Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 43 Gugur bunga ....

Jilid 43 Gugur bunga ....

Tekad adalah motor penggerak diri manusia yang paling hebat. Seperti yang terjadi pada diri pemuda itu, Dia datang untuk menyelamatkan mentri pertahanan Su Go Hwat. Tekadnya bulat, nyawa sebagai taruhannya.

Maka walaupun harus menghadapi kepungan prajurit Ceng yang rapat, namun pemuda itu deagan gagah berani dapat memaksa mereka mundur. Dia mengamuk bagaikan banteng terluka.

Dengan susah payah, bahkan bahu kirinya kena tertusuk senjata musuh, akhirnya pemuda gagah itu berhasil membuka sebuah jalan darah dan dapat menerobos keluar dari pmtu kota selatan. Tetapi belum jauh meninggalkan kota Yang-ciu tiba2 muncullah seorang perwira Beng dengar beberapa anakbuahnya.

"Hai berhenti!" tiba2 perwira itu menghadang ditengah jalan dengan melintangkan pedangnya "lepaskan Su tayjin!"

Tetapi pemuda itu tak menghiraukan lagi. Dia menjawab dengan menerjang perwira itu. Sudah tentu si perwira tak mau menyerah. Keduanya lalu bertempur.

"Berhenti, Bok ciangkun!" tiba2 Su Go Hwat berteriak menghentikan pertempuran "Bok Kiat dia kawan sendiri," seru mentri Su kepada yang menggendongnya.

Ternyata pemuda gagah itu adalah Bok Kiat putera keponakan dari mentri Su Go Hwat. Ketika mendengar bahwa Yang-ciu sedang diserang secara besar-besaran oleh pasukan Ceng, Bok Kian bergegas menuju ke kota itu.

Diapun mendengar bahwa kota Kim-leng sudah jatuh ke tangan musuh dan pamannya mentri Su, sedang menyingkir ke Yang-ciu. Maka gegaslah dia menuju ke Yang- ciu untuk membantu pamannya mempertahankan kota itu. Tetapi ketika tiba di Yang-ciu, keadaan kota itu sudah kacau balau. Pertahanan pasukan Beng sudah bobol dan pasukan musuh sudah menyerang dalam kota.

Bok Kian saat itu datang dengan naik kuda. Pintu kota selatan terbuka dan sedang berlangsung pertempuran. Bok Kian nekad. Dia larikan kudanya menerjang masuk. Dia tak peduli siapa yang menghadang dimuka, entah prajurit Beng entah musuh, tentu dibabatnya. Dengan tindakan yang nekad itu dia berhasil menerobos masuk.

Tetapi di tengah jalan, dicegat lagi oleh kelompok prajurit Ceng. Dengan geram, Bok Kian membasmi  mereka. Tetapi kudanya kena ditombak rubuh. Bok Kian makin marah, Dia mengamuk dan kelompok prajurit Ceng yang terdiri dari selusin orang itu dapat dibabatnya. Kemudian terus ia menuju ke markas tempat kediaman mentri Su.

Kedatangannya tepat ketika mentri Su hendak keluar berunding dengan musuh. Terus saja pamannya itu dipimpin keluar. Karena masih diganggu dengan kawanan musuh, akhirnya Bok Kian memanggul mentri Su untuk melarikannya keluar pintu kota.

Sedangkan yang menghadang jalan itu memang Bok Lim, komandan pasukan pertahanan kota Yang-ciu yang ditugaskan mentri Su untuk membawa rakyat mengungsi ke lain daerah. Rupanya dia sudah menyelesaikan tugasnya dan bergegas kembali ke Yang- ciu.

Serta mendengar perintah Su tayjin, baik Bok Kian maupun Bok Lim ssgera berhenti. "Su tayjin, siapakah dia

?" seru Bok Lim.

"Bok Kian, keponakanku sendiri," kata mentri Su.

“0, maafkan, Su kongcu," Bok Lim gopoh menghaturkan hormat.

"Bok ciangkun, dia bukan she Su melain she Bok seperti engkau," seru mentri.

"0, maaf, Bok kongcu."

Bok Kian mengucapkan beberapa kata merendah," Ah, tak apa, ciangkun telah melaksanakan kewajiban ciangkun untuk menyelamatkan tayjin."

"Bok ciangkun," kata mentri Su kepada Bok Lim, "apakah penduduk yang mengungsi itu sudah engkau tempatkan didaerah yang aman." "Sudah, tayjin," jawab Bok Lim, "mengapa tayjin dibawa menyingkir Bok kongcu ? Apa musuh sudah masuk kedalam kota ?"

"Musuh mempunyai senjata meriam yang ampuh. Tak mungkin kita dapat melawan," kata tayjin.

"Ah, biar bagaimana kita tetap harus melawan sampai titik darah yang penghabisan," Bok Lim dengan nada mengandung ejek.

"Tidak, ciangkun," sebelum mentri Su jawab, Bok Lian sudah mendahului, "apabila Yang-ciu sudah tak dapat ditolong, kita harus meninggalkan kota itu untuk mengatur perlawan di lain daerah."

"Bok kongcu," seru Bok Lim, "Su tayjin seorang mentri yang setya. Tak mungkin beliau meluluskan cara seperti itu. Seorang mentri seperti Su tayjin, lebih baik pecah sebagai ratna daripada harus melarikan diri.

"Ciangkun," seru Bok Kian, "soal perang bukan soal yang kaku. Menang atau kalah sudah lumrah. Maka kalau sekarang ini kita kalah, kita kan masih ada waktu untuk mencari kemenangan pada lain waktu ?"

"Tetapi Bok kongcu," masih Bok Kian membantah," kota Yang-ciu mempuryai arti penting sekali. Kalau kota itu sampai jatuh, tentulah kotaraja Lam-khia akan terancam. 0leh karena itu Su tayjin hendak mempertahankannya dengan segenap tenaga."

"Su tayjin, apakah Su tayjin membenarkan anggapan ciangkun ?" tanya Bok Kian kepada pamannya.

"Sebenarnya apa yang dikata Bok ciangkun itu memang tepat," kata Su tayjin, "tetapi kenyataan memang lain. Saat ini Yang-ciu sudah dibenam pasukan musuh. Jika kita mempertahankannya tentulah kota itu semakin hancur dan rakyat semakin menderita. Bok ciangkun, musuh mempunyai senjata meriam yang ampuh."

Bok Lim tampat terkejut, "Meriam ? Ah, senjata itu dahsyat sekali."

Mentri Su mengiakan, katanya, "Itulah yang mengerikan. Kalau pertempuran itu tak lekas dihentikan, entah berapa ribu rakyat yang akan mati."

"Lalu bagaimana maksud tayjin ?" tanya Bok Lim.

"Tadi aku memang bermaksud hendak manemui pimpinan pasukan Ceng untuk berunding ..."

"Berunding soal apa ? Apakah tayjin bermaksud hendak menyerah ?" Bok Lim menjadi tegang.

"Aku bersedia menyerahkan kota Yang-ciu asal mereka jangan mengganggu rakyat," kata Su Go Hwat.

"Tetapi tayjin sendiri ?"

"Aku akan pergi dari Yang-ciu."

"Ah, apakah mungkin mereka mau menerima syarat itu ?

Lain halnya kalau "

"Kalau bagaimana ?" tegur mentri Su. "Kalau tayjin menyerah juga."

"Tidak !" bentak Bok Kiat dengan marah. "Su tayjin tak boleh menyerah. Kalau menyerah kerajaan Beng pasti akan ambruk, karena hanya Su tayjin seorang yang menjadi api semangat yang membangkitkan gairah para pejuang untuk meneruskan peperangan melawan orang2 Ceng !"

Bok Lim terbeliak. Dipandangnya anakmuda itu dengan tajam. "Su tayjin sudah mengatakan bahwa kota Yang- ciu tak dapat dipertahankan lagi. Demi kepentingan rakyat. Su tayjin rela akan menyerah. Walaupun putera keponakan tetapi engkau tak berhak memaksa Su tayjin untuk menuruti kehendakmu, kongcu."

"Tidak," teriak Bok Kian," aku takkan memaksa Su tayjin. Tetapi kutahu peribadi Su tayjin. Kalau ciangkun tak percaya silakan saja berunding dengan beliau."

Tetapi pada saat itu dari daerah kota Yang-ciu muncul pasukan Ceng yang menuju ke tempat mereka. Rupanya larinya mentri pertahanan Su Go Hwat telah dilaporkan pada pimpinan pasukannya untuk melakukan pengejaran.

Bok Kian terkejut. Demikian pula mentri Su. Bok Lim segera berkata, "Celaka, kongcu, tayjin, rupanya mereka hendak mengejar kita."

"Biarlah kuhadapi mereka," kata Su Go Hwat melangkah maju tetapi dicegah Bok Kian.

"Jangan tayjin, berbahaya," seru pemuda itu.

"Bok kongcu, lekas engkau tahan mereka, biarlah kulindungi Su tayjin untuk menyingkir dari sini," tiba2 Bok Lim berseru dengan nada yang keras. Sesaat Bok Kian yang polos, tergerak hatinya. Dia mencabut pedang terus maju menyongsong musuh,

Mentri Su Go Hwatpun segera diiring Bok Lim dan anakbuahnya untuk mencari tempat yang aman.

"Kemana kita akan menuju, tayjin ?" tanya Bok Lim. "Kita ke Khay-hong untuk memperkuat tahanan disana,"

kata mentri Su.

"Baik," kata Bok Lim lalu menitahkan anak buahnya supaya menyediakan tandu untuk mentri.

"Ah, tidak, aku dapat berjalan sendiri, ciang kun," kata mentri Su. "Hamba minta supaya ciangkun jangan menolak. Yang penting kita harus cepat2 lari agar jangan terkejar musuh. Karena tak ada kuda, terpaksa kami mohon tayjin suka naik tandu. Kedua kalinya, dengan naik tandu jejak tayjinpun tak mudah diketahui musuh."

Karena alasan itu tepat, terpaksa mentri Go Hwat menurut. Dia segera naik sebuah tandu yang telah disiapkan, entah dari mana. Tetapi dia tak sempat bertanya hal itu.

Lebih kurang sejam lamanya, mentri menyingkap kain pintu tandu. Ia terkejut. Ia melihat disekeliling tempat itu terdapat beberapa perkemahan prajurit. Pada hal ia tahu jelas bahwa pasukan Beng tak pernah membuat perkemahan. Yang mendirikan perkemahan disetiap tempat, tentulah pasukan Ceng. Sudah tentu dia kaget sekali.

"Bok ciangkun, kemanakah kita ini ?” teriaknya seraya menyingkap kain penutup.

"Tak usah gelisah, tayjin. Kita pergi ketempat yang aman," sahut Bok Lim dengan tersenyum.

"Tetapi mengapa banyak perkemahan disekeliling daerah ini ?"

"Ya, memang." "Perkemahan apa ?" "Tentara."

"Tentara ? tentara mana ? Tentara kita atau musuh ?" "Tentara Ceng."

"Hai !" teriak mentri,"Tentara Ceng ? Mengapa kita kesini ?" "Bukankah tayjin hendak berunding ?"

"Tidak," teriak Su tayjin," sekarang aku tak mau berunding lagi. Toh kota Yang-cia sudah terlanjur diduduki musuh. Perlu apa harus berunding ?"

"Ah, harap tayjin bersabar. Berunding lebih menguntungkan," kata Bok Lim.

"Bok siangkun, apa maksudmu ?"

"Tayjin adalah orang penting yang sangat diharapkan kehadirannya oleh pimpinan pasukan Ceng. Tayjin akan disambut dengan penuh kehormatan.

"Bok Lim !" teriak mentri dengan marah, ”engkau hendak main gila ?"

"Tidak, tayjin," sahut Bok Lim dengan senyum santai, "hamba tidak main gila. Hamba benar2 memikirkan kepentingan tayjin."

"Tidak. Bok Lim, aku tak mau berunding dengan mereka," kata mentri Su, "lekas suruh prajurit2 itu kembali ke selatan lagi !"

"Hamba tak dapat menyuruh mereka, tayjin."

"Gila," teriak Su tayjin, "bukankah mereka itu anakbuahmu, mengapa engkau tak dapat memerintahkan mereka ?"

"Maaf. tayjin, mereka bukan anakbuah hamba."

"Apa katamu ?" teriak Su tayjin, "mereka bukan prajurit kita ?"

"Prajurit mana ?" "Prajurit pasukan Ceng." "Jahanam ! Engkau berhianat Bok Lim !" teriak Su tayjin menuding Bok Lim dengan marah sekali.

"Bagaimanapun hamba tetap memikirkan kepentingan tayjin. Agar tayjin mendapat kedudukan yang tinggi. Mengapa tayjin berkeras membela raja Beng yang sudah dikuasai durna Ma Su Ing itu ?"

"Tidak !”

"Mengapa tayjin tak mau menggunakan siasat begini," kata Bok Lim, "tayjin pura2 bekerjasama kepada kerajaan Ceng, Setelah tayjin mendapat kepercayaan dan kedudukan tinggi, dapatlah tayjin menyapu bersih kawanan durna Ma Su Ing itu. Bukankah penderitaan tayjin ini karena tingkah ulah durna itu ? Mengapa tayjin tak mau membalas dendam. kepadanya ?"

"Tidak," sahut mentri Su dengan tegas, "aku rela dicelakai oleh Ma Su Ing tetapi aku tak rela kalau bumi kita diduduki bangsa Boan."

"Tayjin keliru," sahut Bok Lim," kerajaan itu mempunyai masa kejayaan. Kerajaan Beng sudah terlalu lama memerintah, harus diganti dengan raja baru."

"Ya, memang benar dan aku setuju," jawab mentri, "asal jangan dengan raja dari suku Boan"

"Hm, tayjin terlalu keras hati !" dengus Bok Lim.

"Bok Lim, apakah angkau benar2 tak mau memerintahkan prajurit2 itu untuk membawa tandu ini kembali ke selatan ?"

"Hamba tak kuasa memberi perintah mereka. Kalau tayjin ingin memberi perintah sendiri, lakukan saja. Mungkin mereka takut dan akan patuh kepada perintah tayjin." "Prajurit2 yang memikul tandu," seru Su Hwat. "berhenti dan kembali ke selatan lagi !"

Tetapi tandu tetap berjalan ke utara. Jelas prajurit2 itu tak menghiraukan.

"Hai, prajurit, apakah engkau tak mendengar perintahku

!" teriak mentri seraya melongok kebawah,

Tetapi prajurit yang memanggul tandu tak menghiraukan. Mereka tetap berjalan seperti biasa.

"Hai, prajurit, apa engkau tuli ?"

Tetap prajurit itu tak menghiraukan. Bahkan karena mentri Su menuding kearah salah seorang prajurit yang memikul disebelah kanan, prajurit itu mengangkat muka dan balas memandang menganggukkan kepala.

"Hai, berhenti !" teriak mentri kepada prajurit itu.

Prajurit itu mengangguk dan tersenyum. Tetapi dia tetap berjalan ke utara. Sudah tentu mentri mendongkol dan marah sekali.

"Prajurit. apa engkau prajurit Ceng ?" Prajurit itu mengangguk-angguk dan senyum kepada mentri.

"Siapa suruh engkau membawa tandu ini!”

Kembali prajurit itu mengangguk dan tersenyum- senyum.

"Apakah Bok Lim yang menyuruh kalian?” Kembali prajurit itu mengangguk-angguk.

"Apakah Bok Lim sudah menyerah kepada pimpinan pasukan Ceng ?"

Prajurit itu mengangguk-angguk. Mentri merah wajahnya. Jelaslah sudah baginya apa yang telah terjadi. Bok Lim berhianat dan takluk pada musuh kemudian menjebak dirinya untuk dibawa kepada pimpinan pasukan Ceng.

"Jahanam !" berkobarlah amarahnya. Ingin rasanya ia membunuh perwira hianat itu. Tetapi ah ………..

bagaimana mungkin. Saat itu dia sedang berada diatas tandu yang dipikul oleh empat prajurit Ceng. Bagaimana ia dapat turun untuk menghajar Bok Lim !

Setelah menenangkan diri, timbullah suatu pikiran. Kamudian ia melongok kebawah lagi dan berseru kepada prajurit tadi.

"Hai prajurit, tahukah engkau apa ini ?" serunya seraya mencabut cincin dari jarinya dan ditunjukkan ke arah prajurit itu.

Prajurit itu mengangguk-angguk dan tersenyum simpul. "Maukah engkau memiliki benda ini ?" kata mentri pula. Dan untuk kesekian kalinya prajurit itu mengangguk-

angguk dan tersenyum.

"Akan kuberikan cincin pusaka ini kepadamu apabila engkau mau menurut perintahku." Prajurit mengangguk- angguk.

Mentri melongok dan memandang kian kemari.

Ia tak melihat Bok Lim berada disekeliling situ. Kesempatan itu segera digunakan mentri untuk membujuk prajurit.

"Prajurit, selain cincin ini, nanti engkau berempat akan kuberi hadiah uang yang banyak apabila engkau mau membawa tandu ini balik ke selatan. Cobalah engkau rundingkan dengan kawan-kawanmu," kata mentri dengan suara pelahan.

Prajurit itupun kembali mengangguk.

"Bagus, prajurit, jasamu tidak kecil Kelak akan kuberi pangkat tinggi," kata mentri lalu menghempaskan diri menunggu.

Namun ia merasa tandu nu masih tetap jalan dan prajurit itu tak memberi kabar. Karena tak sabar, mentripun melongok kebawah lagi. "Bagaimana, apa engkau sudah berunding?” tanyanya.

Prajurit itu mengangguk-angguk, tersenyum "Bagaimana hasilnya, apa kalian setuju ?” desak mentri.

Prajurit itu mengangguk-angguk.

"Bagus, lekas laksanakan sekarang !" perintah mentri. Lalu dia duduk lagi dan menunggu dengan gembira. “Tuh, lihat engkau Bok Lim, apakah engkau mampu mencegah mereka,” pikirnya dengan gembira.

Iapun merencanakan. Setelab nanti tiba di tempat yang aman, dia akan memerintahkan prajurit itu berhenti dan menurunkannya. Di situ dia akan suruh keempat prajurit itu menangkap Bok Lim.

Beberapa slat kemudian, ia masih merasa tandu itu tetap berjalan kearah utara. Ia agak tak enak hati. Namun ditenangkannya supaya ia tak gelisah. Dia hendak menunggu lagi. Bukankah tadi prajurit itu sudah mengangguk tanda setuju.

"Eh, mengapa prajurit itu tak mau bicara melainkan hanya mengangguk kepala saja ?" tiba2 timbul rasa heran dalam hatinya. Tetapi pada lain kilas ia menjawab sendiri, "Ah, mungkin prajurit itu tak mengerti bahasa yang kugunakan. Atau kemungkinan dia memang takut bicara karena menjaga supaya tidak didengar Bok Lim. Ya, tentu, dia tentu bersikap hati2."

Setelah mendapat anggapan itu, tenang lagi pikirannya. Namun beberapa saat kemudian ia tetap merasa kalau tandu itu masih berjalan ke utara. Mau tak mau ia mulai gelisah lagi. Akhirnya ia tak kuat menahan kesabarannya dan melongok ke bawah.

"Prajurit, bagaimana ?" tanyanya.

Tampak prajurit itu balas memandang dan mengangguk- angguk, tersenyum simpul.

Sudah tentu Su tayiin mengkal sekali, "Hai prajurit, apa engkau hendak mempermainkan aku?”

Prajurit itu mengangguk-angguk dan tersenyum. "Bangsat !" Su tayjin memaki.

Prajurit itupun mengangguk-angguk.

Su Go Hwat gelisah dan marah. Beberapa jenak kemudian ia tenangkan diri untuk mencari akal bagaimana dapat terlepas dari tangan Lim.

"Su tayjin, perlu apa tayjin marah2 ?" tiba2 terdengar suara Bok Lim. Dan ketika Su Go Hwat menyingkap tenda tandu, ia melihat Bok Lim muncul dibawah.

"Bok Lim, tak kira kalau engkau akan berbuat senista ini," seru Su tayjin, "jika engkau membenci Ma Su Ing, itu memang layak karena tiada seorangpun kecuali kaki tangannya, yang suka pada tay-haksu itu. Tetapi mengapa engkau sampai hati juga untuk menjual aku ?"

"Su tayjin, justeru karena hamba sayang pada tayjin maka hamba hendak mencarikan jalan yang selamat untuk tayjin. Bukankah kerajaan sudah tak dapat ditolong lagi ? Mengapa tayjin harus kemati-matian setya kepada raja Beng ?"

"Bok Lim, seorang lelaki harus menjunjung kesetyaan kepada negara dan raja. Raja Beng yang sekarang ini memang bu-to ( sesat ), tetapi bagaimana pun dia adalah raja dari kerajaan bangsa kita sendiri. Yang penting sekarang kita usir dulu orang2 Boan itu, baru kita nanti menuntut supaya baginda yang sekarang ini diganti dan mentri2 durna dibersihkan."

Bok Lim tertawa, "Tayjin, ibarat orang sakit, sekarang  ini kerajaan Beng sudah parah. Tak mungkin diobati lagi. Kita harus menguburnya dan mengganti dengan yang baru. 0leh karena itu kuminta tayjin suka menyadari suasana perobahan keadaan ini dan suka bekerja pada kerajaan Ceng. "

"Bangsat, jangan engkau bicara begitu lagi padaku !" teriak Su Go Hwat marah," kalau kau ingin berhamba kepada orang Boan, silahkan saja. Tetapi jangan harap engkau dapat membujuk aku !"

Bok Lim tertawa, "Tayjin memang keras kepala. Tetapi kekerasan kepala tayjin itu tidak menguntungkan pada diri tayjin sendiri dan kepada rakyat. Kita tahu bahwa tayjin seorang mentri yang setya. Rakyat memandang kepada tayjin. Kalau tayjin mau bekerja sama dengan kerajaan Ceng, merekapun tentu akan memperlakukan rakyat kita dengan baik. Tetapi kalau tayjin bersikap keras, merekapun akan menyiksa rakyat kita. Apakah tayjin tidak menaruh kasihan kepada rakyat dan hanya mengutamakan keangkuhan tayjin sebagai seorang mentri setya ? Apakah yang disebut setya itu ? Apakah mengukur rasa setya kepada raja tetapi kebalikannya mencelakai rakyat itu satu tindakan yang mulia ?" "Kesetyaan adalah suatu kehormatan," seru Su Go  Hwat, "lebih baik kita hancur sebagai bangsa yang merdeka daripada hidup sebagai budak lain bangsa !"

"Omong kosong !" teriak Bok Lim, "jika semua rakyat berpendirian sebagai tayjin tentu bangsa Han akan musnah."

"Tidak mungkin setiap orang akan sama pendiriannya dengan aku. Salah seorahg yang tidak mempunyai pendirian begitu adalah engkau manusianya. Oleh karena itu orang Boan tentu akan dapat menjajah kerajaan Beng itu,”

"Tayjin, jangan tayjin keliwat menghina aku,” teriak Bok Lim, "waktu di Yang-ciu memang aku ini dibawah perintah tayjin. Tetapi sekarang sudah bebas. Aku bukan orang bawahan tayjin lagi."

"Benar, sekarang engkau adalah anjing pengikut orang Boan !" damprat Su Go Hwat.

"Su Go Hwat, jika aku tak mendapat perintah untuk membawa engkau menghadap panglima pasukan Ceng, tentu saat ini juga engkau kubunuh !"

"Ho coba saja kalau engkau mampu, bangsat !" tiba2 terdengar suara seorang,

Bok Lim terkejut dan cepat berpaling kearah suara itu.

Ah .....

"Engkau !" serunya terkejut.

"Ya, kenapa ?" seru orang itu, "kaget ya ?" "Mau apa kalian kemari ?" tanya Bok Lim.

"Mau apa engkau juga berada disini ?" balas yang ditanya. "Sudah jangan banyak bicara !" bentak Bok Limo "engkau tak punya kekuasaan apa2 di sini !"

"Mengapa ? Karena engkau sudah menyeberang kepada orang Boan ?"

Merah muka Bok Lim, "Kukatakan, jangan banyak mulut lagi !"

"Su tayjin, apakah tayjin tak kurang suatu ," tiba2 orang itu beralih kepada mentri Su.

Pertama mendengar suara pendatang itu, Su tayjin sudah gembira. Maka diapun segera membuka kain tenda dan berseru, “Loan hiantit, aku tak apa2, tangkaplah pengbianat itu !"

"Baik, harap tayjin tenang, tentu akan kuberikan leher penghianat itu!" seru orang itu.

Memang benar, yang dipanggil Loan biantit adalah Loan Thian Te alias pendekar Huru Hara. Dia bersama Ah Liong dan rombongan anak2, karena berjalan mengitari Yang-ciu, secara tak terduga-duga telah melihat rombongan tandu yang membawa Su tayjin. Segera mereka melakukan pengejaran.

Waktu dapat menyusul, Huru Hara tak lekas2 unjuk diri. Dia bersembunyi di gerumbul pohon dan mendengar semua pembicaraan Bok Lim dengan Su tayjin. Pada waktu Bok Lim hendak bertindak barulah Huru Hara muncul.

"Bok Lim, mengapa engkau menawan Su tayjin ?" tegurnya.

"Engkau tak berhak bertanya, ini urusan dengan Su tayjin," sahut Bok Lim.

"Su tayjin, telah menyerahkan urusan ini padaku !" "Engkau hendak menangkap aku ?" seru Bok Lim dengan nada mengejek.

"Apa engkau sangka manusia seperti dirimu ini pantas dibiarkan hidup saja ?"

"Hm, lihatlah," sahut Bok Lim, "daerah ini sudah masuk dalam kekuasaan pasukan Ceng bila engkau berani bertindak. dengan cepat pasukan Ceng akan mengepungmu."

"Aku bukan budak orang Ceng, mengapa aku takut kepada mereka ?" balas Huru Hara, “suruh mereka keluar, biar kubasmi semua !"

Bok Lim terkesiap. Sebenarnya ia menggertak tetapi Huru Hara tak gentar. Memang daerah situ sudah termasuk daerah yang dikuasai pasukan Ceng tetapi dia tak tahu pasti apakah pasukan Ceng akan segera datang untuk membantunya.

Tiba2 dia mendapat akal. Serentak ia berseru memberi perintah kepada keempat tukang tandu, -"Lekas bawa lari tandu itu !"

Dalam berkata-kata itu dia menggerak-gerak kaki dan tangan seperti orang melakukan gerak berlari. Keempat tukang tandu itupun segera lari.

Tetapi belum berapa jauh, sudah dihadang oleh serombongan anak lelaki yang di kepalai Ah Liong,

"Berhenti," teriak Ah Liong. Tetapi keempat tukang tandu itu tak pedulikan kepungan anak2 itu. Mereka terus menerjang kepungan anak2 itu.

"Huh . .. huh . . . . auh ..... " terdengar keempat tukang tandu itu menjerit dan berjingkrak-jingkrak seperti orang kesetanan. Bermulanya tubuh dan muka mereka seperti tertabur benda kecil. Dan pada lain saat benda kecil2 itu terus merayap masuk kedalam baju dan mulai menggigiti.

Karena tak tahan menderita siksaan yang luar biasa itu, keempat tukang tandu terus lepaskan tandunya dan lari seperti orang dikejar setan.

Brukkkk ..... tandu seperti dibanting. Ah Liong tak menghiraukan kawanan tukang tandu itu. Dia cepat menghampiri tandu.

"Astaga, Su tayjin ," Ah Liong berteriak kaget karena melihat mentri menggeletak dalam tandu. Bersama-sama dengan kawannya, dia segera memberi pertolongan, mengeluarkan mentri dari tandu. Ternyata karena terkejut dan menderita sedikit luka, mentri telah pingsan.

Sekonyong-konyong muncul Huru Hara, Dia berlari mendatangi, "Hai, kenapa itu Ah Liong ?"

"Su tayjin pingsan karena tandunya dilepas dengan tiba2." sahut Ah Liong.

"Masukkan mentri kedalam tandu lagi dan pikullah," perintah Huru Hara kepada rombongan anak2 itu.

Setelah mentri dimasukkan lagi kedalam, tandu mereka segera berangkat, "Kita harus cepat keluar dari daerah ini. Mereka tentu akan mengejar." kata Huru Hara.

"Bagaimana Bok Kian ?" Tanya Ah Liong.

"Dia kutabas sebelah tangannya dan melarikan diri." "Mengapa tidak engkoh bunuh saja ?"

"Aku lebih mengutamakan keselamatan tayjin. Biar dia hidup, kalau lain kali bertemu lagi tentu kuhabisi nyawanya

!" Mereka kembali menuju ke selatan untuk mencapai kota Khay-bong-hu. Tetapi belum berapa lama berjalan, tiba2 mereka dikepung oleh pasukan Ceng.

"Hai, pendekar gila, menyerah atau tidak !" seorang perwira muda tampil kemuka dan berseru lantang.

Menilik dandanannya dia seorang perwira bangsa Boan. Masih muda dan tampak gagah sekali. Dibelakangnya telah siap sebuah pasukan yang siap dengan memegang busur.

"Siapa engkau !" teriak Huru Hara.

"Aku Borga, pimpinan barisan pemanah !" "Ho, engkau hendak menantang aku ?"

"Jangan banyak mulut !" bentak perwira Borga,"menyerah atau tidak ?"

Tiba2 dari belakang barisan muncul seorang perwira yang lengannya hilang dan dibalut dengan kain putih. Darah merah masih merembes pada kain pembalut.

"Komandan, itulah dia orangnya yang merampas mentri Su Go Hwat. Tangkap dan bunuh saja" kata orang itu.

"Huh, bagus Bok Lim, engkau sendiri tak berani menangkap sekarang engkau menjilat-jilat pantat majikanmu, hm," dengus Huru Hara.

"Bangsat engkau "

"Sudahlah, harap Bok-heng mundur. Dia tentu akan kutangkap," kata perwira Borga.

"Tuh, lihatlah, Borga, anjingmu memang suka menyalak

!" seru Huru Hara.

"Jangan banyak mulut ! Lekas menyerah atau ditawan ?” bentak Borga. "Menyerah bagaimana ? Minta supaya menyerahkan tangan agar dapat engkau borgol?” ejek Huru Hara," Hm, nista sekali."

"Engkau mau melawan ?"

"Aku mau menyerah apabila aku memang kalah bertanding dengan engkau !" sahut Huru Hara," tetapi kalau engkau takut dan hendak menggunakan barisan pemanah, silakan. Akupun tak kan mundur !"

Merah muka Borga.

"Komandan, jangan hiraukan dia. Dia memang hendak menggunakan siasat agar dapat loloskan diri. Tangkap saja, kalau melawan bunuh sajalah," kembali Bok Lim berkata seraya mendekati Borga.

"Ya, benar, turut saja omongan anjing peliharaanmu itu. Aku memang hendak melihat. Apakah perwira Boan itu seorang ksatrya yang perwira ataukah seorang pengecut seperti kawanan anjing peliharaannya,” ejek Huru Hara.

"Komandan, jangan hiraukan bangsat itu.”

"Mundur," bentak Borga kepada Bok Lim “dia menganggap orang Han sendiri yang paling ksatria hm . . .

."

Borga melangkah maju dan berseru dengan nyaring, "Hai, engkau buronan. Aku siap menghadapi engkau."

"Jika engkau hendak membikin panas hatiku, segera akan kuperintahkan barisan pemanah untuk mengancurkan tubuhmu. Hayo, lekas maju dan bertempur dengan aku!"

"Apakah engkau benar2 berani ?" "Jahanam ! Jangan banyak bicara !" Huru Hara hendak melangkah tetapi tiba2 Ah Liong sudah lari mendahului kemuka perwira Boan itu.

"Jangan kurang ajar terhadap engkohku !" teria bocah kuncung Ah Liong seraya bercekak pinggang." engkau kira engkohku takut kepadamu? Huh, salah. Yang benar, engkohku segan mengotori tangannya untuk menjamah engkau. Engkau tak layak menjadi lawan engkohku."

"Bajingan cilik, engkau siapa !" teriak Borga.

"Aku adalah jenderal Kuncung dari pasukan Bon-bin yang mempertahankan kota Yang–ciu. Sudah jangan banyak-bicara. Kalau engkau mampu mengalahkan aku baru engkau berharga menjadi lawan engkohku !"

Dada Borga seperti hendak pecah karena dihina habis- habisan oleh bocah kuncung itu. Dengan meraung seperti singa kelaparan dia terus menerkam Ah Liong. Tetapi dengan gesit sekali Ah Liong sudah menghindar kesamping.

"Hai, aku disini, mengapa engkau menubruk kesitu ?"

Sudah tentu makin marah Borga dibuatnya. Dengan cepat dia berputar tubuh dan terus loncat menerkam. Tetapi untuk yang kedua kalinya dia tetap menubruk angin.

"Ho, kayak begitu mau jadi komandan pasukan. Masa melihat orang saja tidak becus aku kan disini mengapa engkau menerjang ke situ !"

"Bajingan cilik. Kalau tak dapat memutuskan lehermu, aku bersumpah tak mau jadi orang lagi. Saking marahnya Borga sampai melantangkan sumpah.

"Bagus, bagus. memangnya engkau ini manusia ? Kalau manusia kan tidak begitu cara berkelahinya. Menerkam itu, cara binatang nyerang korbannya, tahu !" Sebenarnya Huru Hara terkejut ketika melihat Ah Liong maju menghadapi Borga. Tetapi setelah melihat Ah Liong dapat menghindari terkaman lawan dengan gesit, diapun tenang kembali.

Beberapa jurus telah berlangsung dan selama itu Borga tetap tak mampu menyerang Ah Liong. Ah Liong memang sengaja main kucing-kucingan untuk membikin panas hati perwira Boan itu. Memang Ah Liong mempunyai keistimewaan dalam ilmu gin-kang. Dan diapun mendapat latihan ilmusilat dari neneknya.

Beberapa jurus telah berlalu. Tiba2 Huru Hara teringat akan mentri Su yang masih berada dalam tandu. Mengapa dia tak menggunakan kesempatan itu untuk membawa lari mentri ?

Diam2 Huru Hara menyelinap. Karena menumpahkan perhatian kepada komandannya yang sedang menyerang Ah Liong maka barisan pemanah Ceng tak sempat memperhatikan gerak-gerak Huru Hara yang meninggalkan gelanggang pertempuran itu.

"Hayo lekas kita masuk kedalam hutan," kata Huru Hara kepada anak2 yang memikul tandu.

"Tetapi bagaimana dengan jenderal Kuncung?" kata salah seorang anak.

"Kita selamatkan dulu Su tayjin ketempat yang aman, nanti aku akan kembali kesini untuk membantu jenderal Kuncung itu," kata Huru Hara. Mereka lalu menyusup kedalam hutan.

"Hayo, apa napasmu sudah habis ?" teriak Ah Liong ketika melihat Borga sudah mulai mengendor serangannya. Ah Liong memang tak membalas karena ia tahu kalau ia merubuhkan perwira itu, teatulah barisan pemanah akan menghujani anakpanah kepadanya. Dan lagi, ia sempat melihat gerak gerik Huru Hara yang diam2 telah menyelamatkan mentri. Su. Ia makin bersemangat untuk mempermainkan lawan perhatian barisan anakpanah itupun tetap terpukau.

"Komandan, celaka, kita tertipu !" tiba2 Bok Lim berteriak kepada perwira Ceng itu, "Lihat tandu yang berisi Su tayjin telah dilarikan orang tadi !"

Borga gelagapan kaget. Karena sedang mencurahkan kemarahannya kepada Ah Liong, maka ia, tak sempat memperhatikan apa yang terjadi sekelilingnya. Peringatan Bok Lim itu benar2 mengejutkan hatinya hingga ia terbelalak dan berpaling.

"Appp……. uh," baru Borga hendak bertanya, tiba2 ia terkejut dan cepat2 mendekap perut karena merasa celana- dalamnya melorot, "apa…?”

"Tandu itu telah dilarikan orang tadi !" ulang Bok Lim. "Celaka ..... ," baru Borga berkata begi sesosok tubuh

kecil berkelebat dihadapannya plak, plak ..... tahu2 Borga menjerit kesakitan karena kedua pipinya ditampar.

"Bajingan. engkau berani menampar aku,” teriaknya seraya menerkam Ah Liong. Tetapi karena celana- dalamnya melorot turun, gerkannya pun terhambat.

Ah Liong makin bergaya. Dengan lincah menghindar kian kemari dan apabila mendapat kesempatan, ia lalu mempermainkan si perwira. Menjiwir telinga, menarik hidung dan membetot bibir, bahkan menutul kelopak mata. Memang dalam tutul menutul, Ah Liong mempunyai kepandaian istimewa. Dengan sepasang sumpit dia dapat menyumpit lalat yang terbang, ikan yang berenang di air, Sudah tentu Borga makin meraung-raung seperti singa udunen (sakit bengkak). Tetapi betapa-pun dia ingin menerkam Ah Liong untuk disempa1-sempal tulangnya, tetapi dia selalu menubruk angin kosong doang.

Melihat itu Bok Lim marah, "Panah bangsat itu !" ia memberi perintah kepada barisan panah.

"Jangan !" serentak Borga berteriak mencegah, "kejar saja bangsat yang melarikan tandu itu!"

Karena yang memerintah komandannya, barisan pemanah itupun menurut. Mereka tak jadi lepaskan anakpanah dan terus hendak bergerak mengejar jejak Huru Hara.

Tetapi belum berapa jauh mereka pergi, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan Ah Liong, “Hai tikus2, berhenti dulu, lihatlah ini !"

Barisan pemanah itu terkejut, hentikan langkah dan berpaling. Apa yang mereka lihat, benar-benar hampir tak dapat mereka percayai. Ternyata saat itu Borga sudah diringkus Ah Liong, bahkan anak itu sedang melekatkan pedang ke leher Borga.

"Hayo, kalau kalian berani melanjutkan langkah, batang leher komandanmu ini tentu akan potong !" teriak Ah Liong.

Kawanan prajurit pemanah itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka heran dan tak mengerti apa yang terjadi. Mengapa komandan mereka yang terkenal gagah perkasa itu dapat diringkus oleh seorang bocah kuncung saja.

Memang Ah Liong telah bertindak cepat. Kuatir kalau barisan pemanah itu akan mengganggu perjalanan Huru Hara, diapun terus melancarkan serangan. Bahkan untuk mempercepat, ia mengeluarlan sepasang sumpitnya. Setelah menutuk berapa bagian tubuh lawan, akhirnya tusukan sumpit mengenai bagian jalandarah pada dada Borga yang membuat perwira itu lunglai seketika. Secepat kilat Ah Liong terus membekuk perwira itu. Ia melolos pedang Borga dan dilekatkan pada lehernya.

"Lepaskan panah !" Bok Lim memberi perintah tetapi barisan pemanah itu menolak,

"Tidak, komandan tentu akan dibunuh anak itu."

Untuk beberapa saat barisan pemanah tak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Timbul pikiran Ah Liong untuk memberi pelajaran kepada Bok Lim. Ia berseru, "Kalian ingin jiwa komandan kalian ini selamat atau tidak !"

"Ya, asal jangan engkau ganggu Jiwa komandan kami." "Baik, tetapi kalian harus mau menurut permintaanku.

Kalau  tidak,  tahu  sendiri  akibat  yang  akan  terjadi  pada

komandanmu ini."

"Engkau mau minta apa ? Uang ?"

"Buat apa uang ? Kau di tengah hutan,' begini tidak ada orang yang menjual makanan."

"Kembang gula ?"

"Hus gigiku sakit karena aku gemar makan kembang gula. Apa engkau menginginkan aku sakit gigi lagi ?"

"Lalu apa permintaanmu ?"

"Ringkus orang yang tangannya buntung satu itu dan gebukilah sampai dia minta ampun."

Terdengar suara gemuruh dari kawanan prajurit pemanah itu. Yang dimaksudkan Ah Liong tak lain tentulah Bok Lim. "Eh kalian tak mau, ya ? Baik, kalau begitu lebih sayang pada orang itu daripada komandanmu !" Ah Liong terus menekankan pedangnya kesamping. Darahpun mengucur, dari leher Borga.

"Berhenti !" teriak salah seorang prajurit pemanah yang melihat komandan mereka hendak disembelih. "ya, kami akan menurut permintaanmu."

"Hai, mengapa kalian ini !" Bok Lim terkejut ketika beberapa prajurit pemanah hendak menangkapnya.

"Apa boleh buat, kami terpaksa akan menyiksamu sedikit dari pada komandan kami mati,” kata prajurit2 itu.

"Gila ”

"Kalau melawan, terpaksa kami akan melepaskan panah kepadamu," seru kawanan prajurit seraya memasang panah ke busur.

Sudah tentu Bok Lim mati kutu. Walaupun dia dapat melawan beberapa prajurit yang hendak menangkapnya itu tetapi ia menyadari kalau tak mungkin dapat menyelamatkan diri dari hujan anakpanah. Apa boleh buat, terpaksa ia menyerah.

Setelah Bok Lim diringkus lalu di tengkurapkan ke tanah dan melayanglah busur menghajar punggungnya.

"Jangan pakai busur, kasihan," teriak Ah Liong. "Lalu pakai apa ?" teriak prajurit2 itu.

"Tinju saja."

Terpaksa beberapa prajurit itu menurut. Hujan tinju segera mencurah ke kepala, tubuh dan sekujur badan Bok Lim. Sudah tentu Bok Lim menjerit-jerit seperti babi hendak disembelih. Seumur hidup baru ia merasakan siksaan yang begitu hebat. Betapa tidak ? Waktu bekerja di bawah perintah jenderal Ko Kiat, dia diangkat sebagai wakilnya. Dan kemudian waktu berada di Yang-ciu, dia diserahi sebagai pimpinan pasukan pertahanan kota oleh mentri Su Go Hwat. Tetapi sekarang ? Aduh, minta ampun. Sekarang ia diperlakukan seperti seorang tawanan yang dirangket dan dipukuli. Perasaan marah, malu, jauh lebih menyakiti hatinya dari tinju prajurit2 yang menghujani- tubuhnya.

"Cukup !" teriak Ah Liong setelah melihat Pok Lim tele- tele, "kasihan kalau dia sampai mampus, Nanti aku kehabisan permainan yang enak ditonton."

Berdengung-dengung suara kawanan prajurit itu melepaskan kemengkalannya tetapi tak berani menyatakan dengan jelas. Mereka hanya berdengung2 seperti tawon yang dionggok dari sarangnya.

"Sekarang cukur rambutnya semua !"

"Hah ?" seru prajurit2 itu dengan terkejut. Namun mereka melakukan perintah juga. Seorang prajurit lalu menggunduli Bok Lim dengan mengunakan pedangnya. Sudah tentu tak dapat bersih.

"Alisnya sekali !" teriak Ah Liong.

Walaupun tele-tele karena dipukuli, tetapi masih sadar. Ketika rambutnya dicukur pun tahu tetapi tak dapat berbuat apa2 karena tangan dan kakinya diikat dan tubuh ditelungkupkan ketanah.

"Huai ," serentak ia muntah darah karena mendengar

perintah Ah Liong yang terakhir. Dia tak dapat menahan gelombang kemarahan lagi. Darah bergolak dan meluap keatas lalu muntah keluar dari mulutnya. Ia tak tahu apa yang terjadi lagi karena seketika itu dia pingsan. "Apakah engkau masih ada permintaan lagi?” seru kawanan prajurit itu.

"Yang terakhir dan setelah itu segera kubebaskan komandan, kalian !"

"Katakanlah !"

"Pertama, kalian harus mengikat kaki masing2 sendiri. Kedua, kalian harus menutup mata kalian. Aku akan tinggalkan tempat ini. Sebelum aku bersuit memberi tanda, kalian tak boleh gerak. Barangsiapa berani melanggar, terpaksa komandan ini akan kubunuh !"

Walaupun mendongkol dalam hati tetapi kawanan prajurit itu tak dapat berbuat lain kecuali menerima.

Setelah melihat mereka melakukan perintah Ah Liong lalu memanggul tubuh Borga yang tak dapat berkutik karena jalandarahnya tertutuk lalu cepat2 meninggalkan tempat itu.

Lebih kurang sepeminum teh lamanya, karena masih belum mendengar suitan, kawanan prajurit itu tak dapat bersabar lagi.

"Hai, mengapa anak itu tak memberi tanda,” kata salah seorang prajurit.

"Kita ditipu," seru yang lain. Mereka lalu berusaha membuka penutup mata dan pengikat kaki. Kemudian mereka serempak mengejar Ah Liong.

Tak berapa lama mereka melihat debu mengepul- dan batang pohon bergetar, daun2 berguguran didera angin yang menderu-deru. Buru2 barisan pemanah itu menghampiri. Mereka duga tentu terjadi pertempuran hebat. Dugaan mereka memang benar. Dan diluar dugaan ternyata yang tengah bertempur itu adalah Ah Liong yang dikepung oleh lima orang lelaki. Seorang sasterawan setengah tua, seorang imam, seorang paderi, seorang lelaki bertubuh kurus kering dan seorang lelaki gemuk berwajah segar.

Ah Liong sedang melawan si lelaki gemuk bertubuh segar seperti anak kecil. Karena masih mengepit Borga, gerakan Ah Liong agak tak leluasa. Tambahan pula si gemuk berwajah anak itu juga bertingkah seperti anak kecil. Dia berlincahan seperti orang menari yang mengitari sekeliling Ah Liong.

"Aduhhhh," tiba2 Ah Liong menjerit kesakitan karena kuncungnya ditarik lawan kemuka. Ah Liong berusaha untuk menghantam tangan lawan tetapi tak mampu. Si gemuk berwajah kanak2 itu cerdik sekali. Setelah dapat mencengkeram kuncung Ah Liong dia terus menekan kebawah sehingga kepala Ah Liong menunduk. Tak heran kalau pukulan Ah Liong tak sampai pada sasaran.

Ah Liong marah. Belum pernah ia mendapat perlakuan begitu rupa dari orang. Ia anggap itu suatu hinaan besar. Dilepaskannya tubuh Barga, lalu secepat kilat kedua tangannya menerkam tangan lawan.

"Uh ," ia dapat menangkap tangan lawan terus hendak diremasnya. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia rasakan lawan itu licin sekali hingga remasannya merucut atau terlepas.

"Ho, kuncung balung, engkau mau main2 dengan aku ?" lelaki berwajah kanak2 itu tertawa.

Dicobanya lagi untuk menangkap tangan orang itu tetapi ketika Ah Liong hendak memelintirnya ternyata terlepas lagi. Tangan orang itu benar2 licin seperti belut. "Kuncung, kalau kutarik kuncungmu, kau tentu  akan jadi setan kepala gundul," itu tertawa mengikik seperti anak kecil.

Diam2 Ah Liong mengakui. Memang kalau orang itu mau, sekali tarik rambut kuncungnya tentu jebol.

"Siapa engkau ?" seru Ah Liong. "Hong- hay- ji."

"Hong-hay-ji ? Bocah berwajah kuning?” Ah Liong menegas.

"Ya, memang begitu" "Apakah mukamu kuning ?" "Benar."

"Ah, tak mungkin. Masa manusia kok berwajah kuning." "Tidak percaya ?"

"Sebelum melihat sendiri, siapa sudi percaya saja ?" seru Ah Liong yang tiba2 saja mendapat akal.

"Baik, lihatlah sendiri," lelaki berwajah seperti anak itu terus menyentakkan rambut Ah Liong keatas agar dapat melihat dirinya.

Sekonyong-konyong Ah Liong mencuri kesempatan. Dia menyelonong, mengulurkan tangannya untuk memijat celana orang, lalu ditariknya.

"Uhh…….," Hong-hay-ji menjerit kaget dan cepat2 lepaskan cekalan tangannya pada rambut Ah Liong untuk mendekap pinggang celananya. Ternyata tali celana- dalamnya telah putus dan melorot ke bawah. "Kurang ajar .... plok," baru Hong-lay-ji bertenak memaki, pipinya sudah ditampar Ah Liong sehingga dia menjerit-jerit kesakitan dan lari kebelakang.

Ah Liong hendak mengejar tetapi tiba2 ia teringat pada Borga. Dia harus tetap menguasai perwira Boan itu untuk sandera. Tetapi ketika berpalig kebelakang, ah ternyata

perwira Borga itu sudah berada ditangan si sasterawan setengah tua.

"Kuncung, mengapa engkau menyandera perwira ini ?" seru sasterawan setengah tua itu. Agaknya Ah Liong pernah bertemu dengan orang itu. Tetapi dia lupa2 ingat.

"Mengapa engkau merebutnya ?" tanyanya Ah Liong. "Ini kan perwira Borga yang memimpin pasukan untuk

merebut kota Yang-ciu. Mengapa bisa jatuh ketanganmu  ?"

orang itu heran.

"Siapun juga bisa jatuh ketanganku," sahut Ah Liong dengan bangga," lekas serahkan dia kepadaku."

"Boleh, boleh, asal engkau mampu merebut dari tanganku "

"Lihat saja sendiri ?" Ah Liong terus hendak menerjang tetapi pada saat itu lelaki tubuh kurus kering sudah merintang di jalan serta silangkan kedua tangannya.

Krakkkk....

Hantaman Ah Liong telah membentur tangan orang itu. Seketika Ah Liong meringis kesakitan dan cepat menarik pulang tangannya seperti menghantam dua kerat tulang baja amat keras sekali.

"Jangan kurang ajar, kuncung !" seru orang itu dengan nada yang parau menyeramkan. "Engkau setan atau orang ?" sejenak Ah Liong mengawasi orang itu.

"Jangan lancang mulut ! Sudah tentu aku seorang manusia seperti engkau."

"Aneh, aneh," dengus Ah Liong seperti seorang yang mencium bau kotoran, "kalau manusia mengapa seperti mayat, kalau mayat mengapa bisa bicara ?"

"Hus, aku ini manusia- hidup."

"Kalau menusia hidup tentu punya nama." "Mengapa tidak ?"

Sebenarnya Ah Liong memang sengaja hendak mengulur waktu untuk meredakan tangannya yang sakit, maka sengaja ia mengajak orang bicara tetek bengek.

"Punya nama ? 0, kalau begitu, engkau ini benar2 manusia. Lalu siapa namamu ?"

"Toat-beng-ko-loh Ang Kim." "Toat-beng-ko-loh ? Apa artinya ?"

"Edan, engkau makan sekolahan atau tidak?"

"Hus, yang edan engkau. Masa sekolahan disuruh makan

? Tidak mau, tidak mau !"

"Hus, engkau bocah edan. Makan sekolahan itu berarti makan seperti makan nasi tetapi masuk sekolah."

"Buat apa ?"

"Kalau sekolah engkau tentu tahu huruf dan pengalamanmu tentu lebih luas."

"Tahu huruf apa guna ? Tidak tahu huruf ruginya ?" "Kuncung, aku suka melihat kebandelanmu. Apakah engkau mau jadi muridku?”

"Jadi muridmu ? Engkau mau jadi guruku? Ha, ha, ha, ha "

"Hus mengapa engkau tertawa ? Apa aku tak pantas jadi gurumu ?"

"Tanya saja kepada dirimu engkau pantas tidak menjadi guruku."

"Jelas lebih dari pantas."

"Ho, tidak mudah jadi guruku, bung," seru Ah Liong, "satu-satunya orang yang kukagumi ialah engkoh Hok-ku itu ?"

"Siapa engkoh Hok-mu itu ?"

"Dia adalah pendekar rumor satu di dunia.” "Siapa namanya ?"

"Loan Thiau Te atau pendekar Huru Hara, seram tidak

?"

"Tidak," seru Ang Kim, "namaku lebih seram."

"Toat-beng-ko-loh itu ? Bukankah itu artinya Tengkorak-

pencabut-nyawa ?"

"Ya, lengkapnya, pendekar Tenkorak-pencabut-nyawa.

Apa engkau tidak gemetar mendengar nama itu ? "Ya, tetapi yang gemetar adalah perutku.” "Mengapa ?"

"Dengar, tuuuuuut .....

"Kurang ajar, setan kuncung ! Engkau ni berkentut dihadapanku ?" seru orang itu marah. "Salah siapa ? Mengapa engkau menyebut namamu dan mengatakan aku gemetar atau tidak. Memang aku gemetar tetapi yang gemetar bukan badan melainkan perut. Akhirnya keluar anginnya, wah, legah, legah sekali. Terima kasih, terima kasih………”

Berhadapan dengan si kuncung Ah Liong, Ang Kim benar2 bohwat (tobat). Dia mengkal tetapi tak dapat  berbuat apa2. Bahkan setelah rasa mengkalnya hilang, timbullah rasa suka kepada anak itu. Dia sendiri selama ini tak punya murid. Alangkah baiknya kalau dia bisa mendapat seorang murid seperti Ah Liong. Anak yang nakal biasanya tentu pintar.

"Sudahlah, kuampuni semua kekurang-ajaranm asal engkau mau jadi muridku."

"Lho, aneh, aku kan tidak minta ampun, mengapa engkau hendak memberi ampun ?" seru Ah Liong, "sudah kukatakan, apa engkau layak menjadi guruku."

"Engkau anggap aku ini orang bagaimana ?" seru Ang Kim," kalau engkau tanya pada rakyat daerah Kanglam- Kangse, siapa pendekar Tengkorak-pencabut-nyawa, mereka tentu takut semua. Anak2 kecil yang nangis, apabila ibunya menyebut namaku, seketika anak itu tentu diam."

"Wah, wah, kalau begitu, engkau ini hanya ditakuti anak kecil saja."

"Hus, bukan begitu. Ibu2 itu sendiri yang mengkomersilkan namaku. Aku sendiri tidak tahu dan tidak suruh."

"Itu kebalikan dari aku," seru Ah Liong serentak, "namaku juga menggetarkan orang, lho. ”

"Siapa ?" "Jenderal Kuncung komandan pasukan Bon-bin. Cola saja tanya kepada rakyat Yang-ciu, siapa yang tak kenal Jenderal Kuncung dengan pasukannya yang gagah berani itu."

"Edan, mana ada pasukan Bon-bin. Apa itu?”

"Bon-bin artinya Kebun Binatang. Pasukanku senjatanya memang bukan pedang, tombak dan panah tetapi bangsa binatang seperti tawon semut dan ular , . . ."

"0," Aug Kim melongo, "aneh juga . . “

"Ang-heng, mengapa bertele-tele meladeni anak kuncung itu ?" tiba2 terdengar suara berseru. Ang Kim terkejut dan berpaling. Ternyata yang berseru itu adalah sasterawan yang merebut perwira Borga dari tangan Ah Liong tadi.

"Baik, Ko-heng, akan segera kubereskan bocah ini," kata pendekar Tengkorak Anug Kim "nah, lu dengar tidak. Ko tayjin tak punya waktu untuk mendengar ocehanmu lebih lama lagi. Engkau mau jadi muridku atau tidak ?"

"Kalau mau, bagaimana. Kalau tidak bagaimana ?" "Kalau mau, sekarang juga engkau harus berlutut

menjalankan peradatan pengangkatan sebagai guru dan murid. Kalau engkau tak mau, engkau akan kurangket sampai keluar kencing "

"Wah jangan, jangan," seru Ah Liong, "aku masih mau saja jadi muridmu. Tetapi ada syarat uya, lho.."

"Apa. ?"

"Engkau mengatakan engkau seorang pendekar sakti, bukan ? Nah, kalau engkau mampu menerima tiga buah tinjuku baru aku mau." Pendekar Tengkorak- penjabut-nyawa tertawa gelak2, "Ho, ho, ho, jangankan hanya tiga biarpun tigapuluh kali, aku tetap sanggup."

"Benar ?"

"Pendekar Tengkorak-pencahut-nyawa bukan manusia yang tak pegang kata. Hayo pukullah aku sampai tigapuluh kali. Tetapi awas, kalau sudah selesai, jangan engkau banyak tingkah lagi dan harus menurut jadi muridku."

"Hm, engkau sendiri yang minta, bukan salahku," kata Ah Liong seraya maju kebadapan orqng itu, nah, bersiaplah."

"Aku sudah siap."

"Apa aku boleh memukul bagian tubuhmu yang mana saja ?"

"Ya, boleh."

"Apa engkau berani pejamkan mata ?"

"Mengapa tidak ?" seru pendekar Tengkorak pengabut- nyawa terus pejamkan mata lalu diam-diam salurkan tenaga-dalam untuk melindungi tubuhnya.

Dukkkk . . . . uh . . . . terdengar dua buyi suara. Yang satu suara tinju Ah Liong mendarat di perut orang. Yang satu suara pendekar Tengkorak-pencabut-nyawa yang mendengus kaget dan cepat mendekap perutnya. Wajahnya tegang.

"Ho, hanya begitu sajalah kepandaian Sekali kupukul sudah mulas perutmu," seru Liong lalu lari menghampiri sasterawan setengah tua. Saat itu perwira Borga sudah berdiri. Jalan darahnya yang tertutuk sudah ditolong oleh sastrawan itu. "Hai, kalian dengar atau tidak? Lihat tidak? Jagomu yang sumbar2 tadi, sekali kupukul dia sudah mendekap perutnya. Nah, apakah perwira itu tak engkau serahkan kepadaku?"

Sebelum sasterawan itu menjawab, kawannya ialah si imam berjubah biru terus melesat dan menempeleng Ah Liong. Ah Liong menghindar tetapi tangan imam itu seolah membayangi.

"Enyah!" teriak Ah Liong seraya menghantam. Tetapi seketika itu dia menjerit karena tangannya tertampar tangan si imam. Sakitnya bukan alang-kepalang. Dia terhuyung- huyung mundur beberapa langkah.

Melihat itu si imam terus mengejar, ulurkan tangan hendak mencengkeram lagi. Ah Liong sudah merasa, sekalipun akan menghindar tetap sia-sia. Tiba2 ia teringat sesuatu. Dan cepat sekali ia terus mempunyai rencana. Begitu tangan si imam yang ditebarkan itu hendak mencengkeram kepalanya, dengan menahan kesakitan, Ah Liong cepat mencabut sumpitnya dan terus ditusukkan ke tengah-tengah telapak tangan imam itu.

"Hayaaaa .. .. ," si Imam menjerit kaget setengah mati dan menyurut mundur. Wajahnya pucat lesi. Dia pejamkan mata, menyalurkan tenaga- dalam.

Apa yang terjadi?

Ternyata ujung sumpit Ah Liong itu tepat mengenai jalandarah Lo-kiong hiat di tengan telapak tangan orang. Jalandarah itu dapat menyebabkan tenaga- dalam merana. Karena tak meayangka-nyangka, imam itu terkena. Dia terkejut dan cepat kerahkan tenaga-dalam untuk menolak tetapi terlambat. Tenaga-dalamnya menderita luka.

"Omitohud, engkau memang seorang budak liar,” si paderi berjubah kuning melesat kehadapan Ah Liong. Ah Liong cepat menyambutnya dengan tusukan sumpit tetapi hanya dengan kebutkan tangan paderi itu sudah dapat menyiak sumpit Ah Liong. Bahkan tenaga kebutan tangan paderi itu masih dapat membuat Ah Liong terpental selangkah.

Ah Liong terkejut menyaksikan kesaktian paderi itu. Ia tahu bahwa terhadap paderi jubah ia tak dapat berbuat banyak. Namun daripada mati sia-sia, lebih baik ia nekad melawan.

"Hai, paderi, engkau seorang suci, mengapa engkau keluyuran ditempat ini ?" serunya. Kembali dia hendak mengulur waktu untuk meredakan tangannya yang sakit, disamping dia hendak buat orang lengah perhatian. Bahkan kalau dapat dia hendak memancing kemarahan paderi itu dijadikan seperti pendekar Tengkorak-pencabut nyawa kedua.

"Hm, jangan banyak omong, budak liar seru paderi itu terus menyerang. Ah Liong tak dapat jual silat lidah lagi. Ia berusaha untuk menghindar. Memang satu dua kali, ia masih mampu, tetapi yang ketiga kalinya dia sudah kehabisan daya tak dapat lolos.

Pada saat Ah Liong sudah tak berdaya ketika bahunya hendak dicengkeram tangan si paderi, Ah Liong nekad. Dengan kerahkan tenaga, tiba-tiba cuh ......

"Hah. . ," paderi itu berseru kaget karena mukanya disemprot ludah Ah Liong. Karena itu dia sampai menyurut mundur selangkah.

Tetapi pada lain saat paderi itu maju lagi untuk melanjutkan tindakannya. Tetapi tepat pada saat jari2aya hampir menyentuh bahu Ah Liong, sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa nyaring. "Ha, ha, ha, paderi gombal, mengapa beraninya hanya menghina seorang anak saja?" seru suara itu.

Paderi itu dan sekalian orang terkejut. Si paderi hentikan cengkeramannya dan cepat berbalik atah. Dia tahu bahwa suara orang itu memancarkan tenaga-dalam yang hebat sekali. Tentulah seorang berilmu.

Tetapi ia hampir kecele. Apa, yang dilihat hampir tak dapat dipercayainya. Yang muncul hanya seorang pemuda nyentrik, kepalanya memelihara dua buah kuncir dan pakaiannya seperti seorang pendekar kesiangan. Di belakangnya tampak beberapa belas bocah 1aki.

"Siapa engkau!" bentak paderi itu. Tetapi waktu dia hendak melangkah maju, tiba2 ia rasakan pinggang belakangnya dicengkeram tangan ke belakang.

"Uh . . . uh . . . , " terdengar dua buah suara. Yang pertama adalah Ah Liong karena dia terpental sampai dua langkah ke belakang. Yang kedua adalah paderi itu sendiri yang terus mendekap pinggangnya.

Ternyata yang menyerang paderi itu dari belakang itu adalah Ah Liong. Tetapi dia hanya memutuskan tali celana dalam paderi itu. Sudah tentu paderi itu kaget setengah mati karena celana dalamnya melorot turun. Dia menjadi salah tingkah. Kalau maju terus, celana-dalamnya akan meluncur turun. Apabila dilihat orang tentu akan jadi buah tertawaan. Namun kalau dia mempertahankan celana-dalamnya, terpaksa mendekapnya terus. Kan aneh?

Yang muncul tak lain adalah Loan Thian Te alias pendekar Huru Hara bersama barisan anak2. Mengapa dia tiba2 bisa muncul di situ?

Adalah setelah membawa Su tayjn ke sebuah tempat yang dirasa aman, karena Ah Liong belum juga datang, anak2 itu mendesak, “Loan heng, mengapa jenderal Kuncung belum datang?”

Sebenarnya anak2 itu hendak memanggil Loan Thian Te dengan sebutan jenderal besar atau tay-ciangkuan seperti yang diajarkan Ah Liong. Tetapi Huru Hara tak mau. Ia minta supaya dipanggil engkoh saja atau Loan-heng.

Huru Hara menurut. Dia mengajak anak2 itu untuk mencari Ah Liong. Di tempat semula Ah Liong sudah tak ada. Mereka mencari lagi akhirnya dapat bertemu tepat disaat Ah Liong sedang terancam bahaya.

Perwira Borga yang menyaksikan perbuatan Ah Liong, marah. Seketika dia terus menyerang anak itu.

Sementara sasterawan setengah tua itu menghampiri ketempat Huru Hara.

"0, kiranya engkau Loan Thian Te," serunya.

Sebelum Huru Hara menjawab, Borga menyempatkan diri untuk berseru kepada sasterawan itu. "Ko tayjin, jangan lepaskan dia. Dialah yang melarikan mentri Su Go Hwat!"

"Apa?" teriak sasterawan yang dipanggil Ko layjin itu terkejut, "dia membawa lari peng-poh-sung-si Su Go Hwat dari kerajaan Beng?"

"Benar," sahut Borga, "memang dia yang membawa tandu berisi mentri Su."

Sasterawan setengah baya itu tak lain adalah Ko Cay Seng, jago ilmu menutuk dengan pit yang menjadi tangan kanan panglima Torgun. Setelah mendengar kota Yang-ciu sedang diserang pasukan Ceng, dia bergegas datang. Dia tahu bahwa yang mempertahankan kota itu adalah peng- poh-siang-su atau mentri pertahanan Su Go Hwat dari kerajaan Beng. Ko Cay Seng tahu bahwa panglima Torgun menghargai Su Go Hwat. Kalau Su Go Wht tertangkap hidup, tentu akan diambil panglima Torgun. Ah, berbahaya.

Pertama, ia takut kalau kedudukannya akan didesak oleh Su Go Hwat. Kedua, diapun takut Su Go Hwat mempunyai rencana, pura2 mau bersama dengan panglima Torgun tetapi diam-diam akan membasmi tokoh-tokoh bangsa Han yang menjadi kaki tangan kerajaan Ceng, termasuk dirinya.

Maka dia mempunyai rencana. Dia ke Yan-ciu untuk menangkap Su Go Hwat, kemudian akan dilenyapkan dengan cara yang tak diketahui orang.

Maka waktu mendengar keterangan Borgan bahwa Huru Hara telah melarikan Su Go Hwat, Ko Cay Seng gembira sekali.

"Loan Thian Te, hari ini jangan harap engkau mampu lolos dari tanganku," serunya, "tetapi aku dapat memberi ampun kepadamu asal engkau mau menyerahkan Su tayjin."

Loan Thian Te tertawa mengejek, "Jika engkau menghendaki Su tayjin, langkahilah dulu mayatku. Selama aku masih hidup, jangan harap engkau dapat mengganggu beliau."

"Bagus, Loan Thian Te, engkau boleh sesumbar tetapi seperti yang kukatakan tadi, kali ini engkau akan menggigit jari. Tidak percaya ?"

"Hm, bagaimana aku harus percaya omongan seorang budak bangsa Boan ?"

"Yang datang bersama aku," Ko Cay Seng tak menghiraukan hinaan orang, "adalah Ho hay-ji Ang Kim. Engkau kenal pada Ang-hay si bocah merah yang termasyhur itu ?" (baca: jilid 2). "Tentu, karena akulah yang mengirimnya ke akhirat kata Huru Hara.

"Hai engkaulah yang membunuh kakakku?" tiba2 si'pendek berwajah kanak2 atau Hongisy-ji (bocah kuning) memekik dan terus melesat muka Huru Hara.

"Ho, engkau adik dari Ang-hay-ji ?" seru Huru Hara. "Ya, aku keluar dari pertapaan karena hendak mencari

manusia yang telah membunuh kakakku!"

"Tak perlu mencari kemana-mana, akulah yang membunuhnya ! Apakah engkau juga akan nyusul kakakmu?"

"Bangsat !" Hong-hay ji terus hendak menerjang tetapi dicegah Ko Cay Seng, “Ang-heng tung. Aku masih ada kepentingan dengan dia. Setelah itu baru Ang-heng kalau mau menuntut balas kepadanya.”

Kemudian Ko Cay Seng memperkenalkan kawan2-nya. Lelaki bertubuh kurus kering si pendekar Tengkorak- pencabut-nyawa. Imam jubah biru yang bernama Amita, seorang Imam dari Mongolia, Paderi To Thian dari vihara Siau-lim-si yang telah murtad. Dahulu dia bergelar Thian To atau Ketuhanan. Tetapi setelah murtad dia sengaja membalik nama gelarnya menjadi To Thian Membalikkan- langit atau menentang kebenaran. Keempat jago yang dibawa Ko Cay Seng itu semuanya berkepandaian tinggi. Ilmu lwekang mereka masuk kelas satu.

Memang Ko Cay Seng sengaja menghimpun jago2 kelas satu untuk menjaring mentri Su Go Hwat.

"Sayang. sayang," gumam Huru Hara. "Kenapa ?" Ko Cay Seng heran. "Kasihan mereka." "Mengapa kasihan ?"

"Karena mereka harus meninggalkan dunia yang penuh kesenangan ini. Bukankali kawan2 mu tergolong manusia2 yang temaha hidup pemburu kenikmatan dunia ? Kalau tidak, tentu mereka tak mau bersahabat dengan manusia seperti engkau."

"Ko tayjin, mengapa tayjin mandah saja dihina manusia busuk itu ?" seru paderi To Thian.

"Ya, memang seharusnya sejak tadi dia harus dicincang," kata Ko Cay Sang, "tetapi aku memang masih memberi kelonggaran kepadanya asal dia mau menyerahkan mentri Su tayjin. Harap taysu suka lbersabar sedikit."

"Loan Thian Te, apakah engkau tetap keras kepala ?" tanya Ko Cay Seng kepada Huru Hara.

"Apa yang kuludahkan takkan kujilat kembali. Engkau hendak meminta Su tayjin sama dengan engkau hendak meminta nyawaku !"

Sementara jago2 itu sedang adu kata2 tajam, barisan anak2 itu sudah siap mengepung mereka. Dan sebelum Ko Cay Sang melanjutkan kata-katanya tiba2 dia dikejutkan oleh teriakan Borga.

"Aduh aduh mati aku , ," perwira Boan itu menjerit dan berjingkrak sambil meng-usap2 seluruh tubuhnya.

Bahkan karena tak tahan, perwira Boan itu menjerit- jerit histeris dan terus melarikan diri. Sudah tentu Ko Cay Seng dan kawan2 melongo dan tak mengerti apa yang telah terjadi pada perwira itu.

Jelas Ah Liong masih tegak berdiri sambil bertepuk tangan dan tertawa terpingkal-pingkal mengapa tidak hujan tidak angin, Borga kelabakan sendiri ? Memang hanya Ah Liong dan anak2 itu yang tahu apa yang telah terjadi. Mereka telah menaburkan semut2 kecil kearah Borga. Memang Borga tak tahu apa2, tahu2 dia merasa muka dan sekujur badannya seperti dikerubuti oleh ratusan semut kecil yang terus mengamuk menggigiti seluruh badannya. Mana tahaaaaan ?

Huru Hara yang mengetahui hal itu mau tak mau tersenyum juga.

"Mengapa perwira Borga tadi, tayjin ?" tanya Imam Amita hwatsu.

"Entahlah," kata Ko Cay Seng, "aneh, tidak menderita luka dan tak kena apa2, mengapa dia jingkrak2 dan kelabakan seperti kerangsokan setan.”

"0, mungkin saja dia memang kemasukan setan" seru Amita hwatsu.

"Benar, benar, imam goblok," seru Ah Lion "memang kawanmu itu kemasukan setan, ah, tidak, tidak mungkin. Kata engkohku, dunia ini tak ada setan. Ya, tentulah perwira itu punya penyakit ayan !"

Kembali terdengar anak2 itu tertawa mengikik.

"Loan Thian Te, lekas jangan buang waktu,” rupanya  Ko Cay Seng tak menghiraukan lagi pada perwira Boan itu, "engkau mau mengatakan dimana engkau sembunyikan Su tayjin atau tidak !”

"Tydak !" sahut Huru Hara tegas.

"Baiklah," kata Ko Cay Seng," jika begitu engkau memilih jalan yang menyakitkan !"

Ko Cay Seng tahu kalau Huru Hara itu seorang pendekar yang aneh dan memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa anehnya, Ia tak mau dapat malu menderita kekalahan di hadapan kawan-kawannya itu. Oleh karena itu dia tak mau gunakan cara2 orang persilatan yang perwira. Yang penting Huru Hara hasus lekas ditundukkan dan Su tayjin harus lekas ditangkapnya.

"Cuwi, terhadap manusia semacam dia tak perlu kita harus mengindahkan tata cara kaum persilatan lagi!. Hayo, kita ramai2 meringkusnya !” seru Ko Cay Seng. Kelima jago itu segera mengepung Huru Hara.

"Hai engkau anak tua berwajah kuning dan mayat hidup bertubuh kurus. Apakah tali celanamu itu sudah engkau sambung ?" Ah Liong menyelutuk.

Sudah tentu marah sekali Hong-hay-ji dan Pendekar Tengkorak-pencabut-nyawa Ang Kim mendengar ejekan itu. Mereka tahu kalau tadi telah dipermainkan oleh bocah kuncung itu. Mengira kalau ketiga kawannya tentu sudah lebih dari cukup untuk mengatasi Huru Hara, Hong-hay-ji pendekar Tengkorak-pencabut-nyawa lalu beralih hendak menghajar Ah Liong.

"Bagus, bagus, hayo, kalian boleh maju. Kalau aku kalah, aku akan meletakkan jabatanku sebagai jenderal Kuncung dari pasukan Bon-bin,"

Ah Liong yang sengaja hendak memancing agar orang itu supaya marah.

Memang kedua tokoh itu marah. Dengan meraung seperti harimau mencium darah, keduanya tebarkan kedua tangannya dan loncat kemuka menuju kepada Ah Liong.

Tetapi pada waktu keduanya menukik kebawah hendak mencengkeram Ah Liong, mereka menjerit kaget, "Lho, apa ini, aduh…..aduh ” Begitu melayang turun ke tanah mereka lansung kukur2 dan merogoh-rogoh kedalam baju dan kasanya seraya tak henti-hentinya menjerit dan mengaduh.

Mulut mereka tak henti-hentinya mendesah dan mendesuh, tangannyapun menggaruk dan mencakari sekujur tubuhnya.

Kembali beberapa anak taburkan tangannya, dan seketika terdengarlah bunyi mendengung yang bergemuruh keras macam pesawat terbang melayang diudara. Wah, wah. kedua jago silat yang ternama itu menjadi makin kelabakan tak keruan. Tangan kiri menampar-nampar untuk menghalau ratusan tawon, tangan kanan tak henti- hentinya menggaruk dan menggosok tubuh yang digerayangi ratusan semut merah. Pada hal semut merah walaupun kecil2 tetapi ganas sekali. Gigitannya seperti api rasanya.

Sementara itu, Huru Hara dan ketiga lawamnyapun sudah terlibat dalam pertempuran seru. Ko Cay Seng menggunakan sepasang pit, paderi To Thian menggunakan kalung tasbih, imam Amita hwatsu menggunakan sabuk ruyung.

Mengenai Amita hwatsu, senjata yang digunakan itu sebenarnya biasa dipakai sebagai tali pinggang. Tetapi kalau dilolos dan dimainkan sabuk dari kulit binatang trenggiling itu berobah menjadi sebuah ruyung yang keras dan kaku,

Apabila Ko Cay Sang terkenal dengan menutuk jalandarah yang termasyhur karena sekali gus dia dapat menutuk enam buah jalan-darah pada tubuh lawan maka kedua paderi dan imam itu juga memiliki kepandaian yang luar biasa.

Sebenarnya Ko Cay Seng sendiri sudah cukup untuk menghapi Huru Hara. Di dunia persilatan pada masa itu, orang yang mampu menutuk sekali gus pada enam jalandarah di tubuh lawan, sudah hampir tak ada kecuali Ko Cay Seng. Tetapi kerena dia tak mengerti tentang ilmu kepandaian Huru Hara yang begitu aneh sekali, dia menjadi bingung. Itulah sebabnya dalam pertempuran dulu, ia pernah kalah.

Anita hwatsu, kecuali memiliki ilmu tenaga dalam yang berlainan aliran dengan kaum persilatan dari Tiong- goan, pun dia seorang ahli dalam melepaskan senjata-rahasia. Tetapi karena keinginan untuk kelak diangkat sebagai pemimpin Lama di daerah Mongolia oleh kerajaan Ceng, maka diapun mau membantu kerajaan Ceng untuk memerangi kerajaan Beng,

Sedangkan To Thian hwesio, paderi murid Siau-lim-si yang murtad itu, sebenarnya dulu seorang paderi yang tinggi tingkatannya di kalangan biara Siau-lim.

Pada suatu hari dia diperintahkan oleh suhu untuk mengembara mencari pengalaman dan mengamalkan ilmunya. Tetapi dalam perjalanan, telah terpikat oleh wanita cantik. Sebenarnya dialah yang menolong seorang gadis cantik dari seorang li-boa-cat atau penjahat tukang merusak wanita. Gadis itu dibawa si penjahat pemetiknya kedalam sebuah gua. Akhirnya dapat diketahui oleh Thian To. Penjahat dapat dikalahkan. Tetapi ketika paderi itu masuk ke dalam gua hendak membawa gadis itu,  tersiraplah darahnya ketika melihat suatu pemandangan yang belum pernah dilihatnya sepanjang hidup.

Gadis itu tidur terlentang dalam keadaan bugil. Thian To masih muda dan selama itu belum pernah bergaul dengan kaum wanita. Melihat pemandangan yang begitu rupa, dia tak dapat menguasai diri lagi, seketika meluaplah nafsu kejantanannya. Tempat itu sebuah gua di gunung yang sunyi dan jarang dikunjungi orang. Siapa yang tahu kalau aku mencemarkan gadis itu. Aku nanti dapat mengatakan bahwa yang menodai gadis itu adalah penjahat tadi. Demikian suara hatinya mengatakan dan mendorong sang nafsu. Dan akhirnya, runtuhlah sang imam, lupalah sang hati. Gadis  itu diperkosa Thian To.

Memang tak ada manusia yang mengetahui perbuatannya dan Thian To pun dapat mencurahkan nafsu kebinatangannya sampai sepuas-puasnya.

Memang nikmat tetapi kenikmatan itu mempunyai sangsi atau hukuman, Hukumannya adalah rasa ketagihan. Dan sejak itu Thian To di seorang paderi yang sek-maniak atau gila sex. Karena sudah terlanjur basah, akhirnya dia pun mandi sekali. Sudah terlanjur menjadi manusia gila- sek, dia merasa berdosa dan tak mau kembali lagi ke vihara Siaulim. Bahkan diapun mengganti gelarnya dengan To Thian atau memutarbalik dunia.

Karena menghadapi tiga orang lawan yang diduga tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi maka Huru Hara pun tak mau sungkan lagi. Dia segera mencabut pedang thiat-ci- kiam atau pedang magnitnya.

Dulu waktu masih menjadi pendekar Bloon, sudah kenyang menghadapi pertempuran. Terutama terakhir waktu dia harus menundukkan engkohnya sendiri yang itu waktu mengangkat diri sebagai Kim Thian Cong di gunung Hong-san, dia harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya.

Sebenarnya yang disebut ilmu kepandaian yang dimiliknya, dia sendiri tak tahu bagaimana wujudnya dan apa namanya. Karena seumur hidup tak pernah mau belajar silat. Ayahnya, mendiang Kim Thian Cong, memang seorang pendekar besar yang diagungkan oleh kaum persilatan sebagai Bu-lim-beng-cu atau pemimpin dunia persilatan. Pengangkatan sebagai bu-lim beng cu memang bukanlah suatu hal yang mudah. Dalam dunia persilatan banyak sekali tokoh yang berkepandaian tinggi dan sakti. Seorang bu-lim-beng-cu harus memenuhi beberapa syarat yang sukar. Kecuali harus mempunyai kepandaian yang cemerlang juga harus mempunyai keperibadian yang kuat, tindakan yang adil bijaksana, perjalanan hidup yang bersih dan luhur.

Dan untuk diagungkan sebagai bu-lim-beng cu, memang harus melalui ujian2 yang berat mereka2 yang menginginkan kedudukan itu.

Kim Thian Cong sendiri sebenarnya tak ingin menerima pengangkatan itu tetapi karena kaum persilatan terutama para ketua dari tujuh partai besar saat itu, mendesaknya, terpaksa ia menerima.

Adalah suatu hal yang ironis sekali bahwa kalau Kim Thian Cong itu seorang bu lim-beng cu, kebalikannya puteranya Kim Yu Yong yang kemudian terkenal sebagai Kim Blo’on, ternyata seorang pemuda yang blo`on, yang tak mau belajar silat, bahkan menentang kalau mau diberi ajaran silat oleh ayahnya. Dan akhirnya dia mengembara tanpa seidin orangtuanya.

Tetapi perjalanan hidup manusia memang aneh. Sering orang tak percaya dan mengatakan bahwa kisah hidup Blo`on itu hanya suatu hayalan. Bahkan orang menganggap bahwa hidup Blo’on itu hanya kisah seorang edan.

Tetapi dunia ini memang aneh. Segala dianggap tak mungkin, dapat mungkin. Demikian yang terjadi pada diri Kim Bloon. Dalam pengembaraan itu dia telah mengalami beberapa peristiwa yang luar biasa dan mendapat rejeki-besar yang tak mungkin didapat oleh lain orang. Dia berhasil mendapatkan tenaga-sakti yang disebut Ji-ih-sin-kang, tenaga-sakti yang dapat digerakkan menurut sesuka hatinya. Tenaga dalam semacam itu hanya dapat diperoleh oleh tokoh yang telah berlatih lwekang selama berpuluh-puluh tahun. Tenaga-dalam itu termasuk tenaga-dalam yang sudah mencapai tingkat hampir sempurna.

Dengan mempunyai tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang itu, dia dapat bergerak seperti seorang tokoh kelas satu. Memang agak janggal juga karena dia tak dapat bergerak menurut ilmusilat. Tetapi kejanggalan itu ditutup dengan kehebatan tenaga sakti Ji- ih sin-kang, dimana dalam waktu yang singkat sekali, dia dapat menirukan segala gerak-gerik lawan. Pokoknya, asal dia melihat dan hati menginginkan, maka dapatlah secara otomatis dia bergerak menurut kehendak hatinya.

Dan ada suatu keistimewaan lagi. Ialah karena dia tak tahu bagaimana cara menghimpun dan memancarkan tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang itu, maka diapun kadang agak ketolol-tololan.

Tetapi celakanya, apabila musuh memukulnya, secara spontan tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang akan memancar keluar dan dapat menolak bahkan mengembalikan tenaga-pukulan orang lagi.

Aneh tetapi nyata.

Dalam menghadapi tiga orang jago sakti yang menggunakan senjata andalannya itu, Huru Hara dapat memberi perlawanan yang mengherankan. Pedang magnitpun suatu senjata yang aneh. Senjata lawan seolah tersedot oleh daya-sedot pedang itu hingga gerakan lawan menjadi agak berat.

Huru Hara marah kepada ketiga lawan Dan diapun lalu memutar pedangnya bagaikan angin prahara yang menderu-deru .....

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar