Badai Di Siauw Lim Sie Jilid 04

Jilid: IV

“MEMANG kepandaian Boanpwe masih rendah sekali, tidak mungkin menandingi kepandaian Locianpwe, karena dalam beberapa jurus saja, jelas Boanpwe akan dapat dirubuhkan Locianpwe. Dengan demikian, berarti juga bahwa Boanpwe tidak mungkin merebut pedang Thiam Sim Kiam itu dengan kekerasan. Dan Boanpwe hanya memohon kepada Locianpwe, agar mengembalikan pedang itu dengan suka rela belaka, mengandalkan belas kasihan dari Locianpwe saja, karena bagaimana tanggung jawab yang harus Boanpwe berikan, kalau sampai pedang itu lenyap dari tangan Auw yang Toanio, sedangkan orang yang kami cari itu masih juga belum dapat kami temui?”

“Apakah memang sungguh2 apa yang kau katakan, bahwa kalian belum lagi mengetahui siapa orang yang dimaksudkan oleh Auwyang Fung Tang yang meminta agar kalian menemuinya, yang diharapkan bisa menjadi pelindung kalian....?” tanya pendeta tua itu kemudian dengan bersungguh-sungguh mengawasi Tong Miauw Liang.

“Mana Boanpwe berani berdusta?” kata Tong Miauw Liang kemudian dengan suara yang setengah mengguman, kemudian dia telah menambahkannya “Tapi dalam urusan ini, memang Boanpwe harus berusaha menyelidiki dan mencari tahu, siapakah sesungguhnya orang yang dimaksudkan Suheng yang meminta agar kami menemuinya itu. !”

“Bagaimana mungkin kalian bisa menemui orang yang dimaksudkan suhengmu itu, Tong Siecu, jika memang namanya saja engkau tidak mengetahui dan siapakah adanya orang itupun kalian tidak mengetahuinya?” kata pendeta tua itu.

“Tapi Suhengku hanya mengatakan bahwa kami memang hanya perlu pergi ke Kangciu untuk menemui orang itu sebab setibanya kami di Kangciu, tentu kami akan disambut oleh orang itu, yang selanjutnya akan menjadi pelindungnya Auwyang Toanio dan puteranya itu. ”  “Hmmm, kira-kira siapakah orang itu yang tengah kalian cari!?” tanya pendeta tua itu lagi.

“Sekarang ini kami memang belum lagi mengetahuinya!” menyahuti Tong Miauw Liang.

“Jika memang demikian, apakah memang kau yakin akan ada orang yang menyambut kedatangan kalian di Kangciu, yang kelak akan melindungi kalian?” tanya pendeta tua itu.

Tong Miauw Liang mengangguk. “Kukira Suhengku itu tidak akan berdusta.... bukankah semua ini demi keselamatan isteri dan puteranya, tentu dia tidak main-main dalam persoalan ini. Jika memang dia belum pasti, tentu tidak akan begitu saja perintahkan kami berangkat ke Kangciu!”

“Baiklah.... sekarang ingin Loceng tanya, jika memang pedang Thiam Sim Kiam ini Loceng kembalikan kepadamu, lalu orang2 Im-mo-kauw dan orang2 Kangouw lainnya yang menginginkan pedang ini berusaha merampas pedang Thiam Sim Kiam ini dari tanganmu, apakah engkau bisa melindungi pedang ini dan menghadapi mereka itu?”

Ditanya seperti itu Tong Miauw Liang jadi berdiam diri saja, akhirnya dia menghela napas dalam-dalam. “Memang apa yang ditanyakan oleh locianpwe dapat diterima kenyataannya, karena jika pedang itu tetap ditangan kami, lalu berdatangan orang2 Im-mo-kauw, juga Tok Liong Pian dan kawan2nya, belum lagi orang-orang Kangouw lainnya yang menghendaki pedang itu, jelas dengan hanya seorang diri saja Boanpwe tidak bisa menghadapi mereka dengan baik. ”

“Bukankah Loceng tadi telah mengatakan, dengan adanya pedang Thiam Sim Kiam ditangan Locang, tentu kesulitan-kesulitan   yang   seharusnya   dialami   oleh Tong Siecu bersama-sama dengan Auwyang Toanio dan puteranya itu akan berkurang dengan sendirinya! Sekarang kita atur begini saja, pedang Thiam Sim Kiam ini biarlah ditangan Loceng, jika memang kalian sudah berhasil bertemu dengan orang yang dimaksudkan Auwyang Fung Tang, barulah disaat itu kau datang kemari lagi untuk mengambil pedang ini dari Loceng! Jangan kuatir Tong Siocu, walaupun Loceng memang menghendaki pedang ini, namun jika duduk persoalannya ternyata kelak orang yang dimaksudkan Auwyang Fung Tang itu adalah pemilik sebenarnya dari pedang mustika ini, dan juga siapa tahu yang dimaksudkan oleh Auwyang Fung Tang Itu sipendekar aneh yang telah Loceng ceritakan tadi, maka Loceng tentu akan menyingkirkan keinginan untuk memiliki pedang ini. ”

Tong Miauw Liang sesungguhnya tidak bisa mempercayai begitu saja pendeta ini, sebab memang telah diketahuinya bahwa pendeta tua tersebut juga mengandung maksud untuk memiliki pedang Thiam Sini Kiam. Bukankah ilmu pedangnya saja pun diberi nama Thiam Sim Kiam Hoat? Dengan demikian, apakah tidak mungkin sipendeta tua hanya ber-pura2 saja berbaik hati, menjanjikan kelak akan mengembalikan pedang itu, sesungguhnya pendeta tersebut pun telah mati-matian berusaha untuk memiliki pedang mustika tersebut? Namun setelah berpikir sejenak lamanya, akhirnya Tong Miauw Liang menerima saja usul itu, karena jika tokh sekarang dia bersikeras hendak merebut kembali pedang itu dari tangan pendeta tua tersebut, niscaya akan sisa-sisa belaka. Bukan saja dia tidak akan berhasil menghadapi si pendeta tua sedangkan untuk menghadapi Say Ong Kim saja dia tidak mungkin sanggup. Karena itu akhirnya Tong Miauw Liang telah mengangguk. “Baiklah!” katanya. “Jika memang Locianpwe telah berkata begitu, Boanpwe tidak berani menolaknya!”

Sipendeta tua tersebut menghela, napas. Dan kemudian mengulurkan tangannya, untuk mengambil serangka pedang, dan dia menghampiri jendela, lalu mencabut pedang, yang tertancap dikayu jendela, lalu dimasukkan kedalam serangkanya.

Setelah itu barulah sipendeta tua tersebut berkata ”Jika memang Tong Siecu tidak mau mempercayai apa yang dikatakan oleh Loceng, maka pedang ini bisa saja diambil oleh Tong Siecu, sekarang juga. Terserah bagaimana keputusan Tong Siecu, semua ini hanya untuk kebaikan Auwyang Toanio dan puteranya belaka. ”

Tong Miauw Liang telah bersenyum sambil bangkit. “Baiklah, memang demikian Boanpwe minta diri saja!” katanya..

Sipendeta tua telah mengangguk.

Namun waktu akan keluar dari kamar itu, Tong Miauw Liang telah bertanya lagi: “Jika memang Locianpwe tidak keberatan, dapatkan Locianpwe memberitahukan gelaran Locianpwe yang mulia?”

“Loceng bergelai Tong Kak Taisu. !”

“Baiklah Locianpwe, jika memang kami berhasil bertemu dengan orang yang dimaksudkan oleh suheng Boanpwe itu, maka kami akan segera mengunjungi Locianpwe lagi!”

Dan setelah berkata begitu, Tong Miauw Liang memutar tubuhnya untuk berlalu. Dia mengambil jalan seperti tadi ketika dia memasuki kuil tersebut, dimana dia mengambil jalan dengan melewati dinding kuil. Dengan demikian, tidak ada seorang pendetapun dikuil tersebut yang mengetahui perihal kedatangannya,

Selama dalam perjalanan pulang kerumah penginapannya, Tong Miauw Liang benar-benar tidak mengerti akan sikap Tong Kak Taisu. Karena pendeta tua tersebut bisa mengambil keputusan seperti itu, dimana walaupun dia sendiri menghendaki Thiam Sim Kiam, toh jika memang Tong Miauw Liang berhasil bertemu dengan orang yang dimaksudkan oleh Auwyang Fung Tang, tentu pedang itu akan dikembalikan kepadanya. Mengenai janji sipendeta tersebut, Tong Miauw Liang tidak yakin akan kebenarannya, karena dia sangsi apakah sipendeta bukan hanya mencari jalan untuk dalam kesempatan ini nanti menyembunyikan diri dan menghilangkan jejak.

Tapi, jika memang Tong Kak Taisu bermaksud tidak baik padanya, mengingat kepandaiannya yang memang sangat tinggi itu, tentu dengan mudah sekali ia dapat mencelakai Tong Miauw Liang. Dan kenyataannya, pendeta itu memang tidak melakukan hal itu.

Tiba dikamar rumah penginapan, Tong Miauw Liang masih memikirkan sikap aneh dari Tong Kak Taisu, dia benar-benar tidak mengerti. Karena itu, diapun telah memutar otak untuk memecahkan persoalan tersebut. Belum lagi dia memikirkan juga, entah siapakah orang yang dimaksudkan oleh suhengnya. Karena itu, dia telah diliputi oleh bermacam-macam tanda tanya, yang keluar masuk otaknya dan membuat Tong Miauw Liang semakin tidak mengerti menghadapi urusan yang memiliki sangkut pautnya dengan Thiam Sim Kiam tersebut. 

Tong Miauw Liang rebah di pembaringan dengan pikiran yang melayang-layang tak menentu. Api penerangan    diatas    meja    bergoyang    goyang, sehingga bayangan yang terdapat didalam kamar itupun ikut bergoyang-goyang.

Suasana tenang dan sepi sekali, karena telah cukup larut malam.

Tapi dalam keadaan seperti itulah, tiba-tiba berkesiuran sambaran angin yang halus sekali dari luar jendela, ke arah diri Tong Miauw Liang.

Bukan main terkejutnya Tong Miauw Liang dia melompat dari pembaringannya mengelakkan diri dari sambaran senjata rahasia itu, dan kemudian di lihatnya beberapa batang piauw dan juga beberapa batang jarum yang berkilauan kekuning-kuningan telah menancap menembusi pembaringan.

Jika tadi dia tidak keburu untuk menghindarkan diri, niscaya dia telah menjadi sasaran dari senjata-senjata rahasia tersebut, tentu dia akan celaka dan menderita luka yang tidak ringan.

Tapi Tong Miauw Liang pun tidak berdiam diri saja, begitu melihat senjata rahasia yang jumlahnya cukup banyak itu telah menancap dipembaringan, cepat bukan main dia telah melompat ke jendela, dia mendorong jendela itu dengan kuat, membarengi dengan itu kedua tangannya digerakkan, dia menyerang keluar, baru disusuli dengan lompatan tubuhnya keluar. Dia melakukan pukulan seperti itu mencegah jangan sampai musuh bisa membokongnya disaat dia melompat keluar.

Gerakan tubuh Tong Miauw Liang sangat gesit dan tubuhnyapun hinggap diluar kamar dengan ringan. Dilihatnya, disekitar tempat itu berdiri belasan orang, yang berdiri tegak dengan sikap bermusuhan dan mengancam. Salah seorang diantara mereka segera di kenali oleh Tong Miauw Liang sebagai Tok Liong Pian Kwee Cai In! Sedangkan yang lainnya adalah kawan-kawan si Pecut Naga Berbisa itu!

“Mengapa kau membokongku?” bentak Tong Miauw Liang karena kegusarannya.

Karena tadi jika dia tidak cepat2 berkelit, bukankah berarti dirinya tidak dapat hidup sampai saat sekarang ini, dan akan menjadi korban dari senjata2 rahasia itu?

Tok Liong Pian tersenyum mengejek. “Hemmmm, ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadamu orang she Tong!” kata Tok Liong Pian. “Apakah selama kau berada di Kangciu ini telah bertemu dangan si pendeta keparat Say Ong Kiam?”

Tong Miauw Liang mengawasi si Pecut Naga Berbisa itu beberapa saat lamanya, sampai akhirnya dia tertawa mengejek. “Kalian mencari si pendeta Say Ong Kiam mengapa bukannya kalian mencari jejaknya? justeru menanyakannya kepadaku, yang tidak memiliki hubungan apapun juga dengan dia?''

Ditanggapi seperti itu, Tok Liong Pian tertawa dingin, katanya sengit ”Kau jangan jual lagak dihadapan kami! Tentu kedatanganmu ke Kangciu ini hendak menyelidiki dimana adanya pedang Thiam Sim Kiam itu, terutama sekali kau tentu akan menyelidiki, dimana si pendeta tua sikeparat Say Ong Kiam itu, bukan? Nah, sekarang aku tidak perlu banyak rewel lagi cepat katakan, apakah engkau telah berhasil menemui jejak dari pendeta keparat itu?”

Tong Miauw Liang tidak jeri, dia telah tertawa dingin, sahutnya: “Jika memang aku telah bertemu dengannya kalian hendak apa? Jika memang tidak bertemu, lalu apa yang kalian inginkan!?” tanyanya dengan mengejek. “Hemm, engkau manusia tidak punya gunna, kepandaianmu masih rendah, tapi lagakmu begitu tengik! Tentu saja jika engkau bicara dusta kami akan membinasakanmu!”

Tong Miauw Liang telah tertawa dingin. Walupun dia mengetahui bahwa dirinya bukan menjadi tandingan Tok Liong Pian terutama sekali disamping si Pecut Naga  Berbisa itu terdapat kawan-kawannya yang berjumlah tidak sedikit, namun Tong Miauw Liang tidak mau memperlihatkan kelemahannya, dia telah menyahuti: “Aku Tong Miauw Liang bicara apa yang kuketahui! Maka jika memang kalian menghendaki aku memberitahukan pada kalian mengenai diri sipendeta Say Ong Kiam, ada satu syarat yang harus kalian penuhi!”

“Apa syaratmu itu?” tanya Tok liong Pian tidak sabar. “Cepat sebutkan!”

“Hemmmm, kau Tok Liong Pian, karena kau pernah lancang berusaha untuk merebut dan merampas Thiam Sim Kiam yang akhirnya karena kau manusia tidak punya guna, maka maksud hatimu itu telah gagal! Sekarang lewat keteranganku kau ingin mengetahui jejak Say Ong Kiam, maka kau harus berlutut dihadapanku dan memanggilku dengan sebutan Yaya (kakek) tiga kali, barulah aku akan memberi tahukan dimana beradanya Say Ong Kiam. !”

Muka Tok Lioug Pian jadi berobah merah padam, tapi baru saja dia ingin berkata dengan sikap yang berang, waktu itu seorang kawannya, yang berada didekat Tong Miauw Liang sudah tidak bisa menahan diri. Golok ditangannya berkesiuran membacok bahu Tong Miauw Liang.

Serangan itu yang mirip dengan serangan membokong tidak membuat Tong Miauw Liang jeri. Bahkan dia telah memperdengarkan     suara     tertawa     dingin,    kemudian melompat ke samping menghindarkan diri, bahkan sambil berkelit, dia telah menggerakkan tangan kanannya menotok ke jalan darah Liang-tie-hiat lawan.

Lawannya itu cepat-cepat menarik pulang goloknya, dan kemudian melompat kesamping baru kemudian melanjutkan pula bacokan menyilang, dia mengincar pinggang dan lengan Tong Miauw Liang.

“Hentikan!” bentak Tok Liong Pian dengan suara keras.

Kawannya itu pun segera menahan meluncurnya goloknya, dia telah melompat ke samping, dengan cepat dia menoleh kepada Tok Liong Pian, katanya “Toako, mengapa harus banyak bicara dengan manusia tidak punya guna ini?”

Tok Liong Pian mendengus perlahan, lalu menyahuti ”Dengan dia kita tidak memiliki urusan apapun juga, kita hanya membutuhkan keterangannya mengenai Say Ong Kiam yang telah berhasil melarikan pedang Thiam Sim Kiam. Karena itu, jika memang dia mau memberikan keterangannya, kita boleh mengampuni jiwanya! Jika dia tidak mati bicara terus terang, barulah diwaktu itu jiwanya kita habisi!”

Dingin sekali suara Tok Liong Pian waktu ber-kata2 seperti itu, dia juga telah mengawasi Tong Miauw Liang dengan mata yang mendelik.

Tapi Tong Miauw Liang sendiri seperti nekad, dia telah memperdengarkan suara tertawa yang dingin, lalu katanya: “Walaupun tubuhku harus hancur lebur, jika memang kau Tok Liong Pian tidak mau berlutut dihadapanku dan memanggil “Yaya” tiga kali padaku, hmmmm, hmmmm, jangan harap kalian bisa memperoleh keterangan dariku!” Tok Liong Pian memang sudah mendongkol bukan main, mana dapat dia main tenang tenang seperti itu, apalagi memang Tong Miauw Liang tampaknya seorang yang berkepala batu. Namun dia masih bisa bertanya: “Apakah memang sesungguhnya engkau mengetahui tempat bersembunyinya Say Ong Kiam?”

Tong Miauw Liang mengangguk. “Ya” sahutnya sambil tertawa dingin.

“Baiklah aku bersedia panggilmu Yaya”

Dan setelah berkata begitu, Tok Liong Pian telah melangkah maju, dan mendekati Tong Miauw Liang. Waktu itu mereka hanya terpisah kurang lebih setengah tombak, dan Tong Miauw Liang hanya mengawasi  saja Tok Liong Pian dengan berulang kali memperdengarkan suara tertawa mengejek.

Tok Liong Pian membungkukkan tubuhnya namun dia bukan memberi hormat, karena begitu tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menyambar dengan cepat sekali.

Malah kedua tangannya itu mengandung tenaga dalam yang sangat kuat, karena dia bermaksud akan mencengkeram perut Tong Miauw Liang, dan jalan darah terpenting di tubuh Tong Miauw Liang, yaitu jalan darah Bun-sie-hiat dan Leng-ku.-hiat. Kedua jalan darah yang terdapit diperut itu, merupakan jalan darah yang berhubungan langsung dengan jantung. Seseorang yang terkena dicengkeram atau ditotok jalan darahnya tersebut, tentu akan lenyap tenaganya, dan jika terlalu lama tertotok atau dicengkeram, di mana peredaran darah kejantung jadi tersumbat, berarti jiwa korban tersebut pun terancam kematian..... Tong Miauw Liang semula menduga bahwa Tok Liong Pian akan memberi hormat dan memanggil dia Yaya, dan baru saja dia ingin mengejek Tok Liong Pian, bahwa sesungguhnya dia menghendaki Tok Liong Pian itu berlutut, bukan hanya sekedar membungkuk seperti itu, justeru kedua tangan Tok Liong Pian telah menyambar datang. Dengan demikian membuat Tong Miauw Liang cepat-cepat melompat ke belakang guna menghindarkan diri,

Tok Liong Pian melakukan penyerangan seperti itu, sesungguhnya dengan memiliki perhitungan yang matang sebelumnya. Dia memang telah menduga bahwa cengkeraman kedua tangannya tentu akan berhasil dielakkan oleh Tong Miauw Liang dan cara mengelakkan tentu hanya dengan jalan melompat ke belakang menjauhi diri. Dan karena itu, tanpa menanti Tong Miauw Liang melompat jatuh dengan kedua kakinya menginjak tumpukan salju, diwaktu itulah Tok Liong Pian telah maju dua tindak dengan kedua tangan tetap terulur dan tubuh tetap membungkuk seperti itu, sehingga jarak jangkau kedua tangan itu lebih jauh, mengetok jalan darah Mang-su- hiat didekat pinggang Tong Miauw Liang.

Totokan itu telah mengenai telak sekali pada jalan darah tersebut dan seketika itu juga Tong Miauw Liang telah rubuh terjungkal tidak bisa berkutik lagi.

Dengan cepat Tok Liong Pian telah menghampirinya, dengan muka yang bengis, dia telah membentak: “Apakah sekarang engkau masih tidak mau bicara?”

Tapi Tong Miauw Liang telah tertawa dingin. Walaupun dia dalam keadaan tertotok dan rebah tidak bisa bergerak, namun dia tidak mau menyerah begitu saja. Maka katanya  dengan  suara  menghina:  “Jika  memang  engkau hendak membunuhku, bunuhlah, tapi jangan harap aku akan memberikan keterangan yang kau kehendaki!”

Dan setelah, berkata begitu, Tong Miauw Liang telah memejamkan matanya rapat-rapat, sama sekali dia tidak mempedulikan Tok Liong Pian dan kawan-kawannya itu.

Tok Liong Pian sendiri bukan main gusarnya, dia telah, menggerakkan kaki kanannya, menendang keras sekali, tubuh Tong Miuaw Liang terpental sejauh tiga tombak lebih.

“Jika memang engkau tetap tidak mau memberikan keterangan yang kami kehendaki maka jangan  harap engkau bisa mampus dengan cara yang enak, karena kami telah mempersiapkan cara kematian yang paling sedap yaitu mati dengan perlahan-lahan! Kau tinggal pilih, apakah memberikan keterangan yang kami kehendaki dan kau akan kami bebaskan, atau memang engkau akan tetap tutup mulut, namun akan menerima kematian yang perlahan- lahan. ”

Setelah berkata begitu, Tok Liang Pian tertawa bergelak- gelak dengan suara yang bengis menyeramkan, mengandung hawa pembunuhan.

Tong Miauw Liang sendiri sesungguhnya sudah tidak memikirkan lagi mati hidupnya, namun dalam keadaan seperti sekarang, di mana dia memiliki tugas yang harus melindungi Auwyang Toanio dan juga Sung-jie, kedua orang, itu tengah berada dirumah penduduk di luar Kangciu, dengan sendirinya, membuat Tong Miauw Liang harus, berpikir dua kali, jika harus bersikeras terus menutup mulut. Akhirnya dia berkata juga ”Baiklah, aku menjelaskan apa yang kuketahui! Apa yang hendak kalian tanyakan?” Tok Liong Pian tampak girang mendengar bahwa Tong Miauw Liang mau memberikan keterangan yang mereka inginkan. Dia melangkah mendekati, tanyanya ”Apakah engkau telah bertemu dongan Say Ong Kiam?”*'

“Belum!” sahut Tong Miauw Liang dengan suara yang tegas, dia juga menggelengkan kepalanya.

“Hemmm, jangan dusta!” bentak Tok Liong Pian. “Jika engkau main-main dalam memberikan jawaban, tidak apa pilihan lain, selain mempergunakan cara kami untuk memaksa engkau membuka mulut!”

Apa yang dimaksudkan oleh Tok Liong Pian ialah dia ingin menyiksa Tong Miauw Liang.

Tapi Tong Miauw Liang sendiri telah tertawa tawar, dia bilang ”Engkau yang meminta agar aku bicara yang jujur, lalu setelah kuberikan jawaban yang jujur, mengapa engkau malah mengancam hendak menyiksa diriku?”.

Muka Tok Liong Pian jadi berobuh merah padam. Dengan gusar dia membentak: “Aka menghendaki kau menjelaskan di mana adanya Say Ong Kiam!”

“Akan kuberitahukan jika memang aku mengetahui dimana beradanya pendeta itu. Tapi memang aku tidak mengetahui, lalu keterangan apa yang hendak kuberikan!*'

Tok Liong Pian tertawa dingin beberapa kali, katanya: “Hemm, tadi engkau telah meminta aku berlutut dan memanggil engkau Yaya tiga kali, barulah kau akan menjelaskan dimana beradanya Say Ong Kiam. Tapi sekarang engkau mengatakan tidak mengetahuinya dimana beradanya pendeta keparat itu..... bukankah itu merupakan suatu ketololan yang patut ditertawai?”

Tong Miauw Liang tertawa tawar pula. “Tadi aku hanya mempermainkan    engkau    saja,    dengan    meminta   kau

2 berlutut, dan memanggilku dengan sebutan Yaya tiga kali, aku hanya ingin melampiaskan kemendongkolanku, karena kalian pernah berusaha untuk merebut pedang Thiam Sim Kiam dari tangan kami, walaupun akhirnya usaha kalian itu gagal”

Muka Tok Liong Pian jadi tambah merah padam, saking sengitnya, kaki kanannya menyepak keras sekali kepada Tong Miauw Liang, sehingga Tong Miauw Liang menderita kesakitan. Namun dia tidak merintih, malah sebaliknya memperdengarkan suara tertawa mengejek, katanya kemudian sambil menahan sakit: “Tadi kau telah menjanjikan kepadaku, bahwa jika aku bicara terus terang, maka kalian akan membebaskan diriku yang tidak akan kalian siksa! Tapi sekarang, setelah aku bicara terus terang, mengapa engkau malah menyiksa diriku, heh?”

Tok Liong Pian telah menyahuti dengan bengis: “Kami bukan hanya menyiksa dirimu, tapi kami akan membinasakan kalian! Kali ini kutegaskan sekali lagi, kau ingin bicara secara terus terang atau tidak?”

“Jika tidak, apa yang ingin kalian lakukan?” tantang Liong Miauw Liang. “Aku bicara terus terang, aku memberitahukan bahwa aku memang sesungguhnya tidak mengetahui dimana bersembunyinya pendeta Say Ong Kiam itu, tapi kalian tetap mengatakan bahwa aku  berdusta. Alangkah baiknya jika memang aku berdusta saja dengan menyebutkan suatu tempat agar kalian pergi mencari pendeta itu dengan sia-sia !”

“Hemmmm, lidahmu itu akan kami potong!” menyahuti Tok Liong Pian.

“Memotong lidahku? Hahahahaha!” tertawa Tong Miauw Liang. “Enak sekali kau bicara, dengan memotong lidahku, berarti keterangan yang kalian kehendaki selamanya tidak akan kalian peroleh!”

“Tapi, didalam hal ini, kami bisa mencari pendeta keparat itu tanpa keteranganmu. Akhirnya kami tentu akan dapat menemui jejak pendeta keparat itu! Nah, Lojie, pergi kau potong lidah orang she Tong itu!” kata-kata Tok Liong Pian itu ditujukan kepada salah seorang kawannya.

Kawannya itu Lojie, telah mengiyakan, dia mencabut pedangnya dan kemudian telah melangkah menghampiri kearah Tong Miauw Liang yang masih rebah diam di salju.

“Buka mulutmu!” bentak Lojie.

“Hmmm......!” Tong Miauw Liang hanya mendengus saja dengan mata mendelik mengawasi Lojie dengan berani.

“Buka mulutmu!” bentak Lojie dengan suara yang bengis dan pedangnya telah dikebutkan, sehingga mendengung memperdengarkan suara yang nyaring sekali.

Tiba-2 saja Tong Miauw Liang telah meludahi muka Lojie.

Namun Lojie telah memiringkan kepalanya, sehingga dia menghindarkan ludah itu.

Bukan main gusarnya Lojie, ia telah menggerakkan pedangnya, akan mencongkel mulutnya Tong Miauw Liang.

Namun Tong Miauw Liang tetap berdiam diri. Ujung pedang itu mengenai mulutnya, sewaktu Lojie menghentaknya, mulut itu telah robek terluka oleh mata pedang.

Namun Tong Miauw Liang tidak merintih kesakitan, malah telah memperdengarkan suara tertawa dingin. Dengan berani sekali dia telah memperdengarkan suara tertawa mengejeknya berulang-kali, sama sekali dia tidak memperlihatkan perasaan jeri.

Sedangkan Lojie yang jadi penasaran bukan main, telah menggerakkan pedangnya lagi, dia telah menyontek mulut Tong Miauw Liang dengan ujung pedangnya, kemudian diapun mengulurkan tangannya yang satunya untuk membuka mulut Tong Miauw Liang dengan paksa. Waktu itu Tong Miauw Liang tengah rebah tidak berdaya sama sekali, tidak bisa berkutik, dengan sendirinya dia tidak bisa memberikan perlawanan. Dan ketika rahangnya dipijit, maka mulutnya terbuka. Namun Tong Miauw Liang berusaha untuk mengatupkan kembali mulutnya gagal. Pedang Lojie telah meluncur memasuki mulutnya.

Malah Lojie telah menggerakkan pedangnya itu, yang diputar-putar. Seketika terlihat darah meluncur keluar dari mulut Tong Miauw Liang.

Tong Miauw Liang pun menderita kesakitan yang luar biasa. Lidahnya memang tidak terpotong, namun telah terluka. Begitu juga seluruh dinding didalam mulutnya, telah terluka oleh mat, pedang itu, sehingga darah yang mengucur keluar sangat banyak sekali.

Waktu itu Lojie memperdengarkan suara tertawa dingin, tangan kirinya telah mencengkeram leher Tong Miauw Liang, dia mencekik dengan kuat.

Dicekik seperti itu, mulut Tong Miauw Liang terbuka lebar dan lidahnya yang berlumuran darah itu telah terjulur keluar.

Seketika pedang Lojie berkelebat. Lidah Tong Miauw Liang telah terpotong dan karena kesakitan yang tidak tertahan, Tong Miauw Liang telah berkelejatan dan kemudian pingsan tidak sadarkan diri.

Tok Liong Pian tertawa bergelak-gelak. Katanya: “Kita tunggu sampai dia tersadar kembali! Apakah dia masih tetap tidak mau memberikan keterangan dan berkepala batu seperti tadi?”

Setelah berkata begitu, Tok Liong Pian Kwee Cai In telah menoleh kepada seorang kawannya, katanya: “Pergi kau mengambil air!”

Dan kepada seorang kawan yang lainnya Tok Liong Pian lelah perintahkan mengeluarkan alat tulis.

Waktu kawan Tok Liong Pian yang seorang itu kembali dengan segayung air, yang segera disiramkan kepada Tong Miauw Liang, maka Tong Miauw Liang tersadar dari pingsannya.

“Sekarang kau mau memberikan keterangan baik-baik atau tidak? Disini kami telah sediakan alat-alat tulis, dan kau boleh menulis keterangan yang ingin kau berikan itu. Jika kau berani main-main dan berkepala batu lagi, hemmm. hmmm, kedua tanganmu itu akan kami potong putus!”

Tong Miauw Liang yang lidahnya telah dipotong, dimana untuk selanjutnya dia akan menjadi orang yang bercacad gagu, dengan demikian ia jadi nekad.

Dia berdiam diri saja menahan rasa sakit pada mulut dan lidahnya itu, dia telah memejamkan sepasang matanya dan berpikir, paling tidak dia akan dibinasakan oleh Tok Liong Pian. “Apakah engkau tetap tidak ingin memberikan keterangan yang kami kehendaki?” tanya Tok Liong Pian dengan bengis.

Tong Miauw Liang, telah berdiam diri saja. Sepasang matanya telah dipejamkan rapat2.

Tok Liong Pian mengulangi lagi pertanyaannya beberapa kali, karena tidak juga dilayani olehnya, dia jadi sengit, kaki kanannya menendang keras, kedada Tong Miauw Liang.

Seketika Tong Miauw Liang memuntahkan darah segar, karena dia telah terluka didalam.

“Cepat kau berikan keterangan yang kami kehendaki itu dengan menulis dikertas ini!'' perintah Tok Liong Pian, sedangkan kawan-kawan si Pecut Naga Berbisa itu telah memperdengarkan tertawa mengejek mereka.

Tong Miauw Liang tetap tidak melayani matanya tetap terpejam, Dia memang sudah berputus asa dan mengetahui bahwa dirinya sulit lolos dari kematian ditangan Tok Liong Pian, maka dia nekad dan hendak mengambil sikap diam saja agar Tok Liong Pian kalap dan membunuhnya. Karena jika memang dia tersiksa terus menerus sehingga tubuhnya bercacad, hidup selanjutpun tidak ada gunanya.

Tok Liong Pian yang rupanya teleh gusar bukan main, telah mengambil sebatang pedang dari kawannya, dia telah berkata dengan bengis: “Baiklah! Jika memang kau tetap tidak bersedia memberikan keterangan yang kami kehendaki, tanganmu itu akan kami buntungi!” Ancamannya itu disertai dengan menggerak-gerakkan pedangnya dimuka Tong Miauw Liang.

Tong Miauw Liang tetap memejamkan sepasang matanya, hal  ini  menambah kemarahan  Tok  Liong  Pian. Tahu-tahu pedang itu berkelebat dan tangan kiri Tong Miauw Liang telah tertabas buntung karenanya.

Bukan main rasa sakit yang meliputi tangan dan pundak Tong Miauw Liang, karena darahpun telah mengucur deras sekali.

Tok Liong Pian telah membentak lagi: “Jika memang engkau tetap membandel, maka tangan kananmu itu akan kubuntungkan juga!”

Kata-katanya itu telah diiringi dengen pedangnya yang teracungkan untuk menabas ke tangan kanan Tong Miauw Liang.

Waktu itu Tong Miauw Liang yang tengah menderita kesakitan bukan main, hanya bisa bersuara: “Uh, uh, uh, uh.” tidak sepatah katapun yang berhasil meluncur dari mulutnya, karena lidahnya memang telah dipotong putus. Sesungguhnya dia ingin mengatakan kepada Tok Liong Pian, jika memang Tok Liong Pian hendak membunuhnya, dia minta agar segera Tok Liong Pian membinasakannya tanpa perlu menyiksanya seperti itu. Namun sekarang, tidak sepatah perkataanpun yang berhasil dikatakannya.

Waktu itu Tok Liong Pian telah mendengus tertawa dingin, katanya: “Baiklah, manusia keparat berkepala batu seperti engkau memang patut diberikan ganjaran yang setimpal!” dan “sring!” pedang ditangannya bergerak lagi, menabas buntung tangan kanan Tong Miauw Liang. Dengan demikian, selain lidahnya telah dipotong putus, dan kedua tangan juga ditabas buntung, maka Tong Miauw Liang menjadi manusia cacad yang hanya memiliki sepasang kaki belaka.

“Kami tidak akan membunuhmu. Jika kubunuhmu itulah hal yang paling menyenangkan buat kau! Kami akan membiarkan kau hidup terus, tapi dengan keadaan seperti itu. !” kata Tok Liong Pian dengan suara yang bengis dan

kemudian dia tertawa bergelak-gelak dengan suara yang keras, lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu, meninggalkan Tong Miauw Liang yang menggeletak diatas tumpukan salju dengan darah berlumuran ditubuh dan disekitarnya,  sehingga warna salju disekitar Tong Miauw Liang pun berwarna merah

Dengan diliputi kemendongkolan dan penasaran, karena tidak sedikitpun keterangan yang diinginkannya dapat dikorek dari mulut Tong Miauw Liang, Tok Liong Pian mengajak kawan-kawannya meninggalkan rumah penginapan itu.

Keesokan paginya, gemparlah di rumah penginapan itu, kiranya pelayan rumah penginapan tersebut menemui Tong Miauw Liang menggeletak diatas tumpukan salju dalam keadaan yang mengenaskan. Sipelayan duga semalam setelah kedatangan perampok, yang telah menganiaya, Tong Miauw Liang segera mengangkat Tong Miang Liang ke kamarnya, untuk direbahkan diatas pembaringan. Tabib pun segera dipanggil oleh pemilik rumah penginapan.

Selama seminggu lebih Tong Miauw Liang rebah dipembaringan, akhirnya lukanya telah mengering dan berangsur sembuh. Lewat tiga hari lagi, lukanya itu benar- benar sembuh. Namun sekarang Tong Miauw Liang telah menjadi manusia bercacad, karena selain dia menjadi seorang yang gagu, juga tidak memiliki sepasang tangan lagi. Dia hanya memiliki sepasang kaki belaka, yang masih bisa dipergunakan untuk berjalan.

Bukan main penasaran dan sakit hati Tong Miauw Liang. Dia bersumpah didalam hatinya, selama dia masih bernapas dan selama dia masih memiliki kesempatan hidup, suatu waktu tentu dia akan mencari Tok Liong Pian, untuk membalas sakit hatinya ini.

Sore itu, Tong Miauw Liang mendatangi kuil Tong Kak Taisu. Sipendeta tua terkejut sekali waktu melihat keadaan Tong Miauw Liang seperti itu. Dengan menggunakan pit yang digigit oleh giginya, Tong Miauw Liang telah menulis kata-kata yang menceritakan apa yang telah dialaminya.

Tong Kak Taisu jadi menghela napas dalam-dalam, katanya dengan penuh penyesalan: “Hai, hai, siapa sangka pedang Thiam Sim Kiam memang selalu membawa peristiwa mengerikan seperti ini”

Tong Miauw Liang juga telah menulis nama Tok Liong Pian Kwee Cai In sebagai orang yang telah menganiayanya.

Tong Kak Taisu telah mengangguk, “Ya, Loceng kira, mereka tentu akan datang mengunjungi Loceng juga, karena akhirnya tokh mereka akan mengetahui juga bahwa keponakan muridku, Say Ong Kiam Kwie Bun Hosiang, berada dikuil ini!” kata Tong Kak Taisu sambil menghela napas.

Waktu itu, Say Ong Kiam juga telah datang menghadap Tong Kak Taisu. Pada Say Ong Kiam, Tong Kak Taisu telah menceritakan apa yang telah dialami oleh Tong Miauw Liang.

Mendengar semua itu, Say Ong Kiam telah menghela napas, mukanya merah padam, lalu katanya dengan sengit: “Jika memang Tok Liong Pian memiliki kepandaian, mengapa dia tidak langsung datang kemari untuk berurusan denganku atau paman guruku ini? Hmmmm. Siauwceng akan pergi mencari mereka untuk membalaskan sakit hati Tong Siecu!” Tapi Tong Kak Taisu telah menggerak-gerakkan tangannya, dia mencegah keinginan keponakan muridnya itu.

“Kelak merekapun akan datang kemari” kata pendeta tua itu. “Kau tidak perlu mencari mereka, Kwie Bun, biarlah nanti jika memang mereka telah mengetahui bahwa pedang Thiam Sim Kiam berada di tangan kita dan mereka datang kemari, kita baru memberi hajaran pada mereka, sekalian untuk membalaskan sakit hati Tong Siecu! Nah Tong Siecu, selanjutnya apa yang akan kau lakukan?”

Tong Miauw Liang telah menulis dengan mempergunakan giginya menggigit pit itu. Dia menulis kata-kata akan mencari Auwyang Toanio dan anaknya itu.

“Jika memang Tong Siecu mau mempercayai akan ketulusan hati kami, maka Auwyang Toanio dan anaknya itu biarlah diajak kemari saja, agar mereka dapat kami lindungi dari tangan-tangannya manusia busuk itu!”

Tong Miauw Liang berdiam diri tidak segera menyahuti, dia seperti berpikir sejenak.

Namun akhirnya dia mengangguk juga, dan menulis dengan pit digigit oleh gigi-gigi nya itu, bahwa dia mau mempercayai keselamatan Auwyang Toanio dan puteranya itu di tangan Tong Kak Taisu dan Say Ong Kiam.

Hal itu disebabkan Tong Miauw Liang pun berpikir bahwa dia telah menjadi manusia bercatad, dengan kedua tangannya telah buntung tiada, maka boleh dibilang seluruh kepandaian silatnya sudah tidak ada lagi, dan juga terbatas sekali yang dilakukannya. Karenanya, diapun yakin tidak mungkin bisa melindungi Auwyang Toanio dan puteranya itu lebih lanjut. Maka saran yang diberikan oleh Tong Kak Taisu telah disetujuinya. “Biarlah aku akan menjemput mereka!” tulis Tong Miauw Liang lagi.

Tong Kak Taisu menyetujui. Maka dengan diantar oleh Say Ong Kiam, Tong Miauw Liang telah pergi keluar Kangciu untuk menjemput Auwyang Toanio dan Sung-jie.

Namun ketika tiba di rumah penduduk di mana Auwyang Toanio dan Sung-jie dititipkan, ibu dan anak itu sudah tidak berada di situ. Sedangkan pemilik rumah itu tengah rebah dipembaringannya dalam keadaan babak belur terluka parah. Dari keterangannya yang terbata-bata, ternyata ditempat itu, dirumahnya, kemarin telah datang belasan orang, yang telah membawa Auwyang Toanio dan anaknya dengan cara paksa. Dan juga pemilik rumah itu telah dipukuli beramai-ramai, sehingga dia babak belur dan terluka parah, sebab ada beberapa orang “tamu” tidak di undang itu malah mempergunakan senjata tajam untuk melukainya.

Tong Miauw Liang jadi berduka bukan main. Dia telah ikut Say Ong Kiam mencari Auwyang Toanio dan Sung-jie disekitar Kangciu, namun jejak ibu dan anak itu tidak berhasil ditemukan, juga mereka telah menduga, bahwa belasan orang yang menculik ibu serta anaknya itu, tentunya Tok Liong Pian dengan kawan kawannya. Namun mereka pun tidak berhasil menemukan jejak Tok Liong Pian. Akhirnya keduanya telah kembali ke kuil Tong Kok Taisu.

Apa yang terjadi pada diri Auwyang Toanio dan Sung- jie, ibu dan anak itu? Ternyata dua hari sejak mereka menetap di rumah keluarga Cin itu, yaitu rumah penduduk dimana Tong Miauw Liang menitipkan mereka, maka malamnya telah terjadi urusan yang benar benar tidak mereka sangka. Karena disaat tengah malam, telah datang belasan orang, yang memaksa Auwyang Toanio dan Sung- jie ikut bersama mereka.

Auwyang Toanio telah bersikeras tidak mau ikut dengan mereka, dengan rnemeluki Sung-jie, mereka ibu dan anak telah duduk di lantai tidak mau bergerak, walaupun telah didorong dan ditarik dengan paksa.

Akhirnya salah seorang dari “tamu” tidak diundang itu telah menempeleng Auwyang Toanio dengan keras, kemudian menarik tangannya, dimana Auwyang Toanio dilontarkan ke luar rumah. Karena Auwyang Toanio memeluki anaknya itu erat-erat, dengan sendirinya mereka ibu dan anak telah terlempar berdua keluar. Untung saja waktu itu salju bertumpuk diluar rumah, sehingga mereka terbanting tidak sampai terkilir tangan maupun kakinya. Sambil menangis-nangis Auwyang Toanio telah berteriak- teriak memohon pertolongan. Tapi dimalam selarut itu, terlebih lagi rumah orang she Cin itu terpencil jauh dari rumah-rumah lainnya, tidak ada orang yang datang menolongi.

Hanya pemilik rumah itu yang berusaha melindungi Auwyang Toanio dan Sung-jie. Namun dia seorang yang lemah, tidak mengerti ilmu silat.

Maka Waktu dia digebuk beramai-ramai, dia hanya bisa menerima bogem mentah dari tikaman-tikaman dari orang itu yang membuatnya jadi babak belur dan terluka parah.

Lalu dengan paksa orang-orang itu telah menyeret Auwyang Toanio dan anaknya untuk dibawa pergi meninggalkan tempat itu.

Bukan main berdukanya Auwyang Toanio dia mengharapkan sekali kedatangan Tong Miauw Liang. Walaupun Tong Miauw Liang tidak seliehai kepandaian suaminya,  yang  diduga  telah  terbunuh  ditangan  orang- orang Im-mo-kauw, namun tetap saja jika Tong Miauw Liang waktu itu muncul, setidak-tidaknya bisa menolongi mereka ibu dan anak.

Namun Tong Miauw Liang tetap tidak pernah muncul, walaupun belasan orang itu telah membawa ibu dan anak sejauh dua puluh lie lebih. Mereka bukan menuju ke Kangciu, melainkan menuju kearah yang berlawanan, yaitu meninggalkan Kangciu.

Semua orang-orang itu, yang jumlahnya belasan orang, mengenakan topeng yang terbuat dari sutera hijau, dan muka mereka tidak bisa dilihat, hanya tampak bola mata mereka dari kedua lobang ditopeng masing-masing.

Auwyang Toanio dan Sungjin diberi seekor kuda, dan kuda itu dituntun oleh seorang dari belasan orang tersebut. Dan mereka melakukan perjalanan perlahan sekali, hanya disebabkan Auwyang Toanio dan Sung-jie tidak bisa melarikan kuda mereka dengan cepat.

“Hmmmmm, wanita ini telah berhasil kita bekuk, terutama anak itupun telah berhasil kita tangkap, tentu Kauwcu akan gembira menerima hasil pekerjaan kita kali ini....!” demikian seseorang dari mereka berkata dengan gembira sekali, waktu mereka telah tiba didekat sebuah tikungan dijalan iiu.

Yang lainnya mengangguk dan mengiyakan. Belasan orang itu telah melakukan perjalanan terus membawa Auwyang Toanio dan anaknya itu.

Sedangkan Auwyang Toanio sendiri menduga-duga, entah siapa adanya orang-orang ini, yang semuanya mengenakan topeng muka bewarna hijau tersebut.

Waktu itu salah seorang diantara mereka telah berkata: “Menurut hematku, alangkah baiknya jika memang wanita itu bersama anaknya kita totok saja, sehingga dengan membawa serta wanita dan anak itu disalah satu kuda kita, maka perjalanan bisa dilakukan jauh lebih cepat”

Beberapa orang diantara mereka menyetujui, tapi ada juga yang menyahuti: “Kita tidak perlu terlalu tergesa-gesa” katanya,

“Tapi kita harus cepat-cepat tiba ditempat kita, mencegah jangan sampai ada yang mengejar karena orang she Tong yang semula bersama-sama dengan wanita dan anak ini, tidak kita jumpai dirumah itu mungkin dia sedang pergi kesuatu tempat, dan dengan demikian, jika dia kembali dan tidak melihat wanita bersama anak ini, jelas dia akan segera mengejarnya”

Begitulah, beberapa orang diantara mereka segera berunding, dengan keputusan bahwa Auwyang Toanio dan Sung-jie harus ditotok, sehingga tidak mempersulit perjalanan mereka.

Setelah ditotok, Auwyang Toanio dan anaknya itu, Sung-jie, diikat diseekor kuda, dan kemudian tali kendalinya dipegang oleh salah seorang diantara mereka, dimana mereka sekarang bisa melarikan kuda masing- masing jauh lebih cepat dari sebelumnya.

Auwyang Toanio jadi penasaran bukan main, disimping ketakutan. Dia bersama-sama dengan Tong Miauw Liang memang berusaha untuk menyelamatkan Sung-jie, agar anak itu tidak tertimpa bencana dan malapetaka, menghindari diri dari musuh-musuh mereka. Namun sekarang, ibu dan anak itu telah terjatuh kedalam tangan dari orang-orang yang memakai topeng hijau itu. Dengan demikian, keselamatan mereka berdua, Auwyang Toanio dan Sung-jie sangat terancam sekali. Tapi mereka berdua, memang tidak berdaya sama sekali dan hanya bisa pasrah pada nasib, menantikan apa yang akan menimpa diri mereka......

Rombongan orang orang bertopeng kain sutera hijau itu melakukan perjalanan terus menuju ke barat, dan dalam waktu singkat telah dua puluh lie lebih lagi yang mereka lewati. Dan menjelang cahaya matahari pajar akan menyingsing, rombongan itu telah tiba di sebuah perkampungan yang tidak begitu besar.

Orang-orang itu telah melepaskan topeng sutera hijau mereka masing-masing, dan menyimpan topeng hijau itu. Auwyang Toanio dan Sung-jie dapat melihat jelas bahwa muka orang orang itu adalah muka-muka yang bengis menyeramkan dan bermacam-macam bentuknya, Apa yang panjang dengan kumis dan jenggot yang tumbuh lebat didagunya, atau juga dengan bentuk muka yang bulat seperti bahpauw. Namun ada persamaan diantara mereka, yaitu setiap leher mereka diganduli sebuah kalung yang gandulannya merupakan sebuah pedang pedangan kecil yang terbuat dari emas! Karena belasan orang itu mengenakan kalung yang serupa, dengan gandulan yang sama bentuknya, mungkin pedang-pedangan kecil yang terbuat dari emas berkilauan tertimpa sinar matahari pagi, adalah lambang dari perkumpulan mereka.

Ketika itu, rombongan orang-orang itu ingin membawa Auwyang Toanio dan Sung-jie memasuki perkampungan itu. Tapi dekat pintu kampung, waktu mereka hendak lewat, tampak duduk seorang pendeta yang mengenakan jubah warna putih, seputih salju yang bertumpuk disekitar tempat tersebut. Pendeta itu mungkin berusia empat puluh tahun lebih, kepalanya botak dan di depannya tampak mangkok Pan-uh, yaitu mangkok yang khusus untuk meminta derma, Juga ditangan kirinya memegang bokkie dan ditangan kanan pemukulnya, yang tengah diketuknya perlahan-lahan, mulutnya juga komat-kamit dengan perlahan membaca Liamkeng.

Ketika rombongan orang-orang itu akan lewat,  sipendeta telah membuka sepasang matanya yang sejak tadi terpejamkan dia juga telah berkata dengan suara yang sabar, diiringi oleh senyumnya: “Tuan-tuan yang berhati dermawan tentu tidak keberatan untuk memberikan derma satu atau dua taii perak kepada Siauwceng (pendeta miskin)”

Belasan orang itu hanya melirik saja, mereka mendengus dan tidak memperdulikan si pendeta,

Sipendeta mengawasi sambil senyum pada rombongan orang yang hendak memasuki perkampungan itu. ia me- ngetuk2 perlahan bokkie ditangannya, mulutnya juga berkata ”Hanya derma yang sedikit dari tuan-tuan, namun besar artinya buat Siauwceng tidakkah menaruh hasrat untuk bermurah hati memberikan derma?”

Memang belasan orang itu tidak mau mengacuhkan sipendeta, mereka melarikan kuda memasuki perkampungan itu.

Namun mata sipendeta tiba-tiba bersinar waktu melihat seorang wanita dan seorang anak lelaki terikat di seekor kuda, yang dalam keadaan tidak berdaya. Melihat keadaan wanita dan anak itu yam terikat seperti itu. sipendeta telah dapat menarik kesimpulan bahwa wanita, anak kecil itu merupakan manusia-manusia yang tidak berdaya dan menjadi tawanan dari belasan orang-orang yang bersama mereka. Sipendeta juga telah melihat wajah dari belasan orang tersebut yang bengis, dan keadaannya memperlihatkan bahwa mereka bukanlah manusia baik- baik. “Tahan..... tunggu dulu!” tiba tiba pendeta itu telah berseru dengan suara yang nyaring.

Waktu itu, dua orang yang berada didekat sipendeta, telah mendelik sambil tetap duduk dipunggung kuda masing-masing.

“Pendeta jembel, mau apa kau banyak rewel?” bentak mereka hampir berbareng, dengan sikap tidak senang.

Pendeta itu tetap duduk ditempatnya, namun dia tersenyum ramah, katanya sabar “Sudah menjadi peraturan Siauwceng, setiap orang yang ingin memasuki perkampungan ini harus memberi derma satu tail untuk Siauwceng, kalian berjumlah belasan orang berarti harus memberi derma belasan tail perak. Bagi siapa yang tidak mau memenuhi peraturan Siauwceng, maka orang itu tidak boleh memasuki perkampungan ini!”

“Pendeta edan!” teriak orang itu dengan mendongkol. “Aturan dari mana engkau pergunakan, sehingga setiap orang yang ingin memasuki perkampungan ini harus memberi derma satu tail untukmu?”

“Itulah peraturan Siauwceng dan tidak ada seorangpun yang boleh membangkang, karena jika memang ada orang yang tidak mau memenuhi peraturan Siauwceng, hmm, hem, sulit bagainya untuk pergi kesorga kelak di akhir kematiannya”

Walaupun berkata begitu, muka sipendeta berseri-seri, dia bersenyum ramah dan juga sikapnya sabar sekali.

Belasan orang itu mengerti, bahwa sipendeta ini yang memakai jubah putih, dan tampak mukanya segar memerah itu, tanpa memelihara kumis atau jenggot, merupakan pendeta bukan sembarangan, tubuhnya yang tegap itu memiliki  tenaga  yang  kuat.  Dengan  sengaja  menyebut- nyebut peraturan seperti itu tampaknya sipendeta memang tengah mencari-cari urusan dengan mereka.

Malah salah seorang dari belasan orang itu, yang rupanya menjadi pemimpin mereka telah memberi isyarat kepada dua kawannya yang berada didekat sipendeta. Kedua kawannya itu mengerti apa yang harus mereka lakukan, karena keduanya telah melompat turun dari atas kuda masing-masing dengan ringan sekali, tubuh mereka bagaikan dua ekor burung rajawali, belum lagi kedua kaki mereka hinggap diatas tumpukan salju, sepasang tangan mereka masing-masing telah bergerak akan mencengkeram pundak dan batok kepala sipendeta yang gundul pelontos itu.

Sipendeta sama sekali tidak berusaha mengelakkan serangan kedua orang itu, dia tetap duduk ditempatnya dengan tenang, dan ketika serangan hampir tiba, dia telah mengangkat kedua tangannya, dengan masih mencekal bokkie dan pemukulnya itu, dia mengambil sikap seperti memberi hormat. Dia juga telah mengucapkan kebesaran Sang Budha.

Luar biasa kesudahannya, karena kedua orang yang menyerang sipendeta itu malah telah mengeluarkan suara jeritan, waktu sepasang tangan mereka hampir tiba disasaran. mereka merasakan adanya tenaga menolak yang kuat sekali dan tubuh mereka telah terpental dan terguling- guling ditumpukan salju sejauh empat tombak lebih.

Kawan-kawannya yang lain jadi terkejut waktu melihat nasib kedua kawan mereka itu.

Mereka telah melompat turun dari kuda masing-masing dan berdiri mengelilingi sipendeta dengan sikap mengancam. Waktu itu merekapun telah membentak bengis: “Pendeta keparat yang hendak mencari mampus!”. Ada juga yang membentak: “Kau belum mengetahui siapa adanya kami, hei pendeta gundul keparat!”

Tapi pendeta berjubah putih itu tetap membawa sikap yang tenang. “Sudah Siauwceng katakan tadi, siapa saja yang tidak mau memenuhi peraturan yang telah Siauwceng adakan, niscaya tidak akan dapat memasuki perkampungan ini!”

“Peraturan gila!” teriak beberapa diantara mereka. “Apakah pintu perkampungan ini milik nenek moyangmu pendeta gundul, sehingga engkau hendak menarik pajak satu tail untuk setiap orang yang hendak memasuki perkampungan ini?”

Pendeta berjubah putih itu tetap membawa sikap yang tenang, dia berdiam diri saja sambil bersenyum-senyum. Sama sekali dia tidak memberikan jawaban,

Waktu itu, orang yang menjadi pemimpin dari rombongan orang tersebut telah menghampiri dengan langkah lebar, dia marah sekali. Begitu menghampiri dekat, kedua tangannya bergerak dengan cepat dan kuat sekali menghantam kearah dada dan kepala sipendeta.

Namun pendeta berjubah putih itu sama sekali tidak bangkit dari tempat duduknya. Dia meruang mengetahui bahwa gempuran kedua kepalan tangan orang ini kuat sekali, karena belum lagi tiba serangannya, angin pukulan menderu-deru kuat sekali. Pendeta itu hanya merangkapkan kedua tangannya sambil memuji kebesaran Sang Budha.

Suatu peristiwa yang sangat aneh lelah terjadi lagi. Walaupun pendeta itu tidak menangkis atau membalas menyerang, namun diwaktu itu orang yang menjadi pemimpin rombongan dari belasan orang tersebut, telah melompat-lompat sambi! menarik pulang kedua tangannya, karena dia menderita kesakitan bukan main, dia seperti juga memukul baja atau lempengan besi yang kuat sekali, bagaikan sekujur tubuh pendeta itu dilindungi oleh selapis dinding yang tidak tampak!

Dengan muka merah padam, orang yang menjadi pemimpin rombongan orang itu, yang lengah menderita kesakitan, telah membentak: “Pendeta keparat, ilmu siluman apa yang telah engkau pergunakan?”

Pendeta itu telah tersenyum sabar, katanya: “Omitohud! Sebagai pengikut Hudcouw yang setia, mana mungkin Siauwceng mempergunakan segala ilmu siluman!”

“Siapa sebenarnya kau, pendeta keparat?” bentak orang yang jadi pemimpin rombongan orang-orang tersebut, dengan suara yang bengis.

“Siauwceng Wan Sin Hweshio” menyahuti pendeta itu. “Hmm,    apakah    engkau    tidak    mengetahui  tengah

berhadapan  dengan  siapa?”  bentak  orang  itu  lagi.   “Kau

berani berlaku kurang ajar mencari urusan dengan kami, apakah engkau tidak sayang akan batok kepalamu?”

“Oh, oh, tentu saja Siauwceng sayang kepala Siauwceng ini” menyahuti Wan Sin Hweshio. “Dan lagi pula, tentu saja Siauwceng mengetahui tengah berhadapan dengan siapa karena memang Siauwceng masih memiliki sepasang mata yang bisa melihat dengan jelas, bahwa kalian adalah manusia-manusia biasa seperti juga halnya dengan Siauwceng. Benarkah dugaan Siauwceng bahwa kalian ini adalah manusia-manusia juga”

Bukan main mendongkol dan murkanya orang yang menjadi pemimpin dari belasan orang itu. Dia telah membentak menyeramkan: “Kami adalah orang-orang im- mo-kauw! Kau tahu Im-mo-kiuw? Kau pernah mendengarnya?.” Orang yang-meijadi pemimpin dari belasan Oraag tersebut menduga, begitu dia menyebut Im-mo-kauw tentu pendeta ini akan gemetar ketakutan. Tapi kenyataan bahwa pendeta itu malah telah merangkapkan kedua tangannya, dia menyebut akan kebesaran Sang Buddha, baru kemudian berkata ”Omitohud! Omitohud! Rupanya kalian orang- orang dari Im-mo-kauw. Lalu, jika sekarang Siauwceng telah mengetahui bahwa kalian adalah orang-orang Im-mo- kauw. lalu kenapa?”

Muka orang yang menjadi pemimpin belasan orang itu telah berobah mukanya semakin merah padam, bahkan telah berkata dengan suara yang lebih bengis: “Tidak ada seorang-pun yang berani membentur kami dapat hidup terus! Hmm, dengan adanya engkau yang demikian kurang ajar, tidak hujan tidak angin telah berani untuk mencari urusan dengan kami, maka tahukah kau apa hukuman yang akan kau terima dari kami?”

“Hukuman? Omitohud! Siancai! Siancau. Memangnya Siauwceng bersalah apa, sehingga harus menerima hukuman?” kata sipendeta dengan suara yang sabar. “Siauwceng tidak merasa melakukan dosa dan perbuatan yang melanggar hukum, mengapa harus menerima hukuman?”

Ditanggapi begitu terus menerus oleh si pindeta, Wan Sin Hweshio dan belasan orang itu semakin lama jadi semakin mendongkol dan murka, mereka telah mencabut senjata masing masing. Ada yang mencekal pedang, ada yang mencekal golok mereka. Semuanya bersiap untuk menyerang.

Sedangkan sipendeta tetap berlaku tenang dan duduk diam ditempatnya, hanya bola matanya yang telah memain. “Ai, ai, mengapa kalian ingin main-main dengan segala macam barang permainan anak2 seperti itu, bisa-bisa nanti tangan kalian terkilir....” suara sipendeta sangat sabar, dan diapun telah tersenyum-senyum, sama sekali dia tidak memperlihatkan perasaan jeri atau gentar menghadapi ancaman belasan orang yang telah mengepungnya dengan mencekal senjata tajam seperti itu. 

Dikala itu, Auvvyang Toanio dan Sung-jie yang berada diatas kuda dalam keadaan terikat bukan main kuatirnya, mereka kuatir kalau2 pendeta ini dicelakai oleh belasan orang itu. Sedangkan orang yang jadi pemimpin dari belasan orang tersebut, telah mencabuti pedangnya, dimana dengan pedangnya itu dia maju untuk menikam kepada sipendeta sambil bentaknya: “Pendeta keparat, kami bukan sedang bergurau denganmu!”

Pedangnya itu menyambar dengan cepat sekali, dan jika memang mengenai sasarannya, tentu pada dada sipendeta itu akan berlubang. Namun Wan Sin Hweshio malah membawa sikap yang tenang bagaikan tidak melihat datangnya serangan pedang yang meluncur ke dadanya, dia hanya sambil tertawa telah mengangkat pengetuk  bokkienya dan kemudian mengetuk perlahan pedang orang itu.

“Tringgg!”, pedang itu terbentur perlahan, namun kesudahannya hebat, dimana pedang itu telah terlepas dari cekalan tangan orang tersebut, terpental cukup jauh, menancap di tumpukan salju.

“Ai, ai, mengapa pedang itu kau buang?” tanya Wan Sin Hweshio sambil memperlihatkan sikap terheran-heran.

Sedangkan waktu itu, belasan orang lainnya telah menerjang maju dengan senjata tajam, mereka menyerang dengan hebat, menyerang berbagai jurusan dari bagian anggota tubuh yang mematikan Wan Sin Hweshio. Dengan demikian, berarti Wan Sin Hwe jhio terancam bahaya yang tidak kecil, karena dia dalam keadaan duduk bersila, sedangkan serangan datang dari berbagai jurusan.

Namun kenyataannya Wan Sin Hweshio dengan mudah dan perlahan-lahan menggerak gerakkan penggetok bokkienya, sehingga terdengar suara “tring, tring, tring”, beberapa kali, disusul oleh suara jerit kesakitan dari belasan orang itu, karena pedang dan golok mereka telah terpental oleh ketukan pemukul bokkie itu. Pedang mereka itu terlontarkan dan terlepas dari cekalan, menancap ditumpukan salju.

Belasan orang itu telah melompat mundur dengan wajah yang berobah pucat. Dengan adanya peristiwa itu, dengan sendirinya membuktikan bahwa pendeta ini memang benar- benar bukan pendeta sembarangan, memiliki kepandaian yang hebat sekali.

Setelah saling pandang satu dengan yang lainnya, belasan orang itu saling melompat keatas kuda mereka, untuk melarikan kuda mereka berlari meninggalkan sipendeta.

Namun sipendeta sama sekali tidak mau melepaskan orang-orang itu melarikan diri. Dia telah berseru. “Ai, ai, kalian hendak pergi kemana? Sudah Siauwceng katakan, sebelum memberikan satu tail seorangnya kepada Siauwceng, siapapun juga tidak diperbolehkan untuk memasuki perkampungan itu!”

Pendeta itu, Wan Sin Hweshio, bukan hanya berkata saja, karena diapun telah menggerakkan bokkie dan pemukulnya, yang digerak-gerakkannya dengan perlahan.

Namun dari bokkie dan pemukulnya itu berkesiuran angin yang kuat sekali. Dan yang luar biasa, belasan ekor kuda   itu   tahu-tahu   menekuk  kaki   empat  mereka, telah ngusruk, sehingga penunggangnya jadi terlempar ambruk di atas tumpukan salju. Waktu belasan ekor kuda itu telah bisa berdiri pula, belasan orang itu belum bisa melompat berdiri.

Dengan gusar, belasan orang merangkak bangun, mereka saling mengawasi satu dengan yang lainnya, kemudian orang yang menjadi pimpinan mereka telah berkata: “Baiklah pendeta keparat, kami akan selalu ingat pelajaran hari ini, kamipun akan ingat baik-baik gelaranmu, yaitu Wan Sin Hweshio! Hemmmm, kelak kita akan bertemu pula!” Dan dia telah mengambil kudanya, menuntunnya.

Dia bukan bermaksud hendak memasuki perkampungan itu lagi, melainkan mengambil kejurusan lainnya, karena dia batal memasuki perkampungan itu, Demikian juga halnya dengan kawan2nya, yang telah mengambil kuda mereka, melompat keatas kuda masing-masing, untuk meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin memaksa masuk ke dalam kampung itu, karena mereka tidak mau berurusan dengan pendeta yang liehai itu.

Salah seorang diantara mereka telah menuntun kuda dimana Auwyang Toanio dan Sung-jie terikat.

Tapi pendeta itu waktu melihat belasan orang tersebut hendak pergi, telah berkata: “Jika masuk tidak boleh tanpa membayar, pergipun tidak boleh tanpa membayar?” nyaring sekali suara sipendeta, sedangkan belasan orang itu jadi menoleh ke arahnya memandang dengan bengis dan salah tingkah.

“Sesungguhnya apa yang kau kehendaki?' bentak yang menjadi pemimpin mereka.

“Siauwceng menghendaki seorangnya kalian memberikan derma satu tail, tidak lebih juga tidak kurang.” menyahuti pendeta itu. Bola mata orang-orang itu jadi mencilak-cilak murka, namun mereka menyadari tidak mungkin mereka memberikan perlawanan.

Wan Sin Hweshio telah menunjuk kepada Ouwyang Toanio dan Sung-jie, katanya: “Jika memang kalian tidak memiliki uang untuk di dermakan kepada Siauwceng, maka mendermakan manusia pun juga Siauwceng tidak keberatan untuk menerimanya! Kalian tinggalkan wanita dan anak kecil itu, dan kalian boleh angkat kaki pergi meninggalkan tempat ini. ”

Muka belasan orang itu jadi berobah lagi. Mereka marah, penasaran, jeri dan kuatir menjadi satu. Sekarang mereka baru mengetahui bahwa pendeta ini ternyata mengincar kedua orang tawanan mereka. Dengan mencari cari urusan pada mereka, ternyata itu bermaksud merebut kedua orang tawanan mereka.

Tapi orang yang menjadi pemimpin belasan orang tersebut, yang ternyata merupakan orang-orang Im-mo- kauw, telah menggelengkan kepalanya. Katanya dengan suara nyaring: “Kami telah menjalankan tugas Kauwcu kami. Kedua orang ini, ibu dan anak, memiliki urusan sangat penting sekali dengan Kauwcu kami. Jika memang engkau menghendaki kedua orang ini, terlebih baik kau bicara langsung saja dengan Kauwcu kami, karena kami sama sekali tidak berani lancang menyerahkan begitu saja kedua orang ini padamu”

“Jika kalian tidak mau mendermakan uang juga keberatan untuk mendermakan kedua orang itu?” tanya Wan Sin Hweshio. Dia bertanya begitu, namun suara dan sikapnya tetap sabar, hanya matanya saja yang telah memancarkan sinar yang tajam. Orang-orang Im-mo-kauw tersebut yang telah mengetahui bahwa Hweshio ini memiliki kepandaian yang tinggi dan bukan menjadi tandingan mereka, telah ciut nyalinya, tapi yang yang jadi pemimpinnya segera merogoh saku, dia mengeluarkan lima belas tail perak, dilemparkan di dekat pan-ku sipendeta.

“Kami mendermakan uang saja. Kami berjumlah lima belas orang, maka kami menderma lima belas tail!” katanya.

“Kurang!” sahut sipendeta.

“Kurang?” tanya pemimpin rombongan orang Im-mo- kauw tersebut sambil mengerutkan alisnya. “Bukankah engkau sendiri yang mengatakan bahwa kami seorangnya harus mendermakan satu tail perak? Kami semuanya berjumlah lima belas orang, bukankah kami harus menderma lima belas tail perak?”

Wan Sin Hweshio menggeleng. “Bukan!” sahutnya. “Jumlahnya kurang” katanya kemudian.

“Mengapa kurang? Kau hitung sendiri, kami semuanya berjumlah lima belas orang”

“Benar, tapi tadi Siauwceng harus mengeluarkan tenaga, lihatlah.... pemukul bokkie Siauwceng telah gempal, untuk memperbaikinya tentu harus mengeluarkan biaya dua belas tail. Lalu ujung jubah Siauwceng telah kotor, jika harus dicuci, tentu harus mengeluarkan biaya cucinya dua tail perak. Kemudian tadi Siauwceng telah mempergunakan tenaga yang cukup banyak, sehingga agar pulih kembali tenaga Siauwceng, maka harus makan yang banyak. Untuk membeli makanan Siauwceng tidak cukup enam tail perak! Nah, dengan demikian kalian harus menambah dua puluh tail perak lagi, untuk menutupi semua ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan oleh Siauwceng. ” Muka pemimpin rombongan orang-orang Im-mo-kauw itu berobah merah, karena dia mengetahui bahwa alasan yang dikemukakan oleh si pendeta hanyalah dicari-cari.

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar