng memapah Kok Siauw Hong ke sebuah kamar.

Di desa itu tidak ada tabib yang bisa dimintai pertolongan. Lelaki tua itu keluar mencari rumput obat yang segera dimasak untuk Kok Siauw Hong. Tidak diduga rumput yang dimasak orang tua itu berkhasiat. Selang beberapa hari, sekalipun tubuh Kok Siauw Hong masih demam, tapi mulai terlihat agak sehat.

Berhari-hari Han Pwee Eng menemani dan merawat Kok Siauw Hong. Hal ini membuat pemuda itu sangat berterima kasih sekali, tetapi juga merasa malu.

Suatu hari Kok Siauw Hong menggenggam tangan nona Han sambil berkata.

"Nona Han, aku minta maaf padamu. Aku bersalah padamu tetapi kau tetap baik kepadaku," kata Kok Siauw Hong.

"Eh, apa kau sudah lupa, kita sudah berjanji tidak akan mengungkit masalah lama. Kau Kakakku, jelas aku harus merawat dan memperhatikanmu. Iyakan?" kata Han Pwee Eng sambil tersenyum manis.

Kok Siauw Hong juga tersenyum, dia senang tetapi kelihatan agak kecewa.

"Rupanya dia hanya mau menjadi adikku, dan tidak mau menjadi isteriku. Tetapi mempunyai adik seperti dia juga aku sudah sangat senang!" pikir Kok Siauw Hong.

"Barangkali aku sudah boleh mengerahkan hawa mumiku, maukah kau membantuku?" kata Kok Siauw Hong.

"Syukur kalau kau bisa mengerahkan hawa murnimu, tetapi bagaimana aku harus membantumu?" kata Han Pwee Eng.

"Akan kuberitahu cara bagaimana kau membantuku," kata Kok Siauw Hong. "Aku akan melatih kau ilmu Siauw- yan-sinkang. Jika kau tidak mengerti, kau tanyakan saja padaku. Kemudian gunakan cara itu untuk membantu membuka seluruh nadiku!" Tanpa sadar Kok Siauw Hong harus mengajari nona Han ilmu Siauw-yang-sin-kang. Padahal ilmu itu tidak boleh diturunkan kepada orang lain, sekali pun hubungan Kok Siauw Hong dan nona Han agak istimewa.

Dengan demikian Kok Siauw Hong harus menggunakan hawa murninya sendiri. Tapi untuk menyembuhkan lukanya, Kok Siauw Hong harus dibantu oleh orang yang mengerti ilmu Siauw-yang-sin-kang, sebab jika dibantu oleh lwe-kang aliran lain, tidak ada gunanya. Ketika Han Pwee Eng mengetahui Kok Siauw Hong ingin mengajari dia, nona Han senang sekali. Apalagi mereka harus segera pergi ke Kim-kee-leng, maka itu nona Han berharap Kok Siauw Hong segera sembuh.

Setelah Han Pwee Eng mengerti cara membantu Kok Siauw Hong, mereka lalu duduk bersila berhadapan. Sedangkan telapak tangan mereka beradu satu sama lain. Nona Han segera mengerahkan tenaga Siauw-yang-sin-kang lewat tangannya..

Tetapi untuk mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi untuk membantu orang lain yang terluka, sangat berbahaya bagi keduanya. Tenaga mereka pun tidak boleh terganggu karena harus terus-menerus disalurkan. Mereka harus berkonsentrasi penuh. Sekalipun ada musuh atau bahaya, mereka harus tetap tidak bergerak, bicara pun tidak boleh.

Dengan tidak terasa hari pun sudah larut malam, sekarang mereka berada dalam saat-saat yang genting. Tiba- tiba dari kejauhan terdengar suara derap roda kereta dan kaki kuda yang menuju ke arah rumah itu.

Tak lama suara kereta itu berhenti tepat di depan rumah tempat mereka sedang mengerahkan tenaga dalam.

Tak lama terdengar suara ketukan di pintu rumah itu. Lelaki tua bisu tuli itu berjalan akan membuka pintu.

"Kawanku sedang sakit, apa Paman bisa mengizinkan kami beristirahat di rumahmu ini?" kata orang yang baru datang itu.

Tidak seharusnya konsentrasi Han Pwee Eng terpecah, walau suara orang itu dikenalinya.

"Siapa orang yang membawa orang sakit itu ke sini? Ah, bisa kebetulan sekali?" pikir nona Han.

Saat itu orang yang baru datang tidak mengetahui bahwa tuan rumah bisu dan tuli. Maka itu dia mengulangi permohonannya berulang-ulang.

"Kawanku sedang sakit parah, aku mohon Paman bermurah hati dan mau menerima kami bermalam di sini! Aku pasti akan membalas kebaikan Paman!" kata orang itu.

Karena orang itu bicara terus, akhirnya Han Pwee Eng mengenali orang itu. Dia Beng Teng, pemimpin ekpedisi Houw-wie-piauw-kiok, mungkin sedang mengawal orang sakit. Nona Han ingat saat dia dikawal oleh Beng Teng ke Yang-cou. Sesudah mengenal orang itu, nona Han jadi geli sendiri.

"Beng-cong-piauw-tiam memang pekerjaannya aneh- aneh," pikir Han Pwee Eng. "Dulu mengantarkan aku sang calon pengantin. Sekarang dia mengantarkan orang sakit! Tetapi siapa orang yang sakit itu?"

Ketika itu Beng Teng yang sudah tahu lelaki pemilik rumah itu bisu, dia berbicara dengan bahasa isyarat.

"Maksudmu kau sudah tidak punya kamar?" kata Beng Teng. "Baiklah, kami istirahat di bagian belakang rumahmu saja. Aku lihat tidak lama lagi akan hujan. Aku mau masak obat, bolehkah aku minta kayumu?" Rumah petani ini sebuah gubuk, jadi tidak heran jika dindingnya banyak yang berlubang. Kebetulan kamar yang ditempati Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng menghadap ke jalan raya. Walau dinding gubuk itu berlubang, nona Han tidak berani memecah perhatiannya untuk mengintai. Dari suara Beng Teng rupanya lelaki tua itu tetap menolak.

"Oh, jadi kau sudah menerima dua orang yang sakit?" kata Beng Teng lagi. "Maksudmu aku tidak boleh mengganggu mereka. Aaah sayang, kalau begitu baiklah."

Tidak lama terdengar Beng Teng berjalan dan menyingkap krei sambil berkata pada orang yang sedang sakit yang dikawalnya.

"Tuan Ci, kau sudah merasa agak baikan. Mari kita pergi!" kata Beng Teng.

Orang yang dipanggil tuan Ci cuma merintih kesakitan.

Nona Han agak tersentak mendengar rintihan dan orang yang dipanggil tuan Ci itu. Sebenarnya Nona Han hendak membantu Beng Teng memintakan izin pada lelaki tua itu, agar mereka diizinkan beristirahat di situ. Tetapi sayang saat itu nona Han sedang mengerahkan tenaga muminya untuk membantu penyembuhan Kok Siauw Hong. Kebetulan saat itu sedang dalam keadaan sangat gawat, hingga Han Pwee Eng tidak berdaya.

Tetapi saat Beng Teng dan orang yang dikawalnya akan meninggalkan rumah itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang datang ke arah rumah itu. Han Pwee Eng pun mendengar suara derap kaki kuda itu. Beng Teng kaget, segera dia gendong orang yang sedang sakit itu ke dalam rumah. Saat itu Beng Teng tidak menghiraukan cegahan dari pemilik gubuk itu. Di belakang rumah terdengar suara berkeresek, mungkin Beng Teng sedang menyembunyikan orang sakit itu di balik rumput kering. "Kawanku yang sedang sakit itu meminjam tempat Paman untuk bersembunyi, harap Paman jangan membocorkan hal ini kepada siapa pun!" kata Beng Teng.

Beng Teng seorang yang sangat bijaksana dan disiplin, sekalipun dia memaksa menyembunyikan orang yang dikawalnya, dia tetap memberi tahu dulu tuan rumah.

Saat Beng Teng menggendong orang sakit yang dipanggil tuan Ci melewati kamar nona Han, tanpa sadar nona Han mengintai lewat sebuah lubang. Kebetulan saat itu bulan sedang purnama, cahayanya masuk hingga nona Han bisa melihat orang yang sedang digendong oleh Beng Teng itu. Nona Han tersentak karena dia mengenali siapa orang yang sedang digendong itu.

"Oh Ci Giok Phang!" pikir Han Pwee Eng.

Han Pwee Eng kaget bukan kepalang. Hampir saja dia berteriak karena kagetnya. Tetapi mendadak dia rasakan telapak tangan Kok Siauw Hong langsung dingin, denyut jantungnya agak kacau. Han Pwee Eng langsung berkonsentrasi, bahkan dia tidak berani bersuara lagi.

Sungguh di luar dugaan Ci Giok Phanglah yang akan dibawa ke gubuk itu oleh Beng Teng. Sesudah menyembunyikan Ci Giok Phang lalu Beng Teng berkata pada lelaki tua pemilik gubuk.

"Paman jangan panik, tutup saja pintunya!" kata Beng Teng.

Sedang Beng Teng sendiri berjalan keluar gubuk, lelaki tua itu menutup pintu seperti anjuran Beng Teng tadi.

Sejak meninggalkan Pek-hoa-kok, nona Han tidak pernah bertemu dengan Ci Giok Phang. Saat ada di Pek- hoa-kok Ci Giok Phang baik sekali kepadanya, bahkan Ci Giok Hian ingin menjodohkan Pwee Eng dengan kakaknya itu.

Han Pwee Eng memang terkesan baik pada pemuda ini, tapi bukan jatuh cinta. Kebetulan Ci Giok Phang kakak Ci Giok Hian, sahabat baik nona Han. Saat tahu Ci Giok Phang terluka, nona Han cemas bukan main. Mendengar suara Beng Teng begitu gugup, nona Han bisa menduga musuhnya pasti lihay.

Kok Siauw Hong pun tahu, siapa yang digendong oleh Beng Teng. Tapi saat itu dia sedang berkonsentrasi mengobati dirinya. Tidak heran Kok Siauw Hong tergetar hatinya.

Saat itu Kok Siauw Hong sadar tenaga murninya sudah buyar, dengan demikian nona Han buru-buru menggenggam tangan Kok Siauw Hong. Nona Han menggelengkan kepalanya agar Kok Siauw Hong tidak menghiraukan keadaan di sekitarnya. Siauw Hong mengangguk mengiakan karena sadar, sesudah sembuh dia bisa membantu Ci Giok Phang. Sesudah itu Kok Siauw Hong berkonsentrasi penuh kembali. Ketika itu Kok Siauw Hong mengkhawatirkan keadaan Han Pwee Eng yang sudah mendengar suara-suara di luar, tentu saja itu berbahaya baginya.

Sedang di luar suara derap kaki kuda yang tadi terdengar masih jauh, sekarang sudah semakin dekat. Tidak lama derap kaki kuda itu berhenti tepat di depan gubuk lelaki tua.

Sesudah tidak terdengar derap kaki kuda sekarang terdengar suara dingin.

"Beng Cong-piauw-thauw, kau tidak mengira kita akan bertemu lagi di sini, bukan? Nah, pekerjaan apa yang sedang Anda kerjakan sekarang?" kata suara dingin itu. Mendengar suara dingin itu hati nona Han tersentak kaget. Suara itu dikenali sebagai suara si Rase Liar An Tak. Dulu ketika akan ke Yang-cou dikawal oleh Beng Teng, nona Han pernah bertemu dengannya Bahkan nona Han berhasil mencungkil sebelah mata si Rase Liar An Tak.

"Ah, cuma An Tak seorang saja, Beng Teng sudah begitu ketakutan," pikir Han Pwee Eng. "Tapi berdasarkan derap kaki kuda An Tak datang bersama tiga orang kawannya. Mudahmudahan saja Kok Toa-ko segera pulih, jika tidak Beng Teng dan Ci Giok Phang dalam bahaya!"

Saat itu Beng Teng sadar dia tidak akan mampu mengalahkan si Rase Liar An Tak. Tetapi di dalam karirnya dia sering menghadapi bermacam-macam bahaya, wajahnya tidak terlihat takut atau gentar. Malah terdengar Beng Teng tertawa terbahak-bahak.

"Sudah lama piauw-kiokku ditutup," kata Beng Teng, "mana mungkin aku masih bisa mencari rejeki dengan cara menjalankan perusahaan ekpedisi lagi!"

Mendengar jawaban Beng Teng si Rase Liar An Tak tertawa.

"Jangan bohong aku dengar kau menerima dewa uang, benar kan?" kata An Tak.

"Saudara An jangan bergurau, pada masa sedang kacau begini mana ada dewa uang datang padaku?" kata Beng Teng.

"Kau salah Beng Teng Piauw-thauw, siapa yang tidak tahu perusahaan dan namamu sangat terkenal di Lok- yang?" kata An Tak menyindir.

"Apa kau lupa perusahaanku telah jatuh di tanganmu dan Sri-gala Tua Tan," kata Beng Teng. "Itu sebabnya perusahaanku  sudah  kututup  lama  sekali.  Mana mungkin aku berbohong. Jika kau tidak percaya kau bisa melihatnya sendiri di Lok-yang. Tetapi aku yakin, pengetahuanmu lebih luas. Sekalipun kau tidak melihatnya tetapi kau pasti sudah mengetahuinya!"

"Aku tahu usahamu kau tutup setelah tentara Mongol datang ke Lok-yang. Maka itu kau tidak bisa membuat perhitungan dengan An Toa-ko!" kata orang yang datang bersama An Tak.

"Sekalipun perusahaanmu sudah tutup, tetapi namamu yang termasyur tetap ada. Berdasarkan nama besarmu itu, maka aku yakin rejeki besarmu tetap datang!" kata teman An Tak yang lain.

"Kereta kuda tuaku sudah rusak, jika kau tidak percaya silakan geledah saj a!" kata Beng Teng.

Ditantang begitu si Rase Liar An Tak tertawa.

"Jangan tergesa-gesa," kata An Tak. "Ada yang ingin aku rundingkan denganmu. Aku harus memperkenalkan kawankawanku ini kepadamu."

Sesudah itu An Tak menunjuk salah seorang kawannya. "Ini   Kim   Hiong-cu   dari  Kim-say-kok  (Lembah Singa

Emas).      " kata An Tak, tapi sebelum An Tak selesai bicara

Beng Teng langsung memotong.

"Kalau begitu pasti yang ini Lo Hiang-cu dari In-ma- coan! Sudah lama kedua Hiang-cu tidak bertemu denganku, namun aku sudah pernah menyerahkan kartu namaku saat akan melewati gunung kalian. Dengan demikian kita punya hubungan baik bukan?'' kata Beng Teng.

Ternyata seorang yang memiliki perusahaan ekpedisi seperti Beng Teng, tidak boleh hanya mengandalkan ilmu silatnya saja, tetapi dia juga harus luas pergaulannya dan juga punya sedikit kharisma di berbagai tempat.

Nama Hiang-cu dari Kim-say-kok itu Kim Hoat, sedang yang dari In-ma-coan bernama Lo Jin Cun. Sarang mereka sangat berdekatan, maka itu mereka punya hubungan baik dan sering berkelana di kalangan Kang-ouw. Ketika Beng Teng diberi tahu nama yang seorang, dia langsung tahu nama temannya yang lainnya

"Jika Anda tidak mengungkit masalah itu, aku malah lupa," kata Lo Jin Cun sambil tertawa terbahak-bahak.

"Benar, karena kita sudah saling mengenal, maka aku ajak An Toa-ko untuk berunding denganmu," sambung  Kim Hoat. Sedangkan yang keempat seorang lelaki berumur limapuluh tahun. Dia juga tertawa terbahak- bahak.

"Pergaulan Anda sangat luas saudara Beng," kata orang itu. "Tetapi tahukah kau, siapa aku ini?"

Beng Teng memperhatikan orang itu. Saat memperhatikan pakaian sulam orang itu bergambar ikan yang aneh, seketika Beng Teng ingat sesuatu. Maka itu dia langsung bicara.

"Bukankah Anda Ketua Chu dari perkumpulan Ikan Hiu

di

Huang-hoo?" kata Beng Teng.

Sebenarnya pekerjaan Beng Teng hanya di darat, tidak

heran dia tidak mengenal orang ini. Tetapi dari gambar sulam di pakaian orang itu, Beng Teng langsung menduga- duga.

Di kamar mereka Han Pwee Eng mendengar kata-kata Beng Teng tersebut. "Hm! Rupanya Chu Tay Peng pun datang ke mari!" pikir nona Han. "Aku kira kepandaian mereka tidak lebih rendah dari An Tak. Pasti mereka semua lihay-lihay!"

Nona Han pernah bertemu dengan Chu Tay Peng di rumah makan Ngi Nih Lauw. Ketika itu Chu Tay Peng salah sangka, dia dikira puteri Kiong Cauw Bun. Tidak heran jika Chu Tay Peng pernah membayari makanan Han Pwee Eng di beberapa rumah makan lainnya.

"Sungguh jeli mata Anda, saudara Beng. Aku kagum sekali!" kata Chu Tay Peng sambil tertawa.

"Baiklah, sekarang masing-masing sudah saling mengenal," kata An Tak. "Sekarang mari bicarakan masalah kita. Pekerjaan Anda mengawal barang, sedang kami bekerja tanpa modal. Tidak heran kadang-kadang kita bisa bentrok satu sama lain. Tetapi aku kira itu bukan dendam, tapi karena kepentingan profesi masing-masing. Begitu bukan?"

"Anda benar saudara An Tak, jika ada petunjuk katakan saja," kata Beng Teng tenang.

"Baik! Memang seharusnya kita bicara blak-blakan tanpa tedeng aling-aling!" kata An Tak. "Kali ini aku ingin membicarakan sebuah transaksi... Bukankah Tuan muda dari Pek-hoa-kok meminta Anda menjadi pengawalnya?"

"Jangan bergurau, saudara An." kata Beng Teng. "Tuan muda dari Pek-hoa-kok berkepandaian tinggi. Mana mungkin dia memintaku untuk menjadi pengawalnya?"

Mendengar ucapan Beng Teng, An Tak tertawa dingin. "Hm! Jangan lupa, bukankah kau juga pernah mengawal

nona   Han,   puteri   Han   Tay   Hiong?"   kata   An   Tak.

"Kepandaian gadis busuk itu jauh lebih tinggi darimu. Aku tahu benar. Karena Ci Giok Phang terluka berat, maka dia menyuruhmu mengantarkannya pulang ke Pek-hoa-kok. Berapa ongkos antar yang kau terima?"

"Sabar. Untuk sementara kita jangan bicara soal uang. Tetapi aku ingin menasihatimu! Dulu karena kau merebut nona Han, maka matamu dilukai.oleh nona Han! Sekarang kau sudah tahu mengenai kelihayan Ci Giok Phang, tetapi kau masih ingin turun tangan. Aku hanya menasihatimu, kau jangan coba-coba mencari gara-gara dengan keluarga Ci. Semua ini demi kebaikan bagi kalian!" kata Beng Teng.

Wajah An Tak berubah seketika itu juga. Dia mencoba menahan amarahnya. Tak lama dia sudah bicara lagi.

"Jangan kau takut-takuti kami dengan nama besar keluarga Ci dari Pek-hoa-kok!" kata An Tak. "Ini masalah kami, kau tidak perlu menasihati aku!"

"Lalu kalian ingin bicara soal transaksi apa denganku?" kata Beng Teng.

"Aku tidak minta bagian seperti dulu ketika kau mengantar nona Han, tetapi sekarang aku malah akan mengantarkan rejeki untukmu. Tentu ada syaratnya yaitu jika kau mau menyerahkan Ci Giok Phang pada kami!" kata An Tak.

"Mengapa kalian menginginkan Ci Giok Phang? Bisakah kau katakan padaku agar aku tahu apa keinginan kalian itu?" kata Beng Teng.

"Karena kita kenalan lama, tidak masalah aku menjelaskannya kepadamu," kata An Tak. "Sebenarnya yang menginginkan Ci Giok Phang itu bukan kami!"

"Lalu siapa?" kata Beng Teng.

"Jenderal Mongol. Jika kau serahkan dia, kau bisa kaya, bahkan kau akan diberi pangkat! Jika kau ingin terus membuka usaha ekpedisi di Lok-yang, mereka juga setuju. Bukankah ini sangat menguntungkan bagimu? Bagaimana, apa kau mau atau tidak?" kata An Tak.

"Oh, sungguh tidak kuduga! Ternyata sekarang kalian telah menjadi kaki tangan bangsa asing! Maaf, aku tidak berminat menjadi pembesar bangsa Mongol. Aku juga tidak ingin kaya bahkan tidak mau bekerja-sama dengan bangsa Mongol. Selama masih ada bangsa Mongol, aku tidak akan membuka perusahaanku lagi. Aku juga tidak tahu di mana Ci Giok Phang sekarang? Bahkan sekali pun aku mengetahuinya, aku tidak akan menunj ukkan pada kalian. Perbuatan itu sungguh merendahkan leluhur kita!" kata Beng Teng dengan gagah.

Tiba-tiba wajah An Tak berubah kehijau-hijauan karena marah.

"Hm! Rupanya kau tidak ingin menjadi orang kaya, kau malah kau memilih mati!" kata An Tak.

"Saudara Beng jika kau mau bertindak, kau harus melihat gelagat dulu," kata Chu Tay Peng dengan sabar. "Apa kau tidak pernah mendengar, di mana-mana pasukan Mongol berhasil mengalahkan musuh-musuhnya? Selain mengalahkan bangsa Kim, dia juga akan merebut kekuasaan dari tangan Kerajaan Song. Jenderal Mongol itu baik padamu. Maka itu dia menawarkan rejeki kepadamu. Tetapi jika kau menolak ajakan itu, kami akan bertindak. Jika sampai terjadi pertarungan di antara kita, sudah tentu kita tidak bisa ingat hubungan baik kita lagi!"

Jenderal Mongol di Lok-yang sudah tahu bagaimana kemampuan Beng Teng, maka itu dia berusaha akan menarik Beng Teng ke pihaknya. Maka itu An Tak bersama kawankawannya   diminta   untuk   membujuk   Beng Teng. Sampai saat itu mereka belum berani melakukan kekerasan kepada Beng Teng.

"Hm! Sudah jangan banyak bicara lagi! Pikirkan baik- baik olehmu. Jika menurut kau pasti kaya, tapi jika tidak maka nyawamupun akan melayang!" kata An Tak tidak sabar.

"Hm! Bagi seorang lelaki sejati, jika harus mati lalu apa yang harus dipikirkan lagi?" kata Beng Teng dengan gagah.

An Tak gusar bukan kepalang. Dia langsung mengibaskan senjata andalannya yaitu kipas besi.

Saat itu Chu Tay Peng sudah langsung memberi komando pada kawan-kawannya.

"Cepat kalian cari Ci Giok Phang! Beng Teng tidak akan lolos dari tangan kami!" kata Chu Tay Peng.

"Baik," kata An Tak. "Tadi kami sudah bersikap sangat sabar terhadapmu. Karena kau tidak tahu diri, jangan salahkan kami jika kami kurang sopan padamu!"

Saat itu Lo Jin Cun dan Kim Hoat sudah langsung melaksanakan perintah Chu Tay Peng. Mereka berdua langsung memeriksa kereta milik Beng Teng. Tetapi tidak lama mereka sudah kembali ke tempat itu.

"Kereta itu kosong!" kata Lo Jin Cun. "Jangan heran, mungkin Beng Teng menyembunyikannya di gubuk ini! Lekas geledah!" kata An Tak.

"Sudah aku katakan aku tidak mengawal dia, jika kalian mau menangkapku tangkaplah. Kalian jangan menyusahkan petani tua yang bisu dan tuli itu!" kata Beng Teng.

Semula karena Beng Teng mengira yang datang bukan An Tak dan kawan-kawannya, dia mengira akan mampu mengatasinya Tetapi melihat yang datang An Tak dan kawankawannya, dia jadi mencemaskan keselamatan petani bisu itu.

"Minggir!" bentak An Tak saat melihat Beng Teng mencoba menghalanginya masuk ke dalam gubuk. An Tak menendang pintu gubuk itu.

"Braak!"

Saat itu Lo Jin Cun dan Chu Tay Peng sudah mengepung Beng Teng yang sudah siap adu jiwa Dia tidak ingin menyusahkan petani tua itu.

"Biar mereka geledah tempat ini. Nanti sesudah mereka menemukan Ci Giok Phang baru aku adu jiwa dengan mereka!" pikir Beng Teng.

Tidak lama An Tak dan Kim Hoat sudah masuk ke dalam gubuk, lelaki tua itu sangat ketakutan. Saat An Tak bertanya orang tua itu, dia hanya ah-ah-uh-uh tidak bisa bicara.

"Dia bisu!" kata Beng Teng memberi tahu An Tak.

Beng Teng begitu kaget apalagi Han Pwee Eng dan Kok Siauw Hong yang ada di dalam kamar. Saat itu denyut nadi Kok Siauw Hong sudah mulai normal kembali. Tetapi Khi- kinpat-meh (Nadi) belum terbuka, maka saat gawat pun belum berlalu.

Han Pwee Eng jadi bingung bukan main.

"Jika mereka menerjang masuk ke dalam kamar ini, maka sia-sia usahaku!" pikir Han Pwee Eng.

Orang tua bisu itu tetap menghadang di depan An Tak. Suara ah-ah-uh-uhnya terus terdengar. Dia kelihatan tenang,  sekarang  dia  sadar,  bahwa  orang  yang  masuk ke dalam gubuknya orang-orang jahat. Tetapi sedikit pun dia tidak merasa takut.

Saat An Tak melihat tumpukan rumput di belakang rumah, dia mengeluarkan perintah.

"Periksa tumpukan rumput itu!" kata An Tak.

"Baik," kata Kim Hoat yang langsung menuju ke tumpukan rumput kering.

Tiba-tiba Beng Teng menyerang ke arah Kim Hoat sambil mendengus keras. Chu Tay Peng yang berdiri di samping Beng Teng, bergerak cepat. Melihat bahu Beng Teng bergerak, Chu Tay Peng langsung mencengkram bahu Beng Teng.

"Lebih baik kau diam!" bentak Chu Tay Peng.

Dengan terpaksa Beng Teng menangkis serangan Chu Tay Peng itu.

"Plaak!"

Tubuh Chu Tay Peng bergoyang, Beng Teng pun terhuyung ke belakang tiga langkah. Tangan Beng Teng terasa sakit sekali.

Bersamaan dengan itu An Tak menggerakkan kipas besinya mengancam Beng Teng.

"Jka kau berani bergerak lagi, maka aku tidak akan sungkan-sungkan membunuhmu!" kata An Tak bengis.

Saat itu Beng Teng sudah siap adu jiwa. Mendadak terjadi sesuatu yang sungguh di luar dugaan. Ketika Kim Hoat sedang membungkukkan tubuhnya akan memeriksa rumput kering itu, tiba-tiba Kim Hoat merasakan pinggangnya kesemutan, dia jadi kehilangan keseimbangan tubuhnya. Maka tak ampun lagi Kim Hoat jatuh terlentang. Rupanya orang tua bisu-tuli itu yang mendorong Kim Hoat. Sekalipun Kim Hoat bukan jago kelas satu, tetapi dia j uga berkepandaian cukup tinggi. Jika dia bisa terdorong jatuh oleh lelaki tua itu, tentu saja membuat An Tak dan kawankawannya terkejut.

Tiba-tiba tubuh An Tak berkelebat, tahu-tahu dia sudah ada di depan lelaki tua itu. Dia arahkan ujung kipas besinya ke jalan darah lelaki tua itu sambil membentak keras.

"Siapa kau?" kata An Tak.

Menyaksikan kejadian itu Beng Teng girang bukan kepalang.

"Tidak kusangka dia ternyata pesilat tinggi. Jika aku bergabung dengannya, maka aku akan sanggup menghadapi keempat orang ini. Sekalipun tidak bisa mengalahkan mereka, tetap ada harapan." pikir Beng Teng.

Sesudah itu Beng Teng berteriak.

"Dia bisu, percuma kau bertanya padanya. Mari kita bertarung saja!" kata Beng Teng.

Lo Jin Cun membangunkan Kim Hoat, mereka melangkah ke depan lelaki tua itu. Sesudah bisa melihat tegas tiba-tiba Lo Jin Cun berseru keras.

"Bukankah kau Kiauw Song Giam? Sudah bertahun- tahun aku mencarimu. Ternyata kau bersembunyi di sini! Di depanku kau masih berpura-pura bisu dan tuli!" kata Lo Jin Cun.

Lelaki tua itu tertawa

"Aku di sini bukan untuk menghindarimu!" kata lelaki tua itu. "Sekarang kita sudah bertemu maka hutang piutang lama harus kita selesaikan!"

Baru saja Kiauw Song Giam usai bicara, Kim Hoat dan Lo Jin Cun langsung menyerang dengan pedang mereka. Melihat lawan menyerangnya dengan sigap Kiauw Song Giam meraih porok (garpu) yang ada di tumpukan rumput kering itu.

"Bagus ilmu silatmu itu!" kata Song Giam.

Dia putar garpu itu untuk menangkis pedang Lo Jin Cun dengan jurus Hoat-cau-sui-coa (Membabat rumput mencari ular). Pedang Lo Jin Cun tertangkis dengan keras hingga miring. Pada saat yang bersamaan ujung garpu atau porok itu mengarah.ke tenggorokan Kim Hoat. Buru-buru Kim Hoat menangkis ujung garpu itu. Terdengar suara nyaring.

"Trang!"

Tangan Kim Hoat kesakitan.

Lo Jin Cun maju sambil membentak. "Hari ini aku harus membalas sebuah pukulanmu!" kata Lo Jin Cun.

Ujung pedang Lo Jin Cun berkelebat ke arah jalan darah Beng-khi-hiat.

Permusuhan Lo Jin Cun dengan Kiauw Song Giam terjadi sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu Lo Jin Cun merampok seorang pedagang di daerah utara yang dikawal oleh para piauw-su. Namun para piauw-su itu tidak mampu melindungi pedagang itu. Pada saat dalam bahaya muncul Kiauw Song Giam yang kebetulan lewat di tempat kejadian. Saat bertarung dengan Kiauw Song Giam, Lo Jin Cun terkena sepuluh pukulan hingga gigi Lo Jin Cun rontok dua buah. Maka itu dalam sepuluh tahun terakhir Lo Jin Cun berlatih ilmu Pat-sian-kiamhoat (Ilmu pedang delapan dewa) dengan maksud berusaha mencari Kiauw Song Giam untuk membalas dendam.

"Hm! Sekarang kepandaian Lo Jin Cun sudah maju pesat!" pikir Kiauw Song Giam. Kiauw Song Giam tidak berani menganggap ringan lawannya Tiba-tiba Kiauw Song Giam berseru.

"Ilmu pedangmu hebat, tapi sekarang kau akan merasakan ilmu totokanku!" kata Kiauw Song Giam.

Dengan kepandaiannya yang tinggi Kiauw Song Giam mampu menggunakan garpu sebagai alat totok. Dia arah setiap jalan darah lawan dengan garpunya itu.

Lo Jin Cun kaget menyaksikan kehebatan lawannya itu, sekalipun telah mengubah serangannya, tetapi dia tetap terdesak oleh Kiauw Song Giam. Mendadak dari bagian samping Kim Hoat menyerang, tetapi serangan Kim Hoat berhasil ditangkis.

”Tang!”

Pedang Kim Hoat terpental bahkan Kim Hoat pun terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah.

"An Toa-ko, orang tua ini cukup lihay!" kata Kim Hoat. Saat Kiauw Song Giam sedang bertarung dengan Kim

Hoat dan Lo Jin Cun, Beng Teng sudah menghunus golok Ciak-kimto miliknya. Dia langsung bertarung melawan An Tak dan Chu Tay Peng.

Jika satu lawan satu mungkin kepandaian Beng Teng seimbang. Tapi karena dia melawan dua orang jago silat ternama, sudah tentu dia kalah dan mulai terdesak. Sebelah mata An Tak bersinar mengawasi Beng Teng dengan penuh kebencian. Dia ingat matanya yang sebelah dicungkil nona Han ketika dikawal oleh Beng Teng. Karena tidak ada nona Han, kemarahan An Tak yang ingin membalas dendam ditimpakan kepada Beng Teng. Dia menganggap matanya yang sebelah hilang gara-gara Beng Teng yang mengawal nona Han. Sedangkan Chu Tay Peng ingin menangkap Beng Teng dalam keadaan hidup. Jika berhasil dia berjasa pada jenderal Mongol yang menyuruh mereka membujuk Beng Teng memihak pada bangsa Mongol. Saat Chu Tay Peng mendengar seruan Kim Hoat dia langsung berteriak.

"Saudara An, bantu mereka berdua. Biar aku yang menghadapi dia sendiri!" kata Chu Tay Peng.

An Tak mengundang Lo Jin Cun dan Kim Hoat, maka itu dia merasa tidak enak hati jika dia diam saja.

"Baik. Aku akan menotok jalan darah orang tua itu. Sesudah itu baru kubantu mereka!" kata An Tak pada Chu Tay Peng.

Ilmu andalan Chu Tay Peng Tiat-sah-ciang (Pukulan pasir besi), tetapi dia juga mahir jurus Tay-kin-na-ciu (Ilmu cengkraman). Dia ingin sekali menangkap Beng Teng.

Chu Tay Peng salah duga, ternyata Beng Teng pun berilmu tinggi, hingga dia mendapat kesulitan untuk menangkap hidup-hidup lawannya. Sesudah bertarung beberapa jurus tidak berhasil, Chu Tay Peng mulai menggunakan jurus maut. Dia maju dan menyerang dengan jurus Tiat-soh-heng-kang (Rantai besi melintang di sungai).

Menghadapi jurus itu Beng Teng benar-benar kewalahan. Dia merasakan lengannya hampir patah dicengkram oleh Chu Tay Peng, Tiba-tiba Beng Teng menjatuhkan diri, lalu bergulingan beberapa depa jauhnya Chu Tay Peng maju tetapi pada saat yang bersamaan Beng Teng membentaknya.

"Lihat golokku!" kata Beng Teng.

Beng Teng menyambitkan goloknya ke arah Chu Tay Peng. Tentu saja Chu Tay Peng tidak berani menyambut serangan itu. Buru-buru dia berkelit menghindar. Saat itu Beng Teng sudah bangun kembali. Kini di tangannya sudah memegang dua macam senjata. Tangan kiri memegang perisai, tangan kanan memegang pedang pendek.

Ketika Chu Tay Peng berkelit untuk menghindari serangan Beng Teng, golok itu menyambar ke arah An Tak. Dengan cepat An Tak mengibaskan kipasnya menangkis golok itu.

'Tang!"

Golok Beng Teng terjatuh ke lantai gubuk. "Chu Toa-ko, hati-hati!" teriak An Tak.

Saat itu serangan Beng Teng datang. Tay Peng mencelat ke belakang untuk menghindari serangan itu.

"Saudara Beng, kau masih belum mau menyerah?" kata Chu Tay Peng. "Aku ingin tahu kau bisa tahan berapa  lama. An Toa-ko, jangan cemas. Aku yakin bisa membekuk dia!"

Sekarang kedua orang itu sudah bertarung lagi dengan hebat. Perisai merupakan senjata andalan Beng Teng. Dengan kedua macam senjata itu Beng Teng pernah melanglang buana dengan bebas. Dengan perisai dia bisa menangkis setiap senjata lawan. Dengan pedang pendeknya dia bisa menyerang lawan. Saat itu Beng Teng menyerang Chu Tay Peng dengan jurus Hoat-cau-sui-coa (Membabat rumput mencari ular). Chu Tay Peng mengelak, dan kakinya menendang jalan darah Beng Teng. Sedang Beng Teng segera menangkis tendangan itu dengan perisainya.

'Tang!"

Buru-buru Chu Tay Peng melompat ke belakang. Saat melompat Beng Teng menyerang dengan pedangnya. Ketika  Chu  Tay  Peng  sudah  agak  jauh  dari  lawan,  dia memeriksa celananya. Ternyata celana Chu Tay Peng terkena tusukan pedang Beng Teng.

Menyaksikan celananya terkena pedang pendek Beng Teng, Chu Tay Peng sadar betapa lihaynya Beng Teng, maka itu sekarang Chu Tay Peng berhati-hati. Pertarungan berlangsung dengan hebat, sekarang Beng Teng berada di atas angin.

Sementara itu An Tak telah bergabung dengan Kim Hoat dan Lo Jin Cun mengeroyok Kiauw Song Giam. Namun, mereka bertiga tetap harus waspada pada setiap totokan Kiauw Song Giam yang lihay itu.

Sekalipun Kiauw Song Giam gagah tetapi karena menghadapi tiga orang lawan yang cukup lihay, lama kelamaan tenaganya terkuras juga.

Pertarungan di luar kamar Han Pwee Eng dan Kok Siauw Hong terdengar jelas membuat mereka terkejut. Saat itu keringat sebesar kacang hijau terlihat membasahi kening dan wajah Kok Siauw Hong. Napasnya mulai terdengar berat. Itu adalah saat yang paling genting. Jika saat kritis itu lewat maka tenaga Kok Siauw Hong akan pulih kemali.

Han Pwee Eng berusaha mengerahkan lwee-kangnya untuk bisa lebih cepat menembus Khi-kin-pat-meh Kok Siauw Hong.

Saat bertarung pun An Tak memperhatikan ke seluruh ruangan, malah memasang telinganya Saat itu terdengar suara napas Kok Siauw Hong yang sangat berat. Ketika dia memperhatikan kamar itu, dia lihat ada dua bayangan sosok tubuh di kamar itu.

An Tak hanya menduga Ci Giok Phang yang sedang terluka parah disembunyikan di dalam gubuk itu. Setelah melihat dua bayangan orang itu An Tak berpikir. "Di kamar itu ada teman Ci Giok Phang yang sedang mengobatinya. Jika lukanya telah sembuh, aku akan repot menghadapinya. Lebih baik aku segera masuk membereskannya sebelum dia sembuh!" pikir An Tak

Setelah berpkir begitu An Tak menyerang secara bertubitubi ke arah Kiauw Song Giam, sehingga orang itu harus melompat mundur.

"Saudara Lo dan saudara Kim, kalian tahan tua bangka ini! Aku akan masuk memeriksa kamar, nanti aku membantu kalian lagi!" kata An Tak.

Saat itu Kiauw Song Giam terdesak mundur oleh kedua kawan An Tak. Sekarang An Tak yakin kedua kawannya itu akan mampu menahan orang tua itu.

Maka berjalanlah An Tak menuju ke arah kamar yang dia lihat ada dua bayangan orang itu. Baru saja An Tak ada di depan pintu kamar, ia mendengar suara dingin mengejeknya.

"Hai Rase Liar, apakah belum cukup sebelah matamu picek? Apa kau ingin mata yang satu lagi kucungkil?" kata suara dingin ku.

Bukan main kagetnya An Tak. Tadi dia mengira yang ada di dalam kamar itu Ci Giok Phang yang sedang terluka parah. Dia tidak mengira kalau orang itu Han Pwee EngMata An Tak dicungkil oleh nona Han, maka itu dia kenal benar suara dingin itu suara nona Han. Tiba-tiba dia mundur dua langkah.

Sesudah mundur dua langka tampak An Tak tenang kembali. Ia sudah melihat jelas Han Pwee Eng sedang duduk dengan seorang pemuda yang belum diketahui siapa dia. Mereka berdua sedang menghimpun hawa murni mereka. Melihat hal itu An Tak jadi girang bukan kepalang. "Rupanya gadis busuk itu sedang mengobati kekasihnya! Ini kesempatan baik untuk aku membalas dendam!" pikir An Tak.

An Tak menyeka keringat dingin di keningnya, lalu berjalan sambil tertawa terbahak-bahak menuju ke kamar itu.

"Nona Han, aku tidak akan mencungkil matamu, tetapi aku cuma minta kau jadi isteriku!" kata An Tak.

Tiba-tiba An Tak menggerakkan kipas besinya menotok ke arah punggung nona Han. Nona Han gusar bukan kepalang, tapi dia mencoba menahan amarahnya. Ini dia maksudkan agar dia tidak mengganggu konsentrasi Kok Siauw Hong. Saat tahu An Tak akan menotok jalan darah di punggungnya, Han Pwee Eng langsung menghunus pedang dan menangkis totokan itu.

Sebenarnya ilmu silat nona Han lebih tinggi dari An Tak, namun sebelah tangannya sedang menempel dengan tangan Kok Siauw Hong. Malah nona Han pun tidak bisa bangun, karena dia harus tetap pada posisinya semula. Itu sebabnya dia jadi kurang leluasa melakukan perlawanan.

Ketika An Tak dicungkil matanya tempo hari, An Tak belum tahu siapa Han Pwee Eng. Dia hanya mengira nona Han itu gadis biasa-biasa saja. Waktu itu kepandaian An Tak pun berada di bawah nona Han. Karena dia tidak siaga dengan mudah matanya tecungkil oleh nona Han. Oleh karena An Tak pernah dikalahkan oleh nona Han, tidak heran kalau dia jadi agak ngeri terhadap gadis ini. Padahal saat itu sangat menguntungkan dia. Tapi karena dia tidak berani maju lebih dekat, justru memberi kesempatan pada nona Han untuk bernapas. Sebelah tangan nona Han tetap membantu Kok Siauw Hong menyalurkan hawa murni, sedang tangan kanan yang memegang pedang, siap menghadapi serangan An Tak. Nona Han menangkis setiap serangan si Rase Liar dengan tidak menoleh, dia hanya mengandalkan pendengarannya dan sambaran angin senjata lawan.

Sekalipun sedang duduk bersila karena ilmu pedang  nona Han lihay sekali, dia masih mampu menangkis setiap serangan lawan. Serangan si Rase Liar dilakukan bertubi- tubi, tapi nona Han hanya menangkis setiap serangan itu. Saat An Tak berada sangat dekat dengan gadis ini, tiba-tiba Han Pwee Eng menggunakan pedangnya menusuk perut si Rase Liar. Tusukan itu sangat cepat maka itu terdengar suara nyaring.

"Sreet!"

Rupanya pakaian An Tak terserang pedang nona Han hingga robek, untung An Tak bisa buru-buru melompat mundur, jika tidak perutnya akan tertikam oleh pedang nona Han.

"Oh, sayang sekali!" kata Han Pwee Eng mengeluh.

Saat itu si Rase Liar An Tak terkejut bukan kepalang. Tanpa terasa keringat dingin membasahi wajahnya. Saat dia mengawasi ke arah lawannya dia girang bukan kepalang.

"Kenapa aku bodoh sekali!" pikir An Tak. "Gadis busuk ini sedang mengerahkan lwee-kangnya mengobati kekasihnya. Pasti dia tidak bisa melawanku dengan sepenuh tenaga. Kenapa aku harus takut kepadanya? Aku harus segera membereskannya, jika tidak bisa terlambat!"

Dengan sekuat tenaga An Tak mulai melancarkan serangannya  lagi.  Nona  Han  mencoba  menangkis  tetapi tidak dengan sepenuh tenaga. Ini disadari oleh An Tak, maka itu dia terus menyerangnya dengan sengit.

Sekalipun lwee-kang nona Han lebih tinggi dari An Tak, saat itu nona Han sedang sibuk membantu Kok Siauw Hong. Jika dia mengerahkan seluruh kekuatannya itu akan berakibat buruk bagi Kok Siauw Hong. Maka itu nona Han tidak berani mengambil risiko.

Sekarang kelihatan nona Han mulai tertekan oleh setiap totokan yang dilakukan An Tak.

"Gadis busuk! Sekarang kau tahu bagaimana kelihayanku?" kata An Tak.

Pada saat bersamaan nona Han merasakan hawa hangat tersalur ke tubuhnya melalui telapak tangannya, ini membuat semangat nona Han bangkit. Tiba-tiba terdengar suara keras.

'Tang!"

Ternyata nona Han berhasil memapas kipas besi di tangan An Tak. Sedang ujung pedang nona Han mengarah ke mata An Tak yang sebelah lagi.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan karena pedang itu tepat mengenai mata An Tak yang sebelah lagi. Seketika itu juga wajah An Tak berlumuran darah karena mata An Tak berdarah. Ia segera melompat pergi.

"Adik Eng, terima kasih," kata Siauw Hong sambil berdiri.

Saat nona Han dalam bahaya, untung jalan darah Kok Siauw Hong berhasil tertembus. Maka itu dia langsung menyalurkan lwee-kangnya ke tangan nona Han.

Nona Han pun memandang pemuda itu sambil tersenyum manis.  

-o-DewiKZ^~^aaa-o- Kedua muda-mudi itu sangat girang karena mampu melewati saat-saat kritis. Sesudah saling tersenyum Han Pwee Eng berkata pada Kok Siauw Hong dengan suara perlahan.

"Sayang si Rase Liar sudah kabur! Kalau begitu mari kita keluar untuk membantu Beng Teng!" kata Han Pwee Eng.

"Benar. Kita pun harus berterima kasih pada pemilik gubuk ini," kata Kok Siauw Hong.

Saat kedua muda-mudi itu keluar, Beng Teng masih bertarung melawan Chu Tay Peng. Sedangkan Kiauw Song Giam, orang tua yang dikira bisu dan tuli itu pun sedang bertarung melawan Lo Jin Cun dan Kim Hoat. Tetapi saat itu Kiauw Song Giam sudah berada di atas angin. Tidak lama lagi orang tua ini pasti bisa mengalahkan kedua lawannya itu.

Lwee-kang Kiauw Song Giam memang lebih tinggi dibanding kedua lawannya. Setelah An Tak masuk ke dalam kamar, secara tidak langsung An Tak telah memberi kesempatan pada Kiauw Song Giam untuk mengatur napasnya, hingga akhirnya dia bisa mengungguli kedua lawannya itu.

Lo Jin Cun mengira dengan ilmu pedangnya dan dibantu oleh Kim Hoat, dia akan berhasil membalas dendam. Tidak disangka sekarang mereka malah terdesak oleh Kiauw Song Giam. Kini kelihatan Lo Jin Cun mulai cemas. Dia berharap An Tak akan keluar membantu mereka. Tapi betapa kagetnya mereka karena di dalam kamar juga terdengar suara senjata beradu. Itu tandanya An Tak mendapat lawan yang setimpal juga. Tentu saja hal itu membuat Lo Jin Cun jadi bertambah cemas. Tak lama mereka malah mendengar jeritan kesakitan dari An Tak yang keluar dengan wajah berlumuran darah. Melihat hal itu mereka kaget bukan kepalang.

"Celaka mata An Tak buta!" teriak Kim Hoat.

Sekali pun buta An Tak memiliki gin-kang tinggi. Dia langsung kabur dengan mengandalkan pendengarannya.

"Angin kencang, cepat lari!" teriak An Tak dari luar. Baru saja suara An Tak sirna dari dalam kamar muncul

Kok Siauw Hong dan Han Pwee Eng. Betapa kagetnya Lo Jin Cun dan Kim Hoat. Saat itu pun terdengar suara bentakan Kiauw Song Giam.

"Tinggalkan senjata kalian, cepat enyah dari sini!" kata Kiauw Song Giam.

Mendadak Kiauw Song Giam menggerakkan garpunya, disusul oleh dua suara benturan keras. Ternyata dia berhasil memukul senjata kedua lawannya. Saat bergerak lagi, Lo Jin Cun dan Kim Hoat sudah ada dalam jinjingannya. Saat itu Song Giam seolah sedang menjinjing dua ekor ayam saja. Kemudian kedua orang itu dilemparkan keluar pagar gubuknya.

Sekali pun tubuhnya terlempar dan jatuh namun kedua orang itu tidak terluka Mungkin Kiauw Song Giam tidak ingin menanam permusuhan lebih dalam dengan mereka. Begitu bangun kedua orang itu langsung kabur terbirit-birit.

Chu Tay Peng pun berniat kabur, namun dia tidak seberuntung kedua orang tadi. Saat itu nona Han segera membentak. "Srigala tua ini sangat menyebalkan, jangan biarkan dia lolos!" kata si nona.

Setelah Chu Tay Peng berhasil mendesak Beng Teng hingga mundur, dia segera lari ke arah pintu gubuk. Tiba- tiba sebuah bayangan melesat dan menghadang di depannya.

Ternyata itu bayangan Kok Siauw Hong yang baru sembuh. Dengan sigap Kok Siauw Hong mampu menusuk jalan darah Chu Tay Peng dan menendang ke dalam lagi.

"Tinggalkan dia dulu, kita lihat keadaan Ci Toa-ko.

Sesudah itu baru kita urus dia!" kata nona Han.

Begitu melihat Han Pwee Eng muncul tertawalah Beng Teng.

"Nona Han, tidak kusangka kau ada di sini!" kata Beng Teng. "Ah, kau juga ada di sini Kok Siauw-hiap!"

Kemudian Beng Teng mengeluarkan Ci Giok Phang dari tumpukan rumput kering. Sesudah itu dia tarik tubuh Chu Tay Peng ke tumpukan rumput kering itu.

Wajah Ci Giok Phang kelihatan pucat-pasi. Matanya tertutup rapat Ketika dia disembunyikan di bawah tumpukan rumput kering dia jadi susah bernapas. Maka itu dia pingsan.

Kiauw Song Giam memeriksa nadi Ci Giok Phang. "Jangan cemas dia pingsan karena sesak napas ketika

disembunyikan di bawah tumpukan rumput kering. Kok Siauwhiap tolong kau lancarkan aliran darahnya!" kata Kiauw Song Giam.

Saat itu Kok Siauw Hong sedang melamun.

"Aku sudah bertemu dengan Giok Phang, tapi entah di mana Giok Hian?" pikir Kok Siauw Hong. "Benarkah dia ke Kang-lam bersama Seng Liong Sen? Tahukah Ci Toa-ko tentang kepergian adiknya itu? Jika dia tidak tahu, apakah aku harus memberitahunya?"

Mendengar permintaan Song Giam, dia tersentak kaget. "Benar aku harus segera menyadarkan Ci Giok Phang." pikir Siauw Hong.

Siauw Hong sudah tahu tentang Ci Giok Hian, Namun karena mereka telah memadu cinta bertahun-tahun, sudah tentu dia tidak bisa melupakannya begitu saja.

Segera dia gunakan Siauw-yang-sin-kang untuk melancarkan jalan darah Ci Giok Phang. Tak lama Ci Giok Phang pun sadar kembali. Saat sadar dia lihat nona Han bersama Kok Siauw Hong. Rupanya karena kaget dia tertegun dan melongo sejenak.

"Ci Kong-cu, untung ada Kok Siauw-hiap dan nona Han menolong kita. Apa kau bisa dengar kata-kataku?" kata Beng Teng.

"Terima kasih Siauw Hong, akhirnya kalian bisa bertemu juga!" kata Ci Giok Phang. "Tapi tahukah kalian ke mana perginya Giok Hian?"

Suara Giok Phang masih lemah, rupanya dia terpaksa bicara.

"Beristirahatlah dulu Ci Toa-ko," kata Kok Siauw Hong. "Sesudah kau agak sehat baru kita bicara!"

Tiba-tiba Kiauw Song Giam berkata. "Sekarang giliranku!" kata dia.

Dia pegang tangan Ci Giok Phang yang segera memejamkan matanya dan tertidur. Song Giam menggunakan ilmu istimewa hingga membuat Giok Phang tidur lelap, tetapi tidak membahayakan bagi Giok Phang. Dia angkat tubuh pemuda itu yang segera dibawa masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur.

"Dia akan tidur selama tiga jam. Kebetulan aku punya ginseng yang usianya sudah tua. Aku akan memasaknya, sesudah dia siuman akan kuberikan kepadanya." kata Song Giam.

Sesudah itu mereka meninggalkan kamar itu. Mereka berbuat begitu agar tidak mengganggu Giok Phang yang sedang tertidur lelap. Mereka lalu berbincang-bincang di halaman depan gubuk.

"Beberapa hari ini aku telah merepotkan Paman," kata Siauw Hong. "Tidak tahunya Paman adalah Bu-lim Cianpwee!"

"Paman, kau memiliki ilmu silat yang tinggi," menyambung Han Pwee Eng. "Kenapa Paman berpura- pura bisu dan tuli? Bahkan Paman hidup menyendiri?"

Sambil mengelah napas Kiauw Song Giam lalu berkata. "Aah, aku telah melakukan kesalahan pada salah satu

anak buah seorang Iblis Besar. Karena sadar tidak sanggup melawan Iblis Besar itu, aku terpaksa berpura-pura tuli dan bisu untuk menghindarinya. Namun, karena kejadian malam tadi itu, aku tidak bisa menghindar lagi darinya!" kata Kiauw Song Giam.

"Paman kami akan tutup mulut dalam masalah ini, tapi bolehkah kami tahu, siapa Iblis Besar itu?" kata Kok Siauw Hong.

Kiauw Song Giam menghela napas.

"Dia jarang muncul di Tiong-goan. Jika kuberi tahupun kalian  tidak  akan  mengetahuinya.  Sebab  jika  kuberi tahu juga kalian tidak akan mengenalnya!" kata Kiauw Song Giam. "Maka lebih baik tidak kuberitahu!"

Han Pwee Eng tersentak.

"Dia sudah muncul bahkan barangkali sudah ada di daerah sekitar sini!" kata nona Han.

Mendengar ucapan Han Pwee Eng kelihatan Song Giam sedikit kaget.

"Nona Han sudah tahu siapa dia, bahkan kau bilang orang itu sudah berkeliaran di sekitar tempat ini! Apa kau pernah bertemu dengannya?" kata Song Giam.

Kok Siauw Hong pun terkejut.

"Eh, Pwee Eng, dari mana kau tahu tentang itu?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar