Beng Ciang Hong In Lok Jilid 07

 
Si bocah tertawa.

"Dia tidak bisa ilmu Cit-sat-ciang. Mungkin mata kalian sudah lamur semua! Padahal luka orang-orangmu itu bukan karena pukulan Cit-sat-ciang!" kata si bocah bengal itu.

Ucapan bocah itu menarik perhatian mereka, maka itu mereka langsung mengawasi bocah itu dengan tajam.

"Sebenarnya kau siapa? Bagaimana kau bisa tahu itu bukan pukulan Cit-sat-ciang?" bentak Ang Kin.

"Aku pegawai seorang pedagang mainan anak-anak di kota ini, memang kenapa?" kata si bocah dengan berani.

Chu Tay Peng mendengus.

"Jika kau hanya pedagang mainan anak-anak.  bagaimana kau bisa tahu luka orang kami bukan karena pukulan Cit-satciang?" kata Chu Tay Peng. Bocah itu tertawa dingin.

"Kalian jangan pandang rendah padaku, sekalipun aku hanya seorang bujang tukang mainan anak-anak. tetapi pengetahuanku belum tentu di bawah kalian semua. Pukulan Cit-sat-ciang itu tidak aneh. tidak perlu dibesar- besarkan!" kata si bocah sambil tersenyum. 

Chu Tay Peng kaget.

"Ah barangkali kami salah mengenali orang? Jangan- jangan bujang inilah puteri Kiong To-cu (Majikan Pulau)?" pikir Chu Tay Peng.

Chu Tay Peng memperhatikan bocah itu dengan penuh perhatian. Memang dia mirip dengan seorang nona yang menyamar menjadi pria. Ang Kin kasar dan tak sabaran dia membentak dengan keras.

"Baik. kalau kau bilang pukulan Cit-sat-ciang itu tidak aneh. tentu kau juga bisa menggunakannya. Aku mohon petunjuk darimu!" kata Ang Kin.

"Sekalipun aku mahir ilmu apa pun. tapi kau tidak perlu tahu." kata si bocah. "Jika kau ingin berkelahi aku akan melayanimu! Hm! Untuk menghadapi gentong nasi sepertimu. aku tidak perlu menggunakan pukulan Cit-sat- ciang!"

Bukan main marahnya Ang Kin saat itu. Ketika dia mau maju. Chu Tay Peng kembali menghalanginya.

"Siauw-ko. apa kau dari Hek-hong-to (Pulau Angin Hitam) di Tong-hai (Laut Timur)?" kata Chu Tay Peng.

"Padahal dari tadi aku sudah bilang, aku ini bujang penjual mainan anak-anak. Sedangkan nama Hek-hong-to aku baru mendengarnya sekarang?" kata bocah itu. Chu Tay Peng terperangah dia tatap bocah itu.

"Tadi kau bilang orangku terluka bukan oleh pukulan Citsat-ciang. lalu luka oleh pukulan apa itu? Tolong kau  beri tahu kami," kata Chu Tay Peng.

"Mana aku tahu?" kata si bocah seperti meledek. "Tapi tadi kau bilang... "

Sebelum Chu Tay Peng selesai bicara bocah itu sudah langsung memotong.

"Tadi aku bilang apa? Aku hanya bilang dia bukan terluka oleh pukulan Cit-sat-ciang. selain itu aku tidak tahu. Ah. aku masih mau minum, apa kau masih mau bicara terus?" kata si bocah sinis sekali.

"Chu Toa-ko dia bicara ngawur! Jangan percaya kepadanya." kata Ang Kin.

Saat itu lelaki bermantel kulit serigala hitam yang sejak tadi diam saja. mendadak bangun dan berkata.

"Dia tidak salah." kata orang itu. "orang-orangmu itu memang tidak terluka oleh pukulan Cit-sat-ciang!" kata orang bermantel kulit serigala itu.

Bocah itu tertawa dingin.

"Bagaimana? Dasar tidak berpengetahuan! Masih bagus ada orang yang pandai. Apa kalian masih mau bilang aku ngawur?" katanya

Dia kembali minum ajak. dan tidak ingin ikut campur lagi. Kini orang-orang sudah beralih ke orang bermantel kulit serigala itu. Chu Tay Peng memberi hormat pada orang itu.

"Kalau begitu mereka terluka oleh pukulan apa. Tuan?

Mohon petunjuk dari Tuan." kata Chu Tay Peng. "Mereka terluka karena pukulan "Hua-hiat-to" (Golok Pemusnah Darah)." sahut lelaki bermantel itu.

Bukan main kagetnya Chu Tay Peng mendengar keterangan itu. Sedang yang tidak tahu apa itu "Hua-hiat- to" hanya tercengang saja.

"Kedua Hiang-cu kami bukan terluka oleh golok!" kata Ang Kin

"Hua-hiat-to salah satu dari dua macam ilmu racun keluarga Suang." kata Chu Tay Peng menjelaskan. "Dua puluh tahun lalu majikan Suang Kee-po (Puri Keluarga Suang) adalah Kong-sun Khie. seorang tokoh tangguh dari aliran sesat nomor satu di kalangan Kang-ouw. Dia sangat mengandalkan dua macam pukulan beracun Hua-hiat-to dan Hua-kut-ciang (Pukulan Penghancur Tulang). Bagi yang terkena pukulannya itu dalam tujuh hari dia akan binasa. Benarkah yang aku katakan itu?"

Kong-sun Khie telah meninggal duapuluh tahun yang lalu. Sekalipun orang yang ada di tempat itu tidak sederajat untuk bergaul dengan Kong-sun Khie, namun namanya pasti pernah mereka dengar. Semua jadi cemas bukan main.

"Apa yang kau katakan benar sekali! Namun yang terkena pukulan itu belum tentu binasa dalam tujuh hari!" kata orang bermatel itu. "Itu semuanya tergantung dari kemahiran orang yang menggunakan ilmu pukulan itu. Bisa sebulan dan malah bisa hanya dalam tiga hari orang itu binasa. Sebaliknya yang terluka karena pukulan Cit-sat- ciang darah yang keluar dari mata. hidung, mulut dan telinganya. Sangat lain dengan yang terkena pukulan Hua- hiat-to. Darah yang akan keluar justru lewat lubang keringat. Jadi saudara kecil ini memang benar sekali pendapatnya!" "Lalu bagaimana dengan Hiang-cu kami. sampai kapan dia bisa bertahan?" kata Ang Kin.

"Mungkin tidak sampai tengah hari besok." kata orang itu setelah minum arak.

Ang Kin berkeringat dingin, saat dia mau bicara lagi. mendadak Chu Tay Peng mendahuluinya bicara.

"Aku belum mengerti, aku dengar sesudah Kong-sun Khie meninggal dunia ilmu itu langsung hilang. Tapi kenapa sekarang masih ada orang yang mahir menggunakannya?"

"Dari mana kau tahu ilmu itu sudah lenyap?" tanya lelaki bermantel itu.

Wajah Chu Tay Peng berubah merah.

"Sekalipun pengetahuanku ini rendah, aku pernah mendengar cerita begini. Karena terlalu banyak berlatih ilmu pukulan itu. Kong-sun Khie meninggal dunia. Namun kapan dan di mana matinya tidak ada orang yang tahu. Selama duapuluh tahun terakhir tidak pernah terdengar ilmu itu dipergunakan orang, karena orang takut mempelajarinya. Mengenai Pit-kip (Kitab Ilmu Silat) itu pun, tidak ada orang yang tahu apa masih ada atau sudah tidak ada lagi?" kata Chu Tay Peng. Lelaki bermantel itu menggelengkan kepalanya.

"Itu semua tidak benar! Kau hanya tahu sebahagian saja dan tidak tahu seluruhnya. Ternyata kedua ilmu pukulan itu ada ahli warisnya. Ditambah lagi Kong-sun Khie sudah menguasai ilmu itu, tidak masuk akal kalau dia mati karena latihan." kata orang bermantel itu.

"Dari mana kau bisa mengetahui soal itu?" tanya Ang Kin yang jadi sangat penasaran. "Akulah orang yang melukai anak buahmu juga aku!" kata orang itu sambil tertawa.

Mendengar ucapan orang itu Ang Kin gusar sekali. Dia akan maju menyerang orang itu. tetapi dihalangi oleh Chu Tay Peng.

"Ang Toa-ko. jangan!" kata Chu Tay Peng.

"Dia telah melukai orang kita. apakah kita harus tinggal diam?" kata Ang Kin.

Ang Kin yang menguasai ilmu pukulan Tok-sah-ciang langsung menyerang orang itu dengan jurus mematikan.

"Biar aku akan serang dia. setelah terluka. baru akan kudesak agar dia mau mengobati orang-orangku yang terluka itu!" pikir Ang Kin.

Jarak mereka berdua sangat dekat. Ditambah lagi serangan Ang Kin sangat cepat, hingga Chu Tay Peng tidak bisa menghalanginya lagi. Orang yang diserang itu malah tertawa.

"Bagus, aku memang ingin mencoba pukulan Tok- sahciangmu itu. Ang Pang-cu!" kata orang bermantel itu.

Tiba-tiba terdengar suara keras. "Bum!"

Ang Kin terpental lalu jatuh terguling-guling di lantai.

Gerakan lelaki berrmatel kulit serigala itu sangat cepat. Tak seorang pun melihat jurusnya itu. Lay Hui sahabat erat Ang Kin. melihat kawannya jatuh dia langsung maju dan membentak dengan nyaring.

"Mana boleh kami jago-jago Ho-pak dan Ho-lam menerima penghinaanmu!" kata Lay Hui. Beberapa kawan Lay Hui langsung maj u akan mengepung orang bermatel itu.

"Jika mau berkelahi, di sini bukan tempatnya." kata si gundul. "Ini rumah makan mari kita minum dulu!"

Dia minum arak sebanyak-banyaknya dan tiba-tiba dia menyemburkan arak di mulutnya itu ke arah orang bemantel itu. Orang yang berada di dekatnya kaget bukan main. Asap putih mengepul sehingga benda-benda jadi tidak kelihatan. Orang-orang itu takut terkena serangan gelap, maka mereka pun langsung menyingkir.

Bocah yang duduk dekat nona Han tertawa. "Ih panasnya! Panas!" kata dia.

Dia mengeluarkan sebuah kipas dan dia mengipas uap arak yang memercik ke arah mereka berdua. Padahal saat itu Han Pwee Eng sudah akan berkelit agar tidak terkena percikan arak itu. Sekarang dia tak perlu lagi berkelit, karena serangan arak itu sudah ditangkis oleh bocah itu.

Nona Han tertawa.

"Kau benar! Perkelahian itu pasti hebat, kita akan menonton keramaian." kata si nona.

Saat si gundul menyemburkan arak dari perutnya, orang segera menyingkir hingga saling bertabrakan. Sedang pemuda berbaju biru yang lugu itu diam saja tidak bergerak, seolah buta dan tuli saja. Ketika ada orang yang akan menubruknya, dia hanya menggeserkan kakinya sedikit. Sedang orang itu langsung lewat di sampingnya dan hampir menabrak kursi yang dsedang idudukinya.

Kejadian itu terlihat jelas oleh Hati Pwee Eng. hingga dia kagum sekali. "Dia menggunakan ilmu Jian-ih-cap-pwee-sek (Delapan belas langkah). Aah! Ternyata dia lihay sekali!" pikir nona Han.

"Tunggu jangan berkelahi dulu! Aku ingin bicara." kata Chu Tay Peng.

Saat itu sudah ada orang yang membangunkan Ang Kin dari lantai. Wajahnya sudah berubah berwarna kelabu, pakaiannya pun bernoda darah. Dia mengeluarkan keringat darah, sedang benjolan di kening Ang Kin pun terluka patah.

"Hai TandukTok-kak-liongmu telah tercabut!" kata orang bermantel sambil tertawa.

Chu Tay Peng mengibaskan tangannya, sementara orangnya sudah mengepung orang bermatel itu.

"Kau sahabat dari aliran mana? Kami tidak bermusuhan denganmu dan tidak punya dendam apa-apa. Aku ingin bertanya mengapa kau turun tangan jahat pada kami?" kata Chu Tay Peng.

Lelaki bermantel itu tertawa.

"Bukankah tadi kalian tidak percaya, bahwa aku mahir ilmu Hua-hiat-to? Apa boleh buat terpaksa aku harus menunjukkannya pada kalian. Sekarang kalian percaya, kan?" kata dia sambil tertawa sinis.

Ang Kin mandi darah napasnya pun mulai lemah. "Celaka. Ang Pang-cu pasti tak akan bisa hidup lagi!"

kata anak buahnya.

"Benar! Karena Ang Pang-cu berlatih ilmu racun, jika racun ditambah racun maka lukanya semakin parah dibanding anak buahnya. Jika orangnya bisa hidup sampai besok, dia hanya bisa bertahan sejam lagi." kata orang bermantel itu.

Chu Tay Peng sadar kepandaian orang itu sangat tinggi, terpaksa dia harus sabar dan memberi honnat.

"Aku punya mata tetapi tak bisa melihat gunung Tay- san. yang tinggi, maafkan aku. Kau tidak bermusuhan dengan Ang Pang-cu, jadi aku mohon kau mengampuninya." kata Chu Tay Peng.

Lelaki itu tertawa.

"Jika kalian mau minta maaf dan diampuni, aku tidak keberatan. Aku pun mau memberi muka pada kalian. Sekarang akan kutolong dulu Ang Pang-cu sesudah itu baru masalah lain kita bicarakan." kata orang bermantel itu dengan angkuh.

Dia tarik Ang Kin ke hadapannya, entah dengan gerakan bagaimana, dia angkat dagu Ang Kin. Setelah mulut Ang Kin terbuka, dia masukkan arak ke mulutnya dari guci arak sisa dia minum. Kelihatan Ang Kin mulai sadar. Mereka yang menyaksikan kejadian itu kaget, mereka tidak tahu apa orang itu sedang menolong Ang Kin atau malah sebaliknya sedang menyiksanya.

Tak lama arak di guci itu telah habis, perut Ang K in sudah tampak gendut. Sesudah itu baru orang itu mengurut beberapa jalan darah Ang Kin. sedang keringat yang keluar dari tubuh Ang Kin pun mulai berkurang. Tak lama terdengar suara dan muntahlah Ang Kin. Bau amis menyengat hidung semua orang yang ada di rumah makan itu. Pada saat bersamaan Ang Kin pun berteriak.

"Aduh! Sakit sekali!"

Tak lama Ang Kin pun sadar dari pingsannya. Sedang bocah yang duduk bersama nona Han Pwee Eng itu bersungut-sungut.

"Sungguh keterlaluan. Rumah makan yang tadi bersih, sekarang jadi bau amis!" kata dia. "Ah arak ini pun jadi tak nikmat lagi!"

"Siauw-ko, jangan usil!" bisik Han Pwee Eng.

Rupanya Han Pwee Eng sedang memperhatikan lelaki bermantel bulu serigala itu. Dia juga tahu bahwa kepandaian lelaki itu berada di atasnya. Untung Chu Tay Peng dan yang lainnya sedang memperhatikan keadaan Ang Kin. Ketika si bocah usil sedang bicara tak seorang pun yang mendengarnya. Sebaliknya lelaki bermantel bulu serigala itu yang mendeklik ke arah si bocah jahil ini.

Saat itu para pelayan dengan sigap  membersihkan tempat itu dari muntahan Ang Kin dan lainnya. Tamu- tamu orang biasa pun sudah pergi semuanya. Sekarang hingga tinggal Chu Tay Peng dan kawan-kawannya. Han Pwee Eng dan si bocah jahil serta si pemuda baju biru yang lugu itu. Tiba-tiba lelaki bermantel itu bicara.

"Beres! Racun yang ada di dalam tubuh Ang Pang-cu sudah keluar semuanya!" kata si lelaki bermantel itu. "Nyawanya sudah aku selamatkan, sekarang mari kita duduk untuk bercakap-cakap."

Semua duduk dengan rapi. Ang Kin yang masih dalam kondisi lemah pun ikut duduk bersama-sama. Sekalipun Ang Kin jengkel dan dongkol tetapi dia tidak berani bertingkah lagi.

Setelah tertawa lelaki bermantel itu bicara

"Ang Pang-cu sekalipun kau telah terluka oleh ilmu pukulanku. namun benjolan di kepalamu itu telah hilang, karena racun melawan racun. Sudah seharusnya kau berterima kasih kepadaku." kata lelaki bermantel itu.

"Ang Kin tidak akan melupakan budimu yang besar itu." kata Ang Kin.

Sebenarnya ucapan Ang Kin itu berarti sebaliknya. Uia dendam sekali pada lelaki bermantel itu. Sedangkan lelaki itu tidak marah malah tertawa.

"Mau berterima kasih boleh, dendampun boleh juga!" kata si lelaki bermantel bulu itu. "Asal kau takluk, itu sudah cukup! Baik kita boleh mulai bicara."

"Aku ingin bertanya, kami dari lima perkumpulan di tepi Huang-hoo ini apa pernah berbuat salah pada Anda?" kata Chu

Tay Peng mewakili kawan-kawannya.

"Tidak punya salah apa-apa! Bukankah sudah aku katakan tadi?" kata dia sambil tertawa.

Chu Tay Peng menekan amarahnya, lalu dia berkata dengan sabar sekali.

"Kalau begitu, bagaimana saudara kami  yang  terluka itu. "

Sebelum Chu Tay Peng selesai bicara dia sudah dipotong oleh lelaki bermantel itu.

"Jadi kau ingin aku mengobati mereka? Aku suka berbuat baik kepada kalian, asalkan tidak merugikan aku." kata lelaki bermantel itu sambil tersenyum.

Maksud ucapannya itu dia bersedia mengobati orang- orang Ang Kin asal ada syaratnya. Mereka semua sangat berpengalaman, mendengar ucapan lelaki itu mereka langsung   mengerti   maksudnya.   Mereka   ingin  berdebat tetapi mengingat kepandaian lelaki itu mereka jadi diam saja. Chu Tay Peng yang maju bicara.

"Aku mohon bertanya, siapa nama besar Anda? Kau datang ke daerah kami apa maksudnya? Jika kami bisa membantu. Anda boleh bicara saja pada kami. Jika kami bisa melakukannya, kami siap tidak akan menolak!" kata Chu Tay Peng.

Ucapan Tay Peng ini sama sebagai pernyataan takluk tanpa syarat. Kelihatan lelaki bermantel itu puas sekali. Dia teguk arak dan berkata lagi.

"Apa kalian pernah mendengar nama See-bun Souw Ya?" kata lelaki bermantel itu.

Semua orang itu tertegun mendengar ucapan lelaki itu. Mereka tertegun bukan karena tidak pernah mendengar nama See-bun Souw Ya. tapi karena di bawah tekanan lelaki bermantel itu. semua orang itu menyahut.

"Nama besar See-bun Sian-seng bagaikan suara halilintar dan menggelegar di telinga kami. Sudah lama kami mengagumi nama besar See-bun Sian-seng, beruntung hari ini kami. ”

Pada saat bersamaan Chu Tay Peng pun ingat sesuatu. Tahun lalu salah seorang kawannya dari Rimba Persilatan memberi tahu dia. bahwa di daerah Canton telah muncul seorang Iblis Besar bernama See-bun Souw Ya. Kata temannya. Iblis itu seorang yang sudah tua. Dia telah mengasingkan diri hampir  tahun dan baru muncul lagi sekarang. Tak masuk akal memang kalau lelaki bermantel itu mengaku bernama See-bun Souw Ya. Ketika Chu Tay Peng sedang berpikir terdengar lelaki itu tertawa.

"Mengapa See-bun Sian-seng tertawa?" tanya mereka. "Aku bukan See-bun Souw Ya. itu nama guruku.

Namaku Pouw Yang Hian." kata orang bermatel itu.

Muka semua orang itu merah karena salah menduga mengira orang itu bernama See-bun Souw Ya. Semula mereka ingin menjilat pantat orang itu. ternyata mereka salah jilat.

"Kami dengar gurumu itu baru muncul lagi'" kata Chu Tay Peng. "malah katanya sangat menggemparkan di daerah Canton? Sayang kami berada di tempat yang jauh sehingga tidak bisa menemui beliau. Namun, kami semua sangat kagum kepada beliau!"

"Sebenarnya tidak sulit jika kalian mau menemui guruku." kata Pouw Yang Hian. "Terus-terang aku tampil lebih dulu di sini. Paling lama setengah tahun lagi dan cepatnya tiga bulan lagi. guruku pasti akan ke mari menemui kalian!"

Dia bilang "tampil" sudah jelas kedatangannya itu atas perintah gurunya.

"Entah apa pesan gurumu untuk kami. mohon petunjuk agar kami tahu harus berbuat bagaimana saat menyambut kedatangan beliau?" kata Chu Tay Peng.

"Ketika aku mau ke mari. guruku mengatakan bahwa Yucou dan Su-cou merupakan tempat untuk berkembang. Tetapi kami asing belum kenal dengan kawan-kawan di Tiong-goan. Saat aku lewat di daerah ini. aku harus berkenalan dengan kalian di sini. Begitu pesan guruku." kata Pouw Yang Hian. setelah tertawa sejenak dia melanjutkan. "Memang aku bodoh sekali, tidak tahu bagaimana aku harus berkenalan dengan kalian? Oleh karena itu terpaksa aku mengeluarkan sedikit kepandaianku untuk  mengundang  kalian  ke  mari!  Meskipun  aku  telah melukai teman kalian, tetapi karena ingin berkenalan, aku harap kalian memaafkan tindakanku yang ceroboh itu!"

Mereka pikir mana ada cara berkenalan dengan cara begitu, tetapi karena tidak ada seorang pun yang berani bicara karena mereka tahu Pouw Yang Hian sangat lihay.

"Terima kasih kalau Gurumu bersedia berkenalan dengan kami." kata Chu Tay Peng. "Kalau begitu tolong kau obati teman-teman kami yang terluka itu?"

"Jangan tergesa-gesa." kata Pouw Yang Hian. "Mereka itu masih bisa bertahan sampai esok siang, jadi masih banyak waktu untuk mengobatinya. Tidak sulit bagiku menolong mereka itu. tetapi aku harus melihat kalian. "

"Saudara Pouw apa yang kau inginkan? Silakan katakan saja!" kata Chu Tay Peng agak bingung.

"Tujuan guruku, karena dia telah diangkat menjadi Bu- lim Beng-cu di wilayah Canton. dia juga ingin kawan- kawan di Tiong-goan mengetahuinya." kata Pouw Yan Hian. "Terus terang dia tidak hanya ingin berkuasa di Canton saja. tetapi dia juga ingin di empat penjuru dunia mengakuinya. Apa kalian mengerti maksud keinginan guruku itu?"

Sekarang mereka mengerti See-bun Souw Ya mengutus muridnya untuk menaklukan mereka. Maksudnya agar mereka mengangkat See-bun Souw Ya sebagi Pang-cu di seluruh penjuru Tiong-goan.

"Guru Anda berkepandaian tinggi, memang pantas menjadi Beng-cu di kolong langit!" kata mereka hampir bersamaan. "Katakan saja pada beliau kami akan mendukung beliau, tetapi bagaimana dengan orang kami yang terluka itu. "

Pouw Yang Hian tertawa. "Jika kalian sudah tunduk pada kami. pasti aku akan mengobati kawan-kawanmu itu. Tetapi sekarang aku masih punya urusan yang harus aku selesaikan dulu." kata Pouw Yang Hian sambil tersenyum sinis.

Sesudah itu ia menghampiri Han Pwee Eng dan si bocah jahil itu. Bocah itu tertawa saja sambil berkata.

"Waduh, celaka! Celaka! Aku cuma ingin menyaksikan keramaian, tetapi keramaian itu akan mengancam kita." kata si bocah dengan serius.

Pouw Yang Hian sudah ada di depan mereka sambil membentak dengan keras.

"Siapa kalian berdua ini?" Bocah itu tersenyum.

"Aku tidak punya rejeki begitu besar untuk bisa berkenalan dengan Anda dan guru Anda." kata si bocah. "Lebih baik Anda kembali ke mejamu dan minum arak saja!"

"Saudara Pouw. dia adalah Kiong Kong-cu! Putra Tong- hai Hek Hong To. atau To-cu (Majikan Pulau Angin Hitam). Sedang yang satunya mungkin orang sana juga." kata Chu Tay Peng membantu memberi keterangan.

Sebenarnya Chu Tay Peng dan kawan-kawannya sangat takut kepada Hek Hong To To-cu. sebab pemimpin pulau itu seorang Iblis Besar juga. Sekalipun sekarang sudah ada pelindung mereka yaitu Pouw Yang Hian. namun mereka tetap masih jerih, oleh karena itu dia mengingatkan pada Pouw Yang Hian agar waspada.

"Ayahku tidak pernah menyeberang lautan, mana mungkin   dia   punya   hubungan   dengan   mereka?   Lalu bagaimana mereka menganggap aku ini Kiong Kong-cu?" pikir nona Han.

Pouw Yang Hian mendengus.

"Ada apa dengan Ketua Hek Hong To? Jika dia bertemu denganku, akan kusuruh dia minta maaf kepadaku! Jadi kalian berdua mengandalkan dia sehingga kalian berani datang ke mari untuk mengacau?" kata Pouw Yang Hian dengan bengis.

Nona Han menahan marah, dia menyahut.

"Siapa yang mencari gara-gara? Mengenai Hek Hong To pun baru sekarang aku dengar. Aku dan dia tidak ada hubungannya. Aku juga tidak tahu tentang Kiong Kong-cu. bukankah kalian yang mengatakannya sendiri?" kata nona Han.

Chu Tay Peng terkejut.

"Apa? Jadi kau bukan Kiong Kong-cu?" kata Chu Tay Peng kaget bukan main.

"Tapi kenapa kau terima kartu nama kami?" kata Lay Hui.

"Kalian yang memberikan padaku, lagipula siapa yang butuh kartu nama kalian itu?" sahut Han Pwee Eng.

"Benar. Lebih baik kembalikan saja kartu nama itu pada mereka!" kata si bocah nakal.

Han Pwee Eng mengangguk, dia sebarkan kartu nama itu ke arah mereka.

"Ini milik kalian!" kata nona Han.

Pada saat yang bersamaan tangan Pouw Yang Hian bergerak dan kartu-kartu nama itu pun sudah ada di tangannya. "Jika kau tidak mau. biar aku yang mengambilnya." kata Pouw Yang Hian sambil tertawa.

Kartu nama itu terbuat dari kertas yang ringan, tetapi nona Han bisa melemparkan kartu nama itu mirip dengan senjata rahasia. Ini membuktikan lwee-kang nona Han tidak rendah. Tetapi Pouw Yang Hian berhasil meraih kartu- kartu nama itu dengan mudah sekali. Rupanya dia mahir menangkap senjata rahasia. Secara tidak langsung mereka telah mengadu kepandaian masing-masing di depan umum.

Setelah kartu-kartu nama itu ada di tangannya. Pouw Yang Hian mengawasi ke arah si bocah bengal.

"Kau paham pukulan Cit-sat-ciang, apa hubunganmu dengan Hek Hong To?" tanya Pouw Yang Hian.

Bocah itu tersenyum.

"Kau mengerti ilmu pukulan Hua-hiat-to. apakah kau anak atau cucu Kong-sun Khie?" si bocah balik bertanya pada Pouw Yang Hian dengan tajam sambil tertawa geli.

"Kalian tidak mau bicara, apa kau kira aku tidak bisa mengorek asal-usulmu?" kata Pouw Yang Hian.

Mendadak dia mengulur kedua tangannya, tangan kiri mengarah pada si bocah sedangkan tangan kanannya hendak mencengkram Han Pwee Eng.

Tiba-tiba bocah itu mengangkat sumpit di tangannya, dia menotok jalan darah di telapak tangan Pouw Yang Hian. sedang Han Pwee Eng mengangkat cawan arak menyerang mukanya. Ketika jari Pouw Yang Hian menyentil, terdengar suara nyaring.

"Ting! Prang!"

Cawan arak yang dipakai menyerang dia hancur berantakan. Dengan dua jarinya dia jepit sumpit di tangan si bocah nakal itu hingga patah. Tetapi wajahnya telah basah tersiram arak yang dilemparkan oleh nona Han.

Dia marah bukan kepalang.

"Kalian sangat kurangajar! Rupanya kalian sudah bosan hidup, ya!" bentak Pouw Yang Hian.

Ketika itu kaki Pouw Yang Hian menendang dan sepasang tangannya bergerak menyerang ke arah nona Han.

"Brak!"

Meja di hadapan si bocah hancur berantakan tertendang oleh Pouw Yang Hian. Si bocah berkelit ke samping, sambil berputar dia bergerak ke belakang orang she Pouw itu. Dia melancarkan sebuah pukulan ke punggung lawan. Pouw Yang Hian tidak mengacuhkan serangan bocah itu, tetapi dia terus menyerang ke arah nona Han.

"Hati-hati, kau jangan sampai terkena pukulan berracunnya!" si bocah nakal memperingatkan nona Han.

Nona Han segera mengelak dia gunakan jari tangannya untuk menotok jalan dari Beng-kie-hiatnya Pouw Yang Hian

"Seer! Weeek!"

Lengan baju Han Pwee Eng terkena sambaran angin serangan orang she Pouw itu hingga robek. Menyusul suara keras sekali.

"Buuum!"

Punggung Pouw Yang Hian terhajar pukulan si bocah bengal, tetapi serangan nona Han luput dari sasaran. Pouw Yang Hian tertawa dingin.

"Cit-sat-ciang tidak dapat melukaiku! Ketahui olehmu ilmu  pukulanmu  itu  masih  di  bawah  ilmu  pukulanku! Pulang beri tahu ayahmu, dia harus menemui guruku untuk menyerahkan kartu namanya!" kata Pouw Yang Hian dengan sombong.

Mendengar kata-kata Pouw Yang Hian semua orang itu kaget bukan kepalang.

"Ah kiranya dia puteri Kiong To-cu! Celaka, sungguh celaka perkelahian ini membuat kami jadi serba salah!" kata mereka panik bukan main

Pouw Yang Hian membalikkan telapak tangannya dia desak bocah itu, lalu mengawasi nona Han.

"Kau juga sudah terbuka rahasiamu! Apa hubunganmu dengan keluarga Han di Lok-yang?" kata Pouw Yang Hian.

Semua orang terkejut lagi. Mereka kenal nama besar Han Tay Hiong. Tetapi sudah lama Han Tay Hiong tidak pernah muncul di Dunia Kang-ouw. Mereka juga tidak mengetahui kalau orang she Han itu punya seorang puteri yang cantik dan lihay ini.

Saat itu Pouw Yang Hian menyerang dengan kaki dan tangannya hingga meja dan kursi hancur berantakan. Chu Tay Peng dan kawannya segera mundur. Mereka tidak berani ikut campur dalam keributan itu. Sedangkan pemuda berbaju biru yang lugu itu mengangkat buntalannya dari atas meja. Sambil menggelengkan kepala dia berkata agak gugup.

"Tidak ada masalah malah berkelahi, mengganggu aku minum arak saja! Pelayan, ke mari. pindahkan makanan dan arakku ke meja itu!" kata dia pada pelayan.

Tapi mana ada pelayan yang berani menghampirinya. "Tuan. kami sedang sial." pelayan itu menyahut dari jauh. "Arak dan makananmu nanti akan kami ganti, jangan khawatir!" "Di sini aku tidak makan secara gratis, jangan kuatir!" kata si pemuda berbaju biru. "Temanku itu yang membayariku. Masakan dan arak yang kalian sajikan, dia yang bayar semua!"

Dia menoleh ke arah si bocah lalu katanya. "Bukan begitu, temanku?" katanya.

Sambil mengelak dari sebuah serangan lawan, bocah itu tertawa sambil berkata.

"Ah kau memang orang yang terbuka, jangan takut tenang saja! Kau boleh makan dan minum sepuasmu, aku yang akan membayar semuanya!" kata si bocah nakal.

Pouw Yan Hian menggunakan kesempatan pada saat si bocah sedang bicara, dia menyerang bocah itu Si bocah tertawa.

"Baik. kuundang kau makan!" kata si bocah.

Dia angkat tangannya untuk menyambut serangan itu. Melihat anak itu mengangkat tangan akan menangkis. Pouw Yang Hian keheranan.

"Eh! Mengapa dia berani mengadu tangan denganku?

Apa dia hendak menipuku?" pikir orang she Pouw ini.

Tiba-tiba tangan Pouw Yang Hian menyentuh benda licin, ternyata itu sepotong paha ayam yang menempel di telapak tangannya. Saat itu si bocah berkelebat ke samping Pouw Yang Hian. Bisa dibayangkan betapa gusarnya orang she Pouw ini.

Si bocah malah tertawa cekikikan.

"Waduh berbahaya sekali, aku hampir tercengkram olehmu!" kata si bocah. "Bocah keparat! Kau berani mempermainkan aku?" bentak Pouw Yang Hian.

Dia kibaskan tangannya hingga paha ayam itu meluncur cepat laksana sebuah anak panah ke arah si bocah nakal. Si bocah segera menundukkan kepalanya. Paha ayam itu lewat di atas kepalanya, dan meluncur ke arah pemuda lugu itu. Kebetulan pemuda itu sedang mengangkat guci arak. tidak ampun lagi paha ayam itu membentur guci arak itu.

"Taaang!"

Terdengar suara benturan keras. Paha ayam itu jatuh ke lantai, sedang guci arak yang terbentur oleh paha ayam itu lecet. Orang yang menyaksikan kejadian itu kaget semua.

"Pantas dia tidak berani menangkap paha ayam itu. ternyata serangan paha ayam itu hebat sekali, mirip senjata rahasia!" pikir mereka.

Pemuda desa yang lugu itu bergumam perlahan. "Sayang! Sayang sekali, paha ayam itu dibuang begitu

saja!" kata dia sambil menggelengkan kepalanya.

Dia meneguk araknya kembali. Sementara Pouw Yang Hian mendelik.

"Hm! Jika aku tidak mampu mengalahkan kedua bocah ini. bagaimana aku bisa menaklukkan yang lainnya?" pikir Pouw Yang Hian.

Seketika itu juga dia gunakan pukulan Hua-hiat-to menyerang dengan hebat ke arah Han Pwee Eng. Dalam sekejap nona Han sudah mencium bau amis di hidungnya. Dia nyaris pingsan dan muntah-muntah. Buru-buru dia gunakan jurus "Niak In Pouw Hoat" (Ilmu Melangkah Menginjak Awan) untuk berkelit dari seangan itu.

"Mau kabur ke mana kau?" bentak Pouw Yang Hian. Tiba-tiba Pouw Yang Hian mengulur tangannya, tubuhnya bergerak dengan cepat, tahu-tahu dia sudah ada  di samping Han Pwee Eng. Kelihatan punggung nona Han akan tercengkram oleh tangan Pouw Yang Hian. Pada saat itu cepat luar biasa si bocah nakal sudah melancarkan serangan kilat ke muka Pouw Yang Hian. Tampak kedua jari bocah itu hampir mengenai kedua mata Pouw Yang Hian. Serangan ini membuat Pouw Yang Hian terpaksa menangkis serangan itu dan membuat dia dongkol bukan main.

"Baik, akan kuhabisi dulu bocah ini!" pikir dia. Pouw membalikkan tubuhnya, dia menyerang dengan cengkramannya ke arah si bocah nakal, karena berniat mencengkram tangan si bocah nakal itu.

Si bocah buru-buru menurunkan tangannya, gerakannya cepat luar biasa, dia menyabet siku Pouw Yang Hian. Sebaliknya Pouw Yang Hian tidak mampu menahan majunya, hingga dia menabrak bocah itu. Dengan demikian si bocah berhasil menghajar sikutnya dengan keras. Keduanya terhuyung ke belakang. Pouw Yang Hian merasakan sikutnya sakit bukan main. Kiranya bocah itu mengenakan sarung tangan benang emas. dia tidak jerih pada tangan Pouw yang beracun.

"Saudara Han. pada manusia kejam ini kau jangan sungkan-sungkan lagi." kata si bocah.

Pouw Yang Hian tertawa dingin. "Benar! Cepat keluarkan senjata kalian!" kata Pouw. Nona Han tidak berani membentur tangan Pouw Yang Hian yang beracun itu. karena itu jadi sangat merugikan dia. Dengan demikian gerakan si nona jadi tidak leluasa. Saat orang she Pouw itu menantang agar mengeluarkan senjata, nona Han pun berpikir. "Jika kugunakan pedang, pasti dia akan mentertawakan aku." pikir Han Pwee Eng.

Karena itu dia mengambil sepasang sumpit yang ada di meja makan.

"Baik. aku ingin bermain-main sebentar denganmu!" kata nona Han.

Tadi Pouw Yang Hian telah berhasil mematahkan sumpit si bocah nakal, sekarang nona Han hendak menggunakan sumpit juga untuk menotok dia. Pouw Yang Hian jadi geli dan gusar secara berbareng.

"Baik. kuterima tantanganmu!" kata Pouw Yang Hian.

Tiba-tiba Pouw Yang Hian mengulurkan tangannya, dua jarinya siap menjepit sumpit di tangan nona Han. Ternyata ilmu totok nona Han jauh lebih lihay dari si bocah nakal. Begitu kedua jari Pouw Yang Hian bergerak ke arah sumpit, segera si nona menurunkan tangannya sedikit, tapi ujung sumpit menyerang untuk menotok jalan darah Lau-kiong- hiat di telapak tangan Pouw Yang Hian.

Pouw Yang Hian terkejut bukan main. dia segera menarik kembali tangannya. Pouw Yang Hian kaget karena yang diarah oleh nona Han jalan darah Lau-kiong-hiat. yaitu ujung nadi Siauw-yang-keng-meh. Seorang yang berlatih ilmu racun paling pantang terserang jalan darah itu. Jika tetotok lawan, sekalipun tidak terluka parah, orang itu harus istirahat beberapa tahun baru bisa pulih.

Sudah sering Pouw Yang Hian menggunakan jurus Huahiat-to. tetapi dia belum berhasil melukai lawan- lawannya. Malah dia nyaris celaka di tangan nona Han.

Dia dongkol, gusar dan entah apa lagi. Sepasang tangannya bergerak cepat mendatangkan suara hebat. Nona Han tidak berani mendekatinya. Terpaksa dia mundur. Bocah nakal itu tidak tinggal diam. Dia serang Pouw Yang Hian dengan cepat dan gesit sekali. Kelihatan tubuh si bocah melayang-layang bagaikan kupu-kupu sedang terbang, hendak hinggap di atas bunga. Tubuhnya berputar- putar mengitari lawan. Jika Pouw Yang Hian menyerang segera dia menghindar. Saat Pouw Yang Hian menyerang nona Han. dia menyerangnya dengan cepat secara tiba-tiba. Hal itu membuat Pouw Yang Hian jadi agak kewalahan juga.

Berkali-kali Pouw Yang Hian hampir bisa melukai nona Han. Pada saat genting itu si bocah menyerangnya, hingga Pouw Yang Hian membatalkan serangan terhadap si nona. Ilmu totok bocah itu tidak sehebat nona Han. Tetapi jurus- jurus yang dia tampilkan sangat aneh dan lihay sekali.

"Ayahku mengatakan di atas langit masih ada langit, itu memang tidak salah. Hari ini untung ada si bocah membantuku kalau tidak aku sudah celaka?" pikir nona Han.

Nona Han masih bertahan namun dia terus terdesak oleh serangan Pouw Yang Hian yang berbau amis. Jika dia terus mencium bau itu. maka dia akan muntah dan matanya pun mulai berkunang-kunang karena pening.

Tampak lwee-kang bocah itu lebih tinggi setingkat dari nona Han. Pada wajahnya belum ada perubahan apa-apa. Tetapi sesudah lewat beberapa jurus gerakan bocah itu pun sudah mulai lamban, tidak segesit tadi lagi. Tiba-tiba pemuda desa berbaju biru yang sedang duduk minum arak itu bangun dari kursinya.

"Saudara kecil, terima kasih atas makanan dan arakmu, tapi aku tidak boleh makan dan minum gratis. Aku harus membantumu!" kata dia. "Kau murah hati. makanan dan arakku tidak sebanding dengan nyawamu. Apa kau tidak takut pada ilmu pukulan Hua-hiat-tonya?" kata si bocah nakal.

"Dia belum mahir benar mempelajari jurus Hua-hiat- tonya." kata pemuda lugu itu. "Dari itu aku akan memberinya petunjuk agar dia tidak bertingkah di sini. Dengan begitu dia tidak akan menggunakan ilmu itu untuk menindas orang lain!"

Ucapan itu membuat orang-orang kaget termasuk Pouw Yang Hian.

"Ah. apa pemuda lugu ini ahli Hua-hiat-to juga?" pikir orang-orang di tempat itu.

Pouw Yang Hian tidak percaya kalau pemuda itu ahli Huahiat-to oleh karena dia tahu kitab Kong-sun Khie telah jatuh ke tangan gurunya. Selain dia dan gurunya tidak ada lagi orang yang bisa ilmu pukulan itu. dia yakin benar. Saat itu pemuda desa itu sudah berjalan menghampiri Pouw Yang Hian.

"Baik. aku ingin melihat bagaimana cara kau memberi pelajaran kepadaku." kata Pouw Yang Hian.

Nona Han dan si bocah nakal menyaksikan pemuda desa itu maju dengan penuh keyakinan. Hal itu membuat mereka heran bukan main.

"Baik aku akan menonton kehebatanmu!" kata si bocah pada pemuda desa itu.

Nona Han dan dia segera mundur dan berdiri di samping.

"Baik. silakan beri petunjuk!" kata Pouw Yang Hian sambil tersenyum sinis.

-o-DewiKZ~aaa-o Sepasang telapak tangan Pouw Yang Hian kelihatan sudah mulai hitam dan mengeluarkan bau amis tak sedap. Han Pwee Eng dan si bocah nakal terkejut. Kiranya orang she Pouw itu takut kalau pemuda desa itu benar-benar berilmu tinggi. Maka sengaja dia langsung mengeluarkan ilmu pukulan Hua-hiattonya yang sangat lihay itu. Dia ingin membunuh pemuda desa itu dengan sekali hajar saja. agar orang-orang jerih kepadanya.

Saat itu seluruh perhatian tertuju ke gelanggang perkelahian, terutama pada si pemuda desa itu. Mereka ingin tahu bagaimana dia menghadapi Pouw Yang Hian yang lihay itu.

"Aku kira kau baru berlatih sekitar tujuh tahun saja. kan?" kata si pemuda desa dengan sinis.

Pouw Yang Hian kaget bukan kepalang mendengar ucapan itu.

"Ah dia hebat juga? Bagaimana dia bisa tahu aku baru berlatih selama tujuh tahun lamanya?" pikir orang she Pouw itu sedikit kaget.

Pemuda itu tahu apa yang ada dalam benak Pouw Yang Hian.

"Dengar baik-baik. jika kau sudah mahir ilmu pukulan itu. telapak tanganmu tidak akan berwarna hitam dan berbau amis. Maka aku katakan kau belum mahir sekali, tidak salah kan?" kara si pemuda desa sambil tersenyum.

Hati Pouw Yang Hian tersentak, diam-diam dia tahu ada yang tidak beres. Akan tetapi anak panah sudah dipasang pada busurnya, pasti harus segera dilepaskan.

"Baik. aku mohon petunjukmu!" kata Pouw Yang Hian. Mendadak dia melakukan serangan hebat, pemuda desa itu mengangkat tangannya untuk menangkis.

"Karena kung-fumu belum mahir, aku enggan mengajarimu. Tetapi aku sudah berkata agar matamu terbuka!" kata si pemuda desa.

Saat pemuda itu mengangkat tangannya, semua orang tidak melihat ada yang aneh dalam gerakan itu. Tetapi di mata Pouw Yang Hian itu sungguh luar biasa, diam-diam dia terkejut. Telapak tangan pemuda desa itu kelihatan kemerahmerahan, tetapi hanya sekilas. Itu tandanya ilmu pukulan Hua-hiat-tonya tingkat tinggi.

"Dia baru berumur  tahun, apa dia sudah berlatih sejak dalam kandungan ibunya?" pikir Pouw Yang Hian.

Pouw Yang Hian tahu gurunya berlatih ilmu itu selama

 tahun, tapi baru setingkat dengan pemuda desa itu. Karena orang she Pouw ini berada dalam posisi terjepit, dia tidak bisa menarik kembali serangannya. Ditambah lagi dia belum yakin pemuda itu mahir ilmu pukulan itu. Dia kira pemuda itu hanya menakut-nakuti dan menggertak dia saja agar dia mau mundur. Pouw Yang Hian menggeretakkan giginya. Dia lanjutkan seranganya.

"Buum!"

Terdengar suara benturan yang sangat dasyat. Pemuda desa itu terhuyung ke belakang beberapa langkah, baru bisa berdiri tetap lagi. Sedang Pouw Yang Hian sama sekali tidak bergerak. Ketika itu Chu Tay Peng dan kawan- kawannya bersorak memuji Pouw Yang Hian.

"Kung-fumu sangat hebat Pouw Sian-seng!" puji mereka.

Nona Han dan si bocah terkejut bukan kepalang. Mereka segera menghunus senjata mereka, lalu mendekati pemuda desa itu untuk melindunginya. Mendadak sorakan dari pihak Chu Tay Peng terhenti seketika. Keadaan jadi sunyi sekali. Mereka semua kaget menyaksikan wajah Pouw Yang Hian kelihatan ketakutan sekali. Sebaliknya wajah pemuda desa itu biasa-biasa saja. dia kelihatan tenang luar biasa. Perubahan atas wajah orang she Pouw ini membuat panik semua orang. Pemuda desa itu tertawa.

"Apa kau masih mau mencobanya lagi?" kata si pemuda desa dengan tajam.

"Terima kasih kau tidak membunuhku." kata Pouw Yang Hian. "Kalau boleh tahu. siapa namamu?"

Pemuda itu menuding sambil membentak. Hal itu membuat orang she Pouw itu mundur selangkah demi selangkah. Wajahnya sudah berubah jadi kelabu dan sekarang dia sudah dekat pintu keluar.

"Cepat pergi!" bentak pemuda desa itu.

Saking kaget dan takutnya Pouw Yang Hian jatuh terguling di lantai. Pemuda desa itu tertawa.

"Pouw Yang Hian kau pulang saja. beri tahu gurumu! Dia telah mencuri barang milik keluargaku, cepat atau lambat aku pasti akan mencari dia untuk mengadakan perhitungan! Saat itu kau akan tahu siapa aku?" kata si pemuda desa.

Pouw Yang Hian bangun dan langsung kabur terbirit- birit. Begitu juga Chu Tay Peng dan kawan-kawannya. Sekarang di rumah makan itu tinggal Han Pwee Eng dan si bocah, pemuda desa itu dan para pelayan rumah makan yang ketakutan.

Bocah nakal itu tertawa riang. "Asyik! Sungguh asyik sekali! Terima kasih atas bantuanmu. Toa-ko!" kata si bocah nakal itu. Pemuda desa itu tersenyum.

"Jangan sungkan itu bukan apa-apa. Kau membayariku makan dan minum, aku harus membantumu!" kata si pemuda desa.

"Toa-ko, siapa namamu?" kata si bocah. Pemuda itu mengangguk.

"Kau mengakui aku sebagai temanmu, namaku Kong- sun Po. Po artinya melenyapkan kejahatan. Orang itu mencaci Iblis Besar Kong-sun Khie. justru dia itu adalah Ayahku almarhum." kata Kong-sun Po.

Mata si bocah terbelalak. "Ha. ?"

Mulutnya terbuka lebar dia tidak tahu harus bilang apa.

"Aku telah mengganggu kalian berdua, maaf aku pamit!" kata Kong-sun Po.

Dia langsung mengambil buntalannya lalu pergi meninggalkan rumah makan itu tanpa bertanya siapa nama si bocah nakal dan kawannya itu.

"Saudara Han, apa kita masih mau minum arak lagi?" tanya si bocah pada nona Han.

Sekarang Han Pwee Eng sudah tahu bocah nakal itu orang Hek-hong-to. kesan baiknya pada si bocah kini mulai berkurang.

"Dia dari aliran sesat sebaiknya aku tidak bergaul dengannya." pikir nona Han.

Nona Han lalu tersenyum. "Rumah makan ini sudah berantakan. kita tidak bisa minum lagi di sini! Jika kita berjodoh kelak kita akan minum lagi di sini!" kata Han Pwee Eng.

Ucapan nona Han itu sebenarnya ingin menyatakan selamat berpisah dengan si bocah nakal itu.

"Kau yang membayariku makan, aku menurut saja. Kau tidak mau minum aku pun tidak!" kata si bocah.

Ketika itu seorang pelayan keluar sambil merangkak dari kolong meja makan. Saat nona Han akan membayar, pelayan itu bilang.

"Semua sudah dibayar oleh Chu Tay Peng. Tuan!" kata si pelayan dengan hormat.

"Aku tak mau dibayari orang, ditambah lagi di tempat ini banyak barang yang telah hancur karena pertarungan tadi. Aku harus ganti rugi." kata nona Han.

"Kawanku ini benar, kami tidak akan merugikan rumah makan ini." kata si bocah. "Juga makanan dan arak Tuan Kong-sun akan dia lunasi!"

Pelayan itu girang bukan main. sambil membungkuk dia menghaturkan terima kasih kepada nona Han.

"Tuan sangat baik dan pengertian, baiklah beri saja uang perak pecahan pada kami." kata si pelayan.

"Baik. aku akan memberimu sepuluh tail perak, cukup?" tanya nona Han.

Saat dia merogoh sakunya ternyata kantung uangnya telah lenyap entah ke mana.

Mendadak wajah nona Han berubah pucat. Si bocah tertawa sambil mengeluarkan sebuah kantung uang. Begitu melihat kantung uang itu nona Han kaget bukan kepalang, itu adalah kantung uang miliknya. "Tidak salah dia telah mencuri kantung uangku saat dia menyenggolku dijalan kecil. Hebat ilmu copetnya sampai aku tidak merasa kehilangan. Tetapi dia sangat keterlaluan!" pikir nona Han.

"Maaf Saudara Han. aku ini miskin, terpaksa aku harus memakai uangmu." kata si bocah.

Dia tuang isi kantung itu di atas meja dan berkata pada pelayan rumah makan itu.

"Coba kau hitung, apa sudah cukup sepuluh tail atau belum?" kata dia.

Pelayan itu tersenyum.

"Tak perlu sebanyak itu. sebab sudah lebih Tuan!" kata si pelayan.

"Lebihnya untukmu saja!" kata si bocah seenaknya padahal itu uang nona Han. Pelayan itu girang dia tertawa. Langsung dia sambar uang perak itu.

”Terima kasih atas kebaikan Tuan-tuan berdua!" kata si pelayan dengan hormat sekali.

Setelah pelayan itu pergi si bocah melemparkan kantung uang itu.

"Tuh! Terima kantung uang milikmu, aku sudah berbuat baik untukmu, kantungnya harus aku kembalikan kepadamu " kata dia sambil tersenyum.

Nona Han dongkol bukan main.

"Kau tidak punya uang. kantung itu untukmu saja!" kata nona Han agak ketus.

Bocah itu tersenyum.

"Saudara Han kau memang sahabat yang baik. Kau jujur aku terpaksa menerimanya." kata dia. Mereka lalu meninggalkan rumah makan itu. Sampai di luar nona Han berkata.

"Terima kasih atas bantuanmu, sampai berjumpa lagi kelak!" kata nona Han.

Nona Han berjalan meninggalkan bocah itu. saat dia menoleh ternyata si bocah masih mengikutinya.

"Tunggu Saudara Han. aku belum tahu siapa namamu?" kata si bocah.

Nona Han agak kesal juga. tetapi biar bagaimana bocah itu pernah membantunya, terpaksa dia memberi tahu.

"Namaku Eng. Apa aku juga boleh tahu namamu?" kata Han Pwee Eng.

"Aku marga Kiong. namaku Mi Yun. Hek-hong-to To-cu itu Ayahku."

Karena nona Han sudah tahu sejak awal dia tidak terkejut mendengar keterangan itu.

"Tapi nama Mi Yun ini nama perempuan?" pikir nona Han.

Nona Han tidak berani memastikan dia juga tidak mau menanyakannya.

"Sebenarnya Kong-sun Po denganku masih punya hubungan famili, tetapi barangkali dia tidak mengetahuinya." kata Kiong Mi Yun.

"Ah mereka dari aliran sesat semua, lebih baik aku tidak boleh bergaul dengan mereka!" pikir nona Han.

Saat nona Han akan pergi meninggalkan Kiong Mi Yun. dia mendengar suara ringkikan kuda. Saat nona Han menoleh dia lihat seekor kuda sedang berlari kencang. Han Pwee Eng tidak melihat penunggang kuda itu tetapi dia mengenali kuda itu "hadiah" dari Ci Giok Hian untuknya.

Mengetahui hal itu Han Pwee Eng terkejut. Dia kerahkan gin-kangnya akan mengejar kuda itu. tapi kuda itu sudah berlari jauh sekali, malah sudah melewati pintu kota. Terpaksa Han Pwee Eng kembali ke penginapan. Kelihatan penginapan itu sudah berantakan tidak karuan. Ketika pemilik penginapan itu melihat Han Pwee Eng datang, buru-buru dia menghampirinya. Sikapnya sangat gugup dan panik sekali.

"Tadi....tadi telah muncul seorang perampok. Dia tidak merampok barang lain hanya kuda milik Tuan. Entah berapa harga kuda itu. aku akan...”

"Sudah jangan panik, keadaan memang sedang kacau lak heran banyak perampok berkeliaran." kata nona Han.

Dia tahu perampok itu memusuhi dirinya, dan pasti bukan perampok biasa. Dia juga tidak mau rewel dengan pemilik penginapan itu. Sekalipun dia tahu si pemilik penginapan bersedia mengganti kudanya.

"Sudah saja. Tuan. Kuda yang sudah hilang tidak usah kau hiraukan lagi." kata nona Han sabar.

Tiba-tiba ada suara orang bicara di belakang si nona "Benar! Hanya seekor kuda harganya tidak seberapa. Han Toa-ko. jangan khawatir orang bisa mencuri kudamu aku pun bisa mencuri juga. Dua hari lagi akan kucuri seekor kuda jempolan untukmu!" kata orang itu.

Nona Han menoleh kiranya orang itu Kiong Mi Yun sedang tertawa. Entah kapan dia tiba di situ.

Pakaian Kiong Mi Yun dekil, ketika dia bilang begitu tentu saja dia menarik perhatian semua orang. "Kau bergurau saudara Kiong. jangan merepotkanmu. lebih baik kau pulang saja." kata nona Han.

"Pulang? Kau menyuruhku pulang ke mana? Aku tidak punya rumah maka aku ke mari mencarimu." kata Kiong Mi Yun agak kesal.

Kelihatan nona Han kesal bukan main.

"Orang ini sungguh tidak tahu malu dan tidak tahu diri. Aku tinggalkan dia malah dia mencariku ke mari?" pikir nona Han Pwee Eng.

"Kau mencariku mau apa?" tanya Han Pwee Eng. "Mencari tempat bermalam." jawab Kiong Mi Yun

"Bukankah kau sudah menyewa kamar di sini? Nah. malam ini kita akan tidur sekamar."

Wajah Han Pwee Eng langsung merah.

"Maaf," kata Han Pwee Eng. "aku tidak biasa tidur berdua sekamar! Dan esok aku pun harus melanjutkan perjalananku, aku tidak punya waktu untuk bercakap-cakap denganmu."

Kiong Mi Yun mengerutkan dahinya.

"Baiklah, kalau kau tidak bersedia menerimaku, aku terpaksa cari akal lain." kata Mi Yun.

la mengeluarkan kantung uang dari Han Pwee Eng lalu ia guncang-guncang.

"Untung kantongmu ini masih berisi uang! Pelayan siapkan sebuah kamar untukku!" kata Mi Yun.

Mi Yun mengeluarkan sepotong uang perak dari kantung itu. mata pelayan itu terbelalak, dia mau terima tapi raguragu.

Kiong Mi Yun menegur pelayan itu. "Apa yang kau lihat? Apa kau belum pernah melihat uang perak ya? Cepat ambil dan siapkan sebuah kamar untukku. Lebihnya untukmu!" kata Mi Yun yang terus mengawasi nona Han. "Han Toa-ko uang ini pemberianmu, aku harap kau tidak menyalahkan aku terlalu royal."

Han Pwee Eng kewalahan tapi hatinya geli sekali.

"Uang itu sudah kuberikan padamu, terserah kau mau dipakai untuk apa?" kata nona Han.

Kiong Mi Yun tertawa.

"Baik. aku ucapkan terima kasih atas kebaikanmu ini," kata Kiong Mi Yun.

Pelayan itu lalu mengantar Kiong Mi Yun ke sebuah kamar. Sedangkan Han Pwee Eng segera masuk ke kamarnya untung Mi Yun tidak mengikutinya. Tetapi saat dia mengunci pintu kamar dan menyalakan lilin, dia terkejut bukan kepalang. Ternyata tempat tidurnya sudah berantakan dan buntalan pakaiannya pun sudah terbuka. Buntalan itu seolah telah diperiksa oleh seseorang. Dalam buntalan itu terdapat dua stel pakaian laki-laki pemberian Ci Giok Hian. dan uang  tail perak. Semua pakaiannya masih ada tapi uangnya sudah tidak ada di situ.

"ini pasti perbuatan Chu Tay Peng yang mengira aku Kiong Mi Yun? Dia mengirim orang ke mari saat aku ada di rumah makan. Sesudah tahu aku bukan orang she Kiong. dia mencuri uang dan kudaku." begitu nona Han berpikir.

Dia tidak mau mencari pemilik penginapan karena dia pikir percuma saja karena pemilik penginapan tidak ada sangkutpautnya dengan kejadian itu. Tapi yang jadi masalah uang itu hilang sedang uang dalam kantung miliknya sudah diberikan kepada Mi Yun. sekarang sepeserpun dia tidak punya uang. Itu masalahnya. Sedang perjalanan dari tempat itu ke kota Lok-yang masih berjarak  lie lagi. dari mana dia bisa memperoleh uang.

"Untung uang sewa kamar sudah dibayar, kalau tidak wah bisa berabe juga?" pikir nona Han "Bagaimana ya. apa aku harus mencuri seperti Kiong Mi Yun?"

Dia baringkan dirinya di tempat tidur, tapi tidak berani tidur. Dia khawatir Chu Tay Peng dan orangnya akan datang lagi dan Mi Yun akan mengikutinya.

Malam itu berlalu tanpa kejadian apa-apa. Nona Han ingin bebas dan Kiong Mi Yun. Masih gelap dia sudah bamgun dan meninggalkan penginapan itu. Dia keluar dari kota Ouw-shia pada saat hari masih pagi sekali. Dijalan masih sepi. Tapi saat dia akan menggunakan gin-kang dia telah mendengar sebuah seruan.

"Han Toa-ko. tunggu aku! Kau pergi dengan diam-diam. setengah mati aku mencarimu!" kata Mi Yun.

Kali ini wajah Kiong Mi Yun telah berubah, dia juga sudah berpakaian bersih. Dia tampan sekali. Han Pwee Eng kesal, jengkel dan dongkol bercampur aduk.

"Mengapa kau mengikuti aku lagi? Kita hanya kebetulan bertemu kau tidak perlu mengantarkan aku." kata Han Pwee Eng dengan suara sedikit kesal

Kiong Mi Yun tersenyum.

"Aku bukan ingin mengantarmu, tapi mau mengembalikan uangmu." kata Mi Yun.

"Uang itu untukmu tidak perlu kau kembalikan kepadaku." kata Han Pwe Eng.

"Kalau begitu uang ini anggap saja sebagai hadiah dariku." kata Kiong Mi Yun. "Semalam aku "bekerja" dan berhasil mendapatkan uang. Karena kau sangat baik kepadaku, aku harus membalasnya. Jangan kau tolak!"

Dia mengeluarkan sebuah kantung uang yang lain bukan kantung milik Han Pwee Eng dulu.

"Kantung ini aku buat sendiri, kau boleh menyimpannya sebagai kenang-kenangan." kata Mi Yun sambil tersenyum.

Saat itu Han Pwee Eng sedang kesulitan uang maka dengan tidak sungkan-sungkan dia terima saja uang itu. "Terima kasih, sampai jumpa!" kata nona Han.

Kiong Mi Yun tertawa.

"Kok kau ini tak sabaran sih? Aku mau bilang sesuatu kau sudah mengusirku pergi?" kata Mi Yun.

Sekalipun dia sedang tertawa tapi wajahnya memelas minta dikasihani.

"Maaf aku sangat tergesa-gesar harus membuai waktu, aku tidak bermaksud mengusirmu." kata nona Han.

"Han Toa-ko, kau mau ke mana?" tanya Mi Yun. "Dalam tujuh hari ini aku harus sudah tiba di kota

Lokyang." kata Pwee Eng.

Mi Yun bertepuk tangan sambil tertawa girang.

"Ah kebetulan sekali, aku juga mau ke Lok-yang!" kata Kiong Mi Yun girang.

Mata nona Han terbelalak.

"Aku mau menghindarinya malah aku masuk ke dalam jeratnya." pikir nona Han.

Melihat nona Han diam Kiong Mi Yun mengerutkan alisnya.

"Han Toa-ko. apa kau membenciku?" kata dia. "Kau jangan bilang begitu." kata Han Pwee Eng.

"Musuhku sangat banyak, aku takut menyusahkanmu!" Kiong Mi Yun tersenyum.

"Han Toa-ko. benarkah kau tidak membenciku? Aku lega." kata dia.

Dia tersenyum lembut sekali. Jika diperhatikan mirip seorang nona yang cantik. Mungkin dia seorang gadis yang sedang menyamar seperti nona Han.

"Han Toa-ko." kata Mi Yun lagi. "Kau tidak perlu mencemaskan aku. Aku akan bersamamu, pasti kita akan aman dalam perjalanan. Jika ada musuh mencarimu kita hadapi bersama. Daripada kau menghadapinya seorang diri lebih baik bergabung. Akan aku ajak kau lewat jalan pintas, tidak sampai tujuh hari kita sudah akan tiba di Lok-yang!"

Han Pwee Eng tidak bisa menolak. Ditambah lagi dia curiga Mi Yun ini seorang gadis.

"Aku akan berada bersamanya dalam satu perjalanan, di tengahjalan akan kuselidiki dia. Siapa tahu aku bisa membuka rahasianya?" pikir nona Han.

"Baik. mari kita berangkat!" kata nona Han.

Han Pwee Eng ingin mencoba kepandaian Kiong Mi Yun. Saat mendaki sengaja dia gunakan gin-kang dan melesat meninggalkannya. Kiong Mi Yun malah tertawa.

"Han Toa-ko gin-kangmu sungguh tinggi" teriak Mi Yun.

Dia juga menggunakan gin-kang mengejar nona Han. tanpa terasa mereka sudah bisa berjalan sejauh  lie. Karena letih nona Han berhenti akan istirahat. Dia menoleh ke belakang. Wajah Kiong Mi Yun tidak kelihatan merah. Napasnya pun biasa saja. Itu suatu tanda gin-kangnya cukup tinggi, dia jadi malu sendiri. Ketika itu sudah tengah hari....

"Han Toa-ko kita istirahat dulu sejenak di hutan itu." kata Kiong Mi Yun. "Setelah makan makanan kering baru perjalanan ini kita lanjutkan lagi!"

Nona Han mengangguk.

Mereka berjalan ke arah rimba lalu duduk di bawah sebuah pohon. Mi Yun mengeluarkan sebuah kotak sambil tersenyum.

"Pasti kau tidak menyiapkan makanan kering." kata Mi Yun. "Aku membawa makanan enak dari rumah makan "Ngi Nih Lauw" yang terkenal itu, silakan kau cicipi!"

Han Pwee Eng kaget matanya terbelalak.

"Kemarin aku tidak melihat kotak ini. kapan kau ke rumah makan itu?"

"Semalam ketika aku "bekerja" dan pulangnya melewati rumah makan itu. Mendadak aku ingat kau. Aku yakin kau belum pernah mencicipi kue-kue dari rumah makan itu. Aku masuk ke dalam mengambil beberapa macam kue. Aah! Han Toako. kau jangan memelotiku terus! Aku menaruh uang di sana, aku tidak mau merugikan mereka. Ayo kau cicipi!" kata Kiong Mi Yun.

Han Pwee Eng menggeleng-gelengkan kepalanya. "Saudara kecil. kau. ”

Kiong Mi Yun cemberut.

"Han Toa-ko aku ingin menyenangkan hatimu. Apa kau tega masih mau menyalahkan aku?" kata Mi Yun.

Tingkah-laku Kiong Mi Yun ini sangat mirip seorang gadis, terutama saat dia cemberut.

"Mengapa kau begitu baik kepadaku?" kata nona Han. "Han Toa-ko. kau tidak marah padaku, kan?" kata Kiong Mi Yun manja.

"Semalam kau membantuku, aku belum berterima kasih kepadamu. Mengapa aku harus marah kepadamu?" sahut nona Han Pwee Eng.

Kiong Mi Yun menatapnya.

"Semalam aku mempermainkanmu. kau tidak menyalahkan aku?" kata Kiong Mi Yun. Han Pwee Eng tersenyum.

"Tidak! Tapi aku heran, kenapa kau menyamai' jadi budak dan berpakaian kotor?" kata Han Pwee Eng.

"Aku tidak ingin mereka tahu aku ini siapa?" kata Kiong Mi Yun. "Jika aku tidak menyamar aku akan diikuti oleh mereka, jadi aku tidak bebas. Malah lucunya mereka mengira kau adalah aku!"

Han Pwee Eng tersenyum.

"Tapi aku mendapatkan perlakuan yang istimewa dari mukamu itu!" kata nona Han.

"Tadi kau tanya mengapa aku baik kepadamu." kata Kiong Mi Yun. "Baik akan aku beritahu kau. Itu karena kau pun sangat baik kepadaku. Kemarin ketika aku menyamar seperti budak, dan aku sengaja mengotori pakaianmu. kau sama sekali tidak marah kepadaku. Malah kau membayariku makan dan minum arak. Belum pernah ada orang begitu baik seperti kau!"

Dia bicara dengan jujur. Nona Han tersenyum.

"Karena aku tahu kau bukan orang biasa. Tapi kalau dulu aku tahu ayahmu itu Hek-hong-to To-cu. iblis aliran sesat, mungkin aku tidak akan mau bergaul denganmu!" kata Han Pwee Eng.

"Aku dibesarkan di sana. di laut Tong-hai (Laut Timur). Di sana berbahaya sekali dan sering dilanda badai. Perahu sangat sulit mencapai pulau itu. Di pulau itu hanya ada Ayahku, aku dan beberapa pelayan yang sudah tua. Sejak kecil tidak ada teman untuk diajak bermain."

"Ah. kalau begitu kau pasti kesepian sekali?" kata nona Han sambil tersenyum.

"Ya. karena itu aku minggat diam-diam." kata Mi Yun. "Jadi kau kabur dari sana?"

"Aku kabur tujuanku hanya ingin bergaul, dan ingin punya beberapa kawan, tapi ternyata sangat mengecewakan." kata Kiong Mi Yun.

"Apa karena angan-anganmu terlalu tinggi?" kata nona Han sambil menatap dia.

"Tidak. Karena Ayahku terlalu terkenal. Yang tahu mengenai diriku, mereka segera menjauh karena takut. Aku coba mendekati mereka, tapi tidak ada yang mau berkawan denganku. Aku marah dan dongkol lalu menyamar jadi tukang

perahu dan budak, supaya tidak ada orang yang mengenaliku!" kata Kiong Mi Yun.

Nona Han tertawa.

"Oh! Jadi selama ini kau belum punya kawan?" "Kemarin saat aku bertemu denganmu. Chu Tay Peng

malah mengira kau itu adalah aku. aku heran lalu kuikuti kau dengan diam-diam. Aku ingin tahu sebenarnya kau ini siapa?" kata Kiong Mi Yun. "Jadi sekarang kau sudah tahu?" kata nona Han sambil tersenyum.

Dia mengangguk.

"Ya. kau orang yang baik hati. sekalipun kau tidak tahu aku ini siapa? Aku minggat sudah setengah tahun yang lalu dan berkeliaran, kau adalah satu-satunya kawanku." kata dia.

Han Pwee Eng tersenyum. Mendadak Kiong Mi Yun bertanya.

"Di rumahmu masih ada siapa saja sih?" kata dia. "Ada Ayahku, dia sudah tua." kata Han Pwee Eng.

"Kau tidak punya saudara lelaki atau perempuan?" kata dia lagi.

"Tidak punya kakak maupun adik. dan aku belum bertunangan lho!" kata Han Pwee Eng sambil tersenyum geli.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar