Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 16 Cewek pungli

Jilid 16 Cewek pungli

Ketika Huru Hara berempat masuk kedalam rumah maka seorang penduduk yang rupanya bertugas sebagai penyambut tetamu segera menghadang.

"Mau apa saudara ini?" tegur orang itu.

"Bukankah tuan2 besar itu sedang berpesta?" balas Huru Hara.

"Siapa yang saudara maksudkan tuan besar itu?" "Siapa lagi kalau bukan prajurit2 Ceng."

"Lalu saudara mau apa?"

"Mau mengantar barang hadiah."

"O, baik, silakan masuk," orang itupun menyisih ke samping memberi jalan.

Huru Hara segera melangkah masuk. Tiba2 Ah Liong berbisik, "Engkoh, idinkan aku yang memberikan isi tabung ini sebagai hadiah kepada mereka."

Huru Hara mengiakan. Ia baru teringat kaIau apa2.

Lebih baik biar Ah Liong yang membelikan isi tabung itu.

"Hai, mau apa engkau!" bentak seorang prajurit berpangkat kopral. Rupanya dialah kepala kelompok prajurit yang memeras penduduk untuk menyediakan makanan dan barang2 persembahan.

"Kami penduduk dari desa tetangga. Karena mendengar prajurit2 Ceng sedang berpesta disini, kamipun memerlukan datang untuk mengantar barang bingkisan." sahut Huru Hara.

Waktu kopral iitu hendak berkata, matanya tertumbuk pada kedua gad's cantik, Ah Lan, Ah Lian, yang berada di belakang Huru Hara. Serentak matanya berkilat-kilat.

"Aha, tak perlu saudara repot2 menyerahkan apa2. Bawalah kembali barang2mu itu," kata kopral itu, "tetapi siapakah kedua nona yang berdiri dibelakang saudara ini?"

"Ini "

"Apakah isterimu?" tukas sang kopral. "Bukan."

"Bagus," seru kopral itu dengan gembira, "saudara boleh pulang, tetapi kuminta kedua nona itu supaya tinggal disini melayani aku."

'Huru Hara terkejut. Dia marah. Tetapi sebelum sempat membuka mulut, Ah Lian sudah mendahului, "Baik, loya, kami senang dapat melayani loya sekalian."

"Bagus, nona cantik, kalau dapat memuaskan hatiku, tentu akan kuberi hadiah besar," seru kopral itu.

Huru Hara terkejut. Tetapi ketika ia berpaling dilihatnya Ah Lan memberi kicupan mata kepadanya. Setelah itu Ah Lan berkata kepada kopral prajurit Ceng, "Tetapi kami minta supaya saudara kami ini boleh hadir dalam perjamuan agar besok dapat membawa kami pulang."

Tanpa banyak pikir, kopralpun meluluskan.

"Eh, cici, mengapa engkau mau melayani prajurit2 Ceng ini?" teriak Ah Liong yang tak mengerti maksud kedua  nona itu. "Adik, tak apalah. Mereka perlu dihibur. Penduduk di desa ini tak mengerti bagaimana cara menghibur prajurit," kata Ah Lan sambil mengedipkan mata.

Tetapi Ah Liong tak mengerti, dia tetap ngotot, "Ah, mereka kan prajurit2 yang menindas rakyat, perlu apa harus dihibur?"

"Celaka anak ini," diam2 Ah Lan mengeluh dalam hati. Cepat dia memberi keterangan kepada Ah Liong, "Adikku, jangan kuatir, aku tahu bagaimana harus melayani mereka. Silakan engkau duduk saja ikut berpesta."

"Tidak mau!" teriak Ah Liong, "pendeknya cici jangan melayani mereka. Kalau mereka marah, akulah yang akan menghadapi mereka.”

Ah Lan makin kelabakan. Kalau mau menjelaskan bahwa itu hanya suatu siasat. tentu terdengar oleh kopral Ceng itu. Namun kalau tak dijelaskan tentu Ah Liong masih ngotot saja.

"Hai, anak kecil, jangan nakal. Cicimu tak apa2, hanya akan melayani kami pesta di sini. Besok engkau boleh pulang dengan dia. Duduklah disana dan engkau mau makan dan minum apa saja, bilang pada pelayan."

Ah Liong kerutkan dahi berpikir, "Hm, enak juga, ya ?" "Jangan kuatir, anak baik. Siapa yang tak mau memberi

apa yang engkau minta, kasih tahu. Nanti kuhajarnya," kata

kopral itu pula.

"O, apa kalian ini tukang berkelahi ?"

"Prajurit memang pekerjaannya berperang dan berkelahi dengan musuh, Kenapa ?" "Aku juga senang berkelahi," kata Ah Liong "di desaku aku sudah kehabisan musuh. Aku senang sekali kalau bertemu dengan orang yang suka berkelahi."

"Maksudmu bagaimana ?" tanya kopral.

"Begini soal taci hendak engkau suruh melayani, aku sih tak keberatan," kata Ah Liong," tetapi supaya lebih menambah meriah pesta ini, kuminta supaya diadakan pertunjukan adu kekuatan."

"Adu kekuatan ? Siapa dengan siapa ?"

"Engkau dan prajurit2mu boleh pilih lawannya, aku atau engkohku. Mau berkelahi boleh, mau adu tenaga boleh. Pokoknya terserah permintaan, kalian."-

Melihat sikap dan kata2 bocah kecil yang berambut kuncung itu, diam2 kopral geli. Ia merasa suka kepada anak itu, "Ah, ketahuilah anak kecil. Prajurit2ku itu bertenaga besar dan tukang berkelahi, kalau sampai engkau terluka, bukankah kasihan nanti."

"Begini pra eh, apa pangkatmu ?"

"Kopral."

"Kopral," kata Ah Liong, "beginilah. Kita bertaruh. Kalau aku dan engkohku kalah, taci itu boleh ikut engkau selamanya. Terserah mau engkau bawa kemana saja !"

"Sungguh ? Ah, jangan main2, adik kecil."

"Siapa yang main-main ?" kata An Liong, "tetapi kalau kalian kalah, bagaimana ?"

Kopral itu memandang Ah Long; Bocah kuncung yang baru berumur 9 tahun dan tak nampak mengunjukkan seorang bocah yang kuat, mana mampu melawan prajurit. Hm, bocah ini memang kemaki sekali, pikirnya. "Coba katakan, engkau menghendaki bagaimana ?" serunya.

"Kalian harus minta maaf kepada penduduk desa ini, tinggalkan semua barang2 kalian dan pergi dari sini, berani tidak?"

Karena yakin tentu menang, kopral itupun menyetujui, "Baik, kuterima." — Kemudian kopral itu berpaling kepada anakbuahnya dan berseru, "Hai, apakah kamu berani ditantang adu tenaga dengan anak ini?”

"Sudah tentu berani," seru prajurit2 itu.

Kopral perintahkan supaya adu tenaga itu dilangsungkan ditengah ruangan, sekalian untuk memeriahkan pesta. Dengan cepat meja2 segera dipindah ke pinggir dan ditengah ruangan itu kini terbuka sebuah tempat kosong.

Huru Hara diam saja. Dia tahu apa maksud Ah Liong anak ini memang nakal tetapi pintar. Sayang saat ini pikiranku tidak Blo’on . Aneh, aku sendiri juga heran, mengapa sejak menjadi seorang pendekar begini, pikiranku tiba2 terang sekali. Ho, mudah-mudahan kalau aku sudah tidak jadi pendekar dan kembali jadi Blo‘on, pikiranku jadi Blo’on lagi. Jadi pendekar memang susah. Harus bersikap keren, harus bicara yang genah, bahkan kadang2 harus memberi petuah. Lebih enakan jadi seorang blo`on. Bertingkah dan berbicara seenaknya saja "

"Hayo, silakan siapa yang akan maju dulu?" teriak Ah Liong yang tegak di tempat kosong itu.

Seorang prajurit maju, "Mau ngajak apa engkau kuncung

?"

"Hm, kalau lihat potonganmu, tentu banyak takeranmu

makan, ya ?" "Karena aku harus berbaris dan berjalan jauh, makanku juga banyak."

"Baik, hayo kita bertanding makan saja !" "Lho, bertanding makan?" prajurit itu melongo. "Ya, kita bertanding makan bakso."

Sekalian prajurit terlongong. Kopral juga tertawa geli. "Baik, lalu bagaimana caranya ?" tanya prajurit itu.

"Begini," kata Ah Liong," kau pegang semangkuk bakso dan aku juga. Lalu kita pakai supit. Aku menyupit baksoku terus kumasukkan ke dalam mulutmu. Dan engkau menyupit baksomu, masukkan kedalam mulutku. Mulut kita harus dibuka lebar dan harus mau menerima bakso yang akan dimasukkan itu."

"Beleh," kata prajurit itu.

Ah Liong minta kepada pelayan supaya diberi dua mangkuk bakso, "tetapi baksonya harus yang panas."

Tak berapa lama pelayan itu datang dengan membawa dua mangkok bakso yang masih panas. Ah Liong menerimanya. Yang semangkuk diberikan kepada prajurit itu.

"Wah, aku kalah tinggi, mari kita duduk dilantai," kata Ah Liong. Prajurit itupun menurut saja apa yang dikatakan Ah Liong. Mereka duduk berhadapan merapat dan mulut merekapun dibuka lebar2. Prajurit itu menggunakan supit biasa tetapi Ah Liong pakai supitnya sendiri. Memang kemana-mana Ah Liong selalu membekal supitnya.

"Mulai !" teriak Ah Liong yang dengan cepat sudah menyupit sebutir bakso lalu dilolohkan ke mulut prajurit. Prajurit itu belum sempat bergerak. tahu2 mulutnya sudah dijejali bakso. Dan dengan kecepatan yang luar biasa, Ah Liong mencecar mulut prajurit itu dengan bakso. Dalam sekejab saja, Ah Liong sudah memasukkan lima biji bakso.

Selebar-lebar mulut orang tetapi kalau dimasuki lima butir bakso tentu saja tak muat. Apalagi bakso itu masih panas sekali. Karena sakit kerongkongannya seperti disengat air panas, prajurit itu mendelik matanya dan tak sempat menggerakkan tangannya untuk menyupit bakso.

"Hayo telan !" waktu memasukkan bakso yang keenam, Ah Liong mendorongkan supitnya sehingga bakso yang pertama masuk kedalam kerongkongan.

"Aukkkk," karena tak tahan sakitnya, prajurit itu menjerit tetapi karena mulutnya penuh bakso, suaranya tak keluar.

"Hayo habiskan, biar tambah gemuk," tiba2 Ah Liong letakkan mangkuknya ke lantai, tangan kiri terus mencengkeram mulut prajurit itu supaya terbuka. Sedang supit ditangan kanan mendorong bakso supaya masuk kedalam kerongkongan. Kalau sudah masuk, dijejali lagi dengan bakso yang baru.

Mulut dan kerongkongan prajurit itu seperti terbakar rasanya. Dia tak tahan dan lepaskan mangkuknya lalu mendorong Ah Liong dan terus loncat bangun, mendekap mulut lari keluar.

Terdengar gelak tawa yang riuh dari orang-orang yang menyaksikan pertunjukan lucu itu.

"Hayo, engkau, majulah kemari :" seru Ah Liong seraya menuding seorang prajurit berkumis lebat.

Prajurit itu sudah tentu malu karena ditantang seorang bocah kuncung, Serentak dia maju ke tengah ruangan. Ah Liong minta disediakan 20 butir telur itik. Setelah menerima barang itu, yang sepuluh butir dia berikan kepada prajurit berkumis itu, “Kita bertanding menimpuk telur. Tetapi jaraknya jangan jauh2, cukup dua meter saja. Apa engkau berani?”

Karena malu prajurit itu serempak menerima tantangan Ah Liong, Mereka saling berhadapan pada jarak dua meter. Ah Liong sengaja mengambil tempat disebelah utara tepat membelakangi tempat duduk kopral tadi.

"Hayo engkau dulu yang menimpuk aku. Kalau sudah sepuluh kali, baru aku yang menimpuk engkau !" seru Ah Liong.

Diam2 prajurit itu geregetan sekali terhadap anak kuncung yang kemaki itu, Baik !" serunya lalu menjemput sebutir telur. Tetapi sebelum di timpukkan, Ah Long berseru lagi "Boleh sekali timpuk pakai dua atau tiga butir telur !"

Tetapi prajurit itu tak mau. Dia percaya dengan menimpukkan satu per satu saja, dia tentu sudah dapat menghajar anak kuncung ini.

"Awas !" seru prajurit berkumis itu seraya mulai menimpuk.

"Auh ..... ," tiba2 terdengar suara orang menjerit kaget. Ketika sekalian orang berpaling memandang, ternyata saat itu kopral prajurit tengah mendekap hidungnya yang berlumuran dengan cairan kuning.

Apa yang terjadi ?

Ternyata timpukan telur prajurit berkumis itu dengan mudah dapat dihindari Ah Liong. Telur yang ditimpukkan sekuat tenaga itu terus melayang kearah kopral dan tepat menghantam hidungnya. "Bangsat!" kopral itu marah, "mengapa engkau menimpuk hidungku, dengan telur mentah!"

Prajurit itu melongo. Benar2 dia tak menyangka bahwa dalam jarak dua meter, dia tak mampu mengenai anak itu. Lebih tak pernah disangkanya bahwa telur mentah itu akan mengenai hidung kopralnya.

"Hayo, timpuk lagi!" bentak Ah Liong.

Prajurit itu marah. Dia ingin menghajar anak kuncung itu. Karena gara2 anak itulah maka dia sampai menimpuk hidung kopralnya. Dia tak percaya bahwa dalam jarak yang begitu dekat, tak mampu menimpuk lagi. Kali ini bahkan disertai hati yang geram.

Melihat hidung kopral berlumuran telur mentah, Ah Lan cepat mengeluarkan saputangan dan dengan gaya yang mesra dia mengusap kotoran yang berlumuran ke mulut kopral. Dibelai oleh seorang nona cantik, mata kopral itupun meram melek.

Pyurrrr .. . aduhhhhh!

Tiba2 kopral itu menjerit lagi bahkan kali ini lebih keras dan terus mendekap matanya. Saat itu dia sedang meram membiarkan Ah Liong mengusap hidungnya. Tiba-tiba matanya terhantam benda. Karena dilontarkan dengan sekuat tenaga, telur itu sampai pecah lagi dan mata kopral itupun seperti pecah rasanya .. . .

"Tangkap prajurit itu!" dia meraung-raung seperti orang kebakaran jenggot.

Beterapa prajurit segera maju tetapi dibentak Ah Liong, "Jangan menjamahnya!"

"Aku diperintah kopral!" sahut salah seorang prajurit. "Tidak perlu ditangkap, aku yang akan membalaskan kesakitan kopral," seru Ah Liong. Tetapi prajurit itu masih bersangsi.

"Tadi kopral mengatakan, barang siapa tak mau menurut aku suruh laporkan kepadanya. Apakah engkau perlu kulaporkan kepada kopral?" bentak Ah Liong.

Baberapa prajurit itu terkesiap dan tanpa disadari merekapun rnundur.

"Hayo, lanjutkan lagi timpukanmu!" seru Ah Liong.

Tetapi prajurit itu gelengkan kepala, "Sudah, aku tak mau menimpuk. Engkau saja!"

"Baik, ini engkau yang minta sendiri. Sekarang siaplah!" kata Ah Liong seraya menjempul dua butir telur masing2 dipegang dengan tangan kanan dan tangan kini. Wut, wut ..

.

"Auh .. , " prajurit itu menjerit tertahan tetapi di deretan bangku di belakang, terdengar orang memekik.

Prajurit itu mukanya tertimpuk telur. Telur pecah berhamburan membasahi mukanya. Sedang yang sebutir karena dapat dihindari, telah melayang menghantam muka seorang prajurit.

Wut, wut, wut, wut .. . . seperti hujan mencurah, Ah Liong menaburkan kesepuluh butir telur itu kepada prajurit. Prajurit itu menguik-nguik seperti babi hendak disembelih. Muka hidung dan kedua matanya telah tertimpuk telur. Karena tak tahan sakitnya, dia terus lari keluar . ..

Gemparlah suasana dalam pesta. Ah Liong terus berseru memanggil seorang prajurit lagi, "Hai, hayo, majulah engkau!" Prajurit itu terkesiap. Rupanya ia agak jeri menghadapi Ah Liong.

"Takut ya? Huh, macam prajurit apa itu? Berhadapan dengan seorang anak seperti aku saja takut masa berani berperang? Kentut!"

Mendengar hinaan itu prajuritpun serentak berbangkit dan maju ke tempat Ah Liong.

"Sekarang kita jotosan!" kata Ah Liong. "Hah, jotosan?" seru prajurit itu.

"Ya, pukul-pukulan. Engkau memukul aku, aku memukul engkau. Siapa kalah harus minta ampun!"

"Kurang ajar, dua orang kawanku telah engkau permainkan. Sekarang engkau masih berani menantang aku lagi. Baik, majulah!"

"Tidak, engkau yang memukul dulu sajar

Prajurit itu geregetan. Dia terus memukul. Tetapi dengan kecepatan yang luar biasa. Ah Liong mengendap kebawah. Setelah tinju melayang lewat diatas kepalanya, dia terus menerkam buah dada orang dan terus dipelintir sekeras- kerasnya.. aduh .. . . prajurit itu menjerit. Sebelum sempat memperbaiki posisinya, Ah Liong sudah menjiwir telinganya keras2, aduh . . . prajurit itu menjerit kesakitan. Telinganya merah dan panas rasanya.

Dilayangkannya pula sebuah pukulan yang keras tetapi lagi2 Ah Liong dengan tangkas dapat menghindar dan kali ini dia menerkam hidung orang dan diremas sekuat kuatnya. Prajurit itu menjerit lagi. Hidungnya juga rnerah. Dia menyurut mundur tetapi cepat Ah Liong mengejar dan “aduhhhhh !” Sekalian orang tertawa melihat pemandangan yang lucu sekali. Ah Liong telah mencabut kumis prajurit itu yang sebelah, sampai jebol semua. Bukan melainkan sakit sekali, pun wajah prajurit itu menjadi lucu kelihatannya.

Dan pada puncaknya, selagi prajurit itu masih mendekap kumisnya yang berdarah, Ah-Liong menerkam pinggang orang laluditrik kebawah sekuat-kuatnya.

“Ha… ha… ha… haaa…” serentak gegap gempita gelak tawa sekalian orang yang menyaksikan pemandangan di tengah ruangan. Celana luar prajurit itu telah longsor kebawah karena sabuk dan kancingnya putus Dan sembari tangan kiri mendekap pinggang yang kesakitan, prajurit itu menjerit histeris dan lari keluar.

Sudah tiga prajurit yang dikalahkan Ah Liong dengan cara yang menggelikan bagi yang melihat tetapi menyakitkan hati bagi yang terkena. Kini Ah-Liong menggapai pada prajurit yang keempat, “Hai, mari kesini, berani tidak."

Prajurit itu kebetulan agak gemuk, sudah setengah tua. Sudah tentu dia malu sekali kalau tak berani menerima tantangan seorang bocah kuncung. Diam2 dia rnerencanakan untuk rnernbalaskan hinaan yang diderita oleh ketiga kawannya tadi.

"Engkau gemuk seperti babi,” kata Ah Liong setelah prajurit itu berhadapan," ayo kita adu tenaga. Siapa yang mampu mengangkat tubuh lawan melemparkannya paling jauh, dia yang menang."

"Setan cilik, maksudmu engkau hendak mengangkat aku dan melemparkan ?" prajurit gemuk itu menegas.

“Setelah engkau kuangkat, engkau boleh mengangkat dan melemparkan aku," kata Ah Liong. "Boleh," sahut prajurit gemuk itu seraya terus berdiri tegak.

Sekalian orang terkejut mendengar tantangan Ah Liong. Bagaimana mungkin anak sekecil itu mampu mengangkat tubuh seorang prajurit yang gemuk. Ah Lan juga kuatir. Tetapi ketika melirik Huru Hara, ternyata pemuda itu tenang2 saja.

Memang tak mungkin orang percaya kalau Ah Liong akan dapat mengangkat tubuh prajurit itu. Mereka tak tahu bahwa sejak kecil Ah Liong sudah terlatih untuk mengangkat si Bule dibawa ke telaga. Sehingga sampai kerbau itu besar, Ah Liong masih mengangkatnya setiap pagi.

Ah Liong segera maju dan berdiri dibelakang si prajurit. Cepat tangannya membekuk tengkuk si prajurit kencang2 sehingga prajurit itu mendelik. Lalu ditarik ke belakang sedang tangan kirinya menyanggah pinggang orang. "Hayo, naik ,. !" teriaknya.

Desuh dan decak memenuhi ruang pesta ketika orang melihat Ah Liong dapat mengangkat tubuh prajurit itu keatas kepalanya dan tiba2 dilontarkan ke muka, brakkkkk

......

Anak itu memang kurang ajar sekali. Entah disengaja entah tidak tetapi yang jelas tubuh prajurit gemuk itu melayang kearah tempat duduk kopral. Meja kopral itu putus kakinya karena tertimpa tubuh prajurit gemuk dan kaki si gemuk yang keroncalan telah mendupak muka kopral, plokkkk……

Tadi mukanya ditimpuk telur mentah dan sekarang pipinya didupak kaki anakbuahnya. Sudah tentu kopral itu kesakitan dan marah sekali, plak, serentak dia berdiri terus menendang prajurit itu sekeras-kerasnya. Akibatnya prajurit itu terguling-guling dan pingsan.

"Hai bocah kecil, mengapa engkau lemparkan tubuhnya kepadaku ?" tegur kopral masih merah mukanya.

"Bukan salahku," sahut Ah Liong, "waktu dilempar dia meronta-ronta sehingga arahnya mencong !"

Kopral masih marah tetapi Ah Lan dan Ah Lian cepat merayunya sehingga dia duduk lagi.

Sernentara itu Ah Liong garuk2 kuncungnya, ''Apa lagi acaranya, ya ? Ah, celaka, sudah habis nih. Kalau kuajak mereka angkat mengangkat tubuh mereka tentu jera. Tetapi biar kucobanya lagi."

"Hai. engkau prajurit botak itu, hayo kemarilah. Apa engkau berani mengangkat tubuhku ?" seru Ah Liong ketika melihat seorang prajurit botak kepalanya.

Sebenarnya kelompok prajurit Ceng yang berjumlah duapuluh orang itu jengkel dan kheki terhadap Ah Liong, ingin mereka menghajar anak itu. Tetapi karena kepala mereka, si koplal diam saja, terpaksa mereka menahan hatinya.

Dipanggil si Botak, sudah tentu prajurit yang berkepala botak itu marah. Serentak dia maju krmuka Ah Liong, “Lekas bersiap, aku hendak mengangkatmu !'

' Baik, silakan," kata Ah Liong seraya membungkukkan tubuh.

Prajurit botak itu mengira kalau Ah Liong pasang kuda2 hendak membuat tubuhnya supaya berat. Dia mengejek, “Huh, mau bertelur ya ?" "Kurang ajar, botak ini. Dia minta aku bertelur. Baik, aku akan rnenelori mukanya," diarn2 Ah Liong merancang rencana.

Prajurit botak itu terus menyelap tubuh Ah Liong dan ditangkatnya. Dia tak memperhatikan bahwa diam2 tangan anak yang jahil itu sadah menggerayangi sabuk pinggangnya. Begitu diangkat prajurit botak itu menjetit kaget," Uhhhhh……”

Serentak dia lepaskan Ah Liong dan gopoh mendekap celananya yang mau meluncur kebawah. Ternyata tali celananya telah putus dicakar kuku Ah Liong. Sudah begitu masih anak mbeling itu berkentut di mulut si botak, "Nih, makanlah telurku ”

Tengah prajurit botak itu sibuk membenahi kancing celananya. yang putus, tiba2 ia merasa tubuh keatas dan sebelum tahu apa yang terjadi dia merasa terbang, brakkk . .

. .

Sebuah meja yang diduduki empat prajurit yang tengah menghadapi hidangan dan arak, hancur berantakan ketika tubuh prajurit botak itu menimpanya. Keempat prajurit itupun terpelanting jatuh sungsang sumbal.

Melihat itu tak kuasa lagi prajurit2 yang lain menahan kesabarannya. Serempak mereka maju hendak menghajar Ah Liong. Tetapi secepat itu pula Huru Harapun sudah maju menghadang.

"Ho, engkau hendak membela adikmu yang liar itu?" mereka menggeram lalu menghantam Huru Hara.

Huru Hara tak mau membunuh mereka tetapi cukup suruh mereka menderita kesakitan. Ia menangkis dan serentak beberapa prajurit itu menjerit karena terlempar ke belakang. Beberapa prajurit yang lain segera maju menyerang Huru Hara.

"Kita pesta Ah Liong," kata Huru Hara. tangan gerak yang tangkas, dia menyambar tubuh prajurit2 itu dan dilempar ke luar.

Kopral terkejut sekali menyaksikan kejadian itu. Serentak dia rnencabut pedang dan loncat menyerang Huru Hara.

Sejak mendapat pedang di telaga Kia-te, belum pernah Huru Hara mencobanya. Maka kini dia ingin juga mencoba sampai dimana khasiat pedang magnit itu. Serentak dia mencabut pedang itu. Eh, baru dilolos keluar, pedang kopral itu sudah meluncur menghampiri pedang Huru Hara dan cret, terus melekat.

"Uhhhh," mulut kopral itu mendesus desus dan berusaha untuk menariknya tetapi sampai otot-otot pada dahinya melingkar-lingkar menonjol, tetap tak mampu.

Karena jengkel dia lepaskan pedang dan terus menghantam. Tetapi Huru Hara menghindar ke samping dan mengait kakinya, bluk . .. . kopral itupun mencium lantai . . . .

"Hayo, kalau kalian berani bergerak, kopralmu ini tentu kupijak remuk kepalanya!" teriak Huru Hara seraya menginjak tengkuk kopral itu.

Gemparlah suasana pesta. Penduduk ketakutan. Tetapi Huru Hara cepat menghibur mereka "Paman sekalian, jangan kuatir. Segala yang terjadi di disini, adalah tanggung jawabku sernua." — Habis itu dia terus memberi perintah kepada Ah Liong, "Ah Liong, lucuti mereka!"

Dasar anak mbeling ( nakal ) mendengar perintah itu bukan kepalang senangnya Ah Liong. Dia terus menghampiri kawanan prajurit Ceng itu, "Hayo, lemparkan senjatamu semua!"

Karena takut kopralnya dibunuh, terpaksa prajurit2 itu lemparkan senjatanya. Ah Liong kernbali memberi perintah. Tetapi kali ini bukan kepada prajurit melainkan kepada penduduk, "Encek2 sekalian, kumpulkanlah senjata2 itu."

Eh, entah bagaimana penduduk seperti prajurit yang menurut perintah atasannya. Mereka lakukan permintaan Ah Liong.

Ah Liong suruh kawanan prajurit itu keluar ke halaman semua dan berdiri berjajar-jajar, "Hayo, kalian lepaskan pakaian prajurit kalian semua!"

Prajurit itu saling berpandangan satu sama lain, "Eh, tak mau ya? Kalau begitu, kopralmu akan kusembelih . . " dia terus mengambil pedang,

Melihat itu terpaksa kawanan prajurit itu menurut, "Baju dalam juga harus dibuka!" .

"Tetapi " baru seorang prajurit hendak membantah,

Ah Liong sudah membentak, "Apa minta kopralmu kusembelih, ya?"

Prajurit itu terpaksa menurut lagi.

"Encek2 sekalian," seru Ah Liong kepada penduduk, "ikat tangan mereka!"

Bermula para penduduk itu jeri tetapi dengan lagak seperti seorang jendera!, Ah Liong berseru, "Jangan takut, mereka takkan berani melawan!"

Akhirnya para pendudukpun menurut. Dan ternyata prajurit Ceng yang berjumlah duapuluh orang itu diikat tangannya oleh penduduk. "Ambil gunting dan pentung!" perintah Ah Liong. "Lho, buat apa engkoh kecil'?" tanya seorang penduduk. "Nanti tahu sendiri!" kata Ah Liong.

Ah Liong minta disediakan lima buah pentung kayu. Setelah barang itu disediakan dia memanggil sepuluh penduduk, "Yang lima pegang pentung itu. Dan yang lima ambillah gunting."

Walaupun tak tahu apa yang dikehendak Ah Liong, penduduk itu menurut saja, Sedang kawanan prajurit Ceng dag-dig-dug tak keruan rasa hatinya.

"Kalau bajingan cilik itu hendak memburu kita, daripada mati konyol, lebih baik kita rnelawan saja," bisik beberapa prajurit kepada kawannya.

"Encek2 yang pegang gunting sekarang cukurlah rambut mereka. Sedang yang pegang pentung, jagalah dibelakang mereka. Setiap prajurit dijaga seorang. Kalau prajurit itu sampai berani membangkang, kemplang saja kepalanya dengan pentung

kayu itu. biar kapok !"

Keruan saja prajurit itu tak dapat berkutik. Berani bergerak, pentung yang dibelakang kepala mereka tertu akan jatuh  di

gundulnya. Mereka membiarkan saja dirinya dibuat bulan- bulanan oleh rakyat yang taat akan perintah Ah Liong.

Tak berapa lama mereka rasakan kepalanya silir sekali. Ah, jika tadi masih berupa duapuluh orang prajurit yang keren saat itu berobah menjadi duapuluh paderi gundul yang hanya pakai celana dalam.

Kopral itupun tak luput dari sasaran. Dia juga digunduli rambutnya dan pakaiannyapun dilucuti.

"Nah, sekarang kalian boleh pergi," seru Huru Hara, "Ingat, begitulah resikonya kalau orang Han mau menjadi prajurit Ceng. Rakyat tentu akan memusuhi. Kalau kalian berani kembali kepada kesatuan kalian, celaka, kalian tentu akan dihukum "

Kawanan prajurit itu tak menghiraukan ocehan Huru Hara. Pokok, mereka harus menyelamatkan diri dulu. Mereka lari seperti dikejar setan.

Penduduk desa amat gembira sekali menyaksikan peristiwa itu. Mereka tak habis gelinya. Sampai ada perutnya yang kejang.

"Hohan," tiba2 kepala desa, orang yang sudah setengah tua berkata kepada Huru Hara, "terima kasih atas pertolongan hohan untuk mengusir kawanan prajurit Ceng itu"

“Ah, tak perlu paman mengucap begitu,” kata Huru Hara, “adalah sudah menjadi kewajiban setiap rakyat Han untuk membasmi orang Boan yang hendak menjajah negeri kita."

"Benar, hohan," kata kepala desa, "tetapi apabila hohan pergi dan mereka datang lagi dengan membawa pasukan yang lebih besar untuk menghukum kami, bukankah penduduk disini akan celaka semua ?" "Tadi aku sudah mengatakan mereka bahwa aku berasal dari lain desa kebetulan lewat sini. Dan katakan saja kepada mereka kalau penduduk disini terpaksa malakukan perintahku karena takut. Biarlah segala resiko, timpahkan saja kepadaku," kata Huru Hara.

“Itu memang benar." kata kepala desa, "tetapi kurasa mereka adalah prajurit2 yang tak menghiraukan segala keterangan. Mereka tentu akan melampiaskan kemarahannya kepada kami."

“Lalu bagaimuna maksud, paman ?" tanya Huru Hara. "Sudah terlanjur basah, kita harus mandi sekalian,” kata

kepala desa, "karena sudah terlanjur menghina kawanan prajurit Ceng itu biarlah kita melawan mereka sekali!”

"Ya,” kata Huru Hara, "'memang kalau seluruh rakyat mernpunyai pendirian seperti paman kita pasti dapat menghalau orang Ceng. Tetapi paman sudah tua dan penduduk disinipun sudah biasa hidup sebagai petani, berumah tangga dan beranak isteri. Bagaimana tahan menderita kehidupan sebagai lasykar yang harus menghadapi peperangan besar ini. Apakah tidak kasihan terhadap wanita dan anak2 kecil di desa ini ?"

Kepala desa itu menghela napas, "Hati dan pikiran memang sering berbeda. Tetapi apa boleh buat. Ada sebuah kata2 mutiara yang mengatakan 'jar basuki mawa beya, artinya Setiap kebahagian tentu harus ada pengorbanan. Tanpa pengorbanan, kebahagiaan itu takkan datang. Karena kebahagiaan itu tidak mencurah dari langit tetapi harus kita ciptakan dengan usaha dan tenaga kita sendiri."

Huru Hara terkesiap. Ternyata jiwa ksatrya, semangat cinta pada negara itu, tidak hanya terdapat di kota2 besar, di kerajaan, pun di desa yang kecil juga terdapat. "Tetapi sebelum bertindak, kuharap paman, suka memikirkan lebih jauh," katanya.

'Sudah kupikirkan, hohan," kata kepala desa itu, "akan kuajak seluruh penduduk desa ikut kepada hohan."

"Hah?" Huru Hara terbelalak kaget, "ikut aku?"

"Ya," sahut kepala desa dengan mantap, kami rela dan taat ikut pada hohan."

"Aduh," Huru Hara berteriak tertahan, "bagaimana sih ini. Aku hanya seorang kelana yang tak punya tempat tinggal tertentu. Bahkan saat ini aku masih menjadi seorang tawanan "

“Lho, hohan ini seorang tawanan? Siapa yang berani menawan hohan?" kata kepala desa itu dengan memberingas, "kami seluruh penduduk desa, besar kecil, tua muda, lelaki perempuan, akan menghancurkan orang yang berani menawan hohan itu."

"Terima kasih, paman," kata Huru Hara, mernang benar kami saat ini masih menjadi tawanan. Tetapi harap paman jangan kuatir, aku dapat mengatasi sendiri."

"Tuh, dengar tidak, cici," bisik Ah Liong kepada Ah Lan yang kebetulan berdiri disebelahnya, "kalau mereka tahu cici yang menawan engkohku, penduduk desa disini tentu akan marah."

Ah Lan tersipu-sipu merah mukanya. "Paman," tiba2 Ah Lian gadis yang bertubuh tinggi semampai berseru, "yang menawan pemuda ini adalah himpunan kami Hong-li-hoa atas permintaan dari Barisan Suka Rela yang mengatakan bahwa pemuda ini adalah seorang penghianat. Dia pernah menolong pemimpin pasukan Ceng bernama kolonel Totay dari serbuan barisan Suka Rela itu.” “Tidak mungkin !" tiba2 terdengar bebera penduduk serempak berseru, “kami lihat dengan mata kepala sendiri tadi, bagaimana hohan ini telah mernusuhi prajurit Ceng."

"Ya, benar, rasanya itu hanya fitnah," kata kepala desa, "mengapa nona percaya?"

Ah Lian gelagapan menangkis, "Kami juga tak tahu persoalan itu. Tetapi kami hanya melakukan permintaan dari pimpinan Barisan Suka Rela."

"Ah, tidak bisa," kata kepala desa itu pula "pemimpin tak boleh membawa kemauannya sendiri saja. Harus mendengar suara rakyat yang dipimpin, maupun rakyat biasa.

"Ah, tak apa paman," kata Huru Hara, "aku dapat memberi pertanggungan jawab kepada pimpinan Barisan Suka Rela itu."

"Baiklah." kata kepala desa, "tetapi hohan tak perlu kuatir. Kalau pimpinan Barisan Suka Rela tetap kukuh pada anggapannya sendiri dan menganggap hohan sebagai penghianat, kami penduduk desa Siau-koan disini akan memberontak kepada mereka !"

"Kawan2, mari kita ikut hohan ini menghadap Barisan Suka Rela," teriak seorang penduduk.

"Setuju !" sambut penduduk yang lain. "Kalau perlu kita bentuk barisan sendiri" teriak seorang penduduk lagi.

"Kalau mau membentuk barisan," tiba2 Ah Liong menyelutuk, "kasih saja nama Barisan Haru Hara.”

"Lho, apa-apaan pakai nama begitu ?"

"Nama engkohku Hok itu adalah Huru Hara?"

"0, begitu ? Bagus, bagus! Saat ini juga kita bentuk Barisan Huru Hara," teriak penduduk dengan serempak. "Siapa pimpinannya ?" tanya Ah Liong. "Hohan itu !"

"Dia engkohku. Kalau dia menjadi pimpinan, encek2 pun harus mengangkat aku sebagai jenderal cilik."

Tertawalah sekalian orang mendengar kata2 anak kuncung itu.

"Paman," kata Huru Hara kepada kepala desa, "aku gembira sekali atas semangat dari penduduk desa. Tetapi hati boleh panas kepala harus dingin. Untuk membentuk barisan, tidak boleh secara acak-acakan dalam sekejab mata terus jadi."

"Benar," kata kepala desa, "lalu bagaimana maksud hohan ?"

"Begini," kata Huru Hara. "paman dan sekalian penduduk tetap tinggal disini dulu. Kalau memang mau membentuk barisan, latihlah dulu penduduk. Yang penting untuk menjaga keamanan desa dulu dari serangan prajurit Ceng. Tetapi ”

"Tetapi bagaimana, hohan?"

"Ah, prajurit2 Ceng itu memiliki persenjataan lengkap dan ganas. Mereka tentu akan menghancurkan dan membunuh tanpa ampun apabila penduduk berani melawan. Maka dari itu kurasa, lebih baik, paman sekalian menyingkir ke hutan di pegunungan yang sunyi. Agar jangan sampai dapat dikejar mereka. Nah, ditempat itulah paman sekalian boleh berlatih dan menjalankan gerakan untuk menghancurkan mereka."

"Bagus," teriak kepala desa, kemudian bertanya kepada sekalian penduduk bagaimana mereka. "Setuju! Kami setuju untuk tinggalkan desa ini. Lebih baik hidup di alam pegunungan yang bebas daripada harus menjadi budak yang melayani orang Boan!" teriak sekalian penduduk.

Kepala desa mengatakan bahwa tidak jauh dari desa itu terdapat sebuah lembah. Mereka akan menuju dan menetap di lembah itu.

"Baik, paman. Aku hendak melanjutkan jalanan dulu. Setelah urusanku selesai aku akan datang ke lembah itu," kata Huru Hara.

Demikian setelah selesai, Huru Hara mengajak Ah Liong dan kedua gadis itu melanjutkan perjalanan lagi.

"Lian suci," .kata Ah Lan yang berjalan seiring dengan Ah Lian di belakang Huru Hara, "kurasa lebih baik kita tak mengantarkan pemuda ini ke tempat Barisan Suka Rela."

"Mengapa?" Ah I.ian heran.

"Bukankah suci sudah menyaksikan sendiri bagaimana sikapnya terhadap prajurit2 Ceng di desa tadi?"

"O, engkau anggap dia bukan seorang penghianat?" "Apakah suci tidak menganggap begitu juga?" balas Ah

Lan.

"Ah, soal itu kita tak tahu. Kita hanya melakukan perintah toa-suci saja, Ah Lan."

"Benar," kata Ah Lan, "tetapi kita juga harus berani mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih;"

"Maksudmu kita bebaskan dia?"

"Mengapa kita harus membikin susah seorang yang tidak bcrsalah dan bahkan dia jelas seorang pendekar yang menentang orang Beng. Bukankah pendiriannya itu sama dengan tujuan kita?"

"Tetapi janganlah kita buru2 menarik kesimpulan dulu. Siapa tahu kalau dia pura-pura bertindak begitu agar kita terpengaruh."

"Tidak, suci, kurasa dia seorang jujur. Tak mungkin dia mau bersikap pura2."

"Ah Lan," tiba2 Ah Lian berbisik-bisik "mengapa engkau ngotot hendak membelanya ada rasa, ya ?"

"Suci, jangan bilang begitu," Ah Lan tersipu2 malu, "kita ini kan bunga hutan yang sudah tak berharga lagi." — Berkata sampai disitu suara Ah Lan kedengaran terharu.

"Cici Lan, mengapa engkau hendak menangis ?" tiba2 pula Ah Liong berpaling, "apakah cici itu mengatai engkau yang tidak patut ?"

"Adik kecil. "

"Katakanlah," seru Ah Liong, "kalau dia berani mengata- ngatai cici, terpaksa akan kuhajar.”

"Eh, anak kecil berani sama orang yang lebih besar ?" seru Ah Lan yang mau dihajar.

"Siapa yang salah harus dihajar, tak peduli besar atau kecil. Kalau aku salah, kepalaku boleh eagkau kemplang, aku tak marah," sahut Ah Liong, "tetapi kalau engkau yang salah, engkaupun harus dihajar."

"Tetapi aku merasa tak berkata apa2," bantah Ah Lian. "Bohong !" teriak Ah Liong, "kudengar kalian tadi bicara

kasak kusuk. Kalau bukan engkau siapa lagi yang menyakiti hati cici Lan ?" "Lho, kalau engkau menganggap Ah Lan itu apakah aku bukan cicimu?" tanya Ah Lian.

"Nanti dulu" kata Ah Liong, "aku tak mau mengaku cici kepada sembarang orang sebelum ku tahu dia benar2 berhati baik."

"Apakah aku berhati baik ?"

"Jangan pura2 berlagak bodoh," kata Ah Liong, "bukankah engkau yang ngotot hendak tetap mengantarkan engkohku kepada barisan Suka Rela? Bukankah engkau yang masih tak percaya pada engkohku ? Huh "

"Adik kecil, aku hanya melakukan perintah dari pimpinanku saja."

"Pimpinan itu manusia atau setan ?" "Tentu saja manusia."

"Kalau manusia tentu punya pikiran. Masakan  semaunya sendiri saja menuduh engkohku sebagai penghianat. Nanti didepan pemimpin Suka Rela, kalau dia masih tetap hendak menghukum engkohku, aku tentu akan mengajak berkelahi. Sekarang saja boleh dimulai, kalau engkau juga menganggap engkohku seorang penghianat, hayo kita berkelahi !"

"Ah Liong, jangan," cegah Huru Hara.

"Tidak engkoh Hok," bantah Ah Liong yang memanggil Huru Hara dengan sebutan engkoh Hok, “dia memang kurang menyenangkan. Tidak seperti cici Lan. Buktinya tadi waktu di pesta, masa dia mau dicipok kopral Ceng itu. Sebaliknya kuperhatikan cici Lan selalu menghindar kalau kopral itu hendak mencipoknya." Sudah tentu malu sekali Ah Lian dikatakan begitu. Serentak dia berteriak, "Anak kecil, jangan keliwat kurang ajar. Apa engkau kira aku tak berani menghajarmu?"

"Jangan cici Lian," kata Ah Lan, "jangan meladeni dia.

Dia masih kecil."

"Lho, engkau mau membelanya ya?"

"Kalau mau membela, engkau mau apa?' teriak Ah Liong.

"Sudahlah Ah Liong, jangan banyak bicara!' bentak Huru Hara, "nona, silakan engkau melakukan perintah atasanmu. Aku memang mencari pamanku yang ditawan Barisan Suka Rela itu. Dia tak bersalah. Kalau pamanku sampai dihukum, hm, akupun takkan bersikap sungkan lagi kepada mereka."

"Benar, engkoh," teriak Ah Liong, "mentang2. mereka itu barisan Suka Rela. Kita juga punya Barisan Huru Hara. Engkoh pemimpinnya dan aku jenderal kecilnya. Kalau mereka berani menghukum paman engkoh, kita obrak-abrik saja mereka!"

Mereka menuju ke utara. Beberapa hari kemudian setelah tak mengalami peristiwa apa2, tiba-tiba pada hari itu mereka melihat hal yang memaksa mereka harus turun tangan.

Itu waktu mereka tiba di kaki sebuah gunung yang menurut keterangan penduduk adalah gunung Lo-san di propinsi Shoatang. Tiba2 mereka mendengar suara dering senjata orang bertempur.

Huru Hara cepat lari menghampiri. Ternyata di tengah jalan yang sepi, tampak seorang pemuda berkuda sedang bertempur melawan dua orang lelaki yang mengenakan topeng. Pemuda itu cukup gagah walaupun harus melawan dua musuh. Tetapi kedua lelaki bertopeng itu rupanya amat ganas sekali. Pelahan-lahan pemuda itu mulai terdesak dan pada saat Huru Hara muncul, dia sedang kewalahan dan terancam bahaya.

"Berhenti!" teriak Huru Hara seraya lari menghampiri.

Pemuda berkuda itu berwajah bersih dan jujur. Dia terkejut dan berpaling. Cret . . . bahunya tertusuk pedang salah seorang bertopeng sehingga lengan bajunya berlumuran darah merah.

"Bangsat, engkau tak mengindahkan peringatanku," Huru Hara loncat rnenghantam orang itu.

Orang itu menyongsong dengan babatkar pedangnya ke tangan Huru Hara. Tetapi Huru Hara juga cepat menarik tangan. Namun sebelum sempat digerakkan lagi, pedang orang bertopeng itupun sudah mernbabat kakinya. Memang cepat, dahsyat dan berbahaya sekali serangan orang itu.

Tetapi bukan kepalang kejutnya ketika tiba-tiba kaki Huru Hara mencelat ke atas dan menghilang. Ia cepat berputar tubuh. Ah, ternyata Huru Hara memang sudah berada di belakangnya. Dan saat itu tangan Huru Harapun sudah menghunus batang pedang pandak dan tumpul.

"Bagus, engkau juga pandai bermain pedan seru lelaki bertopeng itu. Dia segera menaburl pedangnya sehingga Huru Hara seperti dilanda oleh curahan beratus percik sinar putih.

Melihat itu Huru Harapun menirukan. Dan memutar pedang magnitnya dengan deras. Orang itu terkejut sekali ketika menyaksikan permainan pedang Huru Hara. Dia belum pernah melihat pedang semacam itu. Kalau menilik gerakannya bukan seperti ilmupedang tetapi lebih menyerupai gerak awut-awutan. Tetapi kalau menilik kecepatannya seperti badai, jelas dia tentu orang persilatan. Karena tak mungkin orang yang tak memiliki ilinu tenaga- dalam sedemikian saktinya mampu memainkan pedang yang sedemikian dahsyat. Pikir orang bertopeng itu. Dia benar2 terkejut dan heran. Terkejut karena gerak pedang yang dimainkannya. Heran karena dia tak mengerti ilmupedang apakah yang dimiliki lawannya,

Dan yang lebih mengejutkan hati orang itu adalah beberapa saat kemudian, ia rasakan tenaga dalamnya tak beres, pedangnya seperti disedot oleh pedang lawan. Walaupun dia berusaha mangerahkan seluruh tenaga- dalamnya hingga sampai kepalanya mandi keringat tapi akhirnya pedangnya itu makin mendekat dan akhirnya melekat pada pedang lawan.

"Uh . . . , " mulut lelaki bertopeng itu mendesis kejut karena iapun terbawa berputar-putar oleh pedang lawan. Terpaksa ia lepaskan pedangnya, tetapi karena tubuhnya terlanjur dibawa berputar-putar, waktu melepaskan diri, dia sempoyongan seperti orang mabuk dan akhirnya jatuh terduduk ditanah. Dia pejamkan mata berusaha untuk menenangkan kepalanya yang pusing tujuh keliling dan darahnya bergolak keras.

"Hai, engkau, jangan mengganas!" teriak Huru Hara yang secepat kilat sudah loncat untuk menyerang orang bertopeng kedua yang menusuk pemuda tadi.

Orang bertopeng itu menangkis dengan pedangnya, tring

. . . . dia rnendesuh kaget karena pedangnyapun melekat pada pedang lawan. Maka dia berusaha untuk  mengerahkan tenaga, makin dia tak dapat menarik pedangnya. Buru2 dia lepaskan pedangnya dan terus lari. "Hai, mau lari kemana engkau!" Ah Liong seraya mengejar.

Huru Hara tak mau mencegahnya karena ia perlu menolong pemuda yang terluka itu. Ternyata Ah Lan sudah memeriksa bahu pemuda yang terkena tusukan pedang itu. Lukanya sih tidak seberapa parah tetapi mengapa pemuda itu tampak pucat dan napasnya mulai terengah-engah?

"Kenapa lukanya?" tanya Huru Hara.

"Lihatlah," kata Ah Lan sernbati rnerobek lengan baju pemuda itu untuk memperlihatkan lukanya, "disekitar lukanya sudah membiru, begitu pula darahnya juga merah tua warnanya."

"Dan?"

"Kukira pedang orang bertopeng itu beracun, kalau hanya pedang biasa tak mungkin begini," kata Ah Lan.

"Kita harus cepat menolongnya," kata Huru Hara.

"Ya, tetapi aku hanya  membawa  obat  untuk  luka biasa. ”. kata Ah Lan.

Huru Hama merogoh bajunya dan memberi sebutir pil, suruh Ah Lan masukkan ke mulut pemuda yang sudah mulai tak sadatkan diri ini. Beberapa saat.kemudian wajah pemuda itu tampak bercahaya merah dan diapun dapat membuka mata.

"0, apakah aku sudah berada di akhirat ?" anyanya seraya berdiri.

"Belum," kata Ah Lan, "engkau masih hidup." "Bukankah tadi aku terkena tusukan pedang dari orang

bertopeng   .....   "   pemuda   itu   memandang  ke bahunya.

Ternyata bahunya sudah dibalut dengan kain putih. "Siapakah nona ini ?" tanyanya.

"Aku kebetulan lalu disini dan melihat engkau berkelahi. Engkau tertusuk pedang dan rubuh. Engkau pingsan karena pedang orang bertopeng itu mengandung racun."

"0, apakah nona yang telah menolong jiwa ku?" serta merta pemuda itu terus menjurah menghaturkan terima kasih.

" Tunggu," Ah Lan gopoh memberi keterangan bahwa yang menolong pemuda itu adalah Huru Hara.

"Oh, terima kasih loheng (saudara)," kata pemuda itu seraya menghadap kearah Huru Hara dan menjurah.

"Jangan," cegah Huru Hara, "sudah sewajib saya manusia itu tolong menolong. Siapakah saudara ini ? Dan mengapa saudara bakelahi dengan dua orarg bertopeng ?"

"Aku bernama Bok Kian. Aku sedang melakukan perintah dari pamanku untuk menghubungi jenderal Lau Cek Cong dt Ik-koan. "

"0. siapakah paman saudara ?" Huru Hara terkejut. "Pamanku bernama Su Go Hwat,"

"Oh, Su Go Hwat mentri pertahanan kerajaan Bang itu

?"

Bok Kian mengangguk.

"Ah, jika begitu kebetulan sekali," kata Huru Hara, "aku

pernah bertemu dengan Su tayjin di kota Yan-ciu. Tetapi itu waktu saudara Bok tidak tampak."

"Memang," kata Bok Kian, "aku selalu mundar mandir ke beberapa daerah. Paman Su menugaskan aku menjadi penghubung diantara paman dengan jenderal2 yang berada di daerah-daerah. Seperti halnya kali ini aku harus menghadap jenderal Lau Ceng Co di Ik-koan. Dan ketika tiba di tempat ini, tiba2 aku dihadang oleh orang bertopeng tadi.

"Siapakah mereka ?" tanya Huru Hara.

"Aku sendiri juga tak tahu Mereka tak mau rnengaku melainkan hanya suruh aku menyerahkan diri hendak dibunuhnya."

'Pada saat negeri sedang dalam keadaan perang seperti dewasa ini,” kata Huru Hara “memang banyak bermunculan kawanan pengacau dan begal."

"Benar." sahut Bok Kian, "tetapi kedua lelaki bertopeng itu tidak meminta barang kepadaku, melainkan meminta kepalaku. Dan kalau menilik ilmu kepandaiannya jelas mereka bukan bangsa begal tetapi orang persilatan yang berilmu tinggi."

"Ya, benar," kata Huru Hara. Tiba2 dia teringat," serunya, “yang satu masih kita tawan, tuh dia masih duduk pejamkan mata."

Huru Hara terus menghampiri, "Hai, engkau, bangun !” serunya.

Tetapi orang itu diam saja.

Waktu Huru Hara hendak enghampiri untuk membuka topengnya, tiba2 Ah Liong mendatangi.

"Bagaimana orang itu ?" tegar Huru Hara. "Wah, celaka engkoh," seru anak kuncung itu.

"Celaka bagaimana ?"

"Karena ketakutan kukejar, dia tergelincir masuk kedalam jurang yang curam."

"Mati?" "Tak berkutik lagi."

"Hm, tak apa. dia memang pantas menerima hukuman begitu. Sekarang cobalah engkau buka topeng orang itu."

Ah Liong melakukan perintah. Ketika topeng dibuka ternyata orang itu berwajah brewok, berumur hampir empatpuluh tahun.

"Hai, mengapa dia masih meram saja ?" seru Huru Hara. "Ya, benar," kata Ah Liong, "hai, orang brewok, hayo

bangunlah, hari sudah pagi dan lekas gosok gigi !"

Bok Kian terlongong mendengar ocehan anak kuncung yang belum dikenalnya itu.

Tetapi orang brewok itu tetap diam dan meram.

"Lho, mengapa engkau begitu malas suka molor saja ?" teriak Ah Liong, "hayo bangun !"

Tetapi orang brewok itu tetap diam.

Akhirnya karena tak sabar, Ah Liong terus ulurkan tangan dan membuka kelopak mata orang itu, "Hus, mengapa deliki mata kepadaku !"

Waktu tangannya dilepas, kelopak mata oran itu rnengatup lagi, "Lho, setan brewok, engka ini malas sekali

," dia terus membuka lagi kelopak mata yang satunya dari orang itu. Kemudian ditiup dengan mulutnya. "huff, huff.'

"Eh mengapa matamu menteleng (mendelik) saja tidak berkedip !" teriak Ah Liong.

Ah Lin terkejut dan minta Ah Liong lepaskan  tangannya, "Coba kuperiksanya. Dia memegang tangan orang itu dan memeriksa denyut nadinya, "Ah dia

sudah tak bernyawa lagi," "Aneh," Huru Hara heran, "aku tak memukulnya sama sekali. Dia hanya ikut terputar-putar dengan pedangku."

Sekalian orang juga terkejut dan tak tahu penyebab kematian orang itu. Memang mereka melihat bagaimana tadi Huru Hara memutar pedangnya dan orang itu terseret ikut berputar-putar.

Sebenarnya kematian orang bertopeng itu tak lain karena urat2 jantungnya putus akibat tenaga sakti Ji-ih-sin-kang yang memancar dari tangan Huru Hara. Ji-ih sin-kang atau tenaga sakti yang dapat digerakkan menurut kehendak hati memang luar biasa. Makin lawan menggunakan tenaga untuk menolaknya, makin keraslah tenaga tolak (mental ) yang akan dideritanya.

Agar pembaca tidak hingung dari mana Huru Hara dapat memiliki tenaga Ji-ih-sin- kang- itu, pembaca membaca cersil Pendekar Blo’on, tentu jelas. Tetapi andaikata pembaca tak sempat membaca cerita itu, dapat kami tuturkan disini secara singkat saja tentang kisah Pendekar Blo’on waktu mendapatkan tenaga-sakti yang luar biasa itu. Demikian:

Pendekar Huru Hara yang sekarang ini tak lain adalah Kim Yu Yong, putera pendekar besar Kim Thian Cong yang diangkat orang sebagai pemimpin dunia persilatan. Kim Yu Yong itu lebih terkenal dengan sebutan Kim  Blo`on

Dia tak mau belajar silat sehingga ayahnya jengkel.

Malah pada suatu hari Blo’on minggat dan berkelana.

Ada seorang paderi Thian Tiok (India) yang pernah dikalahkan Kim Thian Cong, hendak cari balas. Tetapi karena Kim Thian Cong sudah meninggal maka paderi India itu lalu menumpahkan pembalasannya kepada Blo`on. Blo’on dijadikan pemuda yang hilang pikirannya. Dalam kelananya, Blo’on mendapatkan dua orang kakek aneh yaitu kakek Lo Kun dan kakek Kerbau Putih, yang juga kakek2 linglung semua. Pada suatu hari Blo’on dan kedua kakek itu menolong nelayan yang anak gadisnya hendak diambil isteri oleh kepala perampok dari Hong-ho (Sungai Kuning ). Blo’on suruh Liok Sian Li, sumoaynya, menjadi mempelai perempuan menggantikan anak gadis pak nelayan itu. Waktu dibawa dengan perahu, perahunya terbalik. Blo’on Sian-li jatuh kedalam muara dan dengan kemukjijatan alam, keduanya telah terseret masuk ke dalam laut. Disitu terdapat sebuah kerajaan. Blo’on ternyata disedot oleh mulut seekor kuda laut lalu dimuntahkan dan masuk kedalam perut seekor naga yang sudah berumur ratusan tahun. Di dalam perut naga itu Blo’on telah mernakan hati ular itu, hingga ular mati. Ular itu adalah penjaga kerajaan laut yang dihuni oleh seorang mentri kerajaan Lam Song. Dia seorang mentri setya. Dia membawa putera mahkota lari dengan kapal tetapi karena dikepung musuh akhirnya ia mencebur kedalam laut bersama putera mahkota itu.

Keajaiban alam, kemujijatan Tuhan. Mentri itu tidak mati tetapi putera mahkota mati. Dia tenggelam dan tersedot masuk kedalam sebuah gua karang dari sebuah gunung didalam laut. Mentri itu memelihara berbagai binatang untuk menjaga keratonnya. Naga yang menyedot Blo’on itu disebut panglima Ceng-liong (Naga Hijau).

Blo’on masih mengalami peristiwa yang gaib. Waktu berada dalam gua keraton dibawah laut, Blo’on bertemu dengan seekor binatang yang menyerupai ki-lin atau warak. Rupanya binatang itu juga salah satu dari penunggu kerajaan dibawah laut. Blo’on berkelahi dengan ki-lin itu dan secara tidak disangaja telah menggigit dan menghisap darah binatang itu. Dengan demikian dia makin mendapat tenaga sakti yang tiada taranya. Dia memiliki apa yang disebut Ji-ih sin-kang, tenaga-sakti yang digerakkan menurut kernauan hatinya.

Dia tak mengerti hal itu. Dan tak mengerti bagaimana harus menyalurkan tenaga-sakti itu, Tetapi setiap kali dia marah atau ingin mengeluarkan tenaga, misalnya waktu bertempur atau diserang lawan, begitu hatinya ingin bergerak maka tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang itupun segera rnemancar keluar.

Punya tapi tak punya. Tak punya tapi punya. Demikianlah keadaan Blo’on. Sepintas memang bisa dianggap mustahil atau terlalu khayal. Tetapi di dunia ini, segala keajaiban bisa terjadi. Justeru seorang anak yang tak suka belajar silat malah mendapat penemuan yang luar biasa gaibnya. Andaikata dia mengerti bagaimana menyalurkan tenaga-dalam tentulah dia akan menjadi sakti sekali. Tetapi disitulah letak keajaiban alam. Kalau dia senang belajar silat dan dapat menyalurkan tenaga-dalam, mungkin dia takkan mendapat berkah penemuan yang ajaib itu . . . .

Demikian sekilas kisah ringkas dari perjalanan Pendekar Blo’on waktu mendapatkan tenaga sakti itu. Maka dengan panjelasan ini mudah-mudahan pembaca tak bingung mengapa pendekar Huru Hara yang tak lain adalah penjelmaan dari Kim Blo’on, mampu menghadapi jago-jago silat yang sakti. Dengan mengontang-antingkan tubuh orang bertopeng itu, dapatlah tenaga-saktinya menyebabkan urat-urat jantung orang itu putus.

Pil yang di minurnkan kepada Bok Kian itu juga salah satu penemuan Blo’on ketika kesasar masuk kedalam laut, yaitu buah som yang berumur ratusan tahun. Khasiatnya selain dapat menambah tenaga dalam, juga dapat memunahkan segala macam racun. "Sialan, makanya kupentang matanya, lalu meram lagi, ternyata dia sudah koit ," seru Ah Liong.

Bok Kian melongo. Ah Lan juga, "Apa sih koit itu ?" "Ko-it artinya tamat nyawanya."

"Eh, Ah Liong, dari mana engkau memperoleh istilah2 yang aneh2 itu?"

"Dari nenek." kata Ah Liong lalu menuding Bok Kian, "Lho, bukankah engkoh ini tadi juga hampir ko-it ? Mengapa sekarang sudah sembuh ?"

Bok Kian tertawa. "Siapakah engkau ini adik kecil?" "Aku adalah adik dari engkoh ini," ia menunjuk Huru

Hara, "dan engkau ?"

"Hus, Ah Liong, jangan kurang sopan. Dia adalah putera keponakan dari mentri kerajaan Su Go Hwat tayjin," tegur Huru Hara.

“Lho, mengapa tidak di kerajaan ? Mengapa kaluyuran sampai disini ?"

Bok Kian tidak marah melainkan tertawa,

"Yang jadi mentri itu adalah pamanku. Aku kan rakyat kecil seperti engkau. Mengapa tak boleh keluyuran kemana- rnana ?"

"Bagus, engkoh Bok, kalau begitu aku suka berkawan dengan engkau," kata Ah Liong.

Bok Kian suka dengan anak itu, demikian pula terhadap Huru Hara. Huru Hara juga suka kepada pemuda yang berwajah polos itu.

Setelah beromong-omong, merekapun terus melanjutkan perjalanan lagi. Atas pertanyaan Bok Kian, Huru Hara mengatakan bahwa dia hendak mencari Barisan Suka Rela. Karena Bok Kian juga menuju ke utara menemui jenderal Lau Ce Jing di 1k- koan maka Huru Hara dapat bersama- sama menempuh perjalanan.

"Nanti setelah kita mendapat tahu dimana tempat barisan Suka Rela itu barulah aku berpisah dengan saudara," kata Huru Hara.

"Engkoh Bok, lihatlah !" tiba2 Ah Liong berteriak seraya mengunjukkan sebuah benda.

"Apa itu ?" tanya Huru Hara.

"Aku mendapat benda ini dari dalam kantong baju si brewok," kata Ah Liong seraya menyerahkan benda itu kepada Huru Hara. "Apakah ini Bok-heng ?" tanya Huru Hara seraya memberikan benda itu kepada Bok Kian. “heng”, artinya engkoh atau bung. Bok-heng artinya saudara (bung) Bok. Sudah menjadi adat kebiasaan di negeri itu, kalau memanggil tentu nama marganya (she) yang disebut, Bok Kian orang she (marga) Bok, maka disebut Bok-heng.

"Inilah lencana pertandaan .... eh Gi-yong kun !" teriak Bok Kian setelah mengamati benda itu. Gi- yong-kun yalah Barisan Suka Rela.

"Lho, kalau begitu dia seorang anggauta Barisan Suka Rela," seru Huru Hara.

Ah Lan menghampiri dan meminta lencana. Sesaat kemudian dia mengangguk, "Benar, memang inilah lencana yang dipakai oleh anggauta Gi-yong-kun."

"Apakah setiap anggauta Barisan Suka Rela memakai pertandaan itu ?"

"Kukira tidak. Hanya pimpinannya saja yang memiliki lencana begini." "Lalu bagaimana untuk tanda pengenal dari seorang anggauta Barisan Suka Rela itu ?" tanya Huru Hara.

"Lian suci, apakah engkau ingat ?" tanya Ah Lian" pada Ah Lan, kakak seperguruannya.

"Tidak," sahut Ah Lian dengan dingin. Memang sejak adu lidah dengan Ah Liong, Ah Lian masih mengkal dan sepanjang perjalanan diam saja.

"0, aku ingat, ya," tiba2 Ah Lan berkata, "'pada bahu setiap angauta Barisan Suka Rela tenlu terdapat tatoo huruf Gi."

Ah Liong terus membuka baju si brewok dan memeriksa bahunya tetapi tak terdapat tanda tatoo apa2.

"Aneh, mengapa anggauta Barisan Suka Rela menyerang Bok-heng ?" kata Huru Hara.

",Mungkin mereka tak kenal kepadaku," sahut Bok Kian. "Kalau tak kenal mengapa mereka begitu ngotot hendak

membunuh Bok- heng ?"

"Memang aneh," kata Bok Kian, "entahla aku sendiri juga tak mengerti."

Belum berapa jauh mereka berjalan, tiba-tiba mereka dihadang oleh berpuluh orang yang bersenjata.

Seorang yang bertubuh kekar dan dada serta tangannya berbulu lebat, berseru, "Hai, kalian, lekas serahkan diri. Kalian sudah terkepung !"

Huru Hara terkejut. Berpaling ke kanan, kiri dan belakang, ia melihat berpuluh orang bersenjata telah mengepungnya.

"Siapakah engkau ?" seru Huru Hara. "Kami anakbuah Elang Hitam dari gunung Hong-hong- san sini."

"Apa itu Elang Hitam ?"

"Rombongan rakyat yang ditindas kerajaan Beng dan dikejar-kejar kerajaan Ceng."

"O," desuh Huru Hara, "lalu mengapa kalian hendak menangkap rombonganku ?"

"Kalian telah membunuh dua orang pimpin kami. Sekarang kalian harus serahkan diri dan ikut kami menghadap ketua!"

Huru Hara mengiakan. Mereka dibawa keatas gunung Hong-hong-san dan dihadapkan kepada pimpinan gerombolan yang bernama Ang Hin bergelar Thiat- jiu-kim- kong atau Malaekat- tangan besi.

"Engkau yang membunuh ji-te dan sam-te kami?" pemimpin gerombolan gunung Hong-hon--san yang bertubuh keras dan bertangan kasar itu menegur setelah beberapa saat memandang Huru Hara dengan tajam.

"Ya," sahut Huru Hara.

"Benar?" Ang Hin menegas lagi karena hampir tak percaya kalau pemuda yang berdandan nyentrik dan mernelihara dua buah kuncir di atas telinganya, mampu mengalahkan ji-te dan sam-te atau adik kedua dan adik ketiga.

"Perlu apa harus bohong?" sahut Huru Hara. "Mengapa engkau membunuh mereka?" "Mereka cari mati sendiri!"

"Aku tak mengerti omonganmu!" teriak pemimpin gerombolan gunung Hong-hong-san itu. "Mereka mencegat Bok kongcu ini dan hendak membunuhnya. Untung kebetulan aku lewat kesitu dan meminta mereka berhenti. Tetapi mereka tak mengindahkan permintaanku dan malah menyerang aku. Kalau mereka mati, bukankah mereka sendiri yang cari mati?"

"Siapa Bok kongcu itu?"

"Putera keponakan dari Su Go Hwat tayjin rnenteri kerajaan Beng."

"Aku tidak dibawah kekuasaan raja Beng yang sudah hampir bobrok itu."

"Aneh, kalau tidak mengakui kekuasaan raja Beng, mengapa kalian mempunyai hubungan dengan Barisan Suka Rela?"

"Ngaco!" bentak Ang Hin, "siapa bilang mempunyai hubungan dengan Barisan Suka Rela?”

"Ada dua hal," kata Huru Hara, "pertama, mengapa dia ngotot hendak membunuh Bok kongcu. Kedua, salah seorang saudaramu itu mempunyai lencana sebagai anggauta Barisan Suka Rela. Lihatlah buktinya ini," Huru Hara mengunjuk lencana tadi,

Pimpinan gerornbolan gunung Hong-hong san itu rnenyambuti dan rnemeriksa, "Hm, aneh mengapa sam-te mempunyai lencana ini?"

"Mengapa heran? Bukankah kalian mempunyai hubungan dengan Barisan Suka Rela?"

"Tidak,” seru Ah Hin, "kami adalah gerombolan yang hidup bebas di gunung sini. Setiap orang yang lalu di  daerah gunung ini, entah dia orang Beng atau pasukan Ceng, tentu akan kucegat dan harus membayar cukai." “Hm, apakah engkau kira gunung ini milikmu sendiri?" seru Huru Hara.

Ang Hin menggeram, "Sekarang ini negara sedang perang. Siapa yang memiliki daerah ini belum dapat diketahui pasti. Hari ini masih daerah kekuasaan Beng tetapi besok atau lusa sudah direbut orang, lebih baik daerah ini menjadi milik kita, rakyat yang membutuhkan tempat dan makan"

"Kedua saudaramu jelas memiliki lencana Barisan Suka Rela, mereka tentu mempunyai hubungan. Tetapi mengapa engkau tak tahu? Apakah engkau tak punya hubungan dengan gerakan Barisan Suka Rela itu?"

"Sudah kukatakan," kata Ang Hin, "kami adalah rakyat bebas. Kami butuh hidup, persetan kerajaan Beng atau kerajaan Ceng. Mereka adalah raja2 yang hanya mementingkan enaknya sendiri saja. Raja Beng kek, raja Ceng kek, apa kebaikannya untuk kita. Toh kita juga harus mencangkul sawah sendiri, menanam padi dan memintal lawe. Semua atas hasil usaha kita, bukan raja yang memberi. Bahkan kita yang ditarik pajak."

"Engkau benar," sahut Bok Kian, "tetapi sayang sebenarnya itu untuk engkau sendiri. Andaikata engkau hidup di pulau kosong, mungkin pendirianmu benar. Tetapi engkau hidup disebuah negara yang mempunyai pemerintahan. Negara harus membentuk pasukan untuk menjaga keselamatan negara dan keamanan, harus memelihara pegawai untuk mengatur urusan pamerintahan, harus membangun jalan, jembatan dan hal2 yang menyangkutkan kepentingan rakyat. Tidakkah semuanya itu memerlukan beaya?. Itulah sebab, maka rakyat harus bayar pajak. Tidak semua biaya negara itu hanya tergantung pada pungutan pajak. Pajak hanya. merupakan salah sebagian kecil dari penghasilan negara." "Engkau mengatakan tak ada bedanya raja Beng dengan raja Ceng," kata Bok Kian lebih lanjut, "anggapan itu salah. Tentu saja ada bedanya. Engkau diperintah oleh raja orang Han atau bangsamu sendiri dengan diperintah oleh raja Ceng, lain suku. Sejahat-jahatnya raja Beng tetapi tentu masih lebih jahat raja Ceng. Dan ketiga kalinya, kalau semua orang mempunyai pikiran seperti engkau, lha negeri ini lalu apa jadinya? Semua orang rnenghendaki kebebasan hendak membentuk gerombolan sendiri2, tidak mau mengakui kekuasaan kerajaan. Lalu negara ini tidak lagi merupa suatu negara yang mempunyai pemerintahan teratur tetapi suatu negara yang terdiri dari gerombolan- gerombolan!"

"Hm, karena pamanmu menjadi mentri, maka engkau mati2an hendak membela kerajaan Beng. Tetapi ketahuilah, karni rakyat kelaparan dan kapiran di gunung Hong-hong- san ini tak perduli dengan kekuasaan raja lagi. Kami akan cari kehidupan didaerah yang kami kuasai ini."

"Pamanku memang mentri, tetapi aku bukan. Sekalipun begitu aku akan menetapi kewajibanku sebagai seorang rakyat yang harus membela negara dari serangan musuh, "kata Bok Kian," aku tidak mengganggu kalian tetapi mengapa kalian hendak mengganggu aku ?”

"Ya, kedua saudaramu itu hendak membunuh Bok-heng ini. Dan jelas mereka mempunyai hubungan dengan Barisan Suka Rela. Dengan begitu berarti engkau juga berjuang untuk membela kerajaan Beng, bukan ?" tanya Huru Hara.

"Tidak !" bantah Ang Bin, "aku tak tahu menahu kalau ji-te dan sam-te telah mengadakan hubungan dengan fihak Barisan Suka Rela. Mereka tak pernah memberitahukan hal itu kepadaku. Dan aku memang tak setuju bergabung dengau pihak manapun juga." "Mengapa ?" tegur Huru Hara.

"Hm," dengus Ang Hin, "tuh lihat mereka yang menamakan diri sebagai Lasykar Tani yang dipimpin Li Cu Seng itu. Mereka terdiri dari petani tertindas yang kelaparan sehingga mudah di hasut untuk memberontak. Setelah berhasil masuk ke kota-raja, eh, Li Cu Seng lalu cari enaknya sendiri saja, lalu mengangkat diri sebagai raja. Lasykarnya dihibur dengan kebiasaan boleh merampok harta dan wanita dari tiap kota yang diduduki. Petani2 yang bodoh menganggap Li Cu Seng seorang pemimpin yang jempol sehingga mereka setya sekali dan mengangkat Li Cu Seng sebagai raja. Pada hal mereka hanya diperalat saja."

"Hm, pandai sekali engkau mengupas kelemahan orang. Tetapi engkau sendiri ? Apakah kau juga tidak memperalat rakyat yang kelaparan? Bukankah engkau juga menganggap dirimu sebagai raja di gunung ini ?" tegur Huru Hara dengan tajam.

“Hai, engkau, pendekar kesiangan,” teriak Ang Hin marah, "engkau adalah tawanan menunggu hukuman. Mengapa tidak minta ampun kebalikannya engkau malah berani menghina aku

"Ang Hin," kata Huru Hara, "aku minta penegasanmu. Jawablah yang jujur. Engkau mempunyai hubungan dengan Barisan Suka atau tidak !"

"Tidak !"

“Jika demikian, akupun tak mau jadi tawananmu," seru Huru Hara.

"Apa katamu ? Tak mau jadi tawanan? Ha, ha, ha "

"Ha, ha, ha " tiba2 terdengar suara orang menirukan

gaya tertawa Ang Hin, “Hus, setau kuncung, engkau berani kurang ajaran menirukan aku tertawa ?" bentak Ang Hin.

"Ha, ha, ha ... mengapa tak berani tukang pandai!” 'Siapa tukang pandai ?'

'Engkau ! Bukankah engkau ini seorang tukang pandai- besi ?"

"Bangsat !" teriak Ang Hin, "rangket anak kuncung itu!” Beberapa anakbuah maju hendak menangkap Ah  Liong,

tetapi anak itu berkelebat menghindar dan menyelinap kebelakang  mereka  dan  menarik  celana  mereka.  Uh,  uh

……. kedua anak buah gunung Hong-hong-san itu segera berjongkok karena tali celananya terlepas. Sebelum mereka sempat memberesi tali celananya yang putus, tiba2 tubuh mereka terangkat dan dilemparkan ke meja Ang Hin, brakkk, geroobrak ..... kedua tabuh anakbuah gunung Hong- hong- san itu jatuh tertimpa meja sehingga Ang Hin harus loncat mundur untuk rrenghindar.

Saluruh anakbuah Ang Hin serentak mencabut senjata dan memberingas.

"Ang Hin, kalau aku dan kawan-kawanku melawan,  jelas tentu akan terjadi pertumpahan darah besar. Kasihan anakbuahmu yang tak berdosa itu. Baiknya begini saja. Silakan engkau pilih lawan yang mana, aku atau adikku. Kalau engkau menang, aku akan serahkan diri. Terserah engkau hendak memberi hukuman apa saja !"

Bok Kian terkejut. Ia memang belum kenal siapa Ah Liong yang kuncung itu.

"Ya, tukang pandai-besi, pilih saja aku yang kecil. Kalau engkau mampu mengalahkan aku, aku akan ikut engkau !" seru Ah Liong. Walaupun kheki tetapi Ang Hin malu kalau harus bertanding melawan Ah Liong. Serentak rnenuding Huru Hara, "Aku menghendaki engkau yang jadi lawanku !"

"Sialan !" teriak Ah Liong," mengapa engkau tidak rnemilih aku saja ?"

"Baik," sahut Huru Hara, "tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah?"

"Terserah kepadamu !"

"Bagus," seru Huru Hara, “hanya engkai boleh menyerang dulu

Ang Hin bergelar Thia-jiu-kam-kong atau Malaekat- bertangan-besi, Tinjunya memang sekeras besi dan tenaganya benar2 seperti raksasa. juga memiliki ilmusilat yang tinggi.

"Lihat serangan !" seru Ang Hin yang segera menyerang dengan tinju rnengarah ke dada Huru Hara.

Huru Hara tidak menghindar melainkan menyambar pergelangan tangan orang. Aug Hin terkejut. Dia hendak menggeliatkan tangannya menghindar tetapi kalah cepat. Gerak sambaran Huru Hara itu cepatnya bukan alang kepalang.

Ang Hin terkejut ketika pergelangan tangan dicengkeram. Ia berusaha untuk kerahkan tenaga dan meronta. Tetapi akibatnya malah runyam. Ia rasakan tulang ruas pergelangan tangannya seperti putus, sakitnya bukan kepalang sehingga dahinya bercucuran keringat. 

Tiba2 Huru Hara lepaskan cekalannya, "Terserah engkau sudah mengaku kalah atau belum!"

"Hem," desuh Ang Hin. Dia kekhi sekali. Dia yang menyandang gelar Thiat jiu-kim-kong Malaekat-tangan- besi, dalam satu gebrak saja sudah dapat dikuasai lawan. Merah mukanya.

"Ang Hin, rupanya engkau rnasih belum puas bukan?

Silakan engkau menyerang lagi," seru Huru Hara.

"Ambilkan senjataku!" teriak Ang Hin. Seorang anakbuahnya segera lari memberikan sepasang senjata Thong jin atau orang2an tembaga. Senjata jin atau orang- orangan tembaga. Senjata itu berbentuk seperti orang yang kedua tangannya bersidekap di dada, besarnya seperti bayi, panjang satu meter. Terbuat dari besi tembaga yang keras. Beratnya tiap senjata, tak kurang dari lima puluh kati.

Huru Hara mencabut pedang Tanduk-kerbau. Pikirnya kalau menggunakan pedang ini, aku dapat membereskan pertempuran dengan cepat. Asal aku tak memutar-mutar tubuhnya, dia tentu tak putus jiwanya seperti orang bertopeng tadi.

“Wut, wut, wat . . “. terdengar angin menderu-deru keras ketika Ang Hin memainkan sepasang senjata Thong-jin. Ngeri sekalian anakbuah gunung Hong hong-san menyaksikan permainan itu. Lebih2 apabila membayangkan betapa akibatnya nanti kalau Huru Hara sampai terhantam kedua senjata berat itu.

“Tring . . . . tring . . . “. terdengar dua kali bunyi bergemerincing ketika pedang Huru Hara menangkis salah satu senjata thong-jin yang lagi hendak melayang, pun ikut melekat pada pedang Huru Hara.

Ang Hin berusaha untuk menarik sepasang senjatanya tetapi sampai mukanya berkerenyut tegang, dia tetap tak mampu. "Celaka," pikir Huru Hara, "kalau dia terus menerus mengeluarkan tenaga untuk menarik senjatanya, dia tentu akan menderita luka. Lebih baik kupaksanya "

Ia menarik pedang itu, selekas Ang Hin terseret maju. Huru Hara segera mendupak perutnya, auh . . . . Ang Hin terpelanting rubuh. dua senjata thong-jin masih melekat pada pedang Huru Hara.

“Bagaimana, apakah engkau masih belum puas lagi?" tegur Huru Hara.

Ang Hin terlongong. Dia tak mengerti apa sebab sepasang senjatanya sampai melekat pada pedang lawan begitu keras. Berhadapan dengan Huru Hara, dia benar2 mati kutu tak dapat mengembangkan ilmu kepandaiannya.

Melihat pemimpinnya dirubuhkan, sekalian anakbuah gunung Hong-hong-san hendak menyerbu Huru Hara tetapi secepat itu Huru Hara sudah loncat kemuka menyambar tubuh Ang Hin dan diangkatnya tinggi2.

"Hayo, kalau kalian berani bergerak, pemimpinmu ini tentu akan kubanting hancur," teriak Huru Hara.

Dia tak takut kepada anakbuah gerombolan, tetapi dia merasa kasihan kalau sampai terjadi pertumpahan darah yang besar. Dengan siasat itu ia menghentikan gerakan anakbuah gerombolan.

Huru Hara menurunkan tubuh Ang Hin dan menegurnya, "Ang Hin, walaupun gerombolan yang engkau himpun ini gerombolan pengacau atau bega1, tetapi engkau adalah peminpin mereka. Seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas ucapannya. Nah, bagaimana janjimu?" 

"Baik," kata Ang Hin, "akulah yang bertanggung jawab sendiri. Jangan mengganggu anakbuahku.” “Kalau begitu, perintahkan anakbuahmu tenang dan duduk kembali di tempat masing-masing,” kata Huru Hara.

Setelah Ang Hin memberi perintah dan sekalian anakbuah gerombolan itu duduk lagi, maka Huru Hara berkata, “Coba katakan sendiri, hukuman apa yang engkau minta!”

“Terserah kepadamh.” “Sekarang engkau kubebaskan.” “Mengapa?”

“Karena engkau seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Anakbuahmu itu perlu pemimpin seperti engkau. Salurkanlah mereka ke arah jalan yang benar, jangan menjadi gerombolan pengacau yang tak berguna.”

“Ah, aku malu enjadi pimpinan mereka lagi. Aku seorang pemimpin yang tak becus.”

(Bersambung)

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar