Pendekar Bloon Jilid 25 Ooops 2

Jilid 25

Serentak berhenti tertawa, Hong Sat koay-ceng segera berseru : "O, kiranya rahib ketua Kun-lun-pay yang termasyhur dengan ilmu pedang Suan-hong kiam dan ilmu pukulan Coh kut kin-ci ing. Maaf, maaf, aku telah berlaku kurang menghormat. Terimalah hormat paderi lhama yang tua Ini".

Habis berkata lhama itu segera membungkukkan tubuh memberi hormat.

"Ah. toheng terlalu menyanjung diriku. Mana aku berani menerima hormat toheng, "Ceng Siau suthay terpaksa rangkapkan kedua tangannya balas memberi hormat.

Tampak wajah kedua tokoh itu saling mengerut. Hanya lekukan kerut pada dahi Ceng Sian suthay lebih dalam dan wajahnya agak pucat.

Memang sepintas pandang keduanya tampak saling memberi hormat. Tetapi sesungguhnya mereka telah melangsungkan adu tenaga dalam.

Cian bin long-kun Buyung Kiong tahu juga akan hal itu. Ia tersenyum simpul karena tahu bahwa dalam tenaga dalam ternyata Hong Sat koay ceng masih lebih unggul.

"Totiang", seru Ceng Sian suthay setelah Saling memberi hormat yang diselipi dengan adu tenaga-dalam itu selesai, "Beng Sam hok yang kini menjelma menjadi Buyung Kiong itu memang benar adalah murid dari Kun-lun pay. Soal kemudian dia melarikan diri dan masuk menjadi murid totiang, itu akupun tak berhak menghalangi”. "Ah, kiranya suthay seorang ketua perguruan yang menyadari akan tata peraturan sebuah perguruan dalam dunia persilatan," seru Hong Sat koay-ceng.

Ceng Sian suthay tak mau menghiraukan pujian itu.

"Tetapi aku tetap akan menyelesaikan dua buah hal kepadanya." kata Ceng Sian suthay.

"O." desuh Hong Sat koay-ceng. "silahkan suthay mengatakan. Kalau memang benar, sudah tentu dia harus mentaati.”

"Pertama, dia harus mengembalikan kitab pelajaran ilmu pedang Kun-lun-pay yang dicurinya itu."

"Ya, itu memang nalar," kata Hong Sat koayceng lalu berpaling kepada Cian-bin-long kun "benarkah engkau mengambil kitab pelajaran dari Kun lun pay?”

Cian-bin-long kun Buyung Kiong terkesiap, tadi ia menyangkal kalau dirinya Beng Sam hok, apakah sekarang ia harus menarik penyangkalannya itu dan mengaku benar Beng Sam hok.

"Bagaimana ?" tegur Hong Sat koayceng pula karena Cian- bin-long kun diam saja.

"Aku tak tahu menahu soal kitab itu." akhirnya Cian-bin- long kun menjawab.

"Benar ?" Hong Sat koay-ceng menegas.

"Adakah suhu menyaksikan diriku ini Buyung Kiong ?" Cian bin long-kun balas bertanya.

"Baiklah" kata Hong Sat koay-ceng lalu berpaling kearah Ceng Sian suthay, "suthay, muridku Buyung Kiong itu bukan Beng Sam-hok. Dia tak tahu menahu tentang kitab pusaka dari Kun-lun-pay.

“Totiang percaya akan omongannya ?" tanya Ceng Sian suthay.

“Aku suhunya, masakan dia berani bohong daku !" "Baiklah", kata Ceng Sian suthay dengan menekan

kegeramannya, "apabila pada suatu kesempatan aku dapat membuktikan bahwa ia memang Beng Sam hok, apa kata totiang ?"

“Bagaimana kehendakmu ?" tanya Hong Sat Koayceng. “Kalau dia benar Beng Sam-hok, berarti dia masih murid

Kun-lun pay. Aku akan menjatuhkan hukuman perguruan kepadanya".

Hong Sat koayceng terkesiap.

"Dalam hal itu, totiang harap jangan ikut campur tangan." kata Ceng Sian suthay pula.

Hong Sat koayceng tetap diam.

"Sekarang, apakah yang hendak engkau urus lagi ?" sesaat kemudian baru lhama dari Tibet itu buka suara.

"Masih ada", kata Ceng Sian suthay, "yakni tentang anak gadis yang ditawan dalam gedung ini. Jika Cian-bin-long-kun mengembalikan, urusan ini takkan kutarik lebih panjang. Tetapi kalau tidak. Hm, akupun terpaksa harus bertindak".

"Suthay", tiba2 Cian-bin-long-kun berseru dengan nada garang. Rupanya ia sudah mendapat kembali nyalinya, "harap tahu bahwa gedung kediaman Cian-bin-long-kun Buyung Kiong itu adalah tempat yang menjadi kunjungan orang2 terhormat, mentri2 Kerajaan dan orang2 ternama. Janganlah suthay menghambur fitnah yang melecehkan namaku."

"Bagus, rupanya sekarang engkau pandai benar berputar lidah." seru Ceng Sian suthay. Perampasan gadis oleh kaki tanganmu itu disaksikan beratus orang. Masakan engkau masih berani nyangkal".

“Suthay" balas Cian-bin long-kun, tak kalah garang, "kami menghormat suthay sebagai orang rahib suci, seorang ketua perguruan silat yang termasyhur dan pula sebagai seorang tetamu tak banyak yang kami mohon kecuali mengharap suthay suka menaruh perhatian atas kedudukanku sebagai tuan rumah".

"Maksudmu engkau hendak mengatakan bahwa aku supaya jangan campur urusan ini ?" rahib itu menegas.

"Hendaknya demikian", kata Cian-bin-long-kun, agar kunjungan suthay itu jangan sampai mengecewakan suthay karena penyambutan2 yang bersifat kekerasan. Kiranya suthay tentu maklum bahwa gedung Cian bin-long-kun di kotaraja ini mempunyai penjagaan yang kuat."

"Hm, kekerasan itu menunjukkan kelemahan dan kesalahan", kata Ceng Sian suthay, "dan kekerasan itu takkan melindungi kebenaran".

"Masih ada lagi suthay". buru2 Cian-bin-Iong-kun berseru, "kekerasan dapat juga digunakan untuk menjaga tindakan yang merugikan dan mengancam.”

"Merugikan dan ancaman itu, banyak tafsirnya. Karena tindakanku hendak mengusut peristiwa itu engkau merasa dirugikan dan terancam karena tak dapat menyampaikan maksudmu. Bukankah begitu ?" "Suthay." tiba2 Hong Sat koayceng menyeletuk. "Seorang rahib, hanya dibiara suci tempatnya. Hidupnyapun dialam kesucian, bukan mengurusi urusan duniawi. Berbicara tentang kerugian apakah suthay menderita kerugian apabila tak mencampuri urusan ini ?"

Ceng Sian suthay tertawa datar.

"Harap toheng jangan mencampur adukkan dengan soal rahib dan biara. Karena hal itu akan melibat dirimu sendiri. Jika aku seorang rahib bukankah toheng sendiri juga seorang Ihama yang pantasnya tinggal di kuil ? Jika toheng menasehati aku, mengapa toheng melakukan hal itu sendiri ?”.

"Aku hendak mengurusi muridku sendiri!”, jawab Hong Sat koayceng. "lalu apa kedudukan suthay dalam peristiwa ini ?"

"Menyebut nama Ceng Sian, tentu takkan terlepas dari nama perguruan Kun-lun-pay. Bicara soal perguruan silat, tentu tak lepas dari dunia persilatan. Dan memperbincangkan dunia silatan berarti memperbincangkan urusan dunia. Salahkah kalau aku mengurus soal duniawi ?”

"Berhakkah orang persilatan mencampur urusan lain orang

?"

"Setiap orang persilatan atau orang yang mengaku dirinya

sebagai seorang persilatan sejati baik dia termasuk anggauta perguruan silat atau perseorangan, berhak untuk mengurus ataupun mencampuri urusan lain orang atau perguruan silat, apabila urusan itu menyalahi Kebenaran"

"Jadi suthay tetap hendak mencampuri urusan ini ?" "Sebaiknya urusan ini dapat diselesaikan dengan jalan

damai".

"Maksud suthay ?" "Serahkan gadis itu supaya dapat kukembalikan kepada orangtuanya".

"Jika tidak ?"

"Toheng tentu sudah maklum sendiri".

"Jika demikian kehendak suthay, akupun takdapat berbuat apa2 kecuali mempersilahkan suthay" sahut Hong Sat koay- ceng.

Selama bicara tadi, diam2 Ceng Sian suthay sudah menyelinapkan perhatian. Ia mengetahui bahwa empat penjuru gedung itu telah disiapkan berpuluh2 jago silat yang dipelihara Cian-bin-long kun.

Ceng Sian suthay merenung. Sudah terlanjur naik punggung harimau, susahlah ia hendak turun lagi. Ia tak tahu bahwa Hong Sat koay-ceng berada di gedung itu. Begitu pula ternyata gedung itu penuh dengan jago2 silat. Dan dia hanya seorang diri. Jika dia sampai terluka atau kalah, tentulah nama perguruan Kun-lun-pay akan ditertawakan orang.

Namun kalau mundur, Hong Sat koay-ceng dan Cian-bin long-kun tentu akan mencemohkan juga.

"Kudengar Kun-lun-pay merupakan sumber ilmu pedang yang sakti. Ingin benar pinceng mendapat pengalaman dan pelajaran." tiba Hong Sat koayceng berseru, "harap suthay jangan pelit memberi pelajaran".

Walaupun diucapkan dengan nada ramah bahkan disertai senyum simpul, tetapi jelas lhama itu menantang supaya Ceng Sian suthay menggunakan pedang.

Sudah tentu Ceng Sian Suthay tahu. Diam2 iapun menimbang. Hong Sat koayceng termasyhur dengan ilmu pukulan Hongsat-ciang atau Pasir Kuning. Lebih leluasa bertanding dengan ilmu pedang daripada dengan pukulan, Justeru lhama itu menantang sendiri. Maka ketua Kun-lun-pay itu pun segera memutuskan untuk bertanding ilmu pedang.

"Baiklah, jika toheng menghendaki demikian si!ahkan toheng dan anakbuah gedung ini bersiap maju." serunya.

"Ha, ha." Hong Sat koayceng tertawa, "Suthay jangan salah tafsir. Yang akan minta pelajaran ilmu pedang adalah aku. Bukan mereka. Sudah tentu suthay tak bermaksud menghina diriku hendak main keroyokan, bukan?”

"Ah, mana aku berani menghina toheng," sahut ketua Kun- lun-pay. "siapakah yang tak tahu akan Hong Sat koayceng yang sakti itu".

"Sudahlah, suthay" cepat Ihama dari Tibet itu menukas, "mari kita mulai. Sekali lagi harap suthay jangan pelit untuk memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku".

Karena lambat atau cepat akan bertempur Ceng Sian suthaypun segera mencabut pedangnya.

"Toheng, aku segera memulai, harap toheng mengeluarkan senjata toheng," seru Ceng Sian.

Ceng Sian sutnay adalah seorang rahib yang tinggi kedudukannya. Baik sebagai pemuka agama maupun sebagai ketua partai persilatan. Dia dapat mengekang diri dalam sikap yang sabar dan ramah.

"Baik, suthay" sahut Hong Sat koayceng. silahkan  memulai".

Ceng Sian suthay lekas memperhatikan bahwa paderi  Ihama itu tidak mengeluarkan senjata.

"Adakah dia hendak melawan dengan tangan kosong ?” Ceng Sian suthay mulai meragu. "Adakah toheng tak memakai senjata ?" ia bertanya.

"Akan kulayani dahulu dengan tangan kosong. Apabila tak kuat, aku tentu memakai senjata juga", jawab Hong Sat.

Ceng Sian suthay menggeram dalam hati, ia merasa diremehkan. Tetapi pada lain kilas, timbul suatu dugaan kemungkinan paderi Ihama itu mempunyai ilmu pukulan yang sakti.

"Mari kita mulai, suthay". tiba2 Hong Sat koayceng mulai membuka serangan, Sin-wan-te-koh atau Lutung-sakti- memetik-buah adalah jurus pertama yang dilancarkannya: Tangan kanannya mengulur maju untuk menerkam.

Ceng Sian suthay tenang2 saja melihat gerakan tangan orang. Pada setelah tangan paderi itu hampir tiba, rahib itu menyurut mundur setengah langkah, Sret ... secepat kilat pedangnya membabat.

Hong Sat koayceng terkejut. Cepat ia menekuk tangannya ke atas untuk menghindari. Hanya kurang serambut jaraknya, lengan paderi lhama tua itu terpapas pedang.

Habis menghindar, tangan Hong Sat koay- ceng akan menjulur maju pula. Tetapi pedang Ceng Sian suthay sudah berkelebat memapas. Dan ketika Hong Sat menarik tangannya ke belakang, pedangpun menyambar bahunya Hong Sat terpaksa menyurut mundur setengah langkah tetapi pedang ketua Kun-lun pay itupun sudah membabat pinggangnya.

Hong Sat terkejut dan cepat2 mengendapkan tubuh ke bawah. Tetapi sudah disongsong lagi dengan kilat pedang yang membabat kaki. "Huh," sambil mendesuh, paderi lhama itu sudah melambung sampai tiga tombak. Di udara ia ayunkan tangan kanannya menghantam ke bawah.

“Bum ”

Lantai berhamburan pecah, tetapi Ceng Sian telah loncat ke samping, Maka ketika Hong Sat melayang turun, pedang rahib itu sudah membabat kakinya.

Hong Sat terkejut sekali. Saat itu baru ia mengetahui bahwa Ceng Sian suthay hebat sekali gin-kangnya.

Namun paderi lhama itu tak mau menyerah begitu saja. Dia sudah menepuk dada akan melayani lawan dengan tangan kosong. Cian-bin-long-kun dan berpuluh-puluh jago silat menyaksikan tempuran itu. Apabila dalam waktu yang begitu singkat, dia sudah kalah, bukankah malu akan dideritanya ?

Cepat paderi lhama itu menginjakkan telapak kaki kanannya ke atas kaki kiri. Dengan meminjam tenaga pijakan itu, tiba- tiba tubuhnya bergeliatan melambung ke udara lagi. Selagi masih di udara, dia segera melontarkan pukulan. Bahkan sekali gus dia gerakkan tangan kanan dan kiri menghantam. Dengan dilindungi oleh pukulan yang menyerupai geledek itu, ia meluncur turun ke lantai.

Terdengar debum lantai hancur berantakan, keping- kepingnya muncrat ke empat penjuru. Jago2 silat  yang bekerja pada Cian-bin-long kun meleletkan lidah karena kagum atas pukulan dari paderi lhama itu. Tetapi mereka lebih kaget pula ketika paderi lhama itu mendesuh kejut dan ayunkan tubuh sampai dua tombak ke belakang. Dan sebagai pengganti di tempat padri lhama itu, tampaklah bayangan Ceng Sian suthay sambil memegang pedangnya. Adegan itu berlangsung teramat cepat sekali, sehingga mereka tak sempat menyaksikan apa yang terjadi. Tetapi mereka dapat menduga tentulah Ceng Sian suthay sudah menyerang lagi dan memaksa paderi itu harus loncat mundur.

Kini terbukalah mata sekalian jago2 itu betapa tingkat kepandaian dari rahib Kun-lun-pay. Diam2 mereka tergetar dalam hati. Untunglah yang menjadi lawan Hong Sat koay. Andaikata mereka yang harus melayani, tentu mereka sudah menggelepar di lantai. Diam-diam mereka berharap mudah- mudahan Hong Sat koay-ceng dapat mengalahkan rahib dari Kun-lun-pay. Dengan demikian mereka bebas dari keharusan menempur rahib itu.

"Ilmu pedang suthay bukan kepalang hebatnya" seru Hong Sat koayceng memuji.

"Ah, janganlah toheng mengolok", sahut Ceng Sian suthay sambil tegak acungkan ujung pedang lurus kemuka. Pandang matanya melekat pada ujung mata.

Hong Sat koayceng makin terbeliak. Sikap yang dilakukan Ceng Sian suthay itu merupakan sikap dari ajaran ilmu pedang yang sakti. Diam untuk menindas gerakan. Demikian inti dari ilmu pedang yang sakti.

Mau tak mau Hong Sat koay-ceng harus menempur. Dan setelah merenung beberapa jenak, ia telah menentukan keputusan.

Serangan pedang yang dibuka Ceng Sian telah disambut dengan mengangkat tangan kanan dari paderi Ihama itu. Semula Ceng Sian memperhatikan bahwa cahaya wajah paderi Ihama itu kian berobah kuning. Bahkan sampai biji matanya pun terlihat berwarna kuning. Pada saat Ceng Sian suthay menyerang maju tiba2 paderi Ihama itu ayunkan tangannya menampar.

Ceng Sian suthay terkejut. Ia duga paderi lhama itu tentu mengeluarkan ilmu pukulan Kong-sat-ciang atau Pukulan Pasir-kuning yang sakti.

Dalam kitab pusaka yang diketemukan dalam sebuah biara kuno, ia banyak menemukan sumber2 ilmu kesaktian yang hebat diantaranya sebuah ilmu pukulan yang disebut Hong- sat-ciang atau pukulan Pasir Kuning. Dengan pukulan itu, lawan akan menderita kehilangan tenaga, tubuhnya berwarna kuning semua. Mirip dengan seorang penderita penyakit kuning.

Pada puncak tataran tertinggi dari ilmu Pukulan Pasir Kuning itu, penderita pukulan akan berangsur-angsur mengalami suatu kematian yang mengerikan. Bermula kaki dan tangannya akan meleleh, mengeluarkan cairan kuning, kemudian seluruh tubuhnya akan berhamburan menjadi cairan kuning semua. Bahkan walaupun tidak ikut leleh tetapi tulang belulangpun ikut berwarna kuning.

Hong Sat koayceng belum mencapai tingkat yang sedemikian. Ia tengah berusaha untuk capai tingkat itu. Sebagai kelengkapan dan syarat2 yang diperlukan, dia harus mencari seribu buah selaput perawan.

Gila ! Tetapi Hong Sat koayceng tetap jalankan juga. Entah berapa ratus gadis yang diculik untuk diambl selaput keperawanannya. Namun masih jauh dari mencukupi keperluan yang dibutuhkannya. Dan terpaksalah ia berusaha mencarl terus.

Dalam menghadapi Ceng Sian suthay, ia tak mengira kalau rahib ketua Kun lun-pay itu memiliki ilmu pedang yang sedemikian hebat. Dalam gerak pertama, la telah menderita kesibukan yang hampir membawanya ke arah kekalahan.

Ceng Sian suthay telah memainkan ilmu –pedang Ngo heng kiam. Disebut Ngo-heng atau Lima Unsur, karena ilmu pedang itu terdiri dari lima bagian. Setiap bagian dibagi lagi menjadi lima jurus.

Yang dimainkan oleh rahib itu tadi ialah. Ngo.heng-kiam bagian Tho-te kiam atau Unsur tanah. Tho-te-kiam dibagi menjadi lima jurus yakni: Kian gun, Liok-te, San-tho, Ni-ciang dan San-sik atau Bumi, tanah, gunung, lumpur dan cadas.

Pertama gebrak, Ceng Sian gunakan Ngo-kian-gun-kiam. Sikapnya tenang dan damai, kemudian dilanjutkan Ngo-heng tho-te-kiam. Tanah menebar luas di dunia. Dimana manusia berada, tentu selalu ada tanah. Itulah sebabnya makai Hong Sat koayceng pontang panting karena selalu dibayangi oleh serangan pedang ketua Kung lun pay itu.

Dan kini, rahib dari Kun-lun-pay itu mengeluarkan jurus Ngo-heng-san-kiam. Gunung itu bersikap tinggi perkasa, kokoh bagai sebuah paku di bumi.

Pedang Ceng Sian suthay mengerat- erat naik turun untuk membelah kepala dan tubuh lawan. Dia hendak menjaga jangan sampai paderi lhama itu dapat melambung ke udara.

Dalam beberapa waktu, masih dapatlah paderi lhama itu menghadapi. Bahkan dapat balas menyerang dengan jari2 maut. Jari yang telah disaluri dengan tenaga-dalam Hong sat- cin-kang. Tersentuh sedikit oleh jari itu, orang tentu sudah lunglai. Apalagi sampai kena tercengkeram.

Rupanya Ceng Sian menyadari akan keampuhan jari lawan. Ia mengurung diri dengan sinar pedangnya sedemikian ketat sehingga air hujan pun tak mampu mencurah ke tubuhnya. Cian-bin-long-kun dan sekalian jago2 yang menyaksikan pertempuran itu, kesima sekali. Memang pertempuran antara tokoh setingkat Cian Sian dan Hong Sat, jarang terjadi dalam dunia persilatan. Karena pertempuran semacam itu manghidangkan permaianan yang bermutu tinggi.

Pertempuran antara tokoh kelas satu, berlangsung amat cepat. Setiap detik peluang yang bagaimanapun kecilnya, sudah cukup untuk merobah kedudukan, menentukan kalah menangnya.

Demikian terjadi pula dalam pertempuran dahsyat antara Ceng Sian lawan Hong Sat koayceng.

Kedua tokoh itu seolah merapat dan sukar diketahui mana Ceng Sian mana Hong Sat koay-ceng. Beberapa jenak kemudian tiba2 terdengar pekikan tertahan dan serentak keduanya saling Ioncat mundur.

Ceng Sian suthay tampak tegak mengemasi rambutnya yang terurai. Tenang2 saja sikap ketua Kun-lun-pay itu.

Sedang Hong Sat koaycengpun tegak dengan wajah berwarna kuning, mata dipejamkan. Tampaknya dia tak kena suatu apa kecuali menderita keletihan napas.

Cian-bin-long-kun hendak menarik napas longgar karena melihat suhunya tak kurang suatu apa, walau tiba2 ia menjerit tertahan ketika pandang matanya tertumbuk sesuatu pada diri Hong Sat koayceng.

Jubah paderi lhama bagian dadanya ternyata pecah sepanjang beberapa inci. Jelas tentu akibat dari guratan ujung pedang lawan.

"Suhu, apakah engkau terluka ?" serentak ia berseru  cemas. Tetapi paderi Ihama itu tak menjawab. Secepat membuka  ia segera berseru kepada Ceng Sian Suthay:

“Ilmu pedang Kun-Lun-pay benar2 tak bernama kosong. Aku harus mengucap syukur, karena suthay telah berlaku murah hati kepadaku. Mari kita lanjutkan lagi. Harap suthay memberi pelajaran yang lebih tinggi lagi.”

Habis berkata paderi lhama itu segera melepas kalung tasbih. Berbeda dengan tasbih kaum paderi yang biasanya terbuat dari biji2 bundar yang berlubang tengahnya. Kalung tasbih Hong Sat koayceng itu merupakan seuntai kalung dari benda2 keras berbentuk tengkorak kecil. Sedang tengah2 untaian kalung itu merupakan sebuah tengkorak besar, sebesar genggam tangan orang.

“Omitohud!” seru Ceng Sian suthay, “bagaimana tasbih sebagai kalung suci dari kaum agama, engkau ganti bentuknya sedemikian rupa?”.

Hong Sat koayceng tertawa.

“Setiap orang apabila melihat tengkorak tentu jeri dan menganggap benda itu amat keramat”, seru paderi lhama itu, “padahal kita semua manusia kelak tentu akan menjadi tengkorak seperti ini”

“Adakah kaum lhama memang bertasbih seperti itu?” “Tidak” sahut Hong Sat koayceng, “mereka juga bersikap

suci seperti kaum paderi di tanah Tiong-goan sini.

Tetapi aku menganut faham lain, Kita harus berani melihat kenyataan. Bahwa manusia itu tentu akan mati. Bahwa setelah mati, yang cantik, yang bagus, yang jelek, yang kaya, yang miskin, yang jahat, yang suci, yang murtad, sama saja. Tiada beda, semua akan menjadi tengkorak. Oleh karena itu maka kalung itu berlambangkan tengkorak agar kita selalu ingat akan hidup dan keakhiran manusia itu".

"Bagus !" seru Ceng Sian suthay. "apabila toheng mempunyai pandangan seperti itu. Tetapi kenyataan berbicara kudengar untuk kepentingan melatih ilmu Hong-sat ciang sampai sempurna, diperlukan benda2 yang mengakibatkan hiIangnya jiwa beratus-ratus gadis suci. Benarkah itu?"

"Benar, benar" diluar dugaan Hong Sat koayceng menjawab dengan jujur. "tetapi apa artinya beratus jiwa gadis dengan hasil yang kudapat dari ilmu sakti itu? Tidak berarti sama sekali seperti sejemput pasir dilontarkan ke dalam lautan belaka.”

Ceng Sian suthay kerutkan dahi.

"Bagaimana toheng dapat mengatakan begitu?" tanyanya. "Dengan   memiliki   kesaktian   semacam   itu   aku   akan

menaklukkan    dunia    persilatan.    Kurobah    wajah    dunia

persilatan, dari suatu medan perebusan nama dan pertumpahan darah, menjadi sebuah dunia yang damai dimana tokoh2 persilatan akan hidup dibawah perintah suatu faham hidup yang baru".

"Jika demikian tujuan toheng, akulah orang pertama yang akan menentang" seru Ceng Sian suthay.

“Memang seharusnya begitu. Karena setiap penaklukan yang kulakukan tentu berdasar kemenangan yang sungguh2 sehingga orang akan tunduk dan patuh benar2 kepadaku. Nah, marilah kita mulai".

Kini paderi lhama yang eksentrik itu memegang sebuah kalung tasbih tengkorak. Sedangkan Ceng Sian suthay tetap dalam sikap semula. Pedang lurus disongsongkan ke muka, kedua matanya memandang ke arah ujung pedang. Bagi seorang ahli pedang, tentulah dapat mengetahui bahwa sikap yang dilakukan ketua Kun-lun-pay merupakan pembukaan dari ilmu pedang yang sakti.

Hong Sat koayceng pun mulai mengayunkan kalung tasbihnya. Dari pelahan makin cepat dan makin cepat sampai akhirnya kalung tasbih itu berrobah menjadi lingkaran sinar kuning yang bergulung-gulung membungkus diri paderi lhama. Lalu pelahan-lahan mulai maju mendekati lawan.

Ceng Sian suthay bersikap hati2. Ia belum tahu betapa hebatnya senjata kalung tasbih itu, namun karena yang menggunakan seorang tokoh macam Hong Sat koayceng, tentulah tasbih itu hebat sekali.

Ngo-heng-ni-ciang-kiam atau ilmu pedang Unsur-lumpur, segera dimainkan oleh rahib itu.

Sebagaimana dengan sifat lumpur yang lunak tapi membenam segala benda yang membenturnya maka ilmu pedang yang dimainkan Ceng Sian suthay itupun demikian juga. Lunak dalam gerakan tetapi membenam dalam perbawanya. Mambenam sinar kalung yang menerjangnya.

Sinai kalung tasbih seolah-olah terbenam dalam lingkaran sinar pedang. Walaupun sukar dilihat mana sinar kalung mana sinar pedang, namun dari warnanya yang kuning dengan putih, orang dapat membedakannya.

Kali ini Hong Sat koayceng menyerang dengan sepenuh tenaga. Ia malu kalau sampai menderita kekalahan lagi.

Cong Sian suthay tetap berlaku hati2 untuk melayani. Ilmu pedang yang berintikan sifat lumpur memang bukan jurus untuk menyerang melainkan untuk membenam gerakan lawan. Demikian kedua tokoh sakti itu mulai terlibat lagi dalam sebuah pertempuran yang seru dan dahsyat.

Ternyata pada saat Ceng Sian suthay sedang melakukan pertempuran dengan Hong Sat koay ceng dan Cian-bin-long- kun serta segenap jago2 silat yang bekerja padanya menyaksikan pertempuran itu, di dalam gedung Cian-bin-long- kun telah terjadi suatu pertstiwa yang tak diduga-duga.

Pengemis-riang To Jin-sik selalu meninggalkan pertandaan di sepanjang jalan yang dilaluinya. Hal ini memang sudah menjadi suatu kebiasaan dari setiap anakbuah Kay-pang yang sedang melakukan tugas.

Bahkan pada waktu berangkat mengantar Blo'on dan Sian- li. Ong Cun kedua Kay-pang cabang kota Pakkhia, mengingatkan To Jin-sik agar jangan lupa meninggalkan pertandaan. Hal itu perlu untuk menjaga kemungkinan yang tak diharapkan mengingat bahwa kota raja itu pengaruh Jiong-pang (Partai Jembel) amat besar.

Seorang anakbuah Kay pang telah melihat pertandaan yang ditinggalkan To Jin-sik. Dia tahu kalau To Jin-sik menuju ke gedung Ciang bin long kun. Diam2 anakbuah Kay-pang itu segera mencari jejak To Jin-sik.

Dari beberapa orang, dapatlah anakbuah Kay-pang itu mengetahui bahwa To Jin-sik berada di gedung Cian-bin-long- kun.

Tetapi sampai malam, pesta sudah bubar, belum juga To Jin-sik dan kedua pemuda yang diantarnya itu keluar. Anakbuah Kay-pang itu menunggu. Betapalah kejutnya ketika melihat To Jin sik, Sian-li dan Blo'on bertempur dengan.jago2 gedung Cian-bin-long-kun. Bargegas-gegaslah melapor kepada Ong Can, thancu Kay-pang cabang Pakkhia. Ketua Kay-pang cabang kotaraja itu, terkejut. "Ah, tentulah pemuda itu yang cari gara2. Kalau To Jun-sik ditangkap, tentu akan menimbulkan heboh.

Ia merenung cara untuk menolong Jin-sik dan kedua anakmuda itu. Jika kerahkan seluruh anakbuah Kay-pang, tentu akan menimbulkan akibat yang meluas. Can-bin-long- kun tentu akan berusaha untuk membasmi Kay-pang.

"Hm, aku harus bertindak secara tersembuyi." akhirnya ketua Kay-pang cabang Pak-khia menetapkan langkah.

Akhirnya ia memilih lima orang anakbuah Kay-pang. Kepada mereka diperintahkan supaya menyamar dalam pakaian serba hitam, mukapun harus ditutup dengan kain hitam agar jangan nampak kalau mereka anakbuah Kay-pang.

Ong Cun dipilih sebagai ketua cabang Kay-pang karena cerdik dan berkepandaian tinggi. Orang persilatan menggelarinya sebagai Sam-thau-liok-pi atau Tiga-kepala- enam-lengan. Dia pandai berpikir dan pandai bertindak.

"Kita menyusup dari belakang", kata Ong Cun kepada lima orang anakbuahnya. Dengan hati2 mereka melompati pagar tembok dan terus menyelundup masuk.

"Aneh. mengapa rumah ini sepi2 saja ?”, diam2 ia berkata kepada dirinya sendiri. Padahal diketahui bahwa gedung Cian- bin-long-kun itu pelihara berpuluh-puluh penjaga yang terdiri dari jago2 silat yang berkepandaian tinggi.

"Kalian tunggu disini, aku hendak menyelidiki ke dalam”, ia memberi perintah lalu dengan sebuah gerak yang menimbulkan kekaguman orang ia sudah menyelundup tanpa kedengaran suara apa2. Waktu itu malam makin sunyi. Tiba2 ia dengar suara orang menangis terisak-isak dari sebuah ruangan. Cepat ia menyelinap ke tempat itu. Dengan gunakan ilmu gin-kang, iapun melambung ke atas atap. Setelah menunggu sampai beberapa saat nada suatu gerak maupun suara yang mencurigakan, barulah ia berjongkok dan membuka genting. Kemudian ia susupkan kepalanya masuk. Kaki mengait pada tiang-rusuk, lalu bergelantung memandang ke bawah.

Segera ia melihat seorang nona tengah menangis diatas ranjang. Sedang seorang wanita tua tengah membujuknya.

"Sudahlah nona, jangan menangis," kata perempuan tua itu. "Buyung loya tentu akan memberi apa saja yang engkau minta. Dia kaya raya dan berpengaruh. Engkau harus merasa beruntung karena dia berminat kepadamu".

Namun nona itu tetap tak menghiraukan.

"Ah". perempuan tua itu menghela napas seperti ikut bersedih atas nasib si nona. "Memang semula akupun ikut bersedih ketika pertama kali loya menitahkan aku supaya menghibur seorang gadis yang dibawanya ke gedung ini, Tetapi apa akhirnya ?"

Perempuan Itu sengaja melontar cerita untuk memancing perhatian si nona agar mau bertanya, tetapi ternyata gadis itu tetap tak mengacuhkan.

"Beberapa hari kemudian ketika bertemu padaku, dia tampak tersenyum-senyum gembira sekali. Dan tahu2 dia memberi persen dua tail perak kepadaku, Ih .. "

Tetapi gadis itu diam saja.

"Bukan hanya seorang dua orang, tetapi berpuluh gadis yang dibawa kemari tentu seperti itu. Pertama menangis sedih memikirkan nasibnya. Dia merasa nasibnya paling celaka di dunia. Tetapi setelah tidur dengan loya, uh, dia mengatakan dirinya seorang wanita yang paling bahagia. Loya telah memenuhi segala kebutuhannya."

Ong Cun cepat dapat menduga bahwa perempuan tua itu tentulah bujang yang disuruh Cian bin-long-kun untuk membujuk korbannya,

Ong Cu muak melihat perempuan tua itu. Tiba2 ia lepaskan kaitan kakinya lalu meluncur turun.

"Hai … " baru perempuan itu membuka mulut karena kaget, Ong Cun sudah loncat mendekap mulutnya.

"Kau mau hidup atau mati ?" bentak Ong Cun setengah berbisik. Ia lepaskan tangannya.

Bermula perempuan tua itu mengira yang datang dengan muka berselubung kain hitam itu bangsa setan. Tetapi setelah mendengar suara orang, perempuan tua itupun hanya menggigil ketakutan.

"Lekas bilang !" Ong Can lekatkan pedang ke leher perempuan tua itu.

"Ampun, loya., aku ingin … hidup…

"Hm sudah setua itu engkau masih temaha hidup, ya ?" "Ampun loya. aku hanya bujang dari gedung ini yang

dititahkan oleh majikanku untuk menemani nona ini"

“Dari mana nona ini?"

“Aku tak tahu karena hanya diperintah loya untuk menemaninya saja"

“ Bukankah majikanmu menculik nona ini untuk dijadikan gundik?" “ Be … nar ... " perempuan tua makin gemetar.

Ketika mendengar suara yang aneh, gadis itu mengangkat muka dan ketika melihat munculnya seorang berpakaian serba hitam berselubung mukanya, gadis itu hendak menjerit. Untunglah ia cepat dapat mendengar pembicaraan orang itu dengan perempuan tua. Maka ia menduga orang itu tentu hendak menolongnya.

“ Siapakah nama nona?" Ong Cun beralih kepada gadis itu “jangan takut, aku akan monolongmu."

Nona itu mulai timbul barapannya. Ia mengatakan bahwa dirinya bernama Bok Kui-hoa, anak seorang pedagang kecil yang tinggal di ujung kotaraja. Malam itu iapun hendak bersembahyang ke kelenteng sebagaimana dilakukan oleh para gadis2 pada tiap hari Pek-gwe-cap-go atau bulan delapan tanggal limabelas.

“Waktu hendak pulang, aku telah dihadang oleh beberapa lelaki lalu dipaksa naik tandu dan dibawa ke dalam gedung ini," kata gadis itu, “tuan, tolonglah aku. Kedua orangtuaku sudah tua dan berpenyakitan. Anaknya pun hanya aku seorang …”

"Jangan menangis, nona. Aku pasti akan menolongmu". Ong Cun menghiburnya. Kemudian berkata pula kepada bujang perempuan tua tadi:

"Bukankah engkau masih ingin hidup ?' "Ya."

"Kalau begitu, engkau harus menjawab pertanyaanku dengan jujur. Sepatah saja engkau berani bohong, lehermu tentu akan putus, mengerti..!”

Dengan gemetar bujang perempuan tua itu mengiakan.  “Dimana majikanmu ?" Ong Cun mulai bertanya. "Mungkin berada di ruang depan ... “

"Mungkin? Hm, engkau hendak main gila.”

"Tidak. loya. Aku hanya ditugaskan untuk menemani nona ini disini. Dimana saat ini majikanku, aku kurang jelas. Biasanya tengah malam dia tentu tiba di kamar ini"

Karena beralasan maka Ong Cun tak mendesak melainkan bertanya lagi : "Mengapa gedung ini sepi2 saja ? Kemanakan bujang2 yang lainnya ?

"Ah, masakan mereka tak ada, Buyung memelihara banyak sekali orang gajihan, baik jago2 silat maupun bujang2 lelaki,"

Ong Cun berpikir, kemungkinan memang bujang perempuan tua itu tak tahu2 apa karena hanya mendekam dalam kamar menemani gadis Bok"

"Apakah engkau tahu bahwa ada tiga orang yang ditawan dalam gedung ini ?"

"Tidak tahu"

"Hm." dengus Ong Cun, "mengapa engkau tak tahu apa2. Sekarang engkau harus tahu. Kalau tak tahu jelas engkau tentu hendak main gila".

"Sungguh mati, loya, Aku memang tak bohong",

"Dimana letak tempat tinggal para jago silat yang bekerja pada tuanmu itu ?"

"Ya, aku tahu loya" sahut bujang perempuan-tua itu. "mereka ditempatkan di sebuah gedung lamping sebelah barat."

"Benar ?" "Sungguh mati !"

"Baik", kata Ong Cun. "sekarang engkau harus menurut perintahku. Tukarkan pakaianmu dengan pakaian nona itu. Engkau memakai pakaiannya dan nona itu memakai pakaianmu,"

"Mengapa … , "

"Jangan banyak mulut, lekas kerjakan !" Ong Cun lintangkan pedangnya ke leher bujang.

"Nona, harap lakukan perintahku itu."

Kemudian ia berpaling ke belakang untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu saling tukar pakaian.

Setelah selesai, barulah Ong Cun berbalik tubuh lagi dan memberi perintah kepada si bujang tua supaya tidur di atas pembaringan.

“ Ah, Buyung loya tentu akan membunuh aku ... ". belum selesai ia berkata, tiba2 Ong Cun sudah menutuk jalan darahnya sehingga dia rubuh pingsan.

Setelah dibaringkan di atas pembaringan Ong Cun segera mengajak Bok Kui Hoa keluar. Untuk mempercepat langkah, ia mengangkat tubuh nona itu dan dibawa lari ke tempat anakbuah Kaypang.

Kelima anakbuah Kaypang itu terkejut. Tetapi setelah diberi keterangan oleh Ong Cun, barulah mereka lega.

“ Nona Bok, engkau harus bersembunyi di belakang pohon itu," Ong Cun menunjuk kesebuah pohon besar yang terletak diluar halaman gedung, “ setelah urusan kami selesai, tentu akan kami antarkan nona pulang" Bok Kui-hoa melakukan perintah. “ Sekarang mari kita mencari tempat kediaman para jago2 silat itu," kata Ong Cun.

Karena gedung sebelah dalam sunyi senyap maka tanpa banyak mengalami kesukaran, Ong Cun dan anak buahnya tiba di tempat itu.

“Bangunan itu merupakan, sebuah asrama besar dan indah. Memiliki berpuluh ruangan. Tetapi anehnya, saat itu juga tampak sepi2 saja.

“Kemanakah gerangan mereka?" bisik Ong Cun.

Tiba2 ia melihat seorang lelaki sedang berjalan keluar dari asrama itu. Cepat Ong Cun bersembunyi di tempat gelap. Sesaat orang itu tiba di dekat mereka, dengan sigap sekali, Ong Cun sudah menyergapnya.

“Jangan berteriak kalau ingin hidup!" benlaknya.

Orang itu menggigil keras ketika berhadapan dengan lima orang berpakaian dan berkerudung kain hitam.

“Dimana sekalian jago2 silat di sini?" “Sedang berada di luar "

“Mengapa ! "

“Di ruangan depan sedang terjadi pertempuran antara seorang rahib dengan paderi yang menjadi suhu dari Buyung loya."

“Oh, " gumam Ong Cun, “dimana ketiga tawanan malam ini ditempatkan? "

Orang itu bersangsi.

“Lekas bi!ang, atau kepalamu kupisahkan dari tubuhmu," Ong Cun lekatkan pedarg ke leher orang itu. “ Ya, ya ..... aku bilang ..." kata orang itu.

“Tidak usah beri keterangan, antarkan kami ke sana.” “Tetapi tempat itu dijaga oleh dua jago silat yang lihay! " “ Siapa ? "

“Kipas besi Ti Kak dan Lengan-baja Tek Kui .." “Tidak apa, lekas bawa kami ke sana.” “Mereka tentu akan membunuh aku!"

“ Jangan kuatir, aku berada di belakangmu. Akan kulindungi jiwamu apabila mereka hendak mengganas ! "

Karena dipaksa, orang itupun mau juga membawa kelima tokoh2 Kay-pang ke sebuah tempat yang terletak di bagian belakang gedung.

“Disana! " seru orang itu sambil menunjuk ke depan.

Ong Cun memandang ke muka. la kerutkan dahi: “Jangan main gila, masakan sebuah ruang kosong engkau katakan tempat penahanan tawanan !"

“Memang tampaknya kosong tetapi apabila orang melangkah ke situ maka lantai akan bergetar-getar dan terdengarlah sebuah kelinting berbunyi."

“O, ruang itu dipasangi alat rahasia?”.

Orang itu mengangguk. Begitu kelinting berbunyi maka kedua penjaga segera muncul dan menangkap penjahat yang masuk ke situ.”

Sejenak merenung, Ong Cun segera menghampiri seorang anakbuahnya dan membisiki. Anakbuah Kay-pang itupun segera melepas jubah luarnya dan suruh bujang itu memakainya. Begitu juga kain kerudung muka. Orang itu bendak membantah tetapi Ong Cun menyahut dengan lintangkan pedang pada Iehernya.

“Jangan kuatir, aku tentu akan melindungi dirimu, " katanya.

Ong Cun lalu suruh bujang yang sudah berubah menjadi orang berjubah dan berkerudung muka kain hitam itu menuju ke tengah ruang rahasia.

“ Awas, jangan main gila, kalau engkau berteriak minta tolong kepada mereka, sebelum mereka sempat datang, liu- yap-to (golok kecil setipis daun ) ini tentu sadah bersarang di tubuhmu," Ong Cun mengancam.

Bujang itu terpaksa melakukan perintah. Perlahan ia melangkah ke dalam ruangan. Tiba ditengah ruang, lantaipun berputar-putar dan seketika terdengar suara kelinting berbunyi.

“Ti loya, Tek loya. aku bujang gedung …, " serentak bujang itupun berteriak ketika sesosok tubuh melesat dari samping kanan. Cepat2 pula ia membuka kain kerudung penutup mukanya.

“Engkau …!” Hardik Kipas-besi Ti Kak yang mengenakan pakaian putih mirip dengan seorang sasterawan. Tinju yang sudah diangkat hendak dihantamkan, dihentikan pula.

“Mengapa engkau kemari !" hardik Lengan-baja Tek Kui yang bertubuh tinggi.

“Mereka menyelundup ke gedung ini!" teriak bujang itu seraya menuju ke arah tempat Ong Cun berenam sembunyi.

Berhamburan kedua penjaga itu lari ke luar tetapi mereka tak mendapatkan suatu apa.

“Ha, ha, ha " "Ha, ha, ha "

Tiba2 dari arah timur dan barat terdengar orang tertawa mengejek.

“Tek hiante, engkau kejar ke timur, aku yang ke barat,” seru Kipas besi Ti Kak, lalu ayunkan tubuh meluncur ke barat. Tek Kui pun segera loncat menuju ke timur.

Secepat kedua penjaga itu lenyap dalam kegelapan maka dari balik sebatang pohon yang tumbuh di halaman asrama itu, bermunculan empat orang. Ong Cun dan ketiga anakbuahnya.

Memang dengan cerdik Ong Cun telah mengatur siasat. la tahu bahwa bujang itu akan berteriak minta tolong kepada Ti Kak dan Teng Kui. Namun demikian sengaja ia melepas dia ke dalam ruangan.

Telah diperhitungkannya pula bahwa Ti Kak dan Tek Kui tentu akan mencari keluar. Maka ia perintahkan dua orang anak buahnya untuk memancing dan memencarkan kedua penjaga itu.

"Bawalah mereka sampai keluar gedung ini" demikian Ong Cun melengkapi perintahnya.

Dan setelah berhasil, maka bersama tiga orang anakbuah, Ong Cun muncul dari tempat persembunyian dan langsung menuju ke ruang rahasia itu.

"Oh. ampun tuan .. " serentak bujang itu gemetar dan menumprah di lantai.

"Engkau telah menghianati perintahku, seharusnya kupotong lehermu ”

"Ampun, tuan .. " "Dapat kuberi ampun apabila engkau mau mengerjakan perintahku ini. Bukalah lantai rahasia ini. Bukankah dibawahnya terdapat ruang rahasia di bawah tanah ?"

"Be ... nar ...”

"Lekas" bentak Ong Cun. Dan bujang itu pun menghampiri ke sudut ruang. Ketika menginjak lantai maka lantai diruang tengah segera bergerak-gerak dan terbukalah sebuah lubang.

"Hayo, antar kami turun ke bawah". Seru Ong Cun pula ketika melihat sebuah titian batu menurun ke bawah. Orang itu terpaksa menurut.

Ruang di bawah gelap sekali. Ong Cun menyulut korek untuk menyuluhi lorong yang ditempuhnya. Tak berapa lama mereka tiba disebuah ruang yang lebar dan tenang.

Ong Cun segera melihat beberapa kamar berderet- deret di ruang itu. Setiap kamar mempunyai sebuah jendela berterali besi. Ong Cun menghampiri salah sebuah kamar itu dan melihat Jin-sik sedang duduk bersila memejamkan mata. Rupanya dia tengah menyalurkan tenaga dalam.

“Jin-sik , ... " seru Ong Cun.

“Ong, thancu!" To Jin-sik berteriak kaget dan gembira sekali ketika melihat siapa yang datang.

“Engkau dijebloskan di ruang ini?" tanya Ong Cun.

“Ya," kata To Jin-sik, “kedua kongcu itu juga dimasukkan dalam samping kamarku."

“Apakah kita tak dapat menghancurkan pintu atau jendela ini?" tanya Ong Cun.

To Jin-sik gelengkan kepala: “Telah kucoba tetapi gagal. Pintu itu terbuat dari baja yang sangat tebal. Demikian pula dengan terali jendala. Kecuali dengan pedang pusaka, sukarlah untuk membongkarnya."

“ Baiklah, aku hendak menjenguk kedua kongcu itu dulu," kata Ong Cun terus menghampiri ke kamar sebelah. Di situ tampak sesosok tubuh seorang pemuda tengah berbaring membujur di lantai,

“ Nona Liok’' seru Ong Cun memanggil. Tetapi orang yang rebah itu tetap tak bergerak, “ah, dia tentu terluka atau tertutuk jalan darahnya hingga tak dapat bergerak."

Ong Cun memutuskan untuk mencoba mendobrak pintu...Tetapi tak berhasil. Kemudian ia mencoba kerahkan seluruh tenaganya untuk menarik terali besi jendela. Tetapi juga gagal. Terali besi yang sebesar lengan bayi itu terlalu kokoh.

Ia mengungkit sekeping baru dinding lalu dilontarkan ke arah nona itu. Rupanya lontaran tepat mengenai punggung Liok Sian-li sehingga ia sadar dari pingsan.

“ Nona Liok, aku Ong Cun yang datang," ketua Kay pang dari Pakkhia itu segera berseru.

Setelah sadar Sian-li hendak bergerak tetapi tak dapat. Jalan darahnya memang ditutuk sehingga ia tak dapat berkutik.

“ Maaf, Ong thancu, aku tak dapat berkutik," seru "dimanakah aku ini?"

“Nona telah dijebloskan dalam sebuah kamar di bawah tanah."

“Hancurkan pintunya, thancu!" “ Tidak dapat, nona. Pintu amat kokoh sekali, begitu pula terali jendela. Kecuali kalau kita mempunyai pedang pusaka, baru dapat membukanya.”

"Ah," tiba2 Sian li menghela napas kecewa "aku membekal sebatang pedang pusaka tetapi aku tak berdaya mengambilnya".

Ong Cun mengeluh tapi ia tak mendapat akal untuk menolong nona itu ataupun mengambit pedang pusaka yang terselip dipinggangnya.

"Jika demikian, aku hendak menjenguk ketempat kongcu", katanya kemudian seraya hendak angkat kaki.

"Tunggu dulu, thancu " tiba2 Sian-li berseru.

Setelah Ong Cun berhenti maka nona itu berkata lebih lanjut, "sukoku memiliki tenaga dalam yang luar biasa hebatnya. Aku menyaksikan sendiri hal itu. Tetapi anehnya dia tak mengerti silat maka sukar untuk menyuruhnya menggerakkan tenaga-dalam. Kita harus cari akal bagaimana supaya dia mau mengeluarkan tenaga dalamnya".

"Untuk apa ?" tanya Ong Cun,

"Dengan tenaga dalam yang hebat itu dia tentu mampu menjebol terali jerdela. Soalnya hanya bagaimana kita dapat menyuruh dia mengeluarkan tenaga-dalam saja"

"Akan kuberitahu dan kuajarkan cara2 mengerahkan tenaga-dalam itu kepadanya," kata Ong Cun.

Sian li menghela napas: “Ah, suko itu aneh sekali perangainya. Mungkin sukar untuk membujuknya".

Ong Cun terdiam. Dia memang tahu juga akaun tingkah laku yang aneh dari Blo'on. “Ada!" tiba2 Sian-li berseru sehingga Ong Cun buru2 menanyakan.

“Ya; aku mendapat akal. Hanya dengan cara itu kemungkinan besar kita dapat menyuruhnya mengerahkan tenaga-dalam."

“Cobalah nona katakan."

“Thancu harus membikin marah padanya. Buatlah supaya dia marah sekali sehingga dia terus mengeluarkan tenaga- dalam untuk menjebol terali jendela."

Ong Cun terkesiap lalu garuk2 kepala. Ia maklum mempunyai gambaran cara bagaimana dapat menimbulkan kemarahan pemuda blo'on itu.

“Begini thancu," kata Sian-li pula, “makilah dia sepuas-puas thancu lalu tantanglah dia berkelahi. Suruh dia keluar. Ajak dia bertaruh. Kalau ia mampu menjebolkan terali jendela dan keluar, Pangcu mengaku kalah tetapi kalau tidak mampu, dia yang kalah. Dia tentu panas hatinya dan melakukan hal itu."

,,Baiklah, akan kucoba melakukan rencana nona."

Tiba di kamar tempat Blo`on ditahan, dilihatnya pemuda itu deliki mata kepadanya. “Setan " seru Blo'on.

“Ya, aku memang setan yang hendak mencabut nyawamu!" Ong Cun sengaja membuat nada suaranya seram.

“Huh” , Blo’on mengeluh, “jangan, aku tak mau! "

“Ho, mau tak mau, nyawamu tentu kucabut. Apakah engkau mampu melawan aku!.”

“Siapa yang suruh engkau mencabut nyawaku?" teriak Blo'on.

“Giam-lo-ong si raja akherat !” “Huh, suruh Giam-lo-ong datang kemari. Biar kuhajar dia.

Masakan nyawa orang hendak dicabut seperti rumput saja."

Diam2 Ong Cun geli tetapi terpaksa ia menahan tertawanya.

“Ho, masakan Giam-lo-ong sudi datang ke sini. Engkau yang harus menghadap kepadanya.”

“Dimana tempatnya?” “Di akherat”.

“ Akherat? Tempat apa itu? "

“Akherat tempat nyawa dan roh manusia yang sudah mati. Kebanyakan yang di situ manusia yang sewaktu hidupnya berbuat jahat.”

“ Apa aku jahat? " tanya Blo’on.

“Terserah saja nanti bagaimana. Giam lo-ong yang memutuskan.”

“Aku hendak menghadap Giam-lo-ong. Kalau dia berani memutuskan aku seorang jahat, tentu akan kuhajar "

“Jangan bermulut besar, budak! Kalau berhadapan muka dengan Giam-lo-ong, belum2 engkau tentu sudah pingsan."

“ Mengapa?"

“ Huh, wajahnya jauh lebih menyeramkan dari aku. Sudahlah, tak perlu berkeras kepala. Serahkan nyawamu dengan baik2 atau nanti terpaka kucabut dengan paksa."

“Coba saja kalau engkau berani "

" Apakah engkau berani melawan aku? "

“Apa yang aku takuti? Jangankan engkau, Giam lo-ong sekalipun aku tak takut," Blo'on mulai panas. “Ho, apakah engkau benar2 hendak menghadap Giam-lo ong? "

“ Ya."

“ Kalau begitu engkau harus keluar dari kamar ini dan ikut aku menghadap Giam-lo-ong."

“Huh, jangan omong seenakmu sendiri, setan" gumam Blo'on, “bagaimana aku mampu menjebol pintu atau daun jendela yang berterali sekokoh itu?"

Ong Can tertawa mngejek.

“Kalau terali besi saja tak mampu menjebol, bagaimana engkau berani menentang Giam-lo-ong. Ketahuilah, Giam-lo- ong itu adalah dewa Pencabut Nyawa yang amat sakti. Tiada seorangpun yang mampu mengalahkannya."

Blo'on malu dan mulailah ia naik pitam. “Engkau kira aku tak mampu menjebol terali jendela itu?"

“Coba saja kalau memang mampu! " diam2 Ong Cun gembira dalam hati.

“Dan kalau memang mampu menjebol terali jendela ini, kubebaskan engkau dari kematian Engkau boleh hidup dan berkumpul lagi dengan sumoaymu."

“ Bailk, " Blo'on terus menghampiri terali jendela, merabanya dan leletkan lidah. Ia mengeluh karena putus asa. Bagaimana mungkin dapat menjebolkan terali besi itu?

Namun karena sudah berjanji, terpaksa Blo’onpun melakukan juga.

Dipegangnya terali besi lalu ditariknya.

“ Huh, " ia mendesuh ketika terali besi sedikitpun tak bergetar. “Kerahkan seluruh tenagamu, Engkau pasti dapat! " seru Ong Cun.

Tetapi anakmuda itu mengeluh: “Sudah tapi tetap tak berhasil. Rupanya terali besi ini luar biasa kokohnya."

“Cobalah engkau julurkan kedua tanganmu di antara sela terali itu”.

Blo'on menuruL Tiba2 Ong Cun mendekap kedua tangan pemuda itu lalu ditariknya sekuat tenaga.

“ Huh, engkau hendak mencelakai diriku”, Blo'on berteriak geram.

"Sudahlah, jangan banyak mulut. Kalau engkau mampu menjebol terali jendela ini engkau akan dtbebaskan dari kematian oleh Raja Akherat"

"Engkau harus pegang janji " teriak Blo'on, lalu singsingkan lengan baju, menghampiri terali jendela dan menghantam. bum ...

"Aduh .. Mak !" ia menjerit kesakitan seraya mendekap tangan kanannya.

"Banci, engkau Blo’on !" teriak Ong Cun membikin panas hati pemuda itu, "sakit begitu saja sudah berteriak menyebut emakmu.

"Bum ... aduh, m ... ", untuk kedua kalinya ia menghantam lagi tetapi kembali ia menjerit kesakitan. Untung ketika hendak mengatakan 'mak' ia teringat olok2 orang berbaju hitam itu. Maka buru2 hentikan teriakannya.

Karena dua pukulan itu, rasa sakit telah menimbulkan suatu reaksi dalam tubuhnya. Darah bergolak keras dan panas. semangatnyapun bergelora yang penting kemauan hatinyapun serempak bangkit. Ya. ia harus dapat menjebolkan terali besi itu.

Serentak ia maju lagi. Tetapi kali ini dia mengadu tinju dengan terali besi melainkan memegang kisi2 terali itu dengan kedua tangannya lalu dengan sekuat tenaga ditariknya !

Rangsang kemarahan telah memancarkan tenaga-dalam Ji ih cin kang yang sakti. Krak… , krek. krek ... terdengarlah seketika terali besi itu berderak-derak dan ber-guncang2. Bukan kisi besi yang kalah tetapi bingkainya yang bergerak- gerak meluncur kedalam. Makin lama makin menjulur, dan brakkkk ... akhirnya bobollah dindingnya karena bingkai terali jendela itu telah menggelincir keluar dalam pegangan Blo'on.

"Bagus, marl kubantu engkau keluar!”, seru Ong Cun seraya cepat mengulurkan tangan ke dalam lubang dinding. Maksudnya hendak menarik Blo'on keluar.

Plak ....

"TIdak perlu engkau bantu, aku dapat meluncur keluar sendiri" teriak. Blo’on seraya menampar tangan Ong Cun. Rupanya anak itu sudah naik darah.

"Aduh .. " Ong Cun menjerit dalam hati. Ia malu untuk mengeluarkan suara. Tamparan Blo'on kerasnya seperti tangan besi.

Blo'on heran mengapa ia memiliki tenaga yang scdemikian hebatnya, Bahkan iapun tak tahu apakah ia mampu lompat melintasi lubang dlnding itu atau tidak. Tetapi ia hanya mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia ingin loncat menerobos dinding itu dan harus bisa. Setelah lepaskan bingkai terali besi, ia segera enjot kakinya, kedua tangan diluruskan ke muka mengarah lubang itu, “Wut

… uh... bluk …”

Ia terkejut ketika tubuhnya melayang keatas dan menerobos lubang dinding itu, Karena meluncur cepat sekali, ia tak keburu memikir bagaimana kalau jatuh ke lantai, Tahu2 mukanya sudah hampir membentur lantai. Untung ia masih dapat menekankan kedua tangannya. Tetapi walaupun mukanya selamat, tubuhnya tetap terbanting ke Iantai.

Ong Cun tercengang menyaksikan kesaktian anakmuda itu, Belum sempat ia bertindak untuk menolong, tahu2 Blo`on sudah melenting bangun dan terus mencekik leher Ong Cun.

"Uh ... " Ong Cun terkejut. Karena tak dapat menghindar maka ia menggeliat mengendap ke bawah. Ia selamat dari cekikan. Blo`on lepaskan kain kerudung kepala dan mukanya tergenggam di tangan anak itu.

"Setan , . hai, engkau," teriak Blo`on ketika lihat wajah setan yang dicekiknya.

"Maaf kongcu, aku memang Ong Cun" kata thancu Kay- pang itu tersenyum. "marl kita lekas menolong nona Liok”.

"Hai, dimana dia ?" seru Blo`on terkejut.

"Itu, dia juga dimasukkan dalam kamar tahanan" kata Ong Cun seraya menghampiri ke kamar tempat Liok Sian-lt.

"Suko, engkau sudah keluar !”, seru Sian-Ii gembira.

"Apa-apaan engkau menggeletak dilantai itu? Hayo, bangun dan keluarlah " teriak Blo`on.

"Nona Liok tertutuk jalan-darahnya, dia tak dapat bergerak, kongcu," Ong Cun memberi keterangan. "Siapa yang menutuknya ?"

"Tentulah Cian-bin-long-kun atau orang2nya”. "Kurang ajar ...!"

"Hai. hendak kemana engkau kongcu ?" teriak Ong Cun seraya lari menghadang Blo'on yang hendak Iari keluar.

"Mencari Cian-bin-long-kun”.

"Ah, jangan kongcu" Ong Cun mencegah gopoh, "dia mempunyai banyak sekali jago2 pukul. Lebih balk kita tolong nona Liok dan To Jin sik.”

Blo’on tertegun lalu berseru . "Ya, benar. Kita tolong dulu mereka baru nanti menghajar Clan-bin-long-kun."

Kemudian.dia menghampiri terali jendela lalu menarik sekuat-kuatnya.

“ Huh .. - huh .... huh ... tobaaat” akhirnya karena jengkel ia menjerit.

Ong Cun kerutkan dahi. Ia heran juga mengapa tenaga sakti pemuda itu macet lagi. Tiba ia teringat akan pesan Sian-li bahwa Blo`on itu harus dibuat marah atau kesakitan baru tenaga-saktinya keluar.

“Kongcu, pukulIah terali itu! ” serunya serempak. Dengan menderita kasakitan, tentulah Blo’on akan marah.

“Apa? " teriak Blo`on, “ suruh memukul terali besi sebesar itu? Huh, lebih baik memukul engkau saja. Tanganku tak sakit."

Ong Cun banting2 kaki. Waktu amat berharga. Lebih cepat keluar dari ruang di bawah tanah, lebih baik. Tapi bagaimana dapat memangkitkan kemarahan anak blo`on itu? Setelah memutar otak, akhirnya ia mendapat akal.

,, Kongcu, mari kita berkelahi! " serunya. “Apa? Engkau mengajak berkelahi aku? " “Ya, " sahut Ong Cun, “dan pakai taruhan." “Apa taruhannya? " Blo'on makin heran.

“Siapa yang kalah, harus menarik terali jendela ini sampai jebol."

“Boleh," jawab Blo’on, “tetapi bagaimana yang dianggap kalah? "

“Siapa yang kepalanya kena ditabok sampai tiga kali, dia kalah."

“ Boleh, boleh," kata Blo`on. Tiba2 ia membelalakkan mata, “ tetapi aku tak dapat main silat, tentu saja kalah dengan engkau! "

Ong Cun tertawa walaupun hatinya mendongkol, sahutnya: “ Baiklah, engkau boleh nyerang, aku hanya menghindar saja."

“Tidak bisa!" bantah Blo`on, “kalau cara begitu, engkau tentu tak dapat menabok kepalaku.”

“ O, benar," sahut Ong Cun, “begini sajalah. Setiap kali aku akan menabok, tentu akan memberi tahu dulu supaya engkau dapat berjaga-jaga.”

“Hm, masih kurang adil ”

“ Sudahlah, kongcu, marl kita mulai saja kata Ong Cun seraya pasang sikap menantang serangan.”

Blo`on tak mau banyak cakap. Segera maju dan memukul. Sudah tentu dia hanya mukul angin saja walaupun Ong Cun hanya ngisar langkah sedikit ke belakang. Blo`on maju lagi dan lanjutkan pukulannya. Tetapi cukup dengan mundur setengah langkah, BIo`on memukul angin lagi. Untuk yang ketiga kalinyapun begitu. Pukulan Blo`on luput dan mengenai terali jendela.

“Aduh . " ia menjerit kesakitan. Dan seiring dengan itu, Ong Cunpun berseru: “Maaf kongcu, aku hendak menabok kepalamu."

Habis berkata, tiba2 terdengar bunyi gundul ditabok 'plak”. Dengan suatu gerak tubuh yang indah, tahu2 Ong Cun sudah menyelinap di belakang Blo`on dan menabok kepaIanya.

“Kurang ajar, dia menabok keras sekali sampai kepalaku pusing," diam2 Blo'on memaki dihati. Memang Ong Cun sengaja menabok keras Blo'on kesakitan dan marah. Serangan kedua dibuka oleh Blo`on dengan gaya katak menubruk nyamuk. Dia tak mengerti ilmu silat. Walaupun sudah pernah menerima ajaran ilmu pukulan dan gerak kaki dari kakek Kerbau Putih dan kakek Lo Kun, tetapi sejak dia muncul di kerajaan di bawah laut, jadilah dia seorang 'manusia baru’. Yang diingat hanya peristiwa sekarang dan yang dialami sejak itu. Pengalaman dulu2 dia sudah lupa.

Gaya 'katak menerkam nyamuk' dimainkan oleh Blo`on menurut seleranya sendiri. Kedua tangannya diangkat ke muka dan mulutnya dingangakan. Sebetulnya gerakan mulut itu tak perlu. Karena dia takkan menggigit. Tetapi supaya biar mirip dengan katak, maka diapun mengangakan moncongnya juga.

Ong Cun hendak tertawa tetapi terpaksa tahan gelinya. Hanya menghindar ke samping, dapatlah terkaman Blo'on itu dihindarinya. Blo'on mulai panas. Berputar tubuh ia loncat menerkam lagi. Kali ini gerakannya lebih cepat dan terkamannyapun lebih dahsyat.

Ong Cun terkejut. Untung ia masih dapat mengendap dan melejit lolos. Tetapi rambut kepalanya telah tersambar sedikit.

“Hm, rupanya dia mulai marah, " katanya dalam hati,  “Kalau kutabok lagi, dia tentu marah."

“Kongcu, aku hendak menabokmu lagi”, serunya terus loncat ke belakang Blo'on dan ayunkan tangannya, “plak“.

Kali ini tidak hanya kepalanya yang pusing tetapi matanyapun berkunang-kunang seperti mau keluar.

“ Aduh, kurang ajar, dia harus kubalas, dengan  menggerung keras seperti seekor harimau Blo`on berputar diri lalu menerjang.

Ong Cun terkejut sekali. Terjangan anak bukan olah2 gesitnya. Karena tak sempat menghindar, ia enjot kakinya dan melambung ke atas hingga melampaui kepala Blo`on, dengan berseru : "Tabokan yang ketiga !" Plak ”

Blo`on terhuyung-huyung mau jatuh. Untung tangannya dapat mendekap terali jendela. Untuk menahan sakit. Tanpa disadari ia telah menggoncang-goncang kisi2 besi itu sekuat- kuatnya.

“Krak, krek, krek ... bum !”

Rasa sakit dan marah telah memancarkan tenaga-sakti Ji- ib-cin-keng dalam tubuh Blo'on. Dan sekali tenaga sakti itu memancar, kekuatannya memang tiada taranya. Bingkai terali jendela itupun jebol dan terbukalah sebuah lubang. Menggunakan kesempatan Blo’on masih ter- mangu2. Ong Cun cepat loncat menerobos ke dalam lubang dinding untuk menolong Sian-li.

"Oh, engkau berhasil membuatnya marah, thancu?" tanya Sian-li.

"Ya. tetapi dia tentu akan mencari balas ke padaku".

"Ah. jangan kuatir, nanti aku yang memberi keterangan kepada suko".

Setelah dibuka jalan-darahnya, barulah nona itu dapat menggeliat bangun. Ong Cun segera mengajaknya keluar,

"Tak perlu harus loncat dari lubang dinding itu. thancu," kata Sian-li seraya mencabut pedang pusaka Pek liong- kiam lalu membacok pintu besi itu.

“Tring, tring”, pintu yang terbuat dari besi tebal ternyata dapat dibacok seperti memapas tanah liat, tak berapa lama, pintupun terbuka.

"Suko, mari kita tolong paman Jin-sik," cepat Sian-li menyambar lengan Blo'on dan diajak menggempur kamar tahanan To Jia-sik.

Blo'on memang maslh marah kepada Ong Cun. Tetapi karena tangannya ditarik oleh sumoaynya, iapun lupa pada Ong Cun.

Dengan pedang pusaka Pek liong-kiam yang luar biasa tajamnya, pintu dapat dihancurkan dan To Jin-sik pun keluar.

"Hayo, antarkan kita keluar." perintah Ong Cun kepada bujang tadi. Selama berlangsung jebolan kamar tahanan, orang itu hanya terlongong-longong kesima. Mereka segera tinggalkan kamar dibawah tanah itu dan  naik keatas. Tepat pada saat keluar, kedua penjaga tadi, Ti Kak dan Tek Kui berlarian datang.

"Bangsat, kalian berani membongkar penjara”, teriak kedua penjaga itu seraya maju menerjang.

Ong Cun terkejut, Ia lupa untuk memakai kerudung muka yang dibawa Blo’on. Berbahaya kalau dirinya diketahui orang dari Cian-bin-longkun.

Serentak ia maju menyongsong Ti Kak. Sedang Sian-lipun mendahului loncat menyerang Tek Kui.

"Bukankah engkau . , .. ," begitu melihat Ong Cun. Kipas- besi Ti Kak berseru kaget. Tetapi sebelum ia sempat melanjutkan kata-katanya, Ong Cun sudah menyerangnya dengan sebuah jurus sakti.

Ong Cun adalah kedua Kay-pang cabang Pakkhia. Sudah tentu ia memiliki ilmu silat yang sakti. la termasyhur dengan tutukan jarinya yang disebut It-ci sin-kang. Tenaga-sakti sebuah jari. Sekalipun belum mencapai tingkat sempurna, tapi ia mampu melancarkan tutukan jari pada jarak beberapa langkah.

Sebuah serangan dengan tangan yang mengancam kepala, menyebabkan Ti Kak menghindar ke samping. Tetapi dia telah termakan perangkap Ong Cun. Secepat kilat, jari ketua Kay- Pang itu menusuk dadanya.

Ti Kak terkejut. Walaupun baru digerakkan tapi ternyata jari pengemis itu dapat memancarkan angin tenaga yang tajam sekali. Ti kak tak sempat manghindar dan terhuyung ke belakang. Sebelum ia dapat memperbaiki kakinya, Ong-Cun sudah menyusulnya dengan jurus tendangan Lian-hoan thui atau tendangan berantai. “Wut”, tendangan pertama masih sempat dihindari dengan sebuah geliatan yang tepat. Tendangan kedua tetap masih dapat dielakkan dengan miringkan tubuh. Tetapi tendangan ketiga, tak mungkin lagi Ti Kak selamat.

Lian-hoan-thui merupakan ilmu tendangan berantai yang dilancarkan secara ber-tubi2. Satu-satunya jalan hanya dihindari dengan loncat jauh ke belakang. Tetapi Ti Kak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan hal itu. Dia tak sempat menggunakan senjata kipas besinya pula. Bagai layang2 putus tali maka tubuh si kipas besi terlempar keatas dan jatuh terbanting di lantai.

Sebelum ia sempat berkutik, Ong Cun sudah loncat memburu dan menutukkan jarinya dari jauh.

“Hek..” terdengar Ti Kak menguak tertahan dan seketika ia tak dapat berkutik lagi.

Ketika Ong Cun berpaling ternyata Sian-li pun hampir dapat menyelesaikan musuhnya.

Lengan-baja Tek Kui mengandalkan pada kesaktian lengannya yang sekeras baja. Apalagi lawannya hanya seorang dara yang tak terkenal. Ia agak tak memandang mata.

Tetapi alangkah kejutnya ketika pedang nona itu telah mengurung dirinya begitu rupa.

“Enyah budak hina,” karena jengkel Tek Kui menggembor keras dan nekad menampar pedang lawan dengan tangannya.

Pertama, Lengan-besi Tek Kui terlalu mengandalkan pada lengannya yang keras. Kedua, dia tidak tahu bahwa pedang yang dimainkan Sian-li itu adalah sebuah pedang pusaka kuno yang luar biasa tajamnya. "Aduh ... " ketika Sian-li menyongsong dengan tabasan, seketika pergelangan tangan Tek Kui terpapas kutung. Ia menjerit kesakitan dan cepat menyurut mundur. Tetapi selincah kijang Sian li sudah loncat untuk menusuk.

Karena gugup, Tek Kui loncat ke udara. Tetapi Sian-lipun tak kalah cepatnya. Begitu lawan melambung, iapun enjot tubuhnya dan mambabat kedua kaki lawan,..cret . .

"Auh…. " Tek Kui menjerit ngeri dan disusul dengan jatuhnya tubuh ke lantai. Sian-li pun sudah siap untuk menyelesaikannya dengan sebuah tusukan lagi.

"Cukup. nona Liok," seru Ong Cun. "dia sudah mati.”

Sebenarnya Tek Kui bukan seorang jago lemah, tetapi ia belum tahu siapa Sian-li. Kesombongan hatinya karena tak memandang mata kepada lawan, harus dibayar dengan jiwanya.

Segera Ong Cun menemui ketiga anakbuahnya yang masih tertinggal di lain ruangan.

"Thancu, ternyata di ruang depan sedang berlangsung pertempuran dahsyat." kata salah seorang dari mereka.

"Apakah engkau menyelidiki ke sana ?" "Ya." sahut anakbuah Kaypang.

"Siapa yang bertempur ?"

"Seorang rahib dengan seorang paderi lhama”. "Dimana Cian bin-long-kun ?"

"Dia dan berpuluh jago silat sebawahannya mengepung ruangan itu." Ong Cun merenung. Sesaat kemudian ia berkata : "Sekarang lebih baik kita keluar dulu mencari tempat persembunyian. Agar nona Bok ini dapat kita selamatkan".

Mereka segera keluar dan mencari semak belukar yang berada diluar lingkungan gedung Cian-bin long-kun.

"Harap kalian tunggu dulu disini, aku hendak masuk lagi ke dalam gedung Cian bin-long kun untuk menyelidiki siapakah yang bertempur itu,” kata ketua Kay-pang Hu pula.

"Perlu apa thancu hendak kesana ?" tanya Sian-li.

"Jika tetamu yang dikepung itu tokoh aliran Ceng pay atau bangsa hiapsu (pendekar utama), aku akan menolongnya".

"Jika begitu aku ikut" seru Sian-li.

Ong Cun sebenarnya tak keberatan apabila gadis yang saat itu masih menyamar sebagai seorang pemuda, ikut padanya. Ia tahu Sian-li berkepandaian tinggi mempunyai pedang pusaka dan cerdas. Tetapi ia kuatir, Blo'on nanti ikut juga maka ia tolak permintaan nona itu.

"Begini sajalah, nona Liok." kata Ong Cun, "kita bagi tugas, nona Liok dan kongcu antarkan nona Bok ini pulang kerumahnya. Aku hendak menunggu sampai kedua anakbuahku tadi datang baru nanti kembali ke markas".

Sian-li setuju. Segera mereka berempat berangkat mengantarkan nona Bok pulang.

"Kalian tunggu disini" kata Ong Cin kepada ketiga anakbuahnya, "aku hendak masuk ke dalam gedung."

Dengan ilmu ginkangnya yang tinggi ketua Kaypang cabang Pakkhia yang mengenakan pakaian serba hitam dan memakai kerudung muka hitam itu, dengan langkah yang ringan dapat menusup kedalam ruang depan. Ia loncat ke atas atap dan mendekam di wuwungan.

Membuka sebuah genteng, lalu ia melongok ke bawah.

Ia terkejut menyaksikan pemandangan di bawah. Apa yang dilaporkan anakbuahnya tadi memang benar. Di tengah ruang depan sedang berlangsung pertempuran sengit. Dimana seorang rahib sedang bertempur lawan seorang paderi lhama dan disaksikan oleh berpuluh-puluh jago silat yang bekerja pada Cian-bin-long-kun.

Ia tak tahu siapakah rahib dan paderi lhama itu. Keduanya bertempur sedemikian rapat dan cepat sehingga terbungkus oleh sinar senjata mereka.

“Tring, tring ...”

Terdengar dering tajam sekali dan tiba2 dua sosok tabuh itu loncat mundur, Rahib itu ternyata memegang pedang di tangan kanan dan batang hud-tim (kebut pertapaan ) di tangan kiri.

Bermula dia hanya menggunakan pedang tapi pada detik2 yang tegang, tiba2 Hong Sat koayceng telah mencuri sebuah kesempatan menghantam dengan tangan kirinya. Walaupun sempat menghindar tetapi bahu kanan Ceng Sian suthay terserempet angin pukulan dan terasa kesemutan.

Pengalaman itu membuat Ceng Sian makin berhati-hati. la tahu bahwa lawan memiliki pukulan Hong sat cuing yang sakti. Maka pun segera mencabut hud-tim dan dipakainya di tangan kiri. Kebut itu perlu untuk menjaga kemungkinan lawan akan melancarkan pukulan tangan kiri lagi.

Hong Sat koayceng tengah memeriksa tasbihnya. Didapatnya tengkorak pada persambungan kalung tasbih itu, berhias guratan pedang. Kini dia tahu bahwa pedang Ceng Sian suthay itu sebuah pedang pusaka. "Ilmu pedang suthay sungguh hebat. Demikian dengan pedang suthay," tiba2 paderi lhama itu berseru, "ha, ha, ha

...."

Ceng Sian suthay terkesiap, tegurnya : "Mengapa toheng tertawa ?"

"Ya, mengapa aku tak layak tertawa ?" balas paderi lhama Itu setengah mengejek, "suthay seorang ketua partai persilatan yang ternama, mengapa suthay masih suka bertindak secara bersembunyi ?"

Ceng Sian suthay makin dalam mengerutkan dahinya : "Toheng, aku tak mengerti apa yang engkau ucapkan. Dalam hal apa aku main sembunyi?”.

"Ah, kiranya suthay pasti sudah tahu sendiri.” "Katakanlah."

"Jika suthay membawa pembantu, mengapa tidak suruh dia masuk kemari, jangan hanya bersembunyi di wuwungan rumah saja? Apakah suruh dia lepaskan senjata-rahasia dari atas ?"

"Toheng .... I" Ceng Sian suthay berteriak kaget. Demikian juga Cian-bin-long-kun dan segenap jago2 yang berada diruang itu, gempar seketika.

Ong Cun sendiri seperti disambar petir kejutnya. Lebih terkejut lagi ketika tiba2 setiup angin berhembus ke atas dan “brak ...” beberapa genting yang ditempatinya ambrol, jatuh berhamburan ke bawah.

Untunglah ketua Kaypang itu amat cekatan. Dia sudah cepat membuang tubuh kebelakang dan lari. Lengan kirinya terasa tertabur oleh beberapa butir benda halus dan terasa linu. Tanpa menunggu perintah, dua orang jago silat cepat loncat keluar ruang dan terus apungkan tubuh ke atas genteng. Tiba di puncak wuwungan, mereka memandang ke empat penjuru tapi tak tampak barang suatu apa yang mencurigakan. Akhirnya terpaksa mereka kembali dan melapor pada Hong Sat koayceng.

"Pantas kalau kalian tak mampu mengejar. Masakan Ceng Sian suthay membawa kawan atau murid yang tak sakti ?" Hong Sat koayceng memberi ulasan.

Merah padam muka rahib ketua Kun lun-pay. Dia merasa tak membawa seorang kawan pun. “Siapakah yang sembunyi di atas wuwungan rumah itu?”.

"Akan kucari orang itu dan akan kuserahkan kepada toheng. Aku tak merasa membawa kawan!" Ceng Sian suthay terus hendak ayunkan langkah.

"Tak perlu suthay," cegah Hong Sat koayceng, "lebih baik kita selesaikan saja pertempuran yang belum habis ini".

Habis berkata paderi lhama itu terus mengambil sikap dan mulai menyerang, Ceng Sian menyambut dengan geram sekali. la mainkan pedangnya dengan jurus Yan sik-kiam, jurus terakhir dari ilmu -pedang Ngo-heng-kiam bagian Tho-in-soh (unsur tanah). Sesuai dengan sifat padas, maka permainan pedang Ceng Sian pun berobah agak keras, apalagi setelah diketahui bahwa pedangnya berani beradu dengan kalung tasbih lawan.

Apabila pertempuran masih berlangsung keras, maka Ong Cun pun sudah kembali ke tempat anakbuahnya. Ternyata kedua orang anakbuah yang disuruh memancing Ti Kok dan Tek lui tadi, sudah kembali. "Apakah thancu terluka?" salah seorang anak-buahnya bertanya ketika melihat Ong Cun menekap lengan kirinya.

"Mungkin". Ong Cun lalu memeriksa lengannya. Ternyata terdapat tiga bintik merah yang saat itu sudah mulai mengandung air.

"Ah, pasir kuning beracun," diam2 Ong Cun menarik kesimpulan lalu mengeluarkan obat. Pil penawar racun dan obat bubuk untuk dilumurkan pada bintik merah itu.

"Kalian berlima masuk ke gedung Cian-binlong-kun dan lepaskan api. Bakar empat penjuru gedung itu terutama bagian belakang. Aku akan beristirahat sebentar disini untuk menghalau racun pada lenganku ini," ia memberi perintah.

Kelima anak-murid Kay-pang itu segera berpencaran masuk ke gedung lagi. Tak berapa lama api berkobar-kobar di segenap penjuru gedung.

"Mari kita kembali ke markas," kata Ong Cun setelah kelima anakbuahnya datang.

Mereka masih sempat mendengar suara hiruk pikuk yang gempar dari orang2 dalam gedung Cian- bin-long- kun.

"Gedung dibakar orang ! Cepat padamkan api cepaaat

…….!”

^oodwoo^
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar