Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 32 Panas dingin

Jilid 32 Panas dingin

Ma Giok Cu terkejut sekali karena melihat pendekar nyentrik yang dulu pernah dijumpainya bersama dengan Bok Kian, berada disitu. Gadis itupun segera ingat bagaimana inang pengasuhnya Liu Ma, dikalahkan oleh pemuda nyentrik itu.

"Hai, bulus, mengapa engkau berani masuk ke taman tay- haksu,” bentaknya dengan deliki mata.

Karena berhadapan dengan seorang gadis, Huru Hara masih dapat menahan kesabarannya walaupun dirinya dimaki sebagai bulus atau kura2.

"Aku hendak menghadap tay-haksu," sahut Huru Hara. "Apa? Engkau hendak menghadap ayah?"

"Ya." "Tidak bisa!"

"Lho, aneh," kata Huru Hara, "mengapa tidak bisa? Apakah ada larangan tak boleh menghadap tay-haksu." "Ayah adalah seorang mentri besar dalam kerajaan.

Mana sudi menerima seorang manusia seperti engkau?" "Lho, kenapa? Apakah aku tidak memenuhi syarat

sebagai manusia?"

"Manusia yang waras tentu tidak seperti engkau. Masa ada seorang muda yang potongan rambutnya seperti sepasang tanduk begitu."

"Apa hubungan rambut dengan diriku sebagai manusia. Aku punya tubuh dan jiwa, bisa bicara. Apakah bedanya dengan manusia lain? Soal rambutku ini, setiap orang mempunyai selera sendiri2. Tetapi sudahlah, nona kedatanganku bukan untuk minta dinilai aku ini layak disebut manusia atau bukan, melainkan hendak menghadap tay-haksu."

Ma Giok Cu berpaling seperti mencari seseorang. Ia kerutkan dahi, "Uh, tadi engkoh Hong Liang mengiringkan aku ke taman ini. Tetapi di manakah dia sekarang?" pikirnya heran.

"Hai, kura2," serunya kepada Huru Hara "sekarang aku hendak menagih hutang kepadamu.”

"Hutang? Hutang apa aku kepada nona,” Huru Hara terkejut.

"Tempo hari engkau telah melukai sekarang engkau harus membayarnya!"

"0, perempuan tua itu?"

"Hm, kiranya engkau masih ingat juga," dengus Ma Giok Cu. Dia segera bertepuk tangan tiga kali dan muncullah Lau-ma, wanita pengasuh Ma Giok Cu yang memiliki ilmu jari sakti Sin ci-kang. Wanita tua itu berjalan dengan memakai tongkat.

"Ada apa siocia?" tegurnya. "Hari ini akan kuhadiahi engkau sebuah bingkisan yang amat berharga."

"0, terima kasih siocia," sahut Lau-ma, "bingkisan apa saja?"

"Patung itulah!" Ma Giok Cu menuding pada Huru Hara. "0, dia?" Lau-ma berseru kaget, "siapa yang suruh dia

masuk kemari?"

"Dia kan setan, dapat masuk keluar tanpa diketahui orang. Hajarlah dia Lau-ma," perintah Ma Giok Cu.

Lau-ma mendengus dan maju kehadapan Huru Hara, "Hm, engkau sungguh bernyali besar sekali berani masuk kedalam gedung ini."

"Lho masuk ke gedung ini mengapa dianggap berani?" "Karena orang mungkin dapat masuk tetapi jangan harap

bisa keluar lagi."

"Wah, kalau begitu, aku gembira sekali, tetapi apakah engkau sudah sembuh betul2?"

Merah muka Lau-ma karena diejek begitu. Ia menggeram. "Hm, tempo hari engkau dapat berkokok, tetapi jangan harap engkau mampu ke luar dari gedung ini dengan masih bernyawa."

"Uh, nyawamu hanya selembar, apakah hendak engkau minta?"

"Siapa sudi mengambil nyawamu, kunyuk. Aku akan membasminya!"

"Perempuan katak," seru Huru Hara, "aku seorang tetamu mengapa engkau perlakukan aku sebagai seorang penjahat?"

"Cis, siapa sudi menerima tetamu seperti engkau ?" geram Lau-ma.

"Perempuan tua," seru Huru Hara, "jangan menghina aku begitu rupa. Tunggu setelah aku menghadap tay-haksu nanti kita selesaikan perhitungan kita lagi. Engkau mau mengajak apa saja, tentu akan kulayani." "Di sini adalah rumah tay-haksu. Ma sio cialah yang berkuasa penuh. Ma siocia mana mau menerima tetamu seperti engkau! Enyah bangsat!

Huru Hara tak sempat membantah lagi karena saat itu Lau-mapun sudah menyerangnya Sip-ci-sin-kang atau Sepuluh-jari-sakti ya dimiliki Lau-ma memang pernah menjagoi seluruh dunia persilatan pada tiga empatpuluh tahun yang lalu. Ilmu itu hampir lenyap. Kini tiba2 dimainkan oleh inang pengasuh dari puteri menteri tay- haksu.

Terdapat beberapa macam ilmu jari sakti antara lain Tan- ci-sin-kang atau Selentikan-jarisakti, yang bukan saja dapat memancarkan tenaga-dalam melalui gerak selentikan jari, pun apalagi telah mencapai tataran tinggi dapat ditudingkan ke arah musuh yang berada pada jarak beberapa meter, tudingan jari itu memancarkan tenaga-dalam yang menghancurkan. Juga menutuk jalan-darah dari jarak jauh termasuk tenaga-dalam yang dipancarkan melalui jari.

Biasanya pemancaran jari itu dilakukan dengan sebuah atau dua buah jari. Tetapi yang dimiliki Lau-ma adalah sepuluh jari atau yang disebut Sip-ci-sin-kang. Kesepuluh jari Lau-ma setempak dapat memancarkan tenaga-dalam untuk mencengkeram lawan. Lau-ma telah mencapai tataran, pada waktu melancarkan ilmu itu, ia dapat meluncurkan kuku jarinya ke luar sampai dua tiga inci.

Huru Hara terkejut ketika merasa dirinya terutama bagian muka dan dada, dicengkam oleh tekanan tenaga yang kuat. Dan pandang matanyapun agak silau melihat berpuluh-puluh kuku jari yang tajam mencurah ke arah mukanya.

Terpaksa dia loncat mundur untuk membenahi diri.

Tetapi secepat itu pula Lau-mapun sudah memburu lagi. Huru Hara tidak gentar, diapun berloncatan kian kemari untuk menghindar. Kalau tak sempat menghindar baru dia menampar untuk menghalau taburan kuku2 maut itu.

Diam2 Lau-ma yang memperhatikan gerakan Huru Hara menjadi heran. Jelas gerak hindaran maupun pukulan pemuda itu tidak menurut jurus tata silat yang wajar tetapi anehnya pemud itu dapat bergerak sedemikian gesit dan lagi setiap tamparannya tentu memancarkan tenaga-sakti yang kuasa untuk menghalau serangan kuku jarinya.

"Gila . .. , " pikir Lau-ma. Walaupun dia dulu pernah bertempur dengan Huru Hara dan tahu bagaimana keganjilan anakmuda itu, namun sekarangpun dia tetap tak habis mengerti. Apa sesungguhnya yang dimiliki pemuda nyentrik itu?

Tengah pertempuran berjalan seru, tiba2 terdengar sebuah lengking teriak seorang dara, "Lau ma, berhenti !

"

Lau-ma terkejut. Dia kenal suara itu adalah suara ji-siocia Ma Giok Hoa. Cepat dia menarik pulang serangannya.

"E, adik Hoa, mengapa engkau suruh Lau-ma berhenti?" tegur Ma Giok Cu yang terkejut.

"Mengapa Lau-ma menyerang pemuda itu,” balas Giok Hoa.

"Siapa dia? Dia adalah kunyuk yang dulu pernah melukai Lau-ma."

"0, apa urusannya?" tanya Giok Hoa pula

"Dia bertengkar dengan engkoh Hong Liang dan membela seorang gadis anak dari Su Go Hwat. Lau-ma tak puas atas sikapnya terhadapku. Lau-ma lalu menghajarnya tetapi dia berani melawan bahkan melukai Lau-ma."

"An, urusan yang lalu anggap saja sudah selesai. Dia datang kemari karena hendak menghadap ayah."

"Un, apa engkau tidak salah bicara adik Hoa?" tegur Ma Giok Cu.

"Salah bicara bagaimana, cici?"

"Dia hendak menghadap ayah? Apa kedudukannya kok dia berani begirtu? Dia kan seorang pemuda gelandangan yang suka mengganggu orang."

"Dia mengatakan begitu kepadaku." "Dan engkau percaya saja?"

“Aku mempercayai setiap orang."

"Ah, jangan berpikiran menurut ukuran pikiranmu, adik Hoa. Engkau tahu saat ini banyak sekali mata-mata musuh yang berkeliaran dimana-mana. Mereka selalu mencari kesempatan untuk mengacau dan bahkan mengadakan pembunuhan. Apakah engkau tak pernah membayangkan bagaimana akibatnya kalau dia seorang mata-mata musuh yang hendak membunuh ayah?”

"Aku percaya atas kata2nya. Kalau dia memang hendak membohongi aku, itu terserah saja. Karena yang menanggung akibat dari karma perbuatannya itu adalah dia sendiri."

"0, jangan muluk2 dengan segala macam falsafah agama yang engkau anut, adik Hoa," seru Ma Giok Cu. "ini urusan negara. Jiwa ayah adalah penting sekali bagi kepentingan kerajaan, masakan hanya engkau pertimbangkan dengan segala falsafah karma saja. Bagaimana kalau ayah sampai terbunuh? Apakah kerajaan takk kehilangan tulang punggung yang berharga? Apakah kita takkan kehilangan tiang sandaran yang berharga? Soal karma atau tidak, itu kan urusan peribadi, bukan urusan negara."

"Ai, mengapa cici mengamuk begitu rupa. Bukankah dia belum sampai membunnh ayah? Dan apakah sudah pasti kalau dia tentu akan membunuh ayah?"

"Bagaimana engkau tahu kalau dia bermaksud baik atau jahat?"

"Aku percaya, kalau perlu cici boleh minta janjinya," kata Giok Hoa lalu berpaling kearah Huru Hara dan berseru, "aku minta janjimu. Apakah kedatanganmu ini hendak berniat membunuh ayahku?" "Jangan kuatir nona." sahut Huru H "aku hanya akan menyampaikan surat dari menteri Su Go Hwat tayjin. Sama sekali aku tidak bermaksud hendak membunuh tay -haksu. Aku orang bangsa Han, bagaimana aku hendak menghianati bangsaku sendiri?"

"Tidak mungkin!" teriak Ma Giok Cu, "masakan paman Su Go Hwat akan menyuruh orang seperti engkau. Apakah paman Su sudah kehabisan orang yang dapat dipercaya selain engkau?"

"Apakah engkau dapat memberi bukti bahwa engkau disuruh paman Su Go Hwat," tanya Hoa dengan ramah.

"Ada," kata Huru Hara lalu mengeluarkan surat buatan Raja copet yang meniru surat yang dibawa utusan Su Go Hwat.

"Ah, mungkin surat palsu," seru Ma Giok Cu. "Cici ... "

"Baiklah," seru Huru Hara, "apakah nona hendak membuka surat ini?"

"Boleh, biar kuperiksanya apabila surat itu benar dari paman Su Go Hwat atau bukan.”

"Tetapi ada syaratnya nona," kata Huru Hara, "surat ini menurut pesan Su tayjin, hanya boleh diserahkan kepada tay- haksu Ma tayjin. Lain orang tidak boleh. Namun kalau nona hendak memeriksa, akupun tak dapat melarang asal nona memenuhi permintaanku?"

"Apt permintaanmu?"

' Mudah sekali,” sahut Hara Hara, "kalau surat itu palsu, akan kuserahkan kedua tanganku supaya ditabas kutung . . .

. "

"Wah. apakah engkau bersung;uh-sungguh?"

"Ya"

"Baik, itu permintaanmu sendiri."

"Jangan tergesa-gesa," seru Huru Hara, "namun kalau surat itu benar2 surat aseli dari Su tay jin, akupun hendak minta tanda mata dari nona sebagai bukti akan kejujuranku."

"Engkau minta hadiah uang?"

"Hm, uang," seru Huru Hara, "dalam peran seperti saat ini, yang penting adalah keselamatan jiwa. Karena orang tak tahu besok atau lusa apakah masih hidup. Perlu apa masih temaha akan uang? Uang itu memang perlu untuk alat hidup. Tetapi ada katanya uang itu menjadi racun yang menjijikkan."

"Menjijikkan?"

"Ya, karena orang yang mempunyai uang berlimpah ruah, tentu akan berobah sikap dan perangai. Dia akan menjadi manusia yang congkak yang memandang rendah pada semua manusia dan seluruh isi dunia. menganggap segala apa dunia ini dapat dibeli dengan uangnya. 

Bukaukah uang itu menjadi racun yang menjijikkan karena telah membentuk manusia yang sombong?"

"Lalu apa yang engkau minta?"

"Akupun mInta persyaratan seperti yang kan kukanakan pada diriku."

"Engkau minta akan mengutungi kedua tanganku?"

"Ah, tak perlu. Itu terlalu sadis," kata Huru Hara, "cukup hanya sebuah anggauta wajah nona yang rangkap. Nona mempunyai sepasang telinga, nah, biarlah kuminta satu saja."

"Kunyuk, jangan engkau kurang ajar terhaflap siociaku!" tiba2 Lau-ma terus loncat menerkam. Uhhh secepa itu

ia menerkam secepat itu pula ia terpental ke belakang sampai beberapa langkah.

Apa yang terjadi.

Ternyata Huru Hara marah sekali atas keliaran wanita yang dianggapnya sombong dan mengira tiada lawannya lagi. Begitu merasa dirinya tertiup angin, cepat Huru Hara berkisar tubuh dan menghantam. ji-ih-sin-kang atau tenaga- sakti yang dnniliki Huru Hara bagaikan gelombang air pasang yang melanda dan menghanyutkan Lau-ma.

"Nona Ma, engkau setuju atau tidak!" serunya kepada Ma Giok Cu.

Ma Giok Cu tak menjawab melainkan lari menghampiri Lau-ma yang saat itu tegak berdiri pejamkan mata.

"Mari kita menghadap ayah," kata Giok Hoa seraya melangkah pergi. Huru Harapun mengikutinya.

Huru Hata memasuki sebuah ruang yang terbuat dan batu pualam hijau. Hawanya sejuk dan memancarkan suasana yang tenang. Seorang lelaki yang mengenakan pakaian tersulam benang-emas, memelihara kumis dan jenggot, duduk disebuah kursi besar yang bertahta batu2 pualam merah hijau. Dia sedang menghadapi cawan arak dan tengah menghisap huncwe atau pipa panjang terbuat dari gading. Menilik wajahnya yang kelimis dan putih, tubuhnya yang gemuk segar, layak sebagai seorang cukong.

Sebenarnya dalam pandang pertama, Huru Hara mempunyai kesan yang tak senang terhadap orang itu. Ia memperhatikan mata orang itu berbentuk segi-tiga, pertanda dari manusia yang berhati julig. Namun karena Giok Hoa menyebutnya sebagai ayah, tentulah orang itu adalah tay-haksu Ma Su Ing, mentri yang paling berkuasa dalam karajaan Beng dewasa itu. Terpaksa Huru Hara memberi hormat.

"Hamba Loan Thian Te menghaturkan hormat kepada tay-haksu tayjin," kata Huru Hara dengan menekan perasaan.

"Ho, Loan Thian Te, apa artinya nama itu seru orang itu. "Artinya adalah Huru Hara."

"Huru Hara ? Mengapa nama saja kok milih huru hara, apa tidak ada lain nama yang lebih baik dari itu ? '

"Hal itu hamba hanya menerima dari orang tua hamba." "Siapa orangtuanau ?" "Kim Thian Cong."

"Hm," dengus lelaki itu yang tak lain memang tay-haksu Ma Su Ing," mengapa engkau berani menghadap aku ?"

"Hamba membawa surat dari mentri Su Go Hwat tayjin supaya dihaturkan kepada tayjin."

Ma Su Ing kerutkan dahi tetapi cepat menghapusnya dan berkata dengan tenang, "Apa kah engkau benar2 utusan dari Su tayjin ?"

"Benar. tayjin. Hamba membawa surat dari Su tayjin." "Engkau tahu apa hukumannya orang yang berani

memalsu nama seorang mentri ?"

Huru Hara terkejut mendengar pertanyaai Itu. Adakah kedua wi-su yang telah menerima surat asli dari utusan mentri Su Go Hwat, tclah menyerahkan surat itu kepada Ma Su Ing.

"Hamba hanya menyerahkan diri atas keputusan tayjin." katanya sesaat kemudian. Ia tak takut apapun yang akan dihadapinya.

"Baik, serahkanlah surat itu. Tetapi ingat apabila engkau berani memalsu nama engkau akan kuhukum potong kepala !" kata Ma Su Ing seraya menyambuti surat dari Huru Hara.

Begitu membaca isi surat itu seketika berobahlah muka Ma Su Ing. Dia bcrtepuk tangan dan serempak empat wi-su masuk.

"Tangkap manusia gila itu !" teriak Ma Su Ing memberi perintah.

Keempat pengawal itupun segera berhamburan hendak meringkus Huru Hara. Huru Hara terkejut dan tahu2 dia sudah diringkus.

"Hai, apa salahku?" teiaknya.

"Engkau jelas berani memalsu surat dari mentri Su Go Hwat, bawa keluar dan potong kepalanya!" teriak Ma Su Ing marah. Huru Hara terus diseret keluar. Tiba2 muncul Ma Giok Hoa. Dara itu terkejut melihat Huru Hara diseret oleh empat orang pengawal.

"Hai, ada apa itu?" tegurnya,

"Ma tayjin memerintahkan supaya memenggal kepala orang ini!" sahut seorang pengawal. "Apa kesalahannya?" "Entah kami tak tahu," kata keempat wi-su pengawal

sembari melangkah keluar.

Ma Giok Hoa gugup dan terus lari masuk menghadap Ma Su Ing, "Ayah, mengapa ayah menghukum pemuda itu?"

"Dia jelas berani memalsu surat dari Su Go Hwat." "0, tetapi mana surat itu?" tanya Giok Hoa

Ma Su Ing tahu kalau puteri yang satu ini memang pandai dalam ilmu sastra. Dia menunjukkan surat dari Huru Hara tadi.

Ma Giok Ing membaca dan kerutkan alis. "Tetapi surat ini tiada tanda2 palsu, ayah. Mengapa ayah mengatakan palsu?"

16. Blo'on -

Ma Su Ing merogoh kantong bajunya dan mengeluarkan sebuah sampul, "Nih, inilah yang asli."

Ma Giok Ing menerimanya dan meneliti. Kembali dia kerutkan alis, "Ya, tampaknya surat ini memang lebih baik .

. . . "

"Bukan lebih baik tetapi lebih aseli," seru Ma Su Ing. "Tetapi dari mana ayah mendapat surat ini?"

"Giok Hoa, engkau anak perempuan mana tahu urusan orangtua," kata Ma Su Ing, "surat Itu kuterima dari kedua wi-su."

"Kedua wi-su kita?” "Ya."

"Dari mana kedua wi-su itu mendapatkan surat ini. Apakah mereka menerima dari paman Su Go Hwat?" "Tidak," Ma Su Ing gelengkan kepala, "mereka menerima dari orang yang diutus Su Go Hwat.”

"Aneh, mengapa orang itu tak menyampaikan sendiri kepada ayah tetapi menerimakan kepada kedua wit-su."

"Memang kusuruh kedua wi-su itu untuk menerimanya.” “0 " Ma Giok Hoa menundukkan dan meneliti lagi surat

itu. Lalu matanya membetalak lebar , "Yah, inilah surat yang palsu!”

"Apa?” Ma Su Ing juga terkejut.

"Surat dari ayah ini yang palsu," ulang Ma Giok Hoa sembari menyerahkan surat itu kepada ayahnya lagi.

Ma Su Ing meneliti sejenak, "Mana yang engkau katakan palsu itu ?"

"Silakan ayah melihat tanda tangan namanya." "Su Go Hwat, ini kan benar. Apanya yang salah ?"

"Huruf Go itu berarti “boleh”. Tetapi mengapa atasnya diberi kepala sehingga berarti Ho ata “bunga teratai ?"

"Hai !" Ma Su Ing menjerit setelah memperhatikan

apa yang dikatakan puterinya itu "panggil Li dan Pik wi-su kemari !" - ia membei perintah kepada seorang penjaga.

Penjaga itu bergegas keluar.

"Yah, hukuman itu harus lekas dicegah kalau tidak tentu akan timbul salah faham deag paman Su."

"Baik," Ma Su Ing terus beranjak dan dengan diiring Ma Giok Ing, mereka menuju keluar. Tetapi tiba di ambang pintu, dua orang wisu yang diperintah untuk memenggal kepala Huru Hara tadi terhuyung-huyung menghampiri, "Maaf tay-jin, orang itu telah mengamuk dan melarikan diri

..... "

"Apa ? Kalian berempat tak mampu menjaga seorang manusia semacam itu ?" Ma Su Ing terkejut.

Wi-su itu menghaturkan maaf, "Dia ternyata luar biasa sekali. Kami berempat sudah berusaha untuk menyerangnya tetapi dapat menghindari semua serangan dan terus meloloskan diri "

"Hm, cari orang itu dan tangkap !" perintah Ma Su Ing, lalu masuk kedalam ruang lagi. Disitu kedua wi-su yang menerima surat dari utusan mentri Su Go Hwat sudah menunggu.

"Li dan Pik wisu," seru Ma Su Ing, "dari mana kalian mendapatkan surat mi ?"

"Benar ?"

"Masakan kami berani berbohong kepada tsy-haksu," kata Li wisu.

"Bacalah surat itu !" seru Ma Su Ing seraya memberikan surat.

Li wi-su membaca kemudian diserahkan kepada Pik wisu. Muka kedua orang itu bcrobah pucat.

"Bagaimana ?" tegur Ma Su Ing.

"Tanda nama dari Peng-poh-siang-si Su tay jin mengapa ditulis lain ?" seru kedua wi-su.

"Itulah yang kumaksud. Apakah kalian benar2 menerima surat itu dari utusan mentri Su Go Hwat ?"

Li dan Pik wisu tak berani cepat2 menyahut melainkan berdiam. Rupanya kedua wi-su itu tengah mengingat-ingat orang yang menjadi utusan pembawa surat Su Go Hwat itu.

"Jelas dialah orangnya tetapi masakan dia juga telah dipalsu," kata Li wi-su seorang diri.

Ma Su Ing seorang yang teliti dan penuh kecurigaan. Semua pegawainya, dari pelayan sampai pada wi-su ( pengawal ) sudah di-test denga teliti, baik mengenai ilmu kepandaiannya maupun kesetyaan dan kejujurannya. Li dan Pik kedua wi-su itu pun termasuk wi-su yang menjadi kepercayaannya. Ia percaya keduanya tentu tak berbohong.

"Mungkinkah itu?" tanya Ma Su Ing. Sesaat kemudian ia bertanya dimanakah utusan itu sekarang.

"Dia mengatakan akan pulang menghadap Su tayjin lagi dan melaporkan kalau suratnya telah dirampas orang." "Baik," kata Ma Su Ing, "tetapi selama dalam perjalanan apakah kalian tak berjumpa dengan peristiwa yang mencurigakan?"

"Tidak tayjin," kata Li wi-su, "kami terus langsung pulang kemari.

"Li-heng, apa mungkin orang itu ...,” tiba2 Pik wi-su berseru.

"Siapa?"

"Bukankah waktu di tencah jalan ketika lalui sebuah jembatan, ada seorang pengemis terjatuh terkapar di tengah jalan lain karena kasihan kita lantas menolongnya?" kata Pik wi-su.

"Ya," kata Li wi-su, "tetapi dia kau hanya pengemis tua renta yang pingsan? Masakan dia mampu mencuri surat itu?"

"Engkau tentu masih ingat pula tentang seorang anak kecil yang berlari-lari menyusul kita itu.”

"0, ya; ya, benar. Bukankah anak yang memberikan surat ini?" kata Li wi-su.

"Benar, dia mengatakan surat itu jatuh dan diketemukan oleh seorang tua. Dan orang tua itu lalu mengupah si anak untuk menyusul dan mengembalikan kepada kita."

"Itulah," kata Pik wi-su.

"Maksudmu apakah anak itu yang mencuri surat kita?" "Bukan," sahut Pik wi-su, "tetapi aku curiga pada si

pengemis. Kemungkinan orangtua yang dikatakan anak itu adalah si pengemis tua itu sendiri."

"Ah, mana . . . "

"Aku sempat memperhatikan mata pengemis itu berkilat- kilat tajam sekali seperti mata pedang yang menusuk uluhati. Tentulah dia seorang ahli silat yang memiliki tenaga-dalam yang tinggi."

Li wi-su tertegun diam,

"Hm, bagaimana pertanggungan jawab kalian? Tentulah surat itu jatuh ke tangan si pengemis ditukar dengan yang palsu ini," kata Ma Su Ing.

"Maaf tayjin, hamba berdua memang bersalah karena kurang hati2 sehingga dapat dikelabuhi oleh seorang pengemis. "

"Mungkin si pengemis itu yang melakukan, mungkin utusan Su Go Hwat itu. Tetapi kalau tentang utusan Su Go Hwat, setelah menghadap Su Go Hwat, Su Go Hwat tentu akan menghukumnya. Tetapi tentang pengemis itu, kuserahkan sa kepada kalian berdua," kata Ma Su Ing.

Li dan Pik wi-su menyatakan hendak mencari pengemis itu untuk meminta kembali surat aseli dari mentri Su Go Hwat.

"Yah, orang itu tentu akan menghadap paman Su dan mengadukan tindakan ayah,", kata Ma Giok Hoa yang menyesali sikap ayahnya terhadap Huru Hara.

"Habis kalau sudah terlanjur lalu bagaimana. Kemanakah aku harus mencari orang itu ?" kata Ma Su Ing, "tetapi tak usah kuatir. Aku dapat menyelesaikan urusan dengan Su Go Hwat."

Ma Su Ing lalu masuk kedalam kamar tulisnya. Dia duduk di meja tulis dan merenungkan rencana.

"Hem, Su Go Hwat tak mau menurut perintahku untuk menggempur jenderal Co Liang Gie tetapi dia membawa kemauannya sendiri tetap menjaga Yang-ciu. Sekarang dia hendak minta bantuan, hm, enaknya ....

"Co Liang esok harus lekas2 ditumpas, agar jangan sampai meraja lela masuk ke kotaraja sini. Kerajaan Beng sudah tak dapat diharap. Aku harus lekas2 menyingkirkan harta karun itu ke gunung Kiu-kiong-san "

Dalam berkata-kata seorang diri itu dia menekan kebawah meja dan tak lama muncullah seorang penjaga.

"Undang Ang Bin tojin kemari," serunya, Dan penjaga itupun segera bergegas pergi. Tak berapa lama muncullah seorang imam tua berwajah merah. Rambut imam itu sudah putih. Dia mengenakan jubah warna merah darah dengan lukisan pat-kwa warna hitam dan putih .

"0. Ang tojin, silakan duduk," Ma Su Ing mempersilakan imam bermuka merah itu.

"Terima kasih tayjin," kata imam berwajah merah atau Ang Bin tojin, "Apakah tayjin hendak memberi pesan kepada pinceng ?"

"Ah, sesungguhnya sudah banyak sekali tojin membantu kerepotanku. Jasa tojin pasti akan kuukir dalam hati untuk selama-lamanya."

"Ah, harap tayjin jangan mengucap begitu," Imam berwajah merah itu tertawa, "apa yang kulakukan hanyalah merupakan bantuan kecil yang masih tak sepadan dengan apa yang tayjin telah berikan kepadaku. Harap tayjin jangan sungkan. Kalau hendak memberi pesan, silakan.”

"Begini tojin," kata Ma Su Ing, "pekerjaan ini amat rahasia sekali sifatnya. Satu-satunya yang kuanggap mampu dan kupercaya penuh untuk melaksanakan pekerjaan itu hanyalah tojin. Maka dengan berat hati aku terpaksa hendak merepotkan tojin lagi."

"Baik, tayjin. Aku banyak menerima budi tayjin, sekalipun harus menerjang lautan api dan hutan golok, aku tentu akan melaksanakan titah tayjin."

"Terima kasih tayjin. Sudah tentu aku tak meminta tojin melakukan pekerjaan yang begitu berbahaya. Namun sekalipnn demikian, kemungkinan bahaya itu akan mengancam, tetap ada. Maka kuharap tojin suka berhati- hati."

Ang Bin tojin menghaturkan terima kasih dan meminta agar Ma Su Ing segera memberitahu apa yang harus dilakukan.

Dengan suara pelahan Ma Su Ing berka "Ada sepuluh peti harta pusaka, yang kuminta tojin suka mengantar ke gunung Kiu-kiong-san dan menyimpan dalam guha Kiu- kiong-tong.”

"0, baiklah. Tetapi dimanakah letak guha Kiu-kiong- tong itu?"

"Tojin dapat menemui Seng Uwat totiang kepala biara An-ceng-kwan di gunung itu. Dia tentu akan menunjukkan letak guha itu kepada tojin."

"Baiklah," kata Ang Bin tojin, "dimana dan kapan pin- ceng berangkat?"

"Besok malam. Tojin boleh menunggu di sebuah bukit diluar pintu utara. Disitu sudah siap duapuluh prajurit berkuda yang akan membawa sepuluh peti permata. Kelak apabila pekerjaan itu sudah selesai, harap tojin membuka surat ini dan segera melaksanakannya saja," kata Ma Su Ing. Dia menyerahkan sebuah kim-long atau surat dalam kantong kepada imam berwajah merah itu.

Setelah imam yang merupakan salah seorang dari Sam- ceng yang dibentuk Ma Su Ing, meninggalkan tempat itu, Ma Su Ing segera memberi perintah kepada penjaga lagi, "Undang Gak su-cia!"

Penjaga itu segera melakukan perintah. Berbeda dengan waktu memanggil Ang Bin tojin tadi yang dilakukan dengan cepat, kedatangan Gak sucia itu agak lama.

Su-cia artinya duta atau utusan. Ma Su Ing membentuk tiga buah kelompok pembantu khusus pang melaksanakan perintahnya. Kelompok pertama disebut Sam-ceng atau Tiga-imam terdiri dari Sakya hwatsu, Ang Bin tojin dan Gong Goan taysu. semua memiliki kepandaian yang sakti.

Kelompok kedua disebut Sam-cia atau Tiga duta, beranggautakan tiga jago silat yang berilmu tinggi yani Giam Ting jago pukulan Hoa-hoat-ciang (pukulan berdarah), Gak Se Bun Tui-hong-pian (ruyung pemburu angin) dan Sung In jago senjata rahasia yang bergelar Hui- sin-pi si Piau-terbang-sakti.

Lalu kelompok ketiga disebut Sam-wi-su atau Tiga Pengawal yang terdiri dari Tiam Wi, Beng San dan Liong Si Bun. Mereka adalah jago yang ternama dari aliran hitam.

Gak su-cia yang dipanggil menghadap Su Ing itu adalah Gak Se Bun si Ruyung-pemburu-angin.

Tak lama kemudian muncullah orang itu.

"Gak su-cia, aku hendak memberi tugas penting kepada su-cia," Ma Su Ing berkata dengan nada sarat. "apakah su- cia sanggup melakukan?”

"Ah, mengapa tay-haksu berkata demikian. Aku sudah mau bekerja kepada tay-haksu tentu akan melaksanakan tugas dari tay-haksu dengan segenap jiwa dan raga," kata Gak Se Bun.

"Eh, mengapa suara su-cia berobah ?" Ma Su Ing terkejut. "Ai, apanya yang berobah." Gak su-cia terkejut.

"Jelas nada suara su-cia itu tidak seperti sekarang "

Gak Se Bun terkejut, "0, benar, tay-haksu memang sejak semalam aku agak masuk angin perginya suaraku agak sumbang begini,"

"Ah, sucia jangan berjaga sampai larut malam dan jangan terlalu banyak minum arak, Tak baik bagi kesehatan," kata Ma Su Ing.

"Sebenarnya tugas yang hendak kuberikan kcpada su-cia itu ringan tetapi juga berat."

"Silakan tay-haksu memberi titah."

"Tak lain hanya untuk mengantar surat kepada Torgun

...."

"Torgun, panglima besar angkatan perang kerajaan Ceng itu ?" Gak Se Bun terkejut.

"Ya, memang dia. Dan surat itu sangat rahasia sekali.

Jangan sekali jatuh ke tangan orang." "Baik, tay-haksu," kata Gak Se Bun.

Ma Su Ing memasukkan sepucuk surat yang baru saja selesai ditulisnya kedalam sampul lalu ditutup dan dilekatkan rapat2 dengan ci-keng atau lak warns merah. Diatas ci-keng itu dicap lagi dengan cap namanya.

"Inilah ," baru Ma Su Ing hendak menyerahkan surat

tiba2 terdengar suara orang berlari-lari memasuki kamar tulis itu.

"Yah, celaka !" teriak seorang pemuda yang datang

itu.

"Sun-ji, kenapa engkau ?" Ma Su Ing terkejut. Sun-ji artinya anak Sun. Pemuda itu memang puteranya yang bernama Ma Sun.

"Ayah, Gak su-cia lenyap !" teriak Ma Su Ing.

"Hus, siapa yang berdiri di belakangmu itu?" seru Ma Sun Ing tertawa.

Ma Sun berpaling dan kerutkan dahi, "Engkau disini Gak su-kia?"

Gak Se Bun tidak menyahut melainkan mengangguk.

Dalam pada itu Ma Sun Ing menghampiri dan mengeluarkan sebuah benda dari kantong, katanya, "Gak su-cia, aku mendapatkan benda apakah engkau tahu namanya?"

Gak Se Bun terkejut tetapi cepat iapun menyambuti.

Tetapi baru ia ulurkan tangan, sekonyong-konyong Ma Sun mencengkeram pergelangan tangannya dan terus dipelintir sekeras-kerasnya.

"Auuuufff , " Gak Se Bun menjerit kaget dan

kesakitan dan tahu2 tangannya sudah ditelikung ke belakang punggungnya."

"Sun-ji, mengap. mengapa engkau meringkus Gak

su-cia?" teriak Ma Su Ing terkejut.

"Dia bukan Gak su-cia, yah. Dia Gak su cia palsu!" teriak Ma Sun. Dia terus mencabut kopiah kain yang dipakai orang itu dan seketika tampaklah seuntai rambut putih. Dan secepat pula Ma Sun mencabut kumis dan jenggot orang itu.

"Hai, bukan Gak su-cia," teriak Ma Sun I seketika. "Benar, yah. Dia memang bukan Gak su cia!"

Ma Su Ing marah sekali. Dia membentak, "Bangsat, siapa engkau!"

Orang itu ternyata seorang lelaki tua yang bcrwajah damai. Dia tak menyangka kalau penyamarannya dapat diketahui oleh Ma Sun dan Ma Sun terus akan menindaknya begutu eepat.

Karena sudah terlanjur tertangkap, orang tua itu tenang2 saja. Dia tak lain adalah Raja-copet bambu Kuning.

"Aku sudah tertangkap, silakan bunuh saja kalau mau membunuh," serunya dengan tersenyum.

Ma Su Ing terkesiap melihat ketenangan orang. Dia ingin mengetahui siapakah orang tua yang begitu berani mati menyaru menjadi Gak Se Bun.

"Sun-ji, dimana Gak su-cia ?" tanyanya kepada Ma Sun. "Waktu aku mencari ke kamarnya dia tak ada. Lalu

kucarinya kemana-mana tetapi tetap tak berjumpa," kata Ma Sun lalu memperkeras cengkeramannya pada. tangan raja copet itu sehingga si raja copet karena menahan kesakitan hebat, mengucurkan keringat dingin "Hayo, dimana engkau sembunyikan Gak su-cia Lekas bilang atau kupatahkan kedua tcnganmu !"

"Dia sedang tidur." sahutnya dengan menahan kesakitan. “Ngaco !” bentak Ma Sun, "dia tak berada dalam

kamarnya.

"Memang tidak tidur di kamarnya . . . “ "Dimana?"

"Di WC "

"Penjaga," teriak Ma Sun kepada seorang penjaga, "Lekas periksa WC. Kalau Gak su-cia disana lekas engkau bawa kemari!"

Setelah penjaga pergi maka Ma Sun melanjutkan siksaannya lagi, "Hayo, mau bilang atau tidak? Siapa engkau ini?"

"Aku Ma Ling .....

"Bangsat! Siapa namamu?" "Ma Ling!"

"Gila!" bentak Ma Sun, "aku tanya namamu bukan pekerjaanmu."

"Ya, namaku memang Ma Ling." "Apakah engkau orang she Ma?"

"Benar, aku memang she Ma dan nama Ling."  "Mengapa engkau berani menyamar sebagai Gak su-cia?" "Karena aku kepingin menghadap tay-haksu.”

"Apa?" teriak Ma Su Ing, "engkau hendan menghadap aku? Apa perlumu?"

"Aku hendak mencari keponakanku yang masuk kedalam gedung ini "

"Siapa keponakanmu?"

"Loan Thian Te yang diutus oleh Su Go Hwat tayjin untuk menyerahkan surat kepada tai haksu," kata Raja copet Bambu Kuning.

"0, pemuda gombal yang datang menghadapku itu? Dia hendak dihukum penggal kepala tetapi berani mengamuk dan meloloskan diri," kata Ma Su Ing, "sekarang engkaulah yang mengganiikannya."

"Lho, apa kesalahanku?"

"Engkau berani menyamar sebagai Gak su-cia. Ini sudah suatu kesalahan besar yang masih ringan kalau hanya dipotong lehermu saja."

"Hm, kudengar Ma Su Ing tay-haksu itu seorang mentri yang bijaksana, pandai dan luhur. Ternyata yang kulihat sekarang lain dari kenyataannya. Dia tak lebih dari seorang mentri yang dicengkam oleh ketakutan saja. Pada hal orang yang selalu takut tentu melakukan sesuatu yang salah. " .

Ma Su Ing terkesiap. Ma Sun marah karena ayahnya di-maki2 oleh orang itu, "Keparat, engkau berani menghina ayah ku?" dia terus mencabut pedang seorang penjaga dan terus hendak ditabaskan ke leher Raja Copet.

"Bun-ji, tahan dulu," Ma Su Ing mencegah.

"Mengapa ayah? Bukankah dia berani menghina ayah?" "Dia tentu masih membawa rahasia lain yang penting.

Tak mungkin dia hanya mencari keponakannya si pendekar gombal itu. Masukkan dia ke dalam tahanan dulu dan paksalah dia supaya mengaku. Apabila dia tetap membandel, barulah engkau boleh suruh algojo memenggal kepalanya.

Pada saat itu muncullah seorang lelaki setengah tua diiring oleh penjaga tadi.

"Hai, Gak sucia, kemana engkau tadi ?" seru Ma Sun. Orang itu memang Gak Se Bun jago Ruyung-pemburu-

angin. Dia merah mukanya mendengar pertanyaan putera tay-haksu.

"Orang telah membius aku sehingga tertidur pulas.

Ketika bangun kudapatkan diriku berada dalam kakus "

"Lihat, siapakah ini ?"#

"Hai, diakah yang menyaru jadi aku ?" teriak Gak Se Bun deliki mata. Dia maju menghampiri Raja-copet dan terus menjambak rambutnya, plak, plak.....

"Aduhhhhh," raja copet mengaduh kesakitan karena sebuah gigi muka rompal dan mulutnya berdarah.

Buffff ..... aduhhhh............

Tiba2 Ra!a-copet menyemburkan gigi yang putus itu ke muka Gak Se Bun. Gak Se Bun menjerit kesakitan karena akar gigi yang runcing tepat menamcap pada pipinya.

''Bangsat, engkau berani melukai Gak su-cia. Ma Sun memperkeras telikungannya sehingga Raja copet menyeringai menahan kesakitan.

'Pengecut, jangan menyakiti aku. Kalau kau memang jantan, hayo, bunuh sajalah,” seru Raja copet dengan melantang tantangan.

Ma Sun terus mencabut pedang dan hendak menabasnya tetapi dicegah ayahnya, "Sun-ji, jangan terburu nafsu. Suruh dia mengaku dulu "

Ma Su Ing memerintahkan puteranya supaya menggusur Raja-copet ke penjara dibawah tanah. Setelah Ma Sun pergi barulah tay-haksu itu melanjutkan pembicaraan dengan Gak Se Bun.

"Gak sucia," katanya, "ada sebuah tugas penting yang akan kuminta supaya sucia yang melakukan… ”

"Baik, tay-haksu."

"Surat ini sucia berikan kepada panglima besar Torgun .

..."

Gak Se Bun terbeliak.

"Tetapi rahasia ini harus engkau jaga benar2. Kalau sampai bocor, besar sekali bahayanya."

"Balk, tay-haksu."

"Su-cia boleh mengajak seorang kawan yang sucia percaya tetapi tak perlu memberitahu kepadanya tentang surat ini, "tay-haksu Ma Su Ing manambahkan.

Sesudah Gak Se Bun pergi, Ma Su Ingpun keluar dari kamar tulisnya menuju kesebuah gedung di belakang taman. Disitu terdapat beberapa bangunan yang indah macam bentuk sebuah bungalow. Setiap bungalow dicat dengan warna yang berbeda satu sama lain. Dan ada keistimewaan lain, di halaman muka dari bungalow itu ditanami dengan pohon bunga yang hanya sejenis.

Misalnya bungalow bercat merah halamannya ditanam bunga mawar, yang bercat kuning ditanami pohon botan, bercat putih,. pohon seruni dan sebagainya.

Tay-haksu Ma Su Ing masuk kedalam bungalow kuning.

Seorang gadis cantik segera nyambutnya dengan senyum manis, "Ai, baru saja aku putus asa karena menunggu tay- jin dengan sia-sia. Mungkin tay-jin sudah bosan ke daku. "

"Ah, manis, jangan gitu dong. Masakan aku sudah bosan.

Hanya karena tugas pekerjaan malam ini aku agak terlambat "

"Benarkah, loya, ah aku si gadis piatu sungguh beruntung sekali," dengan aleman si gadis cantik itu merebahkan kepalanya ke dada Ma Su Ing, cupppp, Ma Su Ing mengecup. "Manisku, kalau semalam tak bersamamu, aku tak dapat tidur ”

"Ai, tayjin terlalu memanjakan diriku. Bukah tayjin masih mempunyai beberapa gadis cantik yang siap melayani tayjin setiap malam ?"

"Ya, memang," sahut Ma Su Ing," tetapi engkau benar2 luar biasa manis. Engkau dapat membuat aku terbuai sampai ke sorga ketujuh…”

Ma Su Ing melepaskan diri diatas kursi.

Si cantik yang diberi nama Botan, segera menuangkan arak dan menghaturkan kehadapan tay-haksu..

"Dengan secawan arak harum Botan menghaturkan selamat dan doa tayjin yang mulia. Wahai, arak, engkaulah harapanku.

Bangkitkanlah gairah dan semangat junjunganku.

Agar cintanya selalu mengalir kepadaku, mesra dan syandu

.....

"Bagus, bagus, Botan, ternyata engkau pandai juga merangkai syair," Ma Su Ing terus meneguk arak harum itu. Ia pejamkan mata untuk menikmati turunnya air yang mengalir ke kerongkangau dan menebar ke dada lalu berlabuh di perut.

Sesaat kemudian ia membuka mata dan seketika pandang matanya pun tertumbuk akan sesuatu yang segera menggelorakan darahnya.

Saat itu Botan hanya mengenakan pakaian tipis yang tembus pandang. Dan lebih gila lagi, kimono tipis itu berwarna hitam sedang kutang dan celana dalam sama sekali gadis itu tidak memakainya. Sudah tentu mata tay- haksu jelalatan seperti harimau yang melihat kambing.

Dibawah sinar remang2 warna biru, seluruh tubuh Botan yang putih seperti salju itu tampak sangat jelas sekali,

Ma Su Ing sudah berumur enampuluh tahun lebih. Tetapi waktu menyaksikan sepasang daging yang mengeunduk padat bagai pepaya yang masih ranum, seketika darahnya mendesir seperti lepas dari sumbatan. Jantungnya berdebar keras seperti mau copot. Ditambah pengaruh arak istimewa yang memang diramu untuk pembangkit nafsu, tay-haksu yang sudah tua itu segera menarik tangan Botan ke pembaringan.

"Botan, engkau nakal. layangkan aku ke nirwana

seribu impian ”

"Sabar tay-jin," kata Botan yang dengan tenang membuka kimononya lalu dalam keadaan telanjang dia membuka pakaian tay-haksu itu.

"Lekas Botan, jangan menyiksa aku lama2,” kata Ma Su Ing yang sudah memeluk si cantik.

"Sabar, tay-jin, kan lebih nikmat kalau tanpa pakaian .. .

."

Tetapi Botan memang sengaja memperlambat caranya

membuka kancing baju dan pakaian Su Ing. Padahal dia duduk rapat dihadapan mentri itu dalam keadaan telanjang. Buah dada yang padat dan ranum itu menempel pada mulut tay-haksu.

"Lekas. Botan, lekas, aku sudah tak sabar lagi " Ma

Su Ing menjerit-jerit seperti orang sekarat.

Mentri yang sudah berusia lebih dari setengah abad dan mempunyai gundik berpuluh-puluh gadis2 cantik, tetap tak dapat menahan rangsang nafsunya yang berkobar-kobar.

Belum sempat celananya dilepas, dia terus memeluk Botan dan ditebahkan diatas ranjang, uhhhhh ............

Tiba2 dia merintih penasaran dan terkapar tertelentang dalam keadaan telanjang bulat.

"Ai, mengapa loya begitu terburu nafsu, sehingga, aduh . aku... aku . akupun menderita begini ," Botan juga

merintih-rintih.

Ternyata Ma Su Ing saking ngebetnya, dia tak dapat menguasai nafsunya. Baru melekat sudah terus keluar .....

"Ah, aku memang salah, manis. Tunggulah beberapa saat lagi apabila aku sudah kuat. Jangan kecewa manis. Engkau tentu akan puas. Aku sendiri juga tak puas nih ," Ma Su

Ing mengeluh,

"Baik, tayjin, biar kuambilkan arak itu. Arak itu dapat melekaskan nafsu bangkit," kata Botan seraya menyambar kimono lalu turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar untuk mengambil arak Cong-yang-ciu.

Pada saat sedang menuang arak, tiba2 Botan seperti merasa kalau dibelakangnya ada orang berdiri. Dia berpaling dan menjerit. Tetapi orang itu cepat membungkam mulutnya.

Jangan berteriak nona." kata orang itu, "aku. takkan mencelakaimu asal engkau mau menurut permintaanku."

"Siapa engkau " Botan gemetar. Ia melihat orang itu

masih muda tetapi mengapa dandanannya aneh. Kepalanya terbungkus kain tetapi pada kedua samping atas dahi, diberi lubang. Dan dari kedua lubang itu mencuat seikal rambut jigrak. Sepintas mirip dengan sepasang. tanduk.

Dari dandanan itu jelas sudah kalau dia adalah pendekar Huru Hara. Setelah berontak dan ngamuk melepaskan diri dari keempat penjaga yang hendak memenggal kepalanya, Huru Hara terus lari. Tetapi malam itu dia masih penasaran. Dia hendak menemui Ma Su Ing dan akan memaksanya supaya memberi surat balasan yang akan ia berikan kepada mentri Su Go Hwat. Dia keluar dari tembok belakang dan tepat pada saat itu ia melihat tay-haksu Ma Su Ing menuju ke belakang taman. Sebenarnya Huru Hara terus hendak meringkus tay-haksu itu tetapi tiba2 ia mendapat pikiran untuk mengetahui apa gerangan tujuan tay-haksu ke belakang taman.

Huru Harapun mengikuti dan mendengarkan dari luar pembicaraan Ma Su Ing yang cabul dengan Botan dan mendengar pula rintihan penasaran dari tay-haksu waktu melakukan adegan rajang dengan Botan.

"Sialan," gumam Huru Hara, "tua bangka itu masih suka daun muda, hm . ."

Serentak timbul pikiran Huru Hara untuk mengacau, "Biar tua bangka itu mendapat malu," pikirnya ”

"Arak apa yang hendak engkau berikan kepadanya itu ?" tanya Huru Hara kepada Botan.

"Cong-yang-ciu, arak penguat tenaga laki-laki," untuk Boran.

"Hm, tidak malu," dengus Huru Hara, "apa engkau seorang nona yang masih muda dan cantik, cinta setengah mati kepada si tua bangka itu?"

Botan terlipu-sipu merah mukanya. "Jawab bentak Huru Hara.

"Sebenarnya siapa yang suka padanya. Hanya karena nasibku yang malang maka aku sampai jatuh ke tangannya," dengan ringkas Botan inenceritakan kisah hidupnya yang malang. Kedua orangtuanya telah meninggal dan dia jatuh di tangan seorang germo lalu dijual pada Ma Su Ing.

"Engkau masih muda dan cantik. Kelak engkau masih dapat mencari jodoh yang setimpal. Mengapa engkau rela menghancurkan dirimu untuk kesenangan tua bangka itu ? Umurnya tinggal berapa lama, apalagi dalam keadaan perang begini, nasibnya belum pasti. Kalau dia mati, lalu bagaimana nasibmu nanti ?" Airmata Botan bercucuran.

"Lalu apa dayaku seorang anak perempuan yang sudah sebatang kara ini ?"

"Gedung ini akan kubakar. Engkau kumpulkan harta bendamu. Dalam kekacauan nanti engkau harus melarikan diri ke utara. Diluar kota beberapa li jauhnya terdapat sebuah kuil tua. Tunggu disitu sampai aku datang. Nanti kubawamu suatu tempat yang aman dan jauh."

"Terima kasih hohan," kata Botan.

"Apa engkau punya obat tidur ?" tanya Huru Hara. "Ada, hohan."

"Baik, campurlah arak Cong-yang-ciu dengan obat tidur.

Biar si tua itu tidur nyenyak jangan menganggu engkau lagi."

"Botan, mengapa begitu lama engkau menuang arak," tiba2 dan dalam terdengar suara tay-haksu Ma Su Ing berseru.

"Ini sudah, tayin." Botan bergegas masuk dan memberikan arak kepada Ma Su Ing. Bahkan dianjurkan kepada Ma Su Ing minum sampai beberapa sloki agar lekas dapat `bertempur`.

Tak berapa lama dalam kamar itu tiada suara apa. Botan keluar dan memberi isyarat tangan kepada Huru Hara.

Hm, sebenarnya mentri macam begitu harus kubunuh," kata Huru Hara didalam kamar, "tetapi saat ini kerajaan Beng masih membutuhkan tenaganya. Biar kuberi sedikit pelajaran pahit saja."

Huru Hara suruh Botan membenahi barang2 nya yang berharga, "Gantilah pakaianmu seperti pelayan saja agar jangan menarik perhatian orang."

Botanpun menurut. Saat itu tay-haksu Ma Su Ing sudah tidur mendengkur. Setelah keluar maka Huru Hara suruh Botan lari ke pintu belakang dan dia sendiri terus menyulut api, membakar bungalow2 itu. Sekita gegerlah gedung kediaman tay-hak su itu. Nona2 cantik penghuni bungalow sama menerit-jerit lari keluar. Keadaan kacau balau.

Seorang penjaga yang tengah berlari-lari hendak memadamkan api ditahan oleh Huru Hara, 'Bung, tay- haksu berada dalam gedung kuning, lekas tolong dia !"

Habis berkata Huru Hara terus lari menyenap dalam kekacauan.

"Tolong ! Tolong ! Tay-haksu berada dalam bungalow kuning ini !" teriak penjaga tadi. Beberapa pengawal segera menerobos kedalam kamar dan terus memanggul tay-haksu keluar.

Berkat kesigapan para penjaga dan pengawal maka apipun dapat dipadamkan tak sampai memakan habis bangunan2 tempat harem itu.

Sekalian penjaga dan pengawal terlongong-longong ketika melihat tubuh tay-haksu yang dibaringkan diatas ranjang ternyata telanjang bulat. Tay-haksu itu masih tidur nyenyak tetapi anehnya badannya berkelejotan tak henti- bentinya. Dan alat rahasianya juga tegak.

Memang celaka sekali. Sungguh amat memalukan bahwa seorang mentri besar seperti taysu, harus telanjang bulat dan alat yitalnya berdiri, dilihat oleh berpuluh-puluh penjaga dan pegawainya, tanpa tay-hak-su itu menyadari karena sedang tidur pulas seperti orang mati.

Itulah gara2 Huru Hara yang suruh mencampurkan obat tidur pada arak Gong-yang-ciu. Tay haksu Ma Su Ing tidur pulas tetapi siap ‘tempur'.

Seorang penjaga segera menyelimuti tubuh tay- haksu lalu dibawa masuk kedalam ruang tidurnya.

Keesokan harinya bukan main marah Ma Su Ing menerima laporan tentang apa yang terjadi semalam.

"Jadi waktu kalian tolong keluar dari tempat Botan, aku sedang telanjang bulat ?" serunya dengan mata mendelik. 'Benar, loya," kata pengawal.

"Wah, celaka. ,".merah padam muka Ma Su Ing

teringat hal itu.

"Mana Botan ?" serunya sesat kemudian. Ia hendak menanyai gundik kesayangannya itu.

"Hilang, loya, mungkin terbakar karena kami menemukan beberapa sosok tubuh yang sudah hangus terbakar," beberapa penjaga memberi laporan.

Ma Su Ing makin marah. Gedung terbakar masih tak apa.

Dia mempunyai uang dan kakuasaan. Dalam waktu tak lama dapat dibangun lagi. Tetapi karena Botan juga ikut lenyap, benar2 kelabakan setengah mati. Botan adalah gundik yang paling disayanginya. Kemanakah dia harus mencari gantiuya?

"Siapakah yang membakar?" serunya. Namun tiada seorangpun yang dapat memberi keterangan.

"Babi! Tolol! Kalian memang kantong nasi semua!". teriaknya kalap, "masakan gedung tay-haksu dikacau orang, kalian tak dapat mengetahui? Perlu apa kalian jaga di gedung ini!"

"Panggil An wisu," serunya memberi perintah. Tak lama seorang wi-su datang menghadap.

"An wi-su, kuminta penjagaan gedung ini supaya diperketat. Jika penjahat berani membakar, dia tentu mampu membunuh aku juga!" serunya.

An Peng Sam si jago pukulan Pi-lik-ciang (pukulan geledek) mengiakan. Dia mengerahkan seratus prajurit bersenjata lengkap untuk menjaga gedung tay-haksu.

Dua malam berturut-turut tak terjadi suatu peristiwa apa2. Hari ketiga pada keesokan harinya datanglah seorang siu-cay sasterawan setengah tua ke gedung tay-haksu.

Kepada penjaga, sastarawan itu mengatakan bahwa ia membawa urusan penting kepada tay-haksu.

"Siu-cay? Siapakah namanya?" tanya Ma Su Ing. "Entah, dia tak memberitahu, tayjin," sahut penjaga. "Ah, apa-apaan segala siu-cay. Palinga hendak minta

bantuan uang. Tolak saja!" kata Ma Su Ing.

Beberapa saat kemudian penjaga itu kembali menghadap dan melapor, "Tayjin, siucay itu mengatakan dia membawa berita yang sangat penting sekali kepada tayjin. Bahkan dia berjanji, kalau berita itu tidak penting, dia rela dipotong kepala nya."

Tertarik juga Ma Su Ing akan keterangan itu. Akhirnya dia mengidinkan. Tak berapa lama penjaga mengiring seorang siucay setengah tua berpakaian serba putih.

"Engkaulah siucay yang hendak menghadap aku?" tegur Ma Su Ing.

"Benar, tayjin," siucay itu memberi hormat.

"Engkau mengatakan kalau membawa berita penting untukku, benarkah itu?"

"Benar, tayjin," sahut siucay dengan sikap menghormat, "tetapi berita ini amat penting sekali dan tak boleh didengar lain orang kecuali tayjin sendiri."

"Hm, jangan main2, siucay," kata Ma Su Ing, "engkau tahu dengan siapa engkau berhadapan?"

"Hamba tahu tayjin bahwa hamba sedang berhadapan dengan tay-haksu tayjin."

"Dari engkau tahu apa hukuman orang yang berani mempermainkan seorang tay-haksu?"

"Potong kepala, tayjin." "Engkau sanggup?" "Hamba sanggup, tayjin."

"Hm, baiklah," kata Ma Su Ing lalu suruh penjaga menyingkir keluar. Para penjaga yang tahu kalau tetamu itu hanya seorang sasterawan, merekapun agak legah dan keluar dari ruangan itu.

"Nah, sekarang engkau boleh mengatakan berita itu.

Tetapi sebelumnya, beritahu dulu siapa namamu." "Hamba orang she Bu nama Beng, orang2 memanggil hamba Bu Beng siucay."

"Hm, apa berita itu?"

"Hamba telah mempelajari ilmu meramal berpuluh tahun. Entah bagaimana semalam ketika memandang langit, hamba melihat sebuah bintang yang bercahaya tiba- tiba pudar sinarnya. Dan menurut ramalan hamba, bintang itu adalah bintang seorang mentri besar dalam kerajaan Beng. Bintang besar itu tiba2 pudar cahayanya menandakan bahwa mentri itu sedang terancam bahaya besar "

"Dan engkau terus menghadap aku ?" tukas Ma Su Ing. "Begitulab, tayjin."

"Karena engkau anggap bintang besar itu adalah lambangku ?"

"Hamba tak dapat mengatakan lain, tayjin.” "Ngaco !" bentak Ma Su lng.

"Maaf, tayjin "

"Enak saja engkau mengatakan begitu. Tetapi apa buktinya ? Bagaimana engkau yakin, kalau bintang itu adalah bintang-lambangku ?"

"Karena hanya raja dan orang2 besar yang mempunyai lambang bintang itu, tayjin. Tay-jin, adalah mentri utama yang berpangkat Tay-haksu sudah tentu mempunyai bintang lambang."

"Hm, baik," kata Ma Su Ing, "tetapi jangan engkau main gila. Sekarang coba katakan rahasia apakah yang mengancam aku ?"

"Tay-jin," kata sasterawan itu, "hamba seorang rakyat kerajaan Beng. Hamba amat menghormat dan mengagumi tayjin karena tayjin-lah saat ini yang merupakan tiang sandaran dari kerajaan Beng "

"Hm," desuh Ma Su Ing tetapi dalam hati merasa bangga mendengar sanjung pujian itu.

"Kedatangan hamba kehadapan tayjin itu sama sekali bukan dengan maksud buruk melainkan hendak memberi tahukan suatu bahaya yang sedang mengancam tayjin agar tayjin secepatnya dapat menolak dan menghindar dari bahaya itu. Namun apabila tayjin tak berkenan menerima kedatangan hamba ini, hambapun tak keberatan apabila harus meninggalkan tempat ini "

Rupanya Ma Su Ing yang cerdik kalah pintar dengan sasterawan itu. Kata2 yang menyanjungnya setinggi langit, yang menggunakan alasan sebagai seorang rakyat yang menyayangi mentrinya, sasterawan itu telah berhasil mengecoh tayhaksu Ma Su Ing.

"Dia tak salah," pikir Ma Su Ing, perlu apa dia harus datang kemari dan memberitahu bahaya yang mengancam aku, apabila dia benar2 tak setya kepada kerajaan Beng.

Dan dalam suasana genting seperti saat ini, bahaya itu memang bukan hal yang mustahil."

"Ya, baiklah," akhirnya tay-haksu itu menyerah, "engkau katakan saja bahaya apa yang mengancam diriku ini."

"Menurut ramalan hamba maka keadaan tay haksu saat ini seperti seorang yang sedang menghadapi gelombang besar. Diibaratkan tayjin sedang berada dilaut yang dahsyat gelombangnya. Tayjin sudah naik sebuah perahu tetapi karena melihat perahu itu oleng dan karena takut perahu itu akan tenggelam maka tayjin lalu menginjakkan kaki pada sebuah perahu lagi. Maksud tayjin, agar tayjin memperoleh tempat. Apabila perahu yang satu tenggelam maka tayjin dapat berpindah ke perahu yang lain."

Ma Su Ing tampak berobah wajah, Dia kaget setengah mati ketika sasterawan itu seperti mengetahui apa yang telah ia lakukan dengan panglima besar pasukan kerajaan Ceng.

"Apakah dia tahu rahasia itu ?” pikirnya. tapi sesaat kemudian ia membantah sendiri," masakan dia tahu hal itu. Paling2 dia hanya berdasarkan pada ramalan nujumnya." "Hm. lalu bagaimana kesudahannya ?" tannyanya. "Menginjak dua perahu memang suatu tindakan yang

cerdik walaupun kurang bijaksana……” "Eh, apa katamu ? Kurang bijaksana ?"

"Ya, tayjin," sahut sasterawa itu dengan tenang," menginjak dua perahu berarti harus membagi pikiran dan tenaga untuk dua hal. Padahal dalam menghadapi ancaman gelombang buas pula yang sedang diserang badai, orang harus mencurahkan segenap perhatian untuk mempertahankan diri dalam sebuah perahu agar perahu itu jangan tenggelam. Tetapi kalau kedua kaki terpentang dan menginjak pada dua perahu. tidakkah hal itu hanya akan menimbulkan bahaya ?

"Hm, kata2-mu memang benar tetapi tidak selalu tepat.

Menginjak dua perahu tak berarti terlalu lama. Harus segera melepaskan yang satu dan pindah ke yang lain yang lebih kokoh dan aman."

"Itu rencana tayjin tetapi apakah tayjin sudah sempat memikirkan bahwa andaikata perahu itu dapat bicara seperti manusia, tentulah dia akan tak senang menerima seorang yang tidak setya hati dan hanya cari enak saja ? Bukankah perahu itu juga tahu bagaimana isi hati tayjin ?"

'Hus, jangan engkau terlalu melonjak kurang ajar ! Engkau hendak memaki aku secara harus, bukan ?"

"Tidak sama sekali, tayjin," sahut sasterawan itu pula, "hamba hanya mengatakan apa yang sebenarnya. Misalnya, datang peperangan antara kerajaan Beng dengan Ceng, kalau orang hendak menggunakan cara menginjak dua perahu, tentulah akan menderita akibat yang tak menyenangkan. Karena baik kerajaan Beng maupun kerajaan bukanlah sebagai perahu yang tak dapat bicara dan mau tak mau terpaksa harus menerima perang. Mereka adalah negara yang menghendaki kesetiaan penuh dan utuh dari mentrit dan rakatnya !' Ma Su Ing tertegun. Makin lama dia merasakan bahwa ucapan sasterawan itu seolah-olah bukan kepadanya dan sepertinya sasterawan sudah tahu akan tindakannya menghubungi panglima Torgun.

"Engkau berbicara seolah-olah engkau hendak mengatakan bahwa aku ini tidak setya kepada kerajaan Beng, benarkah begitu?" tegurnya dengan tajam.

"Maaf, tayjin, hamba belum mengatakan begitu. "

"Kurang ajar !" bentak Ma Su Ing marah, “dengan begitu jelas engkau memang hendak menuduh aku. Belum, beda artinya dengan ‘tidak’. Lekas, katakan siapa dirimu, sebelum kusuruh penjaga menangkapmu !"

"Tayjin, aku hendak mohon keterangan tentang sebuah hal, maukah tayjin meluluskan?” sasterawan itu tenang2 menanggapi kemarahan Ma Su Ing.

"Jangan banyak mulut !" bentak Ma Su Ing "kalau mau bilang lekas bilang !"

"Tak lain yang hendak hamba tanyakan adalah mengenai sebuah surat yang kebetulan terdapat cap tay-haksu kerajaan Bang. "

"Apa ?" teriak Ma Su Ing seperti dipagut ular kagetnya, "surat apa ?"

Dengan tenang dan mengulum senyum, sasterawan itu mengeluarkan sebuah sampul dari dalam baju-dalamnya, "Inilah surat it tayjin "

Bukan kepalang kejut Ma Su Ing demi melihat sampul sampul itu. Seketika pucatlah wajahnya. "Berikan surat itu kepadaku !" serunya kepada si sasterawan.

Tetapi sasterawan itu hanya tersenyum simpul dan tetap tak mau menyerahkan surat itu.

"Eh, engkau tak mau menyerahkan surat itu?” seru Ma Su Ing.

"Tolong, tanya, apakah surat ini benar dari tayjin !" "Lekas berikan kepadaku, jangan banyak mulut," teriak Ma Su Ing.

"Akan hamba berikan dengan serta merta apabila tayjin sudah memberi keterangan apakah surat ini memang benar dari tayjin."

"Setan, engkau berani memaksa aku ? Hai, penjaga ! ' seru Ma Sa Ing.

Dua orang penjaga bergegas masuk. Tetapi segera disambut oleh sasterawan itu. Entah dengan serakan bagaimana, yang jelas sasterawan itu hanya menamparkan tangannya dan tahu2 kedua penjaga itu sudah berdiri tegak seperti patung.

"Lihatlah, tayjin, penjaga itupun membenarkan tindakan hamba untuk meminta keterangan dart tayjin," kata sasterawan.

Ma Su Ing terkejut. Dia juga mempunyai kepandaian silat. Walaupun tidak tinggi tetapi paling tidak dapat digolongkan sebagai jago kelas dua. Ia tahu bahwa kedua penjaga itu telah ditutuk jalandarahnya oleh si sasterawan. Cara menutuk yang dilakukan oleh sasterawan itu disebut, Kek-gong-tiam- hwat atau menutuk jalan darah dari jarak jauh. Yang dapat melakukan itu hanyalah jago silat yang sudah memiliki tenaga-dalam yang tinggi. Ma Su Ing terkejut.

"Siapa engkau ?" serunya pula.

"Maaf apakah tayjin tetap tak mau memberi keterangan atas pertanyaan hamba tadi ?" bukannya menjawab, sasterawan itu malah mengulang pertanyaannya lagi.

"Hm, engkau berani menekan aku ?"

"Baik, tayjin," kata sasterawan dengan tenang "karena tayjin tak mau memberi keterangan terpaksa hamba akan mencari keterangan itu sendiri dengan membuka Surat ini

..... "

"Tunggu !" Ma Su Ing terkejut ketika melihat sasterawan itu hendak membuka sampul surat "apa yang engkau kehendaki ?"

"Ah ," sasterawan itu tersenyum, "kiranya tayjin memang cerdas dan bijaksana sehingga cepat dapat mengetahui isi hatiku. Baiklah, memang begitulah yang hamba kehendaki. Surat itu akan hamba serahkan kepada tayjin tetapi tay-jin juga supaya memberi sesuatu kepada hamba.

"Apa yang engkau minta ?"

"Tidak banyak, tayjin," kata sasterawan it "hanya separoh bagian dan harta karun yang hendak tayjin sembunyikan di gunung Kiu-kiong-sa itu "

"Apa ?" teriak Ma Su Ing terkejut.

"Separoh bagian dari harta karun yang hendak mengungsikan kc gunung Kin kiong-san itu."

"Engkau tahu tentang hal itu?”

"Ang Bin tojin telah tay-jin parintahkan supaya nanti malain berangkat memimpin rombongan prajurit yang akan membawa sepuluh peti harta karun ke gunung Kiu-kiong- san. Nah, harta karun itulah yang hamba kehendaki.

Apakah tayjin kurang setuju untuk membagi separoh saja kepada hamba ?"

Saat itu Ma Su Ing mendengar suara langkah kaki orang mendebur lantai. Tentu ada seseorang yang datang.

"Hm, aku harus mengulur waktu sampai orang yang datang itu muncul kemari," Ma Su Ing menimang-nimang. Ia berharap dalam waktu itu penjaga atau pengawalnya akan muncul.

"Uh ," desus seorang imam yang baru saja melangkah kedalam ruang. Dia adalah Sakya watsu.

Ketika masuk. Ang Bin terus diserang oleh Huru Hara. Tetapi karena Ang Bin tojin juga seorang jago sakti, maka diapun tak sampai rubuh, ia lepaskan pukulan sembari loncat menghindar ke samping.

"Hwatsu !" seru Ma Su Ing dengan nada gembira ketika tahu siapa yang datang. Tetapi pada saat itu juga, sasterawan ayun tubuhnya ke muka, dan sebelum tahu apa yang akan terjadi, tahu2 dengan gerak yang luar biasa cepatnya, sudah menerkam lengan Ma Su Ing dan terus ditelikung belakang. Sambil melekatkan telapak tangan kanannya ke jalandarah Sim-cong-hiat di punggung tay- haksu, sasterawan itu berseru," Lekas suruh imam itu berhenti, atau kuhancurkan urat jantungmu!"

Tay-haksu Ma Su Ing merasa punggung seperti dilekatkan tangan yang hangat dan hangat itu terasa membakar jantungnya sehin berdebar keras. Dia tahu bahwa sasterawan itu seorang jago yang sakti dan tentu akan membuktikan ancamannya.

"Hwatsu, harap jangan bergerak," akhirnya Ma Su Ing terpaksa menurut perintah si sasterawan.

Ang Bin tojin tertegun. Ia menyadari bahwa melihat cara sasterawan itu menyerangnya dan meringkus Ma Su Ing. jelas bahwa orang itu berilmu tinggi. Terpasa ia harus menurut, demi menyelamatkan jiwa Ma Su Ing yang dikuasai orang

"Hai, berhenti , . !" tiba2 pula sastera itu berseru seraya ayunkan tangannya. Dan serempak penjaga itu rubuh di luar pintu.

Ternyata penjaga itu diam2 hendak melarikan diri untuk memanggil bala bantuan. Tetapi sasterawan yang bermata tajam sudah cepat ayunkan tangan menaburkan jarum beracun. Seketika peajaga itupun rubuh dan mati .....

Ang Bin terkejut atas kepandaian orang menabur penjata rahasia. Tampaknya sasterawan itu hanya membuat gerakan seperti orang menampar nyamuk tetapi ternyata dari jarak beberapa meter, dia mampu menaburkan jarum beracun yang tepat menembus sampai ke jantung orang,

"Hm, jangan coba2 untuk mengganggu ketenangan kalau tidak mau seperti penjaga itu," dengus sasterawan itu dengan nada geram.

Ma Su Ing makin tergetar.

"Apa yang engkau kehendaki ?" tanyanya.

"Seperti yang kukatakan tadi. Separoh dari harta karun yang tayjin hendak sembunyikan ke gunung Kiu-kiong-san itu supaya diberi kan kepadaku. Eh, mengapa tayjin keberatan ? Bukankah tayjin sudah cukup bahkan berlebih- lebihan sekali harta benda tayjin ? Mengapa separoh dari sebagian kecil harta tayjin, tayjin masih tak rela memberikan kepadaku ?"

"Baiklah, tetapi engkau menyerahkan surat itu kepadaku."

"Ya," kata sasterawan, setelah harta itu sudah tayjin berikan kepadaku, barulah surat itu akan kuhaturkan kepada tayjin."

"Apa ? Engkau tak percaya kepadaku ?" teriak Ma Su Ing. "Bukan soal tak percaya, tayjin," kata sasterawan itu,

"tetapi hamba adalah seorang rakyat kecil sedang tayjin adalah mentri yang paling berkuasa di kerajaan Beng. Bagaimana andaikata surat itu sudah hamba serahkan lalu tayjin tidak mau menyerahkan bagian untuk hamba itu ? Apakah hamba mampu menggugat tayjin ?"

"Tetapi bagaimana kalau harta itu sudah kuberikan kepadamu tetapi engkau tak mau menyerahkan surat itu kepadaku ?" balas Ma Su In

"Baiklah. tayjin," kata sasterawan itu, "begini saja. Tayjin boleh mengutus orang untuk nyerahkan harta itu kepada hamba dan hamba akan menyerahkan surat itu kepada utusan tayjin. Bagaimana, apakah tayjin dapat menyetujui

?"

Pikir2 Ma Su Ing dapat menerima perjanjian itu. Ia sudah merencanakan akan mengirim beberapa jago sakti untuk menyelesaikan hal itu.

"Baik, tetapi jangan engkau ingkar janji. Aku dapat mengerahkan ratusan ribu tentara untuk membunuh engkau."

"Ah, masakan sekian banyak tentara harus tayjin gunakan untuk menangkap diri hamba seorang ? Bukankah lebih tepat kalau tayjin kerahkan menghadapi pasukan Ceng yang sedang mengancam kerajaan Beng? Dan ini toh hanya urusan harta benda yang tak berarti bagi tayjin ?" kata sasterawan setengah mengejek.

"Tayjin. maafkan, harap tayjin jangan bergerak untuk beberapa saat dulu," tiba2 sasterawan itu menekankan ujung jarinya ke punggung tay-haksu pun terdiam seperti patung. Ternyata jalandarah Ma Su Ing telah ditutuk,

Habis itu sasterawan terus hendak membawanya keluar. Tetapi pada saat itu dari luar muncul seorang gadis bersama seorang pemuda nyentrik.

"Ayah, inilah pemuda yang tak bersalah itu ............ ih ....

!"

Dara itu bukan lain adalah Ma Giok Hoa dan pemuda

yang menyertainya itu adalah si Huru Hara. Dara itu tertegun dan terlongong-longong kaget ketika melihat Ma Su Ing diringus lelaki yang berdandan seperti seorang terawan.

"Jangan bergerak kalau tak ingin tay-haksu kuhancurkan

!" ancam sasterawan itu kepada Ma Giok Hoa. Tetapi ketika melihat Huru Hara, maka, sasterawan itu terkesiap kaget.

Huru Hara menyadari apa yang telah terjadi pada Ma Su Ing, "Mengapa engkau bawa tay-haksu ?" tegurnya sambll menghadang di ambang pintu.

"Siapa engkau !" bentak sasterawan.

"Aku juga seorang tetamu seperti engkau." "Mau apa engkau ?"

"Aku mau perlu dengan tay-haksu.”

"Persetan !" bentak sasterawan," tay-hak hendak menemani aku keluar dari rumah mi. setelah itu silakan saja kalau engkau hendak perlu dengan beliau."

"Tidak,” sahut Haru Hara, "aku hen perlu dengan tay- haksu dulu. Jangan engkau ganggu beliau."

"Apa engkau menghendaki tay-haksu kubunuh ?"

“Hm, apakah engkau tuli" balas Huru Hara "aku hendak bicara untuk menyelesaikan suatu urusan penting dengan tay-haksu. Mengapa aku menghendaki- tay-haksu engkau bunuh ?"

"Kalau engkau berkeras merintangi aku, terpaksa tay- haksu akan kubunuh.”

"Kalau engkau berani membunuh tay-haksu aku pasti akan mengadu jiwa dengan engkau!”

"Uh, apa engkau berani membunuh tay-haksu ?" "Bukan, aku seorang utusan yang diutus untuk

menghadap tay-haksu."

"Siapa yang mengutus engkau ?" "Mentri Su Go Hwat tayjin !" "Soal apa ?"

"Itu rahasia negara, tak seorangpun boleh tahu!” ''Hm, jadi engkau tetap hendak merintangi aku ?" "Aku tak butuh ergkau! Mau pergi, pergi-lah tetapi

jangan membawa tay-haksu !"

"Hm, engkau tetap menghendaki tay-haksu menderita ?

Lihatlah. ,"

"Auhhhh. " tiba2 Ma Su Ing menjerit kasakitan

karena jantungnya seperti ditarik,

"Ayaaahhhh. " sekonyong-konyong Ma Giok Hoa lari

menubruk ayahnya. Ia tak sampai hati melihat Ma Su Ing menderita kesakitan. Dan tanpa peduli suatu apa, dara itupun terus lari ke muka hendak menolong ayahnya.

"Enyah !" karena kaget sasterawan itu terus ayunkan tangannya menampar, plakkkk

"Uh............ ihh " Terdengar dua buah desuh terkejut, Yang satu berasal dari mulut sasterawan karena tubuhnya tergetar, Dan yang satu dari mulut Ma Giok Hoa karena terhuyung-huyung.

Ternyata sejak tadi Hutu Hara sudah melekatkan perhatiannya pada gerak gerik sasterawan itu. Dia terkejut ketika Giok Hoa nekad hendak memenolong Ma Su Ing. Tetapi dia lebih terkejut melihat sasterawan ayunkan tangan hendak menampar dara itu. Seketika diapun ayunkan tangan untuk menggempur tenaga tamparan sasterawan.

Akibatnya sasterawan itu terkejut. Dia merasa tenaga tamparannya tadi serasa tertolak dan membalik melanda dirinya sendiri, sehingga dia sampai tergetar tubuhnya.

Sayang saat itu Huru Hara tak lekas2 menyusuli dengan pukulan. Jika dia berbuat begitu, tentulah sasterawan yang terkejut itu akan lebih grogy dan tay-haksu tentu dapat direbutnya.

Tetapi Huru Hara memang mempunyai alasan untuk tidak melanjutkan serangannya karena saat itu dia harus menyanggapi tubuh Ma Gi Hoa yang hampir jatuh karena terlanggar angin tamparan si sasterawan.

Pada saat Ma Giok Hoa dapat berdiri tegak lagi, tetnyata sasterawan itu sudah dapat menguasai Ma Su Ing pula.

"Bedebah, engkau berani mengganggu aku, teriak sasterawan itu," apakah engkau benar2 menghendaki tay- haksu ini mati ?"

"Lepaskan tay-haksu atau engkau pasti kuhancurkan !" Huru Hara balas menbentak.

"Aku akan membawa tay-haksu keluar dari gedung ini. Kalian tak boleh mengikuti. Setelah sampai diluar gedung baru kulepaskan. Dan kalian tak boleh mengganggu aku !"

"Ti "

"Hohan, setujuilah permintaannya," tiba2 Giok Hoa berseru."

"Tetapi nona " "Biarlah hohan. asal ayah selamat," kata Giok Hoa dengan sungguh2.

Melihat permintaan dan sikap Giok Hoa yang begitu menguatirkan keselamatan ayahnya terpaksa menurut permintaan dara itu.

"Hm, kerena Ma siocia menyetujui, akupun takkan menghalangi. Tetapi awas, kalau engkau berani mengganggu seujung rambutpun diri tayhaksu, engkau tentu akan kucincang !"

"Soal siapa yang mencingcang dan dicincang belumlah pasti, aku atau engkau," sahut sasterawan mengejek, "tetapi yang penting aku akan melakukan syarat yang kuminta tadi. Nah, lekaslah kalian menyingkir !"

Huru Hara, Ma Giok Hoa, Ang Bin hwatsu dan beberapa penjaga segera memberi jalan kepada sasterawan yang membawa tay-haksu keluar. Selekas tiba diluar gedung, sasterawan mengait kaki tay-haksu sehingga jatuh ke tanah lalu cepat ia lompat. Dalam dua tiga kali loncatan. diapun menghilang dalam kegelapan malam.

Ma Giok Hoa bergegas lari menolong ayahnya. Melihat Huru Hara hendak mengejar, Ma Giok Hoa mencegah, "Jangan, kita harus pegang janji "

Begitulah Ma Su Ing segera ramai2 digotong masuk. Dan tak berapa lama diapun dapat bargerak lagi.

"Loan Thian Te, terima kasih atas bantuanmu. Apabila engkau tak bertindak, tentulah penjahat itu akan menyiksa akan lebih hebat," kata Ma Su Ing.

"Ah, harap tayjin jangan berkata begitu, kata Huru Hara, "Ma siocialah yang sebenarnya dapat memberi kesempatan kepadaku untuk mengadu tenaga dengan penjahat itu."

Namun walaupun tadi jalandarahnya tertutuk sehingga tak dapat bergerak tetapi telinga Ma Ing tetap dapat mendengar semua pembicaraan yang berlangsung antara Huru Hara dengan sastrawan itu. Diam2 tay-haksu itu tergerak hatinya atas kenekatan Huru Hara untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman sasterawan

"Loan Thian Te, bagaimana kalau kuangkat engkau sebagai pengawalku ?"

"Terima kasih, tayjin," sahut Huru Hara, wajiban hamba terhadap Su tayjin masih belum selesai. Hamba harus membawa surat balasan tayjin kepada Su tayjin."

"Baik, nanti akan kuberikan surat balasan itu," kali ini Ma Su Ing bersikap makin lunak, "tetapi bagaimana nanti setelah tugasmu selesai, apakah engkau mau bekerja kepadaku ?"

Belum Huru Hara menjawab, masuklah Sun dan Ma Giok Cu. Begitu melihat Huru Hara- langsung Ma Sun terus berteriak, "Tangkap penjahat itu !"

Tetapi tiada seorangpun, baik Ang Hwat tojin maupun penjaga, yang bergerak melaku perintah.

"Hai. apa kalian tuli ?" teriak Ma Sun pula karena masih melihat penjaga dan Aug Hwat tojin diam. Dia berpaling kepada tay-haksu. "Ayah dialah penjahat yang melakukan pembakaran bagian belakang !"

Ma. Sun mengira saat itu tentulah ayahnya akan marah dan menyuruh penjaga menangkap Huru Hara. Tetapi diluar dugaan tay-haksu tenang-tenang balas bertanya, "Sun-ji, apakah engkau melihat sendiri ?"

"Tidak ayah," kata Ma Sun," tetapi aku mendapat laporan dari beberapa penjaga bahwa yang membakar itu seorang yang bergerak cepat seperti setan. Siapa lagi kalau bukan dia !"

"Jika tak melihat sendiri, janganlah engkau menuduh begitu yakin," kata tay-haksu, "tahukah engkau bahwa tadi juga datang seorang sasterawan yang berilmu tinggi sehingga aku dapat terkecoh dan dikuasainya ?"

"Apa ? Seorang sasterawan berani menguasai ayah ?" Ma Sun terkejut. "Ya, dia berilmu tinggi sehingga aku dapat diringkus. Apakah engkau tak tahu ? Engkau berada di mana waktu terjadi peristiwa itu ?"

Ma Sun gelagapan. Terus terang, waktu tayhaksu sedang diringkus sasterawan. Ma Sun sedang mengunjungi seorang nona cantik di komplek bungalow. Sebenarnya gadis2 itu adalah piaraan tay-haksu, tetapi karena jumlahnya banyak, tak mungkin tay-haksu dapat mengunjungi mereka dengan rata. Apalagi tay-haksu sedang tergila-gila pada Botan. Oleh karena itu, secara tersembunyi Ma Sunlah yang mewakili ayahnya untuk menikmati kembang2 itu . . . .

"Tadi aku tertidur yah, karena siang tadi aku berkeliling kota untuk menyelidiki keadaan,” jawab Ma Sun.

"Ketahuilah, Sun-ji, Loan Thian Te inilah yang banyak membantuku sehingga penjahat tak berani menyiksa diriku."

"Oh ," desuh Ma Sun.

"Tetapi yah," tiba2 Ma Giok Cu melengking "dia pernah melukai Lau-ma."

"Mengapa dia sampai bentrok dengan Lau ma ?" "Karena dia menghina aku dan Lau-ma tak puas lalu

hendak menghajarnya."

Tay- haksu Ma Su Ing terkejut.

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar