Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 37 Salah tingkah

Jilid 37 Salah tingkah

Sudah tentu kakek mendelik karena dianggap sebagai budak dari Dewi Rambulan oleh seorang bocah gemuk, salah seorang diri kawanan anak2 kecil yang mengerumuninya.

"Apa katamu ?" teriak kakek pendek itu sesaat kemudian.

"Dewi Rembulan itu mempunyai pelayan. Karena engkau tentu mahluk dari rembulan maka engkau tentu pelayan dari Dewi Rembulan, "kata si gemuk."

"Eh, babi cilik, jangan sembarangan mengatakan anak orang, seenak udelmu sendiri. JeIek2 begini aku ini kan anak orang !" "Siapa bilang engkau anak orang ? Buktinya apa ? Engkau tak tahu nama bapamu, tidak tahu nama ibumu ? Huh, masakan anak orang tak tahu nama bapa ibunya !"

"Siapa bilang aku tak tahu nama bapa ibuku ?" bantah Cian-li ji," tetapi aku sudah lupa karena sudah seratusan tahun lamanya."

"Apa ? Seratusan tahun ?"

"Babi cilik, ketahuilah, aku ini sudah berumur lebih dari seratus tahun."

"Ha, ha, ha .... hi . hi,, hi " terdengar, kawanan anak2

itu tertawa makin geli.

"Benar, benar." teriak salah seorang anak  yang telinganya besar, hidung dan matanya juga besar. "kata engkongku, binatang kura2 itu bisa hidup sampai ratusan tahun. Kalau begitu engkau ini tentu anak kura-kura "

Sorak sorai menghambur dari mulut anak itu. Silih berganti mereka berteriak, "Ya, benar memang dia bangsa kura-kura."

"Betul, betul ! Kalau manusia masakan begitu pendek ?" "Wah, mengapa kura-kura bisa ngomong.?”

"Aku ingat, kawan," seru anak yang paling besar, "ayah pernah bercerita bahwa di dunia terdapat bangsa siluman."

"Apa sih itu siluman ?" tanya si anak gemuk.

"Binatang, misalnya ular, barimau dan lain kalau bertapa sampai ratusan tahun, lama2 bisa jadi siluman. Dia bisa menjadi manusia, ngomong seperti manusia tetapi asalnya dari binatang. Itulah yang disebut siluman."

"O, kalau begitu, jelas dia siluman kura-kura,” teriak kawanan anak2 itu. "Babi, kunyuk, kurcaci kamu ini semua !" tiba2 Ah Liong membentak, "jangan menghina engkongku ini. Hayo, barangsiapa berani, nanti ku tempeleng !"

"Lho, siluman apa ini ?" seorang anak. "Anak kura- kura !"

"Bukan. bukan ! Lebih mirip kalau siluman cacing "

"Betul ! Betul ! Siluman kura-kura dan siluman cacing memang sama2 hidup di air !”

Kembali kawanan anak2 nakal itu bersorak gemuruh.

Ah Liong panas. Sekali loncat dia berada di belakang anak yang gemuk dan sebelum si gemuk itu sempat bergerak, tahu2 tengkuk dan kakinya dicengkeram dan diangkat oleh Ah Liong.

"Hayo, kalau kalian berani menghina lagi, babi kecil ini akan kubanting !" teriak Ah Liong.

Kawanan anak2 itu terkejut. Ah Liong seorang bocah kuncung yang kurus, mengapa dia dapat mengangkat boneka saja.

"Eh. bung, jangan mengganggu kawan kami," bocah yang paling besar tampil ke hadapan Ah Liong, "bukan hanya dia tetapi kami semua yang mengata-ngatai engkau. Kalau mau membanting, bantinglah kami semua !”

"Eh, lu. mau bela ? Apa lu kira gua tak mampu meringkusmu ?" kata Ah Liong. Dan sebelum anak yang besar itu mampu bergerak, dia sudah diringkus dan diangkat dengan tangan oleh Ah Liong.

Melihat si kuncung Ah Liong dapat mengangkat dua orang anak dengan tangan kanan dan kini, kawanan anak2 nakal itu makin tercengang. Tetapi dasar anak bandel, bukan mereka jerih sebaliknya salah seorang, yaitu anak yang kepalanya, telinga, hidung dan matanya serba besar tadi, dengan bercekak pinggang berdiri dihadapan Ah Liong.

"Ah, bung kuncung, jangan mentang2 engkau dapat mengangkat tubuh kedua kawan kami. "katanya," kaLau engkau memang hendak menantang berkelahi, hayo kita berkelahi."

"Ho, engkau gajah, mau nantang berkelahi ?" seru Ah Liong, "boleh, hayo kalian boleh maju semua !"

"Jangan sombong, bung kuncung," kata anak yang kepalanya besar itu, "kalau mau berkelahi harus pakai aturan. Jangan disini tempatnya. ha-yo, kalau engkau berani, kita cari tempat yang sesuai, supaya tidak dilerai orang. Kita nanti dapat berkelahi sampai puas."

"Dimana ?" tanya Ah Liong..

"Lepaskan dulu, kedua kawanku itu," seru si anak, "habis itu kita nanti beramai-ramai menuju ke hutan di sebelah sana."

Ah Liong turunkan kedua anak itu, "Hayo kita kesana !" katanya. Dan kawanan anak2 nakal itupun segera beramai- ramai menuju ke sebuah hutan.

"Ah Liong mengapa engkau ladeni anak2 nakal itu," kata Cian-li-ji dengan berbisik.

"Biarlah, engkong," kata Ah Liong, "supaya mereka mendapat pelajaran jangan suka lagi menggoda orangtua."

"Apakah engkau benar hendak menghajar mereka ?" "Hanya sekedar memberi pelajaran saja."

Waktu tiba di sebuah hutan, Ah Liong dan Cian-li-ji sempat memperhatikan banwa anak2 yang hadir disitu hanya lima orang. Yang lima belas anak, entah kapan, sudah tak ada lagi.

"Eh, mana kawan-kawanmu,” tegur Ah Liong.

"Tunggu saja, "kata anak yang kepala dan telinganya besar.

"Tunggu apa lagi ?" tanya Ah Liong.

"Kalau satu lawan satu," kata anak telinga besar itu. “sudah tentu kami kalah. Walaupun engkau kurus seperti cacing pita tetapi tenagamu besar sekali."

"Lalu ?"

"Kalau engkau berani, kami akan mempersiapkan sebuah barisan. Engkau berdua dengan kakek siluman itu, boleh menerjang. Kalau kalian mampu membobolkan barisan kami, kami menyerah dan akan mengangkat engkau sebagai jenderal kecil. Berani tidak ?"

"Nanti dulu," seru Ah Liong, "aku jadi jenderal, tetapi mana pasukanku ? Apakah hanya jenderal saja tanpa pasukan. kan lucu ?"

"Kalian kunyuk2 kecil ini yang jadi anak pasukannya !" seru kakek Cian-li-ji.

Serempak kelima anak itu menyetujui.

"Tetapi kalau dia jadi jenderal kecil, lalu aku jadi apa ?" tanya Cian-li-ji kebingungan kalau tidak mendapat pangkat.

"Kunsu !" teriak anak telinga besar.

Ah Liong terkejut. "Kunsu ? Apa itu kunsu?"

"Eh, engkau seorang calon jenderal masa tak tahu kunsu itu apa2. Kunsu itu adalah engkongnya pasukan," tukas Cian-li-ji. "Engkongnya pasukan ? Apakah pasukan punya engkong segala ?" tanya Ah Liong.

"Kalau pasukan punya anak-pasukan mengapa tidak punya engkong ? Habis dari mana datangnya anak itu ?" balas Ciang-li-ji.

Si telinga besar tertawa, "Kalian meman goblok. Mana ada engkong pasukan. Kunsu it adalah orang yang memberi nasehat dan rencana pada pasukan."

Ah Liong terkejut, "Eh, gajah cilik, mengapa engkau tahu asal kunsu segala ? Dari mana engkau memperoleh pengetahuan itu ?"

"Aku sering mendengar ayah dan paman2 tetangga sekampung bercerita tentang keadaan kota kita ini. Mereka memuji Su tayjin sebagai seorang kunsu yang pandai. Waktu kutanyakan kepada ayah, dia menerangkan kunsu itu adalah seorang penasehat atau ahli ilmu perang yang memberi petunjuk pada pasukannya dalam menghadapi musuh," kata, anak bertelinga besar itu.

"Wah, engkau pintar sekali. Pantasan kepalamu besar," Cian-1i- ji memuji.

"Lho, apa hubungan pintar dengan kepala besar?" tanya anak itu dengan polos.

"Kalau kepalanya besar, otaknya tentu besar. Dapat berpikir luas dan menampung semua pengetahuan dengan luas pula."

"Ya, tetapi tidak enak punya batok kepala besar itu," gumam si anak.

"Kenapa?"

"Yang jelas saja, berat," kata anak itu, "Kalau jalan aku merasa seperti mengangkat buah kelapa. Dan lagi, kalau cekcok sama kawan, dia mengejek aku sebagai si 'kepala besar'. Kan malu?"

"Salah!" seru Cian-li-ji yang tiba2 berobah seperti anak kecil, "kepala besar itu menandakan kalau pandai. Telinga besar, menandakan kalau tajam pendengaran, mata besar bisa melihat jauh, hidung besar eh, apa ya?"

"Yang jelas saja menjadi tempat pembuangan sampah," seru Ah Liong.

"Engkoh Kuncung, jangan menghina," seru yang punya hidung besar, hidung besar itu satu keuntungan juga. Buktinya kalau hujan, mulutku tidak sampai tertimpah air- hujan karena sudah di tampung oleh batang hidungku . , .."

"Ya, itu benar," sahut Ah Liong, "tetapi apa yang kukatatakan tadi juga benar. Bahwa hidung besar itu memang menjadi tempat pembuangan sampah."

"Gila !" teriak si hidung besar, "siapa sudi hidungnya dibuat buangan sampah ? Siapa yang berani membuang sampah kedalam hidungku tentu akan kutoyor mukanya !"

"Lho, kalau begitu toyorlah mukamu sendiri !" seru Ah Liong.

"Kenapa ?" anak itu terkejut.

"Karena engkaulah yang membuang sampah itu kedalam hidungmu sendiri."

"Apa maksudmu ?"

"Begini," kata Ah Liong. "tubuh kita itu ngeluarkan sampah atau kotoran. Kencing, berak, berkentut, meludah, berbangkis, itu semua sampah tubuh. Dan juga upil kotoran hidung, curak kotoran telinga, blobok kotoran mata, itu juga sampah. Nah, karena hidungmu besar maka upil kotoran hidungmu itu tentu menumpuk. Apakah itu bukan tempat pembuangan sampah namanya ?"

"Uh," waktu mendengar tentang kotoran hidung, tanpa disadari anak yang memiliki hidung besar itu menggunakan jarinya untuk mengorek hidungnya dan waktu ditarik keluar, dia terkejut. Memang benar, ujung jarinya penuh dengan upil atau kotoran hidung .....

"Tuh, tuh," seru Ah Liong waktu melihatnya," percaya nggak ?"

Anak itu tak dapat berkata apa2 kecuali meringis dan membantah. "Habis kalau sudah terlanjur punya hidung besar, apa harus dipotong ?"

Ah Liong danCian-li-ji geli melihat sikap dan kata2 anak itu.

Tiba2 saat itu bermuncullah kawanan anak2 tadi. Kini mereka berjumlah lengkap dua puluh anak.

Mereka segera membentuk sebuah lingkaran untuk mengepung Ah Liong dan Cian-li-ji yang berada di tengah- tengah lingkaran.

Mereka berbisik-bisik dan mengangguk-angguk. Lalu anak yang kepala, telinga dan hidungnya serba besar tadi berseru. "Aku disuruh menjadi juru bicara. Kamu berdua, engkoh Kuncung dan kakek Pendek, boleh menerjang barisan kami. Kalau kalian mampu, kalian akan kami angkat sebagai jenderal dan… ”

"Eh, gajah cilik," seru Ah Liong, "apakah nama barisanmu itu?"

"Barisan Bon-bin?" sahut anak itu. "Barisan Bon-bin? Apa itu?" "Barisan Kebon Binatang. Bon, singkatan dari kebon.

Dan bin, singkatan dari binatang."

"Uh, masakan barisan begini disebut barisan Kebon Binatang? Mana binatangnya?"

"Sudahlah," seru anak itu, "tak perlu ribut2. Pokok, segera saja kalian menyerang."

Ah Liong berbisik-bisik kepada Cian-li-ji. Tampak kakek pendek itu mengangguk. Kemudian keduanya memecah diri. Ah Liong menerjang ke utara dan kakek Cian- li-ji ke selatan.

Aduhhhh . . . . lho, auhhhh . . .

Tiba2 Ah Liong dan Cian-li-ji menjerit kalang kabut dan mendekap mukanya, berjingkrak jingkrak seraya menampar- nampar tubuh.

Apa yang terjadi?

Kiranya begitu Ah Liong maju, salah seorang anak menaburkan sebuah bumbung bambu. Dan dalam buluh bambu itu berhamburan keluar boratus-ratus bahkan beribu tawon ( lebah ). Bagaikan bunyi ratusan pesawat terbang di angkasa, kawanan tawon itu segera menyerang Ah Lion sehingga Ah Liong kelabakan setengah mati. Mukanya habis disengat tawon-tawon itu sehingga membegap.

Cian-li-ji juga mengalami nasib serupa. Hanya bedanya kalau Ah Liong diserang kawanan tawon, adalah kakek itu digerogoti oleh ribuan semut merah. Ketika dia maju, tiba2 salah seorang anak menaburkan buluh bambu dan dari dalam buluh itu mengbambur benda2 kecil yang terus inelekat pada tubuh Cian li-ji dan melakukan serangan  besar besaran. Ada yang masuk kedalam baju, menggigit perut, dada, pusar. Ada yang nomplok ke leher terus mengganyang leher. Celakanya, ada yang hinggap pada muka dan kepalanya terus melakukan operasi secara aktief. Bibir, pipi, mata. telinga dan gundul, dijadikan medan pengamukan semut itu.

Kalau Cian-li-ji menghapus semut yang menggigit muka dan bibir, semut diatas kepala ngotot menggigiti batok kepalanya. Kalau dia mengusap semut di kepala, semut di perut seperti berpesta-pora mengganyang daging perut. Kalau dia harus merogoh ke dalam baju untuk mengenyahkan mereka maka semut merah yang lain menggigit ketiaknya............... geli-geli sakit .....

Seumur hidup belum pernah Cian-li-ji merasakan siksaan yang begini macam. Apalagi semut itu jenis semut merah yang kalau menggigit tak mau melepaskan lagi. Sakitnya seperti diselomot api.

Puncak penderitaan yang dirasakan Cian-liji adalah ketika beberapa ekor semut yang bandel, berhasil menerobos kebawah dan terus mengganyang anunya.

"Aduh, maaaakkk, ampuuuunnnn .... !" saking tak tahannya, Cian-li-ji berjingkrak-jingkrak dan berteriak-teriak seperti orang gila. Dia la menerjang anak2 itu dan terus saja lari.

Tak berapa lama untung dia bertemu denga sebuah sungai. Tanpa banyak perhitungan lagi, di terus loncat kedalam sungai, byurrrr Dia ingin merendam diri dalam

air sungai. Semut2 itu kalau berada dalam air tentu akan mati semua pikirnya.

Tetapi celaka ! Dia ternyata tak pandai berenang dan arus sungai itu cukup deras. Tak ampun lagi diapun terhanyut dibawa aliran air. Biar mati asal terlepas dari siksaan digigiti semut, pikirnya. Dan tak berapa lama dia tak dapat berpiki lagi karena pingsan ..... Sementara itu Ah Liong juga cukup menderita. Mukanya bengap seperti bengkak. Tangan dan kakinya juga habis disengat tawon. Tetapi anak itu memang cerdik dan bandel. Walaupun menderita, dia tetap pantang menyerah. Dia berusaha untuk menghalau dengan memukul, menampar, menghantam tetapi tak berhasil membendung serangan musuh. Memang ratusan ekor tawon yang kena tangannya, tentu mati. Tetapi masih ada ratusan yang lobos dan berhasil menyengatnya. Dan karena banyak menggunakan tenaga untuk mengamuk, dia mulai merasa payah juga.

"Celaka, kalau terus menerus begini aku bisa matilemas," pikirnya. Tiba2 ia teringat sesuatu. Mungkin dengan benda itu aku dapat menghalau tawon2 itu, pikirnya.

Cepat dia meraup tanah pasir dan terus ditaburkan pada kawanan tawon yang hendak menyerangnya. Berulang kali dilakukannya taburan itu. Lama kelamaan kawanan tawon itu tampak menipis jumlahnya. Ada yang berguguran jatuh, ada yang gentayangan di udara terus melarikan diri.

Dengan hasil itu semangat Ah Liong makin besar. Dia terus menerus menggunakan tanah pasir untuk menabur dau akhirnya lenyaplah kawanan tawon itu. Setelah itu dia mulai hendak menghajar kawanan anak2 yang telah menyiksanya.

"Sudah, kami menyerah dan mengangkat engkau sebagai jenderal," tiba2 anak yang kepala dan telinganya besar tadi, melangkah maju dan berseru.

Sebelum Ah Liong sempat membuka mulut, anak itu memberi komando kepada kawan-kawannya. "Hayo, kawan2, berilah hormat kepada jenderal kita !"

Serempak keduapuluh anak itu maju dan memberi hormat kepada Ah Liong. "Siaaaap! Hormat kepada jenderal!" teriak anak yang paling besar yang rupanya menjadi pimpinan mereka.

"Laporan!" seru anak itu pula, "pasukan prajurit kecil sebanyak satu peleton siap menerima perintah jenderal!"

Dihadapi dengan keadaan semacam itu, A Liong pun terpikat. Dasar dia juga masih anak, pikirannyapun masih kekanak-kanakan. Diam2 dia gembira karena diangkat sebagai jenderal kecil oleh sebuah pasukan anak2. Hampir ia tak teringat bahwa baru beberapa menit yang lalu, dia telah menderita siksa yang hebat karena muka dan sekujur badannya begap2 disengat tawon.

"Apakah, kalian benar2 tunduk kepada perintahku?" serunya.

"Siaaaap, pak jenderal!"

"Bagus!" seru Ah Liong, "apa kalian berani berperang?" "Siaaaap, pak jenderal!"

"Bagus," kata Ah Liong gembira, "kalian tahu siapa, musuh kita?"

"Orang Boan!"

"Mengapa kalian bertekad untuk melawan orang Boan?" "Mereka hendak merampas kota kita!"

"Apakah orangtua kalian mengidinkan?"

"Mentri Su tayjin telah memberi perintah bahwa seluruh penduduk kota Yang-ciu, tua, muda, besar kecil, laki perempuan, harus bersatu padu melawan penjajah Boan."

"Apakah rakyat Yang-ciu setuju ?" tanya Ah Liong. "Dalam  sebuah  rapat  dimana  seluruh  penduduk  kota

dipanggil maka Su tayjin dengan serta merta menawarkan. Su tayjin tidak memaksa melainkan hanya mempersilakan para penduduk menentukan pilihannya. Mau melawan pasukan Ceng dengan resiko mungkin mati dalam pertempuran. Atau menyerah kepada musuh dengan akibat tetap masih hidup tetapi menjadi rakyat terjajah "

"Bagaimana keputusan para penduduk ?"

"Mereka memilih jalan yang kesatu, melawan musuh walaupun harus mati. Mereka menyatakan tunduk kepada apapun yang menjadi keputusan Su tayjin."

"Betul !" seru Ah Liong, „memang seharusnya begitu. Mati sebagai tuan dari tanah negerinya lebih mulia daripada hidup sebagai budak yang tak punya negara."

"Oleh karena itu maka para orangtua kami-pun tak melarang kami untuk ikut serta membantu perjuangan Su tayjin mempertahankan kota ini," kata anak itu pula.

"Bagus, jika begitu kunamakan barisan ini barisan Bon- bin !" seru Ah Liong dengan garang.

"Hidup barisan Bon-bin l" "Hidup jenderal Kuncung !"

Serempak keduapuluh anak2 itu bersorak dengan lantang. Mereka senang akan nama barisan Bon-bin yang artinya Kebon Binatang. Biarla mereka menjadi penghuni Bon-bin. Bukankah Bon bin itu berpenghuni segala macam binatang? Nah apabila kawanan binatang dalam Bou-bin itu bersatu padu, tentulah musuh akan lari. Dan mereka menamakan Ah Liong sebagai jenderal Kuncung karena Ah Liong memang memelihara kuncung.

"Sekarang, kunsu kita ..... eh, mana engkong Cian ?" tiba2 Ah Liong tersadar bahwa Cian li-ji tak berada ditempat itu. "Celaka." teriak kawanan anak2 itu pula, "kunsu tadi telah lari terbirit-birit. Entah kemari saja dia tadi ?"

"Apa saja yang kalian taburkan pada kunsu.” tanya Ah Liong.

"Semut merah, jenderal !" "Semut ?"

"Ya, semut merah yang ganas kalau menyerang orang !"

"Celaka," teriak Ah Liong." kunsu tentu menderita kesakitan sekali. Dari mana kalian peroleh semut merah itu

?"

Anak yang kepala dan telinganya besar, menjawab, "Jenderal, memang sejak Su tayjin memerintahkan agar seluruh penduduk bersiap-siap menghadapi serangan

.musuh, kamipun lantas berunding. Akhirnya kami mendapat akal untuk menggunakan senjata yang ganjil."

"Tawon ?" tanya Ah Liong.

"Benar;" sahut anak itu, "kami beramai-ramai sama memehhara tawon dan semut yang kami masukkan kedalam beberapa bumbung bambu. Apabila nanti musuh berani menyerbu masuk, akan kami tabur dengan tawon dan semut itu."

"Bagus," seru Ah Liong gembira, "berapa banyak tabung2 bambu itu ?"

"Berpuluh-puluh, jenderal."

"Baik." kata Ah Liong. "kalian boleh pulang dulu. Aku hendak kembali ke markas untuk mencari kunsu. Kemungkinan dia tentu sudah pulang."

Anak2 itu memberi hormat terus hendak angkat kaki tetapi tiba2 Ah Liong berseru, "Tunggu !" Anak2 itupun berhenti.

"Apakah nanti malam kalian berani keluar ?" "Berani," seru anak2 itu.

"Baik," kata Ah.............. "nanti jam sepuluh malam, kalian berkumpul disini."

"Baik !"

Ah Liong terkejut melihat sikap mereka yang begitu militan atau patuh dan siap menjalankan perintah.

"Hm, dengan pasukan.............. ini, akan kutunjukkan kepada musuh bahwa anak2 bangsa Han juga berani berjuang," pikirnya. Dengan gemangat menyala, Ah Liong terus kembali ke markas.

"Ah Liong, dari mana engkau ?" tegur Huru Hara yang menunggu di depan pintu. Dia memang cemas karena Ah Liong dan Cian-li-ji lama belum kembali.

"Jalan jalan," kata Ah Liong, "apakah engkong Cian sudah pulang ?"

"Lho, bukankah dia bersama engkau ?" "Ya, tetapi dia lari lebih dulu."

"Lari ? Lari kemana ?" "Tentulah lari pulang."

"Engkau gila !" bentak Huru Hara, "dia belum pulang !"

Ah Liong terkejut, "Belum pulang ? Lalu kemana saja dia itu ?"

"Ah Liong, bicaralah yang genah," kata Huru Hara, "dari mana saja engkau, eh, mengapa mukamu begap ?"

"Dikeroyok tawon." "Gila," bentak Huru Hara, "engkau tentu cari gara-gara tadi."

Ah Liong terpaksa menceritakan apa yang dialaminya bersama Cian-li-ji.

"Wah, paman Cian tentu ngawur, entah kemana," Huru Hara mulai cemas. Tetapi dia segera teringat bahwa kota dikelilingi tembok d kedua pintu kota ditutup rapat. Tak mungkin Cian-li-ji akan lari keluar dari kota.

“Hm, entah kemana kakek linglung itu," gumam Huru Hara, "tadi aku kan sudah bilang, jangan keluar kemana- mana tetapi kalian tetap mau keluar. Sekarang ? Apa yang kukuatirkan ternyata betul. Engkau sendiri yang pulang, paman Cian entah kemana. Lu memang anak bandel, Ah Liong. Kan sekarang kita sedang menghadapi urusan penting yang menyangkut keselamatan jiwa beribu-ribu rakyat Yang-ciu. Kalau engkau tetap tak mendengar kata, akupun tak mau mengajakmu lagi."

"Maaf, engkoh Hok," buru2 Ah Liong meminta maaf, "sebenarnya aku dan engkong Cian tidak cari onar tetapi kawanan anak2 nakal itu yang mengolok kami dan akhirnya cari onar. Baik lah, engkoh Hok, aku akan patuh padamu, jangan marah."

Huru Hara mengangguk. Diam2 dia memang membenarkan pembelaan Ah- Liong. Tentulah karena melihat perwujutan Cian-Ii-ji dan Ah Liong yang ganjil, kawanan anak2 nakal itu lalu menggodanya.

"Sekarang sudah malam, mari kita menghadap Su tayjin untuk minta perintah," kata Huru Hara.

Ketika memasuki ruangan memang mentri pertahanan Su Go Hwat sedang mempersiapkan perwira2 yang akan disuruh membawa pasukan untuk melakukan serangan pada musuh.

"Loan Thian Te," seru mentri Su ketika lihat Huru Hara muncul, "bawalah duapuluh prajurit. Engkau menyusup ke sayap kanan musuh dan mengadakan pengacauan pada kubu2 pertahanan mereka. Jika perlu, bakarlah kubu2 musuh."

Loan Thian Te atau Huru Hara mengiaka dan terus berangkat bersama duapuluh orang prajurit.

Mentri pertahanan hanya menugaskan tiga kelompok pasukan kecil yang malam itu akan mengadakan serangan untuk mengganggu pasukan musuh. Kelompok kesatu, dipimpin Huru Hara, menyerang dari kanan, kelompok kedua dipimpin perwira Lu Hong, menyerang dari tengah. Dan kelompok ketiga dipimpin perwira Po Hian, menyerang sayap kiri.

"Jangan terlalu bernafsu, cukup asal mereka terganggu tak dapat beristirahat semalam suntuk. Setelah semangat mereka lesu, barulah kita nanti lakukan serangan besar- besaran pada pagi hari pesan mentri Su.

Setelah kelompok2 itu pergi, kini hanya ting gal beberapa orang, termasuk Ah Liong. Ah Liong tahu mengapa Huru Hara tak mau mengajaknya. Huru Hara tentu kuatir dia akan menimbulkan keonaran. Tetapi Ah Liong tak menyesal. Diam2 timbullah keinginannya untuk melakukan sesuatu yang mengejutkan.

"Tayjin," ia nekad maju mcnghadap menteri Su, "hamba mohon diberi tugas untuk ikut menggempur musuh malam ini."

Su tayjin terkejut melihat Ah Liong, "Bukankah engkau ini adik dari Loan Thian Te?" Ah Liong mengiakan. "Jangan ikut keluar, engkau ikut bantu menjaga dalam kota saja," kata Su tayjin.

"Mengapa tayjin?"

Su tayjin terbeliak menerima pertanyaan itu. "Engkau . .

. masih kecil. Berbahaya kalau ikut menyerbu musuh."

"Terima kasih, tayjin," kata Ah Liong, "tetapi hamba hendak mohon supaya diperkenankan keluar menyerbu musuh "

"Ah, tak perlu."

"Begini tayjin, hamba mempunyai akal untuk mengacau musuh. Hamba hanya minta idin saja. Kalau terjadi apa2, biarlah hamba sendiri yang menanggung resikonya,"

"Tetapi itu berbahaya "

"Hamba tahu, tayjin," cepat Ah Liong menukas, "tetapi biarlah kali ini saja hamba mohon idin. Kalau sampai gagal, lain kali tayjin tak perlu mengidinkan lagi."

"Ah "

"Tayjin, hamba sanggup untuk mengambil ransum makanan musuh. Kalau tak mampu, hamba bersedia menerima hukuman," cepat pula Ah Liong mendahului berkata.

Su Go Hwat terkejut. Dipandangnya Ah Liong dengan tajam. Seorang anak yang mengenakan baju monyetan dan kepalanya memelihara rambu seperti telapak kuda. Apanya yang dapat diandal kan anak itu, pikirnya!

Tetapi ketika pandang matanya terbentur dengan mata Ah Liong, Su Go Hwat terkejut. Sesarang mata bocah kuncung itu berkilat-kilat tajam sekali. Dan wajahnya menampilkan suatu kemauan sekeras baja. "Hm, ini suatu percobaan yang bagus," pikir mentri pertahanan itu, "jika anak ini berhasil, akan dapat menjadi cambuk bagi semangat para prajurit dan rakyat Yang-ciu. Hm, biarlah kululuskan.

"Dengan siapa engkau akan bekerja ?" tanya mentri Su. "Hamba  mempunyai  sebuah  pasukan  yang  terdiri dari

anak2.      Mereka      juga      bersemangat      tinggi     untuk

mengenyahkan musuh."

"Pasukan anak-anak ? Kapan di kota ini terdapat pasukan anak-anak ?" mentri Su heran.

"Secara kebetulan saja hamba bertemu dengan sekelompok anak2 dan mereka bersedia untuk membentuk sebuah pasukan kecil."

"Tetapi apakah tidak berbahaya ? Ingat. bukan main2 tetapi bertempur. Meleng sedikit sa ja, jiwa tentu melayang," kata mentri Su.

"Hamba sanggup mempertanggung jawabkan keselamatan jiwa mereka, tayjin," kata Ah Liong. Melihat kesungguhan sikap Ah Liong, terpaksa mentri Su Go Hwat meluluskan.

Ah Liong bergegas menuju ke tempat yang dijanjikan. Ternyata disitu anak2 sudah siap berkumpul. Ah Liong gembira sekali melihat mereka mempunyai disiplin yang tinggi.

"Aku tak kenal siapa nama kalian," kata Ah Liong, "dan andaikata kalian memberitahukan nama kalian masing2, mungkin aku juga lupa. Sekarang baiklah kita memakai nama rahasia saja."

"Nama rahasia bagaimana ?" seru mereka. "Akan kubagi barisan menjadi dua kelompok. Tiap kelompok dikepalai oleh seorang kepala. Kelompok kesatu kuberi nama kelompok Harimau. Kepala kelompok memakai nama harimau Gembong. Anggauta kelompok juga memakai nama jenis harimau, Harimau loreng, tutul, hitam, kumbang, putih, belang, kuning. burik dan gundul."

"Lho, mana ada harimau burik ?" seru mereka.

"Adik yang itu, karena mukanya bopeng, terpaksa kuberi nama harimau bunk. Dan yang itu karena kepalanya gundul, harus disebut harimau gundul. Ini hanya nama untuk membedakan saja." jawab Ah Liong.

"Kelompok kedua pakai nama burung. Pemimpinnya bernama Rajawali, anggautanya pakai nama garuda, elang, camar, kukukbeluk, kakaktua, bangau, alap- alap. gagak dan kuntul. Dan aku sendiri tetap pakai nama jenderal Kuncung."

"Jenderal, mana kunsu ?" tanya mereka.

"O, ya, celaka" seru Ah Liong, "kunsu hilang. Dia tak berada di markas."

"Aneh, kemana saja larinya ?"

"Itulah kalian yang menjadi gara2 "

"Maaf, jenderal, kami akan berusaha untuk mencarinya," seru anak? itu.

"Baik," kata Ah Liong, "sekarang kita mulai bekerja. Siapa diantara kalian yang punya bedak dan angus di rumah ?"

"Aku ............... aku . . ." teriak beberapa anak. "Dan siapa yang punya gincu merah ?"

"Aku," seru seorang anak. "Nah, kalian boleh pulang dan ambil. Bawalah kemari bedak, angus dan gincu."

Beberapa anak segera lari. Tak berapa lama mereka kembali dengan memhawa yang diperintahkan Ah Liong.

"Kita akan membentuk barisan setan," kat Ah Liong, "setiap orang harus berbedak dan beri contreng angus dan gincu. Nab, lihatlah aku," A Liong terus memberi contoh. Ia melumuri mukanya dengan pupur lalu mencontreng- contreng dengan angus hitam dan gincu merah.

"Nah, kalian lakukan seperti aku," perintahnya.

Tak berapa lama barisan anak2 itu telah berubah menjadi barisan setan. Muka mereka berbedak putih dan bercontrengan hitam merah.

Setelah itu Ah Liong suruh mereka siap membawa tabung berisi tawon dan semut merah, "Kita terang tempat persediaan ransum mereka dan angkut semua ransum kedalam kota."

"Kelorrpok Harimau yang menyerang dan kelompok Rajawali yang menyerbu dan mengangkuti ransum," .seru Ah Liong.

Begitulah setelah semua persiapan beres, berangkatlah pasukan setan2 kecil itu menyusup ke-dalam kubu musuh.

Mereka terkejut ketika mendengar suara gemuruh dari pertempuran.

"Hm, ransum tentu ditaruh dibagian belakang dari kubu. Lebih baik aku mengitari pertempuran dan menuju ke belakang." pikir Ah Liong.

Ah Liong membawa pasukannya mengitari ke kiri. Beberapa waktu kemudian ia melihat sekelompok prajurit yang berlarian mendatangi. "Hai, kawanan setan !" teriak mereka ketika melihat barisan anak2 itu.

Malam itu gelap, kedua belah fihak tak dapat membedakan satu sama lain. Kelompok prajurit itu terkejut sekali karena melihat pemandangan yang mengerikan! Berpuluh setan2 kecil berlompatan kian kemari menyongsong mereka. Dan tahu2 kawanan setan itu terus menaburkan bum-bung bambu kearah mereka.

"Hai .. . . aduhhhh.............. apa ini? aduhhh . , ." serentak terdengarlah kelompok prajurit itu menjerit-jerit dan berjingkrak-jingkrak. Kemudian mereka lari tunggang langgang dan menjerit-jerit histeris .. .. .

"Bagus," seru Ah Liong, "hayo kita maju terus."

Entah berapa jauh mereka menyusup ke dalam kubu pertahanan musuh. Tiba2 mereka melihat sebuah iring- iringan kereta yang berhenti disebuah hutan. Beberapa belas prajurit menjaga iring-iringan kereta itu.

"Kelompok Harimau, pancing mereka," seru Ah Liong.

Sepuluh anak2 yang tergabung pada kelompok Harimau segera berhamburan maju dan menari-nari seraya berlompatan. Ada juga yang berjumpalitan.

"Bah, apa itu?" seru prajurit2 yang menjaga iring-iringan kereta itu.

"Mahluk an . . . eh . . . setan . . . " teriak beberapa prajurit.

Hampir kawanan prajurit itu menyingkir tetapi kepala prajurit yang berkumis lebat membentak, "Jangan takut. Kita serang mereka!" Dia sendiri terus menyambar tombak dan maju menyerang. Kawanan setan kecil itu lari dan dikejar. Tak berapa lama mereka kembali lagi menghampiri tempat kawanan prajurit penjaga tadi.

"Nah, mana sersan kita tadi?" seru mereka.

Yang mengejar kawanan setan kecil tadi adalah seorang sersan prajurit Ceng yang bertugas menjaga perbekalan. Iring-iringaa kereta itu adalah ransum yang baru saja tiba. Kereta2 itu ditempatkan disebuah hutan dan dijaga oleh duapuluh prajurit bersenjata.

"Takut apa. kita serang kawanan setan itu," kata seorang prajurit yang bertubuh kekar. Dia serentak maju menyerang. Kawanan setan itu lari huyar dan dikejar.

Tak lama kemudian kembali kawanan setan itu muncul pula. Sedang prajurit bertubuh kekar tadi, seperti halnya dengan sersan mereka juga tak kelihatan batang hidungnya.

Kawanan serdadu Ceng yang sudah berkurang dua orang itu serempak berkumpul dan siap menghadapi kawanan setan.

Tiba2 dari belakang, bermunculan pula kawanan setan yang langsung menyerang mereka. "Uh . . . apa ini . .. ? "

"Aduhhhh . . . hai, aduhhhh .. .. mati aku . . . semut .. . aduhhh . .. semut . . . " serempak terdengarlah jerit teriakan dari kawanan prajurit Ceng itu. Dan mereka tak sempat mengurus kawanan setan itu lagi karena harus sibuk niengusap dan mencabuti semut2 yang hinggap pada muka, leher dan baju mereka. Bahkan ada yang kelabakan karena perutnya kemasukan semut.

Masih ada yang celaka lagi ketika mereka mendengar bunyi dengung yang bergemuruh dan tahu2 muka mereka disengat tawon. Wah, wah, rasanya siksa yang paling hebat di dunIa adalah seperti yang mereka alami saat itu. Tak ampun lagi, kawanan prajurit Ceng itu terus lari tunggang- langgang. Mereka tak menghiraukan suatu apa lagi .....

"Bagus, hayo bawa kereta2 ini kedalam kota," perintah Ah Liong.

Ada sepuluh kereta jumlahnya, penuh dengan muatan beras dan gandum. Ah Liong suruh barisan kelompok Rajawali mengendarai kereta menuju ke pintu kota. Sedang dia bersama kelompok harimau lalu membakar hutan itu.

Memang kacau balau keadaan kubu pertahanan pasukan Ceng saat itu. Mereka diserang dari muka, samping kanan kiri dan belakang. Mereka tak tahu berapa besarkah jumlah pasuka Beng yang menyerang. Karena penyerangan itu dilakukan pada malam hari sehingga sukar untuk menghadapi. Memang merekapun melepas anakpanah tetapi hanya untung-untungan saja karena pasukan Beng yang menyerang itu sama mengenaka pakaian hitam.

Dan lebih terkejut ketika mereka melihat di bagian belakang kubu telah timbul kebakaran. Perwira yang memimpin pasukan Ceng segera memerintahkan untuk menarik pasukannya mundur sampai sepuluh li jauhnya. Disana mereka menyumin kekuatan, siap hendak menghadapi serangan. T'ctapi ternyata musuh tak kunjung datang.

Hasil kemenangan pasukan gerilya yang mengacau kubu pertahanan musuh, telah disambut dengan gembira oleh rakyat Yang-ciu. Tetapi yang paling mendapat sambutan hangat sendiri adalah ketika sepuluh buah kereta penuh berisi ransum menerobos masuk ke dalam kota.

"Hai, pengendaranya setan cilik!" teriak rakyat ketika pada fajar hari itu mereka melihat iring-iringan kereta menuju ke markas besar mentri Su Go Hwat. Penjaga markas menghadang ketika Ah Liong hendak masuk, "Siapa kalian?"

"Aku hendak menghadap Su tayjin." "Engkau manusia atau setan?"

"Hus, aku ini manusia seperti engkau."

Tetapi karena penjaga belum kenal siapa Ah liong, mereka tetap menntangi. Ah Liong jengkel juga, "Ringkus .

. . ! " ia memberi perintah kepada anakbuahnya.

Tetapi ketika anak2 itu hendak maju, penjaga dengan bengis menyongsongkan senjatanya.

"Bikin mereka supaya kapok," perintah Ah Liong pula.

Seorang anak segera menaburkan bumbung bambu dan seketika menjeritlah keempat penjaga itu karena muka dan badannya digigiti semut. Mereka menjerit-jerit dan berjingkrak-jingkrak.

"Ah Liong, mengapa engkau?" tiba2 dari dalam markas muncul Su tayjin yang diiring oleh Huru Hara. Melihat muka Ah Liong bercontrengan seperti setan, Huru Hara terkejut. Lebih kaget lagi ketika ia melihat prajurit2 penjaga itu menjerit-jerit dan berjingkrak-jingkrak seperti orang kerangsukan setan.

"Engkoh Hok, aku hendak menghadap Su tayjin, tetapi penjaga ini melarang. Apa boleh buat mereka dikerjai anakbuahku," kata Ah Liong.

"Lho, mengapa muka mereka merah2 dan bingung tak keruan begitu?" tegur Huru Hara.

"Mereka diserang oleh semut merah."

"Ah Liong, jangan ngacau!" bentak Huru Hara. "Tak perlu marah, Loan Thian Te," cegah Su tayjin, "aku hendak bertanya kepada adikmu Ah Liong, mengapa pagi2 begini engkau databg kemari dengan muka bercontrengan seperti setan.

"Hamba hendak menetapi janji kepada tayjin," sahut Ah Luang.

"Apa maksudmu?" Su tayjin terkejut..

"Hamba hendak menyerahkan ransum musuh yang telah hamba rampas."

"Mana?"

Sambil menunjukkan pada sepuluh kereta di halaman, Ah Liong menerangkan, "Itulah tayjin.’

“Sepuluh buah kereta itu?" Su tayjin makin Terkejut. "Benar tayjin."

"Loan Thian Te, coba periksalah apa isi kerta itu," perintah Su tayjin.

Huru Hara cepat menghampiri kereta dan membuka isinya satu per satu. Mau tak mau matanya melotot heran juga.

"Tayjin, memang benar sepuluh kereta itu berisi beras dan gandum," ia melapor.

"Ah Liong, bagaimana engkau mampu merebut ransum sekian banyak?" mentri Su benar2 heran.

Ah Liong menceritakan bahwa dengan membawa duapuluh pasukan anak2 kecil ia berhasil nyusup ke bagian belakang kubu pertahanan musuh dan secara kebetulan dapat melihat sepuh buah kereta ditaruh dalam hutan dan dijaga oleh berpuluh prajurit. "Hamba serang mereka sehingga mereka lari tunggang langgang semua," Ah Liong mengakhiri ceritanya.

"Apakah prajurit musuh tidak punya senjata?" "Mereka bersenjata lengkap."

"Mengapa mereka kalah?"

"Tayjin, pasukan hamba mempunyai senjata ganjil. Dengan senjata itu tak pernah kami gagal memukul musuh. Bahkan waktu hendak menyusup bagian belakang daerah pertahanan mereka, bermula pasukan hamba bertemu dengan kelompok prajurit. Hamba perintahkan menyerang sehingga mereka lari terbirit-birit "

"Ah Liong, engkau!" tiba2 Huru Hara ber teriak dan menuding Ah Liong.

Ah Liong terkejut, "Kenapa engkoh Hok?"

"Jadi engkau yang menyerang sekelompok prajurit Itu?" "Benar, karena mereka hendak menghalang pasukanku." "Engkau gila!" kembali Huru Hara berteriak "itulah

prajurit kita sendiri yang mengadakan serangan ke sayap kiri pertahanan musuh. Maka mereka pulang dengan lari terpontang panting tak keruan."

"Celaka teriak Ah Liong, "jadi yang kita serang pertama kali itu adalah kelompok prajritu kita sendiri?"

"Hm."

"Lalu bagaimana mereka sekarang?"

"Mereka seperti anjing gila. Muka dan tubuhnya babak belur dan pakaiannya compang camping."

"Kenapa?" "Karena mereka tak tahan menderita siksa digigiti semut lalu mereka berguling-guling di tanah. Ada yang terjun kedalam lumpur. Ada y telanjang bulat terus terjun kedalam sungai."

"Ah, adikmu tak tahu kalau mereka adalah prajurit kita sendiri," akhirnya mentri Su berkata,

"Tetapi anak itu memang kurangajar, harap tayjin suka memberi hukuman," kata Huru Hara.

"Baiklah," kata mentri Su, "kesalahannya telah ditebus dengan jasanya dapat membawa sepuluh buah kereta berisi ransum. Seluruh rakyat Yang-ciu harus berterima kasih kepada anak2 itu. Kalau tidak, persediaan ransum sudah semakin menipis. Mungkin besok atau lusa. kita terpaksa hanya mendapat jatah makan sepiring bubur."

"Tayjin, apakah nanti malam hamba boleh ke luar mengacau mereka lagi?" tanya Ah Liong.

"Yang jelas hari ini mereka tentu akan melakukan serangan besar," kata mentri Su, "Loan Thian Te, aturlah penjagaan yang kuat untuk menghadapi serangan mereka hari ini."

Loan Thian Te mengiakan dan terus mohon diri.

"Ah Liong, kalian boleh tidur dulu. Nanti malam kalian boleh mengadakan pengacauan lagi,” kata mentri Su.

Ah Liong gembira sekali. Dia mengajak pasukannya pulang beristirahat.

Apa yang diperhitungkan mentri pertahanan Su Go Hwat memang tepat. Hari itu pasukan Ceng mengadakan serangan besar. Tetapi berkat perlawanan rakyat Yang- ciu yang dipimpin Loan Thian Te, dapatlah mereka dipukul mundur. Loan Thian Te melarang pintu kota dibuka. Dia siapkan prajurit diatas sepanjang tembok kota dan menghujani musuh dengan anakpanah. Rakyat disuruh membuat anakpanah.

Berkat disiplin yang keras dari prajurit yang dipimpin Huru Hara, dapatlah serangan pasukan Ceng itu dipatahkan.

Dan pada malam harinya, kembali Ah Liong dengan pasukan barisan Bon-bin mengadakan pengacauan lagi. Lagi2 prajurit Ceng tobat karena mendapat serangan senjata ganjil yani semut merah dan tawon dari barisan setan kecil itu.

Peristiwa setiap malam muncul barisan setan ecil dengan senjata semut merah dan tawon itu cepat tersiar luas di kalangan prajurit Ceng.

"Wah, rupanya mentri Su Go Hwat pandai ilmu gaib dapat mendatangkan barisan setan," kawanan prajurit Ceng sama menduga-duga.

"Ya, memang bukan mustahil. Ada ilmu yang dapat mendatangkan hujan, angin dan setan. Kemungkinan besar mentri Su Go Hwat ahli dalam ilmu itu."

Demikian di kalangan prajurit Ceng makin keras menduga kalau Su Go Hwat menggunaka ilmu setan.

"Kabarnya segala ilmu setan begitu tentu punah kalau disiram dengan darah anjing?" kata seorang prajurit Ceng.

"Ya, benar, tetapi harus anjing hitam mulus atau putih mulus."

"Kabarnya panglima telah mengirim seorang Imam sakti untuk menghancurkan setan jejadian "kata lain prajurit. "Ya, betul, "kata yang lain, "mengapa panglima begitu bersabar sekali? Kalau kita serang secara besar-besaran masakan tak mampu merebut kota Yang-ciu? Bukankah kota itu sudah kita pencilkan dengan hubungan luar?"

"Engkau tak tahu, kawan, "seru seorang prajurit yang lain lagi, "panglima memang sengaja tak  mau menggunakan kekuatan karena panglima ingin mendapatkan mentri Su Go Hwat yang memimpin pertahanan kota Yang-ciu."

"Engkau tak tahu, "sahut prajurit itu," panglima memang menghargai orang yang jujur dan setya. Mentri Su Go Hwat itu seorang mentri yang cakap, jujur dan setya. Sayang raja Beng itu sudah gelap pikirannya karena dipengaruhi oleh mentri2 durna sehingga seorang mentri setya seperti Su Go llwat tak dihargai.

"O,” seru prajurit yang mendengar keterangan Itu, "tetapi sampai kapan kita harus mengepung kota itu?"

"Sebenarnya maksud panglima, kalau rakyat Yang-ciu kehabisan rangsum tentulah akan menyerah. Tetapi tak tahu mentri Su Go Hwat telah menggunakan ilmu gaib untuk menciptakan barisan setan sehingga berhasil merampas kereta ransum kita. Pada hal kereta itu baru saja datang."

"Kabarnya panglima marah kepada pimpinan kita dan tak mau memberi ransum lagi sebagai hukuman," kata prajurit lain.

"Benar," sambut kawannya, "tadi pagi juru masak mengatakan bahwa mulai besok pagi, kita hanya mendapat bubur."

"Lho, mengapa kita yang menderita?" "Karena kita dianggap tak mampu menjaga rangsum maka panglima menjatuhkan hukuma begitu."

"Wah, kalau begitu, kita harus merebut kembali kereta itu."

"Omong sih gampang tetapi kali ini kita benar-henar ketemu batu. Selama dalam peperanga ini, sudah berapa banyak kota yang dapat kita rebut dengan mudah. Tetapi kali ini kita benar2 seperti menghadapi kota baja "

Demikian pembicaraan yang terjadi di kalangan prajurit Ceng. Torgun memang seorang panglima yang bengis dan keras menjalankan peraturan. Tetapi kali ini dengan memberi hukuman tak mau mengasih ransum lagi, telah menyebabkan pasukan Ceng yang sedang mengepung Yang-ciu menjadi turun semangatnya.

Lima hari kemudian, mentri Su memerintahkan Loan Thian Te untuk menyerang. Dengan semangat yang menyala-nyala, pasukan Beng berhasil mengalahkan musuh.

Kemenangan itu telah disambut dertgan girangbira oleh penduduk Yang-ciu. Kota yang bebe'rapa hari yang lalu seperti kota mati, kini tampak hidup kembali: jalan2 penuh dengan penduduk yang menghadiri upacara King-thian- kong atau memanjatkan doa syukur kepada Tuhan Allah.

Memang mentri Su yang melihat penduduk meluap-luap kegembiraan segera bertindak untuk menyalurkan. Kebetulan pada hari itu adalah hari yang ke tujuh setelah Tahun Baru. Hari itu disebut hari King-thian-kong atau Mempersembahkan sujud kepada Allah.

Menurut adat kebiasaan, pada hari itu orang akan mengadakan sembahyangan di luar rumah untuk mempersembahkan sembah sujud dan syukur kepada Tuhan.

Bertempat di lapangan, malam itu rakyat Yang-ciu mengadakan sembahyang bersama kapada Yang Maha Kuasa agar diberi rahmat dan kekuatan dalam mempertahankan kota Yang-ciu.

"Saudara2 sekalian," demikian mentri pertahanan Su Go Hwat memberi amanat, "marilah kita pada malam ini bersama-sama memanjatkan doa syukur kepada Thian bahwa kita telah diberkahi dengan keselamatan dan kemenangan."

Sunyi senyap menyelimuti suasana lapangan ketika mentri Su memimpin upacara berdoa. Tampak suasananya amat khidmat sekali. Suatu pertanda bahwa seluruh rakyat Yaug-ciu benar2 telah menyerahkan diri untuk berbakti kepada negara.

"Saudara2, "sesaat setelah upacara berdoa selesai maka mentri Su berkata pula, "kemenangan yang kita dapat itu, bukanlah suatu kemenanga yang terakhir melainkan hanya murupakan sebagian kecil dari kemenangan untuk menebus kekalahan kita yang jauh lebih besar. Kita telah kehilangan sepertiga bumi kita. Kita masih harus berjuang keras untuk merebut kembali tanah kita yang dirampas musuh itu. Oleh karena itu janganlah kita cepat bergembira atas  kemenangan kita yang sekecil ini "

"Thian hanya memberkati kepada manusia yang mau berusaha keras. Kepada rakyat yang berjuang keras membela negara, Thian pasti memberi ramatNYA. Tetapi kalau kita lemah dan tidak bersatu sehingga dapat dihancurkan musuh, Thianpu takkan menolong kita. Karena itu semua adalah kesalahan kita sendiri. Thian serba murah dan adil. Kita ingin menang, Thian pasti akan merestui asal kita mau berjuang keras, Thian membenci orang yang tak mau berusaha. Maka bersiap-siaplah untuk menghadapi perjuangan yang lebih dahsyat lagi.”

Keesokan harinya, mentri Su menerima kedatangan mata2 yang dikirim ke daerah2 pertempuran bahwa pasukan Ceng telah berhasil menduduki wilayah Shoatang, Holam dan Hopak. "Jika begitu aku harus lekas memindah pasukan ke Su -ciu untuk menjaga kota Coling," pikirnya.

Tetapi sebelum ia mengeluarkan perintah, tiba2 datang utusan dari kotaraja membawa surat dari tay-haksu Ma Su Ing.

Betapa kecewa hati Su Go Hwat ketika membaca isi surat itu. Tak lain hanya suatu ulangan perintah dari tay- haksu Ma Su Ing yang mengatasnamakan baginda, supaya Su Go Hwat lekas berangkat menggabungkan diri dengan jendral Ui Tek Kong, menumpas jenderal Co Liang Giok yang memberontak.

Mentri Su Go Hwat segera mengirim surat balasan yang menyatakan bahwa gerakan Co Liang Giok membawa pasukan ke kotaraja itu tidak bermaksud memberontak melainkan hendak mengadakan pembersihan kepada mentri2 yang tak setya.

Kemudian dalam penutupnya, mentri Su mohon agar baginda berkenan mengirim bala bantuan pasukan untuk menjaga Su-ciu. Apabila Su-ciu sampai jatuh, kotaraja tentu berbahaya.

Disamping itu mentri Su Go Hwat juga mengirim surat kepada tay-haksu Ma Su Ing agar memperhatikan keadaan daerah Kangpak yang makin berbahaya. Su Go Hwat terpaksa menunda rencananya. Ia hendak menunggu kabar dari kotaraja. Malam itu dia masih bergadang duduk di kantor, menghadapi sebuah peta.

Tiba2 ia terkejut mendengar suara langkah kaki orang di luar pintu, "Siapa?." tegurnya.

"Hamba tayjin, "terdengar sebuah penyahutan dibarengi dengan tersembulnya seseorang, "Engkau Loan Thian Te?"

"Benar. tayjin,"

"Mengapa begini malam engkau belum tidur?” "Habis meronda, tayjin."

"O, silakan duduk,” kata Su Go Hwat, "apa keperluanmu datang kepadaku?"

"Ada sesuatu yang hendak hamba bicarakan dengan tayjin."

"O, soal apa?"

"Siapakah yang mengepalai pasukan pertahanan di Yang-ciu ini?"

"Bok Lim ciangkum yang dulunya menjadi pembantu jenderal Ko Kiat. Mengapa?"

"Begini tayjin, "kata Huru Hara, "akhir2 hamba lihat dia makin tak bersemangat. Kadang dia tak mau bertindak apabila tak mendapat perintah."

"Hm," Su Go Hwat mengerut dahi, "lalu bagaimana kesanmu mengapa dia begitu ?"

"Tayjin, manusia itu tak lepas dari nafsu. Terutama kalau mengenai harta dan kedudukan, mereka tentu akan berjuang mati-matian," kata Huru Hara, "demikian pula dengan Bun Lim. Adalah karena tayjin terlalu memanjakan hamba dengan kekuasaan sehingga dia tampak kecewa. Dalam hal ini sebenarnya kedudukan hamba hanya-lah sebagai pembantu tayjin tetapi yang mengepalai pasukan adalah Bun Lim. Maka scbaiknya tay-jin dapat memberi tugas kepadanya …"

"Ah, itu soal nama saja. Tetapi dalam kaadaan darurat, siapapun dapat memegang pucuk pimpinan demi kebaikan," tukas mentri So Go Hwat.

Tetapi Huru Hara tetap minta agar mentri Su Go Hwat memberi tugas yang penting kepada Bun Lim. Su Go Hwatpun meluluskan.

"Tayjin," kata Huru Hara pula, "hamba perihatin sekali terhadap diri tayjin. Tayjin tiap malam berjaga sampai larut malam dan pagi2 sudah bangun. Apakah hal itu takkan mengganggu kesehatan tayjin ?"

Su Go Hwat terkesiap. Dipandangnya Huru Hara sejenak.

"Baru pertama ini ada orang yang memperhatikan diriku," pikirnya. Tak nyana seorang pemuda yang nyentrik ternyata memiliki hati budi yang mulia dan kesetyaan yang luhur, "Dia tak mau menusuk perasaan Bun Lim dan diapun menaruh perhatian kepada kesehatanku . . , , "pikir mentri Su.

"Terima kasih Loan Thian Te, "kata mentri Su,  "memang disinilah letak tanggung-jawabku sebagai, seorang manusia. Masa ini kita sedang tuntut oleh rakyat dan negara untuk menunaikan kewajiban kita. Dimana negara sedang menghadapi serangan musuh, dimana rakyat kita sedang menangis dalam kesengsaraan lapar dan kesakitan, apakah aku dapat enak2 mendengkur di tempat tidur? Tidak, Loan Thian Te, aku sudah terlanjur menjadi seorang mentri. Dan jabatan mentri itu bukan suatu kebanggaan melainkan suatu kepercayaan yang menuntut tanggung jawab. Sebagai mentri aku memenuhi tanggung jawabku kepada rakyat. Apa arti kesehatanku dibanding dengan keselamatan jiwa beratus ribu rakyat?"

Huru Hara mengangguk-angguk. Dalam hati dia benar2 kagum dan tunduk kepada Su Go Hwat.

"Loan Thian Te," kata mentri Su Go Hwat pula. "janganlah kita kecewa dan menyesal karena ditakdirkan hidup pada masa ini. Bahkan kebalikannya kita harus berbangga hati karena kita menjadi manusia pada masa ini. Manusia yang beruntung memikul beban untuk ikut serta menentukan nasib negara dan bangsa, ikut menuliskan sejarah. Tidakkah kita berbangga karena mendapat kesempatan itu? Namun kebanggaan itu mempunyai dua resiko. Kita nanti akan menjadi tokoh sejarah yang dicaci- maki oleh anak cucu kita, atau akan menjadi tokoh pujaan yang dihormati mereka? Hal itu tergantung dari sikap dan tindakan kita sekarang!"

Huru Hara mengangguk-angguk, "Terima kasih atas petunjuk tayjin. Akan hamba catat kata2 emas tayjin itu dalam hati sanubari hamba."

"Loan Thian Te," tiba2 Su Go Hwat berkata pula, "siapakah sesungguhnya engkau ini?"

Huru Hara terkejut mendengar pertanyaan yang tak tersangka-sangka itu. Ia tahu mentri Su Go Hwat itu seorang yang jujur dan setya maka dtapun harus bersikap jujur juga.

"Hamba sebenarnya orang she Kim, tayjin." "Nama?"

"Yu Yong?" "Siapa ayahmu?" "Kim Thian Cong . .

"O. Kim tayhiap itu ayahmu?" tiba2 mentri Su Go Hwat berseru kaget.

"Apakah tuan kenal dengan ayah hamba?"

"Pernah bertemu muka sekali, ketika dia menolong aku dari serangan kawanan penyamun, sejak itu aku tak pernah bertemu lagi."

"Itu waktu aku sedang dalam perjalanan untuk melakukan inspeksi di daerah. Tiba2 aku diserang oleh sekawanan brandal berkuda. Untung Kim tayhiap muncul dan dapat menghajar kawanan penjahat itu. Ah, tak kira kini setelah hampi empatpuluh tahun. aku dapat bet temu dengan puteranya."

Huru Hara menghaturkan terima kasih atas perhatian mentri Su kepada ayahnya. "Bagaimana keadaan ayahmu?" tanya menteri Su.

"Ayah sudah meninggal."

"O, "desuh mentri Su Go Hwat, "ah, sayang aku tak mendengar hal itu sehingga tak dapat datang untuk menghadiri upacara pemakamannya..

Kembali Huru Hara menghaturkan terimasih atas perhatian mentri itu,

"Kim hiante. berapakah umurmu sekarang,” kata mentri Su Go Hwat yang berganti sebutan dengan memanggil Kim hiante kepada Huru Hara.

"Duapuluh tahun, tayjin."

"Wah, tetapi engkau tampaknya lebih tua dari umurmu, hiante. Eh, tetapi mengapa engkau mengenakan dandanan yang begitu nyentrik?" "Sudah terlanjur, tayjin,” kata Huru Hara "dulu orang menamakan diri hamba itu blo‘on dan memberi gelar Pendekar Blo’on. Karena itu hamba pun mengenakan dandanan seperti orang bloon begini."

"Tetapi kulihat engkau tidak blo`on, Bahkan pikiranmu cerdas sekali, hiante. Mengapa engkau ini mau menggunakan namamu yang aseli saja?"

"Ah. apakah artinya nama itu, tayjin? Biarlah hamba menggunakan nama itu karena orang sudah terlanjur memberikannya."

"Apakah hiante sudah menikah?" "Belum."

"Bertunangan?"

"Juga belum,” kata Huru Hara lalu menghela napas, "soal itu masih jauh dari pikiran hamba. Dan bukankah sekarang negara sedang menghadapi bahaya?"

"Benar. hiante,” kata mentri Su. "tetapi perjodohan itu tiada sangkut pautnya dengan perang. Artinya, kalau memang sudah terikat janji, harus-lah dilaksanakannya,"

"Hamba merasa beryukur karena belum mengikat suatu janji, Dan hambapun berjanji takkan memikirkan soal itu sebelum negara aman."

Su Go Hwat menganguk, "Ya, benar anakku Su Tiau Ing juga keras kepala. Sudah beberapa kali hendak kujodohkan tetapi dia tetap menolak sehingga sampai sekarang dia belum mempunyai tempat "

Huru Hara agak heran mengapa mentri mengemukakan puterinya dihadapannya. Namun dia tak berani melangkah jauh untuk menilai ucapan mentri itu. "Hiante. "mentri Su menghela napas, "dalam jeman perang seperti ini, nasib orang sukar ditentukan, Yang jelas keadaan kita memang sangat terancam, Terutama diriku. Aku harus menghadapi serangan musuh dari luar yang kuat, juga menerima tekanan dari dalam. Tindakan tay- haksu Ma Su Ing sering berlawanan dengan keinginanku."

"Tayjin,” sambut Huru Hara, "apakah toyjin tak dapat menghadap baginda dan menghaturkan laporan tentang keadaan negara kita yang sesungguhnya?"

Su Go Hwat geleng2 kepala, "Sudah kasip hiante. Pengaruh tay-haksu sudah sangat dalam pada baginda Hok Ong. Baginda sudah terlampau percaya kepada tay-haksu. Bukankah hiante tahu apa sebab sebagai mentri pertahanan aku tidak berada di kotaraja?"

"Tentulah tay-haksu yang sengaja merencanakan agar tayjin berada diluaran, "kata Huru Hara.

"Benar," kata mentri Su, "dengan demikian tay-haksu tidak ada yang merintangi lagi untuk mengusai pemerintahan kerajaan. Ah, kerajaan Beng benar2 suram

..... "

"Tayjin. "kata Huru Hara, "apapun yang akan terjadi, biarlah terjadi. Tetapi kita tetap harus menunaikan wajib kita untuk membela negara. Akan kupersembahkan jiwa ragaku untuk membantu perjuangan tayjin."

"Terima kasih, hiante," kata mentri Su, "diriku sendiri memang sudah kuberikan kepada rakyat dan negara. Tetapi aku tetap seorang manusia. Kadang aku menyadari akan kelalaianku terhadap keluarga, terutama terhadap Tiau Ing. Anak itu sejak kecil sudah ditinggal mati mamanya dan aku terlampau sibuk dengan urusan pemerintahan sehingga hampir tak sempat untuk memberikan perhatian kepada anak itu. Kini dalam keadaan yang gawat, entah bagaimana, tiba2 saja aku teringat dan kasihan kepada anak itu "

"Telah kukatakan bahwa dalam jaman perang, nasib kita sukar dipastikan. Tetapi menurut perasaanku, rasanya keadaan kita ini amat berbagaya. Aku telah berusaha keras untuk menolong dan menyelamatkan negara kita dari kehancuran, tetapi sampai saat ini belum berhasil bahkan malah lebih buruk keadaannya. Aku sendiri sudah tak menghiraukan bagaimana nasib diriku karena dalam perjuangan ini aku sudah membekal tekad yang bulat untuk menyerahkan jiwa ragaku. Dan aku seperti mendapat firasat bahwa rasanya aku tak dapat menemani anak itu..............

."

"Tayjin," kata Huru Hara, "Su siocia seorang siocia yang cerdik dan bijaksana. Siocia tentu mampu menjaga diri.”

Mentri Su Go Hwat menghela napas kemudian berkata lagi dengan nada yang tandas, "Loa hiante, aku hendak mengajukan sebuah permintaan kepadamu, apakah engkau meluluskan ?"

Huru Hara terkejut dan gopoh menyambut "Tentu saja hamba akan melakukan apa yang tay-jin perintahkan."

"Begini hiante," kata mentri Su, "andaikata terjadi sesuatu pada diriku, maukah engkau menjadi pelindung Tiau Ing ?"

Huru Hara terkejut. Samar2 ia dapat menangkap apa yang dimaksud mentri itu. Apa arti seorang pelindung dari seorang gadis kalau tidak sebagai suaminya ? Ah .....

Namun Huru Hara amat mengagumi peribadi Su Go Hwat. Ia tahu bagaimana mentri itu telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk negara. Apabila dia menolak, tentulah mentri itu akan kecewa dalam hati. Dan keresahan pikiran, akan mempengaruhi pikiran mentri itu dalam menunaikan bhaktinya terhadap negara.

"Apa salahnya kuterima permintaan itu? Menjadi pelindung, belum tentu harus menjadi suaminya. Yang penting aku akan melindungi nona Su dari segala bahaya. Soal lain2nya tak perlu kupikirkan, akhirnya Huru Hara memutuskan.

"Baik, tayjin," katanya, "apabila masih hidup, hamba pasti akan melindungi Su siocia."

"Terima kasih, hiante," kata Su Go Hwat.

=oo00oo=

Keesokan harinya, terjadilah suatu kejutan. Hari itu Su Hong Liang muncul dan menghadap mentri Su Go Hwat.

"Siok-hu, siautit hendak menyerahkan diri untuk menerima hukuman," kata pemuda itu kepada siok-hu (pamannya). Dia membahasakan dirinya dengan siautit (keponakan).

Mentri Su terkejut, "Apa yang engkau lakukan ?"

"Siautit yang tak berguna ini dalam melawan sergapan pasukan Ceng telah dapat ditangkap dan hampir saja akan dibunuh," kata Su Hong Liang, "karena disiksa akhirnya siautit terpaksa mengaku siapa diri siautit. Mendengar itu seorang perwira segera mengirim laporan kepada panglima Torgun. Tak berapa lama siautit dibawa menghadap ke markas panglima itu. Panglima Ceng memperlakukan siautit dengan baik sekali "

"Hm," dengus Su Go Hwat. "Panglima itu membebaskan siautit dan minta tolong kepada siautit supaya menghaturkan surat kepada Siokhu," kata Su Hong Liang lebih lanjut.

"Surat ?"

"Ya," kata Su Hong Liang, "surat peribadi panglima untuk siokhu, katanya."

"Mana surat itu ?"

Su Hong Liang mengeluarkan sebuah sampul dari kantong baju dan diberikan kepada Su Go Hwat.

Sebelum membuka, Su Go Hwat menitahkan prajurit supaya memanggil Huru Hara. Tak lain kemudian pemuda itu datang. Dia terkejut melihat kehadiran Su Hong Liang.

"Loan Thian Te," kata mentri Su, "panglima Ceng telah mengirim surat kepadaku."

"O," Huru Hara tertegun, "apakah panglima itu mengirim utusan kemari ?"

"Hong Liang yang membawanya."

Sudah tentu Huru Hara terkejut. Tetapi belum ia sempat bertanya, mentri Su sudah mengulang apa yang dilaporkan Su Hong Liang tadi. Diam2 Huru Hara merasa ganjil namun ia belum berani mengatakan suatu apa.

"Tayjin, bagaimanakah bunyi surat dari panglima Ceng itu ?" tanyanya.

Mentri Su mengatakan belum membacanya. Ia memanggil Huru Hara agar ikut mendengarkan apa isi surat dari panglima Ceng itu.

Kepada Su Go Hwat tayjin Mentri yang setya. Lama nian aku mengagumi kepandaian dan kemasyhuran namamu, entah kapan kita dapat bertemu.

Kami dengar sekarang di daerah Kim-leng ada orang yang hendak berdikari tak mau tunduk pada kerajaan. Ini salah.

Kawanan penjahat yang pemberontak membunuh raja dan rakyat, bukan sekali dua kali terjadi dalam sejarah Tiong-goan.

Kami tergerak atas ratap tangis Go Sam Kui yang hendak menyelamatkan kerajaan maka kami pun segera bergerak untuk membasmi kawanan pemberontak. Kamipun telah mengubur jenasah baginda Cong Ceng dengan upacara kebesaran dan memperlakukan para keluarga raja serta jenderal2 dengan baik.

Kotaraja Pak-khia bukan kami rebut dari kekuasaan kerajaan Beng tetapi dari tangan kaum pemberontak. Kami bermaksud hendak menyelamatkan negara dan rakyat Han dari penindasan kaum pemberontak.

Tetapi bukannya kami menerima terima kasih sebaliknya setelah kaum pemberontak dapat kami basmi, kalian terus menduduki daerah Kang lam dan menyerang kami.  Adilkah ini?

Sebenarnya kawanan pemberontak itu hanya memusuhi kerajaan Beng, bukan kepada pemerintah kami. Namun demi menegakkan kebenaran dan kesejahteraan, kami terpaksa menindak mereka.

Tetapi kini di daerah selatan muncul seorang raja baru. Ini berarti di dunia terdapat dua matahari, dan jelas hendak memusuhi kami. Jika mau menggunakan kekerasan, dengan mudah dapat menghancurkan mereka. Maka dengan ini kami menghimbau kepadamu agar bersedia membantu pemcrintah kami. Kuharap engkau dapat mempertimbangkan dan cepat memberi keputusan. Nasib kerajaan di selatan it tergantung ditangan tuan .....

Dengan panjang lcbar panglima Torgun menguraikan alasan kerajaan Ceng menduduki kotaraja Pakkhia,  Tak lain hanyalah untuk menolong rakyat Han dari pengacauan kaum pemberontak. Dan terakhir panglima itu minta agar Su Go Hwat mau bekerja pada mereka.

Memang apa yang dikatakan panglima Ceng itu benar. Kalau mau menggerakkan pasukannya secara besar- bcsaran, tentulah mereka dapat merebut kotaraja Lam-kia.

Su Go Hwat tahu jelas akan hal itu. Dan tahu pula ia untuk memperhitungkan untung ruginya kalau. dia tetap tak mau tunduk kepada kerajaan Ceng.

„Hm,” dengus mentri Su setelah membaca habis surat dari panglima Torgun, "Torgun terlalu memandang rendah diriku."

"Apa maksud tayjin? "tanya Haru Hara."

"Dia mengira aku tentu akan ketakutan dan tunduk pada kerajaan Ceng. Dia menilai diriku sebagai seorang manusia yang takut mati dan temaha hidup."

Huru Hara terkesiap.

"Tayjin, bagaimana keputusan tayjin?" tanyanya. "Tanyalah kepada dirimu. Apa yang hatimu berkata,

itulah suara hatiku,” balas mentri Su,

"Jika panglima musuh dapat menghargai tayjin masakan kami rakyat Han tidak dapat memuliakan tayjin? Tidak tayjin," seru Huru Hara dengan tandas, "salah seorang rakyat Han yang sangat menghargai tayjin adalah hamba. Hamba akan menyerahkan jiwa raga hamba untuk membantu tayjin!"

Terdengar Su Hong Liang berbatuk-batuk.

Mentri Su berpaling dan menegur, "Bagaimana pendapatmu Hong Liang ?"

"Siautit setuju sepenuhnya atas pendirian siokhu." kata Hong Liang, "tetapi idinkanlah siautit menghaturkan pandangan siautit yang dangkal.”

“Ya.”

"Aku pernah membaca sejarah bahwa dulu pada waktu jaman Sam Kok (Tiga negeri) Kwan Kong, panglima yang paling gagah dan setya terpaksa mau menyerah pada musuh pada waktu telah terkepung, Dia mau menyerah tetapi dengan syarat apabila bertemu dengan kedua saudara angkatnya, dia akan segera menggabungkan diri pada mereka lagi. Musuh yang amat mengagumi dia, terpaksa menurut. Akhirnya Kwan Kong dapat juga melaksanakan keinginannya itu.”

"Apa yang dapat kita tarik dari pelajaran sejarah itu yalah bahwa keberanian dan kegagahan itu, tidak boleh hanya secara membabi buta, melainkan harus memakai pertimbangan yang bijaksana. Gagah secara ngawur, bukanlah kegagahan tetapi kekonyolan "

Berhenti sejenak, Su Hong Liang melanjutkan lagi. "Keadaan siokhu saat ini kuibarat seperti pahlawan Kwan Kong saat itu. Musuh sangat menghargai siokhu, mengapa siokhu tidak mengajukan syarat apabila siokhu mempertimbangkan untuk menghentikan perlawanan." 

"Hong Liang, engkau berani berkata begitu!” serentak mentri Su Go Hwat berteriak marah. Su Hong Liang terkejut namun cepat ia tenangkan diri, "Maaf, siokhu, sekira kata2 siautit tak berkenan di hati siokhu. Siautit hanya mengatakan apabila siokhu mempunyai pertimbangan untuk melakukan rencana lain daripada dengan kekerasan."

"Musuh menyerang, harus kita hajar. Apakah perlu ada lain cara lagi ?"

"Siokhu," kata Su Hong Liang tenang, "waktu berbicara dengan siautit, panglima Torgun mengatakan bahwa dalam menghadapi musuh itu tak perlu harus selalu dengan kekerasan. Ada katanya tanpa mengadakan pertumpahan darah, kita dapat mengalahkan lawan. Tergantung dari kecerdikan dan kebijaksanaan kita. Berdasarkan itu maka siautit tadi telah mengemukakan pendapat. Namun apabila siokhu tak berkenan, siautitpun takkan memaksa."

"Hm," gumam mentri Su. Kemudian ia bertanya kepada Huru Hara, "Loan Thian Te, apakah engkau mempunyai pandangan lain ?"

"Tidak ada tayjin," kata Huru Hara, “kecuali hanya satu. Panglima Ceng boleh menyelimuti tindakannya menduduki tanah negara kita dengan alasan untuk mengusir kawanan paroberontak dan menyelamatkan rakyar. Kalau memang begitu, mereka tetap masih menduduki kotaraja Pak-khia ? Mengapa tak mau menyerahkan kembali kepada kerajaan Beng ?"

Mentri Su Go Hwat mengangguk kemudian melirik Su Hong Liang, "Nah, engkau dengar tidak ?"

"Siautit mendengar jelas," sahut Hong Liang, “tetapi kalau tak salah. panglima Torgun sudah mengatakan dalam suratnya tentang wilayah kita yang didudukinya itu. Bahwa mereka tidak merebut tanah itu dari kerajaan Beng melainkan dari kawanan pemberontak Li Cu Seng. "Kan sama saja ?" seru mentri Su.

"Ya, memang bagi kita sama," kata Hong Liang, "tetapi bagi mereka lain."

"Apanya yang lain ?"

"Mereka mengatakan tidak merebut tanah kerajaan Beng dari tangan pemerintah Beng tetapi merebut tanah yang diduduki kaum pemberontak.”

"Bukankah sama halnya ?"

"Agak berbeda sedikit," sahut Hong Liang, "dari segi moral, mereka merasa tidak mempunyai kesalahan dengan kerajaan Beng bahkan mereka merasa telah memberi bantuan untuk mengusir kaum pemberontak. Dari segi hukum, kalau kerajaan Beng hendak merebut kembali buminya, sebaiknya merebut dari tangan kaum pemberontak, bukan kepada kerajaan Ceng."

"Tetapi kaum pemberontak Li Ca Seng sudah mati," seru mentri Su.

"Bagi mereka, itu persoalan kerajaan Beng dengan kaum pemberontak, bukan persoalan mereka dengan .kerajaan Beng," jawab Su Hong Liang dengan tatas.

"Eh,, Hong Liang, mengapa engkau dapat memberi jawaban yang begitu lancar ?" tegur mentri Su.

"Karena siautit pernah berdebat dengan panglima Torgun mengenai soal ini. Siautit bertanya seperti pertanyaan siokhu dan panglima Ceng itu menjawab seperti yang siautit jawab sekarang ini.”

"Mengapa engkau tak mengajukan pertanyaan lagi," tiba2 Huru Hara menyelutuk, "apa sebab kerajaan Ceng masih hendak menyerang kerajaan Beng yang sudah pindah ke Lam- kia ?" Su Hong Liang tertawa sinis, "Mengapa tidak ? Pikiranmu itu sudah termasuk dalam pertanyaan yang kuajukan kepadanya."

"Lalu apa jawabnya ?" tanya Huru Hara.

"Dia mengatakan bahwa kerajaan Beng masih diserang musuh. Kawanan pemberontak masih menguasai kerajaan Beng."

"Dimana ?" Huru Hara terkejut.

"Dipusat pemeriatahan masih terdapat banyak musuh yang menggerogoti kerajaan."

"Mentri2 dorna ?"

"Terserah bagaimana engkau hendak menafsirkan, karena engkau kan pintar ?" balas Su Hon Liang dengan nada mengejek.

"Hong Liang," seru mentri Su, "bagaiman tanggapanmu waktu mendengar panglima Ceng berkata begitu ?"

Hong Liang agak kebingungan namun ia menjawab iuga, "Siautit diam saja. "

"Hm," dengus mentri Su lalu bertanya kepada Huru Hara," bagaimana pendapatmu hiante.?”

"Memang yang dikatakan panglima Ceng itu benar," jawab Huru Hara, "kerajaan Beng memang masih dicengkeram oleh musuh yang berupa kawanan mentri dorna."

"O. engkau membenarkan tindakan orabg Ceng yang hendak menyerang kita ?" seru mentri Su terkejut.

"Hamba hanya mengatakan bahwa yang dinyatakan panglima Ceng itu memang suatu kenyataan. Tetapi hamba tidak membenarkan tindak mereka terhadap kita. tayjin." "Jelaskan pendirianmu."

"Walaupun tubuh pemerintahan kerajaan ini digeragoti kawanan dorna, tetapi orang Ceng tidak berhak ikut campur. Itu urusan kita sendiri. Kita dapat membereskan sendiri,"

"Tepat hiatit," kata mentri Su, "pendirianku juga begitu.

Nah, bagaimana engkau Hong Liang.

"Mereka masih tetap mempunyai alasan lagi "Apa? "tanya mentri Su.

"Dalam surat, panglima Ceng mengatakan bahwa dia mengerahkan pasukan untuk menyerang kotaraja Pak-khia adalah atas permintaan dari Go Sam Kui. Menurut katanya, Go Sam Kui meminta agar kerajaan Ceng menyelamatkan rakyat dan kerajaan Beng dari musuh yang menghianati, mereka tetap akan melanjutkan tindakannya sesuai dengan permintaan jenderal Go Sam Kui.”

"Itu alasan yang dicari-cari, Hong Liang! seru mentri Su, "kerajaan Beng bukan milik Go Sam Kui, dia tak berhak meminta bantuan orang Ceng,"

"Tetapi kenyataannya orang Ceng sudah bertindak mengusir kawanan pemberontak dari kotaja Pak-khia," bantah Hong Liang.

"Oleh karena itu kita akan menuntut supaya mereka menyerahkan kembali daerah kita yang di dudukinya itu," balas mentri Su.

"Mereka mengatakan kalau tidak merebut dari kerajaan Beng tetapi dari tangan kaum pemberontak,” masih Su Hong Liang tak mau kalah. "Baik, jika mereka beranggapan begitu. akan kita rebut dengan kekerasan. "seru mentri Su, "tepi mengapa mereka masih ingin merebut Lam-khia lagi.

"Mereka anggap kawanan pemberontak itu masih banyak yang bercokol di Lam-kia."

"Siapa suruh mereka mengurusi hal itu ? Kalau yang minta bantuan Go Sam Kui, suruh mereka berurusan dengan Go Sam Kui," mentri Su makin sengit.

"Tayjin, dimanakah jenderal Go Sam Kui sekarang ini ?" tanya Huru Hara.

"Dia sudah mendapat pangkat dan diangkat sebagai jenderal oleh kerajaan Ceng."

"Jika begitu," Huru Hara berpaling kearah Su Hong Liang. "Go Sam Kui itu penjual bangsa. Kita berhak mengambil kembali bumi kita yang diduduki orang Ceng."

"Bukankah hal itu sudah berlangsung sampai sekarang. Kalau kita mampu mengambil. orang Ceng tentu sudah pergi." seru Su Hong Liang dengan nada sinis.

"Hm, sebenarnya orang2 Ceng itu tidak berbahaya dan tentu dapat kita kalahkan," kata Huru Hara, "tetapi ada musuh lain yang berbahaya dan sukar kita basmi."

“Siap?" seru Su Hong Liang.

"Mereka yang berdarah suku Han tetapi yang berjiwa orang Boan. Yang mempunyai raja Beng tetapi berhamba kepada raja Ceng. Yang menjadi rakyat Beng tetapi suka menjadi anjing orang Boan. Manusia2 itulah yang merupakan musuh paling berbahaya karena tak kelihatan bahkan berada dengan kita. Ibarat orang yang `tidur seranjang tetapi berlainan mimpinya'." Merah muka Su Hong Liang tetapi cepat2 berseru, "Sudah terlambat. Penyakit itu sudah dalam sekali. Jenderal2 yang menjaga di daerah sudah mulai goyah pendiriannya. Sekali menyerang, mereka tentu akan menyambut kedatangan pasukan Ceng. Jenderal Kho Ting Kok yang membunuh jenderal Ko Kiat, juga sudah menyeberang ikut kerajaan Ceng. Beberapa jenderal lainpun akan mengikuti jejaknya. Barangsiapa yang berkaras kepala tak mau bekerja-sama dengan pasukan Ceng, akhirnya akan hancur sendiri."

"Ya, benar," sambut Huru Hara, "bukankah engkau menginginkan agar Su tayjin juga mau menerima undangan panglima Torgun ?"

"Itu hak siokhu untuk memutuskan, jangan menimpahkan kepada diriku," seru Su Hong Liang

"Andaikata engkau menempati kedudukan Su tayjin, bukankah engkau akan mengambil langkah menerima tawaran Torgun ?" Huru Hara masih mendesak.

"Jangan ngaco !" tesiak Su Hong Liang makin gemas, "tidak ada andaikata. Kita bicara yang nyata saja !"

Su Go Hwat cepat menghentikan perdebatan mereka. Ia suruh kedua pemuda itu kembali ke tempat masing2. "Nanti malam akan kupersiapkan surat balasannya. Dan besok engkaulah Hong Liang yang mengantar kepada panglima Torgun."

"Mengapa siautit yang mengantarkan?" Su Hong Liang terkejut.

"Bukankah engkau yang membawa kemari?" "Ya, tetapi karena siautit telah tertawan mereka." "Apa salahnya kalau surat balasanku, juga engkau yang mengantarkan?"

"Siautit tentu akan ditawan lagi." "Mengapa begitu?"

"Kalau siokhu menolak, panglima Torgun tentu marah dan akan menangkap siautit lagi."

Mentri ,Su tersenyum, "Kalau aku menerima?

"Ah, tentu siautit selamat, "wajah Hong Liang berseri. Huru Hara terkejut.

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar