Pendekar Bloon Jilid 06 Kate dan Bungkuk

Jilid 6 Kate dan Bungkuk.

Sebenarnya Pengemis-sakti Hoa Sin sedang dalam perjalanan mencari jejak putera Kim Thian cong yang hilang. Hari itu ia tiba di Kabupaten Hoa-im-koan wilayah Siamsay. Karena sudah tiba di daerah itu, pikirnya sekalian ia datang saja ke Hoa-san. Sekedar kunjungan persahabatan dan sekalian menanyakan tentang keadaan ketua Hoa-san-pay yang tak dapat datang pada upacara pemakaman jenazah Kim Thian-cong.

Pada saat tiba di sebuah bukit, hari pun sudah malam. Dan ketika mendaki di lereng, ia melihat seorang kakek tua sedang menyerang seorang anak muda. Dan sebagai seorang tokoh persilatan yang tajam pandangan, cepat ia dapat melihat kalau anak muda itu terancam bahaya maut. Mau segera ia timpukkan sepotong kayu untuk mencegah tindakan si kakek.

Tetapi kakek itu pun sakti. Cepat ia dapat  mendengar kesiur angin yang melanda punggungnya. Dan segera ia pun menghindar ke samping. Akibatnya si Blo'on yang terdampar ke dalam jurang.

Memang diantara ketujuh Partai Persilatan besar di dunia persilatan, dewasa itu Hoa-san-pay sedang mengalami masa kemunduran. Perguruan itu tak mempunyai murid yang menonjol kepandaiannya dan ketuanya, Kam Sian-hong, pun lesu semangat. Lebih banyak menyekap diri di dalam gua pertapaannya daripada turun ke dunia persilatan.

Entah apa yang menjadikan sebabnya, orang luar tak dapat mengetahui. Apa yang orang dengar, entah apa sebabnya yang menjadi ketua Hoa-san-pay mengganti Tiang Bi lojin yang meninggal dunia, adalah Kam Sian-hong murid yang kedua, bukan Pang To-tik murid yang pertama. Dan sejak itu Pang To-tik pun tak mau menampakkan diri lagi di dunia persilatan. Demikian pula dengan sikap Kam Sian-hong yang tampaknya kurang gairah.

Orang hanya dapat menduga-duga, tetapi tak dapat mengetahui persoalannya yang sesungguhnya. Dengan adanya peristiwa dalam tubuh perguruan itu maka Hoa-san- pay pun makin mundur. Banyak desas desus dan ejek cemoohan dilontarkan orang kepada alamat perguruan Hoa- san-pay. Tetapi selama itu, fihak Hoa-san-pay tak mengadakan suatu reaksi apa-apa.

Sebagai tetua dari Hoa-san-pay sudah tentu Naga-besi Pui Kian ikut prihatin akan keadaan perguruan itu. Dan karena dikuasai oleh rasa prihatin itu, kakek itu pun mudah sekali tersinggung perasaannya.

Walau pun Hoa Sin sebagai ketua Partai Pengemis sudah minta maaf dan memberi penjelasan tetapi Naga-besi Pui Kian tetap merasa terhina. Ia merangkaikan tindakan Hoa Sin itu sebagai sikap menghina perguruan Hoa-san-pay.

Naga-besi Pui Kian menyerang ketua Partai Pengemis dengan hebat. Tetapi Hoa Sin tak mau meladeni. Ia tetap berusaha untuk menghindar. "Pui totiang, harap berhenti dulu," katanya meminta kepada kakek yang marah itu.

Namun Naga-besi sudah seperti kemasukan setan, la tak mau menghiraukan kata-kata ketua Partai Pengemis. Bahkan sambil melancarkan serangan yang makin dahsyat, ia menghambur ejekan: "Hm, kiranya hanya begitu sajakah kepandaian dari pangcu Kay-pang itu ? Main mundur macam kura-kura menyurutkan kepala, tak berani menghadapi lawan!"

Setelah menyelinap dari pukulan kakek Hoa-san-pay, tiba- tiba Hoa Sin berdiri tegak dan berseru dengan nada bengis : "Pui Kian, dengarkan. Aku mengalah bukan karena aku takut kepadamu. Tetapi demi memandang persahabatan antara Hoa-san-pay dengan Kay-pang. Kita sama-sama partai  sahabat dan sehaluan. Mengapa kita harus saling berhantam sendiri?"

"Lebih baik tak bersahabat daripada bersahabat menderita hinaan !" Naga besi Pui Kian menutup kata-kata dengan lepaskan sebuah pukulan Thi-an-lui-oiang atau pukulan Geledek-menyambar, bum..

Balu karang meledak pecah, tanah dan pasir berhamburan ke sekeliling penjuru hingga sekitar tempat itu sampai gelap. Ketika gulungan debu te bal itu hilang, tampaklah dua pemandangan yang mengejutkan.

Pengemis-sakti Hoa Sin lenyap, Naga-besi Pui Kian duduk di tanah pejamkan mata . ,

Apakah yang terjadi ?

Ternyata ketika Pui Kian bergerak memukul, Hoa Sin sudah menduga. Serentak la pun menghantam tanah sehingga debu berhamburan memenuhi sekeliling tempat itu. Ketika angin pukulan kakek Hoa-san-pay melanda, Hoa Sin pun sudah melambung ke udara. Sambil berjumpalitan melayang turun,  ia menimpuk dengan biji tiok-ki atau catur ke arah lutut Pui Kian.

Pui Kian terkejut ketika lututnya terasa terpukul benda kecil yang keras. Ia menyadari kalau dirinya diserang benda rahasia oleh ketua Partai Pengemis. Tak mau ia mengerang kesakitan karena lebih penting mengerahkan tenaga dalam untuk mempertahankan keseimbangan kakinya yang kena timpukan itu. Namun lututnya terasa lunglai sekali sehingga tak kuat menahan tegak tubuhnya. Akhirnya jatuhlah ia terduduk di tanah.

"Hm, jalan darah lututku tentu tertutuk," diam-diam ia menduga seraya kerahkan tenaga dalam untuk berusaha membukanya kembali.

Demikian keadaan tempat di tepi pegunungan bukit karang itu segera sunyi senyap lagi. Angin malam berhembus makin dingin.

Tak berapa lama Naga-besi Pui Kian pun ber bangkit. Memandang ke sekeliling ia tak melihat ketua Partai Pengemis itu lagi.

Ia pun segera ayunkan langkah hendak pulang ke markas Hoa-san-pay. Tiba-Tiba matanya tertumbuk pada gunduk batu yang terletak di tepi jalan. Pada batu itu terdapat gurat-gurat tulisan yang berbunyi :

Pengemis Hoa Sin menghaturkan maaf kepada Pui totiang. Lain hari akan menghadap ke Hoa-san untuk menerima hukuman.

Geram sekali kakek Hoa-san-pay itu. Tetapi diam-diam ia mengagumi kesaktian ketua Partai Pengemis. Tulisan pada batu itu dibuat dengan guratan jari tangan! Suatu pertanda betapa hebat ilmu tenaga dalam pengemis sakti itu.

Naga-besi Pui Kian menghela napas, tundukkan kepala dan lanjutkan langkah .

Bukit karang itu disebut Hek hou-san atau gunung Macan Hitam. Disebut bukit Macan Hitam karena memang di daerah pegunungan itu banyak dihuni kawanan macan hitam yang bersarang di dalam guha-guha karang yang banyak terdapat di pegunungan itu.

Diantara yang paling terkenal menyeramkan ialah lembah Hek-hou-ko atau lembah Macan Hitam. Sebuah lembah yang menyerupai jurang. Mulut jurang tidak berapa luas. tetapi dalamnya sampai mencapai ratusan meter sehingga apabila orang berdiri ditepi jurang dan melongok ke bawah, hanya seperti sebuah kawah hitam yang tak kelihatan apa-apa.

Memang jarang dan boleh dikata tak ada seorang penduduk yang berani turun kedalam jurang lembah Macan Hitam itu. Kecuali menjadi sarang harimau hitam, pun banyak juga terdapat bangsa ular beracun.

Tetapi sebenarnya jurang Macan Hitam itu mempunyai seorang penghuni manusia. Seorang kakek yang amat tua renta, umurnya sudah lebih dari seratus tahun. Tubuhnya pendek sekali, tingginya hanya satu meter lebih sedikit. Yang aneh. kakek pendek itu rambut kepala, kumis dan jenggotnya masih hitam.

Sejak lima hari yang lalu, kakek jenggot hitam itu menerima kedatangan seorang tetamu. Juga seorang kakek tua renta yang usianya sebaya dengan kakek pendek,

Diantara kedua kakek itu terdapat hal yang menyolok sekali bedanya. Kalau tuan rumah seorang kakek yang bertubuh kate dan berambut hitam adalah tetamunya seorang kakek yang berpunggung bungkuk. Sebuah benjolan daging bundar besar hinggap di punggungnya. Rambut kepala dan kumis serta jenggotnya putih semua.

Kakek bungkuk itu tinggal di gunung Hok-gu san atau gunung Kerbau Mendekam. Dan tempat itu memang sesuai dengan penghuninya. Sepintas pandang, kakek bungkuk itu memang menyerupai seekor kerbau yang tengah mendekam di tanah.

Ah, biasanya orang yang datang berkunjung ke rumah orang, tentulah karena bersahabat. Kakek dari lembah Macan Hitam dan kakek dari lembah Kerbau Mendekam, memang sering kunjung mengunjungi. Tiap tahun mereka bergantian saling mengunjungi. Tahun yang lalu kakek Macan Hitam yang berkunjung ke lembah Kerbau Mendekam. Tahun ini kakek lembah Kerbau Mendekam yang datang ke lembah Macan Hitam.

Ah, sungguh manis sekali hubungan kedua kakek itu. Mereka tentu sahabat yang kental dan rukun. Tetapi apabila anda menyangka demikian, itu salah.

Kedua kakek yang tampaknya begitu rukun dan karib ternyata bukan bersahabat tetapi saling bermusuhan. Musuh bebuyutan. Ya, memang aneh tetapi nyata.

Sudah berpuluh-puluh tahun mereka melangsungkan permusuhan bebuyutan itu. Tiap tahun mereka bergantian datang berkunjung untuk melangsungkan adu kepandaian. Adu kepandaian itu berlangsung sampai beberapa hari. Setelah sama mengakui bahwa kepandaian mereka berimbang, yang satu tak dapat mengalahkan yang lain, barulah mereka berjabat tangan. Duduk minum arak, makan enak. Setelah itu baru berpisah. Suatu perpisahan dari dua orang sahabat yang tampaknya mesra dan karib sekali.

Dunia ini memang penuh dengan manusia-manusia aneh. Diantaranya ialah kedua kakek itu. Mereka sudah tua renta tetapi pikiran, ulah tingkah dan bicaranya masih seperti anak kecil. Mungkin karena usianya yang sudah kelewat tua, mereka berobah menjadi anak lagi.

"Hai, sahabat Kerbau Putih." seru kakek pendek, sudah empat hari kita adu kepandaian. Ternyata tangan kita sama kuatnya, kaki juga sama kuat, mulut sama kuat Sekarang hari kelima, hari terakhir Kita adu kepala. Kalau masih sama kuat, bubar. Aku menyediakan arak istimewa untukmu. Lain tahun kita adu kepandaian lagi. Setuju bukan ?

"Ho, ho. Macan Hitam. Tahun ini aku sebagai tetamu. Sudah tentu aku menurut saja apa kehendakmu. Lain tahun kalau aku yang jadi tuan rumah, engkau harus menurut peraturanku.”

"Tentu, tentu" sahut kakek Macan Hitam, "pokok yang penting, kita jangan mengingkari janji Mati yang telah kita buat dengan darah itu."

"Jangan kuatir, Macan Hitam," seru kakek berambut putih, "takkan kulupa Perjanjian Mati itu."

"Bagus engkau. Kerbau Putih," seru " kakek Macan Hitam, "sekarang mari kita langsungkan pertandingan hari kelima atau hari terakhir ini. Kepalaku akan beradu kekuatan dengan daging bundar di punggungmu itu. Tahun yang lalu, kepalaku pusing sampai aku jatuh. Tetapi punggungmu juga kesakitan sehingga engkau pun rebah mencium tanah, bukan ?"

"Ya, benar," sahut kakek Kerbau Putih, "tetapi dalam setahun ini, daging benjolan punggungku sudah kuperbaiki dan kuperkokoh dengan tenaga dalam yang lebih hebat. Apakah kepalamu juga sudah engkau tambah kuat ? Kalau tidak, tentu pecah. Dengan begitu berarti engkau menambah beban padaku !"

"Jangan kuatir, Kerbau Putih," seru kakek Macan Hitam seraya menampar-nampar kepalanya "cukup keras. Pernah kucoba dengan batu karang, batu karang yang remuk."

"Ah, sebenarnya aku tak mau berlatih tenaga dalam lagi, biar daging benjol yang mengeram di punggungku selama berpuluh-puluh tahun itu hancur saja. Ya, biar dihancurkan oleh kepala mu”

"Manusia licik, engkau ini !" teriak kakek Macan Hitam seraya deliki mata menuding kakek berambut putih, "engkau mau cari enak dan hendak mencelakai aku, ya ! Kalau engkau mati, tentu aku yang harus mengubur mayatmu. Itu saja masih tak apa. Tetapi kalau engkau mati, lalu siapakah tetamuku lagi ? Bukankah aku akan kesepian tak punya tetamu ? Lalu siapa kawanku bicara ? Siapa kawanku bertanding kepandaian ? Ho, kakek Kerbau Putih, jangan engkau cari enak sendiri, ya !"

Memang kedua kakek aneh itu telah membuat perjanjian. Perjanjian itu disebut perjanjian Mati. Barangsiapa mati dalam pertandingan tiap tahun itu, yang hidup harus menguburnya. Perjanjian Mati itu diteguhkan dengan saling minum darah. Kakek Macan Hitam minum darah kakek Kerbau Putih, kakek Kerbau Putih juga minum darah kakek Macan Hitam.

Tiba-Tiba kakek Kerbau Putih melonjak bangun dan balas memaki : "Ho, engkau kakek tak tahu kebaikan orang !"

Kakek Macan Hitam melongo: "Kebaikan siapa Kebaikanku, sudah tentu!" teriak kakek Kerbau Putih. "Kebaikanmu? Aneh, mengapa aku tak merasa, kakek Macan Hitam garuk-garuk kepala, "kapan engkau antar kebaikanmu itu kemari ?"

Jika orang biasa, tentu sudah kaku perut atau paling tidak tentu sudah muntah karena mendengar omongan yang tak genah dari kakek itu. Tetapi karena keduanya itu memang kakek yang linglung, yang sinting, yang aneh, yang bego ....

Mereka bicara menurut apa yang dipikirkan sendiri, menurut gerak lidahnya Tak peduli lain orang yang mendengarkan, apakah akan tersinggung hatinya, apakah akan merah mukanya, apakah akan panas telinganya apakah akan meringis, marah.

"Edan," pekik kakek Kerbau Putih." masakan engkau tak merasa ?"

"Huh, kalau merasa, masakan aku bilang tidak !"

"O, benar," kata kakek Kerbau Putih, "tetapi mengapa aku merasa sudah berbuat baik kepadamu

"Bagaimana kebaikanmu itu ?" seru kakek Macan Hitam. "Pikir-Pikir, aku kasihan juga kepadamu. Kalau aku mati,

engkau harus mengubur. Engkau tak punya kawan bicara  lagi. Oleh karena itu aku pun lalu berlatih lagi, agar  aku jangan sampai kalah dalam pertandingan tahun ini.

"Ho, jangan sombong engkau, Kerbau Putih, teriak kakek Macan Hitam, "betapa pun engkau berlatih sampai setengah mati, tak mungkin engkau mampu mengalahkan kesaktian kepalaku ini."

"Uh, sombong engkau. Macan Hitam," kata kakek berambut putih, "coba sajalah nanti berapa. "Setan engkau!" bentak kakek Macan Hitam, "mengapa terhadap seorang sahabat, engkau tetap mau menyimpan rahasia ?"

Kakek berambut putih mendelik. Ia merasa akan bertanding kepandaian dengan kakek Macan Hitam, tetapi ia pun merasa apa yang dikatakan kakek Macan Hitam itu benar. Kakek Macan Hitam itu memang seorang sahabat. Ah, ia bingung memikirkan.

"'Eh, Macan Hitam, coba engkau bilang, kita ini musuh atau sahabat?" akhirnya ia bertanya.

"Musuh bersahabat, Sahabat bermusuhan," sahut kakek Macan Hitam.

"Musuh bersahabat, sahabat bermusuhan . . .” kakek berambut putih mengulang lalu merenung, "o, benar, benar, tetapi eh, apakah maksudnya itu? Mengapa aku tak mengerti?"

"Tak perlu mengerti, cukup asal engkau mendengar saja !" kata kakek Macan Hitam.

"Lho, orang mendengar tentu harus mengerti" bantah  kakek berambut putih.

"Tolol !" damprat kakek Macan Hitam, "coba kutanya kepadamu. Engkau pernah mendengar kerbau menguak ?"

"Pernah "

"Lalu apakah engkau harus mengerti apa arti dari suara kerbau itu ?"

Kakek berambut putih merenung diam. Tiba-Tiba berseru: "Tidak bisa! Aku orang, mana bisa mengerti suara kerbau ?” "Itulah," seru kakek Macan Hitam, "engkau cukup mendengar tak perlu mengerti. Nah, sekarang engkau dengarkan lagi. Baru-Baru ini aku mengeluarkan dua guci arak simpanan selama seratus tahun. Coba bilang arak itu enak atau tidak ?"

"Arak makin disimpan lama, makin enak. Orang makin disimpan lama, makin tua. tidak enak"

"Ho, ho, ho . . . " tiba-tiba kakek Macan Hitam tertawa gelak-gelak, "bagus, bagus. Sekarang engkau pandai bersajak juga. Penyair, ya ?"

"Entah apa jadinya," sahut kakek berambut putih.

"Eh, engkau belum belang. Engkau ingin minum arak simpanan seratus tahun itu atau tidak ?" "Semua !"

Kakek Macan Hitam mendelik : "Ho, dasar kerbau, tentu rakus. Kalau engkau minum semua, lalu aku minum apa?"

"Tak perlu minum, cukup asal membau baunya.

"Ho, mana bisa ? Orang membau, harus minum dong !" bantah kakek Macan Hitam.

"Gila” seru kakek berambut putih, "sekarang aku yang bertanya, engkau yang menjawab. Kalau aku kencing, engkau membau tidak ?"

"Belum tentu " kakek Macan Hitam masih ngotot membantah.

"Kalau aku kentut disini, engkau membau atau tidak ?'"

Kakek Macan Hitam berdiam sejenak lalu berseru : "Belum tentu. Harus lihat-lihat anginnya. Kalau aku duduk di sebelah timur dan angin meniup ke barat, aku tentu takkan membau kentutmu."- .""Hm, kalau aku berak disini, engkau tentu membau,  bukan ?"

"Kurang ajar ! Tentu saja bau !" teriak kakek Macan Hitam. "Apakah kalau membau, engkau harus meminum

kotoranku?"

"Cabul!" teriak kakek Macan Hitam seraya loncat mundur dan mendekap hidungnya kencang-kencang "hayo, enyah dari sini, kakek cabul !"

Kakek Kerbau Putih melongo : "Aku tidak berak sungguh, hanya bertanya, kalau aku berak apakah engkau tak mencium baunya. Setan, mengapa engkau mendekap hidungmu? Apa engkau kira aku berbau busuk ?"

Kakek Macan Hitam lepaskan hidungnya.

Demikian pembicaraan apabila kedua kakek linglung itu saling bertemu. Setiap persoalan, tentu berlarut berkepanjangan sehingga apa yang ditanyakan, sering kabur dengan lain soal.

"Eh, Kerbau Putih, karena engkau mengoceh panjang lebar, aku sampai lupa apa yang hendak kutanyakan kepadamu itu. Hayo, sekarang engkau harus bertanggung jawab, memberitahu kepadaku apa yang hendak kukatakan kepadamu tadi !"

Kakek rambut putih terkesiap, kerutkan jidat, merenung.

Tetapi dia lupa.

"Ho, goblok benar engkau Kerbau Putih," seru kakek Macan Hitam, "masakan soal begitu mudah saja engkau lupa ?"

"Ya, memang aku lupa. Cobalah engkau beri tahu kepadaku, agar aku dapat, mengingatkan hal itu kepadamu." "Aku tadi bertanya soal arak ..."

"O, benar. Sekarang aku pun akan memberi-tahu apa yang engkau bilang kepadaku tadi. Ya, engkau bertanya kepadaku soal arak."

"Benar, ah, mengapa aku lupa," seru kakek Macan Hitam. Pada hal dialah yang ingat soal itu lalu memberitahu kepada kakek Kerbau Putih. Kakek itu segera memberitahu kepada kakek Macan Hitam.

"Belum cukup !" seru kakek Macan Hitam.

"Kalau begitu, engkau harus memberitahu lagi kepadaku agar akan dapat menyampaikan kepadamu."

"Huh. aku juga lupa!" seru kakek Macan Hitam "Celaka ! Kalau engkau sendiri lupa, bagaimana aku bisa ingat ?" kakek Kerbau Putih menggerutu .

"Ah, siapa bilang aku lupa ?" kakek Macan Hitam menyeringai, "bukankah engkau bilang kalau berhasil mempelajari ilmu tenaga dalam gaya baru ?

"Benar!" seru kakek Kerbau Putih, memang ilmu tenaga dalam yang kuyakinkan itu luar biasa".

"Engkau harus memberitahu kepadaku apa yang disebut ilmu tenaga dalam gaya baru itu. Atau arak itu takkan kusuguhkan kepadamu, akan kuminum sendiri ..."

"Engkau licik, Macan Hitam ! Masakan musuh minta keterangan tentang kekuatan lawannya. Tetapi, benarkah arak itu arak simpanan seratus tahun yang lalu, engkau tidak bohong ?"

"Ha, ha," kakek Macan Hitam tertawa bangga, "diseluruh jagad ini tak ada arak yang lebih hebat dari arak buatanku. Coba engkau dengarkan, arak-arak yang kubuat itu. Engkau tentu akan mendelik keheranan. Arak itu "

"Bohong ! Bohong !" teriak kakek Kerbau Putih seraya mendekap telinganya, "tak usah banyak omong, lekas sebutkan macam arak yang engkau buat itu"

"Hou-thau-ciu, arak Kepala-macan." "Heh, apa itu ?"

"Kepala harimau direndam arak sampai puluhan tahun. Khasiatnya minum arak itu, Ukiran terang, ingatan jernih. Nih, lihatlah aku. Walau pun sudah tua sekali tetapi aku tidak simpai linglung "

"Lalu ?"

"Hou gan-ciu atau arak Mata-macan. Minum arak itu, mata menjadi tajam dan terang sekali”

"Ha..”

"Hou-si-ciu atau arak Kumis-macan. Dapat menyuburkan tumbuhnya rambut Lihat, walau pun umurku sudah se eh,

tua sekali, tetapi rambutku tetap tumbuh subur dan hitam."

Sebenarnya kakek itu hendak mengatakan kalau umurnya sudah seratus tahun lebih. Tetapi tiba-tiba saja ia teringat bahwa karena rebutan umur, rebutan lebih tua, dengan kakek Kerbau Putih, mereka sampai menjadi musuh bebuyutan.

"Ho "

"Hou-kut-ciu arak Tulang macan, menguatkan tulang- tulang, gigi dan kuku."

"Hi. ” "Hou-sin-ciu atau arak Ginjal-macan. Minum arak itu, orang tentu menjadi muda kembali, ingin kawin dengan gadis-gadis cantik. Kakek tua semacam engkau, dilarang minum arak itu !"

"Heh . . . apa engkau sering minum sendiri ?”

"Berbahaya! Lalu Hou-si m-ciu, arak Hati macan. Minum arak itu, nyali akan bertambah besar, segala apa tidak takut."

"Hih..”

"Dan terakhir, yang paling hebat sendiri, Hou hiat-ciu. arak Darah-macan. Minum arak itu, darah akan mendidih, tenaga bertambah kuat berlipat ganda."

"Amboi . . . !"

"Sekarang engkau boleh pilih mau minum arak yang mana, bung?"

Kerbau Putih tak lekas menyahut melainkan merenung diam. Beberapa jenak kemudian baru berkata : "Aku ingin arak Hou-sin-ciu saja."

"Hai, goblok benar engkau!" teriak kakek Ma can Hitam, "arak itu arak Kumis-macan, khasiatnya hanya menumbuhkan dan menghitamkan rambut”

"Memang aku ingin rambutku yang putih ini jadi hitam kembali."

"Mengapa engkau tak minta arak Hati-macan atau Darah- macan yang dapat menambah tenaga kekuatanmu ?" seru kakek Macan Hitam.

"Tidak perlu," sahut kakek Kerbau Putih, "aku sudah mendapat ilmu tenaga dalam gaya baru. Tak perlu mencari tambahan tenaga lagi." "Kurang ajar, hayo, lekas engkau beritahukan rahasia ilmu tenaga dalam gaya baru itu. Kalau tak mau, pergilah engkau dari sini, jangan minta arak kepadaku !"

Kerbau Putih melongo. Untung dia itu juga seorang kakek linglung hingga tak menyadari kata-kata kakek Macan Hitam yang gila. Ia malah marah juga : "Setan tua, engkau hendak mengusir aku ? Jangan main-main engkau! Kalau engkau tak mau memberikan arak itu, sarangmu ini tentu kubakar !"

"Ya, ya, akan kuberi arak itu tetapi sahabatku yang baik, engkau pun harus memberitahu tentang ilmumu tenaga dalam gaya baru itu," tiba-tiba kakek Macan Hitam berganti nada ramah.

Mendengar itu kakek Kerbau Putih pun tenang juga : "O, baiklah, sahabat yang manis. Dengarkanlah Sebenarnya secara tak sengaja aku telah menemukan cara menimbulkan tenaga dalam gaya baru itu . . . "

Kakek Macan Hitam makin gelisah tak sabar. Ia berdiri lalu duduk, berdiri lagi dan duduk pula.

""Ketika itu aku sakit hampir mati. Dan kukira memang tentu mati. Aku sampai tak dapat bangun ..."

"Hai, mengapa engkau tak memberitahu kepadaku ? Tentu aku akan datang menolongmu !" kakek Macan Hitam memutus omongan orang.

"Engkau edan !" damprat kakek Kerbau Putih, "sedang bergerak bangun saja tidak bisa, mana aku dapat memberitahu kepadamu !"

"O, benar, benar," kata kakek Macan Hitam sambil menampar-nampar kepala. "Perutku sakit sekali, terpaksa aku paksakan diri merangkak keluar guha untuk buang air. Tiba di muka guha aku sudah tak tahan dan berak terus menerus sampai kotoran habis hanya tinggal berak air. Tetapi tetap tak berhentinya. Sehari terus berak-berak saja, aku sampai lemas sekali dan rubuh pingsan di muka guha ..."

"O. kasihan benar," kembali kakek Macan Hitam menyelutuk.

"Entah berapa lama aku terhampar pingsan, ketika membuka mata mukaku basah kuyup dan perutku melembung. Ah, ternyata karena rebah dengan kepala menghadap ke atas dan mulut menganga, hujan yang turun malam itu telah masuk ke dalam perutku. Buru-Buru aku masuk ke dalam guha lalu duduk menjalankan pernapasan. Peredaran darah kuhentikan, kusalurkan saja air itu ke seluruh tubuh, untuk mencuci bersih kotoran-kotoran dalam tubuh Isi daging benjolan pada punggungku pun kucuci. Eh, di dalam menjalankan peredaran air itu, aku menemukan sesuatu yang belum pernah kualami. Kekuatanku bertambah, semangatku penuh. Kucoba untuk menghantam karang. Eh, mudah juga, tak kalah dengan pengerahan tenaga-dalam. Lama kelamaan baru kusadari bahwa selain tenaga dalam yang berasal dari pengerahan hawa dan darah dalam tubuh, ternyata air dalam tubuh manusia itu pun dapat dikerahkan dan dibentuk  menjadi suatu kekuatan yang tak kalah hebatnya. Maka kusebutnya sebagai tenaga dalam gaya baru. Tidak menggunakan hawa dan darah tetapi dari air dalam badan manusia ini."

"O, hebat," seru kakek Macan Hitam, "tetapi masakan dapat menyamai kehebatan ilmu tenaga dalam yang biasa ?" "Nanti engkau dapat merasakan sendiri " kata kakek Kerbau putih, "Cui-sin-kang atau Tenaga-air-sakti, demikian kunamakan ilmu itu."

"Huh, jangan berlagak sok, engkau !" tiba-tiba kakek Macan Hitam marah, "aku pun hendak melatih ilmu itu, tentu dapat menyamai kepandaianmu."

"Bangsat, engkau hendak mencuri ilmuku ? Aku yang jerih payah dan menderita kesakitan baru dapat menemukan ilmu itu, sekarang enak-enak saja engkau terus hendak menjiplaknya !"

''Siapa menjiplaknya ? Aku toh belajar sendiri ? Aku toh tidak mencuri ilmumu ?"

Tiba-Tiba kakek Macan Hitam berseru kaget : "Hai, Macan Hitam, jangan, janganlah engkau belajar ilmu itu. Percuma dan sia-sia sajalah !"

Kakek Macan Hitam melongo kemudian deliki mata : "Huh, apa engkau kira aku tak dapat meyakinkan ilmu itu? Lihat saja besok lain tahun !"

"Ha, ha, ha . . . !" tiba-tiba pula kakek Kerbau Putih tertawa gelak-gelak dan panjang.

"Setan, mengapa engkau tertawa ?" seru kakek Macan Hitam terlongong.

"Karena tak mungkin engkau dapat melatih ilmu itu !" "Mengapa?" seru kakek Macan Hitam makin heran.

"Karena hanya orang yang punggungnya tumbuh benjolan daging seperti aku ini, baru dapat melatih ilmu tenaga Cui-sin- kang !"

"Bohong!" "Aku bicara dengan sungguh, terserah engkau mau percaya atau tidak !"

"Sekarang keluarkan dulu arakmu itu !" seru kakek Kerbau Putih.

"Hai !" tiba-tiba kakek Macan Hitam menjerit dan melonjak, "celaka, celaka engkau Kerbau Putih!”

Sudah tentu kakek Kerbau Putih melongo. Tanpa sebab apa-apa, mengapa mendadak sontak Macan Hitam menjerit dan mengerang seperti orang kebakaran jenggot.

"Engkau gila barangkali. Mengapa engkau menjerit-jerit seperti orang edan ?" seru Kerbau Putih.

"Lihatlah keluar itu," seru kakek Macan Hitam seraya menunjuk ke dasar lembah yang merupakan sebuah tanah datar, "bukankah disana tampak terang benderang ? Itulah, matahari sudah berada di tengah langit, hari sudah tengah hari !"

Kakek Kerbau Putih menurut arah yang ditunjuk kakek rambut hitam, serunya : "O, lalu maksudmu ?"

"Mengapa engkau masih mengajak aku bicara begitu bertele-tele saja ? Bukankah kita harus menyelesaikan pertempuran yang terakhir ? Atau apakah memang engkau sudah mengaku kalah ?"'

"Setan tua, siapa bilang aku kalah dengan engkau ? Bukankah engkau sendiri yang terus menerus mengoceh tak keruan? Hayo, kita mulai saja pertempuran itu !" sahut kakek Kerbau Putih yang sudah lupa untuk menagih arak kepada tuan rumah. Memang hampir setengah hari mereka bertele-tele berdebat dan ngotot tak keruan. Setelah matahari naik di tengah, barulah kakek Macan Hitam itu kelabakan.

"Hayo," katanya seraya melangkah keluar menuju ke tanah datar yang letaknya tepat di dasar jurang yang menjurus ke atas sehingga sinar matahari langsung menimpa kesitu.

Setelah saling mengambil kedudukan mereka lalu saling merapat. Macan Hitam menundukkan kepalanya. Kerbau Putih berputar tubuh membelakangi dan songsongkan daging bundar di punggungnya ke kepala lawan. Sesaat terjadilah pemandangan yang lucu. Kakek Macan Hitam menunduk, sorongkan kepalanya ke daging benjol di punggung kakek Kerbau Putih. Sepintas pandang kepala kakek Macan Hitam itu seperti menyorong sebuah bantal daging.

Demikian adu kepandaian yang aneh dari dua orang kakek yang aneh. Pertandingan itu mereka sebut adu tenaga kepala. Dan sesungguhnya, walau pun orang linglung tetapi kedua kakek itu memiliki kepandaian yang sakti sekali. Mereka termasuk tokoh-tokoh luar biasa. Adu tenaga kepala itu diiambari dengan tenaga dalam yang hebat. Dengan kepalanya itu, kakek Macan hitam dapat menyorong hancur batu karang. Demikian pun dengan kakek Kerbau Pulih. Daging benjol pada punggungnya itu mampu mendorong rubuh pohon besar.

Ternyata kesaktian kedua kakek itu berimbang. Sudah empat hari lamanya mereka adu kepandaian. Hari pertama mereka adu tangan. Hantam menghantam, pukul memukul, cengkam mencengkam dan dorong mendorong dengan tenaga-dalam. Tetapi sampai malam rembulan tepat berada di atas mulut jurang, barulah pertandingan itu berhenti tanpa ada kesudahannya. Demikian pun dengan hari kedua, ketiga dan keempat.

Hari itu adalah hari kelima, yaitu hari yang terakhir. Menurut perjanjian yang telah disepakati berpuluh-puluh tahun, pertandingan itu hanya dilangsungkan selama lima hari. Setelah itu dibubarkan.

"Aduh, kurang ajar engkau Kerbau Putih," tiba-tiba kakek Macan Hitam berseru, "mengapa daging  punggungmu berobah sedingin gumpalan es ?”

"Ha. ha, itulah yang namanya Cui-sin-kang, sahut kakek Kerbau Pulih, "dalam waktu beberapa jam saja kepalamu tentu beku dan keras seperti es !"

"Gila," teriak Macan Hitam, "kalau engkau tetap menggunakan Cui-sin-kang, aku bisa mati !"

"Ha, ha, ha," seru kakek Kerbau Putih, "ka lau memang tak tahan, bilang saja kalah. Nanti tentu segera kuhentikan Cui- sin-kang ..."

"Kalah ? Ho, bukankah kalau kalah aku harus mencium kakiku dan menyebutmu 'ayah'? Tidak tidak, aku tak sudi. Masakan aku yang lebih tua harus menyebut ayah kepadamu!"

"Siapa bilang engkau lebih tua ! Pantasnya engkau ini cucuku. Karena sejak aku lahir, aku tak pernah melihat engkau hidup. Baru setelah aku menjadi kakek setua ini, engkau muncul di dunia !" bantah kakek Kerbau Putih.

Demikian kedua kakek yang linglung itu mengadu kepandaian tenaga dalam sambil berbantah. Sekali pun begitu, tenaga dalam yang dipancarkan dari kepala dan daging benjol di punggung kakek Kerbau Putih, bukan  kepalang  dahsyatnya. Tampak kakek Macan Hitam itu makin gemetar tubuhnya Rupanya ia mulai kedinginan menerima serangan Cui-sin-kang atau Tenaga-dalam-air-sakti yang memancarkan hawa sedingin es.

Berjam-jam lamanya kakek Macan-Hitam itu menggigil kedinginan. Dan matahari pun sudah silam ke balik gunung, hari mulai gelap. Tiba-Tiba kakek Macan Hitam menggembor keras lalu menarik-narik rambutnya, kumis dan jenggotnya. Berulang kali ia melakukan hal itu.

"Hai, hangat, hangat!" teriak kakek Kerbau Putih, "mengapa kepalamu mulai hangat?”

Kakek Macan Hitam tak menghiraukan. Ia terus menarik rambutnya kencang-kencang dan menggerung seperti macan. Tubuhnya yang menggigil itu pun mulai tenang kembali.

"Kurang ajar, mengapa kepalamu makin panas?" beberapa saat kemudian kakek Kerbau Putih berteriak kaget.

"Ho, ho, ho," kakek Macan Hitam tertawa meloroh, "sekarang rasakanlah pembalasanku. Memang Hou-hwat-sin- kang itu baru mau memancar apabila matahari sudah silam."

"Hou-hwat-sin-kang ? Apakah itu ?" tanya Kerbau Putih. "Hou-hwat-sin-kang ialah tenaga dalam sakti dari Rambut-

harimau. Jangan kira rambutku yang hitam ini tidak ada gunanya. Ada, ada gunanya, bung ! Apabila matahari sudah silam, rambutku itu dapat kutarik khasiatnya yalah memancarkan tenaga dalam yang kekuatannya seperti tenaga harimau."

"O," desus kakek Kerbau Putih, "mengapa saat matahari silam baru dapat memancarkan tenaga-dalam.” "Karena sesuai dengan namanya Hou-hwat a-atau rambut macan, haruslah malam hari dapat digunakan. Bukankah macan hitam itu baru berkeliaran dan unjuk kekuatan pada waktu malam hari?”

"Kurang ajar, engkau Macan Hitam," teriak kakek Kerbau Putih, "mengapa engkau diam saja? Bukankah engkau hendak mengelabui aku? Kapan engkau mendapatkan ilmu semacam itu ?"'

"Baru dalam tahun ini," sahut kakek Macan Hitam, "tetapi aku lupa bilang. Sekali-kali aku tak bermaksud mengelabuhi engkau."

"Hm, setan tua engkau !" damprat kakek Kerbau Putih lalu berdiam diri.

Jika tadi setengah hari, dari tengah hari sampai petang, kakek Macan Hitam yang menggigil kedinginan: Sekarang dari saat matahari terbenam sampai tengah- malam, kakek Kerbau Putih yang mengerenyut muka karena kepanasan. Kiranya tenaga dalam yang memancar dari Hou-hwat-sin-kang si kakek Macan Hitam itu mengandung hawa panas.

Berjam-jam lamanya kakek Kerbau Putih harus menahan panas sehingga tubuhnya mandi keringat. Memang pada hakekatnya, tenaga-sakti dari ilmu Hou-hwat-sin-kang itu lebih unggul sedikit dari Cui-sin-kang.

Tiba-Tiba rembulan tampak menjulang di tengah angkasa, wajahnya pun tepat terlihat di bawah dasar lembah sehingga sinarnya dapat mencapai tempat kedua kakek itu bertempur.

Sekonyong-konyong kakek Kerbau Putih menguak-nguak tak henti-hentinya. Dan beberapa saat kemudian, kakek  Macan Hitam menjerit: "Hai, mengapa tenaga-dalamku menyurut balik ?" Namun kakek Kerbau Putih tak mau menyahut. Dia tetap diam saja.

"Kerbau Putih, ilmu apa yang engkau keluarkan sekarang ini?" teriak kakek Macan Hitam pula. Tubuhnya mulai gemetar, kepalanya agak pusing.

"Jawab dulu," sahut kakek Kerbau Putih, "bagaimana rasanya kepalamu ?"

"Pusing, huh, kalau terus begini, kepalaku bisa berputar- putar mengelilingi dunia ..."

"Ha, ha, ha . . ," kakek Kerbau Putih tertawa girang, "rasakanlah sekarang pembalasanku. Rembulan sudah berada di tengah, kerbau yang sesat di jalan tak dapat pulang kandang, tentu akan marah, bukan ?"

"Ya”

"Nah, itulah yang dinamakan ilmu Hong-gu-sin-kang atau tenaga dalam Kerbau-gila. Kepalamu dalam beberapa kejab lagi tentu akan berputar-putar dan setelah itu engkau tentu akan jatuh mencium kakiku !"

"Keparat !" kakek Macan Hitam mendamprat lalu ulurkan kedua tangannya kemuka dan berulang-ulang mencakar. Bukan mencakar punggung lawan tetapi mencakar tempat kosong.

"Uh, uh," sesaat kemudian kakek Kerbau Putih mendesuh- desuh, "setan tua, hebat sekali tenaga-dalammu yang menghalau tenaga dalamku."

"Hou-jiau-sin-kang !"

"Apa ? Hou-jiau-sin-kang ?" "Ya, engkau boleh rasakan betapa kekuatan dari ilmu tenaga dalam Macan-mencakar itu."

Demikian silih berganti kedua kakek itu mengeluarkan ilmu tenaga dalam yang aneh-aneh. Ilmu tenaga dalam yang hanya dimiliki oleh mereka berdua. Dalam dunia persilatan memang tak terdapat ilmu tenaga dalam yang seaneh itu. Karena ilmu- ilmu itu adalah hasil ciptaan mereka sendiri.

Rembulan makin merebah ke barat dan malam pun makin larut. Tengah kedua kakek itu bertempur mati-matian, sekonyong-konyong mereka di kejutkan oleh sesosok tubuh yang menimpa tepat di atas kepala yang melekat rapat dengan daging panggung. Bluk ....

Yang jatuh itu bukan lain adalah si Blo'on. Karena tertimpuk banggol kayu oleh Pengemis-sak-ti Hoa Sin, anak itu terlempar

jatuh ke dalam jurang. Dasar belum takdirnya mati. Saat itu di dasar lembah sedang berlangsung pertempuran antara kakek Macan Hitam dengan kakek Kerbau Putih. Dan jatuhnya Blo'on tepat duduk di atas kepala kakek Macan Hitam dan daging benjul kakek Kerbau putih.

"Aduh . .” Blo'on menjerit karena paha kanan menduduki kepala kakak

Macan Hitam yang keras. Tetapi paha yang kiri menduduki daging benjul kakek Kerbau Putih tak terasa sakit.

Kedua kakek linglung itu tidak merasa bahwa ada tubuh orang yang menduduki kepala dan daging punggung mereka. Dan mereka pun tak menyangka kalau ada manusia yang datang kesitu.

"Kerbau Putih, ho, engkau hendak menekan kepalaku supaya pecah, bukan? Jangan ngimpi, rasakan seranganku," kakek Macan Hitam menjerit dan memaki-maki. Lalu kerahkan tenaga dalam untuk menyerang.

"Aduhhh . . . panas sekali !" teriak Blo'on ketika rasakan paha kanannya dialiri hawa yang amat panas. Ia hendak mengangkat pahanya tetapi tak dapat. Paha itu seolah-oleh melekat pada kepala kakek Macan Hitam.

Dari paha kanan, aliran hawa panas itu menyalur ke paha kiri. Deras seperti arus sungai.

"Aduhhh . . . dingin sekali !'" sesaat kemudian Blo'on menjerit lagi ketika paha kirinya dialiri hawa yang amat dingin, sedingin es.

Ternyata aliran hawa dingin itu berasal dari pancaran tenaga dalam kakek Kerbau Putih untuk menolak serangan hawa panas dari kakek Macan Hitam.

Dua buah tenaga dalam yang berlawanan jenis, panas dan dingin, segera berhamburan mengalir ke paha Blo'on. Paha yang kanan dilanda arus panas, paha kiri dibanjiri arus dingin. Kedua jenis tenaga dalam aneh itu berbenturan di tengah lalu meluap ke perut Blo'on.

"Aduh perutku panas ..." Blo'on mendekap perut sebelah kanan, "aduh yang kiri . . " ia mendekap perutnya bagian kiri.

Blo'on peringisan. Perutnya seperti digodok dan dibenam es.

"Aduh, mati aku . . tiba-tiba Blo'on beralih "Hola ..." Blo'on menjerit kaget ketika ia jatuh terduduk di atas kepala kakek Macan Hitam dan hahu kakek Kerbau Putih yang sedang bertempur mati-matian itu ....mendekap tangan kiri ke dada kirinya, "dadaku beku . . . !”

"Mampus engkau, setan tua!" tiba-tiba terdengar kakek rambut putih berteriak girang. Rupanya kakek itu menyangka kalau yang menjerit kesakitan tadi, lawannya kakek Macan Hitam.

"Aduh, mati lagi aku . . !" sesaat kemudian Blo'on menjerit dan mendekapkan tangan kanannya ke dada kanan," dadaku terbakar ..."

"Ho, rasakan pembalasanku, Kerbau Putih," teriak kakek Macan Hitam yang mengira kalau jeritan Blo'on itu berasal dari kakek Kerbau Putih.

Memang kedua kakek itu linglung dan sinting. Mereka tak merasa kalau kepalanya dan daging punggungnya diduduki orang. pun mereka tak mau memperhatikan kalau yang menjerit kesakitan itu bukan lawannya melainkan lain orang.

"Aduh, minta ampun . . kepalaku panas . . mau pecah . . ," tiba-tiba Blo'on menjerit kesakitan dan mendekap kepalanya yang sisih kanan.

"Biar pecah . . eh, engkau sudah minta ampun? Mau mengaku kalah ?" tiba-tiba pula kakek Macan Hitam berteriak. Dia mengira kakek Kerbau Putih yang menjerit dan minta am pun.

"Aduh, mak, ampun. . kepalaku beku . .” Blo'on berteriak lagi dan mendekap kepalanya sebelah kiri.

"Setan tua, siapa yang minta ampun? Uh, kurang ajar, aku orang lelaki mengapa engkau menyebut emak kepadaku ? Kurang ajar, siapa yang kalah! Kalau tak tahan, jangan malu. Bilang saja, tentu kuampuni . . . ," teriak kakek Kerbau Putih yang mengadakan serangan tenaga dalam makin hebat.

Kasihan si Blo'on. Dia telah menjadi bulan-bulan sasaran kedua kakek linglung yang sakti itu. Tubuhnya telah dialiri dua macam tenaga-dalam, panas dan dingin. Separoh tubuhnya yang kanan, panas seperti dibakar api. Separoh tubuh yang kiri dingin seperti direndam es. Untunglah secara tak disadari, dia telah makan rumput mustika Li-ong-si-jau rumput Kumis- naga Rumput itu hanya mengeluarkan bunga tiap seribu tahun. Dengan memakan bunga rumput Liong-si-jau, secara tak disadari Blo'on telah memiliki tenaga dalam yang hebat, setingkat dengan tokoh persilatan kelas satu

Tenaga dalam Blo'on mengalami gemblengan yang hebat. Yang berada di dalam separoh tubuhnya sebelah kanan, digodok dengan tenaga dalam si kakek Macan Hitam yang panas. Sedang tenaga dalam Blo'on yang berada ditubuhnya sebelah kiri, seperti direndam es dari kutub utara.

"Aduh, dadaku beku . . aduh dadaku terbakar . . " Blo'on menjerit dan berteriak ketika kedua jenis tenaga dalam panas dan dingin itu turun membanjiri dadanya.

"Mati sungguh aku sekarang . . " Bloon mengerang jerit terakhir, kemudian ia terkulai rubuh tengkurap di atas kepala dan daging punggung kedua kakek aneh itu.

Kedua kakek itu tetap tak menyadari bahwa kepala dan punggungnya dimuati seorang manusia Mereka tetap menyalurkan tenaga dalam sekuat-kuatnya. Tetapi mereka pun merasakan sesuatu yang aneh.

Tenaga dalam yang dipancarkan kakek Macan Hitam mau pun kakek Kerbau Putih, tak pernah kembali. Begitu memancar keluar, terus hilang. Dengan demikian, perlahan tetapi tentu, tenaga dalam mereka pun mulai berkurang, makin habis.

Menjelang terang tanah, tenaga dalam kedua kakek itu benar-benar habis. Bluk. bluk, bluk . . . terdengar tiga buah suara dan tubuh manusia yang jatuh ketanah. Kedua kakek itu karena tenaga-dalamnya habis, terjerembab jatuh terduduk ditanah. Sedang karena kedua kakek itu lepaskan kepala dan punggungnya maka Blo’on pun jatuh rebah di atas tanah.

Kedua kakek duduk pejamkan mata, menyalurkan pernapasan dan mengembalikan tenaganya. Blo’on menggeletak tak ingat diri.

Beberapa waktu lamanya, kedua kakek itu serempak membuka mata. Demi melihat sesosok tubuh manusia rebah di hadapan mereka, kakek Macan Hitam melonjak bangun : "Hai, harimau . . !” la terus mencengkeram Blo'on.

"Kerbauku ..." teriak kakek Kerbau Putih terus menubruk kaki Blo’on.

"Setan tua. lepaskan. Ini harimauku," teriak kakek Macan Hitam seraya menarik kepala Blo'on.

"Bukan, ini kerbauku!" kakek Kerbau Putih pun menarik  kaki anak itu.

Blo'on dijadikan barang tarikan. Kepalanya ditarik kakek Macan Hitam, kakinya ditarik kakek Kerbau Putih.

Karena ditarik sana dibetot sini, Blo'on tersadar. Ia terkejut dan kesakitan karena dirinya ditarik sana ditarik sini. Saat itu tangannya masih bebas. Karena tak tahan rasa sakitnya. Blo'on ayunkan tangan kanan menghantam kebelakang dan tamparkan tangan kiri kearah kaki kearah kakinya Duk . . duk . . bluk . . terdengar suara tubuh jatuh ke tanah disusul dengan jerit kesakitan.

Karena pukulan Blo'on, kakek Macan Hitam mencelat ke belakang, membentur karang dan rubuh terduduk ditanah. pun kakek Kerbau Putih juga terlempar beberapa langkah, membentur karang dan jatuh terduduk. Tetapi karena dilepas oleh kedua kakek itu, tubuh Blo’on pun jatuh terbanting ditanah.

Kembali kedua kakek itu pejamkan mata, menyalurkan peredaran darahnya yang bergolak-golak. Pukulan Blo'on bukan main hebatnya. Baik kakek Macan Hitam mau pun Kerbau Putih rasakan dadanya seperti dihantam pukul besi.

Blo'on bergeliat bangun. Ia heran mendapatkan dirinya berada dalam sebuah tempat yang sempit. Sekelilingnya penuh dengan dinding karang yang menjulang tinggi.

"Hai, setan ... !" ia melonjak kaget ketika matanya tertumbuk pada seorang kakek berambut hitam yang tengah duduk meramkan mata. Ia ber paling ke kiri dan . . "Hai, setan lagi . . !" ia menjerit kaget seperti disengat tawon. Dilihatnya seorang kakek berambut putih tengah duduk pejamkan mata.

Beberapa saat kemudian, ia mulai tenang. Ke dua kakek yang dianggapnya setan itu masih duduk meram. Timbullah nyali Blo'on. Ia berindap-indap menghampiri kakek berambut hitam. Memandangnya dengan teliti.

'"Aneh ..." gumamnya, "kalau setan mengapa mukanya manusia. Kalau manusia mengapa begitu pendek sekali tubuhnya. Menurut kerut wajahnya, dia seorang kakek tua tetapi mengapa rambutnya masih hitam ..."

Ia maju lebih rapat lagi. Dijulurkannya tangannya untuk meraba muka kakek berambut hitam itu. "Uh, daging manusia," gumamnya, "kalau begitu dia seorang manusia, bukan bangsa setan. Tetapi mengapa diam saja . . "

Tangan Blo'on merayap disepanjang muka kakek itu singgah ke lubang hidung orang. Maksudnya hendak memeriksa pernapasan si kakek. Tetapi karena gelap, jari Blo'on keliru menyasar masuk ke dalam lubang hidung orang,

"Haaaajingng . . . ", karena lubang hidung digelitik jari, kakek Macan Hitam berbangkis sekuat-sekuatnya.

Karena kaget dan karena kuatnya semburan mulut kakek Macan Hitam. Blo'on sampai terlempar dan berguling-guling ketanah. Pada waktu ia bangun, ia pun berteriak kaget : "Hai, engkau ! Mengapa tiba-tiba rambutmu sudah putih ? Kemana rambutmu yang hitam tadi ?"

Kakek linglung, anak itu pun Blo'on. Ia berguling-guling sampai ketempat kakek Kerbau Putih. Dan ketika membuka mata, ia kaget karena mengira kalau kakek Kerbau Putih itu kakek Macan Hitam tadi.

Tetapi kakek Kerbau Putih pun diam saja. Rupanya dia masih menjalankan peredaran napas dan darah untuk mengembalikan tenaganya yang habis.

Karena heran, Blo'on maju mendekati lalu ulurkan tangan meraba rambut kepala kakek Kerbau Putih : "Aneh, mengapa rambutmu menjadi putih, setan ..."

Setelah rambut kepala, tangan Blo'on pun turun meraba kumis kakek Kerbau Putih. Tak disengaja ujung kukunya menusuk ke dalam lubang hidung si kakek dan berbangkislah kakek itu berbangkis sekuat-kuatnya . . . Untuk yang kedua kalinya, Blo'on terkejut dan mencelat beberapa langkah, berguling-guling ketempat kakek Macan Hitam.

"Hai, engkau . . . , " ia menjerit kaget, "rambutmu hitam lagi, bagus !"

Blo'on memang blo'on. Ia tak menyadari kalau di dalam dasar jurang itu terdapat dua orang kakek. Ia heran mengapa kakek itu, dapat berobah-robah, sebentar rambutnya hitam, sebentar putih

Karena heran, Blo'on meraba-raba lagi muka kakek pendek itu. Tiba-Tiba ia meraba kelopak mata si kakek terus disiakkan supaya terbuka. Sudah tentu kakek Macan Hitam itu mendongkol. Mati-matian ia pertahankan kelopak matanya supaya tertutup. Tetapi kalah kuat dengan tangan Blo'on. Akhirnya kelopak mata kakek Macan Hitam itu pun terbuka.

"Ih, ngeri . . . "Blo'on menjerit kaget karena biji mata kakek itu melotot. Karena muka dan matanya dibuat mainan, kakek Macan Hitam itu marah sekali. Dengan menggerung keras, ia menandukkan kepalanya ke dada Blo'on, duk . . .

Blo'on yang duduk merapat didepan si kakek tak dapat menghindar lagi. Dadanya tertumbuk kepala si kakek dan terlemparlah ia ke belakang Bluk . . . tiba-tiba kakek Kerbau Putih memutar tubuh dan menyambut Blo'on dengan daging benjolan punggungnya, duk . . .

"Uh . . . ," kembali Blo'on terpental balik ketempat kakek Macan Hitam Kakek itu menandukkan dengan kepalanya lagi, duk . . .

Demikian Blo'on dibuat bulan-bulan, ditanduk dengan kepala dan dipentalkan dengan daging benjol punggung. Untunglah karena anak itu telah memiliki tenaga dalam yang kokoh, ia tak sampai menderita luka.

Akhirnya karena dibuat bal-balan, Blo'on marah juga. Ketika kakek Macan Hitam menanduk. Blo'on menampar kepalanya dan ketika kakek Kerbau Putih hendak mendorong dengan punggung, anak itu pun menghantam daging benjol  punggung Kakek itu.

Prak, bluk . . . kakek Macan Hitam terkapar dan kakek Kerbau Putih pun menyusur tanah. Keduanya tak ingat diri. Mereka kehabisan tenaga dalam, tenaga dalam keduanya  telah disalurkan ke dalam tubuh Blo'on semua. Ditambah pula anak itu sudah makan bunga rumput Liong-si-jau. Maka tampaknya hebat sekali akibatnya. Kedua kakek itu pingsan !

"Aneh, dimanakah aku berada ?" Blo'on mulai bingung bertanya-tanya," dan siapakah kedua manusia tua itu ?"

Tiba-Tiba melayanglah seekor burung rajawali yang punggungnya membawa monyet hitam. Langsung burung itu hinggap di bahu Blo'on dan monyet pun loncat ke atas kepala anak itu,

"Turun !" teriak Blo'on seraya mendorong monyet dan burung rajawali. Kedua binatang itu- pun loncat turun. Kedengaran lolong anjing berkepanjangan. Rupanya anjing kawan dari kedua binatang itu masih menunggu di tepi jurang sebelah atas. Anjing itu tak berani menuruni jurang yang begitu landai.

Blo'on menghampiri kakek Macan Hitam, Diamatinya kakek itu beberapa saat : "O, dia seorang manusia juga. Tetapi mengapa tubuhnya pendek sekali ?"

Kemudian dia menghampiri kakek Kerbau Putih memeriksanya : "Uh, ini juga seorang manusia. Rambutnya putih, tentu sudah tua. Hai, mengapa punggungnya bersusun?"

Dipegangnya daging benjol pada punggung kakek Kerbau Putih itu : "Uh, keras sekali ..."

Diguncang-guncangnya kakek itu supaya bangun tetapi mereka tetap meram. Blo'on tak tahu kalau kedua kakek itu pingsan. Akhirnya ia mengkal dan dibiarkan saja mereka menggeletak.

"Celaka!" ia berteriak, "jangan-jangan mereka mati dan aku lagi yang dituduh orang membunuhnya!"

Karena beberapa kali ia selalu berada di dekat orang mati dan selalu dituduh pembunuh, Blo'on menjadi jera. Ia mulai bingung untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi ketika memandang ke sekeliling ternyata dinding karang menjulang lurus ke atas dengan tinggi sekali.

"Celaka, tak mungkin aku memanjat ke atas" ia mulai sibuk lari kian kemari mencari jalan.

Akhirnya ia menemukan sebuah terowongan, ia masuk dan dapatkan dirinya berada dalam sebuah guha yang cukup luas.

Perlengkapan yang terdapat dalam guha itu menyerupai sebuah bilik rumah. Sebuah meja, dua buah kursi, sebuah balai-balai yang kesemuanya terbuat dari batu. Sebuah pelita yang masih menyala terletak di atas meja. Dengan demikian dapatlah ia melihat keadaan dalam ruang guha itu.

Dan yang lebih menggirangkan, ternyata di-atas meja batu itu masih terdapat beberapa makanan. Nasi kering dan daging bakar yang menusuk hidung baunya.

Seketika timbullah rasa lapar Blo'on. Tak peduli apa-apa lagi, ia terus duduk dan melahap makanan itu sampai habis Kemudian ia berbangkit mencari minuman. Setelah mencari sekian saat. ia menemukan di bawah balai-balai batu itu sebuah lubang yang ditimbuni rumput kering. Ketika timbunan rumput diambil, ia menjerit girang.

"Oho, arak ..." ia pun segera mengambil sebuah guci terus dibawa ke meja. Dicarinya sebuah cawan lalu dituangnya guci itu. Arak berwarna merah, baunya agak sedap-sedap anyir.

Blo'on terus menghabiskan arak seguci itu. Tiba-Tiba ia rasakan kepalanya pening dan berat.

Kemudian ia rasakan badannya panas dan makin panas. Rasanya seperti dibakar api. Karena tak kuat menahan rasa panas itu, ia tumpahkan pada meja batu. Dipegangnya meja itu lalu digulingkannya, uh, uh . . meja batu itu ternyata berat sekali. Tetapi Blo'on sudah seperti orang kemasukan setan. Didorongnya meja itu sekuat-kuatnya.

Tiba-Tiba terdengar suara berderak-derak ketika meja batu itu mengisar ke samping. Blo'on tetap mendorongnya  sehingga keringat bercucuran seperti orang mandi. Hanya dengan berbuat begitu, ia rasakan kepala dan tubuhnya agak ringan, panasnya mulai berkurang.

Ternyata dia secara tak sengaja telah minum arak Hou-hiat- ciu atau Darah Macan Arak dari darah macan yang diawetkan dengan ramuan daun-daun obat dan disimpan selama berpuluh-puluh tahun oleh kakek Macan Hitam. Arak itulah yang dibanggakan kakek Macan Hitam sebagai arak yang mempunyai daya khasiat menambah kekuatan.

Setelah minum arak itu, berkembanglah tenaga Blo'on Makan bunga rumput Liong-si-jau, diberi saluran tenaga dalam oleh kedua kakek aneh dan kini minum arak Darah Macan. Meja batu yang beratnya beberapa ratus kati itu dapat didorongnya ke samping dan kini terbukalah sebuah lubang terowongan. Untuk turun ke bawah, terdapat titian batu.

Tanpa banyak pikir, Blo'on terus turun ke-bawah. Burung rajawali dan monyet pun mengikuti di belakangnya.

Entah berapa lama ia berjalan menyusur lorong terowongan itu. Akhirnya terowongan itu buntu, pecah menjadi dua lorong yang menjurus ke kanan dan kiri.. Yang menjurus ke kiri - terdapat sebuah huruf berbunyi Si (mati). Sedang lorong yang menjurus ke samping kanan terdapat sebuah Seng (hidup).

Blo'on tak memperhatikan huruf itu. Pokok karena melihat lorong yang menjurus ke kiri itu agak lebar, ia terus saja membelok ke kiri.

Berjalan tak berapa lama, tibalah ia di sebuah ruangan yang besar. Ruangan itu mempunyai empat buah pintu.

Blo'on terkejut melihat suasana ruangan itu tidak segelap lorong terowongan tadi. Di tengah ruangan terdapat lampu yang masih menyala. Sedang empat sudut ruangan dihias dengan empat butir mutiara sebesar telur ayam. Karena ditimpa sinar lampu, mutiara itu memantulkan cahaya yang redup tetapi cukup terang.

Mutiara itu disebut Ya-beng-cu atau Mutiara yang dapat menerangi malam hari. Tergolong mutiara yang jarang terdapat di dunia. Tetapi Blo'on tak tahu. la tak mempedulikan benda berharga itu.

Perhatian Blo'on tertumpah pada keempat pintu yang terletak di empat penjuru, utara, timur selatan dan barat. Pintu utara bercat merah, pintu timur bercat kuning emas. pintu selatan bercat biru dan pintu barat bercat putih. Blo'on tertarik pada pintu bercat merah. Ia menghampiri dan terus membuka pintu itu. Begitu melangkah masuk, ia menjerit dan terus lari keluar lagi.

"Huh, ngeri ..." katanya sambil mengibas kibaskan kepala, "itu manusia atau bukan ?"

la tegak termenung lalu berjalan mondar-mandir. Beberapa saat kemudian, ia membuka pintu merah itu dan melangkah masuk lagi.

Ternyata di dalam pintu terdapat suatu pemandangan yang benar-benar menyeramkan. Duduk numprah di tanah, tampak seorang manusia yang luar biasa tingginya. Sepintas menyerupai seorang raksasa. Rambutnya panjang terurai, menutupi bahu dan sebagian mukanya. Alisnya pun menjulai panjang, demikian pula dengan kumis dan rambut jenggotnya yang sudah putih, menjulai panjang menutupi dadanya.

Orang itu tak berbaju sehingga tulang-tulang rusuknya tampak menonjol karena kurusnya sehingga tubuhnya seperti tulang terbungkus kulit saja.

"Hm, mengapa sampai begini siang baru mengantarkan makanan, Lo Kun," seru orang itu dengan suara yang menyeramkan bulu roma.

Blo'on celingukan kian kemari. Ia kira raksasa itu sedang bicara dengan lain orang ternyata tidak ada orang kecuali dia.

"Lekas bawa kemari makanan itu !” bentak raksasa itu pula.

Blo'on tercengang. Akhirnya ia merasa kalau raksasa itu berkata kepadanya : "Makanan apa ?"

"Jangan menggoda aku kakek kate!" raksasa itu menggeram.

"Siapa kakek kate ? Aku bukan kakek dan bukan kate ..." "Lo Kun bangsat ! Engkau berani mempermainkan aku!" damprat orang itu pula. Serempak terdengar bunyi bergerontang yang dahsyat sekali sehingga Blo'on buru-buru mendekap telinganya.

Beberapa saat kemudian, barulah Blo'on mengetahui bahwa raksasa itu berada dalam sebuah kerangkeng besi. Begitu pula tangan dan kakinya diikat dengan rantai yang besar dan panjang, la dapat bergerak kian kemari tetapi tak dapat keluar dari kerangkeng itu. 

Melihat itu, timbullah rasa kasihan pada hati Blo'on. Ia maju menghampiri dan berdiri kira-kira lima langkah dari kerangkeng.

"Kakek, aku bukan kakek kate. Aku seorang anak laki," katanya dengan perlahan.

Raksasa itu picing-picingkan mata dan membelalak lebar- lebar seperti hendak mengamati Blo'on,

"Ho, engkau manusia baru rupanya?" Blo'on mengiakan. "Mana kakek kate itu?" seru orang itu pula

"Dia tidur."

"Bedebah!" orang itu memaki, "perutku sudah sangat lapar, mengapa dia masih tidur. Lekas panggil dia kemari !"

"Siapa ?” Blo'on melongo. "Kakek kate itu !"

"O, baiklah ..." Blo'on terus ayunkan langkah hendak keluar.

"Tunggu!"  tiba-tiba  orang  itu  berteriak pula. Blo’on pun berhenti dan menghampiri.

"Siapa engkau ?" tanya orang itu. "Ya, benar aku ini." "Siapa namaku ?"

"Entah, aku sendiri juga sedang mencari keterangan." "Hai ! Apakah engkau anak gila ?"

"Tidak! Aku hanya kehilangan ingatan. Aku tak tahu siapa namaku, dari mana tempatku”

"Aneh," gumam orang itu, "kakek itu linglung, sekarang ternyata engkau lebih gila lagi Masakan namamu sendiri engkau tak tahu."

"Apa engkau tahu siapa namaku?" tanya Blo'on

Orang itu rentangkan kedua mata lebar-lebar, serunya: "Kenal saja baru sekarang, eh . . . cobalah engkau mendekat

kemari. Mataku kurang terang, eh kau ini apa bukan ..." tiba-tiba ia menyambar lengan Blo'on terus ditarik ke dekatnya tetapi tertahan terali besi.

"Lepaskan!" Blo'on berteriak dan meronta sekuat-kuatnya Ia merasa sakit sekali karena dicengkeram. Walau pun tangannya tinggal tulang terbungkus kulit, tetapi orang itu masih bertenaga

kuat sekali.

Tiba-Tiba kepala Blo'on dipegang oleh tangan orang itu lagi terus diputar ke belakang, menghadap kepadanya. "Ho, benar, benar . . . engkau pangeran Sun Ti . . ha, ha, ho, ho .. " orang itu tertawa gembira

Karena berhadapan muka hampir merapat, ludah orang itu menyembur keluar ketika dia tertawa. Bau mulutnya hampir membuat Blo'on muntah

"Pangeran ? Apa itu pangeran ?” teriak Blo'on kaget. "Pangeran adalah putera raja. Ya, engkau memang

pangeran Sun Ti putera baginda Ing Lokl!”

"Aku anak raja? Namaku Sun Ti Benarkah itu" "Benar!" teriak orang aneh itu pula.

"Kalau begitu lepaskanlah tanganmu"

"Lepaskan? Ha, ha, ha . . ," orang aneh itu tertawa keras, "berpuluh-puluh tahun aku dipenjarakan disini oleh ayahmu. Sekarang engkau sendiri datang mengantar dirimu menjadi tawananku . . "

"Tidak, tidak!" Blo'on berontak sekuat-kuat-nya. Tetapi karena lengan kanannya dicengkeram dan kepalanya juga dipegang tangan orang itu, Blo'on tak dapat berkutik.

"Kalau engkau meronta, lehermu tentu putus,” seru orang itu.

Burung rajawali dan monyet kecil melonjak! kaget. Rajawali terbang menyambar muka orang itu, tetapi orang itu menyemburkan mulutnya dan burung itu pun terdampar beberapa langkah. Semburan mulut orang aneh itu seperti angin puyuh dahsyatnya.

Monyet kecil melonjak-lonjak dan berkuik-kuik. Tangannya melambai-lambai burung rajawali. Rupanya burung itu mengerti. Dia terus meluncur ketanah dan hinggap didepan monyet. Monyet cepat meloncat ke punggung burung.  Setelah itu burung pun terbang keluar.

Ternyata burung rajawali dan monyet itu serta anjing kuning adalah binatang peliharaan Blo'on! Mereka terlatih baik sekali sehingga mengerti apa! perintah tuannya. Sejak kehilangan ingatan, Blo’on! tak mengenali lagi ketiga binatang peliharaannya! itu. Namun ketiga binatang itu tetapi setia mengikuti.

Burung rajawali terbang kembali ke ruang guha kediaman kakek Macan Hitam. Ternyata kakek! itu sudah sadar dan masuk ke dalam guhanya. Demi melihat burung dan monyet, kakek itu terkejut.! Lebih terkejut pula ketika melihat meja batu telah berkisar dan kedua binatang itu keluar. Melihat si kakek, kera pun melonjak-lonjak lalu turun lagi ke lubang bawah meja itu.

Kakek Macan Hitam terkejut karena melihat meja batu telah berkisar kesamping dan seekor burung serta seekor monyet masuk ke bawah. Cepat ia mengejar.

Tiba di ruang besar, kakek itu terkejut karena melihat pintu merah terbuka. Cepat ia memburu masuk dan : "Hai . . Mali, mengapa engkau!"

"Ho, engkau kakek kate !" seru raksasa itu dengan riang, "lihatlah, yang kutunggu akhirnya datang juga!"

Kakek Macan Hitam makin terkejut ketika melihat si Bloon tak dapat berkutik di dalam cengkeraman raksasa yang dipanggil Mali itu. Melihat kedatangan kakek Macan Hitam, Blo'on meronta.

"Jangan, jangan !" teriak kakek Macan Hitam mencegah, "jangan meronta atau lehermu bisa putus nanti !" Blo'on rasakan tengkuk lehernya seperti dijepit tangan besi yang amat kuat. Apabila ia nekad meronta, memang kemungkinan batang lehernya bisa copot. Ia hendak menghantamkan tangannya kebelakang tetapi terali besi kerangkeng itu, amat kokoh sekali. Terpaksa ia menurut seruan kakek Macan Hitam.

"Mali, engkau mau apa?" kakek Macan Hitam maju menghampiri, "siapa yang engkau cekik itu ? Lepaskanlah ..."

"Setan kate, apa katamu? Melepaskannya ? Ha, ha, tidak, tidak, setan kate ! Allah telah mengirim anak jadah ini kepadaku ..."

"Siapakah anak itu?" seru kakek Macan Hitam

"Dia Sun Ti, putera dari raja Ing Lok yang menghukum aku disini. Ha, ha, sayang aku belum dapat menerkammu, setan kate, kalau dapat kutangkap, badanmu akan kurobek-robek, darahmu kuminum ..."

"Bangsat engkau Mali," kakek Macan Hitam marah, "berpuluh-puluh tahun aku memberi makan dan mengantar minuman kepadamu. Masakan engkau tetap hendak membunuh aku ..."

"O, benar, Lo Kun, benar." tiba-tiba raksasa itu berganti nada ramah, "engkau menghidupi aku tetapi mengapa engkau tak mau melepaskan aku dari kerangkeng besi ini ?"

Kakek Macan Hitam melonjak kaget: "Haram! Khianat! Terkutuk! Aku sudah disumpah oleh baginda Ing Lok, jangan sekali-kali membuka rantai borgolanmu dan melepaskan engkau dari kerangkeng besi. Kalau aku melanggar, aku tentu disambar geledek, tahu" "Kakek edan. mengapa engkau percaya pada segala sumpah kosong ?" teriak raksasa itu.

"Biar, tak perlu engkau turut campur!" bentak kakek Macan Hitam, "kalau aku mati disambar geledek, bukankah engkau juga mati karena tak ada yang mengantar makanan ?"

"O . . . “

"Bukankah lebih baik begini. Engkau tetap hidup dan aku pun tetap bernyawa. Tiap hari kuantarkan engkau makanan dan arak ..."

"Hai, setan tua, mana hidangan dan arak untukku !" tiba- tiba raksasa itu memekik.

"Huh. masih di dalam gua," kakek itu terus lari hendak keluar tetapi tiba-tiba ia berhenti, berputar tubuh dan maju menghampiri ke tempat kerangkeng, "hai, Mali, kulihat semalam rembulan sudah menampakkan diri di atas mulut jurang untuk yang keseribu kalinya. Sudah tiba waktunya aku harus membongkar arak simpanan. Arak Hou-hiat-cil yang lezat dan hebat khasiatnya. Maukah engkau

"Mau, mau !" teriak raksasa seraya melonjak lonjak seperti anak kecil yang akan diberi permen.

"Aduh . . . ad . . uh . . " karena dibawa melonjak, leher Blo'on seperti hendak dicabut dari; batang tubuhnya. Ia menjerit-jerit kesakitan.

"Diam '" bentak kakek Macan Hitam menghentikan gerakan raksasa itu", kalau engkau melonjak-lonjak, takkan kuberi arak"

Raksasa itu menurut.

"Akan kuberimu seguci penuh tetapi engkau harus memberi tebusan," kata kakek Macan Hitam "Apa tebusannya ?" 'Lepaskan anak itu !"

"Ya, ya," raksasa itu terus lepaskan cekikannya tetapi sebelum Blo'on sempat menghela napas, lehernya sudah dicekik lagi kencang-kencang.

"Hai, mengapa engkau cekik lagi ?" teriak kakek Macan Hitam.

"Tidak bisa," seru orang itu, "bawa arak itu kemari, kuminum habis baru kulepaskan anak ini."

Tiba-Tiba sesosok tubuh melesat masuk, loncat ke arah kerangkeng terus menghantam raksasa itu. Krak . . . pendatang itu terpental beberapa langkah ke belakang. Untuk cepat disambut oleh kakek Macan Hitam sehingga tak sampai rubuh.

"Setan tua, lepaskan !" pendatang itu meronta dan deliki mata kepada kakek Macan Hitam, "mengapa engkau malah menangkap aku? Bukankah seharusnya engkau menghajar raksasa ?"

Kakek Macan Hitam melongo. Rupanya ia lupa kalau tindakannya itu karena hendak menolong si pendatang supaya jangan jatuh.

"O, benar, benar," seru kakek Macan Hitam "ya, seharusnya engkau menyerang, aku pun ikut menyerang. Kerbau Putih, engkau lebih pintar dari aku."

"Ho, memang sebenarnya aku lebih tua dari engkau!" kata pendatang itu atau kakek Kerbau Putih. Setelah tersadar ia mencari kakek Macan Hitam di dalam guha. Melihat lubang di bawah lantai, ia terus menyusup turun dan akhirnya tiba di tempat kakek Macan Hitam sedang ribut-ribut dengan si orang raksasa.

Kakek Kerbau Putih marah karena melihat orang tinggi itu tak pegang janji, Ia terus loncat menyerang. Tetapi ternyata orang raksasa itu tangkas sekali. Tangannya yang rnencengkeram lengan Blo'on cepat digerakkan sehingga tangan Blo'on yang menangkis pukulan kakek Kerbau Putih.

Karena sedang menahan kesakitan, Blo’on pun kerahkan tenaga. Secara tak disadari tenaga-dalamnya memancar ke lengan. Tangkisannya itu membuat kakek Kerbau Putih terpental beberapa langkah dan hampir rubuh.

"Jangan . . . menyerang . . aku yang dijadikan alat . . menangkis !" teriak Blo'on.

Kedua kakek itu tertegun dan tak jadi menyerang. Tanya kakek Kerbau Putih : "Siapakah raksasa dan anak itu ?"

Rupanya kedua kakek itu sudah tak bermusuhan lagi. Setelah janji bertanding selama lima hari selesai, kini mereka kembali seperti seorang sahabat lagi.

"Si raksasa itu bernama Somali. Dahulu dia menjadi pengawal istana raja Ing Lok. Karena dia berani main gila dengan seorang selir raja, dia di buang dan dipenjarakan disini," kata kakek Ma can Hitam.

"Menilik kulitnya yang hitam dan penuh rambut, dia tentu bukan bangsa Tionghoa," kata kakek Kerbau Putih.

"Ya, dia memang bukan orang Tionghoa. Pemberian raja Persia kepada laksamana Ceng Ho ketika berlayar tiba di negeri itu. Dia amat sakti, pernah diadu dengan para si-wi (pengawal keraton) oleh baginda Ing Lok, ternyata menang maka oleh baginda dia diangkat menjadi penjaga istana . . " "Hai, Lo Kun, kalau tak lekas membawa arak dan makanan kemari, pangeran ini tentu kupatahkan lehernya!" tiba-tiba orang aneh itu berteriak

Lo Kun atau si kakek Macan Hitam melonjak kaget, serunya: "Ya, ya, segera akan kuambilkan" ia terus lari keluar meninggalkan kakek Kerbau Putih yang terlongong-longong.

Sesaat kemudian kakek Kerbau Putih itu menghampiri ke dekat kerangkeng : "Hat, Somali, mengapa engkau hendak menganiaya anak itu ?"

"Tua bangka, enyah engkau dari sini" Somali mengaum dengan buas.

"Kakek, jangan dekat-dekat padaku," tiba Blo'on berseru, "manusia ini amat buas."

"Ho, makin buas aku makin senang. Akan kucoba sampai di mana kekuatannya . . , " ia terus hendak maju mendekati

"Berhenti!" sekonyong-konyong kakek Macan Hitam muncul dan berteriak, "jangan mengganggu dia!”

"Manusia semacam dia tak perlu diberi hidup!” bantah kakek Kerbau Putih.

"Kerbau Putih ingat," kata kakek Macan Hitam dengan bengis, "kalau berani mengganggunya, engkau tentu akan berurusan dengan aku. Dia sudah cukup menderita, jangan engkau ganggu lagi!"

Tanpa menghiraukan si kakek Kerbau Putih, kakek Macan Hitam itu terus menyodorkan sebuah penampan batu yang berisi sebuah guci arak dan sepiring daging, semangkuk nasi."

"Sayang dendeng daging macan habis, entah dimakan siapa. Yang ini tinggal dendeng ular. Dan arak Hou-hiat-ciu," kata kakek Macan Hitam. "Bagus . . ," seru Somali tetapi tiba-tiba ia bingung. Kalau makan hidangan itu, ia harus melepaskan tangan kanan atau tangan kirinya. Berarti lengan atau leher anak itu akan bebas, "berbahaya .. " gumamnya seorang diri.

"Mengapa berbahaya ?" seru Blo'on.

"Kalau kulepas tangan kananku, lenganmu tentu bebas, mungkin engkau dapat memukul aku. Kalau kulepas tangan kiriku, lehermu bebas, mungkin engkau dapat menggigit tanganku ..."

"Jangan kuatir," seru Blo'on, "kalau mau makan saja. Aku takkan lari !"

"Sungguh ?" Somali menegas.

"Huh, aku seorang putera raja, masakan aku ingkar janji Seorang putera raja, eh . . benarkah aku ini pangeran Sun Ti, putera raja Ing Lok ?"

"Benar, tak mungkin aku salah. Engkau memang pangeran Sun Ti." sahut Somali.

"O, kalau begitu aku harus bersikap agung. Tak mau mencelakai orang secara pengecut seperti dikau ! Lepaskan tanganmu dan makananmu aku tetap menunggumu !"

"O, engkau benar-benar seorang pangeran yang jempol. Kalau engkau bukan putera dari raja Ing Lok, ku tentu mau berhamba padamu ..." Somali terus lepaskan kedua tangannya dan menyambar nampan. Dengan lahap ia minum arak, melalap habis nasi dan daging ular lalu meneguk guci arak sampai kering.

"Wah, sedap . . ," katanya seraya mengusap usap mulut dengan tangannya. Setelah itu ia mencekal lengan dan leher Blo'on lagi. Selama orang itu makan, Blo'on memang tak mau berkisar dari tempatnya.

"Sekarang engkau mau apa ?" tanya Bloon

"Engkau harus menemani aku disini," kata orang itu.

Blo'on mengerut dahi, serunya: "Salah, mengapa aku harus menemani engkau disini ? Bukankah aku ini anak raja ?"

"Benar." sahut Somali.

"Nah, yang benar engkau harus ikut aku, keluar dari tempat ini, mengerti !" kata Blo'on dengan suara garang.

Somali terdiam beberapa saat lalu serunya : "Kembali ke istana Ing-lok-kiong ?"

"Ya." tanpa banyak pikir Blo'on menyahut sekenanya, "eh, mana istana itu ?"

"Jangan kuatir, nanti aku yang mengantar," sahut Somali. "Baik," kata Blo'on, "mari kita berangkat."

"Uh, tidak, tidak jadi !" "Mengapa ?" Blo'on heran.

"Engkau hanya pangeran, bukan raja. Kalau baginda Ing Lok melihat aku keluar, tentu akan ditangkap dan dilempar ke sini lagi."

Blo'on busungkan dada : "Jangan kuatir, aku yang tanggung semua !"

"Hm, baik . . eh, tidak bisa !" "Mengapa tak bisa lagi ?"

"Lihatlah, tangan dan kakiku diborgol dengan rantai, bagaimana aku dapat keluar ?"' "Kurang ajar engkau Somali !" teriak Blo'on, "bagaimana aku dapat melihat kalau leherku engkau cekik. Lepaskan !"

Raksasa dari Persia itu serta merta melepaskan cekikannya dan Blo’on pun mengamati keadaan orang itu.

"O, lalu bagaimana cara membukanya ?" tanya Blo'on. "Pakai kunci."

"Mana kuncinya ?"

"Ada pada si kate Lo Kun itu !" kata Somali sambil menunjuk pada kakek Macan Hitam.

Blo'on memandang Lo Kun : "Hai, Lo Kun aku anak raja, apakah engkau berani kepadaku?”

"Tidak !" sahut kakek linglung itu.

"Apa engkau berani membantah perintahku?,” "Juga tidak ..."

"Bagus, Lo Kun," seru Blo'on, "sekarang kuperintahkan supaya engkau menyerahkan kunci itu kepadaku. Awas, engkau harus menurut !"

"Tetapi ..."

"Tetapi bagaimana ?"

"Tetapi baginda Ing Lok pesan wanti-wanti kepadaku, jangan sekali-kali melepaskan Somali. Dia seorang manusia yang berbahaya !"

"Tidak apa," sahut Blo'on, "soal itu aku nanti yang bilang kepada raja. Bukankah aku ini anak raja ? Tentu saja aku berani bicara dengan ayahku."

Lo Kun masih sangsi. Ia berpaling memandang kakek Kerbau Putih. Maksudnya hendak bertanya, tetapi karena kakek Kerbau Putih itu juga seorang kakek linglung, dia malah deliki mata kepada Lo Kun : "Apa ? Engkau berani membangkang perintah anak raja? Lekas berikan kunci itu!"

"O, ya, benar, benar," kakek Macan Hitam itu berkata seorang diri, "kalau anak raja yang memerintah, aku wajib menurut . . ,"

Ia terus merogoh saku bajunya dan mengeluarkan dua buah anak kunci, diserahkan kepada Blo'on. Blo'on pun membuka borgolan tangan dan kaki Somali.

"Somali, sekarang engkau sudah bebas, engkau harus ikut aku," kata Blo'on.

Somali tegang sekali tampaknya berpuluh-puluh tahun ia dipenjara dalam tempat di bawah tanah dari sebuah guha di dasar lembah. Kini dia sudah bebas. Ya, dia akan melihat dunia lagi. Dia akan pulang ke negerinya . . .

"Wahai ..." serentak ia berbangkit tetapi seketika itu juga ia terkulai jatuh ke tanah lagi. Dicobanya untuk bangun, tetap ia rubuh lagi. "Ah mengapa kakiku sudah tak bertenaga ? Lumpuh ? Ah, benar . . aku memang sudah lumpuh !"

Somali menjerit dan memekik. Meratap dan mengerang ketika mengetahui keadaan dirinya. Berpuluh tahun ia harus duduk, maka menyebabkan kedua kakinya lumpuh. Karena ia seorang raksasa yang tinggi, kalau berdiri kepalanya akan menyundul terali besi di atas. Maka berpuluh tahun ia terpaksa harus duduk dan merangkak. Akibatnya, ia menjadi lumpuh kaki.

Cepat ia merangkak keluar dan tiba-tiba terus mencengkeram kakek Lo Kun : "Engkau, kakek bangsat, yang menyebabkan aku lumpuh begini !" Habis berkata ia terus ayunkan tinju ke arah kepala kakek Macan Hitam itu. Krak, krak, terdengar dua buah pukulan melanda. Kakek Kerbau Putih dan Blo'on serempak menghantam Somali. Raksasa itu terdampar ke belakang dan terlepaslah kakek Macan Hitam.

"Somali, engkau manusia jahat!" teriak Blo'on marah, "mengapa engkau menyerang kakek Lo Kunl "

“Lihat kakiku yang lumpuh ini! Bukankah ia yang menyebabkannya” teriak Somali.

"Bukan," sahut Blo'on, "dia hanya melakukan kewajiban.

Yang memberi perintah ialah raja !"

"Salahmu, mengapa engkau berani mengganggu selir raja yang cantik." kakek Lo Kun pun ikut mendamprat.

"Ya, kalau minta kawin, bilang pada raja, tentu akan diberi wanita cantik, mengapa engkau berani kurang ajar terhadap selir raja ? Masih untung raja hanya melempar engkau di sini, engkau tidak dibunuh saat itu," kakek Kerbau  Putih menambah dampratan.

Somali tertegun diam. Sampai beberapa saat ia diam saja. "Somali, engkau seorang sakti, walau pun kakimu lumpuh

tetapi  engkau  masih  dapat  bergerak  lincah.  Mari  ikut  aku

keluar dari tempat ini," kata Blo'on menghibur raksasa itu.

"Ya, kalian benar. Memang di negeriku, kalau orang yang berani mengganggu selir raja. tentu akan menerima hukuman ngeri. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan empat ekor kuda lalu kuda Ku disuruh lari ke empat penjuru sehingga tubuh orang itu sempal jadi empat ..."

"Huh, ngeri ! Jangan cerita semacam itu” seru Blo'on seraya ayunkan langkah. Ketika ia hendak membuka pintu yang bercat kuning. kakek Lo Kun berteriak : "Hai, mengapa engkau hendak masuk ke situ ? Itu tempat simpanan harta permata raja."

"O," seru Blo'on malah terus membuka. Ketika melangkah ke dalam, ia ternganga keheranan. Ternyata di ruang itu terdapat empat buah peti berisi harta kekayaan yang tak ternilai harganya.

Intan, petak, emas, permata, ratna mutu manikam dan zamrud yang berkilau-kilauan memancarkan cahayanya yang gilang gemilang. Benda-Benda pusaka dan barang-barang berharga yang tak terdapat di dunia.

"Milik siapakah ini ?" tanya Blo'on. "Raja," sahut kakek Lo Kun.

"Kalau begitu, aku berhak mengambil. Bukankah aku ini anak raja ?" kata Blo'on seraya memandang Lo Kun. Kakek itu mengangguk perlahan

Blo'on memeriksa isi keempat peti itu. Tak henti-hentinya ia mengangguk kepala. Setelah selesai memeriksa, ia berkata : "Sekarang kalian harus menjawab pertanyaanku."

"Somali, apakah tujuanmu sekeluarnya dari tempat ini ?" tanyanya kepada si raksasa.

"Pulang ke Persia."

"Baik, engkau boleh mengambil permata dari uang yang engkau sukai untuk bekal perjalanan” Somali terbelalak.

'"Lekas, aku yang memberi ijin!" bentak Blo'on. Somali merangkak menghampiri peti. Ia mengambil segenggam permata dan segenggam uang emas. Lalu menyisih ke samping.  "Sudah hanya sebegitu saja?” tanya Blo’on. “Ya, terima kasih.”

Blo'on memandang kakek Lo Kun, serunya : "Hai, Lo Kun,

engkau sudah memenuhi tugasmu dengan baik. Sekarang mana yang engkau pilih, ambil saja !"

"Buat apa ?" kakek Lo Kun bertanya.

"Engkau dapat menjadi orang kaya raya, punya rumah besar, punya banyak bujang, bisa cari isteri cantik. punya uang, engkau akan jadi seperti raja. Setiap orang menghormati engkau !"

Tiba-Tiba kakek Lo Kun tertawa keras. "Ha, ha, ha, ha "

---ooo0dw0ooo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar