Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 23 Rahib

Jilid 23 Rahib

Kim Yu Ci sebenarnya agak sungkan menghadapi kedua nikoh atau rahib muda dari biara Ceng-leng-kwan yang menyerangnya dengan gentar. Ilmu permainan hud-tim dari kedua nikoh muda itu memang hebat. Tetapi Kim Yu Ci bukanlah pemuda sembarangan. Dia pernah mengangkat diri sebagai Kim Thian Cong dan hendak merajai dunia persilatan. Apabila mau, dengan cepat dapat mengalahkan kedua nikoh muda itu.

Kedua gadis nikoh itu memang terkejut setelah menyaksikan kepandaian Kim Yu Ci. Orangnya masih muda, cakap dan berilmu tinggi. Lebih terkejut lagi kedua gadis nikoh itu ketika itu dengan suatu tata-gerak langkah yang mengagumkan, Kim Yu Ci telah memberojot masuk ke dalam ruang belakang.

"Hai, jangan meliar!" teriak kedua gadis rahib itu seraya mengejar,

"Omitohud !" tiba2 seorang rahib tua muncul menghadang jalan Kim Yu Ci, "mengapa sicu lari begitu gugup ? Apakah sicu dikejar orang ?”

Kim Yu Ci hentikan langkah. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, kedua gadis rahib tadi pun sudah tiba. "Suhu, dia kurang ajar sekali, berani menerobos masuk kemari !" seru kedua gadis rahib itu.

Kim Yu Ci tersenyum.

"Benarkah begitu, sicu ?" tegur rahib tua yang disebut suhu oleh kedua gadis rahib.

"Ya."

“0, tentulah sicu mempunyai kepentingan yang perlu sekali."

"Benar, suthay. Aku hendak mencari adik perempuanku yang datang ke biara ini. Apakah suthay mengetahui ?"

Rahib tua itu sejenak kerutkan dahi lalu menjawab, "Leng Ceng, Leng Sim, apakah ada tetamu yang datang kemari ?"

"Tidak suhu. Sejak semalam tak ada seorang tetamupun datang kemari," sahut kedua gadis rahib. Yang tua bergelar Leng Ceng dan yang Leng Sim.

"Sicu telah mendengar sendiri bahwa sejak kemarin kami tak menerima tetamu,” kata rahib tua itu.

Kim Yu Ci tahu bahwa rahib tua itu tentulah Giok Sin suthay kepala biara Ceng-leng-kwan yang semalam telah bertempur melawan. Tadi waktu rahib itu muncul dan mengangkat tangan untuk menghentikan langkahnya Kim Yu terkejut karena gerak tangan rahib tua itu telah memancarkan arus tenaga-dalam yang hebat, untunglah tadi dia cepat kerahkan tenaga-dalam untuk menolak. Diam2 ia memuji kepandaian rahib tua itu.

Tetapi sebenarnya Giok Sin suthay juga tak kalah kejutnya. Ia tak menyangka bahwa anakmuda itu mampu menahan tenaga-tolak yang dipancarkan dalam gerak tangannya tadi. Itulah sebabnya maka ia tak mau marah ketika kedua muridnya datang melapor perbuatan Kim Yu Ci. Ia tahu kedua muridnya itu bukan tandingan Kim Yu Ci.

"Maaf, suthay," kata Kim Yu Ci memberi hormat, "jika demikian aku mohon diri "

"Tunggu," seru Giok Sin suthay benarkah sicu itu mengatakan hendak datang ke biara ini.”

"Ya."

"Apa tujuannya ?"

"Mengamuk.....!" sebelum Kim Yu Ci menjawab tiba2 terdengar sebuah suara yang parau.

Kim Yu Ci terkejut, 'Siapa itu!" serunya.

"Ah, Ban-heng, silakan masuk , . . ," tiba2 Giok Sin suthay berseru. Tetapi sampai beberapa saat tiada penyahutan. Giok Sin suthay segera merintahkan kedua muridnya, "Ceng dan Sim, lekas undang paman Ban kemari."

Setelah kedua gadis rahib itu pergi maka Giok Sin suthay berkata kepada Kim Yu Ci, "Benarkah maksud kedatangan adik sicu kemari seperti yang dikatakan Ban-heng tadi?"

"Siapakah Ban-heng itu, suthay?" Kim Ci balas bertanya. "Dia seorang aneh," Giok Sin suthay tersenyum. "Apakah bukan Ban Leng Jiu?"

Giok Sin suthay terkejut, "O, apakah sudah kenal?"

"Belum tetapi sudah pernah mendengar namanya.”  "Lalu apakah kedatangan adik sicu itu betul begitu?"

Giok Sin suthay mengulangi pula pertanyaannya yang belum terjawab. "Bukan mencuri tetapi hendak meminjam pakaian nikoh," kata Kim Yu Ci.

"Untuk apa?" Giok Sin suthay heran.

"Kedua adik perempuanku hendak masuk kota Thay- goan. Agar jangan menimbulkan yang tak diinginkan, maka mereka terpaksa hendak menyaru sebagai nikoh."

Belum sempat Giok Sin suthay membuka mulut, tiba2 di ruang besar tempat bersembahyang yang terletak di bagian luar, terdengar suara orang ribut2 seperti berkelahi.

"Ah, rupanya di ruang depan terjadi sesuatu," kata Giok Sin suthay seraya melangkah menuju ke luar. Kim Yu Ci pun mengikuti.

Tiba di ruang besar, Kim Yu Ci terkejut sekali. Ternyata suara gaduh itu memang berasal dari ruang situ. In Hong sedang mengamuk melawan kedua gadis rahib.

"Adik Hong, jangan melukai orang," seru lan Bi Ing yang melihat di sudut ruang.

"Harap li sicu yang berkelahi itu sudah berhenti. Ceng, Sim, mundur," seru Giok Sin suthay kepada kedua muridnya.

Leng Csng dan Leng Sim serempak loncat mundur.

"Hai, apa-apaan engkau nikoh tua? Apakah engkau yang hendak maju menempur aku?" teriak Hong yang rupanya sudah sewot.

"Hong, jangan berlaku kurang adat!" seru Kim Yu Ci. Biasanya dia memanggil dara itu dengan sebutan nona. Tetapi tadi karena ia mengaku pada Giok Sin suthay bahwa In Hong itu adiknya maka terpaksa ia memanggil namanya.

In Hong terkesiap, serunya, "Aneh . . . ? " "Apanya yang aneh ?" kata Kim Yu Ci.

"Mengapa engkau memanggil namaku begitu saja ?" seru dara itu.

"Celaka benar dara ini," Kim Yu Ci mengeluh dalam hati. Namun ia tak mau meladeni dan cepat berseru lagi,

"Sudahlah, jangan bersikap tak hormat kepada suthay yang menjadi kepala biara ini."

"Dia kan hendak maju membela kedua muridnya, mengapa aku harus menghormatinya ?” bantah In Hong.

Dalam pada itu Giok Sin suthay bertanya kepada kedua muridnya mengapa mereka bertempur dengan In Hong.

"Waktu kami hendak mencari Ban pehu, tiba2 kami melihat seorang nona sedang ngamuk. Buah-buahan dalam piring yang disajikan kepada hud-cou telah diobrak-abrik. Dan lebih mengejutkan lagi dia memakai jubah. "

"Persetan jubahmu atau bukan. Siapa sudi mengambilnya !" teriak In Hong.

"Li sicu, mengapa engkau mengobrak-abrik sesaji untuk hudcou ?" tegur Giok Sin suthay.

"Biara ini banyak setan. Akan kuusir setan yang mengganggu itu."

"Setan ?" Giok Sin suthay terkejut.

"Ya, buah peer dipiring bisa berloncatan, lilin bisa berjalan dan aku dipaksa harus tekuk lutut memberi hormat pada arca Dewi Kwan Im. Apa tidak menjengkelkan ?"

Giok Sin suthay terkesiap ia tak tahu apa yang diocehkan dara itu. Kemudiaa dia berpaling, "Ceng, Sim, apakah li- sicu ini pernah bersembahyang kemari ?"

"Tidak, suhu," kata kedua gadis rahib. "Huh, dasar kantong nasi, habis makan dan menyanyi kalian tentu sudah menggeros tidur. Siapa bilang aku tidak datang kemari ?"

"Kapan li-sicu datang?" "Semalam."

"O," seru Giok Sin suthay, "lalu li-sicu bersembahyang disini ?'

"Tidak," kata In Hong, "hanya ketika masuk kedalam ruang ini kulihat buah peer melambai kepadaku. Terpaksa akupun hendak mengambilnya. Tetapi waktu hendak kusambar, buah peer itu dapat berloncatan menghindar. Dan pada saat itu dua batang lilin di mejapun dapat berjalan tukar tempat. Apakah itu bukan perbuatan setan? Mengapa biara tempat agama suci, ditempati kawanan setan ?"

In Hong menuding kedua gadis rahib dan berseru, "Setan itu akan kuusir tetapi kedua nikoh malah menyerang aku, Huh, apakah orang tidak jadi jengkel ?"

Kim Yu Ci terkejut mendengar dara itu ceplas-ceplos ngomong seenaknya sendiri. Sudah mengaku kalau tengah malam masuk kedalam biara tanpa idin masih berani mengatakan kalau hendak mengambil buah sesaji Dewi Koan Im. Sudah tentu Kim Yu Ci gelengkan dalam hati, "Dara mungkin tak waras pikiran."

Tetapi diluar dugaan Giok Sin suthay tidak marah. Ternyata dia teringat bahwa semalam sebelum menerima kedatangan kedua paderi yang kemudian bertempur dengan dia, Giok Sin suthay sudah menerima kunjungan Ban Leng Jiu. Leng Jiu memberitahu bahwa malam itu dua orang paderi akan mengacau di biara. Diminta Sin supaya berhati- hati. Ban Leng Jiu seorang tokoh yang aneh dan nyentrik, suka mengolok dan mempermainkan orang. Bahwa In Hong hendak mengambil buah peer tetapi buah itu dapat berloncatan, lilin dapat berjalan tukar tempat dan In Hong dipaksa harus berlutut minta ampun kepada Dewi Kwan Im, tentulah kesemuanya ini perbuatan Ban Leng Jiu.

"Li-sicu, percayalah, di biara kami tiada setan apa2," akhirnya ia memberi keterangan kepada In Hong.

“Kalau tak ada setan penunggu masakan buah peer dapat berloncatan dan lilin berjalan tukar tempat?" bantah In Hong.

"Mengapa li-sicu hendak mengambil buah untuk sesaji Dewi Koar Im?"

"Mana ada Dewi Koan Im disini?" bantah In Hong. "Apakah yang berada di belakang meja sembahyangan

itu bukan Dewi Koan Im?"

"Jelas bukan, itu hanya patung," sahut In Hong.

Merah wajah Giok Sin suthay. Hampir saja mendamprat In Hong yang lancang mulut meremehkan patung Dewi Koan Im.

"Dari pada buah diberikan kepada patung, kan lebih baik kumakan saja. Mana lebih mulia, merelakan buah dimakan orang yang lapar atau untuk sesaji putung?"

"Tutup mulutmu, anak liar!" melihat suhunya merah mukanya, kedua gadis rahib marah dan membentak.

"Lho, apakah engkau masih mau melanjutkan pertempuran lagi?" tantang In Hong.

"Hong, jangan kurang adat!" seru Kim Yu Ci. "Eh, apakah engkau sekarang sudah berganti haluan, tidak membela kawan malah membantu para rahib disini:!"

"Adik Hong, jangan terlalu keras bicara," kata Han Bi Ing ikut bicara.

Melihat Han Bi Ing seorang nona cantik sikapnya sopan, tutur katanya halus, Giok Sin suthay berseru, "O, terima kasih li-sicu. Adik li-itu tak salah. Silahkan dia mendamprat biara habis-habisan tetapi asal ada buktinya nanti."

"Maafkan kekasaran adikku, suthay."' Han Bi Ing sambil memberi hormat.

"Cici, perlu apa minta maaf ? Aku kan tidak jadi makan buah peer bahkan aku disuruh berlutut memberi hormat pada patung Dewi Koan Im, masih tubuhku ditutuk lagi, kalau cici tidak mencegah, meja sembahyangan itu sudah kuhancurkan. "

Giok Sin suthay yang sudah tahu siapa mempermainkan dara itu, hanya tersenyum," Kalau sicu kepingin makan buah peer, silakan masuk. Kami masih punya persediaan beberapa macam buah-buahan segar."

Melihat Giok Sin suthay begitu sabar dan ramah, buru2 Han Bi Ing berkata, "Ah, kalau suthay mau memaafkan kekasaran adikku saja kami sudah berterima kasih, masakan kami berani mengganggu suthay lagi. Suthay, kami mohon diri. , "

"Li-sicu," seru Giok Sin suthay yang tertarik akan kelembutan tutur Han Bi Ing “sicu hendak ke kota Thay- goan, bukan ?”

Han Bi Ing mengiakan, "Tidakkah hal itu berbahaya sekali ?” kata Giok Sin suthay, "Thay-goan sudah diduduki tentara Boan. Prajurit2 Ceng sewenang-wenang terhadap rakyat."

"Ya, memang demikian. Tetapi apa boleh buat," jawab Han Bi Ing.

"Apakah li-sicu tak keberatan untuk memberitahu  kepada kami, mengapa li-sicu harus ke Thian-goan?"

"Sudah tentu ada urusan penting," selutuk In Hong. “Aku hendak menjenguk ayahku "

"Ih,"" Giok Sin suthay mendesis kaget, "siapakah nama ayah li sicu?"

"Han Bun Liong."

"O, Han wangwe yang termasyhur itu. Ah, maaf nona Han karena kami tak menyambut kedatangan nona dengan layak."

Han Bi Ing terkejut, "Ah, akulah yang harus minta maaf kepada suthay. Apakah suthay kenal dengan ayah?"

"Mengapa tidak?" kata Giok Sin suthay.”Biara ini banyak sekali mendapat bantuan keuangan dari Han wangwe. Dan karena pengaruh Han wangwe maka selama ini biara kami tak pernah mendapat ganggguan dari pemerintah Beng. Nona Han, mari silakan masuk dulu."

"Terima kasih, suthay. Tetapi  kami  hendak  melanjutkan "

"Cici, biar kita terima undangannnya," kata In Hong lalu membisiki ke dekat telinga Han Bi "aku lapar "

“Nona Han, janganlah membuat kami kecewa karena tak dapat menunaikan tugas sebagai tuan rumah,” kata Giok Sin suthay. Demikianlah ketiga anakmuda itu segera mengikuti Giok Sin suthay masuk ke ruang dalam. Dalam perjalanan itu Han Bi Ing bertanya kemana sajakah In Hong tadi.

In Hong menerangkan bahwa waktu dia hendak menuju ke biara, muncullah seorang kakek pincang yang mengejeknya, "Huh, nikoh mana yang pagi2 sudah keluyuran keluar itu ?"

"Aku tak menjawab, melainkan hanya deliki mata kepada kakek pincang itu,” kata In Hong.

Tetapi kakek pincang itu masih mengejek terus, "O, pantas, pantas, kiranya nikoh palsu. Tuh lihat caranya berpakaian. Masakan yang belakang dipakai di muka ? Pakaiannya tentu asal dari curian…."

"Kakek edan, kutampar mulutmu !" teriak In Hong terus menghampiri. Tetapi kakek pincang itu malah leletkan lidah mengejeknya dan lari sambil menantang, "Huh, nikoh palsu, kalau engka mampu mengejar aku, aku bersedia berlutut dihadapanmu dan kuangkat engkau sebagai guruku….”

Sudah tentu In Hong marah. Dia kejar kakek itu. Tetapi walaupun kakinya pincang, kakek itu tak dapat dikejarnya.

"Bagaimana nikoh palsu, apa engkau suda kehabisan napas ?" ejek kakek pincang.

"Huh, kakek pincang, aku memang kalah kalau kejar- kejaran dengan engkau. Tetapi apakah engkau berani berkelahi dengan aku ?" tantang In Hong.

"Ho, nikoh gadungan, mengapa aku takut?" kata kakek pincang seraya hentikan langkah," hayo, seranglah aku, pakai tinju atau senjata." In Hong gemas kepada kakek pincang itu. Dia terus mencabut pedangnya.

"Lho, nikoh kok tidak punya hud-tim ? O, dasar nikoh gadungan!" ejek kakek pincang.

Sudah tentu In Hong makin panas. Dia terus menerjang kakek pincang itu dengan serangan yang gencar.

Tetapi benar2 ia gemas2 heran semua serangannya tak pernah mengenai tubuh kakek pincang. Kakek pincang itu tak mau balas menyerang melainkan berputar-putar menghindari saja.

In Hong penasaran sekali. Dia kembangkan ilmu pedangnya sedemikian rupa sehingga pedangnya berhamburan memenuhi sekeliling penjuru. Tetapi makin dia menyerang gencar, bayangan kakek itu makin terpecah menjadi belasan buah. Seolah tubuh kakek pincang itu berobah menjadi belasan buah. Setiap dihantam pedang, selalu hanya bagian kosong.

In Hong hentikan serangannya dan kakek pincang itupun juga berdiri dihadapannya, "Hai, mengapa berhenti? Apakah sudah kehabisan napas, nikoh gadungan?" ejek si kakek.

"Percuma," dengus In Hong. "Percuma bagaimana?"

"Engkau hanya menghindar saja tak membalas menyerang. Pertempuran macam apa itu?'

"Lho, orang bertempur kan sesuka hati. Mau menyerang kek, mau menghindar kek, mengapa harus ditentukan?"

"Kakek bokek," teriak In Hong, "yang disebut bertempur itu adalah serang menyerang. Kalau hanya aku yang menyerang, itu bukan bertempur. Hayo kalau berani balaslah serang aku!"

“Kalau kuserang engkau tentu tak dapat kembali ke biara. Pada hal saat ini kedua kawanmu sudah berada dalam biara. Kalau tak percaya cobalah lihat itu," kakek pincang menunjuk ke belakang In Hong.

In Hong berpaling dan memandang ke arah biara yang tak tampak karena teraling oleh hutan "Kakek goblok, mana ada orang ber ...” hai tiba2 ia menjerit kaget ketika berpaling dan tidak mendapatkan kakek itu di tempatnya lagi.

"Kakek pincang, dimana engkau? Apakah engkau tak mau melanjutkan pertempuran lagi?” teriak In Hong. Tetapi tiada penyahutan apa2.

Karena sampai beberapa saat tiada terdengar suara apa2, akhirnya In Hong terpaksa kembali ke biara.

Begitu tiba di biara dia terus ngamuk, mengobrak-abrik buah2an sesaji sembahyangan pagi. Dan pada saat itu kebetulan Leng Ceng dan Leng Sim hendak mencari Ban Leng Jiu, Mereka terkejut ketika melihat suara berkerontangan di ruang sembahyang. Ketika menengok, merekapun marah melihat tindakan In Hong.

In Hong bermula tak tahu kalau Han Bi Ing berada dalam ruang itu menunggu Kim Yu Ci yang masuk ke ruang dalam. Setelah bertempur dengan kedua gadis rahib, dia terkejut ketika mendengar suara Han Bi Ing yang memintanya supaya jangan sampai melukai lawan. Begitulah asal mula maka In Hong berada dalam ruang sembahyang. Dan karena dia digoda si kakek pincang maka waktu Han Bi Ing dan Kim Yu Ci datang, mereka tak menemukan dara itu. "Nona Han," demikian kata Giok Sin suthay setelah mempersilakan ketiga tetamunya duduk di ruang dalam, "mengapa nona hendak menjenguk Han wangwe?"

"Karena aku mendapat berita dari seorang pembantu Torgun yang bernama Ko Cay Seng bahwa ayah sedang menderita luka parah dan berbunyi di tempat salah seorang sahabatnya dalam kota Thay-goan," kata Han Bi Ing la menceritakan pengalamannya sejak meniuggalkan kota Thay-goan.

Giok Sin suthay mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Berita antek kerajaan Ceng itu memang benar," katanya sesaat kemudian, "beberapa sahabat telah berusaha untuk membebaskan Han wangwe dari tahanan musuh tetapi sampai kini belum berhasil."

"O, apakah suthay tahu akan keadaan ayah?” tanya Han Bi Ing.

"Semua peristiwa dalam kota Thay-goan tentu dilaporkan kemari," kata Giok Sin suthay, ayah nona belum meninggal tetapi masih ditawan mereka."

"O, siapakah yang memberi laporan kepada suthay ?" "Tidak tentu," kata Giok Sin suthay, “himpunan tokoh2

hiap-gi  (perwira)  mempunyai  beberapa  anggauta.  Mana

yang memperoleh berita penting tentu akan datang kemari memberi laporan.

Han Bi Ing terkejut, "Jika begitu, apa suthay juga tergabung dalam himpunan itu ?"

Giok Sin suthay mengangguk, "Sebenarnya ini merupakan suatu rahasia yang harus pegang teguh. Tetapi karena nona adalah putri dari Han wan-gwe maka akupun dapat memberitahukan hal itu. Kuharap nona dan kedua sicu, jangan membocorkan kepada lain orang."

"Tidak usah suthay pesan begitu," seru In Hong yang masih sangat tengil bicaranya, "aku kan bukan anak kecil."

"Ah, sicu yang ini, mengapa masih muring2 saja, oh, benar. , " Giok Sin suthay segera masuk kedalam dan tak

lama keluar dengan membawa penampan berisi bermacam- macam buah-buahan segar," kami sih orang biara yang tak makan daging, terpaksa hanya dapat menghidangkan buah saja. Harap sicu jangan sungkan."

"Tuh, daripada harus menyambar sesaji, sekarang boleh makan sepuas-puasnya, tanggung tak ada setan," kata Kim Yu Ci tertawa.

"Enak saja kalau ngomong. Tetapi andaikata kau yang datang, kemungkinan semua sesaji diatas meja tentu engkau gasak semua," balas In Hong.

Kim Yu Ci tertawa.

"Nona Han," kata Giok Sin suthay, "keadaan dalam kota Thay-goan memang berbahaya ibarat sebuah rawa yang penuh buaya dan ular berbisa. Kemungkinan Han wan-gwe tentu ditawan di rumah seorang pangeran Boan yang berpangkat kepala daerah Thay-goan. Disitu penjaganya amat kuat sekali, ibarat lalatpun tak dapat masuk."

"O," desuh Han Bi Ing.

"Apa yang dapat kubantu hanyalah memberikan alamat dari salah seorang sahabat kita yang akan dapat membantu nona untuk menyelidiki, keadaan Han wangwe."

"Ah, terima kasih suthay." kata Han Bi Ing "soal ayah adalah tugasku. Aku tak berani merepotkan suthay." "Jangan mempunyai pikiran begitu, nona Han," kata Giok Sin suthay, "himpunan kita ini memang bertujuan untuk menolong sesama kawan hiap-gi yang dicelakai orang Boan. Persoalan Han wangwe adalah persoalan kami. Kami memang bertugas wajib menolongnya. Apalagi Han wangwe adalah seorang yang banyak membantu kepada perjuangan kami."

Han Bi Ing menghaturkan terima kasih dengan rasa  haru.

"Nona Han" kata Giok Sin suthay, "apakah engkoh nona ini sanggup mengerjakan sesuatu untuk menemui sahabat di Thay-goan itu?"

Merah muka Han Bi Ing ketika suthay mengatakan Kim Yu Ci itu engkohnya.

“Sanggup suthay," kata Kim Yu Ci mendahului Han Bi Ing, "demi menolong Han lo-ciampwe, aku sanggup untuk melakukan apa saja."

"Baik," kata Giok Sin suthay, "sebenarnya tugas itu mudah tetapi sukar. Sukar karena mungkin orang malu mengerjakan. Begini kongcu. Sahabatku itu seorang pemilik rurnahmakan yang terkenal dalam kota Thay-goan. Engkau harus menjadi tukang sayur yang menawarkan sayur mayur kesana. "

"O, sayur apa saja?"

"Di kebun biara ini kami telah menanam tanaman kocay dan brambang. Nah, nanti akan kusuruh sediakan dagangan kocay dan brambang beserita pikulannya. Maukah engkau melakukannya?"

"Ya." "Baik," kata Giok Sin suthay terus memberi perintah kepada kedua muridnya untuk menyediakan dagangan itu.

Tak berapa lama, pikulan dan keranjang penuh kocay dan brambang telah disediakan.

"Apakah pemilik rumahmakan itu tentu tahu kalau aku ini utusan suthay?"' tanya Kim Yu

"Ya, asal engkau mengatakan bahwa kocay dan brambang ini berasal dari daerah yang tenang, dia tentu akan mengundangmu masuk."

"Lalu bagaimana dengan kita berdua?" kata In Hong. "Rencana sicu berdua untuk menyaru sebagai nikoh

memang tepat tetapi berbahaya." "Bahaya bagaimana?"

"Sebagai nikoh kalian tentu tak dapat bermalam di sembarang tempat tetapi harus tinggal di biara. Pada hal biara2 kota Thay-goan sudah dikuasai orang2 Boan semua."

"Suhu," tiba2 gadis nikoh Leng Ceng berseru "bukankah beberapa hari yang lalu suhu menerima undangan untuk menghadiri upacara perayaan hari ulangtahun berdirinya biara Koan-si-bio Thay-goan ?"

"O, benar, benar," Giok Sin suthay teringat. “Ya, sicu berdua boleh membawa surat undangan itu untuk mewakili aku menghadiri upacara perayaan ulang-tahun kelenteng Kwan-si-bio. Sekalian sicu dapat menyelidiki bagaimana suasana di kalangan para imam dalam kota Thay-goan.""

"Baik suthay," kata Han Bi Ing.

Kedua nona itu lalu menyaru sebagai nikoh dan membawa surat undangan yang diterima Sin suthay dari kelenteng Kwan-si- bio. "Harap sicu bertindak dengan hati2. Jangan bertindak secara gegabah tetapi sesuaikanlah dengan keadaan dan tempat," pesan Giok Sin suthay.

Ketiga pemuda itu berangkat. Kim Yu Ci jadi seorang desa yang menjajakan dagangan sayur dan Han Bi Ing serta In Hong menyaru bagai nikoh.

"Kita harus tentukan tempat untuk berkumpul lagi di Thay- goan," kata Kim Yu Ci dalam perjalanan.

"Disebelah barat kota, terdapat sebuah pagoda. Pagoda Tangga-rembulan namanya. Kita nanti bertemu disitu," kata Han Bi Ing.

Demikian setelah masuk ke kota, Han Bi Ing dan In Hong berpisah dengan Kim Yu Ci!

Han Bi Ing dan In Hong merasa serba sukar. Kalau saat itu mereka mencari tempat yang sepi untuk ganti pakaian, rasanya tak mudah. Siang hari keadaan dalam kota amat ramai. Perbuatan mereka tentu akan dipergoki orang. Namun kalau masih tetap mengenakan pakaian nikoh, aman sih iman, tetapi harus menghadiri upacara ulang- tahun kelenteng Kwan-si-bio. Mereka tak bebas jalan kemana-mana.

"Ci Ing," kata In Hong," apa tidak lebih baik kita menuju ke Kwan-si-bio saja. Disana tentu aman. Nanti malam baru kita menuju kepagoda dan mendengarkan berita dari Kim- heng.

Han Bi Ing menganggap saran itu baik juga. Siang hari memang kurang leluasa menyelidiki keadaan ayahnya, Sebenarnya Han Bi Ing ingin menjenguk rumahnya, Ia ingin tahu bagaimana keadaan rumahnya sekarang.

"Baik," kata Han Bi Ing, "tetapi ” "Bagaimana cici ?"

"Sebenarnya aku ingin menjenguk rumahku.”

“O, baik,”seru In Hong, “dimana letak rumah cici?” "Disebebelah utara kota ini, daerahnya agak sepi. Rumah

itu didirikan oleh mendiang engkong dari engkongku, jadi sudah lima turunan, sebuah gedung tua yang luas dan besar."

"Jika begitu mari kita ke sana dulu, sore nanti baru kita menghadiri upacara di Kwa in bio dan malam kita pergi ke pagoda," kata Hong.

Han Bun Liong memang keturunan orang kaya. Dahulu ayahnya seorang tuan tanah yang memiliki beribu hektar sawah. Tetapi waktu jatuh ke tangan Han Bun Liong, banyaklah sudah tanahnya yang berkurang karena disumbangkan untuk pendirian vihara atau perkampungan rakyat.

Kedermawanan dan keterbukaan tangan Han Bun Liong mendapat sambutan yang besar. Rakyat di daerah itu amat berterima kasih dan menjunjung Han Bun Liong sebagai dewa penolong mereka. Mereka patuh dan menghormat hartawan itu.

Juga kaum persilatan tak sedikit yang menerima budi kebaikan hartawan itu. Baik kaum persilatan dari golongan Putih maupun Hitam semua diterima dengan baik oleh Han Bun Liong. Adalah karena pendirian Han Bun Liong itu maka rakyat Thay-goan dapat hidup dengan tenang. Tak pernah terjadi kejahatan dan kerusuhan dalam kota Thay- goan.

Sudah tentu pembesar negeri terutama tihu atau residen, bersahabat karib dengan Han Bu Liong. Tetapi kehidupan manusia itu memang tak kekal. Serangan Ceng yang berhasil menduduki kotaraja Pak-khia sehingga baginda harus hjrah ke ktaraja Lim kia, telah menimbulkan kegoncangan besar dalam kehidupan rakyat Thay-goan, berbondong-bondong menghadap Han Bun Liong untuk meminta petunjuk.

"Tenanglah saudara2," seru Han Bun Liong sudah kuduga bahwa musuh tentu akan berhasil menduduki kotaraja. Baginda tidak memikirkan urusan pemerintahan. Mentri2 yang dipercaya baginda, ternyata tidak setya dan tidak becus, maka tidak mengherankan kalau musuh dapat menduduki kotaraja "

Setelah menduduki kotaraja, tentu mereka akan menyerang Thay-goan dan lain2 daerah. Sekarang kuserahkan saja kepada saudara2 sekalian. Kita henndak melawan musuh untuk mcmpertahankan kota ini atau kita sambut kedatangan mereka. Kalau melawan, jelas akan banyak jatuh korban harta dan jiwa. Kalau menyambut dengan baik, berarti kita tunduk pada kerajaan Ceng. Tapi kita takkan menderita kesengsaraan. Nah, saudara2 boleh pilih jalan mana yang harus kita tempuh.

“Han wangwe, kedatangan kami beramai-ramai menghadap Han wangwe ini tak lain hanya akan mohon petunjuk Han wan-gwe. Kami semua tunduk dan menurut perintah wan-gwe!" seru beberapa orang yang mewakili kawanan rakyat itu.

"Baik," kata Han Bun Liong, "lebih dahulu aku hendak bertanya kepada saudara2. Siapakah orang Boan itu ?"

"Mereka adalah suku Tartar Boan yang diam didaerah timur laut."

"O, jika begitu mereka bukan suku Han, bukan ?" "Ya, memang bukan."

"Mana yang lebih besar, daerah kediaman suku Boan atau suku Han."

"Suku Han."

"Mana yang lebih besar jumlahnya, suka Boan atau suku Han ?"

"Suku Han ?"

"Mana yang lebih tinggi peradabannya, suku Boan atau suku Han ?"

"Suku Han?"

"Mana yang dipertuan dari negara Tiong goan, raja Boan atau raja Han ?"

"Raja Han."

"Mana yang layak berdiri sebagai pemerintahan di negara ini, suku Boan atau Han?"

"Suku Han"

"Baik. terima kasih saudara2," seru Han Bun Liong, "berdasarkan pada lima pertanjan yang saudara jawab itu, kusimpulkan bahwa saudara2 tentu tak rela kalau negara kita ini diduduki pasukan Ceng."

"Benar, benar !"

"Jika demikian, kita harus bangkit untuk melawan mereka dan mempertahankan kota kita ini."

"Hidup Han wan-gwe ! Hidup Han wan-gwe !" terdengar rakyat bersorak gegap gempita menyambut pernyataan Han Bun Liong.

"Tetapi seperti telah kukatakan, jika kita menentang mereka, kita tentu akan menderita pengorbanan besar. Sanggupkan saudara2 kehilangan harta benda, sanak keluarga dan bahkan jiwa sadara sendiri ?"

"Sanggup !" teriak rakyat. Rakyat minta agar Han Bun Liong yang memimpin perjuangan mempertahankan kota Thay goan.

Han Bun Liong menyadari bahwa suasana saat itu amat gawat. Sedang pasukan kerajaan Beng terpusat di kotaraja Pak-kia toh berantakan menghadapi serangan pesukan  Ceng apalagi kota Thian goan yang akan dibela oleh  barisan rakyat.

Han Bun Liong hanya mempunyai seorang putri tunggal yakni Han Bi Ing. Walaupun putri seorang hartawan besar namun Han Bi Ing tidak angkuh dan sombong. Han Bi Ing di sukai rakyat dari segala lapisan dan dipuja kaum muda dari semua golongan. Rakyat menyukai kerendahan hati dan keramah-tamahannya. Kaum muda memuja  kecantikan dan kepandaiannya.

Dimana kuntum bunga sedang mekar, tentu banyaklah kumbang2 bererbangan datang. Demikian yang terjadi di gedung kediaman Han Bun Liong. Banyak sudah pemuda2 dari berbagai kalangan dan golongan, dari anak pembesar sampai pada anak orang hartawan, mencoba peruntungan untuk memikat si jelita. Tetapi mereka harus pulang dengan kecewa. Han Bun Liong dengan ramah menyambut kedatangan setiap tetamu memberi keterangan bahwa puterinya sejak lahir sudah dipacangkan dengan putera dari Kim Thian Cong.

Dari sekian banyak pemuda2 itu, kebanyakan dapat menerima keterangan Han Bun Liong. Tetapi hanya putera dari Sou tihu atau residen Thian- goan yang tak dapat menerima keterangan itu. "Apakah buktinya kalau puteri Han lojin sudah dipacangkan dengan putera Kim Thian Cong,” tanya putera tihu yang bernama Sou Kian Hin.

"Bagi seorang ksatrya, janji mulut harus ditepati. Tak perlu harus pakai bukti ataupun barang," jawab Han Bun Liong.

"Ah," desuh Sou Kian Hin, "bayi dalam kandungan sudah dipacangkan, sebenarnya tidak tepat. Bagaimana kalau andaikata fihak lelaki atau fihak perempuan seorang muda yang cacad badan atau cacad pikiran? Tidakkah hal itu akan memberi derita siksa yang hebat kepada puteri lojin?"

"Kita harus tunduk kepada takdir. Kalau memang demikian berarti nasib anakku yang jelek dan kita harus wajib menerima."

"Tetapi adakah pacangan itu suatu janji mati yanng tak dapat dibatalkan lagi?"

"Hal itu tergantung pada keadaan, kongcu."

"Apakah lopeh sudah tahu bagaimana putera Kim Thian Cong sekarang?"

"Belum."

"Bagaimana kalau andaikata dia mendapat kecelakaan dan sudah meninggal dunia?"

"Anakku akan menjadi janda."

"Untuk selama-lamanya takkan menikah? desak putera residen,

"Tergantung pada keadaan dan kehendak anak itu. Walaupun sebagai orangtua, aku tak berani memaksakan kehendakku." Sou Kian Hin tertawa, "Ah, nyatanya lopeh sudah memaksakan kehendak lopeh kepada Han siocia. Bukankah dengan memacangkan Han siocia pada putera Kim Thian Cong berarti lo-peh sudah memaksakan kehendak lopeh kepada puteri lopeh ?"

"Kim Thian Cong seorang ksatrya yang luhur. Seorang tua takkan menjerumuskan anaknya sahut Han Bun Liong singkat.

"Tetapi bagaimana andaikata putera Thian Cong tak suka dengan puteri lopeh ? '

"Itu urusan mereka. bukan tanggung jawab keluarga Han,"

“Dan kalau puteri lopeh yang tidak suka pada putera Kim Thian Gong ?"

"Anakku kudidik untuk meresapi apa Hau (berbakti) kepada orangtua. Kurasa dia takkan mengecewakan hatiku," jawab Han Bun Liong.

Setelah tanya jawab yang tajam itu, Sou Kian Hin pun mundur. Ia tahu bahwa pendirin Han Bun Liong tak mungkin dirobah iagi. Tetapi merasa Han Bi Ing itu selalu terbayang di matanya. Makan tak enak, duduk tak tegak dan tidur tak nyenyak. Bayang2 wajah si jelita seolah melekat pada pelapuk matanya.

Susana kota Thay-goan berobah genting ketika kotaraja Pak-kia jatuh ke tangan pasukan Ceng. Rakyat minta Han Bun Liong untuk memimpin perjuangan mempertahankan kota Thay goan. Tetapi mereka adalah rakyat biasa, sudah tentu kewalahan menghadapi prajurit2 Ceng yang sudah terlatih dan banyak pengalaman di medan perang. Akhirnya Thay-goanpun jatuh. 1 Sou tihu menolak kerjasama dengan kerajaan Ceng sehingga dicopot. Tetapi puteranya, Sou Kian Hin bersedia menggantikan kedudukan ayahnya. Kini dialah yang menjadi tihu. Dia marah sekali setelah mengetahui bahwa Han Bun Liong sebelumnya sudah mengungsikan puterinya.

Demikian sekelumit keadaan keluarga Han waktu kota Thay-goan jatuh ke tangan kerajaan Ceng.

Kembali pada Han Bi Ing dan In Hong, begitu tiba di gedung keluarganya, perasaan Han Bi Ing seperti disayat sembilu. Gedung dimana ia dilahirkan dan dibesarkan dalam kemanjaan oleh ayahnya, kini mirip dengan sebuah kuburan yang sunyi. Dulu gedung itu tak pernah sepi orang, tiap hari tentu ada tetamu yang datang dan pergi.

Han Bi Ing melangkah masuk. Perabot2 di ruang depan kotor penuh debu. Dia segera menuju ruang dalam dan mendorong pintu sebuah ruangan.

"Inilah kamarku." katanya kepada In Hong. Ia agak terkejut ketika mendapatkan perabot2 dalam kamarnya masih utuh, tak ada satupun yang hilang.

"Wan, cici ini anak orang kaya sekali," seru In Hong. "Ah. " Han Bi Ing hanya menghela napas.

"Apakah artinya kekayaan itu, adik Hong? Ada kalanya harta itu tidak membawa kebahagiaan bahkan mendatangkan malapetaka."

"Ah, tetapi kalau tak punya uang, kita tak dapat berbuat apa2."

"Ya," sahut Han Bi Ing, "tetapi uang hanyalah alat untuk hidup. Bukan hidup itu uang. Buktinya apa yang telah menimpa keluargaku adalah karena uang juga!" "Bagaimana cici dapat mengatakan begitu?”

"Adalah karena ayah seorang kaya maka banyaklah mempunyai kawan2. Walaupun bukan seorang pembesar tetapi pengaruh ayah, lebih besar dari tihu kota Thay goan. Rakyat lebih turut dan patuh pada ayah daripada kepada kepala daerahnya "

"Itu kan menandakan paman seorang yang berbudi dan dermawan."

"Karena nama dan pengaruh ayah itulah! maka musuh menaruh perhatian kepadanya. Kukira ayah tentu ditangkap dan dipaksa untuk mempengaruhi rakyat Thay- goan tetapi kuyakin tentu menolak. Kutahu bagaimana pendiriann dan keperibadian ayah."

"Cici seorang yaug berbahagia karena punya ayah yang begitu mulia. Tetapi, aku ……..” In Hong tak dapat meneruskan kata-katanya, karena kerongkongannya tersekat oleh rasa haru" kenangan akan nasibnya yang sudah sebatang kara itu.

Rupanya Han Bi Ing menyadari hal itu. Buru-buru dia alihkan pembicaraan, "Aneh, mengapa semua perabot dalam ruang tidurku, bahkan ranjang, semua masih teratur rapi? Siapakah yang membereskan semuanya ini?"

In Hong juga heran,

"Jika begitu," katanya, "lebih baik kita beristirahat saja disini, tak perlu menghadiri upacara ulangtahun di kelenteng Kwan-si-bio itu?"

"Lihat saja bagaimana nanti," kata Han Bi Ing, "kalau disini memang aman, kita boleh beristirahat disini."

Han Bi Ing mengajak In Hong untuk berjalan meninjau keseluruh gedung. Ternyata gedung tua milik keluarga Han itu amat luas sekali. Ketika tiba di taman, In Hong memuji keindahannya.

Di tengah taman terdapat sebuah kolam yang permukaan airnya ditumbuhi bunga teratai. Ditengah kolam didirikan sebuah patung seorang bidadari tengah membawa bakul berisi bunga dan tangan kanannya sedang menebarkan bunga. Tetapi bukan bunga yang bertebaran melainkan dari jari-jarinya memancarkan air yang jatuh ke dalam kolam.

"Wah, ikannya besar2, bagus, bolehkah kumenangkapnya, ci Ing?" seru In Hong.

"Boleh saja tetapi buat apa ?"

"Kita kan akan beristirahat disini sampai malam. Ikan itu akan kugoreng untuk makan siang nanti."

Han Bi Ing tertawa. "Makan siang? Apa yang akan dimakan ? Ikan mentah itu ?"

In Hong tertegun tetapi cepat dia berkata "Apakah disekitar tempat ini tak ada penduduknya!

"Tentu saja ada."

"Kalau begitu aku akan membeli beras dan minyak kepada mereka."

Han Bi Ing mengangguk. Dan In Hongpun segera menyibukkan diri untuk menangkap ikan dalam kolam.

Beberapa saat kemudian In Hong sudah mendapat sepuluh ekor ikan besar, "Ci Ing, mari kita masuk ke dalam."

Mereka menuju ke dapur. Peralatan dapur masih ada tetapi minyak goreng dan bumbu2 masaknya habis semua. In Hong mengambil botol kosong, "Aku akan mencari rumah salah seorang penduduk, membeli beras dan minyak serta garam Harap cici tunggu saja." "Nanti dulu," cegah Han Bi Ing, "kurang leluasa rasanya kalau engkau masih mengenakan pakaian nikoh."

"Lalu ?”

"Kita ganti pakaian dulu di kamarku."

Setelah ganti pakaian, In Hong lalu keluar. Tak berapa lama dia sudah datang dengan membawa beras, minyak goreng, teh, gula dan garam, "Untung penduduk disini baik sekali."

Han Bi Ing teringat sesuatu, "Adik Hong, Apakah engkau mengatakan kalau aku berada disini ?"

"Tidak. Mengapa ?"

"Kalau engkau bilang begitu, mereka tentu pun berbondong-bondong datang kemari. Lebih baik jangan bilang."

"Walaupun hanya dengan garam, lihat saja, aku akan menghidangkan masakan yang lezat," kita In Hong. Keduanya segera menuju ke dapur.

"Hai, mana ikan2 itu tadi,” teriak In Hong ketika melihat sepuluh ekor ikan yang ditaruh di dalam panci ternyata sudah lenyap semua, "apakah disini banyak tikus?"

"Dulu tidak, entah sekarang. Tetapi masakan tikus mampu menggondol sepuluh ekor ikan besar.”

"Kucing?"

"Mungkin. Tetapi kucingpun paling hanya mencuri seekor ikan."

"Lalu siapa ?"

Han Bi Ing heran tetapi dia tak dapat menemukan jawaban ?" "Setan," gumam In Hong terus menuju ke kolam hendak kucari ikan lagi. Han Bi Ing ikut. Setelah mendapat sepuluh ekor ikan, mereka menuju ke dapur.

"Hai, mana beras dan minyak goreng itu?” teriak In Hong.

Han Bi Ing juga terkejut.

"Tidak mungkin kalau tikus atau kucing akan mencuri beras dan minyak goreng!" teriak In Hon<?

""Ya, tetapi siapa?"

"Setan?" ulang Han Bi Ing, "gedung ini tak pernah ada setannya."

"Ya, waktu masih engkau tempati. Tetapi telah gedung ini kosong, tentu lantas dihuni kawanan setan."

"Apakah engkau pernah melihat setan?"

"Melihat sih belum tetapi aku pernah digoda setan waktu berada di biara Ceng-leng-kwan tempo hari. Kemungkinan disini juga terdapat setan yang suka mengganggu orang."

Han Bi Ing tertegun. "Beras dan minyak tersedia, ikan hilang kan sudah disediakan sekarang beras dan minyak yang hilang. Hai, setan, keluarlah dan unjukkan mukamu kalau berani. Ayo, kita bertempur !” teriak In Hong dengan marah.

Setelah puas menantang setan, In Hong tanya, "Bagaimana kalau kubeli dari penduduk lagi?"

"Terserah kalau engkau tidak lelah. Tetapi carilah penduduk lain rumah, "kata Han Bi Ing, "apakah engkau sudah bawa uang?"

"Masih," kata In Hong seraya meraba kantung baju. Tetapi seketika itu wajahnya menjadi tegang. Cepat ia merogoh ke saku dan tiba2 ia menjerit, “Hai, kantong uangku hilang!"

Han Bi Ing terkejut tetapi ia tersenyum, “Biarlah, nih, pakailah uang ini."

Tetapi In Hong tak lekas menyambuti melainkan masih ngamuk, "Gila! Jelas kantong uang kutaruh dalam saku baju, mengapa sekarang lenyap?”

'Apakah engkau yang lupa menaruh atau mungkin jatuh di jalan?"

In Hong gelengkan kepala. Tiba2 ia teringat, apakah mungkin dia?"

"Siapa?" Han Bi I ig ikut kaget.

"Waktu hendak palang, ditengah jalan aku bertemu dengan seorang pengemis tua. Karena kan kuberinya uang. Pada saat menerima uang itu jatuh kemuka hampir merubuhi aku. Cerpat kutolak badannya. Dia minta maaf ukupun segera pulang."

“Bagaimana wajah pengemis tua itu?" “Biasa saja, seperti seorang kakek."

Han Bi Ing kerutkan dahi, Uang hilang, ikan lenyap, minyak gorengpun amblas. Ah, aneh sekali Apakah di dunia ini memang terdapat bangsa setan jahil ? Atau.....

"Cici, mengapa engkau termangu-mangu saja ? Mana uangnya ?"

"O, masih ketinggalan dikamar pada jubah nikoh yang kutaruh diatas ranjang," kata Han Bi Ing. Dia segera mengajak In Hong menuju kamarnya.

"Astaga !'' teriak In Hong ketika masuk dalam kamar dan melihat diatas meja telah tersedia hidangan nasi dan lauk- pauk serta sayur, ikan ada arak juga, "siapakah yang menyedia hidangan ini?"

"Bagaimana aku tahu ?" Han Bi Ing jadi heran.

'"Eh, mengapa ikan yang kutangkap dan hilang itu tahu2 sudah matang ?" kembali In Hong berteriak heran karena dalam salah sebuah panggang tertumpuk ikan goreng.

"Tunggu dulu, adik Hong," cegah Han Bi Ing ketika melihat In Hong terus hendak menggasak ikan goreng itu.

"Kenapa ?"

"Peristiwa yang kita alami dalam gedung keluargaku ini memang aneh sekali. Tak mungkin hal itu dilakukan oleh kawanan setan. Aku percaya pada setan !"

"Habis siapa yang melakukan ?" “O .,.”

"Siapa?"

“Entahlah," Han Bi Ing geleng kepala. "O. apakah dia ?" tiba2 In Hong berteriak. "Siapa?"

"Kakek pincang yang telah menggoda aku di biara Ceng- leng-kwan itu ?"

Han Bi Ing terdiam. Memang beberapa kakek yang muncul di sekitar biara Ceng-leng kwan itu aneh sekali. Tetapi mengapa sekarang dalam gelung kediamannya juga timbul peristiwa semacam itu lagi ? Adakah kakek pincang itu juga mengikuti kemari? Apa maksud tujuannya? Ah, Han Ing tak dapat menjawab.

"Sudah atau belum ci Ing?" "Apanya ?" "Apakah aku sudah boleh makan ikan ini?"

"Cicipi sedikit dulu, kalau tak mengandung sesuatu, bolehlah engkau makan."

In Hong menurut, Setelah mencicipi dan merasa ikan itu tak mengandung sesuatu yang membahayakan, barulah dia memakannya. Demikian kedua gadis itu lalu mulai menyantap hidangan yang tak diketahui dari siapa.

Habis makan In Hong terus meraih guci arak tetapi kembali dicegah Han Bi Ing, "Adik…', jangan minum arak itu. Lebih baik minum air saja."

Saat itu tak terasa hari sudah petang dan kedua gadis itu memutuskan tidak menghadiri upacara ulangtahun kelenteng Kwan-si-bio. Mereka akan berstirahat di gedung itu dan malam nanti baru mereka akan menuju ke pagoda untuk menemui Kim Yu Ci.

Tetapi ada suatu perasaan yang menghinggapi Han Bi Ing. Ia rasakan tenaganya lunglai dan tak bersemangat. Bahkan untuk berbangun dari duduknya saja, rasanya amat berat.

"Adik Hong, apakah engkau tak mandi dulu?" tanyanya kepada si dara.

"Ah, tidak ci Ing. Rasanya aku tak kepingin kemana- mana nih. Lebih baik tidur saja."

"Ih, bagaimana dengan Kim kongcu nanti.”

"Biar sajalah," kata In Hong, "paling2 dia akan menginap di pagoda itu. Besok kita nanti ke sana."

"Ah, jangan," kita Han Bi Ing, "kita sudah berjanji, kasihan kalau dia sampai bingung." "Ih .... kasihan kata cici? O, benar, benar, dia kan juga putera dari Kim Thian Cong tayhiap. Apa salahnya kalau cici '!

"Tutup mulutmu budak lancang!" Han Ing berbangkit hendak mencubit lengan In Hong tetapi bluukkkkk, ia jatuh terkulai ke lantai.

"Cici , . . . uh . . . . , " In Hong terkejut dan juga berbangkit hendak menolong tetapi di pun terkulai rubuh ke lantai.

"In Hong, kenapa engkau ?" Han Bi Ing terkejut. Dia hendak menggeliat bangun tetapi rubuh lagi.

"Aku tak punya tenaga, ci Ing. Tubuhku lemas lunglai," kata In Hong, "dan mengapa engkau tak dapat bangun ?

"Aku juga tak punya tenaga. "

"Ih, aneh."

"Ah, celaka," kata Han Bi Ing," mungkin makanan yang kita makan itu mengandung obat pelemas tenaga."

"Ya, benar. Tetapi siapa yang membuat hidangan itu......" baru In Hong berkata begitu terdengar derap langkah kaki dari arah ruang belakang.

"St. ada orang ci Ing." bisik In Hong seraya paksakan diri untuk mengisar tubuh ke tempat Han Bi Ing. Keduanya beringsut ke sudut ranjang untuk bersembunyi.

Derap langkah itu makin lama makin dekat dalam beberapa saat kemudian terdengar pintu kamar Han Bi Ing dibuka. Seorang lelaki setengah tua tetapi masih gagah, melangkah masuk. Tiada yang luar biasa pada wajah orang itu kecuali jenggotnya yang berbentuk seperti jenggot kambing alis kirinya terputus oleh bekas luka. "Hm, akhirnya engkau datang juga. Bi Ing" kata orang itu. Han Bi Ing terkejut. Rasanya dia pernah lihat orang itu tetapi entah dimana, ia lupa.

"Siapa engkau ?" seru Han Bi Ing.

"Aku pernah datang ke gedung ini, pernah melihat engkau yang kala itu masih seorang gadis kecil berumur 12 tahun. Apa engkau lupa ?"

"Ya, lupa," kata Han Bi Ing yang gagal mengingat-ingat siapa orang itu, "banyak sekali tetamu-tetamu ayah."

"Ya, memang. Bagaimana dengan keadaan ayahmu ?" tanya orang itu dengan nada ramah.

"Kabarnya ayah ditawan orang Boan." "O. bagus! Ayahmu masih hidup, bukan.” "Ya."

"Ah," orang itu menghela napas longgar. Wajahnya tampak cerah, "terimakasih Tuhan, ia masih hidup."

Han Bi Ing tertegun memandangnya.

"Aku seorang sahabat baik ayahmu," menerangkan orang itu,

"Setiap orang semua bersahabat baik dengan ayah," sahut Han Bi Ing,

"Ya, tentu," jawab orang itu, "itu sudah biasa kalau orang sekaya dan sedermawan ayahmu tentu mempunyai sahabat baik. Tetapi kemana semua sahabat baiknya itu ? Mengapa mareka tak berusaha untuk menolong ayahmu ?"

"Entahlah," kata Han Bi Ing, "tetapi lopeh (paman) ini ?

Aku benar2 tak ingat lopeh lagi."

“Namaku Lu Pin, bekas perwira Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Li Cu Seng." "O, lalu apa tujuan lopeh datang kemari ?"

"Kudengar Thay-goan sudah jatuh ke tangan pasukan Ceng maka aku bergegas datang kemari untuk menjenguk keadaan ayahmu. Disamping itu, akupnn perlu menanyakan sesuatu hal yang penting kepada ayahmu."

"Bolehkah aku mengetahui hal apa yang lopeh hendak tanyakan kepada ayah ?"

"Apakah ayahmu menceritakan semua rahasianya kepadamu ?"

" Ada sebagian tetapi tidak semua. Apa yang lopeh hendak tanyakan ?"

Lu Pin berhenti sejenak, kemudian berkata ?Apakah ayahmu pernah menceritakan tentang harta karun yang disimpannya ?"

"O, apa hubungan lopeh dengan harta karun?"

"Hm, rupanya anak perempuan ini tahu hal itu" kata Lu Pin dalam hati. Lalu dia berkata," Begini Harta karun itu sebenarnya bukan milik ayahmu. "

"Waktu lasykar Li Cu Seng berhasil menyerang! dan menduduki kotaraja Pak-kia," kata Lu Pin “salah seorang kepercayaan Li Cu Seng bernama Nyo Sian telah menemukan sebuah tempat simpanan harta karun di istana Beng yang sudah melarikan diri "

"O."

"Kemudian jenderal Go Sam Kui berserikat dengan pasukan Ceng untuk menggempur Li Cu Seng. Li Cu Seng terpaksa melarikan diri. Dan kesempatan itu Nyo Sian lolos meninggalkan Cu Seng. Bermula kukira Nyo Sian memang sudah tak mau ikut dalam gejolak pemberontak itu. Dia takut dan ingin hidup sebagai rakyat biasa. Tetapi ternyata kuketahui kalau dia mempunyai sebuah rahasia.

"Harta karun itu ?"

"Benar," kata Lu Pin, "dia telah mengangkut dan menyembunyikan harta karun itu."

"D'imana ?" "Kepada ayahmu."

"Ah," desis Han Bi Ing," bagaimana lopeh tahu hal itu ?"

"Waktu Nyo Sian menemukan tempat rahasia simpanan harta katun itu, dia disertai oleh seorang kawannya, seorang prajurit bawahannya. Kepada prajurit itu dia menjanjikan kelak diberi bagian asal dia mau tutup mulut jangan mengabarkan rahasia itu kepada orang lain."

"Tetapi ternyata Nyo Sian telah ingkar janji. Dia melarikan diri dari pasukan Li Cu Seng.

"Apakah dia tak mengajak prajurit itu?" tanya Han Bi Ing.

"Ya," sahut Lu Pin, "tetapi bukan untuk diajak menikmati harta karun itu."

"Lalu untuk apa?" "Dibunuh!" "Dibunuh?"

"Ya, tetapi rupanya Tuhan masih melindungi prajurit yang tak bersalah itu. Setelah mengira sudah mati, tubuh prajurit itu terus dilempar kedalam jurang "

"Ah

"Tetapi dasar nasib masih belum menentukan dia harus mati, tubuhnya telah terkait pada akar pohon rotan yang tumbuh di jurang itu dan dapat ditolong oleh seorang tukang cari kayu dan dirawat di rumahnya. Dia penasaran sekali kepada Nyo Sian. Walaupun kakinya pincang tetapi setelah sembuh dia berusaha mencari pasukan Li Cu Seng. Pasukan Li Cu Seng sudah berantakan tetapi untung prajurit itu ketemu aku. Dia menceritakan peristiwa itu kepadaku. Waktu kutanya dimana sekarang harta karun itu, dia mengatakan dititipkan pada ayahmu "

"O, tetapi bukankah lopeh sudah pernah datang menemui ayah?" tanya Han Bi Ing.

"Ya," kata Lu Pin, "tetapi ayahmu mengatakan kalau tak berani mengambil putusan. Pertama dia baru kenal aku. Dan kedua, harta itu adalah Nyo Sian yang menitipkan."

'O, benar. Ayah memang benar," kata Bi Ing, "lalu mengapa lopeh kembali lagi ke sini."

"Waktu itu ayahmu mengatakan supaya membawa Nyo Sian kemari, nanti harta titipan akan diserahkan."

"Ayah benar," seru Han Bi Ing pula, "lalu mengapa lopeh datang seorang diri? Mana Nyo Sian?"

"Aku berusaha mencarinya. Dan lima tahun kemudian baru aku berhasil menemukannya. Ternyata Nyo Sian menderita sakit yang tak dapat disembuhkan."

"Sakit apa?"

"Lepra. Itulah sebabnya dia tak mau muncul dan datang ke rumahmu. Waktu aku menemukannya, keadaannya sudah makin parah. Bermula dia tak mengaku tetapi setelah kuberi penjelasan bahwa harta itu tidak akan kumiliki tetapi akan kugunakan untuk membiayai perjuangan mengusir pasukan Ceng yang hendak menjajah negeri kita, barulah dia mau menceritakan tentang harta karun itu. Waktu itu hendak kuajak dia kemari tetapi dia merasa ajalnya sudah tiba. Oleh karena itu dia hanya dapat memberi sepucuk surat untuk ayahmu "

"Jangan percaya omongannya!" tiba2 telinga Han Bi Ing terngiang sebuah suara yang lembut macam ngiang nyamuk. Dia terkejut dan memandang ke atas wuwungan. Krak, prang . . . tiba2 sebuah genteng ambrol dan jatuh ke lantai.

"Hai, siapa itu!" teriak Lu Pin seraya melesat keluar.

"Ci Ing . . . ! " seru I n Hong, "apa engkau akan memberitahu kepadanya?"

"Tidak," kata Han Bi Ing.

"Tetapi bagaimana kalau dia gunakan kekerasan untuk memaksa cici? Bukankah tenaga kita begini lunglai?"

Yaah, api boleh buat. Kita harus berani menderita," kata Han Bi Ing.

Tiba2 angin berkesiur dan dua sosok tubuh masuk kedalam ruang, "Hola, bagus, bagus, akhirnya engkau datang juga!"

Han Bi Ing terkejut. Yang datang itu dua orang lelaki setengah tua tetapi bukan Lu Pin tadi.

"Siapa kalian?" seru Han Bi Ing.

"Bukankah engkau nona Han Bi Ing?" sahut laki2 yang berkumis.

"Kenapa?"

"Jawab dulu, engkau Han Bi Ing atau bukan.” "Kalau bukan?"

"Akan kubunuh." "Kalau Han Bi Ing?" "Akan kuajak berunding."

Han Bi Ing menyadari bahwa saat itu tenaganya lunglai, begitu pula In Hong. Jika dia bersikap keras, tentu celaka. Bukan karena ia tak mati tetapi In Hong tentu akan menderita dibunuh orang juga. Dia tak kenal siapa orang itu. Mati di tangan orang yang tak dikenal, mati yang penasaran. Lebih baik ia menggunakan siasat mengulur waktu. Siapa tahu nanti akan terjadi perhatian yang tak terduga-duga.

"Engkau mau berunding soal apa?" ia baru bertanya. "Hm, engkau Han Bi Ing, bukan?"

"Hm, jangan banyak tanya lagi. Lekas katakan maksudmu!"

"Engkau akan kubawa kepada Sou tihu!" "Sou tihu siapa? Apa bukan tihu yang dulu.”

Orang itu gelengkan kepala, "Bukan, tetapi puteranya."

"O, pemuda yang bernama Sou Kian Hi itukah yang sekarang diangkat sebagai tihu oleh kerajaan Ceng?"

"Apa salahnya? Tidak sembarang orang dapat menduduki jabatan setinggi itu."

"Mengapa aku harus engkau bawa kesana.” "Itu perintah Sou tihu!"

"Katakan dulu baru aku mau. Kalau tidak aku tak mau." Orang itu tertawa, "Apakah engkau dapat menolak ?" "Mengapa tidak ?”

"Kalau kupaksa?"

"Bunuhlah aku kalau tidak aku akan bunuh diri senditi !" Orang itu terkesiap, kemudian berpaling kepada kawannya, Tampak kawannya itu mengangguk.

"Engkau akan mendapat kebahagiaan yang luar biasa." kata orang itu sesaat kemudian.

"Kebahagiaan ?"

"Ya, suatu rejeki yang tak sembarang gadis dapat memperoleh."

"Jangan ngoceh tak keruan! Lekas katakan apa itu !" "Engkau akan diangkat sebagai Sou tay hujin.” "Gila !' teriak Han Bi Ing.

"Tidak gila, tetapi memang sungguh."

"Cis, sungguh tak malu sekali orang itu. Dulu dia sudah pernah melamar tetapi ditolak ayah. Sekarang masih nekad mau main paksa."

"Itulah yang namanya cinta sekali, ha, ha,… ”

"Bangsat engkau!" damprat Han Bi Ing seraya hendak bergerak tetapi tenaganya benar-benar hilang.

"Hm silakan memaki sepuat-puasmu. Tetapi kalau besok sudah menjadi isieri Sou tihu, jangan engkau lupa kepadaku," kata orang itu seraya terus maju. Sebelum Han Bi Ing sempat berbuat sesuatu, dia sudah disambar dan diangkat oleh orang itu.

"Mari kita keluar," kata orang itu kepada kawannya. "Tetapi gadis itu ?" tanya kawannya.

"Sou tihu menghendaki nona Han ini. Biarkan dia tinggal disini saja,"

"Ah, sayang, bung," kata orang itu, "kalau Sou tihu tidak mau, aku juga mau " "Bajingan, jangan bermulut kotor!" teriak In Hong marah.

Tetapi orang itu tak peduli. Dia terus menghampiri In Hong dan hendak mengangkatnya.

"Aduhhhhhh......." tiba2 orang itu menjerit kesakitan ketika lengannya digigit In Hong.

"Lekas, bereskan !” seru orang yang memanggul Han Bi Ing.

Orang itupun segera menutuk jalandarah, In Hong lalu dipanggulnya. Keduanyapun segera keluar "Ah. ," mereka

terkejut dan berhenti ketika di ambang pintu muncul Lu Pin.

"Siapa engkau ?” tegur orang yang memanggul Han Bi Ing.

Tadi orang itu tak tahu kalau sebenarnya Han Bi Ing sudah tak punya tenaga. Dia menutuk lagi jalandarah nona itu lalu dipondongnya. Tetapi Han Bi Ing masih dapat berbicara.

"Paman -Lu, tolonglah ! Dia hendak membawaku ke pembesar Ceng !" teriak Han Bi Ing.

"Hm, bagus sekali perbuatanmu, antek orang Ceng," dengus Lu Pin, "berani menculik seorang gadis orang terhormat!''

Rupanya orang itu tahu kalau Lu Pin itu orang di fihak Han Bi Ing. Diapun sempat memperhatikan sinar mata Lu Pin yang berapi-api tajam. Jelas dia tentu seorang jago silat lihay.

Namun orang itu tak gentar. Dia dan kawan adalah pengawal peribadi dari Sou Kian Hin. bernama Pang Kim bergelar Hek-sin-eng atau alap2 sakti-hitam. Kawannya bernama Lim Tong bergelar Kiu- ciat- sin- pian atau Ruyung-sakti-sembilan-ruas. Keduanya adalah jago2 golongan hitam yang ternama.

"Hm, engkau hendak menghadang ?" Pang Kim menegas.

"Bukan hanya hendak menghadang," sahut Lu Pin, "pun akan membasmi kalian."

"Bagus," teriak Pang Kim," apakah engkau sahabat dari Han Bun Liong?"

"Setiap kaum persilatan yang perwira tentu bersahabat dengan Han Bun Liong," jawab Lu Pin.

===

Hal 52-53 hilang

===

leher, tangan kiri menghantam rusuk.

Demikian jurus demi jurus kedua lawan telah menumpahkan segala kebisaannya. Namun tampaknya belum juga tampak siapa yang menang.

Ruyung-sembilan-ruas memang amat cepat dan lincah sekali sehingga Lu Kim tak sempat untuk melancarkan pukulan Thiat-sat-ciang yang dimilikinya.

Namun betapapun, tak ada sebuah perjamuan yang tak usai. Demikian tak ada pertempuran yang tak selesai.

Pada satu saat terjadi sebuah adegan tegang. Pada saat itu Lu Pin dapat menghantam dada Lim Tong sehingga Lim Tong terhuyung ke belakang seraya muntah darah. Kesempatan tak disia-siakan Lu Pin yang dengan loncat dia hendak menghabisi jiwa lawannya. "Uh," ia mendesuh kejut ketika tiba2 ujung ruyung menjulur panjang menusuk dadanya, tak sempat menghindar lagi maka terpaksa ia kerahkan tenaga untuk menampar. Prak ... ujung ruyung yang paling depan putus tetapi Lu Pin menjerit kesakitan karena telapak tangannya terasa amat panas.

Ternyata ujung ruyung yang putus itu hamburkan percikan air. Begitu menyentuh telapak tangan, Lu Pin rasakan seperti air panas. Dan dalam beberapa kejap saja telapak tangannya mulai berobah kehitam-hitaman warnanya.

Seketika marahlah Lu Pin. Ia tahu apa arti warna hitam itu. Jelas ruyung lawan berisi dengan cairan racun yang ganas. Cepat ia mencabut pedang dan menabas pergelangan tangannya agar racun ganas itu tidak menjalar naik ke seluruh lengannya. Setelah menyarungkan pedang, ia merogoh ke dalam saku dan menabur ke arah Lim Tong, "Ada ubi ada tales, ada budi tentu dibalas….”

Pang Kim teikejut. Cepat dengan masih memanggul Han Bi Ing dia loncat dan menendang, plak . . . . sebutir benda kecil bundar yang dilemparkan Lu Pin dapat ditendangnya.

Bum . . . bum .... aduh .... terdengar dua buah ledakan dan sebuah jeritan yang ngeri. Ternyata Lu Pin telah menaburken dua buah peluru Pik-li-tan, semacam senjata rahasia yang diberi obat pasang. Yang satu memang dapat ditendang oleh Pang Kim. Tetapi yang sebuah dapat lolos dan tepat menghantam dada Lim Tong. Tanganm Lim Tong terkena sebuah pukulan Thiat-sat-ciang dari Lu Pin sehingga dia muntah darah dan pejamkan mata menyalurkan darah. Dia tak tahu kalau Lu Pin akan melancarkan senjata rahasia yang begitu ganas. Seketika dada Lim Tongpun pecah berentakan ..... "Lim Heng teriak Pang Kim ketika menyaksikan adegan yang mengerikan itu. Tetapi Lim Tong sudah melayang jiwanya.

"Bangsat, buyarlah jiwa kawanku!" teriak Pang Kim seraya hendak menerjang Lu Pin. Tetapi ia tertegun ketika Lu Pin sudah lenyap. Memang setelah melontarkan dua buah pik-li-tan Lu Pin yang menderita luka kehilangan pergelangan tangan, ia menyadari darahnya banyak keluar dan tenaganya berkurang. Berbahaya kalau nekat menghadapi lawan. Lebih baik ia meloloskan diri dulu untuk mengobati lukanya itu. Maka diapun cepat loncat keluar dan terus melarikan diri.

"Ah, sungguh berbahaya," pikir Pang Ku ternyata di gedung kediaman Han Bun Liong masih terdapat sisa2 sahabat-sahabatnya."

Dia segera membawa Han Bi Ing keluar. Mayat Lim Tong ditinggal dan In Hong pun di biarkan masih menggeletak di dalam ruang.

Tetapi baru dia melangkah ke halaman, sesosok tubuh sudah tegak menantinya. Ia tak tahu siapa orang itu, kawan atau lawan. Ketika menghampiri, ternyata orang itu masih muda, cakap dan gagah.

"Siapa engkau!" tegurnya.

"Utusan raja Akhirat untuk mencabut nyawamu, budak

!" seru pemuda itu.

Han Bi Ing terkejut girang. Tak salah lagi suara itu adalah suara Kim Yu Ci. Tetapi dia diam saja. Tadi waktu meneriaki Lu Pin, dia menyesal sendiri. Andaikata Pang Kim itu pintar, dia dapat memaksa Lu Pin tak bertutik dengan menjadikan dirinya (Han Bi Ing) sebagai sandera. Untung Pang Kim tak mempunyai pikiran begitu. Sekalipun demikian dia tak mau mengulang tindakannya lagi. Ia kuatir kalau Pang Kim menyadari hal itu dan menjadikannya sebagai sandera untuk menekan Kim Yu Ci.

"Jahanam, jangan sombong ! Aku tak kenal kamu, mengapa engkau hendak mengganggu aku?”

"Raja Akhirat tak perlu memperkenalkan diri. Begitu dia menghendaki, orang itu harus menyerahkan nyawanya !" sahut pemuda itu yang tak lain memang Kim Yu Ci.

'Engkau tahu siapa aku ?" seru Pang Kim. "Penjahat yang berani menculik gadis terhormat !

"Gadis terhormat ? Dia anak dari Han Bun Liong, seorang pesakitan yang akan dijatuhi hukuman mati !''

"Membela negara bukan pesakitan yang berdosa. Tetapi seorang tawanan yang mulia. Tidak seperti manusia macam engkau !"

"Jangan menghina aku. jahanam. Aku adalah orang kepercayaan dari tihu yang berkuasa di kota ini."

"Hm, kata Thay-goan adalah milik rakyat Han, siapa sudi mengakui tihu antek orang Boan!?” teriak Kim Yu Ci, "persetan dengan tihu-majikanmu !"

Pang Kim terkesiap melihat keberanian dan ketenangan pemuda itu. Dia duga pemuda itu tu seorang yang berilmu tinggi. Tentulah komlotan dari Han Bun Liong. Teringat akan orang yang bertempur dengan Lim Tong tadi, diam2 Pat Kim tergetar hatinya.

"Sekarang engkau mau apa ?" tanyanya.

"Sudah kukatakan, aku diutus Raja Akherat untuk mencabut nyawamu. Engkau serahkan diri nyawamu atau aku yang mengambilnya !" Karena tahu kalau tak dapat menghindari pertempuran lagi maka Pang Kimpun meletakkan Han Bi Ing di tanah lalu dia bersiap, "Jahanam, engkau kira aku takut kepadamu ? Akan kukembalikan engkau ke akhirat dan bilanglah pada rajamu bahwa percuma saja mengutus setan semacam engkau. Suruh ganti utusan lain saja."

"Ha, ha, ha .... ," Kim Yu Ci tertawa dalam lima jurus kalau aku tak mampu mengalahkan engkau, engkau boleh bebas !"

Pang Kim terkesiap.

"Apakah raja Akhirat memerintahkan begitu?" "Ya."

"Engkau tidak menyesal ?"

"Aku adalah algojo Akhirat, apa yang kukatakan takkan pernah kusesalkan."

"Kita bertempur dengan tangan kosong atau senjata ?" "Terserah engkau mau pakai senjata apa, tetapi aku tetap

akan mencaout nyawamu dengan tanganku saja !"

"Bagus!"' seru Pam Kim seraya mencabut pedangnya lalu berputar-putar menyerang. Dia bergelar Hek-soan-hong atau si Angin-puyuh-hitam. Dia memiliki ilmu gerak tubuh yang menyerupai ingin puyuh. Demikianpun ilmu pedangnya disebut Soan-hong-kiam-hwat atau ilmu Pedang- angin-puyuh. Bila dimainkan, pedang akan lenyap dan berganti dengan gulungan sinar yang sekencang badai meniup.

Tetapi sayang dia tak tahu siapa Kim Yu Ci itu. Dia hanya menduga bahwa Kim Yu Ci itu tentulah seorang jago silat yang menjadi sahabat Han Bun Liong. Menilik usianya tak mungkin pemuda itu akan memiliki kepandaian yang berlebih-lebihan. Dan agar tidak membuang waktu, begitu menyerang dia terus melancarkan ilmu pedang angin- puyuh.

Memang kalau menilik usianya, apa yang diduga Pang Kim itu memang tepat. Karena tentu tak pernah menduga bahwa pemuda Kim Yu Ci adalah bekas ketua perkumpulan Seng lian-kau yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Seng-lian-kau hendak memaksa semua ketua persilatan dan kaum persilatan, masuk menjadi anggauta dan tunduk pada perintah. Beberapa ketua persilatan terpaksa datang untuk memenuhi undangan ketua Seng-lian-kau. Tetapi dalam rapat itu mereka tak mau tunduk dan akhirnya jadilah pertempuran dahsyat. 

Pada waktu itu Kim Yu Ci sebagai ketua Seng-lian-kau harus menghadapi keroyokan, beberapa ketua persilatan yang sakti antara lain Gong siansu ketua Siau-lim-pay, Ang Bin ketua Bu-tong-pay, Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay, Ceng Sian suthay ketua Kun lun-pay, Segong In ketua Kong-tong pay, Hoa Sia ketua Kay-pang dan Sian Li sumoay dari Blo'on. Tetapi bukan saja sanggup menghadapi keroyokan demikian banyak tokoh2 sakti, pun Kim Yu Ci masih mampu mendesak mereka. Dari peristiwa itu dapatlah dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaian Kim Yu Ci itu. Dia adalah murid dari Bu Ing lo-jin tokoh istimewa dalam dunia pcrsilatan (Baca: Pendekar Blo'on).

Maka bukanlah suatu kesombongan apabila Kim Yu Ci hanya memberi kesempatan lima jurus kepada Pang Kim. Dalam tingkatan dunia persilatan, Pang Kim itu masih tergolong jago kelas dua.

"Satu....." Kim Yu Ci mulai menghitung jurus yang dimainkan menghadapi serangan Pang Kim.

"Dua . . . tiga . . . empat ..." "Uh . . . , " Pang Kim terhuyung-huyung mundur dan muntah darah. Mukanya pucat seperti kertas.

Tetapi Kim Yu Ci tak mau mengejar melainkan berseru, "Masih kurang satu jurus lagi. Engkau boleh beristirahat memulangkan tenagamu!"

Melihat bahwa Kim Yu Ci pasti dapat menghancurkan Pang Kim, karena diluap rasa kegirangan berserulah Han Bi Ing, "Kim toako, perluapa harus memberi keringanan kepada manusia semacam itu? Bereskan sajalah!"

"Jangan kuatir, Ing-moay. Tak nanti dia mampu lolos.

Biar dia mati dengan puas!" sahut Kim Yu Ci tertawa.

Terkejut hati Pang Kim mendengar pembicaraan itu. Ternyata Han Bi Ing sudah kenal dengan Kim Yu Ci bahkan kalau mendengar sebutan yang digunakan keduanya, mereka sudah intim sekali.

Pang Kim adalah seorang tokoh golongan hitam yang cerdik. Cepat dia mendapat pikiran bagaimana harus mengatasi bahaya saat itu. Untuk melanjutkan pertempuran jelas, dia tak mampu menang. Dia tentu mati. Maka dia harus mencari jalan untuk lolos.

"Kim toa ih !" Han Bi Ing yang hendak melanjutkan

kata2nya dengan Kim Yu Ci terkejut sekali ketika bahunya telah dicengkel oleh sebuah tangan yang kuat dan lehernya terasa dilekati dengan benda tajam yang dingin.

"Bangsat 1" Kim Yu Ci terkejut dan terus hendak menerjang.

“Berani maju selangkah, nona ini tentu kupotong lehernya !" seru Pang Kim. Dia telah melihat suatu kesempatan baik untuk menyelamatkan diri, Cepat dia loncat ke belakang Han Bi Ing dan menguasai nona yang tenaganya masih hilang. "Bangsat apabila engkau berani mengganggu sehelai rambut saja dari nona itu, engkau akan kucincang !" teriak Kim Yu Gi.

"Asal engkau jangan maju akupun tak mengganggu nona ini !"

"Kim toako, jangan hiraukan ocehannya bunuhlah dia !" teriak Han Bi Ing.

Tetapi Kim Yu Ci meragu.

"Ya, apabila engkau menurut omongannya, dia tentu kupotong lehernya !" ancam Pang Kim.

"Apa kemauanmu ?" seru Kim Yu Ci. "Jangan ganggu aku!" sahut Pang Kim. "Hm .......

"Jangan hiraukan aku Kim toako, bunuhlah bangsat ini

!" teriak Han Bi Ing.

"Asal engkau tidak mengganggu nona itu, aku takkan mengganggumu !"

"Ha, ha," P-ng Kim tertawa mengejek, "baik tapi nona ini akan kubawa bersamaku."

"Kemana ?"

"Ke gedung tihu !"

"Tidaaaaak !" teriak Han Bi Ing.

"Tinggalkan nona itu dan engkau boleh pergi. Aku takkan mengganggumu ?"

Kembali Pang Kim tertawa mengekeh, "Apa jaminanku atas kata-katamu itu ?" "Aku seorang lelaki, apa yang kukatakan tentu kupegang teguh !"

"Ah, sukar," sahut Pang Kim. "aku belum kenal engkau bagaimana aku begitu mudah mempercayai janjimu ?"

"Jangan mengukur orang dengan ukuran dirimu!” seru Kim Yu Gi.

"Heh, heh," Pang Kim tertawa mengekeh “memang kalau baju sih boleh saja begitu. Tetapi menyangkut urusan jiwa ! Dan jiwaku itu hanya satu lembar. Kalau dibuat main2 dan sampai hilang, kemana aku harus mendapatkan lagi ?"

“Lalu bagaimana maksudmu ?"

"Nona ini akan kubawa ke gedung tihu. telah sampai disana baru kulepaskan. Silakan engkau mengambilnya."

“Tidak!" bentak Kim Yu Gi, "Engkau boleh bebas tetapi jangan membawa nona ini!"

Pang Kim merenung sejenak. Kalau dia tetap berkeras, kemungkinan Kim Yu Gi akan nekat membunuhnya.

"Baik," akhirnya ia setuju, "tetapi engkau harus mundur sampai jarak seratus tombak. Kemudian engkau harus mengikat tubuhmu sendiri pada pohon. Tunggu setelah aku tak kelihatan baru engkau boleh melepaskan diri!"

Kim Yu Ci tertawa dalam hati. Apabila Pang Kim sampai mengganggu Han Bi Ing, tak mungkin orang itu dapat lolos dari tangannya.

"Baik Kim Yu Gi terus mundur ke belakang sampai berpuluh- puluh tombak.

Setelah merasa aman, Pang Kim lepaskan Han Bi Ing dan terus melesat lari..... -0oodwoo0-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar