Beng Ciang Hong In Lok Jilid 12

Hanya tiga bulan saja perubahan telah datang. Rumahnya terbakar, para pelayannya dibantai. Sedang sang ayah entah di mana. Saat dia perhatikan rumahnya yang terbakar rasanya ia ingin menangis. Dulu dia hidup senang bersama ibu dan ayahnya, setelah ibunya tiada harapannya hanya pada ayahnya. Sekarang sang ayah entah di mana? Harapan lain adalah pada Kok Siauw Hong calon suaminya. Dulu dia tidak merasakan lelaki itu sebagai kekasihnya. Ketika itu dia masih kecil. Setelah dewasa dan diberitahu oleh ayahnya, dia hanya melihat lelaki itu dari jarak cukup jauh. Sekalipun dia belum pernah bicara berduaan, seluruh cintanya dia tumpahkan kepada pemuda itu. Tak diduga ada musibah, pertunangannya dibatalkan oleh Kok Siauw Hong. Semua itu di luar dugaan nona Han. Dua orang yang sangat dia cintai yaitu ayahnya dan pemuda    itu.    Tapi    sekarang    mungkin    ayahnya akan bersamanya lagi, tapi Kok Siauw Hong sudah menjadi milik orang lain.

Langit biru, rembulan pun terang cahayanya. Dia menengadah ke atas dan menggumam.

"Entah aku akan terombang-ambing sampai kapan?" katanya.

Saat itu sudah hampir subuh, rumah sudah tak bisa diharapkan lagi, sedangkan Kok Siauw Hong pun tidak kelihatan kembali. Sudah beruang-ulang nona Han akan meninggalkan tempat itu. Tapi selalu dia batalkan dan berpikir.

"Dia bilang mau kembali, aah coba kutunggu sebentar lagi!" begitu dia berpikir.

Tiba-tiba nona Han tersentak.

"Mengapa aku mempercayainya? Mengapa aku malah berharap kepadanya?" pikir nona Han.

Dia tahu kedatangan pemuda itu ke rumahnya untuk membatalkan pertunangan mereka Namun, dia tidak benci kepada Kok Siauw Hong, hanya rasa dongkolnya belum hilang seluruhnya Tapi dia merasa terhina dan kehilangan muka. Meskipun demikian dia bisa memaafkan Ci Giok Hian yang sakling mencintai itu. Tapi dia tidak bisa meaafkan Kok Siauw Hong yang telah menyinggung perasaan hatinya. Tapi saat dia bertemu dengan Kok iauw Hong di rumahnya, sungguh di luar dugaan, ternyata Kok Siauw Hong tidak menghina dia seperti dugaannya Malah pemuda itu sangat menghormatinya. Dia tahu hal itu dari gerak-gerik pemuda itu terhadapnya Sikap dan tutur bahasanya baik. Selain itu pemuda itu pun melindungi dia mati-matian dari bahaya. Bukan saja membantu mengusir Chu Kiu Sek, tapi pada saat melihat rumahnya terbakar dia juga bersimpati.

Nona Han tahu itu bukan cinta, tapi harus dia akui Kok Siauw Hong masih berperasaan dan berbudi. Tetapi semua itu hanya kasih terhadap seorang teman. Nona Han menganggap tindakan pemuda itu sangat terpuji, seorang pemberani yang berani menemui ayahnya, sekalipun risikonya dia bakal dimaki-maki bahkan dibunuh oleh ayahnya.

Perlahan-lahan kesan buruknya terhadap pemuda itu mulai sirna. Tiba-tiba dia menganggap pemuda itu mirip ayahnya bertanggungjawab, hingga ia berharap pemuda itu akan segera kembali menemuinya.

Benarkah dia mirip ayahnya Atau sekarang dia butuh kasihsayangnya?

"Tidak! Tidak!" begitu dia pikir. "Aku hanya mengharap dia segera kembali karena aku ingin tahu di mana Ayahku berada sekarang? Dari orang yang dikubur itu, pasti dia sudah mendapat keterangan. Dia bilang dia akan kembali memberitahuku?"

Begitu nona Han berpikir.

Saat dia menunggu kedatangan Kok Siauw Hong sambil melamun, mendadak nona Han mendengar suara yang mencurigakan. Saat nona Han menengadah dia melihat sesosok bayangan hitam turun dari atas tembok.

Ketika itu nona Han mengira orang yang datang itu Kok Siauw Hong, dia akan berkata, "Kau sudah kembali!" Tetapi pertanyaannya terhenti seperti tersumbat di kerongkongannya. Setelah diawasi nona Han tahu orang itu bukan  Kok  Siauw  Hong!  Dia  seorang  lelaki  asing   yang umurnya diperkirakan sekitar  tahun. Wajahnya tampak pucat seperti berpenyakitan.

"Siapa kau?" kata nona Han yang kaget bukan kepalang. "Nona, kau jangan kaget!" kata lelaki itu. "Mari ikut

aku!"

Sekalipun wajahnya tak berperasaan, namun suaranya sangat lembut, kelihatan dia tidak berniat jahat.

"Mengapa aku harus ikut denganmu?" tanya nona Han. "Jika kau ikut aku, kau akan bertemu dengan ayahmu!"

jawab lelaki itu.

Mendengar jawaban itu Han Pwee Eng kaget bercampur girang.

"Apa Ayahku... .Dia belum mati! Di mana dia?" kata nona Han.

"Ya, dia belum mati! Jika sudah mati untuk apa aku mengajakmu menemuinya? Sudah jangan banyak bicara mari ikut aku!" kata lelaki itu.

Han Pwee Eng bukan anak kecil lagi, jadi mana mungkin dia percaya begitu saja padanya dan mana mungkin dia langsung mau ikut dengannya, karena lelaki itu asing baginya

"Sebenarnya kau ini siapa?" kata nona Han.

Orang itu malas banyak bicara. Lalu dia tunjukkan jari tangannya. Di salah satu jari tangan lelaki itu terlihat sebuah cincin yang sangat dikenali oleh nona Han. Batu cincin itu berwarna merah. Sesudah melihat cincin itu nona Han agak senang.

"Walaupun kau tidak kenal padaku, tetapi aku kira kau mengenali cincin ini, bukan?" kata lelaki itu. Nona Han girang dia yakin lelaki itu utusan ayahnya. Cincin bermata merah itu adalah cincin kesayangan Han Tay Hiong. Pada akhir-akhir ini ayah nona Han sering memakainya dan cincin itu tidak pernah lepas dari jarinya. Nona Han ingat cincin itu hadiah dari teman ayahnya. Ketika itu teman ayahnya pamit, setelah dia pergi ayahnya bercerita tentang cincin itu pada nona Han.Saat ayahnya terluka oleh pukulan Chu Kiu Sek, ayahnya terbaring di tempat tidur tak bisa bergerak. Saat itu datang seorang pria yang mengaku bernama Siang-koan Hok. Nona Han tidak kenal lelaki itu, tapi ayahya senang karena baru bertemu dengan teman lama itu. Tamu itu dijamu oleh ayahnya. Pria itu bermalam semalam di rumah Han Tay Hiong, orang itulah yang memberi ayahnya cincin bermata merah itu.

'Cincin ini terbuat dari emas hitam, tapi yang paling berharga batu merahnya, batu itu disebut batu Thian-sim- Ciok (Batu hati Langit). Di dunia hanya terdapat di Kun- lunsan. Batu merah memang bermacam-macam tapi batu ini hanya ada di puncak Kun-lun. Hanya orang yang ilmu silatnya tinggi yang mampu naik ke puncak Kun-lun dan bisa mendapatkan batu ini!" kata ayahnya

'Apa batu itu ada manfaatnya bagi manusia?' tanya nona Han waktu itu. 'Tentu ada khasiatnya, bisa menjadi obat. Batu ini mengandung hawa panas hingga dapat melawan racun yang sifatnya dingin. Hanya khasiatnya mengobati dengan pelahan-lahan." Kata ayahnya. 

Ayah nona Han sejak saat itu selalu memakai cincin itu.

Saat ini dia lihat cincin kesayangan ayahnya itu ada di tangan lelaki yang wajahnya berpenyakitan itu. Oleh karena lelaki itu mengenakan cincin yang biasa dipakai oleh ayahnya, maka nona Han yakin bahwa orang itu' utusan ayahnya'. Maka itu nona Han jadi tak ragu-ragu lagi. Sesudah menunjukkan cincin, lelaki itu berbalik lalu pergi. Terpaksa nona Han mengikutinya. Lelaki bertampang penyakitan itu ternyata gin-kangnya tinggi.  Saat dijalan yang berbatu di pegunungan ia bisa berjalan cepat laksana terbang.Nona Han terpaksa menggunakan gjn-kang Pat-poukan-tan sehingga dia bisa mengimbanginya.

"Apa ayah ada di sini? Tapi di gunung ini tak ada rumah?" pikir nona Han.

Dia mempercepat larinya menyusul lelaki itu. "Bagaimana keadaan Ayahku? Sekarang di mana dia?"

tanya nona Han.

"Kau jangan banyak tenaga supaya tidak buang waktu. Ikuti saja aku! Kau akan segera tahu di mana ayahmu berada." katanya.

Gin-kang nona Han belum sempurna, tak heran jika dia jadi tertinggal jauh dari lelaki itu.

"Dia benar, setelah bertemu Ayah semuanya akan jadi jelas. Mengapa aku harus gugup?" pikir nona Han.

Gunung itu tidak tinggi tapi berbahaya, banyak jurang dan lembah yang curam. Tak lama mereka sudah sampai di puncak gunung itu. Di depan mereka sudah tidak ada jalan lagi, tebing kelihatan bagaikan sebuah tembok kota. Di tempat itu ada batu besar mirip sebuah pelataran, di bagian baratnya terdapat air terjun. Pemandangan di tempat itu sangat indah.

"Apa maksudnya dia membawaku ke tempat ini?" pikir nona Han.

Tak lama lelaki itu melompat lalu masuk melewati air terjun. Rupanya di balik air terjun itu terdapat sebuah goa. Nona Han ikut melewati air terjun itu. "Oh ternyata di sana masih ada jalan tembus," pikir nona Han.

Untung air terjun itu tidak besar hingga tidak membasahi pakaian nona Han, ditambah lagi dia melompat dengan cepat Dari jauh baru nona Han melihat sebuah lembah, di sana ternyata ada sebuah rumah.

"Tak kusangka di balik air terjun terdapat lembah. Tapi rumah batu itu baru dibuat, jika tidak mengapa Ayahku tak pernah bilang ada rumah di sini?" pikir nona Han.

Gunung itu letaknya tak jauh dari rumah nona Han. Sejak kecil si nona sering bermain di situ bersama para pelayannya. Tapi dia dan para pelayan tak ada yang tahu kalau di balik air terjun ada jalan menuju ke lembah itu. Dia heran tapi tak banyak bicara.

Lelaki itu mengajak nona Han menuju ke rumah batu itu. Sampai di sana lelaki itu mengetuk pintu rumah batu tiga kali. Tidak lama pintu rumah itu terbuka. Seseorang menyembulkan kepalanya. Orang itu bermata sipit seperti mata tikus. Dia melirik ke arah nona Han lalu tertawa terkekeh sambil berkata, "Oh ternyata Ji Su-ko (Kakak Seperguruan kedua) yang datang. Wah nona ini cantik sekali!" katanya.

Nona Han langsung membentak.

"Jangan bicara sembarangan, cepat buka pintunya!" kata si nona.

Melihat lelaki bermata seperti mata tikus itu nona Han langsung sebal. Apalagi tingkah lelaki itu agak ceriwis. Tapi segera bertemu dengan ayahnya, dia tidak mau ribut. Dia langsung masuk. Sampai di dalam rumah dia tidak melihat ada orang lain. Dia langsung tersentak dan berpikir. "Celaka, ini perangkap!" pikir nona Han baru sadar.  "Jika lelaki itu utusan Ayah sedang merawat luka di tempat ini, tak mungkin lelaki tadi berani berbuat ceriwis. Lagi pula dia pernah bilang "Membawa" bukan mengajak, ini pasti tidak beres. " Dia mulai waspada.

"Barangkali Ayah terperangkap oleh musuh?" pikir nona Han. "Tapi bagaimana cincin kesayangannya bisa berada di tangan lelaki itu? Tapi bagaimana mereka tahu cincin itu bisa dijadikan "tanda" pengenal ayahnya untuk membohongiku?"

Saat itu nona Han yang berjalan mengikuti lelaki berwajah penyakitan sudah tiba di sebuah lorong.

"Nona Han, ayahmu ada di kamar itu!" kata lelaki berpenyakitan itu pada Han Pwee Eng.

Han Pwee Eng melihat di sana ada sebuah rumah dan lentera menyala agak remang-remang.

"Aku sudah sampai di sini! Apapun yang terjadi akan kuhadapi!" pikir nona Han.

la langsung memanggil. "Ayah! Ayah!"

"Jangan ribut, barangkali ayahmu sedang tidur," kata lelaki berpenyakitan itu.

Mendadak dari sebuah sudut berdiri seseorang yang mengenakan topi lebar. Semula nona Han tak memperhatikannya. Ketika melihat lelaki itu dia terkejut.

"Toa Su-ko buka pintunya, biar nona ini menemui ayahnya!" kata si penyakitan.

"Heran! Jika Ayah sedang merawat sakitnya, mengapa kamarnya dikunci. Dia mirip seorang tawanan saja!" pikir nona Han. Tak lama pintu kamar itu terbuka.

"Silakan!" kata lelaki bertopi pada nona Han.

Nona Han tersentak karena di bawah sinar lentera yang remang-remang ia mengenali lelaki itu, Pouw Yang Hian. Nona Han pernah bertemu dengannya di rumah makan "Ngi Nih Lauw", malah nona Han pernah bertarung dengannya di rumah makan itu bersama Kiong Mi Yun. Pouw Yang Hian inilah yang melukai orang-orang Chu Tay Peng, atau perkumpulan di daerah sungai Huang-hoo menggunakan pukulan Hua-hiat-to. Bukan main kagetnya nona Han saat itu.

"Bagus, beraninya kau membohongiku!" bentak nona Han.

Nona Han langsung menyerang ke arah Pouw Yang Hian, sebaliknya Pouw Yang Hian segera membalikkan tangannya dan mencengkeram lengan nona Han. Pada saat yang bersamaan lelaki berwajah penyakitan yang sejak tadi berdiri di belakang nona Han, ikut menyerang bahu nona Han. Nona Han terdorong ke dalam kamar. Keadaan di dalam kamar sangat gelap, nona Han hampir menubruk seseorang yang ada di dalam kamar itu. Akhirnya  nona Han membentur dinding kamar itu.

Tak lama terdengar pintu kamar itu ditutup dari luar. "Dasar perempuan liar!" Pouw Yang Hian mencaci. "Di

sini kau masih berani melawan, jika bukan karena perintah guruku kau sudah kubunuh!"

Tadi saat dia membalikkan tangan hendak mencengkram nona Han, dada Pouw Yang Hian tertotok tepat pada jalan darah Meng-khie-hiat oleh nona Han. Sekalipun lelaki penyakitan   telah   membebaskan   totokannya,   tapi   rasa sakitnya masih terasa oleh Pouw Yang Hian.

Nona Han tak peduli pada cacian itu. Dia membungkuk memperhatikan orang yang hampir tertabrak olehnya itu. Sejak kecil nona Han sudah belajar melihat di tempat gelap. Bukan main kagetnya nona Han hingga saat itu dia nyaris pingsan. Orang itu adalah Han Tay Hiong, ayahnya. Sejak awal dia sudah menduga ayahnya terluka. Orang tua itu sekarang tergeletak di lantai, entah masih hidup atau sudah mati?

"Ayah! Ayah!" nona Han memanggil. Han Pwee Eng mengulur tangannya yang gemetar ke arah ayahnya. Perlahan-lahan orang itu mencoba bangun.

"Kaukah, anakku Eng?" kata Han Tay Hiong. "Benar, Ayah!" jawab nona Han.

Legalah hati nona Han saat mendengar suara ayahnya itu. Ternyata ayahnya memang terluka parah, tapi tidak separah yang dia duga. Han Pwee Eng segera memeluk ayahnya. Rasa kaget, girang dan duka bercampur-aduk. Girang karena dia masih bisa bertemu dengan ayahnya Berduka karena ayahnya yang berilmu tinggi, sekarang tergeletak tidak berdaya.

Sekarang mereka berada dalam sebuah kamar yang gelap dan dijaga ketat. Tak mudah mereka bisa lolos dari tempat itu. Saat itu seakan nona Han sedang bermimpi buruk. Mereka saling berpelukan dan nona Han hanya bisa menangis sedih.

Mendadak lelaki berpenyakitan berkata ke arah kamar. "Nona Han, aku tidak bohong kan? Aku berjanji akan

mempertemukan   kau   dengan   ayahmu.   Sekarang kalian

sudah bertemu, bukan girang malah kau menangis! Legakan hatimu, kami tidak akan mencelakakan kalian." kata lelaki itu.

Tak lama terdengar lagi ia bicara dengan Pouw Yang Hian.

"Guru berpesan, kita tidak boleh menghina mereka. Toa Suko aku akan melapor dulu pada Guru!" kata lelaki itu.

Pouw Yang Hian mendengus.

"Hm! Aku sudah tahu, apa kau anggap aku ini bodoh, ya?" kata Pouw Yang Hian.

"Aku cuma khawatir Toa Su-ko tidak bisa mengendalikan diri," kata lelaki itu sambil tertawa. "Jika sudah tahu ya sudah, aku pamit dulu!"

Saat nona Han ingin menghibur ayahnya Han Tay Hiong mendahuluinya

"Nak, di depan musuh kau jangan menangis," kata Han Tay

Hiong.

"Ya, Ayah," jawab si nona perlahan. "Eng, apa kau terluka?"

"Tidak! Bagaimana keadaanmu?" Han Tay Hiong tertawa

getir.

"Kau sudah datang Ayah tidak akan mati!" kata Han Tay Hiong.

Jawaban itu menyimpang dari pertanyaan nona Han hingga nona Han jadi heran. "Mengapa Ayah tak mau bilang tentang lukanya? Malah dia bilang aku datang dia tidak akan mati. Apa maksudnya?" pikir

nona Han.

"Anak Eng, kau sudah pulang ke rumah kita?"

"Ya, semalam. Aku di sana bertemu dengan Chu Kiu Sek."

Han Tay Hiong terkejut

"Kau tidak pulang sendiri, kan? Di mana Kok Siauw Hong?"

Han Tay Hiong tidak tenang, dia khawatir 'menantunya' celaka oleh Chu Kiu Sek.

"Dia membantuku mengusir Chu Kiu Sek," jawab nona Han. "Sekarang dia ada di markas Kay-pang. Setelah dia pergi

datang lelaki berpenyakitan menipuku sehingga aku bisa bertemu dengan Ayah." kata nona Han.

Han Tay Hiong menarik napas lega.

"Kok Siauw Hong seorang pemuda yang baik budi dan setia, Ayah tidak salah memilihnya untukmu. Sekarang keadaan sedang kacau-balau, ditambah lagi kalian baru menikah. Tapi aku senang dia mau menemanimu pulang untuk menemui ayah. Ah! Sebenarnya ayah ingin setelah kalian menikah, kau jangan pulang dulu. Mungkin kalian sudah rindu pada ayah dan begitu cepat kau pulang. Kalian sangat berbakti ayah tidak menyalahkan kalian berdua!" kata Han Tay Hiong.

Jelas Han Tay Hiong mengira mereka telah menikah, dan  pulang  untuk  menengokinya.  Dia  tidak  tahu  telah terjadi peubahan yang sangat besar atas diri puterinya, bahwa pertunangannya telah dibatalkan oleh pihak laki- laki. Malah nona Han dan pemuda Kok datang ke Lok- yang pun tidak bersama-sama. Malah kedatangan Kok Siauw Hong justru akan membatalkan perjodohan dengan puterinya.

Wajah Han Pwee Eng merah, dia malu dan berduka. Untung tempat itu gelap sehingga perubahan pada wajah nona Han tak kelihatan oleh ayahnya Nona Han khawatir ayahnya akan berduka jika tahu apa yang terjadi sebenarnya, dan ini pasti akan berpengaruh pada luka ayahnya. Oleh karena itu nona Han tak berani menceritakan kejadian sebenarnya pada ayahnya. Sesaat kemudian nona Han bicara lagi.

"Ayah! Siapa yang melukaimu?" tanya nona Han. "Bagaimana keadaan luka Ayah sekarang?"

"Ayah dilukai oleh seorang Iblis Tua, dia menggunakan pukulan Hua-hiat-to!" jawab Han Tay Hiong. "Hm! Jika saat itu Ayah bisa bergerak dengan leluasa walau racun dingin di tubuh ayah belum punah, tapi pukulan Hua-hiat- to itu tidak akan bisa melukai ayah!"

Mendengar keterangan ayahnya nona Han terkejut bukan kepalang.

"Dengan pukulan Hua-hiat-to, Ayah pasti menderita sekali?" kata nona Han.

Han Tay Hiong malah tertawa.

"Kau tidak perlu cemas!" kata ayahnya. "Tidak salah Huahiat-to memang lihay. Kecuali ayahmu sudah tak ingin hidup, maka baru  Hua-hiat-to  bisa  merenggut  nywa  ayah. " Tapi mendadak Han Tay Hiong keheranan, lalu dia langsung bertanya.

"Nak, bagaimana kau tahu tentang Hua-hiat-to?" Han Pwee Eng balik bertanya.

"Ayah Iblis tua yang melukai Ayah itu bernama See-bun Souw Ya, kan?"

Mata Han Tay Hiong terbelalak karena herannya "Benar!

Bagaimana kau bisa mengetahui tentang Iblis Tua itu?"

"Lelaki yang memelihara bewok dan menjaga kamar ini adalah Pouw Yang Hian, muridnya! Ketika aku akan pulang ke Lok-yang, di tengah jalan aku bertemu dengannya. Dia berhasil melukai lima Hiang-cu dari lima perkumpulan di daerah Huang-hoo!" kata Han Pwee Eng.

Tapi pada saat yang bersamaan, Pouw Yang Hian yang berjaga di luar kamar membentak dengan sengit.

"Sementara ini aku tidak akan menyentuhmu, perempuan binal! Tetapi kau pasti tidak akan bisa lolos dari tanganku! Hm! Masih ada bocah busuk bernama Kong-sun Po, jika dia tertangkap, akan kusiksa dia untuk melampiaskan kedongkolanku!" kata Pouw Yang Hian dari luar kamar. Han Tay Hiong membentak gusar bukan main. "Kau berani menghina puteriku? Begitu aku keluar, yang pertama-tama aku akan membunuhmu! Saat aku terluka kau kira aku tak bisa berbuat apa-apa? Hm! Untuk membunuhmu gampang sekali seperti aku membalikkan telapak tanganku saja!" kata Han Tay Hiong.

Tiba-tiba Han Tay Hiong menyentil ke arah pintu. Pouw Yang Hian yang saat itu sedang mencuri dengar pembicaraan mereka, seketika itu telinganya berdengung keras sekali. Bukan main kagetnya Pouw Yang Hian. Dia langsung diam dan berpikir. "Padahal si tua sudah terluka oleh pukulan Hua-hiat-to guruku, tapi tetap saja lwee-kangnya sangat tinggi. Aku tak boleh meremehkan dia!" pikir Pouw Yang Hian yang wajahnya berubah jadi pucat-pasi. "Apa guruku akan membunuh atau melepaskannya, aku belum tahu pasti? Lebih baik aku jangan membuat dia gusar!"

Setelah memberi pelajaran pada Pouw Yang Hian, Han Tay Hiong berbisik pada puterinya

"Tadi aku dengar dia menyebut nama Kong-sun Po, siapa dia?" tanya Han Tay Hiong.

"Aku bertemu dengannya di sebuah rumah makan bernama "Ngih Nih Lauw". Katanya dia putera Kong-sun Khie. Pouw Yang Hian dikalahkan olehnya," sahut Han Pwee Eng.

Han Tay Hiong tertegun.

"Duapuluh tahun yang lalu Kong-sun Khie adalah seorang penjahat besar yang sangat kejam! Sedangkan Kong-sun Po puteranya, maka kunasihatkan pada kalian suami-isteri, kalian jangan bergaul dengannya!" kata Han Tay Hiong.

Han Tay Hiong mengira pertemuan Pwee Eng dengan Kong-sun Po terjadi pada saat puterinya ini berjalan bersama Kok Siauw Hong. Maka itu dia berkata begitu. Sedangkan nona Han tidak ingin ayahnya mengetahui apa yang telah dia alami, maka itu dia langsung mengangguk mengiakan keinginan ayahnya itu. Tapi hatinya sebenarnya bimbang dan dia berpikir.

"Entah bagaimana keadaan Nona Kiong sekarang? Dia sedang mencari Kong-sun Po, sudah bertemu atau belum? Kong-sun Po memiliki ilmu untuk memunahkan Hua-hiat- to. Jika dia datang ke mari, pasti dia akan bertarung dengan See-bun Souw Ya" pikir nona Han.

"Dari mana kau tahu tentang See-bun Souw Ya?" tanya ayahnya dengan suara perlahan.

"Dia juga yang memberitahuku tentang See-bun Souw Ya itu!" jawab nona Han.

"Jadi dia yang memberitahumu?" "Benar Ayah! Aku juga heran..."

"Kenapa kau heran?" tanya Han Tay Hiong.

"Aku dengar See-bun Souw Ya tinggal di Kwan-gwa (Di luar perbatasan). Ketika berada di kota Ouw-shia, Pouw Yang Hian mengalahkan lima perkumpulan daerah Huang- hoo. Dia bilang gurunya akan mulai beraksi di daerah Tiong-goan. Ketika itu dia bilang gurunya masih ada di Kwan-gwa. Bagaimana dengan mendadak dia jadi ada di sini? Ini tempat apa Ayah? Aku kira rumah batu ini sudah lama ada di tempat ini. tapi aneh malah kita tidak tahu? Apa ini tempat tinggal See-bun Souw Ya? Atau orang lain yang bersekongkol dengannya?" kata Han Pwee Eng.

"Kau benar, nak. Rumah batu ini memang sudah lama ada di sini! Sudah lama Ayah tahu, tapi aku melarang pegawai kita memberitahumu!" kata Han Tay Hiong.

Han Pwee Eng tercengang ketika mendengar keterangan ayahnya itu.

"Kenapa Ayah?"

Han Tay Hiong menghela napas panjang.

"Ya, kalau Ayah ceritakan ceritanya panjang sekali,"  kata Han Tay Hiong. "Saat ini lebih baik kau tidak perlu tahu dulu! Sepengetahuanku See-bun Souw Ya kenal baik dengan pemilik rumah batu ini. Ini sungguh-sungguh di luar dugaan Ayah!"

Nona Han tidak habis pikir dia tercengang mengapa ayahnya tak memperbolehkan ia tahu tentang pemilik rumah batu tersebut. Tapi saat itu mendadak di atas mereka terdengar suara. Han Pwee Eng menengadah. Kelihatan sebuah keranjang diturunkan lewat lubang di atas kamar mereka. Keranjang itu tepat jatuh ke meja batu. Ketika keranjang itu diperiksa keranjang itu berisi berbagai makanan. Han Pwee Eng mengeluarkan semua isi keranjang itu dan meletakkannya di atas meja

"Ayah ini arak dan daging, aku tidak tahu apakah makanan ini beracun atau tidak?" kata nona Han.

"Jangan terlalu curiga!" kata Han Tay Hiong pada puterinya "Jika si Iblis Tua hendak membunuh kita, dia tidak perlu berbuat begitu. Dia gunakan saja pukulan Hua- hiat-to, beres. Nak, barangkali kau sudah lapar, kau makan saja dulu!"

Han Pwee Eng mengambil sebuah paha ayam, tapi tak langsung dia makan malah dia bertanya

"Mengapa Ayah tidak makan?"

Tiba-tiba muncul cahaya dari atas, nona Han segera menengadah. Tampak dari lubang di atas kamaar batu itu kelihatan seraut wajah seseorang, sepasang matanya agak keputih-putihan dan terus menatap ke arahnya. Dia mengintai lewat sebuah jendela kecil di atas kamar itu. Nona Han melihat wajah orang itu dingin tidak berperasaan.

"Eeeh!" jerit Han Pwee Eng tanpa sadar. Orang itu terdengar bicara. "Nona kecil, jangan takut! Kata-kata ayahmu itu benar, aku tidak menaruh racun pada makanan itu dan aku tidak ingin mencelakakan kalian berdua! Lebih baik sekarang kau nasihati ayahmu agar dia mau makan." kata orang itu.

"Oh, dia pasti See-bun Souw Ya!" pikir nona Han yang baru tahu sesudah mendengar orang itu bicara.

"Kau tua bangka pembohong!" kata Han Tay Hiong. "Kau bujuk dan kau tipu puteriku ke mari, sebenarnya kau mau apa? Hm! Jangan kau kira aku akan takluk padamu!"

See-bun Souw Ya tertawa.

"Han Tay Hiong, aku ini orang baik, aku telah mempertemukan kalian ayah dan anak, bukan berterima kasih malah kau marah padaku! Sekarang puterimu ada di sisimu, kau pasti tidak ingin mati lagi, kan? Sekarang lebih baik kau makan, sesudah makan kita bisa berbincang- bincang. Tak lama lagi akan datang kawan lama, sesudah kau makan kenyang kita bisa berunding."

Sesudah itu See-bun Souw Ya bergeser, sekarang kelihatan wajah orang lain. Han Tay Hiong mengenalinya itulah Chu Kiu Sek. Han Tay Hiong mendengus dingin.

"Hm! Kalian boleh maju bersama paling-paling aku mati!" kata Han Tay Hiong.

Chu Kiu Sek tertawa dingin.

"Han Tay Hiong semula aku akan mmbalas dendam padamu, tapi aku tak sangka kau begitu tak berguna!" kata Chu Kiu Sek. "Saat aku datang ke rumahmu, kau sudah terluka oleh See-bun Souw Ya, dan dia tak ingin kau mati! Oleh sebab itu karena aku memandang mukanya, baik kita sudahi saja permusuhan kita itu sampai di sini. Aku mau lihat apa kau tahu diri atau tidak?" "Baik, terima kasih pada kalian yang telah menjamuku," kata Han Tay Hiong.

Dia langsung meneguk arak dan menyantap daging.

Sesudah makan baru dia berkata lagi.

"Sekarang aku sudah makan, apa rencana kalian. Apa kalian akan menggunakan kekerasan, silakan aku tidak takut!" kata Han Tay Hiong.

See-bun Souw Ya tertawa dingin.

"Tidak! Aku tak akan berbuat begitu, hanya jika sekarang aku bebaskan kau, kuberitahu kau, para orang gagah di kalangan Kang-ouw dari golongan luruspun akan mencelakaimu!" kata See-bun Souw Ya sambil tertawa dingin.

Suara tawa See-bun Souw Ya terdengar menyeramkan, hingga membuat bulu kuduk nona Han merinding. Tak lama jendela kecil itu tertutup kembali.

"Ayah," kata nona Han. "Seperti pepatah mengatakan, "selama gunung masih hijau, kita jangan takut tidak ada kayu". Berdasarkan kepandaian Ayah, asalkan Ayah tidak ingin mati, pasti masih ada kesempatan!"

Han Tay Hiong meneguk arak, kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menghela napas panjang.

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Melihat ayahnya menggelengkan kepala, Han Pwee Eng heran. Dia tidak tahu apa yang ada di benak ayahnya saat itu, Kemudian nona Han berpikir.

"Aku dengar See-bun Souw Ya ingin merajai Dunia Persilatan, jadi sangat wajar jika dia tidak akan melepaskan Ayah. Tetapi kenapa Ayah kelihatan begitu berduka?" kata nona Han.

"Aku berduka bukan karena dia," kata ayahnya. Nona Han jadi tertarik ia langsung bertanya.

"Benarkah Ayah dengan pemilik rumah batu itu bersahabat?" kata si nona.

Wajah Han Tay Hiong berubah. Dia mengangguk, sesaat kemudian baru menjawab.

"Benar," kata ayahnya. "Memang Ayah pernah bersahabat dengannya."

"Kemudian Ayah ribut dengannya sehingga jadi putus hubungan persahabatan itu," kata nona Han.

Ayahnya diam.

"Ayah sangat menjunjung tinggi persahabatan. Pasti ada sebabnya Ayah ribut dengan orang itu, hingga mereka putus hubungan?" pikir nona Han.

Tak lama Han Tay Hiong bicara lagi.

"Yang sangat mendukakan hati Ayah, karena Ayah telah membuat kau susah! Luka Ayah terkena pululan Siu-lo-im- satkang belum sembuh, sekarang ditambah lagi ayah terluka oleh pukulan Hua-hiat-to See-bun Souw Ya. Jika ayah ingin membawamu pergi dari sini, itu sulit sekali. Tapi kata- katamu tadi ada benarnya. Sebelum kita jadi putus asa lebih baik kita tetap hidup mungkin kita masih bisa lolos?" kata ayahnya.

"Kalau begitu aku lega, Ayah!" kata nona Han. Han Tay Hiong menatap puterinya.

"Eng, tadi kau bilang Kok Siauw Hong ke markas cabang Kay-pang. Dia pergi atas kemauan sendiri atau Lauw Kan Lu yang datang ke rumah kita untuk menyelidiki keadaan, lalu mengajak Kok Siauw Hong ke markas cabang Kay- pang?" kata Han Tay Hiong.

"Ayah benar, Lauw Kan Lu yang mengajak Kok Siauw Hong pergi ke markas cabang. Bukan cuma Lauw Kan Lu tapi juga

Liok Kun Lun datang ke rumah kita, Ayah!" kata nona Han menjelaskan.

Han Tay Hiong mengerutkan keningnya.

"Hm! Liok Kun Lun juga datang, kalau begitu mereka cukup menghargaiku!" kata Han Tay Hiong..

Nada bicara Han Tay Hiong terdengar sangat gusar. Ini membuat nona Han heran.

"Eh rupanya Ayah kurang senang mendengar mereka datang ke rumah melakukan penyelidikan?" pikir nona  Han.

Sesaat kemudian nona Han bicara lagi. "Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu..."

Han Pwee Eng tak melanjutkan kata-katanya. "Tentang apa?" tanya ayahnya.

"Mungkin aku telah melakukan kekeliruan besar, mohon Ayah memaafkan aku," kata nona Han. Ayah si nona menatapnya.

"Tentang apa, katakan saja. Ayah tidak akan memarahimu!'

"Aku telah menyerahkan semua harta Ayah pada Liok Kun Lun, aku mewakili Ayah menyumbang para pejuang yang akan melawan bangsa Mongol!" kata nona Han. Han Tay Hiong mengerutkan dahinya.

"Kau atas namakan Ayah menyumbangkan harta itu?" Han Pwee Eng tertegun sejenak.

"Bukankah harta itu milik keluarga kita, Ayah?" kata nona

Han.

Tapi tak lama nona Han berpikir.

"Jika tak ada perang ini, aku juga tidak tahu Ayahku begitu

kaya. Apa harta itu bukan milik Ayahku?" pikir nona Han.

Pada saat yang bersamaan Han Tay Hiong bicara.

"Kau memang salah, anakku! Semua harta itu bukan milik Ayah, tapi titipan orang!" kata ayahnya.

Ketika mendengar kata-kata ayahnya, nona Han terkejut bukan kepalang.

"Oh celaka! Kalau begitu bagaimana kita bertanggungjawab pada pemilik harta itu? Lalu milik siapa harta itu, Ayah?"

"Dia kawan baikAyah," jawab Han Tay Hiong. "Tapi itu juga bukan harta miliknya! Dia akan gunakan harta itu untuk suatu urusan besar!"

Ketika itu Han Tay Hiong sedang berpikir, dia akan memberitahu siapa kawannya itu atau tidak pada nona Han? Tapi mendadak dia tersentak dan berbisik.

"Anak Eng, coba kau perhatikan, di luar ada orang yang datang ke mari..." bisik Han Tay Hiong. Nona Han mencoba berkonsentrasi, dia memang mendengar langkah kaki tapi makin lama langkah itu makin menjauh.

"Ayah benar, ada orang yang mendengarkan pembicaraan kita," bisik nona Han. "Ayah, jika ada rahasia yang orang lain tidak perlu tahu, lebih baik Ayah jangan mengatakannya. Aku kira gin-kang orang itu sangat tinggi, jika bukan See-bun Souw Ya pasti Chu Kiu Sek!"

Mendadak Han Tay Hiong tertawa terbahak-bahak, lalu dia berkata dengan suara keras.

"Anakku, apa yang kau lakukan itu sangat tepat! Walaupun harta itu bukan milik kita, tapi kau sudah menyumbangkannya untuk para pejuang yang melawan pasukan Mongol! Aku rasa tindakanmu itu tepat dengan keinginan In-kong (Tuan penolong) kita!" kata Han Tay Hiong.

Nona Han sadar kata-kata ayahnya itu ditujukan pada See-bun Souw Ya.

"Kata-kata Ayah tadi pasti akan membuat si Iblis Tua itu pingsan saking jengkelnya. Mudah-mudahan kata-kata Ayahku itu keluar dari lubuk hati Ayahku dengan sejujurnya." pikir nona Han.

Tak lama ayahnya berbisik.

"Nak, kau jangan ragu, kata-kata Ayah tadi itu bukan hanya untuk menyenangkan hatimu..." kata ayahnya.

Mendengar kata-kata ayahnya bukan main girangnya nona Han.

"Apakah benar niat kawan Ayah itu sama dengan yang aku lakukan?" tanya nona Han. "Harta itu dia tinggalkan untuk sekelompok orang, maka Ayah pikir dia juga tidak akan menyalahkan kita!" kata ayahnya.

Han Tay Hiong berpendapat bahwa kawannya itu pun rela uangnya dipakai untuk berjuang melawan bangsa Mongol.

Nona Han sadar di balik dinding ada orang sedang menguping, maka itu dia tahu ayahnya kesulitan untuk memberi penjelasan dengan leluasa. Maka itu si nona lalu menulis di tangan ayahnya.

"Siapa orang itu?"

Han Tay Hiong juga menulis di telapak tangan nona Han. "Siang-koan Hok."

"Kiranya dia? Ayah bagaimana dia bisa demikian baik kepada Ayah?"

Han Tay Hiong menghela napas panjang.

"Karena hanya Ayah yang tahu kelakuannya pada orang lain. Nak, jika kau berhasil lolos dari sini, kau jangan beritahu kalau Ayahmu ini sahabatnya!" kata ayahnya.

"Baik, Ayah!"

Nona Han tahu ayahnya tak ingin rahasia harta itu bocor. Saat tahu orang itu Siang-koan Hok, nona Han langsung ingat pada batu cincin bermata merah itu.

"Ayah, tahukah mereka tentang cincin itu?"

"Tidak! Mereka tidak tahu cincin itu hadiah dari siapa? Tapi See-bun Souw Ya tahu bahwa cincin itu berkhasiat untuk mengobati luka kena racun, dan tahu namanya Thian-simciok," kata ayahnya. "Setelah cincin itu tidak ada pada Ayah, apa Ayah merasa kurang nyaman?"

Han Tay Hiong tertawa

"Separuh tubuh Ayah yang lumpuh kini sudah sembuh sampai delapan bagian, jadi tidak begitu masalah cincin itu lenyap dari tangan ayah." kata ayahnya.

"Ayah, See-bun Souw Ya membunuh semua pelayan kita Tapi kenapa dia tidak mengambil harta kita itu?"

Han Tay Hiong tertawa

"Ayah sulit dilukai olehnya," kata ayahnya. "Saat Ayah diserang dengan Hua-hiat-to, Ayah pun berhasil melukai dia dengan sebuah pukulan!"

Nona Han mengangguk. "Jadi dia juga terluka?"

"Saat itu masih ada orang lain di rumah kita. Sekalipun orang itu menginginkan Ayah tertangkap oleh See-bun Souw Ya, tapi dia juga tetap melindungi Ayah agar tidak binasa. Orang itu tidak berminat pada harta kita itu. Setelah Ayah terluka, dia desak See-bun Souw Ya agar membawa Ayah ke mari. Saat itu See-bun Souw Ya pun telah terluka. Ayah pikir dia juga khawatir orang-orang Kay-pang akan datang ke rumah kita. Ditambah lagi orang itu terus mendesak, dan membuat See-bun Souw Ya tak berani lama- lama di rumah kita. Dia batal membawa harta itu."

Mendengar keterangan itu nona Han berpikir.

"Orang yang dimaksud "orang itu" pasti si pemilik rumah batu ini," pikir nona Han. "Orang itu bisa memaksa See-bun Souw Ya dan mau menurut. Aku yakin kepandaiannya lebih  tinggi  dari  See-bun  maupun  Chu  Kiu  Sek.  Aku sekarang cuma berharap Kiong Mi Yun dan Kong-sun Po sudah sampai di rumahku!"

-o-DewiKZ^~^aaa-o-

Saat itu Kong-sun Po maupun Kiong Mi Yun memang sudah sampai di rumah keluarga Han.

Malam itu sesudah Kiong Mi Yun berhasil mencuri arak obat Kiu-thian-sun-yang-pek-hoa-ciu, mereka langsung kabur dan mereka melanjutkan perjalanan ke Lok-yang dengan kudakuda curiannya. Nona Kiong masih belum sadar, bahwa Han Toa-ko yang dicintainya itu sebenarnya seorang nona.

Kong-sun Po tidak setuju temannya mencuri arak dan kuda itu, tapi karena Kiong Mi Yun mengatakan bahwa semua yang dia lakukannya itu untuk menyelamatkan nyawa orang, maka Kong-sun Po menurut saja. Kong-sun Po memang pernah mendengar bahwa Han Tay Hiong seorang Bu-lim Beng-cu, tapi dia tidak tahu kalau orang she Han ini mempunyai seorang puteri tunggal yaitu Han Pwee Eng. Tak heran kalau Kong-sun Po pun seperti Kiong Mi Yun, dia menganggap Han Pwee Eng itu seorang pria.

Saat dia bertemu dengan Han Pwee Eng di rumah  makan "Ngih Nih Lauw" kesan Kong-sun Po terhadap  nona Han sangat baik. Setelah dia tahu dari nona Kiong bahwa Chu Kiu

Sok sedang mencari :Han Toa-ko", maka dia merasa bahwa dia harus membantu dan menyelamatkan sahabat barunya itu dari ancaman bahaya.

Sekalipun mereka berdua melakukan perjalanan bersama, dan makan bersama bahkan bermalam di penginapan yang sama, namun cinta Kiong Mi Yun tetap tertuju  pada  Han  Pwee  Eng.  Nona  Kiong  menganggap nona Han lebih pantas jadi suaminya dibandingkan dengan Kong-sun Po, tunangannya sejak kecil. Nona Kiong pun menganggap "Han Toa-konya" itu lebih tampan, romantis dan pandai bicara. Tetapi tanpa disadarinya dia juga mulai tertarik kepada Kong-sun Po yang lugu dan jujur. Dia anggap Kong-sun Po ini sangat menarik.

Hari itu mereka sudah sampai di desa atau rumah keluarga Han. Saat itu nona Kiong bicara pada kawan seperjalanannya.

"Kong-sun Toa-ko, aku selalu mengelabuimu, hal itu membuat aku jadi merasa tidak enak hati," kata nona Kiong.

Kong-sun Po tertegun. "Apa?"

Wajah Kiong Mi Yun berubah kemerah-merahan.

"Kuucapkan terima kasih padamu, kau telah menemaniku di perjalanan hingga sampai di sini," kata nona Kiong. "Sebenarnya aku harus berterus-terang kepadamu, namun....aku tidak tahu harus bagaimana aku mengatakannya. "

Kong-sun Po keheranan.

"Aneh dia ini, tiba-tiba dia bersikap seperti seorang gadis saja?" pikir Kong-sun Po.

Tak lama nona Kiong melanjutkan bicaranya.

"Aku minta kau menemaniku, padahal itu sikapku yang sangat egois. " katanya.

Kong-sun Po tercengang. "Maksudmu?"

Kiong Mi Yun menundukkan kepalanya. "Maksudku agar kau melindungiku di sepanjang jalan.

Aku...aku...aku sangat menyukai Han Toa-ko "

Kong-sun Po tertawa terbahak-bahak.

"Oh begitu? Aku juga suka pada Han Toa-ko. Dia temanmu, dan dia juga temanku, pasti aku bersedia mengantarmu sampai di sini!" kata Kong-sun Po.

Kiong Mi Yun tersenyum.

"Sesudah bertemu dengan Han Toa-ko, baru aku akan bicara terus-terang kepadamu. Tetapi bagaimana jika dia tahu aku ini tunangan Kong Sun Po? Terus-terang aku lebih menyukai Han Toa-ko? Lalu apa yang akan terjadi kelak?" pikir Kiong Mi Yun.

Tak mereka kira begitu sampai di rumah keluarga Han, mereka mel ihat rumah keluarga Han itu telah terbakar hangus, di sana tidak ada seorang pun yang masih hidup.

Menyaksikan rumah keluarga Han sebagian besar telah musnah, Kiong Mi Yun kaget bukan kepalang.

"Bagaimana nasib Han Toa-ko? Apa dia celakai di tangan si Iblis Tua itu?" pikir nona Kiong.

"Han Toa-ko! Han Toa-ko!" Kiong Mi Yun memanggilmanggil diikuti oleh Kong-sun Po.

Pada saat yang bersamaan terdengar suara seseorang dan suaranya serak seperti suara burung gagak.

"Kalian sedang mencari siapa?"

Kiong Mi Yun menoleh. Kelihatan seorang nenek tua sudah berdiri di tempat itu Nenek itu berpakaian indah. Wajahnya tersenyum-senyum anggun. Tapi suaranya menyeramkan sekali.

Kong-sun Po terkejut. "Dari mana munculnya nenek ini? Sepertinya dia muncul begitu saja, seolah keluar dari dalam tanah?" pikir Kong-sun Po.

Ketika diperhatikan selain pakaian nenek itu indah, pakaian itu pun bersih sekali. Jelas dia masuk lewat dari pintu depan. Sedangkan Kong-sun Po pernah berlatih ilmu "Teng-hong-panpeng" (Mendengar suara angin dan membedakan suara senjata). Tapi heran pemuda ini sedikitpun tidak mendengar dan merasa ada orang yang datang ke tempat itu. Itu membuktikan bahwa nenek itu berilmu tinggi sekali.

"Aku sedang mencari Han Toa-ko," kata Kiong Mi Yun. "Apa Nenek Ibunya?"

Nenek itu mendengus dan suaranya dingin.

"Hm! Isteri Han Tay Hiong sudah lama meninggal dunia, mana mungkin ibu anak itu muncul lagi di sini?" katanya.

"Maaf, boan-pwee (saya yang rendah) salah menduga, Nek!" kata Kiong Mi Yun. "Kalau begitu Nenek mungkin familinya?"

Nenek itu berbalik bertanya.

"Apa hubunganmu dengan keluarga Han?" katanya. "Aku saudara angkat Han Eng Toa-ko," jawab Kiong Mi

Yun sejujurnya.

"Siapa Han Eng Toa-ko itu?" tanya nenek itu keheranan. "Dalam keluarga Han Tay Hiong tidak ada orang yang bernama Han Eng! Apa dia salah seorang pelayannya?"

"Han Eng itu putera Han Tay Hiong, bukan pelayannya," kata Kiong Mi Yun.

Tapi otak Kiong Mi Yun pun langsung bekerja. "Rupanya Nenek ini mengenal dengan baik keluarga Han, tetapi kenapa dia sampai tidak mengetahui siapa Han Toa-ko? Heran sekali?!" pikir nona Kiong.

Nenek itu tertegun tiba-tiba dia seolah ingat sesuatu. "Aah! Aku bodoh sekali, mungkin puteri Han Tay Hiong

menyamar jadi seorang pria. Aku kira orang yang dimaksud oleh orang ini ya nona Han? Begitu sempurnanya penyamaran Nona Han Pwee Eng, dua bocah ini bisa dikelabuinya!" pikir si nenek.

Tapi nenek ini tidak mau membuka rahasia.

"Oh, jadi yang kau maksud itu Tuan-muda keluarga Han?" kata si nenek. "Ada urusan apa kalian mencari dia?"

"Aku dengar Han Toa-ko punya musuh besar, kedatangan kami ke mari, justru kami ingin membantu dia," kata Kiong Mi Yun dengan terus-terang.

"Apa kau tahu siapa musuh besar mereka itu?" tanya si nenek.

"Ya, aku tahu. Namanya kalau tak salah Chu Kiu Sek! Maka aku ingin tahu Nek, apakah Han Toa-ko telah dicelakai olehnya atau belum?" kata Kiong Mi Yun.

"Coba kau beritahu aku, guci yang kau bawa-bawa itu apa isinya?" tanya si nenek.

"Arak!" jawab Kiong Mi Yun.

"Mengapa dari tempat begitu jauh kau membawa-bawa arak itu, apakah arak itu berkhasiat?" tanya si nenek.

Kong-sun Po ingin mencegah agar nona Kiong tidak memberitahu tentang arak itu, tapi sudah terlambat. "Ini arak Kiu-thian-sun-yang-pek-hoa-ciul Khasiatnya untuk mengobati orang yang terkena racun dingin!" kata nona Kiong dengan jujur.

Nona Kiong mengira nenek itu masih famili keluarga Han, selain itu dia juga berpikir toh ada Kong-sun Po yang akan melindunginya, andai kata nenek itu ingin berbuat jahat kepadeanya. Dia yakin Kong-sun Po akan mampu mengatasi nenek ini. Karena dia tidak takut maka dia bicara terus-terang.

"Jadi kau ingin memberikan arak itu pada Han Toa- komu, ya? Rupanya kau takut Han Toa-komu terkena pukulan Siu-loim-sat-kang?" kata si nenek.

"Benar," jawab nona Kiong sambil mengangguk. Mendadak si nenek tertawa.

"Kau jangan mencari dia, serahkan saja arak itu kepadaku!" katanya.

Pada saat yang bersamaan tubuh si nenek berkelebat, tahu-tahu dia sudah ada di samping nona Kiong, Kiong Mi Yun kaget bukan kepalang, dia akan mundur tapi sudah terlambat.

"Mau apa kau?" bentak Kiong Mi Yun.

Tiba-tiba Mi Yun merasakan telapak tangannya sakit, tanpa dia sadari guci arak di tangannya itu sudah berpindah tangan ke tangan si nenek. Tapi nona Kiong tidak tinggal diam dia langsung menyerang nenek itu. Untuk menangkis serangan nona Kiong, si nenek mengibaskan lengan bajunya.

"Seer! Weeeek!" Lengan baju si nenek robek tetapi nona Kiong pun terhuyung ke belakang beberapa langkah jauhnya. Si nenek mendengus dingin.

"Hm! Rupanya kau puteri dari pulau Hek-hong-to, sedang ilmu Cit-sat-ciangmu belum sempurna benar!" kata si nenek.

Mata si nenek memang tajam, saat dia lihat serangan Kiong Mi Yun, dia langsung tahu jurus apa yang digunakan oleh nona Kiong tersebut saat itu. Si nenek pun langsung tahu kalau Kiong Mi Yun seorang gadis. Ucapan nenek ini membuat Kong-sun Po kaget, sebab selama dalam perjalanan, sama sekali dia tidak tahu kalau teman seperjalanannya itu ternyata seorang nona.

"Nenek ini benar, pukulan nona Kiong itu milik majikan pulau Hek-hong, tetapi apa benar saudara Kiong ini seorang gadis?" pikir Kong-sun Po.

Selain penasaran Kong-sun Po pun kaget, padahal dia begitu dekat dengan nona Kiong. Tapi mengapa dia tidak bisa mencegah nenek itu menyerang kawannya itu. Dia juga tidak bisa menghalangi nenek itu saat si nenek merebut guci arak di tangan nona Kiong. Saat dia tahu guci itu sudah berpindah tangan, dia kaget bukan kepalang.

"Nenek ini lihay sekali, kepandaiannya pun tidak berada di bawah kepandaian Chu Kiu Sek?" pikir Kong-sun Po.

Sebenarnya bisa saja Kong-sun Po membantu si nona, pada saat nona Kiong menyerang nenek itu. Tetapi karena Kong-sun Po terkejut oleh kata-kata si nenek, dia juga melihat nenek tidak berniat melukai nona Kiong, dia jadi ragu-ragu. Tahu si nenek telah membongkar rahasia penyamarannya, nona Kiong malu sekali hingga wajahnya berubah merah. "Kakak Kong-sun, apa kau tak mau membantuku?" kata nona Kiong.

Kong-sun Po sadar. Dia langsung memberi hormat.

"Lo-cian-pwee tunggu dulu!" kata Kong-sun Po. "Tolong jelaskan dulu. "

"Mengapa aku harus meladeni dan menjelaskan padamu?" kata nenek itu ketus.

Dia langsung pergi.

Begitu si nenek bergerak, Kong-sun Po langsung menghadang di depan nenek itu.

"Maaf Lo-cian-pwee, semua masalah bisa kita bicarakan dengan baik-baik," kata Kong-sun Po, "harap Lo-cian-pwee bersabar sedikit!"

Kong-sun Po memberi hormat pada si nenek,  namun saat itu sengaja dia menyerang dengan jurus Tay-hang-pal- sek (Delapan jurus lingkaran). Wajah Kong-sun Po sangat lugu, pakaiannya pun sangat sederhana, dia lebih mirip seorang pemuda desa. Tidak heranjika si nenek jadi agak meremehkan pemuda desa ini. Tiba-tiba si nenek merasakan sebuah serangan yang dasyat menerjang ke arah dadanya. Hal ini membuat si nenek jadi sesak napas. Mau tidak mau dia harus menghentikan langkah kakinya. Sekalipun tidak sampai terluka tetapi serangan itu membuat dia terkejut.

"Hai! Siapa kau?" bentak si nenek. "Bocah ini tampangnya biasa-biasa saja, tapi kepandaiannya lumayan juga," pikir si nenek.

"Kami berdua sahabat Han Toa-ko," kata Kong-sun Po menjelaskan. "Maaf bukan kami tidak percaya pada Lo- cianpwee.  Tapi  kami  memang  ingin  bertemu dengannya. Lebih baik kami yang menyerahkan arak itu kepadanya! Kami tidak berani merepotkan Nenek, tolong beritahu saja di mana dia?"

Kong-sun Po bicara dengan tata-krama dan sangat sopan, tapi si nenek menyahut dengan ketus.

"Mengapa aku harus memberitahumu. Hm! Aku tahu kepandaianmu lumayan, tetapi kau tidak akan dapat mengalahkan aku!" kata nenek itu.

Kiong Mi Yun maju sambil membentak. "Siapa kau? Cepat katakan!" kata nona Kiong.

Nenek itu sudah langsung menyerang Kong-sun Po yang saat itu langsung menangkis dengan jurus Tay-hang-pat-sek.

Saat itu Kiong Mi Yun sudah langsung menghunus pedang dan menyerang ke arah punggung si nenek.

"Aku menghormatimu sebagai Lo-cian-pwee, tetapi kau malah tidak tahu aturan!" bentak Kiong Mi Yun. "Sekarang aku tidak akan sungkan-sungkan lagi terhadapmu!"

Kong-sun Po menyerang dari depan sedangkan Kiong Mi Yun dari arah belakang nenek itu. Saat itu si nenek sepertinya dalam bahaya. Tetapi tiba-tiba dia melancarkan dua serangan yang bersamaan, ke depan maupun ke belakang. Kong-sun Po merasakan serangan hebat ke arahnya. Hal ini membuat pemuda itu harus membalikkan badan. Kesempatan ini langsung digunakan oleh si nenek untuk pergi, namun ujung pedang nona Kiong hampir saja mengenai punggung si nenek. Namun, dengan mudah si nenek menghindar dari serangan nona Kiong yang sangat ganas itu. Malah tangkisa si nenek membuat ujung pedang Kiong Mi Yun berbalik arah, dan mengarah ke Kong-sun Po. Untung nona Kiong bisa segera menarik serangannya. "Ada apa Kong-sun Toa-ko?" tanya si nona dan alisnya berkerut.

Kong-sun Po agak tercengang saat mengetahui nona ini tidak roboh oleh serangan si nenek.

"Tidak apa-apa, apa kau tidak terluka?" tanya pemuda itu penuh perhatian.

Nona Kiong menggelengkan kepalanya. "Tidak! Ayo kita kejar dia!" kata si nona.

Tadi nenek itu mengerahkan dua pukulan yang berbeda, keras dan lunak. Tenaga yang keras untuk mendorong Kong-sun Po, sedangkan tenaga yang lunak untuk menarik nona Kiong. Tidak heran kalau ujung pedang Kiong Mi Yun nyaris saja mengenai Kong-sun Po.

Mereka langsung mengejar si nenek. Tak lama mereka sampai di sebuah gunung. Sekalipun sedang membawa guci arak yang berat nenek itu bisa berlari cepat.

"Jika dia lari di tempat yang rata, sulit  kita mengejarnya," kata Kong-sun Po pada nona Kiong.

Gin-kang Kiong Mi Yun tidak berada di bawah Kong- sun Po. Tak lama keduanya berhasil menyusul si nenek. Nenek itu mendengus dengan dingin.

"Hai apa kalian mau mencari mati?" bentak si nenek.

Tiba-tiba tubuhnya berbalik, kali ini dia melancarkan dua serangan seperti tadi. Pemuda itu sudah siap dia kerahkan jurus Sih-ni-ciang-hoat (Ilmu pukulan tenaga lunak) untuk menangkis serangan si nenek ini. Ini adalah jurus yang dia pelajari dari Beng Beng Tay-su. Melihat pemuda itu bisa mengatasi serangannya nenek ini berpikir.

"Bocah ini sulit dilayani. Dia juga gabung dengan puteri Kiong  Cau  Bun.  Sekalipun  mereka  tidak  akan  mampu mengalahkan aku, tapi aku akan sulit mempertahankan guci arak ini!" pikir si nenek.

Jarak mereka sekarang agak jauh tapi Kiong Mi Yun yang bernapsu ingin merebut guci arak itu, telah melesat mendahului Kong-sun Po. Melihat nona Kiong mendatangi nenek itu mengerutkan dahinya. Segera dia papak kedatangan nona

Kiong dengan jarinya menotok jalan darah si nona. Bukan main cepatnya totokan itu, Kiong Mi Yun tidak sempat mengelak maupun menangkis serangan itu.

Saat tubuh Kiong Mi Yun roboh ke belakang, kebetulan Kong-sun Po tiba dari belakang si nona. Tubuh nona Kiong jatuh ke dalam pelukan pemuda itu. Begitu terpeluk oleh pemuda itu, nona Kiong kaget bukan kepalang. Wajahnya langsung merah, karena sekarang pemuda itu sudah tahu bahwa dia sebenarnya seorang nona.

"Jalan darah Meng-khie-hiati" bisik si nona kepada Kong-sun Po, dia memberi tahu Kong-sun Po, jalan darahnya yang ditotok oleh si nenek.

Kong-sun Po segera membebaskan totokan di jalan darah yang disebutkan si nona.

"Apa kau terluka?" tanya pemuda itu lembut penuh rasa khawatir dan perhatian.

Setelah bebas dari totokan nona Kiong mendorong pemuda yang sedang memeluknya itu. Wajah nona Kiong pun merah sekali karena malu.

"Jangan banyak bertanya, kejar dia! Sekalipun kita bukan lawan dia tapi kita harus tahu tempat tinggalnya!" kata nona Kiong. Rupanya nenek agak segan kepada ayah nona Kiong, oleh karena itu dia telah menyerang nona Kiong dengan perlahan dia tidak berani melukai nona ini.

"Tapi kau.... sendirian ..." kata Kong-sun Po terputus- putus agak ragu meninggalkan nona Kiong sendiri saja.

Rupanya Kong-sun Po mencemaskan keadaan nona Kiong, dia mengira nona itu telah terluka.

"Jangan kau cemaskan diriku, aku tidak terluka!" kata si nona. "Tinggalkan aku di rumah Han Toa-ko, kau kejar dia. Aku sendiri tidak takut, masakan ada orang yang berani memakanku?"

Pemuda itu tahu nona Kiong berkepandaian tinggi, kecuali jika nona Kiong harus melawan pesilat tangguh seperti Chu Kiu Sek. selain itu dia akan sanggup membela diri.

"Baik, kau sembunyi sampai aku kembali!" kata pemuda itu.

"Jangan cerewet, cepat kejar dia!" kata si nona.

Mulut nona Kiong bicara agak kasar namun hatinya sangat berterima kasih kepada pemuda yang penuh perhatian terhadapnya itu. Kong-sun Po langsung lari mengejar si nenek, sedangkan Kiong Mi Yun berjalan ke rumah keluarga Han.

Setiba di rumah yang sudah sebahagian terbakar itu, nona Kiong bertambah risau dan pikirannya bertambah kacau.

"Mungkin Han Toa-ko bertemu dengan musuh yang tangguh. Eh, ada kuburan baru, entah siapa yang di kubur di tempat ini? Oh, mudah-mudahan bukan Han Toa-ko?" pikir Kiong Mi Yun. Dia berdiri tegak dan tertegun cukup lama.

"Sekarang Kong-sun Toa-ko sudah tahu tentang diriku. Perlukah kuberitahu dia tentang perjodohan itu? Aaah! Garagara nenek itu aku jadi canggung berada di dekatnya. Aku susah buka mulut!" pikir nona Kiong.

Sejak masih di dalam kandungan ibunya, ayah nona Kiong telah menjodohkan dia dengan Kong-sun Po. Tetapi pemuda itu rupanya belum tahu mengenai masalah ini. Ditambah lagi nona Kiong sudah jatuh cinta kepada "Han Toa-ko" alias Han Pwee Eng yang menyamar menjadi seorang pria.

Untung di rumah keluarga Han yang terbakar masih tersisa beberapa buah kamar yang selamat dari jilatan sang api.

"Tadi Kong-sun Toa-ko menyuruhku bersembunyi, lebih baik aku turuti permintaannya," pikir nona Kiong. "Akan kupilih sebuah kamar untuk isterihat, jika dia datang pun pasti dia akan memangil dan mencariku?"

Dia mencari buah kamar yang dia anggap  cocok baginya.

Setelah melewati sebuah ruang dia sampai di sebuah kamar. Kain jendelanya masih tertutup rapat. Dari kamar itu tercium aroma yang sangat harum. Kiong Mi Yun tersentak.

"Eh wangi dupa, apa di kamar ini ada orangnya?" pikir nona Kiong.

Dia berjalan perlahan-lahan ke pintu kamar itu, lalu dia dorong pintunya perlahan-lahan. Saat pintu itu terbuka ternyata di dalam kamar itu tidak ada orang. Namun, mata nona Kiong terbelalak ketika menyaksikan keindahan kamar itu. Di kamar itu terdapat sebuah tempat tidur dari kayu dan diukir indah sekali, lemari pajang dan cermin besar terbuat dari tembaga yang telah digosok hingga mengkilap. Di atas meja hias tampak tergantung beberapa buah lukisan dan syair. Tapi kamar itu kosong. Kiong Mi Yun sadar bahwa itu kamar seorang nona.

"Kamar siapa ini? Apakah ini kamar kakak atau adik Han Toa-ko? Tetapi saat aku bertemu dengannya dia tidak pernah bilang kalau dia punya seorang kakak atau adik lelaki. Ah, aku tidak peduli itu! Tetapi ini kamar siapa? Masa bodoh aku mau istirahat di sini!" pikir nona Kiong.

Sebagai seorang gadis tentu saja nona Kiong menyukai kamar yang harum dan indah itu. Kiong Mi Yun pun tertarik pada syair yang bergantungan di dinding kamar, dan mulai membacanya.

Pandang depan dan belakang. Hanya kabut belaka,

Hari yang gelap.

Amhom dimhom ,enderi-deru. Duduk termenung seorang diri. Mengenang masa lampau,

Itu merupakan takdir. Bukan kemauan manusia. Tampak api berkobar.

Suara anak panah pedang dan golok mendesir, dan berkelebat.

Hati bergelora, air matapun bercucuran.

Syair itu ciptaan penyair zaman Lam Song (Dinasti Song Selatan,  Red),  nama  penyairnya  Tio  Lan  Ouw.  Selesai membaca kelihatan nona Kiong tidak mengerti maksud sajak itu. Saat dia membaca bagian bawah syair itu, dia tercengang. Bunyi tulisan itu demikian :

Eng Li (Anak perempuan Eng) belajar syair harus mencontoh semangat penyair Tio Kan Ouw

Tio Kan Ouw hidup pada zaman Dinasti Song Selatan, yaitu pada masa kaisar Song Kauw Cong memerintah di kerajaan Song. Tio Kan Ouw seorang sarjana sastra. Pada masa itu banyak pejabat istana Kerajaan Song yang korup dan melakukan berbagai kejahatan. Melihat kejadian  itu Tio Kan Ouw sangat gusar. Kemudian dia menulis syair tersebut di atas. Nona Kiong tidak mengerti isi sajak itu, tetapi dia mengerti apa maksud tulisan di bawah ajak itu.

"Nama nona Han yang tertulis di sajak itu juga bernama Eng seperti nama Han Toa-ko?" pikir Kiong Mi Yun.

Nona Kiong mulai curiga tetapi dia tidak berani berpikir ke arah sana. Tiba-tiba dia melihat segulung kertas. Lalu kertas itu dia ambil dan dia buka gulungannya. Ternyata gulungan itu sebuah gulungan lukisan seorang pria tampan.

"Rupanya Nona Han tidak menyukai lukisan ini?" pikir nona Kiong. "Tidak heran kalau lukisan ini dia buang begitu saja, lalu dia injak-injak. Heran mengapa dia sangat benci pada lukisan ini?"

Dia amati dengan teliti lukisan itu. Lukisan itu menggambarkan seorang pemuda tampan, di pinggang pemuda itu tergantung sebilah pedang. Rupanya pemuda itu seorang kaum Rimba Persilatan. Nona Kiong tertawa.

"Hm! Aku kira Nona Han mencintai pemuda ini dengan diam-diam, tapi si pemuda barangkali mencintai nona lain sehingga Nona Han membencinya?" pikir Kiong Mi Yun. Memang nona Kiong tidak mengetahui dengan jelas, itu sebenarnya kamar Han Pwee Eng. Setelah nona Han menyerahkan semua harta milik ayahnya kepada ketua pengemis cabang Lok-yang, dia sempat masuk ke kamar itu. Pada saat dia sedang duduk di tepi ranjang, dia melihat lukisan Kok Ju Sih, ayah Kok Siauw Hong saat masih muda. Tentu saja gambar itu agak mirip dengan gambar wajah Kok Siauw Hong. Lukisan itu hadiah dari ayah Kok Siauw ong kepada ayah nona Han. Lalu gambar itu oleh Han Tay Hiong dihadiahkan kepada anaknya, alasan Han Tay Hiong karena lukisan itu mirip lukisan Kok Siauw Hong. Nona Han ingat lukisan itu diberikan ayahnya pada saat dia akan berangkat ke Yang-cou. Saat nona Han melihat lukisan itu sepulang dari Yang-cou, hatinya jadi kesal. Dia lemparkan lukisan itu ke lantai dan terus dia injak-injak di lantai. Nona Han sekarang sedang terkurung di kamar batu, dia tidak mengira kalau sahabat barunya, nona Kiong akan masuk ke kamar tidurnya

"Eh, siapa Nona Han ini? Mengapa dia pun bernama Eng? Apa dia kakak atau adik Han Toa-ko? Lalu siapa yang ada di dalam lukisan ini?" begitu nona Kiong berpikir.

Akhirnya nona Kiong jadi tidak tenang, dia berharap agar Kong-sun Po bisa segera kembali.

Selang beberapa saat Kiong Mi Yun terssentak kaget karena dia mendengar suara langkah kaki seseorang di luar kamar itu. Keberulan langkah kaki itu terdengar sedang mendatangi ke arah kamar itu. Mendengar langkah kaki itu, nona Kiong girang. Dia kira itu langkah kaki Kong-sun Po yang sudah kembali setelah mengejar musuh. Tetapi dia kaget karena dia tahu, bila orang itu pemuda she Kong-sun yang sudah kembali, pasti dia akan memanggil-manggil namanya. Sedangkan orang yang sekarang berjalan ke arah kamar    itu    tidak    memanggil    namanya?    Nona Kiong langsung sadar pada adanya bahaya! Tiba-tiba langkah kaki itu berhenti di depan kamar itu. Tak lama terdengar seolah ada orang yang sedang membuka peti atau lemari dengan paksa. Kemudian, langkah kaki itu terdengar lagi. Malah sekarang langkah kaki itu terdengar jelas menuju ke kamar tempat nona Kiong sedang bersembunyi.

Kesehatan nona Kiong belum pulih benar. Lukanya bekas totokan si nenek tadi masih terasa sakit. Sekalipun totokan itu telah dibebaskan oleh Kong-sun Po, tetapi tenaga nona Kiong belum pulih benar sama sekali.

"Jika yang datang itu musuh besar Han Toa-ko, apa yang harus aku lakukan?" pikir nona Kiong.

Dia seorang nona pemberani tapi dia juga sadar, sekalipun Han Tay Hiong yang berilmu tinggi sulit menghadapi musuh besarnya itu. Dia jadi cemas jika benar yang datang itu musuh keluarga Han, dia juga bisa celaka karena ada di tempat itu. Tiba-tiba nona Kiong mendengar orang itu bicara sendiri.

"Heran di mana disimpannya harta orang she Han ini?

Apa aku salah informasi?" kata orang itu.

Itu suara seorang lelaki yang sudah berumur lanjut.

"Dia datang untuk mencari harta milik keluarga Han, sekalipun bukan musuh, tapi pasti orang ini orang jahat?" pikir nona Kiong.

Langkah kaki itu semakin semakin dekat ke kamar itu, Kiong Mi Yun bingung untuk mencari tempat bersembunyi. Tapi dia cerdas, langsung dia masuk ke kolong ranjang yang kebetulan sepreinya panjang sampai ke lantai. Baru saja dia masuk ke kolong ranjang, nona Kiong sudah mendengar suara pintu kamar itu didorong dengan paksa dari luar. "Kamar ini bagus sekali," kata orang itu, "pasti ini kamar puteri Han Tay Hiong yang bernama Han Pwee Eng!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar