Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 39 Tebusan

Jilid 39 Tebusan

Torgun. panglima kerajaan Ceng yang berkuasa penuh atas seluruh pasukan, mempunyai silat yang ksatrya.

Dia keras memegang disiplin, pandai mengatur pasukan, bijaksana mengambil langkah. Terha dap mentri atau pembesar kerajaan Beng yang pandai dan setya, dia menghargai dan senang untuk memakainya.

Mentri pertahanan Su Go Hwat, memang merupakan lawan yang tangguh bagi pasukan Ceng yang senang melancarkan serangan untuk merebut daerah yang masih dikuasai kerajaan Beng. Pada saat itu, Su Go Hwatlah yang merupakan motor untuk menghidupkan semangat perjuangan pasukan Beng.

Kehidupannya bersih, tidak korup, tidak mewah. Dia hidup sederhana. Tindakannya selalu berdasar pada kepentingan negara. Keputusannya senantiasa  berpijak pada keadilan. Pendiriannya selalu beralaskan kebenaran.

Dia disegani oleh lawan dan kawan. Para pembesar dan jenderal, menaruh perindahan dan taat. Tetapi para mentri durna menaruh dendam dan ketakutan. Mereka menganggap Su Go Hwat sebagai duri dalam daging. Dan tayhaksu Ma Su Ing yang menjadi boss kawanan mentri durna itu segera bertindak. Menyingkirkan Su Go Hwat dengan alasan Su Go Hwat diangkat sebagai mentri pertahanan yang mengkoordineer (menghubungkan) kekuatan dan persatuan dari para jenderal2 yang menjadi panglima di daerah2.

Su Go Hwat merupakan poros atau tulang punggung dari kekuatan kerajaan Beng. Bagi fihak musuh, tentulah menganggap Su Go Hwat itu musuh besar yang harus dibasmi. Tetapi tidak begitu dalam pandangan Torgun.

Torgun malah mengagumi atas kepandai Su Go Hwat. Terutama dia menaruh penghargaa tinggi atas kesetyaan Su Go Hwat terhadap kerajaan Beng. "Mentri yang begitu harus kuambil. Karena sekali dia mau bekerja untuk kerajaan Ceng dia pasti akan setya sampai mati," pikir Torgun.

Itulah sebabnya maka Torgun berusaha untuk mendapatkan Su Go Hwat. Walaupun Su Go Hwat menolak tetapi Torgun tak marah. Ia dapat menghargai sikap Su Go Hwat.

Terhadap Huru Hara, Torgunpun mempunyai penilaian juga. Ia menerima laporan dari Totay tentang seorang pemuda nyentrik bernama Loan Thian Te yang telah menyelamatkan jiwanya. Dan selama ini dari beberapa pimpinan pasukan Ceng yang melakukan operasi di daerah2, pun masuk laporan tentang diri Loan Thian Te.

Ia belum dapat mengambil keputusan walau pun sudah mendengar. Kini setelah berhadapan dan tahu Loan Thian Te, bermula dia terkejut dan kecewa. Mengapa seorang pemuda dengan dandanan dan rambut yang begitu nyentrik, layak untuk mendapat perhatiannya.

Namun mengingat pemuda itu utusan peribadi dari mentri Su Go Hwat, mulailah Torgun menaruh perhatian. Tak mudah untuk menjadi orang kepercayaan seorang mentri seperti Su Go Hwat.

Dan ketika mendengar pembicaraan Huru Hara serta sikapnya yang berani, Torgun baru mantap memutuskan untuk mengambil pemuda itu.

Ternyata dengan tawaran yang menggiurkan, Huru Hara tak goyah. Namun Torgun tak kecewa, 'Kuda yang baik tentu sukar dijinakkan. Sekali dapat dijinakkan, kuda itu tentu akan setya. Demikian pertimbangan Torgun, baik terha dap mentri Su Go Hwat maupun Huru Hara. Dia hendak menundukkan Huru Hara dengan cara pendirian Huru Hara. Ia handak mengambil Huru Hara, menurut jalan pikiran Huru Hara. Maka diapun mengajukan syarat. Dan ketika mendengar kesediaan Huru Hara untuk memenuhi syarat, Torgunpun gembira.

"Markas ini penuh dengan jago2 yang sakti. Engkau tentu seorang ksatrya. Kalau engkau mampu mengalahkan jago2 itu, engkau boleh bebas keluar dari sini. Tetapi kalau engkau tak mampu, engkau harus tinggal dan bekerja padaku, setuju? tanya Torgun.

"Baik." kata Huru Hara.

"Su Hong Liang," tiba2 Torgun berseru, "akan kuberimu kesempatan yang bagus. Hadapi Loan Thian Te, kalau engkau dapat mengalahkannya, engkau bebas mengajukan apa saja kepadaku.

Mendengar syarat yang diajukan Torgun diam2 Su Hong Liang gembira. Tetapi alangkah terkejutnya ketika Torgun menyuruh dia menghadapi Loan Thian Te.

Melihat Su Hong Liang meragu, berseru pula Torgun. "Ingat Su Hong Liang, aku hanya dapat menerima orang

yang berani menghadapi segala apa!" seru Torgun.

"Tidak ciangkun !" seketika Huru Hara berseru, "aku tidak mau menghadapinya."

Torgun terkejut. Diam2 dia memang mempunyai rencana untuk memberi sedikit "kejutan" kepada Su Go Hwat. Dengan mengadu dua pemuda itu, siapa yang menang dan siapa yarg kalah, bagi Su Go Hwat tentu akan menderita. Su Hong Liang kalah, Su Go Hwat kehilangan keponakan. Huru Hara kalah, Su Go Hwat kehilangan seorang kepercayaan. "Kenapa ?" tanya Torgun.

"Aku tak mau mengotorkan tangan bertempur dengan seorang penghianat !" sahut Huru Hara.

"Salah." seru Torgun, "justeru seorang penghianat wajib dibunuh."

"Tetapi itu hak dari Su tayjin, aku belum diberi wewenang."

"Lalu bagaimana maksudmu ?"

"Silakan ciangkun suruh jago2 yang lain menghadapi aku."

"Hong Tiau, hadapilah dia !" seru Torgun.

Dalam deretan pengawal yang berjajar di samping kanan dan kini Torgun, segera tampil seorang lelaki bertubuh kekar, penuh dengan bulu. Dari muka sampai dada, tangan dan kaki, tumbuh bulu yang lebat.

Thiat-pi-sin-wan atau Kera-sakti-lengan besi Hong Tiau, merupakan jago yang terkenal di dunia persilatan wilayah Hopak.

Panglima Torgun memang senang mengumpulkan jago2 silat yang sakti. Dia tak pandang apakah jago silat itu dari aliran Putih atau Hitam pokok yang mau bekerja kepada kerajaan Ceng tentu dikasih pangkat yang tinggi.

Memang Torgun tahu bahwa jago silat aliran Putih, terutama dari kalangan kaum hiap (pendekar ksatrya), jarang sekali yang mau. Misalnya, Han Bun Liong ayah dari Han Bi Giok, jago yang sangat disegani dikota Thay- goan, tak mungkin Torgun dapat mengambilnya. Apa boleh buat, terpaksa Han Bun Liong harus dipenjarakan.

"Mari kita bermain-main dengan tangan kosong," seru Hong Tiau setelah berhadapan dengan Huru Hara. "Boleh," jawab Huru Hara.

"Engkau atau aku yang menyerang dulu ?' tanya Hong Tiau dengan nada agak memandang rendah. Memang dalam pikirannya, berhadapan dengan seorang pemuda nyentrik seperti Huru Hara, masakan dia kalah.

"Engkau tuan rumah, engkau saja yang menentukan," jawab Huru Hara.

"Engkau boleh menyerang dulu!" "Tidak bisa!"

"Lho, kenapa?"

"Aku tidak mengajak bertempur. Pertempuran ini atas kehendak ciangkun. Maka engkau yang harus menyerang dulu."

"Orang gila,” pikir Hong Tiau setelah mendapat kesan terhadap tingkah dan ucapan Huru Hara.

"Baiklah," kata Hong Tiau lalu membuka serangan dengan sebuah tamparan.

"Hm, monyet ini memandang rendah kepadaku," pikir Huru Hara, "biar dia rasain sedikit kopi pahit."

Huru Harapun dengan santai menangkis. Tetapi tiba2 Hong Tiau gerakkan tangan kiri untuk menampar kepala Huru Hara.

Huru Hara juga menangkis dengan sebelah tangan. Sekonyong-konyong Hong Tiau menekuk targan kanannya lalu menampar dada orang. Tangan kirinyapun digeliatkan untuk menampar perut. Gerakannya cepat sekali.

Huru Hara terkejut. Terpaksa ia menghindar ke samping kiri. Tetapi tangan kanan Hong Tiau dihentikan setengah jalan dan ditamparkan pada bahu Huru Hara. Huru Hara memang tak mengerti bahwa jurus yang dilancarkan Hong Tiau itu disebut Hun soh-ngo-gak atau Awan-menutup-lima-gunung, Suatu jurus gerak tamparan yang sekaligus dilancarkan dalam lima kali.

Plak .. . . bahu Huru Hara tertampar. Dia terhuyung tetapi Hong Tiau tertegun.

Torgun dan para pengawal, heran mengapa Hong Tiau tak mau menyusuli menghantam Huru Hara. Bukankah dia berhasil menampar bahu Huru Hara dan bukankah Huru Hara sudah terhuyung. Apabila dilanjutkan dengan pukulan, tentulah Huru Hara akan rubuh. Demikian rasa heran yang timbul dalam hati Torgun dan pengawal pengawalnya.

Tetapi hanya Hong Tiau sendiri yang tahu apa sebabnya. Ternyata waktu tamparannya mengenai bahu Huru Hara, seketika ia rasakan tenaga-dalam yang dipancarkan pada tamparannya itu tertolak balik dan menyerang jantungnya sendiri. Untung ia cepat mengerahkan tenaga-dalamnya untuk menahan. Kalau tidak, dia tentu akan terjungkal akibat senjata makan tuan.

Hal itulah yang membuatnya tertegun heran. Aneh, pikirnya. Mengapa tubuhnya dapat memancarkan tenaga pcnolak begitu hebat?

Namun karena saat itu sedang berada dihadapan panglima dan rekan2, diapun harus maju lagi. Dia memang ingin mencoba lagi untuk membuktikan keanehan yang dirasakannya itu.

Suatu gerak serangan yang lincah dan sebat segera dilancarkan untuk menerkam Huru Hara. Ok-hou-jiau-tho atau Harimau-lapar-menerkam kelinci, demikian jurus yang digunakan Hong Tiau. Jari tangan kanan dan kiri diregangkan, mirip dengan kuku macan. Huru Hara terkejut. Ia berusaha untuk menghindari saja. Dalam beberapa gebrak Hong Tiau memang tak berhasil menerkam lawan. Tetapi karena dia memiliki berbagai jurus serangan, Huru Hara agak kewalalan.

"Bagus!" tiba2 para pengawal Torgun berseru memuji ketika Hong Tiau berhasil menerkam bahu Huru Hara dan terus mengangkat tubuh pemuda itu keatas kepala lalu dilontarkau, bluk…..

"Hai!" para pengawal bahkan Torgun sendiri juga berseru kaget sekali ketika menyaksikan apa yang telah terjadi dalam ruang pertempuran itu.

Huru Hara memang terlempar tetapi dengan bergeliatan pemuda itu dapat berdiri jejak tak kurang suatu apa. Sebaliknya habis melontar, Hong Tiau malah rubuh sendiri.

Aneh, aneh. Tak habis herannya orang bergumam. Bukankah Hong Tiau yang menang, mengapa dia malah rubuh sendiri?

Kembali Hong Tiau harus merasakan suatu keganjilan yang belum pernah dialaminya selama ini. Ketika dia berhasil mencengkeram tubuh Huru Hara dan mengangkat keatas, pada saat di mengerahkan seluruh tenaga untuk melontarkannya, tiba2 tenaganya itu berhamburan kembali menerjang tubuhnya. Kali ini dia benar2 tak siap untuk menahan. Akibatnya dia seperti dihantam oleh gelombang tenaga-dalam yang dahsyat, yaitu tenaga-dalamnya sendiri.

"Huakkkk," segumpal darah muntah dari mulutnya. Wajah jago itu pucat seperti mayat. Di menderita suka- dalam yang cukup berat.

"Lo Hong, mengapa engkau," seorang lelaki bertubuh kurus melesat ke tengah dan bertanya. Namun Hong Tiau hanya geleng-geleng kepala dan tak menyahut. Melihat itu lelaki kurus itupun segera menyadari kalau Hong Tiau tengah menderita luka-dalam. Dia segera menggotongnya ke samping dan memberi pertolongan seperlunya.

"Ciangkun, idinkanlah hamba yang maju, seorang lelaki pendek menghadap Torgun.

"0, engkau Bin Lok," Torgun memberi anggukan kepala.

Bin Lok adalah bekas anggauta si-wi atau bhayangkara istana raja Beng ketika masih di kotaraja Pak- khia. Waktu baginda hijrah ke kota Lam-khia, Bin Lok tak mau ikut bahkan terus belot dan menyeberang pada pasukan Ceng. Dialah yang berjasa untuk menunjukkan tokoh2 kota Pak hia yang menjadi kaki tangan raja Beng dan mengumpulkan tokoh2 serta jago2 silat dari kotaraja Pak-khia yang mau bekerja pada kerajaan Ceng.

Bin Lok bergelar Tok-jiu jin-kiong atau Manusia- beruang-bertangan-racun. Digelari beruang karena potongan tubuh yang pendek dan wajahnya mirip dengan seekor beruang. Sedang karena dia mempunyai keahlian menggunakan tangan yang dilumuri racun dan pukulan yang beracun maka disebut Tok-jiu atau si Tangan beracun.

"Kutu buruk, engkau berani melukai salah orang pengawal tay-ciangkun ?" serunya dengan suara garang.

"Hm, matamu tentu melek, bukan aku yang menyerang tetapi dia sendiri yang melemparkan aku. Mengapa engkau menuduh aku ?" sahut Hu Hara.

"Engkau utusan dari Su Go Hwat, tentu engkau memiliki ilmu kepandaian yang sakti. Bukankah engkau sanggup untuk menghadapi barisan-pengawal dari markas besar tay- ciangkun di sini?" "Jelas, karena itulah syarat yang diberikan ciangkun apabila aku ingin pulang," jawab Huru Hara.

"Ya, memang benar, engkau akan pulang ke Akhirat," ejek Bin Lok.

"Hm, coba lihat saja siapa yang akan ke akhirat," balas Huru Hara.

"Mulutmu memang besar, bangsat!" teriak Bin Lok seraya loncat menerjang dengan jurus Hiong-eng-sian-ke atau Elang-ganas-menyambar-ayam.

Huru Hara melesat melalui bawah tangan lawan. Gerakan itu biasa saja tetapi cepatnya bukan kepalang. Dan selanjutnya diapun berlari-lari mengitari lawan.

Bin Lok terkejut. Seraya ia melihat Huru Hara pecah menjadi lima enam orang yang mengelilinginya.

"Hm," dengus Bin Lok. Dihadapan panglima besar kerajaan Ceng, dia hendak unjuk kepandaian. Dengan menggerung keras, tubuhnya melambung ke udara sampai dua tombak tingginya. Sambil meluncur turun dia lepaskan sebuah pukulan beracun Hu-kut-ciang atau pukulan Penghancur-tulang.

Hum Hara tak tahu kalau lawan menggunakan pukulan beracun. Dia menangkis dan ketika jadi benturan, ia rasakan tulang lengannya dan cepat sekali menjadi kaku sehingga tak dapat digerakkan lagi.

Ia terkejut sekali. Cepat ia mengempos napas untuk mengerabkan tenaga. Tetapi Bin Lok tak mau memberi ampun lagi. Dia sendiri memang mengalami kekagetan karena tenaga-dalam yang dipancarkan dalam pukulannya itu tertolak balik. Tetapi karena sebelumnya dia sudah minum obat pemunah racun, maka dia tak sampai cidera seperti Huru Hara. Melihat lawan tertegun, serentak Bin Lokpun menerjangnya lagi. Huru Hara marah. Dia sadar kalau musuh menggunakan pukulan beracun.

Begitu pukulan Bin Lok tiba, Huru Hara telah menyambut dengan sebuah tendangan. Tetapi Bin Lok cepat dapat menghindar sedang pukulannya masih dapat diteruskan untuk menghantam dada.

"Uh , " belum pukulan mengenai sasaran, Bin Lok

sudah menjerit kaget. Ia merasa ujung kaki pada kuku jari Huru Hara seperti memuncratkan cairan air yang tepat mengenai muka, terutama mulutnya. Seketika ia rasakan muka dan bibirnya menjadi kaku dan begap.

"Celaka, aku terkena cairan beracun," serunya dalam hati. Ia terus loncat mundur dan merogoh obat kedalam baju lalu minum dan duduk bersila di samping kawan- kawannya.

Sudah tentu peristrwa itu menimbulkan kegemparan. Orang melihat Bin Lok berhasil mengbantam Huru Hara dan waktu Huru Hara balas mengirim tendangan, tidak mengenai Bin Lok. Tetapi mengapa tahu2 Bin Lok malah mundur dan terus duduk bersila pejamkan mata ?

"Hamba mohon idin untuk maju, ciangkun,” kembali seorang jago maju kehadapan Torgun.

Panglima Ceng kitu menganggu.

Jago yang maju kali ini adalah Seba, seorang tokoh dari Mongolia. Dia mempunyai ilmusilat yang istimewa, Lain dari silat di daerah Tionggoan. Ilmusilat tokoh Mongolia itu mengutamakan membanting dan menjegal.

"Ho, manusia ganjil, rupanya engkau lihai sekali," serunya ketika berhadapan dengan Huru Hara. "Engkau sendiri yang mengatakan, bukan aku."

"Engkau mampu menghalau racun dari pukulan Bin Lok dan engkau salurkan ke kuku kaki lalu engkau tendangkan ke mukanya. Sudah tentu Bin Lok kelabakan."

"Itu dia sendiri yang berbuat," sahut Huru Hara.

"Terus terang," kata Seba, "aku tak suka pakai segala racun. Tetapi kalau dapat kubanting tulang2mu tentu berantakan."

"Bagaimana acara pertempuran, kalian yang menetapkan sendiri. Mau bermain curang kek, mau terang-terangan kek, silakan. Aku hanya sebagai tetamu tentu menerima saja apa yang tuanrumah akan hidangkan," kata Huru Hara.

"Baik, engkau jujur," seru Seba. Ia terus menghamp:ri Huru Hara dan tiba2 ia ulurkan tangan mencekal lengan Huru Hara. "nah, rasakanlah. ,.............. bluk !"

Entah dengan cara bagaimana, Huru Hara sendiri belum sempat berjaga-jaga atau tahu-tahu dia sudah dibanting ke lantai oleh jago Mongolia itu.

"Aduh," desuh Huru Hara karena dahinya benjol. "Hayo. bangun," teriak Seba.

Baru Huru Hara tengel2 bangun, kembali dengan suatu gaya gerak yang mengagumkan, Seba sudah membantingnya lagi.

Sampai empat lima kali Huru Hara menjadi bulan2 bantingan oleh Seba. Dahi, hidung dan pipinya benjut semua.

"Aneh," pikir Huru Hara. "setiap aku hendak mengerahkan tenaga bertahan, tahu2 tubuhnya sudah terangkat dan terbanting." Dia sempat memperhatikan bahwa gerak bantingan itu tentu didahului dangan memalangkan kaki dan ayunan tangan. Setelah merenungkan sejenak Huru Hara mendapat akal.

Memang dalam permainan mencengkam dan membanting, jago Mongolia itu tiada yang dapat menandingi. Beberapa tokoh silat dari Tiong-goan kewalahan menghadapi gaya silat Mongolia itu.

Kalau Huru Hara heran, Seba sendiri juga merasa aneh. Biasanya setiap lawan yang dibanting, sekali saja tentu sudah remuk dan tak dapat bangun lagi. Tetapi mengapa Huru Hara ini sampai empat lima kali dibanting, tetap tak apa2.

"Nih, rasakan lagi," Seba yang sudah mencekal lengan Huru Hara terus beraksi. Sekali bergerak, tubuh Huru Harapun sudah terjungkir akan jatuh ke lantai.

Tetapi kali ini terjadi suatu kejutan. Waktu Seba melepaskan tangan kerena mengira tubuh lawan yang  sudah terpelanting itu tentu akan terbanting ke lantai, tiba2 bukan jatuh kebawah melainkan malah mencelat ke udara.

"Uh ," Seba mendesis kaget. Tetapi sebelum ia sempat berputar tubuh untuk mencari arah perginya lawan, tahu2 tengkuknya dicekik orang. Dia berontak tetapi auh

............... makin berontak, tulang lehernya makin seperti mau putus.

"Ah . . . . , " ia terkejut ketika lubang pantatnya seperti ditusuk jari dan tahu2 tubuhjuga terangkat keatas.

"Uh, uh, uh ," Seba berulang-ulang mendesuh dan mengeluh. Hatinya ingin meronta tetapi entah bagaimana semakin meronta tulang-tulangnya seperti, mau putus. "Uhhhhhh," kembali ia mendesuh kaget sekali tetapi setelah itu dia tak dapat berkata apa2 karena tubuhnya seperti berputar-putar deras dan makin deras sehingga menyerupai baling2.

Beberapa saat kemudian ia rasakan darahnya bergolak keras, pandang matanya kabur dan kepalanya berbinar- binar.

Torgun dan para pengawalnya terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu. Huru Hara yang bertubuh kurus mampu memutar-mutar Sheba yang bertubuh kokoh. Sheba seperti seorang anak kecil yang mendengar kata. Dia tak dapat berbuat suatu apa kecuali hanya mandah diputar- putar seperti orang-orangan kayu.

"Nih, istirahatlah," beberapa saat kemudian, Huru Hara meletakkan tubuh Seba. Dia melepaskan tangannya dan bluk orang Mongol itu terjatuh ke lantai.

Beberaba pengawal menghampiri untuk memberi pertolongan kepada Seba yang tak ingat diri itu. Seba digotong ke samping.

"Ciangkun, hamba. "

"Ya," cepat Torgun menukas ketika melihat pengawalnya yang bertubuh tinggi besar maju minta idin.

Orang itu bernama Barda, seorang suku Bo-an yang banyak berjasa dalam peperangan melawan kerajaan Beng. Barda tinggal di daerah Ki lin dan mendapat pelajaran ilmusilat dari seorang pertapa sakti.

Sebenarnya Barda dapat diangkat sebagai jenderal atau panglima tetapi karena otaknya kurang cerdik dan hanya gagah berani saja, maka Torgun mengangkatnya sebagai pengawal peribadi saja. Memang Torgun pandai memakai dan menempatkan orang. Jabatan panglima hanya diberikan kepada jenderal yang benar2 memenuhi syarat pandai menyatur barisan, berwibawa dan dapat bertindak tegas tepat. Jenderal yang hanya gagah berani dan sakti, belum tentu diangkat sebaga panglima kalau dia tidak pandai memimpin dan menguasai pasukannya. Pun jenderal yang pandai kalau tidak berani dan tidak tegas, tidak diangkat sebagai panglima. Panglima adalah pimpinan. Dan pemimpin itu harus menguasai dan ditaatti oleh yang dipimpin.

Sambil melangkah maju, Barda berseru dengan suara menggeledek, "Hai. kunyuk, jangan engkau anggap dirimu paling sakti. Markas besar panglima Torgun penuh dengan jago2 yang tangguh dan sakti."

"Itu kan engkau sendiri yang mengatakan," sahut Huru Hara, "kapan aku mengatakan, kalau aku yang paling sakti

? Huh, kucing, lu jangan meong-meong saja !" "Hus, aku kucing ?" Barda mendelik.

"Ya, rupamu memang seperti kucing." "Gila, masa kucing begini besar ?" "Itu kucing keranjingan namanya !"

Mau tak mau sekalian pengawal geli mendengar dialoog yang tak karuan dari kedua orang itu. Memang dikalangan para pengawal panglima Torgun, Barda terkenal sebagai orang yang polos.

"Kunyuk, jangan banyak bicara," seru Barda, "hayo lawanlah aku."

"Silakan saja." "Kita main jotosan saja," tantang Barda, "tak perlu main silat-silatan, Engkau pukul aku satu kali, aku pukul engkau satu kali. Kita saling bergilir pukul memukul.”

"Boleh," jawab Huru Hara,

Tetapi waktu dipukul tak boleh menghindar atau menangkis," kata Barda.

"Boleh juga."

"Bark," kata Barda yang diam2 merasa senang. Ia melihat tubuh Huru Hara itu lebih kecil. Dia yakin kalau mnerima pukulannya tentu tak kontal. Apalagi dia memang mempunyai pukulan keras dan tubuh yang kebal dipukul atau yang disebut Thiat-poh-san (ilmu lindung). Masakan Huru Hara mampu menang, pikirnya.

"Siapa yang memukul dulu ?" tanyanya pula "Terserah saja," jawab Huru Hara.

"Engkau !"

"Lebih baik engkau saja karena aku ini seorang tetamu," jawab Huru Hara.

"Edan orang ini. Dia memang cari mampus,” pikir Barda.

"Ya. Baiklah. Itu engkau sendiri yang mintai,” katanya terus maju selangkah dan ayunkan tinjunya.

Dukkkkk Huru Hara mencelat dua tiga langkah tetapi

Barda juga rasakan tangannya kesakitan.

"Kurang ajar, dia punya tenaga-tolak," gumamnya dalam hati. Kemudian dia mempersilahkan Huru Hara yang memukul.

Dukkkk …….. Barda tersurut dua langkah tetapi tak menderita apa2. Ilmu Thiat-poh dapat melindungi dirinya. Demikian pukul memukul itu berlangsung sampai beberapa gebrak. Makin lama Barda makin merasakan tangannya sakit.

Huru Hara diam2 juga merasa kaget mengapa lawan tak menderita apa2, kecuali hanya tersurut mundar saja.

"Hm, orang ini juga tolol tetapi jujur, pikir Huru Hara. Dia curiga kalau2 orang itu mempunyai ilmu yang aneh. Kemudian dia memutuskan untuk mencari tahu dibagian dari tubuh orang mana yang lemah.

Waktu tiba giliran Huru Hara, dia tak memukul melainkan merabah-rabah sekujur tubuh Barda. Dia hendak mencari tahu dimana bagian kelemahannya,

Waktu jari Huru Hara mencomot ketiak, Barda tertawa geli sekali.

"Ah, rupanya aku mendapat siasat. Kalau ia tertawa geli, tenaganyapun lemas. Dan saat itu baru kupukulnya," pikir Huru Hara.

Setelah tiba gilirannya maka Huru Hara menggunakan tangan kini untuk mencomot ketiak Barda. Barda tertawa gelak2 dan pada saat itulah Huru Hara menampar mulutnya, plakkkkkk.

"Aduh," Barda menjerit karena dua buah gigi depannya telah rontok. Mulutnya berkumur darah dan sakitnya bukan kepalang.

'Hayo, pukulah aku." seru Huru Hara.

"Mana bisa, gigiku putus, sakitnya seperti kepalaku mau copot. Engkau saja yang memukul," suru Barda.

Kembali Huru Hara melakukan siasatnya seperti tadi. Begitu Barda tertawa geli, Huru Hara menampar telinga orang, plakkkk ..... "Aduh," Barda menjerit karena anak telinganya serasa pecah dan kepalanya sampai pusing tujuh keliling.

"Aduh," Barda menjerit lagi karena anak telinganya pecah. Anak telinga pecah memang suatu derira yang menyiksa sekali. Bayangkan, kalau telinga kemasukan semut saja rasanya sudah setengah mati, apalagi sampai pecah. Seketika Barda menjerit seperti orang gila dan terus lari keluar.

"Tayjin, hamba. "

"Ya," cepat Torgun memberi idin kepada seorang pengawal yang hendak maju.

Pengawal itu sudah setengah tua. Tidak ada yang luar biasa pada orang itu kecuali sepasang pelipisnya yang cekung kedalam yang menandakan bahwa dia seorang ahli ilmu lwekang.

Dia adalah Ih Giam bergelar Hui-kim-coa atau Ular- emas-terbang. Jauh sebelum tentara Ceng bangkit untuk menyerang kota Pak-kia, di kotaraja itu terdapat seorang tokoh ternama yang mahir sekali dalam menggunakan senjata hui-ki coa atau Ular-emas-terbang. Senjata rahasia (piau). Hanya bentuknya kecil sepanjang jari tangan, berkepala ekor dan bersisik warna emas.

Keistimewaan dari senjata Hui-kim-coa ialah begitu menyambar dan ditangkis, ular emas itu akan menyemburkan cairan beracun. Dan kalau ular itu mengenai tubuh dapat melekat karena menggigit daging.

Setelah berhadapan dengan Huru Hara berserulah Ih Giam kepada Huru Hara, "Hai, kunyuk„ agar engkau jangan penasaran kalau nanti kalah atau mati, biarlah kuperkenalkan dulu siapa diriku." "Terserah," sahut Huru Hara, "bagiku bukan nama yang penting tetapi setiap lawan yang menghadapi aku tentu akan kuganyang."

"Uah, uah, sombongnya," seru Ih Giam, dengarkanlah. Aku bernama Ih Giam bergelar Hui- kim-coa karena senjataku adalah senjata piau yang berbentuk seperti ular emas. Nah, dalam pertempuran nanti, akupun akan menggunakan piau itu. Supaya engkau tahu dan bersiap- siap."

“Hm, ular emas, atau ular tanah, bagiku sama. Tentu akan hancur semua.”

"Bersiaplah, kunyuk," teriak Ih Giam panas hatinya karena dipandang rendah.

"Silakan!"

Ih Giam mulai berdiri tegak. Tiba2 dia lontarkan tangannya ke udara. Serentak tampaknya leekor ular emas kecil, melayang naik ke udara dan lalu menukik turun menyambar Huru Hara.

Huru Hara cepat loncat menyingkir. Tetapi aneh sekali. Ular-emas itu seperti ular hidup. Dia dapat berputar arah menuju kepada Huru Hara.

Huru Hara terkejut. Ular-emas itu hendak menyambar pahanya, untung dia cepat2 loncat ke udara dan piau Ular- emas itupun jatuh.

Ih Giam melepas lagi piau Ular-emas sampai dua kali tetapi tetap tak dapat mengenai lawan. Dan Huru Harapun sempat memperhatikan bahwa piau Ular-emas itu mempunyai daya kekuatan menyerang sampai dua kali. Yaitu, apabila menyambar luput, benda itu masih dapat menyambar lagi untuk yang kedua kalinya. Apabila luput lagi, baru piau itu jatuh. Sekalian orang terpesona menyaksikan keistimewaan piau Ular-emas dari Ih Giam. Tetapi merekapun, termasuk Ih Giam sendiri, juga mengagumi akan kelihayan Huru Hara dapat menghindar.

Semula setiap melontar hanya sebuah piau Ular-emas, setelah tiga kali gagal, baru Ih Gam melontarkan dua buah. Kemudian tiga buah. Setiap kali tentu diulangi sampai tiga kali.

"Kunyuk, bagaimanapun juga, engkau tentu harus rubuh," seru Ih Giam. Kali ini sekaligus dia melontar sampai sepuluh yang dilakukan dengan sepuluh jarinya, kanan dan kiri.

"Matikkk," Huru Hara mengeluh. Waktu menerima lontaran dua, tiga buah piau Ular-emas Huru Hara harus mandi keringat untuk menghindari. Tetapi kalau sekarang ia harus menghadapi sepuluh batang piau Ular-emas, terpaksa ia harus mengakui bahwa tak mungkin ia mampu menghindar lagi.

Serentak dia keringat pedang Thiat-cek-kiam atau pedang- magnit yang terselip di pinggangnya. Segera ia mencabut pedang itu dari kerangkanya dan diputar sederas angin kencang.

Tring, tring, tring kesepuluh batang piau Ular-emas

itu segera melekat pada batang pedang semua.

Ih Giam mendelik seperti melihat setan di siang hari. Ia hampir tak percaya apa yang disaksikannya. Masakan piau Ular-emas yang sudah membuktikan keampuhannya sejak berpuluh tahun, kini harus melekat pada sebatang pedang.

"Pedang luar biasa," puji Ih Giam. "Hayo teruskan saja," seru Huru Hara. "Masih ada lagi, kunyuk," teriak Ih Giam teraya mencabut pedang dari pinggangnya. Ah, ternyata pedang itu juga berbentuk seperti ular.

"Pedangku ini disebut Kim-coa-kiam (pedang ular emas). Kalau engkau mampu menghadapi seranganku sampai 100 jurus, engkau boleh menganggap bahwa engkaulah yang menang!"

Sebenarnya Huru Hara hendak menyimpan pedang magnitnya tetapi karena ia kuatir pedang Ular emas musuh itu juga mengandung keanehan maka dia tetap hendak memakai pedangnya.

Serentak Ih Giam memutar pedangnya sederas hujan mencurah. Setelah beberapa kali menghindar Huru Hata lalu memutar pedangnya.

Tring, tring . . . . benturan antara kedua pedang itu tak dapat terhindar lagi. Tetapi anehnya setelah itu, tidak terdengar suara apa2 lagi.

Dan saat itu terjadilah suatu adegan yang menarik. Kedua pedang saling melekat dan kedua jago itupun saling tarik menarik untuk melepaska pedangnya.

Setelah beberapa waktu tak berhasil, keduan lalu saling dorong mendorongkan pedangnya untuk menindih pedang lawan.

Beberapa waktu kemudian tampak wajah Ih Giam tegang sekali. Urat2 pada dahinya tampak membenjol dan matanyapun merah berapi-api, buas sekali. Jelas jago itu sedang menumpahkan seluruh ilmu tenaga-dalamnya untuk mendesak Huru Hara namun tak berhasil.

Sebaliknya Huru Hara bersikap mempertahankan diri saja. Oleh karena itu diapun tak begitu tegang. "Celaka, "keluh Ih Giam dalam hati, "apabila aku sampai kalah, malulah aku."

Karena malu terhadap Torgun dan rekan2 pengawal, Ih Giam mencari akal untuk mengatasi kesulitan yang dihadapinya saat itu.

Diam2 tangan kirinya merogoh kedalam saku celana. Serempak dengan - mulut menggerung keras. 1h Giam tamparkan tangan kirinya kedada Huru Hara.

Jarak begitu dekat dan serangan yang curang dari Ih Giam dilakukan secara mendadak sekali. Sudah tentu Huru Hara tak dapat menghindar lagi. Dalam gugup dia berusaha untuk menampar dengan tangan.............. blek . .. . .

Tamparan Huru Hara itu seperti mengenai karung pasir sehingga tak menimbulkan suara benda logam. Tetapi berbareng itu, berhamburan segulung asap kearah muka Huru Hara.

"Wah, wangi sekali baunya," kata Huru Hara dalam hati ketika asap dari benda yang di lemparkan Ih Giam berhamburan. Dan beberapa saat itu tampak tenaga Huru Hara mulai berkurang dan makin berkurang,

Agar semangatnya segar, asap yang berbau wangi itupun disedot mulut Huru Hara. memang semangatnya menjadi segar tetapi kesadaran pikirannya mulai turun. Makin lama makin berkurang dan hampir tak dapat mempertahankan senjatanya dari senjata Ih Giam.

Kesempatan itu tak disia-siakan Ih Giam

"Lepaskan !” setelah menghimpun tenaga-dalam dia menggembor sekeras-kerasnya dan menyentakkan pedangnya dengan sekuat tenaga, diserempaki tendangau ke lambung lawan. Plakk. . . . uh, bluk ...... Terdengar tiga macam bunyi. Pertama. bunyi tendangan kaki yang mengenai lambung Huru Hara, kedua bunyi mulut Ih Kiam yang mendesuh kaget, dan ketiga adalah bunyi tubuh Ih Kiam yang terlempar kebelakang dan terbanting dilantai. 

Aneh ! Yang menendang Ih Kiam tetapi mengapa yang rubuh malah dia ?

Disitulah letak kesaktian dari tenaga-sakti Ji ih-sin-kang yang dimiliki Huru Hara. Tenaga sakti itu akan memancar apabila menderita pukuIan maupun tendangan atau apa saja yang jatuh, pada tubuhnya.

Tendangan yang disertai dengan tenaga sepenuhnya dari Ih Giam hanya merupakan mata bumerang yang membalik dan mengenai dirinya sendiri. Tenaga tendangan itu seperti ditolak oleh daya-mental dari tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang hingga Ih Giam kontal terlempar sampai dua meter dan terbanting dilantai.

Yang lebih celaka dan memalukan adalah pedang Kim- coa-kiam milik Ih-Giam juga masih terlekat pada pedang magnit Huru Hara.

Tetapi karena telah menghisap asap dari taburan bubuk beracun tadi maka Huru Hara pun lunglai tenaganya.

"Ciangkun, idinkan hamba yang menghadapi pemuda brandat ini," tiba2 Su Hong Liang maju kehadapan Torgun..

Torgtin sedang memperhatikan keadaan Ih Kiam sehingga ia kurang menaruh perhatian pada keadaan Huru Hara.  Dan  tanpa  banyak  pertimbangan. Torgun

meluluskan.

"Loan Thian Te," seru  Su Hong Liang setelah berhadapan dengan Huru Hara,  "karena engkau tak sungkan dan tak mengingat persahabatan kita, maka akupun juga tak mau mengingat hubunganku dengan engkau. Aku dan engkau sama2 terlibat dalam kepentingan masing-masing. Kalau engkau tak mampu mengalahkan pengawal2 ciang kun disini, engkau tak dapat pulang. Begitu juga aku. Kalau aku tak mampu mengalahkan engkau, akupun tak dapat pulang. Maka tak perlu kita harus saling mengingat hubungan kita tetapi harus mementingkan kepentingan kita sendiri2."

Dalam pandangan yang masih belum terang dan pikiran yang masih belum normal, terpaksa Huru Hara menyahut, "Jika :engkau berpendirian begitu, terserah saja."

"Mari kita adu kesaktian. Andaikata aku mati, aku takkan penasaran. Tetapi kalau engkau yang harus mati, kuharap engkaupun jangan penasaran."

Huru Hara tertawa hambar, "Mati hidup ditangan Thian. Jangan bicara soal mati apabila engkau belum tahu apa arti hidup. Mati soal mudah. tetapi hidup soal nilai. Nilai hidup seseorang menentukan kematian orang itu."

"Hm," dengus Su Hong Liang. Merah mukanya karena mendengar kata2 yang tajam Huru Hara.

"Kalau nilai hidupku sebagai manusia yang tak berharga hidup mengapa aku harus penasaran kalau mati ?" seru Huru Hara pula.

"Sudah jangan banyak bicara," tukas Su Hong Liang, "nilai hidup itu bukan manusia yang memberi, tetapi kebenaran yang menentukan. Lekas siapkan senjatamu dan sambutlah seranganku."

"Hm, silakan saja," kata Huru Hara,

Su Hong Liang mencabut pedangnya dan segera mulai menyerang dengan jurus Hun-hoa-hu liu atau Menyiak- bunga-meniup-pohon-liu. Suatu jurus ilmupedang yang bergaya tabasan dalam gerak yang cepat.

Huru Hara yang masih grogy pikirannya, hanya mengangkat pedang untuk menangkis, Tetapi secepat itu Su Hong Liang sudah mengganti gerak tabasan dengan gerak tusukan. Ujung pedang menikam ke uluhati Huru Hara.

"Ih," Huru Hara;mendesis seraya menyurut mundur selangkah. Gerakan pedang Su Hong Liang itu memang ganas sekali. Apabila kena, dada Huru Hara pasti akan tembus.

Dalam keadaan yang sangat terdesak, Huru Hara membuang tubuh menekuk kebelakang. Suatu gerakan yang mirip dengan Thiat- pian-kio atau jembatan-besi-gantung. Namun karena jarak terlalu dekat; sebuah buah baju Huru Hara telah tertusuk sampai lepas.

Su Hong Liang terkejut. Dia penasaran sekali. Pedang yang masih berada diatas tubuh Huru Hara terus ditabaskan kebawah. Apabila kena, muka Huru Hara pasti terbelah jadi dua.

Melihat ancaman itu, terpaksa Huru Hara rebahkan diri ke lantai dan serempak dengan itu, ia mengangkat sebelah kakinya untuk mengait kaki Su Hong Liang.

"Uhhhbh," Su Hong Liang mendesuh kaget karena tiba2 kakinya terangkat dan tubuh terpelanting. Dan celakanya, pedangnyapun menusuk pada pahanya sendiri. Ia menjerit dan terus rubuh pingsan.

Beberapa pengawal segera mengangkutnya keluar.

Melihat beberapa kawannya kalah. beberapa pengawal yang lain sarempak maju untuk menyerbu Huru Hara. Ada lima orang pengawal yang mengeroyok. Mereka menggunakan senjata semua. Sudah tentu Huru Hara merasa terancam, cepat dia mencabut pedang dan melayani mereka. tetapi dia merasa tenaganya makin lama makin lemas dan pada suatu ketika, kakinya terkait dari belakang. Memang yang mengait juga mengaduh kesakitan dan terlempar sampai dua langkah. Tetapi Huru Hara juga terpelanting jatuh ke lantai.

"Ringkus!" empat orang pengawal yang berkepandaian tinggi segera berhamburan meringkus Huru Hara yang kebetulan jatuhnya tertelungkup.

Karena gemas, salah seorang pengawal hendak membelah tubuh Huru Hara tetapi pada saat itu juga terdengarlah suara teriakan yang melengking nyaring, "Curang engkau!"

Sekalian orang terkejut ketika seorang gadis cantik muncul di ruangan itu.

"Ayah, mengapa ayah mengidinkan perbuatan curang berlangsung dihadapan ayah?" seru gadis itu.

Ternyata gadis itu adalah puteri panglima Torgun yang bernama Amila. Dia mewarisi watak ayahnya yang jujur, tegas, berani. Dan diapun gemar akan ilmusilat, ilmuperang. Sering dia ikut dalam pasukan yang menyerang musuh.

Sebenarnya Torgun tak setuju kalau puterinya ikut perang tetapi karena anak itu memang pandai dan sakti, terpaksa Torgun memperbolehkan.

"Kenapa Mila?" tanya Torgun.

"Dia sudah jatuh, berarti sudah kalah, mengapa hendak dibunuh? Dan tidak adil sekali pertempuran itu. Masa satu orang dikeroyok empat lima orang!" seru Amila. "Aku tidak suruh, Mila," kata Torgun. Memang kelima pengawal itu bertindak sendiri tanpa minta idin lebih dulu kepada panglima. Kelima pengawal itu memang gemas terhadap Huru Hara tetapi merekapun kuatir kalau harus menghadapi satu lawan satu, akan kalah. 

"Lepaskan," seru Torgun.

Keempat pengawal itupun mengundurkan diri dan Huru Hara segera bangun.

"Engkau hebat, engkau boleh pulang," kata Torgun. "Tidak!" jawab Huru Hara.

Mendengar itu Torgun terbeliak. "Apa katamu?" ia menegas.

"Hamba tidak kembali," kata Huru Hara. "Mengapa?"

"Karena hamba sudah berjanji kepada ciangkun, akan memenuhi syarat yang ciangkun ajukan

"Tetapi engkau sudah dapat mengalahkan berapa pengawalku."

"Ya, belum semua."

"Lalu bagaimana maksudmu?"

"Hamba menyerah pada keputusan ciangkun.” "0, maksudmu engkau bersedia kerja padaku?” "Tidak."

"Tidak ? Lalu apa maksudmu ?"

"Hamba rela menjadi tawanan ciangkun."

"Hm," dengus Torgun, "Loan Thian Te, tetapi apakah engkau tak merasa kalau , dalam pertempuran tadi engkau mendapat perlakuan yang tidak wajar ?" "Ya," sahut Huru Hara, "waktu bertempur dengan jago yang menggunakan pisau Ular emas tadi dia telah menaburkan bubuk berasap dan waktu hamba sedot asap wangi itu ternyata tenaga dan pikiran hamba agak kabur."

"Dan juga karena dikeroyok lima orang itu?

"Tidak ciangkun," kata Huru Hara, "andaikata tenaga dan pikiran hamba masih segar, tentulah hamba masih dapat bertahan diri."

"Nab, karena engkau dicurangi maka engkau kuanggap memenangkan pertandingan ini dan "

"Tidak bisa, ciangkun," seru Huru Hara, "bagaimanapun halnya. yang jelas hamba telah rubuh."

"Mereka bermain curang !" seru Torgun.

"Itu sudah lumrah kalau orang berbuat curang, Bukan salah dia tetapi salah hamba mengapa tak tahu kalau dicurangi hingga hamba menyedot asap wangi itu."

Torgun menghela napas dalam hati. Dia benar2 heran dan tak mengerti berhadapan dengan seorang pemuda yang seaneh itu, Betapa tidak ?

Biasanya orang tentu gembira kalau dibebaskan dari tawanan, tetapi Huru Hara tidak mau dan lebih suka ditawan. Biasanya orang gembira kalau dianggap menang tetapi Huru Hara menolak karena ia merasa telah rubuh, Biasanya orang tentu memaki orang yang berlaku curang terhadap dirinya tetapi Huru Hara tidak. Dia malah menyalahkan dirinya sendiri mengapa begitu bodoh sampai dapat dicurangi orang. Apakah di dunia ini terdapat orang kedua yang seperti pemuda nyentrik itu ? Pikir Torgun,

"Yah, karena dia minta ditawan, baiklah kita luluskan saya," tiba2 Amila berseru. "Hm, apa boleh buat," kata Torgun, "itu dia yang minta sendiri."

Ia perintahkan pengawal untuk membawa Huru Hara kedalam ruang tawanan.. Namun diam2 Torgun pesan agar pemuda itu diperlakukan dengan baik.

"Yah. pemuda itu aneh sekali,” guman Amila setelah Huru Hara pergi, "masakan orang kok suka ditawan?"

"Ya, dia memang aneh."

"Tetapi apakah dia tak mempunyai maksud tertentu ?" "Maksud tertentu bagaimana ?"

"Misalnya dia hendak menggunakan kesempatan untuk memata-matai gerakan pasukan kita dan rencana2 ayah."

"Kulihat dia seorang pemuda yang jujur."

"Tetapi tiada jeleknya kalau kita memata-matai gerak geriknya, ayah. idinkanlah aku saja yang melakukan penyelidikan itu."

Torgun setuju.

Sementara itu setelah berada di kamar tahanan, Huru Harapun melamun. beberapa saat kemudian ia tersadar.

"Ah, mengapa aku harus menuruti suara hatiku dan rela ditawan disini? Bukankah saat ini aku harus lekas2 kembali ke Yang-ciu untuk membantu Su tayjin?" ia menyesal atas tindakan yang terlalu gegabah.

Memang kalau menurut hati nuraninya, ia tak mau mendapat kemurahan dari panglima Tor-gun. Dia akan membuktikan bahwa ia dapat keluar dart markas panglima Boan itu dengan suatu cara yang gemilang

Dia merasa kalah janji dengan Torgun maka diapun menolak dibebaskan. Sesaat dia tak berpikir lebih panjang tentang akibat yang lebih penting terhadap tugasnya membantu Su Go Hwat. "Ah, tetapi apa boleh buat. Sudah terlanjur berkata, tak mungkin aku menarik kembali," katanya.

Hari itu dia beristirahat. Dan menjelang malam, muncullah seorang pelayan gadis yang membawa makanan dan minuman.

"Hohan, inilah makanan dan minuman untuk hohan," kata gadis pelayan itu.

Ternyata penampan dan mangkuk serta cawannya lux sekali. Begitu pula hidangan dan araknya, hebat dan nikmat sekali.

"Eh, mengapa aku diberi makanan dan minuman begini istimewa? Bukankah aku hanya seorang tawanan?" tanya Huru Hara.

"Entah, hohan."

"Siapa- yang suruh? Apakah panglima yang menitahkan?"

"Bukan." "Lalu siapa?" "Siocia . . .

"Siocia? Puteri dari panglima itu?"

"Betul, hohan. Siocialah yang menitahkan aku supaya mengantarkan minuman dan hidangan begini. Biasanya inilah hidangan arak yang disantap oleh ciangkun sendiri."

"Hm, apakah ciangkun tidak marah?"

"Marah? Siapa yang berani melarang kehenak siocia?" "Apakah panglima tidak berani menegur putrinya?" "Bukan tidak berani, hohan. Tetapi panglima memang amat kasih sekali kepada siocia."

"Sehingga dia manja?" tukas Huru Hara.

"Habis kalau tidak manja kepada ayahnya lalu manja kepada siapa?" balas gadis pelayan itu dengan tersenyum.

Huru Hara sempat memperhatikan bahwa pelayan itu seorang gadis yang amat cantik. Dia heran.

"Apakah engkau pelayan siocia ?" "Benar. hohan. Mengapa ?"

Huru Hara tersipu-sipu. "Ah. Tidak hanya sekedar bertanya saja."

"Apakah hohan menganggap aku bersikap kurang ajar kepada hohan ?"

"0, tidak. tidak," buru2 huru Hara berkata, "engkau tidak apa2."

"Apakah hohan tak ingin bertanya tentang diri siocia ?" Huru Hara terkejut. Mengapa bujang itu bertanya begitu. "Apakah siocia yang suruh engkau bertanya begitu

kepadaku ?" ia bertanya.

"Ti.. , . dak. Tetapi aku memang ingin tahu apakah hohan tidak kepingin tahu tentang diri siocia."

"Mengapa engkau memiliki pikiran -begitu ?” "Karena siocia juga memperhatikan hohan. "Memperhatikan aku ?"

"Benar. Itulah sebabnya maka siocia sengaja menyuruh hamba mengantarkan makanan dan arak istimewa ini. Apakah hohan tidak merasa ?" Huru Hata tertegun. Aneh benar. Dia seorang tawanan mengapa puteri panglima Ceng menaruh perhatian kepadanya?

"Ah," ia hanya menghela napas. "Mengapa begitu?

Apakah siociamu mengatakan sesuatu tentang diriku?"

"Ya, siocia bilang hohan benar2 sakti. Siocia ingin belajar silat kepada hohan."

"Apa?" Huru Hara melongo, "aku tak mengerti ilmusilat.”

Pelayan itu kerutkan dahi, "Ah, harap hohan jangan naerendah diri. Jago2 yang kalah dari hohan tadi termasuk pengawal kepercayaan ciangkun. Jelas hohan tentu berilmu sakti.”

Memang Huru Hara menyadari bahwa sukar bagi orang untuk menerima penjelasannya. Kalau ia mengatakan tak mengerti ilmusilat, orang tentu tak percaya.

"Untuk apa siocia hendak belajar silat?"

"Ah, hohan, siocia memang gemar belajar silat dan mahir dalam ilmu perang."

"Kalau sudah begitu, perlu apa siocia mau belajar silat lagi?" tanya Huru Hara.

"Ah, hohan tak tahu. Siocia memang gemar sekali. Setiap mclihat orang memainkan ilmusilat yang sakti, dia tentu minta pelajaran. Oleh karena itu banyaklah aneka ragam ilmusilat yang dimiliki siocia."

"Bagus," seru Huru Hara, "hanya sayang aku memang tak dapat ilmusilat. Apa yang harus kuajarkan kepada siocia?"

"Apa saja, pokok ilmusilat yang siocia belum memiliki." Huru Hara menghela napas.

"0, apakah hohan tak bersedia memberi pelajaran kepada siocia?" tanya gadis pelayan itu.

"Bukan tak mau tetapi memang aku tak mengerti ilmu silat. Apa yang harus kuajarkan kepadanya ?"

"Soal itu, hohan tak perlu bingung. Siocia dapat menentukan sendiri mana2 yang berguna. Hohan cukup bermain silat saja. Yang penting hohan kan bersedia memberi pelajaran ?"

Huru Hara hanya menghela napas,

"Hohan," kata gadis pelayan itu pula, “mengapa hohan ikut berjuang ? Apakah hohan tak punya keluarga ?"

Huru Hara gelengkan kepala. "Apakah hohan belum menikah ?"

"Huh, apa-apaan bujang ini tanya orang menikah segala?” guniam Huru Hara dalam hati.

"Mengapa engkau bertanya begitu ?" tegurnya. "Karena siocia juga pesan begitu."

"Lho, koq aneh. Apa kepentingan siocia bertanya begitu

?"

"Aku tak tahu, hohan. Apa saja yang siocia perintahkan

tentu akan kulaksanakan." "Aku belum menikah." "Punya tunangan ?"

Huru Hara gelengkan kepala.

"Sudahlah, silakan tinggalkan tempat ini,” akhirnya Huru Hara menghalau gadis pelayan itu. "Baik, hohan. Tetapi kapankah hohan akan mulai memberi pelajaran silat kepada siocia ?" tanya gadis pelayan itu pula.

"Terserah. saja," karena kewalahan, terpaksa Huru Hara menyahut sekenanya.

"Hm, gila," gumam Huru Hara setelah bujang itu pergi.

Lebih kurang sejam kemudian, kembali gadis pelayan itu muncul.

"Hohan, maaf, siocia tak enak badan. Tapi siocia suruh aku meminta pelajaran ilmusilat kepada hohan," katanya.

"Apa ?" Huru Hara terkejut.

"Begini hohan," kata gadis pelayan itu, "pikir2 memang kurang pantas kalau siocia datang kemari untuk meminta pelajaran ilmusilat kepada hohan. Siocia kuatir akan menimbulkan desas desus yang kurang enak."

Huru Hara mengangguk. memang apabila terdengar orang, tentu akan gempartah kalau puteri panglima hesar kerajaan Ceng datang ke kamar tahanan seorang tawanan karena hendak minta pelajaran ilmusilat.

"Tetapi siocia benar2 kagum akan kepandaian hohan," kata gadis pelayan itu. "maka siocia lalu menyuruh aku untuk mewakilinya. Dengan begitu aku nanti yang akan menyampaikan pelajaran itu kepada siocia."

Huru Hara terkesiap.

"Dengan begitu hohan dapat membantu banyak pada siocia. Siocia berjanji, kelak tentu takkan melupakan budi kebaikan hohan,” kata gadis pelayan itu pula.

Sebelum Huru Hara sempat membuka mulut gadis pelayan itu sudah berkata lagi, "Hohan mari kita berlatih ke kebun saja. Disini kurang le luasa." "Tetapi apakah para penjaga nanti tidak marah kalau tahu aku keluar dari ruang tahanan ini?"

"Tidak," kata gadis pelayan, "siapa beran menentang perintah siocia

Karena terus menerus didesak, apa boleh buat, Huru Hara terpaksa menurut saja. Keduanya menuju ke sebuah taman yang cukup luas.

"Nah, sekarang silakan hohan mulai memberi pelajaran," kata gadis pelayan itu.

Sebenarnya Huru Hara benar2 tak tahu bagaimana harus mengajar ilmusilat. Dia sendiri tak mengerti silat.

"Hm, asal gerak sajalah. Misakan bujang tahu, katanya dalam hati.”

Huru Harapun bersiap, "Lihatlah baik2” katanya dan mulaikan ia menggerakkan sepasang tangannya. Makin lama makin cepat sehingga dia seperti memiliki belasan buah tangan yang berserabutan mengelilingi tubuhnya.

"Bagus. bagus," seru gadis pelayan itu. Ia minta agar Huru Hara bergerak secara pelahan saja.

Huru Harapun menurut.

"Ah, mudah sekali, hanya menggeiakkan sepasang tangan kian kemari, saling bersilang,” kata gadis pelayan itu setelah menirukan gerakan Huru Hara.

"Cobalah hohan mainkan cepat lagi," gadis itu memintanya.

"Oah, hebat sekali," teriak gadis pelayan itu ketika Huru Hara bermain dengan cepat lagi, "apakah nama ilmu silat ini ?" "Cian-jiu-hud atau Dewa-seribu-tangan," kata Huru Hara sekenanya saja.

"0, memang tepat sekali nama itu. Karena waktu hohan yang melakukan, hohan seperti memiliki berpuluh-puluh tangan." gadis pelayan itu berseru memuji.

Tetapi sampai berulang kali dia menirukan, tetap dia tak mampu bermain seperti Huru Hara.

"Mengapa kalau aku yang memainkan malah seperti orang menari-nari saja ?" tanyanya heran.

"Ya, segalanya harus sabar."

"Berapa lama harus belajar supaya dapat menyamai seperti hohan ?"

"Tergantung dari kegiatanmu," kata Huru Hara, "kalau giat, engkau tentu dapat mencapainya dalam waktu lima tahun. 'Tetapi kalau malas tentu makan waktu sampai sepuluh tahun."

"Baiklah, hohan," kata gadis pelayan, "akan kusampaikan pelajaran ini kepada siocia. Siocia tentu senang sekali. Itu mengenai pelajaran menyerang. Sekarang cobalah hohan ajarkan suatu ilmusilat untuk bertahan. Misalnya, supaya kita dapat terhindar kalau sampai dikeroyok oleh beberapa lawan.

"Wah, pelayan ini memang mengada-ada saja," pikir Huru Hara. Tetapi diapun segera melakukan suatu gerak berloncat-loncat. Makin lama makin cepat dan makin tinggi sehingga mencapai beberapa meter.

"Wah, hebat," seru gadis pelayan itu pula. Dia mulai menirukan lagi. Tetapi sampai beberapa kali tetap dia tak mampu mencapai kecepatan dan ketinggian seperti gerakan Huru Hara. "Apa namanya jurus itu, hohan?" tanyanya.

"Tong-lang-poh atau Belalang-loncat," kata Huru Hara sekenanya saja. Diapun mengataka bahwa ilmu itu harus dipelajari dengan sungguh sampai beberapa tahun.

Pada akhirnya, gadis pelayan itu meminta lagi, "Hohan, cobalah ajarkan cara untuk menangkap orang supaya jangan mampu melepaskan diri.”

"Baik," kata Huru Hara, "tetapi siapa yang akan kujadikan lawan ?"

"Aku." serempak gadis pelayan itu menyambut dan  terus- maju dihadapan Huru Hara. "silakan hohan meriugkus aku."

Tanpa sadar Huru Hara terus menyekap gadispelayan itu. Gadis pelayan berusaha untuk meronta tetapi tidak mampu.

"Hai, Narci, mengapa engkau ..... " tiba2 terdengar seorang berseru dan pada lain saat seorang perwira muda terus menerjang Huru Hara, "bangsat, engkau  berani kurang ajar terhadap gadisku !"

"Huh ...... " karena tak menyangka akan dicengkeram dan disentakkan ke belakang, Huru Harapun terpental ke belakang sampai beberapa langkah.

Perwira muda itu terus menyerang lagi tetapi gadis pelayan .berseru, "Jangan !"

"Hai, kenapa engkau melarang, Narci? Apakah engkau suka kepadanya ?" perwira muda itu berpaling dan ,

"Hai. siapa engkau !" teriaknya keras ketika melihat wajah gadis pelayan itu. Gadis pelayan itu juga terkejut. Cepat ia maju menghampiri dan, plakkkk ia menampar mulut perwira

muda itu dan terus lari pergi.

Perwira itu begap mukanya. Dia tertegun seraya mengusap-usap pipinya.

"Siapa engkau.?" Huru Hara maju menghampiri.

Perwira muda itu terkejut. sahutnya, "Aku Mogin, perwira pasukan pengawal panglima besar kerajaan Ceng. Siapa engkau ?"

"Aku tawanan kalian."

"Mengapa engkau berani kurang ajar terhadap gadis itu

?" seru Mogin dengan marah.

"Lho, dia sedang minta pelajaran ilmusilat kepadaku." "Setan !" bentak perwira muda itu," tak mungkin !

Engkaulah yang hendak merayunya !"

Merah muka Huru Hara. "Eh, perwira, jangan omong seenakmu sendiri saja. Dia disuruh sio-cianya. Aku tak tahu kalau dia itu pacarmu!'

"Bangsat !" maki perwira Mogin, "siapa bilang dia pacarku ?"

"Bukankah engkau memanggil namanya dan engkau lalu marah kepadaku ini ?"

"Engkau tak tahu siapa gadis tadi ?" Huru Hara gelengkan kepala.

"Dia adalah Amila siocia, puteri dari panglima besar kerajaan Ceng !"

"Apa ?" Huru Hara melonjak kaget, "ah, jangan gila- gilaan engkau, perwira. Dia jelas pelayan mengapa engkau katakan siocia puteri dari panglimamu ?" "Engkau gila !" teriak Mogin," dia memang puteri dari panglima kami."

"Mengapa dia bilang disuruh siocianya dan  bukankah dia mengenakan seperti pelayan ?"

"Entah, aku tak tahu," jawab Mogin, "kukira tadi dia memang Narci, pelayan siocia yang menjadi kenalanku. Tetapi ternyata bukan. Dia adalah siocia sendiri."

Huru Hara terkejut juga. Ia heran mengapa puteri dari panglima besar Torgun berulang kali menghubunginya. Adalah puteri itu yang menolongnya ketika dia hendak dibunuh pengawal2 panglima. Dan sekarang gadis itu menyaru jadi pelayan untuk meminta pelajaran ilmusilat.

"Ah," Huru Hara tersipu-sipu malu ketika teringat bahwa yang diajarkan itu tak lain hanyaah ilmusilat awuran alias acak-acakan.

Perwira itu meminta maaf kepada Huru Hata karena kesalah faham tadi.

Selama beberapa hari, Huru Hara tetap mendapat hidangan yang enak. Dan selama itu tak pernah dia diperiksa ataupun disiksa. Lama kelamaan, jenuh juga perasaannya. Habis dia disuruh apa berada disitu. Tidak kerja apa2, kecuali hanya disuruh makan tidur saja. Selama itu Amila tak muncul lagi. Dan bagaimana kabarnya Su Hong Liang, dia juga tak tahu.

Pada suatu hari dia dipanggil panglima.

"Loan Titian Te, aku hendak memberimu buah tugas," kata Torgun.

"Baik, ciangkun."

"Aku hendak mengirim surat kepada Su Go Hwat tayjin. Untuk yang terakhir kalinya akan kuberinya kesempatan. Supaya dia mau mempertimbangkan. Jika dia tetap  berkeras keputusan yah apa boleh buat. Kota Yang-ciu akan kuserang,” kata panglima Torgun.

"Adakah hamba harus kembali kemari untuk menyerahkan surat balasan Su tayjin?" tanya Huru Hara.

"Disitu tak kuminta surat balasan. Karena memakan waktu," kata panglima Torgun, "hanya kuberi waktu. Berapa lama engkau dapat mencapai Yang- ciu."

"Dua hari."

"Kuberi waktu kepada Su tayjin selama tiga hari, dihitung dengan perjalananmu, jadi sampai sekarang kira2 lima hari. Kalau selama lima hari ini, Su tayjin tidak memberi pernyataan apa2, berarti dia menolak kesempatan yang kuberikan ini. Dan mintalah dia supaya bersiap-siap menghadapi serangan pasukan Ceng.”

"Huru Hara heran mengapa panglima Ceng itu begitu memberi kelonggaran sekali kepada Su tayjin.

"Engkau tentu heran mengapa aku masih memberi kesempatan dan kelonggaran kepada tayjin," kata Torgun, "itulah karena aku menghargakan sekali kepadanya dan tetap ingin memakainya."

Huru Hara segera berangkat. Begitu tiba di luar markas pada sebuah tempat yang sepi, muncullah seorang gadis dengan pelayannya, juga masih gadis.

Huru Hara berdebar ketika melihat gadis itu tak lain adalah pelayan yang pada malam pertama datang kepadanya untuk meminta pelajaran ilmusilat.

"Maaf, hohan, aku telah mengelabuhimu beberapa hari yang lalu," kata gadis cantik itu. Huru Hara makin yakin bahwa gadis itu adalah puteri dari panglima Torgun tempo hari.

"Ah, harap siocia jangan berkata begitu," kata Huru Hara, "aku seorang tawanan. Dan aku juga pernah mendapat pertolongan siocia. Seharusnya akulah yang menghaturkan terima kasih kepada siocia."

"Hohan, apakah hohan akan kembali lagi kemari?" tanya Amila.

Huru Hama menghela napas, "Ciangkun tidak menitahkan aku kembali lagi."

"Tetapi .. .. tetapi mengapa hohan harus meninggalkan daerah ini? Bukanlah disini lebih aman? Apabila hohan mau menetap disini, ayah tentu akan gembira sekali."

"Ah;" kembali Haru Hara menghela napas. "Mengapa?" tegur Amila.

"Aku sudah terikat dengan kewajiban untuk membantu perjuangan Su tayjin."

"Tidak apa," kata Amela, "asal engkau mau menetap disini, andaikata engkau tak mau bekerja kepada ayah, pun tak apa. Akan kuminta kepada ayah untuk kebebasanmu."

"Terima kasih, siocia," kata Huru Hara, "saat ini aku sedang melaksanakan tugas untuk mengantarkan surat dari ciangkun. Harus kuselesaikan tugas itu."

"Akan kuminta kepada ayah untuk menyuruh lain orang saja."

"Terima kasih," kata Huru Hara pula, "biarlah kali ini aku menyelesaikan semua tugas kewajibanku. Terhadap ciangkun dan terhadap Su tayjin."

"Apakah engkau bersedia kembali kemari?" "Ah, sukar untuk kukatakan. Marilah kita serahkan segalanya kepada Yang Kuasa. Aku sendiri tak tahu bagaimana nasibku nanti."

"Hohan, mengapa hohan begitu keras hati?

"Bukan keras hati, siocia. Tetapi aku memang sudah terlanjurkan menyerahkan jiwa ragaku untuk mengabdi kepada negara "

"Hohan, apakah . . . apakah engkau tak kasihan kepadaku "

"Nona adalah puteri dari seorang panglima kerajaan Ceng yang berkuasa. Harap siocia jangan kecewa. Hari depan siocia masih panjang dan gemilang ”

"Hohan, engkau sungguh kejam , " tiba2 Amila terus

lari meninggalkan Huru Hara. Huru Hara berdiri terlongong-longong. Ia tak tahu mengapa puteri panglima Ceng itu begitu rupa sikapnya terhadap dia.

Setelah menguatkan perasaan dia terus melanjutkan perjalanan lagi. Baru beberapa li ketika harus melintasi sebuah bukit, tiba2 dia dihadang oleh segerombolan lelaki bersenjata yang ternyata adalah rombongan prajurit Ceng.

"Hm, inilah yang kurunggu-tunggu," kata perwira yang menjadi kepala pasukan.

Huru Hara berhenti.

"Serahkan jiwamu!" teriak perwira, seorang suku Ceng. "Apa salahku?"

"Jangan banyak mulut! Engkau melawan atau menyerah?"

"Aku adalah utusan Torgun ciangkun untuk mengantarkan surat kepada Su Go Hwat tayjin." "Aku tak peduli. Itu urusan ciangkun. Teapi disini adalah aku yang berkuasa. Lekas, jangan banyak mulut!"

"Katakanlah, apa kesalahanku. Kalau aku memang bersalah, aku bersedia menyerahkan diri," seru Huru Hara.

"Kudengar engkau telah mengalahkan beberapa pengawal Torgun ciangkun, benarkah itu ?" tanya perwira Boan itu.

"Ya, hanya secara kebetulan saja." "Hm, pantas. pantas."

"Mengapa ?"

"Engkau pandai merendah diri, pantas Amila jatuh hati kepadamu," seru perwira Boan.

Huru Hara terkejut.

"Mengapa engkau menyebut-nyebut puteri panglima Torgun ?" serunya.

"Apakah aku tak berhak ?" balas perwira itu. Huru Hara makin tak mengerti kata2 dan sikap orang yang bermusuhan.

"Aku tak mengerti apa yang engkau katakan. Aku tak kenal kepadamu, engkau hendak menangkap aku. Katakan apa kesalahanku, engkau bicara yang lain2. Apakah maksudmu ?"

"Pengawal2 dari Torgun ciangkun itu adalah jago2 berilmu tinggi. Engkau dapat mengalahkan mereka maka Amila jatuh hati kepadamu. Tak mungkin engkau menang secara kebetulan saja tetapi karena engkau memang benat2 lihay.”

"Ah. buat apa hal itu dipersoalkan lagi ? Bukankah sekarang aku sudah pergi dari daerah ini?” "Ketahuilah," kata perwira itu," engkau telah menghina aku maka engkau harus mati."

Huru Hara terkejut.

"Ngaco !" bentak Huru Hara, "aku tak kenal engkau.

Mengapa engkau mengatakan aku menghinamu ?"

Perwira Boan itu tertawa

"Banyak sekali engkau telah menghina aku. Pertama, engkau mengalahkan beberapa pengawal Torgun ciangkun. Itu berarti menampar muka ciangkun dan para keluarga raja. "

"Apakah engkau keluarga raja Ceng ?" tukas Huru Hara. "Aku memang putera dari sanak raja yang agak jauh Bibi

misan dari baginda sekarang adalah ibuku."

“Oh, kalau begitu engkau seorang pangeran ? Siapa namamu ?"

"Aku bernama Haka. Memang aku seorang pwelek (pangeran). Maka akupun merasa terhina atas perbuatanmu mengalahkan para pengawal Torgun ciangkun itu."

"0, kalau begitu, akupun tak dapat berbuat apa2 lagi. Apakah aku harus menyerahkan jiwa kepada mereka, pada hal panglima menitahkan supaya aku mengalahkan mereka. Salahkah itu ?"

"Salah," seru Haka pwelek, "dan kedua, engkau berani memikat Amila. Ini suatu kesalahan besar yang kuanggap sebagai hinaan besar kepaku !"

"Aneh, mengapa begitu ?”

"Aku diangkat sebagai orang kepercayaan ciangkun untuk menghubungi para jenderal pasukan Ceng didaerah- daerah pendudukan. Waktu. engkau mengalahkan pengawal2 ciangkun, aku kebetulan sedang bertugas ke Holam untuk menyampaikan perintah ciangkun," kata Haka pwelek.

"Lalu?"

"Ciangkun menaruh kepercayaan besar sekali kepadaku dan telah berjanji kepadaku, bahwa kelak apabila kerajaan Ceng sudah dapat mengalahkan kerajaan Beng, aku akan dimkahkan dengan Amila "

"0, engkau calon menantu panglima Tor-gun," tukas Huru Hara.

"Hm," dengus Haka pwelek, "setelah tahu hal itu kiranya engkau tentu dapat mengerti apa sebab kuanggap engkau menghina aku!"

"Soal diri Amila siocia itu?"

"Ya," sahut Haka, "sejak engkau datang, Amila telah berobah dingin kepadaku. Dan menurut keterangan pelayan2, Amila tertarik sekali kepadamu. Memberimu makanan yang lezat dan minta ajaran silat kepadamu."

"Ya, memang," jawab Huru Hara, "walau pun Amila siocia dapat menerima penjelasanku bahwa antara kita berdua tak ada ikatan apa2, kecuali hanya dalam batas persahabatan, tetapi akulah yang akan bertanggung jawab atas pristrwa itu. Amila siocia tidak bersalah."

"Hm, gagah benar engkau," seru Haka pwelek, "engkau berani mencuri hati puteri yang akan menjadi isteriku. Itu berarti engkau menghilangkan dadaku. Nai, bersiaplah untuk mati!"

"Baik," sahut Huru Hara, "tetapi sebelumnya aku hendak menyatakan bahwa aku tak mempunyai perasaan apa2 terhadap Amila. Jangan engkau menuduh yang bukan- bukan !"

"Hm, mana ada maling yang mau mengaku?" seru Haka.

Dia terus menyerang Huru Hara.

Huru Hara terkejut ketika menyaksikan gerak serangan pangeran itu, Luar biasa, pikirnya. Cepatnya bukan main dan tenaga pangeran Boan itu juga amat kuat. Untuk beberapa saat, Huru Hara memang agak kebingungan. Terpaksa dia harus berloncatan menghindari.

Haka sendiri juga tak kalah kejutnya. Dia telah mendapat pelajaran ilmusilat dari seorang paderi lhama di Tibet. Pun dia juga mendapat ilmusilat dari tokoh2 sakti dari Tiong-goan. Dan dengan kecerdasan otaknya, dia dapat menggabung aliran kedua ilmu silat itu untuk menciptakan suatu aliran ilmusilat yang hebat.

Ada sebuah ilmusilat ciptaannya yang (beri nama Sip- pat-hui-eng-ciang atau Delapan-belas-garuda-menyambar. Gerakannya mirip dengan garuda yang menyambar korbannya. Ganas dan dahsyat.

Huru Hara memang agak kebingungan. Berulang kali hampir saja kepala dan tubuhnya kena tersambar tangan Haka, Untunglah dia masih dapat menghindar.

Sebenarnya Huru Hara masih mempunyai pertimbangan lain. Dia segan untuk mengadu jiwa dengan Haka. Hal itu bukan lain karena ia tahu bahwa pangeran itu hanya salah faham. Dan disamping itu. Huru Harapun ingin membalas budi kebaikan Amila. Bukankah Amila akan hancur  hatiuya apabila Haka sampai cacad atau mati ?

Memang baik panglima Torgun, Amila maupun Haka, adalah orang Boan yang menjadi musuh rakyat Beng. Tetapi Huru Hara akan memisahkan antara permusuhan dengan hubungan antara manusia dengan manusia.

Di medan perang, apabila berhadapan dengan Torgun ataupun Haka, dia tentu akan hancurkannya. Karena perang adalah perang. Kalau tak mau memhunuh tentu dibunuh, Dan perang itu adalah demi membela negara.

Tetapi apabila dalam hubungan sebagai manusia peribadi, dia tak mempunyai dendam apa2 terhadap Torgun. Bahkan ada beberapa dari panglima Ceng itu yang ia hargakan. antara lain pandangan dan cara panglima itu menghargai mentri besar seperti Su tayjin dan cara dia memimpin anak pasukannya.

Juga terhadap puteri Amila, Huru Hara menaruh simpati. Bukan karena dia ada hati melainkan karena dia kasihan. Bukankah puteri itu sudah mempunyai calon suami si Haka ? Mengapa hendak main cinta kepadanya ?

"Ah, kemungkinan ada sesuatu yang terjadi diantara kedua muda mudi itu," pikirnya. Lepas dari siapa keduanya. namun Huru Hara mempunyai pendirian bahwa persoalan muda-mudi itu pada umumnya adalah sama, baik dia muda-muda Han, Beng maupun Ceng.

Untuk membalas kebaikan puteri itu, Huru Hara mempunyai rencana agar hubungan Amila dengan Haka dapat berjalan baik lagi. Karena betapapun halnya, Huru Hara tak mungkin dapat menerima cinta puteri Amila.

Jangan lagi karena dia memang tak ada hati puteri panglima Ceng itu. Pun andaikata dia menaruh hati, diapun akan sanggup untuk mengorbankan perasaan cinta itu demi kepentingan perjuangan. Saat itu serangan Haka makin buas dan ganas sehingga Huru Hara makin kelabakan. Akhirnya ia mengambil keputusan.

Selekas menghindari terjangan Haka, dia terus loncat ke belakang dan lari.

"Hai, hendak lari kemana engkau!" Haka berteriak dan terus mengejarnya.

"Hm, lu kira gua kalah ? Andaikata tak mengingat kepentingan Amila, tentu akan kuhadapimu,” sambil berlari Huru Hara mendesuh dalam hati.

Rupanya Haka memang sedang terbakar betu12 hatinya. Dia marah kepada Huru Hata yang dituduhnya berani mengganggu Amila. Dia heran mengapa dengan mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya, dia tetapi tak mampu menyusul lari Huru Hara,

Entah sudah berapa puluh li keduanya kejar mengejar itu. Pada saat itu sudah menjelang petang dan mereka tengah memasuki sebuah pegunungan yang sepi.

Waktu berpaling ke belakang, Huru Hara terkejut. Dia tak melihat Haka lagi.

"Ah, mungkin pangeran Boan itu lelah dan kehabisan napas." pikirnya. Diapun berhenti dan masuk kedalam sebuah hutan kecil yang berada di tepi jalan.

Ternyata Haka memang kehabisan napas, Terpaksa dia berhenti. Dia memang penasaran sekali karena tak dapat menangkap Huru Hara. Tetapi apa daya ?

Cuaca makin gelap. Anak pasukan masih tertinggal di belakang. Mungkin mereka kehilangan jejak Haka. Dan kuda Hakapun masih ketinggalan. Kemanakah malam itu la harus menuduh ? Beranjak dari sebuah batu, diapun ayunkan langkah mencari suatu tempat yang dapat dibuat bermalam. Belum berapa lama ia berjalan, ia melihat sebuah gendung bangunan rumah batu diatas sebuah tanjakan tanah bukit. Ah, mungkin rumah penduduk.

Ternyata rumah itu adalah sebuah bio atau kuil gunung yang sudah jarang didatangi orang. Tetapi Haka agak heran mengapa ruang depan tempat sembahyang terawat dengan bersih. Bahkan diatas meja sembahyang terdapat dua buah cektay tempat lilin dan sepiring buah segar.

Haka menyulut lilin dan seketika ia melihat bahwa yang dipuja di kuil itu adalah sebuah arca dari Dewi Koan 1m.

"Aneh," pikirnya, "kuil ini terletak di bukit yang begini sepi mengapa masih terdapat sesaji hidangannya.

Lantainya juga cukup bersih maka Hakapun lalu duduk bersila pejamkan mata untuk melakukan semedhi.

Beberapa saat kemudian setelah letih hilang, mulailah ia merasa lapar. Ah, tetapi kemanakah ia harus mencari makanan ?

Tiba2 ia teringat akan hidangan buah segar diatas meja sembahyang. Buah tho, delima, dan biji teratai. Serentak dia berbangkit lalu hendak mengambil buah tho. Tetapi pada saat itu juga lilinpun padam dan gelaplah ruangan itu.

"Uhh, . , . . ," Haka mendesis ketika merasa bahwa piring buah yang sudah hampir dapat dijamahnya itu seperti lenyap. Mungkin karena gelap dan mungkin karena masih harus ke muka lagi, pikirnya. Maka tangannyapun menyorong maju.

"Uh . . . ," kembali mulutnya mendesus kaget. Tak mungkin tangannya masih kurang panjang. Jelas piring buah itu hanya terpaut sekilan tangan. Daripada menebak-nebak maka iapun menyulut api lagi.

Tub, benarlah. Piring buah itu masih terletak di meja.

Ia menyimpan korek dan ulurkan tangannya lagi. Tetapi pada saaat itu juga lilin padam pula dan tangannya juga menyambar tempat kosong.

Hingga dua tiga kali dia menyulut korek dan setiap hendak mengulurkan tangan lilin tentu padam, seketika timbullah rasa seram dalam hatinya.

"Setan .... ? " suatu dugaan segera mencengkam pikirannya. Kalau tidak, mengapa lilin itu selalu padam. Pada hal jelas tiada angin berhembus.

Untuk terakhir kali dia menya!ut lilin.

Tetapi ternyata tidak padam. Setelah ditunggu beberapa saat lilin itu masih menyala maka mulailah ia mengulurkan tangan kearah piring buah, wut lilin segera padam.

"Wah, benar2 setan," akhirnya ia merangkai kesimpulaa. Sesaat membayangkan bahwa setan itu tentulah suatu mahluk yang menyeramkan, bergidiklah Haka diapun terus hendak melangkah keluar.

Kritttt pintu seketika tertutup dan serempak lilinpun

padam.

"Celaka!" Haka mengucurkan keringat dingin dan serentak terus mencabut pedang.

Tik . . . sebuah benda kecil macam biji kacang hijau seperti menyambar telinganya. Ia mengira tentulah nyamuk atau lalat. Tik, lagi sebuah benda kecil membentur dadanya. Tik, mulut, hidung dan . .. . , "Slap !" akhirnya Haka menyadari kalau benda2 yang mengganggu itu bukan bangsa serangga melainkan kacang hijau yang melayang kepadanya. Ia cepat memainkan pedangnya untuk menyerang kalang kabut, ke kanan kiri, kian kemari. Pokok apabila ada setan atau mahluk yang berada dalam ruang itu tentulah tertabas. Dia tak tahu jelas karena ruang gelap gelita.

Namun sampai beberapa saat, pedangnya tak pernah terasa membentur sesuatu. Akhirnya ia hentikan permainan pedangnya.

Kemudian ia berdiri tegak, mengheningkan pikiran dan menyalurkan tenaga-murni untuk mempertajam indera pendengarannya.

“Kikkk, kikkkk , ... hi ... hi ... hiii….”

Tiba2 telinganya menangkap suara orang tertawa mengikik. Nadanya seperti suara wanita. Serentak ia sadar bahwa memang dalam ruang kuil tua itu terdapat mahluk. Entah munusia entah bangsa setan.

"Siapa !" teriaknya dengan keras dan mencabut pedang, "kalau setan, keluarlah. Aku tak takut. Kalau manusia, jangan main sembunyi, hayo, unjukkan mukamu !"

"Hi, hi, hi, hi……”

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar