Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 13 Nenek penangis

Jilid 13 Nenek penangis

Coan-ti-jin atau Manusia-serba tahu terkejut ketika melihat nenek Gok ayunkan tangan ke arahnya. Dia mengira kalau nenek itu tentu melontarkan senjata rahasia atau pukulan tenaga-sakti dari jauh. Tetapi ternyata tidak ada apa2.

Dia hendak berkata lagi, Tetapi sebelum sempat membuka mulut, dia menjerit kaget dan tubuhnya terpental ke udara, bum.... lima tombak jauhnya dia tepelanting jatuh, ke tanah. Kepalanya pusing tujuh keliling sehingga dia harus duduk pejamkan mata untuk menenangkan darahnya yang bergolak-golak.

"Bu-heng-sin-kang!" teriak Pat Hong cinjin

"Hm,-banyak cara untuk mengantar pemakaman para penghuni Taman Pahlawan Sia-sia itu. Ada yang pergi dengan lunak, ada yang harus diantar dengan kekerasan," dengus nenek Gok,

"Gok pohpoh, mengapa engkau marah kepadanya ? Apakah engkau takut ketahuan siapa dirimu ini ?" seru pertapa Pat Hong. "Sebenarnya hal itu tak penting. Siapa diriku boleh saja kalian ketahui karena toh kalian sebentar lagi akan tinggal di Taman Pahlawan Sia-sia..."

"Jika begitu, engkau mengakui kalau Liu-ma itu adalah engkau sendiri, bukan ?" seru pertapa Pat Hong.

"Apa kepentinganmu dengan hal itu ?" nenek Gok balas bertanya.

"Tentu saja ada," sahut Pat Hong." "Apa kepentinganmu!"

"Ketahuilah, Gok pohpoh," seru pertapa Pat Hong, "aku adalah sahabat dari Tong Kui Tik.”

"Aku tak peduli dengan Tong Kui Tik atau Tong Ko Song atau Tong Bo Long segala."

"Tak peduli tetapi engkau harus peduli. Peduli pun engkau harus peduli. Karena kedatanganku kemari adalah untuk hal itu.”

"O. baru kali ini ada seorang tetamu yang bertujuan lain dari lain2 tetamu," seru Gok poh poh dengan nada mengejek.

"Setelah engkau jelas," kata pertapa Pek Hong, "maka jawablah pertanyaanku secara jujur."

"Tergantung dari apa yang engkau tanyakan," sahut nenek Gok.

"Mengapa engkau menganjurkan supaya Beng Giok Lan menukarkan bayi perempuannya dengan bayi lelaki dari Tong Yan Cu."

"Apa hubunganmu dengan Tong Yan Cu ?"

"Dia adalah puteri dari sahabatku Tong Kui Tik." "Wajar," kata nenek G3k, "Beng Giok Lan adalah isteri kedua. Untuk merebut cinta dan pengaruh dari suaminya, dia harus mempunyai anak laki2."

"Dan ternyata Beng G ok Lui berhasil merebut kasih sayang suaminya, bukan ?"

"Memang," jawab nenek Gok, "ln Siu Lam lebih mencintai Beng Giok Lan daripada Tong Yap Cu."

"Mana lebih dulu yang menjadi isteri In Siu Lam," kata pertapa Pat Hong, "Tong Yan Cu atau Beng Giok Lan?"

"Tentu saja Tong Yan Cu."

"Apakah Tong Yan C u tahu kalau suaminya mengambil Beng Giok Lan sebagai isteri juga ?”

"Tong Yan Cu menyetujui bahkan menganjurkan suaminya supaya memperisteri Beng Giok Lan.”

"Jika begitu jelas Beng Giok Lan itu seorang wanita yang tak tahu budi. Air susu yang diberikan Tong Yan Cu telah dibalas dengan air tuba oleh Beng Giok Lan."

"Jangan menuduh seenakmu sendiri, pertapa gombal !" terak nenek Gok," mana engkau dapat mengetahui hati wanita. Tahukah engkau apa sebab Tong Yan Cu mengidinkan bahkan menganjurkan suaminya mengambil isteri lagi ?"

Pertapa Pat Hong tertegun lalu berkata, "Memang aku tak tahu apa tujuannya. Tetapi bukankah hal itu menunjukkan kebesaran hatinya sebagai seorang isteri ?"

'"Gombal !" teriak nenek Gok, "yang jelas sudah sepuluh tahun menikah dengan In Siu Lam, Tong Yan Cu belum punya anak. Agar suaminya jangan marah dan tetap dapat dimilikinya maka diapun menganjurkannya supaya mengambil isteri lagi. Jadi Beng Giok Lan itu hanyalah sebagai alat untuk tujuan Tong Yan Cu, mengerti ?"

"Tetapi mengapa Beng Giok Lan menukarkan bayinya dengan bayi Tong Yan Cu ?" pertapa Pat Hong masih tak puas.

"Beng Giok Lan tahu kalau dirinya diperalat oleh Tong Yan Cu maka diapun tak mau kepalang-tanggung untuk merebut kekuasaan pada rumahtangga In Siu Lam."

"Bohong !" teriak pertapa Pat Hong, "jangan engkau menggombalkan Tong Yan Cu tetapi menjunjung Beng Giok Lan diatas kepalamu. Kurasa, menilik Beng Giok Lan itu seorang wanita cantik dan berilmu silat tinggi, tak mungkin dia mau menjadi isteri kedua dari In Siu Lam kalau tak mempunyai tujuan tertentu."

"Benar!" tiba2 terdengar sebuah suara yang tandas. Yang jelas bukan dari pertapa Pat Hong maupun Coan-ti-jin.

Nenek Gok dan pertapa Pat Hong terkejut. Serempak mereka berpaling dan dari balik gerumbul pohon tampillah seorang lelaki setengah tua yang mengenakan dandanan sebagai seorang sasterawan.

"Apa yang dikatakan saudara pertapa ini memang benar. Beng Giok Lan mempunyai tujuan untuk merebut pusaka dari In Siu Lam. Bukankah ayah dari In Siu Lam itu bernama In Liat dan ln Liat itu sutit (murid keponakan) dari Thiat Ci tinjin ? Ha, ha, Si ular cantik Li Gwat Go dapat meracuni Thiat Ci cinjin dan merampas tongkat pusaka Ci- thiat-ciang tetapi Li Gwat Go akhirnya mati dipaksa minum racun oleh In Liat. Tongkat pusaka itu jatuh ke tangan In Liat dan lalu diwariskan kepada puteranya si In Siu Lam itu

..."

"Siapa engkau !" bentak nenek Gok. "Hoia, saudara Cian-ti-jin, kenapa engkau duduk terpekur seperti patung ?" tiba2 sasterawan itu berteriak kaget melihat di halaman itu terdapat seorang lelaki tengah duduk pejamkan mata seperti sebuah patung.

Tampak Coan-ti-jin membuka mata dan ber seru, '"O, Ko tayjin, engkau "

"Ah, jangan menyebut Ko tayjin," kata "sasterawan itu. "saudara Coan-ti-jin, engkau kenapa?"

"Aku lengah dan termakan pukulan Bu-heng-sin-kang dari nenek jahat itu. Untung aku masih membawa leng-tan yang manjur," kata Coan-ti-jin seraya berbangkit, "Pat Hong cinjin inilah saudara Ko Cay Seng yang pernah kukatakan itu," serunya kepada pertapa Pat Hong.

"Ko tayjin, maaf, aku tak tahu," kata Pat Hong cinjin seraya memberi hormat.

Dari Coan ti-jin, pertapa itu mendapat keterangan bahwa Ko Cay Seng dan Suto Kiat adalah orang kepercayaan dari Tergun panglima kerajaan Ceng. Kalau dapat berkenalan dengan Ko Cay Seng atau Suto Kiat, tentu akan mudahlah untuk mendapat kedudukan,

"Ah, harap cinjin jangan merendah. Aku ini sahabat dari Coan-ti-jin," kata Ko Cay Seng.

Setelah gagal dalam pertempuran dengan rombongan Tong Kui Tik, In Hong dan Wan-ong-kui, dengan menderita luka karena telapak tangannya ditusuk dengan tusuk - kundai oleh Han Bi Ing, terpaksa Ko Cay Seng beristirahat untuk beberapa waktu. Setelah sembuh, barulah dia keluar lagi menjalankan tugas, menyusup kedaerah yang masih dikuasai kerajaan Beng, untuk mengacau, memecah belah dan terutama untuk mempengaruhi kaum persilatan daerah Tiong-goan supaya membantu kerajaan Ceng ( baca jilid 10).

"Hai, kawanan kurcaci!" teriak nenek Gok yang mengkal karena orang berbicara sendiri, "kalian disini ini tetamu atau tuanrumah?"

"Ho, jangan marah, nenek penangis. Kami hanya pinjam waktu untuk berkenalan. Mengapa engkau begitu bernafsu," Ko Cay Seng tertawa.

"Apa maksudmu?" bentak nenek Gok.

"Serahkan semua pusaka yang engkau rebut dari Beng Giok Lan, isteri In Siu Lam itu," kata Ko Cay Seng.

"Hm, permintaan yang latah dari orang2 yang menjadi penghuni Taman Pahlawan Sia-sia," seru nenek Gok. Sejenak mengerut dahi, ia berkata pula, "perlu apa engkau meminta pusaka itu? Kalau memang beralasan, akan kupertimbangkan."

"Pusaka itu harus digunakan untuk kepentingan rakyat dan negara. Ditanganmu seorang nenek yang sudah ongkang-ongkang di tepi liang kubur, pusaka itu tiada gunanya. Maka lebih baik engkau serahkan saja pusaka itu kepadaku. Nanti ku berimu uang yang dapat engkau nikmati pada masa hari tuamu. "

"Aku tidak butuh uang !” tukas nenek Gok, “hanya satu keterangan dari mulutmu. Engkau katakan pusaka itu harus digunakan untuk kepentingan rakyat dan negara. Itu benar."

"Aha, ternyata penilaianku keliru. Engkau seorang nenek yang sadar dan berjiwa besar," puji Ko Cay Seng.

"Tetapi rakyat dan negara manakah yang hendak engkau bantu dengan pusaka itu:" serui nenek Gok.

"Lho, masakan hal itu perlu kuterangkan lagi?" "Sudah tentu perlu," sahut nenek Gok, "karena sekarang ini ada dua negara yang sedang berperang, Kerajaan Beng dengan kerajaan Ceng. Engkau hendak membantu siapa?"

Ko Cay Seng tertegun. Ia harus hati2 menjawab pertanyaan itu. Setelah merenung sejenak ia berkata "Gok pohpoh, engkau sendiri merasa sebagai rakyat yang mana?"

"Rakyat Beng," sahut nenek Gok, "tetapi aku tak senang dengan raja Beng yang tak mau mengurus rakyat dan negaranya itu."

Mata Ko Cay Seng berkilat-kilat gembira "Bagus Gok pohpoh, akupun juga berpendirian begitu. Raja Beng tak pantas lagi menjadi raja dan harus diganti dengan raja Ceng."

"Dan engkau hendak menggunakan pusaka itu untuk membantu kerajaan Ceng?" tanya nenek Gok.

"Bukankah pendirian Gok pohpoh juga demikian?"

"Aku bertanya kepadamu, engkau yang harus menjawab, bukan aku!" bentak Gok pohpoh.

"Rasanya kerajan Ceng akan membawa perobahan baik kepada rakyat semua."

"Bagus," seru nenek Gok, "sayang aku sudah tua.

Bukankah kau bekerja pada kerajaan Ceng?"

Menduga bahwa nenek itu tentu berfihak ke pada kerajaan Ceng maka menyahutlah Ko Cay Seng dengan dengan tegas, "Ya."

"Bagus," seru nenek Gok, "kalau begitu engkau layak menerima tongkat pusaka itu. Tetapi layang "

"Mengapa?" Ko Cay Seng terbeliak. "Engkau harus memenuhi syarat lebih dulu." "Apa syaratnya?" "Tinggalkan kepalamu!"

Ko Cay Seng terbeliak kaget, "Apa katamu?" "Tinggalkan batang kepalamu!"

"Lho, aneh, bukankah engkau menyetujui pendirian untuk membantu kerajaan Ceng?"

"Tanyakan kepada kedua koncomu itu. Apakah dalam pembicaraan tadi aku pernah mengatakan begitu?"

"Engkau memusuhi kerajaan Ceng?"

"Apakah aku mengatakan begitu?" balas nenek Gok. "Lha habis apa maksudmu meminta batang kepalaku

itu?" Ko Cay Seng mulai hilang kesabarannya.

"Setiap manusia yang hendak menginginkan tongkat pusaka itu, harus meninggalkan batang kepalanya. Lebih2 kalau dia seorang budak kerajaan Ceng, dia harus meninggalkan seluruh tubuhnya juga! Jelas?"

Merasa dipermainkan si nenek, seketika sasterawan Ko Cay Seng marah, "Nenek gila, engkau kira hari ini engkau masih dapat bersikap seperti raja? Hm, ketahuilah, jika engkau mau menyerahkan dengan baik2, aku sih masih dapat memintakan pengampunan kepada kedua sahabat ini supaya engkau diberi hidup. Tetapi kalau engkau menolak, terpaksa akan kami sembelih!"

"Bangsat, hayo majulah kalian bertiga!" teriak nenek Gok.

"Tunggu!" teriak pertapa Pat Hong, "aku masih hendak bertanya kepadamu Gok pohpoh?"!

"Soal apa?" "Apakah si Ah Hok itu putera Tong Yan cu yang engkau tukar dengan bayi perempuan dari Beng Giok Lan itu?" tanya Pat Hong cinjin-

Waktu masih didalam pondok sebenarnya Gok pohpoh juga sudah mendengar langkah kaki kedatangan Coan-ti-jin dan Pat Hong cinjin. Pun pembicaraan kedua orang itu dapat didengar jelas. Ia terkejut ketika mendengar Coan-ti- jin mengatakan telah menangkap seorang pemuda bernama Ah Hok yang mengaku cucu dari nenek Gok. Aneh, pikirnya. Bukankah Ah Hok sudah berada di rumah ?

Memang dalam alam pikiran nenek itu. Huru Hara itu adalah si Ah Hok.

"Bukan !" serunya menjawab pertanyaan Pat Hong cinjin.

"Lalu siapa namamu ?"

"Perlu apa engkau harus tahu ?"

"Gok gopoh, menurut katamu tadi, hari ini engkau akan menjadikan kami bertiga penghuni Taman Pahlawan Sia- sia. Sebagai salah seorang calon penghuni tamanmu itu, apakah engkau tak memberi kelonggaran kepadaku ? Apakah engkau masih kuatir, aku nanti menjadi penghuni yang penasaran karena keinginanku tak engkau kabulkan ?"

Nenek Gok diam merenung Pikir2 permintaan pertapa itu juga beralasan. Bukankah sebentar lagi mereka akan mampus ? Mengapa aku takut memberitahu kepadanya ? Pikir nenek itu. Tetapi karena mendengar kata2 Coan-ti-jin yang telah menangkap seorang pemuda bernama Ah Hok, nenek Gok bersangsi. Dia harus menyelidiki hal ini tetapi sekarang tiada waktu. Agar anak itu jangan menderita siksaan dari Coan-li-jin, lebih baik sekarang dia membohong. "Dia bernama Ah Mo." “Dimana dia sekarang -"

"Cukup !" bentak nenek Gok, "engkau tahu namanya itu sudah cukup. Dimana dia berada, toh nanti setelah engkau menjadi penghuni Taman Pahlawan Sia-sia, arwahmu kan dapat gentayangan mencari anak itu."

Kedatangan Coan-ti-jin dan Pat Hong cinjin serta munculnya Ko Cay Seng di halaman itu diketahui semua oleh Huru Hara dan Ah Liong yang juga sudah bangun. Keduanya bersembunyi dibalik gerumbul pohon. Keduanya mendengar jelas semua pembicaraan yang berlangsung antara nenek Gok dengan ketiga pendatang itu.

Waktu Ko Cay Seng menelanjangi asal usul nenek Gok, Huru Hara dan Ah Liong terkejut Kini keduanya baru tahu bahwa nenek itu dulu bernama Liu-ma, menjadi pelayan dari Beng Giok Lan, isteri kedua dari tokoh ternama In Siu Lan. Liu-ma telah menukar bayi lelaki yang dilahirkan Tong Yan Cu dengan bayi perempuan yang dilahirkan Beng Giok Lan. Kemudian Liu-ma itulah yang merebut tongkat pusaka dari In Siu-Lam.

Dan ketika terjadi tanya jawab antara Lu ma (sekarang nenek Gok) dengan Ko Cay Se. Ah Liong terkejut.

"Celaka," diam2 Ah Liong berteriak dalam hati, "bukankah dulu nenek pernah mengatakan bahwa sebenarnya aku lebih baik memakai nama Ah Mo daripada Ah Liong. Tetapi nanti saja setelah tepat pada hari ulangtahunku yang ke sepuluh, namaku Ah Liong itu akan diganti dengan Ah Mo ? Jika begitu, aku inilah dari Tong Yan Cu yang ditukar itu ?"

"O, makanya nenek itu bengis sekali kepadaku," pikir Ah Liong lebih lanjut. Serentak perhatiannyapun tertuiu pada pertapa Pat Hong yang mengaku sebagai sahabat orang yang bernama Tong Kui Tik. Siapakah Tong Kui Tik itu ?

"Ah, kalau ibuku bernama Tong Yan Cu, apakah Tong Kui Tik itu bukan ayahnya ?" Ah Liong menimang lebih lanjut.

"Mengapa pertapa Pat Hong itu hendak mencari aku? Apakah sahabatnya yang bernama Tong Kui Tik yang minta tolong kepadanya untuk mencarikan aku ?"

Makin bergolak hati Ah Liong setelah mencapai pemikiran begitu. Seketika timbul rasa benci kepada nenek Gok. Karena tingkah jahat nenek itulah maka dia (Ah Liong) sampai hidup terlunta-lunta berpisah dari kedua orang tuanya.

"Hai, tunggu pertapa.....!" karena tak kuat menahan gejolak hatinya tiba2 Ah Liong menjerit dan terus keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung lari ke halaman.

Huru Hira terkejut. Anak itu tak bilang apa2 terus lari. Ah, celaka anak itu,” pikir Huru hara. Terpaksa diapun keluar dari balik gerumbul pohon, menyusul Ah Liong.

'"Nenek Gok, benarkah dulu engkau yang merampas aku dari mamaku ?" Ah Liong menghadap nenek Gok dan bertanya.

"Setan cilik, pergilah, jangan mengacau disini !" bentak nenek Gok seraya ayunkan tongkatnya hendak menggebuk. Tetapi secepat itu Huru Hara sudah menarik tubuh Ah Liong ke belakang.

"Hai apakah engkau yang bernama si Ah Mo itu, nak ?" teriak Pat Hong cinjin serentak.

"Ya," sahut Ah Liong, "siapa engkau ?" "Aku Pat Hong cinjin sahabat baik dari engkongmu Tong Kui Tik."

"Apakah aku juga orang she Tong ?" tanya Ah Liong pula.

"Benar, engkau sebenarnya putera dari Tong Yan Cu yang ditukar dengan bayi perempuan oleh nenek jahat itu !"

"Dimana mamaku ?" "Dibunuh nenek Gok." "Ayahku ?"

"Juga diracuni nenek setan itu !" "Tidak !" teriak nenek Gok,

"Ah Liong jangat! percaya omongannya. Engkau bukan putera dari Tong Yan Cu.”

"Jangan menjilat ludahmu lagi, nenek," seru Pat Hong cinjin, "Ah Mo, mari engkau ikut aku. Akan kuantarkan engkau kepada engkongmu Tong Kui Tik."

Huru Hara membisiki beberapa patah kepada Ah Liong dan anak gundul itu segera melengking, "Tidak sudi! Aku dapat mencarinya sendiri."

"Ah Mo, mengapa engkau tak mau ikut aku?" teriak pertapa Pat Hong.

"Engkohku ini mengatakan," kata Ah Liong neraya menunjuk Huru Hara, "engkau seorang budak kerajaan Ceng!"

"Bagus, Ah Liong," seru nenek Gok memuji, "jangan sudi ikut dia. Apalagi sebentar lagi dia juga sudah mampus!" "Tetapi aku juga tak mau tinggal disini lebih lama, nenek," seru Ah Liong.

"Lho, mengapa?" nenek Gok terkejut.

"Karena engkau telah menganiaya mamaku dan aku." "Tetapi bukankah aku telah merawatmu sampai besar?"

"Ya, benar," kata Ah Liong, "karena itu akupun tak mau menuntut balas kepadamu kecuali hanya pergi dari sini."

"Bocah edan engkau!" bentak nenek Gok, "engkau bukan anak Tong Yan Cu, engkau "

"Jangan percaya Ah Mo," teriak pertapa Pak Hong, "engkau memang putera Tong Yan Cu. Karena aku menerima permintaan tolong dari eng-kongmu Tong Kui Tik, aku akan mengantarkan engkau kepadanya."

"Apa engkau tuli?" teriak Ah Liong, "tak tak sudi ikut pada orang yang menjadi budak kerajaan asing!"

"Suka tak suka engkau harus ikut aku!" teriak Pat Hong cinjin seraya menyambar Ah Liori tetapi anak itu cepat loncat mundur. Bahkan pada saat itu nenek Gokpun menampar kearah Pak Hong.

Peristiwa yang diderita Coan-ti-jin tadi, cukup diperhatikan Pat Hong cinjin. Ia tahu bahwa nenek itu memiliki ilmu pukulan Bu-heng-sin kang atau pukulan tanpa wujud. Maka diam2 ia pun kerahkan tenaga untuk menyongsong.

Desss .... terdengar letupan pelahan macam api disiram air. Tubuh Pat Hong tergetar dan kaki mengisar setengah langkah ke belakang. Pat Hong cinjin atau pertapa Delapan- penjuru itu karena hanya menggunakan enam bagian tenaga-sakti Pat-hong-sin-kang, harus menderita sedikit. Diam2 ia terkejut akan kesaktian tenaga Bu-heng sin-kang nenek Gok.

Coan-ti-jin si Manusia-serba-tahu menghampiri ke samping Ko Cay Seng dan membisiki beberapa patah kata. Tampak sasterawan ahli tutuk jalandarah itu mengangguk.

"Cinjin, silakan membawa anak itu dan aku bersama Ko- heng yang akan membereskan nenek iblis ini," seru Coan-ti- jin kepada pertapa Pat Hong.

"Baik," kata pertapa Pat Hong seraya maju hendak menangkap Ah Liong. Huru Hara maju menghadang dan mendorong pertapa itu. Pertapa Pat Hong terpental sampai dua langkah. Dia terkejut sekali, "Siapa engkau!" bentaknya.

"Aku adalah engkoh anak ini," sahut Huru Hara. "Engkohnya?" pertapa Pat Hong kerutkan dahi, "ngaco

engkau!   Putera   Tong   Yan   Cu   hanya   satu,   mana dia

mempunyai engkoh lagi?"

"Memang aku bukan purera Tong Yan Cu, tetapi aku sekarang menjadi engkoh anak ini. Siapa yang melarang!"

Pit Hong cinjin terkesiap. "Engkoh, biarin aku saja yang menghadapinya," tiba2 Ah Liong berkata.

"Tetapi ”

"Kalau aku kalah, barulah engkoh boleh turun tangan.

Aku ingin latihan," kata Ah Liong.

Huru Hara mengangguk dan menyisih ke samping. Ah Liong melangkah maju, "Pertapa, aku mau ikut engkau apabila engkau dapat mengalankan aku dan engkohku ini."

"Baik, asal engkau tidak ingkar janji saja," sahut Pat Hong cinjin. Pikirnya, masakan anak kecil yang kepalanya gundul dan hanya bagian atas dahi saja yang tumbuh rambutnya seperti kuncung, dapat lolos dari tangannya.

"Silakan mulai," seru Ah Liong.

Pat Hong cinjin maju dan bergerak dengan, jurus Harimau-menerkam-kambing. Tetapi tiba2 Ah Liong menyelinap ke belakang dan menarik jubah pertapa itu.

"Jangan kurang ajar!" bentak Pat Hong seraya berputar ke belakang dan menampar, brat, terdengar suara kain robek. Ternyata karena Ah Liong menerkam ujung jubah pertapa itu kencang2 dan pertapa itu berputar tubuh maka robeklah jubahnya bagian belakang.

"Bagus, adik," seru Huru Hara geli melihat pertapa itu menyeringai, "nanti bagian muka aku yang merobeknya, biar dia bercelana saja tanpa jubah!"

"Bagaimana kalau tali celananya kutarik putus, engkoh?" seru Ah Liong,

"Ah, jangan adik," seru Huru Hara, "nanti semua orang akan lari. "

"Tetapi biarlah di dunia ini terdapat banyak orang yang tali celananya putus, jangan hanya aku sendiri, engkoh!"

Sudah tentu Pat Hong cinjin malu sekali. Dia juga seorang tokoh persilatan kelas satu, seangkatan dengan Tong Kui Tik. Jubahnya  ditarik sampai robek dan dibuat bulan2 olok-olok oleh kedua anak itu, dia marah.

Sebenarnya dia belum tahu siapa Ah Liong. Mengira kalau anak yang berambut kuncung itu tentu mudah ditangkap maka Pat Hong cinjin pun tidak menggunakan jurus dan tenaga yang hebat, Akibatnya dia harus menderita robek jubah belakangnya.

"Bagus, anak kecil, engkau berani kurangi ajar kepadaku. Nanti akan kulaporkan kepada engkongmu," kata Pat Hong cinjin seraya mulai melancarkan serangan. Dia tak mau menggunakan! pukulan karena kuatir akan melukai Ah Liong. Dia hanya menggunakan Eng-jiau-kang atau Ceng kereman-garuda, dikombinasi dengan Siau-kin-na-jiu atau ilmu Menyambar senjata atau tangan kawan.

Tetapi Ah Liong tidak semudah yang diperkirakan. Anak kuncung itu bagaikan seekor kelinci yang gesit. Huru Hara melihat di tepi gelanggang dengan penuh perhatian. Sewaktu Ah Liong terancam bahaya, dia tentu akan memberi pertolongan.

Sementara itu Coan-ti-jin si Manusia serba-tahu dan sasterawan Ko Cay Seng pun sudah mulai bergerak menyerang nenek Gok.

Rupanya Coan-ti-jin sudah memberi kisikan kepada Ko Cay Seng sehingga keduanya tidak menggunakan senjata melainkan dengan tangan kosong. Ko Cay Seng mengganti sepasang senjata pit dengan dua buah jari tangannya untuk memain kan ilmu tutuk Lian-hoan-tiam-kiu-hiat atau Menutuk-sembilan-jalandarah. Walaupun dia hanya dapat mencapai tataran dapat menutuk enam jalandarah saja dan walaupun hanya menggunakan dua buah jari tangan, tetapi lihaynya bukan kepalang. Jika Ko Cay Seng menyerang dari muka maka Coan-ti- jin si Manusia-serba-tahu, menyerang dari belakang. Kedua tokoh itu tak menghiraukan soal tata-susila persilatan. Mereka mengerubuti nenek itu. Dan nenek Gok itu memang membuktikan diri bahwa dia layak dikeroyok dua orang. Dengan tongkat Ci-thiat-ciang, dia dapat menghalau serangan dari muka dan belakang lawannya.

Walaupun Ko Cay Seng berusaha untuk me lobos dan menuluk tubuh lawan, begitu pula Jun-ti-jin dengan pukulan Mo-thian-ciang atau Pukulan Mencakar-langit yang kesaktiannya setaraf dengan pukulan Biat-gong-ciang atau pukulan membelah-udara, namum keduanya tak mampu untuk menerobos dinding bayangan tongkat yang seolah menyelimuti tubuh nenek itu.

Huru Hara sempat pula untuk menyedapkan mata memandang kearah pertempuran ketiga orang itu. Dia terkejut menyaksikan kepandaian nenek itu. Tiba2 ia mendengar suara Ah Liong berteriak, "Hayo, pertapa, kejarlah aku kalau mampu.”

Ketika Huru Hara berpaling ternyata Ah Liong memang sudah lari dan dikejar. Pat Hong cinjin, "Hm, setan cilik, mau lari kemana engkau!" seru pertapa itu.

Huru Hara terkejut. Entah apakah memang si kuncung hendak main siasat atau memang benar2 tak tahan menghadapi pertapa Pat Hong sehingga terpaksa lari tetapi pokoknya anak itu terancam bahaya maka Hura Harapun segera mengejar.

Memang betapapun lihaynya, Ah Lioug baru berumur 8- 9 tahun. Dalam latihan dasar, dia memang sudah mencapai tingkat tinggi. Dia bertenaga kuat dan dapat menggunakan supit untuk menangkap nyamuk dan lalat, dapat menangkap ikan dengan tangan dan dapat juga memainkan beberapa jurus ilmusilat. Tetapi berhadapan dengan seorang tokoh semacam Pat Hong cinjin, sudah tentu dia harus kalah. Tetapi dengan dapat memberi perlawanan sampai berpuluh jurus, Ah Liong cukup mengejutkan hati pertapa itu.

Lari Ah Liong pesat sekali. Ternyata dia menuju ke hutan pohon siong. Tampaknya si kuncung itu dengan santai loncat kian kemari, biluk kanan kiri tetapi Pat Hong cinjin tertegun memandang keadaan susunan pohon siong yang berada dalam hutan itu.

"Hm, pohon siong dalam hutan ini tampaknya bukan tumbuh secara wajar tetapi memang ditanam secara teratur," sejenak Pat Hong cinjia menimang- nimang.

"Hai, pertapa, mengapa berhenti? Hayo, kejarlah aku !" teriak Ah Liong mengejek.

"Kalau tak salah, hutan pohon siong ini merupakan barisan Kiu-kiong-pat-kwa-tin," setelah merenungkan beberapa jenak, Pat Hong cinjin menilai.

Kiu-kiong artinya sembilan istana. Pat-kwa artinya siku- delapan dan Tin artinya barisan. Barisan Sambilan-istana- delapan-siku, demikian arti Kiu-kiong-pat-kwa-tin itu.

Pat Hong cinjin juga tahu tentang ilmu barisan. Namun terhadap Kiu-kiong-pat-kwa-tin, dia memang agak tak begitu faham.

"Baik, setan cilik, tunggulah kuringkus engkau!" katanya seraya terus melangkah maju. Dengan hati - hati sekali dia melintasi setiap kiong (istana) yang mempunyai bentuk segi delapan.

Siat Pat Hong cinjin memasuki barisan pohon siong. Huru Hara pun tiba. Dia tahu pohon siong, Huru Harapun tiba. Dia tahu apa sebenarnya hutan pohon siong itu. Melihat Pat Hong masuk kedalam hutan untuk mengejar Ah Liong, Huru Harapun terus mengejar,

Beberapa saat kemudian, dia menjerit kaget, Hai mengapa aku masih tetap berada disini ?"

Ternyata walaupun dia lari tetapi akhirnya masih tetap berada di gunduk pohon siong bentuk segi-delapan. Sedang Pat Hong cinjin makin lama makin jauh.

Dia berusaha lari lagi, ah kembali dia tiba di tempat

semula lagi. Berulang kali ia mencoba namun jalanan yang mengitari gerumbul pohon siong itu tetap kembali ketempat semula.

"Aneh, mengapa pertapa itu dapat menyusup makin kedalam sedang aku tetap berada ditempat ini saja ?" ia bergumam seorang diri. Diperiksanya jalan itu tetapi tak ada yang aneh.

Akhirnya ia mendapat akal. Segera ia manjat keatas sebatang pohon siong. Dari puncak pohon itu ia memandang ke sekeliling penjuru.

"Celaka, kemanakah anak itu ? Dan pertapa itu juga tak kelihatan," katanya seorang diri. Dia benar2 heran. Dan serentak timbullah dugaan lain, "Hai, jangan2 anak itu sudah tertangkap si pertapa, celaka !"

Dia segera meluncur turun, "Hm, karena engkau maka aku sampai kehilangan jejak Ah Liong!'' ia menuding dan memaki gerumbul pohon siong di hadapannya, "hm, engkau memang perlu dihajar"

Dia terus menyingsingkan lengan baju dan kepalkan tinju. Pada saat hendak menghantam, tiba2 ia teringat akan pedang pandak yang didapatnya di dasar telaga Kaca, "Uh, celaka, pedang itu masih ketinggalan di kamar !" Karena marah, rupanya penyakit linglung Huru Hara angot. Dia lupa tujuannya untuk menyusul Ah Liong. Saat itu pikirannya hanya tertumpah untuk membabat gerumbul pohong siong saja. Segera dia lari keluar dari lingkungan gerumbul pohon siong dan terus menuju ke pondok penginapannya.

"Celaka !" selekas melangkah masuk ia menjerit kaget karena melihat cektay (tempat lilin) sudah dekat di tepi meja. Pada hal lilinnya masih menyala terang. Kalau bergeser sedikit lagi, tentulah cektay itu akan jatuh menumpah ke tempat tidurnya. Kasur tentu akan dimakan api dan kasur itupun tentu akan timbul kebakaran.

“Hm semberono sekali si kuncung Ah Liong. Masakan menaruh tempat lilin di tepi meja,” buru2 ia memindah cektay yang terbuat dari besi itu ke tengah meja lagi.

"Haya kembali dia berteriak, kaget ketika memandang ke dinding. Pedang itu ia gantung pada sebuah paku di dinding papan. Tetapi sekarang pedang itu tidak bergelantung lagi melainkan melekat pada paku itu.

"Eh, mengapa berat ?" waktu hendak mengambil, pedang itu terasa melekat sekali pada paku, “uh.....," akhirnya ia dapat juga menarik pedang itu tetapi berikut dengan pakupun terlepas dari dinding papan. Dan setelah ditarik barulah paku itu mau lepas.

Huru Hara heran. Dibawanya pedang itu kemeja. Ia hendak memeriksa. Tetapi waktu didekatkan pada cektay lilin, tiba2 cektay itu bergerak meluncur dan melekat pada pedang.

"Ah, apakah pedang ini mempunyai daya tarik yang kuat

?" pikir Huru Hara. Ia coba mendekatkan pada cektay lilin dan ih, cektay itu pun meluncur datang, "wah, celaka, kalau pedang ini tak diberi tutup, tentu akan ‘'menyerdot barang2’ nanti"

Sekali lagi ia mendekatkan pedang itu pada dinding papan ternyata tidak melekat. Pada meja juga tidak mau lekat, "O, kalau begitu, "pikirnya," pelang ini tidak menyedot bangsa kayu melainkan hanya logam besi saja."

Kemudian timbul pikirannya lagi "Mengapa pedang ini telanjang ? Ah, kemungkinan tentu ada tutupnya. Apa tutupnya tidak ketinggalan di dasar telaga.?"

Cepat sekali Haru Hara mengambil keputusan. Ia segera tinggalkan pondok dan menuju ke telaga Kia-ti atau Telaga Kaca.

Telaga itu sudah tampak dari kejauhan. Malam iiu walaupun rembulan pudar tetapi langit bertabur bintang. Tiba2 ia dikejutkan oleh suara berisik mirip orang berkelahi.

Setelah melintas gerumbul pohon, iapun dapat memandang bebas kearah telaga, Tetapi seketika itu ia terkejut ketika melihat Ah Liong sedang diserang pertapa' Pat Hong. Dan sebelum ia sempat berteriak memanggil Ah Liong, tiba2 pertapa itu membentak sekeras-kerasnya, "Jangan kurang ajar, setan cilik . . ."

"Ihhhhh," Ah L;ong menjerit dan tubuhnya melayang jatuh kedalam telaga.

Melihat itu Huru Hara gugup Sekali dua kali ia mengayun tubuh, Huru Hara melayang menerkam Pat Hong cinjin "Pertapa keparat, engkau berani mencelakai adikku !"

Pertapa itu terkejut. Cepat ia songsongkan sebelah tangannya untuk menghalau. Tetapi dia menjerit kaget ketika dilanda oleh arus tenaga-tolak yang hebat. Dia terlempar sampai setombak jatuhnya. Untung dia masih dapat berjumpalitan dan berdiri tegak.

"Pertapa jahanam, mampuslah engkau !" teriak Huru Hara seraya menghantam pula.

Pat Hong cinjin terkejut. Dia berusaha untuk menangkis dengan mengerahkan segenap sisa tenaganya, uhhhhh....

kembali dia terlempar satu setengah tombak dan huak, mulutnya muntah darah. Serentak dia terus lari kedalam hutan, sambil mendekap perutnya.

Huru Hara hendak mengejar tetapi tiba2 dia mendengar suara keras macam kerbau menguak. Ketika berpaling ia terkejut. Dilihatnya seekor kerbau bule (putih) tengah berlari menuju ke telaga dan terus terjun kedalam telaga itu. Huru Hara-pun serentak teringat bahwa Ah Liong masih berada dalam telaga. Dia batalkan maksudnya hendak mengejar Pat Hong cinjin dan terus loncat kedalam telaga juga.

Karena air telaga bening seperti kaca, ia melihat Ah Liong sedang bergeliatan di dasar telaga. Cepat ia menyelam dan menarik tubuh anakj itu ke permukaan air, lalu dia berenang menyeret tubuh anak itu. Tepat pada saat itu kerbau bule pun tiba. Rupanya Huru Hara mengerti akan maksud binatang itu. Kerbau bule itu tentulah kerbau kesayangan Ah Liong. Binatang itu hendak menolong tuannya. Maka dinaikkannya tubuh Ah Liong ke punggung kerbau bule itu dan mereka segera berenang ketepi. Setelah naik ke daratan, Huru Hara membopong tubuh Ah Liong dan diletakkan di bawah pohon.

Ah Liong pingsan. Karena termakan pukulan Pat Hong cinjin, napas anak itu sesak dan ketika tercebur kedalam air, dia tak dapat berbuat apa2 kecuali bergeliatan. Tetapi karena terminum banyak air, akhirnya hilanglah tenaganya dan Ah Liongpun tenggelam di dasar telaga. Sebenarnya dia dapat berenang tetapi karena menderita luka-dalam pada pernapasannya, tenaganyapun lunglai.

Kerbau itu menguak lagi lalu menggigit leher baju Ah Liong, diangkat dan dijungkirkan ke bawah. Huakkkk . . . huak berulang kali dari mulut Ah Liong yang kepalanya

terjungkir ke bawah itu, memuntahkan air.

"Huh, aku kalah pintar dengan kerbau," gerutu Huru Hara dalam hati.

Kerbau bule itu meletakkan tubuh Ah Liong ke tanah lagi lalu menjilat-jilat muka anak itu. Tak berapa lama Ah Liong merintih dan bergeliatan. lalu membuka mata, "O, engkau Bule, engkau menolong aku ?"

"Ah Liong !" teriak Huru Hara.

"O, engkau engkoh Hok," Ah Liong berusa untuk duduk tetapi dia tampak meringis kesakitan.

"Apakah engkau terluka ?" tanya Huru Hara.

"Mungkin," sahut Ah Liong, "dadaku terasa nyeri kalau bernapas."

"Jangan kuatir, aku punya pil yang manjur,' seru Huru Hara seraya merogoh kedalam baju dari mengeluarkan sebuah botol putih. Ia menuang dua butir pil warna merah dan suruh Ah Liong minuml

Ah Liong percaya penuh pada Huru Hara Tanpa banyak tanya lagi dia terus meminumnya! Beberapa saat kemudian ia rasakan dadanya longgar dan napasnyapun lancar lagi. "Terima kasil engkoh Hok. Apakah engkau yang menolong aku tadi ?"

"Bukan hanya aku saja, juga kerbau bule ini Apakah ini kerbau kule yang engkau ceritakan itu ?" Ah Liong mengiakan.

"Ah Liong, mengapa engkau berada di tepi telaga ?" tanya Huru Hara.

Ah Liong bercerita. Ia memang hendak mancing Pat Hong cinjin supaya masuk kedalam barisan Kiu-kiong-pat- kwa-tin pohon siong, "ternyata pertapa itu mampu melintasi barisan pohon dan tetap mengejar aku. Aku bingung dan melarikan diri ke telaga. Pikirnya, kalau memang terpaksa aku akan terjun kedalam telaga saja untuk menghindari kejaran pertapa itu."

"O," desuh Huru Hara.

"Tetapi sebelum aku sempat loncat kedalam telaga, pertapa itu sudah tiba dan terus menerkam. Aku nekad, engkoh Hok ..."

"Nekad bagaimana?"

"Aku menyelinap ke belakangnya dan menarik tali celananya biar putus!"

"Huh?" Huru Hara terbelalak, "perlu apa engkau hendak menarik tali celananya?"

"Biar putus dan celananya melorot ..." "O, lalu?"

"Dia tentu malu dan lari "

"Ha, ha, ha," Huru Hara tertawa mengakak, "menjaga engkau masih teringat peristiwa itu saja, Ah Liong."

"Biarlah," kata Ah Liong, "aku benar2 tak puas kalau hanya aku sendiri yang celananya melorot. Aku menghendaki lain2 orang juga. Makin banyak makin baik supaya aku dapat teman." "Lalu bagaimana pertapa itu waktu hendak engkau tarik tali celananya?"

"Dia berputar tubuh dan menghantam aku terlempar jatuh kedalam telaga!"

Huru Hara teringat. Waktu ia datang dan menghantam, pertapa itu hanya menangkis dengan sebelah tangan. Dan ketika melarikan diri pertapa Itu juga mendekap perutnya, "Uh, ha, ha, ha, tentulah karena talinya putus ditarik Ah Liong, pertapa itu kuatir celananya melorot maka dia mendekap kencang2," Huru Hara tertawa.

"Ah Liong, mari kita tengok nenek Gok yang sedang bertempur dengan kedua orang tiu," kata Huru Hara pula.

Tiba di halaman pondok kediaman si nenek ternyata keadaannya sunyi senyap. Nenek Gok dan kedua lawannya itu sudah tak kelihatan lagi.

"Hai, kemanakah mereka ?" seru Huru Hara. Tiba-tiba si Bule menguak dan lari menghampiri ke sebuah gerumbul. Dia menyusup kedalam gerumbul itu dan keluar lagi dengan menggigit leher baju seorang wanita tua.

"Hai, nenek !" teriak Ah Liong seraya menghampiri. Memang benar tubuh wanita tua yang diletakkan di tanah oleh si Bule itu, tak lain adalah nenek Gok. Tetapi nenek itu sudah tak bernyawa lagi. Muka dan tubuhnya berobah hitam warnanya.

"Ah nenek ini tentu kena racun," kata Huru Hara, "tentulah kedua kaki tangan Ceng itu menggunakan senjata beracun untuk membunuhnya.

Memang dugaan Huru Hara tepat. Karena tak dapat mengalah nenek Gok, Coan-ti-jin si Manusia-serba-tahu menabur nenek itu dengan bubuk putih. Bubuk itu memang tak mampu menembus lingkaran sinar tongkat nenek Gok. Tetapi ketika terhantam tongkat, bubuk itu meletus dan menghamburkan asap tebal Menghadapi asap, tongkat si nenek tak berdaya menghalau. Pada hal asap itu mengandung racun ganas. Sesaat nenek Gok menyedot asap itu, kepalanya segera terasa pusing, gerakan tongkatnyapun mengendor. Pada saat itulah tenaga-sakti Mo-thian-ciang dari Coan-ti-jin berhadap menghantam punggung si nenek sehingga nenek itu terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan diri. Ko Cay Seng menyelesaikannya dengan sebuah tutukan pada uluhati. Seketika putuslah nyawa nenek itu. Namun sebelum ia menghembuskan napas yang terakhir, secara tak terduga- duga oleh Coan-ti-jin yang maju menghampiri, nenek Gok berhasil menaburkan jarum beracun kearah Coan-ti-jin. Coan-ti-jin terkejut dan berusaha menghindar. Memang dadanya selamat sehingga dia tak sampai mati tetapi lengan kirinya tersambar jarum beracun itu juga.

Coan-ti-jin merasa betapa cepat racun jarum itu bekerja. Maka tanpa ayal lagi, dia terus dicacabut pedang dan mengutungi lengan kirinya sendiri. Kemudian melumuri obat kim jong-san minta tolong Ko Cay Seng untuk membalut.

Setelah merampas tongkat si nenek, kedua orang itupun segera pergi.

"Mana tongkat ?" tiba2 Ah Liong berteiak lalu lari untuk mencari kedalam gerumbul tetapi tak berhasil.

"Percuma," seru Huru Hara, "tentu sudah dibawa kedua penjahat itu. Sekarang kita kubur dulu nenek ini. Setelah itu baru kita nanti pikir lagi bagaimana cara untuk merebut kembali tongkat itu." Demikian mengingat nenek itu sudah merawatnya beberapa tahun, Ah Liong segera membuat liang dan mengubur mayat nenek itu.

Saat itu haripun sudah fajar. Huru Hara mengajak Ah Liong masuk kedalam pondok untuk beristirahat.

"Ah Liong, bagaimana kehendakmu? Apakal engkau tetap tinggal disini?" tanya Huru Hara.

"Tidak engkoh, aku hendak mencari empekku yang bernama Tong Kui Tik itu," kata Ah Liong.

"Bagaimana dengan pondok ini?" "Biarkan sajalah."

"Lalu si Bule?"

Ah Liong menghela napas, "Ah, sejak kecil kerbau itu sudah kupelihara. Walaupun kerbau tapi si Putih itu lebih cerdas dari kerbau umumnya. Dia seperti mengerti apabila kuajak bicara.”

"Lalu, bagaimana maksudmu?" "Akan kubawa juga."

"Tetapi kemana engkau hendak mencari engkongmu itu?"

“Entahlah. kemana saja asal bisa ketemu."

Huru Hara temenung-menung. Entah bagaimana ia rnerasa kasihan pada anak itu. Namun ia masih  mempunyai banyak tugas yang belum selesai. Tiba2 ia

.teringat -akan sumoaynya yang masih berada di gunung, "Ah, kalau sumoay tahu anak ini, dia tentu senang kalau mendapat adik. Aku sebatang-kara, Liok sumoay juga sebatang kara dan si kuncung Ah Liong ini juga sebatang kara. " "Engkoh Hok, mengapa engkau termenung-menung ?" tiba2 Ah Liong menegur.

"Engkau belum pernah keluar kemana-mana, bagaimana engkau hendak mencari engkongmu ?" Huru Hara menghela napas, "aku sungguh tak tegah melepas engkau, Ah Long."

"Engkoh Hok mau kemana sih ?" "Aku hendak mencari pamanku." "Dimana ?"

"Kemungkinan besar dia ditawan oleh lasykar rakyat yang menyerang kota Sam-kwan. Akan ku mintanya kembali dari tangan mereka."

"Aku ikut, engkoh.

"Ikut ? Ah, berbahaya sekali, Lasykar rakyat tentu mengira aku seorang penghianat. Kemungkinan besar mereka malah akan menangkapku juga."

"Lho, aneh. Apakah engkau seorang penghianat ?"

Huru Hara gelengkan kepala. Dengan ringkas ia menceritakan peristiwa yang dialaminya ketika berada di gedung tihu kota Sam-kwi. Lasykar Rakyat tentu menganggap aku seorang penghianat karena menolong panglima Totay itu

"Tetapi engkoh kan tidak senang kepada Totay ?" "Sebagai  manusia,  aku  tak  boleh  membeli  manusia.

Sebagai  seorang  ksatrya,  aku  harus  menghormati seorang

ksatrya. Tetapi sebagai rakyat Beng aku harus membunuhnya."

"Bagus, bagus, engkoh Hok. Aku ikut engkau !" "Hus, ikut apa ?" "Ikut engkau mencari paman itu. “Kalau Iasykar Rakyat itu hendak menangkap engkau akan memberi keterangan kepada mereka."

Huru Hara geleng2 kepala namun dalam hati ia geli, pikirnya," Dulu orang2 mengatakan aku ini seoran blo'on. Tetapi mengapa sekarang aku merasa anak ini blo'on ? Apakah karena anak ini blo'on maka aku lalu sembuh dari blo'on. apakah karena dia lebih blo'on maka blo’onku berkurang dan merasa tidak blo'on ?”

"Engkoh Hok," tiba2 Ah Liong berlutut di hadapan Huru Hara, "izinkanlah aku ikut engkau. Aku suka kepadamu, engkoh Hok. Aku akan menurut apa yang engkau perintahkan "

Tersentuh juga hati Huru Hara melihat anak kuncung itu. Dia memang tak tegah melepas anak itu pergi mencari engkongnya sendiri.

"Baiklah," katanya, "nanti setelah bertemu dengan pamanku, akan kuantarkan engkau pulang ke rumahku dulu."

"Dimana rumah engkoh? "Dipuncak Giok-li-nia."

"Tetapi apakah papa mama engkoh tak marah kepadaku

?"

Huru Hara gelengkan kepala, "Aku sudah tak punya

orangtua lagi."

"Lalu engkoh tinggal dengan siapa ? Apakah dengan paman itu ?"

"Tidak," sahut Huru Hara, "paman itu juga harus kuperoleh dalam perjalanan. Yang tinggal di gunung adalah sumoayku. Engkau tahu arti sumoay ? Adik seperguruan." "Perguruan apa ?" "Perguruan silat."

"Wah, kalau begitu engkoh Hok tentu pandai main silat, ya ?"

Huru Hara gelengkan kepala, "Tidak, aku tak suka belajar silat."

"Tidak suka belajar silat tetapi punya adik seperguruan, aneh , . ," Ah Liong garuk2 rambut kuncunguya.

Huru Hara tertawa.

"Lalu siapa yang jadi gurunya ?" tanya Ah-Liong. "Almarhum ayahku."

"O, ayah engkoh Hok ini seorang guru silat yang pandai

?"

"Begitulah kata orang."

"Tetapi mengapa engkoh tak mau belaja silat ?"

"Entah, aku sendiri tak tahu dan akupun tak berani

memaksa." "Memaksa siapa ?"

"Memaksa diriku sendiri."

"Siapa nama sumoay engkoh itu ? Berapa umurnya ? Dia laki atau perempuan ? Besar mana dengan aku dan orangnya baik "

"Sudah, sudah Ah Liong, jangan nerocos seperti hujan," Huru Hara menyetopnya, "Namanya Liok Sian Li, umurnya 17-an tahun. Besar dia dengan engkau. Dia seorang gadis . . ,." "Matiiik aku," teriak Ah Liong," orang perempuan itu tentu galak, contohnya seperti nenek itu, salah sedikit saja terus main gebuk."

Huru Hara tertawa, "Jangan kuatir, Ah Liong. Dia tidak galak. Dia tentu gembira sekali mendapat adik seperti engkau."

"Sungguh? Wah, aku juga senang kalau punya taci yang baik hati," teriak Ah Liong.

"Baiklah, sekarang engkau boleh mengemasi apa yang hendak engkau bawa. Eh, mengapa sekarang engkau pakai baju monyetan begitu?"

"Siiiiip, deh." "Apanya yang sip?"

"Dengan pakai baju-monyetan begitu, aku tak kuatir akan mengalami tali celana putus lagi."

Huru Hara tertawa, "Lagi2 soal itu."

"Tentu," sahut Ah Liong, "itu kan kehormatan kita, mana boleh ditontonkan orang."

"Sudahlah, cepat ambil barangmu," kata Huru Hara," dan mari kita segera berangkat.

Tak berapa lama Ah Liong keluar dengan membawa sebuah buntelan berisi pakaian. Disamping itu dia juga membawa sebatang tanduk kerbau."

"Lho, apa itu?" tegur Huru Hara.

"Tanduk si Bule," kata Ah Liong, "dulu pernah tempat ini kedatangan seekor harimau. Aku lari ketakutan tetapi untung muncullah si Bule. Dengan gagah berani Bule menyerang harimau itu. Harimau itu dapat melukai punggung si Bule. Si Bule ngamuk. Dia menerjang harimau itu dan menanduk sekuat-kuatnya. Celaka . . . harimau itu dapat menghindar terus melarikan diri sedang tanduk si Bule kena pada batu besar. Sedemikian kuat si Bule menanduk sehingga batu besar itu bergerak lalu bergelundungan kedalam jurang. Sedang tanduk si Bule juga putus satu."

"Buat apa engkau simpan tanduk itu?" "Buat peringatan saja."

"Wah, celaka!" tiba2 Huru Hara meloncat bangun. "Kenapa?"

"Tunggu sebentar," Huru Hara terus lari menuju ke telaga, "Ah, untung masih disini," ia memungut sebatang pedang pandak yang menggeletak di tepi telaga. Ternyata waktu mencebur ke dalam telaga untuk menolong Ah Liong tadi, ia meletakkan pedang pandak itu di tanah. Dan waktu pulang ke pondok, dia lupa mengambilnya.

"Ini lho, aku lupa mengambil pedang yang ketinggalan di tepi telaga," kata Huru Hara.

"O, pedang yang engkoh dapatkan di dasar telaga itu?" "Ya,"     sahut     Huru     Hara,     "pedang     ini  ternyata

mengandung daya-sedot yang luar biasa kuatnya. Nih, coba

lihat," ia meletakkan pedang itu di meja dan cektay lilin segera bergerak menghampiri dan terus melekat pada pedang.

"Ah, sama dengan tongkat nenek!" seru Al Liong.

"O, apakah tongkat itu juga mengandung daya-sedot?" Huru Hara terkejut.

"Tidak semuanya, hanya bagian ujungnya saja, lebih kurang sejengkal jari panjangnya." "Ah tiba2 Huru Hara teringat mengapa ketika ditangkap si nenek, dia sama sekali tak berdaya seperti orang kehilangan tenaga. Kemungkinan karena daya dari tongkat itu.

"Mengapa engkoh Hok?" Huru Hara menceritakan pengalamannya ketika ditangkap si nenek.

"Benar, memang selain tongkat, juga kuku jari nenek itu telah dipasangi dengan besi yang dapat menyedot tenaga- dalam orang," Ah Liong membenarkan.

Kini Huru Hara makin jelas apa sebab dia tak dapat melawan si nenek.

"Begini, Ah Liong," katanya, "jika engkau tak keberatan, kasihkan itu kepadaku."

"Untuk apa?"

"Akan kubuat kerangka pedang ini, biar tak menyedot. Kurasa kalau diberi kerangka tanduk atau kayu, daya-sedot pedang ini tentu berkurang.”

Ah Liong menyerahkan tanduk itu. Dan mulailah Huru Hara melubangi tanduk itu untuk dijadikan kerangka pedang pandak.

Sejam kemudian, jadilah kerangka itu. Kini pedang pandak sudah mempunyai kerangka. Pedang itu memang terbuat dari besi sembrani atau magnit. Tidak berapa tajam tetapi memiliki daya sedot yang ampuh sekali. Senjata- rahasia yang dilontarkan musuh ataupun senjata lainnya, tentu akan tersedot melekat pada pedang itu.

"Bagus, engkoh Hok," seru Ah Liong, "lalu engkau namakan apa pedang itu?"

"Iya, ya," kata Huru Hara, "pedang ini juga perlu nama. Bagaimana kalau kusebut Pik-kak kiam atau pedang Tanduk-putih? Bukankah tanduk si Bule ini juga putih warnanya?"

"Bagus, engkoh Hok. Aku setuju!" seru Liong.

Setelah selesai semua, keduanya segera tinggalkan pondok itu. Ditengah jalan Huru Hara mengatakan bagaimana waktu hendak mengejar pertapa Pat Hong yang memburu Ah Liong, dia tersesat dalam hutan pohon siong, "Aku berlari tetapi tetap kembali ketempat semula saja."

"Memang begitu," kata Ah Liong, "hutan pohon siong itu sebenarnya dibentuk menurut sunan barisan Kiu-kiong- pat-kwa-tin. Kalau orang tak mengerti ilmu barisan, tentu tak dapat keluar dari hutan pohon siong itu."

"O," seru Huru Hara, "makanya aku terus selalu berputar-putar saja. Apakah engkau tahu tentang ilmu barisan?"

Ah Liong gelengkan kepala, "Tidak. Aku hanya diam2 memperhatikan apabila nenek masuk keluar dari hutan pohon siong itu.

"Ya, ampuuuuun!" tiba2 Ah Liong memekik ketika keluar dari sebuah tikung lereng.

"Kenapa?"

"Itu si Bule sudah menunggu di mulut jalan," seru Ah Liong seraya menunjuk ke muka. Memang di mulut jalan tampak seekor kerbau putih sedang mendekam.

"Bule, apa engkau mau ikut?" seru Ah Liong ketika tiba di muka kerbau itu.

"Ngggooook!" kerbau putih itu menguak seraya berbangkit dan mendekati Ah Liong.

"Engkoh Hok, apakah Bule boleh ikut?" tanya Ati L ong. Sebenarnya Huru Hara tak suka tetapi menilik betapa dekat, hubungan batin antara si Bule dengan Ah Liong, serentak teringatlah Huru Hara akan lelakonnya dulu ketika ia masih mempunyai piaraan anjing, monyet dan burung. Binatang piaraannya itu sudah tercerai-berai entah kemana ketika ia mengalami beberapa peristiwa yang berbahaya.

Sebagai orang yang tahu akan rasa sayang terhadap binatang piaraan, akhirnya Huru Hara meluluskan juga.

"Bule, lekas haturkan terima kasih kepada engkoh Hok," seru Ah Liong.

Seperti mengerti bahasa manusia, kerbau putih itu terus menghampiri Huru Hara dan menguak seraya menghembus-hembus kaki Huru Hara.

"Baik, Bule, asal engkau menurut perintah saja," kata Huru Hara.

Begitulah mereka segera melanjutkan perjalanan menuju ke kota Sam-kwan. Tiba di pintu kota mereka dihentikan oleh beberapa prajurit.

"Aku hendak masuk kota," kata Huru Hara.

"Masuk kota? Ha, ha, ha,” beberapa prajurit itu tertawa mengakak. Meeeta geli melihat ketiga mahluk yang datang itu. Seorang pemuda dengan dandanan nyentrik macam seorang pendekar kesiangan, seorang bocah laki berpakaian monyetan dan memelihara kuncung dan seekor kerbau  bule.

"Mengapa tertawa?" tanya Huru Hara.

"Kalian ini mahluk dari mana saja? Apakah kalian mimpi?" seru salah seorang prajurit yang masih muda.

"Aku hendak masuk kota, apa tidak boleh?” seru Huru Hara. 'Tidak boleh!" "Mengapa?"

"Kota ini dinyatakan sebagai tertutup."

Huru Hara terkejut. Bukankah dua tiga hari yang lalu kota itu sudah direbut Lasykar Rakyat?

"Kalian ini prajurit mana?" tegurnya.

"O, engkau ini betul2 mahluk dari luar jagad!" seru prajurit itu, "aku prajurit kerajaan Ceng."

"O, apakah kota ini sudah diduduki pasukan Ceng lagi?" "Ya."

"Siapa panglima yang memimpin pasukan Ceng dikota ini?"

"Li ciangkun."

"Li ciangkun? Bukankah dia seorang Han?"

"Ya," sahut prajurit itu, "eh, mengapa engkau hendak masuk kedalam kota ini?"

"Aku hendak menemui pimpinan Lasykar Rakyat yang merebut kota ini tiga hari yang lalu."

"O, engkau anggauta Lasykar Rakyat?" "Bukan."

"Lalu mengapa engkau hendak menemui pimpinan mereka?"

"Aku hendak minta pamanku yang ditawan mereka." "Silakan cari mereka tetapi kota ini sudah diduduki

pasukan Ceng." Huru Haia mengajak Ah Liong tinggalkan tempat itu. Tetapi tiba2 salah seorang prajurit Ceng berseru, "Tunggu!"

"Kenapa?" tanya Huru Hara. "Kalian boleh pergi tetapi tinggalkan kerbaumu itu," seru si prajurit.

"Apa katamu?" tegur Ah L;ong.

"Tinggalkan kerbaumu itu. Sudah lama kami tak makan daging kerbau. Seluruh ayam dalam kota sudah habis kami tangkap. Tapi selama itu tak pernah kami mendapat kerbau."

"Kerbau ini hendak engkau sembelih?" seru Ah Liong "Ya.”

“Lebih baik engkau sembelih aku saja daripada kerbauku ini."

"Uh, siapa sudi makan dagingmu, kuncung!”

"Hm, prajuiit rakus, enak saja engkau hendak mengambil barangku."

"Akan kubayar dengan uang," seru prajurit. "Ho, apa engkau mampu membayar?" "Berapa engkau minta?"

"Seribu tail emas murni, tidak boleh lebih juga jangan kurang!"

"Engkau edan, kuncung !"' teriak prajurit "masakan seekor kerbau seharga begitu tinggi" Jika kubayar dengan uang saja engkau sudah harus bersyukur. Kalau mau, aku dapat merampasnya, mengerti"?"

“Tidak mengerti!"' sahut Ah-Liong. "Apa yang tidak mengerti?" "Omonganmu," sahut Ah Liong, "mana ada orang mengambil kerbau seperti mengambil miliknya sendiri. Milik kakekmu apa bagaimana?"

"Ini jaman perang. Prajurit yang menang perang berhak untuk mengambil apa saja yang disukainya, tahu!''

"Tadak tahu!" bantah Ah Liong, "pokoknya, jangan coba2 mengambil kerbauku ini, kecuali engkau berani membayar harga yang kuminta tadi, tahu!"

"Setan cilik, engkau berani kepada prajurit?" bentak prajurit itu.

"Apakah prajurit itu raja?" "Aku yang berkuasa disini?"

"Silakan saja menguasai siapa yang mau engkau kuasai tetapi aku tidak mau. Kerbau ini milikku, kalau  engkau mau mengambil, harus bayar menurut harga yang kuminta. Kalau mau mengambil dengan percuma, hm "

Rupanya panas hati prajurit itu mendengar sikap dan ucap Ah Liong yang petentang-petenteng. “Engkau mau melawan aku?" serunya.

"Kalau engkau memang hendak merampas kerbauku, apa boleh buat," sahut Ah Liong.

"Bagus, kuncung, kalau engkau dapat mengalahkan aku, akan kubebaskan engkau pergi mebawa kerbaumu."

"Apakah omonganmu itu boleh dipercaya?"

"Tentu," jawab prajurit itu, "semua orang yang berada disini menjadi saksinya.

"Ala, sudahlah Lo Sun, tak perlu pakai janji segala. Kalau mau ambil kerbau itu, ambil saja masakan dia mampu berbuat apa!" kata kawan prajurit. "Tidak," sahut prajurit yang dipanggil dengan nama Lo Sun itu, "aku harus menundukkan! si anak kuncung yang kemaki itu. Biar nanti dia menangis "

"Lekas, kita mulai," seru Ah Liong seraya pasang kuda- kuda.

"Nih, makanlah." seru prajurit Lo Sun seraya menabok gundul Ah Liong. Tetapi cepat sekali pergelangan tangan prajurit itu disambar Ah Liong lalu dipelintir, aduuhhhhh

.... prajurit itu menjerit kaget dan kesakitan sehingga terpaksa dia harus berputar tubuh dan tangannya masih dilekatkan ke belakang punggungnya oleh Ah Liong.

"Hayo, coba engkau bergerak!" teriak bocah itu. "Aduhhhhh,"  prajurit  itu  menjerit  kesakitan  manakala

dia  coba  meronta.  Ternyata  tenaga  Ah  Liong  amat kuat

sekali.

"Mengaku kalah atau belum?" seru Ah Liong. Merah padam muka prajurit itu. Tiba2 ia ayunkan tangan kiri menghantam ke belakang. Tetapi dengan tangkas, Ah  Liong menyambar pergelangan tangan prajurit itu lagi lalu ditelikung dengan tangan yang satu tadi. Kini kedua tangan prajurit itu ditelikung semua oleh Ah Liong, "Hayo, mau bergerak lagi?"

Makin merahlah muka prajurit itu. Dia meringis, untuk menahan kesakitan. Melihat itu kawannya segera menghampiri dan menabok kepala Ah Liong, "Kuncung, lepaskan .... plakkkk, aduhhhh… ”

Ternyata Ah Liong memang cerdik. Begitu hendak dipukul cepat dia menarik tubuh prajurit yang dikuasai itu, disongsongkan sebagai perisai. Akibatnya prajurit itu harus menjerit kesakitan karena mukanya ditampar oleh kawannya sendiri. Plakk, aduhhh .... karena kesakitan, dengan geram prajurit itu menendang kawannya. Akibatnya, prajurit yang hendak menolong tadi malah harus terbungkuk-bungkuk karena perutnya termakan kaki si Lo Sun.

Dua orang prajurit yang lain, marah melihat tingkah laku Ah Liong. Keduanya serempak menghampiri. Tetapi sebelum mereka bergerak, Ah-Liong sudah mendorong Lo Sun kearah mereka bluk, bluk, bluk .... ketiga prajurit itu jatuh timpah tindih.

Dari enam prajurit yang bertugas menjaga pintu kota, sudah empat yang kesakitan. Yang lain marah. Mereka mencabut pedang dan hendak membacok Ah Liong. Tetapi tiba2 si Bule menerjang mereka, uh . . . uh . . . kedua prajurit terkejut ketika tangannya ditanduk si Bule. Pedang mereka jatuh dan merekapun lari tunggang-langgang karena hendak ditanduk si Bule.

"Ah Liong, cukup! Mari kita pergi,"' seru Huru Hara seraya melangkah pergi.

' Kemana engkoh Hok?" tanya Ah Liong di tengah perjalanan.

"Mencari tempat Lasykar Rakyat yang menavvan pamanku itu," sahut Huru Hara.

"Ke mana?" "Ya, di kota ini."

“Lho, di kota ini? Kenapa kita pergi?"

"Kita cari tempat untuk beristirahat dulu Sukur bisa ketemu kedai minum."

"Mengapa tidak sekarang saja kita menemui Lasykar Rakyat itu?" "Belum datang," sahut Huru Hara, "malam nanti mereka baru muncul."'

Ah Liong garuk2 kuncungnya, "Dari mana mereka dan mengapa malam hari baru muncul?”

"Mereka tentu akan menyerang kota ini. Tetapi penyerangan itu biasanya dilakukan pada malam hari. Kita tunggu saja apabila mereka menyerang baru kita ikuti jejak mereka. Sukur bisa bertemu dengan pimpinan mereka.

Beberapa saat kemudian mereka melihat sebuah kedai minum. Merekapun masuk.

Mereka heran karena kedai itu hampir tak ada pengunjungnya. Hanya seorang dua saja.

"Hai, bung, mengapa kedai ini begini sepi?" tegur Huru Hara pada pemilik kedai yang mengantar minuman teh.

"Sejak kota Sam-kwan diduduki pasukan Ceng kota itu ditutup. Orang tak boleh masuk ke luar lagi," menerangkan pemilik kedai.

"Mengapa ?"

"Rupanya pimpinan pasukan Ceng kuatir akan terulang lagi peristiwa yang lalu. Itu waktu pasukan Ceng sudah menduduki kota. Tiba2 pada malam hari lasykar rakyat menyerang mereka sehingga mereka menderita kerugian besar. Lalu datang lagi pasukan Ceng yang lebih besar untuk menduduki kota itu. Dan kota itu dinyatakan sebagai kota tertutup."

"Bagaimana penduduknya ?'"

"Hampir semua penduduk kota sudah mengungsi. Ada yang lari ke gunung ada yang ikut dalam lasykar rakyat."

"Mengapa engkau masih tetap membuka kedai minum ini ? Apakah engkau tak takut kepada pasukan Ceng ?" "Aku sih tak punya apa2" kata pemilik kedai yang sudah tua, "apanya yang akan diambil dari diriku. Dan lagi kecuali kedai ini, mungkin tak ada lagi yang berani buka kedai minum. Dengan begitu kasihan orang2 yang kecele tak dapat masuk kota. Aku harus menolong mereka. Eh, tuan, bukankah engkau juga habis dari kota ?"

Huru Hara mengiakan. "Tak boleh masuk, bukan?" "Ya."

"Nah, itulah. Mereka takut kalau kemasukan mata-mata lasykar rakyat," kata pemilik kedai. Sambil memandang dandanan Huru Hara, dia bertanya, "menilik dandanan tuan, tuan tentu seorang pendekar silat."

"Bukan aku seorang rakyat biasa,"

"Ah, jangan merendah diri. tuan," kata pemilik kedai, "suasana negara sedang genting, dimana-mana timbul peperangan dan kekacauan. Bagaimana mungkin tuan berani melakukan perjalanan apabila tuan tidak memiliki kepandaian silat yang tinggi."

Huru Hara gelengkan kepala. Tiba2 ia mendengar gemuruh dari serombongan pasukan berkuda yang tengah mendatangi. Dan beberapa saat kemudian empatpuluh prajurit berkuda berhenti di depan kedai, Prajurit itu segera berhamburan loncat turun, melangkah masuk.

"Itulah pak, manusia2 jelek yang menganiaya kami tadi," seru seorang prajurit kepada seorang prajurit yang bertubuh tegap kuat.

"Itu ?" prajurit tegap yang dipanggil pak, terkesiap. Dia adalah komandan kelompok barisan kuda. namanya Tuka, seorang perwira suku Boan. Waktu mendengar laporan tentang kota Sam kwan yang diserang dan dibumi-hanguskan oleh pasukan rakyat, panglima besar Torgun marah. Dia mengirim sebuah pasukan yang besar. Kali ini Totay tidak disuruh memimpin, melainkan diserahkan kepada Li Hong, seorang jenderal pasukan Beng yang sudah takluk kepada Ceng. Tetapi seperti telah manjadi kebiasaan, walaupun sudah menakluk dan banyak berbuat jasa dalam peperangan namun kerajaan Ceng tetap tak dapat memberi kepercayaan seratus persen kepada jenderal pasukan Beng. Oleh karena itu setiap pasukan selalu didampingi oleh perwira suku Boan.

Tuka, perwira suku Boan, khusus ditugaskan untuk mendampingi jenderal Li Hong. Karena kota Sam-kwan ditinggalkan oleh lasykar rakyat maka dengan mudah kota itu diduduki lagi oleh pasukan Ceng.

Waktu menerima laporan tentang prajurit penjaga pintu kota yang diamuk oleh dua orang tak terkenal, Tuka segera mempersiapkan barisan berkuda untuk mencari jejak orang itu. Dia duga kedua orang itu tentulah anggauta barisan rakyat yang menyerang pasukan Ceng. Maka betapalah kejutnya ketika melihat orang yang mampu mengobrak- abrik prajurit2 penjaga pintu kota itu tak lebih hanya dua gelintir manusia yang nyentrik. Tuka melongo.

"Pak komandan, memang itulah orangnya," kata prajurit pula ketika melihat komandan pasukan berkuda terlongong- longong.

"O, apakah itu bukan tukang sulap yang sering ngamen d' pinggir jalan ?" tanya Tuka.

"Bukan, pak komandan. Anak yang rambutnya kuncung itulah yang menelikung tanganku," kata prajurit itu pula.

"Itu ? Itu kan bayi kemarin sore ?" teriak Tuka. "Tidak pak. Dia bukan bayi, dia setan cilik! yang ganas,” untuk meyakinkan kepercayaan komandan barisan berkuda, prajurit itu terus maju ke depan meja Huru Hara dan Ah Liong, lalu menuding, "hai, setan cilik, serahkan durimu kuikat 1"

"Mengapa ?" seru Ah Liong.

"Ho, masih berlagak pilon ya ? Bukankah engkau telah melukai aku dan kawan-kawanku?”

"Ah, masa ? Aku kan seorang bayi kemarin sore, mana mampu berkelahi dengan prajurit2 kekar seperti kalian."

"Hm, berani menyangkal kamu ?"

"Tidak," sahut Ah Liong, "coba engkau tanya pada pak jagal, itu, benar tidak aku ini seorang bayi kemarin sore!" — dia menunjuk pada Tuka. Karena orang Boan itu bertubuh tinggi besar dan brewok maka Ah Liong mengatakan dia seorang jagal atau tukang potong kerbau.

"Bangsat, siapa yang engkau sebut jagal itu?"

"Itu sih," kata Ah Liong sembari menuding Tuka.

"Aduh mati aku," keluh prajurit dalam hati, kemudian memaki, "bangsat cilik, dia bukan jagal, dia adalah komandanku!"

"Itu urusanmu sendiri," sahut Ah Liong, 'tetapi bagiku dia memang pantas menjadi seorang jagal.”

"Mampus engkau, bangsat!" prajurit itu terus maju menghantam tetapi Ah Liong cepat menyelinap ke belakang dan terus mencekik tengkuk orang.

Tuka terkejut. Ia tak menyangka kalau anak sekecil itu mampu meringkus seorang prajurit sampai tak dapat berkutik. Sebagaimana watak orang Boan, Tuka juga suka pada orang yang bertenaga kuat dan berilmu tinggi. "Hai, budak kecil, apakah engkau mampu lemparkan tubuh prajurit itu?" serunya. Sudah itu sekalian prajurit berkuda terkejut. Lebih-lebih prajurit itu sendiri. Mengapa bukannya menolong malah suruh anak itu melemparkan prajurit itu. Prajurit2 itu tak tahu bahwa Tuka memang hendak menjajal tenaga Ah Liong. Dia tak percaya anak sekecil itu mampu mengangkat dan melemparkan tubuh si prajurit. Itulah sebabnya dia berani menyuruhnya.

Tetapi Tuka memang tak tahu bahwa Ah Liong memiliki tenaga kuat. Diapun tentu tak pernah menduga bahwa sejak kecil, Ah Liong sudah disuruh menggendong anak kerbau sampai ke telaga. Bertahun-tahun hal itu dilakukan Ah Liong, sejak kerbau bule itu masih kecil sampai sudah sebesar anak gajah. Karena tiap pagi mengangkat si Bule, tanpa terasa Ah Liong tetap kuat mengangkatnya walaupun kerbau itu sudah besar.

Sebesar-besar manusia tentu lebih berat seekor kerbau. Apalagi prajurit itu bertubuh kurusi Dengan mudah Ah Liong mengangkat tubuh prajurit itu lalu dilemparkan kearah prajurit2 berkuda.

Uhhhhh ... , . gemparlah prajurit2 itu ketika menyambuti tubuh kawannya. Dua tiga prajurit beramai-ramai menyanggapi sehingga prajurit itu tak sampai menderita luka.

Tuka terperangah. Benar2 dia tak pernah menyangka bahwa seorang bocah kecil yang berambut kuncung mampu melemparkan tubuh seorang prajurit. Namun apa yang itu memang suatu kenyataan.

"Eh, engkau ini anak manusia atau anak setan ?" akhirnya ia menegur.

"Anak setan," sahut Ah Liong "Jangan kurang ajar," bentak Tuka.

"Aku tidak kurang ajar. Nenekku cukup mengajar aku." "Mana ada anak setan," gumam Tuka.

"Kalau tahu tidak ada setan mengapa engkau bertanya apakah aku ini anak setan ?" batas Ah Liong.

"Karena kalau anak manusia, tak mungkin bocah sekecil engkau mampu mengangkat dan melemparkan seorang prajurit."

"Jangankan hanya prajurit, kudapun aku dapat melemparkan. Tak percaya ? Coba saja berikan kudamu itu kepadaku, nanti tentu akan kulermparkan !"

Tiba2 Tuka mendapat akal. Dia hendak memberi sedikit hajaran kepada Ah Long, "Biar bocah kuncung ini tidak terlalu kemlinti," pikirnya.

Ia tahu bahwa kudanya itu seekor binatang yang kuat dan mempunyai naluri tajam. Begitu dipegang lain orang tentu akan melonjak dan menyepak.

"Baik," kata Tuka, "kalau mampu melemparkan kudaku, engkau benar2 seorang anak ajaib."

"Tidak!" seru Ah Liong, "tidak mau!" "Lho, kenapa?"

"Percuma saja aku mengangkatnya kalau hanya mendapat hadiah pujian sebagai anak ajaibi Pujian itu tak berguna. Dipuji atau tidak, aku tetap begini. Apa manfaat pujian itu kepada diriku?”

"Lalu bagaimana maksudmu?" tanya Tuka. Entah bagaimana karena melihat seorang boca kuncung yang kemaki dan pandai bicara, tanpa disadari Tuka, pemimpin barisan berkuda dari pasukan Ceng, tertarik dan terhanyut dalam pembicaraan yang panjang.

"Engkau harus berikan kuda itu kepadaku,” kata Ah Liong.

"Kalau engkau gagal?"

"Engkau boleh menghajar aku sampai 50 kali rangketan, setuju?"

Malu hati Tuka karena ditantang oleh seorang anak kecil, "Baik, aku setuju," akhirnya ia menerima tantangan itu.

Tuka turun dari kuda dan membiarkan kuda itu berdiri di tengah gelanggang. Ah Liong segera menghampiri.

"Ah Liong, jangan diangkat, kuda itu akan menyepakmu nanti," Huru Hara cepat mencegah.

"Habis bagaimana caraku mengangkatnya?!

"Engkau tak diharuskan mengangkat melainkan cukup engkau lemparkan saja,” Huru Hara memberi kicupan mata.

Ah Long memang cerdas. Ia tahu apa yang diisyaratkan Huru Hara. Maka diapun maju menghampiri kuda. Dia tak langsurg mengangkat kuda yang jauh lebih tinggi dari kepalanya. Melainkan berputar-putar mengelilingi binatang itu seperti orang yang tengah meneliti.

Kuda itu seekor kuda tegar berbulu hitam mengkilap. Berasal dari daerah Sia-kiang yang terkenal mengeluarkan kuda pilihan. Benar2 seekor kuda perang yang gagah perkasa. Tampaknya kuda itu terlatih baik sekali. Dia diam saja dan hanya melirik pada si kuncung Ah Liong. "Eh, mengapa kiyer2? Mau main mata sama gua, ya?" tiba2 Ah Liong berhenti di samping kuda, tepat di sisi kepala kuda itu.

Memang entah karena kena angin, atau mungkin tertimpa sinar matahari, atau mungkin memang hendak mengejek, kuda hitam itu memicing-micingkan matanya kepada Ah Liong.

"Eh, tertawa nyengir!" teriak Ah Liong pula ketika kuda itu menyeringai menampakkan giginya, "lu gila, ya? Lu kira gua ini pacar lu rnalu hendak ajak main mata dan main senyum!"

"Ha, ha, ha. haaaa.....," terdengar gelak tawa riuh dari kawanan prajurit Ceng ketika menyaksikan adegan lucu antara seorang anak berambut kuncung dengan kuda hitam milik pemimpin mereka.

"Jangan2 anak itu gila," seru salah seorang prajurit. "Atau dia memang bukan anak manusia !"

"Benar, kemungkinan dia anak setan."

Demikian riuh rendah prajurit2 itu memberi komentar kepada Ah Liong. Tetapi ada juga yang berkata. "Anak kambing tak takut harimau.! Pepatah itu tepat sekali. Lihat, bocah itu seorangl bocah gunung yang belum pernah terjun ke masyarakat ramai. Masakan dia berani menantang pada komandan kita "

'"Eh, lu setan hitam," seru Ah Liong pula tanpa mengacuhkan segala omongan kawanan prajurit, "mentang2 lu bertubuh tegap dan perkasa, ya. Apa lu kira gua tak mampu melempar tubuh lu ? Hm, jangankan melempar, mencabut alis mata lu pun aku sanggup. Tak percaya ? Boleh, boleh, buktikan sendiri " Tiba2 Ah Liong mengeluarkan sepasang sumpit. Sebelum kuda itu sempat bergerak tiba2 Ahi Liong sudah menusukkan supit ke mata kuda hitam lalu ditarik kembali, "Nah, inilah bulu mata lu.,."

Kuda itu meringkik dan mengangkat sebelah kaki depannya untuk menggaruk-garuk matanya. Perih lhooo ....

kalau bulumata dicabut dengan supit. Sekalipun kuda juga punya perasaan sakit.

“Cukup, aku, kasihan padamu, hitam. Ah, perlu apa engkau ikut pada majikan yang begitu kejam ?" Ah Liong mengoceh lagi. Kali ini dia hendak memaki-maki Tuka, perwira Boan itu, "kan lebih enak engkau bebas di pegunungan, bisa cari rumput yang subur dan minum air di telaga yang bening. Perlu apa engkau ikut pada majikanmu

? Engkau dijadikan tunggangan, diajak perang. Kalau menang, siapa yang dapat pangkat ? Apa engkau ? Huh, tentu majikanmu. "

"Tetapi kalau engkau mati. jangankan jasamu diperingati, bahkan bangkaimupun ditinggal begitu saja, tidak dikubur. Apa engkau anggap majikan begitu itu majikan yang baik ?" Ah Liong nerocos terus.

'"Hai, kuncung, siapa yang engkau maki2 itu?” tiba2 Tuka berteriak karena merasa dirinya disemprot habis- habisan.

"Aku sedang bicara dengan kuda hitam ini. Aku tidak memaki siapa2," sahut Ah Liong. Kemudian dia melanjutkan berkata pula kepada kuda bulu hitam, "ikut aku saja, ya ? Aku tidak mau memperbudak engkau. Akan kulepaskan kau di padang rumput. Sungguh! Aku kan punya kaki sendri, per'u apa harus menaiki engkau? Dan jangan kuatir, hitam. Nanti akan kubelikan baju dan celana untukmu. Memang majikanmu itu manusia cabul Dia sendiri pakai baju dan celana yang indah tetapi engkau? Sudah dibuat tunggangan, diajak maju perang, celana saja tidak diberi. Macam manusia apa itu!"

Terdengar gelak tawa yang makin riuh dari kawanan prajurit yang mulas perutnya karena geli mendengar ocehan Ah Liong.

"Hai, kuncung, jangan mengoceh tak keruan seperti orang kemasukan setan! Masakan kuda engkau ajak bicara," teriak Tuka, “hayo lekas angkat dan lemparkan  kudaku itu!"

'"Jangan kuatir, pak jagal, aku tentu dapat melemparkan kudamu," teriak Ah Liong. Dia mendekati kuda hitam itu dan berbisik-bisik, "Hitam, jangan kuatir, aku takkan menyakiti engkau. Harap engkau diam dan nurut saja, ya

.... "

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar