Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 33 Perangkap.

Jilid 33 Perangkap.

Huru Hara terkejut mendengar pertanyaan tay-haksu Ma Su Ing. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, Ma Giok Hoa sudah mendahului.

"Benar, yah, memang kudengar hohan ini pernah bentrok dengan Lau-ma tetapi dia yang diserang dulu sehingga dia terpaksa membela diri …., ."

"Adik Hoa ! Mengapa engkau membelanya?" teriak Ma Giok Cu.

"Maaf, cici, bukan aku membela orangnya tetapi membela persoalannya. Mana yang benar aku harus mengatakan benar, yang salah harus kukatakan salah, Yah, apakah aku salah kalau mengatakan begitu ?"

Ma Su Ing gelagapan. Memang ia tahu bahwa diantara kedua puterinya berlainan wataknya.

Ma Giok Cu berhati tinggi dan manja. Ma Giok Cu berhati lemah lembut dan penuh rasa kasihan terhadap orang. Walaupun sebagai seorang tay-haksu tetapi ternyata Ma Su Ing juga tetap seorang ayah yang berhati penuh sayang kepada kedua puterinya. Apalagi karena dia gemar mengumpulkan gundik2 gadis cantik, ia sungkan kepada kedua puterinya. Maka diapun bersikap lunak dan memanjakan mereka.

Rupanya Ma Giok Hoa yang cerdas tahu akan kesulitan ayahnya untuk memberi keadilan siapa yang benar antara dia dan Giok Cu. Maka eepat2 Giok Hoa mengalihkan pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.

"Hohan ini telah menyelamatkan ayah dari cengkereman penjahat berkedok sasterawan tadi. Mengapa cici hendak mencelakai orang yang sudah menolong ayah ?"

Pertanyaan Giok Hoa itu memang tajam. disamping membungkam Giok Cu dan Giok Sun, juga memberi isyarat kepada ayahnya agar menggunakan alasan itu untuk menenangkan hati Giok Cu.

"Ya, memang begitu," rupanya Ma Su Ing tahu akan isyarat Giok Hoa, "dia telah berbuat baik kepadaku. Soal yang lampau biarlah jangan angkat lagi. Lau-ma hanya menderita luka kecil tak sampai membahayakan jiwanya. Dan lagi ayah memang hendak mengundang dia supaya bekerja menjadi pengawal ayah. Sudahlah Sun ji dan Cu-ji cobalah kalian perintahkan pada para penjaga agar mengadakan penjagaan yang lebih keras lagi malam ini dan selanjutnya."

Kedua anakmuda itu mengiakan lalu melangkah pergi.

Ternyata Ma Su Ing dapat memperhatikan perobahan wajah kedua anaknya. Dia tahu kalau kedua anaknya itu malu maka buru2 ia memerintah agar mereka dapat meninggalkan ruang situ.

“Loan Thian Te, bagaimana surat yang engkau kehendaki ?" tanya Ma Su Ing.

"Terserah kepada tayjin saja. Hamba hanya seorang utusan yang akan menghaturkan surat dari tayjin kepada Su tayjin," sahut Huru Hara.

Ma Su Ing masuk kedalam untuk menyiapkan surat.

Dalam pada itu Ma Giok Hoapun bertanya kepada Huru Hara, "Hohan, apakah engkau tak bersedia bekerja disini ?"

"Ah, harap siocia jangan menyebut hohan, panggil saja Loan Thian Te,"

"Hm, baiklah Loan-heng," kata dara itu.

"Terima kasih atas kebaikan siocia," kata Huru Hara, 'namun aku masih ada tugas yang belum terselesaikan."

"Tetapi kalau tugas itu sudah selesai ?"

"Nanti akan kupikirnya," sahut Huru Hara, "karena negara dalam suasana perang sepertinya semua tugas adalah sama yalah demi membantu negara.”

"Aku bekerja pada Su tayjin atau ikut pada tay-haksu, adalah sama arti tujuannya."

Ma G ok Hoa mengangguk.

"Dan lagi tay-haksu kulihat sudah cukup banyak mempunyai pengawal yang berilmu tinggi tentulah tak perlu kuatir akan keamanannya."

"Bukan begitu Loan-heng," kata Giok "maksud ayah meminta Loan-heng bekerja disini bukanlah karena ayah kuatir tentang keselamatannya tetapi rasanya ayah memandang Loan-he ini seorang yang cakap dan dapat dipercaya."

"Terima kasih, siocia. Aku masih belum dapat memikirkan hal itu. Nanti apabila tugas sudah selesai, barulah aku dapat mengambil keputusan."

Ma Su Ing keluar dengan membawa sebuah sampul yang di-lak dengan stempel (ci-keng) merah, "Nah. inilah surat balasan untuk Su tay-jin.”

Baru Huru Hara hendak mohon diri, tiba2 masuklah seorang penjaga, "Lapor kehadapan tay-jin, bahwa tawanan tua yang membawa tongkat bambu kuning itu tak mau makan."

"0, lalu apa maksudnya ?"

"Dia mengatakan hendak bunuh diri. Lebih balk mati daripada disiksa begitu," kata penjaga.

"Hm, bawalah dia kemari," kata Ma Ing.

Ketika tawanan itu dibawa menghadap Ma Su Ing, Huru Harapun terkejut sekali hingga hampir saja dia berteriak.

Tetapi Rajacopet Bambu kuning segera deliki mata kepadanya. Huru Hara tahu apa yang dimaksud, dia pun diam.

"Hai, engkau, apakah engkau masih tak mau mengaku siapa yang suruh engkau memalsu sebagai Gak sucia meminta surat kepadaku ?"

"Aku sendiri," sahut Raja-copet Bambu-kuning dengan garang.

Diam2 Haru Hara terkejut. Ternyata Raja-copet itu sudah menyusul ke gedung tay-haksu, dan bahkan mendahului bertindak untuk meminta surat dari tay-haksu. Surat itu jelas surat balasan Ma Su Ing kepada Su Go Hwat.

"Hm, Raja-copet itu memang lihay. Sayang dia tertangkap. Aku harus berusaha untuk membebaskannya," pikir Huru Hara.

Dia tak mau beranjak keluar melainkan menunggu bagaimana kesudahan pemeriksaan yang dilakukan Ma Sa Ing terhadap si Raja- copet.

"Apakah engkau benar2 berkeras kepala ?" seru Ma Su Ing.

"Sama sekali tidak," sahut si Raja Copet.

"Aku sudah mengatakan apa yang sebenarnya. Lalu apa lagi yang harus kukatakan ?"

Ma Su Ing marah, "Bawa keluar dan hajar bangsat itu !" serunya kepada beberapa penjaga.

"Tayjin, hamba hendak bicara," tiba2 Huru Hara tak dapat menahan kesabarannya dan berkata.

"0, engkau mau bilang apa ?" "Dimanakah orang itu ditahan ?" "Dalam tahanan rahasia."

"Bagaimana kalau tayjin menjebluskannya dulu ?" "Lalu ?"

"Nanti setelah dia pergi, barulah hamba bicara lagi dengan tayjin."

Karena Huru Hara jelas pernah menyelamatkan dirinya dari cengkeraman penjahat yang menyaru sebagai - asterawan maka Ma Su Ing mulai menaruh kepercayaan. Dia menyetujui permintaan dan suruh penjaga membawa si Raja-copet ke kamar tahanan lagi.

"Nah, sekarang bicaralah," kata Ma Su Ing. "Begini maksud hamba," Huru Hara mulai bicara,

"tidakkah tayjin mengetahui bahwa orang itu mempunyai kepandaian yang luar biasa ?"

"Dalam hal apa ?"

"Dalam soal menyaru. Dia menyaru sebagai Gak sucia begitu persis sekali sehingga tayjin sendiri sampai dapat dikelabuhi."

"Hm, lalu ?"

"Tidakkah tayjin membutuhkan orang2 yang berkepandaian hebat. Bukan saja kepandaian silat, pun juga lain2 macam kepandaian. Menyaru merupakan ilmu seni yang hebat dan banyak sekali gunanya. Tayjin tentu maklum akan hal itu.”

Ma Su Ing cepat dapat menangkap maksud Huru Hara. Diam2 dia memang kagum atas kepandaian si Raja-copet dalam hal menyaru. Pikirannyapun cepat melayang jauh ke suatu angan2 yang cerdik.

"Hm, andaikata terjadi sesuatu di kota raja ini kalau sampai istana diserbu tentara Ceng, bukankah aku harus melarikan diri ? Dalam keadaan yang sangat berbahaya, dia akan kusuruh menyaru sebagai diriku dan aku menyaru sebagai rakyat biasa untuk meloloskan diri dari bahaya," la mului menimang-nimang.

"Ya, segala dapat terjadi dalam suasana perang seperti ini. Benar apa kata Loan Thian Te, orang itu memang berguna juga untukku," pikirnya pula.

"Engkau benar," Ma Su Ing mengangguk, "aku dapat memakai orang itu tetapi apakah dia mau ?"

"Bagaimana kalau tayjin serahkan saja kepada hamba untuk membujuknya ?"

"Apakah engkau mau melakukan hal itu?”

“Biarlah kusempatkan sedikit waktu membujuknya."

Ma Su Ing segera suruh penjaga mengantar Huru Hara ke penjara.

Apa yang disebut rumah tahanan dalam gedung tay- haksu itu, merupakan sebuah bangunar tersendiri yang terletak disebelah belakang. Disitu terdapat beberapa ruang yang diperkuat dengan terali besi dan dijaga.

Setelah penjaga membuka pintu terali, Huru Hara berkata, " Berikan kuncinya kepadaku nanti aku yang mengunci, engkau tunggu saja di pos penjagaan."

Penjaga itu tahu bahwa Ma Su Ing memperlakukan Huru Hata sebagai seorang tetamu yang dipercaya. Dan lagi ia mendengar bahwa Huru Hara itu adalah utusan dari mentri pertaharan Su Go Hwat. Maka penjaga itupun tak berani membantah, ia menyerahkan seuntai anak kunci, lalu keluar.

"Paman, mergapa engkau berada di sini ?” tanya Huru Hara.

Raja- copet tertawa, "Kalau aku tak menyusul, engkau tentu celaka."

'Mengapa ?" Huru Hara heran.

"Bukankah surat yang engkau berikan kepada tay-haksu itu surat tulisanku sendiri ?"

"Andaikata wi-su yang diutus Ma Su In itu menyerahkan surat asli yang diterima utusan Su tayjin, bukankah Ma Su Ing akan mengetahui. perbuatanmu ?"

"Celaka !" teriak Huru Hara sedang disadarkan," kalau begitu apakah paman yang telah menukari surat yang dibawa wi-su itu.”

"Engkau pintar menebak," kata Raja copet "Lalu di mana surat yang aselinya?”

"Beres," kata Raja-copet seraya menepuk-nepuk dadanya, Artinya, berada dalam baju.

"Mengapa paman dapat tertangkap ?"

"Sialan," gumam Raja- copet, "karena menyaru jadi Gak Se Bun yang kusergap dan kujebluskan dalam WC, pikirku aku hendak menghadap Ma Su Ing. Engkau tahu si Ma Su Ing itu hendak apa ?"

"Bagaimana ?" tanya Huru Hara.

'Dia hendak suruh aku menyampaikan surat kepada panglima Torgun ?"

"0," seru Huru Hara terkejut, "apa maksudnya ?" "Sayang karena anaknya si Ma Sun datang, dia dapat

memergoki aku dan akhirnya aku dapat di ringkus. Coba tidak, tentu aku dapat mengetahui apa surat Mas Su Ing itu."

“Jika demikian, hm," dengan berbisik-bisik Huru Hara mendekati telinga Raja-copet. "kita ingat saja Giam Se Bun itu "

Raja copet mengangguk, "Serahkan kapadaku, tentu beres "

Raja copet bertanya pula bagaimana rencana Huru Hara.

Jawab Huru Hara, "Akan kututup pintu terali lagi tetapi tidak kukunci. Nanti paman dapat meloloskan diri."

"Dan setelah ini akupun akan pergi. Kutunggu paman disebuah kuil tua, utara kota ini," kata Huru Hara pula.

Setelah itu Huru Hata lagi keluar dan meyerahkan kunci kepada penjaga. Dia menghadap tay-haksu lagi, "Tay-jin, dia minta tempo untuk berpikir sampai besok pagi. Apabila dia tetap nolak, terserah saja tayjin hendak memutuskan bagaimana terhadap orang itu. Dan karena sudah tiada pesan apa2 lagi dari tayjin, hamba mohon diri "

Sehabis pamitan, Huru Hara menuju ke utara dan beristirahat disebuah kuil tua yang sudah tak pernah dikunjungi orang. Kuil tua itu terletak sepuluhan li dari kotaraja.

Belum berapa lama, Raja-copetpun muncul "Eh, mengapa paman secepat ini sudah menyusul kemari ?" tegur Huru Hara.

"Karena aku kuatir penjaga akan masuk mengantar makanan dan tahu kalau kunci itu tidak engkau kunci," jawab Raja-copet.

"0, benar," kata Huru Hara, "lalu bagai mana rencana paman untuk menyergap Gak Se Bun.

"Menurut pesan Ma Su Ing kepadaku sebelum dia mengetahui kalau aku ini Gak Se Bun palsu, dia mengatakan akan menyuruh Gak Se Bun mengantar surat kepada panglima Ceng si Torgun. Kita cegat saja dia disini.”

Tetapi sampai menjelang sore, belum juga tampak Gak Se Bun lalu di jalan itu. "Ah, mungkin dia akan mengadakan malam nanti," kata Raja-copet.

"Apa tidak mungkin dia sudah berangkat lebih dulu dari kita,” kata Huru Hara, "dan lagi karena dia tahu kalau paman sudah mendengar tentang perintah Ma Su Ing, siapa tahu dia tidak mengambil jalan ini tetapi mengambil jalan lain. Misalnya, dia menuju ke timur tidak ke utara sini."

"Hm, ya, benar," kata Raja-copet, “lalu bagaimana ?" "Begini saja, paman," kata Huru Hara, "aku yang menuju

ke utara sekali terus menemui Su tayjin dan paman yang ke timur mengejar jejak Gak Se Bun, Kalau Gak Se Bun tidak mengambil jalan ke timur, segera saja paman cari aku di Yang-ciu tempat markas Su tayjin. Gak Se Bun tentu menempuh jalan utara dan tentu sudah ku bekuk,"

Raja-copet menyetujui. Keduanya segera berpisah. Huru Hara melanjutkan perjalanan ke Yangciu yang terletak di utara.

Belum berapa lama berjalan, dia melihat suatu gerombolan tentara kerajaan Beng sedang beristirahat disebuah hutan. Dia curiga,

Diam2 dia menghampiri ketempat mereka dan bersembunyi disebuah gerumbul yang teraling dari pandangan mereka.

Rupanya gerombolan prajurit yang membawa kuda itu sedang menunggu seseorang. Mereka terdiri dari prajurit2 yang bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa. Salah seorang yang rupanya menjadi pemimpin mereka, memelihara kumis yang lebat sehingga makin menyeramkan. Juga mereka sama membekal senjata.

"Tui-tiang (kepala regu), berapa lama kita harus menunggu disini," tanya seorang prajurit pada pimpinannya yang berkumis

"Mungkin setelah matahari terbenam baru Ang Bin tojin datang," sahut orang itu. Karena pembicaraan mereka keras maka Huru Hara dapat mendengarkan dengan jelas. "Ang Bin tojin ?

Siapakah Ang Bin tojin itu ? 0, apakah imam yang berada dalam gedung tay-haksu itu.

Huru Hara makin tertarik. Diapun terpaksa menekan kesabarannya untuk menunggu apa yang terjadi disitu nanti.

Cepat sekali waktu berjalan. Matahari terbenam dan hari menjadi gelap. Memang benar apa yang dikata pemimpin rombongan tadi. Tak berapa lama muncullah seorang imam berwajah merah.

"Ah, kiranya totiang datang," sambut pemimpin rombongan prajurit itu.

"Apakah semua sudah siap ?" tanya Imam muka merah. Pemimpin rombongan mengiakan.

"Jika begitu mari kita berangkat," kata Ang Bin tojin.

Begitnlah rombongan prjurit yang terdiri dari duapuluh orang segera mengiringkan Ang Bin tojin.

Huru Hara sempat memperhatikan bahwa setiap prajurit berkuda itu tentu membawa sebuah peti.

"Hendak kemanakah mereka ?" tanya Huru Ilara dalam hati. Ia tahu bahwa rombongan Ang Bin tojin itu tentulah melakukan perintah tay-haksu Ma Su Ing, Tetapi dia belum tahu jelas kemanakah mereka akan pergi.

“0o," tiba2 ia teringat akan pembicaraannya dengan penjahat yang menyaru sebagai sasterawan dan membekuk tay-haksu Ma Su Ing "bukankah ini yang dimaksud tay- haksu untuk memenuhi tuntutan penjahat sasterawan itu ? Hm, siapakah sasterawan itu ?"

Sebenarnya Huru Hara ingin sekali cepat2 menghadap Su Go Hwat di Yang-ciu untuk menyerahkan surat balasan dari Ma Su Ing. Tetapi dia tertarik juga akan kesudahan dari perjanjian Ma Su Ing dengan sasterawan penjahat itu. Akhirnya ia memutuskan bahwa malam itu dia akan mengikuti perjalanan rombongan Ang Bin tojin. Apabila sampai besok pagi belum terjadi suatu terpaksa dia akan meninggalkan mereka dan langsung menuju ke Yang-ciu saja.

Saat itu cuaca terang, bulanpun bersinar walaupun tidak menampakkan seluruh wajahnya, Huru Hara memang agak mengalami kesulitan untuk mengikuti mereka. Dia harus berlari supaya dapat mengimbangi rombongan prajurit yang naik kuda itu. Tetapi karena dia harus hati2 supaya jejaknya, tak diketabui mereka, akhirnya makin lama makin ketinggalan.

Saat itu setelah melintasi sebuah jalan bukit yang cukup panjang. mereka harus melalui sebuah tanjakan yang dikanan kirinya merupakan sebuah gerumbul pohon, sepintas menyerupai hutan kecil.

"Berhenti !" tiba2 Ang Bin tojin berseru dan memberi isyarat supaya rombongannya berhenti.

"Li tui-tiang, silakan periksa apa yang melintang di tengah jalan sebelah muka itu," katanya memberi perintah kepada pemimpin rombongan prajurit yang bernama Li Beng,

Li Beng segera mengeprak kuda maju kemuka. Ternyata di sebelah muka lebih kurang puluh tombak jauhnya, tampak sebuah benda tegak memancang di tanah, mirip sebatang tombak yang ditancapkan.

"Ah, sebatang pena pit," seru Li Beng ketika tiba di tempat benda itu. Benda itu terbuat daripada bambu, ujungnya runcing dan diberi cat warna hitam seperti ujung pena pit.

"Totiang, aneh, benda itu sebuah pit dari bambu yang menancap tegak di tanah," Li Bang memberi laporan.

"Hm, dia sudah datang," desuh Ang Bin tojin. "Siapa totiang ?"

"Apakah engkau belum mendengar peristiwa yang terjadi dalam gedung tay-haksu semalam ?" "Belum, totiang."

Ang Bin tojin terkesiap. Ia menyadari bahwa hal itu tak perlu ia beritahu kepada para prajurit karena apabila hal itu sampai tersiar tentulah tay-haksu Ma Su Ing malu. Tetapi karena sudah terlanjur omoag maka Ang Bin tojin pun terpaksa memberi keterangan walaupun tidak seluruhnya sama dengan peristiwa itu.

"Ada seorang penjahat yang berani mati mengancam tay- haksu hendak merampas peti2 ini."

"0. siapakah dia ?"

"Pcnjahat itu menyaru sebagai seorang sasterawan maka kuduga pena bambu itu adalah sebagai lambang dari kehadirannya ditempat ini. Kau pun harus bersiap-siap."

Li Beng segera memerintahkan anakbuahnya berhenti dan bersiap.

Ang Bin tojin juga bersiap. Ia mempertajam pendengaran dan penglihatannya untuk mengawasi setiap desir angin, gerak pohon yang akan mengantar kemunculan penjahat itu.

Namun sampai lebih kurang setengah jam lamanya, belum juga tampak tanda2 kemunculan seseorang.

Akhirnya Ang Bin tojin bersangsi.

"Hm, aneh, apakah aku keliru menafsirkan pertandaan pena bambu itu ?" pikirnya.

Akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perljalanan lagi. Memang sampai beberapa li tak ada perobahan. Tetapi ketika akan melalui sebuah hutan lagi, kembali Ang Bin tojin dikejutkan oleh sebuah benda mirip tonggak yang tegak di tengah jalan.

"Li tui-c:ang, periksalah itu,” serunya. Li Beng melakukan perintah. Kembali ia mendapatkan bahwa toaggak yang tertancap di tengah jalan itu juga sebatang bambu yang berbentuk seperti pena (pit). Hanya sekarang pada pangkal batang bambu itu terdapat sehelai kain segitiga dengan lukisan sebuah tengkorak diatas dua kerat tulang yang bersilang.

"Pena dengan panji tengkorak, toiang," Li Beng memberi laporan.

“Pena dengan panji Tengkorak ?" ulang An Bin tojin, "hm, apa maksud sasterawan itu ?"

Dia memerintalikan supaya rombongannya berhenti lagi dan siap2 menghadapi setiap kemungkinan, Tetapi sampai sejam lamanya, belum juga tampak orang itu muncul.

Akhirnya Ang Bin tojin memerintahkan melanjutkan perjalanan lagi.

Eh, baru duapuluh li jauhnya, kembali terdapat benda pertandaan semacam itu lagi. Hanya kali ini pena bambu yang panjangnya seperti tombak itu mempunyai panji tengkorak berwarna putih, kainnya hitam. Panji tengkorak yang pertama di dasar warna kainnya putih, gambarnya hitam.

Sejam lamanya Ang Bin tojin berhenti untuk menunggu tetapi orang itu tetap tak muncul.

"Hm, dia rupanya hendak menggoda saja untuk menimbulkan ketegangan urat syaraf,” pikirnya “atau mungkinkah dia sudah mencium bau tentang rencanaku dalam melakukan penyerahan peti itu ? Ah, tak mungkin. Karena rundingan kita itu di tempat yang rahasia sekali . ."

Ang Bin tojin melanjutkan perjalanan lagi, saat itu sudah lewat tengah malam. Suasana malam sepi. Angin malam yang dingin terasa menggigit tulang.

Duapuluh li kemudian, tanda pena bambu tampak pula menancap di tengah jalan. Panji melukis tengkorakpun berwarna lain. Kainnya merah dan lukisan tengkoraknya berwarna hitam.

"Hai, jangan main gertak, bung," pikir An Bin tojin. Kali ini dia tak mau berhenti melainkan memerintahkan rombongannya terus berjalan

Tetapi pada saat mereka baru berjalan beberapa langkah, tiba2 sebatang pohon yang berada di tepi jalan telah tumbang melintang di jalan. Untung rombongan itu cepat2 mundur sehingga terhindar dari kejatuhan pohon.

Debu mengepul, bercampur asap putih yang tebal.

Memang, pada saat barang pohon roboh terdengar letusan kecil.

Setelah debu campur asap menipis maka muncullah sesosok tubuh manusia yaLng berpakaia putih. Dan seketika Ang Bit tojin dapat melihat bahwa orang yang muncul itu adalah seorang sasterawan.

"Apakah engkau sasterawan yang hendak mengambil peti dari tay haksu ini ?" tegur Ang Bin tajin.

"Siapa lagi orang yang mau malam2 buta seperti ini muncul di tengah hutan ?" sahut sastrawan itu.

"Hm, apakah engkau benar2 menghendaki peti harta itu

?"

"Totiang adalah seorang utusan tay-haksu. Tentulah

totiang sudah mendapat kekuasaan penuh untuk melaksanakan perjanjian tay-haksu, kepadaku. Sekarang manakah bagian yang akan diserahkan kepadaku itu ?" tanya sasterawan itu.

"0, maaf," sahut Ang Bin tojin, "aku hanya diperintahkan untuk mengawal peti ini tetapi tak diperintahkan untuk menyerahkan sebagian kepadamu !"

"Hai, engkau berani menolak !" teriak sasterawan.

"Aku tidak menolak melainkan hanya menurut perintah tay-haksu saja," sahut Ang Bin tojin, "sahabat, janganlah engkau membikin susah aku. Kalau engkau tak percaya silahkan engkau menghadap tay-haksu."

"Keparat, apa tay-haksu berani ingkar janji?" "Entah, aku hanya orang bawahan saja,"

"Baik," kata sasterawan itu, "karena jelas tay-haksu berani mempermainkan aku maka aku pun terpaksa tak sungkan lagi."

"Apa maksudmu ?"

"Serahkan semua peti itu kepadaku kalau engkau ingin masih punya nyawa !"

Ang Bin tojin mendecak-decakkan mulut, “Cek, setua ini aku hidup dalam dunia, baru pertama kali ini aku bertemu dengan seorang manusia yang bermulut besar ! Engkau anggap aku ini cacing yang mudah engkau injak ?"

"0, apakah engkau anggap dirimu ini seekor harimau ?" balas sasterawan.

"Manusia kecut, apakah engkau kira hari ini engkau mampu lolos dari tempat ini ?" ejek Ang Bin tojin.

Tampak lima prajurit bergerak maju untuk mengepung sasterawan itu.

"0. bagus, bagus," seru sasterawan tertawa congkak, "kalian hendak mengepung aku ? Hay tak perlu maju satu persatu, majulah serempak saja agar menghemat tenagaku

!"

"Sasterawan, apakah engkau benar2 tak mau menyerah;" seru Ang Bin tojin.

"Menyerah ? Gila engkau imam muka merah," sahut sasterawan, "seharusnya kalianlah yang menyerah, bukan aku."

"Baik, jika begitu terpaksa harus kugunakan kekerasan," Ang Bin menutup kata-katanya dengan lepaskan hantaman. Dan serempak pada saat itu kelima prajurit itupun juga menghantam.

Darrrr .....

Terdengar letusan keras macam halilintar meletus dahsyat. Debu mengepul tebal, batang pohon bergetar dan daun pun berguguran jatuh.

Dan sesaat kemudian dari udarapun meluncur sesosok tubuh yang dengan berjumpalitan melayang turun, berdiri tegak di atas tanah.

Hantaman yang dilepas oleh Ang Bin tojin dan kelima prajurit itu paling berbentur sehingga menimbulkan suara ledakan yang dahsyat. Sedangkan sasterawan itu dengan cerdik loncat sampai dua tombak tingginya

"Eh, prajurit2, hebat sekali pukulan itu," seru sasterawan, "kalian tentu bukan prajurit biasa. Hayo, sebutkanlah nama kalian secara jantan. Ketahuilah. aku tak mau membunuh manusia yang tak ternama !"

"Hm, matamu tajam sekali," seru Ang Bin tojin, "memang mereka bukan prajurit biasa, Agar engkau mati dengan meram, akan kuberitahukan nama2 mereka.

Mereka adalah Tiam Wi loheng bergelar Tok- jiu- kim- kong atau Malaekat – tangan beracun. Ang Peng San loheng bergelar Kim-tiokan-kun (si Seruling-emas) Liong Su Be loheng bergelar Thia si kim- wan (Monyet-emas- bertangan besi) Giam Ting loheng bergelar Hoa-hiat-ciarg (pukulan darah) dan terakhir adalah Suma In sang-jin (pertapa) bergelar Hui-sin-piau (si Piau terbang sakti). Nah, sudah jelas?"

"Wah, wah," mulut sasterawan itu berdecak-decak, "hebat sekali nama dan gelar mereka. Mungkin orang yang bernyali kecil, mendengar gelarnya saja sudah tak punya jantung lagi. Hm, menilik munculnya beberapa jago sakti ini, jelas tay-haksu Ma Su Ing memang sudah berniat siapkan rencana untuk menangkap aku. Engkau kira aku takut menghadapi kalian berenam ini ?"

"Lihat saja nanti," dengus Ang Bin tojin.

"Kalian mau bertempur satu lawan satu atau secara serempak ?” sasterawan itu menantang.

"Akulah yang akan menghadapi engkau dulu," seru Tiam Wi seraya melangkah maju.

Tiam Wi, Ang Peng San dan Long Si Bu termasuk kelompok Sam-wi atau Tiga Penjaga dari tay-haksu Ma Su Ing.

Tiam Wi bertubuh kurus tinggi. Sepasang jidatnya yang menoniol sehingga kedua matanya menyusup kedalam menandakan kalau dia memiliki ilmu lwekang yang tinggi.

Yang istimewa adalah kuku jarinya, runcing dan panjang. Dia segera membuka serangan dengan menggerakkan tangan ke dada lawan dalam jurus Pek- kau- hian-kuo atau Kera-putih-mempersembahkan-buah.

Tetapi sasterawan itu menampar dengan jurus Gwat-li- san-hoa atau Bidadari-menyebar bunga.

Tiam Wi terkejut ketika merasakan tamparan lawan mengandung tenaga-dalam yang kuat sehingga tangannya tertahan. Ia menyerang lawan tetapi tetap tersdesak oleh tamparan tangan. Pertempuran berjalan seru dan Tiam Wi tetap tak mampu menjamah tubuh lawan.

Ternyata diam2 sasterawan itu mencatat nama dan gelar dari kelima ko-jiu (Jago sakti ) yang menyaru sebagai prajurit itu.

Tiam Wi bergetar Tok-jiu-kim-kong si Malaekat- bertangan-racun. Jelas orang itu tentu memiliki jari2 yang beracun. Dan sasterawanpun memperhatikan bahwa kuku2 jari Tiam Wi makin lama makin tampak merah warnanya. Jelas jari itu mengandung racun yang berbahaya. Untuk menghindari hal2 yang tak diinginkan maka sasterawanpun cepat menampar setiap kali lawan hendak menyerang.

Dengan siasat itu berhasillah la memagari tangan Tiam Wi agar jangan sampai menjamah tubuhnya.

Cepat sekali pertempuran sudah mencapai setatus jurus tanpa ada kesudahannya.

"Tiam-heng, silakan beristirahat. Biar aku yang mengganti," seru seorang prajurit yang segera loncat ke muka.

"Baik," sahut Tiam Wi setelah tahu bahwa yang maju itu adalah Au Peng San. "Ho, bagus, engkau pakai serulingmu?" seru sasterawan ketika melihat orang mengeluarkan seruling emas.

"Jangan banyak mulut" bentak Ang Peng San yang terus menyerang dengan seruling emasnya. Seruling memagut- magut cepat dan deras sekali. Setiap pagutannya merupakan tutukan pada jalandarah yang berbahaya dari tubuh lawan. Sepintas menyerupai seekor ular emas yang tengah memagut.

Tetapi sasterawan itu memang lihay sekali. Dengan gerakan yang indah, cepat dan lemas, dia bergeliatan menghindari semua tutukan seruling.

Seratus jurus telah berlangsung namun Ang Peng San tetap tak mampu menutuk tubuh lawan.

"An-heng, silakan beristirahat. Biarlah aku yang mengganti," seru prajuri yang lain.

Ang Peng San tahu yang berseru itu adalah Liong Si Bu gelar Thiat-pi-si-wan atau Monyet emas-lengan-besi.

Diapun loncat mundur.

Ternyata ilmusilat yang dimainkan oleh Liong Si Bu itu bersumber pada ilmusilat Kaukun (kera). Sepasang tangannya berhamburan untuk mencomot tubuh lawan.

Cepat dan gesitnya melebihi gerak monyet yang aseli.

Tetapi sasterawan tetap dapat mengimbangi permainan orang, "Hm, ilmusilat gaya Kau-kun begini, tak malu untuk dipertunjukkan kepadaku, dengus sasterawan itu mengejek.

Sudah tentu Liong Si Bu marah sekali. Tetapi apa daya. Semua jurus serangannya yang dilancarkan dapat dibaca oleh lawan. Rupanya lawan mahir juga akan ilmusilat Kau- kun itu.

Seratus juruspun berlalu lagi. Sam-wi atau Tiga-penjaga tay-haisu Ma Su Ing tak mampu meringkus sasterawan itu.

"Liong-heng, silakan beristirahat," seru seorang prajurit lain. Dia adalah Giam Ting jago pukulan Hoa-hiat-ciang. Dan ketika Giam Ting melepaskan pukulan Hoa-hiat ciang, dia terkejut sekali karena sasterawan itu menyambut dengan pukulan Siuto-im-sat-kang.

Hoa-hiat-ciang merupakan pukulan tenagadalam yang hebat. Orang yang terkena pukulan itu tubuhnya akan melonyoh seperti orang terbakar dan lalu menjadi cairan darah merah. Ilmu pukulan itu tergolong aliran Hitam.

Tetapi pukulan Siu-lo-im-sat-kang yang juga merupakan pukulan tenaga-dalam, merupakan penunduk dari pukulan Hoa-kiat-ciang itu. Apalagi Siu-lo-im-sat-kang yang dimiliki sasterawan itu setingkat lebih tinggi dari pukulan Hoa-hiat- ciang yang diyakinkan Giam Ting. Sudah tentu Giam Ting menjadi kelabakan.

Tring, tring tiba2 terdengar bunyi mendering halus

yang terpukul.

"Bagus, jago licik, engkau berani menyerang aku secara menggelap!" seru sasterawan itu seraya tamparkan lengan bajunya.

"Ih , " terdengar prajurit yang setengah tua dan

berjenggot kambing mendesis seraya menghindar. 'Ternyata dia adalah pertapa Suma In, ahli melontar

senjata rahasia. Melihat Giam Ting terdesak, dia segera taburkan dua batang jarum mengarah mata tenggorokan sasterawan. Tetapi alangkah kejutnya ketika dalam saat masih menghadapi serangan Gim Ting, sasterawan itu dapat menampar jatuh jarum yang melayang tanpa bersuara itu. Bahkan dengan cepat pula, sastera wan itu dapat balas menaburkan dua batang jarum kepadanya.

"Hebat sekali kepandaiannya," mau tak mau Suma In terkejut dan memuji dalam hati. "Giam-heng, silakan mundur," seru Ang Bin tojin yang sejak tadi belum maju dan hanya memperhatikan tingkah si sasterawan.

"Ho, rupanya engkau juga ingin mencici tanganku, imam muka merah," ejek sasterawan. Berulang kali disebut muka merah,. marahlah Ang Bin. Serentak dia menyerang sasterawan itu dengan gencar.

"Wah, bahaya," seru sasterawan itu seraya menghindar dan menampar, "pukulanmu Thia sat-ciang ( pasir besi ) panas sekali. Harus didinginkan."

Sasterawan itupun berulang kali menampar dan mengebutkan lengan bajunya seperti orang yang memadamkan api.

Diam2 Ang Bin terkejut juga. Ternyata memang tengah melancarkan pukulan Thiat-sat ciang. Sebuah pukulan yang memancar hawa panas yang membakar. Tetapi sastrawan itu mengeluarkan Im- han-sat-kang, pukulan hawa dingin yang hebat.

Ang Bin tojin heran mengapa sasterawan itu faham akan berbagai ilmu pukulan sakti dan ilmusilat dari berbagai perguruan yang ternama.

Pelahan tetapi tertentu, muka Ang Bin tojin yang merah berobah menjadi pucat. Jelas dia sudah kehabisan tenaga- dalam.

Pada saat Ang Bin sudah terdesak dan terancam bahaya tiba2 sasterawan itu kembali loncat sampai dua tombak ke udara. Dia berjungkir balik dan gerakkan kedua tangannya.

Terdengar letupan keras disusul dengan teriask kaget dari kelima jago yang mengeroyoknya. Mereka berhamburan loncat mundur.

Kembali peristiwa seperti tadi terulang, Pada saat melihat Ang Bin terdesak, kelima jago dari gedung tay-haksu itu serempak lepaskan kearah si sasterawan. Tetapi sasterawan itu dengan cerdik sudah loncat diudara dan sambil berjumpalitan melayang turun dengan taburkan jarum2 rahasia kearah pengeroyoknya.

“Hai, berhenti, kalian curang !" tiba2 terdengar suara orang berteriak nyaring dan sesosok tubuh segera melayang ke tengah gelanggang.

Sekalian ko-jiu terkejut ketika mereka melihat seorang pemuda dalam dandanan yang nyentrik, memelihara dua ikat rambut pada dua sisi kepalanya seperti sepasang tanduk, tegak berdiri bercekak pinggang seraya menuding pada jago2 dari gedung tay-haksu itu.

Ang Bin tojin cepat mengenali pemuda itu sebagai pendekar yang pernah menolong tay-hatsu dari cengkeraman si sasterawan.

Memang pemuda nyentrik itu tak lain adalah si Huru Hara. Dia mengikuti semua perkembangan yang terjadi dalam gelanggang pertempuran itu. Jelas dilihatnya bahwa sasterawan itu memang berilmu sakti sekali. Jago2 ko-jiu dari gedung tay-haksu tak ada yang menang. Memang kalau mereka maju berenam, kemungkinan si sasterawan tentu akan kelabakan, mungkin kalah, tapi mungkin juga sasterawan itu belum mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya. Bisa juga keenam ko-jiu gedung tay haksu itu akan kalah.

"Hm, ini suatu kesempatan untuk mengetahui siapakah sebenarnya dia," diam2 Huru Hara menimang dalam hati dan diapun terus berlari ketengah gelanggang.

Kecuali Ang Bin tojin, memang beberapa ko-jiu gedung tay-haksu itu belum tahu siapa Huru Hara. Melihat seorang pemuda nyentrik melangkerik (bercekak pinggang) di tengah gelanggang terus memaki-maki mereka, mereka pun marah.

"Hai, babi, siapa engkau ?" teriak Tiam Wi yang beradat berangasan.

"Hai, orangutan, engkau siapa ?" balas Huru Hara.

Tiam Wi memang banyak bulunya. Selalu brewok juga tangan dan dadanya penuh ditumbuhi bulu. Sepintas memang menyerupai seekor orang utan.

"Hus, babi, engkau berani memaki aku ?"

"Eh, orangutan, tak malu engkau." sahut Huru Hara, "masakan dengan seorang sasterawan yang sakit cacingan saja engkau tak mampu menang ? Begitu engkau masih sombong."

"Tiam-heng, harap jangan salah faham dengan hohan itu.

Dialah yang menolong tay-haksu waktu hendak dicelakai sasterawan itu," cepat2 Ang Bin lojin berseru kepada Tiam Wi.

"Apa ? Babi itu yang menolong tay-haksu ?" teriak Tiam WI." apa totiang tidak salah lihat ?"

"Orangutan, engkau memang masih liar. Kalau engkau tak terima kumaki orangutan liar, hayo, majulah kemari." "Lho, engkau berani menantang aku ?" teriak Tiam Wi

yang terus loncat ke hadapan Huru Hara.

"Tiam-heng ," Ang Bin tojin hendak Mencegah tetapi

sudah terlanjur. Tiam Wi sudah memukul Hura Hura.

Plak ............. . .

Aduh terdengar Tiam Wi menjerit seraya mendekap

pipinya. Mulutnya berlumuran darah karena sebuah giginya telah copot. Ternyata sebelum pukulannya jatuh, dengan kecepatan yang sukar ditukiskan, Huru Hara sudah menampar pipinya.

"Tiam-heng, harap jangan marah. Aku tak bohong, hohan itu memang yang telah menolong tay-haksu," Ang Bin tojin buru2 menghampiri dan membawa Tiam Wi ke pinggir gelanggang. Ia kuatir akan terjadi salah faham antara Tiam Wi dengan Huru Hara.

"Hayo, siapa lagi yang tak puas kalau kumaki sebagai jago licik karena suka main kerubut silakan maju," seru Huru Hara.

Beberapa ko-jiu dari gedung tay-haksu terkejut menyaksikan kepandaian pemuda nyentrik yang dapat satu gebrak saja sudah dapat menampar pipi Tiam Wi. Pada hal Tiam Wi adalah sa lah seorang ko-jiu yang tergabung dalam Tiga Penjaga dari tay-haksu Ma Su Ing. Dan karena melihat Ang Bin tojin begitu mengindahkan kepada pemuda nyentrik itu maka beberapa ko-jiu itupun tak mau berbuat seperti Tiam Wi.

"Bagus, bagus, engkau telah memberi pelajaran yang setimpal pada kawanan kantong nasi yang tak berguna itu," seru si sastrawan.

"Jangan tertawa dulu, bung," sahut Huru Hara "sekarang giliranmu yang akan kubereskan."

"Hm," dengus sasterawan itu, "disini bukan di gedung tay-haksu. Jangan harap engkau mampu jual tingkah.

Hayo, suruhlah kawan-kamu maju sekali gus saja!" "Mereka bukan kawankul"

"Mengapa angkau berpihak kepada mereka?"

"Aku tidak berpihak tetapi melindungi kepentingan tay- haksu."

"Uh, kepentingan tay-haksu? Kepentingan a-pa?" ejek sasterawan itu.

"Peti2 itu adalah milik tay-haksu . . . “

"Milik tay-haksu? Ha, ha, ha ," sas!erawan

tertawa keras penuh nada ejek, "apakah engkau tahu peti itu berisi barang apa? Emas, intan, zamrud, permata yang tak ternilai harganya. Sepuluh peti berisi harta sebesar itu, apakah engkau percaya kalau tay-haksu maampu membelinya?”

Huru Hara tertegun.

“Darimana tay-haksu memperoleh harta karun yang begitu besar?" kembali sasterawan bertanya.

"Itu urusan tay haksu sendiri!” akhirnya Huru Hara menyahut.

"Tidak! itu urusan kita semua, rakyat kerajaan Beng. Engkau tahu, bung, dari mana harta itu diperolehnya?"

"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala.

"Harta kerun itu berasal dari milik raja Beng. Tay-haksu dengan cerdik telah menguras gudang istana kerajaan!'

"Fitnah !" bentak Huru Hara. "Tolol !” balas sasterawan, "engkau memang tolol dan limbung. Jelas harta itu adalah milik baginda raja Beng. Kalau tak percaya engkau boleh menghaturkan isi dari peti itu ke hadapan baginda.”

"Hm," dengus Huru Hara.

"Apakah engkau masih tak percaya ?"

"Aku hanya tahu kalau peti itu adalah milik tay-haksu.

Entah apa isinya."

"Begini saja," kata sasterawan, 'kita buka salah satu peti.

Kalau memang isinya hanya harta biasa aku akan pergi. Tetapi kalau isinya harta pusaka milik raja, peti itu harus kurampas."

"Baik tetapi jangan ingkar janji !"

"Tidak," sahut Ang Bin tojin, "peti ini telah dipercayakan kepada saya untuk dibawa ke suatu tempat. Aku bertanggung jawab penuh atas keselamatan pengantaran peti2 ini.”

Cukup asal dibuka salah satu peti. Kita hanya akan melihat apa isinya saja,"

"Tetapi bukankah sasterawan itu mengatakan kalau isinya harta milik baginda, peti itu akan di rampasnya ?" seru Ang Bin tojin.

"Benar," sahut Huru Hara," kalau memang punya baginda raja, peti itu harus dikembalikan ke istana."

"Tidak bisa !" seru Ang Bin

"Mengapa tidak bisa ?" kata Huru Hara. "Aku bertanggung jawab atas peti2 itu." "Tapi kalau peti itu memang milik baginda?" "Tak peduli !"

"Tidak bisa tidak peduli, bung. Engkau harus peduli atau aku yang memperdulikan."

"Apa ?” Ang Bin tojin terkejut, "engkau hendak berfihak kepada sasterawan itu dan turut hendak merampas peti ini ?"

"Tidak," seru Huru Hara, "aku dan sasterawan ini beda

tujuannya. Mungkin dia hendak mengambil peti itu untuk kepentingannya sendiri. Tetapi kalau aku kan hanya akan mengembalikan kepada baginda."

"Kedua-duanya aku tak setuju."

"Eh, imam, apakah engkau benar2 tak mengidinkan kalau peti itu dibuka dan diperlihatkan kepada kami?"

"Tidak bisa !"

"Baik, kalau begitu mari kita selesaikan dengan jotosan saja."

“Pendekar gila, jangan banyak tingkah,” tiba2 Tiam Wi yang ditampar oleh Huru Hara tadi segera maju dan memukul Huru Hara.

Krakkkkk Huru Hara menangkis dan serempak

dengen terdengar suara dua kerat tulang saling beradu, Tiam Wipun terdorong mundur dua langkah.

Tiam Wi terkejut.

Tiam Wi memang belum kenal siapa Huru Hara. Dia mengira Huru Hara itu hanya seorang pemuda nyentrik yang sok-pendekar. Sebenarnya Ang Bin tojin sudah memberitahukan kalau Huru Hara pernah menolong tay- haksu dari cengkeraman sasterawan itu. Tetapi Tiam Wi tak percaya.

Kini setelah beradu pukulan dengan Huru Hara baru dia kaget setengah mati. Walaupun dia hanya rrenggunakan sepertiga bagian dari tenaga dalam Tok-jiu-sin-kang tetapi pukulan itu jarang sekali jago silat yang mampu menahan apalagi menangkis.

Apa yang ia rasakan ketika beradu dengan tangan Huru Hara yalah bahwa tangan Huru Ha ra itu seolah sekeping busa karet yang memiliki tenaga-mental sehingga tenaga pukulannya mental kembali kepadanya sendiri.

"0rangutan, mengapa diam?" tegur Huru Hara. Melihat itu beberapa ko jiu gedung tay- haksu yang belum kenal Huru Hara berhambur menerjang. .Ang Bin tak dapat mencegah lagi. Ia pun kuatir Huru Hara akan menggunakan kekerasan untuk memaksa membuka peti itu. Maka dia hanya menghampiri, Tiam Wi dan mcngajaknya ke samping gelanggang.

Huru Hara d keroyok empat orang ko jiu dari gedung tay- haksu. Pertempuran itu berlangsung seru sekali. Setiap ko jiu dari gedung tay-haksu.itu tentu merasa haran. Mereka merasakan tenaga-pukulannya yang dilancarkan tentu akan memantul balik kepadanya lagi.

Namun ibarat orang naik di punggung harimau, Tiam Wi malu untuk mundur. Dia adalah anggauta kelompok Sam- wi gedung tay-haksu. Terpaksa dia maju untuk menyerang lagi. Namun dia dapat menahan diri untuk tidak melancarkan pukulan keras melainkan gunakan jurus2 yang tinggi.

Melihat rekannya tak dapat lekas2 merubuhkan Huru Hara, Kim-tiok-sin-kun atau Seruling-emas An Peng San dan Thiat-pi-sin-wan si Kera-sakti-lengan-besi Liong Se Bu serempak maju mcmbantu. Bahkan An Peng San terus langsung menggunakan seruling emasnya.

Suma In pertapa yang mahir dalam menabur senjata rahasia, tak mau ketinggalan. Dia juga ikut menyerang Huru Hara.

Cret .....

Sebatang jarum tiba2 menyusup ke bahu kiri Huru Hara yang saat itu tengah menghalau serangan dari muka. Ia rasakan bahunya gatal dan makin lama makin kaku.

Huru Hara marah sekali. Melirik ke kiri dia melihat Suma In sedang mempersiapkan jarum lagi.

"Hm, pertapa ini jahat sekali," katanya Ia berputar tubuh dan menghantam sekuat-kuatnya, bummmmm

Suma In terkejut ketika Huru Hara lcpaskan hantaman. Dia cepat menyambut dengan taburan jarum lagi. Tetapi tiba2 jarum itu mental dan menabur mukanya sendiri.

Untung dia masih dapat miringkan kepala. Namun tak urung daun telinganya tertusuk. Dan celakanya saat itu tenaga-pukulan tenaga sakti Ji-ih-sin-kang yang dilepas Huru Hara telah melandanya. Tak ampun lagi dia mencelat sampai beberapa meter dan jatuh terguling disana .

Beberapa prajurit segera menolongnya.

"Berhenti !” tiba2 Aug Bin tojin berteriak. Jago2 ko-jiu yang mengerubut Huru Hara itupun loncat mundur.

"Lihatlah, peti itu terbuka !" ecru Ang Bin tojin seraya menunjuk pada sebuah peti yang masih menggelandot pada punggung kuda, Sedang praj urit yang membawa kuda itu sudah rubuh menggeletak di tanah.

Beberapa ko-jiu segera lari menghampiri. "Astaga, batu kerikil ! teriak salah seorang dari mereka ketika memeriksa isi peti itu.

Mereka lalu membuka peti itu dan ternyata isinya cuma batu kerikil saja.

"Hai, kemana sasterawan tadi !" tiba2 Giam Ting berseru.

Jago2 ko jiupun terbeliak kaget dan imemandang kian kemari. Tetapi sasterawan itu sudah lenyap dari tempat situ.

"Ho, apa itu ?" Ang Bin tojin yang bermata jeli segera menghampiri ke sebatang pohon. Disitu tertancap sebatang panji kecil berlukis gambar tengkorak. Dan pada panji itu terdapat beberapa tulisan kecil yang bebunyi :

Selamat berebut tulang, kawanan anjing ......

"Bangsat !" teriak Giam Ting yang berwatak berangasan, "kita dianggap kawanan anjing !"

"Ah, kita harus minta maaf kepada sicu tadi, "rupanya Ang Bin menyadari akan salah faham dengan Huru Hara.

Beramai-ramai mereka menghampiri Huru Hara yang saat itu tengahduduk bersila, pejamkan mata.

"Maaf, sicu, kami telah mencelakai sicu," seru Ang Bin tojin seraya memberi hormat. Namun Huru Hara tetap diam seperti patung.

Beberapa kojiu itu juga menyatakan penyesalan mereka atas terjadinya salah faham itu. Tetapi Huru Hara tetap diam tak mau mengacuhkan mereka.

"Ah, rupanya sicu ini sedang menyalurkan pernapasan untuk menyembuhkan lukanya," kata Ang Bin tojin, "baiklah kita jangan mengganggunya."

“Lalu bagaimana tindakan totiang ?" tanya mereka, "Totiang, mengapa lay haksu menitahkan totiang

membawa peti2 yang berisi batu kerikil tanya Gian Ting.

Ang Bin mengangguk-angguk. "Kurasa tay- haksu memang hendak menyiasati sasterawan itu. Tay-haksu menitahkan aku membawa sepuluh peti harta dan mengerahkan anda sekalian untuk ikut mengawal dengan ketat. Tay-haksu bermaksud hendak menangkap sasterawan penjahat itu. Apabila kita sampai tak dapat melawannya, pun sasterawan itu hanya akan mendapat peti2 yang beri batu kerikil. "

"0, benar. benar," seru beberapa ko-jiu itu "tay-haksu memang cerdik sekali dalam menyiasati musuh."

"Ah, tetapi mengapa tay-haksu tak memberitahukan hal itu kepada totiang ?" masih Giam Ting bertanya pula.

"Ya, tidakkah tay-haksu hendak mempermainkan totiang

?" kata Tiam Wi pula.

"Kurasa tidak, Tiam-heng," kata An Peng San, "karena dengan tidak memberitahukan isi peti itu kepada totiang, tentulah totiang akan berjuang mati - matian untuk menangkap sasterawan itu karena totiang merasa mempunyai tanggung jawab atas keselamatan peti itu.

Apabila totiang sudah tahu isinya, kemungkinan tentu akan menyetujui permintaan pendekar Huru Hara tadi untuk membuka peti itu."

"Engkau benar, An sicu," kata Ang Bin tojin. Sekalian ko-jiupun sependapat dengan peniIaian An Peng San. Kemudian mereka mengulang lagi pertanyaan mereka kepaka Ang Bin tojin, bagaikan tindakan tojin itu selanjutnya.

"Aku harus melanjutkan perjalanan mengantar rombongan pcti ini sampai ke tempat tujuan "

"Lho, mengapa harus begitu totiang? Bukan-kah jelas peti itu tidak terisi barang berharga?" tanya Gaim Ting.

"Apa boleh buat Giam sicu," jawab Ang Bin tojin, "kurasa tay-haksu tentu mempunyai maksud tertentu mengapa menitahkan aku mengawal peti2 ini. Dan selama tay- haksu belum menarik perintah, aku wajib melaksanakan perintah semula sampai tuntas.

"Lalu bagaimana kami sekalian? Apakah tetap harus mengikuti perjalanan totiang?" tanya beberapa ko jiu itu. "Kurasa baiklah sicu sekalian kembali ke gedung tay-

haksu. Setelah tahu apa peti itu, kurasa tak perlu sicu sekalian ikut mengawal lagi," jawab Ang Bin tojin.

Jago2 ko jiu dari gedung tay-haksu itu dapat mcnyctujui pendapat Ang Mereka segera pamit.

"Tolong sampaikan peristiwa ini kepada tay haksu dan katakan bahwa aku tetap akan mengantar peti2 ini ke tempat tujuan," Ang Bin tetap pesan kepada mereka.

Setelah rombongan ko-jiu itu pergi, Ang Bi pun menghampiri pula ke tempat Huru Hara.

"Hohan, apakah keadaan hohan sudah ba ik?" tanyanya.

Huru Hara membuka mata dan mengangguk "Kawanan pengawal dari gedung tay-haksu itu memang buta. Dan orang yang menabur jarum itu memang ganas sekali . . . .

"Ah, maafkan mereka hohan. Merekapun mendapat perintah dari tay-haksu untuk melindungi peti2 itu dari sergapan sasterawan tadi. Dalam hal ini terpaksa mereka hanya melakukan tugas. Ya, tetapi Suma to-hang itu memang terlalu ganas masakan dia melepaskan jarum beracun kepada hohan. Akhirnya diapun harus menderita sendiri.

"Kemana totiang hendak pergi?" tanya Huru Hara.

Ang Bin tojin terkejut. Walaupun peti2 itu hanya berisi batu tetapi dia mendapat perintah dari tay-haksu untuk merahasiakan tempat yang dituju.

Ia meminta maaf kepada Huru Hara karena tak dapat mengatakan hal itu. Atas pertanyaan Huru Hara, Ang Bin tojinpun mengatakan tentang rencananya untuk melanjutkan mengawal peti itu.

"Silakan saja," kata Huru Hara, "tetapi dapatkah totiang memberi keterangan, benarkah tay-haksu begitu kaya raya sehingga dapat memiliki sepuluh peti berisi harta karun yang begitu besar?"

Ang Bin tojin tak lekas menjawab. Dia merenung sejenak lalu berkata, "Mungkin benar tetapi mungkin tidak.

Mungkin saja tay-haksu waktu menjabat sebagai mentri sampai menjadi tay-haksu tayjin mengumpulkan harta. Tetapipun mungkin tay-haksu hanya melakukan siasat untuk mengebuhi orang."

"Aku tak mengerti apa maksud totiang yang terakhir itu," seru Huru Hara.

"Begini," kata Ang Bin tojin "tay-haksu tentu mengerti bahwa dia mempunyai banyak musuh yang tak menyukai dirinya. Oleh karena itu dia tentu sudah mengatur siasat untuk menyelamatkan harta kekayaannya. Dia tentu sengaja membocorkan rencananya untuk mengirim sepuluh peti harta karun ke suatu tempat. Dengan begitu tentulah banyak musuh-musuhnya dan jago2 silat yang berusaha untuk menggadang dan merampas harta karun itu.

Buktinya sasterawan itu telah mengetahui dan terus langsung hendak memaksa tay-haksu supaya menyerahkan separuh harta itu kepadanya."

Huru Hara mengangguk. "Ka!au begitu sasterawan itu telah terjebak dalam perangkap tay-haksu?"

Ang Bin mengiakan.

"Tetapi totiang sendiri juga dikelabuhi tay-haksu."

"Aku sih orang bawahannya. Aku menurut saja apa yang diperintah tay-haksu.

"Tetapi benarkah tay- haksu memiliki simpanan harta yang besar sekali jumlahnya?"

"Aku kurang tahu," jawab Ang Bin, "andai kata benar, memang bukan aneh."

"Baiklah," kata Huru Hara pula, "taruh kata tay-haksu benar mempunyai simpanan harta karun, dia tentu berusaha untuk menyelamatkan keluar dari kotaraja, bukan?"

"Kukira begitu."

"Lalu," kata Huru Hara, "karena totiang hendak mengawal peti harta karun, tentulah harta karun tay-haksu itu dipercayakan kepada lain orang untuk disingkirkan ke lain tempat."

"Ya, itu juga mungkin."

"Eh, mengapa totiang selalu mengataka mungkin saja?

Apakah totiang tak tahu jelas keadaan tay- haksu?"

"Tay-haksu memang cerdik dan hati2 sekali,” kata Ang Bin, "aku hanya menurut apa yang diperintahkan saja."

"Hm, baiklah," kata Huru Hara, "aku juga akan melanjutkan perjalanan."

Setelah berpisah dari Ang Bin tojin, Huru Hara teringat akan Raja-copet Bambu Kuning yang berpencar dengannya untuk mencegat Gak Bun..

"Wah, kalau harus mencari dia, tentu akan tertunda perjalananku menemui Su tayjin," pikir Huru Hara.

Akhirnya ia memutuskan. Tugas negara penting dari segala. Biarlah si Raja-copet memburu Gak Se Bun sedang dia tetap akan segera menghadap Su Go Hwat. Dalam perjalanan ke Yang-ciu, Huru Hara memang berusaha untuk membatasi diri tak mau ikut campur dengan segala hal yang dilthatnya dalam perjalanan. Maka pada hari kedua diapun dapat tiba di Yang-ciu-lam langsung menghadap mentri pertahanan Su Go Hwat.

Mentri itu terkejut sekali ketika mendapat laporan dari penjaga bahwa ada seorang yang dan dandanannya nyentrik hendak bertemu dengan dia.

"Siapa dia?" tegur mentri Su.

"Ampun, tayjin, hamba tak tahu. Dia hanya iengatakan bahwa dia membawa surat penting ntuk tayjin."

Beda dengan tay-haksu Ma Su Ing yang ngeluarkan peraturan keras agar setiap orang yang hendak menghadap, harus diperiksa dengan teliti dan kalau mencurigakan harus ditangkap, adalah mentri Su Go Hwat tidak demikian. Dia segera suruh penjaga membawa orang itu masuk.

"Ah, kiranya engkau Loan Thian Te," seru mentri Su ketika melihat yang datang itu tak lain adalah pendekar Huru Hara.

"Benar, tojin," Huru Hara memberi hormat "Apakah engkau sudah bersedia bekerja padaku ?"

"Begini tayjin," kata Huru Hara, "sebenarnya kedatangan hamba kemari ini juga merupakan tugas tayjin."

Su Go Hwat terkejut, "Lho, kuingat aku tidak memberi tugas kepadamu."

"Benar, tayjin," sahut Huru Hara," tetapi hamba sendiri yang melakukan tugas itu diluar pengetahuan tayjin."

Atas permintaan Su Go Hwat, Huru Hara lalu menuturkan tentang surat Su Go Hwat ke da Ma Su Ing yang telah diambilnya dan diganti itu.

"Tetapi tayjin, ternyata surat yang hamba ambil dan ganti itu bukan surat tayjin yang aseli

"Eh, mengapa engkau mengambil surat itu,” tegur Su Go Hwat. Huru Hara mengatakan bahwa ia merasa curiga dengan gerak gerik utusan Su Go Hwat. Dan ternyata apa yang dirasa itu memang benar.

"Jelas utusan tayjin itu telah memberikan surat tayjin kepada dua orang wisu dari Ma Su Ing."

Su Go Hwat terkejut, "Ya, benar, memang dia kembali dan mengatakan bahwa surat itu telah dirampas orang di tengah jalan."

"Bukan dirampas, tayjin, tetapi di berikan." "Apakah engkau membawa bukti ?"

Huru Hara segera mengeluarkan surat dari Su Go Hwat yang aseli. Surat itu sebenarnya telah diberikan kepada kedua wisu suruhan Ma Su Ing tetapi si Raja-copet telah menukarnya lagi sehingga surat yang diserahkan kedua wisu kepada Ma Su Ing itu juga bukan aseli.

"Hm," seketika Su Go Hwat berobah cahaya mukanya. Ia segera menitahkan prajurit untuk memanggil Kho Ping Liang yang menjabat sebagai wi-su atau penjaga dari mentri pertahanan Su Go Hwat.

"Kho wisu, engkau kenal dengan surat ini, bukan ?" seru Su Go Hwat,

Kho Ping Liang pucat seketika, "Itulah surat tayjin yang perintah hamba supaya dihaturkan kepada Ma tayjin."

"Ya, menurut keteranganmu, surat itu telah dirampas orang, benarkah itu?"

"Benar, tayjin."

"Siapa yang merampasnya?"

"Dua orang yang berilmu kepandaian tinggi." "Sekarang surat itu sudah ketemu, apakah engkau

sanggup untuk menghaturkan kepada Ma tay-haksu?" "Sanggup, tayjin," kata Kho Ping Liang, tapi siapakah

yang telah mendapatkan surat itu tayjin?" "Hohan ini."

"0," Kho Ping Liang beralih memandan Huru Hara, "hohan, bagaimana engkau dapat nemukan surat ini?" "Sederhana sekali," kata Huru Hara, "kedua orang itu

adalah sahabatku. Dia memberikan s rat itu kepadaku." "Apa?" Kho Ping Liang berteriak kaget.

"Engkau heran?" tegur Huru Hara, "apakah engkau kenal dengan kedua orang yang telah merampas suratmu itu?"

"Aku . . . aku tak kenal," Kho Pin Liang tergagap

menjawab.

"Begini," kata Huru Hara yang mengatur cerita kosong, "kedua kawanku itu tergolong bangsa pendekar gelandangan. Dia mendengar dua orang wisu dari Ma Su Ing hendak mencari utusan Su tayjin yang membawa surat. Lalu kedua pendekar gelandangan itu mendahului untuk merampas surat itu."

Kho Ping Liang pucat wajahnya.

"Untung kedua pendekar gelandangan itu kenal dengan aku dan memberikan surat Su tayjin itu kepadaku ini," Huru Hara menambah keterangannya.

Cerita yang dirangkai Huru Hara memang masuk akal. Dan karena merasa bersalah. Kho Ping Nang tak berani membantah. Dia kuatir rahasianya bersekongkol dengan kedua wi-su itu akan ketahuan. Terpaksa dia diam saja.

"Nah, sekarang kuminta engkau mengantarkan surat ini lagi kepada Ma tay-haksu," kata mentri Su, "tetapi kali ini jangan sampai surat itu jatuh ke tangan orang lain."

Kho Ping Liang menerima surat dan terus mohon diri. "Tayjin," kata Huru Hara, mengapa tayjin tak

menghukum orang itu. Bukankah dia jelas bersekongkol dengan kedua wi-su dari tay-haksu ?"

Mentri Su Go Hwat tersenyum, "Ya, kutahu. Aku memang sengaja menyuruhuya menerimakan surat itu kepada Ma tay-haksu, biar dia menerima hukuman dari tay- haksu."

“Hukuman bagaimana, tayjin ?" "Jelas Ma tay-haksu sudah menerima surat dari aku dan telah memberi balasan kepadanya supaya disampaikan kepadaku, Masakan masih ada orang datang lagi ruembawa surat yang sudah basi waktunya itu ? Engkau tahu Ma tay- haksu itu orang yang banyak curiga. Tak mungkin dia akan percaya begitu saja kepada orang itu."

Huru Hara mengangguk. Diam2 ia memuji cara mentri Su mengambil tindakan. Sementara itu mentri Su Go Hwatpun mulai membuka surat balasan Ma Su Ing.

"Ah " tiba2 ia mendesah. "Mengapa tayjin ?"

"Dia mengatakan bahwa aku tak perlu mempertahankan daerah utara tetapi supaya segera menindak jenderal Co Liang Giok yang hendak memberontak "

"0," desuh Huru Hara.

"Dan lagi diapun minta supaya aku meluluskan engkau bekerja kepada tay-haksu."

"Ah, Huru Hara terkejut." mengapa tay haksu mengurus soal diriku ?"

"Apakah tay-haksu pernah meminta supaya engkau bekerja kepadanya ?"

"Benar, tayjin."

"Dan bagaimana keputusanmu ?"

"Aku harus pegang janji kepada tayjin. Tayjinlah yang lebih dulu minta aku membantu tayjin.”

"Tetapi tay-haksu minta supaya aku memberikan engkau kepadanya. Bukankah dia akan marah apabila engkau tak mau ?"

"Tayjin," kata Huru Hara dengan suara man tap, "hamba adalah rakyat Beng. Hamba akan bekerja untuk negara ini menurut cara hamba sendiri. Hamba tak mau berhamba dan terikat oleh seseorang mentri atau jenderal."

"Tetapi bukankah engkau bersedia bekerja kepadaku ?" "Tayjin adalah lain," kata Huru Hara. "hanya terhadap

tayjin seorang aku memang bersedia membantu. Tetapi. ,"

"Mengapa .?" tegur mentri Su Go Hwat.

"Terus terang tayjin. Ada sesuatu yang hamba masih merahasiakan kepada tayjin. Sebelum hamba memperoleh bukti, hamba takkan mengatakan hal itu kepada tayjin,"

"0, soal apa ?"

"Soal diri Ma tay-haksu. Terus terang hamba menaruh kecurigaan atas kesetyaan tay-haksu terhadap kerajaan Beng. Hamba sedang melakukan penyeledikan. Apabila terdapat bukti, hamba tentu akan melaporkan kepada tayjin."

Su Go Hwat terkejut tetapi cepat ia tenangkan diri, "Loan Thian Te, engkau boleh menaruh kecurigaan kepada siapapun termasuk kepada diriku. Tetapi ingatlah, bahwa saat ini negara kita sedang menghadapi musuh yang kuat maka sedapat mungkin enghau harus bertindak hati2 dan menjaga keutuhan dan persatuan kita. Bagaimana pun Ma tay-haksu adalah mentri besar yang selama ini bekerja pada kerajaan Beng. Jangan bertindak secara gegabah."

"Baik, tayjin," kata Huru Hara, "akan hamba perhatikan pesan tayjin. Sudah tentu sebelum terdapat bukti yang menyakinkan, hamba takkan bertindak sembarangan."

"Lalu bagaimaua keputusanmu terhadap permintaan tay- haksu ?"

"Untuk sementara ini hamba belum dapat memberi jawaban. Tunggu saja setelah hamba selesai melakukan penyelidikan, barulah nanti hamba memberi keputusan." "Tetapi tidakkah tay-haksu akan marah apabila tahu

kalau engkau membantu aku ?"

"Harap tayjin jangan kuatir," sahut Huru Hara, "hamba akan membantu tayjin secara diam-diam dan tak usah resmi menjadi pembantu ta' jin, Hamba rasa cara itu lebih dapat membuat gerak hamba bebas."

"Hm, baiklah." Kemudian Huru Hara memberanikan diri untuk bertanya bagaimana tindakan Su Go Hwa. atas keputusan Ma Su Ing yang tak mau mengirim bala bantuan itu.

"Memang menyulitkan sekali krputuann tay-haksu itu. Tetapi soal pertahanan negara adalah tanggung jawabku. Maka akupun harus dapat mengatasi persoalan ini," kata mentri Su Go Hwat.

"0, jadi tayjin masih tetap akan mempertahankan daerah.

Shoa tang ini?"

Mentri pertahanan Su Go Hwat mengangguk. Aku kasihan kepada rakyat Yang-ciu. Apabila kutinggalkan, kemungkinan wilayah ini tentu akan segera diduduki musuh.

"Tetapi bagaimana dengan jenderal Co Liang Giok?" tanya Huru Hara.

"Loan Thian Te," tiba2 mentri Su Go Hwat beralih dengan nada yang serius, "aku hendak memberi tugas kepadamu. Apakah engkau sanggup?"

'Sanggup, tayjin."

"Pergilah engkau ke markas jenderal Co Liang Giok di Hankow. Selidikilah apa maksud jenderal itu hendak bergerak ke kotaraja. Kalau dia memang bermaksud hendak merebut kekuasaan, usahakanlah supaya maksudnya itu gagal. Tetapi kalau dia mempunyai lain tujuan, lekas- lekaslah engkau melapor kepadaku lagi."

Mendengar itu tanpa ragu2 lagi, Huru Hara terus menyanggupi. Su Go Hwat memberinya sebuah leng -pay atau tanda tugas dari mentri tahanan Su Go Hwat.

Disepanjang jalan Huru Hara tak mau menunda perjalanan. Ia tahu bahwa suasana negara saat itu amat genting. Pasukan Ceng sudah mulai bergerak melakukan serangan besar-besaran dari arah timur dan utara.

"Memang kalau jenderal Co Liang Giok berontak karena bersekutu dengan pasukan musuh harus lekas2 dihancurkan. Berbahaya sekali. Tetapi kalau dia mempunyai alasan lain, harus dipertimbangkan lagi," pikirnya.

Dimana-mana tempat yang ia lalui tampak kesibukan2 dad rakyat yang mulai gelisah atas ancaman pasukan Ceng. Ada sebagian yang sudah mengungsi ke daerah barat yang aman.

"Hm, memang rupanya nasib kerajaan Beng sudah suram," pikirnya. "dalam menghadapi ancaman musuh, mengapa para jenderal itu tidak bersatu bahkan saling cakar-cakaran sendiri? Lebih celaka lagi kalau gerakan Co

Liang Giok membawa pasukannya ke kotaraja itu bertujuan hendak memberontak. Dan ah, mengapa tay- haksu Ma Su Ing tidak mau mengirim bala bantuan pada Su tayjin?

Hari itu sudah menjelang malam ketika tiba disebuah kota kecil. Apabila malam nanti ia akan melanjutkan perjalanan lagi, esok pagi tentu sudah tiba di Hankow.

"Wah, perutku lapar nih. Nanti malam tentu sukar mencari makanan. Lebih baik aku berhenti mengisi perut di rumahmakan dulu," pikirnya.

Ketika ia sedang makan, terdengarlah ribut2 dari beberapa tetamu dengan pemilik rumahmakan. Tetamu itu selesai makan dan hendak membayar.

"Ah, jangan gila-gilaan, bung. Masa harga makanan tiga kali lipat dari biasanya," seru tetamu itu, seorang yang mengenakan pakaian seperti orang persilatan.

"Benar, tuan," kata pemilik rumahmakan, "sekarang harga bahan mentah membubung tinggi. Itu saja masih sukar mencarinya."

"Mengapa?"

"Eh, apa tuan tak tahu peristiwa yang terjadi di Ki- ciu?" "Peristiwa apa?"

"Jenderal Ko Kiat telah dibunuh oleh jenderal Kho Ting Kok." "Hai, bagaimana hal itu dapat terjadi?"

"Menurut berita, jenderal Ko Kiat hendak menuju ke Ik- ciu. Ketika singgah di Ki-ciu dia telah dijamu oleh jenderal Kho. Tetapi dalam per jamuan itu jenderal Ko Kiat telah mati diracuni . . . .

"0, lalu?" lelaki itu terkejut.

"Pasukan jenderal Ko Kiat kacau balau. Mereka lari dan mengamuk rakyat di desa2 dalam wilayah Ki-ciu. Oleh karena itu rakyat desa tak ada yang membawa dagangan hasil bumi ke kota ini."

"Hm, tetapi jangan engkau naikkan harga makanan sampai tiga kali lipat. Naik boleh tetapi jangan begitu tinggi."

"Bahwa hari ini kami masih dapat menyediakan makanan itu masih untung. Entah bagaimana besok pagi. Mungkin kami akan terpaksa tutup."

Mendengar percakapan itu diam2 Huru Hara terkejut. Ko Kiat memang jenderal yang korup dan tak becus. Tetapi dalam keadaan yang genting seperti saat itu, tidak tepat kalau para jenderal-jenderal kerajaan Beng itu saling bunuh membunuh untuk melampiaskan dendam masing2. Itu

akan melemahkan kekuatan negara.

"Wah, pasukan yang kehilangan pimpinan itu tentu akan membahayakan rakyat. Dan lebih celaka lagi kalau mereka sampai takluk pada musuh," pikir Huru Hara.

Setelah membayar harga makanan, Huru Hara bergegas menuju ke daerah Ki-ciu. Ia akan bcrusaha untuk mengumpulkan sisa2 pasukan Jenderal Ko Kiat dan akan dibawanya kepada mental Su Go Hwat yang masih bertahan di Yang-ciu.

Ketika hendak melintas sebuah bukit yang terletak dalam wilayah Ki-ciu ia terkejut karena menyaksikan suara hiruk pikuk dari suatu pertempuran. Cepat ia lari menghampiri.

Ternyata disitu memang terjadi pertempuran. Tetapi pertempuran itu bukan pertempuran antara sebuah pasukan dengan lain pasukan, melainkan pertempuran dari sebuah pasukan kecil melawan seotang lelaki tua.

"Bunuh saja si tua yang berani menggangu. kita !"

"Ya. bunuh! Bunuh !" teriak prajurit2 yang berjumlah tak kurang dari seratus orang itu.

Melihat seragamnya, Huru Hara segera mengetahui prajurit2 itu adalah prajurit2 kerajaan Beng. Pimpinannya seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, bersenjata tombak.

Lelaki tua itu menggunakan pedang untuk melawan. Walaupun hanya seorang diri namun dia cukup gagah untuk menghadapi pengeroyokan itu.

Huru Hara panas hatinya setiap kali melihat perbuatan yang tidak adil. Serentak dia lari menyerbu dan berieriak, "Hai prajurit2, berhentilah dahulu "

Rupanya kedatangan Huru Hara itu mengejutkan prajurit2 itu. Serempak mereka berhenti.

'Hai, orang gila, mau apa engkau ?" bentak perwira tinggi besar itu.

"Bukankah kalian ini prajurit kerajaan Bang? seru Huru Hara.

"Ya."

"Kalian tergabung dalam pasukan jenderal siapa ?" "Huh, siapa engkau ?"

"Loan Thian Te !"

"Loan Thian Te ?" ulang perwira itu lalu tertawa terbahak-bagak," ha, ha, jaman perang memang menimbulkan banyak hal. Orang2 yang lemah syaraf lalu menjadi gila. Eh, bung, pergilah dan bersembunyi saja didalam hutan agar penyakit syarafmu sembuh !"

"Bukankah kalian ini anakbuah pasukan jenderal Ko Kiat yang terbunuh itu ?"

Perwira itu terkejut tetapi kemudian tertawa lagi, "Hus, jangan banyak mulut. Lekas pergilah saja !" "Jawab dulu pertanyaanku !" bentak Huru Hara. "Ya, benar, Engkau mau apa ?"

"Setelah jenderal Ko mati terbunuh. siapa yang menggantikan sebagai pimpinan ?"

"Tidak ada ! Kita masing2 membentuk kelompok dan mencari jalan sendiri?."

"Celaka! Mengapa kalian tak mau menggabung ke Yang- ciu kepada mentri Su Go Hwat jin yang sedang mempertahankan daerah itu ?"

"Perlu apa ?. Sudah bertahun-tahun kami menjadi prajurit, apa hasilnya ? Hanya jenderal kami yang besar perutnya tetapi kami para prajurit tetap begini2 saja."

"Lalu ?"

"Lebih baik aku membentuk kelompok sendiri untuk mencari harta benda."

"Merampok ?" Huru Hara terkejut,

"Daripada harta rakyat nanti dirampas pradtait Ceng, kan lebih baik kami yang mengambil."

"Celaka !" teriak Huru Hara, "rakyat sudah cukup menderita dibawah tindasan mentri dorna kerajaan Bang. Sudah kacau balau karena diserang pasukan musuh, sekarang kalian juga ikut nimbrung. Pada hal prajurit itu adalah pembela tanah air dan pelindung rakyat. Mengapa kalian malah merampok rakyat !"

"Eh, orang gila, jangan ngoceh tak keruan," seru perwira itu," lekas enyah atau akan kupelintir lihermu ?"

"Prajurit," sahut Huru Hara, "kuperingatkan kepadamu.

Bukan aku, bukan paman ini dan bukan rakyat musuh kalian tetapi orang2 Ceng yang hendak menjajah kita itulah musuh kalian yang harus kalian tumpas !"

"Huh, persetan dengan semua itu." seru perwira, "negara ini kan bukan milikku seorang. tetapi milik semua rakyat. Biarkan saja jenderal2 dan menteri2 yang kaya itu yang mempertahankan."

"Prajurit," seru Huru Hara: "untuk yang akhir kalinya kuperingatkan. Lebih baik kalian menggabung diri kepada pasukan lain. Yang paling tepat menggabung ke mentri Su tayjin di Yan ciu."

"Setan alas, engkau berani membacot,” terus perwira itu maju dan terus mengemplang kepala Huru Hara.

"Uh ," perwira itu menjerit kaget ketika tombaknya

disambar Huru Hara yang terus mendorongnya sehingga perwira itu terhuyung-huyung.

Seratusan prajurit anakbuahnya terus hendak menyerbu tetapi dengan tangkas Huru Hara sudah loncat dan mencengkeram tengkuk si perwira, " Hayo, kalau kalian berani maju, perwira ini tentu akan kubunuh !"

"Berhenti," teriak si perwira yang ketakutan "jangan maju lagi !"

Kawanan prajurit itupun mentaati perintahnya. "Prajurit2," seru Huru Hara, "sekarang kalian mau

kemana ?"

"Kami mengikuti Li tui-ciang."

"Kalian masih ingin jadi prajurit atau tidak,” seru Huru Hara pula.

"Terserah kepada Li tui-ciang, kami hanya menurut saja." "Hm, orang she Li, engkau masih ingin tetap jadi perwira

prajurit apa tidak, serunya pada perwira yang sudah tak dapat berkutik lagi itu.

"Tidak, aku tak mau jadi perjurit lagi !" sahut prajurit itu. "Baik," Huru Hara terus menarik baju prajurit itu, braaat

……. seketika badan prajurit pun telanjang. Tiba2 pula Huru Hara ingat akan Ah Long yang suka memutus tali celana orang.

Diapun menirukan. Tctapi karena tak mengerti caranya, celana prajurit itu jadi robek. Untung prajurit itu masih pakai celana dalam, kalau tidak, uhhhhh ..... "Hayo, kalian juga buka celana dan baju seragam. Dan setelah itu kalian boleh pergi semua," serunya kepada kawanan prajurit.

Tetapi kawanan prajurit itu tak mau. Malu kalau harus telanjang dan hanya mengenakan celana dalam seperti perwira Li itu.

"Tidak, kami bukan budakmu !" teriak seorang prajurit yang rupanya beradat keras. Dia bahkan terus berteriak, "Kawan2. mari kita serbu setan itu !"

"Hui, kalian memang sudah bosan hidup," tiba-tiba Huru Hara mengangkat tubuh Li tuiciang, lalu diputar-putar dijadikan senjata untuk menyapu kawanan prajurit itu.

Gemparlah seketika suasananya. Prajurit2 terkejut sampai terlongong-longong menyaksikan pimpinan mereka diayun dan diputar-putar seperti sebuah boneka. Pada hal dalam kalanganan pasukan jenderal Ko Kiat. Li tuiciang itu terkenal memiliki tenaga yang amat kuat sekali.

"Hayo, kalian menyerah atau tidak ? Yang tak mau jadi prajurit harus buka pakaian seragamnya. Yang masih mau jadi prajurit boleh berkumpul di sebelah kanan !" seru Huru Hara.

Huru Hara memang tak sampai hati untuk mengobrak- abrik kawanan prajurit itu. Bagaima pun mereka adalah prajurit, Beng. Bahwa mereka telah salah langkah adalah karena mendapat pimpinan yang tidak becus. Maka dengan cukup menggunakan tubuh Li tui-ciang sebagai senjata, kawanan prajurit itu mati kutu. Mereka tak berani menyerang lagi karena kuatir akan mencelakai pimpinan mereka sendiri.

"Paman, silahkan melucuti pakaian seragam mereka," tiba2 Huru Hara berpaling dan berseru kepada lelaki tua yang masih tegak berdiri disamping.

Lelaki tua itu tertawa dan terus maju menghampiri kawanan prajurit. Dia ayunkan pedangnya dan tahu2 celana seragam dari prajurit2 itupun meluncur kebawah.

Ada kira2 separoh dari jumlah prajurit itu yang menyisih ke sebelah kanan, pertanda kalau mereka masih ingin tetap menjadi prajurit. Mereka tak dilucuti.

"Nah, engkau boleh pergi dan ajaklah kawan-kawanmu itu mengungsi ke daerah pedalaman. Bawalah keluarga kalian dan tuntutlah pengidupan sebagai petani. Jangan jadi perampok, ingat kalau kelak bertemu lagi dan kalian ternyata menjadi gerombolan perampok, tentulah takkan kuampuni lagi."

Begitu dilepas perwira itu terus lari pergi. Prajurit2 yang dilucuti pakaian seragamnyapun mengikuti.

"Anakmuda, engkau sungguh hebat," lelaki tua yang masih berperawakan gagah itu memuji.

"Ah, janganlah paman memuji begitu. Ilmu pedang paman sungguh jempol," Haru Hara balas memuji, "dengan gerakan yang cepat, tadi paman dapat memutus tali celana mereka dengan ujung pedang."

"Anakmuda, siapakah namamu?" "Loan Thian Te."

"Loan Thian Te?" lelaki tua itu kerutkan alis, "bukankah itu berarti Mengacau-dunia?" Huru Hara mengiakan.

"Aneh, baru pertama kali ini aku mendengar nama yang begitu aneh."

"Ah, paman, apa artinya sebuah nama itu? Bukankah nama itu hanya sebagai tanda -pengenal saja ?"

"Ah, betul anakmuda. Yang jadi adalah orangnya, bukan namanya."

"Paman, siapakah paman ini ?" Huru Hara balas bertanya. Dia mendapat kesan terhadap lelaki tua itu.

"Tong Kui Tik."

"Ah. paman Tong, paman tentu seorang tokoh persilatan yang ternama. Terimalah hormat dariku, seorang wanpwe yang bodoh."

Tong Kui Tik terkejut.

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar