Beng Ciang Hong In Lok Jilid 15

Suara kecapi terus mengalun merdu. Ci Giok Hian mendengarkan dengan penuh perhatian, uyang dimainkan ternyata lagu "Kuda Putih".

Orang itu menunggang kuda putih ke mari, Kuda putih makan rumput di tempatku.

Oh, sungguh menyenangkan, Kegembiraan itu terkenang hingga saat ini.

Orang itu, pernah bercumbu-rayu denganku di sini. Kuda putih kembali ke dalam lembah,

Mulutnya penuh dengan rumput hijau

Oh orang itu tampan, kau jangan lupa pada janjimu! Berikan khabar padaku jangan menjauhiku.

Saat mendengarkan suara kecapi itu Ci Giok Hian merasa gembira. Dia juga jadi geli.

"Lagu ini cocok dengan perasaan seorang gadis yang berpisah dengan kekasihnya. Jika aku tidak melihat bayangan wanita itu, pasti aku tidak akan menduga kalau yang memainkan kecapi itu seorang wanita tua!" pikir Ci Giok Hian.

Tak lama suara kecapi itu berubah nadanya jadi bernada sedih sekali. Siapapun yang mendengarnya akan terharu, begitu juga nona Ci Giok Hian. "Aku tidak tahu apakah wanita tua ini hatinya pernah terluka? Ah, entah kapan dia akan berhenti bermain kecapi?" pikir nona Ci sambil mengawasi perempuan yang sedang bermain kecapi itu.

Wanita yang main kecapi itu seolah tahu isi hati nona  Ci. Tiba-tiba dia menghentikan permainan kercapinya.

"Oh, ada tamu agung, kau sudah lama menunggu?

Silakan masuk!" kata perempuan itu.

Nona Ci menyingkap tirai bambu dan memandang ke arah wanita itu. Wanita itu berumur kira-kira limapuluh tahun dan dia sedang duduk dengan tenang sekali. Sekalipun usianya sudah lanjut namun, bekas kecantikannya masih membayang di wajahnya.

"Ketika dia masih muda pasti dia seorang gadis yang cantik sekali," pikir nona Ci.

Wanita itu mengawasi ke arah nona Ci sambil tersenyum manis.

"Nona Ci, kau benar-benar cantik!" kata perempuan itu. "Nona Ci, sekalipun aku baru kali ini bertemu denganmu tapi aku sudah merasa menyukaimu! Kau tidak perlu sungkan, duduklah."

Kemudian dia menoleh ke arah pelayannya.

"Tik Bwee, kau jangan berdiri saja seperti patung, cepat sediakan teh untuk tamu kita!" dia memberi perintah.

Nona Ci tidak menyangka wanita tua ini begitu ramah kepadanya. Malah wanita itu memuji kecantikannya, tentu saja Ci Giok Hian senang sekali.

"Terima kasih atas kebaikanmu, Cian-pwee. Bolehkah aku mengetahui nama besar Cian-pwee?" kata nona Ci dengan sopan. Wanita itu tertawa.

"Kau jangan memanggilku cian-pwee, aku bermarga Seng, anak keempat belas. Kau boleh memanggilku Seng Cap-si Kouw (Bibi Keempatbelas)." kata tuan ramah dengan ramah sekali.

"Biasanya hanya wanita yang tidak pernah menikah baru dia pantas dipanggil Kouw!” pikir nona Ci. "Ketika dia masih muda pasti dia pernah putus cinta, dan terus hidup menyendiri di tempat ini. Dia tidak mau dipanggil cian- pwee, pasti dia tidak ingin disebut wanita tua. Aku tidak boleh memanggilnya nenek."

Tak lama Tik Kek menyuguhkan teh wangi sambil meletakan lukisan yang tadi dia bawa untuk ditunjukkan kepada nona Ci, saat mereka mengundang tamunya ini untuk datang. Sesudah itu diamengundurkandiri.

"Silakan diminum tehnya," kata wanita itu.

"Terima kasih," kata nona Ci. "Cap-si Kouw sungguh luar biasa, aku kagum sekali padamu!"

Seng Cap-si Kouw tersenyum.

"Nona, kau pandai bicara," kata Seng Cap-si Kouw. Setelah berbincang sejenak, lalu nona Ci bertanya.

"Pada tengah malam Cap-si Kouw mengundangku, sebenarnya ada petunjuk apa untukku?" kata nona Ci.

Seng Cap-si Kouw menunjuk ke arah lukisan yang terletak di atas meja.

"Mungkin Tik Bwee sudah menunjukan lukisan ini kepadamu?" kata Seng Cap-si Kouw.

"Justru aku ingin bertanya padamu dari mana Cap-si Kouw mendapatkan lukisan ini?" kata nona Ci. Sedang hati nona Ci bimbang sekali. "Pasti Nona Han tidak ada di tempat ini," pikir nona Ci. "Lukisan ini hadiah dari Han Tay Hiong kepadaku," kata wanita itu.

Mendengar jawaban itu nona Ci tertegun sejenak, dia berpikir.

"Lukisan ini barang berharga milik keluarga Han dan merupakan bukti hubungan akrab antara keluarga Han dan keluarga Kok dari Yang-cou. Jika dia tidak bohong, pasti antara dia dan Han Tay Hiong ada hubungan yang sangat istimewa," pikir Ci Giok Hian yang juga keheranan.

Melihat sikap nona Ci yang kelihatan ragu-ragu dan sangat bimbang, Cap-si Kouw lalu berkata, "Bukan hanya lukisan ini, bahkan semua lukisan yang ada di rumahnya, dihadiahkan kepadaku," kata Cap-si-kouw. "Jika kau berminat, aku bersedia menunjukkannya kepadamu!"

"Hm! Dia tidak mengetahui kalau aku pernah melihat semua lukisan iru!"pikirnona Ci.

Kemudian dia berkata pada wanita itu.

"Wah, sungguh beruntung aku mana berani aku menolak!" kata nona Ci.

"Nona, kau selain cantik juga pandai ilmu sastra dan seni lukis. Sungguh menyenangkan!"

Dia angkat cawannya seraya berkata sambil tersenyum manis.

"Tehnya sudah hampir dingin, mari minum, baru kita lihat lukisan-lukisan itu!" kata Cap-si Kouw.

"Aku ini cuma orang biasa, tidak begitu mahir seni sastra maupun seni lukis." kata nona Ci sambil meneguh tehnyayangterasa agak pahit tapi harum sekali. "Teh ini sangat istimewa," memuji nona Ci tanpa sengaja.

"Secara khusus aku suruh Tik Bwee yang memetik daun teh ini," kata Seng Cap-si Kouw sambil tersenyum puas. "Tak heran kau memujinya. Bagaimana kalau kita minum secawan lagi?"

"Teh istimewa harus diminum perlahan-lahan," kata nona Ci yang tahu cara minum teh, "bagaimana kalau kita lihat dulu lukisan baru kita minum lagi?"

Wanita itu mengangguk.

"Baiklah, setelah melihat kukisan baru kita minum lagi," kata Seng Cap-si Kouw.

Dia mengajak nona Ci ke sebuah kamar yang segera dia buka pintunya.

"Ini kamar lukisanku. Di sini terdapat lukisan-lukisan hadiah dari Han Tay Hiong," kata Cap-si Kouw.

Tadi saat Tik Bwee mendengar majikannya akan memeriksa lukisan, dia sudah segera menyalakan lentera yang ada di kamar itu, tidak heran kalau kamar itu jadi terang-benderang bagaikan di siang hari pada saat mereka memasuki kamar itu.

Kamar itu cukup besar di semua dinding kamar tergantung lukisan-lukisan yang indah. Tapi nona Ci sudah melihat semua lukisan itu di kamar nona Han Pwee Eng dulu.

"Apa kau tidak heran, mengapa Han Tay Hiong menghadiahkan semua lukisan yang berharga ini kepadaku" kata Seng Cap-si Kouw.

Sebenarnya nona Ci pun heran namun dia bersikap seolah biasa-biasa saja. "Sebilah pedang pusaka dihadiahkan kepada seorang ksatria, kecantikan dimiliki oleh seorang wanita. Lukisan itu indah dan termasyur mudah didapat, tapi sulit mencari orang yang tahu isi hati orang lain. Menghadiahkan lukisan untuk mempererat persahabatan merupakan sesuatu yang wajar." kata Ci Giok Hian.

Seng Cap-si Kouw tersenyum.

"Nona, kau pandai sekali bicara!" kata Seng Cap-si Kouw memuji nonaCi. "Benar, aku dan Han Tay Hiong bisa dikatakan sahabat akrab. Tapi lukisan-lukisan ini dia hadiahkan kepadaku bukan demi  mempererat persahabatan, tapi ada sebab yang lain. Nona Ci, kau ingin tahu sebabnya?"

"Aku tidak berani meminta keterangan," kata Ci Giok Hian agak tersipu.

"Aku tahu hubunganmu dengan Han Pwee Eng seperti kakak beradik, aku kira jika kau kuberitahu pun tidak masalah. Dia hadiahkan semua lukisan ini kepadaku karena dia tahu dirinya dalam bahaya!" kata Cap-si Kouw.

Mendengar keterangan itu nona Ci terkejut bukan kepalang.

"Tadi aku ke rumahnya," kata nona Ci. "Aku ke sana karena aku ingin tahu apa yang telah terjadi dengannya? Kini rumah itu telah terbakar dan banyak orang yang telah binasa. Apakah Cap-si Kouw sudah tahu tentang hal itu?"

"Sudah, aku sudah tahu, itu sebabnya malam ini aku mengundangmu ke mari," kata Cap-si Kouw.

Dia berhenti di depan sebuah lukisan pemandangan dan melanjutkan bicaranya. "Han Tay Hiong punya musuh besar yang sangat lihay, orang itu ingin membalas dendam. Tiga bulan yang lalu dia sudah tahu bahwa musuh besarnya akan datang membalas dendam. Dia sadar bahwa dia tidak akan mudah bisa selamat. Oleh sebab itu dia serahkan semua lukisannya kepadaku agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Aku tidak akan menyerakahi lukisan-lukisan ini, aku hanya menolong menyimpannya saja.Kelak akan kukembalikan pada puterinya!" kata Cap-si Kouw.

"Jika Paman Han sudah tahu musuh besarnya akan datang membalas dendam, kenapa dia tidak siaga?" kata nona Ci. "Setahuku dia mempunyai banyak sahabat pesilat tinggi. Capsi Kouw pun bisa membantu dia bukan "

Ucapan nona Ci dipotong oleh suara tawa getir dari wanita tua itu.

"Kau kira aku diam saja, terus-terang aku juga kenal pada musuh besar Han Tay Hiong, maka itu aku jadi tidak leluasa untuk membantu Han Tay Hiong. Ditambah lagi kepandaianku masih di bawah kepandaian musuh besarnya itu. " dia berhenti sejenak, kemudian dia melanjutkan lagi.

"Han Tay Hiong keras kepala, pasti kau pernah mendengar hal itu!" kata Cap-si Kouw. "Dia tidak mau meminta bantuan, juga kepadaku. Dia tidak pernah mau bicara, apalagi pada orang lain. Memang benar banyak sahabatnya, tapi dari semua pesilat itu hanya beberapa orang saja yang sanggup menghadapi musuhnya itu. Misalnya Lauw Kan Lu, Hiang-cu markas cabang Kay- pang di Lok-yang ini! Bukan aku sombong, menghadapi dua pelayanku itu saja dia tidak akan sanggup menghadapinya. Bahaya sudah di depan mata, tapi Han Tay Hiong tidak mau memberitahu kawan-kawannya itu. Sampai akhirnya dia tertangkap oleh musuh besarnya. Dia serahkan semua lukisannya kepadaku dan hartanya kepada Lauw Kan Lu untuk dipakai oleh para pejuang. Pasti kau belum mengetahui hal itu, bukan?"

"Hm! Legalah hatiku, kalau begitu Jen Thian Ngo itu penipu basar!" kata nona Ci.

Mendengar kata-kata nona Ci wanita itu tertegun.

"Jen Thian Ngo yang kau maksud itu paman Kok Siauw Hong?" kata Cap-si Kouw.

"Benar," kata nona Ci senang bukan main, "apa Cap-si Kouw juga mengetahui tentang Kok Siauw Hong?"

"Aku tahu," kata Cap-si Kouw. "Dia pendekar muda yang baru muncul di Dunia Persilatan, dia calon menantu Han Tay Hiong. Apa yang dikatakan Jen Thian Ngo kepadamu?"

Nona Ci sebenarnya hanya berniat mencari tahu tentang Kok Siauw Hong, bukan mau mencari Han Pwee Eng. Dia ingin menanyakan tentang pemuda itu, malah wanita itu bilang Kok Siauw Hong calon menantu Han Tay Hiong. Tak heran wajah nona ini jadi merah mendengar kata-kata Cap-si Kouw itu.

"Dia sahabat Han Tay Hiong, pasti dia akan membela nona Han Pwee Eng, aku tidak boleh menunjukan sikap tidak wajar di hadapannya," pikir nona Ci.

Sesudah berpikir dia menjawab pertanyaan Cap-si Kouw.

"Jen Thian Ngo bilang bahwa Han Tay Hiong itu pengkhianat, katanya dia bersekongkol dengan bangsa Mongol!" kata nona Ci.

Seng Cap-si Kouw tampak gusar sekali.

"Dia bicara sembarangan saja, dialah yang penjahat besar, kau jangan perdulikan padanya!" kata Cap-si Kouw. "Ya,"jawab Ci Giok Hian. "Lalu bagaimana keadaan Nona Han sekarang?”

"Dia sudah pulang tapi sial dia tertangkap oleh musuh besar ayahnya. Aku baru mengetahuinya belum lama," kata wanita itu.

Mendengar keterangan itu nona Ci kaget. "Dia sendirian?"

"Benar, dia sendirian!" jawab Cap-si Kouw.

"Hm! Kalau begitu Kok Siauw Hong tidak bersama Han Pwee Eng," pikir Ci Giok Hian. "Jen Thian Ngo benar- benar pembohong besar!"

Saat nona Ci menengadah ternyata Cap-si Kouw sedang mengawasinya. Wajah nona Ci langsung merah.

"Pwee Eng dan ayahnya dikurung di mana? Apakah Cap-si Kouw tahu tempat mereka dikurung?" kata nona Ci.

"Di sana di rumah batu. Pemilik rumah batu itu musuh besar Han Tay Hiong," jawab Cap-si Kouw.

"Hm! Jadi Chu Kiu Sek tinggal di sana?" kata Ci Giok Hian.

"Benar, tapi kau cuma tahu musuh Han Tay Hiong itu cuma dia, tapi kau tidak tahu yang lainnya! Memang benar Chu Kiu Sek musuh besar Han Tay Hiong, tapi bukan musuh yang paling lihay," kata Cap-si Kouw. "Mereka pernah bertarung dengan Han Tay Hiong empat tahun yang lalu, dan Chu Kiu Sek terluka oleh serangan nona Han sehingga dia terpaksa kabur untuk mengobati lukanya. Baru kemarin Chu Kiu Sek datang ke daerah ini mencari Han Tay Hiong. Dia bertamu ke tempat pemilik rumah  batu itu!" "Kalau begitu, siapa pemilik rumah batu itu?" tanya nona Ci.

"Tiga puluh tahun yang lalu, di kalangan Kang-ouw muncul seorang pendekar wanita yang sangat cantik. Orang Kang-ouw menyebut wanita cantik itu dengan sebutan Bu- lim-te-it-bi-jin (Wanita cantik nomor satu di Rimba Persilatan). Apa kau pernah mendengar nama itu?" kata Cap-si Kouw.

Setelah berpikir sejenak nona Ci menyahut.

"Bukankah dia yang dipanggil Soat Li Ang (Salju Merah) yang bernama Beng Cit Mo?" kata nona Ci. "Saat aku masih kecil aku pernah mendengar namanya dari Ibuku dan ibu susuku."

"Mengapa mereka membicarakan tentang dia?" kata Cap-si Kouw.

"Ibu susuku sedang membuatkan pakaian untuk Ibuku. Ketika Ibu mengenakan pakaian itu dia kelihatan senang sekali. Tapi setelah dia berkaca, tampak Ibu tidak segembira tadi. Entah apa sebabnya Ibu bersikap begitu? Ibuku lalu menyuruh memberikan pakaian itu kepada orang lain. Alasan Ibuku, dia tidak ingin ibu susuku meniru model pakaian orang lain! Kemudian ibu susuku bilang, jika Ibuku mengenakan pakaian itu, dia akan mirip dengan Soat Li Ang Beng Cit Nio, ibu susuku bilang wanita itu adalah Bu- lim-te-it-bi-jin. Aku yakin ibu susuku waktu hanya ingin menghibur Ibuku saja. "

Mendadak Cap-si Kouw memotong kata-kata nona Ci. "Ibu susumu bukan cuma untuk menghibur ibumu!" kata

Cap-si  Kouw.  "Anaknya  pun  begini  cantik,  pasti  ibunya

lebih cantik lagi! Nona Ci, aku kira kau lebih cantik dari Soat-li-ang Beng Cit Nio. Aku yakin ibumu sangat cantik juga!"

Nona Ci menunduk dan melanjutkan bicaranya.

"Ibu bilang kenapa dia harus dibandingkan dengan Soat- liang Beng Cit Nio? Ibu menyuruh agar ibu susuku segera membawa pakaian itu untuk diberikan kepada orang lain. Diam-diam hal itu aku tanyakan pada ibu susuku, seperti siapa Soat-li-ang itu? Kenapa Ibuku tidak menyukainya? Ibu susuku bilang Soat-li-ang Beng Cit Nio seorang wanita cantik dan berilmu tinggi, tapi mendadak dia menghilang dari Dunia Persilatan. Ada yang bilang dia telah meninggal dunia, itu sebabnya Ibuku tidak ingin dibandingkan dengannya." kata nona Ci.

"Apa kau masih ingat kain dasar pakaian itu berwarna putih dan dihias bunga sulam berwarna merah itu?"

"Benar," kata nona Ci sambil mengangguk. "Bagaimana Cap-si Kouw bisa mengetahuinya?"

"Itu sebabnya dia bergelar Soat-li-ang Beng Cit Nio  (Salju Merah)," kata Cap-si Kouw. "Dia senang mengenakan pakaian seperti itu. Tapi keterangan ibu susumu itu salah, sebab sampai sekarang dia masih hidup. Dialah pemilik rumah batu itu!"

Nona Ci tersentak kaget.

"Jadi dia juga musuh besar Paman Han?"

"Benar," jawab Cap-si Kouw. "Dia sebenarnya adik misanku!"

Baru nona Ci sadar.

"Pantas dia bilang dia tidak leluasa untuk membantu Paman Han, ternyata mereka bersaudara!" pikir nona Ci. "Aku ingat pada sebuah pepatah yang berbunyi begini "Nasib wanita cantik selalu malang", aku kira pepatah itu memang ada benarnya," melanjutkan Cap-si Kouw. "Sekalipun adik misanku itu tidak pendek umur, namun hatinya telah mati ..."

Nona Ci mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Saat masih muda, adik misanku ini pernah jatuh cmta kepada seseorang, tetapi pria itu tidak begitu menyukai dia. Malah pria itu sudah mempunyai isteri orang lain yang tidak secantik dia! Betapa geram dan marahnya adik- misanku pada pria itu. Sejak itu dia hidup menyendiri di atas gunung, dan tidak pernah muncul di kalangan Kang- ouw lagi!" kata Cap-si Kouw.

Mendadak nona Ci ingat sesuatu.

"Apakah lelaki yang dicintainya itu Paman Han?" kata Ci Giok Hian.

"Kau benar," kata Cap-si Kouw. "Kemudian Beng Cit Nio berubah jadi aneh sekali. Malah dia bersumpah akan menangkap Han Tay Hiong, dan menyiksanya secara perlahan-lahan. Padahal Han Tay Hiong masih punya dua musuh yang lain. Mereka bergabung dengan adik-misanku. Kemudian rumah Han Tay Hiong mereka musnahkan, dan mereka menangkap Han Tay Hiong. Dua musuh Han Tay Hiong itu adalah Chu Kiu Sek dan See-bun Souw Ya.

Dahi nona Ci berkerut.

"Dia ingin menyiksa Paman Han, itu urusan dia," kata Ci Giok Hian. "Tapi mengapa dia begitu kejam dan membunuh semua pelayan yang ada di rumah Paman Han?"

"Itu bukan adik-misanku yang melakukannya," kata Cap- si Kouw. "Lalu perbuatan siapa?" tanya nona Ci.

"Itu perbuatan See-bun Souw Ya!" kata Cap-si Kouw. "Siapa sebenarnya See-bun Souw Ya itu?" tanya nona Ci. "Dia penjahat besar yang tinggal di daerah Kwan-gwa,"

jawab Cap-si Kouw. "Dia belum lama muncul di kalangan Kang-ouw. Belasan tahun yang lalu, aku juga tidak tahu bagaimana caranya dia bisa memperoleh ilmu pukulan beracun peninggalan Kong-sun Khie. Dia berhasil menguasai ilmu Hua-hiat-to, ilmu milik keluarga Suang. Aku kira kepandaian See-bun Souw Ya masih di bawah kepadaian Chu Kiu Sek, tapi dia ingin menjadi Bu-lim- beng-cu (Ketua Dunia Persilatan). Untuk maksud itu orang pertama yang dia hadapi adalah Han Tay Hiong."

Mendengar keterangan itu nona Ci kaget.

"Jika demikian keadaan Han Tay Hiong dan Nona Han dalam bahaya?" kata nona Ci.

"Karena ada adik-misanku, kedua Iblis Tua itu tidak berani mencelakai mereka!" kata Cap-si Kouw. "Aku yakin adik misanku tidak ingin membunuh Han Tay Hiong, tapi nona Han terseret ke tempat itu, dia akan mengalami siksaan!"

"Menghadapi Chu Kiu Sek saja sudah sulit bukan main," pikir nona Ci. "Ditambah lagi harus menghadapi Soat-li-ang yang kepandaianya lebih tinggi lagi. Di sana juga ada See- bun Souw Ya. Sekalipun dibantu oleh ketua Kay-pang, sulit rasanya untuk menyelamatkan Paman Han?"

"Jadi harus bagaimana baiknya?" kata nona Ci bingung. "Aku  dengar  kau  baik  pada  nona  Han,  dan  dia calon

isteri     Kok     Siauw     Hong,     apa     kau     masih   ingin menyelamatkan dia?" kata Cap-si Kouw sambil mengawasi ke arah nona Ci.

Wajah nona Ci berubah merah. Dia yakin Cap-si Kouw sudah tahu tentang masalah dia dengan nona Han.

"Aku dengan Nona Han seperti kakak beradik, jika aku bisa menolongi dia, menempuh bahayapun aku tidak peduli. Tapi kepandaianku masih rendah, apa Cap-si Kouw bersedia membantuku?" kata nona Ci.

Cap-si Kouw tersenyum mendengar jawaban itu. "Baiklah, aku tahu sekarang hatimu telah bulat. Semua

gampang diurus," kata Cap-si Kouw. "Oh, terima kasih," kata nona Ci.

"Hm! Kau salah mengerti mengenai maksudku," kata Cap-si Kouw. "Sejak pertama sudah aku katakan, aku tidak leluasa membantu menolongi Paman Hanmu itu. Selain ada adikmisanku, ditambah lagi ilmu silatkupun masih rendah!"

Nona Ci tersentak kaget mendengar jawaban itu.

"Tapi tadi kau bilang semua "gampang diurus"? Apa yang gampang diurus itu?" kata nona Ci.

"Kau wanita yang banyak akalnya, aku tahu itu!" kata Seng Cap-si Kouw.

"Aku? Oh. mana mungkin, coba kaujelaskan padaku?" kata nona Ci.

"Han Tay Hiong terluka sudah empat tahun yang lalu, dia agak lumpuh. Itu sudah kau ketahui, bukan?" kata Seng Capsi Kouw.

Nona Ci mengangguk. "Karena luka Han Tay Hiong belum pulih, ditambah lagi dia juga terserang oleh pukulan Hua-hiat-to, maka dia bisa tertangkap oleh musuih-musuhnya. Jika Han Tay Hiong dalam keadaan sehat, bagaimana pun lihaynya mereka, aku yakin mereka bukan tandingan Han Tay Hiong yang lihay. Kau mengerti maksudku?" kata Cap-si Kouw.

Nona Ci berpikir sejenak.

"Kalau begitu kita harus menyembuhkan Han Tay Hiong lebih dulu?" kata nona Ci.

"Kau benar, jika kau ingin menyelamatkan mereka, kau harus menyembuhkan Han Tay Hiong dulu. Tapi ingat! Ini harus kau lakukan tanpa sepengetahuan orang-orang yang ada di rumah batu itu!" kata Cap-si Kouw.

"Maksudmu aku harus menolongi Paman Han dulu agar dia bisa lolos dari kamar tahanannya?" kata bona Ci.

"Benar!" kata Cap-si kouw. Orang yang ada di rumah batu itu mengira Han Tay Hiong terluka parah. Aku yakin mereka menganggap Han Tay Hiong tidak mungkin bisa lolos atau meloloskan diri dari tangan mereka. Aku yakin mereka juga tidak akan menjaga dan mengawasinya dengan ketat. Setahuku yang menjaga Han Tay Hiong hanya murid See-bun Souw Ya saja. Dalam keadaan sakitpun Han Tay Hiong bisamengalahkan mereka dengan hanya sekali pukul. Tapi jika Chu Kiu Sek dan See-bun Souw Ya bergabung, maka Han Tay Hiong pasti bisa dikalahkannya. Apalagi jika adik-misanku datang dan begabung dengan mereka, itu lebih celaka lagi! Aku kira tidak mungkin hal itu bisa kebetulan terjadi dan mereka bisa berkumpul bertiga. Pada saat yang paling tepat untuk kabur adalah malam hari. Aku yakin itu akan berhasil..." kata Cap-si Kouw. "Jika aku berhasil membawa kabur Paman Han, bagaimana aku bisa menyembuhkan lukanya?" kata nona Ci.

"Aku dengar kau punya arak obat istimewa, kenapa kau masih bertanya padaku?" kata Cap-si Kouw.

"Hm! Orang ini ternyata tahu banyak tentang sesuatu..." pikir nona Ci sambil tersenyum getir..

"Benar, arak Kiu-thian-sun-yang-pek-hoa-ciu bisa menyembuhkan luka Paman Han. Aku membawa arak itu untuk Paman Han, tapi di tengah jalan arak itu telah dicuri orang. Sungguh memalukan sekali. Sayangnya aku juga tidak tahu asal-usul pencuri arakku itu?" kata nona Ci dengan sangat menyesal.

"Tapi aku tahu, mereka sepasang muda-mudi, satu pria dan yang satunya seorang nona," kata Cap-si Kouw. "Pemuda itu bersenjata payung, mirip pemuda desa. Sedang si nona sangat cantik, kedua matanya jeli. Iya, kan?"

"Kau benar, mereka yang mencuri arakku di penginapan itu. Tapi keduanya pemuda!" kata nona CI.

"Kau salah lihat!" kata Cap-si Kouw. "Yang seorang lagi seorang nona yang menyamar dan berpakaian pria. Kau tertipu oleh mereka!"

"Bagaimana kau bisa mengetahuinya begitu jelas?" kata nona Ci.

"Mereka pun ingin ke rumah keluarga Han. Mereka tiba lebih dulu dari kalian, tapi ketahuan oleh Soat-li-ang Beng Cit Nio. Adik-misanku itu merebut arak itu," kata Cap-si Kouw.

Nona Ci tercengang.

"Mereka berdua juga ke rumah keluarga Han? "Benar, adik-misanku sudah menyelidiki asal-usul mereka. Yang pria putera Kong-sun Khie, sedang si nonaputeri Kiong Cauw Bun atau majikan pulau Hek-hong- to. Tapi apa maksud mereka ke rumah Han Tay Hiong itu yang aku tak tahu." kata Cap-si Kouw.

"Arak obat itu sekarang ada di tangan Soat-li-ang Beng Cit Nio, padahal dia musuh Han Tay Hiong, lalu bagaimana akal kita sekarang?" kata nona Ci.

"Aku punya ide bagus dan bisa mengantarkan arak obat itu pada Han Tay Hiong. Akan tetapi, kau harus menempuh sedikit bahaya, bagaimana?" kata Cap-si Kouw.

"Itu tidak masalah, asal Han Tay Hiong dan puterinya bisa selamat Tapi akal bagaimana?" kata nona Ci.

Saat mereka sedang berunding, Tik Bwee muncul menemui Cap-si Kouw.

"Siauw-ya (Tuan muda) datang!" kata Tik Bwee

Bersama Tik Bwee datang mengahdap seorang pemuda, usia pemuda itu sekitar  tahun, wajahnya kelihatan dekil, itu tandanya dia baru saja melakukan perjalanan yang jauh.

"Kouw-kouw (Bibi)," kata pemuda itu pada Cap-si Kouw.

"Ah, aku kira siapa?" kata Cap-si Kouw. "Kau sudah kembali, kok sampai begini malam kau baru pulang? Kebetulan aku sedang ada tamu, apa Tik Bwee tidak memberitahumu?"

"Hamba ingin memberitahu Tuan-muda, bahwa majikan sedang ada urusan dengan tamunya dan aku mau minta agar Tuan-muda besok saja menemuimu," kata Tik Bwee. "Tapi Siauw-ya baru datang dari tempat yang jauh, pasti sangat rindu padamu. Jangan salahkan Siauw-ya, akulah yang lancang mengizinkannya dia masuk!

"Benar, di sepanjang jalan aku selalu ingat pada Kouwkouw, dan aku pikir tamu Kouw-kouw itu bukan orang luar, maka aku memaksa masuk. Nona ini adalah "

"Kau salah!" kata Cap-si Kouw. "Nona ini adalah Nona Ci Giok Hian. Dia baru aku kenal, tapi aku sudah merasa cocok dengannya."

Pemuda itu tertawa.

"Kalau begitu aku tidak begitu keliru," kata pemuda itu. "Nona, kau tidak merasa kesal karena aku mengganggu pembicaraan kalian berdua"

"Jangan bilang begitu," kata nona Ci. "Malah akulah yang mengganggu kalian, sepantasnya akulah yang harus minta maaf kepadamu."

"Nona kau tidak perlu sungkan, kita semua orang Rimba Persilatan, kita tidak pernah membedakan pria dan wanita dalam pergaulan. Duduklah aku akan memperkenalkan kalian berdua," kata Cap-si Kouw.

Sikap pemuda itu sangat sopan.

"Ini keponakanku, namanya Liong Sen, dia murid liat  Pit Su-seng (Pelajar berpena besi), ketua Rimba Persilatan dari wilayah Kang-lam. Sudah lima tahun dia berguru dan tidak pernah pulang. Baru malam ini dia pulang dan kebetulan kalian bertemu di sini!" kata Cap-si Kouw.

Nona Ci memang pernah mendengar nama Tiat-pit-su- seng Bun Ek Hoan. Ketika tahu pemuda itu muridnya dia jadi kagum sekali pada pemuda itu.

"Nama gurumu pernah aku dengar," kata nona Ci. Seng Liong Sen tertawa. "Memang guruku yang terkenal, tapi aku belum apa- apa," kata Seng Liong Sen.

"Bukan aku ingin membanggakan keponakanku, sekalipun masih ada kakak seperguruannya, tapi gurunya sangat sayang pada keponakanku ini," kata Cap-si Kouw. "Eh, Liong Sen, aku dengar gurumu telah memilih pengganti dia sebagai Ciangbun-jin (Akhli waris ketua partai), benarkah begitu"

"Oh, cepat sekali khabar itu sampai pada Kouw-kouw," kata Seng Liong Sen. "Memang benar begitu. Aku ingin menolak jabatan itu, tapi guruku sangat sayang kepadaku. Ia. "

Sebelum habis kata-katanya, Cap-si Kouw sudah memotong.

"Kau perlu rendah hati, tapi jangan keterlaluan hingga kelihatan jadi tidak wajar. Kau sudah diangkat jadi Ciang- bunjin, tapi kenapa kau masih punya waktu untuk datang ke mari?" kata bibinya.

"Sudah lama aku tidak bertemu dengan Bibi, aku kangen sekali. Tapi Kouw-kouw masih kelihatan muda, lho!" kata sang keponakan sambil tersenyum.

"Mulutmu sungguh manis, kau bilang kau rindu padaku, tapi selama lima tahun kau tidak pernah mengirim khabar pada Kouw-kouw," kata Cap-si Kouw. "Katakan terus- terang, apa maksudmu kali ini kau pulang?"

"Bibi benar, coba Bibi terka apa maksudku?" kata Liong Sen.

"Kau pandai memujiku, baik akan kuterka," kata Cap-si Kouw. "Kali ini kau pulang pasti karena masalah negara, bukan?" "Bibi benar, aku pulang karena aku dengar tentara Mongol sudah menyerang ke Tiong-goan! Kata Suhu ambisi tentara Monglol besar sekali, mereka ingin menduduki Tiong-goan! Selain ingin mengalahkan bangsa Kim. Juga ingin merebut Kerajaan Song. Sekalipun Kerajaan Kim dan kerajaan Song terpisah oleh sungai Tiang-kang, tapi rakyat tetap bersatu.

Aku pulang karena diutus oleh Suhu untuk menemui Bu- Limbeng-cu bagian Utara maksudnya untuk melawan bangsa Mongol!" kata Liong Sen.

"Pasti gurumu percaya padamu. Tapi mengapa kau masih punya waktu untuk pulang? Apa itu bukan berarti kau melalaikan tugas yang penting?" kata bibinya.

"Aku baru dari Kim-kee-leng menemui Hong-lai-mo-li. Aku ke sini hendak mencari Liok Pang-cu dari cabang Kay- pang Lok-yang. Tapi kemarin pintu kota tidak dibuka," kata Liong Sen.

"Kenapa pintu kota tidak dibuka?" kata bibinya.

"Aku dengar karena tentara Mongol sudah sampai di kota Hoan-sui, ditambah lagi pengungsi yang berdatangan ke Lokyang terlalu banyak. Pejabat setempat takut mereka akan kekurangan makanan, lalu dia melarang para pengungsi masuk ke dalam kota. Kebetulan aku bertemu dengan seorang anggota Kay-pang, kata dia, Liok Pang-cu sudah tidak ada di Lok-yang dia sedang ada urusan penting. Katanya dua hari lagi dia sudah akan pulang. Aku dengar tentara Mongol berhenti dulu di kota Hoan-sui dan belum ada tanda-tandanya mereka akan menyerang ke arah Selatan. Aku dengar Hiangcu Partai Pengemis berunding dengan pejabat kota dan terpaksa mereka mengizinkan para pengungsi memasuki kota. Maka aku menyempatkan diri datang menemui Bibi." "Oh, keadaan jadi semakin gawat saja, sudah lama aku hidup menyendiri. Urusan negara aku sudah tidak peduli dan masabodoh. Aku pikir asal mereka tidak mengacau ke mari, sudahlah," kata Cap-si Kouw.

Dia menoleh ke arah keponakannya.

"Sudah lima tahun kau belajar, pasti kung-fumu sekarang sudah tinggi sekali. Bagaimana pelajaran pedang dariku?" kata sang bibi.

"Kata Suhu ilmu pedang Kouw-kouw hebat sekali," kata keponakannya.

"Mana boleh dia bilang begitu, ilmu pit besi gurumu sangat terkenal," kata bibinya.

"Aku kira Suhuku lihay sekali dalam hal ilmu totok jalan darah dan tanpa tanding, tapi dalam hal ilmu pedang dia tidak akan mampu menyamai ilmu pedang Kouw-kouw," kata Seng Liong Sen. "Oleh karena itu aku tetap memakai pedang, tidak menggunakan pit besi!" 

Pit nama alat tulis bangsa Tionghoa, dan ditemukan pada zaman Kaisar Cin Sie Ong berluasa, ditemukan oleh salah seorang jenderalnya yang diperintahkan mengawasi pembangunan Ban-li-tiang-shia (Tembok Besar), namun pit yang dimaksud di sini pit yang terbuat dari besi dan bisa digunakan untuk menotok jalan darah lawan. Nona Ci sedang mendengarkan pembicaraan mereka dengan penuh perhatian. Maka tanpa sadar nona Ci menyela ikut bicara.

"Gurumu hebat, dengan pit besi dia bisa dia gunakan seperti sebilah pedang!" kata nona Ci.

"Kata Guruku, senjata apapun harus bisa kita gunakan, jangan terpaku hanya dari satu senjata saja," kata Liong Sen. "Selamat, selamat," kata Cap-si Kouw sambil tertawa.

"Mengapa Kouw-kouw memberi selamat padaku?" kata Seng Liong Sen.

"Kau masih muda, tapi kau sangat berbakat dan cerdas sehingga kau bisa menggabungkan ilmu pit gurumu dengan ilmu pedang keluarga kita," kata Cap-si Kouw. "Jelas kau akan mampu menciptakan jurus-jurus baru, iyakan?"

"Ah, Kouw-kouw terlalu memujiku. Mana mungkin aku bisa menciptakan jurus baru. Ucapan Bibi ini hanya akan jadi buah tertawaan saja!" kata Seng Liong Sen yang wajahnya pun merah karena malu.

"Eh, bagaimana kau ini? Tadi kau bilang Nona Ci bukan orang luar?" kata bibinya sambil tersenyum.

Ucapan Cap-si Kouw itu membuat nona Ci heran dan jadi tertegun.

"Eh, apa maksud dia berkata begitu?" pikir nona Ci, "padahal dia sudah tahu hubunganku dengan Kok Siauw Hong, ah tidak pantas dia bergurau membawa-bawa namaku?"

Seng Liong Sen jadi tidak enak hati, lalu dia alihkan pembicaraannya.

"Bi, aku ingin minta pentunjuk pada Bibi," kata Liong Sen.

"Tentang apa?" tanya bibinya.

"Tentang sebuah jurus pedang," jawab si anak muda. "Jika kita bertemu dengan pesilat tinggi yang menggunakan Kimkong-ciang (Pukulan Arhat dan dia menyerangku dengan jurus Lian-pek-sam-koan (Pukulan beruntun tiga kali berturut-turut). Menurut Bibi bagaimana menghadapinya?     Ketika     itu     aku     pikir     aku   akan menggunakan jurus Tiang-ho-Iok-jit (Matahari tenggelam dalam sungai), salah satu jurus ilmu pedang, lalu aku gabung dengan Tit-ci-thian-lam (Menunjuk ke arah langit selatan), ilmu pit guruku. Tetapi guruku bilang melawan musuh dengan cara demikian kurang tepat! Suhu bilang bicara soal ilmu pedang, ilmu pedang keluarga Ci dari Pek- hoa-koklah yang paling lincah dan gesit. Jurus Yu-hong-hi- tiap (Kumbang terbang mempermainkan kupu-kupu) milik keluarga Ci cocok digabung dengan jurus ciptaanku itu!"

"Nona Ci ahli warisnya, kenapa kau tidak minta diajari padanya?" kata sang bibi.

Wajah Ci Giok Hian berubah merah.

"Cap-si Kouw bergurau, aku belum mahir ilmu pedang itu, mana pantas aku memberi petunjuk pada Seng Siauw- hiap?" kata nona Ci agak tersipu.

"Dalam sepuluh langkah pasti terdapat rumput yang hijau, dari tiga orang yang berjalan bersama, pasti ada guru yang pandai! Aku mohon Nona Ci bersedia memberi sedikit petunjuk," kata Seng Liong Sen

Kelihatan pemuda itu bersungguh-sungguh.

"Dia benar, sesama kaum Rimba Persilatan yang sehaluan, jika saling memberi petunjuk, aku kira tidak masalah," kata Cap-si Kouw sambil tersenyum.

"Jika permintaannya aku tolak, aku takut Cap-si Kouw akan kehilangan muka," pikir nona Ci.

Tiba-tiba wanita tua itu berpaling pada Seng Liong Sen. "Kau sudah ke tempat Paiuw-kouwmu atau belum?"

tanya Cap-si Kouw.

Piauw-kouw artinya bibi-misan. "Aku tidak punya waktu untuk menemuinya, Bi," kata Liong Sen. "Tadi saat aku lewat di depan rumahnya, aku bertemu seseorang. Mungkin mereka tamu bibi-misanku. Orang-orang itu tidak tahu sopan-santun. Begitu bertemu dengan dia, dia langsung menanyakan asal-usulku dan orang itu melarang aku lewat! Aku tidak tahu dia tamu bibi- misan, aku bertarung dengannya. Kugunakan jurus yang aku katakan pada Bibi tadi, tapi nyaris aku dikalahkannya. Untung salah seorang pelayan bibi-misan keluar. Dialah yang memberi penjelasan bahwa aku keponakan bibi- misanku. Baru dia minta maaf kepadaku."

Seng Cap-si Kouw tersenyum.

"Hm! Pantas kau sangat bernapsu minta petunjuk dari Nona Ci," kata Cap-si Kouw. "Apa orang yang bertarung denganmu itu pria tua berwajah merah?"

"Benar," jawab anak muda itu.

"Dia bernama See-bun Souw Ya. salah satu iblis  tua. Kau bertarung dengannya tanpa terluka itu sudah kuar biasa. Selanjutnya kau jangan berurusan dengannya!" kata sang bibi.

"Kenapa Piauw-kouw mengundang mereka ke rumahnya?" kata Seng Liong Sen heran sekali.

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Melihat keponakannya kebingungan, Cap-si Kouw tertawa. Kemudian dia memberi penjelasan kepada pemuda itu dengan sabar.

"Jika aku ceritakan semua, ceritanya panjang sekali," kata Cap-si Kouw. "Besok kau masih di sini, kan?" Ucapan bibinya itu langsung mendapat tanggapan dari pemuda ini. Dia memang cerdas, dan dia juga tahu apa maksud bibinya itu.

"Ya, Bi. Aku lupa Bibi masih punya tamu, baik aku akan menunggu sampai Bibi menceritakannya kepadaku," kata Seng Liong Sen.

"Kau kelihatan lelah sekali, sebaiknya kau istirahat saja dulu," kata bibinya.

Cap-si Kouw mengawasi pemuda yang langsung mohon diri itu. Kemudian dia menoleh ke arah Ci Giok Hian sambil berkata.

"Kau juga harus istirahat, Nona Ci. Besok kalau kau mau aku mau menemanimu jalan-jalan, boleh kan?" kata Seng Liong Sen pada Ci Giok Hian.

"Mungkin besok kau tidak akan bertemu lagi dengannya," kata Cap-si Kouw sambil tertawa.

Pemuda itu tertegun mendengar ucapan bibinya itu. "Jadi besok Nona Ci sudah akan pergi? Kalau begitu biar

aku yang mengantarkanmu." kata pemuda itui.

Nona Ci jadi bingung. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan pemuda itu yang terus mendesaknya. Tapi untung Cap-si Kouw menyela

"Lain kali kalian masih punya kesempatan untuk bertemu lagi," kata Cap-si Kouw, "Nona Ci tidak ingin hubungannya dengan kita diketahui oleh tamu piauw- kouwmu itu, jadi kau tidak perlu mengantarkan dia."

Pemuda itu tampak kecewa mendengar keterangan itu. "Kalau begitu mudah-mudahan kelak kita bisa bertemu

lagi!" kata dia berharap. Setelah pemuda itu mengundurkan diri Cap-si Kouw segera menuang teh untuk nona Ci.

"Tak terasa malam pun sudah larut, ayo minum tehnya dulu! Kelihatannya kau sudah mengantuk, ya?" kata Cap-si Kouw.

"Tak begitu ngantuk," kata nona Ci. "Aku juga sudah terbiasa di rumah selalu tidur sudah larut malam."

"Hm! Kedatangan Liong Sen telah memutuskan pembicaraan kita, oh ya tadi kita bicara sampai di mana?" kata wanita itu setelah meneguk tehnya.

"Kau bilang kau punya ide dan bisa mengantarkan arak obat ke tangan Paman Han," jawab nona Ci.

"Ya, tapi ada syaratnya. Asal kau bersedia menempuh bahaya dan kau bersedia merendahkan diri," kata Seng Cap- si Kouw.

"Sudah kubilang walau aku harus menempuh lautan api, aku bersedia," jawab nona Ci tanpa pikir panjang lagi.

"Bagus, kau harus mau seolah menjadi pelayanku," kata Cap-si Kouw. "Aku akan menyuruh pembantuku mengantarmu ke rumah batu itu."

Kelihatan nona Ci jadi agak ragu-ragu.

Melihat sikap nona itu Cap-si Kouw bicara lagi.

"Aku tahu ide ini sangat keterlaluan," kata Cap Si Kouw.

"Tidak! Tidak!" kata nona Ci. "Aku tidak merasa direndahkan. Malah aku girang jika bisa jadi pelayanmu. Namun.... kebetulan beberapa hari yang lalu, aku telah bertemu dengan Chu Kiu Sek. Padahal iblis tua itu ada di rumah batu itu. Apa dia tidak akan mengenaliku?" Cap-si Kouw manggut-manggut.

"Oh begitu! Itu tidak jadi masalah, aku punya obat yang bisa mengubah wajahmu. Setelah kau memakainya kau pun tidak akan mengenali dirimu sendiri," kata Cap-si Kouw.

"Baik, semua terserah pada Cap-si Kouw saja!" jawab nona Ci heran dan kagum.

"Ceritanya begini,"kata Cap-si Kouw. "Beberapa tahun yang lalu Soat-li-ang Beng Cit Nio meminta kepadaku agar aku mencarikan seorang nona pelayan yang mengerti sastra dan seni lukis. Dia bilang untuk menemaninya. Aku yakin kau mampu mengerjakan semua itu! Aku kira arak obat yang dirampas oleh Soat-li-ang itu akan dia simpan, aku yakin tidak akan dia buang."

"Ya, kau benar," kata nona Ci. "Jika akan dia buang arak itu mengapa dia harus bersusah-payah merebutnya dari kami, saat itu dengan mudah dia bisa menghancurkan guci arak itu! Aku heran, kenapa dia merebut arak obat itu?"

"Kau belum mengerti semua maksudnya, mengapa aku menyuruhmu untuk mencuri arak itu, kan? Aku yakin Soat- liang mencuri arak itu karena dia tahu arak itu akan diberikan kepada Han Tay Hiong." kata Cap-si Kouw. "Apa kau takut menempuh bahaya jika kau ke sana?"

"Bukan aku takut menempuh bahaya," kata nona Ci, "harap kau tidak salah mengerti."

"Aku tahu hal itu," kata Cap-si Kouw. "Maka itu kumanfaatkan kau untuk menjalankan ideku itu!"

"Tolong Cap-si Kouw jelaskan!" kata nona Ci. "Saat ini Han Tay Hiong dikurung di rumah batu," kata Cap-si Kouw. "Karena cintanya hingga dia jadi benci kepada Han Tay  Hiong.  Tapi  dia  tidak  ingin  Han  Tay  Hiong   mati, malah dia berharap Han Tay Hiong mau tunduk kepadanya. "

Nona Ci mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Aku rasa kau sudah tahu sifat Han Tay Hiong, bukan? Dia pria yang keras kepala. Dia merasa terhina karena tertangkap hidup oleh Soat-li-ang, jangankan dia mau tunduk, apalagi jika Soat-li-ang menyuruh dia minum arak obat itu. Tanpa syaratpun aku yakin dia akan menolaknya!" kata Cap-si Kouw.

Nona Ci sadar setelah mendengar penjelasan itu.

"Oh, jadi Cap-si Kouw bukan hanya agar aku mencuri arak obat itu, tapi juga dia ingin agar aku bisa membujuk Paman Han supaya mau minum arak itu?" pikir nona Ci.

"Jika kau jadi pelayan adik-misanku, atas dasar kecerdasanmu itu aku yakin kau bisa membujuk adik- misanku, dan kau bisa mencuri arak obat itu!" kata Cap-si Kouw.

"Kau benar, membujuk Paman Han minum arak itu aku rasa lebih sulit dibandingkan mencurinya," katanona Ci.

"Untung hubunganmu dengan puteri Han Tay Hiong sangat baik. Aku yakin dia tidak akan mencurigaimu Dia pria keras kepala dan tidak mau menerima budi baik dari musuhnya. Setelah kau mencuri arak obat itu, kau jelaskan kepadanya dan bujuk dia agar dia mau meminumnya. Aku yakin itu tidak terlalu sulit!" kata Cap-si Kouw.

"Hm! Aku malah tidak tahu apakah ayah dan anaknya itu membenciku atau tidak? Tapi tidak ada salahnya cara ini akan aku coba," pikir nona Ci.

Setelah itu dia berkata lagi. "Aku bersedia menempuh bahaya itu, tapi Paman Han bukan hanya terluka oleh Sui-lo-im-sat-kang, tapi dia juga terluka oleh Hua-hiat-to..." kata nona Ci.

"Luka pukulan ilmu Hua-hiat-to memang ganas, tapi lebih mudah diobati," kata Cap-si Kouw. "Aku punya sebungkus obat untuk luka itu. Han Tay Hiong memiliki lweee-kang yang tinggi, aku yakin dia bisa segera sembuh dengan cepat. Sebaiknya obat itu dicampur dengan arak obat itu!"

"Ide yang bagus, mudah-mudahan aku tidak mengecewakanmu," kata nona Ci.

"Semoga kau berhasil, sekarang tidurlah," kata Seng Cap-si Kouw sambil tersenyum.

Setelah Seng Cap-si Kouwe bertepuk tangan maka muncullah Tik Bwee menemui mereka.

"Ajak Nona Ci ke kamarnya!" kata Cap-si Kouw.

Kamar tidur tamu itu cukup bersih sekalipun sangat sederhana. Semua perabot di kamar itu terbuat dari bambu, di meja bambu terdapat pendupaan yang terpasang apinya dan asapnya menebarkan aroma harum di ruangan itu. Sampai di kamar itu Tik Bwee menunjuk ke sebuah botol hijau.

"Itu obat kulit untukmu, sebelum kau tidur sebaiknya kau pakai dulu," kata Tik Bwee.

Nona Ci manggut, lalu berkata.

"Kak Bwee, apa kau yang akan mengantar aku ke sana?" kata nona Ci.

"Aku tidak tahu, majikan belum memberi perintah. Entah aku atau Tik Kek yang akan mengantarkan Nona Ci ke sana." jawab Tik Bwee. Nona Ci tersenyum. "Beng Cit Nio meminta pada majikanmu agar kau melayani dia di sana, kan?" kata Nona Ci.

"Dari mana kau tahu tentang itu. Nona Ci?" kata Tik Bwee agak terkejut.

"Dari nada bicaramu! Aku tidak tahu atau tidak, tapi aku menduga kau pernah menolak permintaannya, ya kan?" kata nona Ci Giok Hian sambil tersenyum manis.

"Kau cerdas sekali, Nona," kata Tik Bwee. "Benar aku tidak mau berkerja di sana. Ditambah lagi majikanku tidak sampai hati melepaskan aku ke sana."

"Oh, jadi begitu?" kata nona Ci.

Tik Bwee membereskan tempat tidur bambu untuk nona Ci.

"Ini tempat tidurmu, aku harap kau tidak  merasa kecewa. Oh ya, di ranjang ada pakaian tidurmu. Tapi aku mohon maaf, aku tidak bisa melayanimu," kata Tik Bwee.

"Terima kasih atas perhatianmu," kata nona Ci. "Kau cerdas dan cantik, orang yang melihatmu pasti menyukaimu!"

"Kau terlalu memujiku, Nona Ci. Terima kasih aku tidak pantas menerimanya," kata Tik Bwee sambil tersenyum manis.

Kemudian pelayan itu pamit. Setelah Tik Bwee pergi nona Ci mengawasi pendupaan sambil termenung. Dia sedang memikirkan kehidupan manusia yang sulit diduga Contohnya Han Tay Hiong, dia berilmu tinggi dan gagah. Malah rumahnya habis terbakar, pelayannya semua binasa. Pertemuan dia dengan Cap-si Kouw pun sungguh di luar dugaan sekali. "Cap-si Kouw berhati lembut dan hangat. Sungguh sulit dicari orang seperti dia?" pikir nona Ci. "Tadi saat dia bicara dengan Seng Liong Sen, dia bicara dengan maksud tertentu, itu membuat aku jadi serba salah."

Begitu nona Ci melamun. Kemudian dia berpikir lagi. "Dia  sahabat  Han  Tay  Hiong,  dia  tahu  hubunganku

dengan  Kok  Siauw  Hong.  Aku kira  wajar  kalau dia agak

keberatan aku merebut kekasih puteri sahabatnya itu! Jika ditilik dari sudut orang-orang tua, jelas aku yang bersalah! Mungkin dia pikir untuk memecahkan masalah kami itu, maka dia mencoba mencarikan pemuda lain sebagai pengganti calon menantu Han Tay Hiong itu. Hm! Tapi kau tidak mengetahui cintaku pada Kok Siauw Hong sudah dalam sekali. Sekalipun keponakanmu itu lebih baik dari Kok Siauw Hong, hatiku tidak akan berubah!" begitu Ci Giok Hian berpikir.

Setelah menghela napas panjang nona Ci kembali melamun.

"Aku tidak peduli semua itu, tapi aku khawatir Han Pwee Eng mencurigaiku? Ah, biar aku tetap akan mencobanya." pikir nona Ci.

Dia memandang ke arah jendela, dia lihat rembulan sudah hampir tenggelam. Itu tandanya hari sudah lewat tengah malam. Buru-buru dia olesi wajahnya dengan obat yang ada di botol hijau itu. Dia berganti pakaian dan naik ke pembaringam. Tapi dia tidak bisa tidur sampai akhirnya fajar pun menyingsing. Tik Bwee masuk ke kamar itu.

"Selamat pagi!" kata Tik Bwee. "Pagi," jawab nona Ci.

Tik Bwee tersenyum "Pagi sekali kau sudah bangun, aku kira kau masih tidur? Tadi majikanku bilang, akulah yang harus mengantarkanmu, Nona Ci!" kata Tik Bwee.

Ci Giok Hian tersenyum, dia tahu apa maksud Tik Bwee. Dialah yang akan mengantarkan nona Ci ke rumah batu untuk menemui Soat-li-ang Beng Cit Nio.

Nona Ci tahu tugas itu tidak disukai oleh nona Tik ini.

Maka itu dia langsung berkata dengan manis.

"Semalaman aku telah menyusahkanmu, pagi ini kau juga yang bertugas untuk mengantarkan aku. Sungguh aku tidak enak hati dan jadi merepotkanmu. Aku tahu kau tidak menyukai tugas ini," kata nona Ci.

Tik Bwe tersenyum.

"Nona Ci kau baik sekali dan kau tidak menganggap aku ini seorang pelayan, tapi kau anggap aku seperti sahabatmu. Sekalipun aku tidak suka pada Soat-li-ang, tapi aku senang bersahabat denganmu. Kau jangan sungkan, biar aku yang menyisiri rambutmu!" kata Tik Bwee.

"Kau sangat pandai bicara," kata nona Ci sambil tersenyum. "Tapi aku tidak mau merepotkanmu."

Diamembuka lemari dan mengeluarkan sebuah cermin terbuat dari tembaga mengkilap, lalu dia sodorkan ke hadapan nona Ci.

"Nona Ci lebih baik aku yang mendadanimu, sekalipun aku tidak suka pada Soat-li-ang, tapi aku gadis yang disukainya," kata Tik Bwee.

Ci Giok Hian sadar pasti Tik Bwee mendapat perintah dari Cap-si Kouw agar merias dirinya

Saat dia melihat ke kaca tembaga, mata Ci Kok Hian langsung terbelalak. Sekarang wajahnya telah berubah dan tampak pucat-pasi, sekalipun tetap cantik. Tapi sekarang dia jadi tidak mengenali wajahnya sendiri.

"Obat itu luar biasa sekali!" kata nona Ci. "Sekarang aku tidak takut sekalipun aku harus bertemu dengan Chu Kiu Sek!"

"Nona, sekarang kau sudah harus menyamar jadi puteri seorang sastrawan miskin dari sebuah desa. Katakan karena keluargamu miskin, maka kau telah dijual dan kau harus ingat cerita ini!" kata Tik Bwee memberi petunjuk.

"Hm! Sekarang aku dia hias menjadi seorang gadis yang lemah-lembut, mana orang mengira aku gadis Rimba Persilatan?" pikir nona Ci.

Tik Bwee mengambil seperangkat pakaian dan nona Ci segera mengenakannya. Nona Ci sekarang kelihatan seperti gadis miskin yang kurus. Tik Bwee tersenyum.

"Nah, sekarang sudah beres! Tapi pakaian itu sungguh merendahkan derajatmu, Nona Ci," kata Ti Bwee.

Tik Bwee mengajak nona Ci ke ruang tamu. Di sana majikannya sudah duduk menantikan kedatangan mereka. Begitu Cap-si Kouw melihat nona Ci muncul, Cap-si Kouw tersenyum.

"Kau mirip seorang gadis dari keluarga miskin, melihatmu aku jadi iba sekali," kata Cap-si Kouw. "Nona Ci, apa Tik Bwee sudah memberitahu asal-usul samaranmu?"

Nona Han tersenyum.

"Sudah, aku akan mengarang cerita entah Soat-li-ang akan mengetahuinya atau tidak?" kata nona Ci.

”Adik-misanku itu akhli silat, sangat sulit mengelabui dia!  Tapi  jika  kau  mengaku  hanya  mengerti  sedikit ilmu silat, aku pikir kau bisa menyusup ke sana dengan leluasa. Dan kau harus bilang bahwa kau bisa silat karena aku yang mengajarimu!" kata Cap-si kouw.

Kemudian Cap-si Kouw mengajari beberapa jurus silat pedangnya. Setelah itu dia berkata pada Ti Bwee.

"Begitu kau bertemu dengan piauw-kouwku, pasti dia akan menanyakan tentang aku!" kata Cap-si kouw. "Katakan saja dengan jujur, bahwa aku kurang senang pada kedua tamunya itu. Setelah kedua tamunya itu pergi, baru aku akan menemuinya!"

"Baik, memang dia j uga sudah tahu kita sangat benci pada tamunya itu!" jawab Tik Bwee.

"Apa Liong Sen sudah bangun?" kata Cap-si Kouw. "Belum, dia masih tidur," jawab Tik Bwee. "Baiklah, kalian boleh pergi sekarang juga," kata Cap-si Kouw. "Sekembali kau mengantarkan Nona Ci, baru kau bangunkan dia!"

Nona Ci cerdas, malam itu Cap-si Kouw memuji-muji keponakannya itu, dari nada suaranya dia ingin menjodohkan keponakannya itu dengan dia. Nona Ci jadi agak kurang senang. Tapi terhadap pemuda itu nona Ci terkesan baik. Mendengar pemuda itu belum bangun dia jadi berpikir.

"Orang yang melakukan perjalanan jauh siang dan malam, pasti lelah sekali dan dia akan tertidur lelap," pikir nona Ci. "Tapi bagi dia yang seorang pesilat tinggi, tidak akan tidur selelap itu! Dia tidak muncul untuk pamit padaku, apa karena dia takut pada bibinya, atau dia lupa pada ucapan bibinya? Bibinya melarang Seng Liong Sen mengantarkan dia, itu bisa dimengerti karena sangat berbahaya. Sekarang dia telah menyamar seperti pelayan, mana boleh dia mengantarkan seorang pelayan? Bagaimana kalau hal itu terlihat oleh orang-orang di rumah batu itu? Itu pasti akan menimbulkan rasa curiga mereka. Tapi kalau dia mau pamit padaku, kan boleh juga? Apa Cap-si Kouw melarangnya?"

Nona Ci ini cerdas dan cermat. Dia tidak kecewa pemuda itu tidak pamit kepadanya, tapi dia pikir hal itu agak ganjil.

"Jika Cap-si Kouw ingin jadi Mak Comblang, mengapa dia tidak memberi kesempatan agar pemuda itu bisa dekat denganku? Aku memang tidak akan menemuinya, peduli amat! Kenapa aku harus memikirkan dia? Sekarang aku harus berpikir bagaimana aku bisa menolong Han Tay Hiong dan Han Pwee Eng? Sesudah bertemu dengan Pwee Eng aku akan berusaha menghilangkan ganjalan di hatinya!" pikir nona Ci.

Saat berjalan sambil melamun tanpa terasa Ci Giok Hian dan Tik Bwee sudah sampai ke dekat rumah batu itu. Tiba- tiba dia mendengar suara menderu-deru hingga nona Ci tersentak kaget. Saat dia menengadah sekarang mereka sudah berada di dekat air terjun. Samar-samar rumah batu itu sudah mulai kelihatan.

"Nona, hari ini aku mengantarkanmu, besok aku akan mengantarkan Siauw-ya! Bagaimana menurutmu Siauw-ya kami itu?" kata Tik Bwee sambil tersenyum.

Pertanyaan yang sangat tiba-tiba itu membuat nona Ci jadi gugup dan tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Pelayan itu tertawa.

"Bukankah semalam majikanku telah memberitahu tentang Siauw-ya padamu? Kau suka tidak padanya?" kata Tik Bwee.

'Eh, apa Ca-si Kouw menyuruh dia menyelidiki aku?" pikir nona Ci. " Atau hanya dia yang usil?" "Dia masih muda, tapi sudah jadi murid pilihan Kang- lam Beng-cu, aku kagum padanya! Tapi itu tidak berarti aku suka, lho!" kata nona Ci.

"Dia sudah menganggapmu kawan akrabnya, malah dia sangat rindu padamu. Semalam dia berpesan kepadaku agar dia dibangun-kan, supaya pagi ini dia bisa pamit padamu!" kata Tik Bwee sambil tertawa.

"Bagus kau tidak membangunkan dia!" kata nona Ci, "j adi aku tidak repot harus menemuinya!"

"Kau keliru. Nona, aku bukan tidak mau menuruti pesannya, tapi sengaja majikanku mempermainkan dia Sekalipun aku panggil dan membangunkannya, dia tidak akan bangun. Apakah kau tahu apa sebabnya?" kata Tik Bwee.

Ci Giok Hian tidak mau bicara soal pemuda itu, tapi pertanyaan pelayan itu membuat dia jadi penasaran.

"Lalu apa sebabnya?"

Akhirnya Ci Giok Hian bertanya juga.

"Ketika dia mau tidur aku sengaja membakar dupa agar kamarnya harum, tapi itu bukan dupa biasa melainkan dupa yang sudah dicampur dengan obat tidur. Tidak heran kalau dia tertidur lelap sekali sampai sekarang. Sebelum siang dia belum akan bangun dari tidurnya!" kata Tik Bwee.

Nona Ci tersentak.

"Oooh, begitu!" kata nona Ci.

"Kenapa bibinya berbuat begitu?" pikir nona Ci. "Apa karena dia sangat sayang kepada keponakannya karena sangat kelelahan dalam perjalanan, maka diadisuruh tidur lebih lama, atau karena dia tahu aku tidak tertarik pada keponakannya itu?" "Kenapa bisa begitu?" tanya Ci Giok Hian.

"Aku tidak tahu kenapa majikanku menyuruh aku berbuat begitu? Karena perintah majikan maka aku laksanakan juga. Aku merasa bersalah kepadanya, dia sudah pesan tapi aku tidak membangunkannya. Karena ulahku itu maka dia tidak bisa bertemu denganmu, Nona Ci! Maka kuberitahu kau tentang perasaan hatinya  padamu. " kata pelayan itu sambil tersenyum.

"Tak apa, kau tidak perlu minta maaf padaku," kata nona Ci.

"Hm! Kau pikir itu tidak penting, tapi Siauw-ya menganggapnya lain, ini penting karena besok dia juga  akan pergi, kelak kalian tidak akan mudah untuk bisa bertemu lagi!" kata Tik Bwee menjelaskan.

"Katakan rasa terima kasihku padanya," kata nona Ci. "Ada pertemuan pasti akan ada saat berpisah. Jika kau bertemu denganya sampaikan kata-kataku ku!"

"Aaah! Kalau begitu kau memang tidak ingin menemuinya," kata Tik Bwee.

"Bukan aku tidak ingin, tapi kau tahu sendiri aku harus ke rumah batu menghadapi bahaya. Maka itu bukan hanya aku tidak akan bertemu lagi dengannya, bahkan mungkin aku tidak akan bertemu dengan orang yang ingin kutemui!" kata nona Ci.

Tiba-tiba terdengar ada suara panggilan. "Nona Ci, tunggu!"

Nona Ci kaget bukan kepalang.

Dia langsung menoleh, kiranya Seng Liong Sen muncul di depan mereka. Semula dia tidak ingin bertemu dengan pemuda itu, sekarang malah dia ada di hadapan mereka. Tik Bwee pun kaget bukan kepalang.

"Siauw-ya, kenapa kau datang ke mari?" kata pelayan  itu. "Cepat kermbali! Bagaimana kalau majikanku tahu hal ini?"

Seng Liong Sen melesat tahu-tahu sudah ada di hadapan pelayan itu.

"Tik Bwee, kau jangan gugup!" kata Liong Sen

Tiba-tiba Seng Liong Sen mengulur jari tangannya menotok jalan darah pelayan itu. Seketika itu juga Tik Bwee pun roboh. Nona Ci tidak menduga pemuda itu akan menotok pelayan itu.

"Kau... Kau... Apa yang kau lakukan terhadapnya?" kata nona Ci gugup.

Sebelum pelayan itu roboh ke tanah, Seng Liong Sen memapahnya sambil berkata, "Tik Bwee, maafkan aku, kau harus istirahat dulu sejenak," kata pemuda itu sambil mengawasi ke arah Ci Giok Hian. "Nona Ci ada masalah harus dibicarakan denganmu! Dan hanya kau yang boleh mengetahuinya!"

"Masalah apa? Mengapa hanya aku yang boleh mengetahuinya?" kata nona Ci.

"Benar," kata pemuda itu. "Hanya kau!"

Kemudian dia merebahkan Tik Bwee di bawah sebuah pohon. Sesudah itu dia perhatikan nona Ci.

"Nona Ci, mari kita bicara di sana saja!" kata Liong Sen. "Kau totok jalan darahnya mungkin dia telah kehilangan

kesadarannya," kata Ci Giok Hian. "Sudah sejak kecil dia ikut Bibiku, kepandainya tinggi, aku malah khawatir dia bisa membebaskan diri," kata Seng Liong Sen. Nona Ci mengerutkan dahinya.

"Apa yang mau dia bicarakan denganku?" pikir nona Ci. "Mengapa butuh waktu lama? Jika masalah ini tidak boleh diketahui oleh Tik Bwee, itu berarti tidak boleh diketahui oleh bibinya. Mengapa dia berbuat begitu? Apa hubungan dia dengan bibinya ada yang tidak beres?"

Begitu nona Ci berpikir. Pemuda itu tersenyum padanya.

"Masalah ini tidak boleh diketahui oleh Tik Bwee juga oleh Bibiku," kata pemuda itu sambil tersenyum, "Jangan takut aku tidak akan mencelakaimu!"

Nona Ci mengangguk, dia murid Kang-lam-beng-cu bernama Bun Ek Hoan, jelas nona Ci percaya kepada kejujuran pemuda itu. Mereka lalu berjalan menuju ke sebuah pohon besar. Sampai di bawah pohon pemuda itu mengawasi nona Ci.

"Coba kau bersihkan hawa mumimu pada jalan darah Hong-hu-hiat, apa ada yang terasa ganjil atau tidak?" kata pemuda itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar