Badai Di Siauw Lim Sie Jilid 05

Jilid: V

NAMUN belum lagi ia sempat untuk berkata-kata, waktu itu Wan Sin Hweshio telah berkata lagi: “Dan, jika kalian tidak mau mengeluarkan uang, kalian merasa berat untuk mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar itu, maka serahkan saja wanita dan anak kecil itu pada Siauwceng, maka uang yang dua puluh tail perak, ditambah dengan lima , belas tail perak ini, boleh kalian ambil kembali! Satu cie atau satu bun juga kalian tidak perlu keluarkan uang lagi, dan kalian boleh angkat kaki meninggalkan tempat ini!”

“Wan Sin Hweshio!” bentak orang yang menjadi pemimpin orang-orang Im-mo-kauw itu. “Kau terlalu mendesak kami, engkau terlalu mengada-ada. Sesungguhnya, maksudmu tentunya hanya menginginkan kedua orang tawanan kami ini, bukan?!”

“Oh tidak, tidak.... Siauwceng hanya memberikan jalan keluar saja, jika memang kalian setuju ya syukur, jika tidak, itu terserah pada kalian. !”

Orang2 Im-mo-kauw mendongkol dan gusar, tapi mereka mendongkol dan gusar tanpa berdaya. Karena mereka telah mengalami, bahwa mereka tidak mungkin berhasil menghadapi sang pendeta yang tampaknya memang mempunyai kepandaian yang tinggi. Tapi sekarang     yang     mempersulit     mereka,     Hweshio   itu sesungguhnya bukan menghendaki uang mereka, hanya menginginkan Auwyang Toanio dan Sung-jie.

“Wan Sin Hweshio, sesungguhnya kau berasal dari pintu perguruan mana, sehingga kau demikian kurangajar ingin mencari urusan dengan kami dari Im-mo-kauw?”

“Omitohud. Siancai! Siancai! Sesungguhnya Siauwceng merupakan seorang murid yang tidak berarti dari Siauw Lim Sie!”

Mendengar keterangan sipendeta, muka semua orang Im-mo-kauw telah berobah, mereka saling pandang satu dengan yang lainnya.

“Hm, kiranya murid Siauw Lim Sie, yang mulai terkenal sekarang ini dan pintu perguruan yang dibangun oleh Tat Mo Cauwsu itu pendeta dari India?”

Wan Sin Hweshio tersenyum, dia mengangguk perlahan, sahutnya: “Ya, tidak salah, tidak salah, memang suhu kami yang mulia itu berasal dari India”

“Lalu, apakah sebagai seorang beribadah yang saleh dan alim, kau pantas mengganggu kami?!” tanya pemimpin rombongan orang2 Im-mo-kauw. “Atau memang Siauw Lim Sie telah menganggap dirinya sebagai satu-satunya pintu perguruan yang terhebat di daratan Tionggoan ini?!”

Wan Sin Hweshio telah tersenyum. “Oh, sekali-sekali tidak berani Siauwceng berkata begitu! Mengenai kepandaian dan ilmu, sepanjang usia tidak akan selesai dipahami, begitu juga seumur hidup, kita tidak akan selesai- seiesai dan habis mempelajari ilmu! Itulah sebabnya, tidak kami kenal perkataan yang “terhebat” atau yang “tertinggi”. Kami hanya mengetahui “kebajikan” dan “Kemuliaan dalam jiwa yang bersih” “Jika demikian, antara kami Im-mo-kauw dengan Siauw Lim Sie memang tidak tersangkut urusan dan permusuhan, mengapa tampaknya kau men-cari2 urusan dengan kami?!” tanya pemimpin Im-mo-kauw.

“Siauwceng bukan men-cari2 urusan, tapi dalam urusan ini memang sudah menjadi peraturan Siauwceng, siapa yang hendak memasuki perkampungan ini harus memberikan derma satu tail, dan tadi kalian juga telah merusak pemukul Bokkie Siauwceng. Bagus Siauwceng hanya meminta pengganti rugi yang ringan, sebab walaupun telah diperbaiki pemukul Bok kie ini, tohk kelak Siauwceng tetap akan menerima teguran dari suhu”

Pemimpin orang2 Im-mo-kauw tersebut telah tertawa dingin. “Siauw Lim Sie yang baru dibangun dan berdiri di daratan Tionggoan, dan juga dibangun oleh cakal bakalnya yang berasal dari India, yaitu Tat Mo Cauwsu. Lalu mengapa seorang pendeta yang seharusnya saleh, bisa memiliki peraturan yang demikian kurang ajar, yaitu meminta derma secara paksa?. Apakah ini merupakan suatu perbuatan yang pantas?. Menurut yang sering kali dengar, Tat Mo Cauwsu yang berasal dari India itu,, berusaha untuk membangun sebuah pintu perguruan yang bersih dan lurus, yang mengharuskan setiap muridnya menjadi manusia-manusia yang saleh dan baik. Apakah kau tidak kuatir kalau perbuatanmu ini kelak kami laporkan kepada suhumu itu?!”

Wan Sin Hweshio tertawa, dia berkata dengan suara yang sabar sekali: “Apa yang di lakukan oleh Siauwceng ini atas ijin dari suhu kami. Karena itu, walaupun kalian hendak melaporkan kepada suhu kami, apa yang perlu dikuatirkan?!”

“Oh, jika demikian nama besar Tat Mo Cauwcu yang di-puja2 oleh orang2 Kangouw ternyata merupakan nama kosong belaka. Kami mendengar bahwa Tat Mo Cauwcu merupakan seorang guru besar yang berdiri digaris keadilan, kebajikan dan perikemanusiaan! Namun siapa tahu, sekarang ini ternyata Siauw Lim Sie yang baru saja dibangunnya itu ternyata telah mengeluarkan seorang murid seperti kau, Wan Sin Hweshio”

“Siauwceng hanya meminta derma, bukan meminta untuk kalian memaki-maki dan menyindir suhu Siauwceng, jika memang kalian masih tetap dengan sikap kalian, hem, hmm tentu Siauwceng tidak akan segan-segan mengambil tindakan tegas! Im-mo-kauw memang merupakan sebuah perkumpulan yang sangat ternama, tapi ternamanya itu dalam dunia yang gelap dan kotor, hampir seluruh anggota Im-mo-kauw selalu melakukan kejahatan. Soal itu memang Siauwceng telah lama mendengarnya, baru hari ini Siauwceng bisa bertemu langsung dengan orang-orang Im- mo-kauw dan Siauwceng juga telah membuktikan bahwa kalian bukanlah manusia-manusia baik, karena kalian main serang dan main pergunakan senjata tajam untuk membinasakan sesama manusia! Sekarang lihat saja, wanita yang harus dikasihani itu dan anak kecil yang belum mengerti urusan, tapi mereka telah diikat begitu rupa! Apakah perbuatan itu pantas? Atau memang kalian menganggap perbuatan dan tindakan seperti itu adalah perbuatan para Hoan (orang-orang gagah)?”

Muka orang yang jadi pemimpin rombongan orang2 Im mo-kauw itu telah berobah merah. Tapi karena mengetahui Wan Sin Hweshio seorang pendeta yang memiliki kepandaian sangat tinggi, dengan sendirinya mereka walaupun gusar tidak berani menerjang maju.

“Bagaimana tentang penawaran Siauwceng memberikan derma uang atau memang derma manusia?” tanya Wan Sin Hweshio. “Kami memilih memberikan derma uang!” menyahuti orang yang jadi pemimpin rombongann orang2 Im-mo- mauw itu. Dia pun telah merogoh sakunya dan mengeluarkan dua puluh tail perak, dilemparkan lagi uang itu kedekat Wan Sin Hweshio.

Tapi pendeta itu kembali menggelengkan kepalanya. “Kurang!” katanya.

“Kurang lagi?!”

“Jelas kurang!” menyahuti Wan Sin Hwe shio. “Mengapa kurang? Bukankah engkau sendiri yang

meminta agar ditambah dua puluh tail?!” tanya orang yang jadi pemimpin Im-mo-kauw itu gusar bukan main, sampai dadanya seperti mau meledak.

Wan Sin Hweshio tersenyum. “Tentu saja kurang.....

karena tadi Siauwceng telah menceritakan asal-usul Siauwceng, untuk itu kalian harus membayar lima puluh tail perak. Tidak mudah orang mengetahui riwayat dan asal usul Siauwceng, maka lima puluh tail merupakan pembayaran yang murah sekali. Ditambah lagi dengan bercapai lelahnya bergoyangnya mulut Siauwceng ini, yang sejak tadi bercerita! Bukankah seorang dalang saja dari pertunjukkan wayangpun harus menerima upah yang cukup tinggi? Demikian juga untuk pekerjaan comblangpun selalu menerima imbalan yang sangat tinggi? Bukankah mereka bermodalkan mulut yang terus menerus bergoyang? Sama halnya dengan Siauwceng yang sejak tadi berbicara dengan mulut tiada hentinya bergoyang. Harus di tambah dengan lima puluh tail lagi! Jadi kalian harus menambah seratus tail perak!”

“Itulah suatu hal yang keterlaluan sekali” teriak orang yang jadi pemimpin itu. “Kau terlalu mendesak kami” Dan setelah berkata begitu, dia memutar kudanya untuk dilarikan meninggalkan tempat itu.

Namun Wan Hweshio telah berkata dingin “Hendak pergi kemana kau?!”

Membarengi dengan itu, tangan kanannya bergerak, dan “wutttt” segera juga serangkum angin yang kuat sekali menyambar orang itu. Tidak ampun lagi orang tersebut merasakan tubuhnya seperti diterjang kuat sekali oleh se- suatu yang seberat gunung, mungkin, ribuan kati yang menghantam tubuhnya, tubuhnya itu telah tersungkur jatuh dari atas kuda sambil mengeluarkan jeritan kaget.

Kawan-kawannya jadi terkejut, mereka semua telah melompat turun dari kuda masing-masing. Dengan mengeluarkan suara bentakan bengis dan kalap, orang yang jadi pemimpin diri rombongan orang-orang Im-mo-kauw tersebut telah menerjang kepada Wan Sin Hweshio

“Pendeta keparat, engkau keterlaluan sekali....!” Kedua kepalan tangannya bergerak beruntun untuk memukul. Tenaga yang dipergunakannya juga sepenuhnya.

Demikian juga belasan orang Im-mo-kauw yang lainnya telah melompat menerjang kepada Wan Sin Hweshio. Gerakan merekapun nekad sekali.

Sedang Wan Sin Hwoshio dengan tenang duduk ditempatnya, sama sekali ia tidak berkisar dari tempatnya itu, dan hanya setiap kali orang-orang itu memukul, pendeta tersebut selalu mengucapkan perkataan “Omitohud!”

Dan memang luar biasa cara pendeta itu menyambut pukulan-pukulan dari orang itul sebab setiap kali orang- orang Im-mo-kauw tersebut memukul, mereka yang menghantam,  mereka  sendiri  yang  kesakitan,  Sedangkan sipendeta yang dipukul itu, malah tetap duduk tenang- tenang ditempatnya.

Tapi orang-orang Immo-kauw ini memang penasaran sekali, mereka tetap menyerang dengan pukulan yang bertubi-tubi.

Akibat dari kalapnya mereka, justru ke palan tangan mereka sendiri yang telah memerah bengkak besar sekali, sebab setiap kali mereka memukul, seperti juga mereka memukul tembok besi atau baja.

Setelah berulang kali dipukul dan selalu mengucapkan perkataan “Omitohud!”, maka suatu kali Wan Sin Hweshio telah berkata: ”Siauw-ceng kira telah cukup....

Omitohud. !”

Dan setelah berkata begitu, sipendeta memejamkan kedua matanya ia mengempos semangat dan hawa murni ditubuhnya. Sekali mengeluarkan perkataan “Omitohud!” lagi, maka waktu tujuh orang Im-mo-kauw menghantamnya dengan kuat, diwaktu itu juga tujuh tangan tersebut berbunyi “kreeeekkkkk”, karena ketujuh tangan itu, yang menghantam ke tubuh Wan Sin Hweshio telah menjadi patah tulangnya, mereka pun telah melompat mundur dengan muka pucat serta meringis, merintih kesakitan.

Beberapa orang sisanya lagi telah menyerang penasaran, mereka bukan mengalami patah tulang, hanya tubuh mereka telah terpental sendirinya, waktu ambruk terbanting, tulang didada mereka telah tergeser, dan mereka, memuntahkan darah segar, sebab mereka telah terluka didalam yang cukup parah!

Rupanya Wan Sin Hweshio memang memiliki kepandaian yang hebat sekali, walaupun dia itu tidak memberikan  perlawanan  dan  hanya  berdiam  diri   duduk dengan bersila menerima pukulan-pukulan itu, namun lawan-lawannya itu telah berhasil dirubuhkan tanpa menggerakkan kedua tangannya!

Belasan orang-orang Im-mo-kauw tersebut pun tahu diri, jika memang mereka berlaku nekad terus, berarti mereka yang akan mengalami bencana lebih hebat, karenanya, mereka setelah saling pandang dengan meringis, kemudian mementang langkah seribu, melarikan diri dari tempat itu tanpa memperdulikan lagj kuda2 mereka maupun pedang golok mereka.

Setelah orang-orang Im-mo-kauw itu melarikan diri, dengan tertawa kecil sang pendeta telah melompat berdiri, dengan langkah perlahan dan sabar, Wan Sin Hweshio menghampiri Auwyang Toanio dan Sung-jie yang masih terikat disalah seorang kudanya orang2 Im-mo-kauw.

Wan Sin Hweshio segera membukakan ikatan pada diri ibu dan anak itu.

Setelah bebas Auwyang Toanio mengajak anaknya untuk berlutut di hadapan Wan Sin Hweshio untuk menyatakan terima kasihnya.

Namun Wan Sin Hweshio telah menyingkir. “Jangan nyonya dan engko kecil berterima kasih kepada Siauwceng, tapi bersyukurlah pada kebesaran Sang Budha yang telah memayungi diri kalian itu” kata Wan Sin Hweshio sambil tersenyum.

Kemudian pendeta ini telah menanyakan sebab- sebabnya mengapa ibu dan anak bisa di tawan oleh orang- orang Im-mo-kauw tersebut:

Auwyang Toanio segera menceritakan awal peristiwa tertangkapnya mereka oleh orang-orang Im mo-kauw, dimana   Auwyang   Toanio   menceritakannya   mulai  dari dikeroyoknya suaminya oleh orang-orang Im-mo-kauw, sampai akhirnya dia bersama puteranya harus melarikan diri ikut dengan Tong Miauw Liang, yang akhirnya pun tidak diketahui jejaknya. Dan bagaimana mereka telah ditangkap oleh belasan orang Im-mo-kauw.

Mendengar bahwa Sung-jie adalah putera dari Auwyang Fung Tang, Wan Sin Hweshio merangkapkan kedua tangannya, dia memuji kebesaran Sang Budha.

“Siapa sangka, seorang putera dari seorang pendekar besar di jaman ini, Auwyang, Fung Tang, harus hidup terlunta-lunta diliputi oleh ketakutan dan kesengsaraan dikejar-kejar manusia-manusia rendah seperti orang Im-mo- kauw, Tok Liong Pian, Ming Kang Hweshio dan lain- lainnya.... Ai, ai, sekarang kalian ibu dan anak ingin pergi kemana?”

Auwyang Toanio memang tengah bingung, karena dia tidak tahu harus pergi kemana. Lebih 2 lagi pedang Thiam Sim Kiam pun telah tidak berada ditangannya dan sekarang ini entah berada dimana. Maka dia juga telah menceritakan kesulitannya itu, yang tidak mempunyai tujuan.

Wan Sin Hweshio menghela napas. “Jika kalian memang merasa terancam oleh manusia2 jahat dan rendah seperti Tok Liong Pian, Ming Kang Hweshio dan orang2 Im-mo-kauw, lebih baik kalian ikut Siauwceng ke Siauw Sit San. Disana nanti akan Siauwceng pertemukan dengan suhu kami, menceritakan kesulitan kalian, sehingga nanti Cauwsu kami bisa memberikan petunjuknya”

Auwyang Toanio menjadi girang mendengar dirinya akan diajak ke Siauw Lim Sie, segera juga dia berlutut lagi.

Tapi kembali Wan Sin Hweshio menghindarkan diri. Begitulah mereka bertiga telah berangkat. Sekali lihat saja, waktu pertama kali melihat Sung-jie, Wan Sin Hweshio telah melihat ada sesuatu kelainan didiri Sung-jie, dibandingkan dengan bocah-bocah seusia dengannya.

Karena itu Wan Sin Hweshio, selain menolongi ibu dan anak itu, juga mengandung maksud lain, yaitu ingin mengajak Sung-jie dan ibunya untuk menemui Tat Mo Cauwsu, gurunya. Menurut Wan Sin Hweshio, jika saya Sung-jie memperoleh didikan dan bimbingan yang baik, tentu kelak Sung-jie akan menjadi seorang pendekar yang luar biasa. Wan Sin Hweshio sendiri bersedia untuk mendidiknya. Tapi karena Sung-jie belum tentu bersedia menjadi murid pendeta, tentu sulit baginya untuk mengambil Sung-jie menjadi muridnya. Setidak-tidaknya, jika ia ingin menurunkan kepandaiannya kepada Sung-jie, dimana mereka tidak terikat hubungan guru dan murid, beiarti juga harus seijin dari gurunya, yaitu Tat Mo Cauwsu.

Begitulah, dengan didampingi oleh Wan Sin Hweshio, Auwyang Toanio dan Sung-jie melakukan perjalanan tanpa memperoleh kesulitan lagi. Memang sering juga mereka dikejar oleh orang-orang Im-mokauw, namun beberapa kali Wan Sin Hweshio selalu dapat memukul mundur orang2 Im-mo-kauw dan yang lain2nya itu.

Namun disebabkan Auwyang Toanio dan Sung-jie ikut Wan Sin Hweshio dan orang2 Im-mo-kauw telah mengetahui Wan Sin Hweshio adalah murid Siauw Lim Sie, maka seketika itu juga didalam kalangan Kangouw tersiar luas, bahwa pedang Thiam Sim Kiam yang berada ditangan Auwyang Toanio, tengah berada dalam perjalanan ke Siauw Lim Sie.

Dan tentu saja mulut2 usil dalam rimba persilatan menyatakan,  bahwa  Wan  Sin  Hweshio  sengaja mengajak Auwyang Toanio ke Siauw Lim Sie, karena pedang Thiam Sim Kiam itu akan dimiliki dan diserakahi oleh orang-orang Siauw Lim Sie.

Dengan demikian, tentu orang-orang Kang ouw semuanya juga tidak mau berdiam diri. Mereka yang memang mengincer pedang mustika itu, dengan berbagai cara dan usaha, telah beberapa kali menghadang Wan Sin Hweshio bertiga ditengah perjalanan. Namun disebabkan kepandaian Wan Sin Hweshio memang telah mencapai tingkat yang paling tinggi, dengan mudah ia memukul mundur musuh-musuhnya itu.

Akhirnya, Auwyang Toanio bersama Sung-jie dan didampingi Wan Sin Hweshio telah tiba di Siauw Sit San, dipuncak gunung tersebut berdiri megah sekali kuil yang baru saja selesai pembangunannya, dimana dindingnya dan catnya juga masih baru dan bersih sekali. Kuil itu dengan angker berdiri megah disisi air terjun yang selalu mengalirkan airnya yang terjun menimbulkan suara yang berirama seperti juga irama musik yang mengisi ketenteraman disekitar tempat itu.

Samar-samar juga dari dalam kuil terdengar suara pendeta yang tengah membaca Liam-kheng, dan juga bunyi2an Bokkie mengiringi pendeta-pendeta yang tengah membaca Liam-kheng.

Kuil Siauw Lim Sie memang merupakan sebuah kuil yang baru saja selesai pembangunannya. Belum lagi lebih dari lima tahun. Kuil ini dibangun oleh Tat Mo Cauwsu, seorang pendeta Budha yang datang dari Thiam-tiok (India), dimana Tat Mo Cauwsu memang memiliki kepandaian yang tinggi dan disamping memang mengerti ilmu silat, pun pandai mengajar agama Budha, pengikutnya dengan cepat berjumlah banyak. Namun Tat Mo Cauwsu dalam   menerima   murid-murid   Siauw   Lim   Sie   selalu menelitinya baik-baik. Selain harus memiliki otak yang terang, gemar dengan ilmu silat dan tekun mempelajari ilmu silat. Disamping itu juga harus pada memiliki kesabaran dan jujur, welas asih dan pemurah. Bagi seseorang yang telah diterima menjadi murid Siauw Lim  Sie harus mencukur rambut, guna menjadi seorang pengikut Sang Budha, untuk menjadi hweshio.

Begitu ketatnya Tat Mo Cauwsu dalam memiliki calon- calon muridnya, sehingga dia selalu memiliki calon murid yang baik dan merupakan “bibit unggul”. Tidak terlalu mengherankan jika Siauw Lim Sie memiliki murid rnurid yang trampil, selain memiliki sifat yang saleh dan alim, pun juga memiliki kepandaian silat yang luar biasa. Walaupun baru lima tahun berdirinya atau selesainya kuil Siauw Lim Sie dibangun, namun kenyataannya nama pintu perguruan yang baru ini cepat sekali tersiar dalam dunia Kangouw. Dan demikian cepat pula orang menaruh hormat pada kebesaran Siauw Lim Sie, terutama sekali pada Tat Mo Cauwsu, yang memang telah dianggap sebagai: seorang guru besar, yang ilmu silatnya telah mencapai puncak kesempurnaan, sulit untuk, diukur pula. Disamping itu, telah selesai di bangunnya kuil Siauw Lim Sie ini, dalam waktu waktu senggangnya Tat Mo Cauwsu juga menuliskan kepandaiannya dalam sejilid kitab. Setiap harinya, Tat Mo Cauwsu mengisi lima belas huruf dikitabnya itu, dimana Tat Mo Cauw si bermaksud agar ke!ak kitab yang di tulisnya itu jika telah selesai, akan merupakan kitab pelajaran ilmu silat yang lengkap dari seluruh kepandaian yang dimilikinya.

Dengan menulis kitab itu, Tat Mo Cauwsu yang menghendaki agar ilmu silatnya kelak tidak ikut termusnahkan dengan kematiannya. disebabkan usia tua. Kitab yang ditulis oleh Tat Mo Cauwsu itu yang kelak akan di kenal sebagai kitab ilmu silat yang paling hebat dalam kalangan Kangouw, didalam sepanjang jaman sejarah persilatan didaratan Tionggoan. Kitab tersebut dibagi dua, yaitu “Kiu Im Cin Keng” dan “Kiu Yang Cin Keng.” Itulah dua kitab pusaka yang benar2 hebat, dan siapa saja yang bisa menyelami makna dan arti dari Kiu Im Cin Keng dan Kiu Yang Cin Keng, pasti memiliki kepandaian yang sempurna dan sulit sekali ditandingi.

Memang Tat Mo Cauwsu telah membatasi, dia hanya menulis lima belas huruf saja setiap harinya dan itupun memiliki arti dan makna yang sangat luas untuk setiap hurufnya. Bagi seseorang yang masih memiliki kepandaian sedang-sedang saja, tentu sulit menyelami makna dan arti dari tulisan di kitab tersebut.

Dengan demikian, Kiu Yang Cin Keng dan Kiu Im Cin Keng merupakan kitab silat yang akan menjadi kitab pusaka, yang walaupun isinya singkat, namun didalamnya memuat kepandaian-kepandaian yang lurus dan bersih. Baik ilmu mempergunakan senjata tajam, maupun melatih tenaga dalam, semuanya lurus, jauh dari kesesatan.

Sebagai seorang Guru Besar, dengan sendirinya Tat Mo Cauwsu juga disegani oleh orang2 Kangouw, karena boleh dikata nama besar Tat Mo Cauwsu telah menggetarkan Rimba Persilatan.

Di samping itu, juga tidak kurang orang-orang yang menaruh iri dan dengki kepada pendeta asal India ini. Karena banyak juga tokoh2 Kangouw yang merupakan jago jago yang memiliki kepandaian tinggi dan sempurna, merasa tidak senang Tat Mo Cauwsu mendirikan sebuah pintu perguruan ilmu silat yang baru didaratan Tionggoan, karena telah bertambah dengan munculnya aliran baru itu. Memang waktu pembukaan dan peresmian kuil Siauw Lim Sie, Tat Mo Cauwsu telah mengundang tokoh-tokoh Kangouw didaratan Tionggoan ini, dalam kata sambutannya Tat Mo Cauwsu telah menjelaskan, maksud dan tujuannya yang utama adalah menyiarkan pelajaran agama Budha, dimana dia akan berusaha untuk menyiarkan agama Budha itu sebaik mungkin didaratan Tionggoan. Itulah sebabnya Tat Mo Cauwsu telah membangun kuil Siauw Lim Sie tersebut. Sama sekali tidak terkandung maksud bagi Tat Mo Cauwsu dengan mendirikan kuil Siauw Lim Sie untuk menancapkan kaki dan menjagoi kalangan Kangouw dengan pintu perguruannya itu.

Tetapi etikat baik dari Tat Mo Cauwsu tersebut memang diragukan oleh tokoh-tokoh Kangouw.

Mereka malah mencurigakan bahwa Tat Mo Cauwsu hendak menerima sejumlah murid2, dan kelak akan diperalatnya untuk menimbulkan huru-hara di daratan Tionggoan.

Jelasnya, Tat Mo Cauwsu merupakan seorang pendeta India, walaupun dia berusaha bagaimana keras sekalipun untuk mendatangkan perbaikan dalam kalangan Kangouw di daratan Tionggoan, tokh dia tetap dicurigakan ingin melakukan sesuatu yang tidak baik.

Sedangkan Tat Mo Cauwsu sendiri memang berpendirian bahwa yang diutamakan adalah penyiaran pelajaran agama Budha. Memang sebagai seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi dan juga boleh dibilang sudah tidak ada tandingannya lagi dalam kalangan Kangouw, sehingga dikalangan 'Rimba Persilatan' Tat Mo Cauwsu memperoleh gelar sebagai seorang Guru Besar, maka diapun jelas harus mewariskan kepandaian silatnya itu pada murid-muridnya. Memang Tat Mo Cauwsu memiliki pandangan yang jauh sekali. Garu Besar ini beranggapan, jika seseorang hanya mengkhususkan diri mempelajari agama, tanpa merawat kesehatan tubuh mereka dan tidak mempelajari ilmu silat, maka agama yang dianutnya itupun sulit untuk dilindungi jika se-waktu2 terdapat maksud2 yang tidak baik dari suatu golongan. Dengan memiliki ilmu silat yang sempurna bukan berarti ilmu silat itu akan dipergunakan sebagai perisai atau senjata dari agama tersebut, melainkan juga untuk melindungi saja. Ilmu silat itu tidak akan dipergunakan jika memang Siauw Lim Sie tidak menerima gangguan dari luar.

Seperti yang telah terjadi pada diri Wan Sin Hweshio, dimana dia menghadapi serangan orang-orang Im-mo- kauw, yang berjumlah cukup banyak itu. Sama sekali Wan Sin Hweshio tidak pernah membalas menyerang. Dia hanya berdiam diri. Namun karena pendeta ini memang telah memperoleh gemblengan yang baik dan juga memiliki kepandaian yang tinggi, dengan sendirinya, tanpa membalas, tokh dia telah berhasil merubuhkan lawan- lawannya yang menyerang dirinya. Itulah sebabkan setiap tenaga serangan yang mengincar Wan Sin Hweshio, akan terbalik lagi menghantam penyerangnya. Dengan demikian, Wan Sin Hweshio tidak pernah membalas menyerang, dia hanya melindungi diri, dan dengan melindungi dirinya, mengandalkan lwekang dan ilmu silat yang tinggi, Wan Sin Hweshio sebagai seorang pendeta Agama Buddha tidak perlu menjadi sasaran ejekan dan korban dari keganasan manusia-manusia rendah dari Im-mo-kauw itu.

Memang cita-cita Tat Mo Cauwsu sangat luhur sekali. Dan siapa yang duga, bahwa akhirnya Siauw Lim Sie merupakan sebuah pintu perguruan silat yang  paling  lurus, bersih dan paling nomor satu sepanjang jaman Rimba Persilatan di daerah Tionggoan!

Keberhasilan Siauw Lim Sie dalam melahirkan murid2 pandai yang akhirnya bisa mengangkat naik nama harum Siauw Lim Sie di kalangan Kangouw, terdapat satu sebab lagi. Umumnya murid2 Siauw Lim Sie terdiri dari para pendeta. Mereka selain membaca kitab2 suci agama, juga mereka hanya Liamkheng, dan menghabiskan waktu mereka untuk berlatih lwekang dan ilmu silat mereka. Setiap kali ada kesempatan mereka juga telah memiliki ilmu silat yang telah mereka pelajari. Dengan demikian, maka setiap kesalahan dalam latihan mereka, dapat diketahui dengan segera dan mereka bisa memperbaikinya. Dan dengan ketekunan, dalam ketenteraman penghidupan se- hari2 sebagai seorang pendeta, dengan sendirinya setiap murid Siauw Lim Sie memperoleh hasil latihan yang lurus bersih dan tinggi mencapai puncak kesempurnaan!

Ditambah lagi dengan pelajaran agama Budha, yang umumnya memiliki makna yang sangat tinggi untuk arti penghidupan dan kehidupan manusia didunia ini, dengan demikian, dari pelajaran agama yang mereka anut itu bisa ditarik segi-segi yang menguntungkan untuk pelajaran ilmu silat, khususnya untuk latihan tenaga dalam atau Lwekang mereka. Tidak jarang pula terjadi dijaman-jaman berikutnya murid Siauw Lim Sie bisa mencapai tingkat yang “setengah dewa”.

Namun justru disaat “lahir”nya kuil Siauw Lim Sie inilah terdapat banyak pertentangan yang bermunculan, dan juga pergolakan yang hebatpun timbul didunia Kangouw. Badai yang tidak kecilpun menderu-deru mengamuk hebat di Siauw Lim Sie.

HANYA disebabkan Tat Mo Cauwsu seorang India yang  datang  ke  daratan  Tionggoan,  disamping  itu  juga memperoleh julukan sebagai Guru Besar dalam kalangan Kangouw, maka membuat banyak tokoh-tokoh persilatan didaerah Tionggoan yang merasa iri dan merasa tidak senang padanya. Pertama-tama, seorang asing seperti Tat Mo Cauwsu, yang diakui sebagai seorang Guru Besar, kedua, karena banyak tokoh silat didaratan Tionggoan yang merasakan bahwa kepandaian mereka sesungguhnya tidak berada disebelah bawah kepandaian Tat Mo Cauwsu, karenanya banyak yang penasaran dan telah mendatangi Siauw Lim Sie, untuk menantang Tat Mo Cauwsu pie hu (mengadu kepandaian).

Tat Mo Cauwsu sendiri tidak pernah melayani tantangan yang diberikan oleh tokoh-tokoh rimba persilatan itu, selalu ditolaknya dan Tat Mo Cauwsu berusaha- menyadarkan mereka dari pandangan2 yang keliru. Namun ada juga beberapa orang yang terlalu mendesak, malah dengan kasar main serang, walaupun Tat Mo Cauwsu umumnya hanya berkelit atau mengelakkan diri tanpa membalas, tokh orang2 itu mengalami cidera sendiri oleh tenaga pukulan mereka yang berbalik menghantam kepada mereka sendiri!

Dengan demikian orang yang semula merasa penasaran akhirnya harus mengakui bahwa kepandaian Tat Mo Cauwsu memang benar benar luar biasa dan memang selayaknya dia dijuluki sebagai seorang Guru Besar, kedudukan yang memang berimbang dengan kepandaian yang dimiliki oleh cakal bakalnya Siauw Lim Sie tersebut,

Bukan hanya golongan putih saja yang memusuhi dan merasa penasaran pada Tat Mo Cauwsu, karena tokoh2 dari golongan Sia (sesat) juga banyak yang. mendatangi Tat Mo Cauwsu untuk mengukur ilmu. Namun disebabkan memang Tat Mo Cauwsu merupakan seorang yang telah memiliki        kepandaian        yang        mencapai     puncak kesempurnaan, semua orang2 yang ingin “mencoba” kepandaiannya itu dapat dihalaunya tanpa Tat Mo Cauwsu memberikan perlawanan. Hanya dengan cara menerima serangan lawan atau juga dengan kebutan tangan yang perlahan, dia selalu berhasil merubuhkan lawan-lawannya.

Dengan demikian Tat Mo Cauwsu semakin dihormati, karena jika tidak dalam keadaan terpaksa sekali, dia tentu takkan mempergunakan ilmu silatnya untuk bertempur. Selalu pula Guru Besar itu berusaha mengelakkan pertempuran.

Ber-angsur2, orang2 yang menyatroni Siauw Lim Sie semakin sedikit, karena jarang sekali ada orang yang berani memandang rendah pada Tat Mo Cauwsu. Walaupun masih ter dapat manusia2 berhati dengki dan iri pada Tat Mo Cauwsu, tokh mereka tidak berani memperlihatkan secara berterang. Walaupun demikian, tokh memang kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa masih banyak sekali orang-2 di Rimba Persilatan daratan Tionggoan yang menaruh perasaan tidak senang pada Tat Mo Cauwsu baik dari golongan Putih maupun dari golongan Hitam, hanya mereka sementara ini belum berani membentur Siauw Lim Sie, yang namanya semakin menjulang ke puncak keagungan, sebagai kuil yang menyiar luaskan Agama Budha, disamping juga kepandaian ilmu silat aliran bersih dan lurus....

Wan Sin Hweshio merupakan salah seorang murid Tat Mo Cauwsu yang nomor kedua puluh tujuh. Dan murid ini memang memiliki kecerdikan yang agak luar biasa, disamping sangat cerdas sekali dapat menerima setiap pelajaran dengan baik dan cepat. Disamping itu Wan Sin Hweshio juga sangat tekun mempelajari ilmu dan pelajaran agama, sehingga dia merupakan Hweshio yang taat sekali dan salah disamping alim. Kemajuan yang diperoleh Wan Sin Hweshio menggembirakan Tat Mo Cauwsu. Terutama sekali, Wan Sin Hweshio Juga memiliki sikap yang jujur, sopan dan hormat kepada orang2 yang tingkatannya lebih tua darinya, terutama sekali kepada guru dan para suhengnya.

Dalam usia tiga puluh tahun lebih saja,. Wan Sin Hweshio telah berhasil mewarisi seluruh kepandaian Tat Mo Cauwsu, dan selama lima tahun itu dia telah memperdalam ajaran agamanya dengan tekun sekali,

Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan, Tat MoCauwsu sengaja perintahkan muridnya yang satu ini untuk turun gunung mengembara, guna melakukan perbuatan2 mulia membela orang2 yang lemah dalam kesulitan, disamping itu yang paling utama adalah menyiarkan agama mereka.

Dengan mengembaranya Wan Sin Hweshio,. yang selalu melakukan perbuatan2 mulia, maka nama Siauw Lim Sie pun semakin dihormati oleh orang-orang Rimba Persilatan.

Tapi tidak diduga, secara kebetulan Wan Sin Hweshio telah bertemu dengan Auwyang Toanio dan Sung-jie, disaat mana ibu dan anak ini tengah ditawan oleh orang2 Im-mo- kauw. Pendeta ini tertarik sekali lihat Sung-jie, maka disamping dia menolongi ibu dan anak itu, karena mereka mendengar bahwa Auwyang Toanio bersama anaknya itu tidak memiliki tempat berlindung dan juga Sung-jie anak Auwyang tersebut, tampaknya memiliki kelainan dari anak2 biasanya, yaitu memiliki bakat dan tulang yang bagus, Wan Sin Hweshio jadi menyukainya dan mengajaknya ke Siauw Lim Sie, untuk menghadap pada Tat Mo Cauwsu, guna meminta ijin dari gurunya agar Wan Sin Hweshio diperbolehkan mendidiknya Selama dalam perjalanan memang Wan. Sin Hweshio sering menyinggung pada Auwyang Toanio dan Sung-jie, apakah Sung-jie tak berhasrat dan tertarik untuk mengikuti jalan yang telah di tempuh oleh Wan Sin Hweshio, yaitu mensucikan diri untuk menjadi seorang hweshio.

Namun Auwyang Toanio dalam suatu kesempatan telah menjelaskan kepada Wan Sin Hweshio, dia bukan tidak iklas atau rela mengijinkan anaknya mencukur rambut mensucikan diri menjadi seorang Hweshio tapi yang membuat ganjalan dihatinya, justeru putera tunggalnya itu memiliki sebuah “tugas” yang cukup berat, yaitu sakit hati ayahnya belum lagi dapat diselesaikan, mungkin setelah anak itu dewasa kelak, dia akan mencari lawan-lawan ayahnya yang telah mencelakai ayahnya itu, dengan demikian, dalam hati yang terdapat bara dan dendam sakit hati yang mendalam seperti itu, jelas Sung-jie tidak sesuai untuk mencukur rambut mensucikan diri menjadi seorang hweshio.

Alasan yang dikemukakan oleh Auwyang Toanio memang dapat diterima oleh Wan Sin Hweshio. Maka  Wan Sin Hweshio hanya ingin meminta izin dari gurunya, yaitu Tat Mo Ca uwsu, agar dia diperbolehkan untuk mendidik Sung-jie, walaupun mereka tidak terikat hubungan guru dan murid.

Perjalanan yang mereka lakukan memang tidak terlalu cepat, namun akhirnya tokh mereka telah tiba di Siauw Lim Sie.

Tat Mo Cauwsu pun berkenan untuk menerima ibu dan anak itu. Mendengar cerita Auwyang Toanio mengenai nasib dari keluarganya, Tat Mo Cauwsu yang telah menerima mereka di ruang samadhinya, telah merangkapkan  sepasang  tangannya.  Pendeta  yang angker dan agung itu, dengan kumis dan jenggotnya yang tebal telah memuji akan kebesaran Sang Buddha.

“Janganlah Hujin (nyonya) terikat oleh api dendam, yang akan membakar dirimu sendiri” kata Tat Mo Cauwsu. “Janganlah Hujin mendidik anak ini dalam suasana seperti itu, dan janganlah mengobarkan percikan api dendam pada diri anak Hujin, niscaya bisa membuat anak itu sendiri yang terbakar oleh api itu. Kemungkinan besar, jika maksud hatinya yang dikendalikan oleh dendamnya tidak memperoleh penyaluran yang wajar, akan membuat putera Hujin menderita dan sengsara. Omitohud! Sang Buddha telah memberikan sinar kebajikan dan welas asih, jauhilah diri dari segala perbuatan yang bisa menyeret kita ke neraka!” Dan Tat Mo Cauwsu menghela napas.

Auwyang Toanio telah menunduk, wanita ini belum bisa menerima keseluruhan makna perkataan Tat Mo Cauwsu, karena memang telah menjadi tekadnya, untuk menyelamatkan Sung-jie dari tangan orang2 Im-mo-kauw mencari guru yang pandai dan memiliki kepandaian yang tinggi untuk mendidik anaknya itu, agar memiliki kepandaian yang tinggi, dan di harapkan oleh Auwyang Toanio, puteranya tersebut kelak dapat juga membalaskan sakit hati suaminya, yang menjadi ayah dari anaknya tersebut, yang terbinasa ditangan orang2 Im-mo-kauw. Memang soal kematian Auwyang Fung Tang belum diketahui dengan pasti, namun sebagian terbesar, kesempatan hidup sudah tak ada lagi buat Auwyang Fung Tang.

Karena diwaktu Auwyang Toanio mengajak Sung-jie untuk ikut Tong Miauw Liang menyingkirkan diri dari rumah mereka, waktu itu Auwyang Fung Tang tengah dikepung hebat oleh orang2 Im-mo-kauw yang berjumlah sangat  banyak  sekali,  dan  juga  memang  Auwyang  Fung Tang walaupun saat itu masih bisa memberikan perlawanan, tokh dalam keadaan terluka parah.

Tat Mo Cauwsu telah menghela napas lagi dia memandang pada Sung-jie dengan sorot mata penuh welas asih, tanyanya: “Anak, apakah engkau tidak tertarik untuk mensucikan diri menuntut penghidupan yang tenteram dan tenang sebagai seorang pendeta?”

Sung-jie tidak bisa segera menyahuti, dia hanya melirik kepada ibunya, diwaktu mana Auwyang Toanio juga tengah mengawasi padanya. keduanya saling pandang sejenak, namun akhirnya anak kecil itu telah menekuk kedua kakinya, berlutut dihadapan Tat Mo Cauwsu, katanya: “Harap Taisu mau membimbing Sung-jie,, agar dapat membalas sakit hati ayah”

Tat Mo Cauwsu menghela napas. “Omitohud! Omitohud! Siancai! Siancai. Tahukah engkau nak, jika engkau mempelajari ilmu silat hanya sekedar untuk dipergunakan kelak melakukan balas sakit hati dan menuruti dendam dihatimu, tidakkah itu akan menyiksa dirimu sendiri? Dan tahukah engkau nak, dengan selalu menuruti dendammu, berarti engkau telah melupakan banyak hal, yaitu kebajikan dan keadilan, karena disembarang waktu, tentu engkau hanya dipengaruhi dendammu itu? Betapa tololnya manusia yang mau dikendalikan oleh api dendam dan sakit hatinya, Engkaupun selalu akan mati-matian berjuang mempelajari kepandaianmu hanya sekedar untuk dipergunakan kelak membalas dendam. Dengan demikian engkau telah melupakan banyak hal seperti kebajikan dan perbuatan- perbuatan mulia lainnya, yang sesungguhnya jauh lebih berharga dari persoalan dendam pribadi itu sendiri, karena engkau  masih  dapat  melakukan  banyak  hal  yang  bisa membawa keberuntungan untuk manusia banyak umumnya”

Sung-jie terkejut mendengar perkataan Tat Mo Cauwsu seperti itu, usianya masih terlampau kecil, namun dia menduga tentu dirinya telah salah bicara, maka katanya “Jika memang Sung-jie bicara salah, harap Taisu memberikan penjelasan. Sung-jie mohon agar dibimbing dan diberi petunjuk”

Tat Mo Cauwsu bersenyum, dia bilang dengan suara yang sabar dan penuh kasih sayang: “anak, sekarang usiamu masih terlalu kecil dan belum banyak yang bisa kau pikirkah dan kau terima untuk dicernakan oleh pikiran seorang anak seperti kau. Hanya saja, Lolap hendak beritahukan agar kalian bisa hidup dengan baik dikali ini, janganlah memikirkan dahulu persoalan sakit hati atau juga urusan yang tidak menyenangkan yang telah menimpa keluaga kalian! Sekarang kalian boleh tinggal di kuil Siauw Lim Sie ini, dibawah bimbingan muridku, Wan Sin, dan jika memang nanti usiamu telah dewasa, dimana engkau mulai mengerti urusan di waktu itu Lolap akan mengajakmu untuk bercakap-cakap lagi membicarakan persoalan bencana yang telah menimpa keluarga kalian”

Wan Sin Hweshio mendengar perkataan gurunya seperti itu jadi girang, karena secara tidak langsung Tat Mo Cauwsu telah memperkenankan Wan Sin Hweshio membimbing Sung-jie, dan memperbolehkan ibu dan anak itu tinggal di Siauw Lim Sie. Segera juga Wan Sin Hweshio memberikan isyarat agar ibu dan anak itu memberikan hormat dan mengucapkan terima kasih.

Auwyang Toanio mengajak Sung-jie berlutut dihadapan Tat Mo Cauwsu untuk menyatakan terima kasih mereka. Kemudian mereka pun rnengundurkan diri. Namun sebelum keluar dari kamar samadi itu, Tat Mo Cauwsu masih sempat memberikan sedikit petunjuk pada Wan Sin Hweshio, agar selama mendidik Sung-jie, Wan  Sin Hweshio harus dapat membuka alam pikiran anak itu, agar dapat menggembleng anak itu dengan baik sehingga memiliki pikiran yang luas, tidak cupat dan hanya dipengaruhi oleh dendamnya belaka.

Wan Sin Hwesbio memberikan janjinya dan kemudian mengundurkan diri.

Selama berdiam di Siauw Lim Sie, Auw yang Toanio dan anaknya memperoleh sebuah kamar dibelakang kuil. Mereka ibu dan anak membantu untuk mengambil air yang diangkut dari samping gunung di air terjun itu, untuk di bawa ke tempat penampungan air di kuil itu. Mengambil kayu bakar dan Auwyang Toanio sendiri juga membantu untuk memasak makanan para pendeta Siauw Lim Sie.

Sung-jie jika sore hari memperoleh bimbingan dan didikan agama dari Wan Sin Hweshio dimana Sung-jie memperoleh didikan yg cukup tinggi dari Wan Sin Hweshio, karena dia telah dapat menangkap arti dan makna dari setiap ujar2 Sang Budha yang diajarkan oleh Wan Sin Hweshio.

Setelah satu tahun berdiam dikuil tersebut, Wan Sin Hweshio mulai menurunkan pelajaran dasar ilmu silat aliran Siauw Lim Sie. Demikian juga Sung-jie atau Auwyang Sung, mulai mempelajari Ginkang maupun ilmu pukulan yang sederhana, sebagai dasar pertama dimana dia harus memupuk diri lebih dulu sebelum menerima pelajaran yang lebih berat dari pelajaran ilmu silat Siauw Lim Sie.

Yang menggembirakan Wan Sin Hweshio, Sung-jie merupakan seorang anak yang cerdas sekali dan memiliki bakat yang benar2 baik. Apa yang diduga semula memang tidak meleset dan anak itu memang merupakan bahan yang baik sekali, untuk mempelajari ilmu silat Siauw Lim Sie.

Tat Mo Cauwsu yang menerima laporan Wan Sin Hweshio mengenai perkembangan dan kemajuan yang  telah dicapai Sung-jie, telah merasa gembira juga. Hanya Tat Mo Cauwsu telah menekankan agar Wan Sin Hweshio berusaha untuk dapat membimbing Sung-jie dengan baik, agar anak itu tidak merupakan anak macan yang memperoleh sayap, yang kelak hanya akan menimbulkan kerusuhan didalam kalangan Kangouw, bahkan akan membawa nama buruk Siauw Lim Sie

Wan Sin Hweshio memberikan janjinya, karena diapun bertekad untuk membimbing Sung-jie dengan sebaik mungkin, terutama sekali dalam hal pelajaran agama, yang setiap hari, disore hari, Sung-jie harus mempelajarinya selama dua jam. Walaupun dia tidak mencukur rambut dan menjadi pendeta, anak itu tokh akan terpupuk jiwa dan pikirannya, sehingga tidak akan terpengaruh oleh yang sesat. Dengan demikian tentu akan membawa Sung-jie ke jalan yang baik, lurus dan penuh kebajikan. Mengenai persoalan dendam dan sakit hati ayah Sung-jie terhadap orang2 Im mo-kauw tidak pernah disinggung oleh Wan Sin Hweshio karena sipendeta bermaksud jika memang Sung-jie telah berusia sepuluh tahun atau lebih, barulah urusan itu akan dibicarakan lagi bersama-sama anak yang tersebut, untuk membuka alam pikiran Sung-jie, agar jangan sampai dipengaruhi oleh dendamnya belaka. Memang persoalan sakit hati dengan Im-mo-kauw itu kelak suatu saat pasti akan diselesaikan dan harus dibereskan oleh Sung-jie, namun tentu saja harus mencari orang2 yang tersangkut, dan itupun bukan hanya sekedar untuk melampiaskan dendam, melainkan untuk kebaikan manusia umumnya, dimana orang2 Im-mo-kauw merupakan manusia2 rendah dan busuk yang selalu melakukan perbuatan2 yang tidak terpuji dan segala jenis kejahatan telah mereka lakukan seperti membunuh, merampok dan memperkosa, sehingga Im-mo-kauw merupakan sebuah perkumpulan dari orang2 Liok-lim (rimba hijau).

Maka jika kelak memang Sung-jie mencari mereka untuk menumpas, itu bukan hanya sekedar diiringi oleh dendam dan sakit hati, namun untuk melaksanakan tugas sebagai manusia yang mementingkan kemuliaan dan kebajikan.

Tetapi Wan Sin Hweshio juga menyadari, bahwa ia memiliki tanggung jawab yang besar, Jika sampai dia salah dalam mentrapkan penggemblengan pada anak itu, sehingga kelak anak tersebut hanya menuruti kata hatinya, berarti didalam kalangan Kangouw akan timbul kerusuhan yang tidak kecil, yang akan ditimbulkan oleh Sung-jie.

Karena itu, Wan Sin Hweshio dalam memberikan petunjuk kepada Sung-jie, jauh lebih hati2 dibandingkan jika dia memberikan petunjuk kepada murid-muridnya yang memang telah mencukur rambut. Sejauh itu memang Wan Sin Hweshio telah menerima delapan orang murid. Mereka terdiri dari orang2 yang usianya tidak sama, yaitu ada yang berusia telah dua puluh tahun lebih, tapi juga terdapat yang baru belasan tahun. Namun memperoleh perhatian istimewa adalah Sung-jie.

Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun telah lewat dengan pasti dan tetap, sehingga dua tahun lagi telah berlalu, dimana Sung-jie, walaupun tidak resmi menja- di murid Wan Sin Hweshio, tokh dia memperoleh bimbingan yang jauh lebih istimewa dari murid2 resmi Wan Sin Hweshio. DENGAN memakai baju panjang yang bewarna hijau, dan sepatu yang beralas tebal, tampak seseorang tengah berjalan dengan langkah yang perlahan diluar perkampungan Shiung-kua-cung, sebuah perkampungan yang tidak begitu besar. Sebentar-sebentar, orang tersebut telah memandang sekelilingnya.

Baju panjang yang lebar dan tampaknya kebesaran itu menutupi seluruh tubuhnya, namun ketika terhembus oleh siliran angin yang cukup keras waktu orarg tersebut berhenti di bawah sebatang pohon yang rindang, segera terlihat keadaan orang tersebut agak luar biasa, yaitu sepasang tangannya seperti kosong dimana lengan bajunya itu berkibar-kibar tipis. Karena memang orang tersebut tidak memiliki dua pasang tangannya.

Mukanya yang kurus memanjang, dengan rambut yang tersisir tidak begitu rapih, ada anak rambut yang turun menutupi keningnya dan juga dengan mata yang tidak bersinar guram sekali, orang tersebut telah memandang kesekitarnya dengan sikap yang berduka sekali. Telah dua tahun lebih dia berkelana tanpa arah dan tujuan, terlebih lagi dengan keadaan bercacad seperti itu, tanpa memiliki kedua tangannya, dimana dia tengah mencari dua orang yang sama sekali tidak diketahui jejaknya, namun selama itu pula dia tidak berhasil dengan usahanya. Kumis dan jenggotnya yang tipis bergerak perlahan terhembus dipermainkan oleh siliran angin dan juga bajunya yang kebesaran dan panjang itu, berwarna hijau tampak berkibar kibar. Beberapa kali orang ini telah menghela napas dalam- dalam dengan muka yang tetap berduka sekali.

Setelah berdiam diri beberapa saat, akhirnya orang ini melanjutkan perjalanannya lagi dia melangkah per-lahan2 memasuki perkampungan itu. Perkampungan yang kecil dan memiliki penduduk tidak begitu padat, hanya sekali-sekali dia berpapasan dengan penduduk kampung itu, orang ini telah menghampiri sebuah warung teh.

Pemilik kedai teh tersebut ternyata seorang wanita tua yang usianya mungkin telah enam puluh tahun lebih, keadaannya miskin sekali. Waktu melihat wajah tamunya ini, segera disambutnya dengan senyuman yang ramah.

“Silahkan Toaya...... silahkan duduk!” katanya mempersilahkan dengan sikap yang ramah sekali. “Apakah Toaya ingin minum teh? Kami memiliki teh dari Wang-ciu yang sangat harum sekali!”

Orang yang memakai jubah warna hijau itu telah mengangguk dengan perlahan, dia du duk berdiam diri saja.

Wanita tua pemilik warung teh tersebut telah menyediakan sepoci teh yang masih hangat dan sebuah cawan dihadapan orang itu, dan tamu tersebut telah mengangguk kepada wanita itu, mulutnya dimonyongkan kearah poci, seperti juga meminta wanita tua itu menuangkan teh tersebut untuknya.

Wanita tua pemilik warung tersebut jadi heran melihat sikap orang ini, yang merupakan tamu satu-satunya disaat itu. Namun dia seorang yang ramah, maka tanyanya: “Apakah ada sesuatu yang kurang, Toaya. ?!”

Lelaki yang berkumis tipis itu telah menggeleng perlahan, mulutnya kembali dimonyongkan kearah poci teh, mulutnya memperdengarkan suara “'uh, uh, uh, uh” beberapa kali. Ternyata dia seorang yang gagu tidak bisa bicara. Dan maksudnya dengan monyongkan mulut itu, agar pemilik warung teh itu menolongi dia menuangi teh itu kedalam      cawan,      kemudian      orang      itupun    telah memonyongkan mulutnya kepada kedua lengannya, dimana lengan jubahnya itu bergerak-gerak kosong.

Pemilik warung teh tersebut segera mengetahui bahwa tamunya itu seorang yang bercacad. Selain gagu, juga tidak memiliki kedua tangannya.

Dengan perasaan iba dan berkasihan, pemilik warung teh itu telah menuangkan teh kedalam cawan, malah dia telah mengangkatkan cawan teh itu mendekati kebibirnya tamu tersebut.

Tamu itu telah mengangguk seperti juga ingin mengucapkan terima kasih, dia telah meneguk teh itu, dan telah menghabiskan satu cawan. Wanita tua tersebut menambahkan teh kedalam cawan, kemudian meletakkan didepan tamunya. Dengan perasaan iba, wanita tua tersebut bertanya: “Sesungguhnya.... apakah Toaya tengah melakukan perjalanan ke kampung ini mencari seseorang kenalan atau. sahabat?!”

Orang itu mengangguk perlahan. Dan dia menggerak2kan mulutnya perlahan2, seperti juga dia menghendaki dengan mimik mulutnya itu, wanita tua itu dapat menangkap apa yang dimaksudkannya.

Wanita itu telah memperhatikan. Sulit buat dia menangkap maksud orang tersebut. Tapi setelah diulangi terus menerus, akhirnya dari mimik orang itu, wanita tua tersebut bertanya: “Apakah Toaya hendak memesan ma- kanan?!”

Tamu itu menggeleng.

“Lalu. apa?!” tanya wanita tua itu semakin bingung.

Tamu itu telah berkata “aah, uuh, uhhh”, tapi tidak juga dimengerti oleh wanita tua ter sebut. Waktu itu, wanita tua itu telah mengambil kursi dan duduk dihadapan tamunya. Karena memang tidak terdapat tamu lainnya, dapat dia melayani tamu yang seorang ini de- ngan sabar. Sedangkan lelaki berpakaian jubah warna hijau yang keadaannya bercacad itu, telah mulai menggerak- gerakkan mulutnya itu.

Akhirnya wanita itu telah bisa menangkap juga arti dari gerakan mulut tamunya ini.

“Apakah Toaya ingin meminjam alat tulis?” tanya wanita tua tersebut, sambil bertanya begitu, dia juga telah melirik kepada lengan baju tamunya, yang kosong itu. Dihatinya dia berpikir, bagaimana mungkin tamunya ini meminjam alat tulis, sedangkan dia tidak memiliki kedua tangannya.

Namun tamu itu telah mengangguk.

Agar tidak mengecewakan tamunya ini, wanita tua tersebut telah pergi keruangan dalam, dia membawa keluar alat-alat tulis, kemudian diletakkan dihadapan tamunya.

Wanita tua itu juga telah menggosokkan bak, dan kemudian membuka pitnya. Setelah siap, tamu itu memberi isyarat agar pit (alat tulis Tionghoa) itu diletakkan atau lebih tepat diselipkan dimulutnya. Waktu wanita tua menyelipkan pit itu dimulut tamunya, segera pit itu digigit. Ternyata tamu ini telah menulis dengan mempergunakan mulutnya.

Dengan cara demikian, memang jauh lebih mudah untuk mengetahui maksud dari tamu tersebut, karena dengan menulis diatas kertas, ia bisa mengutarakan maksud hatinya.

Tamu itu telah menulis diatas kertas dengan huruf-huruf yang  tidak  begitu  bagus:  “Apakah  nyonya  mengetahui perihal dua orang yang bernama Auwyang Toanio dan Sung-jie?!”

Wanita tua itu berpikir sejenak, kemudian dia menyahuti: “Ya, ya, dikampung ini memang ada seorang anak yang bernama Sung-jie, tapi tidak ada yang bernama Auwyang Toanio. Apakah Toaya mencari anak itu?!”

Muka lelaki berjubah hijau tanpa kedua lengan itu telah mengangguk dengan wajah berseri-seri, kemudian dia menulis lagi: “Tolong ajak aku pergi menemui anak itu. !”

Nyonya tua itu mengangguk, dia bersedia untuk menolong tamunya ini.

“Baiklah....” katanya. “Mari kau akan kuantarkan menemui anak itu. Mereka tinggal tidak jauh dari warungku ini, hanya terpisah empat rumah!”

Tamu itu menulis diatas kertas menyatakan terima kasihnya, dan kemudian mengikuti wanita tua itu pergi kerumah dari anak yang bernama Sung-jie itu.

Memang ada seorang anak lelaki bernama Sung-jie, seorang anak lelaki yang berusia dua belas tahun. Namun waktu melihat anak itu, lelaki berjubah hijau itu meng- geleng2kan kepalanya untuk memberitahukan pada wanita tua itu, bahwa anak tersebut bukan yang di maksudkan.

Wanita tua itu termenung sejenak, sampai akhirnya dia berkata: “Selain dari anak ini tidak ada lagi anak lelaki yang bernama Sung-jie dikampung ini”

Dengan wajah guram, orang yang memakai jubah warna hijau tersebut telah kembali ke warung wanita tua tersebut, sedangkan wanita tua itu masih menemaninya dengan sabar

Tamu itu telah menulis lagi diatas kertas, “Atau memang nyonya mengetahui perihalnya Im-mo-kauw?!” Wanita tua itu bilang: “Im-mo-kauw? Nama itu baru pertama kali ini kudengar. !”

Tamu itu menghela napas lagi, dia telah mengangguk- angguk, dan menulis lagi: “Tolong nyonya mengambilkan uangku disaku, untuk membayar teh yang telah kuminum ini. ''

Wanita tua itu telah merogoh saku baju orang itu, dan segera mengeluarkan beberapa tail perak.

“Berapa?!” tulis tamu itu lagi.

“Hanya tiga cie.” menyahuti wanita tersebut. “Ambillah satu tail. ” tulis lelaki itu lagi diatas kertas.

“Ini terlalu banyak, Toaya. Lebihnya terlampau banyak!” kata wanita tua itu.

Tetapi tamu itu telah menggeleng-gelengkan kepalanya dan memberi isyarat agar wanita tua itu tidak menolak pemberiannya. Sedangkan sisa uang dari tamu tersebut telah di masukkan kedalam sakunya lagi oleh pemilik warung teh tersebut.

Dengan langkah yang gontai, lelaki berpakaian baju hijau itu telah meninggalkan warung arak, sikapnya begitu lesu, wajahnya guram dan memancarkan kedukaan.

Wanita tua pemilik warung teh itu hanya berdiri didepan warungnya mengawasi kepergian tamunya yang bercacad dan harus dikasihani nasibnya.

Ternyata lelaki yang memelihara kumis dan jenggot yang tipis memanjang itu, dengan jubah panjang warna hijau tersebut dan sepasang tangan yang buntung serta gagu, tidak lain dari Tong Miauw Liang, yang telah disiksa oleh Tok Liong Pian Kwee Cai In. Memang, setelah gagal menemui Auwyang Toanio dan Sung-jie dengan diantar oleh Say Ong Kiam Kwie Bun Hosiang, Tong Miauw Liang segera kembali ke kuilnya Tong Kak Taisu, dan kemudian pamitan, karena ia angin mencari jejak Auwyang Toanio, yang di duga tentunya telah diculik oleh orang2 Im-mo-kauw. Selama dua tahun lebih Tong Miauw Liang mengembara, namun tidak juga ia peroleh hasil yang dikehendakinya. Dia tetap ssaja tidak berhasil mencari jejak Auwyang Toanio dan juga anaknya Sung-jie.

Semakin dipikirkan olehnya, Tong Miauw Liang semakin berduka. Dia sebagai seorang adik seperguruan dari Auwyang Fung Tang, yang diduga olehnya telah terbinasa ditangan orang2 Im-mo-kauw itu, telah dimintai bantuannya untuk melindungi isteri dan putera-nya itu. Bukan saja dia gagal melindungi, sehingga pedang Thiam Sim Kiam terpisah dari tangan Auwyang Toanio, juga ibu dan anak itu tidak diketahuinya berada dimana. Sedangkan dirinya sendiri sekarang telah menjadi seorang manusia bercacad, yang gagu dan tidak memiliki kedua tangannya lagi.

Tong Kak Taisu telah menawarkan padanya, pedang Thiam Sim Kiam bersedia dikembalikan jika saja Tong Miauw Liang berhasil berjumpa dengan orang yang dimaksudkan oleh Auwyang Fung Tang, seseorang yang harus dijumpainya di Kangciu, namun sejauh itu, tidak ada seorangpun yang dijumpai oleh Tong Miauw Liang, seperti yang dimaksudkan oleh Auwyang Fung Tangt Karena itu, dia telah meninggalkan Kangciu dan mengembara. Dengan tujuan untuk mencari jejak Auwyang Toanio dan Sung-jie, Tong Miauw Liang telah mengembara ke berbagai kampung dan kota. Hasilnya tetap nihil. Ketika Tong Miauw Liang ingin meninggalkan perkampungan kecil itu, dan waktu sampai dipintu kampung itu, tiba2 dia telah dihadang oleh seseorang, yaitu seorang lelaki bertubuh tinggi besar, memiliki muka yang kejam dengan pakaian atasnya yang terbuka, sehingga tampak dadanya yang berotot, ditangannya mencekal sebatang golok yang sudah karatan. Orang itu melompat keluar dari balik gerombolan pohon yang cukup lebat, diapun telah membentak: “Berhenti!”

Tong Miauw Liang mengawasi orang bertubuh tinggi besar itu dengan sorot mata yang dingin.

“Hemmm, kau sayang jiwa atau harta? Jika memang tidak ingin pergi menghadap Giam Lo Ong, cepat serahkan harta bendamu!” bentak lelaki bermuka bengis dengan golok yang telah karatan diacungkan kedepan muka Tong Miauw Liang.

Tong Miauw Liang melihat, bahwa orang yang menghadangnya ini, yang tentunya seorang perampok, merupakan seorang yang memiliki tubuh yang tinggi besar, namun dilihat dari gerakannya, dia tidak memiliki kepandaian yang berarti.

“Uh,uh,uh,uh,” dari mulut Tong Miauw Liang telah keluar suara2 seperti itu, karena dia tidak bisa berkata kata.

Perampok itu tertawa ber-gelak2 dengan suara yang nyaring, dia bilang deagan suara yang keras dan nyaring: “Hahahaha, seorang gagu! Nah, kau serahkan harta bendamu, aku mau berkasihan kepadamu, untuk membebaskan engkau dari kematian”

Tapi Tong Miauw Liang menggeleng-gelengkan kepalanya dan pundaknya di gerak2kan, dia ingin mengartikan bahwa dia tidak memiliki harta atau benda yang berarti. Tapi perampok itu telah berkata dengan bengis: “Kau tidak mau memberikan barang-barangnya? Atau memang ingin kugeledah?!”

Tapi Tong Miauw Liang tetap menggelengkan kepalanya berulang kali dan kemudian dia telah menggerakkan pundaknya lagi, lalu memutar tubuhnya untuk meninggalkan tempat tersebut.

“Hei, hendak pergi kemana kau?!” bentak perampok bertubuh tinggi besar itu dengan suara yang bengis dan goloknya yang karatan itu telah bergerak,  membacok kearah pundak Tong Miauw Liang.

Walaupun kedua tangannya telah buntung dan lidahnya telah dipotong sehingga dia menjadi gagu, namun Tong Miauw Liang bisa berkelit dengan gesit. Kegesitan kedua kakinya itu sama sekali tidak berkurang, dan diwaktu itu juga golok telah menyambar lewat disisi pundaknya, dan tampak dia telah melompat kesamping, lalu menggerakkan kaki kanannya untuk menendang pergelangan tangan dari perampok tersebut. Gerakan yang dilakukan oleh Tong Miauw Liang sangat cepat sekali, sehingga perampok itu tidak keburu menarik pulang kembali goloknya, yang telah tergetar oleh tendangan Tong Miauw Liang.

Perampok yang bertubuh tinggi besar tersebut jadi terkejut juga melihat gerakan yang begitu cepat dan kuat sekali dari kaki Tong, Miauw Liang, karena waktu itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa orang yang gagu ini bisa menendang pergelangan tangannya. 

Namun, dia hanya tertegun sejenak, kemu dian dengan murka dia telah mengeluarkan suara bentakan yang sangat keras sekali dan goloknya telah menyambar lagi dengan cepatt akan membacok kearah leher Tong Miauw. Liang. Tapi Tong Miauw Liang cepat berkelit ke samping, dia telah menendang lagi arah pinggang lawannya.

Tapi kali ini karena perampok itu telah bersiap-sedia untuk menghadapi tendangan lawannya, dia telah melompat dengan gesit sekali, dimana tangannya telah bergerak lagi goloknya telah menyambar kembali kearah pinggang Tong Miauw Liang.

Tong Miauw Liang mengeluarkan suara “Ah, ah, uh, uh” kemudian dia telah melompat tinggi sekali, dua tombak lebih, tahu-tahu kedua kakinya itu telah menendang dengan tendangan berantai, malah mengenai tepat kepala  perampok itu, yang seketika itu pula pandangan matanya jadi ber-kunang2, goloknya telah terlepas dari cekalannya dan tubuhnya berjumpalitan diatas tanah.

Ketika dia merangkak bangun, di lihatnya Tong Miauw Liang tengah melangkah untuk meninggalkan tempat tersebut. Sama sekali Tong Miauw Liang tidak memperdulikannya lagi.

Waktu itu siperampok itu sendiri tidak mengerti, mengapa orang gagu itu memiliki gerakan yang gesit. Semula dia menduga orang gagu itu adalah calon korban yang sangat empuk, tapi kenyataannya ia kena ditendang sampai tujuh keliling.

Tong Miauw Liang melanjutkan perjalanan tanpa memperdulikan perampok itu, karena Tong Miauw Liang menyadarinya bahwa perampok tersebut hanyalah perampok yang tidak memiliki arti apa-apa, mungkin hanya buaya darat dikampung tersebut, karena walau pun dia mempergunakan golok yang telah karatan itu sebagai senjatanya, tokh kenyataannya perampok itu memang tidak memiliki ilmu atau kepandaian mempermainkan senjatanya tersebut. Tong Miauw Liang melakukan perjalanan dengan per- lahan2 dan setelah mencapai belasan lie, dia beristirahat lagi. Waktu itu ia tiba didekat sebuah tegalan, yang rumputnya tumbuh cukup tinggi. Dia menghampiri sebatang pohon, dan duduk mengasoh dibawah pohon tersebut.

Dengan hati yang berduka, Tong Miauw Liang masih memikirkan kemana dia harus mencari jejak Auwyang Toanio dan Sung-jie. Jika memang dia belum dapat menemui jejak kedua orang itu. walaupun harus berkelana sepuluh tahun atau lebih, tentu akan dilakukannya. Karena itu dia telah berkeputusan untuk mencari terus kedua orang itu.

Sedang Tong Miauw Liang duduk terpekur ditempat itu, dibawah siliran angin yang menerpa mukanya, dan juga dilihatnya rumput yang tengah berkibar-kibar dipermainkan hembusan angin, dari arah kanannya, dibalik sebatang pohon yang cukup besar, tampak berjalan mendatangi seseorang.

Tong Miauw Liang memperhatikan orang itu, yang memakai baju warna kuning. Dan, setelah orang tersebut, yang merupakan seorang lelaki berusia tiga puluh tahun lebih, menyoren sebatang pedang panjang dipinggangnya, berdiri dekat Tong Miauw Liang, mengwaasi Tong Miauw Liang beberapa saat, baru dia menegur: “Engkaukah tadi yang telah menghajar Sie toa?”

Tong Miauw Liang berdiri, dia bersuara: “Ah, ah, uh, uh” dan meng-geleng2kan kepalanya. Maksudnya dia ingin menyatakan bahwa dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh lelaki berbaju kuning itu.

Sedangkan orang berbaju kuning itu telah tertawa dingin, katanya dengan tawar: “Hm benar engkau! Menurut keterangan Sie-toa, kau memang seorang yang gagu dan kulihat enngkau pun tidak memiliki kedua tangan, dengan demikian berarti kau merupakan seorang yang bercacad, yang seharusnya tidak punya guna. Maka sampai Sie-toa tidak berdaya untuk merubuhkan dirimu, merupakan hal yang aneh dan luar biasa sekali”

Dan setelah berkata begitu, lelaki berbaju kuning itu telah memperlihatkan sikap yang bengis. “Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah engkau tidak mau menyerahkan uang dan barang-barangmu?!”

Tong Miauw Liang segera mengerti, bahwa lelaki baju kuning ini tentunya sahabat dari perampok yang telah dirubuhkannya belum lama yang lalu. Dan mungkin lelaki baju kuning ini hendak mengadakan pembalasan padanya. Tapi Tong Miauw Liang tetap bersikap tenang, dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

“Baik, engkau rupanya memang mau mempermainkan aku atau memang pura-pura gagu?!” kata orang berbaju kuning itu, tangannya cepat sekali telah mencabut pedangnya, dimana tampak pedangnya itu berkilauan terang menyilaukan mata.

“Kau mau menyerahkan uang dan barang barangmu atau tidak? Atau memang batang lehermu ini hendak dipisahkan dari tubuhmu!”

Sambil membentak begitu, pedangnya itu telah dilintangkan dileher Tong Miauw Liang.

Tong Miauw Liang melangkah mundur tiga tindak ke belakang, dengan bersuara “Ah, “ah, uh, uh” kemudian hendak memutar tubuhnya guna meninggalkan lelaki berbaju kuning.

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar