Pertemuan di Kotaraja Bab 20 : Gugurnya Bibi iblis

20. Gugurnya Bibi iblis.

Sebelum berlalu dari situ, Ci Yau-hoa juga sesumbar akan menangkap si Tanpa perasaan, tentu saja Ui Thian-seng semakin gelisah, sedemikian gelisahnya ibarat semut di atas kuali panas, apa mau dikata mereka sama sekali tak mampu berkutik.

Kemudian dari kejauhan berkumandang suara pekikan lengking yang menusuk pendengaran, manusia aneh berbaju putih dan hijau segera menunjukkan wajah gelisah bercampur panik, setelah saling bertukar pandang sekejap, mereka pun mengeluarkan suara pekikan nyaring lalu pergi meninggalkan gua dan tak pernah balik lagi. .

Sungguh tak terlukiskan rasa gembira Ui Thian-seng setelah berjumpa dengan Ciu Pek-ih, pembicaraan di antara mereka seakan tiada habisnya, sambil tertawa getir Ui Thianseng baru berkata kepada si Tanpa perasaan, "Tadinya kusangka kau pasti ikut tertawan karena tidak mengira nenek siluman itu ternyata adalah Mo-kouw si Bibi iblis, tak terlukiskan rasa cemas dan gelisahku, tadi aku sempat kaget juga ketika mendengar suaramu berkumandang dari luar gua

... wah, kau memang hebat, sudah waktunya orang lama di dunia persilatan harus diganti dengan gelombang jago-jago generasi baru."

"Padahal aku sendiri pun sudah ditangkap Ci Yau-hoa, coba kalau bukan Si Ku-pei yang muncul di luar dugaan, tak nanti aku bisa meloloskan diri," ujar si Tanpa perasaan.

"Ketika melihat kau tak mampu membebaskan jalan darah kami dan segera pergi mencari bala bantuan, sebenarnya kami sendiri pun merasa kuatir dan bermandikan peluh dingin, kami kuatir siluman perempuan itu datang duluan dan kemudi.m menyerang kau secara tiba-tiba, saat itu kami akan jadi manusi.i berdosa karena telah mencelakaimu." Tanpa perasaan segera tertawa.

"Untung kejadian itu tidak sampai kita alami ... yang jelas, aku justru terlibat pertempuran yang cukup alot melawan jago-jago tangguh dari Pak-shia di kuil Liu-ho-an."

"Ceritanya begini," Ciu Pek-ih segera menjelaskan, "sewaktu saudara Tanpa perasaan menerjang masuk ke dalam kuil Liu-ho-arv, dia bertemu dengan beberapa orang saudara kami, semua orang mengira dia adalah jagoan yang dikirim Mo-kouw untuk menyergap kami sehingga pertempuran sengit pun tak bisa dihindari. Kemudian setelah pertarungannya melawan Tio-huhoat, Him-huhoat, Phang-huhoat dan Kohuhoat dibantu Pek Huan-ji belum juga menghasilkan menang kalah, aku segera tahu dia pasti bukan satu komplotan dengan si Bibi iblis."

"Tanpa perasaan sebenarnya bukan orang yang tanpa perasaan," sela Ui Thian-seng, "dia sesungguhnya seorang jago yang berhati welas-asih dan baik hati ... ah benar, selain pelindung hukum Him, Phang, Ko dan Tio, apakah enam orang pelindung hukum lainnya juga dalam keadaan baik-baik?"

"Kekuatan yang dimiliki Pak-shia saat ini tersisa seratusan orang, itupun hanya enam puluhan orang yang masih mampu bertempur," sahut Ciu Pek-ih sedih, "Pelindung hukum Thay, Kwan, Leng dan lainnya enam orang telah gugur di medan laga! Ai, Pak-shia benar-benar tertimpa musibah besar kali ini, aku Ciu Pek-ih jadi tak punya muka untuk bertemu dengan leluhur! Sekarang aku hanya berharap bisa secepatnya membantai semua kawanan iblis itu, kemudian, berusaha mati-matian untuk membangun kembali Pak-shia!"

"Sebenarnya sasaran yang dituju keempat iblis Su-toathian-mo di dunia persilatan kali ini bukan hanya Pak-shia saja, mereka bahkan mengincar juga Say-tin, Lam-ce maupun benteng kami, bahkan mau melibas seluruh dunia persilatan, Pak-shia tak lebih hanya merupakan sasaran mereka yang pertama. Aku dengar Lam-ce serta Say-tin juga sudah menjumpai musuh tangguh yang luar biasa, itulah sebabnya kenapa kekuatan benteng kami terpaksa harus dibagi tiga dengan mengirim sepertiga kekuatan untuk menolong yang lain ....

"Aku rasa dalam peristiwa ini kita tak bisa menyalahkan siapa pun, aku percaya keluarga persilatan mana pun dari kita empat keluarga besar, jangan harap bisa membendung serangan Su-toa-thian-mo seorang diri....

"Contoh yang jelas adalah kekuatan kami yang begitu banyak dan kuat, sekalipun akhirnya kami berjiasil menghancurkan empat iblis langit, namun sepertiga kekuatan yang kami bawa telah menjadi korban, sekarang yang tersisa pun tinggal Khong tua dan It-kang, sementara lima pelindung hukum kami Lu, Yu, Yan, Li dan Yau-huhoat ditambah si Han tua dan kacung baju hijau telah menjadi korban keganasan mereka, dalam kejadian ini, aku harus menyalahkan siapa?

Kecuali mengubah kesedihan menjadi kekuatan, apa lagi yang bisa kuperbuat? Justru yang penting saat ini adalah menggunakan kejadian ini sebagai dasar, kita himpun kembali kekuatan dan membasmi kawanan iblis itu untuk membalaskan dendam bagi rekan-rekan kita yang telah gugur."

"Terima kasih atas nasehat paman," sahut Ciu Pek-ih sedih. Mendadak terdengar Chin Ang-kiok berseru, "Bukankah tadi kau mengatakan bahwa sisa kekuatan Pak-shia masih tertinggal di kuil Liu-ho-an dengan persediaan rangsum yang terbatas? Kenapa kita tidak segera berangat ke sana sambil berusaha membantu mereka?"

Biarpun Chin Ang-kiok adalah seorang jagoan yang dingin dan angkuh, sesungguhnya dia masih memiliki perasaan yang lembut, paling tidak masih mau menaruh perhatian atas penderitaan orang lain, tidak seperti Ci Yau-hoa, tampangnya penuh welas asih padahal hatinya keji bagaikan ular berbisa.

"Aku bermaksud naik gunung lebih dulu, aku ingin tahu bagaimana hasil pertarungan antara Mo-kouw melawan si Pentolan iblis," kata si Tanpa perasaan.

"Paling bagus lagi bila mereka sama-sama terluka parah, jadi kita tinggal datang untuk membereskan mereka secara mudah," sambung Yau It-kang.

"Ayo, kita berangkat," sambung Ciu Pek-ih.

"Baiklah, cuma kalian mesti hati-hati, orang bilang 'ulat berkaki seribu, biar sudah mati badan tidak kaku', kekejian Bibi iblis maupun Pentolan iblis sudah cukup kita ketahui bersama, lebih baik bila kita bertindak lebih hati-hati."

"Sewaktu kau bertempur melawan Pentolan iblis Si Ku-pei, aku dapat melihat bahwa kau memiliki kemampuan untuk menangkan iblis itu," ujar Ui Thian-seng, "asal kekuatan kita bersembilan bergabung dan turun tangan bersama, aku yakin kita pasti sanggup merobohkan mereka."

Tanpa perasaan menghela napas panjang, katanya, "Walaupun Ci Yau-hoa berada dalam kondisi terluka parah, namun begitu dia turun tangan, aku dapat merasakan kepandaian silat yang dimilikinya jauh di atas kemampuan Si Ku-pei, untuk merobohkan Si Ku-pei, jelas kekuatan kita lebih dari cukup, justru yang ditakuti adalah kalau kita gagal merobohkan perempuan itu."

"Biarpun Ci Yau-hoa tetap merupakan musuh tangguh yang menakutkan," sela Pek Huan-ji, "bukankah matanya sudah buta sebelah? Apalagi dia sudah bertarung sekian lama melawan Si Ku-pei, aku tidak yakin sisa kekuatan yang dimiliki masih demikian menakutkan seperti apa yang digembargemborkan dalam dunia persilatan selama ini."

"Yang kita takuti bukan melulu Ci Yau-hoa seorang," kata Ciu Pek-ih menambahkan, "konon dia memiliki seribu orang 'manusia obat' yang tunduk di bawah komandonya, kekuatan itulah yang benar-benar menakutkan."

Di bawah sinar rembulan yang mulai tenggelam di langit barat, pintu gerbang kota Pak-shia berada dalam posisi setengah terbuka, suasana mengerikan serasa menyelimuti seluruh tempat, gerbang kota terasa bagaikan gerbang pintu neraka yang menjadi perjalanan akhir umat manusia, pintu neraka yang sedang menanti kedatangan mereka semua.

Siapa pun tak tahu jagoan macam apa yang bersembunyi di balik pintu gerbang itu, tidak tahu apa yang telah mereka persiapkan untuk menyongsong dan menungga kedatangan mereka.

Tapi sekarang, jagoan macam apapun yang bersembunyi dan siap menghadang di situ, ancaman itu tidak menyurutkan niat rombongan Tanpa perasaan untuk menuntut balas.

Ciu Pek-ih, Pek Huan-ji bersama Chin Ang-kiok dan tiga dayang pedang melesat ke sisi kiri dinding kota dengan kecepatan tinggi, sedangkan Ui Thian-seng, Khong Bu-ki dan Yau It-kang bagaikan sambaran kilat menerjang ke sisi kanan tembok kota.

Pada saat bersamaan empat bocah pedang perak dan emas menendang pintu gerbang kota hingga terpentang lebar, lalu dengan menggotong tandu yang berisi Tanpa perasaan menerjang masuk ke dalam kota.

Mereka menerjang masuk dalam waktu bersamaan, namun secara bersamaan pula mereka semua dibuat tertegun.

Ternyata tak ada manusia hidup di dalam kota itu, yang ada hanya orang mati.

Tampak sesosok mayat melesak di atas dinding kota beberapa kaki dari permukaan tanah, dinding batu yang tertumbuk punggungnya nampak hancur berantakan. Daging punggung orang itupun kelihatan menonjol keluar, namun dada dan perutnya justru melesak ke dalam, jelas sebuah pukulan dahsyat telah menghancurkan tulang dada dan perutnya hingga menekan tulang punggungnya menonjol keluar.

Bukan hanya begitu, saking kuat dan dahsyatnya tenaga pukulan itu, darah kental nampak meleleh keluar dari tujuh lubang inderanya, sebuah biji mata nampak melompat keluar dari balik kelopaknya, garis merah memenuhi bola mata itu, sementara sebiji bola mata yang lain nampak tergantung di atas pipinya lantaran kena jotosan yang sangat kuat, dua bercak darah kental meleleh keluar membasahi seluruh wajahnya.

Kematian orang ini sangat menyeramkan, mulutnya terpentang lebar tapi dipenuhi dengan cairan darah ... tampaknya sebelum orang itu sempat mengeluarkan suara jeritan, pihak lawan telah menghajarnya lebih dulu hingga mampus.

Ternyata orang itu tak lain adalah si Pentolan iblis Si Kupei!

Dilihat dari keadaan jenazah Si Ku-pei, dapat disimpulkan bahwa dadanya kena sebuah pukulan secara mendadak ketika sedang bertarung sengit di tengah udara, sedemikian dahsyat dan kuatnya tenaga pukulan itu membuat badannya mencelat ke belakang, tapi pihak lawan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bertukar napas, baru sampai setengah jalan, musuh telah menyusul tiba dan secara beruntun melepaskan pukulan berantai di atas dadanya, hingga membuat punggungnya menumbuk tembok kota dan melesak ke dalam.

Dari kejadian ini bisa disimpulkan bahwa orang itu menaruh rasa benci dan dendam yang luar biasa terhadap dirinya, sebelum lawannya tewas dia enggan menghentikan serangannya.

Bila Si Ku-pei terbukti mati, berarti Ci Yau-hoa masih hidup.

Padahal si Pentolan iblis telah membokong Ci Yau-hoa hingga iblis wanita itu kehilangan sebelah matanya, namun kenyataan dia tetap menderita kekalahan yang mengenaskan, dari sini bisa disimpulkan kalau kepandaian silat yang dimiliki perempuan itu memang luar biasa.

Di atas dinding kota persis di atas jenah Si Ku-pei tergeletak lagi sesosok mayat, orang itu tak lain adalah satu di antara empat siluman yang menyaru sebagai 'Tiau sin', tengkuknya nyaris patah, darah segar bercucuran menggenangi seluruh dinding, tangan kanannya dalam keadaan setengah terangkat, tapi di situ pun terlihat bekas luka kaitan, pergelangan tangan itu nyaris kutung bahkan kulit tangannya pun ikut terkelupas.

Tampaknya dalam pertarungan yang sengit antara Tiau sin' melawan si Peronda selatan Api setan kaitan pencabut nyawa Cho Thian-seng, tengkuknya berhasil digaet oleh senjata lawan secara telak, dalam panik dan gugupnya ia gunakan tangan telanjang untuk merebut kaitan itu, akibatnya lengan itu tersayat hingga kulitnya mengelupas, bahkan pergelangan tangannya nyaris putus.

Di depan pintu gerbang kota kembali dijumpai sesosok, mayat, wajah mayat itu menghadap keluar kota dan terkapar di tanah dengan dua lubang penuh cucuran darah di atas punggungnya, dilihat dari luka itu diperkirakan 'Nyo Su-hay' yang bertarung sengit melawan si Peronda utara si setan gantung putih akhirnya terdesak hebat sehingga dia berusaha kabur keluar kota, siapa tahu punggungnya malah terhajar sepasang Boan-koan-pit lawan hingga akhirnya malah mati secara mengenaskan.

Kini si pentolan iblis Si Ku-pei telah tewas di tangan Ci Yauhoa, sementara sepasang siluman anak buahnya juga sudah mampus di tangan sepasang peronda dari iblis wanita itu, boleh dibilang kekuatannya kini sudah musnah.

Tapi dimana Ci Yau-hoa saat ini? Dia bersama Cho Thianseng dan Jui Kui-po telah pergi kemana?

Mendadak paras muka si Tanpa perasaan berubah hebat, serunya nyaring, "Cepat kita balik ke kuil Liu-ho-an!" Paras muka Ciu Pek-ih turut berubah hebat, dia yang meluncur pergi paling dulu.

Ketika Ci Yau-hoa berhasil membunuh Si Ku-pei tadi, dengan sendirinya dia pasti akan berusaha untuk membunuh si Tanpa perasaan, tapi ketika ia tidak menemukan jejak anak muda itu, dia pasti akan menduga pemuda itu pergi mencari sisa pasukan Pak-shia.

Tahu akan hal ini, bisa dipastikan perempuan iblis itu berusaha menghalangi niat si Tanpa perasaan, atau dia mendahului datang ke kuil Liu-ho-an dan berusaha menggempurnya lebih dahulu daripada meninggalkan bibit bencana di kemudian hari.

Mimpi pun Ci Yau-hoa tidak menyangka kalau si Tanpa perasaan berhasil menentukan arah tujuan yang benar hanya berdasarkan asal suara pekikan yang dikumandangkan dua orang perondanya, bukan saja ia berhasil menemukan Ui Thian-seng, malah berhasil juga bertemu dengan Ciu Pek-ih dan mengajaknya berangkat membantu Ui Thian-seng.

Pada saat si Tanpa perasaan mengajak Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji sekali lagi berkunjung ke gua batu itu, saat itulah Ci Yau-hoa dengan mengajak sepasang perondanya ditambah dengan empat-lima puluhan orang 'manusia obat' melancarkan serangan ke kuil Liu-ho-an dengan sepenuh tenaga.

Padahal waktu itu tinggal Pelindung hukum Him, Tio, Ko dan Phang yang menjaga kuil Liu-ho-an, bahkan Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji pun sedang tidak berada di tempat, dengan kekuatan sekecil ini mana mungkin mereka sanggup membendung serbuan yang menakutkan itu?

Tak heran paras muka semua orang berubah hebat, tanpa banyak bicara lagi segera berangkat menuju ke kuil Liu-ho-an.

Dari kejauhan tampak bangunan kuil Liu-ho-an masih berdiri angker di balik kegelapan, hanya bedanya saat ini adalah sekeliling bangunan itu sudah tidak lagi memancarkan hawa pembunuhan yang menggidikkan, sebagai gantinya terasa hawa dingin yang merasuk ke tulang. Apalagi bagi Ciu Pek-ih, dia semakin merasakan hawa dingin yang mencekam perasaan hati itu.

Kini di sekeliling kuil Liu-ho-an sudah tidak dijumpai seorang manusia hidup pun, yang berserakan di depan kuil hanya mayat-mayat yang penuh berlepotan darah, begitu juga dalam ruang kuil serta di belakang halaman kuil, mayat serasa membukit di tempat itu.

Mayat pertama yang dijumpai tergeletak di depan kuil adalah mayat Pelindung hukum Him, lelaki bersenjata gada itu mati dengan sepasang mata melotot, tengkuknya nampak berubah bentuk jadi lebih sempit dan kecil, kelihatannya dia mati karena dijerat selembar kain yang mencekik tengkuknya.

Tapi kemana perginya pelindung hukum Phang, Ko dan Tio?

Sekali lagi sepasang mata Ciu Pek-ih berbinar, sebab jumlah mayat yang tergeletak di sekeliling kuil itu paling cuma tiga puluhan sosok dan kebanyakan merupakan mayat mereka yang sebelumnya memang sudah terluka atau yang sama sekali tak mengerti ilmu silat.

Kemana perginya yang lain?

"Mereka mengundurkan diri lewat jalanan ini!" tiba-tiba terdengar si Tanpa perasaan berseru dari belakang kuil.

Ui Thian-seng dan Ciu Pek-ih segera melompat ke sana, benar juga terlihat di belakang kuil tampak sederet pepohonan telah tumbang ke sana kemari, tapi di antara kayu yang tumbang itu membujur sebuah jalan tembus langsung ke bagian bukit sebelah belakang, di atas jalan setapak itu penuh dengan bekas telapak kaki yang kacau, dinodai pula dengan bercak darah.

Bagaimanapun juga pelindung hukum Phang, Ko dan Tio termasuk jago silat yang banyak pengalaman, setelah sadar kekuatan mereka mustahil dapat membendung serbuan musuh yang begitu tangguh, mereka putuskan untuk mundur melalui pintu belakang kuil. Menanti rombongan Ci Yau-hoa yang berkumpul dan bertempur sengit di depan kuil menyadari hal itu, keadaan sudah terlambat.

Tentu saja keberhasilan ini tak lepas dari kerelaan pelindung hukum Him beserta sekelompok jagoannya untuk memancing serta mengalihkan perhatian musuh, tapi untuk tindakannya itu pelindung hukum Him dan anak buahnya harus gugur di medan laga

Ketika Ci Yau-hoa akhirnya menemukan arah ?jalan yang digunakan mereka untuk melarikan diri, pengejaran pun segera dilakukan.

Orang-orang Pak-shia harus mundur dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka dan kaum tua serta anakanak, bagaimana mungkin mereka bisa kabur dengan cepat7 Mana mungkin mereka bisa lolos dari kejaran kawanan pembunuh sadis itu?

Ditinjau dari keadaan di lapangan, nampaknya sudah terjadi perubahan watak pada diri Ci Yau-hoa setelah matanya buta sebelah, sekarang dia sudah tak berminat lagi untuk menangkap hidup kawanan jago dari Pak-shia untuk dijadikan 'manusia obat', yang terpikirkan olehnya saat ini adalah bagaimana membasmi mereka, rasa dendam dan sakit hatinya karena kehilangan sebelah mata dilampiaskan ke tubuh kawanan jago dari Pak-shia yang sebenarnya sama sekali tak bersalah itu.

Rombongan Tanpa perasaan segera berangkat dengan kecepatan tinggi, mereka hanya berharap bisa menghadang dan mencegat Ci Yau-hoa terlebih dulu, serta berduel matimatian melawan iblis wanita ini sebelum mereka berhasil menjumpai sisa kekuatan dari Pak-shia serta membasminya.

Kini mereka sudah menemukan mayat yang keempat belas.

Jalan setapak itu semakin ditelusuri semakin terjal, bukan saja jalannya sempit dan licin bahkan dikelilingi tebing batu karang yang tinggi, terjal dan tajam. Sepanjang jalan setapak itu mereka telah menemukan dua belas sosok mayat dari kawanan jago Pak-shia ditambah dua sosok mayat dari manusia obat.

Sepasang mata Ciu Pek-ih sudah berubah jadi merah, tampaknya Ci Yau-hoa dan rombongan telah berhasil menyusul kawanan jago dari Pak-shia. Para jago dari Pak-shia harus kabur sembari berusaha membendung serangan yang tiba, tapi setiap kali bertarung melawan kawanan manusia obat, korban yang berjatuhan semakin bertambah banyak.

Tiba-tiba si Tanpa perasaan bertanya, "'Sebenarnya jalanan ini tembus kemana?"

Rupanya secara tiba-tiba ia melihat ada empat huruf besar terukir di atas tebing berbatu tajam itu, tulisan itu berbunyi: 'Sik-bun-kun-soat', pintu batu salju bergelindingan.

"Jalanan ini langsung tembus ke pintu utara kota Po-shia, jaraknya kurang lebih dua puluh li dari Pak-be-thou" sahut Pek Huan-ji.

Berkilat sepasang mata si Tanpa perasaan, serunya kemudian, "Kalau bisa masuk ke kota Po-shia, mungkin kita bisa memaksa Ci Yau-hoa bertempur habis-habisan.'»

"Semoga kita benar-benar bisa berduel melawan perempuan iblis itu di kota Po-shia," kata Ui Thian-seng dengan suara dalam.

Kota Po-shia penuh dengan rumput kering dan ranting pohon yang mulai layu, hawa panas serasa menusuk hingga ke balik kulit.

Kota itu dikelilingi tebing berbatu yang tinggi, terjal dan tajam, di punggung bukit terjal itulah terlihat ada sekelompok manusia sedang melangsungkan pertarungan mati hidup.

Ketika Tanpa perasaan dan rombongan tiba di tempat itu, kebetulan terdengar suara jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang memecah keheningan, tampak seorang perempuan bermata satu sedang menghujamkan kelima jari tangannya yang runcing dan tajam ke atas dada Pelindung hukum Tio. Kawanan jago Pak-shia lainnya sambil mengertak gigi sedang bertarung sengit melawan sekelompok manusia, ada empat puluhan 'manusia obat' sedang mengepung dan menyerang mereka secara kalap.

Ciu Pek-ih merasa darah dalam rongga dadanya mendidih setelah menyaksikan kejadian itu, dengan mata memerah ia membentak nyaring, "Perempuan siluman, jangan kurangajar kau

Tubuh berikut pedangnya langsung menerjang ke tebing itu, baru saja tubuhnya mendekati Ci Yau-hoa, mendadak terlihat sesosok bayangan hijau melintas, menyusul kemudian terlihat munculnya tiga titik cahaya hijau menyerang dari atas, tengah dan bawah tubuh pemuda itu.

Berada di tengah udara, Ciu Pek-ih segera mengayun senjatanya, tampak bianglala putih membelah bumi, dengan tiga kali egosan yang cekatan ia menghindarkan diri dari ancaman ketiga titik cahaya hijau itu, sementara pedangnya tetap terarah ke tubuh Ci Yau-hoa.

Sekali lagi bayangan hijau berkelebat, dua kaitan emas menyambar tiba dari tengah udara, langsung membendung serangan pedang Ciu Pek-ih.

Menghadapi serangan itu Ciu Pek-ih mendengus dingin, pedangnya berputar, begitu ditarik ke belakang, satu tusukan kembali dilancarkan, kali ini dia menyerang jalan darah Bunteng-hiat dan Tiau-huan-hiat di tubuh orang berbaju hijau itu, kemudian sambil membalik tangan ia lepaskan lagi serangan yang ketiga menusuk Kui-wi-hiat di punggung lawan.

Perlu diketahui jalan darah Bun-teng-hiat letaknya di atas ubun-ubun, Tiau-huan-hiat berada di tumit sementara Kui-wihiat berada di punggung belakang.

Dalam waktu singkat Ciu Pek-ih telah melancarkan tiga serangan tanpa mengubah posisinya, tiga serangan dengan tiga sasaran berbeda, satu serangan maut yang hakikatnya susah dipercaya dengan akal sehat. Menghadapi datangnya ancaman maut itu, orang berbaju hijau itu tidak bermaksud menghindar atau berkelit, sepasang kaitannya malah langsung digaetkan ke tenggorokan lawan.

Dia rupanya sudah bersiap mengadu jiwa untuk menghadapi ancaman musuhnya itu.

Menghadapi manusia nekad macam begini, terpaksa Ciu Pek-ih harus menarik kembali serangannya, dia cepat

melancarkan serangan, cepat pula menarik kembali serangannya, bahkan dengan satu perubahan jurus yang jauh lebih cepat lagi dia tangkis datangnya dua serangan maut lawan.

"Tring, tring!", tahu-tahu sepasang kaitan itu sudah terpental ke samping.

Semua serangan orang itu segera tertangkis, namun serangan yang dilancarkan Ciu Pek-ih ikut terhenti sesaat.

Setelah terjadinya bentrokan itu, masing-masing sudah mempunyai perhitungan sendiri atas kemampuan lawannya, sambil tertawa dingin Ciu Pek-ih segera menegur, "Setan api kaitan pencabut nyawa Cho Thian-seng?"

Cho Thian-seng mendengus dingin. "Jadi kau adalah Shiacu dari Pak-shia, Ciu Pek-ih?" ia balik menegur.

Pada saat Ciu Pek-ih melompat masuk ke dalam arena pertarungan tadi, Pek Huan-ji ikut terjun ke dalam arena, tapi baru saja dia akan melibatkan diri dalam pertarungan, mendadak terlihat ada bayangan putih berkelebat, menyusul kemudian seorang berkata dengan suara dingin, "Bocah ayu, mau apa kau kemari? Mau mengantarkan badanmu yang montok untuk memuaskan napsuku?"

Tak terlukiskan rasa gusar Pek Huan-ji, pedangnya segera dibalik sambil menyabet ke depan, sekilas serangan itu tidak nampak aneh atau hebat, padahal di balik, kecepatan yang luar biasa tersembunyi kekuatan serangan yang luar biasa, serangan itu langsung menggulung ke tubuh orang itu.

Orang itu mendengus dingin, dia tak lain adalah si Setan gantung putih Jui Kui-po, sambil menghimpit pedang Pek Huan-ji dengan sepasang Boan-koan-pitnya, kembali ia tertawa sesat, "Kau tahu apa nama jurus seranganku ini?"

Merah padam wajah Pek Huan-ji karena jengah, tiba-tiba dia lepas tangan, dengan sepasang tinjunya dia melancarkan serangkaian pukulan berantai.

Jui Kui-po tidak mengira sikapnya yang kelewat memandang enteng lawan berakibat fatal, baru saja tangannya terasa enteng, tahu-tahu iga kiri dan kanannya sudah terhajar pukulan, saking keras dan sakitnya pukulan itu membuat ia terhuyung mundur sejauh tujuh delapan langkah.

Sementara dia masih mengaduh kesakitan, kembali Pek Huan-ji membalikkan tangannya menyambar kembali pedangnya yang dilepas tadi, lalu secara beruntun melancarkan tujuh delapan jurus serangan.

Dengan terbendungnya Cho Thian-seng oleh Ciu Pek-ih dan Jui Kui-po oleh Pek Huan-ji, kawanan jago Pak-shia lainnya segera semangatnya kembali berkobar, dengan "semangat dan tenaga baru serentak mereka menghadang serbuan keempat puluhan manusia obat.

Dalam pada itu si Tanpa perasaan yang mengamati jalannya pertarungan dari atas tebing segera melihat Ci Yauhoa sama sekali tidak ikut terlibat dalam pertempuran itu, dia hanya mengeluarkan pekikan dan siulan aneh dari sisi arena untuk memberi perintah.

Kawanan manusia obat tampak maju atau mundur mengikuti suara pekikan dan siulan anehnya itu, tampaknya suara itulah yang mengendalikan mereka.

Kecuali melancarkan serangan, ternyata kawanan manusia obat sudah kehilangan kontrol atas diri mereka sendiri, bukan saja mereka tak tahu bagaimana mempertahankan diri, bahkan ketika bertarung sampai di tepi jurang pun seolah tidak tahu untuk berhenti, terlihat salah seorang manusia obat itu tergelincir dan terjatuh ke dasar jurang.

Tiba-tiba terdengar Chin Ang-kiok menjerit kaget, pekikannya penuh dengan nada sedih, rupanya dia telah menyaksikan kakaknya si Ribuan li setitik noda Chin Sam-kang serta suaminya si Pisau terbang Wu Si-hiong berada di antara kelompok 'manusia obat' itu, dengan sepasang mata setengah terbuka dan wajah memancarkan sinar kebengisan, mereka sedang bertarung sengit melawan kawanan jago dari Pak-shia.

Saat itu jagoan dari Pak-shia yang masih mampu bertarung tinggal empat puluhan jago, tentu saja ilmu silat mereka selisih jauh bila dibandingkan kawanan 'manusia obat' itu, hakikatnya kondisi mereka waktu itu sudah berada di ujung tanduk.

Melihat keadaan itu, lekas si Tanpa perasaan berseru, "Uilopocu, saudara Khong, Chin-lihiap, ilmu silat yang dimiliki nenek siluman itu sangat lihai, kalian mesti mengepungnya secara beramai-ramai, kalau bisa pancing dia agar mau naik kemari."

Bagaikan rajawali mementang sayap, Ui Thian-seng melayang turun dengan kecepatan tinggi, begitu juga Chin Ang-kiok, bagaikan seekor burung walet merah, dia menuruni tebing itu, sementara Khong Bu-ki dengan menjinjing tombak panjangnya menyusul di belakang, sedang Yau It-kang sembari merogoh kantung Am-ginya turut menuruni tebing terjal itu.

Pedang bunga bwe, Pedang anggrek serta Pedang bambu sebenarnya ingin turut menyusul, tapi Tanpa perasaan segera mencegahnya, "Kalian bertiga jangan ikut turun, apakah ada yang membekal arak api atau korek api dan sebangsanya?"

Semenjak berada di kota Po-ke-tin, Ui Thian-seng memang sudah memerintahkan semua orang untuk mengurus sendiri segala perbekalan dan ransum termasuk korek api dan bahan api lainnya, karena dia tahu, kemungkinan memasak sendiri di tengah jalan sangat besar, tak heran semua orang memiliki perbekalan seperti itu.

Setelah menerima semua benda yang diminta, kembali si Tanpa perasaan menitahkan keempat bocah pedangnya untuk mengumpulkan semua perbekalan pakaian yang ada, setelah itu ia berkata, "Coba kalian bertujuh mulai mengumpulkan semua ranting kering, rumput ilalang serta bahan lain yang mudah terbakar, makin banyak makin baik, makin cepat makin baik!"

Empat bocah pedang sudah terbiasa mengikuti si Tanpa perasaan, mereka cukup tahu kehebatan pemuda itu sehingga tanpa membantah serentak mereka melaksanakan perintah itu, berbeda dengan si Pedang bambu, dengan keheranan ia bertanya,

"Kongcu, buat apa kita mesti mengumpulkan barangbarang itu?"

"Kepandaian silat yang dimiliki Ci Yau-hoa sangat tinggi dan hebat, rasanya susah buat kita untuk menghadapinya," ujar si Tanpa perasaan sambil memanggut, "untuk meraih kemenangan rasanya kita mesti menggunakan akal. Aku berencana menggunakan kobaran api untuk membasmi siluman perempuan itu!"

Pedang bambu. Pedang bunga bwe dan Pedang anggrek saling bertukar pandang sekejap, kemudian tanpa bicara lagi mereka berlalu dari situ.

Kini tinggal si Tanpa perasaan seorang yang mengikuti jalannya pertarungan itu dari dalam tandunya.

Sementara itu Ui Thian-seng sudah tiba di samping Ci Yauhoa, golok besarnya dengan jurus Tiang-sah-lok-jit (pasir kencang merontokkan matahari) langsung dibacokkan ke batok kepala lawan.

Tampaknya Ci Yau-hoa tercengang juga melihat kemunculan Ui Thian-seng, dengan nada keheranan tegurnya, "Hey, rupanya kau berhasil meloloskan diri!"

Sementara berbicara, dia memunahkan bacokan golok Ui Thian-seng bahkan sempat melancarkan enam buah serangan balasan yang memaksa jago tua itu mundur sejauh enam langkah.

Mendadak desingan angin tajam kembali menyambar , kali ini mengancam punggung siluman wanita itu.

Sekali lagi Ci Yau:hoa mengayun tangan kanannya ke belakang, di antara gulungan ujung bajunya, dia melilit pedang Chin Ang-kiok yang menyambar tiba. Khong Bu-ki yang menyusul segera menghujamkan tombaknya ke mata kanan perempuan itu.

Ci Yau-hoa tertawa dingin, dalam keadaan begini mau tak mau terpaksa dia harus lepas tangan, tampak angkin berwarna kuning itu menggulung ke samping, ia segera melilit tombak panjang Khong Bu-ki, lalu ketika dibetot ke samping, dia buang tombak berikut Khong Bu-ki ke arah jurang di sisi tebing.

Melihat rekannya terancam bahaya maut, Ui Thian-seng segera merentangkan lengannya merangkul tubuh Khong Buki erat-erat, di saat terakhir dia betot tubuh rekannya hingga keluar dari jalur jurang yang dalam itu, meski begitu batu dan pasir sempat berguguran juga ke dalam jurang.

Ci Yau-hoa tertawa dingin, menggunakan kesempatan itu dia melancarkan sebuah pukulan ke punggung Khong Bu-ki.

Bila serangan ini sampai bersarang telak, niscaya tubuh Khong Bu-ki berikut Ui Thian-seng akan tercebur lagi ke dalam jurang.

Pada saat itulah terlihat tiga titik cahaya terang berkelebat, langsung meluncur ke tubuh Ci Yau-hoa.

Merasakan datangnya ancaman, cepat Ci Yau-hoa menempelkan kepalanya ke tanah sembari merendahkan badan, bagaikan seekor ikan belut dia meloloskan diri dari ancaman itu.

Rupanya orang yang melancarkan serangan senjata rahasia itu adalah Yau It-kang.

Begitu lolos dari serangan senjata rahasia, kembali perempuan iblis itu membalikkan tangan sambil menyerang, kali ini dalam genggamannya telah bertambah dengan sebilah pedang pendek berwarna kuning emas.

Yau It-kang sangat terperanjat, belum sempat dia melakukan suatu gerakan, tahu-tahu Ci Yau-hoa sudah merangsek maju sambil menempel di hadapan tubuhnya.

Pantangan paling besar bagi seorang ahli senjata rahasia adalah pertarungan jarak pendek, baru saja Yau It-kang siap mundur ke belakang, pedang pendek di tangan Ci Yau-hoa sudah meluncur tiba dan langsung menghujam ke perutnya.

Sambil menjerit ngeri tubuh Yau It-kang terlempar ke belakang dan jatuh ke dalam jurang yang curam itu.

Baru berhasil dengan tusukan pedangnya dan tidak sempat mencabut kembali senjata itu, serangan pedang Chin Ang-kiok telah tiba, terpaksa Ci Yau-hoa harus berkelit ke samping menghindarkan diri.

Tubuh Yau It-kang pun dengan membawa pedang pendek segera lenyap ke dasar jurang sana.

Pelan-pelan Ci Yau-hoa membalikkan badan memandangi wajah Chin Ang-kiok dengan mata melotot, biarpun matanya tinggal satu, tapi sinar buas yang memancar keluar sungguh menggidikkan, tiba-tiba dia mengebaskan angkin dalam genggamannya lalu menerkam ke muka dengan garang.

Chin Ang-kiok tak berani bertarung lebih jauh, mendadak ia membalikkan badan lalu kabur dari situ, lari menuju ke atas tebing.

Berkilat sorot mata Ci Yau-hoa, tampaknya dia enggan membiarkan lawannya kabur, pengejaran segera dilakukan.

Di pihak lain, Ui Thian-seng dan Khong Bu-ki ikut melakukan pengejaran pula ke arah Ci Yau-hoa, mereka berusaha menolong jiwa Chin Ang-kiok yang terancam.

Peristiwa yang berlangsung saat itu sungguh di luar dugaan siapa pun, baru saja pertarungan berlangsung, Ci Yau-hoa telah berhasil membunuh Am-gi-boan-thian (senjata rahasia memenuhi angkasa) Yau It-kang, mendesak Hong-ta-pit-pay (tiap bertarung pasti kalah) Khong Bu-ki sampai nyaris tercebur ke dalam jurang, lalu memukul mundur Toa-monghau, Kim-to-bu-tek (sang harimau perkasa, golok emas tanpa tanding) Ui Thian-seng dan mengejar Siau-thian-san-yan (si walet kecil dari Thian-san) Chin Ang-kiok hingga kabur terbiritbirit.

Namun di arena pertarungan yang lain, saat itu mulai terjadi pula perubahan yang sangat besar. Karena seluruh perhatian Ci Yau-hoa hanya tertuju untuk menghadapi Ui Thian-seng, tentu saja kawanan 'manusia obat' tak ada yang mengendalikan, dengan sendirinya kemampuan serta daya serang mereka pun berkurang banyak, menggunakan kesempatan itu kawanan jago Pak-shia pun bisa berganti napas.

Di antara sekian jago, hanya si Peronda selatan Cho Thianseng dan Peronda utara Jui Kui-po yang sama sekali tidak terpengaruh, namun kedua orang itupun sedang terlibat pertarungan seru melawan Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji.

Baik Ci Yau-hoa maupun Chin Ang-kiok, kedua orang wanita ini sama-sama termashur di dunia persilatan karena ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, tapi nama besar Ci Yau-hoa selama ini jauh lebih tersohor karena selama ini dia menggunakan nama julukan si Dewi terbang untuk menyembunyikan nama busuk sebenarnya si Bibi iblis, dalam hal ilmu silat maupun ilmu meringankan tubuh dia sengaja lebih menonjol diri.

Tapi kini begitu mereka berdua saling gempur dengan sepenuh tenaga, jelas kelihatan kalau Chin Ang-kiok masih ketinggalan jauh dalam segala hal, tak heran dia terpaksa harus melarikan diri untuk menghindar.

Ci Yau-hoa sendiri pun cukup mengetahui situasi yang sedang dihadapi, ia sadar pertarungan harus diselesaikan secepatnya, maka ia pun berpekik nyaring, dua orang manusia obat yang berada di sekitar sana segera memberikan reaksinya, muncul dari sisi kiri dan kanan tebing, mereka langsung menghadang jalan pergi Chin Ang-kiok sembari melancarkan sergapan maut.

Tanpa bantuan siapapun, sebenarnya Chin Ang-kiok tak mampu menerima tiga jurus serangan Ci Yau-hoa, apalagi sekarang ditambah kepungan dua orang manusia obat, keadaannya benar-benar gawat, berbahaya dan terancam jiwanya.

Di saat kritis itulah tiba-tiba muncul sambaran cahaya putih dari atas tebing, begitu tiba di hadapan Chin Ang-kiok, sinar putih itu langsung membelah jadi dua dan secara terpisah menyambar ke samping kiri dan kanan jagoan wanita itu.

"Bluk, bluk!", dua batang gurdi baja langsung menghajar dan menghujam hulu hati kedua orang manusia obat.

Sebenarnya kedua manusia obat itu terhitung jagoan lihai yang cukup termashur dalam dunia persilatan, hanya saja sifat asli mereka telah terbius dan kesadaran otak mereka hilang, sementara serangan Am-gi si Tanpa perasaan sangat cepat dan lincah, sekilas seakan ditujukan ke arah Chin Ang-kiok. baru setelah tiba di tengah jalan serangan itu berbelok dan menghajar sasaran, dalam keadaan begini bukan saja jagoan lihai macam Ci Yau-hoa tidak mampu memberikan pertolongan, apalagi dua orang manusia obat bagaimana mungkin dapat menghindarkan diri?

Begitu tahu datangnya serangan Am-gi yang berasal dari atas tebing, Ci Yau-hoa segera tahu kalau Tanpa perasaan berada di atas, dia lebih suka tidak membunuh Chin Ang-kiok daripada kehilangan kesempatan menyerbu ke atas tebing dan mencabut nyawa pemuda cacad itu.

Meskipun penyebab hilangnya sebelah matanya itu lantaran serangan Si Ku-pei, namun seandainya si Tanpa perasaan tidak hadir di situ, tak nanti dia membiarkan Si Ku-pei mendekati samping tubuhnya sedekat itu, seandainya Tanpa perasaan tidak melemparkan pisau terbangnya, belum tentu serangan jarum maut Si Ku-pei akan menghajar matanya, oleh sebab itu dia menaruh rasa benci yang luar biasa terhadap anak muda itu, dia bersumpah ingin menghabisi nyawa pemuda itu untuk membalaskan sakit hati ini.

Dengan menghimpun tenaga dalamnya, Ci Yau-hoa mempercepat gerakan tubuhnya, dalam sekejap mata dia telah berhasil menyusul Chin Ang-kiok dan melepaskan sebuah pukulan.

Sadar akan datangnya bahaya, segera Chin Ang-kiok menghimpun pula segenap tenaga dalam yang dimilikinya untuk menerjang ke depan lebih cepat, kemudian melambung ke udara dan menghindarkan diri dari ancaman. Ci Yau-hoa segera mengayunkan tangan kanannya, kembali angkin panjang berwarna kuning meluncur ke udara, kali ini berusaha membelit pergelangan kaki lawan.

Berubah hebat paras muka Chin Ang-kiok, di saat kritis lagilagi terlihat cahaya tajam menyambar, enam titik cahaya bintang berputar kencang membelah angkasa dan ' langsung membelah kain angkin itu hingga putus jadi dua.

Tak terlukiskan rasa gusar Ci Yau-hoa, bentaknya keras, "Sialan kau, jangan bersembunyi terus sambil melepas senjata rahasia. Hm! Lihat saja nanti, aku si Bibi dewi pasti akan menyeretmu keluar dan mencincang tubuhmu hingga hancur

Sambil mengumpat marah, dia langsung melesat ke atas tebing karang.

Ci Yau-hoa memang berilmu tinggi dan bernyali besar, apalagi dalam kondisi amat gusar dan bertekad ingin menghabisi nyawa si Tanpa perasaan, begitu tiba di atas tebing karang, dia langsung menerjang ke arah tandu misterius itu.

Pada saat bersamaan, tandu itupun sedang bergerak menerjang ke arahnya.

Dengan mata kepala sendiri Ci Yau-hoa pernah menyaksikan bagaimana si Tanpa perasaan dengan mengandalkan alat rahasia yang terpasang di tandunya menghajar si Pentolan iblis Si Ku-pei hingga kalang kabut, meski dia sendiri berilmu hebat, namun sedikit banyak merasa ngeri juga menghadapi serbuan tandu itu, melihat datangnya terjangan, lekas dia melambung ke udara menghindarkan diri.

Lompatan Ci Yau-hoa tepat pada waktunya, baru saja ia melejit ke udara, tandu itu sudah menyambar lewat hanya tiga inci di bawah kakinya.

Belum sempat perempuan iblis itu melayang turun ke permukaan tanah, mendadak batang kayu pengusung tandu berputar cepat dan melepaskan dua batang pisau'tajam, pisau itu masing-masing panjangnya lima inci dan langsung mengancam dada kiri dan kanannya. Ci Yau-hoa memang dapat memperhitungkan secara tepat kalau tandu itu bakal melesat tiga inci di bawah kakinya, namun dia tak menyangka akan datangnya serangan pisau terbang itu, dalam keadaan begitu biarpun dia bisa melambung lebih tinggi ke udara pun keadaan sudah terlambat.

Saat itulah mendadak ... "Tring, tring", Ci Yau-hoa menyentilkan jari telunjuk dan ibu jarinya, sentilan itu persis menghajar di atas pisau terbang yang membuat kedua bilah Am-gi itu patah menjadi dua, setelah mencelat di udara segera ia berputar balik dan meluncur ke dalam tandu dengan kecepatan tinggi.

Pada detik terakhir sebelum kedua bilah kutungan pisau terbang itu menembus tandu, mendadak berkilat lagi sebuah cahaya tajam dari balik tandu, sebilah pisau terbang melesat keluar dengan kecepatan tinggi langsung membentur kedua bilah kutungan pisau itu, kemudian ketiga bilah senjata itu ber-balik arah dan kembali menerjang ke tubuh Ci Yau-hoa.

Bukan hanya serangan Am-gi, tandu itupun ikut berputar dan kembali menumbuk ke arah perempuan iblis itu.

Mendadak berkelebat bayangan manusia dengan kecepatan luar biasa, tahu-tahu bayangan tubuh Ci Yau-hoa sudah lenyap dari pandangan mata.

Padahal waktu itu Ci Yau-hoa sedang berdiri di tepi tebing yang curam, dengan lenyapnya bayangan tubuh Ci Yau-hoa maka terjangan tandu itupun ikut berhenti secara tiba-tiba, berhenti persis di tepi tebing.

Tiga bilah cahaya pisau berkelebat di udara kemudian lenyap dari pandangan.

Pada saat itulah tubuh Ci Yau-hoa bagaikan sebuah ayunan meluncur balik dengan kecepatan tinggi, begitu muncul di depan tandu, kesepuluh jari tangannya yang tajam bagaikan sepuluh bilah pisau belati langsung ditancapkan ke balik tandu. Ternyata ia tidak mundur dari tebing, hanya dalam waktu singkat sepasang kakinya dikaitkan di sisi dinding tebing kemudian menjatuhkan diri ke belakang.

Menanti serangan senjata rahasia menyambar lewat, saat itulah bagaikan sebuah ayunan dia memental balik lagi ke atas tebing.

Kecepatan Ci Yau-hoa melancarkan serangan sungguh tak terlukiskan dengan kata, baru saja tubuhnya memunculkan diri, sama sekali tak terlihat bagaimana cara dia melancarkan serangan, tahu-tahu tangannya sudah menembus tirai tandu.

Sayang sekali, begitu tangannya menancap masuk ke balik tirai bambu itu, tiba-tiba saja tirai seakan berubah jadi selembar papan baja yang sangat tipis.

Ketika kesepuluh jari tangannya menembus 'papan besi' itu, bukan saja tidak berhasil menembus lebih jauh, bahkan kedua belah tangannya itu seakan terkunci dan melekat kuat di situ.

Bersamaan waktunya tiga titik cahaya bintang meluncur keluar dari balik tandu, langsung mengancam dada dan perut perempuan iblis itu.

Siapapun orangnya, apabila sepasang tangannya terjepit di hadapannya, maka tubuh bagiandada dan perut akan berada dalam keadaan terbuka. Apalagi dalam waktu singkat, mustahil bagi Ci Yau-hoa untuk menarik kembali tangannya.

Perempuan iblis ini memang luar biasa, sekalipun dia tak sempat lagi menarik kembali tangannya, bukan berarti dia membiarkan dadanya terbuka, mendadak sepasang kakinya diayunkan berulang kali, secara beruntun dia lepaskan empat buah tendangan berantai.

Tiga tendangan diarahkan menyingkirkan senjata rahasia yang datang mengancam, menendang senjata rahasia itu hingga mencelat ke bawah tebing dan mengancam tubuh Ui Thian-seng, Khong Bu-ki serta Chin Ang-kiok.

Sementara tendangan terakhir diarahkan ke tepi tandu, bersamaan waktunya kesepuluh jari yang semula dipakai untuk menusuk, kini berubah jadi mencakar dan menarik tirai itu dengan kuat. "Brak!", diiringi suara keras, tandu itu tertendang hingga mencelat sejauh tiga depa, papan baja di atas tandu itu nyaris terbetot lepas.

Pada saat itulah tiba-tiba dari balik retakan papan baja kembali meluncur keluar puluhan titik cahaya bintang yang menyilaukan mata.

Cepat Ci Yau-hoa menyilangkan papan baja yang berhasil dibetotnya untuk melindungi tubuh sendiri, "Tring, trang, tring, trang", puluhan benda tajam itu bagaikan terpaan hujan badai langsung menghajar papan baja itu.

Begitu suara dentingan berhenti, tubuh Ci Yau-hoa ikut menerjang ke depan.

Rupanya dia telah menggunakan papan besi yang berhasil direbutnya sebagai tameng untuk melindungi tubuhnya yang menerjang maju ke muka.

Tandu berlapis baja itu tampaknya tak mampu membendung terjangan lawan, rangsekan lawan memaksanya harus mundur terus ke belakang.

Padahal di belakang tebing merupakan tepi jurang yang sangat dalam, jika tandu itu mundur beberapa depa lagi, niscaya akan tercebur dan hancur ke dasar jurang yang tak terhingga dalamnya itu.

Dengan sekuat tenaga Ci Yau-hoa mendorong tandu itu ke belakang, dalam waktu singkat tandu itu sudah terdorong hingga tiba di tepi jurang.

Di saat tandu mulai tercebur ke dasar jurang yang dalam, sesosok bayangan manusia menerjang keluar 'dari balik tandu dan membumbung tinggi ke udara, kemudian sambil melesat lewat di atas kepala Ci Yau-hoa, tujuh titik cahaya bintang kembali meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa.

Ci Yau-hoa boleh saja menggunakan lempengan baja itu untuk melindungi tubuh bagian depannya, namun batok kepala maupun punggungnya berada dalam keadaan terbuka.

Kepala dan punggung Ci Yau-hoa kini menjadi sasaran dan ancaman dari ketujuh titik cahaya tajam itu. Dalam waktu yang amat singkat Ci Yau-hoa berhasil mendorong tandu yang menjadi momok dan kendaraan yang paling ditakutinya itu meluncur ke dasar jurang.

Berbareng bagian kepala dan punggungnya yang semula terbuka kini berubah jadi selembar papan baja, ketujuh batang cahaya tajam itu semuanya menancap rapi di atas papan besi itu.

Dengan membawa suara gemuruh yang memekakkan telinga, tandu itu menggelinding dan meluncur ke dasar jurang, tapi pada saat itulah ada puluhan titik senjata rahasia yang nyaris sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun melesat tiba dengan kecepatan tinggi.

Ci Yau-hoa sama sekali tidak melihat akan datangnya ancaman itu, sebab selain matanya sudah buta sebelah, lapisan besi yang digunakan sebagai tameng telah menghalangi pandangannya.

Dia memang memiliki ketajaman pendengaran yang bagus, dia pun memiliki lapisan baja sebagai tameng yang hebat untuk membendung ancaman senjata rahasia, bahkan dia pun memiliki kemampuan untuk mendengar desingan suara dan membedakan antara angin biasa dengan serangan senjata rahasia, pada hakikatnya ancaman senjata rahasia sulit menjangkau bahkan menjamah tubuhnya.

Tapi sayang kali ini dia tidak mendengar akan datangnya ancaman, sebab senjata rahasia yang meluncur tiba kelewat kecil bentuknya, sama sekali tidak menimbulkan desingan suara, apalagi suara gemuruh yang ditimbulkan tandu yang terperosok ke dalam jurang sedang menggelegar di angkasa.

Titik cahaya lembut itu tak lain berasal dari sepuluh batang jarum berwarna perak.

Kesepuluh batang jarum perak itu melesat lewat dan menembus masuk persis melalui sepuluh lubang bekas jari tangan Ci Yau-hoa yang menancap di atas lempengan baja tadi.

Menanti Ci Yau-hoa sadar akan datangnya ancaman, jarum lembut itu sudah menembus lubang di atas lempengan baja dan menyambar tiba, ancaman itu sudah berada setengah depa dari wajahnya.

Bersamaan waktunya, tubuh si Tanpa perasaan telah meluncur turun dari udara, dalam waktu singkat desingan angin senjata telah menyelimuti seluruh udara.

Lekas Ci Yau-hoa menghentakkan lempengan baja dalam cengkeramannya ke depan, tiga empat puluhan macam senjata rahasia yang semula menancap di atas lempengan baja itu, kini menyembur keluar dan meluncur ke tubuh anak muda itu.

Cepat si Tanpa perasaan menarik napas panjang, bukannya meluncur turun dia malah melambung lagi ke atas, secepat kilat sepasang tangannya diayunkan berulang kali, dua puluhan macam senjata rahasia kembali meluncur keluar dengan kecepatan luar biasa.

Dengan melambung ke udara, si Tanpa perasaan telah berhasil menghindari setengah dari senjata rahasia yang mengancam tiba, sedang sisanya yang setengah lagi berhasil dirontokkan oleh sambitan senjata rahasianya barusan.

Mendadak Ci Yau-hoa melemparkan lempengan baja itu ke depan, dengan membawa desingan angin tajam lempengan itu membabat tubuh si Tanpa perasaan yang masih berada di udara.

Di saat lempengan baja itu meluncur ke udara, sekilas si Tanpa perasaan telah melihat bagaimana kesepuluh batang jarum peraknya telah digigit Ci Yau-hoa dalam mulutnya.

Tiba-tiba saja anak muda ini merasakan suatu kegagalan, suatu kekalahan yang belum pernah dirasakan sebelumnya, perasaan ini terasa aneh sekali, terutama sewaktu muncul di detik kritis semacam ini, di saat mati hidupnya' berada di ujung tanduk.

Lempengan baja itu menerjang tiba dengan kecepatan luar biasa, Tanpa perasaan sadar, mustahil baginya untuk menghindarkan diri dari sergapan maut itu.

Kini tandu andalannya sudah musnah, senjata rahasianya gagal mengenai sasaran, bila papan baja itu hanya meluncur datang, mungkin dia masih bisa menghindarkan diri, tapi sekarang lempengan itu membabat dengan disertai tenaga serangan yang dahsyat, anak muda itu sadar bahwa dia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapinya.

Dalam keadaan seperti ini hanya ada satu cara baginya untuk menanggulangi ancaman itu yakni menerima dengan sepasang tangannya, namun tenaga dorongan lawan sedemikian kuat sementara tenaga dalam sendiri sangat cetek, bila dia lakukan hal itu, niscaya badannya akan terpental hingga jatuh dari tebing.

Jika dia sampai terpental jatuh dari atas tebing, bukan saja mati hidupnya bakal tidakketahuan, rencana terakhir yang telah dipersiapkan pun akan sulit untuk dilaksanakan.

Belum lagi tubuhnya tenggelam ke dasar tebing, Tanpa perasaan sudah merasa hatinya serasa tenggelam ke dasar jurang.

Pada saat itulah terdengar bentakan nyaring menggelegar di angkasa, bayangan manusia berkelebat, lempengan baja itu tahu-tahu sudah terpapas kutung jadi dua dan rontok ke samping kiri dan kanan, terbelah dua karena bacokan golok yang luar biasa dahsyatnya, ataukah hancur karena suara bentakan yang menggelegar bagaikan suara guruh?

Jagoan yang muncul tepat pada saatnya itu tak lain adalah Toa-mong-hau, Kim-to-bu-tek (sang harimau perkasa, golok emas tanpa tanding) Ui Thian-seng.

Begitu Ui Thian-seng muncul di arena pertarungan, tak lama kemudian menyusul pula Khong Bu-ki serta Chin Angkiok.

Tombak Khong Bu-ki langsung diayunkan ke muka mele-* paskan sapuan, sementara pedang Chin Ang-kiok menyambar secepat petir mengiringi serangan rekannya.

Tiba-tiba Ci Yau-hoa mementang lebar mulutnya, kesepuluh batang jarum perak yang berada dalam gigitannya itu segera disemburkan ke depan.

Lekas Khong Bu-ki memutar tombaknya sedemikian rapat hingga air hujan pun susah menembus, sementara Chin Angkiok terpaksa melayang balik ke belakang bagaikan seekor burung walet.

Tak lama kemudian Ui Thian-seng sudah berdiri berjajar dengan si Tanpa perasaan, sementara Khong Bu-ki berdiri berjajar dengan Chin Ang-kiok.

Begitu mereka berempat berdiri bersama, perasaan hangat segera menyelimuti hati setiap orang, sebab di saat susah, di kala jiwa terancam ternyata ada teman rela membela dan siap mati bersama.

Walaupun begitu, mereka berempat pun merasa terkesiap bercampur ngeri, sebab kungfu yang dimiliki Ci Yau-hoa memang luar biasa hebatnya, bukan cuma hebat, pada hakikatnya telengas, kejam dan buas bukan kepalang.

Dalam pada itu Ci Yau-hoa telah memandang ke arah mereka dengan sorot mata sedingin salju, jengeknya sambil bergerak menyerang, "Kalian semua ingin mampus bukan? Pergilah mampus sekarang!"

"Lepaskan api!" mendadak Tanpa perasaan membentak keras.

Ketika Ci Yau-hoa terlibat pertarungan sengit melawan Tanpa perasaan di atas tebing tadi, pertarungan antara para jago Pak-shia melawan kawanan manusia obat pun sudah mengalami satu perubahan yang sangat besar.

Ketika kawanan manusia obat menyerang dengan bimbingan siulan Ci Yau-hoa tadi, para jago dari Pak-shia memang terdesak dan tak sanggup melakukan perlawanan, tapi semenjak iblis wanita itu bertarung sengit di atas tebing hingga kawanan manusia obat itu kehilangan suara komando, situasinya seketika berubah drastis.

Pengalaman mereka bertarung melawan kawanan manusia obat selama beberapa bulan ini membuat kawanan jago dari Pak-shia cukup memahami ciri serta kelebihan musuhnya, maka mereka pun memanfaatkan situasi medan yang terjal serta serangan senjata rahasia dan kelincahan tubuh untuk bertarung melawan manusia manusia obat itu, dengan mengandalkan kelebihan yang mereka miliki, sementara waktu keadaan pun berimbang.

Pada awalnya Ci Yau-hoa berniat menghabisi dulu nyawa si Tanpa perasaan, kemudian baru memberi perintah kawanan manusia obat itu untuk menghabisi kawanan jago dari Pakshia.

Dia memang tak pernah memandang enteng tenaga serangan yang dimiliki si Tanpa perasaan, namun dia sama sekali tak menyangka kalau anak muda itu ternyata jauh lebih sulit dihadapi ketimbang apa yang dibayangkan semula.

Dalam pada itu pertarungan antara Cho Thian-seng melawan Ciu Pek-ih pun mulai menunjukkan tanda-tanda berakhir.

Kaitan emas Cho Thian-seng bagaikan jaring langit yang disebarkan dari angkasa, mengurung seluruh tubuh Ciu Pek-ih dengan rapat, seakan menganggap lawan bagaikan seekor ikan yang masuk jaring, biarpun berusaha menerjang ke kiri kanan pun tak berhasil lolos dari kepungannya.

Namun Ciu Pek-ih bukan jagoan kemarin sore, .dia seperti sebatang anak panah yang sangat tajam menerjang masuk ke tengah pusat pusaran kaitan emasnya.

Pusat pusaran kaitan itu tak lain adalah Cho Thian-seng sendiri.

Cho Thian-seng ibarat sebuah batu karang yang sedang menyumbat pusaran arus air yang kencang, ketika arus menghantam di atas karang maka pusaran air pun muncul.

Namun begitu karang penghambat dimusnahkan, yang tersisa hanyalah arus deras, arus yang mengalir lancar tak menimbulkan pusaran lagi.

Julukan Ciu Pek-ih dalam dunia persilatan adalah si pedang kilat, begitu serangan pedang dilancarkan, dia langsung menusuk ke pusat pusaran angin dari kaitan itu.

Seketika itu juga pusaran yang kuat lenyap tak berbekas.

Kaitan itu satu dari depan yang lain dari belakang, bagaikan besi semberani saja, langsung melekat di atas pedang lawan dan menempelnya terus dengan kuat. Ciu Pek-ih sama sekali tidak menjadi panik karena kejadian ini, dia tetap melayani serangan musuh dengan tenang, mendadak dengan ilmu Liong-hau-hap-ki-toa-hoat (naga dan harimau menggempur bersama) dari Liong-hau Sanjin dia melancarkan serangan balik, tenaga dalamnya disalurkan susul menyusul, melewati ujung pedang langsung menghimpit tubuh lawan.

Saat itulah tiba-tiba Cho Thian-seng melepaskan tangannya, sepasang tangannya langsung digetarkan, dua titik cahaya api berwarna hijau pupus secepat petir meluncur.

Berubah paras muka Ciu Pek-ih menghadapi kejadian ini.

Saat itu pedangnya sudah ditempel ketat oleh sepasang kaitan lawan, tidak leluasa baginya untuk menarik kembali senjatanya seraya menangkis, apalagi memang waktunya tak sempat lagi, dalam keadaan begini mau tak mau terpaksa dia harus melepaskan pedangnya. 

Begitu pedang dilepas, kelima jari tangannya dengan jurus Jiu-hui-pi-pe (tangan menyentil pi-pe) dia lepaskan serangkaian sentilan maut.

Pada detik dia melepaskan pedangnya, Cho Thian-seng justru membalik tangan menyambar kembali sepasang kaitannya.

Namun sentilan maut yang dilancarkan Ciu Pek-ih adalah Sian-jin-ci (ilmu jari dewa) yang dipelajarinya dari Siong-san.

Dalam anggapan Cho Thian-seng, tak seorang manusia pun di dunia ini yang berani menyambut serangan 'api setan' miliknya dengan tangan telanjang, namun mimpi pun dia tidak menyangka kalau ilmu jari dewa milik lawan sanggup menghancurkan batu pualam, mematahkan batangan emas tanpa harus menyentuh bendanya, seketika itu juga api setan yang dilancarkan segera terpental balik.

Api setan memang dibuat dari campuran fosfor dengan sejenis racun keji, barang siapa terkena api ganas itu, sekujur tubuhnya niscaya akan membusuk hingga mengakibatkan kema-tian, jangan kan orang lain, Cho Thian-seng sendiri pun tahu, tak ada obat yang bisa menyembuhkannya. Dalam terkesiap bercampur ngerinya, terpaksa dia melepaskan kaitannya sambil mundur.

Berbareng dengan terlepasnya kaitan itu, tiba-tiba ia merasakan lambungnya panas sekali dan terasa amat sakit.

Rasa sakit yang luar biasa membuat seluruh badannya kempis seperti bola yang bocor, langsung roboh terkulai.

Dua biji api setan itu langsung menyambar dan menghajar tepat sepasang matanya.

Tak ampun Cho Thian-seng menjadi buta seketika, tidak sampai jerit kesakitan yang ketiga kalinya berkumandang, nyawanya sudah melayang meninggalkan raga.

Hingga mati pun dia masih belum mengerti, dengan cara apa Ciu Pek-ih bisa begitu cepat meraih kembali pedangnya bahkan langsung dihujamkan ke perutnya.

Padahal Ciu Pek-ih sendiri pun tidak sempat meraih kembali pedangnya, dia hanya melancarkan sebuah tendangan berbarengan ketika melancarkan serangan dengan ilmu jari dewa tadi.

Ketika tendangannya mengenai gagang pedang, tubuh pedang menggerakkan pula kaitan hingga menumbuk ke depan dan menghujam persis di atas perut si Peronda selatan Cho Thian-seng.

Tusukan maut itu langsung saja merenggut nyawa jagoan she Cho itu.

Begitu Cho Thian-seng tewas, sambil menyambar pedangnya, kembali Ciu Pek-ih bergerak maju ke depan dan terjun ke arena pertarungan dimana Pek Huan-ji sedang bertarung seru melawan si Setan gantung putih Jui Kui-po.

Sebenarnya ilmu silat yang dimiliki Jui Kui-po maupun Pek Huan-ji hampir setara, kalau ilmu pedang yang dimiliki Pek Huan-ji lebih didominasi oleh tenaga lembut berhawa negatip, maka ilmu pedang Jui Kui-po lebih mengandalkan pada tutulan, tusukan, tekanan, gesekan, sodokan maupun cungkilan, satu gerakan dengan beribu macam perubahan, ditambah lagi pengalaman bertarung Pek Huan-ji memang jauh di bawah lawannya, tak aneh kalau makin bertarung dia semakin terdesak di bawah angin.

Pada saat itulah tiba-tiba pit kanan Jui Kui-po menusuk ke arah jalan darah Ki-hay-hiat di tubuh gadis itu.

Cepat Pek Huan-ji menekan pedangnya ke bawah lalu berusaha menangkis datangnya tusukan itu.

Saat itulah pit kiri Jui Kui-po dengan kecepatan luar biasa menotok Seng-wi-hiat di bawah mata gadis itu, serangannya begitu cepat hingga susah diikuti dengan pandangan mata.

Padahal letak Seng-wi-hiat berada di atas sedang Ki-hayhiat berada di bawah, dua buah jalan darah yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dan terpisah jauh itu ternyata diserang pada saat bersamaan.

Cepat Pek Huan-ji merentangkan kelima jari tangannya berusaha mencengkeram gagang pit lawan.

Jui Kui-po tertawa seram, sepasang tangannya segera digetarkan, di saat getaran dilakukan, tahu-tahu dari ujung kedua batang pit itu menyembur dua gumpal cairan berwarna hitam.

Cairan hitam berbau amis, tentu saja bukan cairan tinta bak biasa.

Barang siapa ternoda setitik saja oleh cairan hitam itu, akibatnya mungkin jauh lebih parah ketimbang terhajar api setan milik Cho Thian-seng.

Pucat pias wajah Pek Huan-ji, tergopoh-gopoh dia miringkan kepala untuk berkelit, cairan hitam itu segera menyembur lewat di sisi pipinya.

Serangan ke atas kepala memang bisa dihindari, namun dia tak mengira kalau dari arah bawah pun muncul ancaman yang sama, menanti dia menyadari akan datangnya ancaman itu, terlambatlah bagi gadis itu untuk menghindarkan diri dari

sem-' buran cairan hitam atas jalan darah Ki-hay-hiatnya.

Untunglah di saat yang paling kritis muncul sentilan tajam dari tangan seseorang, desingan angin tajam yang disentilkan dari ilmu jari dewa langsung meluncur ke depan dan menghantam ke arah semburan tinta hitam itu. Terhajar angin tajam, gumpalan tinta hitam tadi seakan membentur dinding baja hingga terpental dan berbelok arah, kemudian memancar balik ke belakang dan menghantam tubuh Jui Kui-po.

Tak terlukiskan rasa kaget Jui Kui-po menghadapi kejadian ini, ia sadar tinta hitam itu mengandung racun yang berpuluh kali lipat lebih dahsyat daripada racun api setan milik Cho Thian-seng, tergopoh-gopoh dia berjumpalitan tiga kali di udara dan menghindar sejauh beberapa kaki dari posisi semula.

Baru saja tubuhnya melayang turun ke permukaan tanah, Ciu Pek-ih telah menempel tiba sambil melakukan ancaman.

Jui Kui-po segera memutar sepasang Boan-koan-pitnya dan melancarkan tusukan berbareng ke kiri kanan tubuh lawan.

Belum sampai serangannya mencapai sasaran, mendadak sepasang pitnya tercekal oleh sepasang kaitan.

Begitu melihat munculnya kaitan itu, Jui Kui-po seketika merasa hatinya bergidik, dia segera sadar bahwa Cho Thianseng telah menemui ajalnya.

Saat itulah Ciu Pek-ih mengendorkan tangannya lalu dengan pedangnya dia tusuk perut lawan.

Waktu itu sepasang Boan-koan-pit Jui Kui-po sudah tertahan oleh sepasang kaitan hingga nyaris tak bisa digunakan lagi, dalam keadaan begini terpaksa dia hanya bisa mundur untuk menghindar.

Sayangnya dia hanya sendirian, sementara Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji berdua. Punggungnya juga tidak bermata, dia tak tahu pedang Pek Huan-ji sedang menunggu dirinya di situ.

Dia pun sama sekali tidak mendengar adanya desingan angin serangan, sebab ilmu pedang gadis perawan Siok-likiam-hoat milik gadis itu mengutamakan tenaga Yin yang lembut, serangan yang dia lancarkan tak pernah membawa desingan angin sedikitpun.

Jui Kui-po merasakan punggungnya menyentuh ujung pedang lawan, kagetnya setengah mati, cepat badannya melejit maju ke depan untuk menghindar. Tapi Ciu Pek-ih sudah menanti dengan pukulan tangan kirinya, dengan menggunakan tenaga Bu-siang-sin-kang dia hajar dada lawan, sedemikian kuatnya hantaman itu bukan saja membuat tubuh Jui Kui-po tak sanggup bergerak lagi ke depan, bahkan mendorong badannya hingga menyongsong datangnya tusukan pedang dari belakang.

"Duk!", begitu pukulan menghajar dadanya, bagaikan seekor ikan yang mati digencet, sepasang biji matanya seketika melompat keluar dan tak pernah bergerak lagi untuk selamanya.

Berbareng dengan kematian si Setan gantung Jui Kui-po, pelindung hukum Ko dari Pak-shia juga tewas dibantai tiga orang manusia obat.

Sekalipun sudah tujuh-delapan orang manusia obat yang mati terbunuh, namun kawanan jago dari Pak-shia juga mulai terdesak hebat hingga tak sanggup lagi mempertahankan diri.

Melihat keadaan yang gawat itu, Ciu Pek-ih segera melompat ke depan dan siap terjun ke arena pertarungan, tapi Pek Huan-ji segera menarik tangannya sambil berbisik, "Kawanan manusia obat itu dikendalikan Ci Yau-hoa, sedang Ci Yau-hoa saat ini sudah dipancing si Tanpa perasaan naik ke tebing atas, ketimbang membunuh mereka, apa tidak lebih baik kita membantu Tanpa perasaan bersama-sama menghabisi nyawa perempuan iblis itu? Aku rasa tindakan itu jauh lebih bermanfaat."

"Baik!" sahut Ciu Pek-ih kemudian.

Saat itulah terdengar si Tanpa perasaan membentak keras dari atas tebing, "Lepaskan api!"

Ci Yau-hoa tertegun begitu mendengar teriakan itu, tibatiba ia sadar dirinya sedang berdiri di tepi jurang yang dalam sementara sekeliling tubuhnya telah dikelilingi aneka macam bahan yang mudah terbakar, malah dia pun sempat mengendus bau minyak yang sangat menusuk hidung.

Berubah hebat paras muka iblis wanita itu, tanpa pikir panjang dia segera melambung ke udara dan berusaha menyingkir dari situ. Tak lama kemudian, tujuh delapan obor api sudah dilempar dari sisi kiri dan kanan tebing, begitu api menyentuh bahan yang mudah terbakar itu, jilatan api segera menyebar kemannmana, kobaran api pun membesar dalam waktu singkat.

Ci Yau-hoa melambung semakin tinggi, biarpun jilatan api semakin membesar dan lidah api sudah membumbung ke angkasa, namun bukan tindakan gampang untuk mencegahnya me larikan diri.

"Sret, sret", desingan tajam membelah bumi, dua bilah pisau terbang meluncur dengan kecepatan tinggi langsung mengancam jalan darah Tiong-tong-hiat dan Sun-hiat di tubuhnya.

Berada di udara, Ci Yau-hoa berjumpalitan beberapa kali, dengan satu gerakan kilat dia tangkap kedua bilah pisau terbang itu, baru saja dia akan mengerahkan tenaga untuk melompati jilatan api, mendadak pandangan matanya terasa kabur, kemudian terasa sakit yang luar biasa menusuk tubuhnya, dalam gugupnya lekas dia melompat balik ke posisi semula.

Rupanya sewaktu Ci Yau-hoa berjumpalitan di udara tadi, secara kebetulan dia berhadapan langsung dengan asap tebal yang dihasilkan jilatan api itu, asap pedas yang tebal langsung menusuk matanya, padahal Ci Yau-hoa hanya memiliki mata sebelah, sementara mata yang lain memang sudah terasa sakit sejak tadi, sekarang ditambah lagi dengan rasa sakit karena kemasukan asap tebal, bagaimana mungkin dia bisa menahannya?

Sadar dia sudah terperangkap oleh jebakan yang dipersiapkan lawannya, Ci Yau-hoa merasa panik bercampur jengkel, merah padam wajahnya lantaran gusar, sembari membentak penuh amarah sekali lagi dia melambung ke udara.

Kali ini dia melambung setinggi empat kaki lebih, jauh melampaui jilatan api yang berkobar dan langsung menerjang keluar kepungan. Tanpa perasaan yang sudah menanti sejak tadi kembali mengayunkan tangan berulang kali, empat batang trisula disam-bitkan ke atas mengancam sepasang kaki perempuan iblis itu.

Melihat datangnya ancaman itu, Ci Yau-hoa menyambitkan dua batang pisau terbang yang berhasil dirampasnya tadi untuk memukul rontok dua senjata rahasia yang datang menyerang, kemudian sepasang tangannya kembali meraup ke depan menangkap dua batang senjata rahasia lainnya, baru saja tubuhnya siap melampaui garis kobaran api, tibatiba tampak bayangan kuning berkelebat, ibarat burung rajawali yang sedang menyambar mangsanya, sebuah bacokan golok langsung dibabatkan ke pinggang lawan.

Menghadapi datangnya ancaman, terpaksa Ci Yau-hoa menggunakan sepasang trisula rampasannya untuk menangkis.

"Trang!", di tengah benturan nyaring, kedua orang berbareng melayang turun ke atas permukaan tanah, Ui Thian-seng dengan golok siap menyerang berdiri di luar garis kobaran api, sementara Ci Yau-hoa tetap berada di balik garis kobaran api.

Sekali lagi Ci Yau-hoa menghimpun tenaga dalamnya untuk melambung, kali ini dia bergerak dengan amarah luar biasa.

Tanpa perasaan mendengus dingin, lagi-lagi sepuluh butir biji teratai Cing-lian-cu disambitkan ke arahnya.

Sambil tetap melambung ke udara, Ci Yau-hoa mengebaskan ujung bajunya, kesepuluh biji Cing-lian-cu itu segera teraup semua ke balik bajunya.

Ui Thian-seng membentak keras, sambil melambung ke udara dia melancarkan sebuah bacokan dengan jurus Hengto-toan-sui (melintangkan golok membendung air).

Ci Yau-hoa memuntir trisulanya sambil membetot, golok emas Ui Thian-seng segera terseret hingga miring ke samping, tampaknya dia segera akan melampaui garis kobaran api itu.

Mendadak sebatang tombak telah menyambar tiba dan langsung menusuk mata kanannya. Sekali lagi Ci Yau-hoa menangkis dengan trisula di tangan kirinya, biarpun senjata rahasia itu kecil bentuknya, ternyata berhasil menjepit tombak itu hingga tak mampu bergerak.

Menggunakan kesempatan itu Ci Yau-hoa bergeser ke samping, maksudnya ingin menyelinap keluar dari kepungan api itu melalui celah antara Ui Thian-seng dan Khong Bu-ki, siapa tahu belum sempat dia menyelinap keluar, kembali sebilah pedang menyambar langsung menusuk perutnya.

Tusukan maut pedang Chin Ang-kiok.

Ci Yau-hoa berkoar-koar makin gusar, kini tenaganya sudah habis digunakan, tenaga dalamnya sudah melemah, terpaksa dia berjumpalitan sekali lagi di udara dan melayang balik ke dalam lingkaran kobaran api itu.

Baru saja dia bersiap melambung untuk ketiga kalinya, mendadak langit terasa gelap, menyusul air mata bercucuran keluar terus dari balik matanya yang semakin perih dan pedas.

Di antara bahan-bahan bakar yang disiapkan di seputar tebing itu, selain ranting dan daun kering, disertai pula dengan robekan kain yang basah oleh minyak bakar, ketika jilatan api mulai membakar gumpalan kain berminyak itu, maka asap tebal yang dihasilkan pun semakin menebal.

Tatkala Ci Yau-hoa untuk kesekian kalinya gagal melintasi kobaran api itu, asap tebal sudah makin menyelimuti sekitar tebing, bukan saja hembusan angin memperparah tebalnya asap, Ci Yau-hoa dengan mata yang tinggal sebelah semakin menderita, saat itu nyaris dia tak sanggup lagi untuk menyaksikan benda di sekelilingnya.

Jilatan api berkobar semakin besar melalap seluruh bahan kering yang ada di sekitar tebing, kini api sudah makin mempersempit ruang gerak iblis wanita itu ke arah tepi jurang, sekalipun mata kiri Ci Yau-hoa tidak sakit, dengan semakin menebalnya asap hitam yang menyelimuti tempat itu, rasanya sia-papun tak mungkin bisa mempertahankan diri.

Ci Yau-hoa menjerit keras, kali ini dia kerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya, dengan meminjam dinding tebing yang curam, dia melambung setinggi empat kaki. Ketika menerjang keluar dari balik asap tebal, dengan memaksakan diri ia masih sempat melihat benda di sekelilingnya kendatipun pandangannya kabur, senjata rahasia Cing-lian-cu yang berhasil diraupnya tadi langsung ditebarkan ke arah Tanpa perasaan dengan kecepatan tinggi.

Kini kondisinya sudah semakin parah, bukan cuma pandangan matanya saja yang kabur karena tebalnya asap, suara kobaran api yang begitu bergemuruh menghalangi pula ketajaman pendengarannya, dalam situasi seperti ini, yang paling dia takuti adalah serangan senjata rahasia dari Tanpa perasaan.

Waktu itu arah hembusan angin menuju ke arah tepi jurang, sementara Ci Yau-hoa bergerak menentang arah angin, maka bagi orang yang berada di luar areal kebakaran, semua gerak-gerik iblis wanita itu dapat terlihat sangat jelas, sebaliknya bagi Ci Yau-hoa yang menerjang keluar dari balik asap tebal, sulit baginya untuk melihat jelas keadaan di luar.

Baru saja Tanpa perasaan siap melepaskan senjata rahasia, ancaman senjata rahasia telah datang duluan, terpaksa dia sam-bitkan Am-ginya untuk merontokkan Cing-lian-cu yang mengarah ke tubuhnya.

Di saat hambatan itu berlangsung, Ci Yau-hoa kelihatan segera akan berhasil melewati garis lingkaran kobaran api.

Dalam terjangannya kali ini, Ci Yau-hoa memang sudah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya.

Khong Bu-ki segera menerjang ke muka, tombaknya langsung disodokkan ke depan mengancam dada lawan.

Ci Yau-hoa berpekik nyaring, dengan trisula dia tangkis tombak itu sementara tubuhnya merangsek maju, trisula yang berada di tangan lain ditusukkan ke tenggorokan lawan, langsung menembus lehernya.

Tiba-tiba Khong Bu-ki mendelik lebar, selama hidup dia sudah seratus dua puluh delapan kali kalah di tangan orang lain, bahkan kekalahannya kali ini telah merenggut pula nyawanya. Namun Khong Bu-ki tak ingin menyerahkan nyawanya secara begitu gampang, dia buang tombaknya lalu memeluk erat tubuh Ci Yau-hoa dan menariknya masuk ke balik lautan api yang sedang berkobar.

Ci Yau-hoa terkesiap, lekas dia buang trisulanya lalu menghajar dada Khong Bu-ki berulang kali, sayang Khong Buki tak pernah mau melepaskan pelukannya, kendatipun waktu itu tulang iganya telah hancur.

Kedua orang itu segera tercebur ke dalam kobaran api yang membara.

Saat itu mata kanan Ci Yau-hoa sudah tak mampu melihat benda apapun, tapi begitu badannya menempel tanah, segera ia membabat sepasang lengan Khong Bu-ki dengan bacokan telapak tangannya, kemudian sekali lagi dia menerjang keluar dari balik kobaran api.

Biarpun berada dalam kondisi yang parah, ternyata perempuan iblis itu masih mampu membedakan arah, ketika muncul dari balik kobaran api, seluruh tubuhnya sudah terbakar sebagian, dari tujuh-delapan buah luka bakar yang memenuhi badannya, ada empat-lima buah di antaranya masih mengepulkan asap dan api.

Yang paling penting lagi adalah untuk sesaat dia tak mampu melihat benda apapun yang berada di hadapannya.

Tapi si Tanpa perasaan dapat melihatnya, Ui Thian-seng dapat melihatnya pula, tidak terkecuali Chin Ang-kiok.

Mereka bertiga serentak menerjang maju ke muka, kini Ci Yau-hoa sudah menerjang keluar dari kabut api, bila kesempatan baik ini tidak dimanfaatkan, mereka tak pernah akan memiliki peluang untuk membunuhnya lagi.

Tanpa perasaan 'menerjang' ke depan dengan menyentilkan dua butir peluru besinya.

Waktu itu Ci Yau-hoa sedang menerjang keluar dari balik kobaran api, tiba-tiba dia merangkap tangannya ke depan lalu mencengkeram sebutir peluru besi di antaranya, sayang dia hanya mampu menangkap sebutir, sementara peluru besi yang lain segera menghantam kakinya, begitu keras benturan itu hingga terdengar suara tulang yang hancur dan patah.

Kepandaian silat yang dimiliki Ci Yau-hoa memang sangat hebat, yang paling menakutkan adalah kehebatan ilmu meringankan tubuhnya.

Tapi kini tulang kakinya sudah hancur, dia telah kehilangan senjata andalannya yang paling hebat.

Ui Thian-seng menarik napas panjang, secepat petir goloknya membacok dengan jurus To-pit-hoa-san (membacok bukit Hoa-san).

Bacokan itu luar biasa hebatnya, bukan hanya cepat bahkan amat sempurna, tiada setitik kelemahan pun yang nampak, tapi dia telah melakukan satu kesalahan.

Ui Thian-seng tidak seharusnya bersuara ketika menarik napas panjang tadi.

Dengan ketajaman pendengaran yang dimiliki Ci Yau-hoa, dia segera dapat menangkap asal munculnya suara itu, peluru besi hasil rampasannya segera diayun ke atas, bacokan golok itu pun menghajar persis di atas peluru baja itu.

"Tring!", bunga api menyebar ke empat penjuru, bacokan maut itu pun segera tertangkis hingga mencelat ke samping.

Namun gara-gara benturan itu, kaki Ci Yau-hoa yang sudah cacad tak sanggup menahan bobot badannya lagi, seketika ia tergetar hingga roboh ke tanah.

Ui Thian-seng sendiri pun terdesak mundur sejauh lima langkah.

"Blam!", dengan mengikuti arah datangnya suara itu, Ci Yau-hoa melontarkan peluru besinya ke depan dengan sepenuh tenaga.

Senjata itu langsung menghajar dada Ui Thian-seng, membuat jago tua itu memuntahkan darah segar, badannya langsung roboh telentang ke tanah.

Chin Ang-kiok tidak tinggal diam, saat itulah tusukan pedangnya menyambar.

Sebenarnya Chin Ang-kiok melancarkan serangan hampir bersamaan dengan Ui Thian-seng, hanya saja karena ilmu silat jago tua itu lebih hebat maka bacokan goloknya tiba lebih dulu.

Padahal semua kejadian itu berlangsung hanya dalam waktu yang amat singkat.

Api masih menjilat di seluruh badan Ci Yau-hoa, namun iblis wanita itu tidak ambil peduli, dengan satu sambaran kilat dia mencengkeraman pedang Chin Ang-kiok yang menusuk tiba.

Serangan pedang Chin Ang-kiok memang cepat, tapi sayang di balik kecepatan serangannya membawa suara desingan tajam, dengan munculnya suara berarti serangan itu segera tertangkis.

Bersamaan dengan tangkisan itu, iblis wanita itu berhasil pula menangkap sebatang Hui-yan-piau yang tertuju ke tubuhnya.

Rupanya di saat menerjang maju sambil melepaskan tusukan pedang tadi, Chin Ang-kiok melontarkan juga tiga batang Hui-yan-piau, yang dilepaskan bukan hanya sebatang melainkan tiga batang.

Pada saat Ci Yau-hoa berhasil menangkap tusukan pedang yang meluncur datang, kedua batang senjata rahasia walet terbang itupun serentak menghujam di atas dadanya secara telak.

Ketika ujung senjata rahasia menembus kulit badannya sedalam tiga inci, tusukan itu segera terhenti sebab pada saat itulah tenaga dalam yang dimiliki Ci Yau-hoa telah dihimpun di atas dadanya, malah dia berhasil mementalkan balik semua senjata rahasia yang menancap di badannya itu.

Menyusul terpentalnya kedua batang senjata rahasia itu, darah segar ikut menyembur keluar bagaikan pancuran air.

Ketika tenaga dalam dialihkan ke dada sebelah depan, tangan Ci Yau-hoa yang mencengkeram pedang pun ikut mengucurkan darah, namun dia tidak menyerah karena itu, cengkeramannya semakin diperkencang.

Senjata rahasia yang memental balik tadi langsung menyambar ke tubuh Chin Ang-kiok, lekas jagoan wanita itu merentangkan kelima jari tangannya, dengan jari telunjuk dan jari tengah dia tangkap sebatang Hui-yan-piau yang menyambar tiba, sementara jari manis dan kelingkingnya menjepit sambaran senjata rahasia yang lain.

Ci Yau-hoa mendengus dingin, dia merangsek ke depan, tangannya yang lebih tajam daripada mata golok langsung dihujamkan ke dada lawan.

Tak ada jerit kesakitan, yang terdengar hanya bentakan gusar.

Pada saat Chin Ang-kiok menemui ajalnya tertusuk telapak tangan lawan, Pedang bunga bwe, Pedang anggrek dan Pedang bambu serentak membentak gusar.

"Mundur!" hardik Tanpa perasaan kaget.

Sayang ketiga orang dayang itu enggan menuruti seruan itu, melihat kematian yang menimpa Chin Ang-kiok, ketiga orang dayang itu lebih rela mati daripada mundur dari arena pertarungan.

Maka mereka bertiga pun ikut kehilangan nyawanya.

Setelah berhasil membunuh Chin Ang-kiok, Ci Yau-hoa segera mengebaskan tangan berulang kali ke seluruh badannya, dia berusaha memadamkan jilatan api yang masih membakar beberapa bagian badannya.

Tangannya penuh berlepotan darah, darah dari tubuh Chin Ang-kiok, dimana tangannya menepuk, jilatan api pun segera ikut padam.

Sepasang tangannya sudah penuh berlepotan darah, dipenuhi dengan luka, tapi kuat dan hebatnya bukan kepalang, dia sanggup menangkap senjata macam apapun yang menghampirinya, barang siapa berani menyentuh sepasang tangannya itu, kalau bukan mati tentu akan dibuat terluka parah, bahkan jilatan api yang membara pun seketika padam begitu bersentuhan dengan tangan itu.

Tangannya memang sepasang tangan yang hebat, sepasang tangan yang sangat menakutkan.

Di saat ia berhasil memadamkan kobaran api yang menjilat tubuhnya, serangan pedang ketiga budak pedang itu telah menyambar tiba. Ci Yau-hoa pun segera menggunakan sepasang tangan tlitambah sebuah kakinya melancarkan serangan berantai.

Menyusul kemudian darah muncrat kemana-mana, tubuh ketiga orang dayang itu mencelat ke dalam kobaran api.

Di saat Ci Yau-hoa belum sempat menarik kembali sepasang tangan dan kakinya, kembali ada empat sosok bayangan manusia berbaju hijau menerjang masuk ke dalam arena pertarungan dengan kecepatan tinggi, dua bilah cahaya perak diiringi dua kilatan cahaya emas meluncur ke tubuh lawan secara bersamaan.

Dua kilatan cahaya menghujam sepasang lengan Ci Yauhoa, sebuah kilatan cahaya menghujam di atas paha perempuan itu, sementara yang sebuah menghujam langsung ke perut iblis wanita itu.

Kaki kiri Ci Yau-hoa sudah remuk tulangnya karena terhajar peluru besi yang diluncurkan si Tanpa perasaan tadi, sulit bagi perempuan ini untuk menangkis datangnya serangan yang mengarah ke bawah, maka tak ampun lagi sebilah pedang emas langsung menancap di atas perutnya, sementara ketiga bilah pedang yang lain menancap di atas paha kanan serta sepasang lengannya.

Tampak keempat orang bocah pedang itu mencelat ke belakang dan roboh terjungkal ke bawah tebing.

Sementara Ci Yau-hoa juga tak sanggup menahan diri lagi, tubuhnya ikut roboh terjungkal ke tanah.

Dalam waktu yang amat singkat, dia telah menghajar Yau It-kang hingga mencelat dan terkubur di dasar jurang, kemudian membantai Khong Bu-ki, membunuh Chin Ang-kiok, menghajar Pedang anggrek, Pedang bunga bwe dan Pedang bambu hingga terbakar di tengah lautan api, kemudian menghajar pula Ui Thian-seng hingga tak mampu merangkak bangun lagi bahkan mati hidup keempat orang bocah pedang pun masih belum ketahuan dengan jelas, hampir sepuluh jagoan tangguh yang mati di tangannya.

Tapi dia sendiri pun kini terkapar, ada tujuh delapan buah luka bakar di sekujur badannya, bukan hanya bajunya yang terbakar, kulit badannya pun ikut hangus menghitam, dua lubang kecil muncul di dadanya, terhajar Hui-yan-piau, sebuah luka memanjang menghiasi telapak tangan kanannya, sebuah luka yang panjang lagi dalam, tulang kaki kirinya hancur terhajar peluru besi si Tanpa perasaan, kini paha kanan serta sepasang lengannya tertusuk pula oleh sambaran pedang.

Tapi dari semua luka yang dideritanya, tusukan pedang yang menghujam perutnya merupakan sebuah tusukan yang mematikan, karena pedang itu menembus perutnya hingga ke punggung, tinggal gagang pedangnya yang tersisa di luar perut.

Tapi dia belum mati, dia masih meringkuk di atas tanah, bergerak perlahan-lahan, entah karena rasa sakit yang luar biasa atau karena dia mulai menyesali semua perbuatan dosanya, tiba-tiba perempuan itu mulai menangis, menangis tersedu-sedu.

Waktu itu di tepi lautan api yang berkobar membumbung tinggi ke angkasa tinggal dia dan Tanpa perasaan dua orang.

Dengan susah payah, dengan mengerahkan segenap sisa kekuatan yang dimilikinya dia mencoba untuk menggerakkan tangan kirinya yang masih utuh tanpa cacad, berusaha menggapai perlahan ke arah Tanpa perasaan.

Menyaksikan adegan itu, seketika itu juga Tanpa perasaan terbayang kembali dengan tangan lembut Ci Yau-hoa ketika dibelainya di bukit Ci-pak-san waktu itu, memandangi tangannya yang halus, membelainya dengan lembut di bawah sinar rembulan yang redup, di atas batu cadas, sembari menyuapkan sepotong daging kelinci panggang ke mulutnya

....

Dia terbayang kembali bisikan suaranya yang lembut, senyumannya yang manis serta keluh-kesahnya yang mengusik perasaan, dia seakan merasa telah balik lagi ke kampung halamannya ketika itu, kasih sayang dan kemesraan yang diberikan perempuan itu membuat Tanpa perasaan serasa terbuai, membuatnya tak bisa melupakan detik-detik yang penuh dengan kehangatan itu. Itukah yang dinamakan ... dinamakan cinta? Itukah cinta yang nyaris langka dijumpai si Tanpa perasaan dalam kehidupan, kesepian dan terasing? Itukah cinta yang bahkan belum pernah dijumpai si Tanpa perasaan selama hidupnya, hingga membuatnya tidak tahu, tidak paham ... kekasih sama sekali berbeda dengan musuh, sebuah masalah yang mustahil bisa diputuskan dalam waktu singkat.

Angin lembut yang berhembus sepoi malam itu, rembulan yang bersinar redup ketika itu ... tapi kini, tangan yang begitu lembut, begitu halus, telah berubah menjadi tangan yang dipenuhi noda darah ... Tanpa perasaan merasakarf hatinya amat sakit.

Pada saat itulah ia mendengar Ci Yau-hoa mulai mendesis, mulai memanggil namanya dengan lemah, begitu tak berdaya, "Tanpa perasaan ... kau ... kemarilah

Tanpa perasaan bukan benar-benar tak berperasaan, bukan karena dia tak berperasaan tapi dia tetap adalah seorang manusia, tiada manusia yang tidak memiliki perasaan.

Maka dia pun menekan sepasang tangannya ke tanah, lalu melayang turun persis di hadapan Ci Yau-hoa.

Sekujur badan Ci Yau-hoa penuh berlepotan darah, bukan saja tak mampu berdiri bahkan untuk menggeser badannya pun amat sulit, tapi raut mukanya masih kelihatan begitu cantik, begitu ayu, begitu mempesonakan.

Itukah detik-detik terakhir menjelang ajalnya? Cahaya lilin yang hampir padam biasanya akan bersinar lebih terang, apakah karena itu raut wajahnya pulih kembali dalam kecantikan yang luar biasa?

Mata kirinya sudah buta, selamanya dia tak pernah bisa membuka kembali matanya itu, tapi mata kanannya sudah mulai dapat melihat benda, kobaran api sudah mereda, bahan bakar mendekati habis, kobaran api pun semakin mengecil, asap hitam yang semula hitam pekat, kini pun sudah mulai buyar, buyar karena hembusan angin gunung yang kencang.

Mungkin saja mata itu bisa melihat dengan jelas karena baru saja tercuci bersih oleh linangan air matanya, membuat dia dapat melihat dunia ini dengan lebih jelas ... namun bagi Ci Yau-hoa, mungkin penglihatan yang sangat jelas itu akan menjadi penglihatannya yang terakhir.

Dengan susah payah Ci Yau-hoa berusaha tersenyum, lalu ujarnya terbata-bata, "... kecerdasanmu memang hebat ... ilmu senjata rahasiamu juga hebat ... tapi ... tapi tandumu telah kuhancurkan ... apakah ... apakah kau akan sedih karenanya? Apakah kau akan membenciku ... membenciku untuk selamanya ...T'

Tanpa perasaan menggeleng, sebab yang hancur saat ini bukan tandunya, melainkan perasaan hatinya.

Asal masih ada manusia hidup, tandu yang hancur masih bisa dibuat kembali, tapi bagaimana dengan perasaan hati?

"Aku tahu, kau membenciku karena aku telah menipumu ... aku ... aku takkan memohon pengampunanmu untuk hal ini

Bicara sampai di situ, napas Ci Yau-hoa mulai memburu, pipinya juga berubah jadi merah membara.

"Kawanan manusia obat itu masih ... masih bisa diselamatkan ... akan ... akan kuajarkan cara ... cara untuk menyembuhkan mereka

Ci Yau-hoa mulai menggerakkan tangannya, tangan kiri yang penuh berlepotan darah meski kelihatan masih begitu halus dan mulus ....

"Aku ... aku hanya berharap ... mau maukah kau

menggenggam tanganku menggenggamnya sebentar saja

menjelang menjelang ajalku tiba

Orang bilang bila manusia menghadapi maut, semua perkataannya adalah yang sejujurnya, Tanpa perasaan merasa matanya mulai berkaca-kaca, terharukah dia? Atau merasa sedih?

Tanpa sadar dia mulai menggerakkan tangannya, menggenggam tangan Ci Yau-hoa erat-erat.

Di bawah cahaya matahari terlihat sepasang tangan ilu mulai bergenggaman, saling menggenggam dengan hangat, dari sepasang tangan yang berlepotan darah berubah jadi dua pasang tangan yang dipenuhi noda darah. Sebuah kehangatan yang sangat mengharukan, sebuah kedamaian yang luar biasa....

Mendadak mendadak semuanya berubah.

Berubah sangat cepat, berubah secara tiba-tiba dan di luar dugaan siapa pun juga.

Mendadak Ci Yau-hoa menggerakkan tangannya sangat cepat, bagaikan sambaran petir dia mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanan si Tanpa perasaan.

Berubah hebat paras muka Tanpa perasaan, tangan kirinya telah menggenggam tiga batang anak panah pendek.

Tapi sayang, ketika Ci Yau-hoa mencengkeram tangannya lebih kuat, anak panah itu segera terlepas dari genggamannya, rontok ke tanah.

Menyusul kemudian kedua orang itupun saling berhadapan dengan kaku, tanpa bergerak sedikit pun, sepasang tangan mereka masih tetap saling menggenggam, hanya sayang kemesraan dan kehangatan yang semula menyelimuti suasana, kini sudah hilang lenyap, menguap ke angkasa bagaikan segumpal asap.

Ci Yau-hoa nampak tertawa, sebuah senyuman kebanggaan, senyuman kepuasan, lalu dia pun mulai tertawa terbahak, tertawa kalap ....

Sembari tertawa kalap, tangannya mulai mencengkeram lebih kuat, lebih bertenaga. Paras muka Tanpa perasaan ikut berubah pula, dari hijau membesi berubah jadi pucat bagai mayat, peluh sebesar kacang kedelai bercucuran membasahi jidatnya, membasahi wajahnya, sekujur badannya.

Saat itulah tampak dua sosok bayangan manusia berbaju putih melayang turun di atas tebing karang itu.

Begitu tiba di arena pertarungan, kedua orang itu nampak berdiri tertegun, tampaknya mereka tidak menyangka akan disuguhi pemandangan setragis itu.

Empat bocah pedang emas dan perak tergeletak di sekeliling tebing, waktu itu mereka sedang berusaha merangkak bangun sambil merintih kesakitan. Kobaran api benar-benar telah padam, asap hitam pun mulai menipis, tapi di seputar sana telah dipenuhi dengan mayat yang bergelimpangan, mayat Khong Bu-ki beserta ketiga orang dayang pedang, di sisi onggokan api tergeletak mayat Chin Ang-kiok, lalu tubuh Ui Thian-seng yang masih belum jelas mati hidupnya, sementara mayat Yau It-kang sama sekali tak nampak, entah terkubur di dasar jurang atau bahkan sudah hancur be-rantakan?

Pertempuran ini benar-benar merupakan sebuah pertempuran berdarah, sebuah pertempuran yang menggidikkan hati.

Dengan badan berlepotan darah Ci Yau-hoa masih mencengkeram urat nadi Tanpa perasaan, mencekalnya kuatkuat, kembali dia tertawa seram.

"Hahaha ... kau anggap mereka mampu menyelamatkan nyawamu? Hm! Wahai manusia cacad, aku beritahu padamu, tak seorang pun sanggup menyelamatkan nyawa bobrokmu itu, kau akan kujadikan manusia obat, agar selama hidup tak pernah bisa merasakan lagi arti sebuah kehidupan."

Tanpa perasaan tetap bungkam, dalam keadaan seperti ini dia memang tak sanggup berkata-kala lagi.

Sudah kedua kalinya peristiwa ini dialaminya, pertama kali sewaktu berada dalam kota Pak-shia, waktu itu dengan siasat yang sama Ci Yau-hoa berhasil mencengkeram urat nadinya, semisal Si Ku-pei tidak membokong secara tiba-tiba, mungkin saat itu dia sudah tewas mengenaskan di sana.

Dan sekarang, untuk kedua kalinya dia tertipu oleh siasat yang sama.

Sebenarnya benda apa yang telah membutakan matanya? Membuat bebal otaknya hingga ia begitu tolol, goblok, mau tertipu untuk kedua kalinya?

Jangankan orang lain, Tanpa perasaan sendiri pun merasa betapa goblok dan tololnya dia, pada hakikatnya dia adalah manusia paling tolol di dunia ini.

"Berhenti!" tiba-tiba Ci Yau-hoa membentak, "jika kalian berani maju selangkah lagi, akan kucabut nyawanya!" Rupanya Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji berhasil menyelinap ke belakang tubuh Ci Yau-hoa, tapi sayang, sebelum mereka sempat bertindak, perempuan iblis itu telah menyadari akan kehadiran mereka.

Tentu saja Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji tak berani melangkah maju lagi.

Tiba-tiba sekujur badan Ci Yau-hoa mulai mengejang kencang, namun cekalannya pada urat nadi Tanpa perasaan sama sekali tidak mengendor, selang beberapa saat kemudian baru ia menyapu pandang sekejap sekeliling arena dengan matanya yang tinggal sebelah, lalu ujarnya diiringi tertawa dingin, "Akan kubawa kau pulang ke rumah, selama kau berada di tanganku, 'mereka tak nanti berani bertindak gegabah ... jangan kuatir, asal aku bisa pulang dalam keadaan hidup, asal aku dapat menyembuhkan luka-lukaku, semua yang hadir di sini akan kubantai di kemudian hari, termasuk juga kau, akan kukirim kau menuju ke alam baka, menyusul rekan-rekanmu itu

Tanpa perasaan tidak buka suara, tenaga murni yang memancar masuk melalui tangan Ci Yau-hoa sedang menerjang dan menumbuk tubuhnya, dia merasa isi perutnya bergolak, terasa amat sakit bagaikan disayat dengan pisau.

Tiba-tiba Ci Yau-hoa berpekik nyaring, suara pekikannya amat keras dan tinggi melengking, lalu mungkin karena rasa kesakitan yang luar biasa dia menghentikan pekikannya, bernapas dengan tersengal serta melanjutkan pekikannya.

Mendengar suara pekikan itu, serentak manusia obat yang berada di bawah tebing menghentikan serangannya, lalu serentak secara bersama menyerbu ke atas tebing karang.

Tampaknya Ci Yau-hoa bermaksud menggunakan si Tanpa perasaan sebagai sandera kemudian menggunakan manusia obat untuk melindungi keselamatannya, berusaha mundur dari situ dengan selamat.

Dia bersumpah dalam hati, asal bisa hidup, suatu hari nanti dia pasti akan membalas dendam sakit hati itu. Kini keempat anggota badannya sudah terluka, perutnya tertusuk pedang hingga tembus ke punggungnya, luka-luka itu membuat gerak serangannya melamban, walau begitu, tenaga murninya belum buyar, dengan mengandalkan sisa kekuatan, belum tentu orang dengan tenaga dalam sempurna macam Ui Thian-seng sanggup menahan cengkeramannya yang kuat pada urat nadinya, apalagi si Tanpa perasaan.

Ciu Pek-ih maupun Pek Huan-ji ikut tertegun, untuk sesaat mereka tak tahu apa yang harus dilakukan.

Permusuhan ini dipicu karena perselisihan mereka dengan Ci Yau-hoa, bahkan antara kedua belah pihak terikat dendam sakit hati sedalam lautan, sebaliknya si Tanpa perasaan hanya seorang'tamu yang datang dari jauh, khusus menyusul ke sana untuk membantu Pak-shia, dan kini pemuda itu dijadikan sandera, tentu saja mereka tak bisa berpeluk tangan membiarkan pemuda itu mati di tangan siluman wanita itu.

Bila Ci Yau-hoa dibiarkan pulang ke gunung dengan selamat, bukan saja Pak-shia dan tiga keluarga besar menjadi tak aman, seluruh dunia persilatan pun bakal terancam bahaya yang sangat hebat.

Mendadak terdengar Ci Yau-hoa tertawa seram, serunya melengking, "Sekarang kau harus ikut aku!"

Tangan kirinya mencengkeram makin kencang dan siap menyeret pemuda itu berlalu dari situ.

Pada saat itulah sinar tajam tiba-tiba memancar keluar dari balik mata Tanpa perasaan, sahutnya nyaring, "Tidak!"

Sekilas cahaya hitam yang amat tajam tahu-tahu sudah menyembur keluar dari balik mulutnya.

Ci Yau-hoa sudah memperhitungkan segala kemungkinan dengan seksama, dia takut dengan senjata rahasia Tanpa perasaan, maka semua kemungkinan datangnya ancaman itu sudah diwaspadai, namun mimpi pun dia tak pernah menyangka kalau senjata rahasia bakal menyembur keluar dari mulutnya.

Dia ingin menghindar, tapi sayang sudah terlambat. Cahaya hitam itu langsung menyambar ke depan dan menghajar tenggorokannya, menghujam bahkan memotong saluran pernapasannya.

Ci Yau-hoa melotot besar, suara gemerutuk memancar keluar dari balik tenggorokannya, wajahnya kelihatan sangat menyeramkan.

Tanpa perasaan berusaha meronta dengan sekuat tenaga, namun tak berhasil, dia gagal melepaskan diri dari cengkeraman perempuan siluman itu.

Di saat itulah Ciu Pek-ih merangsek maju, sebuah babatan maut segera dilancarkan ke muka.

Ilmu pukulan Bu-siang-sin-kang memang sangat hebat, jangan kan tulang manusia, emas dan batu karang pun sanggup dihancurkan, seketika itu juga tangan kiri Ci Yau-hoa terhajar hingga hancur dan terkulai lemas ke bawah.

Pek Huan-ji ikut mendesak maju, pedangnya langsung diayunkan ke depan dan menusuk dada Ci Yau-hoa, menghujamkan senjatanya hingga tembus ke belakang.

Ci Yau-hoa masih mendelik besar, tanpa berkedip dia mengawasi wajah Tanpa perasaan, walaupun sekujur badannya sudah bermandikan darah, namun dia masih berusaha mengangkat tangan kanannya, menuding ke arah Tanpa perasaan dari kejauhan ....

Bergidik juga Pek Huan-ji menyaksikan adegan itu, bagaimana pun dia tetap seorang gadis yang berhati lemah, saking ngerinya, dia segera melepas tangan tanpa sempat mencabut kembali pedangnya dan segera mundur dari situ.

Jari tangan Ci Yau-hoa yang menuding Tanpa perasaan kelihatan gemetar keras, dia seakan ingin mengucapkan sesuatu, namun sampai detik terakhir, tak sepatah kata pun yang mampu diucapkan. Pelan-pelan tubuhnya roboh terjungkal ke tanah, roboh telentang di bawah sorotan cahaya sang surya, roboh dan berbaring untuk selamanya...

Akhirnya si Bibi iblis Ci Yau-hoa tewas, Su-toa-thian-mo, empat iblis langit yang banyak membuat keonaran dan bencana bagi umat persilatan akhirnya terbantai musnah, musnah berikut keenam belas orang anak buahnya, terbantai dari muka bumi.

Waktu itu kawanan manusia obat sudah menerjang tiba di atas tebing, tapi dengan kematian Ci Yau-hoa, mereka pun serentak ikut bergelimpangan ke tanah bagai tomat yang kelewat masak, sama seperti nasib Ci Yau-hoa, roboh terkapar untuk tidak bangun lagi selamanya.

Mereka merupakan badan kasar tanpa nyawa, ibarat mayat hidup yang dikendalikan Ci Yau-hoa, dengan kematian Ci Yauhoa, mereka pun tak mungkin bisa hidup lebih lama.

Sejak ditangkap Ci Yau-hoa untuk dijadikan manusia obat, sebenarnya mereka memang sudah kehilangan kesempatan untuk hidup.

Empat bocah pedang emas dan perak belum mati, mereka hanya dibikin pingsan oleh tenaga getaran Ci Yau-hoa, setelah termakan empat tusukan pedang mereka yang bersarang telak, iblis wanita itu memang tidak memiliki kekuatan lagi untuk menghabisi nyawa keempat orang bocah itu.

Ui Thian-seng juga tidak mati, tapi luka yang dideritanya amat parah, hantaman peluru besi itu telah menghancurkan tiga tulang iganya ditambah luka dalam yang sangat berat.

Untung saja si harimau ganas Ui Thian-seng sudah lima puluh tahun hidup malang melintang dalam dunia persilatan, tentu saja hantaman sebutir peluru besi masih sanggup ditahan olehnya.

Si Tanpa perasaan masih duduk termangu di tempat semula, saat ini dia tak tahu harus merasa gembira ataukah harus bersedih

Dia sendiri pun tidak tahu, sebenarnya pertarungan ini dimenangkan siapa? Diakah yang menang? Atau dia justru telah menderita kekalahan?

"Kau ... sama sekali tak mengerti ilmu silat, hampir semua jago di kolong langit mengetahui hal ini, maka jurus terakhirmu itu harus merupakan satu serangan yang sangat mematikan, jangan pernah kau gunakan serangan terakhirmu itu bila keadaan tidak kelewat memaksa ...T" itulah pesan Cukat-sianseng menjelang keberangkatannya.

Sekarang dia telah menggunakannya, tak ada orang yang menduga kalau serangan mautnya yang terakhir justru muncul dari semburan mulut.

Jangankan orang lain, manusia sehebat Ci Yau-hoa pun tak mampu menghindarkan diri.

Sejak urat nadinya dicengkeram lawan, dia tak pernah bicara lagi, walau mengucapkan sepatah kata pun, saat itulah dia sudah mulai menghimpun segenap tenaga dalamnya, menghimpun kekuatan untuk melancarkan serangan terakhir, menanti saaf yang paling baik, saat yang paling tepat untuk melancarkan serangan mematikan.

Akhirnya dia pun berhasil, berhasil membinasakan lawan, namun dia tak pernah merasa gembira karena keberhasilan itu.

Waktu itu Ciu Pek-ih sedang menengok ke bawah tebing, tampak sisa anak buahnya tinggal lima puluhan orang, saat itu para sisa jago dari Pak-shia juga sedang mendongakkan kepala memandang ke arahnya, tiba-tiba saja pemuda itu merasa sangat lelah, lelah sekali, seolah ada beban seberat ribuan kati yang menindih di atas badannya, membuat dia terhimpit, membuat dia tak mampu bernapas ....

Sekalipun begitu, Ci Yau-hoa telah tewas, dendam kesumat mereka pun sudah terbalas.

Asal dia masih bisa hidup, suatu hari nanti pasti akan mampu dan berhasil membangun kembali Pak-shia.

Pelan-pelan Pek Huan-ji berjalan mendekat, menjatuhkan diri ke dalam rangkulannya.

Mendadak si Tanpa perasaan mendengar suara derap kaki kuda yang ramai berkumandang mendekat, ketika ia menengok ke bawah, tampak dua orang lelaki berbaju ketat warna biru dengan topi berbulu merah, ikat pinggang berwarna ungu sedang melarikan kudanya menuju ke atas tebing karang. Tanpa perasaan segera berkerut kening, sebab dia tahu kedua orang itu adalah dua orang opas kenamaan dari kota Yu-ciu, biarpun ada dua ratusan opas di tempat itu, kemampuan mereka semua tak akan mampu menandingi kehebatan kedua orang itu.

Hanya Cukat-sianseng seorang yang sanggup mengutus mereka berdua, kecuali telah terjadi sebuah kasus luar biasa yang menghebohkan, tak mungkin ia mengutus kedua orang itu.

Tapi kalau dilihat dari keadaan mereka, kelihatannya kedua orang opas itu telah menempuh perjalanan siang malam, jelas mereka khusus menyusul ke sana karena sedang mencari si Tanpa perasaan.

Pasti sudah terjadi sebuah kasus luar biasa yang sangat menghebohkan sehingga menunggu kehadiran si Tanpa perasaan untuk menyelesaikannya.

Pelan-pelan si Tanpa perasaan mendongakkan kepala, memandang sang surya yang bersinar terang, mengawasi mayat yang bergelimpangan dimana-mana, ia nampak sangat murung dan masgul, entah karena ia terlalu lelah ataukah ada suatu perasaan yang sangat mengganjal hatinya?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar