Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 14 Eeh...

Jilid 14 Eeh...

Dibawah curahan berpuluh mata yang mengikuti gerak- geriknya, si kuncung Ah Liong berjalan mengisar ke belakang kuda itu. Sebenarnya ia hendak menarik ekor kuda itu sekuat-kuatnya. Dengan memasang tubuhnya sebagai tonggak penahan badan kuda, apabila dia menarik ekor, tentulah kuda itu dapat dilemparkan ke belakang.

"Tetapi ah, dia tentu kesakitan," Ah Liong merasa kasihan, "namun kalau kuangkat tubuhnya, kemungkinan kuda itu tentu akan meronta dan menyepak aku. Hm, lalu bagaimana, ya?" Masih bocah kuncung itu mondar-mandir mengelilingi kuda. Huru Hara tahu kesulitan- anak itu. Ingin ia membantunya tetapi ia tak tahu bagaimana caranya.

Tiba2 ia teringat akan si Bule. Kerbau itu besar dan berat sekali namun ia masih dapat mengangkatnya. Dan cara mengangkatnya karena kedua tangannya tak sampai untuk merangkul tubuh, kerbau itu maka dia pakai akal. Dia menyelundup kebawah perut si Bule lalu gunakan kepala dan kedua tangan untak mengangkat binatang itu.1

"Benar, mengapa tak kugunakan cara itu juga untuk mengangkat kuda ini?" pikirnya. Tetapi pada lain kilat ia membantah sendiri, "itu si Bule. Dia menurut saja. Tetapi kalau kuda hitam! itu? Dia tentu melonjak-lonjak!"

Ah Liong menarik-narik rambut kuncung seraya bergumam, "Hayo, jangan tidur saja. Keluarkanlah akalmu

. . . . "

Sekalian prajurit terlongong-longong melihat tingkah laku Ah Liong yang serba aneh. Dengan siapa dia bicara itu?

"Barangkali anak itu memang gila!" seru salah seorang prajurit.

"Anak setan sih!"

"Tetapi rupanya dia menarik-narik kuncungnya itu supaya dapat mengeluarkan pikiran."

''O, maksudmu dia hendak menarik supaya otaknya bekerja?"

"Mungkin."

"Ha, ha, benar, benar, rambutnya itu tentu ada hubungan dengan otaknya."

"Atau memang otaknya tumbuh rambut, * "Ha, ha, haaaa . , .."'

Demikian oceh dan gelak kawanan prajurit ketika melihat Ah Liong menarik-narik kuncungnya.

"Hm, agaknya Ah Liong ini hendak menyaingi keblo'onanku. Hm, tunggu saja besok kalau aku sudah tidak menjadi pendekar Huru Hara," diam2 Huru Hara menggerutu dalam hati.

Tiba2 Ah Liong berhenti menarik rambutnya dan lalu bersuit nyaring. Kawanan prajurit terkejut ketika melihat dari arah belakang muncul seekor kerbau bule yang terus menerjang masuk. Terpaksa prajurit2 itu menyiak ke samping memberi jalan.

Demi melihat seekor kerbau putih lari mendatangi, kuda hitam itu meringkik keras dan mengangkat kedua kaki- depannya keatas. Kesempatan itu tak disia-siakan Ah Liong. Serentak dia meyusup ke bawah perut kuda lalu mendorong kuda itu sekuat-kuatnya.....

"Hai.... !" terdengar pekik yang gegap dari mulut para prajurit berkuda ketika menyaksikan kuda hitam itu terlempar sampai satu tombak ke belakang,

"Hai, Bule, menaapa engkau kemari ? Hayo Iekas minggir lagi,' Ah Liong membentak si Bule. seperti mengerti bahasa manusia, kerbau bule itupun lari keluar gelanggang lagi.

"Bagaimana, bukankah aku mampu rnelemparkan kudamu?" seru Ah Liong kepada Tuka.

Sebelum Tuka menjawab tiba2 tetdengar derap kuda. Seoiang prajurit berkuda sedang melarikan kudanya menuju ke arah Kedai. Dan cepat sekali prajurit berkuda itu tiba, loncat dari kudanya dan berlari-lari menghampiri Tuka. '"Komandan, kami diutus Li ciangkun untuk menyerahkan surat kepada komaidan," kata prajurit itu, seraya menghaturkan sepucuk surat.

Waktu menyambuti dan melihat sampulnya Tuka terkejut dan buru2 membukanya. Komandan itu kerutkan dahi sehabis membaca. Anuak-buahnya terkejut tetapi tak ada yang berani bertanya.

"Ah, tidak apa2,"' kata Tuka yang rupanya tahu pandang tanya dari anakbuahnya, '"hanya ada pemberitahuan dari kolonel Totay."

Tuka memandang Huru Hara dengan tajam Sejenak kemudian ia mengangguk, "Bukankah da beberapa hari yang lalu pernah mengunjungi kolonel Totay di kota Sam- kwan ?" tanyanya saat kemudian.

"Ya," sahut Huru Hara.

"Jika demikian, silakan anda ikut kami." Huru Hara terkejut,

"Mengapa ?"

“Kami akan menjamu anda." "Menjamu aku ? “Kenapa?”

"Kolonel Totay merasa berhutang budi kepada anda dan hendak membalas kebaikan anda.”

''Oh, tetapi aku sudah bilang kepadanya. Karena dia menghargai aku maka akupun balas menghargai dia. Tetapi setelah peristiwa itu selesai kita akan berhadapan sebagai musuh."

"Itu kata anda," kata Tuka. “tetapi kami orang Boan harus tahu membalas budi. Anda harus ikut kami kedalam markas, agar kami dapat melaksanakan perintah kolonel Totay untuk menjamu anda." "Tidak, aku masih ada urusan lain."

"Benar, engkoh Hok. Jangan mau ikut dengan tukang jagal itu, Dia seorang manusia yang tak pegang janji.

"Eh, buduk kecil, siapa bilang aku tak pegang janji ?

Kalau engkau menghendaki, ambillah kuda hitam itu." "Benar ?"

''Sudah tentu sungguh," jawab Tuka, "selain itu nanti engkau boleh minta apa lagi. Yang jelas engkau dan engkohmu akan kami undang masuk ke kota untuk kami jamu!"

"Tidak, tidak!" teriak Ah Liong, mana ada orang makan gratis? Aku tak punya uang untuk membayar hidanganmu.”

Tuka geleng2 kepala dan tertawa, “Jangan kuatir, anak kecil, kami takkan minta bayaran ikan ayam, babi, sapi, semua ada.”

Sekalian piamrit berkuda terlongong-longong melihat perobahan sikap yang mendadak dari pemimpin mereka terhadap kedua orang itu, Lebih2 ketika Tuka dengan sikap hormat dan ramah hendak mengundang kedua orang itu masuk kota dan dijamu. Siapakah kedua manusia nyentrik itu. Mengapa Tuka begitu mengindahkan sekali kepada mereka ? Pikir kawanan prajurit berkuda itu.

Mendengar hidangan berbagai ikan itu. Ah Liong ngiler atau menitikkan air liur. Ia memandang pada Huru Hara.

Saat itu Huru Hara sedang menimang-nimang. Jika ia menerima undangan mereka, kemungkinat besar tentu akan terjadi peristiwa seperti beberapa hari yang lalu apabila lasykar rakyat nanti malam akan melakukan penyerangan. Dengan demikian segala alasan dan keterangan tak mungkin akan diterima oleh lasykar rakyat apabila ia mengatakan bahwa dia bukan seorang penghianat yang berhamba pada kerajaan Ceng.

Namun ketika ia melirik kepada Ah Liong dilihatnya mata anak itu seperti meminta dia mau menerima undangan, "Ah, si kuncung tentu sudah lapar. Pada hal kedai ini tidak menyediakar makanan. Aku sebaga seorang engkoh harus memikirkan kesehatan adik, pikirnya."

"Tetapi," katanya dalam hati sesaat kemudian, "soal makan sih gampang, kalau perlu tidak makan, cukup minum air saja. Biar dia dilatih tahan lapar."

Selelah mendapat keputusan itu, ia deliki mata kepada Ah Liong sehingga Ah Liong ketakutan dan menunduk.

Rupanya permainan mata antara Huru Hara dengan Ah Liong itu dapat diketahui Tuka. Dia tertawa, "Bagaimana, engkoh kecil, bukankah engkau belum makan?"

"Tetapi . . . , " Ah Liong tak melanjutkan kata-katanya dan hanya melontar lirikan mata sebentar kearah Huru Hara.

"Ah, engkohmu tentu setuju saja. Ini adalah perintah atasanku. Kalian setuju atau tidak, terpaksa aku harus melaksanakan."

"Maksudmu engkau hendak memaksa?" tanya Ah Liong.

"Terpaksa begitu. Daripada harus berkelahi melawan berpuluh-puluh prajurit berkuda yang bersenjata lengkap, bukankah lebih enak kalau kalian menerima undanganku? Percayalah, aku tak bermaksud buruk melainkan hanya ingin menjamu. Habis itu, terserah kalian hendak pergi kemana saja, kami takkan mengganggu.”'

Huru Hara terkejut. Ia menyadari apa yang dihadapinya saat itu. Jelas Tuka kukuh hendak melakukan perintah atasannya. Kalau ia menolak, tentu akan dipaksa dengan kekerasan.

"Ya, benar," akhirnya ia menimbang, "kasihan si kuncung. Sejak pagi tadi dia belum makan. Toh setelah habis makan, nanti aku dapat berangkat lagi. Tak perlu menginap agar jangan sampai terhalang oleh serangan lasykar rakyat."

"Jika memang begitu, agar engkau tidak mendapat kesalahan dari atasanmu, aku bersedia memenuhi undanganmu," katanya kepada Tuka.

Begitulah Huru Hara dan Ah Liong segera dibawa masuk kedalam kota. Sebelumnya juga terjadi peristiwa kecil. Tuka memerintahkan anakbuahnya untuk menyerahkan kuda kepada Huru Hara supaya dipakai. Tetapi Ah Liong yang menolak, "Tidak, aku sudah berjanji pada kuda hitam tadi kalau tak mau menaiki kuda."

"Lalu kalian naik apa?" tanya Tuka.

"Aku punya tunggangan sendiri," kata Ah Liong lalu bersuit. Kerbau bule berlari-lari mendatangi. Ah Liong mengajak Huru Hara naik kerbau bule itu.

Prajurit2 berkuda termasuk Tuka, diam2 geli melihat tingkah laku kedua manusia aneh itu.

Memang apa yang dijanjikan Tuka, ternyata sungguh. Malam itu Huru Hara dan Ah Liong dijamu besar-besaran. Bocah kuncung itu makan dengan lahap sekali, bahkan diapun berani minum anggur. Dikata anggur tetapi juga mengandung alkohol ( arak ) . Memang bermula rasanya manis dan lezat tetapi kalau terlalu banyak dapat membuat kepala pusing juga.

Melihat bahwa Tuka juga ikut makan dan minum maka Huru Harapun tidak curiga dan membiarkan Ah Liong minum. Biarlah anak itu mencicipi rasanya anggur, pikirnya. Pada hal dia sendiri juga tak tahu tentang jenis anggur yang dapat memabokkan.

"Terima kasih, komandan," kata Huru Hara, "kiranya sudah cukup anda memberi sambutan yang baik kepada kami. Maaf, kami hendak melanjutkan perjalanan lagi."

"Kemana?" tanya Tuka.

"Mencari markas lasykar rakyat yang beberapa hari yang lalu menyerang kota ini."

"O, tuan hendak mengobrak-abrik mereka?" tanya Tuka yang mengira bahwa setelah disambut dengan penuh kehormatan, tentulah Huru Hara akan berfihak kepada pasukan Ceng.

"Bukan," sahut Huru Hara, "mereka berjuang membela negara. Aku takkan memusuhi mereka."

"Lalu apa maksud anda mencari mereka?"

"Aku hendak minta pamanku yang ditawan mereka.” "O, apakah anda perlu bantuan? Aku akan menyediakan

pasukan untuk menyertai anda kesana."

"Tak perlu," jawab Huru Hara, "kukira aku sendiri dapat mengatasi hal itu."

"Tetapi saat ini sudah malam. Apakah tidak lebih baik besok pagi saja anda berangkat. Malam ini anda boleh bermalam di markas kami."

"Terima kasih, tetapi kurasa kalau malam ini,  tentu dapat bertemu dengan mereka."

"Maksud anda, karena mereka biasa keluar menyerang musuh pada malam hari?"

Huru Hara mengiakan. "Tetapi kali ini kurasa tidak," kata Tuka dengan nada yakin, "karena lima li keliling kota ini, telah kami jaga dengan pasukan yang kuat,. Kalau mereka berani menyerang, tentu sebelum masuk kota sudah dihancurkan."

"Hm, tetapi aku tetap hendak berangkat …..” eh, Ah Liong, mengapa engkau .... " tiba2 Huru Hara hentikan kata-katanya karena melihat Ah Liong meletakkan kepalanya ke meja. Cepat dia menggo!ek-golekkan tubuh anak itu, "Ah Liong kenapa engkau? . . . Ah Liong, bangunlah ............. “ Tetapi Ah Liong tak menyahut bahkan malah mendengkur. Dia tertidur pulas sekali.

Serentak Huru Hara kerutkan dahi, "Mengapa anak ini ?" serunya seraya menikamkan pandang mata tajam2 kepada Tuka.

"O, mungidn dia pening kepalanya," sahut Tuka, "memang kalau tak biasa minum arak, minum anggur yang tak sekeras arak, juga dapat mabuk. Bukankah kita juga tidak mabuk ?'*

Huru Hara mengangguk, pikirnya, "Wah, anak ini memang merepotkan....." tetapi ketika pandang matanya tertumbuk pada. wajah Ah Liong yang polos kekanak- kanakan, ibalah hati Huru Hara. Dia teringat bahwa dulu diapun pernah jadi anak kecil. Dia merasa lebih baik nasibnya dari Ah Liong. Dia masih mempunyai seorang ayah tetapi Ah Liong tidak. Ah Liong hidup bersama seorang nenek yang bukan neneknya sendiri. Dan lagi nenek itu amat bengis. Salah sedikit saja, kepala Ah Liong tentu digebuk.

"Kurasa anda tentu tak keberatan memenuhi permintaanku supaya bermalam saja disini. Akulah yang menjamin keselamatan anda berdua," Tuka menyusuli kata- katanya. Kasihan akan Ah Liong, Huru hara terpaksa menerima permintaan Tuka. Demikian Huru Hara dengan membopong Ah L ong segera diantar ke sebuah bangunan yang menyerupai sebuah paviliun, terletak di belakang markas tentara Ceng yang semula merupakan gedung tihu atau residen kota Sam-kwan.

Ah Liong masih tidur pulas di pembaringan tetapi Huru Hara tetap duduk bersemedhi. Betapapun dia tetap tak sreg tidur di markas tentara Ceng.

"Bagaimana kalau nanti lasykar rakyat benar2  menyerang kota?" pikirnya. Satelah menimang-nimang beberapa waktu, ia memutuskan. Apabila lasykar rakyat menyerang kota, dia akan membawa Ah Liong lari tinggalkan kota itu agar jangan sampai kesampokan dengan mereka.

Setelah soal itu dapat dipecahkan, pikirannya masih melayang pada sikap Tuka. Ia heran mengapa Li Hang, panglima yang memimpin pasukan Ceng tak tampak di gedung itu. Mengapa yang berkuasa seoiah-olah hanya Tuka saja ?"

Malam itu sunyi sekali. Tak berapa lama ia mendengar suara terompet berbunyi. Ah, mungkin pertandaan waktu bagi anak tentara di markas ini, pikirnya.

Pada saat dia akan mencapai keheningan cipta, tiba2 ia mendengar suara debur langkah orang berjalan. Makin lama makin terdengar jelas. Langkahnya ringan dan menuju ke kamar Huru Hara. Tiba di muka pintu, langkah itu berhenti dan sebagai gantinya terdengar suara pintu diketuk pelahan.

"Siapa !" tegur Huru Hara. "Hamba, pelayan." Huru Hara agak berkurang tegangnya, Suatra itu jelas diri seorang perempuan. Dia segera turun dari pembaringan dan membuka pintu.

Seorang pelayan yang masih remaja dan cantik tampak tegak di muka pintu dengan membawa penampan, "Maaf, hohan, hamba diperintahkan komandan untuk mengantarkan minuman teh dan buah."

"O,"

"Apakah hohan mengidinkan hamba masuk menaruh penampan ini di meja ?" tanya pelayan cantik itu.

"O, boleh." kata Blo'on seraya menyisih ke lamping. Tiba2 ia mendapat pikiran untuk mencari keterangan dari mulut pelayan muda itu.

"Engkau orang Han, bukan ?" tanyanya, "Ya."

"Siapa namamu ?” "Panggil saja Ah Kiok."

"Sudah lama engkau bekerja disini ?"

Ah Kiok menunduk dan berkata dengan suara sember, "Waktu kota ini diserang pasukan Ceng penduduk kalang kabut melarikan diri. Himba terpisah dari orangtua hamba dan ditangkap oleh prajurit Ceng. Mereka kasar dan buas, untung datlang pak komandan yang kasihan kepada hamba dan suruh hamba bekerja di markas ini sebagai pelayan."

Huru Hara mengangguk-angguk. "Karena perang maka seorang dara yang jelita terpisah dari orangtua dan menjadi pelayan di markas musuh. Karena perang, rakyat kehilangan jiwa dan harta benda. Mengapa harus perang ? Hm, orang Boanlah yang menjadi biangkeladi kesengsaraan rakyat ini. Karena mereka menyerang kerajaan Beng maka negara kacau, rakyat menderita," pikir Huru Hara.

"Salah siapa ?" ia bertanya sendiri, "mengapa negara kacau dan rakyat sengsara ? Mengapa! Ah Kiok sampai kehilangan orangtuanya ? Ya, memang benar, itulah gara2 bangsa Boan yang hendak menguasai negara kita. Tetapi mengapa mereka mampu menduduki kerajaan ini ? . ....

Tuha, salah kita sendiri, orang kerajaan Beng. Karena raja selalu bermanja diri dalam kesenangan dan hanya mendengarkan omongan mentri2 dorna, maka pemerintahan tak diurus lagi. Mentri2 rakus dan korup sibuk memperkaya diri. Jenderal2 berebut pengaruh dan kekuasaan. Suap, sogok dan tindakan sewenang-wenang menyimpang dari hukum, sudah merajalela. Akibatnya negara !emah dan mudah dikalahkan orang Boan . . ,."

"Orang Boan memang salah tetapi yang paling salah adalah kerajaan Beng sendirl yang tak becus mengurus negara. Jadi jelas, yang menyebabkan rakyat sengsara ini adalah kerajaan Ceng dan kerajaan Beng sendiri. Hm, jika demikian, aku harus memberantas keduanya !

"Hohan, apakah hohan tidak suka minum ? Teh wangi ini dapat menyegarkan semangat. Idinkanlah hamba menuangkan untuk hohan," kata Ah Kiok seraya membuka kain penutup penampan. Sebuah porong atau teko yang bersalut emas dan dua buah cawan, Disamping terdapat buah semangka dan kwaci.

Huru Hara menerima cawan yang dipersembahkan pelayan cantik Ah Kiok dan meneguknya. Teh itu memang harum sekali. Kemudian dengan sikap menghormat. Ah Kiok menghaturkan seiris buah semangka. Terpaksa Huru Hara memakannya. "Ah Kiok', siapakah panglima pasukan Ceng di markas ini?" tanya Huru Hara sembari memakan semangka.

"Li Hong ciangkun." "Mengapa dia tak kelihatan ?"

"Dia sedang di ruang peribadinya." "O, apakah dia tak suka keiuar ?" "Jarang."

' Apakah dia sibuk sekali ?" "Tidak."

"Lalu apa kerjanya ?"

"Minum arak dan dikerumuni.gadis2 cantik." “O. begitulah kerjanya ?"

"Tiap malam."

"Ah," Huru Hara mendesuh, "mengapa jenderal semacam itu dipakai orang Boan ?"

"Justeru orang2 semacam itulah yang disenangi orang Boan."

"Ih, engkau aneh. Apa maksudmu ?"

"Begini hohan," Ah Kiok melontarkan sebuah senyum yang menikam hati kepada Huru Hara, "kerajaan Ceng hendak menggunakan tenaga jenderal Beng yang mau berhamba kepada Ceng. Tetapi kerajaan Ceng tak dapat mempercayai seratus persen kepada jenderal2 yang berhamba kepada mereka. Oleh karena itu mereka menyediakan hiburan, arak dan wanita, untuk menina- bobokkan jenderal2 Beng itu. Sepintas, tindakan itu seperti suatu penghargaan kerajaan Ceng kepada mereka tetapi sesungguhnya kerajaan Ceng memang sengaja hendak membius semangat dan menghancurkan jiwa jenderal2 itu."

'"O, wanita2 cantik yang mengerumuni panglima Li Hong itu memang khusus fihak Ceng yang menyediakan ?" tanya Huru Hara.

"Ya."

Huru Hara mengangguk. Kini dia baru mengerti mengapa Li Hong tak pernah kelihatan dan kekuasaan pasukan seolah di tangan Tuka, semua.

"Tetapi dari mana saja orang Ceng dapatkan gadis2 cantik itu ?"

"Mereka menghubungi Hong-hian-hoa." "Apa itu Hong-hian-hoa ?"

“Hong-hian-hoa artinya Bunga Persembahan, Sebuah badan yang menghimpun gadis2 dan wanita yang sedia menjadi bunga persembahan.”

"Apa maksud 'bunga persembahan' itu ?" tanya Huru Hara pula.

"Sudah umum terjadi dalam peperangan. Fihak yang menang tentu akan menikmati kemenangannya. Merampas harta- benda rakyat, menindas kaum lelaki dan merusak kaum wanitanya, Demikian yang terjadi dalam peperangan sekarang. Setiap menduduk kota, prajurit2 Ceng tentu berpesta pora memuaskan nafsu kesenangannya."

"Entah kapan dan dimana, muncullah sebuah perkumpulan yang menamakan diri sebagai Hong-hian-hoa. Hong-hian-hoa selalu menawarkan bantuan kepada tentara pendudukan, untuk menyediakan gadis2 cantik sebagai hiburan."

"Hm, terkutuklah Hong-hian-hoa!" seru Huru Hara. "Mengapa ?"

"Karena mereka telah mengorbankan gadis-gadis yang tak berdosa"

"Tidak," bantah Ah Kiok," Hong-hian hoa tidak pernah memaksa tetapi gadis2 itu sendiri yang dengan suka rela menyerahkan diri."

"Engkau gila !" bentak Huru Hara, "tak mungkin gadis yang baik mau berbuat begitu!"

Ah Kiok tertawa, "Apa ukuran baik yang menjadi pegangan tuan ? Kesucian dan kehormatan diri ?"

"Tentu."

"Kesucian atau kehormatan diri itu hanya untuk kepentingan peribadi. Agar dapat memperoleh jodoh yang baik, terhormat dan berpangkat. Tetapi tiada kepentinganya dengan rakyat banyak."

Huru Hara tertegun.

"Negara diserang musuh, peperangan berkecamuk dimana-mana, rakyat menderita kesengsaraan dan kelaparan, nasib bangsa diujung tanduk .... adakah orang masih mementingkan tentang kesucian dan kehormasan diri sendiri ? Setiap saat, setiap detik, akan jatuh korban gadis-2 terhormat, puteri orang berpangkat, siocia orang hartawan, bahkan wanita2 yang menjadi isteri orang2 yang terhormat dan berkuasa dalam kerajaan Beng, Prajurit2 musuh tak membedakan antara gadis miskin dengan yang kaya, gadis orang kecil dengan isteri orang berpangkat. Dimata mereka, orang berpangkat, hartawan dan rakyat kecil, orang miskin, sama saja. Sama2 orang taklukan yang boleh dijadikan apa saja. Yang berbeda hanya soal wajah. Kalau wanita itu cantik, tak peduli dia gadis orang miskin atau orang kaya, rakyat kecil atau orang berpangkat, tentu akan diambilnya

..."

Huru Hara masih termangu mendengarkan.

"Menyadari akan hal itu maka timbullah per kumpulan Hong-hian-hoa yang siap menyediakan wanita2 untuk prajurit2 musuh. Wanita2 cantik itu tahu dan menyadari apa yang akan terjadi pada diri mereka, namun mereka tetap rela. Jika kaum lelaki dapat mengabdikan diri menjadi pra jurit dan berperang melawan musuh, mengapa kaum wanita tidak? Tetapi karena mereka kaum lemah, mereka tidak dapat mengikuti jejak kaum lelaki tetapi memilih jalan tersendiri."

Ah Kiok berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi, "Biar masyarakat menganggap perbuatan itu hina, biar dunia menuduh perbuatan itu melacur, biar kaum lelaki yang pura-pura menjunjung kehormatan tetapi sesungguhnya menginjak-injak kehormatan wanita, biar kaum wanita yang menganggap dirinya suci akan tetapi hanya suci untuk kepentingan diri peribadi, biar! Namun Hong-hian-hoa tetap menempuh jalan dengan caranya tersendiri. Rela mengorbankan diri dan kehormatannya, demi untuk menyelamatkan sesama kaum wanita, agar jangan seluruh wanita negara kita menjadi korban keganasan nafsu prajurit2 Ceng yang sedang dimabuk kemenangan itu. Agar rakyat dari kota dan daerah yang telah diduduki musuh itu terhindar dari kekejaman mereka."

"Lho, bagaimana sampai begitu jauh tujuan yang hendak dicapai Hong-hian-hoa itu?" Huru Hara heran.

"Ya," sahut Ah Kiok, "mereka pandai merayu pembesar2 tentara Ceng sehingga tidak jadi mengeluarkan peraturan yang membuat rakyat sengsara. Bahkan mereka kan telah banyak menolong pendekar2 yang tertangkap karena memusuhi kerajaan Ceng sehingga tak sampai dihukum mati. Apakah kesemuanya itu tidak bermanfaat bagi kepentingan rakyat? Apakah hal itu bukan suatu perjuangan? Apakah tindakan itu bukan suatu pengabdian dan pengorbanan yang besar?"

Huru Hara mengangguk, "Ya, kalau memang begitu, mereka juga harus dianggap sebagai pejuang. Memang pejuang bukan hanya mereka yang berjuang di medan perang. Pahlawanpun bukan hanya mereka yang berjasa dalam peperangan, tapi pahlawan itu dapat terjadi dimana- mana. Pahlawan peri-kemanusiaan, pahlawan kebenaran, pahlawan keadilan, pahlawan menyelamatkan rakyat seperti yang dilakukan wanita2 Hong-hian-hoa itu."

"Terima kasih, hohan," kata Ah Kiok.

"Lho, mengapa engkau yang berterima kasih kepadaku?"

"Aku seorang wanita, idinkanlah aku mewakili kaum. wanita Hong-hian-hoa itu untuk mengucapkan terima kasih atas pujian tuan. Tetapi, ah. " Ah Kiok menghela napas.

"Mengapa?"

"Jarang terdapat orang yang mengerti seperti tuan. Pada umumnya kaum lelaki tentu menghina tindakan Hong-hian- hoa. Lebih2 kaum wanita, tentu merasa jijik. Tetapi biarlah. Memang Hong-hian-hoa sengaja bertindak begitu untuk menghina kaum lelaki yang tiada berguna!"

"Lho, kenapa?"

“Coba hohan pikirkan," kata Ah Kiok, "siapa yang bertanggung jawab akan keadaan ini sehingga wanita2 Hong-hian-hoa sampai nekad bertindak begitu?"

"Siapa?" balas Huru Hara. "Siapa lagi kalau bukan kaum lelaki. Raja, mentri2 jenderal?, pembesar?, bukankah mereka kaum lelaki semua? Tidakkah karena mereka tidak becus mengurus negara, karena mementingkan diri untuk menumpuk harta dan mencari kesenangan, sehingga negara lemah dan dapat diserang musuh? Kalau wanita2 Hong-hian-hoa berbuat begitu, tak lain dan tak bukan hanyalah merupakan tindakan untuk menampar muka kaum lelaki itu. Mereka memprotes dengan cara mereka tersendiri."

Huru Hara tertegun. Ia tak mengira bahwa dari mulut seorang pelayan cantik akan muncul cerita tentang suatu perkumpulan wanita yang menamakan diri Hong-hian-hoa yang mempunyai tujuan sedemikian luas.

"Eh, mengapa engkau tahu begitu jelas seperti engkau ini juga seorang anggauta dari Hong-hian-hoa?" tanya Huru Hara.

"Aku mendapat keterangan dari beberapa wanita yang berada di markas ini."

"Apakah mereka anggauta Hong-hian-hoa?" "Ya."

“O. engkau maksudkan mereka yang tengah merayu Li Hong itu?"

"Hohan tentu dapat menarik kesimpulan sendiri. Oleh karena itu mereka sangat membenci manusia2 yang rela merendahkan diri menjadi hamba kerajaan Ceng!" kata Ah Kiok seraya memberi lirikan mata yang tajam kepada Huru Hara.

Huru Hara ge!agapan. Ah Kiok segera menuangkan teh lagi untuk Huru Hara. Beberapa saat kemudian Ah Kiokpun mengundurkan diri. I Seorang diri Huru Hara masih merenungkan keterangan pelayan cantik itu. Masih terngiang-ngiang kata2 Ah Kiong tadi kaum lelakilah yang menjadikan kesengsaraan……..

"Celaka, dia memaki habis-habisan pada orang laki, aku tentu termasuk yang di-maki2 itu," Huru Hara bergeliatan seperti cacing kepanasan.

"Raja, mentri, jenderal, pembesar2 yang serakah dan goblok itulah yang menyebabkan aku dimaki-maki wanita2 Hong-hian-hoa. Ahhh, memang benar, wanita2 itu tidak salah. Aku tak boleh marah kepada mereka. Yang salah adalah kaumku sendiri. Manusia2 laki yang merusak negara dan menyengsarakan rakyat itu harus dibasmi. Ya, tentu akan kubasmi. "

Waktu mencapai perenungan itu. Huru Hara merasa capek sekali. Capek otak, capek badan. Rasa capek itu makin mencengkam dan akhirnya muncullah gejala baru, ngantuk. Ya, ia merasa ngantuk sekali dan ingin tidur.

"Aneh, biasanya aku tidak begini," setitik pikiran sadar yang masih tersisa dalam benaknya menimang-nimang, "mengapa malam ini aku merasa lemas dan ngantuk sekali .

. . bluk . . . . " ada saat mengucapkan kata2 terakhir, jatuhlah Huru Hara ke pembaringan. Dia tertidur lelap, menyusul Ah Liong ke alam impian.

Malam makin sunyi. Entah berselang berapa la:na, tiba'2 terdengar langkah kaki orang menuju ke kamar Huru Hara. Pintu yang tak sempat dikunci Huru Hara, pun segera terbuka dan masuklah seorang gadis. Ah, ternyata Ah Kiok si pelayan cantik tadi.

Dengan hati2, Ah Kiok menutup pintu lalu pelahan- lahan menghampiri ke tempat Huru Hara. Ia tegak berdiri memandang Huru Hara yang terkulai pulas. "Hm, sayang," gumam Ah Kiok, "seorang pemuda yang tampan, mau berhamba pada orang Boan. Sebenarnya aku tak sampai hati membunuhmu tetapi aku telah mengucap sumpah dihadapan ketua bahwa aku tak boleh merasa kasihan atau jatuh hati kepada pemuda yang menjadi budak kerajaan Ceng "

Ah Kiok diam merenung. Rupanya terjadi pertentangan dalam batinnya. Wajahnya tampak mengerut tegang. Tetapi beberapa saat kemudian dia tampak tenang dan yakin.

"Tidak! Aku tak boleh menuruti suara hati. Aku tak boleh menghianati perjuangan saudara2 dari Hong-hian-hoa yang telah rela mengorbankan jiwa dan kehormatannya. Aku hanyalah sebutir pasir dari bahan campuran yang akan menjadi tembok pelindung kaumku. Hohan. jangan engkau salahkan aku dan sukalah engkau beristirahat dengan tenang di alam baka . .

. . "

Tiba2 Ah Kiok mencabut

belati dan terus diayunkan ke dada Huru Hara.

“Hai, main mata ya? Apa lu kira gua ini pacar lu , "

tiba? terdengar suara melengking. Ah Kiok terkejut dari menyurut mundur Ketika  berpaling dilihatnya Ah Liong sudah berdiri dan menudingnya. Seketika gemetarlah Ah Kiok karena merasa perbuatannya hendak membunuh Huru Hara telah dipergoki anak laki yang diduganya tentu adik Huru Hara.

'"Lho, ngajak senyum? Uhh, engkau genit ya?" anak kuncung itu maju menghampiri ke muka Ah K ong dan menuding.

"Tidak, siauya ( tuan kecil ) , hamba tidak berbuat suatu apa terhadap engkoh siauya …”. kata Ah Kiok seraya berlutut.

"Mentang2 lu bertubuh gagah perkasa, Apa lu kira gua tak mampu mengangkat tubuh lu?" Ah Liong masih mengoceh.

"Tidak, siauya, hamba tidak membanggakah tubuh hamba ini perkasa. Jangan siauya mengankat tubuh hamba

. . . . "

"Lho, masih main mata lagi?" teriak Ah Liong "Tidak, siauya, tidak," kata Ah Kiok.

"Lu kira gua tak mampu mencabut bulu mata lu itu?" tiba2 Ah Liong mencabut sepasang sumpit yang terselip di pinggangnya dan sebelum Ah Kiok tahu apa yang akan terjadi secepat kilat supit melayang dan aduhhhh. Ah

Kiok menjerit kesakitan karena dua lembar bulu matanya telah dicabut dengan supit oleh anak kuncung itu.

"Mengapa engkau sudi berhamba pada majikanmu. Dia seorang majikan kejam. Engkau diajak perang, kalau menang dia yang mendapat pangkat. Kalau kalah, dia tak mau mengubur bangkaimu .. . Tuh, lihat, betapa kejam majikanmu itu. Dia berpakaian tetapi engkau tak diberi celana dan baju. " "Ikut aku saja, ya ? Akan kulepas engkau ke alam bebas. Akan kubelikan celana baru . . "habis berkata Ah Liong bersuit lalu tiba tiba berputar tubuh dan naik ke. ranjang

lagi dan tidur mendengkur.

Sudah tentu Ah kiok kaget setengah mati, ia memberanikan diri menghampiri ke dekat ranjang dan memang anak itu benar2 tidur mendengkur.

"Ah, anak itu hanya bermimpi dan mengingau," barulah saat itu Ah Kiok tersandar. Ia teringat memang dulu punya seorang bujang yang cering bermimpi begitu, yaitu bangun dan berjalan-ja!an keluar lalu balik masuk ke kamar tidur lagi.

"Setan cilik ini ada saja, sampai aku ketakutan setengah mati tadi," gumamnya.

Setelah menenangkan hati, mulailah ia menghampiri ranjang tempat Huru Hara terkulai tidur.

"Kali ini aku harus berhasil," setelah meneguhkan tekad, dia terus ayunkan belati kearah dada Huru Hara."

Brakkkk....."Tunggu !" tiba2 pintu terbuka dan terdengarlah sebuah bentakan yang bengis.

Kalau saat itu halilintar mele'us, mungkin Ah Kiok tidaklah sekejut waktu dia berpaling ke belakang, "Komandan. , " serunya lunglai.

Memang yang masuk dan mencegah Ah Kiok itu adalah Tuka sendiri. Tidak kecewa panglima besar pasukan Ceng menaruh kepercayaan kepada Tuka karena ternyata Tuka seorang perwira yang penuh tanggung jawab akan tugasnya.

Dikala jenderal Li Hong sedang bersenang-senang dengan wanita cantik dan prajurit2 dalam markas sudah mendenkur,   Tuka   masih   keluar   meronda   ke sekeliling penjuru markas. Demikian yang dilakukan tiap malam seperti pada malam itu juga.

Dia terkejut ketika melihat sesosok bayangan hitam menyelinap hilang dibalik serambi belakang yang gelap. Dia segera mengejar tetapi kehilangan jejak. Namun dia tak putus asa, "Tak mungkin apa yang kulihat tadi hanya bayangan saja. Dia tentu seorang manusia," pikirnya.

Setelah beberapa waktu menghampiri petak2 bangunan yang terletak di bagian belakang gedung, tiba2 ia terkejut karena mendengar suara suitan. Jelas suitan itu berasal dari paviliun tempat Huru Hara menginap. Serentak ia lari menuju ke tempat itu. Dan sesaat mendorong pintu, ia terkejut karena melihat seorang gadis sedang mengangkat tangan hendak menikam seorang lelaki yang tidur telentang di ranjang. Kuatir tak keburu mencegah, lebih dulu dia berteriak. Ternyata teriakannya itu berhasil menghentikan wanita itu.

"Engkau Ah Kiok !" kejut Tuka bukan kepalang ketika menghampiri dan melihat siaoa gadis yang hendak membunuh itu.

"Be ... nar, komandan," sahut Ah Kiok gemetar. "Engkau hendak membunuh tetamuku ini?"

Ah Kiok menunduk tak menjawab.

"Jawab, Ah Kiok ! Mengapa engkau hendak membunuh dia ?" setelah tahu bahwa yang tidur diatas pembaringan itu Huru Hara, Tuka pun mulai mengajukan pertanyaan yang bengis kepada Ah Kiok.

"Dia telah menghina hamba." "Menghina bagaimana ?" "Dia dia telah memaksa hamba untuk melayani nafsu

binatangnya."

Tuka berpaling memandang Huru Hara, Tetapi dia tidur pulas. “Mengapa engkau mengatakan dia telah mencemarkan engkau?"

"Benar, komandan," sahut Ah Kiong, "karena malu, hamba nekad meracuninya. Dan agar dia benar2 mati maka hamba hendak menikamnya "

"Oh," Tuka terus membungkuk memeriksa pernapasan Huru Hara. Tengah dia melekatkan telinga ke dada Huru Hara, sekonyong-konyong sebuah benda tajam yang dingin telah menusuk ke punggungnya, cretttt.....

"Aduhhhh," Tuka menjerit terus menggelepar rubuh ke lantai, "engkau, budak hina..,." Dia berteriak tetapi Ah  Kiok sudah melarikan diri.

Tika menahan kesakian. Dia tak dapat mencabut belati yang menyusup di punggungnya.

"Ah kalau aku sampai kehabisan darah, tentu mati," pikirnya. Dengan menahan derita kesakitan yang hebat, dia mengerahkan segenap sisa tenaganya dan bersuit sekuat- kuatnya. Habis bersuit dia terus pingsan tak sadarkan diri.

Tetapi usaha Tuka itu tak berhasil. Memang dalam malam yang sunyi itu, suitannya cukup terdengar jelas tetapi para prajurit sudah pada mendengkur. Sebenarnya suitan itu terdengar juga oleh dua orang prajurit yang bertugas meronda tetapi mereka tak bertindak mencarinya.

"Apakah Itu?" tanya salah seorang dari kedua prajurit peronda itu kepada kawannya. Tetapi kawannya hanya menjawab, "Ah, apa lagi kalau bukan dari kamar Li ciangkun yang tengah bersenang-senang itu! Bukankah tiap malam mereka tertawa-tawa sampai larut malam?" Dan kedua peronda itupun tak menghiraukan suitan itu. Mereka melanjutkan tugasnya meronda berkeliling gedung markas.

Adalah karena kelengahan itu maka baru pada keesokan harinya peristiwa dalam paviliun itu diketahui oleh beberapa bujang. Seketika markas-pun gempar. Tuka telah tewas dengan punggung masih berhias sebatang belati.

Huru Hara dan Ah Liong ditangkap dan dihadapkan pada panglima Li Hong.

"Hai, siapa engkau!" tegur jenderal Li Hong dengan bengis.

"Aku Loan Thian Te," sahut Huru Hara. "Mengapa engkau berada di markas ini?" "Aku diundang oleh komandan Tuka."

"Hm, mengapa Tuka mengundang orang semacam engkau? Apa buktinya?"

"Pimpinan pasukan berkuda dari pasukan Ceng mengetahui hal itu," kata Huru Hara.

Li Hong menitahkan supaya kepala pasukan berkuda dipanggil.

"Memang benar, ciangkun. Komandan Tuka telah mengundang kedua orang itu kedalam markas."

"Aneh," seru Li Hong. "perlu apa orang semacam itu diundang kemari?"

"Dijamu."

"Hai! Dijamu? Komandan Tuka menjamu kedua orang ini?" "Benar, ciangkun. Semalam telah diadakan perjamuan besar untuk menghormat kedatangan kedua orang ini."

"Eh, mengapa aku tak tahu dan tak diberitahu sama sekali?"' seru Li Hong.

Huru Hara tertawa, "Sudah tentu engkau tak tahu. Dan andaikata diberitahu pun belum tentu engkau mau meninggalkan kesenanganmu dengan wanita2 cantik itu."

"Setan, engkau berani menghina aku?"

“Menghina? Tidak," sahut Huru Hara, "kalau hal itu tidak benar, memang aku dapat dianggap menghina. Tetapi bukankah yang kukatakan itu nyata semua?"

"Li ciangkun," kata kepala pasukan berkuda. Karena melihat gelagat tak baik, buru2 dia menyelutuk, "hamba tahu bahwa komandan Tuka menerima sepucuk surat dari kolonel Tokay dan kemudian mengundang mereka berdua masuk ke dalam kota ini."

"Kolonel Totay?" "Ya."

"Apa hubungannya?"

"Kabarnya kolonel Totay pernah ditolong orang itu ketika kota Sam-kwan diserbu lasykar rakyat."'

"Hm," Li Hong mempersilakan kepala pasukan berkuda itu mundur. Kemudian dia mulai melakukan pemeriksaan kepada Huru Hara lagi, "Mengapa engkau membunuh komandan Tuka?"

Sebenarnya Huru Hara marah sekali karena waktu dia bangun ternyata tangannya sudah diborgol dengan rantai besi dan dibawa menghadap jenderal Li Hong. Dia baru tahu kalau Tuka telah dibunuh orang. "Apa engkau tahu kalau aku membunuhnya?" balas Huru Hara dengan geram.

"Jangan kurang ajar!" bentak Li Hong, “engkau berhadapan dengan seorang jenderal yang berkuasa disini!"

"Apa hubungan kekuasaanmu dengan aku?" seru Huru Hara tak gentar.

"Engkau harus menjawab," kata Li Hong, mengapa engkau berani membunuh komandan pasukan berkuda dari kerajaan Ceng!"

"Bukankah aku sudah menjawab, apakah engkau tahu kalau aku yang membunuh?" sahut Huru Hara.

"Komandan Tuka menggeletak berlumuran darah di kamarmu. Punggungnya tertancap sebuah belati. Siapa lagi yang membunuh kalau bukan engkau?"

"Siapa yang tahu kalau aku membunuh komandan itu supaya maju memberi kesaksian!" seru Huru Hara.

Li Hong menitahkan seorang pelayan lelaki maju, "Ho Siri, bukankah engkau bujang kepala dari gedung ini?"

'Benar, ciangkun," sahut lelaki setengah tua itu. "Ceritakan apa yang engkau lihat dalam kamarnya," seru

Li Hong.

"Waktu hamba hendak membersihkan kamar, pintu tidak terkunci. Dan ternyata komandan Tuka menggeletak berlumuran darah di lantai. Waktu hamba angkat, dia sudah tak bernyawa. Hamba lalu memanggil prajurit penjaga."

Li Hong memanggil prajurit penjaga. Prajurit itu menerangkan, "Setelah mendapat laporan dari Ho Sin, hamba bergegas menuju ke tempat itu. Memang benar komandan Tuka sudah tak bernyawa. Siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan pemuda itu. Maka hambapun segera memborgol tangannya dan membawa menghadap kemari."

"Waktu engkau borgol, apakah dia melawan?!

"Tidak, ciangkun, dia masih tidur pulas," sahut prajurit penjaga.

"Jadi engkau tak melihat sendiri dia membunuh komandan Tuka?"

"Tidak, ciangkun," sahut prajuris penjaga, "tetapi siapa lagi pembunuhnya kalau bukan dia"

"Hm, sekarang apa katamu ?" tegur jenderal Li Hong kepada Huru Hara.

"Apa yang harus kukatakan?" balas Huru Hara. "Bukankah engkau telah membunuh komandan Tuka ?" "Siapa yang mengatakan begitu ?"

"Prajurit penjaga itu menjadi saksi mata!" "Apakah dia melihat aku membunuhnya?"

"Yang ada dalam kamar itu adalah engkau dan adikmu, kalau bukan engkau habis siapa yang membunuh komandan itu ?"

"Jika engkau sebagai seorang jenderal tak tahu, bagaimana aku seorang tetamu yang sedang tidur, bisa tahu hal itu !"

"Hm, engkau terlalu berani mati! Komandan Tuka mati di kamarmu, kecuali engkau dapat menunjuk seseorang lain, barulah engkau bebas dari tuduhan sebagai pembunuhnya !"

"Aku tahu pembunuhnya”, tiba2 Ah Liong melengking. Jenderal Li Hong terkejut dan cepat bertanya, ''Siapa ?" "Siorang berpakaian hitam seperti setan!" kata An Liong. "Bagaimana wajahnya ?"

"Tak kelihatan !"

"Lho, mengapa tak kelihatan ?”

"Ditutupi dengan kain hitam, mana aku bisa melihatnya

?"

"Coba ceritakan bagaimana peristiwa itu," kata jenderal

Li Hong.

"Itu waktu aku terkejut dan bangun karena mendengar pintu terbuka. Dan seorang berpakaian hitam telah menyeret sesosok tubuh. Orang yang diseretnya itu sudah mati. Dia marah ketika melihat aku terjaga. Lalu d.a mengancam, "Awas, kalau engkau berani berteriak, lehermu tentu kupotong !”

"Lalu ?

Sehabis meninggalkan mayat itu, dia terus lari keluar.

"Mengapa engkau tak membangunkan engkohmu ?" "Lho, apa engkau tuli ? Bukankah kukatakan kalau aku

berani berteriak, leherku akan dipotong. Siapa mau kehilangan leher ?"

"Waktu prajurit penjaga datang, mengapa engkau tak mau menceritakan hal itu ?'

"Perlu apa ?" sahut Ah Liong," apakah dia mampu menangkap pembunuh itu ? Jangankan dia sedang engkau seorang jederal saja, setelah kulapori hal ini, apakah engkau mampu menangkap orang itu ?”

Li Hong terbeliak. "Dan lagi," kata Ah Liong pula, "engkau sendiri juga diancamnya."

"Dia berani mengancam aku?" jenderal Li Hong terkejut.

"Waktu mau pergi, dia berkata kepadaku, "Hai. bocah kecil, katakan kepada jenderal yang berada disini. Kepalanya akan kuambil."

"Hai !" teriak jenderal Li Hong, "jahanam, berani benar bangsat itu!"

Seorang lelaki bertubuh kekar, maju kehadapan jenderal Li Hong dan memberi hormat, "Izinkan hamba Pui Kong, menghaturkan pendapat hamba yang picik," katanya.

Pui Kong adalah seorang kausu atau guru silat yang menjadi pengawal peribadi dari jenderal Li Hong, Li Hongpun mempersilakannya.

"Harap ciangkun jangan percaya ocehan bocah cilik itu. Dia ngawur sekali. Dia sengaja merangkai cerita bohong untuk menolong engkohnya."

"Bagaimana engkau berpendapat begitu ?" tanya Li Hong.

"SejaK ciangkun menduduki kota ini, kami telah melaksanakan penjagaan yang kuat. Hamba pun tahu betapa komandan Tuka mengatur penjagaan yang ketat sampai berapa li di luar kota. Rasanya tak mungkin orang luar mampu masuk kedalam gedung markas ini."

Semua waktu mendengar keterangan Ah Liong jenderal Li Hong memang hampir mempercayai. Tetapi setelah mendapat keterangan dari Pui Kong, dia bimbang, "Benar, tak mungkin musuh dapat masuk kedalam markas ini. Hm, anak itu tentu bohong supaya engkohnya dibebaskan dari tuduhan," pikirnya. "Hm, setan cilik, engkau berani membohongi aku ?" serunya kepada Ah Liong, "tidak, tidak mungkin ada manusia yang dapat masuk kedalam markas ini. Yang membunuh komandan Tuka tak lain adalah kamu berdua !"

"Jenderal goblok !" teriak Ah Liong.

"Bangsat, engkau berani memaki aku," Li Hong marah," hajar anak itu ! "ia memberi perintah kepada Pui Kong."

"Setan cilik, engkau terlalu liar," Pui Kong , terus menghampiri dan memutar kepala Ah Liong. I

"Jangan mengganggu adikku !" teriak Huru Hara seraya maju menghadang, Yang diborgol hanya kedua tangannya, sedang kedua kakinya masih bebas. Maka diapun dapat berjalan.

"Hm, pembunuh, engkau mau cari perkara lagi ?" bentak Pui Kong.

"Jika engkau berani mengganggu adikku! engkau tentu kubunuh !" Huru Hara balas menghardik.

"Adikmu terlalu kurang ajar, berani menghina ciangkun."

"Siapa yang menghina? Dia hanya mengatakan yang sebenarnya? Apa engkau anggap jenderalmu itu pintar? Coba jawab, kalau aku yang membunuh komandan Tuka, mengapa aku tak melarikan diri? Mengapa aku enak2 masih tidur di kamar itu?"

Pui Kong tertegun tetapi pada lain saat dia membantah, "Karena engkau merasa tak mampu keluar dari markas ini."

"Kentut!" semprot Huru Hara, "kalau aku keluar siapakah yang akan mencurigai? Bukankah semua pasukan berkuda tahu bahwa komandan Tuka yang mengundang aku kedalam markas?" Tampak kepala pasukan berkuda mendekati jenderal Li Hong dan membisiki beberapa patah kata. Jenderal itu segera berseru memanggil Pui Kong, "Pui tayhiap, silakan kembali."

"Hm, apakah engkau tetap tak mau mengaku membunuh komandan Tuka?" tanya jenderal itu kepada Huru Hara pula.

"Kalau aku membunuhnya, mengapa aku tak berani mengakui? Tetapi sayang aku tak membunuhnya dan terpaksa aku harus mengatakan tak membunuh," sahut Huru Hara.

Setelah berunding dengan kepala pasukan berkuda, akhirnya jenderal Li Hong memerintahkan supaya Huru Hara dan Ah Liong d'jebluskan dalam kamar tahanan, menunggu keputusan.

Setelah Huru Hara dibawa pergi, jenderal Li Hong melanjutkan perundingan dengan kepala pasukan berkuda. Dia orang dari propinsi Hek-liong kiang, bernama Ca Ing.

"Menilik kolonel Totay sampai memerlukan kirim surat kepada komandan Tuka, jelas orang itu tentu mempuyai hubungan erat sekali dengan kolonel Totay. Kabarnya dia pernah menolong jiwa kolonel Totay sehingga kolonel Totay sedemikian besar menaruh perhatian kepadanya. Kalau ciangkun menjatuhkan hukuman mati, dikuatirkan kolonel Totay tak senang," kata Ca Ing.

"Tetapi bagaimana pertanggungan jawabku atas kematian komandan Tuka itu?" kata jenderal Li Hong.

"Tetapi apa yang dikatakan pemuda itu memang beralasan," sahut Ca Ing, "kalau dia yang membunuh, mengapa dia tak mau melarikan diri dan masih tidur pulas di kamarnya." Rupanya Li Hong terpengaruh juga akan pembelaan itu, "Lalu bagaimana aku harus bertindak?"

"Ada sebuah jalan," kata Ca Ing, "yalah ciangkun mengirim orang itu kepada kolonel Totay, biar kolonel Totay sendiri yang memeriksa dan memutuskan hukumannya. Pokok, ciangkun sudah dapat menangkap dan menyerahkan orang yang diduga keras sebagai pembunuh komandan Tuka."

Li Hong anggap usul itu tepat. Dengan begitu dia sudah memberi pertanggungan jawab tentu peristiwa kematian Tuka.

"Baiklah, tetapi bagaimana cara mengantar dia ke tempat kolonel Totay?" tanyanya.

"Saat ini kolonel Totay berada di kota Khay-hong-hu, suatu perjalanan yang cukup jauh. Mengingat bahaya yang setiap saat mungkin terjadi di perjalanan, lebih baik masukkan kedua orang itu kedalam kerangkeng pesakitan dan suruh sekelompok prajurit mengawalnya."

Li Hong menyetujui. Segera ia menitahkan supaya kedua tertuduh itu dimasukkan kedalam sebuah kereta kerangkeng dan dikirim ke Khay-hong-hu.

Tetapi untuk memasukkan Huru Hara dan Ah Liong ke dalam kerangkeng, bukanlah hal yang mudah. Setelah terjadi ribut2, akhirnya Huru Hara dan Ah Liong berhasil dijebak kedalam perangkap lalu dimasukkan kedalam kerangkeng. Sepuluh prajurit dititahkan untuk mengawal kereta itu menuju ke Khay-hong-hu.

Begitu keluar dari kota Sam-koan, rombongan kereta pesakitan itu telah dihadang oleh seekor kerbau bule. Beberapa orang prajurit berusaha untuk menghalau tetapi kerbau bufe itu malah mengamuk. Prajurit2 itu ketakutan. "Hai, prajurit, kalau kalian minta tidak diamuk kerbauku itu, hendaknya suruh dia yang menarik kereta ini Kalau tidak, dia tentu mengamuk karena melibat aku berada dalam kereta!" seru Ah Liong.

Prajurit2 itu menurut dan kereta yang semula di tarik oleh dua ekor kuda sekarang diganti oleh kerbau bule.

Didalam kereta, Huru Hara termenung-menung. Dia merasa tak membunuh Tuka tetapi mengapa Tuka mati terbunuh dalam kamarnya. Tiba2 kecurigaannya jatuh pada Ah Kiok si gadis pelayau cantik itu. Mungkinkah gadis itu yang telah membunuh Tuka? Tetapi mengapa gadis itu tak kelihatan batang hidungnya? Apakah dia sudah ditangkap? Ah, tentu tidak. Orang tentu tidak menduga bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh, seorang gadis pelayan.

"Hm. dia dapat menceritakan dengan jelas tentang perkumpulan Hoan-hiau-hoa itu, apakah dia . . . bukan anggauta perkumpulan itu sendiri pikir Huru Hara, "ya, mengapa aku tertidur begitu pulas. Aneh. Selama ini aku tak pernah jatuh pulas begitu rupa sampai tak terasa kalau kedua. tanganku diborgol orang ”

"Hm, mungkin benar, memang gadis itu yang membunuh. Tetapi biarlah, aku takan memberi tahu kepada orang Ceng" setelah menimang-nimang, iapun mengambil keputusan untuk melindungi Ah Kiok.

"Engkoh Hok, bagaimana kita ini ?" Ah Liong mulai mengeluh," berulang kali aku hendak melawan tetapi mengapa engkoh selalu mencegah ? Akhirnya sekarang kita dijadikan seperti binatang buas yang dikerangkeng "

"Ah Liong." kata Huru Hara, "untuk 'menjadi seorang manusia yang sempurna, orang harus kaya akan pengalaman. Pengalaman itu tidak tentu harus yang enak2 tetapi juga harus yang tidak enak bahkan yang paling tidak enak di dunia. Kelak engkau boleh membanggakan diri kepada anak cucumu bahwa engkau pernah menjadi binatang yang di kerangkeng. Apa itu tidak menarik ?"

"O, ya, ya, benar, benar," seru Ah Liong, "memang jarang orang hidup yang pernah mengalami menjadi binatang buas dalam kerangkeng itu, engkoh Hok."

"Terimalah segala pengalaman dan penderitaan itu dengan hati yang lapang, Ah Liong." Huru Hara menghibur," pernahkah engkau makan cap-jay ?"

"Cap-jay, uhhh tiba2 Ah Liong menitikkan air liur," ya, tentu saja pernah. Memang itu kegemaranku."

"Enak, kan?"

"Cin cia ho" seru Ah Liong seraya melumat-lumatkan lidahnya. Cin-cia-ho artinya enak sekali.

"Engkau tahu apa sesungguhnya cap-jay itu?"

"Cap-jay merupakan masakan dari bahan macam2 sayur. Nenek pernah masak juga tetapi dia bilang namanya gado- gado.

"Ya, memang benar," kata Huru Hara," Cap jay yang engkau gemari itu tak lain adalah masakan dari bermacam- macam sayur. Ceritanya, dulu karena sayang membuang sisa sayur mayur dan bumbu yang masih, maka juru masak lalu memasukkan sisa2 sayur dan ikan itu, setelah dimasak dan diberi bumbu lalu disebut cap-jay atau masak campur bawur. Dan eh, ternyata rasanya enak sekati. Belakangan orang malah gemar akan masakan cap-jay itu."

"O, jadi dulu cap-jay itu asalnya dari sisa-sayur yang akan dibuang tetapi tak jadi lalu dimasak lagi ?"

"Begitulah cerita orang," kata Huru Hara "yang penting kan enaknya. Nah, dari masakan cap -jay itu dapatlah kita menarik suatu pelajaran yang baik, bahwa segala penderitaan dan pengalaman itu akan menjadikan hidup kita itu senikmat capjay. Karena kita pemah mengalami segala hal yang enak maupun yang tak enak. Yang celaka maupun yang menyenangkan."

"Jadi kita dikerangkeng seperti binatang ini juga harus kita rasakan ?" tanya Ah Liong.

"Ya," kata Huru Hara, "kita sering mengurung burung dalam sangkar, memasukkan harimau dalam kerangkeng. Coba kalau kita masuk kerangkeng, baru kita dapat merasakan betapa perasaan binatang2 yang menderita ulah tingkah manusia."

"Ya, ya," Ah Liong garuk2 kuncungnya, "sekali memang perlu juga kita jadi binatang yang dikerangkeng."

"Nah, kalau engkau sudah dapat merasakan begitu, engkau tentu tak sedih. Begitulah kalau engkau sedang mengalami kesusahan ataupun kesulitan. Anggaplah hal itu sebagai pengalaman, sebagai bumbu orang hidup. Nah, engkau tentu tak merasa susah lagi. Dan ingat, Ah Liong, bahwa hanya manusia besar yang mampu menderita segala kesukaran hidup itu."

"Baik, engkoh," kata Ah Liong. "akan kuingat segala nasehat engkoh itu."

"Engkau kan tidak merasa sedih lagi sekarang toh ?" "Tidak," kata Ah Liong," karena aku gemar cap-jay maka

akupun harus makan cap-jaynya orang hidup ini."

"Ah Liong," tiba2 Huru Hara berkata," apa engkau bisa nyanyi?"

"Nyanyi?" tanya Ah Liong., "bisa saja. Tetapi nyanyi apa

?" "Nyanyian seorang raja."

"Raja ? Tetapi aku belum pernah jadi raja.

"Begini," Huru Hara lalu membisiki anak itu bagamana bunyi kata2 lagu itu. Setelah itu dia suruh Ah Liong menyanyikan sekeras-kerasnya. Ah Liongpun menyanyi :

Yang paling enak, menjadi raja Kerjanya hanya duduk di singgasana Tiap hari dihadap hamba sahaya Makan pakai serba istimewa

Akulah, sekarang sang raja Bertamasya naik kereta kencana Diiring prajurit2 bersenjata

Ah, nikmatnya

Hai, prajurit2 gombal butut Kemarilah, rajamu mau berkentut Lekas engkau duduk berlutut

Dan pentanglah Iebar2 mulut

Ha, ha, ho, ho, hi, hi ... Raja bertamasya naik kereta Ha, ha, ho, ho, hi, hi ..

Hai, prajurit2 celaka

Upahmu nanti potong kepala, 

Karena- Ah Liong menyanyi dengan keras, sudah tentu kelompok prajurit yang terdiri selusin orang itu mendengar juga. Telinga mereka seperti dikili rasanya ketika mendengar nyanyian itu.

"Kurang ajar, dia menghina kita habis2an."

"Ya, dia menganggap sebagai raja dan kita pengiringnya."

"Bukan hanya itu saja. Pun dia hendak ber-kentut, kita suruh buka mulut menerimanya . . . "

Demikian beberapa prajurit itu mengomel panjang pendek sehingga kepala kelompok, segera maju menghampiri ke kerangkeng dan membentak, "Hai, setan cilik, nyanyi apa engkau itu?"

"Lagu Nikmatnya jadi raja." "Jangan nyanyi begitu!"

"Lho, kenapa?" seru Ah Liong. "Engkau menghina rombonganku."

"Lho, siapa yang menghina? Aku kan nyanyi sendiri.

Apa tak boleh?"

"Boleh tetapi jangan nyanyi lagu itu!"

"Justeru lagu itu yang paling kusenangi. Ke-tahuilah, bahwa lagu itu dicipta oleh engkohku ini khusus untuk kunyanyikan. Merdukan suaraku?"

"Dengar, jangan nyanyi lagu itu!"

Tetapi bukan menurut kebalikannya Ah Liong malah menyanyi lagi lebih bersemangat dan lebih keras. Sudah tentu kepala rombongan prajurit itu naik pitam. Dia mengeluarkan cambuk dan mencambuk kerangkeng Ah Liong.

"Hai, prajurit, engkau berani kepada raja?" teriak Ah Liong.

"Budak setan, engkau bukan raja, engkau pesakitan, tahu

l'"

'Tidak!" teriak Ah Liong, "aku bukan pesakitan. Aku tak

membunuh komandanmu. Apa namanya orang yang naik kereta diiring prajurit bersenjata, kalau bukan seorang raja? Bukankah engkau menjaga keselamatanku?"

Kepala prajurit itu benar2 mau muntah karena marah tetapi tak dapat menumpahkan kata2.

"Mau marah ya? Siapa suruh engkau marah?" seru Ah Liong.

"Tutup bacotmu, setan cilik!" teriak kepala prajurit itu dengan keras.

"Ini kan mulutku sendiri. Mau kubuka kek, mau kupentang kek, itu hakku sendiri. Mengapa engkau mengurusi mulutku? Kalau mau menutup, tutuplah mulutmu yang besar seperti mulut kambing itu. Uh, memang prajurit2 semacam engkau kerjanya hanya makan saja maka mulutmu sampai lebar "

"Anjing kecil, engkau!" kembali prajurit itu ayunkan cambuknya, tar, tar, tar.....

"Ha, ha, ha," Ah Liong tertawa mengejek, "macam begitulah prajurit seperti engkau ini. Beraninya menyerang orang yang berada dalam kerangkeng. Coba kalau aku bebas diluar, masakan engkau berani berbuat begitu." "Apa katamu, setan cilik!" prajurit itu membelalakkan mata.

"Engkau prajurit besar dan aku anak kecil, tetapi aku dapat mencabut kumismu yang lebat seperti belukar itu. Kalau aku tak mamou, engkau boleh menghajar aku 100 kali cambukan!"

"Engkau berani menantang aku?" teriak kepala prajurit itu.

“Tetapi tak perlulah," seru Ah Liong, "lebih baik jangan engkau terima tantanganku agar kumismu tidak rontok."

"Pak, keluarkan anak itu dan idinkan aku menghajarnya," seorang prajurit maju menghampiri kepala prajurit berkumis.

"Ya, pak, kalau tidak dihajar, sepanjang perjalanan anak itu tentu akan mengoceh menghina kita terus menerus saja," seru beberapa prajurit.

Saat itu rombongan mereka tiba di sebuah jalan yang sepi, di mulut hutan. Matahari sudah condong ke barat. Sejak tadi, rombongan itu memang belum berhenti. Sambil beristirahat sambil menghajar bocah itu, memang tepat juga, pikir kepala prajurit.

"Baik, kita beristirahat disini," segera dia memberi perintah supaya rombongan berhenti. Mereka mencari tempat di sebuah gerumbul pohon.

"Hai, prajurii2, mengapa kalian berhenti disini? Ini kan bukan istana? Aku seorang raja, jangan kalian sembarangan menurunkan aku di hutan begini. Hayo, jalan!" teriak Ah Liong. Tetapi prajurit2 itu tak peduli. Setelah kereta berhenti maka seorarg prajurit segera membuka pintu kerangkeng, "Setan kecil, hayo, keluar!"

"Ah, jangan main2 engkau, kerucuk!" "Keluar!"

"Lho, engkau seorang prajurit kerucuk berani memberi perintah kepada raja?"

"Keluaaaar!" prajurit itu terus menarik Ah Liong keluar.

Ah L ong keluar tetapi Huru Hara juga ikut keluar.

Kepala prajurit kaget tetapi karena melihat kedua tangan Huru Hara masih dirantai, diapun tak kuatir.

"Hm, setan cilik, bukankah tadi engkau menantang aku?" seru kepala prajurit, "kalau engkau takut, engkau harus menerima 100 kali cambukan!"

"O, engkau menerima tantangan itu? Boleh, boleh. Siapa bilang aku takut? Tetapi apa taruhannya?"

"Pakai taruhan?" kepala prajurit itu terbeliak.

"Iya, dong," seru Ah Liong dengan nada kemaki,. "perlu apa gua susah2 mencabut kumis lu, kalau tidak pakai imbalan?"

"Setan cilik, engkau mengajak taruhan apa?" seru kepala prajurit.

'Nanti dulu," sahut Ah L:ong, "kita mau bertanding apa ini?"

"Engkau mengajak bertanding apa?" balas kepala prajurit.

"Dua macam!" "Hah? Dua macam?" "Ya. Dan dua taruhan!"

"Edan!" teriak kepala prajurit, "aku terima semua!"

'Lho, apa engkau tak tanya dulu apa yang akan dipertandingkan dan apa taruhannya?"

"Tidak usah! Segala macam apa saja aku terimal" rupanya kepala prajurit itu makin panas kepalanya.

"Tetapi aku harus menerangkan dulu supaya engkau tahu dan tidak ingkar janji."

''Lekas bilang!"

“^Pertama, bertanding mencabut rambut kumismu. Kalau aku tak mampu, engkau boleh menggebug aku sampai 100 kali. Tetapi kalau aku dapat mencabut, engkau harus membiarkannya aku mencabuti kumismu sampai habis. Ringan kan?"

"Yang kedua?" teriak kepala prajurit itu. "Adu kekuatan."

"Adu kekuatan bagaimana?"

'Tubuhmu akan kuangkat dan kulemparkan.! Dan engkaupun harus mengangkat "

"Engkau?" tukas kepala prajurit.

'"Bukan," seru Ah L ong, "kalau engkau dapat mengangkat tubuhku, itu sih tidak mengherankan, karena tubuhku kecil. Apa engkau tidak malu kalau menang karena mengangkat tubuh seorang anak?"

"Lalu siapa yang harus kuangkat?" teriak kepala prajurit. "Engkohku itu!" seru Ah Liong menunjuk pada Huru

Hara, "engkau sanggup?"

"Mengapa tidak?" seru kepala prajurit penasaran. "Nah, kalau aku kalah, terserah saja engkau hendak mengapakan aku." kata Ah Liong, "tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerah kan anak kunci borgolan engkohku itu!"

"Hah?" kepala prajurit terbeliak.

"Jangan kuatir, bang," cepat2 Ah Liong menyusuli kata- katanya, "kami berdua takkan lari dan tetap akan masuk kedalam kerangkeng lagi. Hanya borgolan pada tangan engkohku itu saja yang kuminta supaya dihilangkan."

Pikir2*kcpala prajurit itu merasa tentu dapat mengalahkan kedua tantangan Ah Liong, maka tanpa banyak cingcong lagi dia serentak menerima.

"Tetapi supaya tidak ingkar janji, keluarkan dulu anak kunci itu," seru Ah Liong.

Dengan marah kepala prajurit mengambil kunci dan dilemparkan ke tanah, "Awas, kalu engkau kalah, kepalamu tentu akan kujadikan genderang!"

"Kita kencingi kuncungnya!" seru salah seorang prajurit. "Aku ingin berkentut di mulutnya! Ha, ha, bukan prajurit

yang makan kentut tetapi raja yang dikerangkeng."

Kawanan prajurit itu tertawa gelak?. "Bau!" tiba2 Ah Liong berteriak seraya mendekap hidung.

"Siapa yang bau?" prajurit? itu berseru.

"Mulut kalian," sahut Ah L:ong, ""aduh, baunya membuat perutku mual nih. Tidak pernah sikat gigi, ya?"

"Kurang ajar engkau setan cilik!" beberapa prajurit marah dan hendak maju.

"Tunggu dulu! Aku hendak bertanding dengan pimpinanmu, jangan menggangu!" Terpaksa prajurit? itu hentikan langkah dan hanya dapat deliki mata kepada Ah Liong.

'"Hayo kita mulai," seru Ah Liong seraya mencabut sepasang supit yang berada dalam kantong bajunya,

Kepala prajurit yang berkumis itupun tegak bersiap. Ia songsongkau tinjunya ketika Ah Liong hendak menyupit kumisnya. Tetapi dia hanya menyongsong angin karena supit Ah Liong berputar ke samping dan tahu2, aduh ....

prajurit berkumis itu menjerit tertahan karena daun telinga sebelah kiri telah dlsupit dan ditarik.

Dia marah. Diserangnya anak kuncung itu dengan pukulan yang bertubi-tubi tetapi Ah Liong selalu menghindar dan pada satu kesempatan, supitnya nyelonong lagi untuk menyupit daun telinga orang yang sebelah kanan.

Prajurit berkumis itu makin marah. Namun walaupun dia berpangkat sebagai kepala prajurit, tetapi ilmusilatnya tak berapa tinggi. Ilmu tempur yang dipelajarinya adalah yang digunakan untuk bertempur dalam medan perang. Maka dengan mudah Ah Liong dapat mempermainkannya.

"Aduhhhhh, bangsat ....!" prajurit berkumis itu menjerit dan memaki ketika hidungnya di sumpit Ah Liong sekeras- kerasnya.

Melihat kedua telinga dan hidung pemimpinnya merah, mau tak mau kawanan prajurit itu geli juga. Tetapi terpaksa ditahan.

Diam2 kepala prajurit itu juga terkejut menyaksikan tingkah laku Ah Liong. Namun karena disaksikan oleh anakbuahnya, dia malu sekali dijadikan bulan2 permainan oleh seorang bocah laki yang masih berkuncung.

Memang Ah Liong mempunyai gerakan yang gesit sekali. Sejak kecil diharuskan membopong kerbau bule, kadang disuruh membawanya dengan berlari-lari, menyebabkan dia memiliki dasar latihan ilmusilat yang kokoh. Ada lagi suatu latihan yang diberikan nenek Gok. Memang aneh tampaknya tetapi sesungguhnya latihan itu telah memberi marfaat yang besar sekali kepada anak itu.

Setelah pekerjaan sehari selesai, maka Ah Liong dipanggil nenek Gok dan disuruh berdiri dihalaman pada jarak lima tombak. "Engkau harus mampu menghindar dari batu yang akan kusabitkan kepadamu," kata nenek Gok,

Pertama nenek itu menimpuk sebanyak dua puluh kali. Timpukannya cepat dan keras sekali hingga kadang Ah Liong harus meringis kesakitan karena terkena. Setelah anak itu mampu menghindar semua timpukan, jaraknya diperdekat satu tombak. Kemudian jadi dua tombak dan terakhir hanya terpisah satu tombak dari nenek itu.

Pun cara menimpuk juga diganti. Kalau bermula hanya menimpuk secara satu per satu, lalu diganti sekali timpuk dua batu, lalu tiga batu dan terakhir empat batu. Dengan begitu jarak semakin dekat, batu yang disabitkan makin banyak.

Tiga tahun kemudian, Ah Liong dapat menghindar dari empat batu yang disabitkan si nenek dalam jarak dua meter, "Anak ini memang berbakat bagus sekali," diam2 nenek itu memuji dalam hati, "sebaliknya si Ah Hok itu malas dan kurang baik bakatnya."

Ah Liong tak mengerti apa tujuan nenek Gok melatihnya bermacam-macam cara itu. Tiap pagi disuruh membopong si Bule ke telaga, suruh tangkap ikan dengan tangan, malam hari disuruh menyupit nyamuk, lalat dan ditimpuk dengan batu, suruh latihan napas dan lain2.

Kini waktu turun gunung ikut mengembara-Huru Hara, ia merasakan Iatihan2 yang diterima dari si nenek itu banyak sekali gunanya. Seperti waktu menghadapi kepala prajurit pada saat itu. Dia merasa dapat bergerak lincah sekali menghindar dari pukulan dan terjangan prajurit itu. Dan dengan mudah juga ia dapat memajukan supitnya untuk menyupit telinga dan hidung lawan.

"Nah, inilah beberapa lembar rambut kumismu. Engkau menyerah tidak ? Kalau tidak akan kucabut semua nanti !" beberapa saat kemudian Ah Liong loncat mundur dan berseru.

Kepala prajurit itu merah padam mukanya. Dia memandang Ah Liong dengan mata melotot.

"Jangan kuatir," seru Ah Liong, "aku takkan melaksanakan pertaruhan itu dulu. Tunggu saja sampai pertandingan yang kedua selesai. Kalau aku kalah, anggap saja serie. Tetapi kalau aku menang lagi, baru aku sekali gus melaksanakan janji kita."

"Hm," kepala prajurit itu hanya mendengus.

"Sekarang bersiaplah, aku hendak mengangkat tubuhmu, "seru Ah Liong seraya menghampiri maju.

Kepala prajurit itupun tegakkan tubuh dan mengencangkan urat2 agar badannya bertambah berat.

"Uhhhh," tiba2 ia menjerit dalam hati ketika tengkuknya seperti dicekik orang dan auhhh, kembali ia meringis kesakitan karena pantatnya dicengkeram sekeras-kerasnya. Ia hendak meronta tetapi tahu2 tubuhnya terasa terangkat keatas dan sebelum ia sempat untuk mencari keseimbangan diri, ia merasa telah terbang melayang, celaka . . . ia menyadari kalau sedang dilempar oleh Ah Liong. Dan berusahalah dia bergeliatan agar jangan sampai jatuh terbanting di tanah. Brukkkk dua orang prajurit cepat menyanggapi tetapi

karena kepala prajurit itu bergeliatan polah, yang hendak menyanggapi malah terdupak dan ketiganya jatuh tumpang tindih.

Uhhhhh .... tiba2 mulut kepala prajurit itu mendesis kaget, wajahpun merah padam ketika dia bangun. Sambil mendekap perut, dia terus menuju ke balik gerumbul pohon.

Kawanan prajurit anakbuahnya heran melihat tingkah laku kepala mereka. Ada seorang prajurit yang memberanikan diri untuk menghampiri. Dia kuatir terjadi sesuatu dengan lepalanya itu. Ia terkejut ketika pimpinannya sedang membenahi celananya, tangannya merogoh-rogoh kebawah seperti hendak menarik celana dalamnya yang melorot.

"Sialan, tali kolor bisa putus. Kurang ajar sekali bajingan cilik itu," gumam kepala prajurit. Mendengar itu prajurit sambil mendekap mulut menahan tawa, segera kembali kepada kawan2nya. Dengan bisik2 dia menceritakan hal itu kepada kawan2 nya. Sudah tentu mereka geli tetapi tak berani bersuara.

Sesaat kemudian, kepala prajurit itu muncul dan menghampiri ke hadapan Huru Hara, "Sekarang giliianku yang mengangka!'

'"Silakan," kata Huru Hara,

Kepala prajurit itupun segera maju dan terus mengangkat tubuh Huru Hara, hukkkk betapapun ia kerahkan tenaga sampai mukanya merah seperti kepiting direbus, tetap tak mampu mengangkatnya.

'"Suruh anakbuahmu ikut mengangkat!" kata Huru Hara seraya melambaikan tangannya kearah kawanan prajurit. Walaupun tidak diperintah tetapi karena hendak membantu kepalanya maka seorang prajurit pun maju. Tetapi kedua orang itu juga tak mampu. Maju lagi seorang, juga tak mampu. Lalu seorang, seorang dan seorang lagi sehingga semua prajurit yang berjumlah sepuluh orang itu serempak mengangkat Huru Hara.

Melihat itu timbullah pikiran kurang ajar dari Ah Liong. Dia maju menghampiri dan lari mengelilingi kawanan prajurit seraya mencengkeram pinggang setiap prajurit, "Hai, goblok, harus serempak mengangkat, jangan satu-satu

....!"

Walaupun mengkal tetapi kesepuluh prajurit itu menganggap kata2 bocah kuncung itu memang tepat. Mereka berhenti dan bersiap-siap. Salah seorang segera memberi aba-aba, "Satu . . . dua . .tiga angkat . . . hekkkk

.... uhhhh . . . ahhhh . . ihhhhh .... ohhhh "

Walaupun nadanya berbeda tetapi iramanya yalah irama terkejut. Kesepuluh prajurit itu lepaskan tubuh Huru Hara dan mereka serempak mendekap perut masing2 lalu sibuk hendak mencari tempat bersembunyi.

Apa yang terjadi?

Ternyata tanpa diketahui sebabnya, tali kolor celana- dalam dari kesepuluh prajurit itu putus dan celana- dalamnyapun meluncur kebawah. Walaupun masih mengenakan celana luar, tetapi mereka merasa risih karena tak dapat bergerak dengan leluasa.

Sudah tentu mereka bingung dan hendak mencari tempat bersembunyi untuk membenahi celana-dalamnya itu. Karena gugup mereka tak sempat memikir, apa sebab peristiwa tali kolor putus itu menimpa pada mereka secara serempak. Akal yang sehat tentu curiga. Tak mungkin sepuluh orang, semua putus tali kolornya. Tetapi karena bingung, mereka mengira, hal itu disebabkan waktu mengangkat tubuh Huru Hara tadi.

Baru mereka berputar tubuh hendak melangkah, mereka terkejut ketika melihat suatu pemandangan yang mengherankan. Entah kapan, tahu2 ditempat itu telah muncul lima gadis yang mencekal cambuk. Salah seorang diantaranya mukanya pakai kain kerudung hitam.

"Hai, siapakah nona sekalian ini?" tanya kepala prajurit sambil mendekap pinggang celananya kencang2 karena takut celana-dalamnya melorot kebawah.

“Tak perlu tanya!" sahut seorang gadis yang berperawakan tinggi, "serahkan kedua tawanan itu kepadaku!"

"Lho, ini kan tawanan penting. Perlu apa nona hendak memintanya?" kepala prajurit terkejut. *

"Jangan banyak bicara, serahkan atau tidak!" bentak nona cantik itu.

"Siapakah nona ini?" "Tutup mulutmu!"

"Tidak! Aku takkan menyerahkan mereka!"

"Hajar!" seru nona cantik itu. Kelima gadis cantik itu segera ayunkan cambuknya, tar, tar, tarrrr ....

Kesepuluh prajurit itu belum hilang kejutnya dan kelima gadis cantik itu bergerak amat cepat sekali. Sebelum sempat berbuat apa2, kesepuluh prajurit itu menjadi kalang kabut dan babak belur tak keruan. Kalau mencabut senjata untuk melawan, mereka harus melepaskan celana-dalamnya melorot turun. Kalau tetap mempertahankan celana-dalam, meringis kesakitan dihajar cambuk. Akhirnya mereka memilih jalan yang paling selamat, lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu ... .

Melihat itu Ah Liong tepuk2 tangan, tertawa dan menyanyi :

Cing-cing go-ling

Bumi langit gonjang ganjing Gadis cantik kepala pening Main cambuk menghajar maling Maling lari pontang panting

Minta ampun sampai ter-kencing2.

"Tutup mulutmu, budak kuncung!" bentak gadis yang bertubuh tinggi semampai tadi.

"Buat apa ditutup? Kan mumpung ada pertunjukan yang bagus, biar kubuka lebar2?" sahut Ah Liong.

Tar cambuk gadis itu menggelegar ke arah Ah Liong

tetapi bocah itu sudah melayang ke samping.

"Lho, mengapa engkau hendak mencambuk aku juga?" serunya.

"Lekas kalian ikut aku!" seru gadis itu. ''Kemana?"

'"Jangan banyak tanya! Prajurit2 itu segera akan datang lagi, lekas!"

Seperti kerbau dicocok hidungnya, Ah Liong menggandeng tangan Huru Hara diajak mengikuti kelima gadis itu masuk kedalam hutan.

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar