Beng Ciang Hong In Lok Jilid 06

 
Melihat Siauw Hong melamun, ibunya tersenyum. "Hai. kenapa tiba-tiba kau ingat kepadanya?"

"Dia datang ke Pek-hoa-kok membantuku menjernihkan kekacauan di sana." kata Kok Siauw Hong. "Sekalipun aku akan menemui Ayahnya dan membatalkan perjodohan dengannya, tapi aku tetap berterima kasih kepadanya. Aku kira Giok Hian akan menahan dia di Pek-hoa-kok. Tapi Ibu bertemu nona Ci dan kakaknya menuju ke Lok-yang. Pasti Nona Han tidak ada di sana. Apa ia pulang atau tidak? Maka itu tadi aku bertanya pada Ibu. apakah Ibu bertemu dengan Nona Han atau tidak?"

"Hm! Jadi kau takut bertemu dengannya di di tengah jalan? Terus terang aku tidak bertemu dengan dia. Seharusnya dia pulang, tapi di tengah jalan aku tidak menemuinya. Mungkin dia mengambil jalan lain. Karena kudamu bisa lari cepat, jika kau bertemu dengan dia kau harus baik-baik kepadanya." kata Kok Hu-jin.

Wajah Kok Siauw Hong merah ia manggut.

"Baik. Bu. Nona Han dengan Giok Hian seperti kakakberadik saja. aku harap jangan karena aku. hubungan mereka jadi rusak. Lebih baik Ibu pulang saja."

"Aku dengar tentara Mongol sudah menyerbu ke Lok- yang. aku harap kau berhati-hati.'* kata Kok hu-jin. "Ya, Bu." kata Kok Siauw Hong.

Sesudah saling menukarkan kuda baru Kok Hu-jin menjalankan kudanya akan pulang. Sesudah ibunya pergi baru Kok Siauw Hong melompat ke atas kudanya lalu ia larikan ke arah Lok-yang.... -o-^DewiKZ^~^aaa^-o

Sementara itu HanPwee Eng yang akan pulang ke Lokyang, memang mengambil jalan lain bukan melalui jalan umum. Seperti dugaan Kok Hu-jin ternyata nona Han mengambil jalan kecil. Pilihan mi mungkin agar ia tidak bertemu dengan Kok Siauw Hong di tengah jalan. Sekarang Kok Siauw Hong menempuh jalan raya. sedangkan dia lewat jalan kecil. Tentu saja tak akan bertemu.

Ketika itu Han Pwee Eng mengenakan pakaian laki-laki. Dia telah menempuh perjalanan beberapa hari lamanya. Di sepanjang jalan ia mengalami kejadian apa-apa baik saat dalam perjalanan atau saat bermalam di penginapan maupun saat dia makan di rumah makan. Dia yakin karena tidak ada orang yang mengetahuinya bahwa dia seorang nona. Tapi pada hari yang ketujuh....

Setelah melewati daerah San-tung, ia mengalami kejadian yang mengherankan sekali.

Malam itu ia mencari sebuah penginapan di sebuah kota kecil bernama Ci-hoo. Ternyata majikan penginapan itu masih muda. dia melayani nona Han Pwee Eng dengan sangat istimewa sekali hingga membuat Han Pwee Eng kaget. Padahal ia tudak memesan makanan utu. tetapi tuan rumah malah menyajikan masakan yang lezat untuknya.

Dia bukan pejabat dan di kota kecil itu dia tidak kenal siapa-siapa. Dia juga bukan seorang hartawan, tapi mengapa pemilik penginapan begitu telaten melayaninya. Hal itu membuat nona Han Pwee Eng bingung dan terheran-heran. Sesudah memikirkan hal itu dan tak mendapat jawaban yang memuaskan, akhirnya Han Pwee Eng jadi tak acuh pada perlakukan pemilik penginapan itu. Dia hanya menduga barangkali memang harus begitu memperlakukan seorang tamu baru. agar betah di penginapannya?

Betapa kagetnya Han Pwee Eng. ketika esok harinya ia akan meninggalkan penginapan itu dan dia mau membayar sewa kamar serta makannya, ternyata pemilik penginapan menolak ia bayar.

"Tuan. mengapa Tuan tak mau menerima bayaran dariku?" tanya nona Han.

"Maaf Tuan. semuanya sudah dibayar lunas." jawab pemilik penginapan itu.

"Ci-ho sebuah kota kecil, sahabatku hanya Ci Giok Hian seorang. Sedang Ayahku tidak pernah bilang punya kenalan di tempat ini. aneh sekali." pikir Han Pwee Eng. "Kalau begitu siapa yang membayari uang sewa kamar dan makanku? Jika dia kenalan, kenapa dia tidak muncul memperkenalkan diri?"

Karena heran dan penasaran nona Han menanyakan ciri- ciri orang yang membayarinya pada pemilik penginapan. Tapi pemilik penginapan itu tersenyum sambil berkata.

"Dia berumur  tahun, wajahnya biasa-biasa saja. tidak istimewa. Pakaiannya mewah sekali. Kemarin siang dia ke mari. lalu memberitahu bahwa Tuan akan datang ke mari. Dia juga menyampaikan ciri-ciru wajah dan tubuhmu. Dia minta kami melayanimu dengan baik. Dia lalu menyerahkan uang dan pergi tanpa menyebutkan nama lagi. Aku pikir pria itu pasti sahabat Tuan. Tuan pun pasti kenal kepadanya." kata tuan rumah. Kelihatan pemilik penginapan itu pun keheranan.

Han Pwee Eng menggelengkan kepalanya. Ia pun yakin pemilik penginapan bukan teman orang itu. Jika dia bertanya pun tidak akan ada gunanya. Mungkin dia hanya melayani tamunya karena sudah dibayar lunas. Agar tidak membuat pemilik penginapan itu curiga, nona Han Pwee Eng berpurapura baru ingat.

"Oh dia! Orang itu memang senang bergurau!" kata si nona sambil tersenyum.

Han Pwee Eng pamit dan meninggalkan penginapan itu dengan terheran-heran. Di sepanjang jalan ia berpikir dan tetap merasa heran.

"Pasti ada dua kemungkinan, pertama orang itu ingin mengambil hatiku, kedua orang itu ingin berbuat jahat terhadapku? Orang itu sengaja menguntit aku secara diamdiam. Sesudah terjadi peristiwa dengan Serigala Tua. aku memang telah menanam permusuhan. Mungkin orang itu salah satunya. Kiranya ciri-ciri diriku telah diketahuinya?" pikir Han Pwee Eng.

Dia memang baru berkelana di Dunia Kang-ouw. Maka itu dia berpikir kalau orang itu mau berbuat jahat, dia tidak perlu berbuat baik kepadanya. Jika orang itu mau berbuat baik dan mengambil perhatiannya, mengapa dia tak meninggalkan namanya. Maka yang bisa ia lakukan adalah tetap waspada sambil melanjutkan perjalanannya.

"Apakah dia kawan atau lawan, sebaiknya tak perlu kupikirkan." begitu nona Han mengambil keputusan. "Jika dia muncul akan kuhadapi dia sesuai situasi. Aku tidak boleh jerih dan tak pulang ke rumah."

Saat hari mulai senja kembali nona Han Pwee Eng mencari  sebuah  penginapan,  dia  menemukan penginapan itu terletak di sebelah Selatan sungai Hoang-hoo. Di kota kecil itu hanya terdapat sebuah penginapan. Saat dia menjalankan kudanya ke sana ketika itu Han Pwee Eng melihat pemilik penginapan sedang berdiri di depan pintu menyambut kedatangannya.

"Silakan Tuan! Silakan masuk!" kata orang itu. "Apa ada kamar untukku?" tanya nona Han.

"Ada! Bahkan kamar itu sudah dipesan oleh sahabatmu!" kata tuan rumah dengan ramah sekali.

"Bagaimana macam orang itu?" tanya si nona heran. "Orang itu kepalanya gundul." jawab pemilik

penginapan.

Karena tidak ada penginapan yang lain terpaksa Han Pwee Eng bermalam di situ. Hampir semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan orang yang memesan kamar untuknya. Tetapi malam itu tidak terjadi apa-apa. Hati Han Pwee Eng jadi risau bukan main.

"Orang itu tidak mau memperlihatkan dirinya, hingga aku jadi bingung sekali." pikir nona Han.

Ketika esok harinya dia mau membayar, pemilik penginapan ini menolak pembayarannya. Terpaksa dia meninggalkan penginapan tanpa membayar uang sewanya. Nona Han Pwee Eng menjalankan kudanya ke tepi sungai Hoang-hoo. Rupanya setiap hari di situ banyak para pengungsi yang menyeberangi sungai ke arah Selatan, dan jarang yang menyeberang ke Utara. Agak sulit juga Han Pwee Eng mencari dan menemukan perahu yang mau menyeberangkan dia ke arah Utara. Setelah dia berjanji akan membayar mereka dengan ongkos yang mahal, barulah ada perahu yang mau menyeberangkannya. Hari itu cuaca kurang baik. Sekalipun langit tampak cerah, namun angin bertiup kencang sekali hingga sungai Huang-hoo jadi bergelombang. Keadaan ini membuat hati nona Han jadi hampa. Nona Han yang berdiri di haluan perahu menyaksikan arus yang deras sekali.

"Yang jernih tetap jernih, yang bergelombang tetap bergelombang. Orang yang sedang kacau pikirannya tak boleh membiarkan diri terbawa arus dan terapuing-apung" pikir nona Han. "Gelombang sungai ini susul-menyusul, sama seperti keadaanku sekarang yang sedang kacau. Apakah pasukan Mongol sudah menyerbu ke Lok-yang belum? Apakah Ayahku masih ada di sana atau sudah mengungsi? Pasti dia teringat padaku?"

Saat dia sedang melamun tampak sebuah perahu kecil meluncur ke arah perahu yang dinaiki oleh Han Pwee Eng. Tak lama perahu kecil itu telah melewati perahunya.

Kelihatan di perahu kecil itu ada seorang pemuda baru berumur  tahun, wajahnya tampan dan bersih, begitu pula pakaiannya. Kelihatannya dia bukan seperti tukang perahu.

Nona Han heran, saat perahu kecil itu melewati perahu yang dinaikinya, tanpa terasa nona Han menoleh ke arah si pemuda itu. Saat pemuda itu mengetahui nona Han memperhatikannya, ia pun menoleh sambil tertawa.

"Ah siapa anak muda ini? Dia pandai sekali mengayuh perahunya?" tanya nona Han pada tukang perahu.

"Dulu-dulu aku tidak pernah melihatnya." jawab si tukang perahu, "mungkin dia tukang perahu baru di sini. Sekarang memang banyak pengungsi yang menyeberang dengan naik perahu."

Han Pwee Eng mengerutkan dahinya. "Dia kelihatan tidak mirip dengan tukang perahu biasa, kalau dia pengungsi seharusnya dia ke Selatan, bukan menuju ke Utara!" kata nona Han.

Tukang perahu itu pun menggelengkan kepalanya.

"Aku pun tidak tahu, sekalipun dia tidak mirip dengan tukang perahu tetapi dia mahir mendayung perahu. Belum pernah aku melihat tukang perahu semahir dia?" kata si tukang perahu.

"Apa dia yang mempermainkan aku selama ini?" pikir nona Han. "Dia lebih muda dariku, mana bisa dia demikian hebatnya? Sedang menurut pemilik penginapan orang itu berumur  tahun, dan bukan seorang pemuda. Jelas mereka dari suatu perkumpulan, sedang anak muda ini pasti bukan pemimpin perkumpulan."

la jadi tertawa sendiri karena terlalu bercuriga. Setelah perahu kecil itu jauh dan mendarat di seberang sungai, nona Han bersama perahu yang ditumpanginya terus melaju. Sebelum matahari terbenam dia sudah tiba di sebuah kota bernama Ouw-shia.

Kota Ouw-shia terletak di bagian Utara sungai Huang- hoo. Kota ini cukup besar, dan merupakan kota pembuat arak terkenal. Di kota ini terdapat sebuah rumah makan bermerk "Ngi Nih Lauw". Letak rumah makan itu di atas tanah agak tinggi, sehingga orang yang sedang makan dan sedang berkunjung di sana bisa melihat sungai Huang-hoo dengan jelas sekali. Melihat perahu seolah sedang berlomba.

Han Pwee Eng tidak pernah singgah di kota ini. tetapi dia tahu di sini ada rumah makan bernama "Ngi Nih Lauw" Konon ada orang pertama pembuat arak yang memberi nama Ngi Ciu. Orang itu lahir di kota ini. nama rumah makan itu untuk mengenang namanya. Kota ini termasuk ramai sehingga nona Han terpaksa melarikan kudanya perlahan-lahan. Sebenarnya dia ingin meneruskan perjalanannya, tetapi karena hari sudah sore. terpaksa ia mencari sebuah penginapan. Kemudian terlintas pengalamanya dua hari yang lalu.

"Sekarang aku akan mencari penginapan kecil, aku ingin tahu apakah orang itu memesankan kamar untukku atau tidak?" pikir nona Han.

Saat kuda nona Han berjalan perlahan-lahan, tiba-tiba muncul seorang yang sedang memikul mainan anak-anak. Nona Han kaget dia khawatir kudanya menabrak orang itu. lalu ia menepikan kudanya ke tepi jalan. Jalan itu sangat sempit. Sekalipun kuda itu telah menepi, anak muda itu tetap menyenggol nona Han.

"Oh! Maaf! Maaf!" kata anak muda itu.

Ia mengulurkan tangannya akan membersihkan pakaian nona Han. bukan jadi bersih malah pakaian itu bertambah kotor.

"Kau boleh pergi! Aku tidak menyalahkanmu." kata nona Han sambil mendorong bocah itu agar pergi.

Pemuda itu mengangguk lalu berjalan pergi meninggalkan nona Han. Pada saat yang bersamaan nona Han mengerutkan dahinya. Dia ingat sesuatu, dia merasa seolah pernah melihat pemuda itu. Sekalipun anak muda itu kelihatan kotor, tetapi tak menutupi ketampanannya. Tiba- tiba nona Han teringat bahwa pemuda itu si tukang perahu yang mahir mendayung perahunya. Tapi ketika itu berpakaian bersih, sedang sekarang sudah salin rupa dan ia berakaian dekil sekali.

"Dia memang memiliki kepandaian." pikir nona Han. Setelah berbelok beberapa kali baru nona Han menemukan sebuah penginapan. Nona Han menghentikan kudanya di depan penginapan kecil itu. Di situ tidak terlihat papan nama penginapan, tapi hanya tergantung sehelai kain yang sudah kumel diikatkan ke sebatang bambu. Tulisan itu berbunyi "Khek-can" (Penginapan). Dinding kamar penginapan itu sudah kehitam-hitaman karena sudah lama tak pernah dicat.

Diam-diam nona Han tersenyum.

"Aku yakin orang yang menguntitku itu tidak akan menyangka aku akan mencari penginapan seperti ini?" pikir nona Han.

Bukan main kagetnya nona Han. pada saat bersamaan pemilik penginapan itu keluar menyambutnya.

"Oh selamat datang Tuan. kami merasa bangga atas kedatangan Tuan ke tempat kami ini. Kamar telah kami sediakan untuk Tuan. Silakan Tuan periksa dulu. apaka cocok untuk Tuan atau tidak?" kata pemilik penginapan.

Kemudian orang itu akan mengambil tali les kuda nona Han untuk ditambatkan dan diberi makan. Tetapi nona Han Pwee Eng mencegahnya.

"Tunggu dulu! Tahukah kau siapa aku ini? Mengapa kau menyiapkan kamar untukku?" kata nona Han secara beruntun.

Pemilik penginapan itu tertegun sejenak.

"Seorang Toa-ya memberitahu aku tentang wajah Tuan dan kuda ini. Dia berpesan kepadaku agar aku menyiapkan sebuah kamar untuk Tuan. dan aku diminta melayani Tuan dengan baik." kata si pemilik penginapan.

Sekalipun begitu dia berpikir. "Apa aku salah menyambut orang?" pikirnya.

Melihat pemilik penginapan itu kebingungan nona Han tersenyum puas.

"Benar kau telah keliru mengenaliku, bukan? Aku sebenarnya hanya lewat saja dan tidak berniat bermalam di tempatmu!" kata nona Han mantap.

Pemilik penginapan itu terbelalak. Ia berpikir keras. "Jelas  orang  itu  memberi  gambaran  tentang  orang ini.

mana mungkin aku salah lihat?" pikir pemilik penginapan

itu. "Ah peduli amat. apakah aku salah lihat atau tidak, aku toh sudah dibayar."

Sekalipun nona Han belum berpengalaman luas. dari ayahnya dia sering mendengar tentang keanehan di kalangan Kang-ouw. Maka dia sudah langsung menduga, bahwa "orang itu" telah membayar semua penginapan yang akan dilewatinya. Oleh sebab itu nona Han jadi kapok dan dia tidak akan mencari penginapan kecil lagi.

"Hm! Ada orang yang sedang mempermainkan aku. dia membayariku. Mengapa aku harus tidur di penginapan kecil, lebih baik aku akan cari penginapan yang mewah dan enak saja. toh ada yang membayari." pikir Han Pwee Eng sambil tersenyum..

Dia langsung pergi ke jalan raya untuk mencari sebuah penginapan yang besar dan mewah sekali. Tetapi dia tetap

mengikutinya. Ketika dia mengawasinya memang ada dua orang yang mengikutinya. Orang yang satu seorang lelaki tua berjenggot dan yang seorang lagi lelaki yang kepalanya gundul dan usianya sekitar  tahun. Kedua lelaki itu saat diperhatikan mendadak berhenti di tepi jalan. Mereka berhenti tepat di depan seorang pedagang kaki lima (pedagang di pinggir jalan). Han Pwee Eng semula mengira orang-orang itu akan membeli sesuatu di situ. Tetapi saat diperhatikan mereka tidak membeli apa- apa. Nona Han jadi curiga sekali.

Rupanya kedua pria itu sadar kalau mereka sedang diperhatikan oleh nona Han. Kebetulan mereka juga ada di depan rumah makan "Ngi Nih Lauw" yang terkenal itu. Terdengar salah seorang dari mereka bicara dengan suara agak keras mungkin agar terdengar oleh nona Han.

"Aku dengar arak di rumah makan ini lebih enak dari rumah makan di San-see. Bagaimana jika kita ke sana untuk minum beberapa cawan araknya?" kata lelaki tua berjenggot pada si gundul.

"Kalau Lo-ko (saudara tua) ingin minum. Su-tee (adik seperguruan) bersedia menemanimu." kata si gundul.

Tak lama kedua lelaki itu berjalan masuk ke rumah makan. Ketika itu nona Han ingat pada pemilik penginapan yang pernah bilang, bahwa orang yang memesankan kamar untuknya orangnya gundul berumur  tahun.

"Ah pasti dia orangnya?" pikir Han Pwee Eng. "Baik aku juga ke sana, apa yang hendak dia lakukan terhadapku? Aku ingin yakin benarkah dia atau bukan orangnya?"

Berjalanlah nona Han menuju ke sebuah penginapan besar dan mewah. Sebelum dia masuk di luar dia sudah langsung disambut oleh pemilik penginapan.

"Apa ada kamar untukku?" kata nona Han.

"Ada! Ada! Sudah dipesan untuk Tuan! Orang itu berpakaian seperti seorang sastrawan." kata pemilik penginapan memberi penjelasan. "Setiap kali yang memesan kamar untukku selalu berbedabeda orangnya," pikir nona Han. "Rupanya mereka anggota perkumpulan dan cukup banyak anggotanya."

Tanpa pikir panjang lagi dia mengikuti tuan rumah yang akan menunjukkan kamarnya. Sesampai di kamar itu dia letakkan buntalan pakaiannya, saat itu pemilik penginapan itu bicara padanya.

"Makanan dan arak sudah disiapkan oleh Toa-ya tersebut untuk Tuan." kata dia.

Han Pwee Eng menggelengkan kepala.

"Terima kasih, aku tidak akan makan di sini. aku mau minum arak di "Ngi Nih Lauw"!" kata nona Han.

"Kau benar, makanan di "Ngi Nih Lauw" memang lezat, tetapi bagaimana makanan yang sudah disiapkan di sini?" kata pemilik penginapan itu bingung.

"Makan saja oleh kalian." kata Han Pwee Eng. "Terima kasih. Tuan." kata dia.

Han Pwee Eng bergegas berjalan menuju ke "Ngi Nih Lauw" dengan langkah yang tetap.

Begitu sampai di depan rumah makan "Ngi Nih Lauw". nona Han langsung masuk ke dalam. Dia menoleh ke kiri dan kanan. Kelihatan ada belasan meja tetapi sudah pernuh oleh para tamu. Dia kira kedua lelaki itu belum pergi, maka diperhatikannya semua tamu yang ada di sana.

Tamu-tamu itu mengawasi nona Han. tetapi tak lama kemudian mereka sudah asyik kembali dengan makanan dan minuman mereka masing-masing. Sambil mengerutkan kening

Han Pwee Eng mencari meja yang dekat ke jendela. Setelah  duduk  dia  memanggil seorang  pelayan. Kebetulan lelaki berjenggot itu juga memanggil seorang pelayan, lalu dia berbisik tapi nona Han tidak mendengar apa yang dikatakannya. Tak lama seorang pelayan mendekati nona Han Pwee Eng sambil berkata ramah.

"Tuan mau pesan apa?" tanya si pelayan.

"Satu guci arak wangi, seporsi ayam panggang dan daging sapi panggang." kata nona Han.

"Baik. Tuan." jawab pelayan itu.

Setelah nona Han memperhatikan semua tamu itu. kecuali kedua lelaki itu tidak ada yang dia curigai. Si pelayan mencatat pesanannya, lalu pergi akan menyediakan semua yang dipesan oleh nona Han itu.

Ketika Han Pwee Eng memperhatikan di sekeliling ruangan, dia lihat tergantung beberapa pigura sajak. Pada saat menunggu pesanannya tiba nona Han coba membaca salah satu syair yang tergantung itu.

Tulisannya sangat indah. Itu adalah syair tulisan Gouw Bong Goan. seorang penyair berasal dari zaman Lam Song (Song Selatan). Syair itu berkisah mengenai kejadian  tahun yang lalu. Konon ada orang yang bernama Tay Ouw. dan orang ini membuat sebuah saluran air dari atas gunung. Ketika itu penduduk setempat sedang mengalami kekeringan. Munculnya Tay Ouw yang membuat saluran air itu membuat penduduk terhindar dari kekeringan sungguh luar biasa.

Selesai membaca syair itu nona Han berpikir.

"Berbuat baik demi penduduk, pasti penduduk tidak akan melupakan jasanya. Kemampuan orang memang berbedabeda. Sekalipun aku tidak bisa dibandingkan dengan Tay Ouw. tetapi aku harus meniru perbuatannya." pikir Han Pwee Eng. Nona Han menghela napas.

"Kini perang telah berkobar, rakyat kecil akan jadi korban. Entah kapan perang itu akan berakhir dan keadaan aman kembali?" pikir nona Han.

Pada saat itu datang dua pelayan membawakan makanan dan arak untuknya. Salah seorang membawakan pesanannya, sedang pelayan yang lain membawakan empat macam masakan istimewa. Pelayan itu meletakkan semua hidangan itu di atas meja makan nona Han Pwee Eng.

"Kuah Jin-som ini harus diminum saat masih hangat, sedang masakan yang lain harus disantap sambil minum arak agar bertambah lezat Silakan Tuan cicipi dulu. enak tidak masakan itu?" kata si pelayan.

Pelayan yang satunya terus bicara sehingga pelayan yang satunya lagi akhirnya tertawa.

"Sam-ko (kakak ketiga) kau jangan terus bicara, kau bisa ditertawakannya lho!" kata si pelayan.

Wajah pelayan itu langsung merah.

"Tetapi aku tidak pesan makanan-makanan itu!" kata nona Han menolak.

Pelayan itu tertegun ia mengawasi orang tua berjanggut, sedang orang tua itu manggut. seakan dia ingin memberitahu bahwa hidangan itu dia yang memesan untuk Han Pwee Eng.

"Yang memesan makanan ini Lo-sian-seng itu. katanya untuk menghormati Tuan!" kata si pelayan.

"Mengapa aku harus menerima kehormatan darinya?

Bawa pergi saja!" kata nona Han.

Pelayan itu terkejut dia goyang-goyangkan tangannya. "Tidak bisa, semua sudah dibayar lunas. Mana bisa kami membawanya lagi?" kata si pelayan.

Kelihatan pelayan itu cemas sekali, dia takut disalahkan oleh orang tua berjenggot yang menyuruhnya mengantarkan masakan itu pada si nona. Orang tua itu berdiri dari kursinya dan berkata.

"Saudara baru sampai ke tempat ini. mungkin saudara belum tahu masakan istimewa di rumah makan ini. Maka ilu aku lancang memesankan untukmu saudara. Harap kau nikmati saja." kata si orang tua berjenggot.

"Kita belum berkenalan, mengapa Lo-sian-seng menjamuku?" kata nona Han.

Orang tua itu tertawa.

"Kita bertemu di sini. itu artinya kita berjodoh menjadi sahabat. Tidak perlu harus saling kenal dulu. Ibarat aku meminjam sekuntum bunga untuk kupersembahkan kepada Sang Buddha, di tempat ini aku menghormatimu dengan secawan arak!" kata orang tua itu.

Orang itu sudah tua tetapi memanggil nona Han dengan membahasakan "Saudara", terdengarnya memang agak janggal tapi sikapnya hormat sekali.

"Apa dia belum tahu aku ini seorang nona? Dilihat dan wajahnya, dia tidak seperti orang jahat?" pikir nona Han.

Tiba-tiba lelaki tua itu mengangkat cawannya. Saat itu nona Han mengira dia akan meminum arak itu. tetapi dia melemparkan cawan arak itu ke arah meja nona Han. Nona Han baru sadar kiranya orang tua itu ingin menunjukkan kungfu di hadapannya.

Tampak cawan arak itu meluncur dengan cepat dan melayang turun ke atas meja nona Han Pwee Eng. Sungguh mengagumkan, cawan arak yang penuh berisi arak itu tidak tumpah sedikitpun. Nona Han terkejut.

"Sungguh hebat gerakan "Pek-pou-coan-ciu" (Menyuguhkan arak dalam seratus langkahjnya itu. aku tidak boleh meremehkannya." pikir nona Han.

la mengangkat cawan itu sambil berkata.

"Aku tidak berani menerimanya. Yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua dulu. Sebaiknya aku yang lebih dulu menghormati Lo-sian-seng." kata nona Han  merendah.

Dengan jari telunjuknya nona Han menyentil cawan arak itu. sehingga cawan arak itu kembali meluncur ke arah lelaki tua berjenggot itu.

Saat itu Han Pwee Eng menggunakan jurus "Tan-ci- sinthong" (Ilmu Telunjuk Sakti), ilmu keluarganya. Cawan arak itu meluncur dengan cepat ke meja si orang tua. sedikitpun arak itu tak tumpah.

Melihat meluncurnya cawan arak itu. orang tua itu langsung tahu. cawan arak itu meluncur ke arahnya bukan ke atas meja. Gerakan itu tidak sulit bagi si orang tua berjenggot untuk menyambutnya, tetapi agar araknya tidak tumpah, itu yang sulit dilakukannya. Jika sampai arak itu tumpah maka dia yang akan dinilai kalah.

"Ah tidak salah lagi, dia pasti nona itu. Pang-cu ingin berkenalan dengannya." pikir orang tua itu.

la girang karena tak salah mengenali orang, tetapi dia khawatir tidak mampu menyambut cawan arak itu. Pada saat yang bersamaan datang seorang yang menyambuti cawan arak itu sambil berkata. "Hai arak yang harum, tidak ada yang mau meminumnya! Biar aku yang minum saja." kata orang itu.

Dia minum arak dari cawan itu hingga kering, setetes pun tidak tumpah atau tersisa.

Kejadian itu mengejutkan kedua belah pihak, terutama nona Han Pwee Eng. Orang yang tiba-tiba muncul itu tak lain si bocah tanggung yang menabraknya di jalan sempit itu, atau si pemuda tampan yang mahir mengayuh perahu kecil di sungai itu. Ia masih mengenakan pakaian kotornya, dan debu yang menempel di mukanya pun belum dibersihkan. Lelaki gundul di samping orang tua berjenggot itu tertegun sejenak, lalu bangkit dari kursinya dengan gusar.

"Siapa kau? Mau apa kau ke mari? Cepat keluar! Ayo cepat keluar!" bentak si gundul.

Ia dorong pemuda itu. Tapi si pemuda segera mengelak. kebetulan ia tiba di samping nona Han.

"Sungguh keterlaluan, padahal ini rumah makan. Siapapun boleh ke mari. mengapa kau mengusirku?" kata bocah itu dengan berani. Para pelayan pun jadi kurang senang melihat bocah itu bertingkah di situ.

"Saudara kecil kau tidak salah, ini rumah makan. Tetapi makan dan minum di tempat ini kau harus membayar!" kata si pelayan dengan sinis.

Pemuda itu tertawa.

"Hm! Kenapa kau pandang aku begitu rendah? Apakah kau tahu aku tidak punya uang?" diaberkata sambil mencakmencak. Tetapi saat ia merogoh sakunya, dia kaget.

"Wah celaka! Benar-benar celaka! Aku lupa membawa uangku!" kata dia gugup sekali. Pelayan itu tertawa dingin.

"Jika tidak punya uang harap kau keluar!'* kata si pelayan.

"Sabar, walau aku tidak punya uang siapa tahu ada orang yang baik hati, dia mau membayari aku makan dan minum di sini? Siapa tamu yang bersedia membantuku, ayo katakan?" kata dia dengan Jenaka.

Semua tamu tertawa terbahak-bahak. Saat itu nona Han lalu bicara dengan sabar.

"Adik kecil ini tamuku. Pelayan tolong kau ambilkan sumpit, cawan dan mangkuk untuknya!" kate nona Han dengan lantang pada pelayan rumah makan itu.

"Baik. Tuan." kata si pelayan yang segera pergi mengambilkan barang yang diminta oleh nona Han. Setelah itu pelayan sengaja membersihkan kursi yang akan diduduki pemuda itu.

"Silakan duduk. Tuan!" kata pelayan itu.

"Hm!" si bocah mendengus. "Kau takut aku akan mengotori kursimu ya? Sekalipun kursi ini kotor tidak masalah, pasti Tuan ini siap menggantinya. Benar kan Tuan kau siap menggantinya?"

"Jangan bergurau. Adik Kecil, silakan duduk!" kata nona Han Pwee Eng sambil tersenyum manis.

Sebenarnya lelaki berjanggut dan si gundul ingin bicara dengan nona Han. tetapi sekarang jadi terhalang oleh si bocah ini. sehingga mereka berdua jadi agak dikesampingkan. Si gundul kelihatan gusar dia berniat melampiaskan kedongkolannya pada si bocah itu. Tetapi dicegah oleh lelaki berjanggut, dia diberi isyarat agar tidak membuat keributan di tempat itu. Saat si pemuda itu sudah duduk baru lelaki berjanggut itu menghampiri menja nona Han.

"Aku si Tua Bangka memberi hormat kepada Tuan!" kata dia dengan sikap sangat hormat sekali.

Nona Han segera membalas hormatnya.

"Aku tak berani menerimanya, mohon bertanya siapa nama besar Lo-cian-sian-seng ini. Lalu kenapa Lo-sian-seng memesan makanan begini banyak untukku?"

Pada saat orang tua itu mau menjawab tiba-tiba si bocah itu tertawa.

"Oh. jadi rupanya kau juga dibayari oleh orang lain! Kalau begitu aku tidak perlu membuatmu rugi harus mengeluarkan uang! Hm! Kalau begitu aku tak akan sungkan-sungkan lagi!" kata si bocah sambil tertawa.

"Ah itu masalah kecil, jangan diungkit-ungkit lagi." kata orang tua berjenggot itu. "namaku Chu Tay Peng. Sudah lama aku kagum kepada Ayahmu. Sekalipun aku tidak terkenal, jika Ayahmu mendengar namaku, pasti beliau akan tahu siapa aku ini sebenarnya!"

"Ali. kiranya dia ingin bersahabat dengan Ayahku, tetapi sealam ini namanya belum pernah kudengar?" pikir nona Han.

"Tetapi dalam beberapa hari ini di perjalanan, boan-pwee (hamba yang rendah) mendapat layanan yang baik. Apakah itu Lo-sian-seng yang melakukannya?" kata nona Han langsung bertanya.

"Itu adalah sikap hormat dari perkumpulan kami. di Selatan maupun di Utara telah menyampaikan salam kami pada Ayah Saudara." kata Chu Tay Peng. Sambil menyebut saudara. Chu Tay Peng tersenyum karena tahu bahwa tamunya atau nona Han itu seorang nona. Ketika Chu Tay Peng menyebut semua nama ketua dan wakilnya, si bocah kelihatan sudah tidak sabar lagi.

"Sudah selesai belum kalian bicara?" kata si bocah. "Aku tidak akan sungkan-sungkan lagi. kuah Jin-som ini harus diminum hangat-hangat. Jika sudah dingin tidak enak diminum lagi."

Dia langsung meminum kuah jin-som hingga kering.

Han Pwee Eng tertawa.

"Siauw-ko. silakan makan! Maaf aku tidak menemanimu makan." kata si nona.

"Aku tidak se-ji-se-ji (sungkan-sungkan) lagi, karena kau menyuruhku makan, pasti aku makan semua! Kau tidak mau menerima hadiah ini. berarti kau rugi sendiri... "

Dia langsung makan sambil memuji kelezatan masakan di rumah makan itu.

"Sekalipun aku tidak tahu semua nama teman Ayahku, tetapi setahuku Ayahku sangat angkuh di Dunia Persilatan Terutama terhadap kaum sesat. Nama-nama yang disebutkan tadi. aku kira bukan orang baik-baik semua. Mana mungkin Ayah punya hubungan dengan mereka int?" pikir nona Han.

Karena curiga nona Han langsung bertanya.

"Apa maksud Lo-sian-seng agar aku menyampaikan pesanmu kepada Ayahku? Apa Chu Lo-sian-seng pernah bertemu dengan Ayahku?" kata nona Han.

"Kami tidak berani mengganggu beliau. Asalkan beliau mau kembali ke Tiong-goan (Tiongkok, Red), itu setelah memberi muka kepada kami." sahut Chu Tay Peng. Han Pwee Eng tercengang mendengar perkataan itu.

Rumah mereka memang ada di Lok-yang. dan memangb ada di Tiong-goan. Tapi mengapa Chu Tay Peng memakai kata-kata "kembali ke Tiong-goan?" Chu Tay Peng sadar nona Han tidak mengerti maksud ucapannya itu. lalu ia bicara lagi.

"Asalkan kau katakan saja begitu pada beliau, aku yakin beliau pasti sudah mengerti" kata Chu Tay Peng.

Mendengar keterangan itu nona Han Pwee Eng keheranan bukan main. Tetapi ia mengiakannya saja. Mendengar jawaban Han Pwee Eng itu Chu Tay Peng melanjutkan.

"Tahun lalu Ayah saudara naik ke gunung Tay-san. aku dan ketua menemuinya. Jika saudara ungkit masalah itu pasti beliau akan ingat pada kami."

Ketika mendengar kata-kata Chu Tay Peng yang terakhir, mata Han Pwee Eng terbelalak, karena ayahnya telah terluka lima tahun yang lalu. dan akibat lukanya itu kedua kaki ayahnya agak lumpuh. Selama lima tahun itu ayahnya selalu bersamanya. Mana mungkin tahun lalu ayahnya bisa pergi ke Tay-san? Sementara itu si bocah sedang asyik makan dan minum.

"Lama sekali kalian bicara, masih belum selesai ya?

Semua makanan hampir habis kumakan." katanya.

Chu Tay Peng tertawa.

"Aku memang terlalu cerewet. Untuk itu aku minta maaf pada kalian berdua, dan mohon diri." kata Chu Tay Peng.

Dia memberi hormat lalu kembali ke mejanya. Han Pwee Eng mengerutkan dahinya. "Orang yang dia temui di Tay-san. pasti bukan Ayahku.

Aku kira dia salah mengenali orang?" pikir nona Han.

Semula nona Han Pwee Eng ingin memberi penjelasan, tapi dia berpikir lagi.

"Ayah sedang terluka terkena pukulan Siu-lo-im-sat- kang. dan tak ingin diketahui oleh orang lain. Lagi pula jika aku menjelaskannya pada mereka, aku akan membuka rahasia diriku di depan mereka. Padahal mencari tahu tentang orang lain satu pantangan dalam Dunia Persilatan. Jika dia bilang begitu kepadaku, pasti ada suatu rahasia. Jika aku memberi pejelasan pada mereka, pasti mereka  akan banyak bertanya kepadaku. Kami kedua pihak akan merasa tidak enak ingin menyembunyikan rahasia mereka." pikir nona Han.

Saat dia sedang berpikir Chu Tay Peng bersama si gundul telah pergi meninggalkan rumah makan.

"Ah apa peduliku, daripada menambah masalah, lebih baik menguranginya. Lebih baik kunikmati saja santapan lezat ini." pikir nona Han.

Dia yakin Chu Tay Peng dan kawannya dari suatu perkumpulan yang tidak baik. untuk apa bergaul dengan mereka. Pemuda itu menarik napas panjang.

"Syukur pembicaraan kalian sudah selesai, ayo kau makan.” kata dia.

Bocah itu mulai makan lagi seolah semua makanan itu dia yang memesannya. Han Pwee Eng tersenyum saja.

"Siauw-ko kau datang dari Selatan, aku lihat kau mendayung perahu kecil itu. kau mahir sekali." kata nona Han.

Pemuda itu tertawa. "Tajam sekali penglihatanmu, kau masih mengenaliku!" katanya sambil tertawa.

"Tapi mengapa kau mengubah identitasmu, aku jadi heran." kata nona Han.

"Aku ini anak orang miskin, kami harus bekerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi." kata si bocah. "Siang aku menjala ikan, sore harinya aku ke kota untuk minta-minta, aku selalu begitu, apa yang diherankan?" kata pemuda itu polos.

Semula nona Han mencurigai bocah ini termasuk anggota Chu Tay Peng. sekarang dia tidak curiga lagi. Lalu dia tatap anak itu dalam-dalam.

"Berdasarkan kung-funya saat dia menyambut cawan arak tadi. aku yakin dia bukan anak sembarangan. Dia kurasa berniat mengikutiku. Tetapi aku tidak tahu asal- usulnya?" pikir nona Han Pwee Eng.

Bocah itu minum arak lagi lalu berkata.

"Cara masak ikan dari sungai Huang-hoo ini sangat berbeda sekali." katanya. "Bisa kau rasakan sendiri lezatnya."

Han Pwee Eng tersenyum.

"Rasanya memang enak. aku rasa memasaknya biasa saja. apa bedanya?" kata nona Han. Anak muda itu tertawa.

"Kau benar, tetapi ikan ini tidak dimasak dengan cara biasa saja." katanya.

Kembali nona Han tersenyum.

"Jika dimasak dengan cara tidak biasa, apakah kau tahu cara masaknya?" tanya nona Han. "Mula-mula masak air sepanci." sahut si anak muda. "Airnya harus air sumur, jangan air sungai. Setelah air mendidih, ikan dimasukkan ke dalam panci, tetapi apinya harus dimatikan. Selang beberapa saat ikan itu diangkat lalu diberi bumbu. Nah, rasanya pasti lezat."

Han Pwee Eng tertawa.

"Ah kiranya kau juga ahli masak, ya?" kata si nona.

"Aku sering menangkap ikan di sungai Huang-hoo. ditambah lagi orang miskin sepertiku mana mampu memanggil tukang masak segala. Mereka harus masak sendiri. Karena itu aku jadi bisa masak. Kau jangan meremehkan masakan tauhu ini. karena tauhu ini dimasak dengan kuah ayam dan kuah daging sapi. baru rasanya enak." kata si bocah lagi.

"Memang tidak aku sangka masakan tau-hu ini sangat istimewa," kata nona Han. "Apa kau bisa memasaknya dengan cara seperti itu, ya?"

Tapi si nona berpikir.

"Dia akan ketahuan belangnya, mana mungkin anak orang miskin bisa masak dengan kuali ayam dan kuah daging sapi?" pikir si nona.

"Terus-terang di rumahku aku tidak pernah masak tau-hu semacam ini." kata si bocah, "tetapi aku pernah makan di rumah temanku dan aku tahu cara memasaknya."

Setelah minum beberapa cawan arak wajah bocah yang penuh debu itu mulai tampak merah. Kelihatan lesung pipitnya yang menawan hati. Saat nona Han melihat wajah bocah itu. Han Pwee Eng berpikir "Dia pasti pemuda tampan dan selalu merawat diri. tapi kenapa dia mau dandan seperti bocah miskin?" pikir nona Han.

Mereka duduk berhadapan. Han Pwee Eng bisa melihat bocah itu dengan jelas. Ia pikir ketampanan bocah itu ada anehnya. Kok Siauw Hong dan Ci Giok Phang keduanya tampan, mereka bertampang pria sejati. Tetapi bocah ini malah mirip seorang perempuan. Di luar kesadarannya Han Pwee Eng memperhatikan terus pemuda itu. Kebetulan bocah itu pun sedang mengawasinya, tentu saja nona Han jadi terkejut dan wajahnya memerah seketika itu juga.

"Sekalipun dia mirip wanita, tetapi dia tetap seorang pria." pikir nona Han. "Aku memperhatikannya begitu jangan-jangan dia akan salah paham. Tetapi dia lebih muda dariku. dia pantas menjadi adikku.”

Entah mengapa Han Pwee Eng merasa cocok dengan bocah itu. dia lupa sekarang dia sedang mengenakan pakaian pria. Tapi hatinya jadi agak lega juga.

Tiba-tiba ada tamu masuk, tamu itu mengenakan mantel terbuat dari kulit serigala hitam. Dia mengenakan topi dari kulit beruang. Pakaian orang itu sangat indah. Setelah duduk lelaki itu berteriak memanggil pelayan.

"Pelayan ambilkan aku seguci arak wangi!" katanya. Seorang pelayan menghampiri tamu itu sambil bertanya.

"Tuan mau guci yang mana? Guci besar, guci sedang atau guci kecil saja? Guci besar berisi arak seratus kati. yang sedang berisi lima puluh kati dan yang kecil sepuluh kati" kata pelayan itu sambil mengawasi tamunya.

"Jangan cerewet." kata lelaki itu. "cepat ambilkan arak yang isinya lima puluh kati. tambah dua ekor ayam panggang dan lima kati daging sapi!" Pelayan itu meleletkan lidahnya dan berkata.

"Tuan mau menjamu tamu. berapa pasang sumpit yang harus kami sediakan?" kata si pelayan.

"Aku hanya sendirian." kata si tamu itu. "Mengapa kau takut aku tidak bisa menghabiskan makanan itu? Sudah jangan banyak tanya sediakan pesananku itu segera!"

Pelayan itu mengerutkan keningnya.

"Aku khawatir kau tidak punya uang. bukan takut kau tidak bisa menghabiskan makanan itu." pikir si pelayan.

Jika dilihat pakaiannya pasti orang itu punya uang. maka pelayan itu bergegas menyiapkan pesanannya.

Lelaki itu duduk di bekas meja tempat duduk Chu Tay Peng dan berhadapan dengan meja nona Han. Ketika nona Han memperhatikannya, di tengah-tengah sepasang alis orang itu terlihat kehijauan. Jika tidak diperhatikan memang tidak kelihatan jelas. Ayahnya pernah bilang, jika ada orang pada bagian alis matanya kelihatan berwarna hitam, ungu atau kehijauan, mungkin ia terkena racun lawan, atau dia berlatih ilmu racun. Tetapi suara orang itu lantang, jadi jelas dia tidak terkena racun golongan sesat.

Tak lama pelayan itu telah menyajikan pesanan lelaki itu dan meletakkannya di atas mejanya.

"Aku tidak perlu cawan! Kau ganti saja dengan sebuah mangkuk besar!" kata orang itu.

"Baik. Tuan." kata si pelayan.

Pelayan itu segera menyediakan mangkuk itu.

Lelaki itu menuang arak ke mangkuk, lalu meneguknya semangkuk demi semangkuk.

"Hm! Arak yang enak! Arak enak!" katanya. Dia mulai menyantap ayam panggang tanpa menggunakan sumpit lagi. Ketika Han Pwee Eng menyaksikan orang itu makan, dia jadi berpikir.

"Cara dia makan seperti harimau kelaparan, dia telah menyia-nyiakan kelezatan arak itu... " pikir nona Han.

Saat itu anak muda yang duduk bersamanya tertawa. Lelaki yang sedang makan ayam panggang itu melotot ke arah si anak muda.

"Hai bocah dekil apa yang sedang kau tertawakan?" kata orang itu lantang sekali.

"Aku mau tertawa, tak ada urusannya denganmu." sahut si anak muda.

Lelaki itu menggebrak meja. kelihatan dia gusar sekali. Tetapi bersamaan dengan itu masuk beberapa orang tamu ke dalam rumah makan itu. Orang yang berjalan paling depan ialah Chu Tay Peng dan si lelaki gundul, diikuti oleh empat orang di belakangnya. Salah seorang pada keningnya terdapat benjolan dan giginya tonggos, sehingga wajahnya kelihatan jadi aneh sekali.

Han Pwee Eng tertegun menyaksikan kedatangan mereka itu. Dia tak tahu apa yang akan terjadi kemudian.

"Kenapa mereka kembali lagi dengan membawa kawan yang lain?" pikir Han Pwee Eng.

Chu Tay Peng mendatangi meja yang didudukinya tadi. Ketika Chu Tay Peng melihat lelaki itu. dia jadi kaget tetapi tidak berani banyak bicara.

"Orang ini entah dari mana datangnya?" pikir Chu Tay Peng sedikit heran dan ngeri. Chu Tay Peng sadar orang itu pasti berilmu tinggi, hanya dia tidak tahu orang itu belajar ilmu apa karena wajahnya agak aneh sekali.

Seorang pelayan menghampiri mereka sambil membungkukkan badannya hormat sekali.

"Chu Toa-ya, Lay Toa-ya. kalian datang lagi? Tadi sebelum Toa-ya selesai minum, kalian sudah pergi semua, hingga makanan pesanan Toa-ya belum sempat kami sajikan." kata si pelayan ramah sekali.

Sesudah itu si pelayan pun memberi hormat pada temanteman Chu Tay Peng. Kepada yang bergigi tonggos si pelayan langsung berkata.

"Ang Lo-ya-cu. angin apa yang membawamu ke mari?

Kalian mau pesan makanan apa?" kata si pelayan.

Chu Tay Peng mendorong pelayan itu agar menepi, kemudian mereka mendatangi meja Han Pwee Eng.

"Ketika beberapa kawanku mendengar Tuan-muda ada di sini. mereka datang ke mari untuk memberi hormat kepadamu." kata Chu Tay Peng.

"Maaf. aku tak berani menerima penghargaan kalian  ini." kata nona Han

Orang yang giginya tonggos memberi hormat sambil membungkuk.

"Kiong Siauw Kong-cu. sudah lama kami kagum pada nama besar ayahmu. Kebetulan Kong-cu datang ke daerah kami. tentu kami harus memberi hormat padamu, aku ini wakil ketua Hay-sah-pang (Perkumpulan Pasir Laut), namaku Ang Kin. Ini kartu namaku." kata si tonggos.

Chu Tay Peng segera menarik sang kawan, dia lihat Han Pwee  Eng  terus  mengawasinya  karena  heran.  Rupanya huruf Kiong dan Kong suaranya mirip dia tidak tahu apa yang dikatakan si tonggos itu. marga atau bukan? Jika disusun dan diucapkan Kiong Kong-cu. tetapi kenapa ditambah kata Siauw (kecil) lagi? Tetapi ditambah atau tidak, itu tidak penting. Dia heran kenapa Chu Tay Peng menarik Ang Kin dan kelihatan wajahnya sangat tegang.

Barangkali mereka mengira Han Pwee Eng bermarga Kiong. Kiranya orang yang bermarga Kiong itu seorang nona. Nona Kiong sedang mengembara di Dunia Persilatan dan menyamar sebagai lelaki. Sebenarnya tadi Ang Kin ingin memanggil nona Han dengan panggilan Nona Kiong, ia segera sadar setelah Chu Tay Peng menariknya. Nona Han tahu siapa Ang Kin yang tadi memperkenalkan diri, sekalipun dia tak tahu soal nona Kiong itu.

Ang Kin disebut Tok-kak-liong (Naga Bertanduk Satu), karena di keningnya terdapat sebuah benjolan. Dia juga pandai ilmu Tok-sah-clang (Pukulan Pasir Beracun). Sekali- pun ia hanya wakil ketua Hai-sah-pang. namun kepandaiannya di atas ketua Hai-sah-pang. Setelah semua memperkenalkan diri. baru Han Pwee Eng tahu si gundul itu bernama Lay Hui. yaitu Hiang-cu dari Ceng-liong-pang (Perkumpulan Naga Hijau). Pemuda yang duduk bersama Han Pwee Eng kelihatan sudah tak sabaran.

"Aaah! Kalian semua mau apa sih? Kalian datang hanya mengganggu kami saja! Aku jadi tidak enak makan dan minum. Sekarang kartu nama kalian sudah diterima, silakan kalian pergi!" kata si pemuda.

Mereka kawanan perampok yang kejam, ketika ditegur begitu oleh seorang bocah dekil, tentu saja membuat mereka gusar sekali. Sayang pemuda dekil itu duduk bersama Han Pwee Eng sehingga terpaksa mereka memberi muka dan tidak mau ribut dengannya. 'Terima kasih Kong-cu bersedia menerima kartu nama kami. sekarang kami mohon diri." kata Lay Hui si kepala gundul.

Saat mengundurkan diri mereka sempat melotot ke arah si pemuda dekil, namun si pemuda acuh tak acuh saja. Ternyata mereka tak pergi dari rumah makan itu, malah menghampiri sebuah meja besar dan duduk di sana. Dari sana mereka memperhatikan gerak-gerik Han Pwee Eng dan si pemuda dekil itu. Sekarang keadaan di situ jadi luar biasa.

Saat itu masuklah seorang pemuda berpakaian kain kasar berwarna biru. di punggungnya tergendol sebuah buntalan. Dari tampangnya bisa diduga pemuda itu pasti anak seorang petani.

Melihat kedatangan pemuda berbaju biru itu. seorang pelayan memberi isyarat agar si pemuda jangan banyak bicara. Lalu pelayan itu menarik sebuah kursi dan menyilakannya duduk. Sesudah itu pelayan itu menyajikan seteko air teh wangi dan meninggalkan pemuda itu begitu saja.

Di mata pelayan rumah makan itu, seorang pemuda petani jika masuk ke rumah makan, paling-paling minta teh dan sedikit makanan kecil, sehingga dia tidak perlu dilayani segala. Sedangkan saat itu mereka memang sedang sibuk sekali melayani para tamu. Pemuda berbaju biru itu berteriak-teriak.

"Hai ada apa ini? Kok kalian tinggalkan aku, aku mau minum arak!" kata pemuda baju biru itu.

Mendengar teriakan pemuda itu Lay Hui langsung membentak. "Jangan berteriak-teriak! Kami sedang ada urusan di sini! Jika kau berteriak lagi akan aku tendang kau. mengerti?" kata Lay Hui garang sekali.

Pemuda yang duduk bersama Han Pwee Eng bangun. "Hai kalian jangan menghina orang! Biar aku yang

membayari Toa-ko ini minum arak! Pelayan segera suguhkan seguci arak untuknya dan seekor ayam rebus!" kata pemuda itu dengan lantang.

Si pelayan tertegun. Dia awasi Lay Hui lalu mengawasi ke arah pemuda itu. Pelayan itu kelihatan ragu-ragu dan tidak berani mengambil keputusan sendiri.

"Hm! Kau takut aku tidak membayar semua makanan itu." kata si pemuda, "baik aku bayar duluan!"

Pemuda di dekat nona Han itu lalu mengeluarkan uang perak yang berkilauan.

"Uang ini pasti cukup, lebihnya untukmu!" kata dia sambil melemparkan uang itu ke atas meja.

Tak lama terdengar suara keras. "Ting, clep!"

Ketika si pelayan akan mengambil uang perak itu. dia kaget bukan main. Ternyata uang itu tidak bisa diambil, saat dia cabut dari meja uang itu seperti terpaku di meja makan.

Lay Hui tertawa dingin, ia dekati meja itu lalu menggebraknya. Seketika itu juga uang itu melompat ke atas sedang ujung meja yang dia tepuk hancur. Si pemuda yang berada dekat Han Pwee Eng tertawa.

"Hm! Cuma mengandalkan kepandaian begitu saja kau mau pamer di depan umum." kata si pemuda jahil itu. Jika orang itu berilmu tinggi, ketika menepuk meja dia tidak akan merusak meja itu. tetapi Lay Hui memang berhasil mengambil uang yang tertanam di meja itu. tetapi tepukannya belum sempurna dan jadi bahan ejekan pemuda itu.

Chu Tay Peng mengerutkan dahinya.

"Lay Ji-tee. kau jangan cari masalah. Biarkan teman Kiong Kong-cu yang membayari pemuda itu!" bisik Chu Tay Peng pada kawannya.

Lay Hui dengan muka merah kembali ke tempat duduknya. Sedang si pemuda berbaju biru bangun dan mengucapkan terima kasih.

-o-^DewiKZ^~^aaa^-o

Pemuda yang duduk bersama nona Han itu tertawa. Kemudian mengawasi ke arah pemuda berbaju biru atau si pemuda desa yang lugu itu.

"Karena kita berpakaian sederhana dan kotor maka mereka menghina kita," kata si pemuda yang duduk dekat nona Han. Dia mengambil cawan araknya dan meneguk isinya.

"Orang telah membayariku, sehingga aku tak enak hati. maka itu aku pun ingin membayarimu minum arak. Bagaimana? Kalian tidak mau segera pergi, apa kalian juga ingin kubayari makan? Tapi karena kalian punya uang, ya bayar saja sendiri!"

"Siauw-ko jangan bergurau. Kami sedang ada urusan penting dan ingin mohon bantuan dari kawanmu itu." kata Chu Tay Peng dengan sabar. "Tadi kalian bilang tidak punya urusan apa-apa. kenapa mendadak sekarang kau bilang ada urusan penting ingin minta bantuanku? Apa maksudmu?" kata Han Pwee Eng.

"Ini urusan Ang Pang-cu dan aku baru tahu tadi. Ang Pangcu, lebih baik kau saja yang mengatakannya sendiri." kata Chu Tay Peng.

Ang Kin jengkel dan kesal hatinya.

"Jelas kau sudah tahu masalahnya, tetapi masih bertanya!" pikir Ang Kin.

Namun kekesalannya tidak dia keluarkan, karena dia ingin minta bantuan. Rupanya dia kira nona Han ini nona she Kiong.

Ternyata ayah nona Kiong itu iblis yang sangat dia takuti sekali. Sekalipun dia sangat jengkel tetapi tetap bicara dengan sopan.

"Mohon bantuan Kiong.. Kiong Kong-cu..." dia bicara dengan agak gugup sedikit.

"Apa maksudmu?" tanya Han Pwee Eng tidak mengerti. "Entah salah apa pada Kong-cu hingga dua Hiang-cu

perkumpulan kami itu dihukum. kami mohon agar nyawa mereka Kong-cu ampuni." kata Ang Kin.

Han Pwee Eng tertegun.

"Coba kau ceritakan masalahnya dari awal. Aku sama sekali tidak kenal dengan orang perkumpulan kalian, mana mungkin aku mencelakakan mereka?" kata nona Han.

Ang Kin menarik napas lega.

"Terima kasih atas kebaikan Kong-cu mau mengampuni nyawa mereka. Kalau begitu kami harap Kong-cu datang ke tempat   kami   untuk    menyelamatkan   mereka!   Kasihan sekarang mereka sedang sekarat, mungkin nyawanya tidak akan bisa lewat malam ini?" kata Ang Kin.

Han Pwee Eng terkejut bukan main.

"Apa masalahnya? Aku bukan seorang tabib, mana bisa aku bisa aku mengobati mereka?" kata nona Han gugup.

"Kau jangan pura-pura." kata Ang Kin kesal.

Dia angkat tangannya hendak menggebrak meja tanpa memikirkan akibatnya.

Tetapi Chu Tay Peng segera menahannya. Sedang pemuda yang duduk bersama nona Han mengulurkan tangannya yang memegang sumpit sambil berkata.

"Apa yang hendak kau lakukan, aku belum selesai makan kau malah mau membalikkan mejaku?" kata dia.

Ujung sumpitnya tepat mengalah ke jalan darah Lauwkiong-hiat di telapak tangan Ang Kin. Untung Chu Tay Peng cepat bergerak, jika tidak Ang Kin akan celaka dan habislah kung-fu Ang Kin saat itu juga.

Bukan main kagetnya Ang Kin, buru-buru dia memberi hormat pada Han Pwee Eng.

"Siauw-jin (Aku yang rendah) dan ceroboh mohon ampun." kata Ang Kin dengan gugup.

"Coba kau jelaskan, aku sungguh tidak mengerti ada masalah apa sebenarnya?" kata nona Han bingung.

Chu Tay Peng tidak ingin Ang Kin membuat kesalahan lagi. maka dialah yang maju menghadapi nona Han.

"Ang Toa-ko. biarlah aku yang menjelaskannya!" kata Chu Tay Peng pada Ang Kin sambil mengawasi nona Han sejenak. Lalu dia melanjutkan ucapannya. "Ceritanya begini,   semalam   kedua   Hiang-cu   Hai-sah-pang   pulang dalam keadaan terluka. Berdasarkan lukanya itu bisa dipastikan Kong-cu lah yang menghukum mereka berdua. Padahal Ang Pang-cu tidak tahu bagaimana mereka melakukan kesalahan kepada Kong-cu. Ypi Ang Pang-cu tetap datang ke mari untuk meminta maaf kepada Kong-cu dan mohon kong-cu bersedia menyelamatkan nyawa anak buahnya."

Han Pwee Eng semakin bingung.

"Ang Pang-cu aku rasa kalian telah salah mengenali orang!" kata nona Han.

Mendengar ucapan itu baik Chu Tay Peng maupun Ang Kin kaget. Mata mereka terbelalak.

"Sekalipun mata mereka kurang awas. namun kami kira mereka tidak akan salah mengenali orang!" kata Ang Kin.

"Ang Pang-cu. apakah kau melihat orang yang melukai kedua Hiang-cumu itu?" tanya nona Han.

"Tidak!" jawab Ang Kin.

"Saat kedua Hiang-cumu itu dilukai, apa ada orang lain di sana?" tanya nona Han lagi.

"Mereka berdua sedang meronda di tepi sungai, tiba-tiba mereka diserang secara gelap. Sekarang mereka pingsan dan belum sadarkan diri." kata Ang Kin.

"Lalu bagaimana kau bisa memastikan bahwa mereka terluka olehku?" kata nona Han.

"Mereka terluka. sekujur tubuhnya mengeluarkan darah tidak hentinya, malah keringatnya pun bercampur dengan darah." kata Ang Kin. "Sepengetahuanku di kalangan Kangouw selain ayahmu siapa lagi yang mahir ilmu Cit-sat- ciang (Pukulan Tujuh Maut)?" Ang Kin bicara begitu dan dia menuduh nona Han menggunakan pukulan itu untuk melukai anak buahnya.

"Aku sendiri baru kali ini mendengar nama pukulan itu." kata nona Han.

Bukan main marahnya Ang Kin. Saat dia akan menyerang nona Han. masukilah beberapa orang ke dalam rumah makan itu. Salah seorang dari mereka langsung berteriak.

"Lay Hiang-cu celaka! Di sekujur tubuh kedua Hiang-cu itu terus mengeluarkan darah!" kata orang itu.

"Cia Toa-ko tiga orang Hiang-cu Ceng-liong-pang juga diserang secara gelap, mereka dalam bahaya!" kata salah seorang yang lain.

Ternyata luka yang diderita oleh orang Ceng-liong-pang sama dengan luka anak buah Ang Kin. Sekarang bukan hanya Ang Kin yang cemasi, tetapi Lay Hui pun gusar bukan main. Mereka langsung mendekati nona Han.

"Hai. kalian mau apa? Mau berkelahi, ya?" bentak anak muda di samping nona Han itu.

"Tidak ada urusan denganmu! Tutup mulutmu itu!" kata Lay Hui gusar bukan main.

"Kiong Kong-cu- masalah ini menyangkut nyawa orang, kau jangan terus mungkir! Bersedia atau tidak kau harus menyelamatkan mereka! Jika saudara-saudara kami selamat, masalah ini akan kami sudahi sampai di sini saja. Sebaliknya jika kau tetap menolak, maafkan kami jika kami tidak memandang lagi muka ayahmu. Kami terpaksa akan turun tangan terhadapmu!" kata Ang Kin geram sekali. Anak muda di samping nona Han tertawa. "Rupanya pertarungan tidak bisa dihindarkan lagi!" kata anak muda itu.

"Benar! Jika kau mau membantu dia juga boleh." kata Lay Hui geram sekali.

Bocah itu menggelengkan kepala, dia teguk arak dari cawannya.

"Aku sedang minum arak. untuk apa aku bertarung denganmu? Malah aku nasihatkan kalian, lebih baik jangan bertarung!" kata si bocah.

"Kau kira aku takut kepadamu?" kata Lay Hui. Chu Tay Peng mencoba menenangkan keadaan.

"Harap jangan emosi dulu," kata ChuTay Peng. Kamipun tidak ingin berkelahi, saudara kecil. Tolong kau bujuk kawanmu itu agar dia mau menolongi orang-orang kami!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar