Pertemuan di Kotaraja Bab 16 : Bertarung Melawan Malaikat iblis

16. Bertarung Melawan Malaikat iblis.

Matahari bersinar amat terik di jalan raya menuju wilayah Soat-say, terlihat satu rombongan manusia sedang menelusuri jalan raya dengan susah payah, mereka terdiri dari enam belas ekor kuda

Penunggang kuda paling depan adalah seorang lelaki bercambang, dia membawa sebuah panji besar, panji bersulam seekor naga emas, cakar naga mencengkeram sebilah golok besar dan di atas golok besar tertera sebuah huruf besar "Ui", panji kebesaran Ui Thian-seng ketua Benteng Timur.

Di belakang panji besar mengikut dua orang, masingmasing menunggang seekor kuda tinggi besar yang nampak kekar.

Orang di sebelah kiri sudah berusia lanjut, namun sikap dan gerak-geriknya masih gagah, tangan kanannya membawa sebuah lembing sepanjang satu kaki delapan depa, beratnya paling tidak mencapai lima puluh kati.

Di belakang kakek gagah itu mengikut seekor kuda yang ditunggangi seorang kacung berbaju hijau, kacung itu tidak membawa apa-apa kecuali di tangan kanannya memegang sebilah golok besar dengan sangat hati-hati, berat golok itu paling tidak mencapai tujuh puluh kati.

Orang yang berada di sebelah kiri adalah Toa-mong-hau, Kim-to-bu-tek (sang harimau perkasa, golok emas tanpa tanding) Ui Thian-seng, sementara di samping kanannya adalah wakil Pocu dari benteng timur yang disebut orang Hong-ta-pit-pay (tiap bertarung pasti kalah) Khong Bu-ki.

Di belakang kacung berbaju hijau mengikut pula dua orang perempuan, seorang memakai baju berwarna merah dan yang lain mengenakan baju warna kuning.

Perempuan di sebelah kanan memakai pakaian ketat berwarna kuning lembut, sorot matanya liar tapi tajam, genit namun tidak jalang, gerak-geriknya membawa tiga bagian keindahan, empat bagian kemalas-malasan dan tiga bagian lagi kegenitan yang menawan.

Sementara perempuan di sebelah kiri memiliki usia yang sedikit lebih muda ketimbang perempuan tadi, umurnya seputar dua puluh enam tahun, dia mengenakan pakaian ringkas berwarna merah, sepasang alis matanya selalu berkerut, bibirnya terkatup rapat, sekuntum bunga putih pertanda berkabung terselip di antara sanggulnya, perempuan ini membawa hawa pembunuhan yang tipis tapi dingin bagaikan salju.

Di belakang mereka mengikut empat orang perempuan berbaju merah, semuanya menyoreng pedang di punggung.

Perempuan di sebelah kanan tak lain adalah Hui-sian (si Dewi terbang) Ci Yau-hoa, perempuan yang tersohor bukan saja karena kecantikan wajahnya, juga karena jejaknya yangsukar dilacak, orang bilang bagaikan naga yang nampak kepalanya tak kelihatan ekornya.

Sedangkan perempuan di sebelah kiri adalah Siau-thiansan-yan (si walet kecil dari Thian-san) Chin Ang-kiok, seorang jagoan wanita yang dicintai dan juga disegani umat persilatan.

Selain kawanan centeng dan kacung yang berjalan duluan mengiringi Ui Thian-seng, Khong Bu-ki, Ci Yau-hoa, Chin Angkiok serta keempat dayang wanitanya, di belakang mengikuti pula enam orang lelaki kekar berbaju kuning, kawanan lelaki itu membawa senjata tajam berbeda, namun semuanya kekar, cekatan dan gagah, apalagi sewaktu menunggang kuda, kegagahan mereka cukup menciutkan hati siapa pun yang melihatnya. Mereka tak lain adalah enam orang jago lihai pelindung benteng Tang-po, masing-masing adalah Ko-kwan-to (golok menembus kota) Yu Ci, Che-tong-ciau-liong (naga sakti dari kolam Che) Yu Keng-tong, Am-gi-boan-thian (senjata rahasia memenuhi angkasa) Yau It-kang, Ko-san-poh (langkah menembusi bukit) Be Lak-ka, Lui-tiam-jui-pak-hay (martil sambaran petir) Li Kay-san serta Sui-pit-jiu (tangan sakti penghancur cadas) Lu Ban-seng.

Keenam belas orang jagoan ini sedang menempuh perjalanan menuju Pak-shia, benteng utara yang sedang dilanda kesulitan.

Ketika kota Po-ki-tin sudah di depan mata, Hong-ta-pit-pay Khong Bu-ki mulai mengumpat, "Maknya, sialan, panas dan menyiksa amat cuaca hari ini, kalau siang panas kalau malam dingin, beberapa hari lagi bisa gosong semua badanku”

Ui Thian-seng meski sudah tua namun semangat dan tenaganya masih sangat hebat, mendengar perkataan itu dia segera tertawa lantang, sahutnya, "Hahaha ... cuaca begini kan masih belum cukup untuk menyusahkan kita semua, masih ingat pengalaman kita di He-liong-kang? Juga kejadian di Tibet? Bukankah kita masih tetap bertahan hidup bahkan berhasil membawa pulang batok kepala musuh kita!"

Baru selesai dia berkata, mendadak kacung baju berhijau yang berada di belakangnya telah berteriak memanggil, "Loya, Loya”

Waktu itu Ui Thian-seng sedang merasa gembira, sedikit tak sabar sahutnya, "Ada apa?"

"Tentu saja kau orang tua tidak merasa lelah, tapi keenam nona di belakang sana ... mereka tidak memiliki kemampuan sehebat Loya!"

Ui Thian-seng sedikit tertegun, kemudian baru menghela napas panjang, keluhnya, "Ai ... sungguh merepotkan, sungguh merepotkan, jalan bersama kaum hawa memang selalu mendatangkan kerepotan."

"Bagaimana kalau setibanya di kota Po-ke nanti, kita suruh mereka pulang saja?" "Suruh mereka pulang?" Ui Thian-seng menggeleng kepala berulang kali, "Jite, tidak gampang menyuruh mereka pulang, apalagi melawan mulut dua orang perempuan itu, tajam dan menakutkan, nanti bakalan ada orang bilang aku tidak setiakawan, menganggap aku memandang enteng kaum wanita, menghina kemampuan mereka, wah ... wah ... aku tidak tahan jika harus menanggung tuduhan dan dosa macam begitu”

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda berjalan mendekat, tampak Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok melarikan kudanya menghampiri, begitu tiba di samping jago tua itu, sambil tertawa Ci Yau-hoa segera menegur, "Ada apa Ui-enghiong? Udara begini panas, mengapa kau menggerutu?"

“Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa” sahut Ui Thian-seng sambil tertawa paksa.

"Kita tak butuh istirahat," sela Chin Ang-kiok dengan suara dingin, "selama Ui-pocu masih ingin melanjutkan perjalanan, jalan saja terus, kami tak akan menyusahkan orang apalagi merepotkan orang lain"

"Hahaha ... paling baik memang begitu, paling baik memang begitu," sambung Khong Bu-ki sambil tertawa lebar.

Chin Ang-kiok melotot sekejap ke arahnya dengan pandangan dingin, kemudian bersama Ci Yau-hoa mundur lagi ke belakang.

Melihat sikap perempuan itu, Khong Bu-ki merasa hatinya sangat tak enak, kepada Ui Thian-seng keluhnya, "Toako, ternyata ucapanmu benar, perempuan ini memang ketus dan sama sekali tak punya perasaan."

"Loji, kau harap memaklumi perasaannya, saudaranya Jianli-it-tiam-heng (seribu li setitik noda) Chin Sam-kong telah tewas di tangan Bibi iblis pada tiga bulan berselang, konon saudaranya itu ditangkap untuk dijadikan manusia obat, kemudian pada tujuh hari berselang, suaminya Leng-siau-huito-jiu (tangan sakti pisau terbang) Wu Si-hiong tewas pula di tangan Bibi iblis, padahal hubungan batinnya dengan Wu Sihiong sangat buruk, tapi bagaimana pun juga mereka toh suami istri, bagaimana jeleknya hubungan di masa lalu, kematian tetap akan mendatangkan kesedihan baginya ... jadi ada baiknya kita tak usah mengusiknya."

Baru saja Khong Bu-ki akan berbicara lagi, mendadak terdengar desingan angin tajam membelah bumi, sebuah benda terlihat melesat ke arah tubuh Ui Thian-seng.

Dengan cekatan Ui Thian-seng menekan pelananya, sang kuda segera meringkik panjang sambil bergerak mundur, sementara jagoan tua itu masih tetap duduk di atas kudanya tanpa bergerak.

Sementara itu Khong Bu-ki telah mempersiapkan lembingnya sambil memburu ke atas sebuah gundukan tanah, sambil membentak gusar, "Cepat menggelinding keluar!"

Ci Yau-hoa serta Chin Ang-kiok juga telah memburu ke samping Ui Thian-seng, mereka jumpai jagoan tua itu sedang menggapai ke arah mereka dengan wajah serius.

Ketika Khong Bu-ki ikut memburu datang, Ui Thian-seng segera memperlihatkan sebatang panah dalam genggamannya, pada ujung anak panah itu terikat selembar kertas, di atas kertas tertera beberapa huruf berwarna merah darah:

"Siapa yang tunduk, hidup. Siapa yang menentang, mati.

Begitu memasuki Po-ke, reinkarnasi! Tertanda, Cu Yu"

Di samping nama "Cun Yu", tertera pula lambang empat buah lingkaran bersinar.

Berubah hebat paras muka Ci Yau-hoa, serunya tertahan, "Ah! Surat dari Malaikat iblis Cun Yu-siang!"

"Ditambah keempat orang pengawalnya pula, Heng-lui-santian, Su-toa-ok-sin (suara guntur sambaran petir, empat malaikat bengis)!" sambung Chin Ang-kiok dingin.

"Bila kalian berdua merasa takut, silakan pulang mumpung masih sempat," sela Khong Bu-ki tak tahan, "akan kusuruh pengawal Yan serta pengawal Lu untuk mengantar." Chin Ang-kiok mendengus dingin, ditatapnya sekejap wajah orang itu dengan pandangan dingin, lalu katanya, "Khonghupocu, aku harap selanjutnya kau jangan mengucapkan perkataan semacam ini lagi, kalau tidak, hm! Jangan salahkan kalau aku Chin Ang-kiok menantangmu lebih dulu untuk berduel!"

Khong Bu-ki jengkel dalam hati, namun di luar dia tetap tertawa lantang, katanya, "Hahaha ... aku sengaja berbuat begini kan demir kebaikanmu, baik! Kalau memang ingin berkelahi, aku Khong Bu-ki tak pernah takut terhadap siapapun!"

Tiba-tiba Ui Thian-seng menegur, "Saat ini musuh tangguh di depan mata, kalau kalian berdua masih saja ribut hingga membikin pusing orang lain, artinya ingin mencari masalah dengan aku Ui Thian-seng!"

Melihat keributan yang terjadi, dengan suara lembut Ci

Yau-hoa ikut berkata, "Walaupun Malaikat iblis merupakan iblis dengan kungfu paling lemah di antara empat iblis langit, namun kekuatan pukulannya sanggup menghancurkan batu cadas secara mudah, kehebatan tenaga dalamnya mengerikan, apalagi keempat anak buahnya yang disebut orang empat malaikat bengis, kehebatannya pun menakutkan. Ui-loenghiong, apa rencanamu sekarang?"

"Rencana?" seru Ui Thian-seng, "aku pikir ada baiknya malam ini kita menginap di kota Po-ke sambil menunggu kedatangan mereka, cepat atau lambat toh pertarungan sengit tak dapat dihindari, aku rasa lebih baik kita membuat kejutan lebih dulu di sini!"

Benteng Tang-po sejajar dengan empat keluarga kenamaan dalam dunia persilatan, tentu saja bukan karena nama kosong, mereka punya pengalaman dalam pergaulan di dunia Kangouw selama ini.

Dalam sebuah rumah penginapan terbesar di kota itulah mereka menginap, sebelum memasuki rumah penginapan, suasana dan keadaan di sekeliling tempat itu telah diperiksanya dengan seksama, bahkan sebelum masuk ke dalam kamar, urusan hubungan dengan Ciangkwe sampai urusan pelayan losmen telah diatur petugas khusus secara teliti dan seksama. Baik soal tidur maupun makan, hampir semua persoalan ditangani sendiri oleh petugas dari Tang-po.

Kesemuanya ini dilakukan hanya dengan satu tujuan, bila ada orang berniat mencampur racun ke dalam air teh atau hidangan mereka, maka orang itu segera akan mati dalam keadaan mengenaskan.

Untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan yang terjadi, Ui Thian-seng juga telah menyiapkan uang untuk memindahkan semua tamu lain yang menginap di losmen itu ke tempat lain, malah seluruh keluarga pemilik losmen pun diminta untuk pindah sementara waktu, dengan demikian, bila terjadi pertarungan nanti, mereka tak sampai sembarangan menampakkan diri hingga berakibat salah sasaran.

Malam semakin larut, suasana hening pun mulai mencekam seluruh bumi, penduduk kota Po-ke memang sudah terbiasa tidur lebih awal.

Suasana terang benderang menyelimuti seluruh rumah penginapan Peng-an, hampir setiap sudut bermandikan cahaya terang. Para opas kota yang mendapat kabar pun sudah berdatangan, tapi begitu tahu yang hadir adalah Ui Thian-seng ketua benteng timur, mereka pun tak ada yang berani mencampuri urusan itu.

Petugas opas yang ada di kota itu berjumlah dua-tiga puluhan orang, namun kemampuan silat mereka masih jauh di bawah kepandaian seorang pengawal dari benteng timur sekalipun.

Waktu itu Ui Thian-seng, Khong Bu-ki, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok sedang duduk satu meja menikmati santap malam, walaupun aneka hidangan tersedia di meja, namun mereka makan sedikit sekali.

Untuk membuang waktu, Ui Thian-seng dan Khong Bu-ki berbincang mengenai urusan dunia persilatan, sementara Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok berbicara sendiri sambil tertawa. Langit makin lama semakin gelap, angin kencang mulai berhembus pertanda sebentar lagi hujan akan turun.

Khong Bu-ki membuka daun jendela sambil melongok ke luar, angin dingin yang menerpa wajahnya membuat dia segera mendusin dari pengaruh mabuknya, dia segera memberi tanda, dari balik wuwungan rumah muncul seorang jago dengan golok panjang tersoren di pinggang, dia tak lain adalah Ko-kwan-to (golok menembus kota) Yu Ci.

"Ada gerak-gerik yang mencurigakan?" tanya Khong Bu-ki kemudian.

"Sama sekali tak ada."

Khong Bu-ki manggut-manggut, maka Yu Ci pun segera menyelinap kembali ke balik kegelapan.

Ketika Khong Bu-ki membalik badan sambil menutup kembali daun jendelanya, dia merasa hembusan angin malam di luar sana terasa semakin kencang.

"Aku kira bangsat itu tak berani datang," kata Chin Angkiok tiba-tiba.

"Tidak mungkin," dengan penuh keyakinan Ci Yau-hoa menggeleng kepala, "empat iblis langit adalah kawanan iblis bernyali besar, biarpun mereka sedikit jeri terhadap kita, bukan berarti mereka tak berani datang menjumpai kita."

Tiba-tiba suara menggelegar yang memekakkan telinga bergema di udara, suara guntur disertai kilatan halilintar membelah udara yang gelap, cahaya api dalam ruangan terlihat ikut bergoyang kencang.

Dengan perasaan berat Khong Bu-ki tertawa paksa, bisiknya kemudian, "Malam ini halilintar menyambar-nyambar, suara guntur menggelegar serasa membelah bumi, malam yang amat cocok untuk melakukan pembantaian!"

Ui Thian-seng tidak dapat tertawa, dengan nada berat sahutnya, "Jite, coba kau tengok keluar sana, aku seperti merasa kurang beres dengan suara guntur barusan itu."

Khong Bu-ki menyahut, membuka jendela sambil memberi kode tangan. Hujan rintik mulai membasahi bumi, suasana di luar jendela sana amat gelap, bahkan di atas wuwungan rumah pun tidak nampak sesuatu gerakan.

Berubah hebat paras muka Khong Bu-ki, segera serunya, "Pengawal Yu!"

Tak ada jawaban, suasana tetap hening.

Dengan sebuah gerakan cepat Khong Bu-ki melompat keluar, lalu melayang naik ke atas wuwungan rumah, dengan cepat ia saksikan sesosok mayat membujur kaku di situ, golok panjang telah dilolos dari pinggang, namun dari dada hingga punggung mayat itu terlihat sebuah luka yang besar sekali, seakan pada saat bersamaan tubuhnya mendapat serangan guntur secara serentak dari empat penjuru.

Mayat itu tak lain adalah mayat Ko-kwan-to (golok menembus kota) Yu Ci.

Sementara itu Ui Thian-seng, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok telah menyusul keluar dari ruangan dan tiba di atas wuwungan rumah.

Angin berhembus makin kencang, hujan mulai turun dengan amat derasnya.

Dengan suara nyaring Ui Thian-seng segera berseru, "Musuh mulai menyerang, semuanya segera berkumpul!"

Biarpun di tengah hujan angin yang kencang dan menderuderu, namun suara teriakan itu masih tetap berkumandang sangat jelas.

Pada saat itulah hampir bersamaan waktunya telah terjadi dua peristiwa besar.

"Blaaam!", tiba-tiba dari dalam ruangan menyembur keluar jilatan api yang amat besar, cahaya api itu berwarna hijau kebiru-biruan, langsung membumbung tinggi ke angkasa.

Kemudian terdengar suara bentrokan senjata yang amat ramai bergema dari tengah halaman rumah penginapan, tampaknya di tempat itu sudah berlangsung suatu pertempuran yang amat seru.

Mengikuti terjadinya dua peristiwa besar itu, dari sisi dinding losmen bermunculan tujuh sosok manusia bersenjata lengkap, mereka tak lain adalah kelima pengawal benteng, lelaki pembawa panji kebesaran serta kacung pembawa golok.

Menyusul berkobarnya cahaya api, terlihat seseorang berjalan keluar dari balik asap tebal dengan langkah santai, orang itu mempunyai perawakan tubuh tinggi, seluruh badannya bersisik naga, matanya memancarkan hawa membunuh yang tebal, sambil tertawa seram ia berdiri di atas wuwungan rumah, tampangnya menunjukkan rasa bangga luar biasa.

Mendadak terdengar Chin Ang-kiok berseru, "Bwe, Lan, Kiok dan Tiok sedang bertarung sengit melawan empat malaikat bengis!"

Sambil berseru, ia segera melesat ke depan, menembus hujan angin dan langsung menyusul ke halaman belakang.

Dalam pada itu Ui Thian-seng telah mengawasi manusia aneh di ujung wuwungan itu sambil berseru nyaring, "Jadi kau adalah malaikat iblis Cun Yu-siang? Seorang di antara empat iblis langit?"

"Tepat sekali," sahut orang aneh itu sambil tertawa seram, "kini aku sudah muncul di sini, berarti sudah terlambat bagi kalian bila ingin kabur."

"Kenapa kami harus mundur?" sahut Che-tong-ciau-liong (naga sakti dari kolam Che) Yu Keng-tong gusar, "kedatangan kami justru ingin mencabut nyawa anjingmu!"

Lui-tiam-jui-pak-hay (martil sambaran petir) Li Kay-san ikut membentak pula dengan suara nyaring, "Kembalikan nyawa Yu-lakte kami!"

Menyusul bentakan nyaring, sepasang martilnya diiringi deru angin tajam langsung dihantamkan ke tubuh Malaikat iblis Cun Yu-siang.

Serangan Martil sambaran petir memang luar biasa hebatnya, deru angin tajam langsung menghimpit iblis itu, sayang, Cun Yu-siang bukan jago sembarangan.

Biarpun kecepatan serangan Li Kay-san melebihi kecepatan petir, gerak tubuh Cun Yu-siang justru jauh lebih cepat dari sambaran kilat. Tiba-tiba Malaikat iblis melambung ke udara bagaikan seekor burung aneh, kemudian entah sejak kapan tahu-tahu dalam genggamannya telah bertambah dengan sebatang lembing yang langsung ditusukkan ke depan menyongsong datangnya ancaman itu.

"Blam!" martil dan lembing baja segera berbenturan. Di antara percikan bunga api yang memancar ke empat penjuru, tampak martil sambaran petir sudah gumpil sebagian, menggunakan kesempatan itu lembing langsung disodokkan ke hulu hati Li Kay-san.

Serangan lembing panjang itu cepat lagi ganas, sulit bagi Li Kay-san untuk menangkis maupun menghindarkan diri, nampaknya dia segera akan tewas di tangan orang.

Di saat yang kritis itulah mendadak muncul sesosok bayangan langsung menangkap lembing panjang itu, tangan orang itu licin bagai seekor ikan dalam air, begitu berhasil, lembing panjang itu segera dipegangnya kuat-kuat.

Cun Yu-siang tertawa dingin, lembing panjangnya kembali disodokkan ke depan lalu dicungkil ke atas, senjata itu langsung terangkat setinggi satu kaki delapan depa.

Che-tong-ciau-liong Yu Keng-tong meski licin dan cekatan, namun dia tak sanggup menahan sodokan yang sangat kuat itu, seketika badannya tercungkil hingga terangkat ke udara.

Dengan satu gerakan cepat bagaikan burung rajawali mementang sayap, kembali Cun Yu-siang mencungkil lembingnya lalu disodokkan ke perut Yu Keng-tong.

Waktu itu seluruh tubuh Che-tong-ciau-liong Yu Keng-tong berada di tengah udara, dalam posisi demikian, sulit baginya untuk mengerahkan tenaga, nampaknya dia pun segera akan menemui ajalnya.

Kembali terlihat sesosok bayangan berkelebat, sebuah tendangan dilontarkan menghajar ujung lembing baja itu, seketika saja sodokan maut itupun miring ke samping.

Orang yang melepaskan tendangan tak lain adalah Ko-sanpoh (langkah menembus bukit) Be Lak-ka. Cun Yu-siang mendengus dingin, tiba-tiba tangan kirinya menyambar ke muka, sambaran itu cepat melebihi sambaran kilat, dia langsung mencekik leher Be Lak-ka.

Baru saja Malaikat iblis hendak mengerahkan tenaga untuk memperkuat cekikannya, mendadak sebuah tangan lain telah mencengkeram pergelangan tangannya, cengkeraman orang itu sangat kuat dan luar biasa hebatnya, entah sejak kapan lengannya itu sudah dicengkeram Sui-pit-jiu (tangan sakti penghancur cadas) Lu Ban-seng.

Cun Yu-siang kembali mendengus, setelah mundur selangkah, dia melancarkan sapuan dengan tendangan berantai.

Waktu itu Lu Ban-seng sedang mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk mencengkeram tangan kiri lawan, dia tidak mengira datangnya sapuan itu, badannya seketika tertendang hingga roboh terjengkang ke tanah.

Begitu lawannya roboh terjengkang, Cun Yu-siang memburu sambil melepaskan pukulan dahsyat dengan tangan kirinya, serangan itu langsung diarahkan ke batok kepala lawan.

Tampaknya sebentar lagi ubun-ubun Lu Ban-seng akan terhajar hancur, di saat kritis itu tiba-tiba tampak senjata rahasia berhamburan datang dari empat penjuru, lima batang paku penembus tulang meluncur datang dengan kecepatan luar biasa, langsung mengancam lima jalan darah penting di tubuh Malaikat iblis.

Orang yang melancarkan serangan senjata rahasia itu tak lain adalah Am-gi-boan-thian (senjata rahasia memenuhi angkasa) Yau It-kang.

Dalam keadaan begini terpaksa Cun Yu-siang mengubah pukulannya menjadi sapuan, dia hajar kelima batang paku penembus tulang itu hingga rontok semua ke tanah.

Setelah itu tangan kanannya kembali digetarkan, sekali lagi lembing itu disodokkan ke depan.

Baru saja sodokan itu mencapai setengah jalan, tiba-tiba seseorang melintangkan tombaknya melakukan tangkisan, percikan bunga api tampak memancar di kegelapan, Cun Yusiang merasakan tangannya bergetar keras, ternyata lembingnya kena ditangkis hingga mencelat balik ke belakang.

Selama ini Cun Yu-siang mengira tenaga sakti miliknya tiada tandingan, dia tak menyangka ada orang sanggup menahan serangan lembingnya bahkan berhasil memukul balik, sambil membentak nyaring sekali lagi lembingnya disodokkan ke muka.

Ternyata pihak lawan pun tak mau unjuk kelemahan, dia melancarkan pula sebuah serangan balasan.

Dalam waktu singkat lembing dan tombak saling menyerang sebanyak tiga gebrakan lebih, benturan demi benturan bergema memekakkan telinga, meski kedua orang itu tak sampai tergetar mundur barang setengah langkah pun, namun atap yang mereka pijak tak mampu menahan suara getaran yang terjadi, diiringi suara gemuruh yang nyaring, seluruh bangunan atap ruangan itu roboh berguguran ke bawah.

Sekarang Cun Yu-siang baru dapat melihat jelas wajah lawannya, ternyata orang yang sanggup menghadapi serangan mautnya itu tak lain adalah Hong-ta-pit-pay Khong Bu-ki.

Bersamaan dengan robohnya atap bangunan itu, tubuh Khong Bu-ki dan Cun Yu-siang ikut meluncur ke bawah, lima orang jagoan pengawal benteng lainnya serentak ikut melompat turun pula ke bawah.

Li Kay-san, Yu Keng-tong, Be Lak-ka, Lu Ban-seng maupun Yau It-kang termasuk jago-jago yang mempunyai nama besar dalam dunia persilatan, ilmu silat mereka sangat tinggi dan pengalamannya amat luas, mereka tak menyangka kerubutan mereka berlima bukan saja tak berhasil menghadapi gembong iblis itu, bahkan nyaris kehilangan nyawa sendiri, kenyataan itu mau tak mau membuat perasaan hati mereka bergidik.

Namun jagoan dari benteng timur selamanya tak pernah mundur atau kabur karena takut menghadapi orang lain, bukannya mengundurkan diri, kelima orang itu malah segera menyusul turun sambil bersiap siaga.

Sementara itu hasil pertarungan antara Cun Yu-siang melawan Khong Bu-ki sudah mulai nampak jelas, belasan jurus kemudian serangan Malaikat iblis makin lama semakin dahsyat, bukan saja membuat debu dan pasir beterbangan ke udara, angin dan hujan pun serasa tak sanggup menembusi tubuhnya.

Kalau Cun Yu-siang makin bertarung semakin gagah dan garang, maka sebaliknya Khong Bu-ki mulai merasakan pergelangan tangannya kaku, sakit dan kesemutan.

Bila pertarungan berlanjut terus seperti ini, bisa dipastikan sebelas jurus kemudian Khong Bu-ki akan mencatat rekor baru kekalahannya yaitu kekalahan yang keseratus dua puluh lima kali.

Mendadak Ui Thian-seng melompat bangun dari balik kepulan debu, dengan suara dalam serunya, "Bawa kemari golokku, akan kulihat sampai dimana kehebatan Malaikat iblis!"

Kacung kecil itu menyahut sambil menyerahkan goloknya, Ui Thian-seng segera melolos senjata andalannya, cahaya emas yang amat menusuk pandangan mata segera menyebar ke empat penjuru, sembari melepaskan sebuah bacokan bentak jago tua itu nyaring, "Rasakan bacokanku!"

Malaikat iblis Cun Yu-siang terkesiap, lekas dia membalikkan badan dan menangkis bacokan itu dengan lembingnya.

"Traaang!" sekali lagi percikan bunga api memancar ke empat penjuru, tubuh Ui Thian-seng tergetar hingga mundur sejauh delapan langkah, dia mesti memperkuat kuda-kudanya sebelum dapat berdiri tegak, sebaliknya Cun Yu-siang sama sekali tidak tergetar mundur, namun lembingnya gumpil.

Kejadian ini seketika membuat paras muka kedua orang itu berubah hebat.

Perkiraan Cun Yu-siang semula dengan kemampuannya dia sanggup menghadapi kerubutan orang banyak, bahkan tanpa membuang banyak tenaga dan pikiran pun sudah mampu membantai kawanan jago itu hingga ludes.

Siapa tahu bukan saja dia gagal menghabisi nyawa kelima orang jago pelindung benteng, bahkan harus bertarung pula melawan Khong Bu-ki dan sekarang Ui Thian-seng, kini dia baru tahu bahwa pihak lawan selain ternama, kungfunya juga sangat tangguh, bukan pekerjaan mudah baginya untuk meraih kemenangan.

Sudah cukup lama Cun Yu-siang malang melintang dalam dunia persilatan, dia tak pernah memandang sebelah mata pun terhadap siapa pun, maka tanpa membuang waktu kembali senjata lembingnya digetarkan lalu menyapu tubuh Ui Thian-seng.

Menghadapi sapuan ini, Ui Thian-seng memutar goloknya membentuk selapis cahaya emas yang menyilaukan mata, lalu dia melancarkan pula serangan balasan.

Ci Yau-hoa segera berbisik kepada kelima orang jagoan pelindung benteng, "Musuh yang bakal kita hadapi masih sangat banyak, kita tak boleh kehilangan banyak tenaga, apalagi untuk menghadapi gembong iblis latah macam ini, kita tak perlu mentaati peraturan dunia persilatan, sebentar bila

Ui-lopocu menunjukkan gejala tak tahan, serentak kita maju bersama dan mengerubut Cun Yu-siang!"

Selama ini, Kelima orang jago itu menaruh kesan sangat baik terhadap Ci Yau-hoa, selain itu mereka pun sudah merasakan kerugian di tangan Malaikat-iblis, mendengar ajakan itu serentak mereka mengangguk mengiakan.

"Kenapa Chin-lihiap tidak kelihatan? Dia pergi kemana?" tiba-tiba Khong Bu-ki bertanya..

"Aku rasa dia pergi membantu keempat orang dayangnya bertarung melawan empat malaikat bengis, semoga saja dia selamat."

Siapapun yang bertarung melawan Su-toa-ok-sin (empat malaikat bengis), anak buah andalan malaikat iblis, tak seorang pun pernah lolos dalam keadaan selamat. Chin Ang-kiok dengan tubuh selincah burung walet dan cepat bagaikan petir meluncur ke halaman belakang, ketika tiba di tempat itu, keadaan sudah sangat gawat dan kritis.

Empat malaikat bengis dengan pakaian ringkas berwarna hitam dan mengandalkan serangan secepat halilintar sedang bertarung sengit melawan Bwe-kiam (pedang bunga bwe) dan Tiok-kiam (pedang bambu), sementara Lan-kiam (pedang anggrek) dan Kok-kiam (pedang seruni) sudah menderita luka.

Sambil membentak nyaring Chin Ang-kiok mengayunkan tangan berulang kali, tujuh batang senjata rahasia walet terbang Hui-yan-piau segera meluncur ke depan dengan kecepatan luar biasa, sementara pedangnya digetarkan menusuk tubuh seorang malaikat bengis.

Empat malaikat bengis saling bertukar pandangan sekejap, kemudian seorang di antaranya menggunakan ilmu sambaran petirnya mementalkan senjata rahasia yang mengancam tiba, kemudian maju menyongsong, sementara seorang yang lain membalikkan badan menangkis datangnya tusukan pedang Chin Ang-kiok.

Di saat dia melakukan tangkisan itulah mendadak pedang di tangan Chin Ang-kiok berubah menjadi dua bilah pedang, mata pedang pecah jadi dua bagian seperti bercabang, lalu secepat kilat menusuk ke depan.

Malaikat bengis itu terperanjat, baru saja akan berkelit, ujung pedang telah menghujam ke dalam perutnya.

Malaikat bengis itu menjerit ngeri, teriaknya gusar, "Perempuan siluman, kau...”

Begitu musuh membuka mulutnya untuk mengumpat, kembali Chin Ang-kiok mengayunkan tangan kirinya, tiga batang Hui-yan-piau langsung dihantamkan ke dalam mulutnya, terhajar tiga batang Am-gi tentu saja suara malaikat bengis itu-pun terputus di tengah jalan. 

Baru saja Chin Ang-kiok hendak mencabut keluar pedangnya, malaikat bengis kedua telah menerjang tiba, sebuah pukulan dahsyat menggelegar di udara langsung menghantam tubuh perempuan itu. Sadar akan datangnya bahaya, Chin Ang-kiok melepaskan pedangnya sambil melejit ke samping menghindarkan diri dengan jurus burung walet tiga kali menutul air.

Dalam pada itu Pedang anggrek dan Pedang seruni yang sudah terluka kembali terjun ke arena pertarungan, bersama Pedang bunga bwe dan Pedang bambu mengembut dua orang malaikat bengis lainnya.

Chin Ang-kiok sendiri meski berhasil membantai salah seorang musuh tangguhnya, namun dia sendiri pun kehilangan pedang, dalam keadaan seperti ini terpaksa dia harus mengandalkan ilmu meringankan tubuh dan Hui-yanpiau untuk bertarung melawan malaikat bengis lainnya.

Di arena lain, Cun Yu-siang dan Ui Thian-seng sudah bertarung hingga tiga puluh empat gebrakan, semakin bertarung kedua orang itu saling menyerang makin gencar, putaran golok menyambar kian kemari ibarat naga sakti yang bermain di angkasa, namun Cun Yu-siang memang hebat, bagaikan malaikat iblis dia mencecar musuhnya dengan serangan yang luar biasa.

Cun Yu-siang tidak menyangka di antara gerombolan jago itu terdapat seorang jago berilmu silat sangat tinggi macam Ui Thian-seng, setelah sekian lama serangan dilancarkan dan tidak membuahkan hasil, ditambah lagi dia sama sekali tidak mendengar kabar empat manusia bengis, lambat-laun hatinya mulai gundah, kalut dan bimbang.

Sambil membentak keras lembingnya digetarkan berulang kali, angin serangan bagaikan ombak yang bergulung-gulung mengepung tubuh Ui Thian-seng dari delapan penjuru.

Biarpun musuh mencecar dirinya dengan serangan bertubitubi, Ui Thian-seng sama sekali tak gentar, ibarat harimau garang keluar dari gua, tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, ia menerjang serangan musuh yang berpusing kencang, sekuat tenaga dia mengayunkan goloknya melancarkan bacokan "Blaaam!" kembali sepasang senjata berat itu saling bentur, terlihat dua sosok bayangan saling terpisah, masing-masing mundur sejauh delapan langkah dengan badan bergetar keras.

Pada saat itulah Ci Yau-hoa membentak dengan suara lantang, "Serang!"

Tujuh-delapan macam senjata rahasia menghajar tubuh Cun Yu-siang berbareng, angin tajam segera mendesing membelah angkasa.

Cun Yu-siang membentak keras, ketika senjata rahasia itu menghantam tubuhnya, dia segera mengerahkan hawa murni untuk mementalkan semua senjata itu hingga mencelat ke belakang.

Tapi pada saat yang bersamaan Lu Ban-seng dengan ilmu tangan sakti penghancur cadasnya telah mencengkeram sepasang tangan si malaikat iblis Cun Yu-siang kuat-kuat, cengkeraman itu sangat kuat seperti dijepit dengan tanggem besar.

Ko-san-poh (langkah menembus bukit) Be Lak-ka juga segera menubruk ke muka sambil memeluk sepasang kaki musuh, ketika Cun Yu-siang meronta sekuat tenaga, Yu Kengtong bagaikan seekor ikan belut segera menyelinap sambil menotok jalan darahnya, sedangkan Li Kay-san mengayunkan martilnya ke tubuh lawan.

Cun Yu-siang sangat gusar, dia meronta makin keras tapi gagal melepaskan diri, martil sambaran petir Li Kay-san seketika menghajar keningnya secara telak.

Begitu membentur jidat lawan, martil itu mencelat ke belakang, tapi kening Cun Yu-siang retak dan bocor hingga darah bercucuran, dengan penuh amarah dia meraung keras.

Raungannya sangat keras ibarat guntur membelah bumi, bukan saja membuat pandangan mata semua orang berkunang-kunang, gendang telinga pun terasa sakit bagaikan ditusuk jarum.

Kembali Cun Yu-siang memutar lembingnya sambil berputar kencang, dia lempar tubuh Yu Keng-tong, Be Lak-ka dan Lu Ban-seng hingga mencelat ke belakang, lalu kepalan tangan kirinya dihantamkan ke kepala Li Kay-san.

Tapi pada detik itu Khong Bu-ki sudah menyerbu masuk, tombaknya langsung ditusukkan ke perut malaikat iblis hingga tembus melalui pinggangnya.

Cun Yu-siang menjerit ngeri, tapi tangan kanannya masih memegangi tombak musuh.

Khong Bu-ki mencoba mencabut lepas senjata itu namun tak berhasil, secepat kilat Cun Yu-siang menyodokkan lembingnya ke depan.

Tampaknya Khong Bu-ki segera akan tertusuk oleh senjata lawan, pada detik yang amat kritis itulah mendadak meluncur seutas selendang sutera dan langsung menggulung lembing itu serta membetotnya ke samping, tusukan lembing pun mengenai tempat kosong.

Memanfaatkan kesempatan itu Khong Bu-ki melepaskan tombaknya dan berguling di atas tanah sejauh beberapa kaki.

Orang yang melepaskan selendang sutera itu tak lain adalah Ci Yau-hoa.

Saat itulah halilintar yang amat terang membelah bumi, menyinari tubuh Cun Yu-siang yang basah bermandikan darah, dengan sepasang mata terbelalak lebar malaikat iblis melotot ke arah Ci Yau-hoa, lalu teriaknya parau, "Kau...”

Dalam pada itu si kacung baju hijau dan lelaki kekar pembawa panji telah menyerbu maju, pedang pendek di tangan si kacung dan kapak raksasa di tangan lelaki kekar itu serentak dihantamkan ke punggung Cun Yu-siang.

Kembali Malaikat iblis Cun Yu-siang memekik keras, suaranya seram bagaikan jeritan kuntilanak, setelah bergontai berulang kali akhirnya dia roboh terjerembab di atas tanah.

Sekali lagi halilintar berkelebat membelah bumi, dengan napas tersengal Di Thian-seng mendekat, melihat Cun Yusiang telah mati, dia pun menghela napas panjang.

"Ai ... ternyata Malaikat iblis memang sangat lihai ... ayo kita lihat bagaimana keadaan Chin-lihiap!" Sementara itu si malaikat bengis yang mengejar ketat di belakang Chin Ang-kiok sudah mulai mengerahkan tenaga raksasanya untuk memburu dan menyerang, tapi sayang ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya tak mampu menandingi lawan, lambat-laun dia mulai kelelahan dan kehabisan tenaga, padahal setiap saat dia mesti waspada terhadap serangan Huiyan-piau dari Chin Ang-kiok, hal ini membuat dia makin lama semakin kepayahan dan mulai kehabisan napas.

Sebaliknya empat orang dayang yang bertarung melawan dua malaikat bengis pun terdesak hebat dan berada dalam posisi menguatirkan, namun dibandingkan harus bertarung satu lawan satu, tentu saja keadaan saat ini jauh lebih longgar dan lega.

Saat itulah jeritan ngeri Cun Yu-siang terdengar untuk pertama kalinya, paras muka ketiga malaikat bengis seketika berubah hebat.

Chin Ang-kiok tahu musuh berusaha kabur dari situ untuk membantu majikannya, dia enggan lepaskan kesempatan itu begitu saja, pedangnya secara beruntun melepaskan delapan belas serangan berantai, membuat malaikat bengis jadi kalang kabut dan kerepotan setengah mati.

Di tengah serangannya tiba-tiba dia membalikkan badan, pedangnya langsung ditusukkan ke punggung salah seorang di antara dua malaikat bengis yang sedang bertarung seru melawan empat orang dayang itu.

Tertusuk punggungnya membuat malaikat bengis itu menjerit kesakitan, dengan geram dia membalikkan badannya, tapi pedang panjang si Pedang bambu segera menggulung ke muka dan memenggal batok kepalanya.

Dua orang malaikat bengis sisanya jadi ketakutan setengah mati, dengan wajah pucat-pias mereka saling bertukar pandang, saat itulah jeritan ngeri Cun Yu-siang berkumandang untuk kedua kalinya, jeritan itu membuat kedua orang itu semakin gugup dan gelagapan.

Chin Ang-kiok merangsek maju, dengan pedang bercabang duanya secepat kilat dia tusuk tubuh lawan, malaikat bengis itu semakin keder, tiba-tiba ia membalikkan badan lalu melarikan diri terbirit-birit.

Baru saja dia melompat naik ke atap rumah untuk melarikan diri, tiga batang Hui-yan-piau yang dilontarkan Chin Ang-kiok sudah menghajar telak punggungnya.

Terlihat malaikat bengis itu gontai beberapa kali, akhirnya terjatuh dan berguling ke tanah.

Malaikat bengis sisanya yang tinggal satu semakin ketakutan, serasa sukma sudah melayang meninggalkan raganya, dia melancarkan serangkaian serangan untuk mendesak mundur keempat orang dayang itu, memanfaatkan kesempatan di saat Chin Ang-kiok sedang membalikkan badan, dia melesat naik ke atas wuwungan rumah dan siap kabur meninggalkan tempat itu.

Tiba-tiba dari atas atap rumah kembali muncul seseorang, seorang kakek bermata tajam, beralis putih dan membawa sebilah golok emas.

"Lihat golok!"

Di tengah kegelapan terlihat cahaya golok berkelebat, padahal waktu itu malaikat bengis sedang gugup dan kalut pikirannya, baru lolos dari kepungan keempat orang dayang, terancam pula oleh senjata rahasia yang dilepas Chin Angkiok, sekarang dibacok pula oleh golok Ui Thian-seng, dalam gugup dan kagetnya lekas ia tangkis datangnya ancaman itu.

"Trang!", di antara dentingan nyaring, senjata penyambar petirnya patah jadi dua, sementara tubuhnya ikut terbabat pula hingga terbelah dua.

Hujan turun dengan derasnya, air bagaikan dituang dari angkasa, mengguyur keenam sosok jenazah itu, membuat darah yang membasahi permukaan tanah segera tersapu dan mengalir lewat bagai sungai darah.

Mengawasi mayat-mayat yang membujur kaku itu, Khong Bu-ki berkata dengan suara dalam, "Dalam pertarungan kali ini kita telah kehilangan pengawal Yu dan pengawal Li, tapi berhasil membantai Malaikat iblis Cun Yu-siang dan empat malaikat bengis, hitung-hitung pertempuran berdarah ini telah kita menangkan!"

"Benar!" sahut Ui Thian-seng dengan suara berat, "ternyata nama besar empat manusia bengis Su-toa-thian-mo memang bukan nama kosong, seandainya keempat iblis itu menyerang bersama, aku rasa biar kekuatan kita tiga kali lipat lebih banyak pun belum tentu sanggup membendung ancaman mereka."

"Baru bertarung mereka sudah menderita kekalahan, jelas hal ini merupakan kesalahan perhitungan mereka," ujar Chin Ang-kiok dingin, "sebab untuk menyerang Pak-shia, mereka memang tak bisa menggerakkan semua kekuatan untuk menghadapi kita, asal ketiga orang gembong iblis itu bekerja secara terpisah, berarti kita punya kesempatan untuk menghajar serta menumpas mereka satu per satu."

"Menurut apa yang kudengar," ujar Ci Yau-hoa pula dengan suara lembut, "di antara keempat iblis langit Su-toa-thian-mo, kepandaian silat Malaikat iblis terhitung paling lemah, padahal rekan-rekan lainnya mempunyai kungfu yang jauh lebih tangguh, lebih baik kita bertindak lebih hati-hati."

Maka tanpa banyak bicara lagi rombongan itupun melanjutkan kembali perjalanannya.

ooOOoo

Hari ini udara sangat cerah, matahari bersinar terik di angkasa.

Setelah meninggalkan kota Po-ke, Ui Thian-seng dan rombongan mengambil jalur kanan menelusuri jalan raya melalui kota Toa-san-kwan menuju ke wilayah Suchuan.

Daerah Toa-san-kwan merupakan sebuah daerah yang dipenuhi bukit terjal dengan jalan setapak yang sempit, bukan saja daerah sempit bahkan curam dan dipenuhi tebing tinggi.

Ui Thian-seng termasuk jago tua yang sudah puluhan tahun mengembara dalam dunia persilatan, setibanya di wilayah itu, dia pun memerintahkan semua orang untuk meningkatkan kewaspadaan, berjaga-jaga terhadap setiap kemungkinan yang terjadi.

Ketika menelusuri jalan setapak yang dihimpit dua tebing curam, jago tua ini merasa hatinya amat gundah bercampur kuatir, dia kuatir musuh akan memanfaatkan situasi medan yang tidak menguntungkan itu untuk melancarkan sergapan.

Setelah berjalan hampir setengah harian lamanya, tiba-tiba Khong Bu-ki berjalan menghampiri sambil berbisik, "Toako, sewaktu melewati wilayah ini, lebih baik kita jangan kelewat letih, bagaimana kalau kita mencari dulu tempat yang aman untuk beristirahat sejenak?"

Ui Thian-seng mengangguk tanda setuju, maka semua orang pun mencari tempat yang teduh untuk beristirahat. Lelaki kekar pembawa panji mulai membagi-bagikan ransum yang dibawa kepada semua orang, para pengawal mencari tempat teduh untuk menghindari hawa panas yang menyengat, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok bicara berbisik-bisik sementara si kacung menjauh untuk buang air di belakang batu cadas.

Selesai membagikan ransum, lelaki kekar itu melihat si kacung belum juga balik, maka dipanggilnya beberapa kali, tak ada jawaban, maka sambil mengumpat dia berjalan menuju ke belakang cadas itu,

"Hai bocah sialan, orang lain menangsal perut, kau malah buang hajat, benar-benar kurang ajar... haah?"

Mendadak perkataannya terputus di tengah jalan dan berganti dengan jeritan kaget yang amat keras.

Bersamaan dengan bergemanya jeritan kaget itu, Ui Thianseng, Khong Bu-ki, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok berempat serentak telah tiba di belakang batu cadas itu dan serentak pula mereka telah melihat si kacung tergeletak di tanah dengan celana masih terbuka, mulut pun dalam keadaan terbuka, tampaknya dia ingin menjerit namun tenggorokannya keburu dicekik orang hingga hancur.

Tak disangka pihak musuh begitu kejam, bahkan seorang bocah pun tidak dilepaskan begitu saja. Yang lebih menakutkan lagi adalah ternyata musuh telah menyusup sedekat itu dengan rombongan mereka, bahkan setelah membantai, dia pergi begitu saja, namun kawanan jago itu tak seorang pun yang merasakan.

Biarpun kepandaian silat yang dimiliki kacung itu tidak sehebat para pengawal benteng, namun dia pun tidak terhitung manusia sembarangan, kungfunya sempat memperoleh petunjuk dan bimbingan langsung dari Ui Thianseng, tapi kenyataannya sekarang bukan saja sama sekali tak bersuara, kesempatan untuk memberikan perlawanan pun tak ada dan dia sudah tewas dalam keadaan mengenaskan.

Dengan seksama Ci Yau-hoa memeriksa tulang tenggorokan si kacung yang remuk, beberapa saat kemudian ia baru berkata, "Kelihatannya Mo-sian (dewa iblis) Lui Siaujut yang melakukan pembunuhan ini, dia telah membunuh bocah ini dengan ilmu silat andalannya, Toa-hua-sin-sian-jiu (tangan dewa pencabut nyawa), padahal orang persilatan menjuluki ilmu silatnya itu sebagai Giam-ong-kui-jiau (cakar setan Raja akhirat)."

"Kalau dia sudah datang, kenapa tidak segera menampilkan diri, memangnya takut beradu kepandaian denganku?" seru Ui Thian-seng amat gusar.

"Kepandaian silat yang dimiliki Lui Siau-jut sangat lihai, otaknya cerdas dan banyak akal, anak buahnya Soh-mia-siantong (bocah dewa pembetot sukma) yang terdiri dari empat orang memiliki kemampuan jauh di atas empat malaikat bengis, ada baiknya Ui-loenghiong bersikap lebih hati-hati," ujar Ci Yau-hoa memperingatkan.

Baru selesai ia bicara, tiba-tiba dari jalan raya di depan sana muncul suara keleningan yang dibunyikan bertalu-talu, menyusul kemudian terlihat seseorang dengan mengenakan topi berwarna putih, berwajah panjang dengan jenggot cabang tiga di bawah dagunya, mata tajam bagaikan bintang, mengenakan baju putih celana hitam berjalan mendekat. Tangan orang itu membawa sebuah tongkat bambu, di ujung tongkat tergantung selembar kain warna putih, pada kain itu tertera beberapa huruf yang berbunyi:

"Dengan senyuman membahas kehidupan manusia. Bukan berarti aku adalah dewa."

Tampaknya seorang tukang ramal keliling yang biasa mengembara dalam dunia persilatan!

Khong Bu-ki menghembuskan napas panjang, dengan perasaan tak sabar dia segera berlalu dari situ.

Tampaknya tukang ramal itu ingin tahu dengan kehadiran orang-orang itu di tepi jalan, sambil berjalan lewat ia memperhatikan rombongan itu beberapa kali, mendadak ia menghentikan langkahnya persis di hadapan Khong Bu-ki, setelah menghela napas, gumamnya, "Ccttt ... ccttt ... cct ... wajah Sianseng lebar dan terang, rupanya seorang terhormat, punggung tebal perut bulat, banyak hoki, panjang umur, banyak anak banyak cucu ... cctt... ctt... ctt... cuma sayang...”

Dengan perasaan mendongkol Khong Bu-ki segera berkerut kening, serunya tak sabar, "Pergi, pergi, pergi... aku tak mau meramal nasib”

Baru saja dia akan berlalu dari situ, tiba-tiba tedengar tukang ramal itu berkata lagi, "Cuma sayang jidatmu berwarna hitam, alis mata muncul cahaya merah, sebelum menjelang malam nanti pasti akan menjumpai cahaya darah”

Dengan sigap Khong Bu-ki membalikkan badan menghadap ke arah peramal itu.

Sambil memicingkan mata dan tertawa lebar, kembali tukang ramal itu berkata, "Toaya, cayhe bukan dewa, tapi sudah lama mengembara dalam dunia persilatan, ramalanku lebih manjur daripada ramalan dewa, apakah Toaya mau meramalkan nasibmu? Murah, cuma satu tangce”

Khong Bu-ki berpaling menengok Ui Thian-seng sekejap, Ui Thian-seng pelan-pelan mengangguk, maka keempat pengawal benteng dan lelaki kekar pembawa panji pun ikut merubung ke depan. "Sabar, sabar ujar tukang ramal itu sambil tertawa, "jangan terburu napsu, siapa pun akan kuramal nasibnya”

Dia pun mengulurkan tangannya mengukur panjang lebar wajah Khong Bu-ki, setelah itu katanya sambil tertawa, "Jidat Toaya tinggi lagi terang, jelas bukan tergolong manusia sesat atau golongan iblis” Kemudian setelah menuding beberapa tempat di jidat Khong Bu-ki, kembali dia menghela napas sambil melanjutkan dengan suara berat, "Cuma sayang rejeki di kemudian hari tak bisa dinikmati, hawa membunuhmu kelewat berat, aku rasa...”

Sambil bicara jari tangannya berulang kali menuding ke arah sepasang pelipis Khong Bu-ki.

Mendadak Khong Bu-ki menemukan sesuatu yang aneh, di balik wajah senyum tukang ramal itu dia seperti menangkap sinar kelicikan yang menyeramkan, bahkan ia tidak melihat senyuman di wajah orang itu.

Dengan perasaan terkesiap, segera Khong Bu-ki melompat mundur sambil bersiap siaga.

Benar juga, pada saat itulah jari tangan si tukang ramal telah menyambar ke depan dengan kecepatan luar biasa.

Walaupun Khong Bu-ki menghindar sangat cepat, namun serangan yang dilancarkan si tukang ramal itu jauh lebih cepat lagi, tahu-tahu dia sudah mencekik lehernya.

Khong Bu-ki merasa lehernya yang dicekik bagaikan dijepit tanggam yang sangat kuat, membuat seluruh badannya lemas tak bertenaga, namun dengan sekuat tenaga dia meronta dan berusaha melepaskan diri.

Pada saat bersamaan itulah si tukang ramal telah mengayun tongkat bambu di tangan kanannya, tongkat berikut panji putih itu langsung disodokkan ke depan menusuk lambung Be Lak-ka.

Lu Ban-seng, Yu Keng-tong maupun Yau It-kang jadi terperanjat, baru saja mereka akan melolos senjata masingmasing, si tukang ramal itu dengan gerakan tubuh yang lebih cepat dari macan kumbang telah melancarkan serangkaian tendangan berantai, tendangan itu menghajar tubuh Lu Banseng dan Yu Keng-tong hingga mencelat ke belakang.

Yau It-kang yang mahir menggunakan senjata rahasia sebenarnya akan menyambitkan Am-ginya, tapi dia urung melakukannya karena kuatir melukai wakil pocunya yang masih dicengkeram lawan.

Nyaris pada waktu yang bersamaan, keleningan emas di pinggang tukang ramal itu telah meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi, benda itu langsung menghajar ubun-ubun lelaki kekar yang baru saja mengayunkan kapak untuk membacok.

Lelaki kekar itu menjerit ngeri, setelah terhuyung mundur sejauh tujuh-delapan langkah, badannya terperosok dan jatuh ke dasar jurang yang dalam.

"Wes!", golok emas di tangan Ui Thian-seng menyambar ke depan, di bawah cahaya keemasan karena terpantul sinar matahari, senjata itu langsung membabat pergelangan tangan tukang ramal itu.

"Bagus!" seru tukang ramal itu sambil tertawa nyaring.

Tangannya ditarik ke belakang, kemudian segesit burung camar dia mengegos menghindari tusukan pedang bercabang ke arah punggungnya yang dilancarkan Chin Ang-kiok, setelah itu badannya kembali menerobos ke kiri dan menyusup ke kanan, beruntun dia pun menghindarkan serangan yang dilancarkan Pedang bunga bwe, Pedang anggrek, Pedang seruni dan Pedang bambu.

Terakhir ia membungkukkan badan rendah-rendah, menghindarkan diri dari sambitan senjata rahasia yang dilontarkan Ci Yau-hoa.

Begitu lolos dari semua ancaman, kembali dia mengebaskan ujung bajunya menggulung sambitan sebuah piau baja yang dilepas Yau It-kang, dalam dua tiga lompatan kemudian tubuhnya sudah berada tiga kaki lebih dari posisi semula. Sungguh hebat ilmu meringankan tubuh yang ditunjukkan si tukang ramal itu, bukan saja amat lincah, juga gesit dan cepat.

Menyaksikan kehebatan orang, tanpa sadar Lu Ban-seng dan Yu Keng-tong berseru tertahan, "Dewa iblis!"

"Benar," sahut tukang ramal itu dari kejauhan sambil tertawa nyaring, "cayhe memang Lui Siau-jut!"

Berubah hebat paras muka Ui Thian-seng, sambil memayang tubuh Khong Bu-ki bentaknya, "Kejar!"

Hingga sekarang Khong Bu-ki masih merasa napasnya sesak, lima bekas jari tangan berwarna hitam masih membekas di lehernya, andaikata bacokan golok Ui Thianseng tidak tiba tepat pada saatnya, darah beku yang muncul di lehernya itu mungkin sudah berubah jadi semburan darah.

Semua orang merasa amat masgul, kalau bukan baru saja lolos dari cengkeraman maut Lui Siau-jut, siapapun tidak akan merasa jika malaikat pencabut nyawa ternyata telah hadir sedekat itu di samping mereka, sedemikian dekatnya seakan sudah menempel di tengkuk sendiri dan mewakili mereka bernapas.

Langkah kaki Khong Bu-ki masih sempoyongan, namun dia tetap nekad melakukan pengejaran bahkan kecepatan geraknya sama sekali tidak di bawah Yu Keng-tong, kekalahan yang dideritanya kali ini tercatat sebagai kekalahannya yang keseratus dua puluh enam, satu rekor kekalahan yang belum pernah ada sebelumnya.

Ui Thian-seng, Ci Yau-hoa dan Chin Ang-kiok berada pada rombongan paling depan, Chin Ang-kiok dengan gerakan tubuh seenteng burung walet meluncur dengan kecepatan luar biasa, sementara Ci Yau-hoa bagaikan hembusan angin gunung mengikut ketat di samping Chin Ang-kiok bahkan kemampuannya sama sekali tidak di bawah rekannya itu.

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ui Thian-seng tidak sehebat Ci Yau-hoa maupun Chin Ang-kiok, namun masih jauh di atas kawanan jago lainnya, apalagi tenaga dalam yang dia miliki amat sempurna, karenanya setelah berlarian sekian lama, makin lama mereka berlari, kecepatan larinya juga makin cepat.

Walaupun mereka sudah mengerahkan segenap tenaga yang dimiliki, namun si Dewa iblis Lui Siau-jut masih tetap memimpin di depan sana, bukan saja gerakan tubuhnya bagaikan dewa yang sedang melayang di angkasa, bahkan berulang kali dia memperdengarkan suara tertawanya yang nyaring.

Kejar mengejar pun berlangsung amat seru, dari Toa-sankwan kini mereka telah mengejar sampai di wilayah Kiam-bunkwan.

Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Ci Yau-hoa, segera bisiknya kepada Ui Thian-seng, "Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang ini sangat lihai, aneh, kenapa ia tidak melayani pertarungan tapi justru melarikan diri? Janganjangan di balik semua ini tersimpan maksud tertentu?"

Ui Thian-seng terperanjat, lekas dia menghentikan larinya sambil membentak keras, "Hentikan pengejaran!"

Sementara itu bayangan putih Lui Siau-jut telah menyelinap masuk ke wilayah Kiam-bun-kwan.

Baru saja semua orang menghentikan pengejaran, Dewa iblis Lui Siau-jut juga ikut menghentikan larinya, sambil membalikkan badan menghadang di mulut tebing, ia mendongakkan kepala dan tertawa nyaring.

ooOOOoo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar