Pendekar Bloon Jilid 43 Halangan

Jilid 43 Halangan

BLO'ON memang banyak mengalaman gangguan dalam kehidupannya. Gangguan dari luar mau pun dari dalam. Dari luar, berupa peristiwa2 yang harus dihadapinya dengan bermacam macam manusia dan tokoh2 persilatan. Yang aneh, yang sakti mau pun yang cabul.

Gangguan dari dalam, pikirannya yang bloon akibat kehilangan daya ingatan. Masih ditambah pula dengan rombongannya yang aneh.

Liok-ci-sin-kay atau Pengemis-sakti jari-enam Hoa Sin sebenarnya juga seorang tokoh yang aneh. Walau pun dia seorang ketua Kay-pang tetapi sikap dan tingkah lakunya suka melucu.

Dan yang paling gila adalah kakek Lo Kun. Umurnya sudah tua renta, hampir seratus tahun. Tubuhnya masih kuat dan selama ini tak pernah beristri tinggal dalam gua Hek-hou san. Dia seorang kakek yang tak normal pikirannya dan nyentrik sekali.

Berulang kali selalu kakek itu membuat gara2. Di vihara Siau lim si ia dapat membubarkan barisan lo-han-kun yang termasyhur di dunia persilatan hanya karena perutnya sakit dan meletus kotoran yang busuk baunya. Di markas Hu-yong-pang, dia dapat mengobrak-abrik kawanan gadis cantik. Di gunung thay-san, dia pun berjasa dalam meruntuhkan Thian-tong-kau. Ya, dimana-mana kakek pekok itu selalu membuat gara2.

Saat itu di rumah makan, ia pun berbantah dengan jongos lalu dengan seorang tetamu yang hidungnya bengkok seperti burung kakaktua. Tiba2 ia didatangi seorang nona cantik yang mengajaknya duduk bersama di meja mereka.

Pucuk dicinta ulam tiba. Dia memang paling getol dengan nona cantik sekarang tiba2 datang seorang nona cantik yang mengajaknya duduk bersama.

Bukan main gembiranya. Tetapi ketika ia hendak berbangkit, datanglah si sasterawan muda yang membawa kipas. Tahu2 kakek Lo Kun seperti dikili-kili hidungnya. Ia berbangkis sampai dua kali. Dan ingus (umbel) dari hidungnya itu muncrat ke wajah si nona cantik.

Seketika gemparlah suasana dalam rumah makan itu. Ada yang tertawa gelak2, ada yang terkejut.

Merah padam muka nona itu. Rupanya ia marah dan tak dapat mengendalikan diri lagi, plak ..., segera ia ayunkan tangannya menampar muka Lo Kun. Karena tak menduga, kakek Lo Kun tertampar mukanya sampai terhuyung-huyung ke belakang menuju ke arah sasterawan berkipas.

"Ih, mengapa lopeh ini, " ia tamparkan kipas seperti orang yang terkejut. Tahu2 tubuh kakek Lo Kun mencelat ke muka dan berbangkis di hadapan nona cantik itu lagi, ajingngng.....

Nona itu terkejut dan tak sempat menghindar sehingga mukanya basah lagi dengan air dari hidung kakek Lo Kun. Plak .... ia menendang dan kakek Lo Kun pun mencelat ke arah sasterawan itu.

"Ih ... lopeh, berdirilah." seru sasterawan itu seraya menyanggah dengan kipasnya. Lo Kun pun tegak juga. Dan ketika sasterawan itu berkipas-kipas, tiba2 nona cantik itu berbangkis. aahjingngng...

Muka Lo Kun terbalas semprotan air hidung si cantik. Tetapi sehabis mengepak-ngepakkan kepala, kakek itu berteriak gembira : " Aduh, wanginya. Hayo, nona cantik, berbangkislah sekali lagi, aaahjingngug. "

Baru ia berkata begitu tiba2 hidung kakek itu berbangkis dua kali bukan hanya semprotan air hidung, pun juga segumpal riak dari mulut kakek itu pun meluncur ke luar.

Plok si nona waspada dan menghindar, ludah kakek Lo

Kun melayang-layang ke arah nona cantik baju ungu yang diantar oleh nenek bertongkat bambu kuning.

"Kurang ajar, " gumam nenek itu seraya tamparkan tongkat bambu kuningnya. GumpaIan ludah itu pun melayang kembali ke arah kakek Lo Kun.

"Haahemmm. " tiba2 pemabuk tua tadi menguap sekeras-

kerasnya.

Aneh bin ajaib sekali. Gumpalan riak ludah dari Lo Kun meluncur laju sekali. Melihat itu Sian-Li tak dapat berdiam diri. Ia cepat menarik baju kakek Lo Kun ke belakang, plot.....

Karena tak menyangka-nyangka dan karena luncur ludah itu seperti anak panah cepatnya, tahu2 ludah itu ngendon di pipi sasterawan berkipas. Merah padam seketika sasterawan itu karena mendengar gelak terbahak-bahak dari sekalian tetamu. Ia malu dan gusar. Tetapi kepada siapa ia harus me numpahkan kemarahannya. Tiba2 ia menyambar tangan kakek Lo Kun dan membentaknya.

"Kakek sinting, hayo, bersihkan ludahmu di mukaku ini! " "Tidak  sudi!  Aku  jijik!  "  kakek  Lo  Kun  meronta  hendak

melepaskan pergelangan tangannya yang dikuasai sastrawan

itu. Tetapi ia segera menyeringai kesakitan. Rupanya sasterawan itu memperkeras cengkeramannya.

Melihat itu Sian Li marah dan serentak berbangkit lalu membentak sasterawan itu :

"Lepaskan! " ia terus menampar tangan sasterawan itu. "Aduh!" teriak sebuah suara keras. Tetapi yang mengaduh

itu bukan si sasterawan berkipas melainkan kakek Lo Kun. Astaga, kiranya dengan tangkas, sasterawan berkipas itu telah menarik tangan Lo Kun yang sudah dikuasai itu sebagai sasaran jari Sian Li.

Sekalian orang terkejut atas kelihayan sasterawan itu. Terutama rombongan Blo'on. Ketiga ketua partai persilatan, Hoa Sin, Ceng Sian dan Hong Hong totiang, tahu akan kelihayan kakek Lo Kun. Bahwa seorang kakek yang memiliki kepandaian seperti itu masih dapat dikuasai, menandakan bahwa sasterawan berkipas itu tentu hebat sekali ilmu kepandaiannya.

Tiba2 nona cantik baju putih yang mukanya tersemprot air hidung Lo Kun, melampiaskan lagi kemarahannya. Segera ia menghantam kakek itu.

"Haahhhhhem, " kembali kakek pemabuk tadi terdengar menguap, "hai, mengapa hari masih begini sore mataku sudah begini berat? " "Ih ..... , " sasterawan berkipas itu terkejut ketika tubuh Lo Kun melengkung ke samping sehingga pukulan nona baju putih itu nyelonong kepadanya, "ah, …. mengapa nona memukul aku? " seru sasterawan itu sambil goyangkan kipasnya.

Seketika pukulan nona baju putih itu tertolak ke belakang sehingga orangnya pun ikut terdoyong mundur setengah langkah.

Nona baju putih itu terkejut. Kiranya sasterawan yang tampak lemah itu memiliki tenaga-dalam yang luar biasa hebatnya. Tetapi ia tak marah karena sasterawan itu jelas hendak melindungi diri karena akan dipukulnya. Yang disasar adalah kakek sinting itu tetapi mendadak kakek itu dapat menggeliatkan tubuh ke samping.

"Sianseng, maaf, sukalah engkau lepaskan tangan lopeh itu," tiba2 Hoa Sin berbangkit dari kursi dan menghampiri.

Sasterawan berkipas itu hentikan kipasnya dan melirik : "O, kiranya seorang pengemis juga hendak ikut campur dalam urusan ini? Apakah hakmu hendak meminta  kubebaskan kakek ini. Dia telah menyemprot ludahnya ke muka, nih-- katanya sambil menunjukkan pipinya yang masih berlumur ludah kental sekarang kuminta dia supaya membersihkannya. Bukankah permintaanku itu cukup pantas? "

Hoa Sin tertawa.

“Memang cukup dan pantas sekali," serunya, "baiklah. Aku yang akan mewakili lopeh ini untuk menghapusnya.”

Hanya menunggu persetujuan orang, Hoa Sin harus ulurkan tangan, maksudnya hendak membersih kan ludah itu dari pipi si sasterawan berkipas. Plak.....

Sekonyong-konyong tangan Hoa Sin menampar pipi si sasterawan sekeras-kerasnya. Sasterawan itu terkejut, hendak menghindar tetapi terlambat.

"Huh.....! " Hoa Sin mendesuh kejut dan menyurut ke belakang. Sedang sasterawan itu pun mendesus kaget karena sakit.

" Ha, .ha, ha …... ," sebaliknya kakek Lo Kun malah tertawa gelak2 "bagus, bagus, Hoa pangcu. Jika tadi ludah itu hanya nempelok di pipinya, sekarang malah merata semua. Kayak si banci berbedak …"

"Haup ..." tiba2 mulut Lo Kun yang tertawa menganga itu mengatup dan serentak ia menjerit lalu menyembur, " wufff

....... "

Sasterawan itu masih tertegun karena mukanya ditampar Hoa Sin. Tiba2 sebutir bakso panas menyembur dari mulut Lo Kun dan melayang ke hidungnya.

Dalam kejut sasterawan itu masih sempat meniup dengan mulutnya, wuff .... bakso panas melayang laju ke arah nenek bertongkat bambu kuning.

Nenek bertongkat bambu kuning menggeram marah. Serentak ia menampar dengan tongkat bambunya, wut... bakso itu mental balik melayang ke arah meja yang diduduki rombongan si Jenggot kambing berempat. Mereka yalah si Jenggot-kambing, si Hidung bengkok, si Muka kera dan si Banci.

Saat itu si Banci sedang duduk membelakangi. Tahu2 tengkuknya terhantam pelor daging cacah alias bakso, plak..... “Uh” ia mengeluh kesakitan. Bakso itu masih panas. Bakso seharusnya empuk karena terbuat dari daging cacah. Tetapi entah bagaimana ketika ditampar dengan tongkat bambu kuning si nenek, bakso itu berobah menjadi keras seperti batu. Sudah tentu si Banci menjerit kesakitan.

"Kurang ajar, siapa yang berani menimpuk leherku dengan pelor besi? " serentak si Banci berbangkit dan keliarkan pandang.

Dan matanya segera tertumbuk akan si nenek bertongkat bambu kuning yang wajahnya tampak memberingas merah.

"Hai, lo thaypoh, engkaukah yang melemparkan pelor itu?   " seru si Banci.

"Hus, Lo Kui, jangan memalukan kita. Bukan pelor besi, lihatlah benda itu, " tiba2 si Jenggot kambing berseru pelahan.

Banci pun segera memandang benda bundar yang dikira pelor besi. Ternyata benda yang saat itu menggeletak di lantai hanyalah sebutir bakso. Dan lebih ngeri pula wajahnya ketika tahu bahwa bakso itu adalah bakso yang berasal dari mangkoknya sendiri.

Nenek bertongkat bambu kuning tak menjawab melainkan curahkan pandang matanya yang memberingas ke arah sasterawan berkipas baja.

"Hai, sasterawan brengsek, mengapa engkau berani menampar bakso itu ke arahku? " serunya dengan marah walau pun nadanya parau.

Sasterawan itu mengulum senyum.

"Maaf, Io-thay-poh," seru sasterawan berkipas itu, "aku tak sengaja hendak melemparkan bakso itu kepada lo-thay-poh. Adalah karena kakek botak tadi hendak menyemburkan bakso itu kepadaku, terpaksa kutampar dengan kipasku."

Kemudian tanpa menghiraukan nenek bertongkat bambu kuning itu lagi, ia terus alihkan perhatian kepada kakek Lo Kun dan Hoa Sin.

"Hai, pengemis tua dan kakek gundul, bagaimana pertanggunggan jawabmu kepadaku? " tegurnya.

"Apa engkau buta? " tiba2 kakek Lo Kun malah  memakinya, "bukankah aku tak membekal bakso. Mengapa tahu2 ada bakso melayang ke dalam mulutku? Hayo, katakan, apa sebabnya? Kalau engkau tak dapat  mengatakan sebabnya, aku tentu marah!"

Sasterawan itu melongo. Tetapi pada lain saat ia menyadari bahwa kakek itu tampaknya memang agak sinting. Dan memang pertanyaan kakek itu juga beralasan. Diam2 ia mencuri pandang, melirik siapa diantara tetamu yang sengaja mengolok kakek itu.

"Soal mencari siapa yang melontarkan bakso ke dalam mulutmu, silahkan engkau cari sendiri. Barang siapa yang makan bakso, tentu dialah "

"Benar! " teriak kakek Lo Kun terus lari menghampiri ke tempat meja yang diduduki si Jenggot Kambing berempat. Dia melihat di meja itu terdapat hidangan bakso yang masih sisa beberapa butir.

"Hai, Jenggot kambing, hai Hidung bengkok, hai Muka- kunyuk dan engkau hai, Banci teriak kakek Lo Kun seraya menuding mereka satu demi satu, "mengaku sajalah siapa yang melempar bakso ke mulutku tadi? Kalau mengaku hukuman enteng, kalau tidak, hukumannya berat. " Keempat orang itu tercengang, bertukar pandang lalu tertawa gelak2.

"Bagaimana engkau menuduh kami berempat yang melemparkan bakso ke mulutmu? " seru Hidung bengkok.

"Mudah saja, "sahut kakek Lo Kun, "karena di hadapan kalian masih terdapat sisa bakso. Tentu salah seorang dari kalian yang melemparkan."

"Goblok!" teriak Hidung bengkok, "bakso makanan yang enak dan mahal. Sedangkan kami sendiri masih kurang, mengapa harus dilemparkan ke dalam mulutmu? Kan lebih enak kami makan sendiri."

Lo Kun tercengang, garuk2 kepala: "Ya, ya, benar. Tetapi mengapa bakso itu melayang kedalam mulutku?  Apakah bakso dapat terbang sendiri kalau tidak dilemparkan tangan orang"

"Kakek tua," seru si Banci, "apakah bukan bakso ini? "--ia menunjuk pada butir bakso yang jatuh di tanah. "

"Benar, ya, memang itu!" teriak Lo Kun.

"Aku sendiri juga menderita, tengkukku dihantam bakso itu," kata si Banci.

"Siapa yang melakukan? " seru Lo Kun.

"Siapa lagi kalau bukan nenek bertongkat bambu kuning itu," kata si Banci.

"O, itu," seru Lo Kun. "jangan kuatir Banci, akan kuhajar nenek itu."

Banci terbelalak ketika dirinya disebut Banci tetapi Lo Kun sudah menghampiri nenek bertongkat bambu kuning. "Hai, nenek, benarkah engkau yang menghantam bakso itu kepada si Banci? " tegur Lo Kun.

Dua kali dirinya dimaki banci, lelaki Banci itu melongo.

Tetapi ia tak dapat berbuat apa2.

Nenek tongkat bambu kuning itu rupanya seorang nenek yang galak. Ia muak melihat muka kakek Lo Kun yang mengili- ngili hati itu.

"Kalau ya, engkau mau apa? " sahutnya dengan geram. "Engkau jempol, nenek, " tiba2 Lo Kun acungkan jempol

tangannya ke atas, "walau pun mukamu jelek tetapi nyalimu besar, hatimu jujur."

Habis berkata Lo Kun terus menghampiri ke tempat si Banci lagi : "Banci, nenek jelek itu mengaku dengan jujur, memang dia yang melemparkan bakso kepadamu. Dia jujur dan berani. Kalau melempar ya mengaku melempar, tidak plintat-plintut."

Perut si Banci hampir muntah karena merasa dikili-kili melihat gerak-gerik Lo Kun. Dan karena terang-terangan dirinya disebut Banci oleh kakek itu, Banci itu pun muntah.....

" Ha, ha, ha …….” Lo Kun malah tertawa gelak2, "Banci, engkau memang temaha makan, tuh lihat, baksonya ke luar semua. "

“Kakek bangsat! " karena tak tahan lagi, Banci terus menghantam Lo Kun. Untung kakek itu dapat menghindar. Rupanya Banci tak mau memberi ampun lagi. Ia terus menyerang.

Tiba2 bahunya dicengkeram orang dan ditarik ke belakang: "Jangan kurang ajar kepada kakekku."

Seketika Banci rasakan bahunya kesemutan dan lengannya tak bertenaga. Ia coba mengeruhkan seluruh tenaga-dalam, tetapi tekanan yang dideritanya pun makin besar. la terhuyung-huyung ke belakang ketika disentakkan ke belakang.

"O, engkau setan gundul, " teriak Banci ketika melihat siapa yang menyentak dirinya itu.

"Ya." sahut setan gundul atau Blo'on. Rupanya pemuda itu tak dapat tinggal diam karena melihat Lo Kun diserang tanpa salah.

"Engkau mau membela kakek sinting itu? " tegur Banci. "Karena  engkau  licik,"  seru  Blo'on,  "sebenarnya   engkau

yang  pertama  menjentikkan  bakso  dalam  supitmu  ke arah

kakekku. Dan karena bakso itu tepat masuk ke dalam mulutnya, kakek terus menyemburkannya ke arah sasterawan itu. Sasterawan menampar dengan kipas, melayang ke tempat nenek bertongkat bambu kuning. Nenek itu marah dan menghantamnya. Bakso melayang tepat menghantam tengkukmu. Nah, itu namanya senjata makan tuan. Mengapa engkau marah? "

Si banci merah mukanya disamping ia terkejut karena ternyata pemuda gundul yang blo'on itu dapat mengetahui perbuatannya.

"Hai pemuda gundul," akhirnya ia berseru juga, "siapa engkau!"

"Jangan bertanya namaku!"

"Hm, rupanya engkau hendak berlagak sok, ya? " Banci terus maju menyerang Blo'on. Serangannya bergaya aneh. Jari2 tangan Banci itu kurus dan kukunya pun dipelihara panjang sehingga menyerupai cakar garuda. Blo'on terkejut ketika merasa tangan orang banci menghamburkan tenaga-angin yang tajam, Rasanya seperti tusukan jarum.

"Gila!" teriah Blo'on seraya menghantam. Dia terkejut dan ketakutan sehingga tenaga-dalam Ji-ih-sin-kang pun terpancar.

Seketika tubuh orang banci itu terdampar beberapa langkah ke belakang, brakkk ...,.

"Hii!" Jenggot kambing, Hidung bengkok: dan Wajah kunyuk, melonjak dan menjerit karena meja mereka terlanda tubuh Banci. Meja terbalik dan hidangan pun berhamburan tumpah.

Seperti telah dikatakan tadi, karena melihat kakek Lo Kun dicekal tangannya oleh sasterawan berkipas, Pengemis sakti Hoa Sin segera maju hendak melolong. Karena kakek Lo Kun tiba2 menyembur bakso sehingga sasterawan itu harus menyingkir ke samping. Dengan begitu cekalannya pun lepas.

Maksud Hoa Sin hendak membersihkan ludah Lo Kun yang menempel di pipi sasterawan itu. Tetapi ketika ia mengulurkan tangan tiba2 terasa suatu aliran tenaga-angin yang kuat telah mendorong tangan pengemis itu hingga maksudnya hendak menghapus, kebalikannya malah melumurkan ludah itu hingga merata pada muka sasterawan itu.

Dapat dibayangkan betapa marah sasterawan itu. Ia terus menampar Hoa Sin dengan kipasnya. Hoa Sin terkejut. Kini baru ia tahu bahwa kipas sasterawan itu bukan sembarang kipas. Tamparan itu menaburkan tenaga-dalam yang kuat sekali.

Hoa Sin masih sungkan karena menganggap bahwa sarterawan itu memang layak kalau marah. Karena siapakah yang takkan marah apabila mukanya disembur ludah kental? Pengemis-sakti Hoa Sin menghindar ke samping.

Tetapi tindakan ketua Kay pang itu diartikan lain oleh sasterawan itu. Ia menganggap Hoa sin takut. Maka diserangnya pula ketua Kay pang itu.

"Sicu, janganlah keliwat mendesak orang. Kita tak bermusuhan mengapa engkau menyerang begitu dahsyat," seru Hoa Sin sambil masih menghindar.

Diam2 sebenarnya sasterawan itu terkejut. Ia dapat melihat bahwa orang yang diserang itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Serangan yang dilancarkan dengan kipas Itu makin ditingkatkan dengan jurus2 yang berbahaya. Tetapi sampai sebegitu lama, tetap ia tak mampu merubuhkan pengemis itu.

"Kerhenti! " tiba2 Hoa Sin membentak sekeras-kerasnya. Dan serempak dengan itu, si Banci yang dihantam Blo'on tadi pun terdampar membentur meja. Sasterawan itu pun tertegun dan berhenti menyerang, Kemudian Hoa Sin menggunakan ilmu Menyusup-suara membisiki kakek Lo Kun.

"Lo peh-hu, " kata pengemis sakti itu, "harap engkau minta maaf kepada sasterawan itu dan panggil jongos, minta sebaskom air, cucilah ludah yang terlumur pada muka sasterawan itu ... "

Lo Kun terkejut, memandang Hoa Sin dan gelengkan kepala. Dia tak mau.

"Lo-tiang, " seru Hoa Sin dengan ilmu Menyusup-suara pula, "harap engkau mau lakukan hal itu. Dan pada waktu mencuci mukanya, beset saja kulit mukanya itu. Dia mengenakan kedok kulit yang tipis. Lo Kun terbelalak.

“Lo tiang, jangan ragu2. Kutahu jelas dia memang memakai kedok kulit manusia. Wajahnya sendiri bukan begitu, " desak Hoa Sin dengan ilmu Menyusup-suara lagi.

Lo Kun baru percaya dan terus menghampiri sasterawan itu.

Di tempat yang lain, karena meja terbalik dan makanan tumpah ruah, marahlah ketiga orang itu. Yang paling marah adalah si Banci karena pakaian dan mukanya tersiram kuah bakso dan capcai.

"Bangsat gundul," si Banci melenting bangun terus loncat menerkam Blo'on. Tetapi dengan cepat Blo'on pun loncat menghindar ke samping.

Terkaman si Banci itu memang cepat dan dahsyat sekali tetapi sekali loncat, Blo'on telah mengejutkan sekalian tetamu. Dia melayang ke tempat kakek pemabuk tadi.

Dan karena terkamannya luput, Banci pun menubruk ke tempat meja Ceng Sian suthay dan Hong Hong tojin.

"Suthay, kuangkat meja kita”, kata Hong Hong totiang seraya loncat membawa meja itu ke samping.

Dengan begitu, si Banci tetap melaju ke arah meja yang diduduki si nona cantik bersama nenek bertongkat bambu kuning.

Prakk....

Nenek bertongkat bambu kuning itu marah. Ia menyabat dengan tongkatnya. Ternyata si Banci lihay juga. Walau pun tubuhnya terjorok ke muka dan dihantam tongkat bambu kuning, tetapi ia masih dapat mengendapkan tubuh, menghindari tongkat. Memang kepala dari si Banci selamat tak sampai pecah. Tetapi ternyata nona cantik baju biru itu melengking: "Ai jangan pegang kakiku!"

Ternyata si Banci memang kurang ajar. Begitu mengendap ke bawah meja lalu menyambar kaki si nona cantik. Sudah tentu nona cantik itu menjerit kaget.

Sebenarnya saat itu Lo Kun hendak melakukan perintah Hoa Sin. Ia sudah berdiri dimuka si sasterawan berkipas Tetapi baru ia hendak membuka mulut, tiba2 ia mendengar jeritan si nona cantik tadi. Serentak ia loncat ke tempat si Banci. Ia hendak menarik kaki banci itu. Tetapi baru ia ulurkan tangan, tiba2 tubuh si Banci mencelat kabelakang; heuk.....

Tangan kakek Lo Kun amat keras dan luncur tubuh Banci  itu pun dahsyat sekali. Begitu terbentur, si Banci seperti terkena tutukan jari. Apalagi kebetulan jari kakek Lo Kun itu tepat mengenai jalan-darah di punggung orang. Seketika  Banci itu tak dapat berkutik ....

"Hai, Banci, mengapa diam saja? " teriak Lo-Kun seraya mencekik tengkuk orang itu.

Jika Lo Kun mau memperhatikan, ia tentu tahu bahwa saat itu, sebutir benda hitam sebesar kedelai telah melayang dan membentur leher si Banci. Tetapi sudah tentu Lo Kun tak mengetahui hal itu. Bahkan, tetamu2 lain pun tak mengetahui peristiwa itu. Yang mereka ketahui hanyalah, tiba2 si Banci itu tertawa gelak2 seperti orang gila.

Lo Kun heran, serunya: "Hai, Banci, mengapa engkau tertawa? *

Tetapi benci itu tak menyahut melainkan tertawa terus seperti orang geli, Lo-Kun lepaskan cekikannya dan membentak: “Diam! Jangan tertawa seperti orang gila! Apa yang engkau tertawakan? Mengapa engkau tertawa begitu geli? *

Namun si Banci seolah tak menggubris. Dia tertawa geli sekali.

"Eh, engkau ini benar2 gila!” Lo Kun terus ngeloyor pergi. "Lo pekhu, mengapa engkau lupa pada sasterawan itu?

Lekas minta maaf dan cucilah mukanya!,” tiba2 Lo Kun terkejut ketika telinganya terngiang oleh suara orang. Serentak ia teringat akan perintah Hoa Sin tadi.

"Tuan sasterawan, aku minta maaf karena menyemprot ludah ke mukamu," kata Lo Kun dihadapan sasterawan berkipas itu, "aku bersedia untuk mencuci muka tuan."

Diluar dugaan sasterawan itu menolak: "Tidak, aku dapat membersihkan sendiri. Tetapi karena ludah itu berasal dan mulutmu, maka akan kukembalikan kepadamu. Benar atau tidak? "

"Benar..... " Lo Kun berkata sepatah, tiba2 telinganya terngiang suara Hoa Sin, “Lo pekhu jangan mau. Desaklah supaya dia setuju engkau cuci mukanya. Lekas minta air kepada jongos!"

"Ah, tidak benar," serentak kakek Lo Kun menyusuli kata2, "aku yang meludahi, aku yang harus membersihkan. Benar atau tidak? "

Sasterawan ita terkejut. Mengapa mendadak sontak kakek Itu berobah haluan? Dia tadi memang sudah curiga mengapa kakek itu bersedia untuk membersihkan mukanya. Pada hal sebelumnya kakek Itu menolak keras. Kemudian ia memperhatikan gerak gerik Hoa Sin. Untuk yang kedua kali, kakek Lo Kun pun membenarkan pertanyaannya. Tetapi ketika dilihatnya mulut Pengemis sakti itu berkerenyutan, tahu2 kakek Lo Kun terus menyangkal dan hendak membersihkan ludah pada mukanya.

Kini sasterawan itu tahu bahwa pengemis tua itu tentu menggunakan ilmu Menyusup-suara kepada kakek Lo Kun. Diam2 timbul suatu rencana dalam benaknya. Segera ia pun melancarkan ilmu Menyusup-suara ke telinga Lo Kun.

"Lojin, dia sudah menyatakan membersihkan mukanya sendiri. Tak perlu engkau paksa. Dan pernyataannya hendak mengembalikan ludahmu ke dalam mulutmu itu juga adil "

demikian kata2 yang mengiang dalam telinga kakek Lo Kun.

Seketika kakek itu pun berseru : "Ya, engkau memang betul. Aku takkan memaksa mencuci mukamu lagi. Dan silahkan engkau mengembalikan ludahku!"

"Celaka!" diam2 Hoa Sin terkejut mendengar ucapan Lo Kun itu, "kakek itu memang sinting."

Cepat ketua Kay-pang itu menggunakan ilmu Menyujup suara lagi: "Lo pekhu, mengapa engkau berkata begitu? Kalau engkau dapat mencuci mukanya, engkau dapat membuka kedok mukanya dan tahu siapa sesungguhnya orang itu? Lekaslah engkau minta untuk membersihkan mukanya. Jangan lupa!"

"Ah,, tapi itu tak pantas. Aku yang meludahi, seharusnya aku yang membersihkan. Jangan engkau menolak," terus kakek Lo Kun berteriak minta baskom berisi air kepada jongos.

Kini makin jelas bagi sasterawan itu bahwa, kakek Lo Kun memang mendapat kisikan dari pengemis tua itu. Cepat ia menggunakan ilmu Menyusup-suara lagi ke telinga Lo Kun. "Lopeh, tak perlu. Tanganmu kotor nanti. Biar dia sendiri yang membersihkan mukanya. Dan terima saja ludahmu itu kembali," serentak telinga Lo Kun pun terngiang kata2 itu.

"Ya, tetapi Kalau engkau memang mau membersihkan mukamu sendiri, bukan salahku. Terserah," kontan Lo Kun itu berseru.

Sebenarnya kalau dia bukan seorang kakek sinting, tentu dia dapat membedakan nada suara yang mengiang di telinganya. Dan juga ada perbedaannya. Kalau Hoa Sin menggunakan sebutan ‘Lo pekhu’ tetapi kalau sasterawan itu menggunakan panggilan 'lojin dan lopeh'. Tetapi apa mau dikata, dasar kakek sinting, Dia mengira kedua suara itu satu orangnya yalah Hoa Sin.

Pada saat kakek Lo Kun dijadikan bulan2an oleh Hoa Sin dan sasterawan itu, di meja lain pun berlangsung beberapa adegan.

Pertama, di fihak ketiga tetamu Jenggot-kambing, Hidung- bengkok dan Muka kunyuk. Melihat kawan mereka, si Banci, tertawa terus menerus seperti tak wajar, Jenggot-kambing terkejut. Cepat dia menghampiri dan menepuk punggung si Banci.

"Imyang heng, jangan tertawa terus menerus!" bentaknya. Dan ternyata si Banci terus berhenti tertawa. Tetapi ia tidak lantas bangun, melainkan duduk pejamkan mata, menyalurkan tenaga-dalam.

"Hai, ko-jiu siapakah yang telah jahil menutuk jalan-darah tertawa dari kawanku ini? " seru Jenggot-kambing sambil keliarkan mata memandang kepada semua tetamu.

Tetapi tiada orang menyahut. "Seorang ksatrya harus berani mempertanggung jawabkan perbuatannya. Jika tak mau tampil mengaku, itu manusia kerdil namanya! " seru Jenggot-kambing pula.

Tetapi tiada seorang yang menggubris pertanyaannya itu. "Hm,  jika  demikian  jelas  saudara  ini  memang  hendak

mempermainkan kami. Baiklah, kalau kuketemukan siapa yang

berbuat jahil tadi, terpaksa akan kuberi hajaran yang sesuai! " seru Jenggot-kambing pula.

Dalam pada itu ketika Blo'on tiba di depan meja kakek pemabuk tadi, tiba2 Blo'on seperti ditarik duduk di kursi, tepat di hadapan kakek pemabuk itu.

"Ho, anakmuda, engkau juga mau minta arakku" kakek pemabuk itu tertawa lalu mengangsurkan buli2 kepada Blo'on, "minumlah."

Blo'on tidak bisa minum arak, tetapi bau arak itu harum sekali sehingga menitikkan air liur Blo’on. Entah bagaimana Blo'on terangsang untuk minum. Tanpa bertanya siapakah kakek itu, ia terus menyambuti buli2 dan meneguknya, aufff......

Arak memang lezat dan harum. Blo'on pun menyerahkan kembali buli2 kepada kakek itu. Tetapi tiba2 perutnya seperti dikili-kili dan pembuluh napasnya pun gatal sekali. Seketika ia batuk sekeras-kerasnya.

“Aduh …..” tiba2 Jenggot-kambing yang sedang mencari siapa yang menutuk jalan-darah tertawa dan si Banci tadi, menjerit dan mendekap mukanya.

Ternyata arak yang menyembur dari mulut Blo'on itu tepat menghujani muka si Jenggot-kambing rasakan mukanya seperti ditabur bubukan kaca yang tajam. Untung ia keburu menutup matanya, sehingga biji matanya tak sanpai terluka.

Ketika membuka tangan ternyata wajahnya berobah merah.

Beberapa tetamu terkejut tetapi sesaat kemudian mereka tersenyum karena geli.

Ternyata semburan arak dari mulut Blo'on tadi, tanpa disadarinya, telah menggunakan tenaga-dalam Ji ih-sin-kang. Arak pun berobah seperti bubuk kaca sehingga muka si Jenggot-kambing berdarah. Karena tangannya mengusap, maka darah itu merata. Jenggot-kambing seperti berbedak gincu merah.

"Suma-heng, mukamu kenapa merah? " lelaki berwajah kunyuk terkejut dan menghampiri, "oh, engkau berlumuran darah."

"Hm, bangsat gundul itu harus kubunuh," Jenggot-kambing menggeram lalu melangkah ke tempat Blo'on. Tanpa bicara ba atau bu, ia terus menerkam leher baju Blo'on "bangsat, rasakan kapalanku ini.”

Duk .... auh ....

Terdengar dua macam bunyi. Bunyi tinju menghantam dada Blo'on dan bunyi mengaduh dari mulut Jenggot-kambing beserta tubuhnya yang mencelat ke belakang.

Karena masih kesima, Blo'on dapat dicengkeram Jenggot- kambing itu. Blo'on gelagapan dan kaget sekali ketika Jenggot-kambing itu melayangkan tubuhnya. Tetapi karena leher biju dicengkeram keras2 Blo'on tak dapat menghindar Ia ketakutan dan meronta. Karena meronta maka tenaga sakti Ji- ih-sin-kang pun memancar. Pukulan Jenggot-kambing disambut tenaga-tolak dari Ji-ih-sin-kang sehingga terlemparlah Jenggot-kambing.

Kebetulan tubuhnya melayang ke arah kakek Lo Kun dan sasterawan berkipas. Jongos yang disuruh kakek Lo Kun untuk mengambil air tadi pun datang. Dia membawa sebaskom air panas. Karena kakek Lo Kun dan sasterawan itu terkejut lalu menyurut mundur, maka tubuh Jenggot-kambing menghampiri si jongos, brak ....

"Aduh ....," untuk yang kedua kalinya Jenggot-kambing. menjerit lagi. Kali ini mukanya tersiram air panas yang tumpah dari baskom.

Dapat dibayangkan betapa sakit yang diderita si Jenggot- kambing itu. Mukanya yang berbintik darah sekarang diguyur dengan air panas. Karena marah dan kesakitan ia menghantam jongos itu sekuat-kuatnya. Jongos menjerit dan terpelanting ke arah pemilik rumah makan. Kedua terjatuh tumpang tindih.

Keadaan dalam rumah makan itu benar2 kacau dan gaduh sekali.

"Hai, apa-apaan ini!" tiba2 tetamu bermuka brewok yang duduk bersama kedua kawannya, lelaki tinggi kurus dan lelaki bermata satu, serentak berdiri dan menggembor keras "mengapa kalian membuat gaduh di sini! "

Entah karena nada suaranya mengandung daya pengaruh yang kuat, entah karena orang2 itu tak menggubrisnya. Yang nyata tiada seorang pun yang menjawab. Bahkan lelaki bermuka seperti kunyuk tadi, karena melihat kawannya si Jenggot-kambing menderita kesakitan, terus maju menghampiri Blo'on. Ia hendak menghajar pemuda gundul itu. “Berhenti! " tiba2 telaki bermuka brewok itu berteriak, "kalau engkau tak mau mendengar kata-kataku, aku pun terpaksa bertindak keras."

Si Muka-kunyuk tertegun dan berpaling.

"Siapa yang engkau suruh berhenti? " serunya:

"Engkau! " sahut lelaki brewok itu, “jangan mengacau lagi. Di sini rumah makan. Kita datang untuk makan bukan untuk melihat orang ugal-ugalan! *

"Eh, apakah engkau rugi? " sahut si Muka-kunyuk.

"Ya, aku terganggu. Mungkin mejaku pun akan terjungkir balik karena perbuatan kalian itu!”

"Hm, siapakah engkau? Mengapa engkau hendak mencampuri urusanku? " teriak si Muka-kunyuk.

"Kunyuk, tak perlu bertanya siapa namaku. Pokoknya, engkau jangan membuat gaduh lagi. Ini rumah makan,  banyak tamu yang memerlukan makan dengan tenang. "

Belum si Muka-kunyuk menjawab, Jenggot-kambing sudah berlari hendak menyerang Blo'on.

Tapi ketika dia hendak mengangkat tangan memukul Blo'on, tiba2 tangannya tetap terhenti di atas kepala. Dan orangnya tak berkutik seperti patung dalam gaya memukul.

Melihat itu kejut sekalian tetamu bukan kepalang. Ternyata mereka adalah tokoh2 silat yang berilmu tinggi.

Jenggot kambing itu sendiri adalah salah seorang dari Tay pa san Su in atau empat pendekar terpendam dari gunung Tay-pasan. Dia bernama Suma Ing bergelar Saim-kak-si atau Jenggot-segi-tiga. Sedang hidung bengkok itu bernama Mo Tiang bergelar Kui-sin cing atau burung elang hantu. Orang kedua dan Tay pa-san su in. Si Muka-kunyuk bernama Gui Kong bergelar Kim-si-kau atau Kera-bulu emas. Sementara si banci bernama Kiu Hong Wi bergelar Liu yang-siu atau si Banci.

Duapuluh tahun yang lalu, nama keempat pertapa dari gunung Tay-pa-san itu pernah menggemparkan dunia persilatan. Banyak jago2 silat yang rubuh di tangan mereka. Tetapi kemudian tiba2 mereka menghilang.

Bahwa toako atau saudara kesatu dari Tay-pa-san Su-in tegak tak bergerak. benar2 membuat lain2 saudaranya terkejut. Kui-sin-eng si Elang-sakti segera apungkan tubuh menghampiri.

Segera jago itu tahu bahwa toako mereka telah tertutuk jalan-darahnya. Cepat ia berusaha untuk membebaskan tetapi sampai berulang kali, tetap ia tak mampu menolongnya.

"Aneh," diam2 ia bergumam sendiri, “Ilmu tutuk apakah yang dilakukan orang itu? ”

Muka kunyuk atau Kim ki kau Gui Kang pun menghampiri.

Ia tak mau memperdulikan pada lelaki brewok tadi.

Juga Kim-sikau Gui Kong tak berhasil membuka jalan-darah Suma lng yang tertutuk itu. Mukanya berobah tegang.

Si Banci Kiu Hong Wi bergegas menolong. Tetapi pun sama saja. Ketiga pertapa dari gunung Tay pa-san itu saling berpandang dan terlongong-longong. Selama ini belum pernah mereka mengalami ilmu tutuk jalan-darah yang begitu aneh.

"Ho, siapakah yang telah mencelakai suheng kami ini? " teriak Kui-sin eng Mu Tiang, "kalau memang jantan hayo tampillah dan adu kepandaian dengan kami!" Tiba2 Kim-si wi atau si muka-kunyuk Gui Kong loncat menerkam Blo'on sehingga karena tak mengira, anakmuda itu pun bahunya kena dicengkeram.

"Jahanam! Engkau jangan main gila dengan suhengku!" bentaknya dengan mata melotot, "kalau engkau tak mau membuka jalan-darahnya, saat ini juga kuhabisi nyawamu!"

Si Muka-kunyuk terus menyeret Blo'on ke depan Suma lng : ”Lekas, buka jalan-darahnya yang tertutuk.”

"Gila engkau! * Blo'on memekik, "aku tak mengerti ilmu tutuk jalan-darah. Totok bakmi aku bisa tetapi totok jalan- darah aku tak mampu! "

"Ha, ha, ha," tiba2 kakek pemabuk tertawa gelak2, " itu namanya kera mencuri durian. Setengah mati ingin makan tetapi hidungnya tercocok durinya ”

"Eh, engkau benar2 tak mau? " Kui sin eng si hidung bengkok menghardiknya.

Tiba2 telinga Blo'on terngiang suara macam nyamuk melengking tetapi jelas : "Lakukan saja. Asal engkau cabut jenggot-kambingnya tentu dia akan dapat bergerak."

Blo'on terkejut. Tak tahu siapakah yang membisikinya itu. Ia berpaling, dilihat kakek pemabuk itu mulutnya komat kamit memainkan lidahnya untuk membersihkan arak yang memercik di luar bibirnya.

"Lekas! “, Kui-sin-eng si hidung bengkok segera mendorong tubuh Blo’on ke muka. Dan Blo'on pun tak sempat berpikir apa2 lagi. la terus melakukan menurut perintah suara di telinganya tadi. Dicabutnya segenggam jenggot yang berbentuk segi tiga dari Suma Ing. “Aduh....., " tiba2 Suma Ing menjerit karena jenggotnya jebol. Tetapi ternyata Suma Ing terus dapat bergerak lagi.

Plakkk.....

Sesaat sudah sadar. Jenggot-kambing terus menendang Blo'on. Sudah tentu Blo’on terkejut sekali. Ia cepat meronta berkisar ke samping. Karena Kui-sin seng si hidung bengkok masih mencengkeram bahunya, dia juga terkejut karena terseret oleh Blo’on. Ia hendak lepaskan cekalan dan lompat menghindar tetapi terlambat. Perutnya termakan ujung kaki Janggot-kambing. Seketika itu ia terseok-seok ke belakang sambil mendekap perutnya.

Sekalian tetamu benar2 dikocok perasaannya menyaksikan adegan di ruang rumah-makan itu. Belum hilang kejut mereka melihat si Jenggot-kambing tadi tiba2 kaku seperti patung, mereka harus terbeliak ketika melihat Blo'on dengan mencabut jenggot-kambing dari Suma Ing, Suma Ing terus dapat bergerak seperti biasa lagi. Tak seorang pun yang dapat memperhatikan bahwa sebetulnya, pada saat Blo'on mencabut jenggot, sebutir benda hitam sebesar kedelai telah meluncur menghantam dada Suma Ing. Seketika Suma Ing pun dapat bergerak.

Dan kini tetamu2 itu harus membelalakkan mata lebar2 karena melihat adegan yang terjadi. Suma ing menendang, Blo'on meronta dan si Muka kunyuk mengaduh dan terbungkuk-bungkuk menyurut mundur.

Kakek Lo Kun kesima menyaksikan peristiwa itu. Juga sasterawan berkipas terkejut. Siapakah gerangan tokoh sakti yang dapat menutuk jalan-darah Suma lng dari jarak jauh tanpa diketahui orang. Jelas diantara tetamu yang makan di situ terdapat seorang tokoh yang luar biasa saktinya. Baru sasterawan itu keliarkan pandang untuk meneliti tetamu2 tiba2 Jenggot kambing Suma Ing sudah menyerang Blo'on lagi.

Tanggu!" teriak sasterawan itu seraya kebutkan kipasnya.

Suma lng seperti terdampar tenaga-dalam yang kuat sehingga ia harus menarik pukulannya.

"Siapa saudara ini, aku belum kenal. Tetapi kupercaya saudara tentu seorang orang gagah yang berilmu tinggi," kata santerawan itu, “kita saudara tentu sependapat dengan aku, bahwa tiada gunanya untuk saling berbaku hantam di rumah makan ini."

"Hm," Jenggot-kambing mendengus.

"Kiranya saudara tak perlu meladeni perbuatan ugal-ugalan yang tak bertanggung jawab dari orang yang menyembunyikan diri itu." kata sasterawan itu pula," kita harus dapat menjaga gengsi.

Rupanya walaupun marah sekali tetapi Jenggot-kambing itu menyadari apa yang dikatakan sasterawan itu memang benar. Dalam ruang rumah makan itu terdapat seorang aneh yang berilmu tinggi sekali. Jika ia nekad bertindak, tentu akan mendapat malu lebih banyak.

“Sejak semula aku memang menghendaki begitu. Rasanya bukan di sini tempat untuk adu kepandaian. Masih ada waktu dan tempat yang sesuai untuk melampiaskan kemarahan," seru lelaki brewok yang menghendaki supaya orang2 menghentikan tingkah lakunya berbaku hantam.

"Aku sendiri telah disembur ludah oleh kakek tadi. Tetapi aku bersedia untuk menghabiskan persoalan itu," kata sasterawan itu pula. "Setuju!" teriak kakek Lo Kun. "apalagi di tempat ini terdapat beberapa nona dan wanita cantik. Apakah kita tak malu kalau dianggap sebagai lelaki liar semua? ”

Sekalian tetamu tertawa mendengar dan melihat tingkah laku kakek itu.

"Sekarang aku mau memberi contoh dulu," ia terus melangkah ke tempat nona baju putih tadi.

"Nona, bukankah tawaran nona mengajak aku duduk bersama di meja nona itu, sekaramg masih berlaku? " tanyanya. '

Sejenak nona baju putih itu memandang ke arah wanita baju putih yang duduk bersama seorang gadis lain, juga berbaju putih. Wanita itu menganggukkan kepala.

"Ya, mari kakek, kita duduk di meja sana," kata nona baju putih itu, terus melangkah.

"Tunggu dulu." seru Lo Kun, "kuminta nona jangan panggil aku kakek."

“Habis? ”

Lo Kun merenung sebenar, lalu berkata : "Bagaimana kalau panggil 'paman' saja."

Si nona tak menghiraukan, ia terus ayunkan langkah menuju ke meja, di situ telah duduk seorang wanita setengah umur dan seorang nona yang lebih muda dari nona yang mengajak kakek Lo Kun itu. Ketiga wanita itu sama mengenakan baju putih. Demikian pada rambut mereka pun berhias dengan rangkaian bunga melati.

"Suhu, inilah dia," kata nona tadi kepada wanita yang duduk. "Ya," wanita itu segera mempersilahkan: "Paman, duduklah."

Ternyata begitu tiba di depan meja mereka, kakek Lo Kun tegak terlongong-longong memandang wanita baju putih itu. Walau pun wanita itu sudah berumur empatpuluhan tahun tetapi masih tetap cantik berseri-seri bagai bunga mekar di pagi hari.

"O. ya, ya," kakek Lo Kun gelagapan seperti orang kaget.

Tergesa-gesa ia terus jatuhkan diri pada sebuah kursi.

"Auh .! .." tiba2 ia menjerit dan melonjak berdiri lagi seraya memegang pantatnya. Matanya mendelik.

Sudah tentu ketiga wanita baju putih itu terbeliak kaget. "Mengapa?   "   tegur   nona   yang   mengundangnya  tadi,

"Engkau memang hendak mempermainkan aku!" teriak kakek

Lo Kun seraya mencabut sesuatu dari pantatnya, kemudian dilemparkan ke meja mereka, "tuh, lihatnya! Masakan kursi engkau beri paku supaya pantatku tertusuk! Percuma..."

Habis berkata ia terus ngeloyor pergi.

"Hai, paman, jangan pergi dulu,” teriak nona itu seraya loncat menghadang, "kami tak merasa menaburkan paku pada kursi itu. Mari kita periksa dulu."

Lo Kun menurut. Memang kursi itu permukaan tempat duduknya halus dan rata, tetadi mengapa terdapat paku di situ?

Setelah memeriksa sejenak, nona itu berkata: "Sekarang dadudklah, paman. Kujamin tentu tak ada pakunya. Mari kuhidangkan secawan arak yang wangi."

Nona itu terus mengambil cawan dan menuang arak lalu disodorkan ke hadapan Lo Kun. Sudah tentu Lo Kun girang setengah mati. Ia terus duduk mengambil cawan arak dan meneguknya.

Braaaak, ....

Tiba2 kursi itu patah kakinya sehingga kakek Lo Kun terjerembab jatuh ke lantai, kepalanya tersiram arak.

Seketika pecahlah gelak tawa dalam ruang rumah makan itu.

"Tua bangka tak tahu diri, ingin daun muda tapi tenaga sudah loyo. Duduk terjatuh, arak wangi terbuang sia-sia "

Kakek Lo Kun melenting bangun dan memekik : "Hai, siapa bilang tenagaku sudah loyo? Siapa bilang aku ingin makan daun muda? "

Sekalian tetamu terperangah. Jelas mereka tak mendengar orang bicara kepada kakek itu, mengapa mendadak sontak kakek itu marah2 keluar tanduknya?

Nona baju putih tadi pun segera menegur. "Paman, siapakah yang bilang begitu kepadamu? "

"Jelas telingaku mendengar orang mengatakan begitu, masakan aku gila!" sahut Lo Kun.

"Ho, ho," tiba2 terdengar pula suara tertawa dalam pendengaran kakek Lo Kun, "engkau memang kakek yang sudan loyo, tuli dan linglung. Siapa lagi yang bilang tadi kalau bukan wanita setengah tua yaug duduk di hadapanmu itu!"

Seketika melototlah mata Lo Kun ke arah wanita baju putih itu : "Hm, kiranya engkaulah yang menghina aku!"

"Siapa!" nona baju putih tadi terkejut karena Lo Kun menuduh gurunya. "Siapa lagi kalau bukan dia!” Lo Kun menuding wanita baju putih itu.

"Tidak!" bantah nona itu, "suhuku tak berkata apa2 kepadamu."

"Kakek Lo, sudahlah, jangan membuat gaduh. Mari kembali ke tempat kita sendiri." tiba2 Sian Li menghampiri dan menarik tangan Lo Kun, Tiba2 nona baju putih itu loncat menghadang, serunya: "Jangan menghina orang"

Sian Li terbeliak : "Siapa yang menghina? "

"Telah kuundang dengan hormat kakek itu untuk minum arak bersama kami. Mengapa engkau terus hendak menariknya pergi? "

"Ini adalah kakekku, aku kuatir dia menimbulkan onar maka lebih baik kuajak kembali duduk di tempatnya sendiri," kata Sian Li.

"Jongos!" tiba2 nenek bertongkat bambu kuning tadi berseru. Jongos pun bergegas menghampiri.

"Mana majikanmu? * seru nenek Bambu Kuning itu.

Seorang lelaki setengah tua segera tampil menghampiri dan memperkenalkan diri sebagai pemilik rumah-makan di situ.

"Ini rumah makan atau bukan? Kalau rumah makan mengapa begini gaduh? Masakan hendak makan dengan tenang saja tidak bisa? Engkau bisa suruh orang2 itu tenang atau tidak? " nenek Bumbu Kuning itu nerocos menegur pemilik rumah makan.

Tiba2 masuk tiga tetamu lagi. Sekalian tetamu terkejut heran. Ketiga tetamu yang datang itu, sukar dibedakan satu dengan yang lain. Baik tingginya, rambut, muka dan pakaiannya, sama semua.

"Eh, mengapa dalam rumah makan ini banyak sekali tetamu2 yang aneh? ” kata kakek Lo Kun searaya garuk2 kepalanya.

"Nona, kuminta engkau lepaskan kakekmu agar dapat kuajak dia minum di mejaku," kata nona baju putih tadi pula.

Sian Li meragu. Memang kurang pantas kalau menyeret Lo Kun dari tempat mereka. Mereka tentu tersinggung.

"Baik," kata Sian Li, "tetapi kuminta jangan menimbulkan kegaduhan. Kita berada dalam rumah makan harus menghormati tetamu2 yang lain.”

Tiba2 muncul pula seorang lelaki bertubuh gemuk, wajah putih berseri, diiring oleh dua orang bujang.

"O, Kho tikoan," teriak pemilik rumah makan ketika melihat lelaki bertubuh gemuk itu, "benar2 rumah makan kami mendapat penghormatan untuk menerima kunjungan tikoan tayjin."

Tikoan artinya lurah desa atau kota kecil. Yang disebut Kho tikoan itu tersenyum simpul, memandang ke ruang yang penuh dengan tetamu2.

"Ha, saudara Ki, sungguh ramai benar  rumah-makanmu hari mi. Apakah engkau sedia arak yang nomor satu? "

"Ada, ada, tayjin." pemilik rumah-makan itu gopoh menyahut, "bahkan baru2 ini kami terima arak yang istimewa sekali. Mungkin jarang rumah makan yang mempunyai persediaan arak semacam itu."

"Apakah itu? " tanya Kho tikoan. "Peng-swat-ciu, arak yang direndam berpuluh tahun di bawah salju… "

"Jongos!" tiba2 pengemis tua tadi berseru memanggil jongos yang berada di dekat situ. "apakah rumah-makan ini punya arak Hwat-san-ciu? "

Jongos terbeliak. Cepat ia mencegah: "Sst, tikoan tayjin sedang bicara, jangan menyela."

"Jongos, engkau dengar tidak!" teriak pengemis tua itu pula, "aku hendak pesan hwat-san-ciu, apa disini sedia? "

Jongos itu pucat. Ia takut kalau menggubris si pengemis tua, majikannya akan marah.

"Jongos," tiba2 Kho tikoan berseru, "mengapa engkau tak menyahut permintaan tetamu mu? "

Jongos makin pucat. Tetapi pemilik rumah makan tertawa dan menyuruhnya melayani apa yang diminta pengemis tua itu.

"Apakah hwat san-ciu itu? " karena sudah mendapat ijin dan majikannya, jongos itu segera bertanya.

"Celaka," gerutu pengemis tua itu, "masakan hwat-san ciu saja tak tahu. Rumah-makan macam apa ini? "

„ Maaf, Io-jinke, " pemilik rumah-makan buru2 berseru,

„memang selama ini tak pernah kami mendengar arak hwat- san-ciu. Tolong lo-jin-ke sebutkan macam apakah arak itu? "

„ Hwat san-ciu adalah arak gunung berapi. Arak yang direndam dalam lahar gunung berapi," kata pengemis tua itu.

Pemilik rumah-makan tercengang „Hai, pemilik rumah- makan, " tiba2 kakek Lo Kun juga berteriak, „apakah di sini sedia Hay-te-ciu? ” Kembali pemilik rumah-makan terlongorg.

„ Hay-te-ciu itu arak dari dasar laut, " seru kakek Lo Kun.

Mendengar itu berobahlah wajah pemilik rumah-makan. la merasa telah dipermainkan oleh pengemis tua dan kakek Lo Kun.

„Kakek, jangan berolok-olok. Aku tak mempunyai waktu untuk melayani omonganmu," kata pemilik rumah makan.

„ Apa? Engkau tak percaya tentang Hay-te-ciu? " teriak kakek Lo Kun, „coba engkau tanya pada cucuku itu!"-Ia menunjuk pada Blo'on.

„ Blo'on cucuku, apakah aku berolok-olok kalau meminta Hay-te-ciu? Apakah Hay-te-ciu itu tidak ada? " serunya.

„Ya, memang ada, " jawab Blo'on.

„Tuh, dengar tidak lu, " teriak kakek Lo Kun kepada pemilik rumah-makan, “Di dunia ini memang ada arak yang disebut Hay te ciu, tempatnya di dasar laut."

Kho tikoan, tersenyum.

“Ciang-kui," katanya kepada pemilik rumah makan, "apakah engkau mempunyai persediaan Hwat-san-ciu dan Hay-te-ciu itu? ”

"Tidak punya, tayjin"

"Lalu apa persediaanmu? " "Peng-swat-ciu."

"O, baik. baik." kata Kho tikoan, "saudara2 yang berada dalam ruang ini. Jika saudara2 ingin mencicipi apa yang disebut Peng-swat-ciu biarlah ciangkui rumah-makan ini menyediakan kepada saudara2. Semua rekening aku yang membayar."

Habis berkata ia terus melangkah hendak tinggalkan rumah-makan itu, di pintu ia berhenti dan berseru kepada sekalian tetamu:

"Saudara2 boleh minum sampai puas. Hari ini hari ulang- tahunku, aku sengaja menjamu saudara2 sekalian!" Ia terus melangkah ke luar.

"Aduh..... aduh....." tiba2 pengemis tua tadi mengaduh kesakitan sehingga jongos menghampiri.

"Kenapa? " tanya si jongos.

"Perutku, aduh....... mulas sekali," kata pengenis tua itu, "aku hendak ke kamar belakang. Hayo tunjukkan tempatnya."

Walau pun mengkal tetapi jongos terpaksa mengantarkannya ke kamar belakang. Rupanya pengemis itu hendak buang hajat karena perutnya sakit.

Tak berapa lama jongos pun berturut-turut ke luar membawa hidangan arak Peng swat-ciu. Semua meja mendapat hidangan arak itu.

Rupanya para tetamu ingin juga mencicipi bagaimana rasanya arak peng-swat-ciu itu. Hanya tetamu wanita yang tidak terangsang minum. Tetamu2 lelaki serentak menyambut hidangan itu dengan gembira sekali. Mereka lalu minum sepuas-puasnya.

"Ha ha, ba," tiba2 terdengar suara orang tertawa gelak2. Ketika sekalian tetamu berpaling ternyata yang tertawa itu adalah ketiga orang yang wajahnya kembar satu sama lain tadi. "Ciangkui," seru salah seorang dari ketiga muka kembar itu, "beginikah rasanya arak Peng-swat-ciu? "

"Ya," sahut pemilik rumah-makan atau yang dipanggil dengan sebutan 'ciang-kui' itu.

"Jika begini, lebih baik ambil kembali saja," kata salah seorang kembar muka itu.

"Mengapa? ” pemilik rumah-makan terkejut. "Rasanya seperti air biasa."

Mendengar kata2 itu serempak semua tetamu seperti diingatkan. Mereka pun berseru: "Benar, memang rasanya seperti air biasa."

"Sialan!" teriak kakek Lo Kun, "aku telah minum sampai lima gelas. Hai ciangkui, engkau penipu!"

Lo Kun terus menghampiri pemilik rumah makan dan menyambar tangannya . "Hayo, engkau minum sendiri!'

Ciangkui terpaksa meminumnya. Ia mendelik ketika mengetahui rasanya arak itu.

"Celaka!" teriaknya, "bukan ini. Peng swat-ciu bukan begini rasanya. Hai, Jongos, dari mana engkau mengambil arak ini? "

Salah seorang jongos mengatakan bahwa arak itu diambilnya dari gudang penyimpanan arak, pada peti yang bertuliskan Peng swat-ciu.

"Aneh," gumam ciangkui itu. "mengapa mendadak arak itu bisa berobah rasanya."

"Wah, longgar, longgar," tiba2 pengemis tua tadi muncul pula dengan muka berseri-seri. Selekas duduk ia terus berseru: "Hai, ciangkui, mana Pang-swat ciu-nya? " Merah padam muka ciangkui.

Tiba2 sasterawan berkipas tadi menghampiri ke hadapan pengemis tua.

"Lo-tiangkuk." katanya sambil menjurah dengan tangan masih memegang kipas, "maaf "

Brakkkkk.....

Pengemis tua itu terjerembab jatuh beserta kursinya dan berterik teriak : "Aduh, aduh "

Sekalian tetamu terkejut melihat peristiwa itu. Blo'on berbangkit dan segera menghampiri. Rupanya ia kasihan kepada pengemis tua itu. Segera ditolongnya pengemis itu bangun.

"Mengapa lojin? " tanya Blo'on.

"Dia mendorong aku!' kata pengemis tua itu seraya menunjuk pada sasterawan beskipas.

"Mengapa engkau mendorong seorang tua? " tegur Blo'on kepada sasterawan berkipas itu.

Sasterawan itu terkejut dan berobah cahaya mukanya. Memang waktu membungkuk tubuh seperti memberi hormat kepada pengemis tua itu, tiba2 ia tamparkan kipasnya. Ia mencurigai pengemis itu sebagai seorang sakti yang menyembunyikan diri, Maka ia hendak mengujinya. Siapa tahu ternyata hanya dengan menggunakan tenaga-dalam tiga bagian saja, pengemis tua itu telah terjungkal dari kursinya.

"Eh, bung, mengapa engkau diam saja!" Blo’on mengulangi pertanyaannya.

“Aku tidak mendorongnya, aku hanya memberi hormat kepadanya," sasterawan itu membantah. "Jangan percaya omongannya,” tiba2 telinga Blo'on terngiang suara bisik2 macam nyamuk mengiang.

"Tidak mungkin," kata Blo'on, "engkau tentu menggunakan siasat buruk untuk mencelakainya.”

"Sekalian orang tahu bahwa aku tak mendorong bahkan tak menjamahnya," bantah sasterawan itu dengan tenang.

"Pinjamlah kipasnya,” kembali suara seperti nyamuk mengiang itu, terdengar menyusup di telinga Blo'on.

"Benar," tanpa disadari mulut Blo'on mengiakan, “engkau tentu menggunakan siasat dengan kipasmu itu. Mana, pinjamlah kipasmu itu. Hendak kuperiksa."

Seketika berobahlah wajah sasterawan muda itu, serunya : "Hai, bung, aku telah mengatakan yang sebenarnya. Kuminta janganlah engkau mencari perkara yang tak perlu."

"Eh, mengapa kipas saja engkau begitu keberatan untuk memberi pinjam? "

"Sudahlah," sahut sasterawan itu, "jangan engkau menguiusi diriku. Aku hendak bertanya kepada orang'tua itu."

"Tolonglah, dia hendak menganiaya aku," kembali suara macam nyamuk itu mengiang di telinga Blo'on. Dasar Blo'on seorang pemuda yang welas asih, ia kasihan kalau pengemis itu akan menderita lagi.

"Tidak bisa,” katanya, "kalau aku tak boleh mengurusi engkau, engkau pun jangan mengurusi orangtua ini lagi."

"Hm, pergilah," sasterawan ilu tamparkan kipasnya ke muka Blo'on sehingga Blo'on terpental ke belakang.

Diperlakukan begitu, Blo'on marah. Ia maju hendak merebut kipas orang. Sasterawan itu jengkel, ia tamparkan lagi kipasnya. Kali ini lebih keras agar Blo'on terjungkal. Tetapi betapa kejutnya ketika ia sendiri terdorong mundur sampai selangkah. la kerutkan dahi. Ia heran mengapa tenaga-dalam yang dipancarkan dari kipasnya itu, berbalik malah menampar dirinya sendiri.

"Hm, rupanya pengemis tua itu memang orang sakti yang menyembunyikan diri," pikirnya. Ia menaruh curiga kepada pengemis itu maka tadi ia pun hendak mengujinya. Tetapi ia kecele karena pengemis itu terpelanting jatuh. Namun setelah teijadi bentrokan dergaa Blo'on, kecurigaannya timbul kembali terhadap pengemis tua itu.

Ia ulangi lagi menampar dengan kipasnya. Kali ini diserempaki pula dengan gerakan tangan kiri untuk mencengkeram pergelangan tangan Blo'on.

"Uh…” Blo'on terkejut dan meronta untuk mengipatkan tangan sasterawan itu. Dan akibatnya sungguh mengejutkan.

Sasterawan itu mencelat sampai lima langkah, hampir saja membentur jongos. Kali ini ia benar2 terkejut sekali. Ternyata pemuda yang tampaknya Blo'on itu, memiliki tenaga yang luar biasa hebatnya.

Sekalian tetamu pun ikut melongo. Mereka tak mengerti bagaimana cara Blo'on melemparkan sasterawan itu.

Sasterawan itu benar2 terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda gundul yang blo'on ternyata memiliki tenaga- dalam yang begitu aneh. Namun dia sudah terlanjur basah, lebih baik dia mandi sekali. Karena sudah terlanjur berkelahi, ia harus menyelesaikan pemuda gundul itu. "Hm, rupanya engkau berisi juga," serunya terus taburkan kipas besi dan mulai menyerang dengan jurus Swan hong- hud-liu atau Angin-puyuh-meniup-pohon-liu.

Bagaikan sepasang burung camar yang menyambar- nyambar permukaan laut, demikian kipas sasterawan itu segera berhamburan menabur tubuh Blo'on. Setiap tamparan tentu menimbulkan deru angin yang tajam.

Blo'on terkejut sehingga terdesak mundur. Tetapi karena ruangan penuh dengan meja dan tetamu, gerakannya pun tak leluasa. Melihat itu kakek Lo Kun berteriak menerjang:

„Jangan menyerang cucuku!" Wuttt.......

Sasterawan mengalihkan kipasnya untuk menampar kakek Lo Kun. Lo Kun terdampar ke belakang membentur meja tempat orang kembar tiga. Meja berhamburan menumpah dan ketiga orang kembar itu pun melonjak dari kursinya.

"Lo-it," mari kita hajar sasterawan itu. Kata salah seorang dari manusia kembar tiga itu. Ketiganya segera maju menghampiri ketempat sasterawan berkipas.

"Engkoh gundul, pergilah. Biar kami yang melayaninya," kata mereka dan terus serempak menerjang.

Sasterawan berkipas terkejut. Lepaskan Blo'on ia segera melayani ketiga orang kembar itu.

Ketiga orang kembar itu mengepung sasterawan berkipas dari tiga jurusan. Mereka berputar mengelilingi lawannya, Makin lama makin cepat.

Sasterawan berkipas terkejut lagi. Berulang kali ia lancarkan serangan yang berbahaya tetapi ketiga orang kembar itu luar biasa tangkasnya. Begitu yang seorang diserang, yang dua terus saja menyerang.

Sasterawan itu merasa dirinya seperti dikepung oleh berpuluh-puluh orang. Kanan kiri, samping, muka, belakang, semua sama wajahnya.

Juga sekalian tetamu heran melihat pertempuran itu. Mereka tak dapat membedakan lagi ketiga orang kembar itu. Tiga jumlahnya tetapi satu wujutnya.

Tiba2 sasterawan itu menggembor keras dan tubuhnya melambung ke atas lalu tamparkan kipasnya ke bawah. Saketika terdengar ketiga orang kembar itu menjerit dan berguling-guling ke lantai.

"Ganas!" terak Blo’on ketika melihat ketiga orang kembar itu meregang dan merentang kemudian tak bergerak. Wajah mereka berubah hitam.

Blo'on terus menerjang. Ia tak menghiraukan apakah ia membawa senjata atau hanya bertangan kosong, sedang musuh jelas mempunyai sebuah kipas yang mengandung pekakas rahasia, dapat memuntahkan jarum beracun.

Beberapa tetamu yang lain pun terkejut. Mereka pun marah melihat keganasan sasterawan itu.

Lelaki bertubuh tinggi kurus dan lelaki bermata satu, serempak bangkis, mencabut senjata dan menyerang sasterawan itu.

Wuittt.....

Kembali sasterawan itu memijat alat rahasia dari kipasnya dan serangkum jarum segera berhamburan ke arah ketiga orang itu. Tetapi ketiga orang itu sudah bersiap. Mereka memutar golok masang2 untuk melindungi diri. Ternyata sambil melepas jarum rahasia, sasterawan itu pun sudah melesat ke arah pintu.

Wutttt ... nenek bertongkat Bambu Kuning ayunkan tongkatnya menghajar ... Sambil mengendapkan kepala, sasterawan itu maju menyusup untuk menusukkan kipas bajanya ke rusuk si nenek.

"Keparat!" nenek Bambu Kuning terpaksa menarik tongkatnya untuk manyapu. Pada saat ia berhasil menyapu jarum, ternyata sasterawan itu sudah loncat ke luar. Sesaat kemudian terdengar jeritan ngeri yang riuh rendah.

Blo'on dan beberapa ketua partai persilatan segera berhamburan memburu ke luar. Mereka terkejut, geram dan sedih. Berpuluh-puluh paderi Siau lim dan imam2 Bu-tong pay telah menggeletak mati di tanah. Ketika diperiksa ternyata mereka terkena jarum beracun dari kipas sasterawan tadi.

Beberapa tokoh dan tetamu segera lanjutkan pengejaran tetapi sampai satu li jauhnya, mereka tak berhasil menemukan jejak sasterawan itu.

Belum mereka sempat kembali, seorang tetamu berlari-lari mendatangi: “Celaka, saudara2 dan cianpwe sekalian, dalam rumah-makan telah terjadi pembunuhan yang ngeri.

Jago2 silat itu berhamburan kembali masuki ke dalam rumah-makan. Mereka terkejut bukan kepalang ketika melihat beberapa tetamu sedang memeriksa keempat tetamu yakni Sum Ing si jenggot kambing, Hek kui sin eng atau si Hidung bengkok, Kim si wan Gui Kiam dan si Banci Kiu Hong Wi telah menggeletak di lantai.

„Siapakah yang membunuh mereka? " seru Blo'on kepada tetamu2 yang masih berada di ruang itu. Tetapi tiada seorang yang dapat memberi keterangan asal mula dan siapa pembunuh keempat orang itu.

Sementara rombongan tetamu wanita, yakni gadis cantik dengan nenek bertongkat bambu kuning, wanita cantik dengan dua orang nona cantik, tak tampak lagi. Si pengemis tua yang aneh gerak geriknya tadi pun lenyap.

"Hai, mengapa kalian diam saja? " bentak Blo'on, "apakah kalian bisu? "

Yang memeriksa mayat keempat orang itu adalah rombongan lelaki muka brewok, lelaki tinggi kurus dan lelaki bermata satu. Sudah tentu mereka tak senang karena dibentak-bentak Blo'on.

"Jangan kurang ajar, engkau!” balas si muka brewok, "jika kami tahu siapa pembunuhnya tentu sudah kami tangkap."

"Ya, begitu kan sudah menjawab!" seru Blo'on, "lalu mengapa kamu tak tahu sama sekali? Apakah tiada seorang yang masuk kemari dan membunuh mereka? "

Ketiga orang itu gelengkan kepala: "Sama sekali tidak!" "Kemana pergi beberapa tetamu wanita? " tanya pula

Blo'on.

"Pada waktu terjadi keributan tadi, mereka pun segera tinggalkan rumah makan ini. Rupanya mereka takut." jawab si muka brewok.

"Kemanakan mereka!" tiba2 kakek Lo Kun bertanya.

"Aku bukan mereka. Tanya sendiri kepada mereka." sahut si muka brewok yang tak senang karena dirinya dianggap sebagai anak kecil. " Eh, brewok, engkau hendak menyembunyikan wanita2 itu, bukan? Mentang2 mereka cantik terus hendak engkau culik,” Lo Kun marah2.

"Eh, kakek sinting, rupanya engkau memang hendak cari gara2. Ayo, kita ke luar dan menyelesaikan urusan ini," karena tak tahan lagi maka brewok itu terus menantang.

"Siapakah saudara bertiga ini? " karena melihat gelagatnya hendak ribut2 lagi, buru2 pengemis-sakti Hoa Sin menghampiri.

“Urusan ini cukup gawat. Harap sam-wi jangan salah faham," Hoa Sin menyusuli pula kata-katanya, "janganlah kita sampai salah faham dan saling bentrok di antara sesama kawan yang bertujuan sama."

Mendengar kata2 Hoa Sin yang beralasan dan bersahabat, si muka brewok pun sungkan.

"Kami bertiga dari gunung Tay-swat-san. Namaku Bo Kian dan kawanku ini Liong Kim Tong dan yang ini Pa Kim."

“O, kiranya Tay-swat-san-hiong,” seru Hoa Sin, "sudah lama kami mendengar nama Tay-swat-sam-hiong yang termasyur tetapi baru pertama kali ini dapat bertemu muka. Sungguh beruntung selkali.”

Atas pertanyaan Bo Kian, Hoa Sin pun lalu memperkenalkan nama rombongannya.

"Hoa pangcu," kata kakek Lo Kun ketika gilirannya diperkenalkan, "aku tak kenal siapa ketiga orang ini."

"Tay-swat-sam-hiong, memang jarang turun gunung," kata Hoa Sin, "tetapi dunia persilatan pernah gempar ketika pada sepuluh tahun yang satu mereka berkelana di dunia persilatan dan merubuhkan banyak tokoh2 persilatan. Tokoh pertama bernama Bo Kim bergelar Swat-kim-kong atau Malaikat-salju. Yang kedua bernama Liong Kim Tong bergelar Swat-leng-coa atau Ular-salju. Dan yang ketiga adalah Liong Kim Tong bergelar Swat-gan-liong si Naga mata-salju. "

„Oh,” teriak Lo Kun, “semua pakai gelar salju, apakah mereka manusia salju? ."

"Tay swat san gunung salju yang termasyhur di Tiong-goan, karena mereka berdiam di daerah gunung itulah maka orang persilatan memberi mereka gelar salju,” menerangkan Hoa Sin.

Kemudian Hoa Sin cepat mengalihkan pembicaraaan  kepada ketiga orang itu: "Sam-wi, apakah tujuan sam-wi datang ke gunung Hong-san ini? ”

"Kami dengar bahwa di gunung Hong-san telah timbul sebuah perkumpulan agama baru yang disebut Seng lian-kau. Mereka kabarnya mengumpulkan anggauta dengan cara paksa. Itulah sebabnya maka kami hendak bertemu mereka."

" Jika demikian," kata Hoa Sin, "kita ini orang sendiri. Rombongan kami juga demikian. Bahkan kami hendak mininjau bagaimana nasib dari kawan kami ketiga ketua partai persilatan yang telah pergi ke gunung ini dan sampai sekarang tiada beritanya."

"O. siapakah mereka? " tanya si muka brewok Bo Kian.

"Hui Gong taysu ketua Siau-lim-pay, Ang Bin tojin ketua Bu tong-pay dan Sugong In ketua Kong-tong-pay," Hoa Sin lalu menceritakan tentang peristiwa yang dialami mereka selama ini. Mereka terpaksa harus memecah diri untuk memenuhi undangan dari Thian tong-kau di gunung Thay-san dan Seng- lian-kau di gunung Hong-san. Ketua dari kedua partai baru itu sama menggunakan nama Kim Thian Cong." "O, Kim Thian Cong yang diangkat oleh kaum persilatan sebagai Bu-lim-pang-cu itu? " seru Bo Kian.

"Ya," kata Hoa Sin, kemudian menunjuk pada Blo'on, "dan Kim kongcu ini adalah putera dari mendiang Kim tayhiap."

"O." seru si muka brewok, "aku pernah bertemu muka dengan ayahmu, Kim kongcu. Dia memang seorang pendekar yang hebat ....." ia berhenti sebentar sambil memandang wajah Blo’on dengan pandang meragu.

Rupanya Hoa Sin tahu apa yang dikandung dalam hati Bo Kian. Tentulah tokoh2 dari Tay-swit san itu heran mengapa putera Kim Thian Cong yang begitu termasyhur, seperti seorang pemuda yang Blo'on.

"Sekarang hendak kemanakan sam-wi ini? " Hoa Sin lanjutkan pembicaraannya.

"Naik ke gunung Hong-san," kata mereka.

"Tunggu dulu," kata Blo'on, "urusan di rumah makan ini belum beres, harus dibereskan dulu. Aku hendak cari tahu siapakah pembunuh yang telah menghabisi jiwa keempat orang itu."

"Kongcu," kata Hou Sin, "mereka telah terkena jarum rahasia yang amat beracun "

"O. apakah dari pemuda yang membawa kipas tadi? * "Bukan." kata Hoa Sin," jarum yang mencabut nyawa

keempat orang itu lebih halus dan lebih lembut, terbuat dari emas. Sedang jarum yang dilepaskan pemuda berkipas tadi, jarum perak."

"Lalu siapakah pembunuhnya? " tanya Blo'on. "Jangan2.....," kata Swat-gan-liong Liong Kim Tong yang bermata satu, Tetapi ia tak lanjut kan perkataannya.

"Siapakah pembunuhnya kalau menurut dugaan Liong beng." Hoa Sin.

"Mungkin salah seorang dari kedua rombongan wanita tadi. Entah si nenek bertongkat bambu kuning, entah wanita dengan kedua nona cantik itu," kata Liong Kim Tong.

Hoa Sin merenung, " Kedua rombongan tetamu wanita itu memang aneh gerak geriknya. Terutama si nona cantik yang diiring nenek bertongkat bambu kuning itu. Selama masuk dalam rumah makan ini, tak pernah mengucap sepatah pun juga," kata Hoa Sm.

"Jika begitu, kita kejar mereka," seru Lo Kun, "sayang kalau nona2 cantik itu sampai hilang.”

Tiada seorang yang menggubris ocehan kakek itu. Mereka segera ke luar dari rumah makan itu.

Tiba2 Sian Li berhenti: "Tunggu dulu ......" Sian Li lari kembali ke dalam rumah makan. Ia mencari ciangkui: " Hai, ciangkui, ke marilah."

Ciangkui atau pemilik rumah makan heran. Tetapi karena yang memanggilnya seorang nona, ia pun segera menghampiri.

"Ciangkui, awaslah aku hendak menyerangmu," tiba2 gadis itu terus maju menyerang ciangkui.

" Eh, apa-apaan nona ini? " seru ciangkui si raya loncat ke samping. Tetapi gerakan itu dapat menghindari serangan Sian Li.

Diam2 terkejut Sian Li karena serangannya luput. Pada hal ia menyerang dengan jurus yang istimewa dan gunakan kelincahan gerak yang hebat. Dugaannya makin keras. Diserangnya pula ciangkui itu dengan jurus Ya-ma-hua-cong atau Kuda-liar-menebar-bulusuri.

Tetapi ciangkui itu dapat menghindar pula dengan cara yang mengejutkan.

"Hoa cianpwe, " tiba2 Sian Li berteriak: "Dialah pembunuh dari keempat orang tadi! "

Hoa Sin dan rombongannya terkejut.

"Bagaimana engkau dapat mengatakan begitu nona Liok? " tegur Hoa Sin.

“Dalam rumah makan ini tiada seorang pun yang tahu siapa pembunuhnya. Kedua rombongan tetamu wanita itu dan ketiga Tay-swat-sam-hiong tentu sedang menumpahkan perhatian pada usaha kita mengejar sasterawan berkipas tadi. Pada kesempatan itulah mereka telah melepaskan jarum maut kepada keempat orang itu."

"Kurang meyakinkan nona, " kata Hoa Sin.

"Keempat orang yang menjadi korban itu tentulah tokoh2 yang berilmu, tak mungkin mereka dapat menderita kematian begitu mengenaskan, apabila mereka tahu ada tetamu yang hendak membunuh mereka. Adalah karena tak menyangka sama sekali terhadap ciangkui dan jongos2 di sini, barulah keempat orang itu dapat terbunuh."

" Agak jelas, " kata Hoa Sin, "bukti yang lain? "

"Lihatlah betapa tangkas ciangkui tadi menghindari seranganku. Hal itu membuktikan bahwa dia tentu seorang jago silat yang ulung."

"Tidak," teriak ciangkui, "aku tak tahu menahu soal kematian mereka. Aku sibuk memberi perintah kepada jongos untuk mempersiapkan pesan2 tetamu. Bagaimana nona menuduhku secara membabi buta begitu? "

Sian Li mencabut pedang dan tanpa menggubris penyangkalan ciangkui, dia terus menyerangnya lagi.

Kali ini suasana bertambah genting. Pedang yang dimainkan Sian-li itu adalah pedang pusaka Pek-liong kiam.

Karena diserang begitu gencar, terpaksa ciang-kui pun berusaha untuk menghindar. Dan lama kelamaan karena terdesak akhirnya ia balas menyerang juga.

Kini pertempuran berobah kedudukannya. Jika tadi ciangkui itu kelabakan menghindar kian ke mari untuk melepaskan diri tetapi sekarang dia yang berbalik memegang situasi. Nona itu berbalik terdesak. Walau pun ciangkui hanya menggunakan tangan kosong tetapi setiap tamparan atau pun hantaman tentu menimbulkan desir angin-tenaga yang setajam pisau. Mau tak mau terpaksa Sian Li harus melindungi diri.

"Sumoay, mundurlah," seru Blo'on segera maju menggantikan Sian Li.

Serempak dengan itu jongos yang tadi tampak bersikap menghormat dan rendah diri, saat itu tiba2 berhamburan menyerang rombongan Blo'on.

"Hm, jangan harap kalian hari ini mampu tinggalkan rumah- makan ini dengan membawa nyawa," ejek ciangkui rumah- makan.

“Jika begitu engkaulah pembunuh dari keempat orang itu? " tanya Hoa Sin pula.

Ciangkui rumah makan tertawa seram. Sikap dan wajahnya kini bukan lagi seperti ciangkui yang begitu rendah diri terhadap para tetamunya tetapi seperti seorang iblis yang haus darah.

"Ya,” sahutnya, “mereka berempat akan menjadi bahan makanan yang lezat."

"Hai!" teriak Blo'on, "apakah engkau menjual daging manusia? ”

"Disini jauh dari kota. Perlu apa aku harus suruh orang untuk membeli daging ke kota. Bukankah memboroskan uang saja. Tidakkah lebih enak dan menguntungkan  apabila mencari daging dari tetamu2 yang makan disini? "

"Jadi daging masakan yang engkau berikan kepadaku tadi, daging manusia," Blo'on pucat seketika.

"Ya," sahut ciangkui dengan tertawa keras.

"Huakkk....," tiba2 Blo'on rasakan perutnya seperti berontak dan meluap. Segera makanan yang berasal dalam perutnya itu muntah ke luar lagi. Begitu keras ia muntah sehingga makanan2 itu berhamburan menumpah dan menyemprot ke muka Ciangkui.

"Bangsat!" teriak ciangkui seraya mundur dan mengusap makanan yang melumuri mukanya.

Habis muntah, Blo'on pun loncat menerjang. Ia marah sekali. Dihantamnya ciangkui dengan sekeras-kerasnya.

Auhhhh .....

Ciangkui itu mencelat, tubuhnya menghantam tiang rumah. Tiang patah dan terkaparlah ciangkui itu dengan perut hancur lebur, batok kepalanya pun pecah berantaran.

"Blo'on! "

"Suko! " Demikian Lo Kun dan Sian Li serempak berteriak. Mereka terkejut dan baru pertama kali itu melihat Blo'on marah dan mengamuk.

Muka brewok Bo Kian, si Tinggi-kurus Liong Kim Tong dan si mata satu Swat-gan-liong Pa Kim atau Tay-swat-san-sam- hiong, terlongong melihat kesaktian Blo'on. Mereka tak mengira bahwa pemuda yang tampaknya blo'on ternyata memiliki pukulan yang sedemikian dahsyatnya.

Tetapi Blo'on sudah terlanjur mengamuk. Ia menerjang meja dan mengobrak-abrik semua pekakas dalam rumah makan itu, pyur .... sekali hantam sebuah tiang yang besar, hancur lebur, genteng pun rontok.

Belum puas rasanya pemuda itu. Ia terus menghantam dinding tembok sehingga berantakan. Dalam beberapa kejab saja, rumah-makan itu pun porak poranda.

Melihat itu Hoa Sin terkejut. Cepat ia menyambar tangan Blo'on; "Kim kongcu mari kita keluar, rumah ini akan hancur

....... "

" Enyah! " teriak Blo'on seraya melemparkan tangan ketua Kay-pang. Ketua Kay-pang itu mencelat sampai beberapa langkah.

"Suko, engkau ini bagaimana, " Sian Li terkejut dan hendak mengajak sukonya keluar. Tetapi Blo'on meronta dan melepaskan tangannya sehingga nona itu mencelat sampai ke luar pintu.

" Hai, Blo'on cucuku, mengapa engkau mengamuk! " tiba2 kakek Lo Kun menubruk pinggang Blo'on. Tetapi Blo'on meronta sekuat-kuatnya dan terlemparlah Lo Kun ke halaman luar. Peristiwa itu mengejutkan sekalian orang. Mengapa mendadak sontak pemuda itu mengamuk seperti orang gila.

Hong Hong tojin coba untuk memegang tangan pemuda itu dan hendak menarik ke luar tetapi kembali dengan menyiakkan tangan, ketua Go-bi-pay itu mencelat sampai beberapa langkah.

Ceng Sian suthay terkejut. Ia tak mau mengalami nasib seperti yang lain. Cepat ia menyerang Blo'on, maksudnya ia hendak menutuk jalan-darah pelemas pemuda itu agar rubuh. Tetapi pukulan Blo'on yang dilancarkan beberapa kali, memaksa rahib dari Kun-lun-pay itu mundur sampai ke luar halaman.

Tay swat san-sam-hiong atau tiga tokoh dari gunung Tay- swat-san, setelah mengetahui bahwa Blo'on itu putera dari Kim Thian Cong, sahabat mereka, tak tega hati melihat Blo'on tertimpa rumah-makan yang akan rubuh itu. Serempak mereka bertiga terus menyerbu Blo'on. Hendak diseretnya pemuda itu ke luar.

Tetapi Blo'on benar2 seperti orang gila. Ia menghantam ketiga orang itu. Memang ia tak mengerti jurus2 ilmusilat, tetapi hantaman itu memancarkan tenaga-dalam Ji-ih-sin-kang yang luar biasa saktinya sehingga ketiga tokoh dari gunung Tay-swat-san itu berhamburan terdampar ke luar.

Blo'on kini hanya tinggal seorang diri. Dia melanjutkan pula amukannya. Menghantam setiap pekakas dan tiang, bahkan tembok dan rumah-makan. Ketika sebuah tiang terhantam hancur, seluruh atap dan wuwungan rumah-makan pun segera rubuh.

Bummmmm..... 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar