Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 34 Pontang panting

Jilid 34 Pontang panting

Tong Kui Tik adalah engkong dari dara In Hong, Dalam jilid 10 yang lalu, telah diceritakan bahwa ketika berada di puncak Giok-li-nia di gunung Lou-hu-san tempat kediaman almarhum pendekar Kim Thian Cong telah terjadi pertempuran dahsyat.

Sebagaimana telah dituturkan dalam jilid itu, kedatangan Tong Kui Tik ke Giok-li-nia adalah mengantar cucu perempuan si dara In Hong yang menemani seorang pemuda cakap bernama Wan-ong Kui

Rombongan an-Wong Kui terdiri empat orang yaitu Wan-ong Kui, Han Bi Ing. In Hong dan engkongnya, Tong Kui Tik.

Wan-ong Kui hendak mencari si Bloon putera Kim Thian Cong guna membalas dendam, Tetapi ditengah jalan dia bertemu dengan nona Han Bi Ing yang juga hendak mencari putera Kim Thian Cong,

Tetapi tujuan Han Bi Ing adalah berbeda bahkan berlawanan dengan Wan-ong Kui. Nona can tik itu disuruh ayahnya, Han Bun Liong, menuju ke Giok-li-nia, menyerahkan surat kepada putera Kim ThianCong yang isinya mengatakan bahwa menurut perjanjian antara Han Bun Liong dengan Kim Thian Cong dahulu, maka putera dan putri mereka akan dijodohkan. Maka karena kata Thaygoan terancam bahaya diserang pasukan Ceng, Han Bun Liong menyingkirkan puterinya ketempat calon suaminya yaitu putera Kim Thian Cong.

Waktu-rombongan Wan-ong Kui tiba Giok-li-nia, tiba2 mereka disergap oleh kaki tangan kerajaan Ceng yang terdiri dari tiga jago sakti yakni sasterawan Ko Cay Seng yang memiliki ilmu tutuk yang sakti. Hian Hian tojin. sute dari ketua perguruan Gobi-pay dan pertapa Suto Kiat ahli ilmusilat Engi-jiau-kang, Dan Barbak, pangeran Boan yang masih saudara dengan panglima besar Torgun.

Kedatangan rombongan kaki tangan Ceng itu sebenarnya hendak mencari Bloon. Mereka mendengar bahwa Bloon itu seorang pendekar aneh yang memiliki kepandaian gaib. Mereka hendak membujuk Blo‘on agar mau bekerja pada kerajaan Ceng agar dapat mempengaruhi jago2 silat supaya mau benggabung bekerja pada kerajaan Ceng.

Tetapi bukan Blo’on yang mereka jumpai melainkan rombongan Wan-ong Kui. Secara kebetulan Hian Hian tojin memang hendak mencari Tong Kui Tik, karena Tong Kui Tik dianggap bersalah dan dikeluarkan dari perguruan Go-bi-pay. Sudah tentu Tong Kui Tik tak mau menyerah maka terjadilah pertempuran dahsyat.

Dalam menghadapi Hian Hian tojin, sebenarnya Tong Kui Tik masih sungkan karena ia mengingat budi kebaikan dari susioknya (paman guru) Biau Ceng tojin. Hian Hian tojin adalah murid dari Biau Ceng tojin.

Untung saat itu terjadi pertukaran lawan. Wan-ong kui yang semula berhadapan dengan Su to Kiat, kini berganti lawan than Hian tojin. Sedang Tong Kui Tik yang bermula melawan Hian Hian, berganti lawan Suto Kiat.

Agar Tong Kui Tik tidak sempat membantu Wan-ong Kui maka Hian Hian memancing pemuda itu supaya bertempur diluar rumah. Juga Suto Kiat dan Tong Kui Tik ikut bertempur diluar rumah.

Dalam pertempuran yang dahsyat dengan pertapa Suto Kiat, Tong Kui Tik berhasil menghantam lawan sehingga terlempar kebawah jurang tetapi dia sendiri juga menderita luka-dalam yang parah.

Waktu Suto Kiat dapat mendesaknya dan hampir dapat mencengkeram tenggorokannya, dalam keadaan yang gawat antara mati atau hidup, Tong Kui Tik menyemburkan ludahnya dan tepat mengenai mata lawan. Seketika gelaplah pandang mata Suto Kiat. Dia menjerit dan terjengkal ke-dalam jurang. Tetapi dia masih sempat menyambar lengan Tong Kui Tik untuk ditariknya juga. sehingga keduanya jatuh kedalam jurang.

Karena biji matanya sakit sekali dan tak dapat dibuka, Suto Kiat hancur kepalanya ketika terbentur batu yang berada dalam dasar jurang. Tong Kui Tik masih untung. Dia dapat bergeliatan berusaha untuk menyelamatkan diri. Tetapi tak urung punggung terbentur batu dan pingsanlah dia.

Hampir tiga bulan dia harus merawat lukanya. Setelah merasa kesehatannya putih, barula dia naik keatas dan mencari In Hong.

Hari itu ia tiba di wilayah Ik-ciu. Ketika sedang berjalan menuju ke sebuah desa, ia melihat kawanan prajurit sedang mengganas penduduk.. Yang membuat kemarahannya berkobar adalah ketika kawanan prajurit itu, kecuali merampas harta benda, juga mengganggu gadis dan wanita2. Dia segera menyerang mereka sehingga terjadi pertempuran yang dahsyat.

Tong Kul Tik masih belum sembuh betul maka dalam pertempuran melawan keroyokan prajurit itu dia harus bersusah payah untuk bertahan. Untung Huru Hara segera datang.

Demikianlah asal usul mengapa Tong Kui Tik tiba2 muncul di desa itu dan kebetulan bertemu dengan Huru Hara. Namun Tong Kui Tik belum kenal siapa Huru Hara itu. Yang dicari oleh rombongannya waktu ke puncak Giok- li-nia dahulu adalah Blo’on, putera Kim Thian Cong.

Mengapa Tong Kui Tik terkejut waktu ber tukar pembicaraan dengan Huru Hara, adalah karena merasa bahwa pemuda yang dandanannya nyentrik itu bicara secara ceplas ceplos, sederhana dan polos.

Waktu Huru Hara memberi hormat kepadanya, dia terkejut dan buru2 mengangkat tubuh pemuda itu, "Ah. Loan hian tit, jangan banyak peradatan "

Diam2 dia terkejut mengapa begitu ringan dan kosong tubuh Huru Hara ketika diangkatnya. Aneh, pikirnya. Tetapi pada lain saat dia merasa malu sendiri, "Ah, mengapa ia hendak menguji seorang pemuda yang jujur dan berbudi , "

"Hian-tit tadi hendak menganjurkan supaya prajurit2 itu mau kembali dan membantu pada mentri Su Go Hwat yang kini sedang mempertahankan daerah Yang- ciu, Apakah hiantit bekerja pada Su tayjin ?" tanya Tong Kui Tik. Kini dia membahasakan Huru Hara dengan sebutan hian-tit' atau keponakan.

"Su tayjin adalah mentri kerajaan yang jujur dan setya maka aku harus membantunya paman," jawab Huru Hara, "paman, walaupun dalam hati kecilku aku percaya seratus persen kepada paman, tetapi tugas negara menuntut aku supaya jangan mudah percaya kepada orang yang baru dikenal. Agar aku dapat mempertanggung jawabkan kesetyaanku kepada tugas yang sedang kulaksanakan, maukah paman menceritakan sedikit tentang diri paman ?"

Tong Kui Tik mengangguk tertawa, "Bagus, hiantit, memang seharusnya begitulah engkau bertindak apabila sedang melakukan tugas negara yang penting. Baiklah, hiantit, akan kuceritakan serba singkat tentang diriku."

Tong Kui Tik lalu menuturkan perjalanannya selama ini bersama In Hong dan mengikuti rombongan Wan-ong Kui, Han Bi Ing mencari putera Kim Thian Cong di puncak Giok-li-nia, hingga dia sampai jatuh bersama Suto Kiat ke dasar jurang,

Walaupun dalam hati terkejut mendengar rombongan Wan ong Kui itu hendak mencari Blo’on, tetapi Huru Hara masih dapat tenangkan diri.

“Paman, tahukah paman mengara nona Han Bi Ing hendak mencari putera Kim Thian Cong itu?" dia. bertanya dengan suara setenang mungkin.

"Menurut keterangan In Hong, Han Bun Liong ayah dari nono Han Bi Ing itu telah bersepakat dengan Kim tayhiap untuk menjodohkan putera puteri mereka "

"Oh , " mau tak mau terpaksa Huru Hara menghela

napas.

"Waktu kota Thay-goan terancam serangan pasukan Ceng, Han Bun Liong kuatir dan suruh puterinya menuju ke tempat kediaman calon suaminya di Giok- li- nia itu."

"Maatiiiik!"

"Lho, kenapa hiantit?"

"Ah, tak apa2, paman," Huru Hara tersipu-sipu menjawab. Namun dalam hati dia mengeluh, “ah, kalau saja aku masih berada di gunung, tentulah akan kesampokan dengan nona itu."

Kemudian dia cepat2 mengalihkan pertanyaan, "Lalu apakah bertemu dengan putera Kim Thian Cong?"

"Ya," kata Tong Kui Tak, "tetapi dia menolak keras dan tak mau menerima nona Bi Ing sebagai isterinya. Aneh sekali anak itu "

"Sudah tentu saja dia menolak karena dia merasa tak pernah ditunangkan oleh orangtuanya dengan orang," Huru Hara membenarkan tindakan Sian Li, sumoaynya yang menyaru jadi dirinya (Blo`on).

"Paman mengatakan dia aneh, apanya sih yang aneh?" tanyanya pula.

"Masa seorang pemuda memakai bedak muka yang tebal dan waktu bertempur dia menggunakan ilmupedang Giok- li-kiam-hwat. Bukankah ilmupedang itu hanya layak dimainkan oleh seorang anak perampuan?"

Dam2 Hutu Kira geli tetapi dia tak mau mengatakan apa2.

"Setelah paman dapat naik dari dasar jurang, apakah paman tidak datang ke Wisma di Giok li-nia lagi?"

"Ya, tetapi wisma itu sudah kosong. Baik Wan-ong Kui dan cucuku In Hong serta nona Han Bi Ing, sudah tak ada. Demikian pula dengan putera Kim tayhiap yang bernama si Blo`on itu."

"Lho, bukankah Wan-ong Kui juga bertempur di luar melawan Than Hian tojin?"

"Ya, tetapi bagaimana nasibnya, aku juga tak tahu." "Lalu paman sekarang hendak kemana?" "Mencari cucuku In Hong."

"Paman," kata Huru Hara dengan nada serius,"maukah paman memberi sedikit bantuan kepadaku?"

"Tentu saja mau, hiantit."

"Sebenarnya tak perlu harus merepotkan Paman, tetapi karena aku sedang melakukan tugas penting maka terpaksa aku akan memint bantuan paman . … "

"Ah, tak usah sungkan, hiantit. Katakanlah, apa yang harus kukerjakan."

"Begini paman," kata Huru Hara, "tolong paman bawa prajurit2 yang masih ingin mengabdi kepada negara itu ke Yang-ciu. Serahkan kepada mentri pertahanan Su tayjin. Katakan bahwa kita telah mcngumpuikan anakbuah pasukan jenderal Ko Kiat yang tercerai berai."

"0, baik, baik, hiantit. Kukira hiantit akan minta pertolongan apa. Kalau hanya itu sudah tentu aku senang sekali melakukannya. Karena akupun merasa mempunyai kewajiban untuk membantu negara.

Sisa anak pasukan jenderal Ko Kiat yang dibawa oleh Li tui-tiang itu masih berjumlah empat puluh orang. Tang Kui Tik segera membawa mereka menuju ke Yang- ciu.

"Tentu masih banyak lagi anakbuah pasukan jenderai Ko Kiat yang meninggalkan pasukan dan membentuk kelompok sendiri2," pikir Huru Hara.

Dia memutuskan untuk mencart lagi. Karena peristiwa pembunuban jendera! Ko Kiat itu ternyata di Ik ciu maka diapun menuju ke kota itu.

Memang benar juga. Ketika tiba di luar daerah Ik-ciu, ia melihat suatu pemandangan yang ganjil. Sekelompok prajurit Beng sedang dihadang oleh tiga orang. Yang satu seperti seorang sasterawan, yang satu seorang Boan berpakaian indah dan yang satu memakai seragam perwira.

"Hai, siapakah pimpinan kalian?" seru sasterawan itu. "Aku," seorang sersan yang membawa kelompok prajunt

Beng, maju.

"Mau kemana kalian?"

"Akan menggabung diri dengan pasukan kerajaan Beng yang lain," sahut sersan itu.

"Bukankah kalian ini anak pasukan jenderal Ko Kiat?" "Benar."

"Jenderal kalian telah dibunuh oleh jenderal Kho Ting Kok, bukan?"

"Ya."

"Mengapa kalian tak berontak melawan jenderal Kho yang telah membunuh jenderal kalian?"

"Mereka telah mengadakan persiapan yang ketat untuk menyergap kami, untung kami dapat meloloskan diri. Dan memang sebelumnya jenderal kami telah memberi pesan. Apabila sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang menimpa pada dirinya, kami disuruh lekas2 menggabung pada mentri pertahanan Su tayjin."

Sasterawan itu tertawa, "Ho, kalian tahu bagaimana keadaan mentri Su itu ?"

"Dia berada di Yang-ciu."

"Benar," sahut sasterawan itu, "tetapi ketahuilah bahwa wilayah Hopak sudah diserang pasukan kerajaan Ceng dan Yang-ciupun sudah dikepung. Jangankan manusia, bahkan lalatpun tak mungkin keluar dari kota itu." Sersan itu tertegun.

"Apabila kalian kesana, berarti kalian mengantar jiwa saja." kata sasterawan lebih lanjut," eh, mengapa kalian masih mimpi hendak membela kerajaan Beng ?"

"Siapa engkau ?" seru sersan itu.

"Aku adalah penolong kalian," kata sasterawan itu," ada dua buah jalan yang kalian boleh pilih. Kesatu, jalan maut yaitu apabila kalian masih tetap hendak menggabungkan diri dengan salah sebuah pasukan kerajaan Beng. Kedua, jalan hidup yaitu apabila kalian mau bekerja pada kerajaan Ceng, Kalian akan diperlakukan sama dengan prajurit2 Beng karena pimpinan pasukan kerajaan Ceng itu dapat menghargai orang yang membantu kerajaan Ceng yang hendak menyelamatkan rakyat Beng dari tindasan mentri2, jenderal2 pemerintahan Beng."

"Hm, engkau hendak membujuk kami?" seru sersan itu. “Jangan     terburu-buru     memberi     keputusan,"    seru

sasterawan, "tetapi rundingkanlah dengan anakbuahmu. Kalau kalian setuju, sekarang juga kalian akan diterima dengan tangan terbuka oleh pimpinan pasukan kerajaan Ceng. Tahukah kalian, siapa yang berada disampingku ini

?"

Sersan dan prajurit2 Beng mencurah pandang kearah orang Boan yang berpakaian indah.

"Inilah pangeran Barbak, saudara dari panglima besar Torgun yang mengepalai bala tentara kerajaan Ceng. Pangeran Barbak telah berkenan, kepada setiap prajurit Beng yang mau bekerja pada pasukan kerajaan Ceng akan diberi hadiah uang sebanyak seratus tail perak: Tetapi kepada mereka yang tak mau bekerja pada kerajaan Ceng, akan dihancurkan saat ini juga." "Jika begitu, akulah orang yang pertama-tama menyatakan tak sudi bekerja pada kerajaan Ceng "

"Jika begitu, engkaulah yang pertama harus mati", tiba2 sasterawan itu ayunkan tangannya dan tahu2 sersan itu menjerit rubuh,

Anakbuah prajurit2 Beng terkejut bukan kepalang. Mereka tak tahu apa yang dilakukan sasastrawan itu. Mereka hanya tahu si sastrawan itu angkat tangannya dan sersanpun rubuh.

"Nah, apakah kalian hendak mengikuti jejak sersan itu ?" tanya sasterawan itu pula.

Namun prajurit2 itu tak menyahut. Mereka diam saja. "Hm, apakah kalian masih bersangsi ?" tanya sasterawan

itu," baiklah, sekarang kalian boleh menikmati permainan

yang akan kupertunjukkan ini …”

Dia menjemput enam butir batu sebesar genggaman tangan lalu dilontarkan ke udara. Ketika keenam batu itu berhamburan jatuh. sasterawan itu mengeluarkan sebatang pit baja lalu dia loncat menyambut keenam butir batu itu dan tring, tring, tring terdengar batu2 tadi berhamburan

pecah tertutuk oleh ujung pena baja si sasterawan.

"Nah, apakah sudah cukup ?" serunya kepada kawanan prajurit itu, "kalian boleh bertanya pada diri masing2, apakah tubuh kalian lebih keras dari batu2 itu. Kalau memang merasa lebih keras, silakan kalian membangkang seruanku. Tetapi kalau merasa kalian miliki tubuh dari dating, kuharap kalian menurut saja anjuranku tadi !"

Kawanan perajurit itu memang terlongong-longong menyaksikan pertunjukan yang dimainkan si sastrawan. Tetapi mereka masih belum memberi pernyataan apa2. "Aku juga ingin mempertunjukkan permainan," tiba2 perwira yang berada disamping pangeran Barbak berseru. Dia terus menghampiri ke sebuah gunduk batu karang yang terletak di tepi hutan.

"Celaka ," Huru Hara menjerit dalam hati. Ternyata perwira itu menghampiri batu karang tempat Huru Hara bersembunyi. Kalau perwira itu menghantam batu, tentulah dia akan ketahuan atau bahkan mungkin menderita cipratan batu.

"Lihat, prajurit2, batu sebesar kerbau ini akan kuhancurkan," begitu berseru perwira itu terus bersiap didepan batu, menyingsingkan lengan baju lalu ayunkan tinjunya

"Uhhhh ..... " tiba2 perwira itu menjerit kaget karena pukulannya mengenai tempat kosong. Batu karang itu dapat berkisar ke samping, seolah menghindari pukulan si perwira.

Perwira itu masih belum sadar. Dia ayunkan pukulannya lagi, uhhhh kembali ia menjerit kaget karena lagi2 batu itu dapat berkisar kesamping menghindari pukulannya.

"Saudara Pa, berhenti, periksalah dibelakang batu itu," seru sasterawan yang menyaksikan peristiwa aneh itu.

Rupanya perwira yang dipanggil dengan saudara Pa itu tersadar. Ya, dia memang bernama Pa Kim, perwira yang pernah datang ke Lou hu san untuk mencari si Blo`on dulu.

Pa Kim terus lari kebelakang batu. Tetapi anehnya, dia tak muncul lagi. Sudah tentu pangeran Barbak heran dan terus hendak menghampiri.

"Jangan pwelek ( pangeran ), biarlah aku yang memeriksanya .. . ," sasterawan mencegah seraya terus melesat ke belakang batu. Uhhhh . . . tiba2 sasterawan itu terkejut karena Pa Kim menyerangnya. Karena jarak amat dekat dan terjangan itu berlangsung secara mendadak dan cepat sekali, sasterawan tak keburu menghindar. Terpaksa dia mendorong kawannya itu, bluk .. . Pa Kim mencelat dan jatuh terjerembab ke belakang, tak berkutik lagi.

"Hola, bagus sasterawan," tiba2 terdengar Huru Hara berteriak, "masa kawan sendiri engkau dorong sampai ambruk!"

Sasterawan itu terkejut. Seketika dia menyadari bahwa dia telah dipermainkan orang. Ternyaia di batik batu itu memang terdapat seseorang yang bersembunyi. Ketika Pa Kan memeriksa ke belakang batu, dia tentu dikerjai orang itu. Dain ketika sasterawan menyusul ke belakang batu, orang itu mendorong tubuh Pa Kim kepadanya.

Akibatnya, ia balas mendorong sehingga Pa Kim menggeletak.

"Bangsat, siapa engkau?" seru sasterawan setelah melihat orang yang berada dihadapannya itu seorang pemuda yang dandanannya nyentrik.

"Aku bangsat," sahut Huru Hara. "Hm, engkau berani mengejek?"

"Bukankah mulutmu sendiri yang sudah menyebut aku bangsat? Perlu apa harus tanya nama. Sudah jangan banyak mulut! Seorang bangsat masih lebih utama daripada  seorang penghianat!"

"Mau apa engkau?" seru sastera an. "Bekerja."

"Apa pekerjaanmu?" "Seorang bangsat pekerjaannya adalah mem-bangsat. Tetapi aku memang seorang bangsat aneh.Yang kubangsat adalah bangsat penghianat dan anjing2 kerajaan Boan!"

"Hm, jelas engkau hendak merintangi aku, ya?"

"Jangan lupa. Itu pekerjaanku. Kalau tak ada orang semacam engkau, aku tentu nganggur…..”

"Jahanam, engkau mau membangkang apa?"

"Engkau hendak membujuk prajurit2 kerajaan Beng, bahkan telah membunuh pimpinan mereka yang tak mau bekerja kepadamu. itulah yang akan kubangsat."

"Maksudmu?" sasterawan menegas. "Tinggalkan prajurit2 itu berikut nyawamu.

“Bangsat!" engkau memang sudah bosan hidup!” tiba2 sasterawan itu terus menyerang Huru Hara. Dia menganggap Huru Hara itu tentu seorang pemuda sinting maka tak perlulah dia menggunakan senjata pit-nya.

Tetapi alangkah kejutnya ketika pukulannya menemukan tempat kosong. Diserangnya lagi dengan kecepatan yang lebih hebat. juga sama saja. Pemuda sinting itu bergerak seperti setan.

Sasterawan itu benar2 heran. Ia tahu cara pemuda sinting itu bergerak tidak menurutkan jurus ilmusilat dari perguruan manapun juga. Hanya gerakan biasa. Tetapi yang membuatnya kagum adalah kecepatan pemuda itu bergerak.

Setelah beberapa gebrak, tahulah sasterawan bahwa pemuda itu memang tidak bisa dan tidak mengerti ilmusilat. Timbullah rencananya untuk menggunakan jurus tipuan.

Lu-seng- kan-goat atau B:ntang-sapu-mengejar-rembulan demikian jurus yang dilancarkan si sasterawan kali ini. Jurus itu mengunakan kecepatan gerak kedua tangan. Jurus itu memang sukar diduga lawan. Sekonyong-konyong tangan kanannya menju!ur untuk mencekik tenggorokan. Jurus itu termasuk jurus maut yang ganas. Apabila tenggorokan terkena cengkeram, lawan tentu akan mati seketika.

Huru Hara terkejut dan menghindar ke samping tetapi tiba2 sasterawan telah menghentikan gerak tangannya di tengah jalan, diganti dengan gerak tangan kiri yang mencengkeram ke bawah ketiak lawan.

Huru Hara terkejut. Ia merasa terjebak. Untuk menghindar, sudah tak keburu lagi. Terpaksa dia menyambar tangan orang. Terjadi saling mencengkeram diantara tangan kedua orang itu.

Diam2 sasterawan girang. Karena ia yakin dengan kerahkan tenaga-dalam, sekali pijat tentu hancurlah telapak tangan orang. Segera dia meremas sekuat-kuatnya.

"Uhhhh," tiba2 ia terbelalak kaget karena telapak tangannya seperti memegang aliran stroom yang keras. Rasa sakit dan Iunglai mengalir cepat sehingga lengannya melentuk seperti lumpuh.

Untung dalam saat-saat yang berbahaya itu, pikirannya masih terang. Untuk menarik pulang tangannya dia sudah tak bertenaga lagi maka dia pun segera mengirim tendabgan ke perut Huru Hara. Huru Hara terkejut. Dia cepat berkisar ke samping tetapi pahanya masih tetap termakan ujung kaki lawan. Huru Hara terlempar selangkah belakang dan terpaksa lepaskan sengkeraman tangannya.

Sasterawan itu menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang manusia gaib. Tidak mengerti ilmusilat tetapi memiliki tenaga- dalam yang aneh. Tangan Huru Hara itu dapat memancarkan tenaga-sakti membalik, mengembalikan arus tenaga-dalam yang dipancarkannya tadi.

"Hm, jangan kira aku tak mampu menundukkan, bangsat," pikirnya seraya mencabut pit-bajanya.

Lian- hoan-toh- beng-pit atau Pit- maut- berantai, dilancarkan sasterawan untuk menutuk jalandarah maut tubuh Hum Hara. Seketika Huru Hara seperti melihat puluhan sinar ujung pit yang tajam berserabutan mencurah kepadanya,

Cres….. Huru Hara loncat mundur dan memeriksa pakaiannya. Ternyata leher bajunya telah berlubang terkena sebuah tutukan ujung pit. Untung tak tembus sampai ke lehernya.

"Hm, orang ini hebat sekali ilmu permainan pit-nya. Berbahaya kalau ujung pit menutuk tubuhku," pikir Huru Hara. Dia memutuskan untuk menggunakan senjata juga. Sebenarnya dia hendak mencabut pedang Cek-thiat-kiam atau pedang besi sembrani. Tetapi pada lain saat; dia urungkan rencananya itu. Dia tak mau merebut kemenangan karena mengandalkan keampuhan senjatánya. Tiba2 ia teringat pada perwira yang menggeletak tadi. Sekali loncat ia tiba di tempat perwira itu lalu mencabut pedang orang itu.

Ketika sasterawan maju menyerangnya lagi, dia segera memutar pedangnya sederas angin meniup. Seluruh tubuhnya seolah tertutup oleh sinar pedang. Terdengar berulang kali dering berbunyi ketika ujung pit beradu dengan pedang. Dan setiap kali terjadi benturan tentulah pit itu yang tersiak.

"Wah, selama berkecimpung dalam dunia persilatan baru pertama ini aku berhadapan dengan seorang manusia aneh. Jelas tidak mengerti ilmusilat tetapi dapat bergerak lebih cepat dari seorang jago silat kelas satu. Tenaga-dalam yang dimilikinyapun lebih unggul dan jago kelas satu," diam2 sasterawan itu menimang dalam hati.

Dia bingung menghadapi pemuda aneh itu, Selintas teringatlah dia akan keselamatan pangeran Barbak. Walaupun dia belum merasa kalah dengan pemuda aneh itu tetapi dia merasa tak mampu mengalahkannya. Kalau terlibat dalam pertempuran yang lama, dia tentu akan kehabisan tenaga.

"Ko heng, jangan kuatir, aku akan membantumu menangkap kunyuk ini," tiba2 terdengar Pangeran Barbak berseru.

Sasterawan yang dipanggil Ko-heng itu memng tak lain adalah Ko Cay Seng, orang kepercayaan dari panglima Torgun yang ditugaskan menyelundup kedalam wilayah kekuasaan pasukan Beng untuk mengadakan pengacauan dan mata-mata. Waktu mendengar keadaan jenderal2 kerajaan Beng sudah bingung dan saling -bermusuhan, apalagi setelah berhasil menyelundupkan orangnya untuk mendekati jenderal Kho Ting Kok agar membunuh jenderal Ko Kiat maka dia bersama pangeran Barbak dan perwira Pa Kim bergerak untuk menjaring sisa anak pasukan jenderal Ko Kiat agar mau bekerja pada kerajaan Ceng.

Memang usahanya itu juga berhasil. Tetapi ketika dia sedang menyergap sebuah kelompok sisa anakpasukan jenderal Ko Kiat. ternyata sersan yang menjadi pimpinan kelompok itu tak mau menerima anjurannya. Terpaksa dia membunuh sersan itu dengan taburan jarum beracun.

Tetapi celakanya dia berjumpa dengan seorang pemuda aneh macam Huru Hara. Sebenarnya dia memutuskan untuk meloloskan diri saja demi menyelamatkan pangeran Barbak. Tetapi tak diduganya pangeran itu malah maju membantunya menyerang Huru Hara. Ia hendak berteriak mencegah tetapi sudah terlambat.

"Jahanam, jangan banyak tingkah," seru Barbak terus membabatkan pedang pendek yang ujungnya bengkok, mirip dengan arit. Pangeran Boan itu menggunakan sepasang pedang bengkok untuk mengacip leher Huru  Hara.

“Tring…..”

Huru Hara menangkis Barbak terdorong mundur tetapi pedang Huru Harapun putus karena di gunting oleh sepasang pedang bengkok dari pangeran Boan itu.

Apabila tadi cemas. kini setelah melihat Barbak memiliki senjata pusaka yang ampuh, timbul-lah semangat Ko Cay Seng. Serentak dia terus mainkan pit bajanya dalam ilmu tutuk yang hebat.

Huru Hara terkejut. Ia tak sangka bahwa sepasang pedang orang Boan itu sedemikian tajam. Dan pada saat itu pit baja Ko Cay Seng sudah niencurah laksana hujan menabur keseluruh jalandarah ditububnya.

Dalam, keadaan yang terdesak, tak mungkin ia mempertahankan gengsi lagi. Kalau tetap menggunakan pedang yang tinggal separoh itu, jelas dia tentu menderita, entah terkena ujung pit-baja entah pedang pandak.

Huru Hara hendak mencabut pedang Cek-khiat-kiam dari kerangkanya yang terbuat daripada tanduk kerbau putih, binatang peliharaan si Ah Liong. Tetapi sebelum sempat dia melaksanaan niatnya, tiba2 muncul seorang pemuda yang berlari-lari dan berseru, "Hai, anjing Boan, jaingan mengganas sekehendak hatimu!”

Barbak terkejut. Begitu berpaling dia sudah diserang oleh pemuda tak dikenal itu. Ko Cay Seng tertegun juga dan tahu2 siku lengannya kena tendangan Huru Hara. Selain tendangan itu memang keras sekali, juga Ko Cay Seng terkejut sehingga pit bajanya terlempar ke udara. Tetapi dia memang lihay. Secepat itu dia menghantam Huru Hara dan dengan meminjak tenaga pukulan itu dia enjot tubuhnya loncat ke udara untuk menyambar pit-baja yang sedang melayang turun. Rupanya dia amat sayang sekali kepada senjatanya itu.

Dan sambil bergeliatan meluncur turun, dia taburkan sebuah Pik-li-tan atau pelor geledek ke arah Huru Hara. Huru Hara terkejut dan menangkis dengan pedang kutungnya.

Bummmm .....

Terdengar letusan keras dan seketika sekelilirg tempat itupun penuh dengan asap tebal warna hitam gelap, sehingga keempat orang itu tak tampak lagi.

Beberapa waktu kemudian, setelah asap hitam itu hilang tampaklah suatu pemandangan yang ganjil. Pemuda yang tak dikenal itu berbangkit dari tanah. Rupanya dia tak duduk bersila menutup pernapasan. Ko Cay Seng dan Barbak sudah lenyap dari pemandangan. Tetapi pemuda itu terkejut sekali ketika melihat Huru Hara menggeletak di tanah. Buru2 ia lari menghampiri.

Ternyata Huru Hara pingsan. Dia belum pernah berhadapan dengan musuh yang menggunakan bahan peledak semacam Pi-lik-tan sehingga dia tak menutup pernapasannya. Akibatnya dia menyedot asap hitam yang mengandung racun dan terus rubuh.

"Ah, dia tentu terkena asap beracun," kata pemuda itu. Dia lalu mengeluarkan botol kecil, menuang sebutir pil lalu disusupkan ke mutut Huru Hara. Kemudian dia lari mencari air. Setelah mendapat air maka muka Huru Hara dibasuhnya. Tak berapa lama Huru Hara menghela napas dan membuka mata. Begitu melihat pemuda yang tadi masih duduk di hadapannya, Huru Hara cepat2 menggeliat bangun.

"Ah, apa yang terjadi?" seraya seperti orang yang terjaga dari mimpi.

Pemuda itu berwajah cakap sekali hanya sayang pucat seperti tak dapat menampilkan kerut2 perasaan. Dia tersenyum.

"Engkau masih berada di gelanggang pertempuran tadi, sahabat," sahutnya.

"Dimana sasterawan dan orang Boan tadi?" tanya Huru Hara pula.

"Mereka sudah meloloskan diri."

"Bukankah sasterawan itu yang menaburkan benda yang meletus tadi?"

"Benar, sahabat," sahut pemuda itu, "itulah yang disebut pelor Pi-lik-tan yang dapat meletus dan menghamburkan asap. Pelor dari sasterawan itu mengeluarkan asap hitam yang beracun ….”

"0, kalau begitu aku tadi rubuh karena menghisip asap beracun itu?"

Pemuda cakap itu mengangguk. "Dan apakah engkau juga rubuh?"

Pemuda itu gelengkan kepala, "Tidak, karena aku sudah mengenal pelor itu dan terus menutup pernapasan."

"Eh, mengapa mukaku basah begini?" tanya Huru Hara. "Maaf, sahabat, akulah yang membasuhmu dengan air dan memberimu pil penawar racun.”

"Ah, terima kasih," kata Huru Hara, "tetapi mengapa engkau menolong aku? Siapakah engkau?"

"Aku Sim Cui ”

"Sim Cui? Itu nama aseli atau nama kiasan? Karena kalau nama kiasan itu berarti patah hati. Apakah engkau patah hati? Dengan siapa engkau patah hati? Ah, tak perlu harus patah hati, dunia toh bukan sedaun kelor. Banyak gadis-gadis cantik yang akan mencintaimu, sahabat," seru Huru Hara dengan tersenyum.

Tetapi pemuda cakap itu terus melengos untuk menahan butir airmatanya yang hendak meluap.

"Terima kasih, sahabat," akhirnya pemuda itu berpaling dan menghadap ke arah Huru Hara lagi, "Itulah namaku. Terserah orang hendak mengartikan sebagai patah hati atau nama. Karena bagiku nama itu sudah tak kupentingkan 1agi.”

"Bagus, saudara Sim," seru Huru Hara memuji, "tetapi dari mana engkau dan mengapa engkau menolong aku?"

"Aku sih seorang manusia yang hidup bagaikan awam di udara. Angin berhembus ke utara aku terdampar ke utara, angin berhembus ke selatan akupun melayang ke selatan . ..

. "

"Aha, kata-katamu bagaikan rangkaian nada dari  seorang penyair, saudara Sim," kata Huru Hara kembali, "eh, mana kawanan prajurit tadi?"

Dad balik gerumbul pohon muncullah berpuluh prajurit Beng. Kiranya mereka bersembunyi ketika Ko Cay Seng menaburkan pelor berasap hitam tadi. Serentak Huru Hara menghampiri, "Bukankah kalian ini prajurit2 pasukan Beng ?" tegurnya.

Berpuluh-puluh prajurit itu mengiakan. "Anak pasukan jenderal Ko Kiat ?" "Benar," seru mereka pula.

"Apa tujuan kalian ini ?"

"Setelah jenderal kami terbunuh, kami berantakan tak keruan dan mencari jalan hidup sendiri2."

"Apakah kalian mau bekerja pada musuh ?" "Tidak."

"Apakah kalian tetap setya dan mau bekerja pada pasukan Beng ?"

Kawanan prajurit itu berseru gegap gempita menyatakan kesediaan mereka. Tetapi ada bebera pa yang menolak.

"Tidak," seru mereka, "kami tak mau." "Mengapa ?" seru Huru Hara.

"Jenderal2 kami itu tidak becus memimpin pasukan dan hanya giat mengumpul kekayaan, berebut kekuasaan. Jenderal Ko Kiat juga demikian sehingga dibunuh jenderal Kho Ting Kok."

"Apakah engkau hendak bekerja kepada jenderal Kho Ting Kok ?"

"Sama saja," kata mereka," kami tak mau."

"Lalu apakah kalian sudah tak mau jadi prajurit lagi ?" "Perlu apa kalau punya pimpinan jenderal2 yang begitu

?" "Kalau ada seorang pimpinan yang setya, cakap dan bijaksana, apakah kalian mau ?"

"Tentu," kata salah seorang yang rupanya menjadi jurubicara dari kelompok kecil itu, "Sudah bertahan-tahun kami menjadi prajurit, kalau harus bekerja lain kami merasa kikuk dan tak mampu. Tctapi siapakah pimpinan itu ?"

"Mentri pertahanan Su Go Hwat tayjin."

"0. apakah Su tayjin langsung memimpin. pasukan ?" "Ya, kini beliau berada di Yang- ciu untuk

mempertahankan daerah itu dari serbuan pasukan Ceng!"

Prajurit itu serempak menyatakan kesediaan mereka. "Saudara Sim," kata Huru Hara kepada pemuda cakap

itu," engkau dan aku senasib, hidup tak menentu. Tetapi kita sebagai pemuda, dituntut oleh kewajiban untuk membela negara kita yang sedang teraucam musuh. 0leh karena itu, apabila saudara tak keberatan, kuminta lupakan segala derita hidup yang lampau, marilah kita persembahkan hidup kita ini untuk membela negara dan menyelamatkan rakyat !"

Pemuda itu tertegun dan memandang Huru Hara dengan tajam. Ada sepercik sinar mengkilat dari matanya, penuh mengandung arti. Pelahan-lahan dia mengangguk menanggapi pernyataan Huru Hara.

"Bagus. saudara Sim," seru Huru Hara gembira, "sekarang aku hendak minta bantuanmu. maukah engkau ?"

Pemuda itu kembali mengangguk.

"Bawalah regu prajurit kita itu kepada Su tayjin di Yang- ciu. Aku masih melakukan suatu tugas yang penting. Setelah selesai, aku juga akan menggabungkan diri dengan Su tayjin " Sim Cui mengangguk.

"Saudara2, kuminta kalian ikut pada Sim kongcu ini yang akan membawa kalian ke Yang-ciu menghadap Su tayjin," seru Huru Hara kepada kawanan prajurit.

Kawanan prajurit itu menyambut dengan gembira. Mereka segera dibawa Sim Cui. Dikala berpisah Sim Cui berkata dengan nada sendu kepada Huru Hara, "Kuharap engkau baik-baik menjaga diri "

Ketika Sim Cui dan kelompok prajurit itu sudah pergi. Huru Hata masih tertegun merenung kata2 Sim Cui. Suara itu begitu merdu seperti suara seorang gadis. Begitu mesra seperti pesan seorang dara kepada kekasihnya yang hendak pergi ke medan tugas.

"Tetapi dia jelas seorang pemuda," pikirnya, aneh ,

……”

Beberapa saat kemudian ia cepat menghapus renungan itu. Kini pikirannya tertuju lagi untuk melanjutkan perjalanan mencari anak pasukan jenderal Ko Kiat yang tercerai berai.

"Kawanan kaki tangan Ceng mulai tersebar menyusup kedalam wilayah kekuasaan pasukan Beng. Mereka tentu akan mengacau dan menghasut, kemudian membujuk dan memaksa pasukan2 Beng yang kalah supaya ikut mereka. Ini berbahaya. Anak pasukan jenderal Ko Kiat itu cukup banyak. Kalau sampai dapat diambil musuh, tentu lebih parah lagi."

Huru Hara lalu melanjutkan perjalanan. Tetapi diam2 diapun gelisah karena memikirkan tugasnya untuk mengamat-amati gerakan jenderal Co Liang Giok yang hendak bergerak ke kotaraja itu. "Ah, sekali lagi setelah bertemu dengan kelompok prajurit anakbuah jenderal Ko Kiat, aku segera menuju ke Hankow." akhirnya ia menetapkan rencana.

Karena hari sudah malam dia menginap sebuah kuil tua di atas bukit. Dan keesokan nya melanjutkan perjalanan

Di sepanjang jalan dia melihat keadaan rakyat seperti beras ditampi. Mereka berhondong-bondong, berkawan atau dengan membawa keluarga, sama mengungsi kepedalaman.

Huru Hara sempat bertanya dan mendapat keterangan, "Wah, daerah2 dalam wilayah Ikciu sudah tak aman lagi. Rakyat di daerah2 diganggu oleh kawanan prajurit yang memeras dan merampok harta benda kita," kata salah seorang dari penduduk yang tengah mengungsi itu.

"Prajurit Beng atau Ceng ?" Huru Hara menegas. "Campur   baur   tak   keruan   tetapi   kebanyakan malah

prajurit   Beng.   Mereka   lebih   buas   dan   ganas terhadap

rakyat."

Huru Hara tertcgun.

"Apakah jenderal Kho Ting Kok tak dapat melindungi kalian ?" tanyanya pula.

"Ah, jenderal itu malah membunuh kawannya sendiriri jenderal Ko Kiat dan kini dia bersahabat dengan orang2 Ceng "

"Hai !" Huru Hara melonjak kaget, "benarkah omonganmu itu ?"

"Karena apabila di daerah muncul pasukan jenderal Kho Ting Kok yang hendak mencari ransum dengan merampas persediaan padi rakyat maka sering terdapat beberapa prajurit _Ceng yang menyertainya." Setelah rakyat itu melanjutkan perjalanan Huru Hara masih termenung-menung, "Jika benar demikian, jelas jenderal Kho Ting Kok itu sudah dapat dirangkul orang Ceng. Mungkin pembunuhan jenderal Ko Kiat itu juga atas rencana orang2 Ceng yang jelas banyak yang menyusup kedalam wilayah kekuasaan pasukan Beng," pikirnya.

"Hm, apabila tugasku menyelidiki jenderal Co Liang Giok sudah selesai, aku akan menyelidiki jenderal Kho  Ting Kok juga," akhirnya ia memutuskan.

Belum berapa jauh ia melanjutkan perjalanan, kembali ia melihat disebelah depan tampak orang berkerumun. Dan ternyata mereka adalah prajurit2. Buru2 ia menghampiri.

Ia terkejut ketika melihat seorang pemuda tengah berhadapan dengan dua orang lelaki muda yang naik kuda. Juga terdapat dua orang gadis. Di belakang mereka terdapat sejumlah besar prajurit.

Agar dapat mengetahui apa yang tengah terjadi, Huru Hara menyelinap kedalam sebuah hutan kecil yang tak jauh dari tempat itu. Dengan cepat dia dia dapat menangkap pembicaraan mereka.

"Ing-moay, jangan percaya kepadanya," seru seorang pemuda yang naik kuda putih.

Huru Hara terkejut. Ia seperti pernah mendengar nada suara itu.

Beberapa saat kemudian, kedengaran suara seorang gadis yang mukanya bertutup kain kerudung warna hitam, berkata, "Bok-heng, apa alasanmu engkau tak setuju menyerahkan pasukan Beng itu kepada engkoh Hong Liang?" Huru Hara terkesiap. Tak salah lagi, suara gadis itu adalah suara nona Su Tiau Ing, puteri dari mentri pertahanan Su Go Hwat.

"Aku hendak membawa sisa pasukan jenderal Ko Kiat ini kepada paman di Yang-ciu," sahut pemuda yang ditanya itu.

Kini Huru Hara tak ragu2 lagi, pemuda itu adalah Bok Kian, putera keponakan dari mentri Su Go Hwat. Dan serentak diapun segera teringat bahwa yang dipanggil engkoh Hong Liang pleb nona Su Tiau Ing itu adalah Sa Hong Liang, juga putera keponakan dari mentri Su Go Hwat.

"Tetapi engkoh Hong Liang kan juga akan membawa mereka kepada ayah?" tegur Su Tiau Ing, "mengapa tak engkau berikan? Apakah engkau tak percaya kepada engkoh Hong Liang?"

"Bu . .. bukan bukan tak percaya adik Ing," kata Bok Kian tergagap-gagap, "tetapi aku mendapat perintah dari paman Su supaya mengumpulkan pasukan jenderal Ko Kiat yang berantakan dan membawa mereka ke Yang-ciu."

Su Tian Ing merenung sejenak lalu berpaling kearah Su Hong Liang, "Engkoh Liang, Bok-heng mendapat tugas  dari ayah,"

"0, tetapi biasanya siok-hu (paman) apabila memberi tugas penting, tentu memberi leng-pay atau Surat kepercayaan. Adakah Bok Kian mempunyai salah sebuah bukti perintah dari siok-hu?" jawab Su Hong Liang yang pintar bicara.

Su Tiau Ing berpaling tetapi sebelum gadis cantik itu membuka mulut, Bok Kian ,sudah mendahului. "Paman sedang sibuk sekali mengatur persiapan untuk mempertahankan Yang- ciu. Beliau hanya memberi perintah secara lisan."

"Uh…….," desus Su Hong Liang.

"Tetapi sekahpun begitu perwira yang mengepalai rombongan prajurit pasukan jenderal Ko Kiat sudah mengenal diriku dan setuju atas permintaanku supaya mereka menggabungkan diri pada paman di Yang- ciu," kata Bok Kian menyusuli keterangannya.

Su Tiau Ing berpaling dan memandang Hong Liang.

Rupanya dia dapat menerima keterangan Bok Kian.

"Bagus, Bok-te," tiba2 Su Hong Liang berganti nada. "jika begitu harap engkau usahakan lagi untuk mengumpulkan mereka. Bukankah masih banyak lain2 kelolompok kan masih banyak kelompok anakbuah jenderal Ko yang tercerai berai ?"

Su Tiau Ing membenarkan, "Ya, benar Bok- heng ," tiba2 ia berpaling lagi kepada Su Hong Liang, "tetapi dari mana dan hendak kemanakah engkoh Liang ini ?"

"Ai, Ing-moay, dalam keadaan negara sedang menghadapi bahaya perang seperti saat ini, aku selalu lari kesana kemari untuk melihat keadaan. Ada kalanya aku menjadi penghubung antar jenderal2 kita, ada kalanya aku bahkan diminta untuk membantu menyusun persiapan pasukan dalam menghadapi serangan musuh. Aku habis dari daerah Kangpak dan sekarang hendak memberi laporan kepada siok-hu tentang situasi musuh."

"0, jika begitu engkoh Liang sekalian dapat membawa anak pasukan ini kepada ayah, bukan?" seru Su Tiau Ing.

"Ya, begitulah Ing-moay," kata Su Hong Liang tersenyum gembira. "Jika begitu Bok-heng," kembali Su Tiau Ing mengulang kata2nya kepada Bok Kian," kurasa memang tepat kalau engkau serahkan anakpasukan dari jenderal Ko Kiat itu kepada engkoh Hong Liang dan engkau mencari lagi anak pasukan jenderal Ko yang masih tercecer di lain tempat."

Bok Kian kerutkan alis, katanya sesaat kemudian, “Dalam hal lain, memang aku dapat meluluskan tetapi soal ini adalah soal keselamatan negara. Paman sedang berjuang mati-matian untuk mempertahankan Yang-ciu. Kabarnya paman telah minta bala bantuan ke kotatasja tetapi ditolak oleh tay-haksu Ma Su Ing. Maka setiap bala bantuan, walaupun hanya beberapa orang prajurit tetapi sangat berharga sekali kepada paman. Dan paman menitahkan supaya aku dapat membawa anak buah jenderal Ko itu ke Yang-ciu, jangan sampai mereka tersesat menjadi gerombolan pengacau, apalagi kalau sampai menyerah kepada orang Ceng."

"Kalau begitu engkau ...... " baru Su Tiau Ing berkata sampai disitu, Su Hong Liang sudah cepat menanggapi, "Benar, Ing-moay, jelas dia tak percaya kepadaku ! Gila tidak itu ? Masakan aku akan menyerahkan mereka kepada musuh ?"

Su Tiau Ing berpaling kearah Su Hong Liang dan kesempatan itu dimanfaatkan Su Hong Liang untuk membakar hati si nona, "Ing-moay, engkau adalah puteri kesayangan siokhu. Bok-te seperti aku, adalah putera keponakan siok-hu. Aku merasa telah mendapat budi kebaikan yang besar dari siok-hu. Budi kebaikan itu  saja aku belum mampu membalas, masakan aku menghianati siok-hu. Bagai mana Ing-moay, apakah tidak layak kalau aku mendamprat Bok-te ?"

Su Tian Ing tidak lekas menyahut melainkan berpikir: Ia tahu bahwa Bok Kian itu memang agak bodoh tetapi jujur dan setya kepada tugas yang dikerjakan. Jika ayahnya sudah memberi perintah begini, Bok Kian tentu akan mati- matian melaksanakan perintah itu. Dia keras kepala sekali dalam mempertahankan apa yang telah menjadi tugasnya.

Namun permintaan Su Hong Liang itu juga beralasan. Pemuda itu hendak menghadap ayahnya (Su Go Hwa). jika sekalian membawa anak pasukan itu ke Yang-ciu, bukan- kah membantu pekerjaan Bok Kian karena Bok Kian akan dapat mencari sisa anak pasukan jenderal Ko Kiat yang sudah tercerai berai itu ?

Pikir2 akhirnya ia merasa bahwa sikap Bok Klan itu memang keterlaluan. Masa dia tak percaya kepada Su Hong Liang.

"Bok- hang, apakah engkau tak percaya kepa da engkoh Hong Liang?" akhirnya ia menegur.

"Jangan salah faham, adik Ing," kata Bok Kian. "dalam hal ini bukan soal percaya atau tidak percaya, tetapi paman Su telah memberi pesan wanti2 kepadaku, bahwa apabila aku dapat mengumpulkan sisa anakpasukan jenderal Ko, aku harus membawa sendiri ke Yang-ciu, jangan sampai diserahkan kepada orang lain.

"Ah, masakan ayah pesan begitu ?"

"Demi Allah aku bersumpah bahwa paman Su memang memberi perintah begitu."

"Ya, yang dimasudkan ayah itu kalau orang lain, masakan kepada engkoh Hong Liang juga begitu ? Aku tak percaya kalau ayah akan marah kepadamu apabila engkau serahkan rombongan prajurit itu kepada engkoh Hong Liang."

"Adik Ing, aku benar2 takut untuk melanggar pesan paman." "Wah, wah," desuh Su Hong Liang," Bokte memang keras kepala sekali. Jangankan aku, sekalipun Ing-moay yang meminta dia tentu tak- kan percaya ... „ sengaj a Hong Liang memberi tekanan suara waktu mengatakan kata2 yang terakhir, untuk membakar hati Tiau Ing.

Kemudian dia melanjutkan, "Sudahlah, Ing moay, mungkin menurut anggapan Bok-te, yang paling dipercaya oleh siok-hu itu adalah dia sendiri. Ing-moay sebagai puterinya dan aku sebagai keponakan, hanya dianggap sepi saja.

Mendengar kata2 itu merahlah muka Su Tiau Ing. Dia merasa kata2 Su Hong Liang itu memang benar juga. Seketika meluaplah penasaran, tiba2 Ah Liu dara pelayan dari Su Tiau Ing sudah melengking, "Bok kong-cu, berikanlah kepada Su siocia."

Bok Kian terkesiap tetapi pada lain saat dia melihat dara itu memberi kicupan mata kepadanya. Entah bagaimana biasanya otak Bok Kian yang beku, saat itu menjadi encer. Ia tahu apa maksud dara bujang. Jelas dara itu hendak mengisyaratkan agar Su Tiau Ing yang bertanggung jawab atas pasukan itu. Kalau sampai Su Hong Liang mempunyai maksud lain, tentulah Su Tian Ing yang bertanggung jawab, bukan Bok Kian.

Bok Kian sebenarnya tak mau mengalihkan tanggung jawab itu kepada Su Tiau Ing. Tetapi ia merasa bahwa seperti biasanya dalam setiap persoalan, Su Tiau Lag tentu lebih berfihak kepada Su Hong Liang. Ia tahu diri dan selalu mengalah.

"Baiklah, Ing-moay, kalau engkau yang menerima tanggung jawab itu. silakan," kata Bok Kian.

Tanpa mengucap terima kasih seolah-olah itu sudah wajar, Su Tiau Ing berpalinh kearah Su Hong Liang dan berseru. "Engkoh Hong Liang, mari kita menuju ke Yang- ciu."

Su Hong Liang terkejut tetapi cepat ia tenang kembali, "0, apakah Ing-moay juga akan menemui siok-- hu ?"

"Sudah beberapa waktu aku tak bertemu ayah," kata Su Tiau Ing, "sekarang dengan membawa prajurit2 itu dapatlah aku membantu kerepotan ayah. Ah, dia sudah tua dan tentu lelah sekali "

"Ya, benar, Ing-moay," sambut Su Hong Liang, "siok-hu memang terlalu cape. Dia bekerja tanpa mengenal waktu."

Demikian Su Tiau Ing dan Su Hong Liang bersama kawannya, pria muda yang gagah, segera membawa sejumlah anakbuah jendral Ko, menuju Yang-ciu.

Ditempat persembunyiannya, Huru Hara terkejut sekali ketika mehhat siapa kawan dari. Su Hong Liang. Kalau tak salah itulah jago orang she Yap yang pernah melamar pada pekerjaan dari jenderal Ko Kiat ketika jenderal Ko Kiat mencari orang yang sanggup mengawal barang antaran kepada jenderal Ui Tek Kong dulu.

Seperti telah diketahui, Huru Hara diterima lebih dulu oleh jenderal Ko Kiat. Dan pemuda she Yap itu datang belakangan. Kemudian keduanya diadu dan ternyata Huru Hara yang menang,

Barang dari jenderal Ko Kiat yang diantar Huru Hara itu di tengah jalan dihadang orang dan ternyata isinya hanya tanah pasir. Kemudian jenderal Ko Kiat diam2 menyuruh pemuda she Yap atau Yap Hou untuk mengejar orang yang telah merampas Giok-say atau Singa-kumala. Dalam mustika Singa-kumala itu tersimpan sebuah peta mini yang simpanan harta karun milik baginda Cu Goan Ciang, pendiri kerajaan Beng. "Ya, benar, dia bernama Yap Hou. Akan kutanya dimana dia menyembunyikan mustika Giok-say itu," pikir Huru Hara. Tetap, pada saat dia hendak muncul menghadang, tiba2. dia teringat bahwa kalau dia bertindak begitu tentulah akan mengganggu bala bantuan yang dibawa Su Tiau Ing ke Yang-ciu. Pada hal Su Go Hwat benar2 memerlukan tenaga bantuan.

"Ah, lebih baik kupertangguhkan saja. Lain kali toh masih ada kesempatan lagi," akhirnya ia urungkan tuatnya.

Setelah rombongan Su Tiau Ing berjalan jauh barulah Huru Hara menghampiri Bok Kian yang ternyata masih duduk termenung-menung di atas segunduk batu.

"Bok-heng, apa kabar?" tegurnya.

Bok Klan melonjak kaget. Demi melihat siapa yang muncul, dia tertawa gembira, "Ah, engkau Loan-heng."

"Aku sedang menjalankan perintah dari paman       "

"Ya, kutahu," tukas Huru Hara, "kerena aku mendengarkan semua pembicaraanmu tadi."

"Loan-heng, bagaimana pendapatmu, salah-kah kalau aku menyerahkan anakbuah jenderal Ko tadi kepada adik Ing ?" tanya Bok Kian.

Ada suatu sifat baik dari Bok Kian. Karena dia merasa otaknya tak cerdas, setiap kali berbuat dia tentu meminta pendapat orang yang dianggapnya lebih mengerti. Ini memang baik. Karena ada juga bahkan banyak orang bodoh yang merasa pintar dan benar. Dengan begitu dia tetap akan bodoh dan tak pernah benar.

"Kulihat nona Su itu lebih menaruh perhatian kepada Su Hong Liang .." "Sayang," kata Huru Hara pula. Bok Kian menghela napas.

"Mengapa sayang ?" Bok Kian heran.

"Mata itu tak dapat dipercaya. Tidak semua yang kuning itu tentu emas."

"Sudah tentu "tidak, Loan-heng. Bungapun ada yang kuning, juga burung ada yang kuning bulunya. Tetapi mengapa Loan-heng berkata begitu ?" tanya Bok Kian yang tak mengerti apa yang dimaksud Huru Hara.

Huru Hara terkesiap tetapi kemudian tertawa, "Mata itu sering merlyesatkan. Tetapi apa boleh buat, engkau harus berlapang dada menerima segala sesuatu."

"Eh, apa maksudmu, Loan-heng," Bok Kian makin bingung, "mengapa aku harus berlapang dada ? Apa yang akan kuterima ?"

Huru Hara sendiri juga blocon tetapi ada kalanya kalau berhadapan dengan orang pekok, dia terus menjadi pintar. Misalnya dengan Ak Liong, Huru Hara merasa tiba2 saja menjadi terang pikirannya. Demikian pula waktu berhadapan dengan Bok Kian. Dia merasa lebih pintar:

"Aku seorang anak laki dan engkaupun juga." kata Huru Hara, "engkau harus jujur dan jangan merahasiakan apa2 kepadaku. Kulihat diantara kalian bertiga, engkau, Susiocia dan Su Hong Liang seperti terjalin suatu cinta segitiga."

Bok Kian merah mukanya dan melongo.

"Engkau dan Su Hong Liang sama2 menaruh perhatian kepada Su siocia. Engkau seorang jujur tetapi pemalu dan tak dapat bicara. Lain halnya dengan Su Hong Liang yang cakap, pandai merayu. Sayang Su siocia lebih tertarik kepada Su Hong Liang daripada kepadamu. Pada hal kulihat Su Hong Liang itu cerdik dan licik. Terus terang, aku mencurigai gerak geriknya "

"Loan-hang, mengapa engkau berkata begitu ?"

"Engkau tahu siapa orangmuda gagah yang bersama Su Hong Liang itu ?"

Bok Kian gelengkan kepala dan mengatakan tak kenal. "Kalau  tak  salah  dia  seorang  jago  yang  berilmu tinggi

dan pernah bekerja pada jenderal Ko Kiat. Jenderal Ko Kiat

itu seorang jenderal korup dan punya simpanan harta karun. Orang tadi bernama Yap Hou dan disuruh jenderal untuk mengejar Giok-say yang dirampas orang."

"Apa Giok-say itu ?"

"Giok-say itu sebuah barang antik yang berbentuk seperti singa dan terbuat daripada batu kumala. Didalam Giok-say itu tersimpan peta tempat persembunyian harta karun milik Cu Goan Ciang, pendiri kerajaan Beng yang sekarang ini.”

"0," desus Bok Kian.

"Sekarang jenderal Ko sudah mati, aku curiga kalau Giok-say itu dilalap Yap Hou. Dan kalau dia berkawan dengan Su Hong Liang, akupun kuatir kalau kedua orang itu bekerja sama untuk membunuh jenderal Ko Kiat "

"Ah, aku bingung, Loan-heng." seru Bok Kian mendengar uraian Huru Hara yang dianggapnya terlalu pelik itu.

"Ya, baiklah, asal engkau jangan mengatakan hal ini kepada siapapun juga. Kelak aku dapat membereskan si Yap Hou itu."

Lalu Huru Hara bertanya kepada Bok Kian "Bagaimana tindakanmu sekarang ini?" "Eh, Loan-heng belum menjawab pertanyaanku tadi.. Apakah tindakanku menyerahkan anak buah jenderal Ko kepada adik Ing itu salah?"

"Tidak, engkau tak salah. Aku tahu bagaimana kedudukan dirimu dan bagaimana perasaan hatimu kepada Su siocia. Sayang Su siocia belum menyadari siapa dirimu yang sesungguhnya. Dia menganggap Su Hong Liang lebih baik tetapi dia nanti tentu akan kecele dan kecewa dengan pilihannya."

"Ah, tidak Loan-heng," kata Bok Kian, "aku akan ikut gambira apabila adik Ing bahagia."

"Bagus, Bok-heng." seru Huru Hara, "lalu engkau sendiri bagaimana nanti ?"

"Apanya ?"

"Bukankah engkau akan menderita apabila harapan hatimu tak tercapai ?"

"Saat ini negara sedang terancam bahaya. Perlu apa harus memikirkan soal begitu ? Serahkan saja soal begitu kepada Tuhan Yang penting saat ini aku harus berjuang untuk membaktikan diri kepada negara."

"Engkau benar2 seorang pemuda hebat, Bok heng," Huru Hara memuji, "aku juga satu pendirian dengan engkau. Nah, sekarang engkau hendak kemana saja ?"

"Akan melanjutkan mengumpulkan sisal anak buah jenderal Ko kiat."

"Baiklah," kata Huru Hara, "akupun hendak melanjutkan perjalanan ke Hankow, kelak kita berjumpa di Yang-ciu."

Keduanya segera berpisah. Huru Hara ke selatan lagi. Ia mendapat kesan bahwa suasana makin hangat. Rupanya setelah setahun menduduki kotaraja Pak- khia, sekarang pasukan Ceng hendak melanjutkan serangannya ke Lamkia.

Sebenarnya dia ingin menyelidiki jenderal Kho Ting Kok yang telah membunuh jenderal Ko Kiat itu. Dia ingin mengetahui apakah benar jenderal Kho Ting Kok itu sudah dipengaruhi musuh. Tetapi terpaksa dia urungkan niatnya karena di ingin lekas mendapat keterangan tentang pasukan jenderal Co Liang Giok, kemudian buru2 dia akan kembali ke Yang- ciu untuk membantu mental pertahanan Su Go Hwat.

Singkatnya, dia telah tiba di wilayah kekuasaan jenderal Co Liang Giok dan mulai melakukan penyelidikian.

Sebenarnya jenderal Co Liang Giok itu seorang jenderal yang gagah perkasa dan banyak berjasa kepada negara, Tetapi karena melihat tingkah laku tay haksu Ma Su Ing dan Wan Tay Thiat melakukan praktek2 jahat antara lain menguasai pemerintahan, membius Hok Ong dengan wanita dan arak, memperdagangkan kenaikan pangkat, melakukan korupsi besar- besaran, jenderal Co tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia segera menghimpun pasukan dan bergerak menuju ke kotaraja untuk mengadakan pembersihan pada mentri2 yang korup itu.

Ketika malam itu Huru Hara sedang berusaha untuk menyelidiki ke markas jenderal Co, ia terkejut ketika melihat dua sosok bayangan hitam berlari-lari menuju ke gedung markas sang jenderal. Menilik gerak gerik kedua orang itu, tahulah Huru Hara kalau kedua orang itu memiliki kepandaian silat yang tinggi.

"Mengapa pada malam begini ada dua orang yang hendak masuk ke markas jenderal Co?" pikirnya. Seketika  ia mendapat firasat bahwa kedua orang itu tentu tak bermaksud baik. "Ah, tetapi mungkin juga orang kepercayaan jenderal Co yang hendak memberi laporan," pada lain saat Huru Hara membantah sendiri.

Tiba2 timbul pikirannya untuk menyelundup kedalam markas. Ia ingin mendengar laporan yang dibawa kedua orang itu sehingga dapat mengetahui apa rencana jenderal Co.

Dan apabila kedua orang itu orang jahat, dapat-lah membantu jenderal Co.

Tetapi untuk masuk kedalam markas jenderal Co, bukanlah suatu hal yang mudah. Apalagi jenderal itu sudah mempersiapkan diri untuk 'menghukum` dan melakukan pembersihan dalam tubuh pemerintahan di kotaraja, jelas dia tentu mengadakan penjagaan keamanan yang kuat dan ketat.

"Ah, ternyata kedua orang itu tentu orang dalam," kata Huru Hara dalam hati ketika melihat kedua orang itu langsung masuk melalui pintu gerbang markas.

Huru Hara terpaksa mengitari tembok dan ketika ada sebatang pohon go-tong yang tumbuh di luar tembok, dia memanjat dan dari atas pohon itu dia loncat ke atas tembok lalu melayang turun kedalam halaman gedung.

Dengan hati2 ia menghampiri kedalam gedung. Saat itu belum malam betul, lebih kurang antara pukul 10 malam. Walaupun markas sudah sepi tetapi disana sini masih terdapat patroli dan prajurit2 yang berjaga.

Huru Hara berhasil menyelinap kedalam tanpa diketahui penjaga. Dia tak tahu dimana letak kantor jenderal Co. Tiba2 ia mendengar langkah kaki orang. Ternyata seorang prajurit. Cepat la ber sembunyi di sudut yang gelap. Ternyata prajurit itu membawa penampan berisi minuman. Ah, dia. tentu menuju ke ruang jenderal Co, pikir Huru Hara.

Dugaannya memang tepat. Ketika ia secara diam2 mengikuti prajurit itu, prajurit itu menuju ke sebuah ruang yang terletak di tengah markas.

Huru Hara bersembunyi diluar ruang itu. Tak berapa lama prajurit tadipun keluar. Saat itu Huru Hara baru  berani mendekati ruang itu dan mendengarkan apa yang terjadi dalam ruangan.

"Nah, sekarang kalian boleh melaporkan hasil pekerjaan kalian," seru sebuah suara yang berwibawa. Huru Hara menduga itulah suara jenderal Co Liang Giok. Ternyata kedua orang tadi adalah orang kepercayaan jenderal itu.

"Co ciangkun," kata sebuah suara lain yang dtduga Huru Hara adalah salah satu dari kedua orang tadi, "hamba telah melakukan penyelidikan yang cukup luas, dari lapisan atas yaitu para mentri sampai para perwira dan lapisan bawah dari pegawai rendah sampai rakyat biasa, semua mengatakan bahwa tindakan tay-haksu Ma Su Ing dan mentri Wan Tay Thiat selama ini, tidak merugikan rakyat .

. . . "

"Apa?" teriak yang disebut Co ciangkun yang bukan lain memang jenderal Co Liang Giok sendiri, "mengapa laporanmu itu tidak sesuai dengan kenyataan?"

"Ciangkun," kata salah seorang lain dari kedua orang tadi, "apa yang dikatakan rekan hamba Mo kausu memang benar."

"Hai, Go kausu," seru jenderal Co Liang Giok, "engkau juga mengatakan begitu?" "Habis kalau memang hasil penyelidikan hamba berdua begitu, apakah yang hamba laporkan kehadapan ciangkun?" sahut orang yang dipanggil Go kausu itu.

Kausu artinya guru silat. Go kausu dan Mo kausu adalah guru silat yang berilmu tinggi yang dipekerjakan jenderal Co Liang Giok untuk melatih anak prajurit.

Go kausu lengkapnya bernama Go Hiong, seorang jago perguruan Tiam-jong-pay yang membuka rumah perguruan di kota Hankow. Muridnya banyak dan namanya termasyhur. Dia bargelar Giam-lo-sat-to atau Golok- pembunuh dari raja Giam lo ( raja Akhirat ).

Sedang Mo kausu lengkapnya bernama Mo Thian Ing, seorang pemimpin perusahaan pengantar barang Ping- titian-piau-kook yang termasyhur di Ou-lam. Mo Thian Ing itu bergelar Kiu-ciat. sin- pian atau Ruyung-sakti-sembilan- ruas. Disegani oleh orang persilatan golongan putih maupun hitam.

Jenderal Cu Liang-Giok memberi tugas kepada kedua kausu itu untuk menyelidiki keadaan kotaraja, terutama tentang ulah tingkah tay-haksu Ma Su Ing. Jenderal itu sudah mendengar berita2 tentang praktek2 kotor dari tay- haksu Ma Su Ing dengan .orangnya yakni Wan Tay Thiat.

Tetapi alangkah kejut jenderal Co mendengar laporan kedua kausu kepercayaannya itu.

"Mo dan Co kausu," kata jenderal Co Liang Giok, "dapatkah engkau membuktikan tentang hasil penyelidikanmu itu ?"

"Telah hamba haturkan," kata Mo kausu, "bahwa hamba berdua telah menyelidiki dari kalangan atas sampai lapisan bawah, semua tiada yang mencelah peribadi tay-haksu." "Hm, tentulah kalian masih ingat akan peristiwa baru2 ini, kan ?" seru jenderal Co Liang Ciok.

"Peristiwa apa, ciangkun."

"Peristiwa tuduhan tay-haksu kepadaku bahwa aku mempunyai rencana hendak memberontak itu."

"0, benar, ciangkun. Ciangkun telah memberitahukan hal itu kepada kami."

"Tidakkah tuduhan itu hanya fitnah semata-mata ? Aku mengadakan pendafraran untuk menerima prajurit2 baru adalah demi untuk memperkuat tugasku untuk mempertahankan wilayah kita," seru jenderal Co.

"Tetapi fthak tay-haksu mendengar bahwa ciangkun tak puas dengan beliau dan marah kepada tay-haksu karena menganggap tay-haksu korup dan sewenang-wenang,"  sahut Mo kausu.

"Bukan aku saja tetapi setiap rakyat dan para jenderal tahu bagaimana praktek2 yang kotor dari tay-haksu."

"Oleh karena itu maka tay-haksu menuduh bahwa gerakan mengumpulkan prajurit2 baru yang ciangkun adakan itu adalah karena ciangkun hendak memberontak."

"Tidak sama sekali," sahut jenderal Co. "aku akan setya sampai mati kepada kerajaan Beng. Tetapi aku memang penasaran terhadap tingkah laku tay-haksu dan beberapa mentri yang mengacau dan melemahkan kerajaan itu. Coba engkau bayangkan," kata jenderal Co," mentri pertahanan Su Go Hwat tayjin adalah seorang mentri yang setya dan pandai. Tetapi mengapa dia malah di `buang` keluar oleh tay-haksu dengan alasan supaya dapat menyusun kekuatan para jenderal2 di daerah-daerah ? Tidakkah hal itu hanya suatu alasan dari tay-haksu supaya Su tayjin jangan sampaI dekat dengan raja sehingga gerak gerik tay-haksu lebih leluasa ?"

Huru Hara terkejut. Apa yang dikemukakan jenderal Co itu memang benar. Seorang mentri pertahanan mengapa dikirim ke daerah2, pada hal induk pasukan kerajaan  berada di kota raja ? Dia mendengarkan lebih lanjut bagaimana kelanjutan dari pembicaraan jenderal Co dengan kedua orang kepercayaannya itu.

"Memang apa yang ciangkun kemukakan adakah benar tetapi sayang kenyataannya tidak seperti yang ciangkun bayangkan. Artinya, mentri tay-haksu tidak sejahat seperti yang ciangkun duga," kata Mo kausu.

"Mo kausu," seru jenderal Co dengan marah, engkau adalah orang kepercayaanku. Hampir semua rahasia militer tak ada yang kurahasiakan kpadamu. Engkau tentu maklum sendiri bagaimana rencanaku dan bagaimana tindakan tay- haksu selama ini terhadap para jenderal. Tetapi mengapa sekarang engkau malah berbalik seratus derajat membela tay-haksu ?"

"Ciangkun," sahut Mo kausu dengan berani, sama sekali hamba tak bermaksud membela tayhaksu tetapi hamba hanya melaporkan apa yang hamba telah selidiki sesuai dengan perintah ciang kun."

"Tetapi," jenderal Co kerutkan alis, "bagaimana mungkin engkau membawa laporan begitu ? Tentu engkau salah melakukan penyelidikan. Yang memberi keterangan kepadamu itu tentu orang2 tay-haksu."

"Ah, tayjin sudah menaruh kepercayaan kepada kami berdua, masakan kami akan mensia-siakan kepercayaan tayjin itu ?" "Lalu bagaimana tiadakanku ?" akhirnya jenderal Co bertanya.

"Menurut pendapat hamba, semua tenaga dan kekuatan harus kita pusatkan untuk menghadapi serangan musuh. Apabila ciangkun hendak melakukan pembersihan ke kotaraja, tidakkah hal itu akan menimbulkan kekacauan. Mentri tay-haksu tentu mengira ciangkun hendak memberontak dan tentu akan mengerahkan pasukan untuk menghancurkan ciangkun. Dengan demikian tentu akan terjadi perang sendiri. Tidakkah hal itu akan melelahkan kekuatan kita sendiri ?"

"Ya, ciangkun," Go kausu ikut menambah, "apa yang dihaturkan Mo kausu itu memang benar. Daripada kita kerahkan pasukan menyerang kotaraja dan mengadakan pembersihan, bukankah lebih baik kita memperkuat penjagaan kita disini saja ?"

"Mo dan Go kausu," jawab jenderal Co, "memang tampaknya pendapat kalian itu benar. Tetapi ketahuilah. Untuk menyembuhkan suatu penyakit kita harus mencari tahu sumber dan sebabnya, Cobalah kalian bayangkan. Selama menghadapi serangan pasukan Ceng, kita selalu menderita kekacauan saja. Pada hal kekuatan pasukan kerajaan Beng itu amat besar. Tetapi nyatanya menghadapi pasukan Ceng, kita sudah kalang kabut dan kalah.  Tidakkah hal itu karena pimpinan atas tidak becus?"

"Tetapi bukankah kerajaan kita memiliki jenderal2 yang terkenal, ciangkun?" tanya Mo kausu.

"Jenderal memang banyak tetapi mereka membawa kemauan sendiri," kata Co Liang Giok, "yang dapat mengambil hati tay-haksu akan mendapat fasilitas dan ditempatkan di daerah yang makmur. Tetapi yang tidak mau memberi sogok tentu akan digencet dan ditempatkan  di daerah yang minus, bahkan di depan garis yang berhadapan dengan musuh."

Mo dan Go kausu mendengus.

"Coba seperti mentri pertahanan Su tayjin," kata jenderal Co pula, "masakan seorang mentri pertahanan dibuang keluar, bagaimana dia dapat memberi perintah kepada jenderal. Bagaimana pula dia dapat menerima laporan dari jenderal2 di daerah. Dan celakanya segala keputusan tentang gerakan pasukan berada di tangan tay-haksu Ma Su Ing. Keputusan untuk mempertahankan atau menarik mundur suatu pasukan juga tergantung pada tay-haksu itu. Mana bisa kita biarkan saja peraturan begitu merajalela terus? Tay-haksu adalah seorang kasim ( kebiri) dia seorang menteri sipil. Bagaimana dia hendak menguasai ketentaraan?"

Mo dan Co kausu berobah-obah cahaya mukanya. Sebentar merah sebentar pucat. Rupanya dalam hati kedua kausu itu timbul pertentangan dalam batin. Namun sesaat kemudian wajah mereka kembali membesi.

"Urusan itu termasuk urusan dalam," kata Mo kausu, "boleh kita selesaikan pelahan-lahan. Jika sekarang ciangkun berkeras hendak melakukan pembersihan tentu timbul perpecahan dan akibatnya tentu akan melemahkan kekuatan kita sendiri."

"Benar, ciangkun," seru Co kausu, "sekarang kita sedang menghadapi musuh yang kuat. Mengapa kita tidak mencurahkan segenap tenaga dan kekuatan untuk menghancurkan mereka?"

Sebelum jenderal Co menjawab, tiba2 prajurit penjaga masuk dan melaporkan bahwa ada seorang utusan dari kotaraja yang hendak mohon menghadap. "Antarkan dia masuk," seru jenderal Co.

Tak lama kemudian prajurit itu muncul dengan mengiring seorang lelaki setengah tua namun masih tampak segar. Orang itu memperkenalkan diri sebagai Bun Peng, utusan dari Co Kui kepala polisi kotaraja.

"Kedatangan hamba adalah diutus Co tayjin untuk menyerahkan Surat kepada ciangkun," kata Bun Peng.

Jenderal Co terkejut. Co Kui, kepala polisi kotaraja adalah pamannya. Dia segera menerima surat itu dan sehabis membacanya, wajahnyaputa berobah pucat.

"Mo dan Co kausu," serunya dengan suara gemetar,."sudah berapa lamakah aku mengundang kalian berdua bekerja disini?"

"Sudah dua tahun, ciangkun," sahut Mo kausu yang tak mengerti mengapa jenderal Co tampak begitu tegang.

"Bagaimana perlakuanku terhadap kalian selama ini?" "Hamba berdua merasa berterima kasih tak terhingga

karena ciangkun memperlakukan kami dengan baik sekali."

"0, kiranya kausu merasakan hal itu. Dan apa yang terkandung dalam hati kausu atas perlakuanku itu?"

"Hamba berdua berjanji dalatn hati untuk membalas budi dengan mengunjukkan rasa kesetyaan hamba kepada ciangkun."

"Bagus, Mo kausu," seru Co ciangkun, "bukankah engkau juga begitu Co kausu?"

Co kausu mengiakan.

"Baik," kata jenderal Co, "bagaimana kalau sekarang aku hendak memberi perintah kepada kalian? Apakah kalian sanggup?" Kedua kausu itu mengiakan.

"Kalian akan setya melakukan perintahku?” ulang jenderal Co.

"Silakan ciangkun memberi perintah, hamba berdua pasti akan melakukannya."

"Baik," seru jenderal Co pula, "Mo kausu dan Go kausu, kalian supaya saling berhadapan." Kedua kausu itupun melakukan perintah.

"Sekarang cabutlah pedang kalian," seru jendecal Co pula. Dan kedua kausu itupun walau pun tak mengerti apa yang dikehendaki pimpinannya namun mereka melakukan perintah juga.

"Nah, sekarang kalian harus saling tabas menabas sendiri!"

Kedua kausu itu seperti mendengar halilintar berbunyi ditengah hari ketika menerima perintah jenderal Co. Mereka harus saling tabas menabas? Tidakkah itu akan berarti keduanya akan mati? Serentak kedua kausu itu menyadari apa maksud jenderal Co.

"Tidak!" serempak Mo dan Go kausu berpaling kearah jenderal Co, "kami tak mau menurut perintah ciangkun.”

"Apa, ? Bukankah engkau sudah berjanji akan membalas kebailkanku dengan melakukan setiap perintahku? seru jenderal Co.

"Ya, tetapi perintah semacam ini, jelas perntah yang sewenang- wenang. Mengapa ciangkun suruh kami saling bunuh sendiri ?"

"Mengingat kalian selama ini telah bekerja baik membantu aku maka akupun dapat memberi keringanan hukuman bagi kalian." "Apa ? Ciangkun hendak memberi hukuman kepada kami ?" seru Mo kausu.

"Apakah kalian masih merasa tidak layak kalau mendapat hukuman ? Apakah kalian menganggap perbuatan kalian ini harus mendapat bintang jasa ?"

"Ciangkun." seru Go kausu. "kami tak mengerti apa persoalannya. Mengapa ciangkun tahu2 marah kepada kami ? Harap ciangkun mengatakan apakah kesalahan kami

?"

Jenderal Co mendegus, "Hm, apakah kalian masih tak merasa ?"

"Tidak, ciangkun," seru Go kausu, "kami merasa tak melakukan suatu kesalaban apa2."

"Apa yang kalian lakukan selama di kotaraja ?" tiba2 jenderal Co berganti nada membengis.

"Kami telah melakukan perintah ciangkun untuk melakukan penyelidikan terhadap tayhaksu."

"Dan kalian sudah menunaikan tugas itu dengan sejujurnya ?"

"Benar?" sahut Go kausu.

Jenderal Co mendengus, "Hm, berapa banyak emas dan perak yang masuk kedalam kantong kalian ?"

Mo dan Co kausu pucat seketika, serempak mereka berseru, "Apa maksud, ciangkun ?"

"Jangan banyak malut, lekas kerjakan perintahku !" bentak Co Liang Giok.

"Tidak !" seru Mo kausu, "kami merasa tak bersalah mengapa ciangkun memberi perintah yang tak adil begitu !" "Hm, apakah kalian memaksa aku harus turun tangan sendiri ?" tanya Co Liang Giok,

"Terserah," jawab Mo kausu," tetapi kami menghendaki penjelasan, apakah kesalahan kami ?"

"Siapakah yang pada malam itu menghadap mentri Wan Tay Thiat dan dijamu dengan hidangan mewah ?" kata jenderal Co.

Mo kausu pucat.

"Jawab, mengapa kalian membisu ?" bentak jenderal Co. "Entah, kami tak tahu menahu soal itu, akhirnya Mo

kausu menjawab.

"Baik, akan kuberikan jawabannya. Yang pada malam tanggal 13 menghadap mentri Wan Tay Thiat dan disambut dengan perjamuan mewah adalah dua manusia yang bernama Mo Thian In; dan Co Hiong, pemimpin Peng- thian-piau-kiok yang terkenal itu "

"Tidak !" teriak Mo dan Co kausu serempak.

"Hm, lihatlah ini,"tiba2 jenderal Co mengunjukkan sebuah benda kecil warna putih, “milik siapakah buah baju ini ?"

Seketika Mo dan Co kausu pucat.

"Buah baju ini adalah tercomot dari baju seorang lelaki yang bernama Mo Thian Ing dan cincin ini adalah milik orang yang bernama Co Hiong yang diberikan kepada seorang wanita cantik dari gedung tay-haksu !"

Rupanya kedua kausu itu tak dapat menghindar lagi. Serentak mereka berpaling kearah jenderal Co dan berseru, "Jenderal Co, memang kami tak setuju atas perbuatan jenderal untuk mengadakan pembersihan ke kota raja. Kalau engkau masih tetap hendak melakukan hal itu, terpaksa akan kami tangkap !"

"Apa ?" teriak jenderal Co marah sekali, "kalian berani menangkap aku ?"

"Demi persatuan dan kesatuan, demi kepentingan negara dan demi perintah tay-haksu Ma tayjin !" seru kedua kausu itu dengan suara lantang.

"Ho, bagus, bagus," jenderal Co tertawa sinis. "sekarang kalian sudah mengakui kalau kalian sudah dibeli tay-haksu dengan uang dan wanita. Baik, binatang, engkau kira aku takut kepada kalian !"

Jenderal Co serenta menyambar sebatang pedang bertangkai panjang dan terus menerjang kedua kausu itu.

Jenderal itu terkenal sebagai jenderal yang keras dan gagah berani. Namun di medan perang lain dengan di dalam ruang. Melawan prajurit musuh, lain pula melawan dengan jago silat.

Mo Thian Ing dengan senjata ruyung sembilan-ruas dan Co Hiong dengan ilmupedang dari perguruan Tiam-jong- pay, walaupun hanya dua orang tetapi lebih berbahaya dari seribu prajurit di medan perang. jenderal Co kewalahan juga.

"Jenderal pemberontak, serahkan jiwamu !" tiba2 Mo Thian Ing membentak seraya menabur senjata ruyung- sembilan-ruas kearah kepala jenderai itu.

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar