Pendekar Bloon Jilid 45 Genting

Jilid 45 Genting

Blo'on terkejut. Namun apa mau dikata. Jaraknya hanya tiga langkah dan Ang Bin tojin menghantam dengan penuh kemurkaan. Blo'on tak mampu menghindar lagi. Melihat itu Sian Li juga menjerit. Tetapi tak sempat lagi gadis itu hendak menolong.

Dalam detik2 berbahaya itu tiada jalan bagi Blo'on kecuali mengangkat tangannya untuk menangkis.

Krakkkk .....

Terdengar dua buah kerat tulang saling beradu keras. Blo'on mencelat sampai beberapa langkah. Tetapi Ang bin tojin, ketua Bu tong pay pun terlempar sampai setombak jauhnya.

Kali ini ketua Bu tong-pay itu duduk bersila di tanah pejamkan mata. Wajahnya pecat pasi.

"Suko, engkau tak kena apa2? ” Sian Li lari menghampiri dengan cemas.

"Hanya sedikit ampek dadaku," kata BIo'on "bagaimana dengan Ang Bin tojin? "

"Dia ....... " Sian Li berpaling ke arah ketua Bu-tong-pay, "dia parah sekali "

Blo'on dan Sian Li segera menghampiri.

"Ang Bin totiang," seru Blo'on; "maafkan, tetapi totiang sendiri yang menghantam dengan sepenuh tenaga "

Namun ketua Bu tong-pay itu diam saja. Ternyata dia telah mengerahkan sisa tenaganya untuk menghantam Blo'on. Tetapi akibatnya, dia makin menderita sekali. Tenaga- dalamnya telah menderita luka parah.

“Kim kongcu," tiba2 Hong Hong tojin menghampiri dan se- olah2 memeriksa keadaan Ang Bin, tahulah dia kalau ketua Bu-tong-pay itu gawat sekali keadaannya. Ibarat pelita yang kehabisan minyak, “Ang Bin toheng menderita luka parah. Apabila tak mendapat obat yang mujarab, mungkin dia .....

akan menjadi cacat. Sekurang2nya dia harus beristirahat sampai tiga empat bulan baru dapat sembuh.

"Suko," tiba2 Sian Li berseru, "aku masih mempunyai simpanan Cian-lian-hay-te-som. Baik lah kuberi lima butir."

Gadis itu, terus mengeluarkan lima biji Hay te som lalu diberikan kepada Hong Hong lojin.

Hong Hong tojin menyambut! tetapi dia agak ragu2. "Mengapa totiang tak lekas memberikan kepadanya? "

tanya Sian Li.

"Jelas bahwa Ang Bin toheng dan Hui Gong siansu itu telah menderita kehilangan kesadaran pikirannya. Dia telah diperalat oleh orang Seng-lian-kau. Aku kuatir, Ang Bin toheng akan menolak pemberian obat ini. "

"Ya, benar, totiang." kata Blo'on, "jika begitu lebih baik kita paksa saja."

"Aku mempunyai daya, " akhirnya Hong Hong tojin berkata lalu menghampiri ketua Bu-tong-pay itu. Tiba2 ia menutuk dada ketua Bu-tong-pay itu. Bluk .... Ang Bin rojin serentak rubuh.

"Benar, totiang, " seru Sian Li, " hanya dengan jalan ditutuk jalan darah supaya dia tak dapat berkutik, barulah kita dapat memberi obat kepadanya."

“Lebih baik buka saja bajunya," kata Hong liong pula kepada Blo'on. Blo'on pun terus melakukan perintah itu.

Hong Hong tojin terus membuka mulut ketua Bui-tong-pay itu lalu memasukkan kelima butir Hay-te-som ke dalam mulutnya. Blo'on memegang kedua lengan Ang Bin menjaga supaya tokoh itu tidak meronta. Tetapi ternyata ketua Bu-tong-pay itu lemas tenaganya.

"Hai, dada Ang Bin tojin ini juga ada lukisan bunga teratai putih, " seru Blo'on seraja menunjuk dada Ang Bin.

"Hai, apa yang dikatakan Hui Gong taysu memang benar," kata Hong Hong tojin, "semua tokoh penting dari Seng-lian- kau, dadanya tentu berhias cacahan bunga teratai putih. "

Hong Hongpun memeriksanya. Dia dapatkan lukisan itu melekat pada dada, berwarna putih perak.

"Hm, tentu inilah yang menyebabkan Ang Bin toheng kehilangan kesadaran pikirannya," kata Hong Hong. Ia membau lukisan itu, kemudian menjilatnya.

"Ya, tak salah lagi, " serunya, "lukisan teratai putih itu tentu dibuat dengan ramuan racun. Apabila kita dapat menghilangkannya, tentulah Ang Bin toheng akan pulih lagi kesadaran pikirannya!”

Bio'on terus mengeluarkan pedang. " Eh, mau apa suko? " seru Sian Li.

"Akan kukorek lukisan teratai itu supaya hilang."

"Jangan," cegah Hong Hong, "jika salah urus, kemungkinan malah akan membahayakan jiwanya."

Ia coba memeriksa lagi lukisan itu dengan teliti.

Dalam pada itu Hui Gong taysupun segera maju. Kuatir kalau paderi Siau-lim itu akan mengganggu pekerjaan Hong Hong tojin. Ceng Sian suthaypun segera maju menghadang. Rupanya dalam kesadaran pikirannya yang hilang, ketua Siau-lim itu masih dapat meluap ke marahannya. Ia jengkel melihat rahib itu selalu merintanginya.

Hui Gong segera menyerangnya dengan ilmu pukulan Hung-liang-sip-pat ciang atau Delapan belas-tamparan- menundukkan-naga. Sebuah ilmu pukulan simpanan dari vihara Siau-lim.

Ilmu Hang-liong-siap-pat-ciang itu memang jarang digunakan karena dari paderi Siau-lim angkatan Hui, hanya Hui Gong siansu seorang yang menguasainya. Dia memang seorang murid yang cerdas dan saleh.

Ceng Sian suthay terkejut. Dengan sekuat tenaga ia melayaninya namun hanya dapat bertahan tanpa dapat membalas. Itupun dengan susah payah.

"Suthay, silahkan beristirahat," seru pengemis-sakti Hoa Sin seraya maju.

Ceng Sian suthay tahu akan watak ketua Kay Pang. Dia jujur dan baik hati. Hanya suka melucu dan berolok-olok. Karena yang meminta ketua Kaypang itu Ceng Sian pun tak marah. Ia segera loncat mundur.

"Hola, Hui Gong siansu, kiranya siansu sudah lupa benar2 pada kawan2 lama. Aku si pengemis tua Hoa Sin," serunya.

"Huh," ketua Siau-lim hanya mendesuh terus menyerang.

Hoa Sin ketua Kay-pang mempunyai bermacam-macam ilmusiiat yang aneh. Sesuai dengan wataknya yang aneh, Hoa Sin disamping memiliki ilmusilat dari partainya, juga gemar mempelajari berbagai ilmusilat dari beberapa aliran. Dan gemar pula ia menciptakan ilmu silat baru. Joh-hong-ciang atau pukulan berlawanan arah, juga diciptakan selama dalam perjalanan.

Hoa Sin pun segera mengeluarkan ilmu silat ciptaannya itu. Memang pada babak permulaan dapat mengimbangi permainan lawan. Tetapi setelah Hang-liong-sip-pat-ciang mencapai jurus yang ke lima-belas, ketua Kaypang itu kelabakan setengah mati.

Dam2 ia harus mengakui bahwa ketua Siau lim itu memang hebat sekali tenaga dalamnya. Joh-hong-ciang mau disambar angin pukulan Hang-liong-sip-pat-ciang yang perbawanya laksana halilintar menyambar.

Melihat itu kakek Lo Kun menghampiri kakek Kerbau Putih dan membisikinya. Kedua kakek itu terus mengitari ke belakang Hui Gong taysu. Tanpa berkata apa2, keduanya  terus loncat menubruk ketua Siau-lim itu. Lo Kun merangkul kedua kaki Hui Gong dan kakek Kerbau Putih menyekap pinggang orang.

Hui Gong terkejut. Ia hampir rubuh. Cepat ia ayunkan tangannya untuk menghantam kakek Kerbau Putih. Tetapi saat itu dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, Hoa Sin sudah loncat dan menutuk dada paderi itu.

"Ah....." Hoa Sin menghela napas longgar dan mempesut keringat pada dahinya. Ia sudah kewalahan menghadapi paderi Siau-lim itu.

"Bawa kemari!" teriak Blo'on.

"Kenapa? " seru Lo Kun yang masih mati-matian mendekap kedua kaki Hui Gong. "Hui Gong taysu sudah terkena tutukanku, dia tentu tak dapat bergerak lagi. Harap paman Lo suka menggotong ke tempat Kim kongcu," kata Hoa Sin.

"Mau engkau apakan? " tanya Lo Kun ketika menggotong Hui Gong ke tempat Blo'on.

"Lihat, kakek Lo," seru Blo'on, "mustika batu Naga merah yang engkau berikan itu ternyata memiliki hasiat yang hebat sekali. Lihatlah, lukisan teratai perak pada dada Ang Bin tojin ini!”

Kakek Lo Kun melongok.

"Hai, mengapa lukisan itu dapat tersedot rontok? " teriaknya.

"Memang hebat sekali batu pemberian kakek itu," seru Blo'on. "setelah lukisan di dada Ang Bin tojin habis, nanti kita kerjakan lukisan di dada Hui Gong taysu."

Selagi rombongan Blo'on masih sibuk menolong Ang Bin tojin, tiba2 dari dalam vihara Seng-lian-si, muncul beberapa orang. Mareka mengenakan jubah putih, pada bagian dada berlukis teratai kuning.

Jumlah mereka tak kurang dari duapuluh orang dan ketika melihat kakek Kerbau Putih, Hui Gong taysu dan Ang Bin tojin berada pada rombongan Blo'on segera mereka hendak menerjang.

Melihat itu Ceng Sian suthay dan Hoa Sin segera menghadang.

"Berhenti! hardik ketua Kay-pang, mau apa kalian ini? " "Kami  anakbuah  Hong-lian-tong,"  sahut  salah  seorang,

"ketiga orang itu adalah tukang sapu dan paderi Ti-khek ceng

Seng-lian-si. Kenapa mereka? " "Mereka adalah kawan kami. Hui Gong taysu ketua Siau- lim-si, Ang Bin tojin ketua Bu-tong-pay dan kakek  Kerbau Putih adalah kawan kami." seru Hoa Sin.

"Hm, berani benar engkau mengaku-aku! Lepaskan mereka!"

Seorang pula segera menghampiri orang yang bicara itu dan berkata bisik.

"Hm, jelas mereka telah menderita luka, tentu kamu yang mencelakai!" seru orang itu pula.

"Benar," seru kakek Lo Kun dan kakek Kerbau putih seraya maju, "memang kawanku ini bermula tak ingat siapa aku. Dia malah mengamuk, dan menyerang. Tetapi sekarang dia sudah jinak dan ingat kembali pada kawan2 lama."

"Ta-soh ceng, mengapa engkau tak lekas ke mari!" seru orang itu.

"Hah? Siapa ta-soh-ceng itu? " sahut Lo Kun.

"Ta-soh-ceng adalah paderi tukang sapu, dia!" orang itu menunjuk kakek Kerbau Pulih.

"Benarkah? " kakek Lo Kun berpaling kepada kakek Kerbau Putih.

"Siapa bilang aku tukang sapu!" teriak Kerbau Putih."

"Hai, ta-soh-ceng, mengapa engkau lupa kewajibanmu dan enak2 campur dengan orang2 ini? "

"Aku bukan tukang sapu!" teriak kakek Kerbau Putih. "Tangkap ta-soh-ceng itu!" orang berjubah putih teratai

kuning itu segera berteriak memberi perintah. Dua orang jubah putih teratai kuning segera maju hendak meringkus kakek Kerbau Putih tetapi dihadang Hoa Sin dan Ceng Sian.

"Eh, mengapa kamu merintangi? " seru kedua paderi jubah putih itu, "Dia adalah kakek Kerbau Putih teman kami, bukan paderi tukang sapu." seru Hoa Sin.

"Hm, jelas dia adalah ta soh-ceng dari vihara Seng lian si ini. Aku hendak nenangkap orangku sendiri, mengapa kalian turut campur!"

"Tidak!" kata Hoa Sin, "dia adalah kawan kami. Memang dia telah di tangkap orang Seng-han-kau dan di jadikan tukang sapu, tetapi sekarang dia sudah bebas"

"Hm, rupanya engkau memang hendak cari gara2 di sini," kata paderi jubah putih lalu ayunkan tangannya menghantam.

Krakkkk .....

Hoa Sin menangkis. Ia terkejut. Walanpun ia berhasil dapat membuat orang itu tersurut mundur dua langkah tetapi ia rasakan lengannya juga tergetar.

Yang seorang hendak memukul tetapi segera di sambut Ceng Sian suthay. Juga Ceng Sian menderita perasaan seperti Hoa Sin.

Kedua orang berjubah putih dengan lukisan bunga teratai itupun terkesiap juga. Namun mereka tak menghiraukan suatu apa dan terus menyerang lagi.

Hoa Sin memperhitungkan, rombongan orang jubah putih teratai kuning itu berjumlah duapuluh. Jika kepandaian mereka rata2 seperti yang dua orang itu, tentu sukar untuk mengatasi mereka. Maka dia harus cepat2 dapat mengalahkannya. Hoa Sin segera gunakan ilmu meringankan tubuh. Juga dalam hal ini, dia telah menciptakan ilmu loncatan tersendiri yang dinamakan Tong-long jong-thian atau Belalang-loncat-ke udara.

Gerakan ketua Kay-pang yang aneh itu membuat lawan bingung dan beberapa saat kemudian, dapatlah Hoa Sin mengatasi kedua lawannya.

"Berhenti!" tiba2 terdengar seorang lelaki tua berjubah putih dengan lukisan bunga teratai kuning, muncul dari dalam ruangan.

Rombongan orang berjubah putih dengan teratai kuning itu segera menyiak membuka jalan seraya memberi hormat.

"Hormat kepada Hong-lian-tong-cu!"

Lelaki itu bermata satu, umurnya setengah baya, membawa sebatang tongkat tangkainya berbentuk kepala naga.

Melihat kedua orang jubah putih terkapar di lantai, Hong- lian-tong-cu atau kepala dari Paseban-teratai-kuning yang bermata satu itu berkilat-kilat memancarkan kemarahan.

" Kenapa mereka? " serunya dengan suara bengis.

Salah seorang jubah putih teratai kuning segera maju memberi laporan.

"Hm, jelas mereka hendak cari gara2! " kata lelaki mata satu.

"Tok gan hui-liong! " seru Hoa Sin ketika melihat lelaki bermata satu.

Ceng Sian suthay dan Hong Hong tojin pun cepat dapat mengenali orang itu sebagai Tok-gan hui-liong atau si Naga- terbang mata-satu dari Tibet yang dulu pernah datang menghadiri upacara sembahyangan jenazah Kim Thian ceng.

Tetapi Tok gan hui-liong tak menyahut, melainkan membentak: " Hai, siapa kalian yang berani bertindak berandalan di vihara Seng-lian-si sini!

Dalam pada itu, Blo'on telah menyelesaikan pertolongannya kepada Ang Bin tojin. Lukisan teratai perak pada dada ketua Bu-tong-pay itu sudah bersih dan kini imam itu sedang pejamkan mata menyalurkan pernapasan untuk mengembalikan tenaganya.

"Sumoay, siapakah si Mata-satu itu? " tanya BIo'on kepada Sian Ii.

"Dia adalah si Naga-terbang-mata-satu dari Tibet yang dulu telah mengacau dalam upacara sembahyang peti jenasah suhu."

"O " kata Blo'on, "bagaimana cara dia melakukan pengacauan.

''Dia meyulut dupa, ketika sembahyang, dia manaburkan dupa itu ke arah peti mati dengan pukulan Biat gong ciang."

"Hm," desuh Blo'on. "berikanlah pertolongan pada Hui Gong siansu dengan batu kumala merah ini. Aku hendak membuat perhitungan dengan si Mata-satu itu dulu."

Blo'on menyerahkan mustika kumala merah lalu menghampiri kehadapan si Mata-satu.

"Kim kongcu, mengapa engkau? ” Hoa Sin terkejut.  "Berikan si mata satu ini kepadaku. Aku hendak

menyelesaikan perhitungan dengan dia." Dan sebelum Hoa Sin sempat berkata lagi, Blo'on pun  sudah berseru kepada lelaki bermata satu itu :

"Hai, Naga-terbang-mata-satu, kenapa engkau hendak terusakkan peti jenasah ayahku dulu? "

"Hm, siapa engkau, setan gundul!" bentak Tok-gan-hui- liong.

"Aku putera Kim Thian Cong. Lekas jawab, mengapa engkau hendak mengganggu ayahku yang sudah meninggal! "

"Setan gundul, engkau berani bertingkah liar di sini! " seru Tok-gan-hui-liong seraya menghantam.

Aneh. Kali ini Blo'on tidak menirukan saja gerakan orang. Entah bagaimana dia mempunyai! pikiran untuk menangkap orang itu dan mengadilinya.

Begitu orang memukul, dia terus enjot kakinya. Mudah- mudahan bisa terbang ke udara, pikirnya.

"Eh....." ia terkejut dan girang ketika tubuhnya benar2 dapat melambung ke udara sampai dua tombak tingginya. Ia terkejut lalu meronta dan meluncur turun. Wut secepat

anakpanah meluncur, tahu2 dia sudah berada di belakang lelaki bermata-satu itu.

Tok-gan hui-liong cepat berputar tubuh dan wut ia

menghantam lagi sekuat-kuatnya. Kali ini dia lancarkan pukulan Biat-gong-ciang yang paling menjadi andalannya.

Blo'on terkejut dan loncat ke atas lagi. la meluncur dua tombak dan tahu2 sudah tiba di belakang lawan.

Demikian berulang sampai tiga empat kali selalu pukulan Tok-gan-hui-liong itu tak dapat mengenai sasaran. "Baiklah aku berputar-putar supaya pandang matanya kabur, setelah itu baru kuhantamnya,” pikir Blo'on.

Ia terus lari berputar-putar mengelilingi si Mata-satu. Dan terkejutlah sekalian tokoh yang menyaksikan gerakan Blo'on. Hampir mereka tak percaya apa yang disaksikan. Saat itu Blo'on tidak tampak lagi orangnya melainkan hanya sesosok bayangan putih yang makin lama makin seperti segulung  asap.

"Hebat benar gin-kang dari Kim kongcu itu," bisik Hoa Sin. "Gila, Blo'on jadi bayangan setan, " teriak kakek Lo Kun,

"dari mana dia belajar ilmu macam itu? "

Naga-terbang-mata-satu terkejut dan bingung, la berusaha untuk menghantam tetapi tak pernah kena. Dan selang beberapa saat kemudian, tiba2 ia jatuh terduduk, pejamkan mata.

"Hm, dia kehabisan napas,” seru Lo Kun.

Blo'on berhenti, la menghampiri ke muka orang itu, serunya

:

"Hai, mata satu, mengapa dulu engkau hendak

menghancurkan jenazah ayahku? " tegurnya.

Teiapi si Mata-satu diam saja.

"Hai, mata satu, apa engkau tuli? " teriak Blo'on,  "jawablah, kalau memang beralasan, dapat kuberi ampun. Tetapi kalau alasanmu tidak baik, engkau tentu kuhajar."

Namun mata satu itu tetap diam.

"Blo'on, dia matanya tinggal satu, tentu tidak dapat mendengar omonganmu!'* seru kakek Lo Kun. Hoa Sin, Ceng Sian dan beberapa orang tertawa geli.

Masakan mata tinggal satu terus bisa tuli.

Blo'on maju mendekat. Ia memegang bahu Mata-satu. Rupanya Naga-terbang-mata-satu masih terang ingatannya. Dia hanya lunglai karena kehabisan tenaga. Tahu bahwa bahu dipegang orang ia terkejut. Jika orang itu menggunakan tenaga untuk meremas, tentulah tulang bahunya akan remuk dan dengan demikian ilmu kepandaiannya akan lenyap kerena tenaganya merana.

Sebenarnya baru dua bagian saja tenaga dalamnya yang sudah kembali. Tetapi karena kuatir akan dicelakai, dia terus kerahkan segenap sisa tenaga-dalamnya kearah bahunya untuk menolak tangan orang.

Blo'on terkejut dan saat itu juga tenaga sakti Ji-ih-sin-kang pun terpancar dari tangannya. Naga-terbang-mata-satu menjerit dan terus terjungkal rubuh. Dia pingsan.

"Celaka dia mati!" teriak Blo'on.

Hoa Sin menghampiri dan memeriksa pergelangan tangan orang. Ia mengatakan denyutnya masih ada, orang itu hanya pingsan.

Pada saat itu Sian Lipun sudah selesai mengobati Hui Gong taysu. Ketua vihara Siau lim itu masih duduk bersemedhi. Hoa Sin memang sengaja tak mau membuka jalandarah Hui Gong yang ditutuknya tadi. Biar taysu itu dapat menjalankan darah untuk mengerahkan tenaga-dalamnya. Dengan demikian tentu akan makan waktu sehingga Cian lian-hay-te-som dapat mengembangkan khasiatnya.

"Sumoay, pinjamkanlah kumala merah itu kepadaku untuk mengobati orang ini," seru Blo'on. Sian Lipun menyerahkannya. Juga pada dada Tok-gan-hui-liong terdapat lukisan teratai perak. Setelah dilekati dengan kumala merah itu, dapatlah lukisan teratai perak berguguran lenyap.

Blo'on terkejut ketika melihat pandang mata Tok-gan-hui- liong redup, tidak berkilat-kilat seperti tadi.

Hoa Sin tertawa.

"Kim kongcu," katanya, "apakah kongcu tetap hendak menghukumnya? "

"Soal itu tergantung dari jawabannya, " jawab Blo'on. “Tetapi dia sudah menerima hukuman dari kongcu,” seru

Hoa Sin pula.

"Aku tak merasa menghukumnya! "

"Orang Tibet ini, sudah menjadi orang biasa. Tenaganya sudah hancur sehingga dia tak dapat bermain silat lagi. Dia menjadi manusia cacad."

"Hai! Bagaimana begitu? " teriak Blo'on.

"Ketika kongcu mencekal bahunya, dia meronta se- kuat2nya. Hal itu berarti dia bunuh diri sendiri. Tenaga yang di pancarkannya telah tertolak oleh tenaga-sakti kongcu. Akibatnya tulang bahunya telah remuk dan dia akan cacad seumur hidup, menjadi seorang biasa."

"Tetapi biarlah dia pulih kesadaran pikirannya dulu. Blo'on tetap melanjutkan pengobatannya untuk menyedot lukisan teratai perak dengan mustika Naga kumala merah.

Rupanya karena tongcu mereka telah kalah, kawanan orang berjubah putih dengan gambar teratai kuning itu jeri. Mereka tak berani bergerak. Tiba2 dari dalam ruang vihara muncul seorang berjubah merah dengan gambar teratai warna kuning. Memakai topi berbentuk bunga teratai merah dan membawa sekeping marmar.

"Amanat cong-thancu Seng-lian-kau,” serunya seraya mengacungkan marmar putih itu.

Kawanan orang yang berjubah putih dengan gambar bunga teratai kuning tadi seraya membungkuk tubuh, memberi hormat.

"Dengarkan amanat Hek cong-thancu," seru orang itu pula, "bahwa rombongan tetamu yang datang supaya segera dibawa ke paseban agung."

Rombongan jubah putih itu memberi hormat dan menyambut: "Baik, kami akan melakukan perintah cong- thancu."

Orang berjubah merah itupun segera masuk lagi. Kemudian salah seorang dari rombongan jubah putih bergambar teratai kuning itu, maju ke hadapan Hoa Sin.

"Atas perintah Hek cong-thancu, kalian di persilahkan masuk."

Hoa Sin berunding dengan Blo'on. Blo'on menghendaki supaya rombongan orang jubah putih gambar teratai kuning itu masuk lebih dulu.

"Kita harus menunggu Hui Gong taysu, Ang Bin totiang dan si mata-satu ini sembuh, baru akan masuk," kata Blo’on.

"Terima kasih atas sambutan anda sekalian," seru Hoa Sin kepada rombongan jubah putih itu, "tetapi kami hendak menolong orang dulu. Silahkan anda masuk lebih dulu." "Cong-thancu sudah mengeluarkan titah. Kalian harus sekarang juga masuk," seru orang itu.

"Eh. apakah kalian hendak memaksa? " tegur kakek Lo Kun. "Cong-thancu telah bermurah hati untuk mengundang

kalian. Jangan kalian banyak tingkah!"

"Telah kukatakan. Rombongan masih perlu menolong orang. Sebentar tentu akan menyusul."

Tanpa banyak kata, dua orang jubah putih itu segera menghampiri kakek Lo Kun hendak menyeretnya. Melihat itu kakek Kerbau Putih pun marah. Dihantamnya orang berjubah putih itu. Dan kakek Lo Kun juga marah, la berontak lalu menyerang.

Dua orang jubah putih itu terpelanting ke belakang. Kakek Lo Kun dan kakek Kerbau Putih tak peduli. Sudah terlanjur mengamuk, pikir mereka, lebih baik menghajar kawanan jubah putih ini sekali.

Empat belas lelaki berjubah putih bergambar teratai kuning, segera menyerang Lo Kun dan Kerbau Putih. pertempuran kembali berkobar seru.

"Hoa pangcu, tolong obati si mata satu ini,'! seru Blo'on, "aku hendak membantu kedua kakek itu. "

Hoa Sin segera menyambuti mustika kumala merah dan mulai menolong si mata satu. Sementara Blo'on mendongkol kepada kawanan jubah putih itu.

Tanpa menggunakan jurus silat, ia terus maju dan mengamuk. Duk, duk, duk .... terdengar tinjunya menghantam, disusul dengan beberapa sosok tubuh yang rubuh. Memang Blo'on juga menderita terkena pukulan lawan.

Tetapi celakanya, si pemukul itu malah terpelanting sendiri.

Dalam beberapa waktu saja keempat belas orang jubah putih bergambar teratai kuning itu sudah kalang kabut. Ada yang rubuh, ada yang mengerang-erang kesakitan, ada yang pingsan dan ada yang melarikan diri.

Sababis menyelesaikan mereka, Blo'on kembali menghampiri si mata satu. Saat itu si mata satu sudah sadar pikirannya.

"Mengapa dulu engkau hendak menghancurkan peti jenasah ayahku? " tegur Blo'on.

Tok-gan-hui-liong menerangkan bahwa ia hendak membalas sakit hati atas tindakan Kim Thian-cong menghancurkan sebelah matanya.

"Mengapa ayahku sampai menghajar engkau? ”

"Pada masa itu aku memang menuntut penghidupan yang tak baik. Aku malang melintang di daerah Tibet sebagai begal."

"Hai, apakah sekarang engkau sudah sadar? " "Ya,"

"Jika demikian, silahkan pergi." "Apa engkau tak membunuh aku? "

"Engkau sudah mendapat hukuman yang sesuai. Sekarang ilmu kepandaian dan tenagamu sudah punah. Tak mungkin lagi engkau berbuat jahat.”

"Hm …" "Apakah engkau masih kurang puas dan hendak menuntut balas kepadaku kelak? ”

"Engkau sudah memberi ampun jiwaku, bagaimana aku hendak membalas dendam kepadamu. Ketahuilah kami orang Tibet juga rakyat yang tahu budi dan kenal kebenaran.”

"Bagus." seru Blo'on, "maafkanlah aku karena telah mencelakai dirimu."

Demikian Tok-gan hui-liong tokoh hitam dari Tibet yang pernah merajai daerah Tibet selama belasan tahun, saat itu berjalan pelahan-lahan turun dari gunung Hong-san.

Dia tahu bahwa dirinya sekarang sudah menjadi orang biasa. Tetapi dia tetap gembira karena telah terlepas dari budi dan dendam yang sudah membayanginya selama ini.

Kemudian rombongan Blo'on segera masuk kedalam vihara Seng Iian si.

Dalam pada itu rombongan kedua yang terdiri dari Tay swat-san sam-hiong yakni si brewok Kian yang bergelar Swat kim-kong atau Malaekat salju, si tinggi Liong Kim Tong bergelar Swat-leng coa atau Ular salju-sakti, si mata-satu Pa Kiu bergelar Swat-gau-liong atau Naga-mata-salju, segera memasuki markas Seng-lian dari samping kanan gunung.

Tetapi mereka segera dihadang oleh kawanan imam berjubah putih dengan gambar teratai warna kelabu.

Ketiga tokoh dari gunung Tay swat-san segera dikepung. "Hai, siapakah kalian yang berani menyelundup ke daerah

Seng-ling-kau? " bentak salah seorang imam.

Karena sudah kepergok, ketiga jago dari Tay-swat san-sam- hiong, memang hendak mengunjungi pangkalan Seng-lian- kau. '"Kalau memang bermaksud baik, mengapa tidak ambil jalan dari muka!" tegur imam teratai kelabu itu.

"Kami telah kesasar jalan. Maaf, karena belum kenal akan keadaan gunung ini. Terutama tak tahu kalau gunung ini telah menjadi pangkalan Seng-liau-kau."

"Apakah kalian tak menerima undangan untuk menghadiri upacata peresmian berdirinya Seng-lian kau? "

"Yang kami terima adalah undangan dari Thian su-kau. Tetapi waktu itu kami sedang keluar. Ketika kembali baru kami mengetahui undangan itu. Tetapi mengapa sekarang tempat ini menjadi pangkalan Seng-Iiau-kau l” tanya Bo Kian.

"Heh, memang sebelumnya di gunung ini telah berdiri sebuah perkumpulan baru yakni Thian-su-kau tetapi kemudian oleh ketua kami yang baru. diganti dengan nama Seng-lian- kau."

"Siapatah nama ketua Seng lian kau? " "Kim Thian-cong tancu."

"Kim Thian Cong? ” Bo Kiam mengulang keras, “bukankah tokoh ini sudah menutup mata di gunung Lo-hu-san? "

"Siapa bilang kalau sudah mati!" bentak imam berlukis teratai kelabu.

"Lalu bagaimana kalian akan memperlakukan kami? " seru Bo Kian, "Serahkan dirimu agar kami ikat dan bawa menghadap kaucu."

"Mengapa? "

"Kalian telah melanggar peraturan Seng-lian-kau, berani masuk di tempat ini. Setiap tetamu harus masuk dari pintu besar vihara disebelah muka.” "Telah kukatakan bahwa aku telah kesalahan jalan. Apakah engkau tak percaya? "

"Soal itu boleh engkau katakan di hadapan kaucu kami. Kami anggauta Hwe lian tong bertugas meronda di daerah ini. Setiap orang yang berani masuk kemari, harus ditangkap!"

"Jika aku menolak? " "Terpaksa harus kita hajar!"

"Wah, enak saja engkau omong," Bo Kian tertawa mengejek.

"Memang kalau belum merasakan kelihaian dari anakbuah Hwa lian-tong, engkau tentu masih bermulut besar," seru orang itu kemudian berseru kepada kawan-kawannya.

"Siapkan Lian-hoa tin!"

Serempak kawanan imam yang berjumlah dua puluh orang itu berpencaran membentuk diri dalam sebuah barisan yang disebut Lian-hoa-tin atau barisan Bunga-teratai. Ketiga tokoh dari Tay-swat san itu dikepung.

"Kita serang bersama," bisik Bo Kian dengan menggunakan ilmu Menyusup-suara.

Serempak ketiga tokoh itu bergerak menerjang  tiga jurusan.

Barisan Lian-hoa-tin merentang mundur. Pada saat ketiga tokoh Tay-swat-san itu mendesak merekapun sagera menghantam sehingga Bo Kian bertiga mundur.

Tampaknya memang tiada suatu keistimewaan pada  barisan Lian-hoa-tin itu, kecuali hanya bentuknya yang menyerupai sekuntum bunga teratai. Tetapi ternyata ketiga tokoh Tay-swat-san itu sukar untuk menerobos. Setiap kali mereka mendesak maju, mereka seperti terbentur dengan pagar tenaga yang hebat. Dan yang lebih aneh, napas mereka makin sesak.

"Mugkin mereka menggunakan asap beracun" pikir Bo Kian. Tetapi dia tak melihat barang segumpal asap maupun bubuk apapun yang sekiranya dapat menebarkan hawa racun.

"Mereka menggunakan ilmu setan," Bo Kian menggunakan ilmu Menyusup suara pula untuk mamberitahu kepada kedua rekannya.

"Sebelum mereka sampat menghancurkan kita, kita harus menghancurkan mereka," sahut Liong Kim Tong si Ular-salju- saktl.

Bo Kian segera mencabut senjatanya, sepasang gembolan berbentuk orang. Liong Kim Tong melolos jwan-pian atau ruyung berbentuk ular dan Pai Kim dengan senjatanya pedang. Ketiga tokoh itu dengan bersuit nyaring lalu menyerang.

Hebat sekali memang kesaktian dari ketiga tokoh Tay-swat san itu. Barisan Lian-hoa-tin kacau balau. Dalam beberapa kejap dua tiga orang telan rubuh.

Barisan Lan-hoa tin berusaha untuk memelihara kesatuannya tetapi desakan yang dilancarkan ketiga tokoh Tay-swat-san itu terlalu dahsyat. Terutama senjata mereka, merupakan maut yang mengerikan.

Beberapa imam jubah putih dengan gambar teratai kelabu itu, kembali rubuh lagi. Tiba2 terdengar sebuah suitan nyaring yang menggidikkan buluroma.

Sesosok tubuh kurus melayang dari udara dan meluncur turun kedalam barisan. Barisan Lian-hoa-tin hentikan serangannya. Dan merekapun terus tegak berjajar lalu memberi hormat kepada pendatang itu.

Orang itu bertubuh kurus kering, mengenakan jubah dengan gambar teratai kelabu. Kepalanya bertutup kain kerudung bunga teratai.

Ketiga jago Tay swat-san terkesiap dan tertegun ketika manyaksikan orang itu. Wajahnya pucat kurus seperti mayat. Jari2 tangannya yang kurus dengan kuku yang panjang, menyerupai cakar setan.

Dia adalah Hwe lian-tong tongcu atau kepala paseban Taratai Kelabu dari Seng-lian-kau. Namanya tak dikenal, orang hanya mengenal gelarannya yakni Te-gak giam-lo-kui atau Setan dari Raja Akhirat.

Ketiga Jago Tay-swat-san itu tak sempat bertanya apa2 karena Giam-lo-kui terus menyerangnya.

Dalam suasana petang hari seperti saat itu bayangan Giam- lo-kui itu benar2 menyerupai setan.

Rupanya ketiga lokoh Tay-swat san itu sungkan kalau maju bartiga. Maka majulah si mata satu Swat-an-liong Pa Kim.

Dia memiliki pedang pusaka yang diperolehnya secara tak sengaja. Ketika Tay-swat-san dilanda badai salju hebat maka terjadi tanah longsor yang hebat. Sebuah puncak bukit telah longsor. Dalam bukit itu terdapat bekas sebuah kuil tua. Entah sudah berapa ratus tahun kuil itu teruruk timbunan salju.

Dalam kuil itulah si mata satu Pa Kim telah menemukan sebatang pedang. Ketika dimainkan pedang itu memancarkan hawa yang dingin sekali. la menamakannya pedang Kilat-salju. Walaupun dengan tangan kosong, tetapi kesepuluh jari Giam-lo kui itu tak kalah berbahayanya dengan pedang lawan. Kuku jarinya itu dapat ditegangkan lurus dan keras untuk menusuk.

Tring, iring-tring.....

Terdengar dering senjata tajam yang memekakkan telinga ketika terjadi benturan antara pedang Kilat-salju dengan kuku2 jari.

Keduanya menyurut mundur. Giam-lo-kui rasakan padang lawan itu seperti menyembur hawa dingin yang menyusup ke tulang2 lengannya. Pui Pa Kim rasakan lengannya juga seperti dirayapi binatang kecil2 yang terasa panas.

Pa Kim terkejut namun tak sempat ia memeriksa lengannya.

Giam lo-kui sudah loncat menyerangnya lagi.

Pa Kim menduga kuku2 jari manusia seperti mayat itu tentu mengandung racun. Ia segera keluarkan ilmu permainan pedang Kilat-salju. Seketika tampak angin menderu-deru keras dan kilat menyambar-nyambar.

Tetapi Giam-lo kui dengan gaya permainannya yang aneh selalu dapat menghindari tabasan pedang. Dan kadang terdengar dering tajam ketika ia gunakan ujung kukunya untuk menutuk batang pedang.

Pertempuran berjalan seru. Beberapa saat kemudian tampak gerakan pedang Pa Kim makin menurun kecepatannya. Dan pada lain saat pula, tiba2 ia terhuyung- huyung ke belakang.

Melihat itu dengan meringkik ngeri seperti hantu kuburan, Giam-lo kui terus merangsang maju. Tring, ia dapat menampar jatuh pedang lawan lalu mencengkeram lengannya dan terus ulurkan tangan kiri untuk menerkam muka Pa Kim.

"Jangan mengganggu sam te!" tiba2 Liong Kim Tong loncat, menyabat punggung Giam-lo kui dengan ruyung ular.

Wut ..... Giam-lo-kui cepat balikkan tangan untuk menampar. Tetapi ruyung ular itu luar biasa sekali. Seperti seekor ular hidup, ruyung ular itu dapat menghindar ke bawah lalu maju pula untuk menghantam punggung orang.

Giam-lo-kui terkejut. Ia tahu bahwa lawan memiliki tenaga- dalam yang hebat sekali sehingga dapat menguasai ruyung menurut sekehendak hatinya.

Terpaksa ia lepaskan cengkeraman lengan Pa Kim, lalu menyongsong ruyung ular itu dengan menebarkan kelima jarinya. Kemudian disusul dengan lengan kiri menampar batang ruyung.

Plak .... ruyung ular luput dicengkeram tapi kena ditampar. Tetapi begitu meluncur ke bawah, ruyung ular itu kembali menjulur maju menyambar perut lawan.

Serangan itu memang hebat. Giam-lo kui berteriak aneh lalu melambung ke udara untuk menghindar. Di tengah udara ia berulang kali menampar dengan kedua tangannya. Dan sambil meluncur ia menampar kepala orang.

"Ji-te, cepat mundur! " teriak Bo Kian ketika melihat gaya serangan Giam-lo-kui yang sedemikian cepat dan dahsyat.

Liong Kim Ting terkejut. Ia hendak loncat mundur tetapi tak keburu. Sebelum kedua tangan Giam-lo-kui tiba, muka Liong Kim Ting sudah seperti tertabur bubukan yang menyebabkan kulit mukanya seperti terbakar.

Bum .... Pada saat itu Bo Kian tak dapat berpeluk tangan lagi. Ia lepaskan dua buah hantaman ke arah Giam-lo kui dan kepada Liong Kim Ting.

Bo Kian mempunyai gelaran sebagai Swat-kim-kong atau Malaekat-salju. Tenaganya kuat sekali. Giam-lo-kui terkejut dan terpaksa buang tubuhnya ke belakang. Sedangkan Liong Kim Ting mencelat sampai beberapa langkah.

Bo Kian terus menerjang Giam-lo kui dengan sepasang gembolan baja. Dengan tenaganya yang kuat, sepintas tampak seperti seorang raksasa yang sedang mengamuk.

Giam lo-kui berkuik-kuik seperti setan merintih-rintih. Sepasang tangannyapun makin kencang bergerak-gerak menyerang dan menampar gembolan lawan.

Pertempuran berjalan amat seru dan seimbang. Bo Kian penasaran sekali. Ia menyerang dengan kalap.

Wut ..... segumpal kain kerudung kepala lawan terhantam, kopiahnya jatuh dan tampaklah wajah Giam-lo-kui lebih jelas.

Terkejut sekali Bo Kian melihat wajah lawannya. Kepalanya tidak gundul tatapipun tidak banyak rambutnya. Batok kepalanya berwarna putih. Dalam kegelapan malam wajah Giam-lo-kui itu tak ubah seperti setan.

Hanya sekejap ia tertegun tetapi ia harus menderita kerugian besar. Dengan tertawa meringkik keras dan seram, Giam-lo kui rentang kedua tangannya dan menerkam lawan.

Bo Kian terkejut. Ia hendak mengangkat senjatanya tetapi kalah dulu. Tangannya kena tersambar jari tangan lawan. Bo Kian hendak ayunkan gembolan kiri untuk menghantam. Namun seketika itu ia rasakan tangan kanannya yang dicengkeram Giam-lo-kui itu seperti terbakar. Sakitnya sampai menusuk ke ulu hati sehingga hantaman dengan gembolan kiri tadi agak lambat.

Gian lo-kui miringkan kepala untuk menghindar lalu tangan kanannya menyambar siku lengan kiri lawan. Bo Kian terkejut sekali tetapi ia tak dapat berbuat apa2. Saat itu ia rasakan tangannya seperti dibakar api dan tenaganyapun lunglai.

Setelah mencengkeram sekeras-kerasnya, Giam Io-kui tiba2 lepaskan tangannya dan terus hendak mencengkeram leher orang. Jelas Bo Kian tentu akan mati apabila lehernya tercekik manusia mayat. Namun ia tak berdaya, kecuali hanya membelalak memandang dengan penuh kemarahan kepada wajah lawan.

Dalam detik2 yang berbahaya itu tiba2 sebuah gelombang angin yang keras menyambar punggung Giam-lo-kui.

" Hm, " Giam-lo kui mendengus marah. Terpaksa ia balikkan tangan kanan untuk menangkis sambaran angin dahsyat itu.

Krak ....

Giam-lo-kui tergetar tubuhnya. Menyusul pantatnyapun tersodok oleh sebuah benda keras. Ia mundur karena rasakan tubuhnya kesemutan. Buru2 ia empos semangat lalu kerahkan tenaga dan loncat ke samping. Ia lebih berat menyelamatkan jiwanya daripada membunuh Bo Kian.

"Setan Giam-lo-kui, jangan engkau mengganasi orang! " bentak sebuah suara parau.

Giam-lo-kui berputar tubuh dan menggeram "Hm, kiranya engkau nenek tua bangka!" "Kiranya engkau masih hidup setan kuburan? " ternyata yang menyerang dari belakang tadi adalah nenek bertongkat bambu yang mengiringkan si gadis cantik.

"Mengapa engkau turut campur urusanku? " tiba2 Giam-lo- kui menggeram.

"Apakah engkau masih melanjutkan pekerjaan dulu? Tapi yang hendak engkau bunuh itu seorang tua, bukan anak gadis!” seru nenek bertongkat bambu kuning.

"Hong-tiok pohpoh, disini bukan di gunung Ki-lian-san.

Jangan engkau bicara semaumu sendiri!"

Hong-tiok pohpoh atau Nenek Bambu Kuning mendengus: "Dimanapun juga, asal engkau setan kuburan masih suka

mencelakai orang, aku Hong-tiok poh poh, tentu akan menghajarmu!"

"Dia hendak masuk ke dalam Seng-lian-kau tanpa aturan!" "O, jadi sekarang engkau ikut sebagai antek Seng-lian-kau?

Apa pangkatmu? ” Hong Tiok poh poh mengejek.

"Tutup mulutmu, nenek tua!" teriak Giam-Io-kui, "sepuluh tahun yang lalu engkau telah mengobrak abrik tempatku. Sudah lama aku memang hendak mencarimu. Sungguh kebetulan sekali engkau datang mengantarkan diri sendiri."

"Ponpoh," tiba2 terdengar lengking seorang gadis, "biarlah aku yang menghadapinya."

Rupanya nenek Bambu Kuning itu taat pada si gadis. Ia segera mengundurkan diri.

"Giam-lo kui," seru gadis cantik itu, "engkau masih ingat kepadaku? "

"Siapa engkau!" "Aku adalah anak dari wanita yang engkau rusak kehormatannya lalu engkau bunuh itu!"

"Hek-bi kui? ”

"Ya, Hek-bi kui si Mawar Hitam, engkau masih ingat? " Giam-lo-kui terbelalak.

"Giam lo-kui, lekas bersiap untuk melawan aku. Pakailah senjatamu atau kukumu yang beracun itu!" seru si gadis cantik.

"Hong-tiok pohpoh!” teriak Giam lo kui kepada nenek Bambu Kuning.

"Ya. memang nona itu yang akan menagih hutang darahmu kepada ibunya. Jangan kuatir, setan akhirat, aku takkan membantunya. Dan kalau engkau mampu mengalahkan, bunuhlah."

Tergetar hati Giam lo kui. Dengan pernyataan itu jelas bahwa kini akan berhadapan dengan seorang gadis yang lihay.

"Giam-lo-kui, aku tak punya banyak waktu menunggumu. Kalau engkau tak lekas menyerang, terpaksa aku yang akan menyerang! " seru gadis itu.

" Hm, silahkan! " dengus Giam-lo-kui.

Gadis itu tertawa melengking. Sekali geliatkan tubuh ia terus menyerang lawan.

Giam-lo kui menyambut dengan kedua cakar mautnya. Tetapi ia terkejut ketika mendapatkan bahwa gadis itu benar2 seperti sesosok bayangan setan. Tiap kali dicengkeram selalu hanya angin kosong.

"Giam-lo kui, engkau dahulu membunuh ibuku dengan menginjak perutnya. Sekarang akupun hendak menyuruhmu merasakan betapa nikmatnya orang mati yang diinjak perutnya itu! "

Crettt .....

Saat itu Giam-lo-kui tengah rentangkan kedua tangannya hendak menerkam. Tetapi ia terkejut ketika merasakan setiup desus angin tajam melanda ke arah tenggorokannya.

"Heh, " ia merasa tenggorokannya seperti tertusuk benda tajam dan seketika itu ia rasakan napasnya seperti berhenti.

Baru ia hendak kerahkan tenaga-dalam untuk membuka jalandarah pada tenggorokannya yang tertutuk itu, kembali ia rasakan pusar perutnya seperti dilanda setiup angin tajam. Seketika ia terhuyung-huyung dan rubuh.

Ia masih sempat menyadari bahwa dirinya telah terkena tutukan jari sakti dari jarak jauh. Namun ia sudah tak dapat berbuat apa2 lagi kecuali harus jatuh terduduk. Dan sekali sebuah kaki menendang dadanya iapun terkapar di tanah.

"Hek......" ia hanya dapat menguak tertahan ketika  perutnya seperti dipijak oleh sebuah kaki yang beratnya ribuan kati.

Hendak menjerit tak dapat karena tenggorokannya tertutuk. Hendak merontapun tak mampul karena tenaganya hilang. Tindihan itu makin lama makin keras dan tiba2 ia menyemburkan darah merah ketika perutnya pecah dan ususnya membural keluar.....

Tiga empat imam jubah putih teratai kelabu marah melihat tongcu mereka menderita kematian yang begitu mengerikan. Mereka terus berhamburan hendak menyerang si nona. Tetapi saat itu nenek Bambu Kuning sudah menyambut dengan tongkatnya. Terdengar beberapa jerit pekikan ngeri ketika orang2 itu berhamburan terlempar ke beberapa penjuru.

"Pohpoh, dendam kematian ibuku sebagian telah terhimpas. Pembunuhnya telah dapat kubunuh. Sekarang kita masih harus mencari manusia yang mencelakai ibuku itu," kata si gadis.

" Ketiga orang tadi terluka parah, biar kutanyai mereka dulu," kata nenek Bambu Kuning.

Setelah mengetahui bahwa ketiga orang itu jago dari Tay- swat-san, nenek Bambu Kuning segera mengeluarkan tiga butir pil dan diberikan kepada mereka.

"Kalian telah terkena racun-bangkai dari Giam-lo-kui. Pil ini hanya dapat mempertahankan jiwa kalian sampai empatpuluh hari. Dalam waktu itu kalian harus berusaha untuk mencari obat yang lebih mujarab.

"Terima kasih, pohpoh," sahut Bo Kian. Kemudian ia menanyakan apakah obat yang manjur untuk menghilangkan racun-bangkai itu.

"Leng-ci, swat-lian, bo-siu-oh dan ..... ah, apabila kalian dapat meminta obat Siok-beng-tan dari Kun Lun locu yang tinggal di puncak gunung Kun-lun-san, tentulah jiwa kalian dapat tertolong," kata nenek Bambu Kuning.

Kemudian nenek dan gadis itu segera melanjutkan perjalanan masuk ke markas Seng-lian-si. Ternyata keduanya juga mengambil jalan dari lamping kanan gunung.

Di sebuah lapangan, mereka melihat banyak sekali orang berkerumun. Sekeliling lapangan itu diterangi oleh obor sehingga terang seperti siang hari. Di sebelah utara tepi lapangan, tampak berderet-deret kursi yang penuh dengan orang. Juga di kedua samping lapangan itu penuh dengan jajaran orang2 berjubah putih yang tegak berdiri.

Ternyata ketua Seng-lian-kau telah menerima laporan dari anakbuahnya bahwa Sean-lian-kau telah didatangi oleh serombongan orang yang hendak menantang.

Ketua Seng-lian-kau lalu memerintahkan supaya penerimaan tetamu dilakukan di lapangan yangl dulu dipakai untuk mengadakan upacara meresmikan berdirinya Seng-lian- kau.

Semua anggauta Seng-lian-kau hadir lengkap. Tampak duduk di kursi kebesaran, seorang lelaki mengenakan jubah kuning dengan lukisan bunga teratai warna merah. Memakai kopiah berbentuk bunga teratai. Tetapi mukanya tertutup kain kerudung warna hitam.

Di kanan kiri diapit oleh dua orang pengawal. Bukan lelaki yang bertubuh gagah perkasa melainkan dua orang gadis cantik.

Di deretan muka agak bawah, duduk pula seorang lelaki setengah tua, mengenakan jubah kuning dengan bunga  teratai warna hitam.

Di deretan mukanya, duduk lima orang. Empat lelaki dan seorang perempuan setengah tua.

Sebenarnya deretan mereka telah disediakan tujuh kursi tetapi yang hadir hanya lima orang. Masih dua kursi yang kosong.

Kelima orang itu masing2 mengenakan jubah putih tetapi berlainan gambar bunga teratai pada dada bajunya. Yang seorang dengan bunga teratai warna merah, kemudian yang seorang bunga teratai warna wungu, lalu bunga teratai warna biru, teratai hijau dan teratai coklat.

Di antara kelima orang itu, yang mengenakan jubah berbunga teratai warna bijau itu adalah wanita setengah tua tadi. Sedang yang paling muda adalah orang yang mengenakan bunga teratai warna coklat. Dia masih muda dan berparas tampan.

Pada saat itu serombongan orang melangkah masuk ke tengah lapangan dengan diiring oleh dua orang lelaki berjubah putih bunga teratai merah.

Di sekeliling sepanjang empat penjuru tepi lapangan, berjajar-jajar beberapa kelompok barisan. Barisan jubah putih teratai merah, jubah putih teratai ungu, teratai biru, teratai hijau, teratai coklat. Yang mangenakan jubah putih teratai hijau terdiri dari gadis-gadis. Rupanya mereka termasuk pimpinan dari wanita setengah baya tadi.

Setiap barisan ternyata disesuaikan dengan pemimpinnya yang duduk di kursi. Jika pemimpin jubah putih teratai hijau itu adalah seorang wanita maka barisan jubah putih teratai hijau pun terdiri dari gadis2. Pemimpinnya yang berjubah putih bunga teratai merah itu lelaki tua, maka barisannya pun terdiri dari orang2 yang sudah berumur 50-an tahun.

Orang yang berjubah putih dengan teratai coklat itu masih muda maka barisannya pun terdiri dari orang2 muda.

Rombongan orang tadi segera berdiri di depan tokoh2 Seng-lian-kau yang duduk di kursi.

"Cong-tongcu, tanyalah keperluan mereka!,” tiba2 wanita setengah tua yang duduk di belakang kelima orang itu berseru. Orang muda yang berjubah putih dan teratai coklat segera berbangkit.

"Hai, siapakah saudara2 ini? Dan apa maksud saudara datang ke vihara Seng-lian-si kami? ”, serunya.

"Aku, Hoa Sin, ketua dari Kay-pang, bersama Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay, Ceng Sian suthay ketua Kun-lun-pay dan beberapa orang yang menghadap ketua Seng lian-kau."

"O, pangcu bertiga tidak datang dalam acara peresmian berdirinya Seng lian-kau kami?

"Kami bertujuh partai persilatan terpaksa membagi tugas. Hui Gong taysu ketua Siau lim-si, Ang Bin tojin ketua Bu-tong- pay serta Su gong In kaucu dan Kong-tong-pay yang datang memenuhi undangan Seng-lian-kau."

"Dan yang lain? "

"Aku, Hoa Sin, Ceng Sian suthay dan Hong Hong lojin serta Pang To Tik dari Hoa san-pay terpaksa harus ke Thay-san untuk memenuhi undangan Thian-tong-kau!"

"O, jadi kalian menganggap Thian tong kau itu lebih berharga dari Seng lian kau? "

"Aku tak bermaksud mengatakan begitu. Tetapi keadaanlah yang memaksa kami harus bertindak begitu.

"Apa yang engkau maksudkan memaksa itu? "

"Karena baik Seng lian kau maupun Thian lian-kau sama2 mempunyai ketua yang bernama Kim Thian Cong."

"Ho, dan kalian percaya? "

"Itulah sebabnya kami harus membuktikan mana yang betul!" "Dan bagaimana buktinya? "

"Kim Thian Cong dari Thian teng kau di gunung Thay san itu adalah palsu. Kalau tak salah, dia adalah Thiat sat cu atau Ngo tok sin kun. Entah yang mana, tetapi yang jelas dia bukan Kim Thian Cong."

"Engkau betul." seru orang muda yang disebut Cong lian tongcu atau tongcu Teratai Coklat, "Kim Thian Cong yang aseli adalah ketua Seng-lian-kau kami."

"Dimanakah kaucu Seng-lian kau'l" seru Hoa Sin.

Orangmuda berjubah putih dengan gambar teratai coklat itu berpaling ke atas dan berseru:

"Yang duduk di deretan paling atas itu adalah kaucu kami yang kami hormati!"

"Benarkah dia Kim Thian Cong tayhiap? " seru Hoa Sin agak tegang.

"Mengapa aku harus bohong? "

"Tetapi mengapa kaucu tak menampakan wajahnya? Bagaimana kami dapat melihatnya kalau wajahnya mengenakan kain penutup warna hitam iiu? "

Kepala barisan Teratai coklat itu tertawa, serunya:

"Wajah Kim kaucu kami hanya dapat dilihat oleh orang yang sudah masuk menjadi anggauta Seng-lian-kau."

"Bagaimana kami hendak membuktikan Seng lian-kau kaucu itu benar Kim Thian Cong tayhiap atau bukan? "

"Engkau harus masuk dulu ke dalam Seng lian-kau." Hoa Sin diam beberapa saat. "Jika dia benar Kim Thian Cong tayhiap aku dan rombonganku, bersedia masuk menjadi anggauta Seng-lian kau."

" Hm, peraturan Seng-lian-kau menetapkan, orang harus masuk menjadi anggauta dulu baru di perkenankan melihat wajah kaucu kami. "

" Hm, " Hoa Sin mendesuh lalu berpaling kepada Hong Hong tojin dan Ceng Sian suthay untuk berunding. Tampak kedua ketua Kun-lun-pay dan Go-bi-pay itu mengangguk- angguk.

"Tetapi bagaimana kalau setelah masuk ternyata kami anggap Seng-lian-kau kaucu itu bukan Kim Thian Cong tayhiap yang sesungguhnya? "

"Kaucu kami bersedia untuk dibunuh." "Tidak cukup begitu saja! "

Tiba2 terdengar suara orang berteriak hingga tongcu barisan Teratai Coklat terkejut dan memandang ke arah suara itu. Demikian pula Hoa Sin dan kedua kawannya. Ah, ternyata yang berseru itu tak lain adalah kakek Lo Kun.

"Eh, kakek, siapa engkau! " tegur tongcu barisan Teratai Coklat.

"Kurang ajar! " maki Lo Kun, "masakan engkau lupa kepadaku? "

"Siapa? "

"Gila! " kakek Lo Kun masih memaki, "bukankah engkau yang kusemprot dengan bakso dari mulutku ketika berada di rumah-makan di bawah gunung ini? "

Merah padam muka tongcu barisan Teratai coklat itu. "Hai, bung, siapa yang melakukan pembunuhan di rumah- makan itu? Hayo, ngaku saja!"

"Soal itu, nanti saja kita bicarakan lagi. Sekarang yang penting adalah untuk menyelesaikan persoalan yang diajukan Hoa pangcu tadi," kata tongcu Teratai coklat.

"Kuanggap belum cukup," seru Lo Kun. "Lalu bagaimana? "

"Kim Thian Cong harus di uji ilmu kepandaiannya dulu, baru dapat dinilai dia aseli atau bukan. Karena kalau melihat wajahnya saja, mungkin terdapat orang yang menyerupai atau memakai kedok. Nah, inilah yang harus kujaga!"

Tongcu Teratai coklat, Hoa Sin, Ceng Sian dan Hong Hong tojin terbeliak. Diam2 Hoa Sin terkejut mengapa tiba2 saja kakek limbung itu berobah terang sekali pikirannnya. Dia mengakui, bahwa dia tak sampai pada pemikiran begitu.

"Hm. selama ini belum pernah ada manusia yang menuntut permintaan begitu!" seru tongcu Teratai coklat.

"Ya aku malah manusianya!" seru Lo Kun, Tongcu Teratai coklat itu termenung.

“Cong lian tongcu, kaucu meluluskan tuntutan itu " tiba2

telinga Cong-tongcu itu terngiang suara halus macam bunyi nyamuk.

Tongcu barisan Teratai Coklat itu terkesiap. Ia tahu bahwa yang membisikinya itu adalah Hek thancu, si wanita setengah tua yang duduk di belakangnya, dengan menggunakan ilmu Menyusup suara.

Orang muda yang berpangkat sebagai Coug-lian tongcu dalam Seng-lian kau itu segera berseru: " Baik. Tetapi ingat Kaucu kami menjunjung rasa welas asih terhadap setiap orang. Tetapi sekali bertempur, jangan harap orang itu dapat diberi ampun jiwanya."

Kakek Lo Kun menggerutu : "Itu kalau menang. Tapi kalau, eh..... Blo'on ke marilah, " tiba2 kakek Lo Kun memanggil Blo'on.

Blo'on menghampiri.

"Ini adalah Kim Blo'on, anaknya Kim Thian Cong dan itu," kakek Lo Kun melambai Sian Li. Nona itupun segera menghampiri, "murid dari Kim Thian Cong. Apa dia kenal pada anak dan muridnya? "

Cong lian tongcu merenung sejenak.

"Sudah tentu kenal," sahutnya, "tetapi hubungan ayah dan anak serta murid itu adalah hubungan peribadi. Sedang  urusan Seng-lian kau merupakan kepentingan umum. Jangan mencampur adukkan urusan keluarga atau peribadi dengan urusan umum! "

"Apakah Blo'on dan anak perempuan ini juga harus masuk menjadi anggauta Seng-lian kau? ” tanya kakek Lo Kun pula.

"Tentu, “ sahut Cong-lian tongcu. "dan harus tunduk pada setiap peraturan Seng-lian kau.”

"Kalau begitu percuma," kata kakek Lo Kun, "Blo’on hayo kita pergi. Tak perlu engkau cari bapakmu. Ikut saja pada kakekmu ini, aku dapat mencarikan isteri yang cantik untukmu."

"Berhenti! " teriak Cong lian tongcu ketika melihat kakek Lo Kun terus berputar tubuh hendak ngeloyor, "engkau sudah datang ke vihara Seng lian si dan telah mendesak kaucu membuka persidangan besar. Jangan harap engkau dapat tinggalkan tempat ini sebelum urusan selesai! "

"Gi!a, engkau hendak memaksa menginjak-injak hak azasi orang? " teriak Lo Kun.

Karena kuatir kakek itu menerbitkan onar sebelum urusan selesai, buru2 Hoa Sin membisiki.

"Lotiang, harap bersabar dulu sampai urusan kita selesaikan."

Lo Kun menurut.

"Bagaimana, apakah kalian sudah mengambil keputusan? " tanya Cong-lian tongcu pula.

Hoa Sin memang sudah berunding dengan Ceng Sian dan Hong Hong tojin. Ketiga ketua partai persilatan itu bersepakat untuk menerima saja masuk menjadi anggauta Seng-lian kau. Setelah itu mereka akan menuntut untuk melihat wajah Kim Thian Cong.

"Baik, kami menerima," kata Hoa Sin memberi jawaban.

Cong lian tongcu segera memberi laporan kepada Hek cong thancu atau wanita yang duduk di sebelah belakangnya tentang hal itu.

"Panggil Seng-lian Su-cia untuk segera melakukan upacara sembahyangan masuk menjadi anggauta! " Hek thancu memberi perintah.

Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki berjubah merah dengan dada dan pinggangnya bergambar bunga teratai merah. Orang itu mengenakan kedok muka yang menyeramkan. Dialah yang disebut Su cia atau duta dari Seng-lian kau. Di belakangnya mengiring sepuluh pemuda dan sepuluh pemudi, juga mengenakan jubah merah dengan gambar teratai hitam.

Dua pasang pemuda pemudi yang paling depan membawa penampan bertutup kain warna merah. Entah apa isinya.

Begitu barisan jubah merah itu tiba di depan rombongan Hoa Siu mereka lalu berhenti.

"Sebelumnya kalian harus mengucapkan sumpah kesetiaan," seru Seng-Han Sucia itu.

"Ketua Kay-pang, dipersilahkan maju, " kata Seng-lian Sucia itu pula.

Hoa Sin sebelumnya telah berunding dengan Ceng Sian dan Hong Hong tojin bagaimana harus menghadapi keadaan saat itu. Kemudian dia maju.

"Engkau harus menirukan kata-kataku,” kata Seng-lian Sucia itu, " hayo, mulai "

"Hari ini "

"Hari ini " Hoa Sin menirukan.

"Tecu, Hoa Sin, ketua Kay pan g ....

"Tecu, Hoa Sin, ketua Kaypang " Hoa Sin menirukan.

"Demi Thian dan agama Seng-lian-kau .. menyatakan masuk menjadi anggauta Seng-lian-kau. Taat dan setya pada Kim Thian Cong kaucu dan tunduk pada semua peraturan. Apabila tecu ingkar janji .... tecu bersedia dihukum mati atau hukuman apa saja "

Ketika menirukan sumpah itu, Hoa Sin telah mengganti dan menambahi kata2 Kim Thian Cong kaucu' , menjadi * Kim Thian Cong kaucu yang aseli' . Selesai mengucapkan sumpah, Sucia itu membuka sebuah penampan, isinya sebilah pisau dan penampan yang kedua berisi sebuah basi besar.

"Tusuk tanganmu dengan ujung pisau itu dan kucurkan darahmu ke dalam basi itu," seru Sucia kepada Hoa Sin.

Hoa Sin juga menurut perintah itu.

"Upacara yang terakhir, bukalah dadamu,” seru Sucia. Hoa Sin.tetap menurut saja.

Su-cia itu membuka penampan yang ketiga, berisi sebuah hiolou atau tempat abu dupa. Ia mengambil hiolou itu, menuang isinya lalu menaburkan ke dada Hoa Sin.

Terakhir Su-cia itu membuka penampan yang keempat. Juga berisi sebuah bokor dari batu pualam putih, di bawah bokor itu terdapat dua pasang supit dari gading.

Su-cia itu mengambil supit, masing2 dipegang dalam tangan kanan dan kiri. Kemudian ia menyumpit benda dari dalam bokor itu. Bentuknya seperti kalung dari prada perak.

Dengan hati2, Su-cia lalu menempelkan kalung prada perak itu pada dada Hoa Sin. Setiap kali ia gunakan ujung sumpit untuk menekan kalung prada itu.

Pada saat Su cia melepaskan kalung prada itu dan meletakkan kembali supitnya di dada Hoa Sin telah berhias sebuah lukisan bunga teratai perak.

"Ya, selesai. Silahkan menunggu di sana."

"Hong Hong tojin, ketua Go bi pay, harap melakukan upacara sumpah.”

Hong Hong tojinpun maju dan melakukan upacara2 seperti yang dilakukan Hoa Sin tadi. Setelan selesai ia disuruh berjajar ke tempat Hoa Sin.

Kemudian Ceng Sian suthay. Hanya ketika disuruh buka dada, Ceng Sian suthay menolak. Ia hanya mau melakukan hal itu apabila yang menempelkan gambar teratai perak itu juga seorang wanita.

Akhirnya sucia mengalah dan menyuruh salah seorang gadis dari rombongannya itu yang melakukan.

Juga Ceng Sian suthay dipersilahkan berkumpul di tempat Hoa Sin dan Hong Hong tojin. Kini yang mendapar giliran kakek Lo Kun.

Waktu dilakukan upacara mengucap sumpah terjadi kehebohan. Kakek Lo Kun mengucap :

" Hari ini aku, Lo Kun, bekas kepala Gi lim kun ( pengawal istana ), disuruh bersumpah lagi masuk menjadi anggauta Seng-lian-kau “

Bermula Sucia hendak marah tetapi,, teringat bahwa sebentar lagi setelah dada kakek dipasang gambar teratai perak, pikiran kakek itu tentu hilang dan akan tunduk pada semua perintah Seng lian-kau, maka Sucia itupun tak mau ribut2.

Juga kakek Lo Kun menolak ketika badannya hendak dipasangi teratai prada perak.

"Tidak, aku tak mau kalau engkau yang melekatkan. Aku minta nona manis itu yang melakukan, " kata kakek Lo Kun.

"Jangan banyak tingkah, kakek liar! " Sucia membentak. "Ho, engkau menolak, kalau begitu lebih baik aku pergi

saja. Tiba2 telinga Seng-lian Su-cia terngiang oleh suara halus macam bunyi nyamuk lagi. Suara itu menyuruhnya supaya meluluskan saja permintaan si kakek gila.

"Hm, mengingat umurmu sudah tak berapa lama, maka kaucu menurutkan kemarahan hati untuk meluluskan permintaanmu, " kata Su-cia lalu memerintah seorang gadis dalam rombongannya untuk melakukan penempelan gambar.

Girang sekali Lo Kun memandang wajah nona yang tengah menaburkan abu pada dadanya. Memang kakek itu seorang kakek yang gilah basah. Asal dekat dengan nona cantik, dia lupa segala apa.

Setelah selesai, kakek Lo Kun disuruh berkumpul ke tempat Hoa Sin.

Kemudian giliran Blo'on. Juga Bloon tak mau menirukan semua perkataan Su cia itu tetapi merubahnya :

"Aku Blo'on, putera dari Kim Thian Cong aImarhum, menyatakan coba2 masuk Seng-lian-kau. Taat dan setya pada Kim Thian Cong apabila ia Kim Thian Cong yang sekarang ini benar2 ayahku yang aseli dan yang hidup kembali dari kuburan ”

Su-cia marah tetapi kembali dia mendapat perintah dengan ilmu menyusup-suara supaya membiarkan saja pemuda Blo'on itu.

Yang terakhir adalah Sian Li. Juga nona ini menolak ketika disuruh buka dada. Ia minta supaya seorang gadis yang melakukan pelekatan gambar teratai perak pada dadanya.

Su-ciapun diperintahkan oleh pimpinan Seng lian-kau untuk meluluskan permintaan Sian Li. Setelah selesai, Sian Li disuruh berkumpul bersama kawan2 rombongannya.

Kemudian Su-cia memberi hormat kepada Seng-lian-kau kaucu segera diiring rombongan, tinggalkan lapangan.

Beberapa saat kemudian Ceng lian tong kembali berseru : "Nah, sekarang kalian sudah masuk menjadi anggauta

Seng-lian-kau. Bagaimana kalian akan ditempatkan dan akan diberi jabatan apa, nanti kauculah yang akan memberi amanat."

Rupanya Cong-Laan tongcu itu hendak menguji bagaimana keadaan rombongan Hoa Sin saat ini.

"Hoa Sin, apakah engkau hendak bicara? ”

"Ya, " sahut Hoa Sin, "kami tetap hendak menuntut permintaan yang kami ajukan tadi."

"Apa? "

"Kami minta supaya diperkenankan melihat wajah kaucu Seng-lian-kau. "

Cong-lian tongcu merenung diam. Biasanya ia tengah menggunakan ilmu Menyusup-suara untuk bertanya kepada Hek thancu.

Ia mendapat jawaban bahwa permintaan Hoa Sin supaya diluluskan.

Tak lama kemudian, kaucu Seng-lian-kau tampak berbangku. Pelahan-lahan dia turun ke bawah.

Sekalian orang yang duduk di deretan kursi berbangkit memberi hormat. Juga barisan anakbuah Seng-lian-kau yang berjajar-jajar di empat penjuru keliling lapangan itu serentak tegak dan berseru: "Seng-lian-kau kaucu banswe! Banswe! " Banswe artinya dhirgahayu atau semoga panjang usia.

Pelahan-lahan dengan diiring oleh dua orang nona, ketua Seng lian-kau itu menghampiri ke tempat rombongan Hoa Sin. Lebih kurang dua tombak jauhnya dia berhenti.

"Apakah engkau hendak melihat wajahku? " "Benar kaucu," seru Hoa Sin.

"Mengapa? "

"Agar kami yakin bahwa kaucu ini adalah Kim tayhiap yang seperti kami kenal dahulu. "

"Hm "

"Apakah kaucu lupa pada kami semua ini? "

"Tidak, " sahut ketna Seng-lian-kau itu, " tetapi yang lalu biarlah lalu. Sekarang kita harus mulai kehidupan baru. Dulu kawan, mungkin karena sekarang tak suka padaku, terpaksa harus kuanggap lawan. Demikian sebaliknya, dulu lawan sekarang mungkin jadi kawan. "

"Tetapi maaf, kaucu "

"Ya, katakanlah! "

"Bukankah kaucu sudah menutup mata ketika di kediaman kaucu di gunung Lou-hu san yang lalu? *!

Ketua Seng lian-kau itu tertawa dingin.

"Yang mati itu hanya namaku untuk menyingkiri musuh yang hendak membalas sakit hati kepadaku. Sekarang setelah dapat kutundukkan mereka maka akupun hidup kembali dan mendirikan partai agama baru ini. "

Hoa Sin mendesuh. "Apakah engkau masih kurang yakin dan tetap hendak melihat wajahku? " tanya ketua Seng lian-kau itu pula.

"Agar hati kami tenang, kami terpaksa mengajukan permohonan itu," kata Hoa Sin.

"Baik, " kata ketua Seng-lian kau, "tetapi ketahuilah, setiap anggauta yang hendak melihat wajahku, kelak tentu harus menerima hukuman."

"O, mengapa? "

" Karena hal itu kuanggap sebagai suatu penghinaan bahwa kalian tidak mempercayai diriku. "

"Apakah hukumannya? "

“Kelak akan kuputuskan lagi, " sahut ketua Seng-lian-kau, "yang mesti engkau dan kawan-kawanmu itu harus memotong salah sebuah bagian tubuhnya selaku penebus dosa."

"Baik, kaucu. "

"Jika demikian, bersiaplah kalian di hadapanku," seru ketua Seng-lian-kau.

Hoa Sin dan rombongannya segera tegak berjajar di hadapan ketua Seng-Iian-kau itu. Mereka merasa tegang dan berdebar-debar menunggu bagaimana sesungguhnya wajah dari ketua Seng lian-kau yang mengaku sebagai Kim Thian Cong itu.

Diam2 Cong-lian tongcu heran melihat sikap dan bicara Hoa Sin. Saat itu sudah berselang sepeminum teh lamanya tetapi mengapa ketua Kay-pang itu masih terang pikirannya dan jelas perkataannya? Pada hal biasanya, dalam waktu lima menit setelah dadanya diberi teratai prada perak, orang tentu sudah hilang kesadaran pikirarnya.

Apakah yang terjadi? Apakah mereka kebal terhadap racun dalam teratai perak itu? Mulailah timbul pertanyaan dalam  hati kepala barisan Teratai coklat. Tetapi ia belum berani menduga pasti dan ingin melihat lagi bagaimana perkembangan mereka lebih lanjut.

Pelahan-lahan tangan ketua Seng-lian-kau itu mulai bergerak ke atas, memegang ujung kain penutup muka warna hitam. Pelahan tetapi tertentu, mulailah kain penutup warna hitam itu diangkat ke atas.....

"Kim tayhiap ,!" teriak Hoa Sin.

"Kim tayhiap !"' demikian Hong Hong tojin dan Ceng Sian

suthay juga ikut serempak berseru kaget.

Memang dalam kain penutup warna hitam itu ternyata merupakan wajah dari Kim Thian Cong.

"Belum tentu! " tiba2 terdengar suara orang berseru nyaring.

Sekalian orang terkejut dan mencurah pandang. Ah, ternyata dia.

"Blo'on, apa katamu? " teriak kakek Lo Kun kepada orang yang menyangkal itu. Dia memang Blo'on.

"Bolehkan  aku  melihat  dengan dekat wajahmu? " seru Blo'on.

Kim Thian Cong terkesiap. " Sia “ "Blo'on, apa engkau meragukan wajah ayahmu!" tiba2 Lo Kun menyerobot sehingga ucapan ketua Seng-lian-kau itu terhenti setengah jalan.

"Ya, ada sesuatu yang hendak kuperiksa pada muka ayahku itu,., seru Blo'on.

"Apa? "'

"Nanti saja setelah habis kuperiksa," kata Blo’on.

"Ya, benar, kongcu," cepat Hoa Sin menyusuli kata2. Ia kuatir Blo'on akan kelepasan omong menjawab pertanyaan Lo Kun yang kurang pikir itu. Bukankah kalau mendengar apa yang akan diperiksa Bloon, ketua Seng-lian-kau itu akan segera ber-siap2 memberi jawaban.

Kakek Lo Kun memang tak dapat berpikir panjang. Seperti tadi, baru saja ketua Seng-lian-kau itu mengucap 'Sia ... ", Lo Kun sudah menukasnya. la duga kata2 'sia ..." itu tentu berkelanjutan dengan kata 'siapa engkau? " Dengan ucapan itu tentulah dapat diketahui bahwa Kim Thian Cong itu palsu. Karena tak mungkin seorang ayah akan lupa kepada puteranya.

"Hm, jangan engkau kurang ajar terhadap ayahmu. Masakan seorang anak tak bercaya pada ayahnya? " seru ketua Seng-lian-kau.

"Ah, kalau benar engkau ayahku, mengapa engkau keberatan kalau aku dekat kepadamu? "

Blo*on balas bertanya.

Diam2 Hoa Sin terkejut dan memuji akan ketangkasan bicara Blo'on saat ini.

"Hm, di depan orang banyak engkau berani kurang adat kepadaku? Baik, kuberi ijin engkau mendekati aku tetapi kalau engkau tak menemukan suatu apa pada diriku, engkau harus menerima hukuman!"

"Boleh!" sambut Blo'on.

"Aku tak peduli anak atau sahabat. Pokok barang siapa berani kurang adat terhadap aku ketua Seng-lian-kau, tentu akan kuhukum. Ingat,! aku bukan Kim Thian Cong pribadi melainkan ketua Seng-Iian-kau. Kepentingan umum, partai Seng-lian-kau di atas kepentingan keluarga dan sahabat!"

"Aku bersedia!" seru Blo'on.

"Hm, silahkan engkau datang kemari," ketua Seng-lian- kaupun memberi perintah.

Blo'on menghampiri maju. Hoa Sin dan kawan-kawan tegang sekail. Kalau ketua Seng-lian-kau itu marah dan tiba2 menyerang Blo'on tidakkah anak itu akan berbahaya sekali?

Tetapi mereka tak dapat berbuat apa2 karena saat itu Blo'on sudah berdiri pada jarak dua langkah di hadapan Kim Thian Cong. Dan ternyata ketua Seng-lian-kau itupun tak bertindak apa2.

Kim Thian Cong berhadapan dengan Blo’on. Ayah dan putera saling berhadapan dan saling pandang memandang dengan tajam.

"Sudah jelaskah engkau? " tanya Kim Thian Cong. "Ya."

"Bagaimana? "

"Engkau bukan ayahku!" Kim Thian Cong terkejut.

"Apa katamu? " serunya keras. "Kurasa engkau bukan ayahku!"

"Anak sial!" damprat ketua Seng-lian-kau, “Bagaimana engkau berani mengatakan begitu? "

"Apa aku boleh menyatakan pendapat? " tanyanya "Bukan saja boleh tetapi memang harus. Engkau berani mengatakan aku bukan ayahmu, harusnya memberi keterangan2 dan bukti. Kalau tidak, maka tak peduli engkau anak atau bukan, tentu kuperintahkan supaya kepalamu di penggal!"

"Pertama," kata Blo'on, "engkau tampak lebih muda dari ayahku. Pada saat sekarang sudah terpaut hampir delapan tahun aku berpisah dengan ayah. Engkau semakin tua, kebalikannya engkau semakin muda."

Ketua Seng-lian-kau tertawa.

"Engkau memang anak tolol! Paling akhir aku telah menemukan ramuan obat untuk membikin diriku awet muda. Soal itu bukan suatu hal yang mengherankan bagi setiap kaum persilatan yang mengerti ilmu obat2an. Tahu!"

"Hm," desuh Blo'on.

"Sudah? Apakah masih ada lagi? " tanya ketua Seng-lian- kau, "kalau memang masih, hayo, katakan."

"Memang masih!"

“Ho, hayo, bilang!" ketua Seng-lian-kau menantang dengan suara garang.

"Baik," kata Blo'on, "aku hendak mengatakan satu bukti yang tak terdapat pada dirimu. Ayahku mempunyai tahi lalat pada ujung daun telinga sebelah kanan. Tetapi engkau tidak. Aku tahu jelas akan tahi lalat ayah itu. Karena dulu ketika masih kecil aku sering di bopong, di timang2 dan aku sering memegang daun telinga ayah." Ketua Seng-lian-kau pucat seketika ....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar