Pendekar Bloon Jilid 12 Banci

Jilid 12 Banci

Melihat tingkah laku si Blo'on, kakek Lo Kun dan kakek Keruan Putih tertawa gelak-gelak. Suatu hal yang makin membuat Bloon merah muka-nya.

"Anak goblok, anak tolol " seru kakek Lo Kun "mengapa diberi hidangan lezar engkau tak mau makan ?”

"Heh. heh. heh" Kakek Kerbau Putih hanya tertawa mengekeh. "tuh, rasakan bagaimana enaknya kalau dipeluk oleh perempuan genit" “Sia-sia," seru Blo’on, "perempuan tak tahu malu, Masakan celana orang laki mau dibuka"

'Hayo sekarang engkau pakai pakaian bujang muda itu !" seru kakek Kerbau Putih.

Blo'on kerutkan dahi.

"Ya, agar kita jadi perempuan semua dan lekas keluar dari sarang ini," seru kakek Lo Kun.

Terpaksa Blo’on menurut. Tak lama jadilah dia seorang bujang perempuan muda. Pipinyapun dilumuri kapur tembok yang tebal.

"Celaka," tiba-tiba kakek Lo Kun berseru. "Mengapa ?" tanya Blo'on ikut kaget.

"Bujang perempuan itu memelihara rambut dan engkau gundul. Masakan ada perempuan gundul seperti engkau ?"

"Benar." seru Kakek Kerbau Putih, "ai. mengapa orang masih semuda engkau suka gundul?”

"Bukan karena suka gundul tetapi memana tak dapat tumbuh rambutnya. Inilah gara-gara orang-orang Hoa-san pay.” gerutu Blo'on. "lalu bagaimana ? Kalau begitu lebih baik tidak jadi perempuan saja."

“Tidak bisa !" kakek Kerbau Putih berkeras

'"Lalu bagaimana dengan rambutku ini ?" tanya Bloon "Beres !" tiba-tiba kakek Lo Kun berseru lalu lari

menghampiri bujang muda yang masih pingsan, itu. Konde rambut bujang itu terus dipotongnya Kemudian ia menghampiri ke tempat Bloon, 'Nih pakailah rambutnya."

Blo'on terlongong-longong. ""Beginilah cara memakainya," tiba kakek Lo Kun terus memasangkan gumpalan rambut itu ke kepala Blo’on tetapi konde rambut itu meluncur jatuh.

“Eh. aneh. mengapa tak dapat melekat” kakek Lo Kun heran.

"Gob!ok” timpal kakek Kerbau Putih, "bagaimana mungkin rambut akan melekat di kepula. kalau tidak dilekatkan?"

''Bagaimana caranya?" tanya kakek Lo Kun.

"Ai. engkau ini memang seorang kakek yang bodoh.

Sudah.tentu dengan perekat." kata kakek Kerbau Putih.

"Setan kerbau, jangan omong seenakmu sendiri balas kakek Lo Kun "disini mana ada perekat ?"

"Mengapa tak ada ?" jawab kakek Kerbau Putih, "bukankah tadi masih, ada sisa bubur? Nah, kita manfaatkan sisa bubur itu."

Kakek Kerbau Putih terus menghampiri ke tempat mangkuk. Memang masih terdapat sisa bubur. Ia mengumpulkan sisa bubur itu lalu menghampiri ke tempat Blo’on lagi.

"Duduklah, dan jangan goyang," perintahnya kepada Blo'on. Ketika anak itu duduk, kepalanya terus dilumuri sisa bubur, diusap-usap sampai rata. Setelah itu ia mengambil konde rambut lalu dipajangkan di kepala Blo'on.

"Setelah kering konde rambut tentu akan melekat " kata kakek Kerbau Pulih dengan bangga. Demikian setelah masing- masing berdandan dan menyaru seperti ketiga bujang perempuan, mereka terus keluar.

"Eh, bagaimana kalau ketiga bujang itu bangun" tanya Blo’on. "Sudah, keikat semua" kata kakek Kerbau Putih

Sebelurn pergi, mereka menutup pintu batu dahulu. Setelah itu mereka berjalan menuju ke sebuah bangunan. Mereka tak tahu keadaan tempatitu, Sambil berjalan, mereka memandang kian kemari.

Tiba-Tiba mereka dikejutkan oleh munculnya seorang perempuan yang terus meneriakinya : "Hai mengapa

kalian bertiga enak-enak jalan-jalan ? Hayo. lekas bantu aku menyediakan arak."

Dan tanpa menunggu jawaban, perempuan itupun terus menuju kebelakang gedung. Blo’on dan kedua kakek terpaksa mengikuti,

Ternyata mereka tiba dibagian dapur. Perempuan itupun salah seorang bujang perempuan markas Partai Melati,

"Malam ini empat orang nona kita, hendak bersenang- senang. Kita diperintah untuk mengantarkan hidangan dan arak wangi," kata bujang perempuan itu.

'O." kakek Kerbau Putih mendesah singkat "lalu bagaimana?"

"Engkau ci Bwe" kata bujang perempuan itu kepada kakek Lo Kun yang menyaru sebagai bujang perempuan tua yang bernama Gu Bwe, “mengantarkan arak ke ruang Lok-hun tong." "Uh," kakek Lo Kun mendesuh, “siapa disitu,?”

"Eh, ci Bwe, mengapa malam mi suaramu berobah parau?" tiba-tiba bujang perempuan itu bertanya "Anu , . a . . entah .. mungkin masuk angin” cari alasan.

".O. minum arak. supaya badanmu hangat dan Sembuh dari masuk angin," kata bujang perempuan itu.

"Ya, benar," kata kakek Lo Kun terus menyambar sebuah guci arak ialu diteguknya sampai habis.

Blo'on dan kakek Kerbau Pulih terkejut. Hendak mencegah tetapi sudah tak keburu lagi.

“Eh, ci Bwe hebat benar minummu malam ini." seru bujang perempuan itu, "biasanya secawan saja engkau sudah pusing, mengapa malam ini engkau dapat menghabiskan seguci ?"

Lo Kun gelagapan : "Anu . . badanku meriang sekali dan kepingin minum arak . . "

Untunglah bujang perempuan itu tak mau bertanya lebih lanjut. Ia berkata : "Dan engkau ci An" katanya kepada kakek Kerbau Putih. “Engkau yang mengantar ke ruang Bi hun-tong. Disitu nona Sui Kim-han hendak merayu anakmuda bagus yang ditawan kemarin."

“Ya." sahut kakek Kerbau Putih singkat.

"Nanti dulu." kata kakek Lo Kun tiba-tiba. "Siapa yang harus diantari arak itu ?"

"Nona Ting San-hoa bersama putera tihu dan Hong-yang- hu. Rupanya nona San-hoa jatuh hati dengan pemuda itu. Sejak pemuda itu dibawa kemari, selalu nona San hoa saja yang menemani yang lain tidak diperkenankan.

"Uh” Lo Kun mendengus. "Uh bagaimana ?" tiba-tiba bujang perempuan itu menegas. "Tidak apa-apa” jawab Lo Kun.

"Mengapa engkau mendengus ?" "Apa tidak boleh ?” balas Lo Kun,

"Eh. ci Bwe. mengapa malam ini engkau berobah galak? Biasanya engkau ceriwis dan genit, mengapa malam ini engkau begitu benci? dan dingin?”

"Masuk angin!" karena jengkel Lo Kun membentak.

"Ya, ya, sudahlah, jangan galak-galak "' kata bujang perempuan itu tertawa. "dan engkau A moy antarkan arak kepada nona Siu-lan diruang Hui-hun tong Dia sedang akan menundukkan Seorang guru silat yang bekerja pada tihu Hong-yang-hu,"

Tiada penyahutan sama sekali.

'Hai. engkau dengar tidak A-moy ?' tiba-tiba bujang perempuan itu memandang Blo'on.

"Siapa ??' Blo'on terbeliak kaget,

"Siapa lagi kalau bukan engkau ? Bukankah engkau bernama A-moy ?”

"Uh. ya, ya " Blo'on menyeringai.

"Eh. A-moy, mengapa malam ini engkau jadi aneh” tegur bujang perempuan itu.

"Aneh ? Apa yang aneh ?”

'"Engkau seperti orang tolol. Masak kupanggil namamu, engkau diam saja. Apa engkau juga sakit ?"

"Ya, tadi telingaku kemasukan semut. Sampai lama semut itu baru mau keluar," kata Blo'on sekenanya saja. Bujang perempuan itu tertawa : "Hi, hi. salahmu sendiri mengapa menaruh telinga disembarang tempat."

"Dan engkau sendiri mengantar kemana ?" cepat kakek Kerbau Putih bertanya agar bujang perempuan itu jangan mendesak Blo'on dengan macam-macam pertanyaan, ia kuatir anak itu tak dapat menjawab dan ketahuan belangnya.

"Aku ?" bujang perempuan yang berumur tigapuiuhan lebih itu tertawa, "aku akan mengantar arak ke ruang Biau-hun- tong."'

"Siapa yang berada disitu ?'

"Nona Hun-hun ..." kata bujang itu, "ah kasihan nona Hun- hun. Dia yang mendapatkan seorang pemuda tampan, tetapi pemuda itu masih disimpan oleh nona San-hoa. Dan sebagai penghibur, nona Hun-hun diperbolehkan melayani seorang imam tua ..."

"Imam tua " kakek Kerbau Putih terkejut.

"Ya, imam tua yang datang bersama guru silat kantor tihu Hong-yang Itu ,dan seorang pemuda cakap."

"Mengapa engkau memilih mengantar arak kesana ?" tanya kakek Kerbau Putih pula.

"Biarlah, aku kasihan pada nona Hun-hun” sahut bujang perempuan itu, "hayo, lekas antar..Nanti nona-nona itu marah kalau menunggu terlalu lama".

Bujang perempuan itu terus membawa sebuah, penampan berisi guci arak, cawan dan manisan. Ia tak menghiraukan ketiga kawannya itu. terus mendahului keluar.

Kedua kakek dan Blo'on bingung, Mereka segera mencari penampan dan tempat simpanan arak "Hola. rejeki nomplok," seru kakek Lo Kun ketika mendapatkan tempat simpanan arak itu penuh dengan guci arak. Ia mengambil seguci arak membuka sumbatnya dan : "Amboi , . . sungguh wangi benar arak ini , , . " terus diteguknya dengan nikmat sekali.

"Wah. kalau begini naga-naganya, memang lebih enak jadi bujang perempuan disini." kakek Lo Kun masih mengoceh.

"Setan pendek" tiba-tiba kakek Kerbau Putih berseru cemas "jangan gila-gilaan. Kalau engkau sampai mabuk, engkau tentu ketahuan dan tentu akan dijebloskan dalam tahanan lagi. Hayo, lekas kita mengantar arak."

Demikian ketiganya setelah mengisi penampan dengan guci dan cawan arak serta sepiring manisan, merekapun terus melangkah keluar.

"Hai ..." tiba-tiba Blo'on berseru kaget.."kemana kita harus mengantarkan arak ini ?"

"Mati . . .!" kakek Lo Kun berhenti serentak

“Ya, kemanakah kita harus mencari nona-nona itu ?"

Akhirnya kakek Kerbau Putih yang memecahkan kesulitan itu. katanya : "Mari kita jalan terus. Asal melihat ruangan kita masuki saja."

"Ya, ya benar begitu." kata kakek Lo Kun.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan lagi menyusur lorong dalam sebuah bangunan gedung besar.

Tiba-Tiba mereka mendengar suara seorang gadis tertawa : "Ai. engkoh Pik-giam. mengapa malam ini engkau begitu lesu

?"

"Ah, nona Ting." terdengar seorang pemuda menghela napas, "aku benar-benar letih sekali. Tenagaku serasa habis .“ Nona itu tertawa mengikik : "Ah, engkau si orang pemuda yang gagah, masakan baru setengah bulan saja sudah loyo ?"

"Ya, tetapi kalau tiap malam aku harus bermain dua tiga kali mana aku kuat ?" suara pemuda itu agak penasaran.

Si nona tertawa puia : "Ya ya baiklah, Malam ini kita cuma satu kali saja . . "

"Tetapi nona Tin" seru pemuda itu, "aku benar-benar sudah tak kuat. Sukalah nona memberi istirahat barang dua tiga malam saja."

"Dua tiga malam ?" menegas nona itu, "ah jangan begitu, engkoh Pik-giam. Apakah engkau tak kasihan kepadaku?"

Mendengar itu Kakek Putih berbisik : "Rupanya yang berada dalam kamar ini nona Ting bersama Pik-giam. Kalau tak salah. nona Ting itu tentu Ting San-hoa dan Pik-giam itu. tentulah Kho Pik-giam. putera tihu dari Hong yang-hu itu."

Kakek Lo Kun dan Blo'on mengangguk.

"Baiklah aku saja yang masuk. Nona itu bengis dan ganas, kalau engkau berdua sampai ketahuan tentu dibunuh. Aku dapat melihat gelagat".kata kakek Kerbau Putih.

"Lalu aku ?' tanya kakek Lo Kun dan Blo'on serempak. "Engkau berdua terus jalan kernuka. Pada setiap kamar,

dengarkan pembicaraan orang di dalamnya, baru kalian boleh masuk" kala kakek Kerbau Putih, "nanti berkumpul di dapur lagi."

Kakek Lo Kun dan B!o’on terus lanjutkan berjaan kernuka dan kakek Kerbau Putih lalu mengetuk pintu.

“Siapa ?" terdengar suara si nona.

"Bujang yang mengantar arak," sahut kakek Kerbau Putih. "O. masuklah." seru nona itu pula.

Kakek Kerbau Putih segera mendorong daun pintu dan melangkah masuk, "ini araknya nona " ia segera menaruhkan arak di atas meja dan terus hendak berlalu.

"Tunggu dulu" seru nona itu yang bukan lain Ting San hoa murid pertama Hu Yong siancu. Ia menghampiri meja. mengambil guci arak dan menciumnya : "Ah, kurang wangi. Kemarilah engkau !" ia melambai pada kakek kerbau Putih, Setelah kakek Kerbau Putih menghampiri, nona itu segera membisiki ke dekat telinganya : "Ganti arak ini dengan arak yang lebih wangi. Dan camppurilah dengan bubuk Bi-hun jiong-sing-tan, tahu'?"

"Dimana tempatnya, nona ?" kakek Kerbau Putih terkejut. "Engkau tahu kamarku ?' tanya nona itu.

"Belum"

“Celaka." nona Ting San-hoa banting-banting kaki karena jengkel '"engkau tunggu dulu disini."

Kakek Kerbau Putih mengiakan. Setelah San hoa pergi, cepat kakek Kerbau Putih menghampiri pemuda itu : "Apakah engkau bukan Kho Pik-gi-am anak tihu dan Hong-yang-hu ? '

Pemuda itu terkejut : "Hah mengapa engkau tahu ?"

"St, jangan keras-keras waktu berharga sekali. Sebentar  lagi nona itu tentu akan kembali " kata kakek Kerbau Putih, "aku bukah bujang di sini tetapi juga seorang tawanan yang menyaru jadi bujang. Bujang perempuan disini sudah kuringkus dan kulucuti pakaiannya."

"O," pemuda itu mendesuh kaget. "Nona itu hendak mengambil obat suruh aku mencampurkan ke dalam arak, kuduga obat itu tentu obat perangsang . . '

"Uh," keluh pemuda itu. "aku tentu lekas mati karena kehabisan tenaga."

"Jangan takut" kata kakek Kerbau Putih "aku membawa obat kuat dan dapat memulihkan tenagamu dalam, waktu singkat."

Ia mengeluarkan pil merah, katanya : "Minumlah, tenagamu tentu pulih"

Pemuda itu masih bersangsi : "Tetapi bagaimana dengan obat perangsang yang pasti disuruhnya aku minum itu ?'

'Jangan takut" kata kakek Kerbau Putih pula "dia tentu suruh aku yang mencampurkan ke dalam arak. Sudah tentu takkan kucampuikan dan akan kuganti dengan lain obat"

"O, baiklah" kata pemuda itu terus minum pil merah dan menghaturkan terima kasih.

"St. kudengar langkah orang mendatangi, tentu nona itu. Jangan lupa. setelah tenagamu pulih. Engkau harus pura-pura menuruti kemauannya. Begitu ada kesempatan engkau harus cepat meringkusnya, tahu ?"

Pemuda itu mengiakan.

"Hai. kalian omong-omong apa saja itu ?' seru seorang nona dan masuklah Ting San-hoa kedalam ruangan.

"Ai, nona ini masakan mencemburui aku. perempuan tua yang begini jelek. Masakan kongcu ”

“Tetapi kudengar kalian bicara asyik sekali. Apa saja yang kalian bicarakan ?" masih San-hoa mendesak. "Ah. tidak omong apa-apa" kata kakek Kerbau Putih. "hanya kongcu mengatakan ingin lekas mati saja."

"Mengapa ?" San-hoa terkejut.

"Dia rasakan tulang tulangnya seperti kering dan tenaganya habis, badannya lemah"

"O. tak apa. Nanti setelah minum arak obat dia tentu sehat kembali." kala San-hoa tertawa. Kemudian ia mendorong kakek Kerbau Putih, "lekas ambilkan arak Sari Melati."

Dalam mendorong itu, cepat sekali San hoa sudah susupkan bungkusan bubuk obat ke tangan kakek Kerbau Putih. Kakek Kerbau Putihpun segera keluar.

Tiba di lorong yang gelap kakek Kerbau Putih membuang bungkusan obat dari San-hoa itu lalu menuju ke dapur, ia memilih arak yang wangi lain memasukkan obat yang dibekalnya. Obat itu berkhasiat menyegarkan semangat.

"Nih. nona. arak San Melati yang nona perintahkan itu." katanya setelah kembali ke kamar.

San-hoa tersenyum girang dan menyambut. Lebih dulu ia suruh kakek Kerbau Putih, keluar. Tetapi kakek itu bersembunyi diluar kamar untuk mendengarkan pembicaraan mereka.

“Ai. mari engkoh, minumlah arak Sari Melati buatan kita  ini." kata San hoa seraya mengangsurkan cawan, “arak ini dibuat dari sari bunga Melati, harum dqn menyegarkan Semangat, memulihkan tenaga "

"Ah. tidak nona.” Pik-gi am pura-pura menolak. Walaupun  ia percaya kepada kakek Kerbau Putih, tetapi ia harus menjalankan siasat juga agar nona itu tak menaruh curiga, "aku tak minta apa-apa kecuali minta libur malam ini. Biarlah aku beristirahat agar tenagaku kembali. Besok aku tentu akan melayani nona lagi sepuas puasnya."

Tetapi rupanya Sun-hoa sudah terlanjur di-rangsang nafsunya. Ia tertawa merayu : "Ai. engkoh Pik giam, masakan dinda hendak mencelakai engkau. Terus terang engkoh sejak ber-tahun-tahun ketemu dengan pemuda-pemuda yang datang kesini, belum pernah aku jatuh hati seperti pada diri engkoh. Harap engkoh jangan menyia-nyiakan kecintaanku”

"Ah, nona Ting," kata Pik-giam masih jual langkah, "akupun cinta kepadamu. Tetapi tubuhku benar-benartak mengizinkan Aku sungguh kehabisan tenaga. Aku tak mau mengecewakan engkau, nona.”

"Ai. engkoh Pik-giam. cobalah engkau minum arak ini," kata San-hoa tetap membujuk, "kalau setelah minum arak engkoh masih tetap letih, ya tak apa-apa aku tak akan mengganggumu malam ini”

*'Ah. lebih baik jangan . ..”

"Ai. engkoh masakan engkau tak percaya kepadaku. Masakan aku hendak mencelakai engkau. Minumlah engkoh, jangan kuatir. arak ini tak besi racun. Lihatlah, " San-hoa terus meneguknya habis lalu menuangkan lagi dan diberikan kepada pemuda itu "lihatlah, engkoh. Kalau arak ini beracun, biarlah aku ikut mati bersama engkoh"

Akhirnya Pik-giam menyerah, la menyambuti cawan arak itu lalu meneguk habis isinya. Kemudian ia pejamkan mata dan diam-diam salurkan peredaran darahnya untuk mengumpulkan tenaga-dalamnya.

Sebenarnya ia memiliki ilmusilat yang cukup lumayan. Tetapi karena ia gemar pelesir dengan wanita cantik tenaga- murni dalam tubuhnya susut banyak. Apalagi setelah berada di markas Partai Melati, keadaannya makin payah. Tiap malam ia harus melayani San-hoa. Nona itu ternyata besar sekali nafsunya. Tiap malam Pik-giam dipaksa harus melayani sampai dua tiga kali.

Hanya lebih kurang setengah bulan saja wajah Pikgiam berobah pucat seperta mayat. Tenaganya habis.

Beberapa saat kemudian ia rasakan tubuhnya mulai hangat, darah melancar gencar. Semangatnya muiai merekah dan tenaganya tampak mengumpul. Diam-diam ia girang.

"Mari engkoh, minum secawan iagilah, lihatlah, wajahmu sudah bertebar merah" kata San-hoa.

Tanpa banyak bicara Pik-giampun menyambutii dan meneguknya habis. Setelah itu San-hoa segera memeluknya dan mengecup bibir si pemuda

"Ah. engkoh yang manis, mari kita beristirahat di pembaringan" kata San-hoa lalu menarik tangan pemuda itu diajak naik ranjang.

Saat itu sesungguhnya Pik-giam sudah hendak menghantam, la benar-benar sudah muak akan nona itu. Memang sebelumnya, ia. seorang pemuda yang nakal, doyan plesiran dengan-wanita-wanita cantik. Tetapi setelah tiap hari harus melayani sampai dua tiga kali dengan nona yang tak kunjung puas nafsunya itu. akhirnya timbullah kemuakan Pik- giam.

Kemudian ia teringat akan pesan bujang perempuan tua yang memberinya obat tadi. Terpaksa harus menyabarkan hati dan menurut saja diajak naik ke ranjang. Ya. ia harus dapat memainkan agar jagan menimbulkan kecurigaan nona itu, Begitu Pik-giam tiba di ranjang, terus didorong oleh San- hoa sehingga pemuda itu rebah terlentang Seperti seekor harimau betina yang lapar San hoa pun terus menubruk pemuda itu.

Biasanya Pik-giam terus menyambutnya dengan hangat dan keduanya tentu berpelukan dan bergumul bagai sepasang ular yang berlilitan, Tetapi saat itu tiba-tiba Pik-giam menjerit.

"Aduh. jangan menindih tubuhku, nona, "teriaknya. "Mengapa ?" tanya San hoa.

"Aduh, tulang-tulangku masih lemas, tenagaku masih belum kembali dan tubuhku terasa lunglai, "kata Pik-giam setengah merintih.

"Apakah engkau tak merasakan sesuatu setelah minum  arak tadi ?" tanya San hoa.

"Ya, tubuhku terasa hangat, darahku serasa mengalir deras. Tetapi tenagaku masih belum kembali. Mungkin harus beristirahat dulu beberapa waktu. Kasihlah aku mengasoh dulu barang setengah jam," kata Pik giam.

San hoa tertawa mengikik : "Ah. engkau memang seorang lelaki lemah. Masakan melayani seorang anak perempuan seperti aku saja engkau sudah tobat. Jika engkau diambil suhuku supaya melayaninya, engkau tentu sudah tak dapat jalan lagi'

"O. apakah Hu Yong siancu itu juga besar sekali napsunya

?" tanya Pik-giam .

"Jauh lebih hebat dari aku" kata San-hoa tersenyum, "suhu memiliki ilmu istimewa. Dia sanggup meladeni sekaligus sepuluh lelaki dalam satu malam. Tetapi dia tak mau sembarangan bermain dengan orang lelaki. Yang dipilih kebanyakan tentu yang masih jejaka."

'O mengapa ?" tanya Pik-g;am. "Katanya bisa untuk obat awet muda." Kata San-hoa dengan senyum cabu!. "dan nyatanya memang begitu. Engkau tahu berapakah, usia suhu ku itu ?'

Pik-giam merenung sejenak lalu menyahut “ Paling banyak tentu baru empatpuluh tahun."

San-hoa tertawa : "Sebenarnya suhu sudah berusia hampir limapuluh tahun. Tetapi dasar parasnya cantik dan pandai merawat kecantikannya serta sering mencari jejaka, dia tampak masih seumur wanita muda yang berumur.tigapuluh tahun”

"Engkoh, aku akan membantumu agar tenagamu cepat pulih." kata San-hoa. Nona itu terus membuka bajunya lalu melolos kun atau celana panjang

Kini dia hanya mengenakan pakaian dalam celana dan kutang.

Melihat itu berdebarlah hati Pik-giam. Darah berggelora keras dan ia rasakan tenaganya bertambah. Ia memandang nona itu dengan bengong

“Engkoh. mungkin kalau begini, engkau tentunya lebih girang lagi." habis berkata San-hoa terus menanggalkan kutang dan membuka celana dalamnya .Kini nona itu benar- benar bugil.

Darah Pik-giam makin menggelora keras.

Matanya menyala merah. Mulut berulang kali harus menelan kembali airliurnya yang hendak menetes keluar. Walaupun tiap malam ia menikmati tubuh si nona tetapi setiap kali ia memandang tubuh si-jelita yang putih mulus dan berhias sepasang buah dada yang menggelembung padat, selalu saja darahnya mendidih dan nafsunya berkobar.

"Engkoh, marilah, tubuh ini milikmu. Terserah engkau hendak mengapakannya." kata San-hoa dengan meramkan mata seperti orang yacg pasrah diri.

Hampir saja Pik-giam tak kuat menahan gejolak nafsunya yang sudah berkobar itu, ia ulurkan kedua tangannya hendak meraih : "Manisku kemari ..."

Bagaikan seekor anak domba. San-hoa maju merapat kepada Pik-giam Ketika tangan Pik giam meraihnya, dengan sengaja nona itu jatuhkan diri dengan buah dadanya menimpa muka Pik giam.

Hawa harum semerbak, tubuh yang halus dan buah dada yang montok, menyebabkan Pik giam terbuai-buai dalarn langit tujuh lapis. Dipeluknya nona itu erat-erat dan nona itupun paserah sepaserah-paserahnya. Mereka berpelukan dan bergelut mesra.

"Ah. engkoh mengapa engkau tak membuka pakaianmu ?” tiba-tiba San hoa menegur.

Teguran itu membuat semangat Pik-giam yang terbang melayang-layang, tersentak kaget. Serentak ia menyadari apa yang akan terjadi apabila ia melakukan permintaan nona itu. Dan serentak pula ia teringat akan pesan bujang perempuan tadi. Pun saat itu. ia rasakan suatu pemandangan yahg menyeramkan. Dalam pandangannya. Wajah San-hoa itu bukanlah wajah seorang nona yang cantik jelita melainkan telah berobah seperti searang kuntilanak yang menyeramkan. Menggigillah tubuh Pik giam. semangat meronta. "Baiklah," tiba-tiba ia menyahut dan secepat kilatt ia rnenutuk jalandarah dibawah buah dada San hoa.

Walaupun tenaganya belum pulih sama sekali tetapi karena tutukannya itu tepat mengenai jalandarah yang berbahaya, seketika menjeritlah San Hoa terus rubuh tak sadarkan diri lagi.

Pik-giam cepat loncat turun dari ranjang. "Berbahaya" gumamnya ketika teringat akan adegan beberapa detik yang lalu.

Tiba-tiba pintu dibuka dan bujang perempuan tuapun muncul.

"Bagus, engkau dapat melakukan rencana itu dengan baik sekali." seru bujang perempuan tua kakek Kerbau Putih

Pik-giam tersipu-sipu menghaturkan terima kasih kepada bujang perempuan itu yang tak disangkanya kalau kakek Kerbau Putih.

"Dimana nona itu ?" tanya kakek Kerbau Putih. "Masih pingsan dlatas ranjang."

Kakek Kerbau Putih menghampiri dan menyingkap kelambu. Serentak ia menjerit : "Aduh, mati aku ..." ia terus meluncur mundur.

"Kenapa ?" tanya Pik-giam heran.

Kakek Kerbau Putih deliki mata : "Mengapa engkau tak menutupi tubuhnya ? Kalau aku melihat tubuh seorang nona dalam keadaan telanjang begitu, jantungku bisa putus, tahu !"

Pik-giam segera menghampiri ranjang, menutupi tubuh San hoa dengan selimut. Setelah itu ia bertanya : "Sekarang bagaimana aku harus bertindak?" "Berapa lama rona itu akan pingsan ?" tanya kakek Kerbau Putih.

"Paling lama setengah jam. dia tentu sudah bangun.

Mungkin tenaga tutukan masih belum keras," kata Pik-giam.

"O, kalau begitu ikat saja kedua tangan dan kakinya dan sumbat mulutnya dengan kain supaya jangan dapat berteriak," perintah kakek Kerbau Putih.

"Mengapa tidak kita bunuh saja ?" tanya Pik-giam, "apabila nona semacam ini masih hidupi di dunia, temu dunia ukan selalu kacau saja."

"Kalau aku tak sampai hati. Apakah engkau tega membunuh seorang nona yang begitu cantik ?” seru kakek Kerbau Putih.

"Mengapa tidak ' habis berkata Pik-giam terus hendak mengambil pedang.

"Jangan " cegah kakek Kerbau Putih "Mengapa ?" Pik-giam kerutkan dahi

"Menurut dugaanku, nona itu dulunya tentu seorang anak perempuan baik-baik. Tetapi setelah menjadi murid Hu Yong siancu, dia tentu dididik menjadi wanita cabul. Jadi yang salah ialah Hu Yong siancu. Dialah yang harus dibasmi."

"Benar." sahut Pik-giam. "tetapi nona itu sudah terlanjur rusak moralnya, Bukankah dia tetap akan melanjutkan sepak terjangnya. walaupun Hu Yong siancu sudah mati ?"

"Nah. itulah yang harus kita cari. Bagaimana caranya supaya dapat menyadarkan nona itu kembali ke jalan yang benar lagi," kata kakek Kerbau Putih. "Hm. susah rasanya," gumam Pik-giam, "kecuali sudah mati, barulah nona itu akan tobat,"

Kakek Kerbau Putih merenung diam. Beberap saat kemudian ia berkata : "Aku masih curiga jangan-jangan dia diberi minum obat oleh Hu Yong siancu sehingga pikirannya berobah tak sadar. Lupa malu. lupa sifatnya sebagai seorang gadis. Ah, mungkin kekasihku Sun Li hoa juga rusak seperti nona itu Celaka ..."

Pik-giam terbeliak : "Kekasihmu ?" "Ya."

"Siapa namanya ?" "Sun Li-hoa."

"Sun Li-hoa itu kan seorang wanita. Bukan kah engkau juga seorang bujang perempuan ? Mengapa engkau mempunyai kekasih wanita ?" Pik giam makin heran.

' Goblok !" teriak kakek Kerbau Putih "aku bukan perempuan tetapi seorang lelaki. Aku hanya menyaru menjadi bujang perempuan saja."

'O." desuh Pik-giam. "lalu bagaimana kekasihmu bisa berada disini ?"

"Itulah yang akan kuselidiki." kata kakek Kerbau Putih, "aku ketemu dia dijalan. Dia mengendarai kereta dengan seorang lelaki menuju ke lembah ini".

Pik-giam garuk-gruk kepala. Tak habisnya heran nya memikirkan keterangan bujang perempuan itu.

"Engkau tentu tak percaya kalau aku seorang lelaki. Nih. lihatlah sendiri." habis berkata kakek Kerbau Putih terus menyingkap kain hitam yang menutup hidung sampai ke mulut. Dan tampaklah jenggotnya yang putih.

"Astaga i" seru Pik-giam, "jadi engkau ini seorang kakek tua?"

“Engkau kira bagaimana ?”

“Tetapi mengapa engkau mernpunyai seorang kekasih bernama Sun Li-hoa ? Tentu dia seorang nona yang masih muda, bukan ?" tanya Pik-giam.

"Ya. memang kekasihku ita seorang nona muda yang cantik, anak tihu juga.” kata kakek Kerbau Putih dengan bangga.

"Sudahlah paman" kata Pik-giam mari kita cepat bekerja Bagaimana kita kerjakan nona itu?"

Kakek Kerbau Putih berdiam diri. Rupanya ia sedang cari akal bagaimana harus menyelesaikan San-hoa. Jika dibunuh, memang ia tak sampai hati. Tetapi kalau dibiarkan begitu saja, nona Hu tentu tak kapok dan tentu masih melanjutkan pekerjaannya menculik pemuda untuk diajak bersenang- senang.

"O. kita buat saja supaya dia jangan cantik Tetapi bagi mana caranya ?" kata kakek itu,

"Ada !" tiba-tiba pula Pik-giam berseru lalu lari menghampiri ketempat San-hoa yang masih pingsan. ia mengambil pedang. lalu dicukurnya rambut itu sampai kelimis,

"Hai. mengapa engkau melakukan begitu ? apakah engkau menghendaki supaya dia menjadi nikoh ?" seru kakek Kerbau Putih.

"Kalau dia insyaf dan mau jadi rahib, itu memang bagus sekali" kala Pik-giam. “tetapi kalau tidak mau sekurang kurangnya dalam waktu beberapa lama Ini dia tentu malu keluar rnencari korban"

"Ah. tetapi engkau kejam sekali. Masak seorang nona yang cantik engkau cukur rambutnya begitu rupa ?" gumam kakek Kerbau Putih.

"Nona seperti dia pantasnya dilenyapkan dari dunia, Kalau hanya kehilangan rambutnya saja masih murah." jawab Pik- giam.

Kakek Kerbau Putih anggap omongan pemuda itu memang benar.

"Hayo. sekarang kita keluar mencari kawan ku yang sedang melayani nona lain." kata kakek Kerbau Putih  terus melangkah keluar dan kamar Tetapi tiba-tiba ia berhenti dan berpaling : "Hai. tetapi engkau bagaimana ?"

"Apanya yang bagaimana ?" tanva Pik giam

"Aku sih menyaru jadi bujang perempuan! Anak buah Partai Melati tentu tak curiga. Tetapi engkau . . " sambil berkata kakek Kerbau Putih masuk, ke dalam kamar.

Keduanya segera, rnerundingkan cara bagaimana akan keluar untuk mencari si Bloon dan kakek Lo Kun

Biarlah mereka berunding. sekarang marilah kita ikuti dahulu kakek Lo Kun yang mengantar arak bersama Blo’on.

Ketika tiba disebuah kamar, mereka mendengar suara seorang nona tertawa dingin.

"Nah, biarlah aku saja yang masuk dan engkau carilah lagi kamar yang ada nonanya” kata kakek Lo Kun terus dia mengetuk pintu. Blo’on terkejut, dan bergegas-gegas melanjutkan perjalanan kesebelah muka. "Siapa ?." seru seorang nona dengan nada geram.

"Bujang Bwe yang akan mengantar arak untuk nona." kata kakek Lo Kun dengan berusaha untuk memperkecilkan nada suaranya.

"Masuk !" seru nona itu pula dengau nada galak. "Tetapi pintunya masih terkunci," kata kakek Lo Kun.

“Goblok” damprat nona itu. "putar saja tombolnya tentu pintu sudah terbuka !”

Kakek Lo kun heran mengapa nona itu marah-marah. Namun ia melakukan juga perintah itu, Setelah pintu terbuka, iapun melangkah masuk.

"Taruh di meja” kembali nona itu berseru ketus

Kakek Lo Kun mengiakan lalu menghampiri rneja dan menaruhkan penampan hidangan arak di atas meja.

Ternyata didekat meja itu terdapat seorang imam tua yang duduk di sebuah kursi. Imam itu mengenakan jubah dengan lukisan pat-kwa, Begitu juga topinya. Walaupun sudah tua tetapi imam masih gagah. Melihat Lo Kun. imam tua itu memandangnya dengan terlogong-longong heran Karena di pandang, kakek Lo Kunpun balas memandang. Ketika beradu pandang, keduanya sama terbeliak kaget

“Ini si imam tua yang kulihat dalam kuil beberapa hari yang lalu.” gumam Kakek Lo Kun dalam hati.

"Ih. ini kan seperti patung yang terdapat dalam kuil di lereng gunung itu ? Aneh. mengapa patung bisa menjadi manusia hidup dan berganti jadi perempuan ?" diam-diam imam tua itupun berkata dalam hatinya. Memang imam tua itu bukan lain ialah Soh Hun ki su atau pertapa Pencabut Nyawa yang bersama-sama Bok Jiang guru silat di kantor tihu dan pemuda cakap she Liok. hendak mencari putera tihu yang diculik gerombolan Partai Melati.

Rupanya gerak gerik kedua orang itu diperhatikan sinona cantik. Nona itu ialah Ong Hun-hun murid angkatan kedua dari Dewi Melati. Dia sebenarnya vang menculik putera tihu tetapi San-hoa hanya menghadiahi dia dengan seorang pertapa tua. Sedang putera tihu itu dimonopoli olen San-hoa sendiri. Sudah tentu Hun hun tak puas. Apalagi ketika melihat imam  itu sudah tua, bermuka menyeramkan.

"Bibi Bwe,' seru hun hun kepada kakek lo Kun. "mengapa suaramu-berobah kecil ?"

Lo Kun gelagapan. Ia membuat nada suaranya kecil agar disangka seorang perempuan, tidak tahunya malah menimbulkan pertanyaan nona Itu

"Sial" gumam Kakek Lo Kun dalam hati. Lalu memberi alasan kalau dirinya malam itu agak masuk angin. .

"Tetapi dengan nada besar akupun bisa ju> f>a" kata kakek Lo Kun dcligan menggunakan nada suaranya sendiri yang aseli.

"Ih. bibt Bwe, sekarang engkau bertambah [?enit ya ?" kata Hun-hun.

Kakek Lo Kun menveringai : "Ai, nona ini mengapa suka mengolok-olok saja ?"

"Kalau tidak, mengapa jalanmu bergoyang kibul seperti bebek (itik) ?"

"Celaka" keluh kakek Lo Kun dalam rafi, "masakan jalanku benar-benar seperti bebek berjalan ?' "Ah. telapak kakiku yang kanan memijak api maka aku terpaksa berjalan setengah pincang" masih kakek itu dapat mencari alasan.

"O, mengapa sekarang engkau memakai kerudung segala macam ?" tanya pula Hun-hun.

"Ai, nona. orang sudah tua, aku takut masuk angin maka kain kerudung ini untuk penutup mulut jangan sampai kemasukan angin" kata kakek Lo Kun dengan terbawa terpaksa walaupun hatinya mendongkol sekali.

Kata pula Huo-hun : "Tetapi memang malam ini engkau tampak beda dengan hari-hari yang lalu. Tambah cantik tambah genit."

„Ah. jangan suka mengolok-olok orangtua. Nona besok juga akan jadi tua," kata kakek Lo Kun agak kurang senang.

"Siapa mengolokmu ?” bantah Hun-hun "buktinya, imam tua itu memandangmu dengan pandang mata yang mesra, hi, hi . . "

"Dia ?" kakek Lo Kun gelagapan. Hampir saja ia mengatakan kalau sudah pernah melihat imam itu di dalam kuil gunun, Tetapi untunglah pikirannya yang terang, mencegahnya.

"Ya. masa engkau tak merasa ?" kata sinona pula "Lalu maksud nona ?"

"Kalau orang memandang begitu rupa. tandanya ada hati. bibi Hwe"

"Masya Allah " seru kakek Lo Kun, "dia suka kepadaku ? Ah, dunia akan kiamat. Kalau matahari terbit dari sebelah barat, barulah hal itu kan terjadi' "Engkau tak percaya ?" seru Hun-hun.

"Sudah tentu tidak sama sekali” bantah Lo Kun. "masakan rnendapat hidangan seorang nona semuda dan secantik nona, dia tak mau tetapi malah mau mencari bebek tua yang sudah alot dagingnva begini !"

"Jangan bilang begitu, bibi Bwe." kata Bau hun pula. "tanda jodohnya muda yang tua sama tua. Mungkin dia anggap, aku masih terlalu muda pantas menjadi cucunya maka dia tak suka. Tetapi engkau, bibi. memang tepat sekali menjadi isternya. Itulah sebabnya dia lebih memperhatikan  engkau dari pada diriku,"

"Tidak ! Tidak!" teriak kakek Lo Kyn yang sudah Lupa untuk memperkecil nada suaranya dan menggunakan suaranya sendiri yang aseli. "setiap lelaki betapapun tuanya tentu lebih suka mendapat wanita yang masih muda, syukur masih gadis"

"Engkau tak percaya, bibi ?" "Tidak "

"Hm. mari kita tanya saja kepadanya. Dia suka siapa." kata Hun-hun. "tetapi kalau dia menyatakan suka kepadamu, engkau harus mau mengganti tempatku. Engkau harus menemaninya disini, bibi Hwe."

"Eh. ah . . . tetapi nona hendak kemana ?” Kakek Lo Kun gelagapan.

“Tidur kekamar sendiri.” sahut Hun-hun. “dan besok pagi apabila ditanya San-hoa toa-suci Jangan engkau bilang kalau engkau malam ini menggantikan tempatku menemani imam itu,"

"Tetapi ..." "Sudahlah, bibi Bwe. Engkau tolongi aku malam ini, besok kuberikan persen yang banyak."

"Tetapi kalau imam itu tak mau, bagaimana?”

"Mari kita tanya." kata Hun-hun lalu mengajak kakek Lo Kun menghampiri kehadapan Soh Hun Kisu.

"Totiang." seru Hun-hun, "malam ini sebenarnya totiang diberi kesempatan untuk bersenang-senang menikmati keistimewaan sorga lembah Melati, akulah yang ditugaskan untuk menemani totiang malam ini. Tetapi totiang , . . "

"Tetapi bagaimana ?" seru Soh Hun kisu. Hun-hun mendekati kesamping pertapa itu lalu membisiki beberapa patah kata kedekat telinganya.

"Itulah sebabnya, karena malam ini diri kotor, aku tak dapat menemani totiang. " kata Hun-hun. Tetapi nona itu menggunakan ilmu menyusup suara Coan-bi-jip-hun. sehingga hanya bibirnya saja yang bergerak-gerak tetapi tak terdengaran suaranya. Begitu pula yang dapat menangkap hanya Soh Hun kisu. sedang kakek Lo Kun tak dapat mendengar apa-apa.

"Totiang," tiba-tiba Hun-hun berseru dengan suara biasa iagi, "cobalah totiang memilih siapa yang harus menemani totiang malam ini. Aku tau bibi Bwe ini ?'

Soh Hun kisu muak dengan sikap nona itu. Sebenarnya ia bermaksud hendak menangkapnya tetapi kalah dulu. la telah ditutuk jalan darah lalu ditabur dengan bebauan wangi yang merangsang nafsu.

Tetapi setelah nona itu mengatakan kalau malam itu dirinya sedang kotor, lenyaplah nafsu pertapa itu." kemudian ia memandang kakek Lo kun. Teringatlah seketika ia akan patung yang berada dalam kuil. Timbul pikiraanya untuk menyelidiki diri perempuan tua itu.

"Hm, pokoknya wanita, kalau engkau memang tidak bisa, diapun boleh saja, Malam ini aku lelah hendak kusuruhnya memijati kakiku" kata imam tua.

'Terserah," kata Hun-hun. pokoknya malam ini engkau boleh menyuruhnya apa saja."

Kemudian nona itu berpaling kepada kakek lo Kun dan membisiknya : "Ingat, jangan bilang pada toa-suci San-hoa besok kuberimu persen." habis berkata ia terus melangkah keluar.

Sekarang hanya tinggal kakek Lo Kun bersama pertapa Soh Hun ki-su Keduanya saling berpandangan mata.

"Hai. bukankah engkau yang jadi patung dalam kuil dilereng gunung itu ?"' tegur Soh Hun kisu

"Aku manusia bukan patung" sahut kakek Lo kun.

Ya, sekarang ini" kata Soh Hun kisu. tetapi malam itu engkau jadi patung dalam kuil “

“Mengapa engkau mengatakan begitu ?" "Karena aku tahu sendiri."

“O, apakah engkau imam yang makan bak pau di kuil gunung itu ?" tiba-tiba kakek Lo Kunpun teringat juga,

"Benar, kalau begitu engkau ini benar patung itu." seru Soh Hun kisu "tetapi mengapa engkau jadi manusia ?"

"Ya, aku memang manusia hidup tetapi itu waktu aku memang harus jadi patung dulu."

"Mengapa ?" "Karena kalian bertiga dalang, aku kuatir kalau kalian ini bangsa penjahat maka terpaksa menjadi patung." Lo Kun menerangkan dengan sejujurnya setelah tahu bahwa imam itu bukan bukan penjahat.

"Tetapi engkau ini laki atau perempuan!” tanya pula Soh Hun ki-su.

“Gila. sudah tentu lelaki seperti engkau' "Mengapa sekarang seperti orang perempuan.?"

"Stt. jangan keras kalau bicara," kata kakek Lo Kun lalu berjalan keluar kamar. Sejenak kemudian ia masuk kembali "aku terpaksa menjadi seorang bujang perempum disini agar dapat menolong orang-orang yang ditawan. Eh. bagaimana juga ditawan mereka '"

"Kami bertiga dijebak oleh mereka dikepung oleh barisan nona-nona cantik anak buah Melati. Barisan mereka memang hebat benar. Kami bertiga tak dapat memecahkan barisan itu malah akhirnya dirubuhkan”

"Celaka, engkau kalah dengan anak-anak perempuan saja?" tanya Kakek Lo Kun.

"Ya. karena mereka menggunakan obat asap yang membikin lemas tenaga. Pada saat pertempuran berlangsung seru. beberapa nona itu menaburkan bubuk wangi yang membuat kita pusing terus tubuh tak sadarkan diri. Setelah sadar, tahu-tahu kita sudah ditawan disini"

"O, di manakah kedua orang kawanmu ?" tanya kakek Lo Kun pula.

''Itulah yang akan kutanyakan kepadamu barangkali engkau tahu" jawab imam Soh Hun kisu. "aku sendiri tak tahu dimanakah mereka ditawan” "Ya, memang merekapun mengalami nasib serupa dengan engkau," kata kakek Lo Kun, "tetapi dua orang kawankupun sedang mengantarkan arak ke tempat mereka.”

"Bagaimana engkau tahu ?" tanya Soh Hun kisu heran.

Kakek Lo Kun lalu menuturkan pengalaman mereka selama masuk ke markas Partai Melati.

'O. sungguh tas kukira, manusia-manusia patung seperti kalian ternyata mampu keluar dari tawanan lalu bahkan hendak menolong kami." kata Soh Hun ki-su memuji

'Sudahlah jangan banyak bicara," bentak kakek Lo Kun, "sekarang kita masih berada dalam sarang harimau. Yang perlu kita harus lekas cari daya bagaimana keluar dari sini"

Soh Hun kisu makin kagum terhadap kakek yang tampak seperti orang tolol itu. Ia menyetujui

"Sekarang kita harus menolong kedua orang kawanku itu dulu setelah itu baru kita beramai ramai menolong putera tihu Kho kongcu," kata Soh Hun kisu.

“Ya." kata kakek Lo Kun.

Tetapi ketika Soh Hun kisu sudah melangkah keluar kakek Lo Kun masih belum angkat kaki.

"Hai, mengapa engkau masih disitu ?" seru Soh Hun kisu. "Yang penting aku harus menghabiskan arak ini. Sayang

kalau   dibiarkan   disini,"   kata   kakek   pendek   itu   seraya

menenggak dengan nikmat.

Beberapa saat kemudian barulah kakek itu melangkah keluar

"Sebaiknya engkau berjalan di belakangku saja agar jangan sampai ketahuan mereka" kata ka kek Lo Kun. Soh Hun kisu terpaksa menurut. Mereka hendak mencari si Blo'on, Baru beberipa langkah berjalan, mereka melihat seorang bujang perempuan berjalan mendatangi.

"Celaka. itu bujang perempuan yang memerintah aku mengantar arak. Hayo lekas kemba masuk kedalam kamar saja" kata kakek Lo Kun seraya terus mendorong Son Hun Ki- su memasuki kamar lagi.

"Mengapa ini ?" Soh Hun kisu tak habis heran “mengapa engkau begitu ketakutan?"

"Dia datang kemari !" "Siapa ?"

Kakek Lo Kun lalu menerangkan bagaimana ia disuruh bujang itu untuk mengantar arak. Kemudian dia membisiki Soh Hun kisu bagaimana untuk menyiasati bujang itu nanti

Yang datang itu ternyata memang bujang yang menyuruh kakek Lo Kun, kakek Kerbau Putih dan blo'on mengantar arak. Nama bujang perempuan yang masih muda itu ialah Sui Kiong, Biasanya dipanggil Kiong saja.

Begitu tiba di depan kamar, ia terus mengetuk pintu : "Hayo. lekas buka pintu "

"Aduh ampun tuan . . “ tiba-tiba terdengar suara orang mengaduh kesakitan dari dalam kamar, suara seorang wanita.

Bluk. bluk . . “aduh. jangan, jangan tuan, Aku sudah kapok”

. . , terdengar suara pukulan dan rintihan seorang wanita.

Bujang Kiong mengetuk pintu lagi. Dan tak lama pintu tampak dibuka, wajah kakek Lo Kun menonjol.

"Ci An, engkau di . , “ "Kurang ajar engkau" tiba-tiba Kakek Lo Kun menampar pipi bujang itu. Bujang itu tak mengira akan diserang oleh bujang perempuan tua itu Ia ter-huyung*.

"Ci Bwe !'" teriak bujang kiong "mengapa engkau menampar aku?"

"Mengapa tidak ?" bentak kakek Lo Kun “karena engkaulah maka aku sampai dipukuli imam iblis itu " ,

"Mengapa ?" tanya pula bujang Kiong.

"Nona Hun tak mau meladeni imam tua itu dan suruh aku yang melayani. Celaka, imam itu marah lalu menempeleng aku."

"Kenapa tak mau ?"

"Setan engkau !" bentak kakek Lo Kun “karena katanya aku sudah tua. Dia minta yang muda”

"Ah, ci Bwe maafkan, tetapi aku tak sengaja" kata bujang Kiong itu, "memang semula rencsnanya nona Hun-hun tidak disini tetapi entah bagaimana nons Kim-lian telah ganti acara. Dia tukar kamar dengan nona Hun hun,Tadi aku masuk kekamar nona Lian dan terus disuruh keluar saja Mestinya yang kucari adalah tempat nona Hun hun

"Setan." gum »ni kakek Lo Kun, "lain kali engkau harus hati-hati Kalau salah masuk tentunya engkau harus cepat- cepat keluar dan memberitahu aku. Masa begini, orang tua suruh mewakili meladeni seorang imam tetapi malah ditempeleng imam itu,"

'Sudahlah ci Bwc" bujang Kiong menghibur, "besok kubelikan baju baru, Silahkan engkau kembali aku yang akan meladeni imam itu." Kakek Lo Kun keluar tetapi dia masih berada diluar kamar untuk mendengarkan yang terjadi didalam kamar itu.

“Ai, tuan, maafkan nonaku tadi." kata bujang Kiong. dengan suara genit, "sebenarnya yang disuruh mengantar arak kemari itu aku, tidak tahunya bujang perempuan itu lancang. Kalau tuan marah itu memang sudah pantas. Masakan perempuan se tua itu tak tahu diri mau meladeni tuan"

Soh Hun kisu hanya tertawa hambar.

"Apakah tuan masih marah kalau aku yang meladeni tuan?” tanya bujang Kiong sembari maju menghampiri kemuka Soh Hun kisu, "bukankah aku masih muda dan montok? Ah. tuan belum tahu bagaimana rasanya, kuladeni. Kalau sudah tahu hm, tuan tentu tak mau dengan nona-nona itu. Mereka hanya cantik dan muda tetapi tak punya pengalaman. Beda dengan aku tuan. Tanggung tuan nanti tentu puas betul."

Soh Hun kisu hanya tersenyum. Dan bujang Kiong semakin berani, la maju merapat kemuka Soh Hun kisu, kemudian terus berjongkok.

"Ah. tuan tentu letih. Lepaskanlah sepatu mu dan silahkan tuan tidur dipembaringan. Nanti ku pijati kaki tuan” kata bujang Kiong seraya hendak melepas sepatu Soh Hun kisu.

"Siapa namamu ?" tanya Soh Hun kisu, "Panggillah Kiong"

“O, bagus juga nama itu” kata Soh Hun Ki-su "apakah engkau benar-benar pengalaman ?”

“Tanggung tuan" kata si Kiong makin genit. "buktikan sendiri nanti, tuan pasti puas" "Coba sekarang engkau lakukan cara bagaimana agar nafsuku bangkit. Aku sudah tua. sudah tiada nafsu akan wanita" kata imam tua itu.

"Jangan kuatir tuan" kata bujang Kiong, "tanggung tuan akan bangkit dan perkasa seperti seekor singa kelaparan nanti"

"Hm, jangan omong besar dulu. Awas kalau engkau gagal, engkau tentu kuhajar seperti perempuan tua itu !” bentak Soh Hun kisu.

Kiong tertawa genit, la lalu membuka bajunya pelahan- lahan setelah itu lalu celananya. Dengan gaya dan ulah yang genit dan cabul, segera ia mulai melepaskan kancing kutangnya. Satu demi satu dengan pelahan dan disertai lirikan mata dan gerak yang cabul.

Bagaikan seorang penari strip-tease atau telanjang, mulailah bujang Kiong mempertunjukkan keahliannya merayu dan memikat perhatian Soh Hun kisu dengan gerak tarian melepaskan pakaiannya.

Beberapa saat kemudian tampaklah bujang itu dalam keadaan telanjang bugil. Tetapi dilihatnya imam Soh Hun masih tetap duduk dengan tenang.

'Tuan apakah tuan tak ingin menikmati tubuhku ini ? Silahkan. tuan, silahkan. Mau yang mana, gigitlah . . kecuplah

. . nikmatilah . . "

Bujang cabul itu makin merapatkan tubuhnya kehapanan Soh Han ki-su. seolah-olah suatu penyerahan yang paserah.

"Jangan bergerak." Seru Soh Hun ki-su, “Ya tubuhmu memang hebat. Pejamkanlah matamu biar aku dapat menikmati dengan bebas, lekas " Bujang itupun menurut saja. Ketika ia menutup mata, Soh Hun kisupun lalu menutuk jalan darah di dadanya, Seketika bujang itupun rubuh tak ingat diri lagi.

Seiring dengan jatuhnya tubuh ke lantai maka masuklah kakek Lo Kun. Tetapi serentak dengan itu kakek itupun menjerit : "Petapa cabul!".

Sudah tentu Soh Hun kisu terlongong, "Mengapa engkau memaki aku ?" tanyanya.

"Engkau memang imam tua yang masih cabul mengapa engkau suruh dia telanjang bulat ?" tanya kakek Lo Kun pula.

Belum Soh Hun kisu memberi keterangan kakek Lo Kun sudah menudingnya pula : "Engkau apakan dia tadi. hai imam gila !"

"Kututuk jalan darahnva supaya pingsan," kata Soh Hun kisu.

"Tidak bisa" bantah kakek Lo Kun yang kumat angot linglungnya, "tentu engkau perkosa sehingga dia pingsan."

'Gila cngkaul" akhirnya marah juga imam itu. "masakan aku sudi dengan seorang bujang perempuan semacam itu '

"Sombongnya!" balas kakek Lo Kun. "buka kah engkau tadi juga mau dengan aku?' Kalau si orang bujang perempuan begini tua, engkau niat Tentulah dia yang. lebih muda. engkau lebih mau lagi “

Soh Hun kisu terlongong. kemudian marahlah ia ," "Engkau seorang kakek gila ! Siapa sudi dengan engkau ? Aku tadi kan hanya suatu siasat karena kutahu engkaulah yang jadi patung dalam kuil gunung itu"

"Ha. apakah benar begitu ?" kakek Lo Kun kerutkan dahinya. "Jangan gila-gilaan begitu" kata Soh Hun kisu pula. "kalau aku memang mau, murid-murid Partai Melati yang cantik- cantik itupun aku bisa mendapatkan”

"Imam kurang ajar” tiba-tiba kakek Lo Kun berteriak pula sehingga Soh Hun kisu melongo. “Jangan engkau mengganggu nona-nona cantik di sini”

“Mengapa ?" Soh Hun kisu makin heran “apakah engkau orang Partai Melati ?"

"Bukan !" sahut kakek Lo Kun "tetapi diantara nona-nona cantik Partai Melati itu. salah seorang adalah isteriku Sun Li- hoa. tahu ! Awas. kalau engkau berani mengganggu isteriku, tentu kuhajar"

"Isterimu disini ?" Soh Hun ki-su makin tereliak heran.

"Ya," jawab kakek Lo Kun "Ingat, namanya Sun Li-hoa, orangnya cantik sekali '

"Hagatmana isterimu bisa masuk disini ?"

"Itulah yang akan kuselidiki sebabnya." kata kakek Lo Kun "dia temu ditipu oleh Hu Yang si se-cu atau kemungkinan tentu dipaksa dibawa kesini.”

"O, kaiau begitu kita harus membebaskan” kata Soh Hun kisu. Tetapi sesaat kemudian ia bertanya heran, "tetapi engkau sudah tua bangka mengapa isterimu masih muda ? Bukankah nona-nona murid Partai Melati itu masih gadis-gadis yang berumur belasan tahun ?"

Kakek Lo Kun garuk-garuk kepala : "Itu aku sendiri tak mengerti mengapa dia masih tetap begitu muda dan cantik. Tetapi sudahlah jangan tanya . Nanti akan kuurus sendiri."

Soh Hun kisu memandang kakek Lo Kun “Hai mengapa engkau mengawasi aku begitu” tegur kakek Lo Kun. "apakah engkau kira aku ini seorang perempuan.. Tidak, tidak! Aku lelaki"

"Memang kutahu engkau seorang kakek" jawab Soh Hun kisu "'hanya akan kuketahui, apakah engkau ini seorang giia atau linglung “

"Ho, sudah jangan pedulikan diriku. Sekarang kau mau keluar dan sini atau tidak. Kalau mau menolong kawan- kawanmu. lekas carilah bagaimana akan bertindak. Tak perlu mengetahui aku gila atau tidak !" bentak Lo Kun.

Sementara kedua orang itu berunding bagaimana mengatur langkah untuk keluar dan menolong kawan-kawannya, adalah di bagian kamar lain juga si Blo'on mengalami peristiwa yang mendebarkan.

Setelah tinggalkan kakek Lo Kun. Blo'on berjalan terus kemuka, Ia tak tahu tempat itu. Pokoknya asal berjalan saja. Bila mendengar ada orang bicara dalam kamar, itulah kamar yang harus ia masuki

Tetapi hampir tiba diujung lorong, masih juga ia belum mendengar suara orang, la mulai bingung.

'”Celaka” kata Blo'on. "bagaimana ini ? Apakah aku harus kembali mencari bujang perempuan muda itu untuk menandakan ternpatnya ?”

Hampir ia berputar tubuh terus hendak menuju ke dapur lagi. Tetapi tiba-tiba ia hentikan langkah. PiKirnya : "Ah. kalau bertanya kepadanya ia tentu marah. Ya, kalau hanya memaki saja masih mending. Tetapi kalau dia curiga terhadap diriku, bukankah penyamaranku bakal ketahuan ? Ah, lebih baik kupergi kelain tempat saja, mungkin dibagian sini tempatnya” Blo'on terus berjalan melintasi halaman dan menuju kesebuah bangunan yang bercat merah. Bangunan itu mirip dengan sebuah bungalow yang indah. Memiliki sebuah halaman yang penuh ditanami bunga-bunga warna warni. Terutama bunga melati, bunga seruni, dahlia. mawar dan lain- lain.

Tengah Blo'on celingak celinguk masuk ke halaman serambi, tiba-tiba muncullah dua orang muda mudi yang bergandengan tangan. Rupanya, kedua pasangan itu habis dari kerkeliling taman menikmati pemandang di malam yang indah.

"Hai. siapa itu ?" tegur yang pemudi, seorang nona cantik, mengenakan baju biru muda.

"A-moy mengantar arak," sahut Blo'on. Rupanya kali ini dia benar-benar mengingat namanya si A-moy. agar jangan sampai ketahuan penyamaran nya.

'O, A-moay. bagus," seru gadis cantik itu dengan suara merdu, "bawalah masuk ..."

Habis berkata nona itu terus memimpin tangan sipemuda yang cakap masuk kedalam ruangan

"Taruh di mana nona ?" tanya Blo'on.

"Di meja batu kumala itu." seru sinona, "tetapi hati-hati jangan sampai tumpah,"

Setelah meletakkan penampan arak. Blo'on pun bertanya pula : "Apakah masih ada lain pesan yang nona hendak perintahkan ?"

“Ya. nanti dulu, jangan terburu-buru pergi," kata si nona cantik "sebenarnya aku masih akan menyuruh engkau mengambilkan apa. ah ... mengapa lupa! Cobalah, kuingat ingatnya dulu."

Blo’on tegak seperti patung. Ia memandang sinona. Seorang gadis berumur tujuh-delapan belas tahun, yang amat jelita. Kemudian ia berganti memandang si pemuda. Ah, seorang pemuda yang cakap. Ia merasa pernah melihat, tetapi lupa di mana.

Pemuda itupun balas memandang Blo’on. Di pandanginya juga Blo'on dengan tajam kemudian tampak ia kerutkan dahi.

"Engkoh Liok. engkau hendak makan apa?” tiba-tiba nona itu bertanya kepada si pemuda bagus.

"Aku?" sipemuda Liok gelagapan kaget. "ah, terserah apa saja."

Nona itu tertawa dan lontarkan sebuah lirikan mata yang tajam, kepada pemuda itu. Kemudian ia berseru kepada Blo'on "A-moay. ambilkan dendeng rusa di dapur untuk teman arak.”

Blo'on mengiakan. Ia terus melangkah keluar dengan hati kebingungan. Dendeng rusa ? Dimana kah tempatnya ?

"Tak usahlah adik Lian," tiba-tiba pemuda Liok itu berseru mencegah, "aku tak lapar. Cukup kita minum arak saja."

"A-moay" tiba-tiba nona yang dipanggil Lian atau lengkapnya bersama Sui Kim-lian itu berseru memanggil Blo'on. Blo’onpun berhenti, "tak perlu mengambil dendeng rusa, tuan Liok tidak mempunyai selera makan dendeng,"

"Engkoh Liok. bagaimana acara kita malam ini ?" tanya Kim- lian dengan suara merdu merayu

"Minum arak sambil membuat syair," kata pemuda Liok tertawa, "kita adu syair, siapa yang kalah harus minum arak" "O. mengapa mesti memeras otak membuat syair ? Bukankah lebih enak setelah puas minum ... kita terus tidur ?" kata sinona.

Pemuda Liok itu tertawa : "Ah, memang benar lebih enak. Tetapi sudah menjadi kebiasaanku selama belasan tahun, aku tak dapat tidur apabila belum membuat syair . . "

"Tetapi engkoh Liok, itu lain. Kita nanti tidak tidur, melainkan ..." nona itu tertawa la!u mencubit lengan sipemuda. Gayanya penuh kemanjaan yang merayu.

Pemuda itupun tertawa : "Ya. sudah tentu, tetapi justeru itulah yang kuusahakan. Habis membuat syair, semangatku tentu bertambah segar, pikiran terang dan gairahku lebih merangsang. Percayalah adik Lian, entah bagaimana, memang begitulah adat kebiasaanku'.

"O, jadi dengan membuat syair itu semangat engkoh akan lebih menyala dan tenaga engkoh akan bertambah jantan perkasa ?" tanya Kim-lian.

Pemuda Liok itu tertawa mengangguk.

"Apakah disini tersedia alat tulis dan kertas?" tanya pemuda Lioh.

"Tentu, sahut Kim-lian, disini sebenarnya tempat yang sering digunakan suhu untuk bersenang-senang menghibur diri."

“O,” desah pemuda Liok, "lalu mengaapa engkau pakai?

Bukankah kalau suhumu tahu, engkau akan dimarahi ?"

Nona itu tertawa "Suhu akan marah kepadaku? Oh, jangan kuatir engkoh Liok. Suhu tak mungkin marah kepadaku ?" Pemuda Liok itu heran, serunya : "Mengapa begitu adik Lian? Apakah suhumu seorang yang sabar dan tak pernah marah ?”

"Ih, suhu seorang wanita yang bengis dan keras. Semua anak murid Partai Melati tiada yaq berani membantah perintahnya. Tetapi terhadap diriku, entah bagaimana, dia selalu sabar dan sayang ..."

"Aneh," gumarn pemuda Liok. "apakau karena engkau yang paling cantik dan paling cerdik diantara lain-lain saudara seperguruanmu?"

"Bagaimana engkoh melihat wajahku ini” Kim-lian balas bertanya.

"Cantik sekali," seru pemuda itu

Karena dipuji cantik oleh si pemuda, dada nona itu serasa meledak. Memang demikian sifat dari kaum wanita. Tua muda, besar kecil, tentu bangga dan gembira apabila dipuji cantik.

"Ah, aku sendiri juga tak tahu. engkoh Liok Mengapa suhu bersikap begitu kepadaku . . "

"Kalau tak ada sebabnya, tak mungkin dia pilih kasih begitu," kata pemuda Liok pula.

"Eh, mengapa engkoh begitu menaruh perhatian sekali kepada diriku ?" tanya Kim-lian.

"Apakah engkau tak senang kuperhatikan” pemuda Liok itu balas bertanya

Kim-lian tertawa makin manja : "Sudah tentu ergkoh Liok. Asal engkau sungguh-sungguh cinta padaku dan takkan menyia-nyiakan diriku". Pemuda Liok itu tertawa : "Ah, adik lian. janganiah engkau menyangsikan janjiku. Tetapi engkau tahu adik Lian. Bahwa keluargaku itu seorang keluarga yang terhormat. Ayahku bekas cong tok (gubernur) keras adatnya. Kalau engkau ingin menjadi ingin menjadi isteriku selama-lamanya, engkau harus keluar dari tempat ini dan kembali ke jalan yang baik ..."

Kim-lian mendesis perlahan : "Ya, sebenarnya aku juga tak suka hidup dalam suasana begini. Tapi aku tak berdaya untuk meloloskan diri. Engkau tahu, engkoh Liok, suhu itu sakti dan bengis, siapa yang bersalah tak menurut peraturannya, tentu akan dibunuh."

"Tetapi mengapa dia begitu baik terhadap dirimu ?" tanya pemuda Liok itu pula.

"Ah, soal itu memang suatu rahasia. Semula aku sendiri juga tak tahu. Hanya secara kebetulan saja aku dapat mengetahuinya, tetapi, ah . . " nona itu menghela n:pas.

"Mengapa ?" pemuda Liok makin heran, "Seorang jiwa telah menjadi korban .. "

“Ha!” pemuda Liok kerutkan dahi “Aku tak mengerti apa yang engkau katakan, adik Lian, maukah engkau  menceritakan dengan jelas?"

Kim-lian tak lekas menyahut me!ainkan berdiam beberapa saat. Setelah itu baru ia berpaling kearah Blo'on yang masih tegak termangu-mangu mendengarkan pembicaraan.

"A-moy, mengapa engkau masih berada disini ? Apakah engkau hendak mencun pembicaraan?” tiba-tiba Kim-lian menegur.

Blo'on gelagapan, sahutnva : "Bukankah nona belum menyuruh aku pergi ?" "Setan." damprat rona itu, "apakah kalau tak kusuruh, engkau tetap berada disini ? Kurang ajar . . . "

Bio’on menyeringai : "Aku bukan setan, nona. aku A moay'. Akupun tidak kurang ajar karena tadi nona suruh aku tungeu dulu."

"Eh, engkau berani membantah aku?" Kim lian mulai naik darah. "kapan engkau belajar membantah kata-kataku ? Siapa yang mengajarkan engkau?”

"Aku sebetulnya tak berani membantah, tapi kupikir kalau aku diam saja, nanti nona tentu marah dan menganggap aku tak mempeduli nona. Habis, bagaimana aku harus berbuat ?" kata Bloon seraya rentangkan kedua tangannya.

"Sudahlah adik Lian." segera pemuda Liok melerai, "tak perlu ribut-ribut dengan seorang bujang Suruh saja mengambil air hangat untuk membersihkan muka “

Kim lian menurut lalu suruh Blo’on mengambilkan baskom berisi air hangat.

Setelah Blo'on pergi barulah Kim-lian merapatkan duduknya disampmg pemuda Liok. Ia mulai menuturkan sebuah kisah.

"Bermula aku memang tak tahu. Kuanggap Hu Yong siaucu itu adaiah suhuku yang telah merawat dan mendidik aku sedari kecil. Dan dia memang memperlakukan  sebagai seorang rnurid, keras dan berdisiplin.

Pada suaiu hari dalam latihan ilmu silat yang diberikan, suhu mengharuskan aku loncat ke atas ssebuah karang yang tingginya hampir dua tombak. Beberapa suci dan sumoay ku ada yang dapat ada juga yang gagal dan jatuh. Aku gemetar.

"Lian, mengapa engkau gemetar ? Takutkah engkau ?" tegur suhu kala itu. Kujawab bahwa hari itu badanku terasa tak enak dan kepalaku pening. Tetapi dia hanya tertawa dan tetap menyuruhku melakukan latihan itu.

Karena takut, akupun melakukannya juga. Dengan mengerahkan seluruh tenagaku, aku berhasil  mencapai puncak karang. Tetapi begitu tegak di puncak itu. kepalanya terasa pusing sekali, mataku berkunang-kunang dan rubuhlahaku kebawah . ."

"Ih," pemuda Liok mendesis, "lalu bagamana ?”

"Aku jatuh dari ketinggian dua tombak. Suhu dan beberapa saudara seperguruanku berhamburan hendak menyanggupi tetapi terlambat. Aku jatuh terbanting ditanah dan pingsan. Ketika aku membuka mata ternyata aku berada di kamar suhuku berbaring diatas pembaringannya yang mewah. Ternyata tulang punggungku patah sehingga aku harus dirawat selama beberapa bulan.

Ketika sakitku masih gawat, sadar tak sadar kudengar suara seorang wanita menangis terisak-isak. Ketika kurentangkan mataku, kulihat yang menangis itu suhu.

"Kim-lian, puteriku, mamah yang bersalah memaksa  engkau harus berlatih loncat keatas punccak karang yang tinggi. Ah. anakku. engkau tak tahu betapa perasaan mamah. Kalau engkau sampai kena apa-apa, hancurlah hati mamah. Mamah sebenarnya cinta kepada ayahmu tetapi dia seorang lelaki yang tak kenal budi dan kasih seorarg isteri. Karena tak tahan menderita siksaan batin. kubawa engkau lari meninggalkannya. Dan engkau lah Lian, milik mamah satu- satunya di dunia ini. Kalau engkau . . engkau . , sampai kena apa-apa ah, bagaimana mamah . , dapat hidup . . seorang. Diri”. "Aku terkejut mendergar ratapan Suhu itu” kata Kim-Iian kepada pemuda Liok, "apakah dia itu mamahku ?"

.Mengapa engkau meragukannya? Bukankah dia sudahmenyebut siapa dirinya ?" tanya pemuda Liok

"Tetapi setelah aku sembuh kembali sikap dan perlakuan Suhu kepadaku tetap tak berohah. bengis dan keras." kata Kim lian, "itulah yang menimbu!kan keraguanku. Namun aku tak berani menanyakan."

"Lalu apakah sampai sekarang engkau belum juga tahu ?" tanya pemuda Liok.

Kam-!ian tidak langsung menyahut melainkan melanjutkan ceritanya ; "Pada suatu hari nenek Siong yang menjadi inang pengasuhku sejak aku kecil, sakit. Akupun menjenguknya. Dalam kesempatan itu aku menanyakan tentang  diriku dengan suhu. Nenek Siong dengan terus terang menerangkan bahwa sesungguhnya aku ini memang putri suhu.

Aku terkejut mendengar keterangan itu lalu kudesaknya : "Lalu siapakah ayahku ? Apakah ia masih hidup ?”

“Namanya Sui Kim-san, seorang pemuda yang cakap dan sakti tetapi tak setia. Pada waktu Mamahmu mengandung, ayahmu main gila dengan bujang mada. Mamahmu marah lalu pergi merantau. Ah, kasihan ketika hari itu aku ke hutan mencari daun, kuketemukaa mamahmu rebah pingsan dibawah pohon. Dia kubawa pulang. Setelah melahirkan engkau, dia menitipkan engkau kepadaku lalu melanjutkan pergi mengembara. Sepuluh tahun kemudian ia muncul lagi dan mengajak aku tinggal di lembah ini. Aku bukan nenekmu sesungguhnya, nak. Tetapi suhumu melarang aku menceritakan hal itu kepadamu. Itulah sebabnya maka aku mengatakan kepadamu bahwa ayah dan ibumu sudah meninggal dan engkau harus menganggap Hu Yong siancu itu sebagai ibumu sendiri."

"Aneh," gumam pemuda Liok. "mengapa seorang ibu tak mau mengaku terang terangan kepada anaknya sendiri. Apakah dia merasa malu karena mempunyai anak seperti engkau ?"

"Entafrah." kata Kim-lian."tetapi kuduga dalam peristiwa itu tentu terselip suatu rahasia Hanya sayang aku tak dapat memperoleh keterangan tentang rahasia itu dari nenek Siong."

"Mengapa ? Apakah dia tak mau menceritakan kepadamu ?" tanya pemuda Liok,

"Dia tentu akan menceritakan kepadaku" kata Kim-lian. "Dan apakah tidak ?" tanya pemuda Lio

"Ya, dia tak menceritakan lagi karena ia tak dapat bercerita

..."

“Mengapa ?” pemuda Liok terkejut.

"Keesokan harinya ketika aku datang ke tempatnya ternyata nenek Siong sudah meninggal dunia ..." berkata sampai dismi Kim-lianpun mengucurkan airmata.

""Ah. orang tua yang menderita sakit, sudah jamak kalau meninggal dunia." pemuda Liok menghiburnya.

"Tetapi aku heran, sorenya ketika kujenguk dia masih tampak sehat dan bicara dengan tangkas. Tetapi mengapa keesokan harinya dia sudah meninggal. Tidak mungkin," kata Kim-lian. "ya, kqrena penasaran aku segera melakukan penyelidikan. Akhirnya dapat kuketemukan bukti yang menyebabkan kematian nenekku. Teh yang diminumnya itu terdapat endapan bubuk putih ..." "Racun ?" seru Pemuda Liok.

Kim lian mengangguk : "Ya, dia telah mati keracunan atau tepatnya diracuni karena berani, menceritakan rahasia diri suhu dan diriku . , "

"Ah," pemuda Liok menghela napas, "apakah salah menceritakan keadaanmu itu? Mengapa suhumu atau ibumu begitu benci kepada orang yang mengetahui rahasia itu ?"

Kim-lianpun mendesah : "Itulah engkoh Liok hal yang membuat hatiku dendam dan penasaran. Karena ibu bertindak begitu, akupun dingin juga kepadanya. Aku ingin lolos dari tempat ini untuk mencari ayahku. Apakah dia masih hiduo.  aku tak tahu. Dimanakah tempat tinggalnya, akupun tak tahu. Tetapi aku mendapat firasat bahwa dia masih hidup maka akupun hendak mencarinya ke seluruh penjuru dunia , "

Pemuda Liok termenung. Ia tak menyangka bahwa Lembah Melati yang terkenal sebagai sarang wanita-wanita cabul ternyata terdapat seorang gadis yang ingin melepaskan diri dari tempat itu. Dan gadis itupun bukan gadis sembarangan melainkan putri dari pemilik lembah Melati sendiri.

"Nona Lian," kata pemuda itu sesaat kemudian. "maaf. aku hendak bertanya kepadamu, harap jangan marah"

"Silahkan, engkoh," jawab gadis itu. "Apakah memang demikian perintah Hu Yong siancu agar anakmurid Partai Melati itu menculik lelaki dan melakukan perbuatan cabul dengan orang-orang tawanannya?”

"Ya, memang benar." jawab Kim-lian, "entah bagaimana suhu memang seperti orang yang penasaran dan membenci orang lelaki. Dia seperti hendak membalas dendam kepada setiap orang lelaki tampan. DicuIik lalu dibuat permainan sepuas puasnya setelah itu dilempar keluar dari lembah. "Apakah ayahmu juga seorang pria yang tampan ?" tanya pemuda Liok

"Entah," jawab Kim-lian '"karena aku belum pernah melihat bagaimana wajah ayah. Tetapi menurut kata nenek, memang ayah itu tampan sekali!”

"O, kalau begitu jelas ibumu itu penasaran terhadap ayahmu lalu menumpahkan dendam kemarahannya pada setiap pria tampan”

“Yah kemungkinan begitu” kata Kim-lian, “maka dirusuhnya anak murid Partai Melati ini untuk mengikuti jejaknya. Tetapi aneh..”

“Mengapa ?" tanya pemuda Liok pula.

“Berpuluh-puluh suci dan suimoay memang diberi kebebasan untuk mencari orang lelaki dan bersenang-senang dengan tawanan itu. Hanya aku yang dilarang"

“Ha” Pemuda Liok terbelalak.

“Ya memang suhu pernah memanggil aku empat mata. Dia memberi pesan tegas dan keras aku tak boleh main-main dengan orang lelaki. aku berani melanggar larangan itu. Tentu akan dihukum. Engkau tahu apa hukuman yang akan dijatuhkan jika kepadaku apabila aku berani melanggar larangan itu?"

“Entahlah," sahut pemuda Liok.

“Suhu akan merusak kecantikan wajahku ini, supaya aku menjadi gadis yang jelek. Kutahu sifat dan perangai suhu. barang siapa melanggar peraturannya tentu dihukum. Pernah seorang sumoay telah melanggar lalu dipotong daun teiirga dan hidungnya. Karena malu. sumoay itu telah membunuh diri dengan membenturkan kepalanya ketembok" “Dan apakah selama itu engkau tak berani melanggar pesan suhumu, walaupun secara diam-diam ?" tanya pemuda Liok pula

"Tak berani”

“Lalu mengapa sekarang engkau berani bergaul rapat denganku ?” tanya pemuda Liok tengah menyangsikan keterangan itu.

Kim lian tersipu-sipu menjawabnya “Ah, lain. Pertama kali aku melihatmu, entah bagaimana hatiku berdebar keras dan gelisah. Akhirnya aku menghadap Ting San-hoa minta izin agar aku yang melayani engkau “

“Apakah dia setuju ?”

“Tidak setujupun tentu akan setuju. Kan walaupun dia murid yang paling tinggi. Akan tetapi dia sungkan-sungkan terhadapku “

“Mungkin dia sudah tahu kalau engkau puteri dari suhumu” kata pemuda Liok

“Ya mungkin begitu “ kata Kim-lian “memang bukan melulu dia, pun para suci dan sumoay disini memang sungkan kepadaku “

Dalam pembicaraan itu tiba-tiba pintu terdengar diketuk orang. Ternyata si Amoay Blo’on yang datang dan menyanggul sebuah ember besar di atas kepala.

“Taruh dihadapan tuan Liok” perintah Kim-lian

Ketika Blo’on meletakkan ember dihadapan pemuda Liok, tiba-tiba pemuda itu berseru tertahan.

“Ah, airnya begitu panas, masih berkepul” Memang menggunakan kaki Kim lian merasa memang air yang di dalam embar itu masih panas sekali, nona itu marah dan mendamprat : ”Goblok mengapa air untuk cuci tangan masih begitu panas ? Bukankan aku minta air hangat ?”

“Yang hangat habis nona” Blo’on memberi keterangan. “Blo’on benar engkau!” bentak si nona itu pula “Kan mudah

sekali mendapatkan air hangat. Asal engkau tambah sedikit dengan air dingin air panas ini tentu menjadi hangat”

“Blo’on ? siapakah yang nona panggil blo’on ?” Blo’on terkejut.

“Engkau yang Blo’on” bentak Kim-lian

“Ya benar. Bagaimana nona tahu ?” Blo’on makin heran dan mengira kalau nona itu sudah tahu bahwa namanya si Blo’on.

Kim-lian deliki mata “Apa maksudmu ?”

“Mengapa nona tahu kalau aku ini Blo’on ?” si Blo’on mengulang pertanyaannya.

“Suruh mengambil air hangat tetapi mengambil air yang begitu panas kalau tidak Blo’on lalu apa namanya ?”

“Ya, benar nona, engkau benar memang aku Blo’on. Hanya aku ingin tahu, bagaimana nona tahu kalau Blo’on”

“Gila” bentak Kim-lian makin marah “apakah engkau tidak tahu kalau arti Blo’on ialah goblok seperti engkau ini”

“Ah nona ini bagaimana ? bukankah sudah mengaku kalau ini Blo’on”

“Engkau memang gila ! Apa engkau hendak jual lagak di depan tuan Liok ini ?”

“Jual lagak ? Biar apa ?” Blo’on heran. "Agar tuan Liok suka kepadamu !" kata Kim-lian, "engkau hendak meniru nona-nonamu yang lain itu. bukan ?"

"Tidak, tidak." cepat-cepat Blo’on membantah "aku tak ingin memikat tuan Liok. Pun andaikan tuan Liok suka kepadaku, belum tentu aku mau “

Plak . . . tiba-tiba Kim Lian menampar pipi Blo’on "Kurang ajar. Engkau berani menghina tuan Liok ?”

"Tidak, nona." kata Blo'on sambil mendekap pipinya yang merah “aku tidak menghina, tetapi mengatakan yang sebenarnya. Apabila tuan Liok menghendaki diriku. Akupun tak dapat melayani, karena, aku ini ”

Tiba-Tiba Bio'on teringat kalau dirinya sedang menyaru jadi bujang perempuan. Maka ia hentikan Kata-katanya.

“Engkau bagaimana ? engkau sangat cantik ?” Kim-lian marah terus hendak menamparnya lagi.

Tetapi dicegah Pemuda Liok “Sudahlah adik Lian, jangan mengurusi bujang yang blo’on. Suruh saja ia membawa kembali air panas itu supaya diberi air dingin sedikit “

Karena yang menengahi pemuda Liok, Kim Lian jadi menurut : “Engkau bawa kembali ember itu dan tambahkan sedikit air dingin supaya hangat “

Blo’on mengiakan segera ia menghampiri ke tempat ember lalu mengambilnya, maka ember itupun disanjungnya diatas kepala.

Pemuda Liok memperhatikan dengan tajam diri bujang perempuan itu dan gerak geriknya. Ia mengerutkan dahi agak terkejut. Serasa ia pernah melihat wajah bujang itu tetapi entah dimana ia lupa. Untuk menjaga jangan sampai orang curiga, maka Blo’on mengolah gerak jalannya. Ia tak berjalan dengan langkah lebar sebagai biasanya, melainkan dengan langkah yang bergoyang-goyang. Ia melihat bagaimana berlenggang lenggoknya seorang gadis apabila berjalan. Dan iapun mencoba untuk menirukan gaya itu.

Tetapi karena dia seorang anak lelaki dab blo’on maka gerak geriknya itu malah menimbulkan suatu gerak yang over acting atau berlebih-lebihan. Gaya jalannya seperti seekor bebek berjalan bergoyang pinggul...

Melihat itu pemuda Liok hampir tak kuat menahan gelinya. Tetapi tidak demikian dengan Kim Lian memandang tingkah laku si Amoay Bloon itu se akan-akan meledek

Ketika Blo’on tepat tiba di ambang pintu tiba-tiba Kim Lian berteriak “ Amoay berhenti!”

Bloon terkejut lalu berputar tubuh. Pintu itu memang cukup tinggi tetapi karena menyanjung ember itu di kepala. Blo’on harus mengendapkan tubuh apabila akan melewati ambang pintu, supaya ember tidak melanggar palang pintu atas.

Karena mendongkol melihat tingkah laku Ah moay yang disangka hendak memikat perhatian pemuda Liok. Ketika ia melirik ke arah pemuda Liok memang dilihatnya pemuda itu mengawasi Ah moay dengan penuh perhatian. Diam-diam timbul kemarahan hati Kim Lian. Ia cemburu, maka dipanggilnya Blo’on dengan bentakan yang keras.

Blo’on sebenarnya sudah tahu kalau harus mengendapkan tubuh agar ember diatas kepalanya jangan sampai melanggar palang pintu. Tetapi begitu mendengar bentakan Kim Lian memangilnya ia terkejut sekali dan lupa untuk mengendapkan tubuh terus saja ia berputar tubuh hendak menghadap ke arah nona itu.

Prak.. ember itu membentur palang atas pintu dan seketika tumpahlah isinya.

“Aduhhh.....” menjeritlah Blo’on terus mendekap kepalanya. Air itu mencurah ke kepalanya, karena air panas sudah tentu Blo’on menjerit ketakutan sekali. Ya bayangkan saja bagaimana rasanya kalau kepala disiram air panas itu.

Untuk mengurangi rasa kesakitannya. Blo’on berjingkrak- jingkrak dan menjerit-jerit.

Namun rasa sakit itu masih tetap tak berkurang. Dan karena bingung Blo’on pun segera lari seperti orang gila. Ia  lari mengamuk kian kemari dalam ruangan itu.

“Hai.... Rambutnya copot”teriak Kim Lian demi melihat rambut palsu yand dipasang di kepala Blo’on itu meluncur jatuh ke lantai.

“Gila!” kembali nona itu menjerit bahkan kali ini lebih kaget dari yang tadi. Setelah Blo’on gundul kembali seperti asalnya. Kim Lian segera mendapat gambaran bahwa bujang itu tak mirip dengan Ah moay. Dan jelas dia itu seorang lelaki muda yang berkepala gundul.

“Mengapa ?” pemuda Liok bertanya heran.

“Dia... bukan Ah-moay” seru Kim-lian “dia itu jelas seorang lelaki yang menyaru jadi Ah-moay “

Blo’on terkejut.....

---000odw0ooo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar