Badai Di Siauw Lim Sie Jilid 15

JILID XV

KEDUA orang itu telah berhenti bergerak lagi. Mereka berdiri sambil mengawasi di sekitar tempat itu dengan sorot mata yang tajam sekali.

Setelah melihat bahwa ditempat itu memang tidak ada seorang manusiapun juga, mereka berdua saling pandang lagi.

“Jika kita menerbitkan keonaran sebelum bertemu dengan Tat Mo Cauwsu si keledai gundul itu, tentu akan menimbulkan banyak kesulitan buat kita” begitu kata orang

yang memiliki suara parau dan dingin tidak berperasaan. “Lebih baik kita meneliti dulu, dimana tempat berdiamnya Tat Mo si keledai gundul itu”

Kawannya tersenyum, katanya “Walaupun kita menyelidiki kesana kemari, tentu tidak mudah buat menemui tempat kediamannya Tat Mo sikeledai gundul itu. Lebih baik kita memancing keributan dulu, toh akhirnya Tat Mo sigundul itu akan keluar juga jika memang murid2- nya itu mengalami ancaman bahaya aku tidak percaya jika memang dia tidak muncul” Dan setelah berkata, orang tua berba ju biru tersebut telah memandang sekelilingnya lagi, barulah kemudian melanjutkan lagi dengan suara yang lebih perlahan: “Kita mulai sekarang?”

Kawannya menggeleng. “Jangan” cegah kawannya yang berpakaian hijau itu. “Jika memang kita menimbulkan keonaran, tentu Tat Mo si keledai gundul itu akan menyembunyikan diri berusaha menggelakkan pertemuan dengan kita paling tidak dia hanya memajukan murid- muridnya saja, bukankah jika terjadi seperti itu usaha kita akan gagal” Kawannya tertawa lagi. “Kau terlalu berpikiran panjang sekali” katanya. “Seharusnya kau mengerti bahwa Tat Mo Cauwsu si gundul itu tidak akan membiarkan murid2nya  itu kita aniaya, walaupun bagaimana dia akan keluar memperlihatkan dirinya”

Mendengar perkataan kawannya, orang tua berbaju hijau itu berdiam diri.

Melihat kawannya bimbang, maka orang tua yang memakai baju biru itu telah berkata lagi: “Sekarang saja kita menimbulkan keributan buat memancing Tat Mo si gundul itu keluar dari tempat sembunyinya”

Akhirnya orang tua berbaju hijau itu mengangguk mengiyakan. “Baiklah” katanya. “Jika memang kau beranggapan bahwa dengan cara seperti itu adalah yang terbaik, akupun hanya menurut saja. Akan tetapi yang harus diingat bahwa Tat Mo si keledai gundul itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali, jika memang nanti kita tengah menghadapinya, kita harus hati-hati”

Kawannya mengangguk. “Biarlah aku akan memancingnya” katanya.

Dan dia bukan hanya sekedar berkata saja, sebab dengan cepat tangan kanannya telah digerakkan, dia menghantam batu gunung gunungan palsu yang berada didekatnya.

“Plaakkk” batu gunung-gunungan palsu itu telah dihajarnya hancur.

Tentu saja pukulan itu menimbulkan suara yang berisik sekali, apa lagi memang kea daan disekitar taman kuil itu sangat hening sekali, suara keributan itu membuat penghuni kuil pasti mendengarnya. Orang yang berbaju biru itu tidak berhenti hanya sampii disita saja, karena dia telah menggerakkan tangannya lagi, dimana dia menghantam sampai tiga kali beruntun.

Batu gunung gunungan itu hancur dengan menimbulkan suara yang gaduh. Yang luar biasa sekali telapak tangan orang itu sangat kuat sekali, karena setiap kali dia menghantam maka batu gunung- gunungan itu pasti hancur.

Kawannya yang berdiri diam saja dengan mata yang bersinar tajam mengawasi keadaan disekitar tempat itu, mungkin juga dia ingin ber-siap2 kalau saja ada penghuni kuil yang mendengar suara gaduh tersebut dan keluar.

Memang apa yang diduganya itu benar, tampak dari dalam kuil telah ber-lari2 beberapa sosok tubuh. Itulah lima orang pendeta Siauw Lim Sie yang mendengar suara ribut- ribut itu.

Cepat sekali kelima pendeta itu telah sampai ditaman kuil. Mereka melihat kedua orang tua itu. Dan juga mereka melihat orang tua yang memakai baju biru tersebut tengah mengayunkan tangannya buat menghantam lagi pada gunung2an palsu tersebut.

“Berhenti, jangan merusak kuil kami” terdengar salah seorang pendeta itu berseru dengan suara yang nyaring.

Orang yang berpakaian baju biru itu telah menahan tangannya, dia menoleh sambil tertawa menyeringai, katanya: “Hemmm, akhirnya kalian mau juga keluar menyambut tamu”

Pendeta yang berada didepan, yang berusia tiga puluh tahun lebih merangkapkan kedua tangannya, katanya ”Siapakah Jiewie, mengapa Jiewie merusak taman kuil kami.  Sesungguhnya  ada  urusan  apakah  sehingga Jiewie tega hati buat menghancurkan keindahan yang terdapat ditempat ini?”

Mendengarkan pertanyaan pendeta itu, si tua yang berpakaian baju biru dan yang memakai baju hijau, telah memperdengarkan suara tertawa mengejek. “Kami mencari Tat Mo sikeledai gundul. Jika memang dia mau keluar untuk menemui kami, segera juga kami menghentikan pengrusakan taman ini. Akan tetapi jika memang dia menyembunyikan ekor hemm, hemm. kuil Siauw Lim Sie

yang sesungguhnya sangat indah ini, akan kami hancur dan ratakan dengan tanah.”

Mendengar perkataan orang itu, kelima pendeta itu berubah mukanya. Mereka jadi gusar disamping juga memang mereka telah melihat batu-batu gunung-gunungan yang hancur berantakan.

Dikala itu dengan bersuara tawar, seorang pendeta yang berdiri di belakang telah berkata “Hemmmm, rupanya kalian berdua hanya merupakan manusia-manusia pengacau belaka”

Kedua orang tua itu tertawa bergelak-gelak mengejek. “Hemmm, kau berani menyebut kami sebagai manusia pengacau?” katanya dengan suara yang dingin. “Baik Baik Jika memang demikian kami akan membuktikan kepada kalian, apakah memang benar-benar kami merupakan manusia-manusia pengacau.”

Sambil berkata begitu, kedua orang tua tersebut melangkah menghampiri kelima pendeta itu dengan sikap mengancam.

“Tahan. tunggu dulu. Beritahukan dulu siapa kalian berdua?” tanya pendeta yang berdiri didepan. Kedua orang itu menahan langkah kakinya mereka mengawasi tajam sekali. “Jika memang Tat Mo si keledai gundul itu mau keluar menemui kami, diwaktu itulah kami akan memberitahukan siapa adanya kami berdua. Akan tetapi jika memang dia tidak sudi keluar buat menemui kami, hemmm, kalian pun tidak perlu tahu siapa adanya kami berdua.” Sambil berkata begitu, berulang kali orang tua tersebut mendengus mengejek dengan sikap meremehkan, bagaikan Siauw Lim Sie tidak berarti apa-apa dimatanya.

Rupanya kelima pendeta itu juga tidak menahan sabar lagi. Mereka telah maju dan mengawasi dengan tajam.

“Baiklah, karena kalian berdua telah merusak taman ini tanpa sebab, kalian berdua aekan kami tahan” kata pendeta yang berada didepan dengan sikap yang gagah. “Nah, kalian harap menyerahkan diri secara baik baik...”

Baru saja sipendeta berkata begitu, orang tua yang memakai baju biru telah berada di depannya dan menggerakkan tangan kanannya, penyampok dengan kuat.

Si pendeta melihat orang menyerang, dia tidak jeri, malah menangkis dengan mempergunakan kekerasan, dan akibatnya benar-benar membuat pendeta itu terkejut, karena tubuhnya seperti dihantam oleh gelombang kekuatan tenaga yang dashyat, dan dia sampai mundur empat langkah ke belakang.

Masih beruntung dia dapat menguasai dirinya, dan telah menguatkan kuda kuda kakinya, sehingga dia tidak sampai terguling.

Akan tetapi dengan adanya kejadian seperti itu telah memperlihatkan bahwa tenaga dalam dari kedua orang tua itu memang luar biasa sekali. Kelima pendeta tersebut juga tidak berani untuk berlaku lengah lagi atau memandang remeh kedua orang tersebut. Dilihat dengan hanya sekali serang, dia telah berhasil membuat pendeta itu terhuyung mundur, itu saja telah cukup membuktikan bahwa lwekang dari orang itu sangat tinggi.

Dengan berseru penasaran, sipendeta telah melompat maju sambil menggerakkan kedua tangannya. Rupanya si pendeta yang memaklumi bahwa lawan-lawaanya ini merupakan dua manusia yang memiliki kepandaian sangat tinggi sekali, iapun telah mengerahkan tenaga Lwekangnya untuk menyerangnya.

Serangan yang dilancarkannya bukanlah serangan main- main, karena dia telah mempergunakan sembilan bagian tenaga dalamnya. Sebagai murid Siauw Lim Sie. pendeta- pendeta ini telah memperoleh bimbingan dan gemblengan yang sangat berat, sehingga mereka boleh dibilang telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan sulit sekali dicari tandingannya.

Melihat bahwa kedua lawannya memang bukan lawan sembarangan, telah membuat pendeta itu tidak berani main- main juga.

Angin dari serangan tersebut berkesiuran menderu-deru membuat kedua orang itu merasakan terjangan angin serangan yang dahsyat walaupun serangan yang dilancarkan oleh si pendeta belum lagi tiba. Malah jubah panjang mereka telah berkibar-kibar oleh angin serangan itu.

Kedua orang itu tetap berdiri tenang ditempatnya, tanpa bergerak sama sekali. Mereka hanya mengawasi saja datangnya serangan itu Ketika tangan dari si pendeta tersebut hampir tiba, dengan cepat, orang tua yang berpakaian baju warna biru, telah menghantam dengan segera kearah dada dari sipendeta. Jadi jelasnya, dia sama sekali tidak bermaksud buat menangkis serangan dari pendeta itu, malah dia telah balas menyerang dengan hantamannya.

Angin pukulan yang meluncur dari telapak tangan orang itu tidak lemah, bahkan melebihi kekuatan tenaga serangan dari si pendeta sendiri.

Memang kepandaian kedua orang ini rupanya telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, karenanya mereka begitu tenang dan yakin akan dapat mengatasi pendeta- pendata Siauw Lim Sie. Yang jelas, mereka harapkan justeru malah dapat bertemu muka dengan Tat Mo Cauwsu, cikal bakal Siauw Lim Sie yang terkenal memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dan mereka ingin mengadu dan mengukur ilmu.

Sedangkan si pendeta yang telah menyerang dengan hebat itu, sekarang jadi terkejut bukan main, dia merasakan tenaga serangannya seperti diserap dan lenyap oleh lawannya, malah malah dia merasakan terjangan angin serangan yang dahsyat sekali.

Cepat-cepat sipendeta yang mengenal selatan telah menarik pulang tangannya karena dia menyadari jika dia membarengi dengan serangan berikutnya, niscaya akan membuat dia bercelaka. Itulah sebabnya, dia malah telah menjejakkan kedua kakinya di tanah, tubuhnya melompat ke belakang.

Namun tetap saja terlambat buat sipendeta meloloskan diri dari serangan lawannya, karena baru saja tubuhnya terapung, tenaga serangan orang tersebut telah tiba, menghantam tepat sekali dada si pendeta. Hantaman itu ternyata sangat kuat sekali, disusul dengan suara jeritan tersendat dari si pendeta, yang tubuhnya telah terapung ke tengah udara.

Keempat orang kawannya yang menyaksikan keadaan kawan mereka yang seorang itu jadi terkejut bukan main, mereka telah melompat mengurung kedua orang tersebut, sedangkan yang seorang telah menghampiri sipendeta yang telah menggeletak terbanting.

Ketiga pendeta itu telah mengepung kedua orang tersebut dengan tersorot mata yang tajam sekali, mereka telah membentak hampir berbareng.

“Pembunuh..... kalian harus ditangkap guna menerima hukuman...” teriak mereka dan ketiga pendeta itu tidak berdiam diri saja, karena serentak mereka bertiga telah melompat menerjang maju untuk menyerang.

Hebat cara menyerang ketiga pendeta itu, karena dari telapak tangan masing-masing telah meluncur keluar angin serangan yang dahsyat.

Karena menyadari bahwa kedua orang asing yang telengas tangannya ini mempunyai kepandaian yang tidak rendah, ketiga pendeta itu tidak berani main ayal-ayalan, mereka telah menyerang dengan mempergunakan tenaga lwekangnya.

Sedangkan kedua orang itu tetap berdiri tenang-tenang di tempatnya, sama sekali mereka tidak bergerak dari tempat berdiri mereka, malah dengan segera, mereka telah mengeluarkan suara bentakan nyaring dan membarengi waktu angin serangan hampir mengenai diri mereka, maka mereka telah mengibaskan kedua tangan mereka. Sungguh luar biasa, begitu bentrok dengan angin serangan ketiga orang-pendeta Siauw Lim Sie tersebut, seketika tubuh pendeta  itu  telah  terpental  berguling-guling  di  atas tanah dengan disertai oleh suara jeritan mereka yang mengenaskan sekali.

Si pendeta yang seorang lagi yang tengah berusaha memeriksa keadaan sipendeta yang tadi terpental pingsan, jadi kaget mendengar jeritan ketiga orang saudara seperguruannya. Dia segera menoleh.

Dan tentu saja pendeta yang tinggal seorang ini tambah terkejut lagi, karena diwaktu itu dia menyaksikan betapa ketiga orang kawannya telah menggeletak juga ditanah dalam keadaan pingsan tidak sadarkan diri.

Dikala itu, kedua orang asing itu telah mengeluarkan suara tertawa bergelak gelak yang nyaring sekali dan mereka telah melangkah perlahan-lahan menghampiri si pendeta yang tinggal seorang diri itu.

Dengan maka yang berobah pucat dan sebentar merah, sipendeta yang tinggal seorang diri itu telah melonpat berdiri dan memang dikala itu dia melihat bahwa kedua orang itu bersiap-siap hendak menyerang dirinya.

Akan tetapi kedua orang itu tidak segera menyerang sipendeta yang seorang tersebut, kedua orang itu telah berkata dengan suara dingin sekali: “Pergi kau panggil keluar Tat Mo sigundul. Jika memang kau berani membantah perintah kami, hemm, hemmm, kami akan membinasakan kau dengan cara yang paling sedap. ”

Mendengar ancaman dari kedua orang itu, si pendeta yang tinggal seorang diri itu jadi nekad.

Sebagai murid Siauw Lim Sie tentu saja si pendeta memiliki harga diri, dan dengan sendirinya tidak mau dia menyerah begitu saja diperhina oleh kedua orang tersebut.

Maka begitu kedua orang itu baru saja menyelesaikan ancaman  mereka,  si  pendeta  telah  mengeluarkan  suara seruan yang nyaring dan melompat sambil mengulurkan kedua tangannya untuk menyerang sekuat tenaga kepada kedua orang asing tersebut.

Sedangkan kedua orang asing itu, yang masing-masing mengenakan baju hijau dan biru telah memperdengarkan suara tertawa dingin, dan salah seorang diantara mereka, yang mengenakan baju warna biru, telah melangkah maju buat memapaki serangan sipendeta. Gerakan dari orang tersebut ternyata sangat sebat dan cepat sekali, karena begitu dia menggerakkan tangannya, maka dia telah berhasil menangkis serangan lawannya, tenaga tangkisannya itupun sangat kuat sekali, sehingga tubuh sipendeta tergoncang hebat sekait, dimana si pendeta Siauw Lim Sie yang tinggal seorang itu mengalami nasib seperti kawan-kawannya, karena dia telah terpental keras sekali, dan tubuhnya terbanting di tanah bergulingan, lalu pingsan.

Melihat pendeta itu sudah pingsan, rupanya orang yang mengenakan baju berwarna biru masih penasaran dan gusar, dia telah maju lebih dekat, dimana tangan kanannya telah digerakkan, dia menghajar kepala pendeta tersebut, dengan penuh kekuatan tenaga dalam.

Dalam keadaan seperti ini, rupanya dia memang ingin melampiaskan kemendongkolannya itu untuk membunuh si pendeta tersebut.

“Tahan!” tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru, walaupun suara seruan itu perlahan, akan tetapi memiliki kewibawaan yang besar sekali.

Kedua orang asing itu telah membalikkan tubuh mereka, dan mengawasi kepada orang yang mencegah tersebut. Segera juga mereka melihat seorang pendeta tua yang memelihara jenggot yang telah memutih. Waktu itu, si pendeta tengah melangkah mendekati ke arah mereka, dan dengan sikap yang sabar bertanya ”Mengapa Jiewie berdua telah melakukan penganiayaan kepada murid2 kami? Apa kesalahan mereka sehingga perlu dianiaya seperti itu?” Walaupun nada suara itu menegur, namun suara teguran pendeta itu terdengar sabar sekali.

Sedangkan orang yang memakai baju warna biru telah mengeluarkan dengusan mengejek katanya dengan dingin: “Hemmm, engkau tidak perlu banyak bertanya, keledai gundul, jika memang kau ingin mampus juga, mari, mari tuan besarmu tidak akan mengecewakan”

Sambil berkata begitu, dimana dia telah menantang sipendeta tua yang baru muncul itu agar datang mendekat, justru dia sendiri yang telah melangkah melangkah menghampiri pendeta tua yang baru muncul itu.

Sedangkan pendeta tua itu merangkapkan tangannya, katanya dengan sabar ”Loceng Sam Liu Taisu ingin sekali meminta pengajaran dari tuan-tuan berdua”

Sebelum pendeta tua itu, yang tidak lain dari Sam Liu Taisu, murid pertama dari Ta Mo Couwsu, menyelesaikan perkataannya, justru orang asing yang memakai baju warna biru telah maju lebih dekat, dia menggerakkan tangan kanannya menghantam Sam Liu Taisu

Akan tetapi Sam Liu Taisu tetap berdiam diri di tempatnya dengan tenang, ketika kepalan tangan orang asing yang berbaju biru itu hampir tiba, cepat luar biasa Sam Liu Taisu telah mengibaskan lengan jubahnya.

Lengan jubah kependetaan dari Sam Liu Taisu memang lebar dan besar. Waktu pendeta ini mengibaskan tangan, ujung lengan jubah itu melibat tangan orang asing berbaju biru itu. Libatan itu tampaknya perlahan, akan tetapi orang yang berpakaian biru itu jadi terkejut, sebab tangannya yang dilibat ujung lengan jubah pendeta ini mendatangkan rasa sakiut yang tidak terkira.

“Siancay Siancay.... Mengapa harus mempergunakan tangan? Jika memang tuan memiliki persoalan dengan kami dari Siauw Lim Sie, silahkan tuan bicara dengan cara yang baik, kami akan melayani sebaik mungkin. Kami pihak Siauw Lim Sie merupakan tuan rumah yang baik, tidak mengecewakan tamu-tamu kami. Akan tetapi disamping itu, jika sang tamu bertindak sekehendak hatinya dan menimbulkan kerusuhan di kuil kami ini, inilah persoalan yang sulit sekali buat dimaafkan...”

Sabar suara si pendeta Siauw Lim Sie ini. akan tetapi sikapnya tegas sekali.

Orang asing yang telah memakai baju biru itu telah menarik tangannya tanpa memperdulikan perkataan Sam Liu Taysu. Malah begitu menarik tangannya, dia telah membarengi menggerakkan tangannya yang satunya buat menghantam lagi. Lengan dengan demikian mungkin dia bermaksud buat menggertak Sam Liu Taysu, agar si pendeta membuka libatan lengan jubahnya. Dan apa yang dilakukannya itu tidak berhasil sama sekali.

Selain ujung lengan jubah dari Sam Liu Taisu masih tetap melibat tangannya, justru tangan dari lawannya yang satu itu telah berhasil disampok oleh Sam Liu Taisu dengan hanya menjentikkan jari telunjuknya.

Gerakan yang dilakukan oleh Sam Liu Taisu tampaknya biasa saja dan perlahan, akan tetapi kesudahannya memang luar biasa, tubuh orang berbaju biru itu telah terdorong kuat sekali. Pendeta Siauw Lim Sie ini telah menyaksikan betapa lawannya ini sangat telengas sekali disamping hatinya yang memang kejam. Maka, begitu melihat lawannya terhuyung akan  rubuh,  kesempatan  ini  dipergunakan  oleh  Sam Liu Taisu cepat sekali, kedua tangan pen deta Siauw Lim Sie ini menyambar akan mencekal pergelangan tangan dari orang berbaju biru itu.

Memang Sam Liu Taisu tidak bermaksud untuk mencelakai lawannya, dia hanya ingin mencekal pergelangan tangan lawannya disamping memijit jalan darah Lo-tiang-hiat dari lawannya, sehingga jika memang Sam Liu Taisu berhasil dengan maksudnya itu,, niscaya lawannya akan lemas tidak bertenaga lagi. Dan jika terjadi demikian, jelas pertempuran itu dapat diselesaikan sampai disitu saja.

Orang berbaju biru itu ternyata memang bukan orang sembarangan, karena melihat Sam Liu Taisu menyerang dia seperti itu, walaupun tubuhnya masih terhuyung akibat dorongan yang kuat sekali dari tenaga Sam Liu Taisu, toh orang berbaju biru ini masih sempat buat memutar tubuhnya, dimana dia telah berhasil memunahkan cekalan dari lawannya. Dam Sam Liu Taisu memang telah mencekal tempat kosong.

Orang yang berpakai baju hijau, kawan orang berbaju hiju itu, juga tidak tinggal diam. Dalam dua jurus  kawannya tampak terdesak terus, karenanya cepat bukan main orang berbaju hijau tersebut telah menjejakkan kakinya, tubuhnya bagaikan seekor rajawali telah mencelat ringan sekali, dia berada di belakang Sam Liu Taisu. Belum lagi kedua kakinya menginjak bumi, sepasang tangannya telah digerakkan ingin menghantam Sam Liu Taisu dengan telapak tangannya.

“Omitohud.” memuji Sam Liu Taisu sambil merangkapkan tangannya, tanpa menoleh pendeta Siauw Lim Sie ini telah mengibaskan lengan jubahnya. Kibasan lengan jubahnya sangat perlahan, namun tenaga yang meluncur sebaliknya kuat sekali.

Seketika serangan orang berbaju hijau itu kena ditangkisnya.

“Loceng harap kita bicara secara baik2, pertempuran tidak membawa keuntungan buat siapapun juga!” teriak Sam Liu Taisu dengan suara yang sabar.

Akan tetapi orang berbaju hijau itu telah menyerang lagi, bahkan tenaga serangannya itu jauh lebih hebat.

Dengan orang yang memakai baju biru juga telah membarengi menyerang pula.

Jurus demi jurus telah berlalu cepat sekali Dan tenaga dalam yang mereka pergunakan juga merupakan tenaga dalam tingkat tinggi.

Sam Liu Taisu sendiri merasakan bahwa kekuatan tenaga dalam dari kedua orang lawannya bukan merupakan tenaga yang sembarangan, karena tampaknya kedua orang ini memiliki latihan tenaga dalam yang teratur.

Dalam keadaan demikian, Sam Liu Taisu tidak berani berayal. Jika memang satu persatu, niscaya dia tidak akan memperoleh kesulitan. Hanya saja sekarang justeru dia dikepung oleh kedua orang yang memiliki tenaga Lwekang yang terpaut jauh dengan lwekangnya. Karenanya Sam Liu Taisu tidak berani terlalu sembrono untuk menghadapinya.

Diantara berkesiuran angin serangan mereka bertiga, yang masing-masing tengah mengerahkan kakuatan tenaga lwekangnya yang tinggi sekali, dengan sendirinya membuat pasir juga batu-batu kecil telah beterbangan. Tiba-tiba orang berbaju biru itu cepat2 membentak: “Terimalah seranganku ini!” kemudian berbareng dengan bentakannya itu tubuhnya telah menerjang maju.

Sam Liu Taisu melihat lawannya menyerang dengan telapak tangan kirinya itu, sedangkan telapak tangan kanannya meluncur kebawah. Gerakan yang dilakukan oleh lawannya bukanlah serangan yang sembarangan, yang pertama tangan kirinya mengincar sebelah atas dari anggota tubuhnya, yaitu kepala leher dan dada, sedangkan tangan yang satunya telah menyerang bagian bawah, yaitu bagian perut, paha serta selangkangan.

Jika memang Sam Liu Taisu memiliki kepandaian yang tanggung-tanggung, niscaya akan menyebabkan dia mengalami kecelakaan yang sangat besar yang bisa mengancam keselamatan jiwanya. Dan disaat menderunya angin serangan lawannya yang mengandung hawa maut yang bisa mematikan, tampak Sam Liu Taisu bertindak dengan cepat, tubuhnya telah berputar seperti gasing, diapun menghantam dengan tangan kanannya.

Orang yang berbaju biru itu terkejut waktu melihat lawannya menangkis dengan cara seperti itu. Terlebih lagi setelah dia merasakan sambaran angin yang menyesakkan dada serta pernapasannya.

Diantara bentrokan yang terjadi kemudian terdengar suara benturan yang bisa memekakkan anak telinga, karena terlihat jelas, betapa tenaga dalam Sam Liu Taisu masih berada diatas tenaga lawannya, sehingga membuat lawannya itu terhuyung dua tombak lebih, tanpa berhasil untuk memperkuat kuda-kuda kedua kakinya.

Sam Liu Taisu tidak bisa berdiam diri hanya sampai disitu saja. karena seorang yang lainnya, yaitu dengan baju yang  warna  hijau  itu  telah  menyerangnya  lagi. Rupanya lawannya yang memakai baju hijau itu kuatir kalau melihat kawannya terdesak seperti itu. Sam Liu Taisu ini mempergunakan kesempatannya orang orang yang berbaju biru itu terhuyung membarengi serangan lebih jauh.

Dan Sam Liu Taisu yang merasakan sambaran angin serangan yang begitu kuat dan keras, segera juga dia mengeluarkan suara seruan nyaring, karena kali ini rupanya Sam Liu Taisu mempergunakan keras lawan keras. Tenaga dalam yang dipergunakannya memang merupakan kekuatan yang menakjubkan, sebab begitu tangannya saling bentur dengan tangan orang yang beibaju hijau tersebut, seketika terasa getaran yang keras disekitar tempat itu, dan orang berbaju hijau itu terhuyung mundur dua langkah.

Sam Liu Taisu sendiri telah merangkapkan kedua tangannya memberi hormat: “Mari kita bicara secara baik- baik dulu, Jiewie (kalian) adalah tamu kami dan jelas kalian pasti memiliki suatu kepentingan dengan kami Dapatkah tuan-tuan berdua memberitahukan kepentingan apakah Jiewie dengan kami?”

Sabar suara si pendeta, sama sekali Sam Liu Taisu tidak memperlihatkan perasaan gusar sedikitpun juga. Malah dia telah menegur dengan perkataan yang sabar. Dan bibirnya tersenyum sangat manis sekali.

Wajah orang yang memakai baju biru dan hijau telah berobah, sebentar berobah merah sebentar berobah pucat, tampaknya mereka sangat gusar sekali.

“Hemm, kau memang memiliki kepandaian yang lumayan, keledai gundul!” mendesis orang yang memakai baju biru itu, suaranya dingin dan mengandung dendam dan nafsu buat membunuh, tampaknya ia sangat penasaran sekali. “Baik, baiklah, kami akan meminta pengajaran dari kau, sampai kami membuang jiwa di kuil kalian ini...” Orang yang memakai baju biru itupun telah berkata dengan suara yang tawar: “Baiki Baik.... Kami memang ingin melihat sampai dimana kehebatan Siauw Lim Sie, sehingga Tat Mo sigundul pelontos itu bisa disebut sebagai Guru Besar”

Bagaikan telah berjanji, orang yang memakai baju hijau dan baju biru itu menjejakkan kaki mereka, serentak tubuh mereka berdua bagaikan bayangan belaka, berkelebat kesana kemari.

Hanya bedanya,-sekarang mereka seperti mengurung Sam Liu Taisu belaka, mereka sama sekali tidak menyerang sipendeta, seperti juga mereka ini mengepung saja dan menanti kesempatan baik buat menyerang lebih jauh.

Sam Liu Taisu berdiri tenang ditempatnya sama sekali dia tidak bergerak dan hanya tersenyum saja: “Hemmm, apakah kalian memang ingin menimbulkan kekacauan di Siauw Lim Sie? Atau memang tuan-tuan merupakan manusia-manusia yang sudah tidak dapat diajak bicara dengan baik lagi.?”

Setelah bertanya begitu, Sam Liu Taisu harus berputar juga, guna mengawasi gerak-gerik kedua lawannya, dimana dia mengikuti gerakan kedua orang lawannya. Tubuh Sam Liu Taisu sebentar kekiri, sebentar lagi kekanan, gerakannya ringan sekali, jubah kependetaannya yang kebesaran itu sebentar berkibar-kibar, sebentar kemudian menguncup jika dia menahan langkah kakinya. Gerakan yang dilakukannya itu untuk mengimbangi gerakan kedua orang lawannya. Berlari dan berhentinya Sam Liu Taisu sulit diterka, karena sebentar dia berkelebat-kelebat, sekejap kemudian dia berdiri tegak berdiam diri. Karenanya, sekarang giliran kedua orang lawannya yang menjadi bingung dan ragu-ragu, mereka tidak berani segera menyerang.   Walaupun   bagaimana   mereka   tidak  dapat menerjang sembrono saja, jika saja menyerang sembarangan, niscaya hanya akan mencelakai diri mereka sendiri.

Sedangkan Sam Tiu Taysu melihat kedua lawannya hanya berlari-lari berputaran mengelilingi, dengan sendirinya membuat Sam Liu Taisu akhirnya habis sabar.

“Tuan-tuan, jika memang tuan-tuan mendesak lebih jauh buat kita mengadu ilmu, baiklah silahkan tuan-tuan membuka serangan.”

Sambil berkata begitu, Sam Liu Taisu telah mengibaskan lengan jubahnya. Waktu lengan jubahnya itu dikibaskan dari lengan jubah itu berkesiuran angin yang kuat.

Berbeda dengan tadi, kedua lawan Sam Liu Taysu kali ini mempergunakan taktik yang lain dengan cara bertempur mereka yang tadi, karena begitu melihat Sam Liu Taisu menyerang dan menangkis tenaga Lwekang yang kuat, keduanya tidak meneruskan serangan mereka, malah telah menarik pulang tangannya, dan tubuh masing2 melompat ke kiri, yang seorang lagi ke kanan.

Sam Liu Taisu mengempos semangatnya, dia menyedot napasnya dalam-dalam. Kemudian diapun telah memusatkan sinkang pada kesepuluh jari tangannya. Kedua kakinya telah berdiri tegak sekali, dan mengawasi kedua lawannya dengan sikap yang angker. Waktu itu kedua lawannya tengah menyerang hebat. Disaat serangan mereka hampir tiba pada sasarannya, yaitu pada dada dan kepala Sam Liu Taisu, segera juga Sam Liu Taisu menggerakkan kedua tangannya, mendorong dengan seluruh sinkangnya yang disalurkan pada ke sepuluh jari tangannya.

“Pergilah” seru Sam Liu Taisu. Hebat bukan main kesudahannya. Tubuh kedua orang itu terpental keras sekali, tubuh orang yang memakai baju biru itu telah terguling ditanah dua kali, kemudian melompat bangun dengan wajah yang pucat. Baru saja dia mau memaki, justru disaat  itu tubuhnya bergoyang-goyang dan rubuh kembali menurnprah di tanah, Wajahnya pucat, dari mulutnya muntah cairan merah yang cukup banyak, bola matanya mencilak-cilak.

Sedangkan yang mengenakan baju hijau juga tidak kurang parah keadaannya. Tubuhnya terbanting di tanah dan terguling sampai beberapa kali. Dia tidak segera dapat melompat berdiri, karenanya cepat-cepat dia merangkak bangun dan duduk bersemedhi. Akan tetapi tubuhnya menggigil keras sekali.

Sam Liu Taisu merangkapkan kedua tangannya. “Omitohud Siancai Siancai....” berseru si pendeta penuh penyesalan. “Sebenarnya Loceng tidak bermaksud melukai kalian, hanya kalian berdua tuan-tuan terlalu mendesak Loceng, Omitohud”

Sedangkan orang yang memakai baju biru itu telah melompat berdiri dengan mulut berlepotan darah merah, sehingga keadaannya mengerikan sekali.

“Hemm, baiklah kali ini kami telah di lukai olehmu” kata orang yang memakai baju biru itu. “Ingatlah, bahwa Thang Long Sam dan Thang Kie Lung tidak akan menyudahi urusan ini sampai disini saja”

Bola mata orang itu mencilak-cilak bengis sekali, dan kemudian dia mengibaskan tangannya, berkata kepada saudaranya, Thang Kie Lung: “Mari kita berangkat.”

Orang yang memakai baju hijau baru saja membuka mata dan berdiri. Tubuhnya sekali-kali masih menggigil, akan  tetapi  dia  seperti  berusaha  menahan  gigil tubuhnya dan rasa sakitnya, diapun berkata dengan wajah yang bengis dan suara terbata-bata “Hemmm, Thang Kie Lung tidak pernah membiarkan lawannya hidup dengan tubuh yang utuh. Nantikanlah pembalasan kami”

Sam Liu Taisu menghela napas, wajahnya jadi muram katanya: “Jangan tuan-tuan ber kata begitu, diantari kita tidak terdapat permusuhan apapun juga. mengapa tuan- tuan harus memperbesar permusuhan ini? Mengapa harus menaruh dendam? Jika memang tadi tuan-tuan datang dengan secara baik-baik, tentu kami akan melayani sebaik mungkin. Lihatlah, beberapa orang murid-murid kami yang kalian lukai, bukankah keadaan mereka harus dikasihani juga, mereka tidak bersalah apa2 kepada kalian, akan tetapi kalian ternyata telah berusaha untuk menganiaya mereka, inilah urusan yang benar2 harus disesali”

Mendengar perkataan Sam Liu Taisu, tampak Thang Kie Lung dan Thang Long Sam mendengus sambil memperlihatkan sikap yang bengis sekali, di samping itu tampak Thang Long Sam telah berkata dengan suara yang dingin mengandung nada mengancam ”Jika memang kelak kami telah sembuh, tentu kami datang kemari buat  meminta petunjukmu dan sekalian untuk mengambil jiwamu. Nah, jika memang kau merasa yakin bahwa kau me miliki kepandaian yang tinggi, tentunya kau tidak akan jeri melepaskan kami, bukan?”

Sam Liu Taisu tersenyum tawar, wajahnya semakin guram. “Untuk melepaskan tuan2 dari Siauw Lim Sie memang tidak sulit kamipun sama sekali tidak bermaksud untuk menahan kalian berdua. Akan tetapi justeru kalian berdua belum lagi menjelaskan apa sesungguhnya maksud kalian datang kemari, juga mengapa telah melukai murid2 kami dengan bengis. Sesungguhnya, kesalahan dan dosa apakah yang telah dilakukan oleh murid-murid kami?” Thang Long Sam telah mendengus dengan wajah yang bengis. “Hemmm, kau tidak perlu banyak bicara, yang terpenting Siauw Lim Sie harus musnah. Tahukah kau keledai gundui, betapapun juga bahwa sekarang ini para orang gagah dalam rimba persilatan di daratan Tionggoan sebetulnya tengah mengadakan persekutuan dan juga persatuan, buat datang kemari memusnahkan kalian, yaitu Siauw Lim Sie. Di daratan Tionggoan ini, tidak dapat diinjak-injak oleh seorang manusia seperti Tat Mo sigundul pelontos itu. Hemmm, dengan berani mati dia bisa menamakan dirinya sebagai Guru Besar, karenanya kami bermaksud ingin melihat sampai dimana yang dapat dilakukan oleh Siauw Lim Sie guna menghadapi kami. Hemmm, jika memang urusan telah berlangsung demikian, tentunya aku akan membuat kuil ini menjadi hancur rata dengan bumi. Nah, apakah sekarang kau akan mengijinkan kami pergi meninggalkan tempat ini? Jika tidak, kamipun tidak akan memaksa, kami akan mengadu jiwa, biarlah kami membuang jiwa disini dalam keadaan tidak berdaya dan karena memang kalian pendeta-pendeta Siauw Lim Sie merupakan manusia-manusia yang pengecut jika memang terjadi hal seperti itu, tentu kelak sakit hati kami akan ada yang membalaskannya”

Setelah berkata begitu,, tampak Thang Long Sam mendengus beberapa kali.

Sam Liu Taisu menghela napas dalam-dalam, katanya: “Jika memang urusan ini menyangkut perasaan tidak senang disebabkan suhu kami memperoleh gelar sebagai guru besar, itulah pantas. Karena memang menjadi hak dari setiap manusia, jika memang dia belum membuktikan sendiri kesanggupan seseorang, niscaya dia akan ragu terhadap gelar yang dimiliki oleh seseorang dan tentunya dia  ingin  mencobanya,  mengujinya,  sehingga  untuk  itu akan mendatangikan gelombang dan badai atau juga katakanlah akan terjadi pertempuran. Akibatnya adanya peristiwa seperti itu, yang pasti tentu akan mendatangkan bencana yang tidak kecil atau juga jatuh korban jiwa”

Thang Long Sam mendengus bengis, dia juga mendelik, katanya: “Hemm, kau tidak perlu memberikan pelajaran kepadaku didalam urusan ini tentunya kau ingin mengartikan bahwa kami harus sadar dari kesalahan kami, bukan? Sadar dalam pengertian bahwa kami tidak boleh memusuhi Siauw Lim Sie, bukankah begitu?”

Sam Liu Taisu menghela napas, katanya: “Sekali-sekali bukan begitu maksud Loceng akan tetapi, jika memang kau tetap mendesak dan memiliki maksud buruk kepada pihak kami, tentu saja Loceng dan juga murid-murid Siauw Lim Sie tidak akan dapat berdiam diri membiarkan semuanya itu.”

Setelah berkata begitu, Sam Liu Taisu mengucapkan pujian-pujian atas kebesaran sang Buddha.

“Jadi, apakah kami tidak diijinkan untuk berlalu?” tanya Thang Long Sam dengan suara tetap bengis.

“Tidak berani.... Tidak berani. Loceng mengatakan begitu” kata Sam Liu Taisu menyahut dengan segera sambil merangkapkan kedua tangannya dan telah membungkukkan tubuhnya memberi hormat. “Akan tetapi Loceng menjelaskan disini, tuan-tuan berdua datang belum lagi memberitahukan apa maksud dan tujuan kalian berdua, lalu bagaimana pertanggungan jawab dari tuan-tuan terhadap murid-murid kami?”

Muka Thang Long Sam berdua berubah, malah Thang Kie Lung telah berkata dengan suara mengandung kemurkaan: “Kami datang ke Siauw Lim Sie hanya sekedar ingin membuktikan bahwa Tat Mo si gundul dari India itu apakah seorang yang sungguh-sungguh memiliki kepandaian yang sempurna sudah tidak ada tandingannya lagi, sehingga dia begitu lancang berani menyebut dirinya sebagai Guru Besar”

“Hemm, jika demikian, tentu kalian berdua tuan-tuan telah keliru dan telah mengambil yang salah. Jika memang tuan-tuan berdua bermaksud hendak mengadu kepandaian saling mengukur sampat dimana kepandaian yang telah dimiliki oleh kedua belah pihak, tentu hal itu bisa diadakan pertemuan guna mengadakan piebu dan disitu akan dapat dilihat siapakah yang sesungguhnya memiliki kepandaian sempurna. Sekarang lihatlah oleh tuan-tuan, begitu datang ke kuil kami, segera saja kalian berdua telah mengumbar keganasan kalian melukai beberapa orang murid kami. Celakanya lagi justeru murid-murid kami itu merupakan murid2 yang memiliki kepandaian belum begitu tinggi, sehingga mereka dapat dicelakai oleh kalian. Nah, sekarang justeru Jiewie berdua telah bertemu dengan Loceng, sedangkan Loceng adalah murid dari Tat Mo Cauwsu. Sayangnya justeru Loceng telah kesalahan tangan melukai kalian berdua. Seperti yang telah Loceng katakan, jika memang kalian berdua menempuh cara dan jalan yang tepat, tentu tidak akan terjadi kecelakaan seperti ini. Nah, bukankah harus dibuat sayang bahwa kalian telah terluka sedemikian rupa, padahal hanya berhadapan dengan seorang murid suhu kami belaka. Bisa dibayangkan, jika memang berhadapan langsung dengan suhu kami, sedangkan kalian selalu bersikap keras, dan seandainya juga suhu kami itu menempuh jalan agak keras, bukankah kalian yang akan bercelaka?”

Mendengar perkataan Sam Liu Taisu, muka Thang Kie Lung dan Tuang Long Sam berobah merah, tampaknya mereka jengah sendirinya. Namun dari malu mereka jadi murka sekali, malah mereka membentak hampir berbareng: “Pendeta gundul keparat, tentu saja hal ini terjadi, karena memang kau telah mempergunakan akal bulus yang licik sekali”

Sam Liu Taisu sabar sekali, segera dia merangkapkan kedua tangannya memberi hormat. “Loceng merupakan seorang pendeta yang mensucikan diri dan selalu berusaha menjauhi dari segala kekotoran duniawi, tidak pernah Loceng mempergunakan tipu daya dan akal licik untuk memperoleh keuntungan pribadi. Jika memang Jiewie berdua berkata begitu seperti tadi, itulah tanggapan yang keliru sekali”

Dan setelah berkata begitu, Sam Liu Taisu mengucapkan lagi beberapa pujian-pu jiam buat kebesaran Sang Buddha.

“Hemmm, sekarang kau menyebut dirimu sebagai seorang pendeta yang selalu menjauhii diri dari segala kekotoran duniawi. Baiklah, kau jawablah yang jujur, benarkah Tat Mo si gundul dari India itu mahir mempergunakan ilmu sihir?” tanya Thang Long Sam sambil mendengus memperdengarkan suara mengejek beberapa kali.

Sam Liu Taisu merangkapkan kedua tangan sumbil menjura membungkukkan tubuhnya, katanya ramah: “Benar, suhu kami mengerti sedikit ilmu sihir, akan tetapi ilmu sihir tersebut bukan untuk dipergunakan mercelakai lawannya, hanya dipakai untuk menakut-nakuti orang rendah yang tidak dapat dinasihatkan secara baik-baik Jika memang suhu kami tidak memiliki ilmu sihir buat menakut- nakuti mereka, tentu terpaksa suhu akan meni pergunakan ilmu silatnya, dengan demikian hanya akan menyebabkan orang2 rendah itu menerima bencana tidak kecil, tidakkah hal itu harus dibuat sayang?” setelah berkata begitu, Sam Liu Taisu menghela nafas lagi beberapa kali, sambil kemudian mengeluarkan upan memuji akan kebesaran Sang Buddha.

Thang Kie Lung dan Thang Long Sam memperdengarkan suara tertawa dingin berbareng “Justru karena si Tat Mo yang pelontos itu mengerti ilmu sihir, yang termasuk dalam bilangan ilmu yang sesat, kami jadi tidak dapat mempercayai dengan begitu saja kepada orang- orang Siauw Lim Sie. Hemm jika memang demikian keadaannya, kami pun tidak dapat menghormati Siauw Lim Sie, yang pasti dalam setiap pertempuran akan mempergunakan ilmu sihir itu sebagai alat kemenangan mereka” Setelah berkata begitu, Thang Kie Lung memperdengarkan suara tertawa dingin lagi yang berulang kali.

Sam Liu Taisu tidak gusar oleh perkataan Thang Kie Lung, sambil tersenyum ramah si pendeta Siauw Lim Sie ini berkata sabar: “Jika memang Jiewie beranggapan sepeti itu maka Loceng pun tidak bisa berkata apa-apa lagi”

“Baiklah, kami akan pergi, dan kelak kami akan datang kemari lagi buat membuktikan apakah Siauw Lim Sie benar-benar meru pakan cabang rimba persilatan yang patut dihormati” kata Thang Kie Lung dengan sikap angkuh.

Sam Liu Taisu menggeleng perlahan, “Memang Loceng tidak berani buat menahan Jiewie, dan menjadi hak Jiewie buat per gi meninggalkan kuil kami ini” kata pendeta itu sabar. “Akan tetapi justru Loceng ingin meminta terlebih dahulu tanggung jawab Jiewie berdua” Sambil berkata begitu, Sam Liu Taisu telah memberi hormat.

Walaupun dia berkata-kata dengan suara yang sabar, akan tetapi ini memperlihatkan secara tidak langsung Sam Liu Taisu ingin menahan kepergian kedua orang itu. Muka Thang Kie Liang dan Than Long Sam berobah pucat dan memerah bergantian, sampai akhirnya tampak Than Kie Lung berkata bengis mengandung kekuatiran juga: “lalu apa yang kau inginkan?”

“Pertanggungan jawab dari jiewie mengenai murid- murid kami yang telah jiewie lukai itu” menyahuti Sam Liu Taisu dengan suara yang sabar dan tenang.

“Baik, pertanggungan apa yang kau ingin kan?” tanya Tang Long Sam dengan suara yang bengis dan nekad.

“Inilah yang ingin Loceng sampaikan” menyahuti Sam Liu Taisu. “Karena murid2 kami dilukai oleh Jiewie mempergunakan dan mengandalkan kepandaian yang tinggi, jelas kepandaian Jiewie berdua harus di punahkan, agar dilain waktu Jiewie tidak melakukan hal-hal yang tidak terpuji seperti itu”

Mendengar Sam Liu Taisu berkata sampat disitu, wajah Thang Kie Lung dan Tilang Long Sam berobah pucat. Walaupun bagaimana tampaknya memang mereka ketakutan, sebab menyadari bahwa kepandaian mereka berdua tidak akan dapat menandingi kepandaian pendeta Siauw Lim Sie ini.

“Untuk ini. untuk ini. ” kata mereka tergagap.

Akan tetapi Sam Liu Taisu telah berkata perlahan ”Maafkanlah Loceng.”

Tahu-tahu tubuh sipendeta telah melompat dengan ri- ngan sekali. Kedua orang she Thang mengerti apa artinya gerakan dari si pendeta. Waktu Sam Liu Taisu mengulurkan tangnnya untuk menotok beberapa jalan darah mereka, kedua orang itu telah bergerak cepat hendak menghindarkan diri. Akan tetapi gerakan Sam Liu Taisu memang benar- benar sangat cepat, karena begitu kedua lawannya ingin berkelit dan menghindar, justeru pendeta tersebut telah mengibaskan lengan jubahnya, dari lengan jubahnya telah meluncur angin serangan yang kuat sekali, dan diwaktu itulah segera juga terlihat tubuh kedua orang she Thang itu terpental keras. Rupanya dalam hal turun tangan sekali ini Sam Liu Taisu tidak berlaku sungkan. Dia telah mengibas dengan disertai kekuatan tenaga Lwekang yang dahsyat sekali, sehingga begitu kena diterjang oleh angin kibasan dari Sam Liu Taisu, Thang Kie Lung dan Thang Long Sam terpental sangat keras sekali.

Thang Kie Lung merasakan napasnya jadi sesak, sedangkan Thang Long Sam sendiri telah mengeluarkan jeritan tertahan disebabkan dia merasakan isi perutnya seperti jungkir balik. Kedua orang she Thang tersebut telah terpental ambruk bergulingan di tana h tanpa dapat menguasai diri mereka, dan akhirnya segera juga terlihat betapa mereka merangkak sambil merintih, karena merasakan sekujur tubuh mereka sakit-sakit.

Sam Liu Taisu telah merangkapkan kedua tangannya sambil katanya: “Maaf.... maaf, Loceng terpaksa mengambil tindakan seperti ini semoga saja jiewie berdua dikemudian hari tidak terlalu mengumbar adat. Loceng hanya dia memunahkan seluruh ilmu silat Jiewie, akan tetapi sama sekali tidak mengganggu kesehatan Jiewie”

Setelah berkata begitu, Sam Liu Taisu memberi hormat beberapa kali. Sambungnya lagi: ''Jika memang Jiewie berdua ingin berlalu, silahkan.... silahkan. Loceng tidak berani buat menahannya”

Waktu itu Thang Kie Lung dan Thang Long Sam telah berhasil merangkak bangun, dan mereka saling pandang satu   dengan   yang   lainnya.   Tanpa   mengatakan sesuatu apapun juga, dengan menahan rasa sakit pada sekujur tubuhnya, segera juga mereka berlalu. Maksud mereka  ingin melompati dinding kuil, akan tetapi waktu mereka melompat, tubuh mereka tidak bisa melompat tinggi, sehingga tubuh mereka meluncur turun lagi dan tidak berhasil melompati dinding itu. Hampir saja mereka terjerembab karena kepandaian mereka telah lenyap.

Thang Kie Lung dan Lhang Long Sim mengeluh

.mereka saling pandang lagi: Sedangkan Sam Liu Taisu cepat-cepat berkata: “ Hai, hai, Loceng memang lupa, tamu ingin berlalu, akan tetapi Loceng tidak cepat-cepat mengiringinya. Tidak perlu Jiewie terlalu kesusu seperti itu mari mari Loceng antarkan”

Sambil berkata begitu, Sam Liu Taisu melangkah mendekati pintu kuil lalu membukanya dan mengambil sikap seperti tengah mempersilahkan tamu buat berlalu.

Thang Kie Lung dan Thang Long Sam telah ciut nyalinya, karena mereka masing-masing telah mengetahui kepandaian mereka tidak dapat menandingi kepandaian pendeta Siauw Lim Sie yang seorang ini. Dan juga sekarang memang kepandaian mereka telah lenyap. Dengan demikian mereka tidak berani memperlihatkan tingkah lagi.

Dengan langkah yang gontai dan tubuh sempoyongan, kedua orang she Thang tersebut telah mengikuti Sam Liu Taisu mendekati pintu kuil, kemudian melangkah keluar. Namun sebelum meninggalkan kuil tersebut, Thang Long Sam menoleh, berkata dengan bengis dan penuh dendam: “Kelak kami akan berkunjung kemari untuk menghaturkan terima kasih atas kebaikan Siauw Lim Sie”

Dan setelah berkata begitu, kedua orang tersebut melangkah     tengan     cepat.     Ginkang     mereka     telah dipunahkan, disamping seluruh kepandaian dan sinkang mereka, karenanya mereka tidak bisa berlari cepat.

Setelah melihat kedua orang she Thang tersebut berlalu.

Sam Liu Taisu menghela napas beberapa kali.

Pendeta Siauw Lim Sie ini menyadari bahwa diwaktu- waktu mendatang pasti akan banyak sekali orang-orang Kangouw yang tetap akan mencari urusan dengan Siauw Lim Sie dengan penuh kebijaksanaan.

Dengan langkah yang sabar dan tenang tampak Sam Liu Taisu telah melangkah masuk ke dalam kuil, dimana pintu kuil ditutupnya pelahan-lahan.

-oodwoo-

APA yang dikuatirkan oleh Sam Liu Taisu sesungguhnya sangat beralasan, karena Sin Ceng Taisu, sutenya, juga berpendapat demikian. Hal itupun telah dilaporkan kepada Tat Mo Cauwsu.

Pagi itu lonceng besar di Siauw Lim Sie berdentang beberapa kali, suara lonceng besar tersebut berdentang bergema di sekitar tempat tersebut dan ini merupakan suatu perintah buat seluruh murid Siauw Lim Sie berkumpul di ruang tengah kuil tersebut, karena ada sesuatu urusan penting.

Jarang sekali lonceng besar di Siauw Lim Sie dibunyikan. Dan lonceng besar seperti itu baru dibunyikan kalau memang Siauw Lim Sie tengah melakukan sesuatu yang penting atau tengah menghadapi musuh-musuh yang kuat atau sulit dilawan, dimana keadaan mengancam sekali keselamatan Siauw Lim Sie, barulah lonceng itu dibunyikan untuk mengampulkan murid Siauw Lim Sie. Pagi ini lonceng besar tersebut telah dibunyikan, dan itu berarti Siauw Lim Sie tengah menghadapi sesuatu yang penting dan merupakan perintah yang tidak dapat diabaikan. Karena cepat sekali seluruh muri Siauw Lini dari berbagai tingkat telah berkumpul di ruangan tengah. Mereka satu dengan yang lainnya saling menduga-duga, entah ada urusan penting apakah sehingga di pagi ini lonceng besar tersebut dibunyikan.

Yang berkumpul di ruangan tengah kuil tersebut, yang memang sangat luas, meliputi seribu lebih pendeta-pendeta Siauw Lim Sie dari tingkat pertama, kedua dan ketiga. Semuanya berkumpul dengan tenang dan tidak ada seorangpun diantara mereka yang bersuara, walaupun hati mereka diliputi perasaan heran dan menduga-duga entah urusan apa yang akan disampaikan oleh pimpinan Siauw Lim Sie kepada mereka. Ruangan yang besar dan luas itu hening dan sunyi sekali, seakan-akan di ruangan tersebut tidak terdapat seorang manusiapun juga.

Sedangkan ditengah-tengah ruangan terdapat sebuah meja besar dengan beberapa kursi didekatnya, yang berhadapan dengan para murid Siauw Lim Sie yang tengah berkumpul.

Duduk pada bagian sebelah kanan dari kursi besar yang terdapat ditengah-tengah itu Sam Liu Taisu, yang duduk dengan sikapnya yang sangat tenang. Di sebelah kiri dari kursi besar itu duduk Sin Ceng Taisu. Wajah pendeta Siauw Lim Sie yang seorang ini sangat tenang dan sabar.

Sejak menjadi murid Siauw Lim Sie, Sin Ceng Taisu lebih banyak memusatkan seluruh perhatian dan waktunya. Seluruh pelajaran sang Buddha diresapinya sebaik  mungkin. Bicara soal ilmu silatnya, memang kepandaian Sin ceng Taisu lebih tinggi dari kepandaian yang dimiliki Sam Liu Taisu, akan tetapi bicara soal pengetahuan didalam Buddhanya, tampaknya Sam Liu Taisu lebih waspada dan lebih mengerti secara mendalam. Itulah sebabnya hampir setiap ada kesempatan Sin Ceng Taisu selalu meminta petunjuk Sam Liu Taisu dalam hal agama mereka.

Sebagai murid pertama dari Tat Mo Cauwsu, Sam Liu Taisu sesungguhnya merupakan wakil dari guru besar Siauw Lim Sie tersebut. Akan tetapi kenyataan yang ada Sam Liu Taisu lebih banyak menyerahkan kepada Sin Ceng Taisu mengurus seluruh murid-murid Siauw Lim Sie. Dan juga Sin Ceng Taisu lah yang setiap kali mengadakan penerangan penerangan mengenai agama mereka kepada murid-murid Siauw Lim Sie. Hal ini disebabkan Tat Mo Cauwsu menghendaki agar Sin Ceng Taisu, yang dimana waktu-waktu lampaunya dilumuri oleh segala perbuatan yang tidak baik dan kejahatan-kejahatan, kini telah dapat merobah penghidupan dan kehidupannya sebagai pendeta yang sangat baik sekali. Dengan begitu, Sin Ceng Taisu malah lebih banyak memperoleh manfaat kebaikan dari agama yang dianutnya dibandingkan dengan pendeta- pendeta yang memang memasuki pintu perguruan Siauw Lim Sie dengan tekad hanya mensucikan diri belaka.

Sin Ceig Taisu memiliki kepandaian yang tinggi, pengetahuan yang sangat luar biasa luasnya mengenai pelajaran agamanya, sekarang dia telah berobah menjadi pendeta yang sangat arif dan bijaksana sekali. Setiap tindakannya selalu diiringi dengan perbuatannya yang sangat bijaksana.

Tat Mo Cauwsu yang melihat perkembangan tersebut pada diri muridnya yang kedua itu, jadi gembira sekali, dan telah menurunkan beberapa macam kepandaian andalannya.

Setelah lewat sekian lama lagi, akhirnya terdengar tiga kali genta besar di ruang besar Siauw Lim Sie dibunyikan,

Semua pendeta yang yang berkumpul di ruangan tersebut segera berdiri, kemudian menekuk kedua lutut mereka masing-masing, berlutut ke arah kursi yang berada di tengah2 antara Sam Lim Taisu dan Sin Ceng Taisu.

Tidak lama kemudian tampak muncul seorang pendeta yang telah lanjut usia. Wajahnya segar memerah, tampaknya pendeta tersebut sehat sekali.

Dikala itu, pendeta tersebut mengucapkan pujian-pujian kebesaran Sang Buddha dan kemudian telah memerintahkan murid-murid Siauw Lim Sie bangun berdiri dan kembali di tempat masing-masing.

Ternyata pendeta tua tersebut tidak lain dari Guru Besar Siauw Lim Sie, yaitu Tat Mo Cauwsu.

Setelah semua pendeta kembali mengambil tempat duduk masing-masing, Tat Mo Cauwsu baru duduk di kursi di tengah-tengah Sam Liu Taisu dan Sin Ceng Taisu,

Lama Tat Mo Cauwsu berdiam diri, hanya mengawasi semua murid-murid Siauw Lim Sie yang hadir di dalam ruangan tersebut. Keadaan hening sekali, sampai akhirnya Tat Mo Cauwsu menghela napas dalam2.

“Hari ini” kata Tat Mo Cauwsu dengan suara yang sabar. “Sebenarnya merupakan hari yang sangat membahagiakan sekali, dimana Loceng telah berhasil berkumpul dengan seluruh murid 2 Loceng di Siauw Lim Sie ini. Ada sesuatu yang perlu Loceng sampaikan kepada kalian, karena itu dipagi ini Loceng telah memanggil menghadapi kalian semua.” Setelah berkata begitu, Tat Mo Cauwsu berdiam diri sejenak, dia memandangi lagi kepada semua murid Siauw Lim Sie satu persatu lama sekali.

Sedangkan semua murid-murid itu hanya menundukkan kepala mereka dalam-2 dengan sikap yang sangat menghormat, karena mereka ingin mendengar apa yang akan disampaikan oleh Tat Mo Cauwsu, Guru Besar mere- ka. Dengan dibunyikannya genta besar tersebut yang memanggil mereka berkumpul, jelas memang ada sesuatu yang penting ingin disampaikan Guru Besar itu kepada mereka.

Diwaktu itu Tat Mo Cauwsu mulai bicara lagi dengan suara yang sabar: “Seperti kalian semuanya mengetahui, bahwa telah tiga puluh tahun loceng berdiam di kuil ini, dimana loceng telah berusaha sekuat tenaga membimbing kalian, dari jalan yang gelap pekat kernbali kejalan yang terang. Bagi yang belum lagi melihat terangnya jalan Sang Buddha, loceng membimbing mereka agar mereka menyusuri jalan yang disediakan oleh Sang Buddha. Kini loecag yakin telah tiba saatnya buat menyerahkan pimpinan di Siauw Lim Sie kepada salah seorang diantara kalian yang memang sekiranya memiliki kesanggupan melakukan dan menjalankan kewajiban yang berat tersebut”

Waktu Tat Mo berkata sampai disitu, justru semua murid Siauw Lim Sie berdiam diri saja, mereka telah mengawasi kepada Guru Besar ini dengan sorot mata bertanya-tanya.

Walaupun mereka memiliki dugaan yang pasti, siapa orang yang akan ditunjuk oleh Tat Mo Cauwsu sebagai penggantinya, akan tetapi mereka toh belum bisa terlalu menerkanya dengan secara cepat dan pasti. Orang yang di duga mereka adalah Sam Liu Taisu atau Sin Ceng Taisu, kedua murid Tat Mo Cauwsu, yaitu murid pertama dan murid yang kedua.

Disaat itu, dalam keadaan seperti ini, tampaknya memang jelas Tat Mo Cauwsu tidak akan menyerahkan kedudukan Ciangbunjin pintu perguruan tersebut kepada murid2 dari tingkatan yang lebih bawah dari Sam Liu Taisu maupun Sin Ceng Taisu.

Sedangkan Tat Mo Cauwsu waktu melihat murid- mundmya semua berdiam diri, telah meneruskan lagi perkataannya: “Dan sekarang kalian dengarlah baik-baik Bahwa kedudukan Ciangbunjin akan Loceng serahkan kepada Sin Ceng Taisu, murid Loceng yang nomor dua dan kakak seperguruan kalian yang kedua. Dengan demikian jelas kalian akan bertanya-tanya, mengapa Loceng tidak menyerahkan saja kedudukan Ciangbunjin itu kepada Sam Liu Taisu, Toasuheng? Untuk ini sepatutnya jika Loceng menjelaskannya. Menurut pengamatan Loceng, Sam Liu Taisu memang sangat cocok dan sesuai sekali mempelajari dan memperdalam pengetahuannya di bidang agama. Dan walaupun dia tidak Loceng angkat sebagai pengganti Loceng, yaitu Cianbunjin Siauw Lim Sie akan tetapi, tetap saja dia adalah Toasuheng kalian dan juga suheng dari Sin Ceng. Karena dari itu, untuk pengangkatan Sin Ceng Taisu hanyalah disebabkan menurut pertimbangan2 lain Sin Ceng pandai sekali dalam hal mempelajari agama kita, dan juga kini ia memiliki pandangan yang luas di samping kepandaian itu silat nya yang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Seorang Ciangbunjin harus bijaksana dan kebijaksanaan itu jang lebih penting dari kepandaian yang dimilikinya, karena sebagai Ciangbunjin jelas ia akan menuntun dan membimbing adik-adik seperguruannya, juga mengatur bagaimana cara terbaik, untuk memajukan pintu  perguruannya  Sebab  itulah,  karena  mengingat   Sin Ceng telah memiliki pengalaman yang luas dan juga memang memiliki pandangan yang jauh, pilihan Loceng jatuh padanya, condong untuk mengangkatnya sebagai pengganti Loceng”

Baru saja Tat Mo Cauwsu berkata sampai disitu, Sin ceng Taisu telah cepat-cepat bangkit dari duduknya.

Semua mata telah mengawasi kepada Sin Ceng Taisu, calon pengganti Ciangbunjin Siauw Lim Sie tersebut, atas pilihan Tat Mo Cauwsu sendiri.

Sedangkan Sin ceng Taisu telah menghampiri gurunya, dia tahu-tahu menekuk kedua kakinya berlutut dihadapan Tat Mo Cauwsu.

“Suhu, sesungguhnya tecu tidak berani menerima kewajiban seberat itu, karena menurut tecu Sam Liu Taisuheng jauh lebih pantas duduk sebagai Ciangbunjin, karena tecu sendiri tidak memiliki kesanggupan buat melindungi dan menjaga nama baik pintu perguruan kita”

Mendengar perkataan muridnya itu, Tat Mo Cauwsu tersenyum sabar. “Bangunlah Sin Ceng. Dengarlah, Toasuheng mu tetap akan mendampingimu dalam memimpin Siauw Lim Sie ini, dimana kalian dapat bekerjasama. Dan kedudukan Ciangbunjin itu hanya untuk membedakan siapa-siapa yang berhak mengatur jika memang Siauw Lim, Sie tengah menghadapi bencana. Sekarang dengarlah, walaupun Toa suhengmu tidak loceng pilih sebagai pengganti loceng, tok kedudukannya tetap berada diatas dirimu. Jika memang urusan diluar dari pintu perguruan kita, maka Toasuhengmu itu pantas untuk menasehatimu jika memang kau melakukan sesuatu yang diluar pantas. Toasuheng mu itupun masih dapat dan berhak memberikan hukuman kepadamu. Karena itu, Loceng harap kau tidak menimbulkan kerewelan dan mau menerima tanggung jawab yang berat sekali tetapi mulia ini”

Sin Ceng Taisu tidak bisa mengatakan apa apa lagi, dia hanya berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Seketika itu juga semua murid Siauw Lim Sie telah mengucapkan puji syukur kepada Sang Buddha, karena kini telah ditentukan siapa pengganti Tat. Mo Cauwsu, Guru Besar mereka.

“Dan, tidak lama lagi, kita akan mengadakan sembahyang besar, guna meresmikan pengangkatan Ciangbunjin baru dan merupakan Ciangbunjin pertama Siauw Lim Sie” berkata Tat Mo Cauwsu lebih jauh lagi. “Akan tetapi sebelum sembahyang besar itu kita selenggarakan, maka ada baiknya jika dalam kesempatan ini Loceng terangkan dulu bahwa sesungguhnya Loceng bermaksud dalam satu dua bulan mendatang melakukan perjalanan ke India, karena Loceng bermaksud hendak kembali ke sana mengurus sesuatu yang sangat penting. Selama Loceng pergi dan belum kembali, kalian harus baik- baik dalam memelihara nama baik Siauw Lim Sie, dan harus patuh terhadap petunjuk dan nesehat yang diberikan oleh Sin Ceng Taisu. Mengertikah kalian?”

“Mengerti” menyahuti semua murid-murid Siauw Lim Sie itu serentak. Dan mereka pun segera memuji akan kebesaran Sang Budha

Waktu itu Tat Mo Cauwsu telah melanjutkan pula perkataannya: ”Murid dari golongan Thian harap mempersiapkan meja sembahyang besar, sedangkan murid tingkatan gotongan Kian mempersiapkan sesuatunya untuk upacara sembahyang tersebut” Segera juga beberapa murid dari tingkatan Thian dan Kian telah mengiyakan dan menyatakan akan segera melaksanan tugas secepat mungkin.

Diwaktu itu, segala telah disiapkan dengan cepat. Dan sebentar saja di ruangan besar dari Siauw Lim Sie, di hadapan meja sembahyang telah terlihat Sin Ceng Taisu menjalankan penghormatan belasan kali kepada Tat Mo Cauwsu dan dia menerima warisan sebagai Ciangbunjin Siauw Lim Sie.

Dengan demikian, selesailah upacara pengangkatan Ciangbunjin tersebut dan sekarang resmilah Sin Ceng Taisu sebagai Ciangbunjin pertama Siauw Lim Sie. Sebagai Ciangbunjin Siauw Lim Sie, Sin Ceng Taisu telah merobah gelarannya menjadi Sin Kong Siansu.

Murid-murid Siauw Lim Sie semuanya memberi ucapan selamat kepada Ciangbunjin yang baru ini.

Waktu itulah, tiba-tiba diatas genting terdengar seseorang tertawa dengan suara menggema, seakan-akan menggetarkan sekitar tersebut. Dalam keadaan seperti itu, tampak betapa Tat Mo Cauwsu telah menggerakkan lengan jubahnya, dia mengibas dua kali, lalu tampak lengan jubah, disaat dibuka, terdapat dua buah tengkorak manusia yang telah dikecilkan.

“Hemmm, pendeta gundul tidak tahu diri, mari, mari keluar, layanilah kami“ terdengar suara membentak, dengan suara yang kasar sekali.

Tat Mo Cauwsu membawa sikap yang tenang. Dua butir kepala manusia yang merupakan tengkorak yang telah diciutkan itu, sebesar buah tho, telah diletakkan di sisi kursinya, kemudian dia berdiri dengan merangkapkan kedua tangannya. “Omitohud.... Omitohud” Tat Mo Cauwsu memuji akan kebesaran Sang Buddha. “Siapakah tamu-tamu kita yang terhormat?”

Setelah berkata begitu, Tat Mo Cauwsu melangkah turun dari altar dan menghampiri ke pintu ruangan tersebut. Dia pun keluar ke pekarangan kuil, lalu rnengangkat kepalanya dengan merangkapkan tangannya, tanyanya ”Tuan-tuan merupakan tamu-tamu kami, silahkan turun, silahkan turun”

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar