Beng Ciang Hong In Lok Jilid 21

 
Jen Thian Ngo menarik napas lega sambil menggelengkan kepalanya dan berkata. "Tetapi hati ku tetap tidak tenang," kata Jen Thian Ngo. "Dia hanya seorang diri menerjang keluar dari kepungan musuh, entah dia selamat atau tidak, masih teka-teki! Kecuali kalian menemukan dia dan membawanya menemuiku, baru hatiku bisa tenang!"

"Pasti dia akan kami cari, tetapi sekarang kau dalam keadaan terluka parah. Setelah Lo Cian-pwee sembuh, baru kami akan cari dia!" kata Ci Giok Phang.

"Aah, gara-gara aku yang bodoh," keluh Jen Thian Ngo, "aku malah jadi menyusahkan Kok Siauw Hong, juga merepotkan kalian! Cepat kau ke markas Kay-pang, kalian jangan repot-repot mengurus aku!"

"Tidak bisa Lo-cian-pwee," kata Giok Phang.

Saat Jen Thian Ngo akan menunjukkan wajah pura-pura kecewa tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang ramai. Buruburu Ci Giok Phang memapah Jen Thian Ngo untuk bersembunyi, begitu juga Kong-sun Po dan yang lainnya. Tetapi setelah tentara Mongol itu lewat menuju ke selatan, baru mereka menarik napas lega. Ci Giok Phang mengira tentara Mongol itu sedang mengejar mereka. Tiba-tiba Kong-sun Po berseru. "Celaka!"

"Apa yang celaka?" tanya Kiong Mi Yun.

"Pasukan Mongol itu menuju ke Selatan, mungkin kota Lokyang sudah jatuh ke tangan mereka?" kata Kong-sun Po.

Saat mereka meninggalkan Lok-yang justru kota itu dalam bahaya. Sekarang sudah lewat seminggu, jika Lok- yang jatuh ke tangan musuh memang tidak mengherankan.

"Baru saja jalur jalan ini dilewati angkatan perang besar Mongol, mungkin masih ada pasukan Mongol yang akan lewat  di  sini!  Jika  kita  mengambil  jalan  ini  kita  akan bertemu dengan musuh, dan pasti kita akan menghadapi badai besar. Lebih baik, biar aku dulu yang pergi menyelidiki situasinya!" kata C i Giok Phang.

"Baik, kau pergilah. Biar aku yang menjaga Jen Lo Cianpwee, legakan hatimu!" kata Kong-sun Po.

Karena mereka harus menjaga Jen Thian Ngo terpaksa malam itu Kong-sun Po dan Kiong Mi Yun bermalam di hutan. Malam itu Kong-sun Po tetap mengobati Jen Thian Ngo dengan lwee-kangnya. Ini tentu membuat Jen Thian Ngo girang, karena tenaga dalam Kong-sun Po sangat bermanfaat baginya.

Keesokan harinya...

Ci Giok Phang kembali menemui mereka, bersamanya ikut seorang pengemis tua, salah satu hiang-cu di markas cabang Kay-pang di Lok-yang. Melihat pengemis tua itu  Jen Thian Ngo langsung bertanya.

"Bagaimana keadaan Lok-yang?"

"Aaah, tiga hari yang lalu kota Lok-yang jatuh ke tangan musuh!" kata pengemis itu. "Aku tidak mengira Jen Lo Cianpwee juga terluka parah di sini, oh jadi harus bagaimana baiknya?"

"Bagaimana keadaan Liok Pang-cu dan Lauw Hiang- cu?"

"Lauw Hiang-cu tewas saat pintu kota didobrak musuh, sedangkan Liok Pang-cu memimpin anggota Kay-pang menerjang keluar kota. Barangkali sekarang mereka sedang bersiap-siap menyeberangi sungai Huang-hoo untuk bergabung dengan Bu-lim Beng-cu Liu Li-hiap!" kata pengemis itu. Sekalipun Kong-sun Po, Ci Giok Phang dan Kiong Mi Yun baru bertemu sekali, mereka tahu Lauw Kan Lu sangat gagah. Tak heran mereka jadi berduka mendengar orang she Lauw itu telah binasa,

"Aku mendapat perintah dari Pang-cu untuk menghubungi kalian," kata pengemis tua itu. "Di tengah jalan aku mendapat keterangan...." Dia tidak meneruskan kata-katanya tapi mengawasi ke arah Jen Thian Ngo. "Bagaimana keadaan lukamu, Lo Cian-pwee?"

"Jangan hiraukan lukaku," kata Jen Thian Ngo, lebih baik pikirkan masalah yang lebih besar. Harta kita telah dirampok musuh dan kota Lok-yang sudah jatuh. Kau malah bilang harus bagaimana?"

"Menurutku sebaiknya kita bergabung saja dengan Liu Beng-cu!" kata Ci Giok Phang.

Kong-sun Po dan Kiong Mi Yun masih ingat pada nasihat Han Pwee Eng agar mereka bergabung dengan Bu- lim Bengcu Liu CengYauw.

"Benar, hanya itu satu-satunya jalan yang harus kita tempuh!" kata Kong-sun Po dan Kiong Mi Yun.

"Jika kita semua pergi dari sini, bagaimana nasib Kok Siauw Hong? Apa kita tidak mempedulikan tentang mati hidupnya dia?" kata Jen Thian Ngo mengeluh.

Hari itu dalam pertempuran Ci Giok Phang melihat sendiri bagaimana Kok Siauw Hong terpental dari kudanya, setelah dipanah oleh Taluwa, kemudian jatuh ke dalam lembah. Dia kira Kok Siauw Hong pasti mati, dan tidak mengira Jen Thian Ngo akan bicara begitu. Dia tidak berani berterus-terang, karena itu dia jadi bingung untuk memberi jawaban. "Pokoknya harus ada seorang yang tetap di sini untuk menyelidki keadaan Kok Siauw Hong, yang lain boleh pergi! Biar aku tetap di sini!" kata Jen Thian Ngo.

Kata-kata Jen Thian Ngo seperti bersungguh-sungguh mengkhawatirkan keadaan keponakannya, tetapi sebenarnya di balik kata-katanya itu, dia ingin segera menemui Chu Kiu Sek maupun See-bun Souw Ya, dua konconya itu. Dia akan membagi harta rampokan itu. Itu sebabnya dia membuat alasan akan tinggal di situ, setelah semua pergi dia akan menyusul kedua Iblis Tua itu.

"Jen Lo Cian-pwee, ini.. ..ini... " kata-kata Ci Giok Phang tersendat-sendat.

"Apa maksudmu? Cepat katakan! Apa kau pikir aku ini sudah tidak berguna lagi?" kata Jen Thian Ngo sambil mengerutkan dahinya

"Kau masih dalam keadaan terluka parah, biar aku saja yang mewakilimu mencari Saudara Kok..." kata Ci Giok Phang.

Tentu saja Jen Thian Ngo tidak setuju pada usul itu, malah dia berpikir.

"Sandiwara ini sudah berakhir sampai di sini, sekarang aku tidak perlu berpura-pura lagi," pikir Jen Thian Ngo.

"Hm! Kau jangan mencemaskan tulang tuaku. Walau aku sudah tua tidak berguna tetapi setelah diobati oleh Kong-sun Po, aku tidak akan mati. Kedua Iblis Tua itu juga sudah terluka. Jika mereka bertemu denganku, aku masih sanggup melawannya!" kata Jen Thian Ngo.

Sesudah berkata begitu dia dorong Ci Giok Phang. Tentu Ci Giok Phang terperanjat saat merasakan tenaga Jen Thian Ngo yang keras. "Oh, kiranya kau telah pulih," kata Ci Giok Phang.

Jen Thian Ngo tertawa. "Semua ini atas bantuan Kong- sun Po. Kong-sun Po telah mengorbankan lwee-kangnya sendiri untuk mengobati Jen Thian Ngo. Tetapi dia tidak mengira kalau luka Jen Thian Ngo akan begitu cepat pulihnya”.

"Lo Cian-pwee, kau terlalu memujiku," kata Kong-sun Po. "Jika bukan karena lwee-kang Lo Cian-pwee yang tinggi, pasti pulihnya tidak akan secepat itu!"

Jen Thian Ngo manggut.

"Nah, kalau begitu kalian boleh pergi dengan hati lega" kata Jen Thian Ngo.

"Baiklah," kata Ci Giok Hian. "Tapi Lo Cian-pwee, jika adikku Giok Hian datang, tolong suruh dia pergi ke tempat Bulim Beng-cu! Aku tidak tahu apa dia sudah pulang ke Pek-hoakok, atau pergi mencari Kok Siauw Hong?" kata Ci Giok Phang.

"Khabar buruk mengenai kematian Siauw Hong tetap harus aku rahasiakan, baik pada Jen Thian Ngo maupun pada adikku Giok Hian. Aku tidak mau kehilangan adikku!" pikir Ci Giok Phang.

"Baik," kata Jen Thian Ngo. "Aku kira mereka pasangan yang serasi. Saat aku mencari Kok Siauw Hong, tentu aku juga akan mencari adikmu! Legakanlah hatimu!"

Berangkatlah rombongan Ci Giok Phang. Setelah berada sendirian Jen Thian Ngo tertawa terbahak-bahak.

"Dasar bodoh, aku akan pergi mencari Chu Kiu Sek dan See-bun Souw Ya untuk meminta bagianku!" kata Jen Thian Ngo seorang diri.

-o-DewiKZ^~^aaa-o- Dikisahkan Ci Giok Hian dan Seng Liong Sen melanjutkan perjalanan mereka. Tetapi sayang arah perjalanan mereka salah, tidak heran jika mereka tidak bertemu dengan Ci Giok Phang.

Sikap Seng Liong Sen selama dalam perjalanan terhadap nona Ci sopan sekali. Di sepanjang perjalanan mereka tidak pernah membicarakan masalah pribadi. Ci Giok Hian sadar pemuda itu jatuh cinta kepadanya. Sekalipun demikian Ci Giok Hian merasa puas karena pemuda itu selain sopan juga ramah terhadapnya.

Saat mereka mendekati gunung Ciak-lo-san, mereka tidak melihat rombongan siapa pun, termasuk rombongan para pengemis yang mengantar harta karun itu. Ci Giok Hian mengira pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ci Giok Hian mengajak Seng Liong Sen untuk menemui pemimpin pejuang bangsa yang bermarkas di gunung itu. Pemimpin pejuang itu bernama Bong Cian (Mong Cian, Red). Begitu bertemu dan memberi hormat Ci Giok Hian memberi penjelasan maksud kedatangannya. Sesudah mendengar penjelasan dari Ci Giok Hian kelihatan pemimpin pejuang itu keheranan.

"Ada rombongan pembawa sumbangan, ah aku malah baru sekarang mendengarnya?" kata Bong Cian.

"Kay-pang mengantar harta sumbangan dari Nona Han, puteri Han Tay Hiong untuk para pejuang," kata Ci Giok Hian menjelaskan. "Itu benar sekali! Hari itu aku dengar murid Jen Thian Ngo yang bernama Ih Hoa Liong berkata pada Chu Kiu Sek, harta itu sudah dibawa dua hari yang lalu, jadi sampai sekarang sudah delapan hari!"

Bong Cian mengerutkan dahinya.

"Kalau begitu hari ini harta itu harus sudah sampai di sini" kata Bong Cian. "Ya. Tetapi sayangnya aku dengar pembicaraan muridnya dengan Chu Kiu Sek, mereka akan merampok harta itu! Malah katanya Jen Thian Ngo justru bersekongkol dengan musuh!" kata Ci Giok Hian lebih jauh.

Mendengar keterangan itu Bong Cian tertegun. "Beberapa hari ini keadaan sangat kacau, maka itu aku

juga  telah  mengutus   beberapa  orang  untuk   menyelidiki

keadaan, tetapi mereka bilang mereka tidak pernah bertemu dengan rombongan manapun termasuk rombongan para pengemis yang Nona katakan itu. Malah pasukan Mongol pun tidak bertemu dengan orang-orang yang kuutus mencari keterangan itu!" kata Bong Cian.

Baru saja Bong Cian selesai bicara muncul anak buahnya melapor.

"Kemarin di mulut lembah Ceng Liong muncul pasukan Mongol, malah terdengar suara pertempuran hebat!" kata si pelapor.

"Apa?" kata Bong Cian. "Jadi benar dugaan Nona Ci bahwa Jen Thian Ngo telah mengubah rute perjalanan harta itu. Jalan di tempat itu selain sempit dan curam juga sangat berbahaya. Jarang orang yang mau lewat jalan itu! Jelas ini kemauan Jen Thian Ngo yang hendak merampas harta itu" kata Bong Cian.

Ci Giok Hian dan Seng Liong Sen tersentak kaget.

"Hari ini banyak pasukan Mongol melewati jalan sempit itu, sedangkan jalan rayanya sudah tidak bisa dilalui lagi, itu berarti Lok-yang telah jatuh ke tangan musuh!" kata si pelapor. Mendengar laporan itu Bong Cian kaget bukan kepalang. Dia pemimpin pejuang di wilayah Ciak-lo-san, maka itu dia harus waspada terhadap serangan tentara Mongol.

"Kami harus segera mundur ke hutan, setelah keadaan aman baru kami akan mengutus orang untuk melakukan penyelidikan," kata Bong Cian pada Ci Giok Hian dan Seng Liong Sen.

Setelah mendengar berita itu mau rasanya Ci Giok Hian terbang ke lembah Ceng Liong untuk membantu kakaknya. Maka itu mereka buru-buru pamit.

"Kalian mau ke mana?" tanya Bong Cian.

"Aku akan ke lembah Ceng Liong untuk melihat keadaan di sana!" jawab Ci Giok Hian.

Mendengar jawaban itu Bong Cian kaget bukan kepalang.

"Mana bisa kalian ke sana, di sana banyak tentara Mongol!" kata Bong Cian. "Jumlah mereka banyak sekali!"

"Jangan khawatir kami akan berhati-hati," kata Ci Giok Hian.

"Kakak Nona ini juga ada di sana," kata Seng Liong Sen ikut bicara. "Dia diminta oleh Jen Thian Ngo untuk membantu mengawal harta itu!"

"Aku harus mencari Kakakku, apakah dia selamat atau tidak. Maka itu aku harus buru-buru ke sana, jika tidak bagaimana aku bisa tenang?" kata Ci Giok Hian.

"Kalau begitu baiklah," kata Bong Cian.

Dia membiarkan mereka pergi. Keduanya segera meninggalkan tempat itu menuju ke lembah Ceng Liong. Di tengah jalan Ci Giok Hian berkata pada kawan seperjalanannya. "Seng Toa-ko, kau mau menemani sampai di sini, aku senang sekali." kata Ci Giok Hian. "Aku sudah mengetahui pasti di mana Kakakku berada, maka kau harus segera ke Kang-lam untuk melapor pada Gurumu. Aku tidak ingin merepotkan kau lagi, biar aku pergi sendirian saja!"

"Nona Ci, aku tahu maksudmu! Kau tak ingin aku menghadapi bahaya, kan?" kata Seng Liong Sen sambil menatap ke arah nona Ci.

"Benar," kata Ci Giok Hian sambil manggut. "Tugasmu sangat berat. "

Tetapi Seng Liong Sen memutuskan kata-kata si nona. "Nona Ci, terima kasih atas perhatianmu padaku," kata

Liong Sen. "Tapi tidak bolehkah aku memikirkan kepentinganmu? Kau seorang gadis, jika kau sendirian mau ke sana, bagaimana hatiku bisa tenang? Kita kawan baik, maka itu aku harus pergi bersamamu sekalipun harus menghadapi bahaya maut! Kecuali jika kau anggap aku bukan sahabatmu. Tapi jika kau anggap aku sahabatmu mari kita pergi bersamasama!"

Mendengar ucapan itu hati nona Ci jadi terharu sekali.tanpa sadar dia meneteskan air matanya.

"Seng Toa-ko, kau sangat baik kepadaku tetapi aku tidak bisa membalas kebaikanmu itu!" kata Ci Giok Hian.

"Jika aku mengharapkan kebaikanmu, maka aku bukan termasuk sahabatmu lagi Nona Ci!" kata Seng Liong Sen dengan gagah. "Jika kau berpandangan begitu, kau telah meremehkan aku!”

Seng Liong Sen ini cerdas. Saat dia mendengar ucapan gadis itu, dia langsung tahu maksud gadis itu, nona Ci ingin mengatakan bahwa di hatinya telah ada pria lain. Dia langsung berpikir. "Jika ada kemauan dan tidak mudah putus asa, besi pun bisa diasah menjadi sebatang jarum. Saat ini aku belum bisa bersaing dengan pemuda idaman nona ini, tetapi kini paling tidak di hati gadis ini sekalipun sedikit sudah ada bayanganku?" pikir Seng Liong Sen.

Sesudah itu Ci Giok Hian tidak mencegah lagi, mereka berjalan bersama-sama menuju ke lembah Ceng Liong sesuai petunjuk dari anak buah Bong Cian. Begitu mereka sampai keadaan di lembah Ceng-liong tampak sepi. Jangankan pasukan Mongol atau pertempuran hebat, keadaan di sana sungguh sunyi sekali.

Padahal sudah ada niat mereka, begitu sampai mereka akan langsung bertarung melawan pasukan Mongol. Tetapi jangankan pasukan Mongol, rakyat dan orang biasa pun tidak mereka temui. Rupanya tentara Mongol hanya lewat saja di tempat itu, dan sekarang entah sudah ada di mana mereka itu.

Memang di tempat itu mereka menemukan banyak noda darah dan bekas pertarungan hebat. Selain itu mereka juga melihat banyak mayat tentara Mongol yang tergeletak di sana.Dengan perasaan tegang dan menahan bau mayat Ci Giok Hian memperhatikan mayat-mayat itu. Dia pikir siapa tahu di antara mayat itu terdapat mayat kakaknya. Namun untung dia tidak menemukannya

"Hai, di sana seperti ada orang!" kata Seng Liong Sen pada Ci Giok Hian.

Ketika diperhatikan Ci Giok Hian dan Seng Liong Sen mendengar suara rintihan orang. Suaranya sangat lirih. Mereka berlari ke arah suara rintihan itu. Mereka menemukan seseorang berada dalam semak. Orang itu terluka parah. Baik di tubuh dan tangan orang itu masih menancap anak panah. Orang itu sedang merangkak dan mencoba keluar dari dalam semak.

Seng Liong Sen menolongi orang itu, dia cabut anak panah yang ada di tangan dan tubuhnya lalu diberi obat bubuk yang dia bawa. Sesudah itu orang itu bertanya lirih.

"Siapa kalian, tak perlu kalian tolongi aku, aku merasa tidak akan bisa hidup lebih lama lagi..." kata orang itu.

"Aku Nona Ci, Kakakku bernama Ci Giok Phang, istirahatlah," kata Ci Giok Hian.

"Oh, kiranya kau adik Tuan Ci, tolong kau sampaikan pada Ketua Kay-pang harta yang kami kawal telah dirampok oleh Chu Kiu Sek dan See-bun Souw Ya yang dibantu tentara Mongol. " kata orang itu. "Jen Thian Ngo

pun terlukaparah. "

"Sudahlah, aku tahu semua itu," kata nona Ci.

Dia sudah tahu akal Jen Thian Ngo yang hendak berpurapura melindungi harta itu dari tangan See-bun Souw Ya dan Chu Kiu Sek. Semua itu sudah dia duga sejak awal.

Orang itu manggut-manggut.

"Legakan saja hatimu," kata Ci Giok Hian.

Tiba-tiba orang itu melengak dan pingsan. Kelihatan dia puas setelah bertemu dengan orang yang mungkin bisa menyampaikan laporannya pada ketua Kay-pang. Itu sebabnya karena terlalu banyak buang tenaga akhirnya dia pingsan.

Melihat orang itu pingsan Seng Liong Sen kaget, dia segera memeriksa jalan darah Hong-hu-hiat orang itu, kemudian dia kerahkan lwee-kangnya untuk menolongi orang itu. Usaha itu berhasil, namun Seng Liong Sen mengira orang itu tidak akan bertahan lama. "Nona Ci, cepat tanyakan padanya di mana Kakakmu berada?" kata Liong Sen.

"Kau mengenal Ci Giok Phang, kan? Di mana sekarang dia berada?" kata nona Ci pada orang itu.

"Dia.. .Dia selamat, sambil mendukung Jen Thian Ngo dia berhasil meloloskan diri dari bahaya!" kata orang itu.

Bukan main girangnya Ci Giok Hian saat itu, lalu dia bertanya lagi.

"Masih ada seorang lagi, dia bernama Kok Siauw Hong, bagaimana keadaan dia?" tanya Ci Giok Hian.

Orang itu menjawab tetapi sayang suaranya semakin lemah hingga hampir tidak terdengar oleh Ci Giok Hian.

"Dia datang bersama seorang pemuda dan seorang nona," kata orang itu dengan suara perlahan, "sayang Kok Siauw-hiap terkena panah musuh dan binasa! Sedang pemuda dan nona itu selamat dan berhasil menerjang  keluar dari kepungan tentara Mongol. "

Orang ini hanya kenal Kok Siauw Hong dan tidak kenal Kong-sun Po dan Kiong Mi Yun. Mendengar khabar itu tubuh Ci Giok Hian goyah hampir roboh. Seng Liong Sen kaget segera dia menyanggah tubuh nona Ci hingga tidak sampai terjungkal ke tanah.

"Benarkah itu?" menegaskan nona Ci pada orang itu. "Orang yang memanah Kok Siauw-hiap bernama

Taluwa!" jawab orang itu.

Taluwa perwira Mongol yang sangat terkenal dalam memanah. Dia pernah bertarung melawan anggota Kay- pang, sehingga orang itu tahu nama orang yang memanah Kok Siauw Hong. Saat Seng Liong Sen menahan tubuh Ci Giok Hian yang hampir roboh, tenaga dalamnya tidak tersalur lagi ke tubuh orang itu. Tak heran setelah memberitahukan nama panglima yang memanah Kok Siauw Hong orang itu pun roboh. Begitu mendengar keterangan orang itu Ci Giok Hian pingsan dalam rangkulan Seng Liong Sen. Pemuda itu kaget juga girang.

"Dia tidak pernah menyebut nama Kok Siauw Hong, saat orang itu mengatakan Kok Siauw Hong tewas terpanah oleh Taluwa dia pingsan. Itu berarti kekasih nona Ci adalah Kok Siauw Hong!" pikir Seng Liong Sen.

Sekalipun Seng Liong Sen murid perguruan lurus, namun sejak kecil dia berada dekat dengan Beng Cit Nio maupun Seng Cap-si Kouw. Tentu saja sifat jahat kedua wanita itu sedikitnya menempel juga pada pemuda ini. Maka itu ketika nona Ci tak sadar dan jatuh ke pelukannya dia girang sekali.

Selang beberapa saat Ci Giok Hian sadar dari pingsannya. Saat nona Ci belum sadar benar dia merasakan ada sepasang tangan yang kuat memeluk tubuhnya, maka dia berteriak.

"Siauw Hong! Siauw Hong!" kata nona Ci.

Mendengar nona Ci memanggil-manggil nama Kok Siauw Hong, timbul rasa cemburu di hati Seng Liong Sen. Tetapi tiba-tiba pemuda itu terkejut bukan main.

"Ah, keterlaluan! Kok Siauw Hong mati terpanah oleh musuh tetapi aku tidak ikut bersimpati malah cemburu. Kalau begitu aku ini orang yang bertabiat rendah. Aah, selama ini aku selalu berbuat jujur, mengapa aku jadi berubah? Oh, aku sungguh tidak tahu malu, cemburu pada orang yang telah meninggal!" pikir Seng Liong Sen. Dalam dada Seng Liong Sen timbul pergumulan antara yang baik dan buruk. Tentu saja ini membuat pemuda itu merinding, akhirnya kesadarannya jernih kembali. Sesudah itu dia tepuk bahu Ci Giok Hian serta berkata dengan suara lembut.

"Nona Ci ini aku bukan Siauw Hong! Sadarlah nona!" kata Liong Sen.

Bayangan Kok Siauw Hong di depan mata Ci Giok Hian dalam sekejap sirna, sekarang nona Ci sadar saat itu dia berada di pelukan pemuda lain. Hatinyajadi pedih sekali. "Aaah, kiranya kau bukan Siauw Hong... Sulit rasanya aku bisa bertemu lagi dengannya..." kata Ci Giok Hian lirih.

Tahu kalau dia sedang ada dalam pelukan Seng Liong Sen nona Ci jadi malu sekali. Tiba-tiba dia membentak.

"Lepas.. .Lepaskan aku!" kata Ci Giok Hian.

Seng Liong Sen dengan lembut memapah nona Ci ke bawah sebuah pohon, sesudah nona itu didudukkan dia berkata lembut.

"Nona Ci, orang yang telah meninggal tidak akan bisa hidup kembali. Tetapi kita yang masih hidup harus berusaha agar tetap hidup untuk menuntut balas bagi orang yang telah meninggal. Kau juga harus menjaga kesehatanmu, Nona!" kata Seng Liong Sen.

Ci Giok Hian seorang gadis yang pembawaannya tenang, tetapi kali ini karena pukulan atas batinnya terlalu berat, hingga membuat dia tidak tahan. Dia buka matanya menatap dengan kosong, lalu mengawasi ke arah Seng Liong Sen. Selang sesaat baru dia bicara. "Ucapanmu benar," kata nona Ci, "aku memang harus menuntut balas. Tetapi entah bagaimana caranya aku harus menuntut balas?"

Seng Liong Sen menatapnya.

"Nona Ci kuucapkan terima kasih padamu karena kau telah menganggap aku sahabatmu, masalahmu juga sekarang menjadi masalahku. Aku akan membantumu sekuat tenagaku. Tetapi ini bukan dendam pribadi, karena sekalipun kau berhasil membunuh Taluwa, namun itu tidak terhitung telah menuntut balas!" kata Seng Liong Sen.

Ci Giok Hian mengangguk.

"Kau benar, musuh kita adalah bangsa Mongol!" kata Ci Giok Hian.

"Untuk mengatur rencana, lebih dulu kita harus mencari tempat untuk meneduh," kata Seng Liong Sen. "Sesudah itu baru kita susun sebuah rencana untuk menuntut balas!"

"Yaah, kini aku tidak punya ide apa pun. Menurutmu kita mau ke mana?" kata Ci Giok Hian sambil mengeluh.

Saat itu tiba-tiba terdengar ringkikan suara kuda tak lama kelihatan dua ekor kuda berlari ke arah mereka. Ci Giok Hian mengira itu tentara Mongol, dia segera bangkit sekaligus menghunus pedangnya sambil membentak sengit.

"Kebetulan kalian datang! Sebelum aku membalas dendam yang besar lebih baik yang kecil dulu!" kata Ci Giok Hian.

Kedua ekor kuda itu tersentak mendadak berhenti. Ternyata penunggang kuda itu orang Han. Mereka berdua segera melompat dari atas kuda.

"Eh, bukankah kau ini Nona Ci?" kata salah seorang dari mereka. "Kau mau membalas dendam apa?" Mata nona Ci terbelalak.

"Oh, ternyata kau Paman Yo dan Paman Tu!" kata Ci Giok Hian kaget dan girang. "Aku kira tadi kalian berdua orang Mongol!"

Dua orang itu memang anak buah Bu-lim Beng-cu Liu Ceng Yauw, yang satu bernama Yo Kuang dan seorang lagi bernama Tu Hok.

Ketika Kok Siauw Hong bertarung melawan Kim-to Lui Piauw di Lembah Pek-hoa-kok, Tu Hok dan Yo Kuang yang melerai pertarungan itu. Lalu sambil menunjukkan panah Lioklim waktu itu mereka mengundang semua orang yang ada di Pek-hoa-kok untuk bersama-sama menemui Bu- lim Beng-cu Liu Ceng Yauw. Itu sebabnya Ci Giok Hian jadi kenal pada kedua orang Han itu.

Seng Liong Sen pun pernah datang ke tempat Bu-lim Bengcu Liu Ceng Yauw, dan bertemu dengan kedua orang itu. Seng Liong Sen langsung bertanya.

"Ada urusan apa Paman berdua datang ke Lok-yang hari ini?" kata Liong Sen.

"Seng Siauw-hiap kebetulan kau ada di sini," kata Yo Kuang. "Terus terang aku ke mari justru sedang mencarimu!"

"Nona Ci ternyata kau kenal Seng Siauw-hiap, tetapi entah di mana Kok Siauw Hong berada. Apa kau tahu?" kata Tu Hok.

Tentang putusnya pertundangan antara Han Pwee Eng dan Kok Siauw Hong mereka berdua tahu, itu gara-gara pemuda she Kok mencintai nona Ci. Tetapi mereka heran sekarang Ci Giok Hian berjalan bersama Seng Liong Sen. Mendengar pertanyaan Tu Hok itu nona Ci tidak tahan untuk tidak menangis.

"Siauw Hong.... Dia... .Dia. "

"Dia telah meninggal," Seng Liong Sen meneruskan katakata Ci Giok Hian yang tidak tuntas.

Mendengar keterangan itu Yo Kuang dan Tu Hok terperanjat bukan kepalang.

"Apa? Kok Siauw Hong meninggal? Apa dia meninggal dalam pertarungan kemarin di lembah Ceng Liong?" kata Tu Hok.

Seng Liong Sen mengelah napas panjang, dia kelihatan sangat terharu.

"Ini kejadian di luar dugaan," kata Yo Kuang. "Coba saja kalian bayangkan, Jen Thian Ngo yang terkenal sebagai tokoh tua Persilatan, justru bersekongkol dengan See-bun Souw Ya dan Chu Kiu Sek. Mereka merampok harta yang akan disumbangkan untuk para pejuang yang dikawal oleh Kay-pang. Malah dia juga telah mencelakakan Kok Siauw Hong, keponakannya!"

Seng Liong Sen lalu menceritakan apa yang diketahuinya dari Ci Giok Hian, sekalipun sedang berduka nona Ci ikut mmberi penjelasan.

Kelihatan Yo Kuang gusar bukan kepalang.

"Kejadian ini telah membuka kedok kejahatan Jen Thian Ngo!" kata Yo Kuan. "Kejadian ini ada buruknya tetapi juga ada baiknya. Kami pasti tidak akan melepaskan Jen Thian Ngo! Tetapi saat ini kita harus kesampingkan dulu masalah itu, karena aku akan bicara masalah kita!"

"Benar, justru aku ingin bertanya pada Paman berdua, ada apa kalian ke mari?" kata Liong Sen. "Kami datang untuk mencari keterangan tentang kota Lokyang, sekalian akan mencari Han Tay Hiong untuk mengadakan hubungan dengannya!" kata Yo Kuang.

Seng Liong Sen sejak pergi dari tempat Kouw-kouwnya, dia sudah tidak mengetahui lagi perkembangan tentang Han Tay Hiong. Sebenarnya dia ingin menceritakan keadaan Han Tay Hiong yang sudah menjadi orang cacat pada Yo Kuang. Tetapi Seng Liong Sen berpikir jika Tu Hok dan Yo Kuang menemukan Han Tay Hiong yang sudah cacat, itu pasti sudah tidak ada gunanya. Ditambah lagi jika dia menceritakannya pasti kedua orang ini akan bentrok dengan kedua kouwkouwnya. Oleh karena itu dia tidak banyak cerita, dan hanya menceritakan bahwa rumah Han Tay Hiong musnah terbakar.

Mendengar keterangan itu Tu Hok menghela napas panjang.

"Tidak disangka, Han Lo Eng-hiong bisa mengalami kejadian seperti itu? Mudah-mudahan dia selamat! Baik, mari kita bicara mengenai masalahmu!" kata Tu Hok.

"Kenapa Paman mencariku?" kata Seng Liong Sen. "Bukan   kami   yang   mencarimu,   tetapi   gurumu yang

meminta  agar  kau  segera  kembali  ke  Kang-lam.  Kami

hanya menyampaikan pesan beliau saja!" kata Tu Hok.

Seng Liong Sen terkejut.

"Saat Suhu memberi tugas padaku dia tidak memberi batas waktu. Kenapa mendadak Suhu menyuruhku kembali? Apakah Kang-lam..." Seng Liong Sen tidak meneruskan kata-katanya.

"Kau benar," kata Tu Hok ”sekarang api sudah menjalar ke Kang-lam!" Keterangan itu membuat Seng Liong Sen terperanjat.

"Tentara Mongol baru menduduki Lok-yang, bagaimana bisa begitu cepat mereka sudah ada di daerah Kang-lam?" kata Seng Liong Sen.

"Bukan! Bukan tentara Mongol yang ke Kang-lam, tetapi para pengkhianat yang akan menyambut kedatangan tentara Mongol dari sebelah dalam. Sekarang para pengkhianat itu sudah berada di tepi sungai Tiang-kang (Cang-ciang), mereka dipimpin oleh See Thian Cin!" kata Tu Hok.

Mendengar keterangan itu Seng Liong Sen menarik napas lega

"Oh, yang memimpin mereka See Thian Cin, kalau begitu tidak terlalu masalah," kata Seng Liong Sen.

See Thian Cin dikenal sebagai pemimpin di Telaga Tayouw. Karena kejahatannya yang kelewat batas itu dia diusir oleh Ong Kan Teng, ketua tigabelas perkumpulan di Telaga Tay-ouw. Itu sebabnya Seng Liong Sen meremehkan orang itu.

"Seng Siauw-hiap, kepandaian See Thian Cin tidak jauh berbeda dengan Ong Kan Teng, maka kau jangan menganggap remeh padanya," kata Yo Kuang serius. "Ditambah lagi baru-baru ini dia didukung oleh tentara Mongol. Dengan demikian dia mampu membeli kuda cukup banyak dan menarik para jago dari Rimba Hijau untuk bergabung dengannya. Aku dengan para jago dari Rimba Hijau itu menurut kepadanya. Tidak heran jika sekarang kekua-tannyajadi bertambah besar. Ada kemungkinan kekuatan dia sekarang sudah melebihi kekuatan Ong Kan Teng." Setelah mengawasi ke arah Seng Liong Sen, Yo Kuang melanjutkan keterangannya.

"Kali ini dia memanfaatkan kesempatan saat pasukan Mongol sedang menyerang ke daerah Tiong-goan (Tiongkok), maka secara resmi dia menerima perintah dari perwira Mongol. Maka itu dia unjuk gigi dan berani melintasi daerah Ong Kan Teng. Tampaknya dia telah siap untuk menguasai Kang-lam!" kata Yo Kuang.

"Walaupun pasukan Mongol masih jauh dari Kang-lam," Tu Hok menambahkan. "Namun sudah ada utusan Mongol di tempat See Thian Cin, maka itu sekalipun pasukan Mongol belum tiba, tetapi sudah berkeliaran mata-mata bangsa Mongol!"

"Daerah perbatasan Lam Song (Song Selatan, Red) sudah mulai dikuasai oleh bangsa Mongol!" kata Yo Kuang menambahkan. "Rupanya pihak Mongol telah mengutus beberapa jenderal besarnya, mereka berpura-pura menghubungi pihak Lam Song untuk berdamai dan mengatakan ingin menyerbu ke daerah Kim (bangsa Tartar). Dngan alasan itu bangsa Mongol kini sudah mulai memasuki daerah Shan-lam, kemudian masuk ke daerah Coan-pak (Seecoan Utara, red), itu berarti mereka menguasai daerah Lam Song!" kata Yo Kuang.

Liong Sen mengangguk-angguk.

"Celakanya pihak Lam Song tidak mengetahui pasukan Mongol menuju ke arah mana?" kata Yo Kuang lagi. "Mereka hanya mengetahui bahwa pihak Mongol katanya ingin memusnahkan Kerajaan Kim, padahal sebaliknya justru ingin menghancurkan Kerajaan Song Selatan. Tidak heran jika para pejabat di Lam Song mulai was-was, malah sudah banyak pejabat yang mengungsi. Saat ini Song Selatan  sangat  lemah.  Hanya  para  pejuang  yang  masih melawan tentara Mongol. Maka itu Suhumu sebagai Bu-lim Bengcu di daerah Kang-lam, secara tidak langsung beliau juga pemimpin para pejuang memikul beban yang tidak kecil!"

Seng Liong Sen mengelah napas panjang.

"Aaah, tidak kusangka hanya lewat beberapa bulan di daerah Kang-lam telah terjadi perubahan besar!" kata Seng Liong Sen

"Saat kami akan pergi, datang Suhumu menemui Bu-lim Beng-cu Liu Ceng Yauw, mereka lalu  berunding. Kemudian mereka menyuruh kami mencarimu dan memintanya agar segera kembali!" kata Yo Kuang.

"Terima kasih pada Paman berdua," kata Liong Sen. "Keadaan Kang-lam sudah gawat, aku pasti akan segera kembali!"

"Nah kalau begitu kami pamit, kami masih harus ke Ciak-losan," kata Yo Kuang.

Keduanya lalu berangkat menuju ke Ciak-lo-san.

Sesudah kedua orang itu pergi, Seng Liong Sen berkata pada Ci Giok Hian.

"Nona Ci, bukankah rumahmu dekat kota Yang-cou?" kata Liong Sen.

"Ya, dan tak jauh dari daerah Cai-ciok-ki," kata Giok Hian.

"Kalau begitu, rumahmu pun tidak akan luput dari serangan See Thian Cin, sebab dengan menyeberangi  sungai Tiangkang, tidak jauh sudah tempat tinggalmu!" kata Seng Liong Sen.

Ci Giok Hian menghela napas panjang. "Rupanya bangsa Mongol ingin menguasai seluruh Tionggoan, tidak heran jika mereka pun akan menyerang Pek-hoakok!" kata Ci Giok Hian.

Walau mulutnya berkata begitu hati Ci Giok Hian sebenarnya cemas bukan main, sebab Pek-hoa-kok tempat tinggal leluhurnya.

Pemuda she Seng ini memanfaatkan kesempatan ini. Dia berkata dengan tenang.

"Nona Ci, Kakakmu belum diketahui rimbanya, mungkin dalam waktu singkat sulit kita menemukannya," kata Seng Liong Sen. "Untung dia telah lolos dari bahaya, kelak kalian akan berkumpul kembali. Sementara kau belum tahu mau ke mana, bagaimana jika kita ke rumahmu untuk menyelidikinya Siapa tahu Pek-hoa-kok  telah musnah di tangan musuh. Jika itu benar terjadi lebih baik kau ikut aku ke Kang-lam. Sesudah berhasil mengusir pasukan Mongol, aku pasti akan mengantarmu pulang. Jika kau ikut aku ke Kang-lam kau bisa menyumbangkan tenagamu yang berharga!"

Sebenarnya Ci Giok Hian bukan tidak punya tujuan. Ke gunung Kim-kee-leng justru tujuan yang tepat. Di sana ada Liu Ceng Yauw dan di tempat ini mudah dia memperoleh keterangan keberadaan kakaknya. Tetapi dia merasa tidak enak kalau dia bertemu dengan kedua pelayan tua Han Tay Hiong. Mereka mungkin masih memusuhinya. Maka itu Ci Giok Hian enggan ke Kim-kee-leng. Ditambah lagi Ci Giok Hian juga rindu pada rumahnya. Maka setelah berpikir sejenak Ci Giok Hian akhirnya mengangguk.

"Baiklah," kata Ci Giok Hian.

Bisa dibayangkan bertapa senangnya Seng Liong Sen ketika itu. Saat itu Ci Giok Hian mengira Kok Siauw Hong telah meninggal. Nona Ci menilai Seng Liong Sen sebagai pria sejati, mau tidak mau kesan baiknya terhadap pemuda ini bertambah. Rasa dukanya kehilangan Kok Siauw Hong lambat laun berkurang dan bergeser pada pemuda ini.

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Sebenarnya Kok Siauw Hong tidak terkena panah yang dilepaskan oleh Taluwa Yang benar anak panah itu mengenai kuda tunggangannya. Memang benar dia terpental dan jatuh ke dalam lembah yang cukup dalam. Kejadian itu dilihat oleh Ci Giok Phang dari jarak yang cukup jauh. Tidak heran jika Ci Giok Phang tidak melihatnya dengan jelas, dia mengira Kok Siauw Hong terpanah oleh Taluwa hingga jatuh ke dalam lembah dan binasa di sana.

Semula Kok Siauw Hong pun mengira dia akan binasa, tetapi karena kemauan hidupnya yang kuat membuat dia tidak putus asa Saat tubuhnya melayang ke dalam lembah, dia gunakan gerakan burung walet, hingga saat meluncur jatuh, kecepatannya jadi berkurang banyak sekali. Sungguh kebetulan saat jatuh tubuh Kok Siauw Hong tepat jatuh di tanah yang lembek, tidak heran tulang-tulangnya tidak patah atau remuk.

Kok Siauw Hong langsung pingsan beberapa saat lamanya saat siuman ternyata dia tidak mengalami luka yang fatal. Segera dia duduk bersila untuk menghimpun tenaga dalamnya. Baru saja Kok Siauw Hong selesai menghimpun kekuatan dan tenaga dalamnya, dia mendengar suara hirukpikuk, disusul oleh derap kaki kuda yang semakin lama semakin menjauh dari tempat dia jatuh tersebut. Dia langsung menerka bahwa derap kaki kuda yang hiruk-pikuk itu pasti derap kaki kuda angkatan perang Mongol yang sedang meninggalkan lembah Naga Hijau atau lembah Ceng Liong.

Kok Siauw Hong mengelah napas panjang.

"Ah, barangkali harta Paman Han itu sudah diangkut oleh tentara Mongol. Mudah-mudahan Paman Jen dan Ci Giok Phang bisa meloloskan diri dari kepungan musuh! Aku kira derap kaki kuda itu menuju ke arah Barat, kenapa mereka tidak kembali ke arah Lok-yang?" pikir Kok Siauw Hong.

Sesudah itu Kok Siauw Hong bangun lalu berjalan menuju sebuah parit. Di sana dia mandi dan mencuci pakaiannya, lalu menangkap beberapa ekor ikan yang segera dia bakar untuk mengisi perutnya.

Sesudah pakaiannya kering dan perutnya kenyang Kok Siauw Hong lalu mencoba merayap naik ke atas. Sekalipun kung-funya tinggi tapi karena tebingnya curam dan tinggi, dia merayap dengan perlahan dan hati-hati. Selain curam tebing itu pun licin. Jika kurang hati-hati dia akan tergelincir dan celaka.

Saat Kok Siauw Hong baru merayap sampai di tengah tebing, tiba-tiba dia mendengar suara ringkikan kuda, kelihatan tiga ekor kuda sedang lewat di atas tebing itu. Ketika Kok Siauw Hong akan berteriak minta tolong, tiba- tiba dia sadar, bagaimana jika mereka itu tentara Mongol? Begitu yang ada dalam benak Kok Siauw Hong. Maka itu Kok Siauw Hong tidak jadi berteriak minta tolong.

Tiba-tiba salah seorang dari ketiga penunggang kuda itu bicara "Apa yang aku katakan itu benar," kata dia. "Semua harta Han Tay Hiong telah dirampok oleh tentara Mongol. Aaah, entah bagaimana keadaan Guruku?" Mendengar kata-kata itu bukan main girangnya Kok Siauw Hong. Dia yakin bahwa ketiga orang itu termasuk kawankawan seperjuangannya bukan musuh. Kok Siauw Hong menarik napas lega. Pada saat dia akan menggunakan ilmu Coan-im-jip-pek (Umu menyampaikan suara dari jarak jauh), dari rombongan itu seorang lagi ikut bicara

"Saudara Ih, bukankah Kok Siauw Hong itu keponakan Gurumu?" kata orang itu. "Aku yakin dia tidak akan mencelakakan Gurumu!"

Mendengar sampai di sini Kok Siauw Hong membatalkan niatnya minta tolong.

"Benar," kata orang yang dipanggil saudara Di. "Tetapi bocah itu bersekongkol dengan bangsa Mongol, itu sebabnya guruku tidak akan menghiraukan hubungan antara paman dan keponakan!"

Mendengar kata-kata ini Kok Siauw Hong bertambah kaget, dia tahu bahwa yang bicara itu murid Jen Thian Ngo yang bernama Ih Hua Liong.

"Eh, kenapa Ih Hua Liong ingin mencelakakan aku?" pikir Kok Siauw Hong. "Dia memfitnahku sebagai pengkhianat yang bersekongkol dengan bangsa Mongol?"

Kok Siauw Hong menahan napas tidak berani bersuara sampai ketiga penunggang kuda itu berlalu dari tempat itu. Kok Siauw Hong tahu orang yang tadi naik kuda adalah Ih Hua Liong, murid tertua pamannya Jen Thian  Ngo bersama dua orang kawannya entah siapa. Dengan Ih Hua Liong sendiri Kok Siauw Hong tidak pernah bertemu.

"Ih Hua Liong jahat sekali dia memfitnah aku, untung tadi aku belum memanggilnya," pikir Kok Siauw Hong. "Jika aku minta tolongpun pasti mereka tidak akan menolongiku, malah mungkin akan menimpah aku  dengan batu dari atas!Heran, setahuku aku tidak pernah bermusuhan dengannya, lagi pula dia tidak kenal aku. Dia hanya mengetahui bahwa aku keponakan Paman Jen Thian Ngo. Mengapa hatinya begitu jahat?"

Saat itu Kok Siauw Hong kebingungan dan tidak habis pikir. Tetapi tiba-tiba dia tersentak sedikit kaget.

"Aah, kalau begitu apa yang dilihat Kiong Mi Yun di rumah Paman Han ada benarnya. Paman Jen katanya membongkar semua peti di rumah Paman Han. Dia mencari harta milik Paman Han. Ini jelas membuktikan bahwa Paman Jen bukan orang baik. Jeleknya dia juga menuduh Paman Han yang bersekongkol dengan bangsa Mongol. Mengapa jadi begini?" pikir Kok Siauw Hong yang mulai sadar ada suatu teka-teki yang belum terungkap.

Kok Siauw Hong ingat saat menyaksikan Jen Thian Ngo terluka ketika bertarung melawan See-bun Souw Ya dan Chu Kiu Sek, dia merasa kasihan pada pamannya itu.

"Aaah, kenapa aku berperasangka buruk terhadap  Paman Jen yang begitu gagah mempertahankan harta yang dikawalnya? Apakah Paman Jen masih hidup atau sudah mati, aku juga belum tahu bagaimana nasibnya? Tadi Ih Hua Liong memfitnah aku bersekongkol dengan bangsa Mongol. Hal ini tentu saja patut dicurigai, pasti bukan Paman Jen. Barangkali tidak ada hubungannya dengan Paman Jen?" pikir Kok Siauw Hong.

Kok Siauw Hong mulai merayap lagi ke atas, kecurigaan Kok Siauw Hong pada pamannya hanya selintas dalam benaknya, sesudah itu lenyap. Selang sesaat Kok Siauw Hong akhirnya berhasil mencapai puncak tebing, lalu dia melompat ke atas.

Sampai di atas dia menarik napas panjang, kemudian memandang jauh ke depan. Kelihatan ketiga penunggang kuda itu menuju ke arah barat. Samar-samar Kok Siauw Hong melihat penunggang kuda itu terdiri dari dua orang lelaki dan seorang wanita

"Eh, entah siapa yang berjalan bersama Ih Hua Liong itu? Tetapi aku yakin mereka berdua para pendekar sejati! Aku harus berusaha mencegah pemuda dan pemudi itu terjebak oleh akal licik Ih Hua Liong. Maka itu aku harus menyelidiki mereka hingga semua jadi jelas...." pikir Kok Siauw Hong.

Saat Siauw Hong sedang berpikir akan menyelidiki Ih Hua Liong dan kedua temannya mendadak terdengar derap kaki kuda. Kuda itu mendadak keluar dari dalam hutan. Ketika diawasi ternyata itu Siauw-pek-liong, kuda istimewa milik Kok Siauw Hong. Kuda itu mengibas-ngibaskan ekornya sambil mendekati majikannya. Kelihatan kuda itu sangat girang bertemu kembali dengan majikannya.

Siauw-pek-liong kuda terlatih. Sejak kehilangan majikannya yang terjatuh ke lembah, kuda itu tidak pergi jauh tapi bersembunyi di hutan. Begitu melihat majikannya muncul dia pun berlari menghampirinya. Kok Siauw Hong girang.

"Ah, kebetulan ada Siauw-pek-liong, dengan demikian aku bisa menyusul mereka!" pikir Kok Siauw Hong.

Ketika melihat panah yang menancap di tubuh kuda itu, Kok Siauw Hong segera mencabut anak panah itu. Kemudian lukanya diobati. Baru sesudah itu dia naiki kuda itu. Sekalipun kuda itu terluka tetapi kuda itu bisa berlari cepat.

Ketika matahari sudah mulai condong ke barat, tanda sore telah menjelang, Kok Siauw Hong berhasil menyusul ketiga penunggang kuda itu. Mereka tertegun karena tiba- tiba ada yang mengejar mereka. "Sahabat bertiga, aku harap tunggu sebentar!" kata Kok Siauw Hong.

Ketiganya langsung menghentikan kuda mereka, Ih Hua Liong langsung bertanya.

"Siapa kau? Mengapa kau mengejar kami?" kata Ih Hua Liong.

Dari suaranya Kok Siauw Hong tahu itulah suara orang yang memfitnah dia, berarti itu adalah Ih Hua Liong murid tertua pamannya. Sedang lelaki dan wanita itu teman Ih Hua Liong, baru berumur kurang lebih tigapuluh tahun, barangkali mereka itu suami-isteri. 

"Kak Hu," kata yang wanita perlahan pada kawannya, "kita sedang mencari orang yang bisa menceritakan kejadian di lembah Ceng-liong. Barangkali orang ini salah seorang yang lolos dari kematian di lembah itu. Sebaiknya kita bertanya padanya."

Pakaian Siauw Hong robek-robek, malah masih kelihatan bekas noda darah. Ditambah lagi Kok Siauw Hong pun membawa-bawa sebilah pedang. Barangsiapa yang melihatnya akan menduga bahwa Kok Siauw Hong baru saja bertarung.

"Benar, saat itu aku ikut membantu pihak Kay-pang akan mengantarkan harta ke gunung Ciak-lo-san, tetapi di tengah perjalanan harta itu dirampok oleh tentara Mongol. Aku berhasil lolos dan akan pergi memberi laporan pada Kay- pang. "

Lelaki yang berjalan bersama Ih Hua Liong tertegun mendengar cerita Kok Siauw Hong itu. Dia  mengawasi Kok Siauw Hong, lalu mengawasi ke arah Ih Hua Liong. Kemudian dia berkata pada Ih Hua Liong. "Saudara Ih, apakah kau kenal dengan dia?" kata pria yang bersama isterinya itu.

Ditanya begitu Ih Hua Liong tidak langsung menjawab.

Rupanya kedua suami isteri ini bertemu Ih Hua Liong di tengah jalan. Barangkali Ih Hua Liong mengaku bahwa dia salah seorang yang mengawal harta itu dan berhasil lolos dari kepungan tentara Mongol. Sekarang masalahnya, jika Ih Hua Liong mengatakan dia tidak kenal kepada Kok Siauw Hong, sudah jelas ini akan menimbulkan kecurigaan pada suami isteri tersebut. Tadi saat baru bertemu Ih Hua Liong sudah langsung menegur Kok Siauw Hong dengan pertanyaan "siapa kau", berarti dia tidak kenal pada Kok Siauw Hong.Ini suatu bukti bahwa salah seorang apakah itu Ih Hua Liong atau Kok Siauw Hong, pasti telah berbohong kepada suami isteri yang sekarang mulai curiga itu.

Ih Hua Liong yakin kalau suami isteri itu akan mempercayai dia, sebelum menjawab pertanyaan suami wanita itu dia berpikir.

"Aku tidak peduli apakah dia bohong atau bicara sebenarnya, lebih baik kuhajar dulu dia!" pikir Ih Hua Liong.

Tiba-tiba Ih Hua Liong tertawa dingin sambil menatap ke arah Kok Siauw Hong.

"Hm! Tadi kau bilang kau ikut mengawal harta dan membantu pihak Kay-pang, apa benar?" kata Ih Hua Liong sinis.

"Benar! Apa kau kira aku bohong?" kata Kok Siauw Hong.

"Tahukah kau siapa aku ini?" tanya Ih Hua Liong. Kok Siauw Hong tertawa. "Dulu memang aku tidak kenal kau, tetapi sekarang aku tahu siapa kau?" kata Siauw Hong.

Ih Hua Liong tertegun oleh kata-kata Kok Siauw Hong itu karena mengandung sindiran yang tajam.

"Dulu kau tidak mengenal dia? Kalau begitu, dalam rombonganmu itu kau tidak melihat dia?" kata wanita itu pada Kok Siauw Hong.

"Benar, aku tidak pernah melihat dia!" jawab Kok Siauw Hong.

Ih Hua Liong tertawa dingin.

"Kalau begitu cepat kau katakan, siapa yang kau kenal dalam rombongan pengantar harta itu?"

"Tentu saja banyak orang terkenal yang mengawal harta itu. Di antaranya Jen Thian Ngo, Ci Giok Phang, Kong-sun Po dan Kok Siauw Hong!"

Ih Hua Liong mendengus.

"Hm! Jadi kau kenal pada Kok Siauw Hong, bagus! Bagus sekali! Belum dipukul kau sudah mengaku!" kata Ih Hua Liong.

Maksud kata-kata Ih Hua Liong itu dengan tujuan ingin mengatakan, bahwa orang yang kenal dengan Kok Siauw Hong berarti orang itu bukan orang baik-baik. Tetapi Kok Siauw Hong pura-pura tdak mengerti saja.

"Kau kenal Kok Siauw Hong justru aku sedang mencarinya! Pasti kau pun tahu dia ada di mana?" kata Kok Siauw Hong.

"Bagus! Kau ingin tahu di mana dia berada, baik kau akan kuberitahu! Kok Siauw Hong bersekongkol dengan bangsa Mongol, dia ikut merampok harta itu! Sekarang dia sudah pergi bersama pasukan Mongol. Kalau kau ingin bertemu dengannya, kau kejar saja dia!" kata Ih Hua Liong.

Ucapan Ih Hua Liong itu memang diharapkan sekali oleh Kok Siauw Hong. Sambil menggeleng-gelengkan kepala seolah Kok Siauw Hong tidak percaya, dia bertanya.

"Apa kau melihat sendiri dia berbuat begitu?" tanya Kok Siauw Hong.

"Kurangajar kau bocah busuk! Beraninya kau menuduh aku berbohong. Sudah tentu aku melihatnya sendiri Kok Siauw Hong bergabung dengan musuh!" sesudah berkata begitu Ih Hua Liong mengawasi ke arah lelaki itu. "Cong Tay-hiap, sekarang jangan banyak bicara, dia pasti anak buah Kok Siauw Hong!"

Lelaki itu bernama Cong Siauw Hu dan Siang-koan Po Cu. Berdasarkan kedudukan di Dunia persilatan, Ih Hua Liong berada jauh di bawah mereka berdua.

Sesudah mendengar ucapan Ih Hua Liong, Kok Siauw Hong lalu berkata dengan dingin.

"Tadi kau bertanya padaku apakah aku kenal pada kau? Aku tahu kau murid tertua Jen Thian Ngo bernama Ih Hua Liong! Nah, sekarang aku bertanya padamu, tahukah kau siapa aku ini?" kata Kok Siauw Hong.

Ih Hua Liong tertawa dingin.

"Hm! Dari kata-katamu pasti kau seorang Rimba Persilatan yang cukup terkenal. Cepat katakan, siapa kau?"

Kok Siauw Hong tertawa terbahak-bahak.

"Aku hanya seorang Rimba Persilatan yang tidak terkenal, tetapi seharusnya kau tahu siapa aku ini! Akulah Kok Siauw Hong yang tadi kau katakan bersekongkol dengan bangsa Mongol!" kata Siauw Hong. Seketika itu juga wajah Ih Hua Liong berubah, dia langsung menghunus pedangnya dan menyerang Kok Siauw Hong. Cong Siauw Hu segera berseru.

”Tunggu!"

Mendadak cahaya pedang berkelebat dan ketika itu langsung terdengar suara jeritan Ih Hua Liong dari atas kudanya. Dia mencoba menarik tali kekang kudanya agar bergeser ke samping. Tadi saat masih di atas kuda Ih Hua Liong hendak menyerang Kok Siauw Hong, tapi Kok Siauw Hong lebih cepat dari Ih Hua Liong. Ternyata Kok Siauw Hong pun telah menghunus pedang dan menusuk paha Ih Hua Liong.

Cong Siauw Hu kaget bukan kepalang. Dia langsung melompat dan turun dari atas punggung kudanya sekaligus menyerang Kok Siauw Hong dengan jurus Eng-pik-tiang- khong (Elang menyambar dari angkasa).

Sesudah berteriak mengatakan tunggu, tiba-tiba Cong Siauw Hu menyerang Kok Siauw Hong dengan jurus maut. Ini di luar perkiraan Kok Siauw Hong. Buru-buru Kok Siauw Hong berkelit, lalu menangkis serangan itu dengan jurus Heng-kakim-liang (Membabat secara melintang sarang elang).

"Tang!"

Terdengar suara senjata beradu keras seketika itu tampak lelatu api berhamburan. Kok Siauw Hong merosot dari kudanya, sedang Cong Siauw Hu pun melayang turun dari kudanya.

"Hm! Kau disebut seorang pendekar malah tidak tahu aturan!" bentak Kok Siauw Hong.

Cong Siauw Hu diam saja. Kembali dia menyerang Kok Siauw Hong, ini membuat Kok Siauw Hong gusar sekali. Sekarang dia menganggap Cong Siauw Hu kawan Ih Hua Liong. Dengan tidak segan-segan lagi Kok Siauw Hong melancarkan serangan balasan.

Siang-koan Po Cu keheranan melihat Cong Siauw Hu menyerang Kok Siauw Hong secara tiba-tiba itu.

"Kak Hu, tanya dulu yang jelas baru bertarung!" teriak Siang-koan Po Cu.

Melihat Cong Siauw Hu memihak kepadanya Ih Hua Liong girang bukan kepalang.

"Jangan bertanya lagi, bocah in memang pembohong!" teriak Ih Hua Liong sambil merasakan pahanya sakit karena tertusuk pedang Kok Siauw Hong. Namun, Ih Hua Liong yang sadar Kok Siauw Hong lihay, tidak berani maju membantu Cong Siauw Hu.

Tenaga Kok Siauw Hong belum pulih seluruhnya, itu sebabnya dia tidak berani bertarung lama-lama.

"Dia tidak mau mendengar penjelasanku, sekalipun dia sehaluan denganku!" pikir Kok Siauw Hong. "Lebih baik kulukai dulu dia baru bicara!"

Mendadak Kok Siauw Hong menggunakan jurus maut, dalam seketika pedang Kok Siauw Hong berputar-putar membentuk tujuh bayangan bunga pedang.

"Bagus!" teriak Cong Siauw Hu.

Cong Siauw Hu pun memutarkan pedangnya cepat bagaikan kilat. Tampak bayangan pedangnya berkelebat di antara bayangan tujuh sinar pedang Kok Siauw Hong.

Beberapa kali terdengar suara benturan dua pedang mereka secara beruntun, namun tidak ada yang mau mengalah. Pertarungan mereka kelihatan seimbang sekali. Tapi  tiba-tiba  Cong  Siauw  Hu  melompat  mundur  tiga langkah, kemudian dia menyarungkan pedangnya. Hal itu sungguh di luar dugaan Kok Siauw Hong.

"Dia belum kalah kenapa mundur?" pikir Kok Siauw Hong.

Tadi saat Kok Siauw Hong merayap memanjat tebing tenaganya terkuras banyak, ditambah lagi saat dia naik kuda mengejar rombongan Ih Hua Liong ini, juga tenaganya terkuras. Jika dinilai ilmu pedang mereka memang seimbang, tetapi tenaga Kok Siauw Hong yang sudah kehabisan tenagajelas kalah jauh. Jika bertarung terus jelas Kok Siauw Hong akan kalah.

Tiba-tiba Cong Siauw Hu tertawa.

"Hm! Kau menggunakan jurus Cit-siu-kiam-hoat!" kata dia.

Siang-koan Po Cu kaget bercampur girang.

"Sudah pasti dia Kok Siauw Hong!" kata Siang-koan Po Cu.

Kok Siauw Hong baru sadar, rupanya Cong Siauw Hu hanya ingin mencoba ilmu silatnya agar dia bisa memastikan identitas lawannya

Cit-siu-kiam-hoat ilmu pedang milik keluarga Jen, biasanya tidak pernah diwariskan kepada orang luar. Hingga di kalangan Kang-ouw hanya ada tiga orang yang bisa menggunakan ilmu silat itu, yaitu Jen Thian Ngo, ibu Kok Siauw Hong dan Kok Siauw Hong sendiri.

Cong Siauw Hu seorang jago pedang terkenal. Begitu dia melihat jurus yang diperagakan oleh Kok Siauw Hong itu Citsiu-kiam-oat, dia langsung tahu siapa lawannya itu. Kok Siauw Hong senang Cong Siauw Hu percaya padanya. Tetapi pada saat itu terdengar suara ringkikan kuda.

Itu adalah kuda Ih Hua Liong yang dilarikan dengan cepat. Karena Ih Hua Liong tahu rahasianya sudah terbuka, dia tidak ingin celaka, karena itu buru-buru dia melarikan diri dengan menaiki kudanya. Ternyata kuda yang dinaiki Ih Hua Liong termasuk kuda jempolan, kuda itu hadiah dari See-bun Souw Ya kepadanya. Seekor kuda dari daerah Mongol. Jika kuda Siauw Hong tidak terluka dia yakin bisa mengejar kuda milik Ih Hua Liong. Ketika itu kuda Kok Siauw Hong masih luka jadi sulit baginya untuk mengejar Ih Hua Liong.

"Sayang penjahat itu sudah kabur!" kata Kok Siauw Hong.

"Sabar kita akan cari dia untuk membuat perhitungan dengannya. Kok Siauw-hiap, sungguh beruntung hari ini kami bertemu denganmu di sini!" kata Cong Siauw Hu.

"Mohon bertanya, siapa nama Anda?" kata Kok Siauw Hong sambil memberi hormat.

"Cong Siauw Hu," jawab yang ditanya

Ternyata sudah lama Kok Siauw Hong mendengar nama itu disebut-sebut orang. Baru kali ini dia bertemu muka dengannya.

"Kalau boleh tahu ada urusan apa Anda ke mari?" tanya Siauw Hong.

Sesudah mengawasi Kok Siauw Hong baru dia menyahut. "Aku dengar kau calon menantu Han Tay Hiong, apakah kau pernah datang ke rumah Han Lo Eng-hiong?" kata Cong Siauw Hu.

Masalah Kok Siauw Hong membatalkan pertunangannya dengan puteri Han Tay Hiong telah menggemparkan Dunia Persilatan, pasti Cong Siauw Hu pun sudah mendengar khabar itu.

Tetapi Kok Siauw Hong belum resmi membatalkan pertunangan itu, hingga dia tetap calon menantu Han Tay Hiong. Sekalipun Cong Siauw Hu merasa tidak enak hati, dia tetap bertanya demikian.

Wajah Kok Siauw Hong berubah merah.

"Aku pernah ke rumah Han Lo Eng-hiong, rumah mereka habis terbakar di luar dugaanku, mengenai hal ini barangkali Cong Tay-hiap sudah mengetahuinya?" kata  Kok Siauw Hong.

"Memang kami sudah ke sana maka itu aku ingin tahu siapa kira-kira yang membakar rumahnya itu?" kata Cong Siauw Hu.

"Yang kuketahui hanya sedikit tentang hal itu. Aku hanya tahu Han Lo Eng-hiong mempunyai dua orang musuh besar, mereka itu See-bun Souw Ya dan Chu Kiu Sek." kata Kok Siauw Hong. "Apakah Han Lo Eng-hiong masih hidup atau sudah meninggal aku tidak tahu. Tetapi aku sudah menemukan sedikit titik terang. "

Kok Siauw Hong lalu menceritakan mengenai apa yang diketahuinya

Cong Siauw Hu menghela napas.

"Tidak kusangka Han Lo Eng-hiong telah dicelakai orang! Sayang kami masih punya urusan penting, sesudah beres aku akan ke air terjun itu untuk menyelidikinya!" kata Cong Siauw Hu.

"Oh, tahukah kau tentang harta yang di simpan di rumah Han Lo Eng-hiong?" kata Siang-koan Po Cu.

"Tahu, harta itu oleh Han Pwee Eng disumbangkan untuk para pejuang, dan diantar oleh pihak Kay-pang. Tetapi di tengah jalan harta itu telah dirampok...." Kata Kok Siauw Hong.

"Mengenai hal ini Ih Hua Liong tidak membohongi kami," kata Cong Siauw Hu dan isterinya.

"Jika aku boleh bertanya apakah kalian berdua kebetulan lewat di tempat ini, atau memang sengaja ingin berkunjung ke rumah Han Lo Eng-hiong?" tanya Kok Siauw Hong.

Kok Siauw Hong bertanya begitu karena dia tahu Cong Siauw Hu tidak punya hubungan dengan Han Tay Hiong.

"Aku ke mari karena seorang teman berjanji akan bertemu di rumah Han Lo Eng-hiong, tetapi tidak kusangka musibah menimpa Han Tay Hiong dan keluarganya. Ternyata temanku pun tidak ada di sana!" kata Cong Siauw Hu.

"Ada urusan penting apa Cong Tay Hiap pada Han Lo Enghiong? Apa aku boleh tahu?" kata Kok Siauw Hong.

Cong Siauw Hu berpikir sejenak, sesudah itu dia baru menjawab pertanyaan Kok Siauw Hong.

"Masalah itu sangat rahasia, karena Kok Siauw-hiap punya hubungan erat dengan Han Lo Eng-hiong, jelas aku harus memberitahumu. Aku ingin bertanya padamu, apakah kau sudah tahu tentang asal-usul harta itu?"

Ditanya begitu Kok Siauw Hong tertegun. "Aku juga baru tahu tentang harta itu beberapa hari yang lalu," jawab Kok Siauw Hong. "Tentang asal-usulnya terus terang aku tidak tahu."

Sambil tersenyum Cong Siauw Hu menunjuk ke arah isterinya sambil berkata.

"Ayah isteriku yang menitipkan harta itu pada Han Tay Hiong!" kata Cong Siauw Hu.

Siang-koan Pu Cu tersenyum.

"Sebenarnya itu bukan harta Ayahku," kata Siang-koan Po Cu. "Harta itu dititipkan oleh Ayahku supaya Han Lo Eng-hiong menyerahkannya pada seseorang!"

Secara singkat Siang-koan Po Cu memberi keterangan pada Kok Siauw Hong.

Rupanya Siang-koan Hok, ayah Siang-koan Po Cu itu bangsa Liao. Kerajaan Liao musnah oleh Kerajaan Kim (Tartar). Siang-koan Hok seorang pendekar bangsa Liao, dia termasuk penentang bangsa Kim. Oleh karena terdesak oleh bangsa Kim, dia kabur ke seberang lautan.

Sesudah lewat duapuluh tahun, tiba-tiba muncul bangsa Mongol merebut kekuasaan bangsa Kim, karena itu Kerajaan Kim semakin lemah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar