Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 42 Kutu busuk

Jilid 42 Kutu busuk

Memang apa yang dilakukan Ah Liong dan kawan- kawannya itu kurang senonoh. Masakan kotoran orang, air panas, semut, tawon, digunakan dalam peperangan.

Tetapi peperangan itu sendiri memang sudah merupakan gelanggang pertarungan nyawa. Orang tak menghiraukan nyawa dan membunuh lawan

Perang itu kejam !

Tetapi perang itu ada dua. perang untuk menjajah lain negara dan perang untuk membela negara. Sifat perang tergantung dari tujuannya. Kejam atau tidak, pun tergantung dari sifat perang itu.

Akhirnya Huru Hara dapat menerima apa yang dilakukan Ah Liong. Yang penting Ah Liong dan pasukan anak2 itu telah dapat menyelamatkan rakyat Yang-ciu, dapat memukul mundur musuh yang hendak menyerbu masuk kedalam kota. Cara apapun, tidak menjadi soal. Maklum mereka adalah anak2 yang bengal, Mereka menggunakan cara manurut alam pikiran mereka.

"Baik, Ah Liong, ajak kawan-kawanmu untuk memperkuat penjagaan. Siapa tahu mereka akan menyerbu lagi," kata Huru Hara.

Kemudian dia sendiri lalu mencari Bok Lim. Ia hendak meminta pertanggungan jawab kepada pimpinan pasukan pertahanan kota Yan-ciu itu.

Dia menemukan Bok Lim berada dalam markas. Langsung Huru Hara bertanya, "Bok ciangkun, kemana saja engkau tadi waktu pasukan musuh menyerbu kedalam kota ?"

"Aku bergegas ke markas untuk memberi perintah kepada kelompok2 pasukan kita supaya keluar menghancurkan musuh," sahut Bok Lim.

"Memberi perintah ?" ulang Huru Hara. "Ya, kenapa ?"

"Baru ciangkun memberi perintah setelah musuh sudah menyerbu masuk ?"

"Apakah harus dibiarkan saja musuh itu ?” balas Bok Lim dengan nada mengejek.

"Pertanyaan itu ciangkun sendiri yang harus menjawab dan memang justeru aku hendak meminta jawaban ciangkun tentang pertanyaan itu," kata Huru Hara dengan tajam.

"Apa maksudmu ?"

"Mengapa ciangkun membiarkan saja musuh masuk kedalam kota dan menimbulkan kerugian kepada prajurit dan rakyat kita ?"

"Apa katamu ?" teriak Bok Lim.

"Ciangkun mengatakan kalau sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan siasat ciangkun ‘memancing musuh masuk kedalam sarang.’ Tetapi waktu musuh sudah masuk, ciangkun berada di markas dan baru hendak memanggil pasukan untuk menyergap mereka. Jelas dengan begitu ciangkun belum punya persiapan apa2 atau memang tidak siap !"

Merah muka Bok Lim mendengar kata2 itu. "Aku adalah pimpinan pasukan Yang-ciu. Akulah yang berkuasa untuk melakukan segala tindakan yang kuanggap baik untuk keselamatan rakyat."

"Tetapi kenyataan berbicara lain "

"Huru Hara," sahut Bok Lim dengan keras, “saat ini sedang dalam peperangan dimana hukum perang tetap berlaku. Barangsiapa berani menentang pimpinan, akan kujatuhi hukuman mati."

"Baiklah," kata Huru Hara terus melangkah keluar. Dia terpaksa harus menekan kemarahannya. Ia tahu apabila ia sampai tak dapat menahan emosinya, tentulah Bok Lim sudah ia pelintir lehernya. Tetapi ia tak mau menimbulkan kekacauan karena hanya menguntungkan lawan saja.

"Aku harus lekas menemui Su tayjin agar keadaan disini lekas2 dapat diatasi. Kalau terlambat, kemungkinan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan." pikirnya.

Tetapi diapun menimang. Kalau dia pergi, siapakah yang akan mengawasi gerak gerik Bok Lim ? Tiba2 ia teringat akan Ah Liong. Ya, hanya anak bengal itu rasanya yang dapat ia serahi tugas untuk mengawasi Bok Lim.

Ketika ia menuju ke tembok kota, ia melihat berpuluh orang sedang berkerumun di sebuah tanah kosong. Huru Hara cepat menghampiri, ternyata orang2 itu sedang melihat orang berkelahi. Dan yang berkelahi tak lain adalah Ah Liong lawan beberapa prajurit Beng. 

Huru Hara tak mau lekas2 campur tangan. Ia mendekati seorang penduduk dan bertanya mengapa sampai terjadi perkelahian itu.'

"Prajurit2 itu hendak menangkap engkoh kecil dan kawan-kawannya. Engkoh kecil itu tak merasa bersalah dan melawan. Ya, memang kami tahu engkoh kecil dan kawan- kawannya itu tidak berbuat apa2. Malah merekalah yang dapat mengusir musuh dari kota ini.”

Huru Hara langsung menghentikan mereka. "Mengapa kalian hendak menangkap anak2 ini ?" tegurnya kepada kawanan prajurit itu.

"Kami mendapat perintah dari Bok ciangkun supaya menangkap anak2 ini."

"Gila !" bentak Huru Hara, "apa salah mereka ?" "Menurut Bok ciangkun, pasukan anak2 itu telah

dilarang, mengapa sekarang berani muncul ?"

"Hm, Bok Lim semakin mencurigakan," dengus Huru Hara, "baik, silakan menangkap kalau kalian mampu."

Prajurit2 itu melongo. Tetapi tiba2 mereka terkejut dan cepat2 mendekap celananya.

Huru Hara melihat Ah Liong bergerak seperti setan, melesat kian kemari di belakang kawanan prajurit itu dan akhirnya berdiri di hadapan naeka, bercekak pinggang, "Hayo, kalau kalian mampu, tangkaplah aku !"

Aneh, apabila tadi kawanan prajurit itu begitu garang, sekarang mereka seperti orang dicekik setan. Wajah tegang. tangan mendekap pinggang celana. Ada seorang prajurit yang tak menghiraukan apa2. dia terus maju tetapi malah mendapat hadiah tamparan oleh Ah Liong.

"Huh," kali ini prajurit itu tak berani melepaskan celananya lagi. Kalau tadi hanya tali celana-dalamnya yang putus, sekarang celana seragamnya yang putus talinya.

Prajurit itu tak dapat bertingkah lagi, karena takut akan ditempeleng Ah Liong, dia terus lari. Kawan-kawannya pun mengikuti. Mereka tak peduli akan tertawa orang2 yang menyaksikan bagaimana sambil berlari mereka masih memegang pinggang celana yang putus talinya.

"Bagus, Ah Liong," seru Huru Hara, "bukankah karena mereka itu prajurit kita sendiri maka engkau tak mau melukai mereka ?"

"Ya," Ah Liong mengangguk.

"Ah Liong," kata Huru Hara, "Bok Lim kain jelas mencurigakan. Aku harus lekas2 menemui Su tayjin ke Kimleng. Selama aku pergi, kau kutugaskan untuk mengamat amati sepak terjang Bok Lim. Bertindaklah yang bijaksana. Jangan sampai engkau dan kawan2mu ditangkap mereka. Tetapi apabila mereka sampai melakukan tindakan yang berhianat, jangan sungkan lagi, tumpaslah mereka ! Segala resiko akulah yang tanggung !"

"Baik, engkoh Hok," sahut Ah Liong.

Huru Hara terus berangkat menuju ke Kimleng untuk menghadap Su tayjin.

Tiba di luar kota Kim-leng keadaan sudah gawat sekali.

Kota itu sedah diserang besar-besar oleh pasukan Ceng.

Huru Hara nekad masuk menerobos kadalam kota. Dia langsung mencari Su tayjin. Ketika masuk kedalam markas, dia terkejut melihat pemandangan yang berlangsung diruang besar.

Su tayjin sedang dihadap beberapa perwira. Rupanya sedang membicarakan soal penting. Sedang di pintu kota pertempuran sudah berkobar besar-besaran.

Huru Hara menyelinap secara diam2 sehingga tak menarik perhatian para hadirin. "Go ciangkun, keadaan sudah gawat sekali, kita harus mengeluarkan perintah untuk menyelamatkan rakyat dan pasukan kita," kedengaran Su tayjin berkata.

Yang disebut Go ciangkun atau jenderal Go bernama Go Kui, pimpinan pertahanan kota Im-leng.

"Su tayjin, idzinkanlah hamba mengajukan pendapat," kata pimpinan militer di Kim-leng itu.

"Silakan."

"Rupanya Kim-leng sudah tak dapat dipertahankan lagi," kata Go ciangkun, "musuh terlalu kuat dan kita serba kekurangan. Kurang makan dan kurang senjata."

"Ya, memang," kata Su tayjin, "sudah kulaporkan ke kotaraja untuk meminta bantuan, tatapi seri baginda menolak."

"Jika demikian," kata Go ciangkun, "rupanya baginda sudah tak menghiraukan lagi nasib rakyat Kim-leng. Maka kita pun harus berusaha untuk menolong mereka, tayjin."

"Ya, memang begitu."

"Cara menolong tak lain ..... yah, apa yang dapat kuhaturkan kecuali kenyataan yang didepan mata. Musuh sudah menyerang. Besok atau lusa, kota ini tentu sudah jatuh."

Su tayjin menghela napas.

"Hamba mohon petunjuk Su tayjin." kata pimpinan pertahanan kota Kim-leng itu.

"Kurasa," kata Su tayjin, "tiada lain jalan kecuali kita harus menarik mundur pasukan untuk menggabung dengan pasukan di Yang-ciu." "Tetapi tayjin," sanggah Go ciangkun, ”bagaimana dengan rakyat Kim-leng ? Mereka telah membantu kita dengan harta benda dan tenaga. Kalau sekarang kita tinggalkan mereka begitu saja, tidakkah kita ini akan dianggap boceng oleh rakyat ?"

Kembali mentri Su Go Hwat menghela napas.

"Tayjin, mohon tayjin memperkenankan hamba Leng Bu, menghaturkan pendapat." tiba2 seorang perwira membuka suara.

Dia seorang perwira yang menjadi wakil pimpinan, pasukan Kim-leng. Mentri Su Go Hwat mempersilakan dia bicara.

"Kalau kita mengajak rakyat untuk mengungsi King-ciu, jelas tentu akan tidak menguntungkan. Kalau musuh mengejar, tentulah rakyat akan menjadi korban."

“Ya, lalu ?" tanya Su tayjin.

“Satu-satunya jalan demi kepentingan rakyat, biarlah mereka tinggal di Kim- leng saja."

"Tidakkah mereka akan menjadi korban keganasan musuh ?"

"Tidak," sahut Leng Bu, asal kita menyambut musuh dengan baik."

"Apa maksudmu ? Menyerah ?" mentri Su kejut.

'Demi keselamatan rakyat, kita terpaksa harus mengorbankan perasaan. Dan lagi mengapa kita harus mengorbankan banyak jiwa kalau toh seri baginda sudah tak menghiraukan nasib kita ?"

Suara Leng Bu yang lantang itu mendapat suara dukungan dari beberapa perwira. "Go ciangkun, bagaimana pendapatmu ?" tanya mentri Su kepada Go Kui.

"Jika harus memilih antara perasaan dengan kenyataan, aku akan memilih kenyataan. Jika disuruh memilih antara setya kepada raja dengan kepentingan jiwa rakyat, aku akan memilih yang belakangan, tayjin," jawab Go ciangkun.

"Benar tayjin, kami sekalian memang terpaksa harus melihat kenyataan. Kami terpaksa menyerah demi menyelamatkan rakyat Kim-leng yang sudah terlalu lama menderita," seru deretan perwira.

Huru Hera terkejut. Ia heran, sedang di pintu kota sedang berlangsung bertempuran sengit mengapa komandan Go Kui dan para perwira malah menghadap Su tayjin. Apakah memang mereka membiarkan pasukan musuh supaya masuk dan sekarang menekan kepada Su tayjin supaya suka menyerah saja ? Pikir Huru Hara.

"Ketahuilah," seru mentri Su dengan nada yang penuh wibawa, "jika mengandung maksud menyerah kepada musuh, perlu apa aku harus susah payah datang ke Kim- leng untuk mengatur penjagaan ? Terus terang, panglima Torgun telah mengirim surat kepadaku, minta supaya aku bekerja kepadanya, Kalau aku menerima, aku akan diberi kedudukan tinggi. Tetapi aku tak mau. Aku rela mengorbankan diri dan segala apa demi membela tanah- air yang kita cintai ini. Rakyat menderita? Memang peperangan menuntut segala penderitaan dan pengorbanan. Dalam peperangan ini tak ada orang yang tak menderita !"

"Ada !" teriak Lang Bu dengan nyaring. "Siapa ?"

"Raja dan para mentri terutama Ma Su Ing !" "Negara ini bukan milik mereka tetapi milik kita, rakyat semua," sahut mentri Su.

"Benar, mengapa kita harus tunduk pada mereka?" sambut Leng Bu dengan nada yang berani, mereka tak mau tahu keadaan kita, bahkan tay-jin minta bantuanpun tidak digubris. Perlu apa kita harus menghiraukan mereka. Kita perlu menyelamatkan diri dan rakyat Kim-leng."

"Tidak ! Peperangan ini harus tetap langsung sampai musuh kita usir dari tanah kita. Apabila Kim-Leng jatuh, masih ada Yang-ciu, Yang-ciu jatuh masih ada Han-kow dan Lamkia. Kalau kotaraja Lamkia jatuh, kita masih dapat menyingkir ke daerah selatan untuk melanjutkan peperangan.”

"Tetapi rakyat akan menderita sekali !"

"Semua orang akan menderita. Dan ini memang tiba saatnya kita harus memberikan pengorbanan kepada negara."

"Tetapi ….."

"Apakah engkau hendak menyerah ?"

"Ya," sekonyong-konyong Leng Bu memberi pernyataan dengan mantap.

"Tangkap penghianat itu !" teriak mentri Su dengan marah.

Tetapi tak seorangpun perwira dan prajurit bergerak untuk melakukan perintahnya.

"Go ciangkun, tangkaplah perwira itu!" mentri Su mengulangi perintahnya kepada Go Kui.

Go Kui gelengkan kepala, "Aku tak dapat berbuat apa2, tayjin. Mereka sudah kompak mengambil keputusan." "0, engkau juga menyetujui ?"

"Aku harus menurut pada kehendak anakbuahku, Tanpa mereka akupun tak dapat berbuat apa2 !"

Mentri Su Go Hwat merah padam menahan kemarahannya. Ia tak menduga bahwa di Kim-leng telah terjadi komplotan untuk menyerahkan kota itu kepada musuh.

Tiba2 pula Leng Bu berbangkit dari tempat duduk dan mengeluarkan secarik kertas lalu kehadapan mentri Su, "Su tayjin, keadaan sudah mendesak. Tiada lain pilihan lagi bagi kami kecuali akan minta tayjin untuk menanda tangani genjatan perang dan berunding dengan musuh.”

Su Go Hwat tak mau menerima, "Aku tidak mau menyerah mengapa harus menanda-tangani surat itu ? Kalian sendiri sajalah kalau mau menanda tangani."

"Tayjin adalah mentri pertahanan. Tanda tangan tayjin akan mendapat kepercayaan penuh dari panglima pasukan Ceng. Hamba mohon tayjin suka menanda-tangani"

"Tidak !" teriak mentri Su.

"Ah, hamba mohon jangan sampai keadaan menjadi kurang enak dimana seorang mentri akan didaulat oleh para perwira," kata Leng Bu.

"Apa ? Engkau hendak memaksa aku ?"

"Hamba tidak berani berlaku kurang adat terhadap tayjin peribadi. Tetapi keadaan memaksa hamba harus melakukan kewajiban demi menyelamatkan rakyat Kim-leng."

"Jahanam, engkau berani memaksa aku !" mentri Su menuding perwira Leng Bu.

"Kewajiban tayjin yang memaksa hamba harus berbuat begitu," kata Leng Bu sembari maju mendekat. Dia memang hendak menekan Su Go Hwat membubuhi tanda tangan.

Tetapi pada saat dia hendak ulurkan tangan untuk menyambar tangan mentri Su, sekonyong-konyong terdengartah suara teriakan yang menggeledek, "Hai,  jangan kurang ajar, engkau perwira hianat!"

Pada saat sekalian perwira terbeliak, sesosok tubuh melayang ke tengah ruangan dan dengan cepat menghantam Leng Bu. Tetapi Leng Bu juga cukup siaga. Dengan gesit dia menyelinap ke belakang mentri Su dan mencengkeram bahu mentri itu.

"Kalau engkau berani bergerak. Su tayjin pasti akan kubunuh !" seru Leng Bu.

Yang muncul diruangan itu adalah Huru Hara.

Dia terkejut menyaksikan tindakan Leng Bu yang tak diduganya itu. Dilihatnya Leng Bu memang tidak menggertak kosong tetapi dia sudah melekatkan ujung belati ke punggung mentri Su Go Hwat.

Melihat kehadiran Huru Hara, mentri Su terkejut. Cepat la berseru, "Loan Thian Te, terus hajarlah mereka, jangan hiraukan aku !"

Huru Hara tertegun. Kalau dia nekad mengamuk tentulah Su tayjin terancam jiwanya.

"Hai, perwira, kalau engkau berani mengganggu selembar rambut saja dari Su tajin, engkau tentu akan kucincang !" ia memberi peringatan tajam kepada Leng Bu.

Lang Bu tertawa mengejek.

"Go ciangkun, kalau kalian hendak menyerah, silakan saja. Tetapi lepaskan Su tayjin," seru Huru Hara. Go Kui gelengkan kepala, "Musuh menghendaki agar Su tayjin juga ikut membububi tanda tangan !"

"Go ciangkun, Su tayjin adalah seorang mentri yang setya dan jujur. Telah banyak peugorbanan dan pengabdian beliau kepada rakyat dan negara. Mengapa kalian sampai hati hendak melukai perasaannya ? Begitukah balas kalian terhadap mentri yang kita hormati itu ?"

Sekalian perwira terkesiap.

Akhirnya. ada seorang perwira yang buka suara, "Bukan kami tak tahu membalas budi Su tayjin, tetapi kenyataan memang memaksa kami harus begini. Pasukan Ceng dalam jumlah besar sudah berada diambang pintu kota, kalau kita nekad hertempur, jelas akan kalah. Dan akibatnya apabila kota ini diduduki musuh, rakyat pasti akan menderita. Tetapi kalau kita menyerah, rakyat tentu takkan menderita terlalu besar."

"Hm," desuh Huru Hara.

"Benar," seru seorang perwira lain, "perang akan berlangsung lama sekali. Bukankah kita masih ada waktu untuk mengadakan persiapan apabila kita hendak merebut kembali tanah yang telah direbut musuh ? Mengapa kalau sudah tahu kalah kita masih nekad melawan ? Bukankab itu hanya sia2 saja dan hanya akan menuju ke keancuran ?"

Huru Hara menyahut tenang, "Kalau kalian memang mempunyai pendirian begitu, silakan. Tetapi mentri Su, tidak setuju. Kita harus menghormati pendiriannya dan tak boleh main paksa."

"Hm. kalau tanpa tanda tangan Su tayjin musuh mau menerima, kamipun akan melepaskan Su tayjin, "dengus Leng Bu," tetapi fihak Ceng tetap menghendaki Su tayjin ikut membubuhi tanda tangan." "Jadi kalau begitu kalian tetap hendak maksa Su tayjin ?" Huru Hara meminta penegasan.

"Apa boleh buat."

"Kalau Su tayjin tak mau ?" "Kami terpaksa akan memaksa."

"Go ciangkun," kata Huru Hara. "dengan tebusan apakah maka mau membebaskan Su tayjin.”

"Hanya dengan tanda tangannya."

"Selain itu ? Dengan uang ? Berapa kau hendak minta ?" Terdengar gemuruh suara tanggapan para perwira itu.

Namun tak ada yang membuka suara. "Atau dengan adu kepandaian ?" "Apa maksudmu ?"

"Aku akan maju untuk menghadapi kalian siapapun juga. Kalau aku kalah, silakan memaksa Su tayjin, aku takkan menghalangi. Tetapi kalau aku menang, kalian harus membebaskan Su tayjin.”

Terdengar gemuruh suara para perwira menyambut pernyataan Huru Hara.

Belum tantangan Huru Hara itu dibicarakan oleh Go ciangkun dengan para perwira anakbuahnya, tiba2 masuklah seorang prajurit menghadap. Dia terkejut ketika melihat pemandangan yang terjadi dalam ruang itu.

"Mau apa !" bentak Go ciangkun. "Pasukan Ceng sudah membobolkan pertahanan pintu kota dan prajurit2 kita mundur dengan meninggalkan banyak korban. Rakyat bingung dan kacau tak keruan, ciangkun," kata prajurit itu. "Lekas, Leng hiante," seru Go ciangkun ke arah Leng Bu. Maksudnya suruh Leng Bu lekas memaksa 'mentri Su Go Hwat menanda-tangani.

Leng Bu pun bertindak. Tetapi dimeja itu ternyata tak ada alat tulis. Dia segera suruh seorang prajurit untuk mengambil ke dalam.

Tak berapa lama, yang muncul bukan prajurit tadi melainkan seorang pelayan lelaki tua. Dia adalah bujang yang melayani mentri Su selama berada di Kim-leng.

Bujang tua itu terkejut ketika melihat Su tayjin dikuasai Leng Bu. Tetapi dia tetap tenang. Sesudah meletakkan prabot tulis, dia mengambil bak (tinta) dan mulai menggosok pada batu.

Memang kala itu, apa yang disebut alas tulis terdiri dari tiga benda. Batu tempat penggosok bak dan tempat cairan bak atau tinta. Dua, bak dan ketiga adalah pit (pena). Setiap kali hendak nulis, lebih dulu harus membuat tinta dengan jalan menuangkan sedikit air pada batu lalu bak digosokan pada permukaan batu itu dan terjadilah suatu cairan hitam dari bak.

"Huh ..... ," tiba2 bujang itu bcrseru kaget karena bak yang dipegang ditangannya mencelat jatuh ketanah. Diapun lalu membungkuk untuk menjemput.

"Aduhhhh……” tiba2 Leng Bu menjerit kaget dan berjingkrak seraya lepaskan cengkeramannya pada bahu Su tayjin.

"Engkau gila ! Mengapa menggigit kakiku!” teriak Leng Bu seraya menghantam pelayan yang masih mendekap kaki Leng Bu dan menggigitnya tak mau lepas, Saat itu tak disia-siakan Huru Hara, meloncat dia sudah tiba di dekat Su tayjin lalu cepat menarik mentri itu kebelakangnya.

"Bangsat, engkau hendak mencelakai aku!” teriak Leng Bu seraya ayunkan belatinya menghunjam ke punggung pelayan tua. Tetapi sebelum belati meluncur turun, dia sudah menjerit sekeras-kerasnya. Huru Hara sudah mendahului menghantam kepalanya, Seketika itu Leng Bu mencelat.

"Lopeh, lekas bangun," seru Huru Hara seraya mengangkat tubuh pelayan tua.

Dia mencabut pedang Thiat-cek-kiam (pedang magnit) dan berseru garang, "Hayo, kalau kau berani mengganggu Su tayjin, tentu akan ku cincang !"

Sambil memimpin tangan Su tayjin dan diikuti oleh pelayan tua tadi, Huru Hara menuju ke dalam ruang.

"Lopeh, mana pintu belakang ?" tanyanya kepada pelayan tua. Dia minta agar pelayan tua menunjukkan  pintu belakang. Dari situ mereka harus menuju ke istal kuda.

"Tayjin. apakah tayjin dapat naik kuda ?" tanyanya kepada mentri Su.

"Ya," sahut Su tayjin.

"Dan engkau bagaimana lopeh ?" "Aku aku tak pernah naik kuda."

"Jika begitu, biarlah Su tayjin naik seekor sendirian dan engkau lopeh. membonceng dibelakangku."

"Jangan," cegah Su tayjin, "biarlah Kwik-Hong ini berboncengan dengan aku. Jika engkau seorang diri tentu engkau dapat bergerak leluasa untuk menghalau apabila prajurit2 hendak menghadang dan menyerang kita."

"Baik, tayjin," sahut Huru Hara. Singkatnya tayjin dan bujang yang bernama Kwik Hong naik seekor kuda dan Huru Hara naik kuda sendiri.

Segera keduanya mengeprak kuda menuju pintu kota selatan. Pintu kota terbentang lehar dan saat itu beratus- ratus penduduk sedang berbondong-bondong membawa keluarnya untuk meninggalkan kota Kim leng.

"Loan Thian Te, biarkan rakyat itu keluar dulu, baru kita," kata Su tayjin.

Huru Hara terkesiap, Ia kuatir akan keselamatan Su tayjin tetapi ia tahu bahwa Su tayjin itu memang berwatak aneh dan keras. Dan dia selalu memikirkan kepentingan rakyat lebih dulu.

Sebenarnya kalau rakyat disuruh minggir dulu untuk memberi jalan kepada Su tayjin, tentu takkan terjadi suatu peristiwa apa2. Tetapi kalau tayjin yang menanti sampai rakyat sudah keluar semua, tentu akan memakan waktu lama. Kemungkinan prajurit musuh atau bahkan perwira berhianat itu akan melakukan pengejaran untuk menangkap Su tayjin.

"Tayjin, tetapi tidakkah berbahaya bagi tayjin apabila kita harus menunggu terlalu lama sini ?" katanya.

"Engkau maksudkan para perwira itu akan menangkap aku?" balas Su tayjin, "kalau memang begitu, silakan saja. Tetapi yang penting biarlah rakyat dapat menyelamatkan diri lebih dulu."

Huru Hara tak dapat membantah. Ia tahu akan adat Su tayjin. Saat itu masih tak henti-hentinya rakyat mengungsi keluar dari kota Kim-leng. Mereka sudah merasa dan membayangkan bagaimana penderitaannya nanti apabila kota sampai diduduki tentara Ceng.

Sekonyong-konyong dari tengah kota muncul sebuah barisan yang dipimpin oleh Leng Bu yang diduga Huru Hara memang benar. Leng Bu hendak mengejar dan menangkap Su tayjin.

"Itu dia Leng Bu hendak menangkap aku," kata Su tayjin dengan tenang.

“Hm,” desuh Huru Hara seraya maju menyongsong. "Mau apa kalian ?" tegurnya dengan geram. "Tinggalkan Su tayjin," kata Leng Bu.

"Penghianat, jangan banyak mulut !" Huru Hara terus terjangkan kudanya kepada Leng Bu. Seketika terjadilah kepanikan dalam barisan prajurit Beng itu.

Huru Hara mengamuk untuk menangkap Leng Bu yang berusana untuk melawan sembari menghindar kian kemari. Huru Hara menyambar tombak dari seorang prajurit lalu ditusukkan kepada Leng Bu.

Leng Bu lari menghindar, "Tangkap dia, lepaskan anak panah !" perintahnya.

Huru Hara terkejut. Sebenarnya dia hanya mau menangkap Leng Bu saja. Tetapi karena prajurit Beng itu sudah mempersiapkan busur, terpaksa dia harus mendahului. Huru Hara menyerang seraya memutar tombak untuk menyapu kawanan prajurit itu. Disana sini terdengar jerit teriakan dari prajurit2 yang roboh.

Kawanan prajurit itu benat2 terkejut menyaksikan kegagahan Huru Hara. Mereka tak sempat mengambil anakpanah karena sudah diterjang dan diamuk Huru Hara. Leng Bu gentar juga menyaksikan keperkasaan Huru Hara. Dia berusaha untuk menghindar dengan cara menyelinap diantara anakbuahnya.

Tiba2 kuda Huru Hara berjingkrak dan lonjakkan kedua kaki depannya seraya meringkik sekeras-kerasnya. Kuda itu seperti menderita kesakitan. Ketika berpaling untuk memeriksa, Huru Hara melihat pantat kudanya tertancap sebatang anak panah. Dan secepat itu pula ia dapat menangkap bahwa yang mencelakai kudanya itu adalah.Leng Bu.

Setelah berhasil mengamankan diri diantara anakbuahnya, Leng Bu meminta busur dan sebatang anakpanah dari seorang prajurit lalu dibidikkan kearah Huru Hara. Maksudnya hendak ditujukan pada Huru Hara. Tetapi pada saat arah kudanya ke samping. Dia terhindar dari anakpanah tetapi kudanya kena.

Huru Hara marah sekali. Dia loncat melayang turun dan membiarkan kuda itu lari untuk menyelamatkan diri.

Kawanan prajurit yang melindungi Leng Bu terkejut ketika melihat Huru Hara melayang seperti seekor burung rajawali. Sebelum tiba di tanah, ia sudah lontarkan tombaknya.

Ternyata ketika melihat Huru Hara melayang kearah tempatnya, Leng Bu berusaha untuk meloloskan diri. Tetapi Huru Hara tahu dan mendahului melemparkan tombak. Terpaksa Leng Bu menangkis dengan pcdang.

"Uh ..... " Leng Bu menjerit. Ia merasakan tombak itu luar biasa cepat dan kuatnya sehingga ia tak kuat menangkis. Ujung tombak langsung menyusup ke dada dan tembus sampai punggung. Seketika tamatlah riwayat Leng Bu. Melihat pimpinannya mati, kawanan prajurit itu panik dan bubar, Huru Hara tak mau mengejar melainkan lari menghampiri ke tempat Su Go Hwat.

Ia tahu saat itu masih ada penduduk yang akan lewat di pintu kota untuk mengungsi. Kalau bilang, tentu Su tayjin tak mau. Maka dia menyelimpat ke belakang kuda Su tayjin dan terus menampar pantat kuda itu sekeras-keras. Kuda terkejut lalu mencongklang keras membawa Su tayjin dan bujang Kwik Hong. Su tayjin juga terkejut dan tak mampu mengendalikan kudanya lagi.

Melihat seekor kuda lari menerobos keluar pintu kota, terpaksa beberapa puluh penduduk itu menyisih kesamping membuka jalan. Kudapun melesat bagai anakpanah terlepas dari busur. Huru Hara juga lari menyusul.

Mentri Su tahu apa yang dilakukan Huru Hara. Dalam keadaan panik seperti saat itu memang tak perlu harus salah menialahkan. Masing2 mempunyai pendirian yang dianggap benar. Huru Hara memang merasa mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan Su tayjin.

Lebih kurang sepuluhan li jauhnya, baru kuda yang dinaiki mentri Su dan bujang Kwik Hong itu mengendorkan langkah. Su tayjin menghentikannya.

"Tayjin, mengapa berhenti?" tanya Kwik Hong. "Kita tunggu Loan Thian Te."

Keduanya turun dari kuda dan beristirahat ditepi jalan. Tak berapa lama tampak berbondong-bondong penduduk yang mengungsi dari kota Kim-leng tiba ditempat Su tayjin beristirahat. Begitu melihat mentri Su, mereka segera menghampiri memberi hormat.

Mentri Su terharu melihat kesetyaan penduduk itu. Ia meminta maaf karena tak dapat melindungi mereka. "Ah, kami tahu tayjin bahwa Gak ciangkun telah berkomplot dengan musuh. Kamilah yang menyesal mengapa tak dapat menyelamatkan tayjin," kata beberapa penduduk.

Atas pertanyaan mantri Su, para penduduk mengatakan bahwa mereka hendak mengungsi ke daerah pedalaman di gunung yang jauh dari peperangan, "Entah dimana kami belum tahu kami hendak mencari gunung yang sepi."

Mentri Su tahu bahwa bagi rakyat pada umumnya memang hanya mengutamakan keselamatan dan ketenangan. Dalam hal membela tanah air mereka memang belum memiliki kesadaran yang tinggi. Su tayjin tak dapat menyesali mereka. Bahkan dia merasa iba melihat penderiraan yang dialami para penduduk itu.

Tak berapa lama muncullah Huru Hara. Dia gembira melihat Su tayjin dan Kwik Hong tak kurang suatu apa.

"Tayjin, mengapa tayji tak melanjutkan perjalanan ?" tanya Huru Hara.

"Aku menunggumu, Loan Thian Te," kata Su tayjin, "bagaimana keadaan - dalam kota Kim-leng pada saat engkau meninggalkannya ?"

"Tayjin, perlawanan pasukan Beng mulai lemah. Kemungkinan besar Kim-leng tentu jatuh ke tangan musuh. Go ciangkun dan para perwira diam2 memang sudah berkomplot untuk menyerah.”

"Ya, ini memang menyedihkan sekali," Su tayjin menghela napas, "bukan karena pasukan kita tak dapat menghadapi musuh tetapi dalam tubun kita memang sudah dihinggapi penyakit. Kepercayaan diri dan kesetyaan pada negara dari para jenderal dan perwira pasukan Beng, makin merosot. Ah, nasib kerajaan Bang  memang  suram  sekali… ”

"Ya, memang," Huru Hara juga menghela napas, "memang kerajaan Beng sudah ibarat orang yang sakit parah. Diluar tampak kokoh tetapi didalam sudah lapuk. Tay-haksu Ma Su Ing adalah kutu besar yang menggerogoti kerajaan. Para panglima daerahpun lalu meniru dan berlomba-lomba merebut kekuasaan didaerahnya. Dan ada yang mencari selamat, menyerah pada musuh. Tay-jin bagaimana daya kita ?"

"Loan Thian Te," kata mentri Su dengan nada tegas," pengabdian itu memang suatu pengorbanan. Kita tahu bahwa dalam peperangan ini tipis sekali harapan kita untuk menang. Tetapi jangan menghiraukan soal menang atau kalah. Yang penting kita harus menunaikan kewajiban kita untuk membela negara. Aku hendak ke Yang-ciu untuk memperkuat kota itu. Kalau Yang-ciu pecah, kotaraja tentu tak dapat diselamatkan lagi.”

Tergerak hati Huru Hara mendengar kata-kata yang bersemangat dari mentri Su. Pendirian mentri itu memang sesuai dengan jiwa Huru Hara.

"Lalu bagaimana dengan penduduk mengungsi ini, tayjin

?" tanya Huru Hara.

"Jika mengajak mereka ke Yang-ciu tentu akan menimbulkan beban penderitaan mereka rakyat Yang-ciu. Kurasa,” mentri itu berpaling kepada Kwik Hong, "Kwik Hong, mengapa engkau menggigit kaki Leng Bu ?"

'Agar dia membebaskan tayjin," sahut bujang tua itu. "Mengapa engkau hendak menolong aku ?" tanya mentri

Su pula. "Tayjin," kata bujang tua Kwik Hong, "sayang aku hanya seorang bujang dan sudah tua pula. Namun dengan kemampuan yang ada, aku rela mengorbankan jiwaku demi mengabdi kepada tayjin. Oleh karena itu waktu melihat Leng Bu menguasai tayjin, aku segera mencari akal untuk menyelamatkan tayjin."

Mentri Su Go Hwat mengangguk, "Terima kasih Kwik Hong. Kelak apabila aku masih hidup dan jaman sudah aman, budi pertolonganmu tentu akan kubalas."

"Ah, janganlah tayjin mengucap begitu," kata Kwik Hong, "karena apa yang hamba lakukan itu masih jauh dari keinginan hati hamba dalam mengabdi kepada tayjin."

"Baiklah," kata mentri pertahanan Su Go Hwa., "aku mengabdi kepada negara dan apabila engkau hendak mengabdi kepadaku, sama artinya pengabdianmu itu adalah untuk negara. Bukankah demikian Kwik Hong ?"

Kwik Hong mengiakan.

"Sekarang aku hendak menugaskan engkau untuk melakukan suatu pengabdian lagi. Apakah engkau bersedia

?"

"Hamba sanggup, tayjin."

"Aku dan Loan Thian Te hendak mempertahankan kota Yang-ciu. Penduduk Kim-leng harus kita selamatkan. Kalau kubawa mereka ke Yang-ciu, jelas tentu akan menimbulkan penderitaan bagi penduduk Yang-ciu dan penduduk Ki leng itu sendiri. Yang-ciu kekurangan bahan makan dan sedang menghadapi serangan dari musuh. Maka lebih baik penduduk Kim-leng yang mengungsi itu kita bawa ketempat yang aman. Tugas ini akan kuserahkan kepadamu. Bawalah mereka ke daerah gunung di pedalaman yang aman."

"Tetapi hamba tak dapat ikut tayjin?" "Kwik Hong, dalam mengabdi kepada negara  dan rakyat, janganlah engkau memilih. Menyelamatkan penduduk Kim-leng itu juga rupakan suatu tugas yang penting dan mulia."

Kwik Hong menurut. Dia segera berangkat memimpin rombongan pengungsi dari Kim Leng itu menuju ke suatu daerah pegunungan di sebelah barat.

Mentri Su Go Hwat segera naik kuda bersama Huru Hara menuju ke Yang-ciu. Karena Yang-ciu sudah dikepung musuh, terpaksa Su Go Hwat dan Huru Hara mengambil jalan memutar untuk masuk dari pintu kota sebelah selatan.

Pintu kota bagian selatan tertutup rapat. Berulang kali Huru Hara berteriak minta pintu tetapi tak dihiraukan. Memang saat itu hari sudah petang dan sengaja Huru Hara memilih saat itu supaya tidak diketahui musuh.

Seorang penjaga tampak muncul diatas pos yang dibangun diatas pintu kota, "Hai, siapa itu?"

"Peng-pog-siang-si Su Go Hwat tayjin tiba, lekas buka pintu!" teriak Huru Hara.

"Tidak mungkin!" sahut penjaga.

"Gila," guman Huru Hara, "tayjin, harap tayjin suka memberi perintah kepada penjaga itu."

Mentri pertahanan Su Go Hwat lalu berseru, "Hai, penjaga, lekas buka pintu, aku Su Go Hwat, Peng-poh- siang-si, akan masuk."

Dengan cara itu Huru Hara percaya tentu penjaga akan ketakutan dan lekas2 membuka pintu kota. Tetapi diluar dugaan ternyata penjaga Itu malah mengejek. "Peng-poh-siang-si?" teriaknya, "ah, mana ada seorang mentri pertahanan keluyuran seorang diri tanpa pengiring?"

Merah muka Su tayjin sehingga ia tak dapat berkata- kata.

"Penjaga, jangan kurang ajar," teriak Huru Hara, "beliau ini memang Su tayjin, peng-poh-piang-si tayjin yang baru tiba dari kota Kim-leng. Apa engkau belum pernah mengenal tayjin ?"

"Tidak perlu banyak bicara !" teriak penjaga. "Bok ciangkun memberi perintah setelah pintu kita ditutup, walaupun setan atau raja tak boleh masuk lagi !"

"Gila engkau," teriak Huru Hara sengit, "Dia kan benar2 Su tayjin !"

"Aku tak mau menerima seorang mentri yang keluyuran seorang diri tanpa pengiring. Lekas pergi atau kupanah !" penjaga itu terus siapkan busur dan anakpanah.

"Bajingan !" teriak Huru Hara dengan marah sekali. Dia hendak mengamuk tetapi dicegah mentri Su.

"Tak perlu marah2, Loan Thian Te," kata mentri itu, "kemungkinan penjaga itu hanya lakukan perintah dari Bok ciangkun."

"Tetapi tayjin," sanggah Huru Hara, "masa penjaga itu tak kenal pada tayjin atau aku ?”

"Ya, ini memang aneh. Kemungkinan ada sesuatu." "Hai, lekas enyah," teriak penjaga itu, lebih kurang ajar

lagi dia terus melepaskan sebatang anakpanah kearah Huru Hara.

Huru Hara menghindar dan panah itu menancap di tanah. Huru Hara mencabutnya "Loan Thian Te, mari kita menyingkir ke sebelah sana," kata mentri Su yang terus menuju ke tepi jalan yang jauh dari pintu. Mereka brristirahat dibawah sebatang pohon.

Dalam kesempatan itu Huru Hara menceritakan tentang gerak gerik Bok Lim yang mencurigakan. Karena itulah maka ia bergegas menghadap Su Tayjin di Kim-leng.

Su tayjin kerutkan dahi.

"Ya, memang aneh sekali," kata mentri itu, memang dewasa ini banyak sekali terjadi perobahan sikap dan hati dari para jenderal dan perwira kita."

"Benar, tayjin. Akupun mencemaskan diri Bok Lim. Maka baiklah kita lekas2 masuk kedalam kota untuk menguasai keadaan agar Bok Lim jangan sampai mendahului berbuat yang tidak kita inginkan."

"Tetapi bagaimana kita dapat masuk kedalam ?" tanya Su tayjin.

Huru Hara berdiam diri untuk mengasah otak, Beberapa saat kemudian dia mendengar suara gemuruh. Ia duga musuh tentu melakukan serangan dari pintu kota sebelah utara.

"Tayjin, apakah tayjin dapat tinggal seorang diri disini ?" tanyanya.

"Engkau hendak kemana ?" hanya mentri Su.

"Hendak membantu pasukan kita menghadapi musuh yang menyerang dari utara itu, tayjin

Su tayjin mengatakan. bahwa ia akan tinggal ditempat itu seorang diri. Setelah meminta agar mentri itu berhati- hati menjaga diri, Huru Hara terus menuju ke pintu kota bagian utara.

Tiba ditempat itu ia memang melihat pertempuran sedang berlangsung. Pasukan Ceng sedang menekan untuk menerobas pintu kota. Tetapi dari atas tembok pintu, disambut dengan hujan anakpanah dan lemparan batu yang gencar.

Ketika hampir mendekat ke tempat prajurit Ceng, ia melihat seorang prajurit Ceng lari menyelamatkan diri. Ternyata prajurit itu menderita luka. Tanpa banyak omong, Huru Hara meringkusnya. Lalu dia lucuti pakaian seragamnya dipakainya.

Dengan menyaru sebagai seorang prajurit Ceng dia terus menggabungkan diri dengan pasukan musuh. Dalam saat malam yang gelap, sudah tentu kawanan prajurit Ceng itu tak dapat mengenalinya. Apalagi mereka sedang mencurahkan perhatian untuk menyerang musuh.

Huru Hara menyelinap ke belakang dan menuju ke tenda mereka. Saat itu kubu2 musuh kosong karena prajurit- prajurit Ceng sedang perang. Kesempatan itu tak disia- siakan Huru Hara. Dia membakar semua tenda dan kubu- kubu musuh.

Sudah tentu nyala api yang berkobar di kegelapan malam, cepat menarik perhatian prajurit Ceng. Mereka terkejut sekali dan bubar seketika. mereka lari menuju ke tenda perkemahannya.

Suasana menjadi kacau. Pimpinan pasukan tak dapat mengendalikan lagi anakbuahnya yang lari itu. Dalam kekacauan itu tampak seorang prajurit Ceng mengamuk. Dia membabat kawan-kawannya sendiri. Setiap prajurit Ceng yang datang kearah perkemahan tentu dibabatnya.

"Pengecut, mengapa lari, hayo, tetapi serang musuh!" teriaknya seraya mengamuk. Seorang perwira Ceng terkesiap menyaksikan akan prajurit Ccng itu. Dia tak kenal siapa prajurit itu tetapi dia mengakui bahwa tindakan prajurit itu memang tepat sekali.

Prajurit yang mengamuk itu seorang kerucuk. atau seorang prajurit kerucuk mempunyai pendirian semacam itu, mengapa dia sebagai seorang perwira pimpinan pasukan tidak bertindak begitu. Karena malu, perwira itu ikut mengamuk.

"Hayo, barang siapa tidak melanjutkan serangan kepada musuh tentu kubunub," seru perwira itu dengan memainkan tombak. Setiap prajurit Ceng yang datang tentu ditombaknya.

Tetapi ada sekawanan prajurit Ceng yang tidak menghiraukan perintah perwiranya. Mereka anggap, perkemahan harus diselamatkan dari musnahan dimakan api. Kalau perkemahan ludas kemanakah mereka akan meneduh nanti ?

Segera terjadi bentrokan antara kawan prajurit Ceng yang lari hendak memadamkan bakaran dengan perwira yang memerintahkan mereka melanjutkan pertempuran. Bentrokan itu segera menjadi suatu pertempuran sendiri.

"Bagus," Huru Hara bersorak dalam hati. terus menyelinap diantara pasukan yang bertahan sendiri itu untuk menghampiri pintu kota.

Tepat pada saat itu pintu sedang didorong dari dalam oleh prajurit2 Beng. Cepat2 Huru Hara menerobos masuk.

"Hai, bunuh, bunuh !" setelah pintu kota tutup, prajurit2 Beng itu segere mengejar Huru Hara yang masih mengenakan pakaian prajurit Ceng. Huru Hara terkejut. Ia lupa kalau dirinya masih mengenakan seragam prajurit Ceng. Dia teriak, "Hai, gila, mengapa kalian hendak menyerang aku ?"

"Bunuh saja prajurit Ceng itu !" teriak kawanan prajurit Beng seraya menyerang Huru Hara.

Saat itu Huru Hara baru tersadar. Sambil lari menghindar dia melepaskan pakaian seragamnya.

"Engkoh Hok," terdengar suara teriakan dan kawanan prajurit Beng itupun menjerit tak keruan. Ada yang berjingkrak-jingkrak dan mengusap mukanya. Ada yang memegang celananya. Yang jelas, mereka berhenti menyerang Huru Hara.

"Ah Liong," seru Huru Hara setelah melihat kelompok anak2 muncul dihadapannya. Yang di depan adalah Ah Liong,

"Engkoh Hok mengapa engkau masuk menjadi prajurit Ceng ?" seru Ah Liong.

"Hus, aku memang menyaru untuk mengacau mereka," "Apakah engkau yang membakar markas mereka?” "Ya," Huru Hara cepat lari.

"Hai, kemana engkau engkoh Hok ?" Ah Liong kaget dan terus menyusul. Kawan-kawannya mengikuti.

Huru Hara menuju ke pintu kota selatan dan tanpa banyak bicara terus membuka pintu. Sudah tentu para penjaga kelabakan. Mereka hendak mencegah, tetapi Huru Hara cepat menempeleng mereka.

"Ah Liong, jaga pintu ini aku hendak menjemput Su tayjin," seru Huru Hara terus melesat keluar. Mentri Su Go Hwat terkejut ketika melihat pintu kota terbuka dan Huru Hara berlari-lari menghampiri, "Su tayjin, mari kita masuk kedalam kota,” kata Huru Hara.

Su tai jin naik kuda dan Huru Hara mengawal dimukanya. Mereka masuk kedalam kota Yang-ciu dan langsung menuju ke markas besar. Rakyat berbondong- bondong menyambut kedatangan mentri yang mereka cintai itu. Tak berapa lama Bok Lim juga muncul dan mengantar Su tayjin ke markas.

"Tayjin, hamba mohon maaf karena tidak mengadakan sambutan kepada tayjin. Hamba tak tahu sama sekali akan kedatangan tayjin,” kata Bok Lim.

"Tak apa. ciangkun." kata Su tayjin, "yang mengherankan mengapa penjaga pintu tak mau membuka pintu untuk kami berdua."

Bok Lim tampak terkejut, "Benarkah itu Loan-heng ?" serunya kepada Huru Hara. "Jika tidak, perlu apa aku harus menerabas melalui pintu utara ?" balas Hutu Hara.

Bok Lim segera memerintahkan seorang prajurit untuk memanggil penjaga pintu selatan. berapa lama penjaga pintu itupun menghadap. "Hai, engkau, mengapa engkau begitu kurang ajar sekali !" bentak Bok Lim.

"Apa kesalahan hamba, ciangkun ?"

"Lihat, siapa yang berada di ruang ini ?" kata Bok Lim seraya menunjuk kepada Su Go Hwat dan Huru Hara.

Penjaga pintu itu gemetar.

Su tayjin adalah pengpoh-siangsi kerajaan Beng dan Loan Thian Te ini orang kepercayaan Su tayjin, mengapa engkau berani tak membuka pintu ?" "Tetapi ciangkun," kata penjaga pintu tergagap. "ciangkun telah memberi perintah, siapa saja tidak boleh masuk kota,"

"Ya, tetapi ini kan Peng-poh-slang-si tayjin, masakan engkau buta !"

"Ciangkun memberi perintah bahwa sekalipun raja, juga tak boleh masuk "

"Bangsat engkau !" tiba2 Bok Lim mencabut pedang dan terus menabas kepala prajurit itu.

Huru Hara terkejut. Tetapi sudah kasip. Kepala penjaga pintu itu sudah menggelinding dan tubuhnyapun tumbang dalam genangan darah. Bok Lim segera perintah beberapa prajurit itu mengangkut mayat itu dan membersihkan  lantai.

"Bok ciangkun, engkau amat tegas sekali," Huru Hara. "Peraturan militer harus dipegang keras, supaya anak

pasukan tidak berani melanggar !"

"Benar," sambut Huru Hara, "tetapi penjaga pintu itu tidak bersalah."

"Lho, mengapa ?"

“Penjaga itu hanya melaksanakan perintah ciangkun. Bukankah ciangkun memerintah, sekali pun raja, juga tak boleh masuk kota ini ?"

Merah muka Bok Lim namun ia masih dapat menjawab, "Ya, itu hanya suatu penegasan dia tak berani melanggar. Tetapi masakan dia tak kenal Su tayjin. Seharusnya dia melapor kepadaku.”

"Bok ciangkun," kata Su tayjin, "kesalahannya hanya lalai untuk melapor, Tetapi dalam menjalankan tugas, dia memang patuh sekali. Kesalahannya belum setimpal untuk mendapat hukuman mati.”

Bok Lim terkesiap. Dia tergopoh minta maaf kepada Su tayjin atas peristiwa itu.

Su tayjin tak menarik panjang urusan. Dia minta laporan tentang keadaan kota Yang- ciu selama ini.

"Musuh berkali-kali berusaha mengadakan serangan tetapi dapat kami pukul mundur," Bok Lim.

Su tayjin juga menanyakan tentang keadaan semangat para prajurit, keadaan penduduk, persediaan bahan makanan dan segala sesuatu menyangkut pertahanan kota.

Kesemuanya itu dijawab Bok Lim dengan laporan yang serba baik. Su tayjin yang sudah mendapat keterangan dari Huru Hara, hanya angguk tetapi dalam hati dia sudah tahu.

"Bagaimana keadaan medan? Berapa besar kekuatan musuh yang mengepung kita?" taya mentri Su.

“Beberapa waktu yang lalu, mereka telah dapat kami jebak masuk kedalam kota. Pintu kami tutup dan yang masuk itu kami hancurkan.

"Bagus, Bok ciangkun," puji mentri Su.

"Sejak itu mereka memang belum mengadakan serangan yang berarti lagi. Penjagaan kita terus diperkeras. Setiap matahari terbenam semua prajurit harus berada di pos penjagaan masing2 dan pintu kota harus ditutup rapat2. Itulah sebabnya maka hamba sampai mengeluarkan perintah, sekalipun raja jangan diberi pintu. Itu tak lain agar para prajurit benar2 dapat menjaga peraturan."

Kembali mentri memuji langkah yang diambil Bok Lim. "Tetapi dari laporan mata2, hamba mendapat keterangan

bahwa saat ini musuh sedang menghimpun kekuatan. Dari markas besar panglima Torgun, telah mengirim sejumlah pasukan pilihan dan beberapa panglima yang pandai. Rupanya mereka bertekad hendak merebut Yang-ciu."

Su Go Hwat mengangguk, "Benar, memang kota Yang- ciu ini merupakan kunci ke kotaraja. Kalau Yang-ciu bobol, kotaraja tentu terancam.”

Bok Lim juga meminta keterangan tentang jatuhnya kota Kim-leng. Mentri Su menghela napas.

"Jatuhnya Kim-leng karena penghianatan dari jenderal Go dan beberapa perwira. Mereka telah bersekongkel dengan musuh. Memang bukan hanya Kim-leng, pun beberapa kota dan daerah acapkali terjadi hal yang sedemikian."

Wajah Bok Lim agak bersemu merah.

"Jelas sudah bahwa peperangan itu merupakan suatu tujuan. Orang yang tak mengerti tujuan berperang, mengapa berperang dan untuk apa berperang, tentu akan cepat2 silau dan goyah pendiriannya."

"Keadaan kerajaan Beng memang sudah lapuk, tayjin," kata Bok Lim, "pemerintahan kotaraja sudah dikuasai oleh mentri besar Ma Su Ing, sehingga para panglima di daerah2 kecewa dan putus asa."

"Itu pendirian yang salah," kata mentri Su, "bumi Tiong- goan itu bukan milik raja semata tetapi milik seluruh rakyat. Karena kita dilahirkan disini, hidup dan mati di bumi ini, maka wajiblah kita membela tanah air kita. Oh, ya, apakah selama aku berada di Kim-leng, panglima Torgun tak mengirim surat lagi?"

"Tidak, tayjin." "Bok ciangkun, keadaan sudah gawat sekali. Setelah Kim-leng jatuh, pasukan musuh tentu akan datang membantu kawan mereka untuk rebut kota ini. Kita harus bersiap untuk menghadapi perang yang menentukan."

Bok Lim mengiakan dan minta petunjuk dari mentri Su. Tiba2 Huru Hara berkata, "Tayjin, apakah tidak lebih kita ungsikan dulu kaum orang tua dan anak2 dari kota ini? Dengan demikin kita nanti dapat bertempur sampai titik darah yang penghabisan."

"Ya," sahut mentri Su, "Bok ciangkun," siapkan penduduk yang akan kita ungsikan itu dan ciangkunlah yang kuminta untuk mengatur dan mengepalai regu penyelamat itu ke suatu daerah yang aman."

Sebenarnya Bok Lim terkesiap mendengar perintah itu. Ia tersinggung karena sebagai pimpinan pasukan pertahanan kota, sekarang dia dialihkan pada urusan pengungsian penduduk. Tetapi pada lain kilas, ia cepat dapat mengetahui sesuatu. Serentak saja ia menerima tugas itu dengan gembira. Dan iapun segera mohon diri.

"Mengapa tayjin memindahkan tugasnya?" tanya Huru Hara setelah Bok Lim pergi.

"Lebih baik kita menjaga daripada mengobati,” kata mentri Su, "Bok Lim memang mencurigakan. Tetapi demi keutuhan dan kesatuan pasukan, aku tak menindaknya melainkan menggesernya pada lain tugas."

"0, benar, tayjin."

Keduanya merundingkan persiapan2 untuk menghadapi serangan musuh yang diduga tentu akan lebih besar kekuatanuya.

Demikian kedua insan yang sama watak keperibadiannya, sama2 mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk membela kota Yang-ciu. Bagi keduanya, perang mempertahankan kota Yang-ciu itu merupakan perjuangan besar karena hasil dari pertempuran itu akan menentukan nasib kotaraja Lam-khia.

Memang pasukan Ceng telah mendapat bantuan yang besar. Tetapi mereka tetap gagal untuk merebut kota Yang- ciu. Mentri Su Go Hwat sebagai perancang siasat dan Huru Hara sebagai pelaksana, telah membuktikan bahwa setiap pengabdian yang benar2 berdasarkan pada perjuangan suci membela tanah air, tentu akan merupakan kuatan yang kokoh bagaikan tembok baja.

Tepat lima hari telah berlalu. Pada hari Huru Hara sedang melakukan pemerksaan anakpasukan dan meninjau keadaan penduduk. segera mendapat kesan bahwa prajurit dan pemduduk memang mulai kepayahan keadaannya. Terutama bahan ransum makin hari makin menipis.

Dia banyak mendengar keluhan dari prajurit yang merasa kekurangan makan. Juga diantara pendudukpun mulai berkeluh kesah. Huru Hara mulai menyadari.

"Perang bukan hanya soal bertempur dan keberanian tetapi juga harus ada kelengkapannya. Terutama makan. Karena kekurangan makan, semangat prajurit dan rakyat sudah mulai menurun. Itu berbahaya. Pikiran mereka sewaktu-waktu dapat berobah," pikirnya,

Pada waktu itu muncullah Ah Liong. "Engkoh Hok, wah, celaka," kata anak itu. “Kenapa ?"

"Sekarang musuh telah mengurung kota ini. Pintu kota selatan juga dikepung."

Hutu Hara terkejut. "Bagaimana mungkin ?" serunya.

"Tadi malam mereka melakukan gerakan secara besar- besaran dan berhasil menguasai seluruh penjagaan kita. Sekarang kita terputus dari hubungan dengan luar.”

"Wah, berbahaya," Huru Hara terkejut. Dia mengajak Ah Liong menghadap mentri Su.

Juga mentri pertahanan Su Go Hwat terkejut menerima laporan itu.

"J!ka begini, keadaan kita sudah gawat sekali. Musuh memutuskan hubungan kita dengan luar dan mereka memperketatkan kepungannya. Pada hal persediaan ransum kita makin menipis. Dalam lina hari lagi sudah habis.

"Su tayjin," kata Huru, :"bagaimana kalau menerjang keluar pintu selatan untuk mencari ransum ?”

Su tayjin gelengkan kepala, "Terlambat, Loan Thian Te. Kalau engkau menerjang keluar, untuk mencari ransum tentu makan waktu lama. Mungkin waktu engkau kembali, kota ini sudah menjadi tumpukan puing."

Huru Hara terkesiap. Ia menyadari apa yang dikatakan mentri itu memang benar. Mentri Su seorang pembesar  setia yang menjabat sebagai mentri pertahanan. Dalam hal ilmu mengatur barisa memang hebat tetapi kalau bertempur di medan perang tidak dapat.

Pada hal dalam tubuh pasukan yang mempertahankan kota Yang-ciu itu sudah mengunjuk gejala-gejala yang mencurigakan, Beberapa perwira tampak tak semangat lagi. Kebanyakan mereka adalah anakbuah Bok Lim. Waktu Bok Lim memegang pimpinan, prajurit2 itu mendapat jaminan yang penuh. Tetapi sekarang mentri Su Go Hwat mempersamakan jaminan tentara dengan yang berikan kepada rakyat. Di kalangan prajurit dan perwira sudah mulai timbul rasa tidak puas.

Memang berulang kali mentri Su memberi penerangan tentang arti daripada peperangan yang mereka lakukan itu. Tetapi mereka menerimanya hanya denga rasa enggan karena perutnya tidak kenyang.

Apabila Huru Hara keluar mencari rangsum dan sampai tak dapat masuk kembali ke kota ke alaan tentu makin lebih berbahaya.

"Baiklah tayjin, hamba takkan pergi," akhirnya ia menurut, "tetapi kitapun harus cepat2 bertindak."

Su tayjin mengangguk namun sampai beberapa saat belum juga ia membuka mulut. Rupanya dia sedang memeras otak untuk mencari jalan keluar.

"Tayjin," kata Huru Hara, "kekuatan pasukan kita kini hanya tinggal delapan ratus prajurit. Keadaan mereka sudah tak bersemangat. Mereka mengeluh karena kurang makan

.."

"Ya, apa boleh buat," kata mentri, "sudah kutulis beberapa pucuk surat meminta bala bantuan kepada baginda tetapi tiada jawaban kecuali yang pernah kuterima yang menyatakan kalau kerajaan tak dapat mengirim bala bantuan."

"Hamba tahu, tayjin," kata Huru Hara, "daripada bertahan tetapi lama kelamaan akan mati kelaparan, lebih baik kita serbu saja mereka."

Su Go Hwat mengangguk, "Ya, tetapi kekuatan mereka amat besar dan lagi mereka, telah mengepung dari segala jurusan. Apakah serbuan kita nanti dapat berhasil ?" "Berusaha mati, tidak berusahapun mati. Jika disuruh memilih, hamba memilih untuk berusaha,” seru Huru Hara, "mati hidup di tangan Thian."

Tergerak hati mentri Su yang sudah dirundung kekecewaan itu. Dia membenarkan pendapat Huru Hara. Kemudian dia bertanya apa Huru Hara sudah mempunyai rencana.

"Apabila tayjin mengidinkan, hambalah yang akan menyerbu mereka."

"Tetapi . . ,"

"Hamba tak menyerbu juga akhirnya akan diserbu. Mempung semangat dan tenaga prajurit dan rakyat masih belum merosot sekali, hamba akan ajak mereka untuk melakukan serbuan yang terakhir."

"Apakah semua akan ikut dalam serbuan”

"Tidak tayjin, akan hamba pecah menjadi empat kelompok. Kelompok pertama akan hamba pimpin untuk menyerbu ke pintu utara. Kelompok kedua harus menjaga tayjin. Kelompok ketiga memimpin rakyat untuk memberi bantuan mana2 yang terdesak musuh. Dan kelompok keempat mengadakan serbuan ke pintu selatan."

Su Go Hwat kerutkan dahi.

"Mengapa harus menyerbu pintu utara? mengapa tidak menyerbu ke pintu selatan saja saya kita terus menuju ke Khay-hong ?"

"Memang seharusnya demikian, tayjin," Huru Hara, "tetapi hamba berpendapat, kemungkinan musuh juga mengandung pikiran begitu. Oleh karena itu maka akan hamba lakukan serangan yang diluar perhitungan musuh. Kalau berhasil menghancurkan pasukan musuh yang berada di utara, sekaligus kita dapat memotong jalan pasukan musuh yang berada di selatan. Pada saat itu, kelompok keempat boleh menyerbu keluar untuk bersama- sama menghancurkan musuh di pirtu selatan itu."

"Baik," Su tayjin setuju," kapan engkau akan berindak ?" "Serangan  itu  baiklah  kita  lakukan  pada  malam  hari.

Malam ini bulan tak bersinar, kita dapat bergerak dengan

leluasa."

Setelah mendapat persetujuan dari mentri Su, Huru Hara segera mengatur dan mempersiapkan barisan2 yang dibaginya menjadi empat kelompok.

"Lalu apa tugasku, engkoh Hok ?" tanya Ah Liong yang tidak mendapat bagian tugas.

"Apakah anak buahmu siap ikut menyerbu ?"

"Tentu, engkoh Hok," seru Ah Liong serentak, "barisan Bon-bin setiap saat selalu siap tempur.”

"Bagus," seru Huru Hara, "barisan Bon-bin oleh ikut aku menyerbu keluar dari pintu utara. Setelah diluar pintu, anakbuahmu harus berpencar mengitari mereka, menyusup kebelakang dan hancurkanlah perkemahan mereka. Sanggup ?"

"Sanggup, tay-ciangkun !" seru Ah Liong seraya memberi hormat seperti seorang prajurlt kepada atasannya.

"Bagaimana engkau dapat mengatakan sanggup ?" tegur Huru Hara.

"Beres, jenderal," seru Ah Liong," anakbuah pasukan Bon-bin tentu takkan mengecewakan."

Huru Hata melanjutkan perjalanan. Ah Liong disuruh mempersiapkan barisannya. Sehabis mandi Huru Hara terus melaporkan kepada mentri Su tentang persiapan yang dilakukannya.

Su tayjin menitahkan bujang mengambil minuman. Malam itu dia hendak mengajak minum arak dengan Huru Hara.

"Tayjin, maaf, mengapa kali ini tayjin minum arak. Bukankan selama ini tayjin jarang minum arak ?" Huru Hara agak heran ketika Su tayjin minum arak.

"Loan Thian Te," kata mentri Su, "pertempuran nanti malam adalah pertempuran mati hidup. Kita tak tahu apakah kita masih hidup besok pagi. Arak akan menjadi saksi untuk mengenangkan pertemuan kita malam ini. Ha, ha. Loan Thian Te, hayo kita minum ..."

Huru Hara terpaksa menyambuti cawan dan terus meneguk sampai habis.

"Penyair dan pujangga kita jaman yang lalu memang lebih bahagia, Mereka dapat menikmati arti hidup dengan tepat. Cobalah engkau dengarkan secuplik syair dari penyair Su Tong poh…..”

Kin thien yu ciu, kin thien cui. Hari ini ada arik, hari ini kita minum sampai mabuk "

“Ah, itu kan pendirian seorang pemabuk" saggah Huru Hara,

"Tidak, Loan Thian Te," jawab mentri Su. Itu sesungguhuya suatu falsafah hidup yang tinggi. Tong-poh menganggap hidup ini hanya seperti orang singgah. Apa yang terjadi hari ini, harus kita hadapi hari ini juga. Esok. kelak, itu soal nanti. Mengapa perlu diresahkan ?"

"Dia memang manusia yang tahu menikmati hidup. Tiap hari minum arak dan membuat syair,” kata mentri Su, "coba bayangkan kita hampir lebih dari separoh hidupku kuabdikan untuk kepentingan negara. Aku makan sederhana, pernah minum arak dan lain2 kesenangan. Sekarang tahu2 aku sudah menghadapi detik2 yang berbahaya. Kecil kemungkinannya aku dapat hidup lebih lama."

"Ah, tayjin. hidup dan mati kita itu tergantung dari kekuasaan Thian."

"Hidup menyiksa diri seperti yang kulakukan, kiranya juga akan mati, Hidup bebas seperti Su Tong-pohpun akhirnya juga mati. Bukankah hal ini sama saja ?"

"Serupa tetapi tak sama," bantah Huru Hara. "Apa maksudmu ?" tanya mentri Su.

"Manusia tentu mati, memang serupa kodratnya. Tetapi mati dan mati adalah dua. Mati seperti penyair Su Tong- poh adalah mati tenggelam dalam khayalan. Tetapi mati seperti panglima Gak Hui, adalah mati yang berarti.”

"Su Tong-poh memang berkhayal tetapi dalam syair- syairnya dia telah dapat menggambarkan arti kehidupan dengan tepat sekali."

"Mudah-mudahan hanya Su Tong-poh seorang saja yang berkhayal dalam syairnya. Jangan ada dua tiga atau perpuluh Su Tong-poh, Jika tiap rakyat seperti Su Tong- poh, mungkin negara kita ini sudah lama dijajah oleh bangsa asing.. Su Tong-poh hanya pandai mengkhayal. Pada hal hidup itu suatu kenyataan dari berbagai masalah yang menantang kita untuk diatasi. Dapatkah khayal dan syair mengatasi kesemuanya itu ?"

"Su Tong-poh seorang sasterawan dan penyair. Barangsiapa dapat memahami keindahan daripada rangkaian syairnya, dia akan tahu keindahan arti hidup ini," seru mentri Su Go Hwat.

"Su Tong-poh adalah ibarat langit. Kita melihat tetapi  tak dapat merasakan dan merabahnya. Beda dengan bumi yang terdiri tanah dan air. Disitulah kita dilahirkan. Hidup dan mati. Barangsiapa dapat menjaga, memelihara dan mencintai tanah dan air itu, dia telah dapat menunaikan tugas hidupnya. Hamba rasa, menunaikan tugas hidup lebih nyata dan bermanfaat daripada mengerti- tentang arti hidup."

Su Go Hwat tertegun.

“Sebenarnya tidak banyak manusia yang bernasib seperti kita, tayjin."

"Ya, memang nasib kita ini celaka."

"Bukan tayjin, bukan celaka," bantah Huru Hara, "tetapi bahagia. Mengapa ? Karena kita ditakdirkan untuk ikut serta menulis sejarah perjuangan bangsa kita. Kita ditakdirkan untuk menunaikan beban yang luhur dimana kita bertanggung jawab akan keselamatan negara dan bangsa. Tidak banyak manusia yang menerima beban seperti kita tayjin."

Mentri Su mengangguk.

"Su Tong- poh memang seorang penyair yang hebat. Tetapi apa faedah yang dirasakan oleh rakyat pada syair- syairnya itu "

"Dia telah memajukan sastra dan kebudayaan, Loan Thian Te,"

"Tetapi dia telah mencabut jiwa orang dengan kebiasaannya minum anak. Diapun telah mencuri semangat orang supaya beermalas-malasan tidak ikut berkecimpung dalam menunaikan tugas membela kepentingan nagara. Berbanggakah kita karena mempunyai Su Tong-poh si tukang syair, pemabuk dan penghayal besar itu ?"

“Bum ..... bum . . . . , bum…….”

Sekonyong-konyong keduanya dikejutkan oleh suara dahsyat yang menggelegar dan menggetarkan bumi. Pada lain kejab, terdengar pula jeritan dan teriakan ngeri.

Huru Hara cepat melesat keluar. Dia melihat beberapa rumah penduduk hancur dan api berkobar.

Terdengar pula suara berdentum dan gelegar yang dahsyat dan di beberapa tempat tampak rumah roboh dan bangunan2 hancur.

"Hai, apakah itu ?" Huru Hara serempak lari menghampiri ke suatu tempat yang menderita kerusakan. Dia membantu rakyat yang rumahnya tertimpah bencana. Ada juga korban yang menderita luka.

Kemudian Huru Hara lari menghadap mentri Su untuk melaporkan peristiwa aneh itu.

"Itulah yang disebut meriam. Suatu senjata yang dahsyat," kata mentri Su.

"Dari mana senjata meriam itu ?"

'Senjata itu berasal dari orang kulit putih di luar negeri. Dalam bentuk kecil disebut senapan dan kalau besar disebut meriam. 'Dapat memuntahkan peluru yang menghancurkan segala benda, manusia dan apa saja."

"Wah, kalau begitu kita harus merampas senjata itu, tayjin," kata Huru Hara, “jika tidak rakyat tentu akan hancur semua dan kota Yang-ciu tentu akan menjadi lautan api." "Baik, Loan Thian Te," mentri Su tiba2 menjabat tangan Huru Hara, "mari kita saling menunaikan tugas kita. Engkau yang menghancurkan persenjataan musuh, aku yang akan mengepalai pasukan dan rakyat untuk mempertahankan kota ,"

Huru Hara terharu. Ia memberi hormat kepada mentri Su Go Hwat, 'Su tayjin, maaf, hamba tak dapat mendampingi tayjin. Harap tayjin suka menjaga diri baik?

..... "

Huru Hara terus menuju ke pintu selatan. Di situ sudah berkumpul pasukan yang dibentuk menjudi kelompok kesatu. Ah Liong dan pasukan Bon- bin juga sudah slap.

"Saudara2, keadaan kita saat ini sudah gawat sekali. Musuh memiliki senjata yang ampuh dan ganas. Kita harus merebut dan kalau perlu menumpas senjata penyebar maut itu !"

Setelah memberi emposan semangat, Huru Hara lalu suruh pintu kota snpaya dibuka. Dan selekas pintu dibuka maka menyerbulah mereka kearah barisan musuh.

Huru Hara mencabut pedang Thiat-cek- kiam (pedang magnit). Pasukan Ceng pun dengan bersorak sorai segera menerjang.

Pertempuran segera berlangsung. Seru dan dahsyat. Tetapi pasukan Ceng lebih segar semangatnya dan lebih besar tenaganya. Cepat sekali situasi pertempuran yang sudah tampak bahwa pasukan Ceng lebih unggul.

Pasukan Beng banyak yang roboh, terluka dan mati. Namun mereka masih belum dapat melalui seorang manusia yang bersenjata pedang. manusia baja itu tak lain adalah Huru Hara. Dengan memutar pedang Thiat-ci-kiam, Huru Hara mengamuk. Adalah karena dia, maka pasukan Ceng dapat tertahan.

Melihat pasukannya tertahan, seorang perajurit Ceng yang baru saja didatangkan untuk membantu pasukan Ceng yang mengepung Yang-ciu marah.

"Pecah menjadi dua sayap dan terus mengurung orang itu. Yang sebagian terus masuk menerjang kedalam kota. Akulah yang akan menghadapi pemuda itu !" serunya.

Dia bernama Gotay, seorang perwira yang baru menonjol bintangnya. Dalam beberapa medan pertempuran dia telah banyak jasanya. Keberaniannya menonjol, keperkasaannya mengagumkan.

Dengan menghunus senjata tombak yang beratnya tak kurang dari 50-an kati, perwira itu segera maju menyerbu Huru Hara.

Huru. Hara terkejut menyaksikan keperkasaan perwira Ceng itu. Tetapi diapun tak mau menunjuk kelemahan. Apalagi dihadapan seorang perwira Ceng, meluaplah kemarahannya.

Tring….. tanpa banyak gaya dan ulah, serempak Huru Hara terus menghantam tombak lawan dengan pedangnya.

Gotay terkenal dengan tenaganya yang amat kuat. Pernah dicoba, lima prajurit disuruh adu senjata dengan tombaknya. Akibatnya lima pedang kelima prajurit itu mencelat ke udara dan orangnyapun terlempar beberapa langkah ke belakang.

Dan tombak Gotay itu terbuat dari baja hitam yang kerasnya bitkan kepalang. Pada saat terjadi benturan, tombak Gotay melekat saling dorong mendorong untuk merobohkan lawan. Tetapi setiap kali Gotay mendorong, ia malah segera terdorong kebelakang. Ia merasa tenaga dorongannya itu memantulkan tenaga-membal dan membalik lagi kepada dirinya. Iapun berusaha untuk menarik tombaknya dari lekatan pedang tapi tak berhasil.

Huru Hara tak mau membuang banyak waktu.

Secepat mengisar tubuh kemuka mendekati lawan sekonyong-konyong Huru Hara mengirim sebuah tendangan, plak ..... auh .....

Kaki Huru Hara tepat mengenai perut Gotay dan perwira Ceng itu tak ampun lagi terpental sampai beberapa meter. Celakanya lagi, karena dia mati-matian memegang tombaknya yang melengket pada pedang Huru Hara, karena tubuhnya terlempar belakang, otomatis iapun seperti membetot dengan paksa tombaknya itu dari lekatan pedang. Dan karena dia menggunakan tenaga besar untuk membetot tombak, akibatnya tenaga sakti Ji-ih-sin-kang yang memancar dari tubuh Huru Hara, telah ngalir deras kelengan Gotay. Akibatnya, begitu jatuh ke tanah, Gotay meraung-raung seperti babi hendak disembelih. Lengannya terasa seperti putus ......

Huru Hara tak menghiraukan suatu apa. terus mengamuk bagaikan banteng terluka. Pasukan Ceng kalang kabut.

"Minggir!" tiba2 seorang perwira lain bertubuh tinggi besar dan memelihara kumis berteriak menyuruh sekalian prajuritnya menyingkir. Dia terus menerjang Huru Hara.

Selagi keduanya bertempur, seorang prajurit Ceng menyusup pada kawan-kawannya yang sedang mengepung Huru Hara, supaya menyingkir jauh dan terus menyerang masuk kedalam kota. "Lekas menyingkir jauh, komandan akan menembak orang itu dengan meriam." kata prajurit kepada kawan- kawannya .

Sudah tentu kawanan prajurit yang tengah mengepung Huru Hara menjadi ketakutan dan cepat2 menyingkir. Mereka ikut menyerbu kedalam kota.

Perwira Ceng yang tinggi besar itu terkejut jika beradu senjata dengan Huru Hara. Dia merasakan bahwa dari pedang Huru Hara ternyata memancarkan daya-sedot yang amat kuat. Dia hendak menarik senjatanya dari lekatan pedang tetapi Huru Hara malah menurut saja pedangnya ditarik, bahkan didorong juga. Sudah tentu perwira Ceng  itu menjadi kaget setengah mati karena mukanya terbelah oleh pedangnya sendiri. Dalam keadaan yang terdesak, dia mundur terus melarikan diri.

Huru Hara mengamuk tetapi dia merasa sekelilingnya kosong. Dia hentikan permainan pedangnya dan , "Hai,

kemana mereka!" teriaknya ketika melihat di medan pertempuran itu hanya dia seorang diri saja.

Bum ..... bum .....

Terdengar dentum suara yang menggetarkan bumi dan muncrat tanah campur tiang ke udara. Kemudian disusul dengan jeritan ngeri dan tubuh manusia yang bertebaran keempat penjuru. Huru Hara terkejut. Dia melihat bahwa dentuman dahsyat itu telah terjadi di perkemahan musuh. Cepat ia lari menghampiri.

"Engkoh Liong," tiba2 terdengar teriak seorang anak. Dan ketika Huru Hara berpaling dilihatnya Ah Liong bersama beberapa anak laki sedang mengerumuni sebuah benda aneh. Benda itu berbentuk bulat dan berlubang, diletakkan diatas dua buah roda. Ah Liong dan kawan- kawannya sedang mengacungkan pedang kearah dua orang prajurit Ceng. Dan kedua prajurit Ceng itu sedang memasakkan sesuatu kedalam mulut benda berlubang itu dan yang seorang lagi lalu menyulut dengan api.

Bum .. , .. bum .....

Kembali terdengar ledakan yang dahsyat disana, lebih kurung dua tiga li jauhnya tampak kebakaran.

"Ah Liong, apa ikut ?" tegur Huru Hara. yang cepat menghampiri.

"Kita sedang menembaki pasukan Ceng,” sahut Ah Liong.

"Apakah benda itu yang disebut meriam”

"Benar, enkoh Hok," kata Ah Liong, benda yang disebut meriam. Milik pasukan Ceng. Sekang kusuruh kedua prajurit Ceng itu untuk menembakkan kearah perkemahan mereka sendiri."

Kini Huru Hara baru mengerti bahwa Ah Liong dan pasukannya berhasil menguasai prajurit pasukan meriam musuh. Dan prajurit musuh itu dipaksa harus menurut perintah anak2 itu.

"Apakah hanya sebuah itu ?"

"Menurut keterangan mereka, pasukan Ceng mempunyai tiga pucuk meriam. Yang dua buah di pasukan Ceng yang mengepung dari barat, dan yang satu digunakan pasukan Ceng yang meyerang dari timur."

"Celaka," teriak Huru Hara, "kalau begitu kota Yang-ciu ditembaki meriam dari tiga jurusan.”

"Ya tentulah kota Yang-ciu hancur dan rakyat banyak yang menjadi korban." Huru Hara mencabut pedang dan sekali ayun membunuh kedua prajurit Ceng itu.

"Engkoh Hok, mengapa engkau membunuh mereka ? Bukankah kita dapat menyuruh mereka untuk menembaki pasukan Ceng sendiri ?" Ah Liong kejut.

"Tidak, Ah Liong, aku tak setuju. Mariam senjata penyebar maut yang keji. Kita hancurkan saja !" kata Huru Hara.

"Bagaimana caranya ?"

Huru Hara menghampiri meriam. Sekali tabas keretanyapun hancur dan meriam jatuh ketanah.

Kemudian Huru Hara membuat lubang di tanah. Meriam itu ditanam, ujungnya dimasuk kedalam tanah sampai separoh bagian.

"Mana obat peledaknya?" tanya Huru Hara.

Ah Liong menyerahkan bahan peledak yang disuruh masukkan kedalam lubang meriam sampai penuh. Setelah itu Huru Hara lalu menyulut api.

"Lekas kalian menyingkir jauh. Apabila meledak meriam baja itu tentu akan hancur berkeping-keping dan muncrat kemana-mana," Huru Hara.

Setelah anak2 itu menyingkiri jauh dan bunyi dibalik pohon, barulah Huru Hara menyulut bahan peledak dan dia terus loncat meniarap di tanah.

Bum .....

Sebuah ledakan yang dahsyat segera terdengar. Tanah dan keping2 baja dari mariam yang hancur itupun bertebaran ke empat penjuru. Beberapa pohon yang terlanggar kepingan baja itu seperti ditabas. Dan karang yang terhantam pecahan meriam itupun hancur lebur. Beberapa saat kemudian setelah suasana menjadi sepi, Ah Liong keluar dari tempat persembunyiannya.

"Engkoh Hok !" bocah laki itu menjerit kaget dan terus lari menghampiri Huru Hara yang rebah ditanah, tertimbun tanah. Cepat dia menolong Huru Hara.

"Bagaimana engkau, engkoh Hok ?" tanya Ah Liong camas.

"Tidak apa2," kata Huru Hara, "hanya kakiku terciprat kepingan besi."

Ia menunjukkan betis kaki kirinya yang berdarah karena terlanggar kepingan besi meriam. Melihat itu Ah Liong terus berlari menghampiri seorang prajurit Ceng yang mati, dia merobek baju prajurit itu lalu kembali ke tempat Huru Hara dan membalut betisnya yang terluka itu," Apa engkau dapat jalan, engkoh Hok ?"

"Ya, tetapi belum dapat lari," kata Huru Hara "Ah Liong, rupanya musuh sudah menyerbu kedalam kota. Toh, ada kebakaran dan suara orang yang bergemuruh . .

Huru Hara berbangkit dan paksakan diri berjalan. Ah Liong dan pasukannya mengiring di belakangnya.

Memang kota Yang-ciu sudah pecah. Prajujurit Ceng yang berhasil melanda kedalam kota seraya melakukan serangan yang ganas. Karena kekurangan makan, pasukan Beng yang mempertahankan kota itupun tak dapat bertahan lagi. Banyak yang menyerah tetapi tak sedikit yang mati.

Keadaan dalam kata kacau balau. Penduduk yang belum sempat mengungsi, banyak yang menjadi korban. Mereka nekad melakukan perlawanan. Tetapi sia-sia. Melihat itu mentri Su Go Hwat tak sampai hati. Dia hendak menyerahkan diri dengan syarat agar musuh jangan menganiaya rakyat yang tak berdosa.

Waktu berkemas hendak keluar dari markas untuk menemui komandan pasukan Ceng, tiba-tiba muncul seorang pemuda.

"Su tayjin, mari ke pintu selatan," seru muda itu seraya memimpin tangan mentri Su, Dengan gagah berani dia membabat musuh untuk membuka jalan.

Tetapi musuh mengepungnya dan tanpa minta idin lagi, pemuda itu terus memanggul mentri Su lalu menerjang kepungan musuh .. . .

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar