Pendekar Bloon Jilid 30 Memancing harimau tinggalkan sarang

Jilid 30 Memancing harimau tinggalkan sarang

Bahwa Hui Gong taysu seperti orang yang menderita kejut disambar halilintar, memang dapat dimaklumi. Kitab itu telah diisi dengan tulisan mengenai seluruh ilmu kepandaian yang dimilikinya.

Walaupun tidak semua ilmu pusaka Siau-Iim-si yang terdiri dari tujuhpuluh dua macam ilmu sakti itu dapat dipelajarinya semua, tetapi hampir lebih dari separoh ia telah dapat menguasai. Suatu hal yang tak mengherankan mengingat kedudukannya sebagai seorang ketua.

Setelah kitab itu benar2 tak diketemukan dalam kamarnya, segera ia lari keluar menuju ke kamar lain2 ketua persilatan.

”Ah ... ”, ia berseru dalam hati ketika melihat kelima ketua partai persilatanpun muncul dari kamar masing2.

Merekapun terkejut melihat Hui Gong taysu.

”Taysu ... ” serentak kelima ketua persilatan itu bergegas menyongsong.

Hui Gong taysu cepat dapat mencium bau bahwa dari kerut wajah mereka, tentulah mereka juga mengalami peristiwa sama seperti yang dideritanya. ”Omitohud !” seru paderi ketua Siau-lim-si itu dengan wajah tenang, ”bukankah toheng dan ciangbunjin sekalian kehilangan kitab tulisan toheng?

”Apakah taysu juga kehilangan kitab itu ?” seru Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay. Hui Gong taysu mengangguk tenang. ”Rupanya kita telah tertipu siasat musuh. Orang itu menggunakan siasat Tiau-hou-li-san (memancing harimau tinggalkan gunung),” kata Hui Gong taysu penuh toleransi.

”Ini tak dapat kita biarkan !” seru Sugong In ketua Kong- tong-pay, ”jika kitab yang ditulis itu jatuh ketangan orang, berarti mereka tentu dapat menguasai ilmu kepandaian ketujuh partai persilatan .. ”

”Tidak semua,” cepat Ceng Sian suthay menukas, ”karena ilmu kepandaian partai Hoa-san-pay tetap tak terganggu.”

“Oh ... “ teriak Sngong In, “maksud suthay ... apakah ... “ “Omitohud !” cepat Hui Ceng taysu menyela “kutahu apa

yang toheng maksudkan. Tetapi hendaknya janganlah kita menaruh prasangka buruk kepada kawan sendiri.”

“Tetapi taysu,” bantah Ceng Sian suthay. “bukti sudah mengatakan kepada kita, adakah kita harus menutup mata akan kenyataan.

. “Omitohud” berseru pula ketua Siau-lim-si yang penuh toleransi, “dalam saat2 dimana keselamatan dunia persilatan dan kepentingan partai2 serta kaum persilatan terancam, wajiblah kita memelihara persatuan dan kesatuan. Karena hanya dengan persatuan itu kita akan dapat menghadapi bahaya2 yang sedang mengancam kita.”

“Tepat, taysu,” sambut Ceng Sian suthay pula. “tetapi justeru dalam menghadapi saat2 segenting ini, kita harus mawas diri. Persatuan yang sungguh2 keluar dari hati bersih dan kesatuan yang benar2 bersih dari penghianat. Justeru dalam menghadapi bahaya besar seperti saat ini kita harus membersihkan tubuh persatuan kita. Dengan demikian kita dapat mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk menghadapi musuh dari luar, Jika tidak, beratlah beban kita. Dari luar menghadapi ancaman musuh berbahaya dari dalam harus menderita digerogoti musuh dalam selimut.”

Beberapa ketua partai persilatan itu tertegun Apa yang diucapkan Ceng Sian suthay ketua Kun lun-pay memang tepat. Merekapun tahu siapa yang dicurigai suthay itu. Tentulah tak lain diri wakil partai Hoa-san-pay Pang To Tik.

Memang kecurigaan Ceng Sian suthay sudah dimulai jauh sejak hilangnya jenasah Kim Thian- cong dulu. Tetapi hal itu masih belum dapat menemukan bukti yang meyakinkan. Kemudian hilangnya Pang To Tik yang bersama Hoa Sin menuju ke gunung Thaysan. Yang kedua yalah peristiwa yang terjadi pada saat itu. Tidak mungkinkah peristiwa tadi Pang To Tik yang melakukan ?

Jelas apabila dalam soal adu kepandaian. Pang To Tik tentu tak dapat memenangkan kelima ketua partai persilatan yang berkumpul di situ. Itulah sebabnya maka dia menggunakan bahan peledak atau peluru asap untuk melarikan diri.

Demikian dugaan2 yang dikemukakan oleh Ceng Sian suthay dan beberapa ketua partai persilatan iain. Dan mereka hampir cenderung untuk menyetujui dugaan itu apabila Hoa Sin tidak bertanya.

”Benar.” Serunya, ”memang dugaan itu hampir mendekati kebenaran. Tetapi mengapa dan bagaimana dia tahu kalau kita mengambil keputusan untuk menulis semua kepandaian kita dalam sebuah kitab dan kita wajibkan Tio Goan Pa untuk kelak memberikan kepada murid-murid kita.

”Omitohud !” tiba2 Hui Gong berseru kejut dan terus melangkah pergi menuju ke ruang belakang.

”Taysu , . ” Sugong In hendak berseru memanggil untuk meminta keterangan mengapa ketua Siau-lim-si tiba2 melangkah pergi.

”Sugong ciangbunjin, Hui Gong taysu tentu akan menjenguk Tio Gan Pa,” cepat Hoa Sin menukas, ”kita tunggu saja disini”

”Ah, tidak” sahut Sugong lu. ”lebih baik kita ikuti taysu ke belakang”.

”Silahkan,” kata Hoa Sin tenang2. Dan dia tetap menunggu di situ walaupun keempat ketua partai persilatan telah menyusul Hui Gong.

Beberapa saat kemudian muncullah Hui Gong taysu bersama para ketua partai persilatan. Wajah mereka tampak berobah tegang.

”Hoa pangcu”. Kata Hui Gong taysu agak gopoh, ”ah, peristiwa ini makin hebat Tio Goan Pa sicu telah h:lang ... ”

Hoa Sin mengangguk : ”Ya, memang, telah kuketahui hal itu.”

’”Hoa pangcu sudah tahu ?” Hui Gong taysu terkejut. ”Sewaktu kembali ke dalam kamar dan tak mendapat kitab

yang kutulis, pertama-tama aku segera lari menuju ke kamar Tio Goan Pa. Ternyata dia sudah hilang.”

”Hoa pangcu” tiba2 Ceng Sian suthay menyela, ”mengapa Hoa pangcu terus langsung menjenguk kamar Tio sicu ?” Hoa Sin menghela napas.

”Memang apa yang Hui Gong taysu katakan bahwa kita tak boleh retak sendiri dan harus membentuk persatuan, itu benar. Tetapi kata2 suthay bahwa justeru untuk membentuk persatuan yang kokoh, kita harus membersihkan tubuh kita. Itupun tepat ... ”

”Hoa pangcu,” seru Sugong In cepat2, ”kumohon pangcu suka berkata langsung pada persoalannya. Waktu sangat berharga sekali bagi kita. Kita harus lekas2 bertindak.”

”Ya, Sugong pangcu memang benar,” sahut Hoa Sin. ”terus terang sejak hilangnya jenasah Kim tayhiap dan terbunuhnya Kwik Ing, aku sudah menaruh kecurigaan kepada Tio Goan Pa.

”’O, maksud Hoa pangcu Tio sicu terlibat dalam peristiwa ini

?” tanya Hui Gong taysu.

”Soal itu aku masih belum berani memastikan. Sebagaimana Ceng Sian suthay mencurigai Pang To Tik tayhiap, sebaliknya kecurigaan jatuh pada diri Tio Goan Pa”.

”Apakah Hoa pangcu sudah mempunyai landasan2 untuk mempertahankan kecurigaan pangcu terhadap Tio sicu ?” tanya Hui Gong taysu.

”Taysu” jawab Hoa Sin pula. ”ada satu hal yang meminta jawahan kita. Mengapa keputusan k’ta untuk menulis ilmu kepandaian kita masing2 dalam sebuah kitab, dapat diketahui orang luar ?”

Beberapa ketua partai persilatan terkesiap. Mereka mengakui kata2 ketua Kay-pang itu memang beralasan. Hanya Ceng Sian suthay yang membantah.

”Hoa pangcu” katanya, ”apa guna Tio sicu harus melakukan pencurian itu ? Katakan dia bersekongkol dengan orang luar untuk membawa lari kitab2 itu, tapi perlu apa dia harus berbuat begitu. Bukankah telah menjadi keputusan kita. Bahwa setelah kitab2 itu selesai, akan kita serahkan kepada Tio sicu ? Bukankah lebih baik ia menunggu saja?”

”Ya, memang begitulah”, kata Hoa Sin. ’’aku sendiri juga belum dapat memecahkan persoalan itu, tetapi kita harus menyadari betapa julig dan licin orang2 persilatan itu menggunakan siasat sehingga orang sukar untuk menduga. Misalnya, kalau kita katakan saja, dengan terjadinya peristiwa sekarang ini, Tio Goan Pa dapat lepas dari tanggung jawab. Mungkin kelak dia akan mengatakan kalau ditawan oleh penjahat yang mengambil kitab itu dan dilempar ke jurang.

”Beda apabila dia menerima penyerahan kitab itu dari kita. Kelak kita dapat menuntutnya apabila kitab2 itu tak diberikan kepada yang berhak” kata Hoa Sin pula, ”maka ada juga bedanya, dia mengambil kitab itu sekarang dengan dia harus menunggu penyerahan dari kita.”

”Ah, itu hanya suatu reka dugaan dari pangcu sendiri,” kata Ceng Sian suthay, ”tetapi betapapun, Tio sicu itu adalah murid dari Kim tayhiap. Tentulah orang sukar percaya ia mempunyai peribadi sedemikian rendahnya”

”Mudah-mudahan demikian,” sambut Hoa Sin sebagaimana halnya mudah-mudahan Pang To Tik tayhiap juga tak seperti yang Ceng Sian suthay duga. Tetapi sebagaimana pula suthay pasti akan tetap melakukan penyelidikan untuk membuktikan kecurigaan suthay, demikianpun aku terhadap Tio Goan Pa.”

”Hai” tiba2 Ceng Sian suthay berseru, ”mungkin kita dapat bekerja dalam satu arah, pangcu!”

Hoa Sin terkesiap.

”Maksud suthay ?” tanyanya. ”Tidakkah mungkin Pang To Tik itu bersekongkol dengan Tio Goan Pa ?” seru Ceng Sian.

Hoa Sin mengangguk-angguk : ”Mudah-mudahan tidak, mudah-mudahan ya” ’

Setelah hening sejenak maka Ang Bin tojin berkala :  ”Taysu, bagaimana langkah kita sekarang ?”

Hui Gong taysu tertegun. Beberapa saat dia tak dapat bicara. Belum soal yang satu selesai, kini muncul pula lain soal. Hilangnya sekali gus tujuh buah kitab berisi pelajaran telah hilang, benar2 suatu peristiwa yang mengguncangkan dunia persilatan.

”Bagaimanapun juga, penjahat itu harus diburu. Demikian pula dengan jejak Tio sicu,” kata ketua partai Siau-lim-si akhirnya, ”kita benar2 menghadapi kesulitan tetapi baiklah kita membagi tugas. Untuk menghadap kedua Kim  Thian-cong, kita sendiri beserta beberapa murid yang akan datang. Untuk mecari jejak si penjahat dan Tio sicu, kita utus saja ko-jiu (jago sakti) dari masing2 perguruan kita. Kiranya waktu sudah amat mendesak ”

”Dan tak mungkin kita dapat melaksanakan hal itu, mengingat jarak gunung Kun-lun, gunung Go-bi, gunung Kong-tong, gunung Ko-san tak mungkin dapat  ditempuh dalam satu hari. Pada hal kita besok harus sudah berangkat,” seru Hoa Sin.

”Pinto rasa” tiba2 Ang Bin tojin ketua Bu-tong-pay berkata, ”kita serahkan hal itu kepada salah seorang murid untuk menyampaikan surat ke markas kita masing2”

Demikian telah disepakati cara untuk mengatasi peristiwa itu. Karena jika mereka mengejar di kuatirkan akan memakan waktu yang lama sehingga melampaui batas waktu rapat di gunung Hong-san maupun Thaysan.

Telah diputuskan bahwa yang akan ke gunung Hong-san adalah Ang Bin tojin, Sugong In dan Hui Gong taysu. Sedang Hong Hong tojin, Ceng Sian suthay dan Hoa Sin menuju ke gunung Thay san. Keputusan itu dilakukan mengingat letak markas mereka masing2 Siau-lim-si, Bu-tong-pay dan Kon tong-pay termasuk di daerah selatan. Pengaruh mereka di wilayah selatan cukup besar. Sebenarnya Ceng Sian suthay lebih tepat kalau ikut ke Hong-san karena pegunungan Kun- lun itu juga terletak di barat daya. Tetapi ketua Kun-lun-pay itu lebih suka menuju ke Thay-san. Bagi Hoa Sin memang mempunyai anakmurid yang tersebar luas di daerah utara terutama kotaraja. Demikian pula dengan Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay.

Tepat mereka hendak berangkat tiba2 dari lereng gunung tampak berlarian sesosok tubuh manusia. Menilik larinya yang begitu pesat walaupun harus mendaki ke atas, jelas pendatang itu tentu seorang tokoh persilatan yang sakti. Keenam ketua partai persilatanpun berjaga-jaga.

”Pang tayhiap !” teriak Hoa Sin ketika pendatang itu muncul dari gunduk batu yang jaraknya masih tigapuluhan tombak.

”Omitohud !” seru Hui Gong taysu, ”memang benar Pang sicu ... ”

Cepat sekali pendatang itu sudah tiba di halaman Wisma Damai. Dan memang Pang To Tik. Sedang tentu kedatangannya mengejutkan para ketua partai persilatan yang berada disitu Ketika Pang To Tik tiba dan memberi salam, ia agak terkejut ketika menyaksikan betapa kikuk sambutan keenam ketua partai persilatan itu. Diam2 ia heran.

”Maaf, Hoa pangcu, karena menemui sedikit halangan, terpaksa aku tak dapat memenuhi janji. Ketika tiba dikaki gunung, Hoa pangcu sudah tak ada.”

”Kesulitan apakah yang telah Pang tayhiap alami ?” tanya Hoa Sin.

”Karena tak faham jalan, aku telah tersesat masuk ke daerah terlarang mereka dan disergap oleh beberapa ko-jiu gunung Thay-san. Mereka berjumlah banyak dan berilmu sakti. Akhirnya aku terdesak, menderita luka-dalam. Namun aku tetap bertahan. Untunglah pada saat keadaan sangat membahayakan jiwaku, muncul seorang kakek tua berwajah segar. Dialah yang dapat menghalau anakbuah gunung Thay- san dan menolong aku. Aku dibawa ke sebuah guha dan diberi obat. Ketika sadar dari pingsan ternyata orangtua itu sudah lenyap, disisiku terdapat lima butir pil warna merah. Di tanah dia meninggalkan guratan tulisan yang mengatakan bahwa jika mau beristirahat disitu barang lima hari dan tiap hari minum sebutir pil merah, aku tentu akan sembuh dan tak sampai menderita kelumpuhan. Terpaksa aku menurut. Maka itulah sebabnya mengapa aku sampai terlambat ... ”

Ceng Sian suthay tertawa sinis. Tetapi sebelum ia bicara, Hoa Sin sudah mendahului berseru:

”Baiklah, Pang tayhiap,” kata ketua Kay-pang itu, ”dapatkah tayhiap memberi sedikit keterangan tentang jago2 dari  gunung Thay-san itu ? Dan siapakah orang tua yang menolong tayhiap ? ”Sukar untuk mengenali siapakah jago? Thay san yang bertempur dengan aku itu. Tetapi menilik ilmu kepandaian mereka, tentulah mereka itu tokoh2 yang sakti ... ”

”Maksud tayhiap tak dapat mengenali wajah mereka karena

. , ”

”Mereka mengenakan kain cadar muka. Dari kepala sampai muka tertutup kain cadar hitam, ke pandaian merekapun terdiri dari beberapa aliran. Hal itu terbukti dari serangan2 mereka. Ada yang menggunakan jurus pukulan Siau-lim-pay, Bu-tong pay, Go-bi-pay dan lain2. Tentang orang tua yang menolong aku itu, hanya beberapa kejab dapat kulihat karena setelah itu akupun pingsan. Wajahnya bersih, berumur lebih kurang tujuhpuluhan tahun, perawakan sedang dan mengenakan pakaian serba putih.

””Omitohud !” seru Hui Gong taysu, ”dari manakah tayhiap dapat mengenal kalau salah satu dari mereka itu anakmurid Siau lim?”

”Aku telah menderita pukulan Bu-siang-sin-kang, taysu,” kata Pang To Tik.

”Bu-siang-sin-kang ?” Hui Gong taysu berseru kejut, ”benarkah irtu ?”

Pang To Tik menjawab dengan sikap dan nada serius : ”Karena pukulan itulah aku menderita kekalahan sehingga rubuh. Taysu, Pang To Tik memang seorang yang tak ternama dan tak memiliki kepandaian yang berarti. Tetapi berkat pengalaman2 selama berkelana didunia persilatan, kiranya aku kenal juga akan ilmu pukulan Bu-siang-sin-kang. Warisan perguruan Siau-lim-si yang termasyhur itu”

Wajah Hui Gong makin tegang sekali. ”Dalam gereja Siau-Iim-si dewasa ini, tiada seorangpun tokoh, bahkan aku sendiri, yang mampu menguasai ilmu Bu- siang-sin-kang tersebut kecuali Goan Hong susiok. Tetapi beliau sudah amat lanjut usianya dan sudah menutup diri dalam sanggar Pemujaan, tak mau keluar bertemu orang, tak mau mencampuri urusan gereja lagi. Beliau hendak menyelesaikan persemedhiannya hingga mencapai moksha.”

Sekalian ketua partai persilatan tertegun.

”Adakah selama ini terdapat murid Siau-lim si yang keluar dari perguruan ?”’ tanya Hoa Sin.

”Memang ada” kata Hui Gong taysu, ”mereka adalah murid2 yang tak tahan akan peraturan gereja Siau-lim-’si yang keras. Gereja kami mempunyai sepuluh pantangan yang tak boleh dilanggar. Sudah tentu diantara sekian ratus murid, ada juga seorang dua orang yang tak tahan. Tetapi pada umumnya mereka hanya murid2 kelas tiga, paling2 murid kelas dua.’”

”’Lalu kalau menurut pandangan taysu, siapakah kiranya tokoh itu ?” tanya Hoa Sin pula.

Hui Gong menghela napas.

”Sekarang masih sukar untuk menentukan siapakah tokoh itu. Mengingat waktunya sudah amat mendesak, akupun tak mungkin dapat menyelidiki hal itu lagi. Nanti apabila berhadapan dengan orangnya, barulah dapat kuketahui.”

”Bagaimana Pang sicu tahu bahwa di antara anakbuah Thay-san itu terdapat murid dari Bu-tong-pay ?” tanya Arig Bin tojin pula.

”Ada seorang yang dapat kudesak tetapi dia dapat juga mengundurkan seranganku dengan melepaskan pukulan Hoan-thian-to-hay-ciang. Bukankah ilmu pukulan itu dari aliian perguruan totiang ?” kata Pang To Tik.

Hoan-thian-to-hay ciang atau ilmu pukulan Menjungkirkan- langit-membalikkan-Iaut. Memang merupakan ilmu pukulan istimewa dari perguruan bu-tong-pay. Sudah tentu ketua Bu- tong-pay, Ang Bin tojin, terkejut sekali.

”Ah,” ia menghela napas, ”adakah dia ... ?” ”Siapa ?” Hoa Sin ikut terbawa kejut.

”Ah,” Ang Bin tojin menghela napas. Ada suatu peristiwa yang menghitamkan sejarah perguruan Bu-tong-pay. Maaf, apabila memang dia barulah kelak kuberitahukan kepada para saudara sekalian.”

Hoa Sin dan lain2 ketua partai tak mau mendesak lebih lanjut. Mereka tahu itu rahasia paryai Bu-tong-pay.

”Sekarang karena segala persiapan sudah selesai, marilah kita segera berangkat.” Kata Hui Gong taysu.

Berat sekali rasanya hati ketujuh ketua partai persilatan kali ini ketika turun dari gunung Lou hu-san. Mereka harus berpisah dan berpencar. Rombongan Hui Gong taysu terdiri dari Ang Bin ketua Bu-tong-pay dan Sugong In, ketua Kong- tong-pay. Sedang yang menuju ke gunung Thay san terdiri dari Hoa Sin, Ceng Sian suthay, Hong Hong tojin ketua Go-bi- pay. Pang To Tik wakil dari Hoa-san-pay atas permintaan Hoa Sin tian, Ceng Sian suthay, diikutkan dalam rombongan yang menuju ke Thay-san.

Oleh karena tak dapat menceritakan sekaligus kissah perjalanan kedua rombongan itu, maka lebih dulu baiklah kita ikuti rombongan Hoa Sin berempat yang menuju ke gunung Thaysan. Hari itu ketika menyeberangi bengawan Ti-ang-kang, mereka melihat sebuah perahu yang agak menarik perhatian. Tampak seorang paderi yang aneh pakaiannya sedang tegak di haluan perahu. Sepasang tangannya dirangkap ke muka dada, kepala menengadah ke langit. Wajah paderi itu penuh brewok yang lebat sehingga mulutnya hampir tertutup kumis dan jenggot yang memanjang ke bawah.

Dalam perahu itu tak tampak barang seorang penumpang lain. Tukang perahu hanya duduk kesima melihat paderi aneh itu. Tetapi yang mengherankan perahu dapat meluncur pesat ke muka.

Bermula hanya merasa aneh, tetapi lama kelamaan ada suatu keanehan yang dirasakan oleh keempat tokoh silat itu. Dilihatnya tukang perahu dengan dibantu oleh dua orang anak perahu mendayung dengan sekuat-kuatnya. Tetapi bukan perahu makin cepat, kebalikannya malah makin jauh ketinggalan dengan perahu yang dinaiki pendeta aneh tadi.

”Aneh” teriak salah seorang anak perahu, “mengapa perahu tak mau jalan ?”

”Ya” sahut kawannya ”apakah tak mungkin bocor ?” ”Jangan banyak bicara, terus dayung sekuat tenagamu”

bentak tukang perahu yang terus ngotot mendayung sekuat- kuatnya.

Tetapi perahu tetap berjalan lambat. Rupanya Hoa Sin dapat memperhatikan hal itu. Segera ia meminta kepada salah seorang anak perahu supaya memberikan dayung. Selelah itu mulailah ia mendayung.

Sebagai seorang ketua partai Kay pang sudah tentu Hoa Sm memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dia bergelar Liok-ci-sin- kay atau Pengemis sakti-jari-enam. Memang ia mempunyai kelebihan sebuah jari pada tangan kirinya. Sekali dayung, ia percaya tentu dapat meluncurkan perahu sampai dua tiga tombak ke muka.

”Uh ... ,” tiba2 ia berseru tertahan ketika kayuh bergerak ke belakang tetapi perahu hanya bergerak maju setombak jauhnya. Untuk yang kedua kalinya ia mendayung pula, bahkan kali ini lebih keras. Tetapi hasilnya tetap sama. Perahu hanya meluncur maju setombak.

Setelah empat lima kali mendayung, segera Hoa Sin menyadari sesuatu yang tak beres. Dilihatnya perahu yang dinaiki paderi brewok tadi makin jauh di sebelah muka. Ia tertegun, hentikan kayuh dan memandang perahu itu.

”Hai,” tiba2 ia berseru kaget sehingga anak perahu terhenyak ikut kaget.

”Mengapa tuan ?” tanya salah seorang anak perahu.

”Lihat, bukankah perahu yang dinaiki paderi itu juga diam saja ?” seru Hoa Sin.

Setelah memandang ke arah perahu itu. Anak perahu mengiakan : ”’Benar, perahu itu juga tidak bergerak !”*

Hoa Sin tak memberi sambutan apa2 melainkan  menyambar kayuh dan mendayung lagi.

”Hai, perahu itu meluncur lagi !” seru anak perahu pula. Hoa Sin letakkan kayuhnya : ”Bagaimana sekarang ?” ”Berhenti” sahut anak perahu.

”Cukup” kata Hoa Sin seraya melonjak bangun dan menghampiri kawan-kawannya, ”kita dipermainkan paderi dalam perahu sebelah muka itu”

”Mengapa ?” tanya Hong Hong tojin. Hoa Sin segera menceritakan tentang apa yang dilakukannya tadi. Jelas paderi itu tentu meminjam tenagaku untuk mendayung perahunya, kata ketua Kay-pang itu.

Hong Hong tojin, Ceng Sian suthay dan Pang To Tik terkejut.

”Sungguh hebat” seru Hong Hong tojin, ”paderi itu tentu bukan tokoh sembarangan”.

”Tampaknya dia bukan paderi dari Tiong-goan” kata Hoa Sin.

”Memang ada sebuah ilmu meminjam tenaga orang. Tetapi ilmu itu termasuk ilmu lwekang yang tinggi”, kata Ceng Sian suthay, ”dan biasanya dilakukan dalam waktu bertempur. Tidak seperti yang dilakukan paderi itu dari jarak yang sedemikian jauh”

Hoa Sin, Hong Hong tojin dan Pang To Tik pun diam2 terkejut. Apa yang dikatakan Ceng Sian suthay itu memang benar.

”Lalu bagaimanakah kita harus bertindak?”, tanya Hong Hong tojin, ketua Go-bi pay.

”Ah, lebih baik kita tak perlu cari perkara,” kata Ceng Sian. ”Tetapi perahu kita kan tak dapat bergerak maju ?” seru

Hong Hong tojin.

”Biarlah kita secara bergilir mendayung. Setelah perahu paderi itu mencapai tepi, tentulah perahu kita akan bergerak lagi.”

Karena tiada lain jalan akhirnya mereka melakukan seperti yang diusulkan Ceng Sian suthay. Bergiliran keempat tokoh itu harus membantu tukang perahu mendayung. Tak berapa lama perahu yang dinaiki paderi aneh itu mencapai tepi pantai Dan saat itu barulah perahu yang dinaiki Hoa Sin berempat dapat melaju.

Saat itu hari sudah sore. Tiba di tepi daratan, Hoa Sin mencari tukang perahu yang dinaiki paderi aneh tadi. Diam2 ketua Kay-pang itu masih mendongkol kepada paderi aneh.

Beruntung juga Hoa Sin masih dapat menemukan perahu itu dan bertanya kepada tukang perahu tentang paderi yang menyewa perahunya tadi.

Akhirnya ia mendapatkan perahu itu di tengah2 puluhan perahu yang tertambat dipangkalan.

Tetapi tukang perahu tak tampak dan perahu itupun sunyi senyap. Pada hal lain2 perahu sudah sama memasang lentera. Hoa Sin heran dan terus melangkah ke dalam perahu itu.

”Mana tukang perahu ?” serunya. Namun tiada jawaban. Ia mulai curiga dan masuk ke dalam ruang geladak. Karena gelap ia menyalakan korek api.

”Oh,” diam2 ia terkejut ketika melihat seorang lelaki tua  dan seorang pemuda tengah tidur diatas sebuah bangku dengan nyenyak sekali.

Hoa Sin menggoyang-goyangkan tetapi orang itu tetap diam. Segera ketua Kay-pang itu menyadari kalau si tukang perahu dan anak itu terlutuk jalandarahnya. Tetapi anehnya walaupun sudah diurut-urut, tetapi kedua orang itupun belum sadar.

Hoa Sin kerutkan dahi. Ia heran mengapa tak dapat membuka jalandarah si tukang perahu yang tertutuk.

Tiba2 tukang perahu itu bergeliatan tubuhnya dan mengerang : ”Uh ... ” Menyusul si pemuda-pun menggeliatan bangun. Demi melihat Hoa Sin, tukang perahu itu terus memaki ; ”Bangsat, hayo bayar dulu sewa perahunya. Habis berkata orang itu terus loncat menerkam baju Hoa Sin.

Hoa Sin tenang2 saja : ”Siapa yang engkau maki sebagai bangsat !”

“Eng ..... eh, engkau bukan padri jorok itu?” seru tukang perahu demi melihat Hoa Sia bukan paderi yang menyewa perahunya, ”kemana paderi itu ?’

Dengan tenang Hoa Sin menuturkan kedatang annya di perahu itu. Tukang perahu berteriak kalap: “Oh. Paderi bangsat itu tentu sudah kabur tanpa membayar sewa perahu!”

Atas pertanyaan Hoa Sin, tukang perahu menceritakan bahwa paderi itu datang bersama seorang gadis.

”Seorang gadis ?” Hoa Sin terkejut.

”Ya,” sahut si tukang perahu, ”seorang gadis cantik. Katanya gadis itu muridnya. Ketika berada di tengah sungai, dia suruh aku dan anakku tidur. Sudah tentu aku heran dan menolak. Tetapi entah bagaimana, tiba2 ia menuding dan memandang Kami berdua seraya suruh kami menurut perintahnya. Entah bagaimana, kamipun menurut saja. Kami tidur dan tahu2 engkau bangunkan tadi.”

”Siapakah paderi itu ?”

”Entahlah,” sahut tukang perahu, ”tatapi jelas dia paderi dari lain negeri. Mengapa engkau mencarinya ? Apakah engkau kenal ?”

”Tidak,” sahut Hoa Sin lalu menuturkan tentang peristiwa aneh yang dideritanya selama menyeberang bengawan tadi. ”O,” seni tukang perahu, ”kalau begitu dia tentu paderi sakti. Tetapi setan, mengapa dia tak membayar sewa prahuku?”

Hoa Sin tak mau meladeni orang itu. Segera ia kembali mendapatkan ketiga kawannya yang menunggu di pangkalan.

”O, paderi itu memang mencurigakan,” kata Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay, ”terutama mengapa dia pergi bersama seorang gadis cantik.”

”Ingat, toheng,” seru Ceng Sian suthay, ”kita masih menghadapi tugas yang berat. Sedapat mungkin harus menghindari hal2 yang menambah beban kita.”

Terpaksa ketua dari partai Go-bi-pay itu menahan diri.

Mereka melanjutkan pula perjalanan.

Gunung Thaysan terletak disebelah utara dari karesidenan Thay-an-koan propinsi Shoatang. Mencakup tapal batas dari tiga propinsi Sanse, Hopak dan Shoatang.

Hari itu mereka tiba di Lokyang dan setelah beristirahat untuk makan mereka melanjutkan perjalanan pula dan harus menyeberangi bengawan Hongho.

Pada waktu tiba dipangkalan penyeberangan seorang tukang perahu sudah menyambutnya.

”Bukankah tuan2 hendak menuju kegunung Thaysan?’  tegur tukang perahu yang berumur lebih kurang 40-an tahun.

Hoa Sin, Ceng Sian suthay, Hong Hong tojin dan Pang To Tik terkejut.

”Bagaimana engkau tahu ?” tanya Hong Hong tojin terkejut.” ”Kemarin seorang tuan telah memesan perahu kami supaya mengantarkan empat orang kawannya yang hari ini pasti tiba disini. Kawannya itu berdiri dari seorang tojin, seorang rahib, seorang pengemis dan seorang jago silat,” kata tukang perahu sembari memandang bergantian kepada keempat tokoh silat itu. Ia kernyitkan dahi, katanya, ”yang tiga orang sudah benar, tetapi mana yang pengemisnya ?”

”Aku,” sahut Hoa Sin, ”apa engkau tak tahu?”

”O,” seru tukang perahu, ”mengapa pengemis tidak seperti pengemis lazimnya yang berpakaian compang camping, kotor dan mesum ?”

”Jangan banyak mulut!’ bentak Hoa Sin, *apa kata orang yang memesan perahumu kemarin ?”

”Tidak mengatakan apa2 kecuali hanya suruh mempersilahkan tuan2 naik ke perahu kami. Uang sewanya sudah dibayar lunas oleh tuan itu,” kata tukang perahu, ”wah, untung benar aku hari ini.

”Mengapa ?” tanya Hoa Sin.

”Karena tuan itu kemarin telah membayar dua kali lipat dari harga biasa. Tetapi kalau tuan berempat tak datang, aku harus mengembalikan lagi uang itu kepadanya.”

Dengan tertawa gembira tukang perahu itu mempersilahkan keempat ketua partai persilatan naik kedalam perahunya.

Keempat ketua partai persilatan sejenak bertukar pandang. Mereka saling memberi anggukan kepala. Hoa Sin segera melangkah masuk kedalam perahu.

Ada suatu kecurigaan dalam hati keempat tokoh itu bahwa kemungkinan tukang perahu itu tak boleh dipercaya. Bahkan kemungkinan bangsa perompak, atau anakbuah perompak. Memang di perairan sungai Hongho, masih banyak kaum perompak atau bajak yang mengganggu rakyat dan pedagang2 yang menyeberang sungai.

Tetapi ternyata perjalanan itu telah tiba di pangkalan sebelah utara tanpa terjadi suatu apa.

”Tuan2,” kata tukang perahu ketika keempat penumpangnya itu hendak turun ke daratan, ”tetamu kemarinpun pesan supaya tuan2 berhati hati dalam mendaki gunung Thay-san.”

”O.” Desuh Hong Hong tojin, ”siapakah nama orang itu ?’

Tukang perahu gelengkan kepala : ”Dia mengatakan tak punya nama dan tak perlu nama. Yang penting tuan2 harus dapat mengenali barang, jangan hanya mementingkan nama.”

*

Bagaimana potongan muka dan tubuh orang itu ?” tanya Hong Hong tojin pula.

”Seperti manusia biasa, berumur lebih kurang 50-an tahun, barwajah terang dan ramah,” tukang perahu menerangkan.

”Ini tentu bukan paderi aneh tadi,” kata Hoa Sin pada waktu melanjutkan perjalanan, “tentu orang tokoh lain. Kemungkinan anak-buah partai Thian-tong-pay dari gunung Thay-san yang sengaja diperintah untuk menjemput kita.”

Ketika, tiba di kaki gunung Thay-san, kembali mereka mengalam suatu peristiwa yang mengejutkan. Saat itu menjelang petang ketika mereka menemui sesosok tubuh duduk bersandar pada sebatang pohon, Hoa Sin menghampiri untuk bertanya jalan kepada orang itu.

Orang itu rupanya sedang tidur. Wajahnya ditutup dengan saputangan sehingga tak tampak bagaimana potongannya. ”Hai, tolong tanya saudara,” seru Hoa Sin, ”apakah jalan ini dapat mencapai puncak gunung”

Tetapi orang itu diam saja.

”Saudara, bangunlah, hari sudah petang,” kata Hoa Sin. Tetapi karena orang itu tetap diam saja, Hoa Sinpun mengguncang-guncang dengan tangannya. Tetapi serentak ia terkejut ketika mendapatkan kaki orang itu sudah dingin. Dan ketika diperhatikan, ternyata napas orang itupun sudah berhenti.

Karena ingin tahu siapa orang itu maka Hoa Sin segera membuka kain penutup mukanya.

”Ah ... ”, ketua Kay-pang itu mendesuh kejut ketika muka orang itu tertutup lagi dengan sehelai kertas putih yang bertuliskan beberapa huruf berbunyi :

Jangan percaya pada mulut orang.

”Ah, rupanya si penulis itu sengaja menujukan tulisannya kepada rombonganku,” kata Hoa Sin, ”tetapi mengapa dia membunuh orang ini ? Siapakah orang ini ?”

Ketiga tokoh kawannya juga terkejut ketika mendengar keterangan Hoa Sin tentang mayat orang itu.

”Sudah tiga kali selama dalam perjalanan kita menghadapi peristiwa yang aneh,” kata Ceng Sian suthay, ”dan kalau menilik keadaannya, rupanya ketiga peristiwa itu dilakukan oleh tiga orang yang tak sama satu dengan lain.”

Dengan hati2 mereka berempat melanjutkan mendaki ke atas. Ketika tiba di sebuah hutan mereka melihat sesosok bayangan manusia lari menyusup masuk ke dalam hutan.

”Hai, siapa itu !” Hong Hong tojin cepat mengejar tetapi orang itu sudah lenyap seperti bayangan setan. ”Totiang, harap segera kembali,” teriak Hoa Sin. Hong Hong tojinpun menurut.

”Awas, totiang, jangan mudah terperangkap oleh siasat musuh. Mungkin mereka hendak mengacau perhatian kita, mungkin hendak menggunakan siasat ‘memancing harimau tinggalkan gunung’, agar kita tercerai berai,” ketua Kay-pang memberi peringatan.

Kemudian keempat tokoh itupun melanjutkan perjalanan pula. Mereka makin meningkatkan kewaspadaan.

Saat itu sudah malam dan langitpun mendung. Rencana mereka supaya pagi2 sudah dapat mencapai puncak. Tetapi karena kuatir kehujanan, terpaksa mereka berusaha untuk mencari tempat meneduh.

Di sepanjang lereng pegunungan Thay-san yang luas itu, jarang ditemui perumahan orang. Untunglah tak berapa lama mereka berhasil menemukan sebuah kuil gunung yang sudah tak terawat dan rusak.

Merekapun menghampiri ke kuil tua itu. Kuil itu memang sudah rusak dan tak terurus lagi. Di ruang depan penuh dengan debu dan galagasi,

Ketika masuk keruang muka, mereka terkejut menyaksikan suatu pemandangan yang tak wajar. Di atas meja sembahyangan, tampak dua batang lilin yang sedang  menyala.

”Hai, mengapa terdapat lilin yang menyala? Jelas tentu dipasang orang,” seru Ceng Sian suthay.

Sebenarnya mereka segan untuk masuk kedalam ruang belakang yang kotor dan gelap. Tetapi keadaan yang mencurigakan itu, terpaksa menarik perhatian mereka. Keempat tokoh itu segera menghampiri meja sembahyangan. Mereka terkejut pula. Ada dua hal yang luar biasa. Pertama, diatas meja itu terdapat dua buah piring yang berisi bakpau dan buah-buahan segar. Kemudian pada ujung meja, pada lubang tempat arca. Tampak sebuah arca sebesar manusia. Arca berbentuk seperti Bi-lek-hud. Bertubuh gemuk, kepala gundul dan wajah berseri-seri seperti tersenyum. Patung itu tampak hidup seperti orang.

”Aneh ’.” seru Hoa Sin pula,” mengapa dalam kuil bobrok ini terdapat sebuah patung Bi lek-hud yang sedemikian  indahnya. ”

„Dan siapakah yang menyediakan bakpau serta buah- buahan ini ?” tukas Hong Hong tojin.

Belum pertanyaan itu terjawab, tiba2 sedesir angin meniup ke dalam ruangan dan padamlah sepasang lilin. Seketika ruangpun gelap genta.

Pang To Tik cepat loncat keluar disusul pula oleh Ceng Sian suthay. Sebagai tokoh2 persilatan yang berilmu tinggi, mereka dapat mengetahui bahwa kesiur angin itu bukanlah angin biasa melainkan tiupan dari seorang jago silat yang berilmu tinggi.

Hoa Sin dan Hong Hong tojinpun ikut menyusul.

”Aneh,” kata Pang To Tik dan Ceng Sian suthay ketika kembali ke kuil. Ternyata kedua tokoh itu telah berpencar mencari orang itu tetapi tak berhasil menemukan suatu apa.

”Empat penjuru telah kita buru tetapi tak tampak barang sesosok bayanganpun juga.” Kata Ceng Sian suthay dan Pang To Tik. ”Hm, mungkin memang angin biasa,” kata Hoa Sin segera mengajak mereka masuk kedalam lagi.

Ketua Kay-pang itu angot pula penyakitnya. Ia menghampiri meja dan terus hendak mengambil piring bakpau.

”Hoa pangcu, mau apa engkau?” tegur Hong Hong tojin. ”Bakpau ini berjumlah empat, satu orang satu,” seru ketua

Kay-Pang?.

”Apakah eugkau tak takut.... hai!” tiba* ketua Go-bi-pay memekik kaget seraya menuding kearah lubang tempat arca?’ lihatlah!”

Hoa Sin dan Beng Sian suthay serta Pang To Tikpun serentak memandang ke lubang tempat patung dan merekapun melonjak kaget.

„Kemana patung Bi-lek-hud itu ?„ teriak Hoa Sin. Tengah yang sedianya hendak menyambar piring bakpaupun ditarik kembali.

Ketua Kay-pang itu cepat loncat ke atas meja dan menghampiri ke lubang tempat patung untuk memeriksa. Tempat bekas patung Bi-lek-hud terdapat secarik kertas yang terus dipungut oleh Hoa Siu.

Kertas itu bertuliskan beberapa huruf yang berbunyi : Bakpau untuk yang lapar

Buah untuk yang haus. Bi-lek-hud.

”Apakah dalam kuil ini terdapat setan ?” seru Hong Hong tojin,” jelas yang kita lihat tadi sebuah patung, mengapa sekarang tiba2 hilang?” ”Bukan patung terapi tentu manusia,” tukas Hoa Sm,” dialah yang meniup padam lilin sehingga kita berlari keluar mencari dan memberi kesempatan kepadanya uutuk menghilang dari tempat ini.”

”Soai ini bukan olok2 lagi,” kata Ceng Sian suthay, ”kita benar2 sedang berhadapan dengan seorang tokoh yang sakti dan aneh. Entah dia itu kawan atau lawan.”

Keempat tokoh itu menghela napas.

”’Rupanya besok di gunung Thay-san pasti akan terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan. Walaupun belum pasti tetapi diantara orang2 aneh yang kita jumpai selama dalam perjalanan ini, tentu ada pula yang berfihak kepada kita. Tetapi ada juga yang menjadi lawan,” kata Ceng Sian suthay.

Mereka memutuskan untuk tetap beristirahat di kuil itu.

Besok pagi baru melanjutkan perjalanan lagi.

Keesokan harinya ketika melanjutkan mendaki, mereka bertemu pula dengan rombongan jago2 persilatan, baik yang merupakan perguruan, pang (perhimpunan) maupun perseorangan, Pun mereka kebanyakan berasal dari daerah utara timur, antara lain dari wilayah Hopak, Shoatang dan Hulam bahkan jauh ke utara sampai ke propinsi Hek-liong- kiang.

Diam2 keempat tokoh itu terkejut atas kewibawaan dari  Kim Thian-cong yang bersemayam di gunung Thay-san. Mereka menduga tentu masih banyak lagi yang akan menghadiri undangan.

Setelah melalui perjalanan mendaki yang cukup memeras tenaga, akhirnya mereka tiba disebuah lapangan di puncak gunung. Lapangan itu cukup luas. Sekeliling lapangan merupakan dinding karang yang menjulang tinggi. Sepintas pandang lapangan itu menyerupai sebuah lembah kosong.

Pada ujung lapangan, dibangun sebuah bangsal yang besar dan dihias mewah. Rupanya upacara peresmian penerimaan menjadi anggauta perkumpulan Thian-tong-pay akan dilakukan di lapangan itu.

Lapanganpun telah penuh dengan orang2 persilatan dari berbagai daerah dan tempat. Mereka telah diatur dengan rapi sekali.

Dimuka bangsal agung itu merupakan sebuah panggung luas. Di tengah panggung diletakkan sebuah kim-ting atau bejana berkaki tiga yang terbuat daripada emas.

Rombongan Hoa Sin, Ceng Sian suthay, Hong Hong tojin dan Pang To Tik diberi tempat pada deretan muka. Keempat tokoh itu tak mengerti apa maksud daripada persiapan2 yang dihadapinya itu. Mereka menunggu dengan penuh kewaspadaan.

Saat itu jatuh pada bulan delapan tanggal empat belas. Bulan bersinar terang benderang dan malam purnama raya. Sekalian jago2 silat yang berada di lapangan itu tak merasa kalau sedang berada di puncak gunung Thay-san yang tinggi. Mereka merasa seperti berada disebuah upacara yang meriah, megah dan agung.

Setelah lampu2 teng warna warni dan lilin besar dinyalakan maka mulailah terdengar genderang berbunyi.

Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki berpakaian indah di atas panggung, diiring dengan puluhan barisan musik, Begitu tiba di tengah panggung maka rombongan musik yang mengiringnya itu segera berpencar tegak berjajar pada kedua belah samping. ”Para hohan sekalian, tetamu2 dan saudara2 yang terhormat,” tiba2 orang itu mulai angkat bicara.

”Atas nama perkumpulan Thian tong pay dan ketua Kim Thian-cong kaucu peribadi, aku menghaturkan selamat dalang kepada saudara2 sekalian. Demikian pula atas nama perkumpulan Thian tong pay, mengucapkan terima kasih atas kehadiran saudara2 pada malam peresmian berdirinya perkumpulan Thian-tong-pay dan penerimaan anggauta.”

Orang itu berhenti sejenak. Ternyata dia merupakan juru bicara dari perkumpulan Thian-tong-pay.

”Sebentar lagi Kim kaucu akan hadir, harap saudara2 sekalian suka berdiri selaku memberi hormat kepada kaucu kita” kata jurubicara itu pula.

Terdengar suara berisik dari beratus-ratus, hadirin. Suara itu jelas bernada desuh yang geram karena mendengar kata2 yang congkak dari jurubicara itu.

”Bagaimana acara2 selanjutnya, nanti Kim kaucu yang akan mengumumkan,” jurubicara menutup kata-katanya.

Penutup pidato itu segera dimeriahkan oleh genderang dan terompet yang bergema riuh.

Para jago silat yang berada dalam lapangan saling kasak- kusuk dengan kawan-kawannya. Dari nada pembicaraan mereka, jelas kalau mereka tak puas dengan kesombongan orang Thian-tong-pay. Tetapi mereka tak mau berbuat  sesuatu dan ingin melihat bagaimana perkembangan selanjutnya.

”Kim kaucu yang mulia dan gagah perkasa akan tiba, harap sekalian saudara berdiri memberi hormat !” tiba2 pengacara tadi berseru pula dengan nyaring. Dan serempak terompetpun mengalun tinggi diiring dengan genderang yang riuh. Yang pertama muncul adalah serombongan anak laki2 berpakaian merah, membawa penampan berisi buah-buahan. Kemudian rombongan gadis2 cantik berpakaian indah dengan membawa penampan berisi bunga. Rombongan ketiga terdiri dari duapuluh lelaki berpakaian merah dan rombongan keempat juga lelaki yang berpakaian putih.

Setelah rombongan demi rombongan muncul akhirnya sebuah tandu bercat merah dan bersalut warna kuning emas, dipanggul oleh duabelas lelaki bertubuh kekar, muncul ketengah bangsal.

”Kim kaucu, banswe !” teriak si pengacara yang terus diikuti oleh rombongan2 pengawal tadi

Tandu emas diturunkan dan seorang pengawal segera membukakan pintu. Beratus-ratus pasang mata dari hadirin segera tertumpah ruah kepada tandu. Mereka hendak melihat bagaimanakah wujut dari orang yang mengaku sebagai Kim Thian-cong dan mendirikan perkumpulan Thian tong-pay atau perkumpulan Nirwana itu.

Apa yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Seorang lelaki berumur Iebih kurang limapuluh tahun keluar dari pintu tandu. Seluruh barisan pengawal dan rombongan2 tadi serta merta membungkukkan tubuh memberi hormat.

Tandupun segera diangkut ke samping oleh keduabelas pengawal yang tak mengenakan baju.

Orang yang menamakan diri sebagai Kim Thian-cong itu dengan tenang segera melangkah menuju ke kursi kebesaran yang sudah disediakan di tengah bangsal. Setelah duduk, iapun menghadap ke arah hadirin yang berada di bawah bangsal.

Walaupun jaraknya tak kurang dari tiga empatpuluh tombak namun para hadirin yang terdiri dari jago2 silat itu dapat melihat juga raut wajah Kim Thian-cong.

Seorang lelaki yang berwajah putih bersih, beralis tebal dan mata tajam, memelihara kumis tipis dan jenggot pendek. Mengenakan kopiah seorang sasterawan. Bajunya berwarna kuning, bagian dada disulam dengan lukisan bunga terate merah. Dalam pakaian seperti itu, makin menonjollah kewibawaannya. Sepintas pandang Kim Thian-cong itu menyerupai dengan kaisar.

Dua orang gadis cantik segera menghampiri dan berdiri di belakang Kim Thian-cong, memekarkan kipas dari bulu merak dan mulai mengipasi ketua Thian-tong pay itu.

Sekalian yang hadir baru tahu jelas susunan di atas bangsal. Kim Thian-cong duduk di atas kursi kebesaran yang beralas bulu harimau. Di bawah kakinya terdapat dua ekor harimau yang mendekam disebelah kanan dan kiri kaki kursi. Di samping kanan kiri, dua orang gadis cantik tengah menggoyang-goyang kipas bulu merak untuk mengipasi Kim Thian-cong.

Beberapa meter dari kursi kebesaran, pada samping kanan dan kiri, berjajar dua kelompok gadis2 cantik. Kelompok di sebelah kanan, terdiri dari duabelas gadis cantik berpakaian kuning. Kelompok sebelah kiri juga terdiri dari duabelas gadis cantik berpakaian hijau.

Kemudian lapisan kedua, tampak berjajar dua buah barisan yang tegak di kanan dan kiri. Baris di kanan terdiri dari duapuluh lelaki berpakaian merah. Sebelah kiri juga duapuluh orang berpakaian putih. Tetapi wajah mereka tertutup oleh kain cadar sehingga tak dapat tampak bagaimana raut mukanya.

Lapisan yang paling terdepan terdiri dari dua belas anak lelaki berpakaian biru. Masing2 dibagi menjadi dua. Sebelah kanan enam anak, sebelah kiri enam anak.

Dari tempat kursi kebesaran sampai kemuka panggung merupakan sebuah jalan yang direntang dengan permadani merah.

Pengarah acara atau juru bicara tadi tegak di depan panggung. Di atas panggung terpampang kain yang bertulis huruf2 besar.

Thian-tong-kau gui mo seng tian le.

Artinya, Upacara peresmian besar dari perkumpulan Thian- tong-kau.

Berbagai tanggapan dalam hati para tokoh yang memenuhi lapangan. Ada yang diam2 terkejut karena menyaksikan persiapan yang begitu mewah dan megah dari Thian-tong- kau. Ada pula yang tersenyum sinis dalam hati dan menganggap hal itu hanya suatu gertakan kosong untuk memamerkan kekuatan Thian-tong-kau.

”Thian-tong-kau kaucu yang mulia, sudilah kaucu menurunkan perintah kepada hamba agar hamba dapat memberitakan kepada para hadirin,” seru pengacara itu.

Kim Thian-cong mengangkat tangan kanan, memberi isyarat supaya seluruh hadirin tenang, Ke mudian dengan suara yang lantang ia berseru :

”Beritahukan kepada para hadirin bahwa menjelang bulan purmana di tengah langit, akan diadakan upacara sembahyangan untuk meresmikan berdirinya perkumpulan Thian-tong-kau !” serunya ”Hamba segera akan melaksanakan titah kaucu,” seru pengacara itu yang terus berputar tubuh menghadap ke panggung.

”Para hohan dan tetamu2 sekalian, Thian-tong-kau kaucu telah menurunkan titah bahwa nanti pada tengah malam dikala bulan purnama berada di tengah langit, akan diadakan sembahyangan suci untuk meresmikan berdirinya perkumpulan Thian-tong-kau”.

Berhenti sejenak pengara itu berseru pula.

”Berdirinya Thian-tong-kau akan merupakan berkah bagi kaum persilatan khususnya dan umat manuasia umumnya. Karena Thian-tong-kau akan mengayomi keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin, akan membahagiakan kehidupan didunia dan Thian-tong (Nirwana). Thian-tong-kau tak mempunyai tujuan lain kecuali akan mempersatukan kaum persilatan yang sepanjang abad tak pernah mengeyam ketenangan dan kebahagiaan. Di bawah panji Thian-tong-kau, dunia persilatan akan membuka lembaran sejarah baru. Semua kaum persiltan tanpa membedakan aliran, daerah, perguruan dan tujuan, akan dilebur dalam satu wadah Thian tong-kau.”

Kembali pengarah itu berhenti sejenak untuk mencari tahu sampai dimanakah tanggapan para hadirin atas pidatonya itu.

Memang terdengar suara berisik dari para hadirin. Suara itu terdengar merata tetapi pelahan sehingga sukar didengar.

”Agar upacara sembahyangan itu berlangsung dengan khidmat dan benar2 dapat dihayati oleh para hadirin maka kepada para hadirin, sebelumnya akan diminta untuk memberi pernyataan masuk menjadi anggauta Thian-tong- kau”. Kembali terdengar suara berisik dari para hadirin. Bahkan kali ini agak keras. Kebanyakan bernada geram dan bersungut-sungut penasaran.

Setelah membiarkan suara itu bergemuruh beberapa waktu, pengacarapun berseru pula ;

”Sekarang untuk tata tertib rapat besar ini, akan kami sebutkan nama dari tokoh2 yang kami undang. Diminta agar namanya yang disebut supaya berdiri agar para saudara2 yang lain dapat mengenal”.

Kemudian pengacara itu mengeluarkan sebuah buku panjang berisi nama2 dari tokoh yang diberi undangan. Lalu dia mulai membaca :

Kepala perguruan gereja Siau-Iim-si dari gunung Siong-san yang termasyhur. Hui Gong taysu ... ,

Pengacara berhenti dan memandang ke bawah panggung. Tetapi sampai beberapa jenak tak tampak orang berdiri, la kerutkan dahi.

”Ataupun wakilnya !” serunya mengulang. Tetapi juga tak mendapat sambutan. Ia mendengus dan memberi tanda pada bukunya.

”Ketua partai Bu-tong-pay. Ang Bin tojin,” seru pengacara pula.

Tetapi seperti yang pertama tadi. Juga panggilan yang kedua itu tak mendapat sambutan. Tak seorangpun tampak berdiri untuk menyambut panggilan itu.

”Atau wakilnya !” masih pengacara itu mengulang. Namun sia2. Kembali untuk yang kedua kalinya ia mendengus dan memberi tanda dalam bukunya. Siau-lim-si dan Bu-tong-pay merupakan dua partai persilatan besar yang termasyhur. Dengan tidak hadirnya ketua atau wakil dari kedua partai persilatan itu, hadirin gempar.

”Ketiga” kata pengacara pula, ”adalah ketua dari partai persilatan Kun-lun-pay, Ceng Sian suthay ... ”

Gemuruh pula segenap hadirin ketika melihat seorang rahib berdiri diantara tokoh2 yang duduk di deretan muka.

”Ya,” seru Ceng Sian suthay.

”Terima kasih, silahkan duduk,” seru pengacara dengan wajah gembira.

“Yang keempat, ketua partai Go-bi-pay, Hong Hong tojin ...


Seorang imam serentak berdiri sambil mengiakan, “Yang kelima ketua dari Kong-tong-pay”

Namun tiada yang berdiri.

“Ataupun wakilnya “ seru pengacara.

Serentak Pang To Tikpun berdiri dan mengangkat

tangannya : “Ya, aku wakil Hoa-san-pay”.

“Yang  keenam,  ketua  dari  partai Kong tong pay,” seru pengacara.

Tak ada yang berdiri.

“Ataupun wakilnya,” pengacara mengulang.

Tetap tak ada yang berdiri. Setelah menunggu beberapa saat, pengacara mendengus dan menulis pada bukunya.

”Yang ketujuh, ketua dari partai Kay-pang.” Seru pengacara. Tak ada yang berdiri. ”Ataupun wakilnya !”

Juga tetap tak ada orang berdiri. Pengarah kerutkan alis dalam2, wajahnya tampak suram:

”Adakah disini tak ada anggauta Kay-pang? Tiba2 Hoa Sin berdiri, sahutnya: ”Ada. Akulah!”

”Siapakah tuan dan apakah jabatan tuan dalam Kay-pang ?” seru pengacara.

”Aku ketua dari perhimpunan Kay-pang !” sabut Hoa Sin.

Pengacara terkesiap, serunya : ”Mengapa kau cu tak berdiri waktu kusebut nama kaucu ?”

”Engkau menyebut apa tadi ?” ”Ketua dari partai-Kay pang.”

”Itulah sebabnya aku tak mau berdiri karena Kay-pang itu sebuah perhimpunan bukan partai persilatan. Adakah tuan tak dapat membedakan?” seru Hoa Sin mendamprat halus.

Pengacara itu merah mukanya. Namun cepat ia menenangkan diri dan berseru:

”Yang kedelapan, ketua Hong-hoa-pang dari Pakkhia, Go Kwi Lok pangcu.”

Seorang lelaki berumur 40-an tahun, tubuh tinggi gagah, berdiri dan mengiakan.

Sekalian hadirin agak terkesiap. Hong-hoa-pang merupakan sebuah perkumpulan rahasia dari kota raja. Anggautanya terdiri dari pejuang2 yang menentang pemerintah kerajaan Goan saat itu. Mengapa Hong-hoa-pang juga datang ke rapat besar digunung Thay-san ? Demikian orang bertanya-tanya dalam hati.

”Yang kesembilan, Shoatang Sam –hiap. Saudara Tan Hwa, Tan Hong, Tan Hui!”

Tiga orang lelaki bertubuh kekar serempak berdiri dan berseru mengiakan. Mereka adalah Shoatang Sam-hiap atau Tiga jago dari propinsi Shoatang yang termasyhur dengan ilmu golok berantai.

”Yang kesepuluh, ketua Ou-tiap-pang dari Poting, Mo Gay Ti pangcu,” seru pengacara pula.

Seorang lelaki bertubuh kurus, wajah putih dan berdandan sebagai seorang sasterawan, segera berdiri dan mengiakan.

Kembali para hadirin terkesiap On-tiap-pang atau perkumpulan Kupu – kupu, sangat berpengaruh di Po-ting, ibukota propinsi Hopak. Ou-tiap-pang terkenal dengan ilmu silat Ou-tiap-kun, sebuah ilmusilat yang meniru gerak kupu2.

Lain sekali ilmu silat Ou tiup-kun itu dengan ilmu silat yang tersiar di dunia persilatan. Ilmu silat Ou-tiap-kun mengutamakan kelincahan dan kelemasan gerak. Memerlukan suatu penguasaan ilmu gin-kang yang tinggi.

”Yang kesebelas, ketua dari Kim coa pang, gunung Lu-liang- san, Pui Tik pangcu !” kembali pengacara berseru.

Seorang lelaki berpakaian baju kembang macam warna ular serentak berdiri dan memberi hormat.

”Kim-coa-pang ?” seru para hadirin dengan tertahan. Kim- coa-pang atau perkumpulan Ular Emas, memang sangat terkenal. Markasnya di gunung Lu-liang-san. Keistimewaan dari Kim-coa-pang, anggauta2nya menggunakan pedang kecil berbentuk seperti ular emas. Demikian juga dengan senjata rahasia yang mereka pakai, bentuknya macam ular emas yang kecil tetapi beracun. Ketua Kim-coa-pang mahir sekali dalam menggunakan senjata rahasia yang disebut Kim-coa-ciam atau jarum Ular Emas.

“Yang keduabelas,” seru pengacara pula, “Thay-goan-it- kiam Leng Sian In.”

Seorang lelaki bertubuh agak gemuk dan berdandan seperti pedagang serentak berdiri memberi hormat.

Thay-goan-it-kiam atau pedang-tunggal dari Thay-goan cukup dimalui dalam dunia persilatan.

Kehadiran tokoh pedang dari Thay-goan itu juga menarik perhatian para hadirin.

”Yang ketigabelas Liau taysu, kepala biara Leng-hun-kwan digunung Ngo-tay-San,” seru pengara pula.

Seorang paderi tua berbangkit dengan serentak. Setelah menganggukkan kepala, iapun duduk pula.

”Yang keempat belas, Siam-say-song-kiam saudara Gwat To dan Gwat Ling,” seru pengacara.

Baik Liau Liau taysu maupun Siam-say-song kiam atau sepasang pedang dari Siam-say. Cukup menegangkan perhatian para hadirin. Mereka mempunyai nama yang tenar di dunia persilatan terutama didaerah utara.

”Yang kelima belas, Ho-lam-ji-koay Utti Siang dan Utti Ho !” seru pengacara.

Dua orang lelaki berumur 40-an tahun, yang satu bertubuh kurus yang satu kekar, serempak berdiri. Mereka adalah Ho- lam-ji-koay atau sepasang manusia aneh dari Holam. Dalam kalangan Hek-to atau golongan Hitam, kedua orang itu terkenal sangat ganas dan aneh sekali sepak terjangnya. ”Keenam belas, Hek-liong-pang kaucu Ko Beng Hwat dari wilayah Hek-liong-kiang !” seru pengacara.

Seorang lelaki bertubuh tinggi berpakaian serba hitam, serentak berbangkit dan mengiakan panggilan itu. Dia adalah Ko Beng Hwat, bergelar Tok-gan-hek-liong si Naga-hitam mata satu ketua perkumpulan Naga Hitam atau Hek liong pang yang menguasai wilayah Hek-liong-kiang.

Sekalian hadiran terkesiap. Mereka tahu bahwa Hek-liong- pang atau Naga Hitam itu mempunyai banyak anggauta dan pengaruh besar sekali di daerah Hek-liong-kiang.

”Ketujuhbelas, Hong-ho-tiau-soh In Tiong-sik” seru pengacara.

Seorang tua berpakaian seperti nelayan segera berdiri dan menganggukkan kepala.

Hong-ho-tiau-soh atau Pengail dari bengawan Hong-ho, jarang muncul di dunia persilatan tetapi di perairan sungai Kuning (Hong-ho) tiada seorang pun yang pernah berani mengganggu. Bahwa kawanan perompak, sangat mengindahkan kepadanya Para nelayan sering meminta perlindungan kepadanya apabila mendapat gangguan dari kawanan bajak.

”Kedelapan belas, Auyang Kun kaucu, ketua partai persilatan Tiang-pek-pay !”

Seorang lelaki setengah tua dengan tenang segera berdiri dan mengiakan.

Tiang-pek pay sebuah partai persilatan yang cukup terkenal di daerah utara. Walaupun dunia persilatan hanya menganggap Siau-lim pay, Bu tong-pay, Go-bi-pay, Kun-lun- pay, Hoa-san-pay, Kong-tong-pay dan Kay-pang sebagai tujuh partai persilatan besar Tetapi Tiang-pek-pay-pun juga cukup disegani dalam dunia persilatan. Terutama ilmupedang dari partai persilatan gunung Tiang-pek-san itu, terkenal dengan permainan yang tangkas dan tak terduga-duga.

”Yang kesembilan belas adalah saudara Suma Yong yang terkenal dengan julukan Liau-tang-sin-kun !” seru pengacara lebih lanjut.

Seorang lelaki setengah tua, berwajah putih bersih, serentak berbangkit dan mengiakan, ia adalah Liau-tang-sin- kun atau Jago-sakti dari wilayah Liau-tang.

”Yang keduapuluh, Song Ik-siu kaucu, ketua Thiat-pang- hwe dari Thian-cin !” seru pengacara.

Seorang lelaki berkaki satu dengan mencekal sebatang tongkat besi serentak berbangkit. Thiat-pang-hwe atau perkumpulan Tongkat-besi, sangat terkenal sekali di wilayah Thian-cin. Ada suatu ke istimewaan dari perkumpulan itu. Setiap anggautanya harus hilang sebuah anggauta badannya, entah sebelah kaki entah sebelah tangannya. Dan Song Ik-riu si kaki-besi, telah menyerahkan sebelah kakinya.

”Yang keduapuluh satu, saudara Sui-wan-sin kiam Geng Yang-sin dari daerah Sui-wan !” seru pengacara.

Sui-wan-sin-kiam atau Pedang sakti dari daerah Sui Wan, seorang lelaki berwajah seram tetapi sangat dimalui orang karena ilmu pedang yang luar biasa. Orang persilatan cenderung untuk menggolongkan dia sebagai tokoh aliran hitam.

”San-se Ngo-kiat saudara2 Un Gi, Un Siong, Un Beng. Un Tiong dan Un Tat.” Seru pengacara menyebut urutan yang ke duapuluh dua. Lima lelaki bertubuh pendek serempak berdiri. Mereka adalah San-se Ngo-kiat atau Lima jago dari wilayah San-se. Mereka berlima dikenal orang karena ilmu golok Angin-Iesus atau Suan hong-to yang terkenal. San-se Ngo-kiat dikenal sebagai tokoh yang suka mengganggu rakyat, menyamun dan merampok. Dalam kalangan Liok-lim atau dunia begal di daerah San-se, mereka menguasai daerah itu.

”Yang keduapuluh tiga, saudara Tokulo, kepala suku dari Mongol,” seru pengacara dengan suara lantang.

Seorang lelaki yang mengenakan jubah kuning, segera berdiri. Dia memelihara kumis panjang dan membawa sebatang tongkat dari batu bintang. Berdiri sejenak ia segera duduk kembali.

Kehadiran tokoh dari Mongolia dalam itu, mengejutkan sekalian hadiran. Sedemikian besar pengaruh perkumpulan Thian-tong-kau sehingga kepala dari salah sebuah suku di Mongol juga memerlukan datang.

”Keduapuluh empat Im Yang cinjin dari lembah lm-yang- koh digunung Hek-li-san”, seru pengacara.

Seorang lelaki bertubuh sedang, berparas putih, bibir merah seperti seorang banci, serentak berdiri mengiakan.

Im Yang cinjin atau pertama Banci, kepala dari lembah Im- yang-koh memang lagak lagunya seperti orang banci. Parasnya berbedak, bibir merah dan gayanya seperti wanita. Tetapi setiap kaum persilatan tentu mengetahui bahwa tokoh aneh itu memiliki ilmu lwekang yang luar biasa. Tangan kanannya mengeluarkan tenaga-dalam Yang dan tangan kiri memancarkan tenaga-dalam Im.

Seaneh dengan penghuninya, lembah Im-yang koh itu memang aneh juga. Didalam lembah mempunyai dua buah sumber mata air yang memancarkan dua macam air. Yang satu air panas, yang satu air dingin. Itulah sebabnya maka lembah itu di sebut Im-yang-koh atau lembah Banci.

Kehadiran tokoh aneh itu, cukup menarik perhatian para hadirin juga.

”Yang keduapuluh lima, saudara Hek-bin long Kui Hok !” seru pengacara.

Seorang lelaki berkulit hitam serentak berdiri dan tertawa. Dia adalah Hek-bin-long atau Serigala-muka-hitam Kui Hok. Seorang tokoh aliran Hitam yang sangat dimalui. Bermarkas di gunung Hek-long-san.

”Yang keduapuluh enam, Siau-bin Su-seng, Li Seng Pun, seorang pengembara yang tiada menentu tempat tinggalnya. Dia terkenal sebagai tukang ’petik bunga’ atau tukang  merusak kehormatan wanita yang ganas.

Seorang lelaki berumur tigapuluh lima, berparas cakap dan mengenakan dandanan sebagai seorang siucay (sasterawan) tampil berdiri dan mengangguk dengan senyum simpul.

Pengacara terus menerus menyebut nama dari tokoh2 yang diundang. Tetapi kebanyakan kecuali keduapuluh tujuh tokoh tadi. Yang lainnya hanya tokoh2 yang tak begitu terkenal atau hanya tokoh2 kelas dua.

Setelah seratus kali menyebut nama orang yang diundang, barulah pengacara menyudahi kewajibannya.

”Demikianlah saudara2,” serunya, ”kecuali hanya beberapa gelintir orang yang tak memenuhi undangan kami. Sebagian besar dari sahabat persilatan telah datang menghadiri upacara berdirinya perkumpulan kami Thian-tong-kau. Mungkin masih banyak sekali sahabat2 persilatan yang kelewatan kami undang dan karena memandang muka kami, telah sudi memerlukan datang. Kepada mereka dengan ini kami Thian- tong-pay menyatakan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya” Demikian pengacara itu mengakhiri tugasnya mengabsen nama2 tokoh yang diundang maupun yang kelewatan tak diundang.

Dalam kesempatan itu para hadirinpun ber-bincang2 di antara kawan atau rombongannya. Karena ternyata tokoh2 itu ada yang datang dengan membawa rombongan anakbuahnya.

Pembicaraan mereka bernada suatu pernyataan heran, kaget dan kagum atas pengaruh dari Thian-tong-pay yang ternyata telah tersebar sedemikian luasnya.

Juga rombongan Hoa Sin dan kawan2nya membicarakan apa yang mereka saksikan di markas Thian-tong-kau situ.

”Kim Thian cong yang duduk didalam bangsal itu sepintas pandang memang hampir menyerupai Kim tayhiap dahulu” kata Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay,” tetapi jaraknya cukup jauh dari sini sehingga kita tak dapat melihat jelas”

”Tetapi kalau ditilik dari nada suaranya, berlainan dengan Kim tayhiap,” kata Hoa Sin sambil kerutkan dahi.

”Dandanannya dan potongan wajahnya memang mirip sekali,” kata Ceng Sian suthay.

”Ah,” tiba2 Pang To Tik menyela, ”dunia persilatan memang penuh dengan tokoh2 yang beraneka ragam kepandaiannya. Ada beberapa tokoh yang memiliki ilmu Pian-yong sut (ilmu merobah wajah). Di antaranya Cian-bin long kun. Jit cap ji pian-hoa (manusia-yang dapat merobah mukanya sampai tujuhpuluh dua macam) Ko Hui liang yang termasyhur. Dan lain-lainnya. Mereka tak seberapa sakti ilmusilatnya tetapi mereka benar2 hebat dalam ilmu merobah paras muka.” Hoa Sin mengangguk.

”Ya, benar. Memang dahulu pernah terjadi kehebohan  besar dalam Kay-pang ketika diadakan pemilihan ketua. Seorang tokoh telah menyaru menjadi salah seorang calon ketua dan akhirnya terpilih. Tetapi dia melakukan langkah2 dan perbuatan2 yang aneh, bersifat hendak menghancurkan Kay-pang. Untunglah peristiwa itu cepat terbongkar ketika ketua kami yang sesungguhnya dapat diketemukan lagi.  Tokoh pemalsu itu mencium bau dan cepat2 melarikan diri.

”Jika demikian,” kata Hong Hong tojin. ”yang penting kita harus berusaha untuk berada lebih dekat pada Kim Thian-cong ketua Thian-tong kau itu agar kita mempunyai kesempatan untuk menyelidikinya.”

”Tetapi bagaimana caranya dapat mendekati dia ?” tanya Pang To Tik.

”Mudah,” sahut Hoa Sin, ”nanti pada saat kita akan melaporkan tentang sebab ketidak hadirnya Hui Gong taysu, Ang Bin tojin dan Suma In kaucu kita minta menghadap sendiri kepada Kim Thian-cong kaucu Thian-tong-kau itu.” . Ketiga kawannya mengangguk setuju. 

”Mudah-mudahan hal itu dapat mereka setujui  sehingga kita mendapat kesempatan untuk menyelidikinya” kata Hong Hong tojin. ?

”Tetapi bagaimana andaikata mereka hanya mengizinkan salah seorang dari kita yang menghadap ?* tiba2 Pang To Tik bertanya.

Ketiga ketua partai persilatan terkesiap. Mereka tak pernah menduga akan kemungkinan hal seperti itu. Tetapi kemungkinan itu memang dapat terjadi. ”Kurasa baiklah Ceng Sian suthay saja, ”kata Hoa Sin.

”Ah, terima kasih Hoa pangcu,” kata rahib itu, ”tetapi aku seorang wanita, mungkin kurang leluasa untuk mengamati dia.”

Ketiga rekannya dapat menerima alasan itu. ”Baiklah, Hong Hong tojin saja,” kata Hoa Sin pula. , Tetapi ketua Go-bi-pay itupun menolak.

”Jangan Hoa pangcu” katanya, ”pertama, aku memang tak begitu meneliti semua ciri2 dari mendiang Kim kaucu dahulu. Dan kedua kalinya, penglihatanku memang kurang tajam. Sebaiknya Hoa pangcu yang menghadap saja.”

Ketiga ketua partai persilatan yang lain menyetujui.

Terpaksa Hoa Sin menerima juga.

Tiba2 pengacara menghampiri ke hadapan Kim Thian-cong ketua Thian-tong-kau Entah apa yang dibicarakan. Hanya tampak pengacara itu kembali ke muka panggung dan berseru

:

”Atas perkenan Kim kaucu, maka sambil menanti upacara sembahyangan agung, para tetamu akan dihibur dengan beberapa pertunjukan dari anak2 murid Thian-tong-pay. Mudah-mudahan saudara suka menikmatinya.”

Segera terdengar genderang berbunyi riuh, mengumandangkan suara yang bernada perang Penuh semangat, keberanian dan kepahlawanan.

Kedua belas anak lelaki yang terbagi menjadi kelompok barisan baju Ungu dan baju Biru segera berjalan menuju ke panggung. Mereka berjajar dalam dua barisan. Tiba2 salah seorang dari bocah baju Ungu bersuit keras, disusul pula dengan seorang bocah baju Biru.

Belum suara suitan sirap, terdengarlah aum kedua ekor harimau yang duduk dibawah kaki Kim Thian-cong. Setelah memperdengarkan aumnya yang dahsyat, kedua ekor harimau itupun segera loncat menuju ke panggung.

Harimau itu tergolong harimau gembong.

Keduanya harimau jantan yang perkasa dan buas. Begitu tiba di panggung, yang seekor segera menyerang barisan bocah baju ungu Yang seekor menerjang barisan bocah baju Biru.

Barisan bocah baju ungu segera menyiak kesamping membuka sebuah jalan. Selekas harimau menerjang masuk, merekapun segera bergerak mengatup, mengepung harimau di lengah lingkaran. Demikian pula dengan barisan bocah baju Biru.

Kedua harimau mengaum dahsyat karena terjangannya luput. Serentak mereka pun menerjang anak2 itu. Tetapi setiap kali, dengan gerak yang serempak, rapi dan cepat, barisan itu tentu dapat menyingkir dan secepat itu pula terus mengepungnya lagi.

Harimau makin marah. Terjangannyapun makin dahsyat dan ganas. Tetapi betapapun halnya, tetap binatang itu tak mau menerkam salah seorang dari barisan bocah itu.

Sekalian hadirin terkejut menyaksikan pertunjukan yang hebat itu. Tokoh2 kelas satu segera mengenali bahwa kawanan bocah baju Ungu itu sedang mengembangkan ilmu barisan Pat-kwa tin. Sedang barisan bocah baju Biru sedang memainkan barisan Kiu-kiong-tin. Sekalipun tahu gerak barisan yang dimainkan tetapi tokoh2 itupun tetap kagum dan heran atas kecepatan dan kerapian dari gerak barisan bocah itu. Bahkan ada yang beranggapan bahwa barisan Pat-kwa-tin dan Kiu-kiong-tin yang dimainkan kedua barisan bocah itu, jauh lebih hebat dari kaum paderi Siau-lim-si sendiri. Pada hal kedua barisan itu termasuk barisan yang diandalkan partai Siau-lim-si.

Pertempuran berlangsung makin seru. Kedua barisan bocah itu tak memakai senjata melainkan hanya dengan tangan kosong. Makin lama tampak harimau itu makin terengah- engah. Rupanya binatang itu sudah hampir kehabisan tenaga.

Tiba2 harimau itu berhenti di tengah lingkaran dan mendekam, Dia tak mau menyerang lagi. Rupanya binatang itu menyadari bahwa jika terus menerus menyerang, dia tentu kehabisan tenaga. Sekarang dia berganti menunggu serangan.

”It-hou, rupanya engkau suruh kami balas menyerang, bukan ?” teriak salah seorang bocah baju Ungu.

It-hou berarti Harimau Pertama. Dan harimau yang menyerang barisan bocah baju Biru disebut Ji-hou atau harimau kedua.

It-hou meraung keras. Rupanya ia hendak menjawab seruan bocah baju Ungu itu.

”Baiklah,” seru bocah itu, ”sekarang kami akan melancarkan serangan, hati-hatilah!”

Kini barisan bocah baju Ungu itu mulai mengambil sikap. Dan pada lain, salah seorang segera loncat menghantam. Tetapi harimau itu hanya beringsut ke samping dan hantaman si bocahpun mengenai angin, Bocah itupun menyerang lagi, tetapi baik pukulan, tebasan maupun tendangan, selalu dapat dikelit dengan tenang oleh It-hou. Apa yang berlangsung dalam barisan bocah baju Ungu, pun terjdi juga dalam barisan bocah baja Biru. Ji hou si harimau yang kedua pun menyediakan diri untuk diserang kawanan bocah baju Biru. Tetapi kawanan bocah baju Biru itupun tak berhasil menghantam Ji-hou.

Tiba2 seorang bocah baju Ungu bersuit keras. Demikian pula dengan seorang bocah barisan baju Biru. Rupanya kedua bocah itu menjadi pemimpin barisan masing2. Serentak kedua belas bocah itu melolos ikat pinggangnya. Ikat pinggang terbuat dari kain, tetapi ketika dimainkan, kain itu berobah keras mirip dengan cambuk.

Keenam bocah baju Ungu dan keenam bocah baju biru serempak menyerbu kedua harimau. It-hou dan Ji-hou seperti dihujani cambuk. Kedua harimau itupun berloncatan untuk menghindar. Betapa gencar dan cepac sabuk menghajar tetapi harimau itu selalu dapat berkelit dan menghindar.

Setelah beberapa waktu lamanya, terdengar harimau itu mengaum keras dan pada lain saat tubuhnya mencelat ke udara sampai tiga tumbak, berjumpalitan dan melayang melampaui kepala barisan bocah, meluncur turun ke bangsal dan terus mendekam pula dibawah kursi Kim Thiau cong.

Sekalian hadirin terpesona menyaksikan pertunjukan itu. Bukan saja mereka kagum akan tangguhnya barisan bocah dari Thian-tong-kau, pun mereka terkejut akan kelihayan dari kedua harimau yang jelas dapat bertempur, menyerang dan menghindar menurut tata gerak ilmu silat.

Berlanjut pula renungan para hadirin itu. Jika kawanan anakmurid yang masih bocah dan binatang harimau peliharaan saja sudah sedemikian hebatnya, bagaimanakah ilmu kepandaian dari ketua Thian-tong kau itu.’ ”Masih ada waktu,” teriak pengacara setelah kawanan bocah itu kembali ke tempat masing2, ”akan kami hibur saudara2 sekalian dengan pertunjukan yang kedua.”

Kemudian ia berpaling dan memberi perintah kepada kedua belas gadis baju kuning.

”Tunjukkan tarian tali” serunya.

Keduabelas gadis cantik baju kuning itupun segera maju kemuka panggung. Mereka merentang enam utas tali panjang, diikat pada tiang di kedua samping panggung.

Tali itu terbuat dari kawat yang hanya sebesar jari tangan. Keduabelas dara cantik itu segera ayun tubuhnya melayang keatas tali kawat. Yang enam menghadap ketimur, yang enam menghadap ke barat. Mereka saling berhadapan dalam dua kelompok.

Mereka berdiri dengan kaki satu diatas kawat. Setelah siap merekapun mulai bergerak, berloncatan pada keenam tali kawat itu, kemudian lari dalam bentuk lingkaran. Makin lama makin cepat sehingga, merupakan sebuah lingkaran sinar kuning.

Setelah beberapa saat, merekapun berhenti dan berdiri di tempat semula, terbagi dalam dua kelompok yang saling berhadapan. Kemudian mereka mencabut pedang.

Terkejut sekalian hadirin menyaksikan adegan itu. Apakah mereka akan bertempur dengan pedang di atas tali kawat yang sekecil itu ?

Pertanyaan itu cepat terjawab ketika mereka menyaksikan keduabelas gadis itu bertempur. Setiap tali digunakan oleh dua orang dara. Mereka bertempur dengan pedang. Makin lama makin cepat dan dahsyat, Adakalanya, apabila menghindar babatan kaki, dara itu melambung ke udara dan melayang pula hinggap di atas tali kawat.

”Hebat” seru Hoa Sin ketika melihat pertunjukkan yang mempesonakan itu.

Ceng Sian suthay, Hong Hong tojin dan Pang To Tik pun kesima. Lebih2 para tokoh2 yang hadir. Mereka sama leletkan lidah karena kagum.

Keduabelas gadis baju kuning memiliki ilmu gin-kang yang luar biasa hebatnya. Diam2 mereka heran dari manakah keduabelas dara itu ? Mengapa dalam usia semuda itu mereka sudah menguasai ilmu ginkang yang begitu sakti ? Bahkan tokoh2 kelas satu dalam dunia persilatan belum tentu dapat menyamai ilmu gin-kang mereka.

”Hm, Thian-tong-kau hendak jual kegarangan untuk mengecilkan nyali sekalian orang,” desuh Ceng Sian suthay.

”Tetapi suthay,” kata Hong Hong tojin, ”kenyataan mereka memang mempunyai anakmurid yang begitu hebat”.

”Dalam hal ini” Ceng Sian suthay berhenti sejenak, ”memang mengherankan. Tetapi dalam hati kecilku seolah mengatakan bahwa tentu ada sesuatu dibalik kepandaian kawanan gadis itu.”

”Maksud suthay ?” tanya Hong Hong tojin, adakah suthay menyangsikan kepandaian mereka?”

”Hm” desuh rahib ketua partai Kun-lun-pay itu, ”aku tak dapat memastikan hal itu. Mudah-mudahan segalanya akan berjalan seperti yang kuduga.”

”Dapatkah suthay memberitahukan apa yang menjadi dugaan suthay itu ?” Hong Hong tojin mendesak.

Ceng Sian suthay tertawa kecil. ”Maaf, toheng,” katanya, ”saat ini aku belum dapat mengatakan apa2. Apabila dugaanku itu benar, nanti tentu akan kuberitahukan toheng”

Dalam pada berbicara itu, ternyata pertunjukan bermain pedang diatas tali kawat pun sudah selesai. Keduabelas gadis itu segera loncat turun dan menyimpan tali kawat itu pula.

Para tokoh2 yang hadir mau tak mau bertepuk tangan memberi pujian. Sekedar untuk menghormat kepada fihak Thian-tong-kau dan sekalian tamu memang merasa kagum juga.

Terdengar suitan keras dan rombongan keduabelas dara baju hijau, segera tampil ke muka panggung.

Mereka masing2 mencabut golok lalu menancapkan tangkainya ke panggung. Dalam sekejap mata duapuluh empat batang golok telah tertancap dalam bentuk seperti sekuntum bunga bwe. Sekalian tokoh2 yang hadir segera mengetahui bahwa barisan gadis cantik baju hijau itu sedang memasang Bwe-hwa-to atau barisan golok berbentuk bunga bwe.

Setelah siap maka keduabelas gadis baju hijau itupun segera loncat keatas ujung golok dan bergerak-gerak melingkar-lingkar. Makin lama gerakannya makin cepat sehingga seperti orang kejar kejaran.

Berdiri diatas ujung golok yang tajam dan berlari-lari saling berkejaran. Benar2 suatu ilmu kepandaian yang menyebabkan para hadirin tertegun. Hanya jago2 silat yang menguasai ilmu gin-kang hebat, dapat melakukan permainan semacam itu.

Setelah beberapa saat berlarian, keduabelas gadis baju hijau itupun berhenti, memecah diri dalam dua kelompok yang saling berhadapan. Tiap kelompok terdiri dari enam gadis. Seperti barisan gadis baju kuning tadi, barisan gadis baju hijau itupun segera bertempur. Tetapi bukan dengan menggunakan pedang melainkan dengan menggunakan semacam senjata rahasia bola besi. Mereka saling lontar melontar bola besi. Bermula kelompok sebelah barat menghujani lawan Setelah tiap gadis melontar sepuluh bola besi. Lalu kelompok sebelah timur yang melontar dan kelompok sebelah barat yang harus menghindar.

.Jika menghadapi hujan senjata rahasia di tanah datar, itu masih mudah. Tetapi jika harus menghindari lontaran bola  besi diatas ujung golok, barulah orang merasakan betapa sukar dan berbahayanya.

Sekalian hadirin terlongong-longong. Diam2 ada yang runtuh nyalinya, Jika disuruh melakukan hal itu, jelas mereka tak sanggup. Hanya sedikit jumlahnya dari tokoh2 yang hadir itu masih tampak mengangguk dalam hati sebagai pertanyaan bahwa merekapun sanggup juga melakukan hal itu.

”Suthay,” tiba2 Hong Hong tojin berkata dengan pelahap ”bagaimana pendapat suthay tentang permainan mereka kali ini ?”

Ceng Sian suthay kerutkan dahi.

”Memang apa yang kita lihat, harus kita akui kehebatannya,” jawab ketua Kun-lun-pay itu, tetapi entah bagaimana naluriku mengatakan bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dalam permainan mereka ttu. Hanya karena belum dapat membuktikan maka akupun lebih baik tak mengatakannya sekarang.’

Hoa Sin dan Pang To Tik tak memberi tanggapan apa2. Hanya menilik dahi Pengemis-sakti Hoa Sm yang mengerut, jelas dia sedang memikirkan sesuatu. Pertunjukkan bertempur diatas ujung golok atau barisan Bwe-hoa-to hampir selesai. Tiba2 kedua belas gadis baju hijau itu lalu melenting ke udara, dan meluncur turun ke panggung. Serempak dengan berhamburan keduabelas gadis baju hijau itu dua puluh empat batang golok yang tertancap di papan panggung pun serempak hilang. Ternyata saat membungkuk tadi, gadis2 baju hijau itu tangannya mencabut sebatang golok, sedang kakinyapun menjepit sebatang golok lagi.  Dalam melenting ke udara tangan dan kaki gadis2 itu telah membawa dua batang golok sehingga barisan Bwe-hoa-topun bersih seketika.

Pertunjukan itu mendapat sambutan yang bergemuruh dari para hadirin. Sekarang mereka menumpahkan perhatian kepada barisan Pengawal baju Putih dan Pengawal baju Merah. Mereka menduga barisan pengawal itu tentu juga akan mempertunjukkan kepandaian dan tentu akan jauh lebih hebat dari barisan bocah dan barisan gadis itu.

Tetapi ternyata harapan mereka tak terlaksana karena saat itu pengacarapun berseru :

”Berhubung waktunya sudah hampir mendekat waktu upacara sembahyangan maka hidangan pertunjukanpun hanya sampai disini. Harap para hadirin suka memaafkan. Dan sekarang akan dimulai upacara sembahyang suci untuk meresmikan berdirinya perkumpulan Thian-tong-kau.”

Pengacara itu memberi isyarat kepada kawanan bocah baju ungu dan baju biru. Mereka segera masuk panggung. Demikian pula dengan barisan keduapuluh empat dara2 cantik itu. Tak berapa lama mereka membawa sebuah hiolou (tempat sembahyangan) yang besar, terbuat daripada emas. Hiolou diletakkan di atas sebuah meja. Di kanan kiri meja dipasang lilin besar yang terang sekali apinya. Di muka meja diletakkan sebuah mangkok besar dari tembikar yang indah. Dan disisi mangkuk tembikar itu terdapat dua batang pisau yang tajam.

“Upacara sembahyangan segera dimulai. Sebelumnya akan kami minta setiap tamu yang kami sebut namanya supaya tampil keatas panggung. Tusuklah sedikit jari saudara dengan pisau dan kucurkan darahnya kedalam mangkuk. Itu berarti saudara telah resmi menjadi anggauta dari perkumpulan Thian-tong-kau !”

Gemparlah sekalian hadirin.

>>oodwoo<<
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar