Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 12 Ahli

Jilid 12 Ahli

Kakek Cian-li-ji agak terkejut mendengar pesan Huru Hara, "Engkau curiga mereka akan meracuni kita ?"

"Mereka adalah orang Ceng, kita tak boleh terlalu percaya," jawab Huru Hara.

"Tetapi bukankah mereka sendiri yang mengundang kita menghadiri pesta ?"

"Ya, tetapi bukankah mudah saja untuk mencampuri obat racun atau bius dalam hidangan dan minuman kita ?"

"Apakah mereka hendak menangkap kita ? Perlu apa?" "Mereka tentu sudah mendapat kesan bahwa kita ini

rakyat Han yang tak senang pada kerajaang Ceng".

"Senang tak senang, terserah kepada mereka karena kita memang tak perlu harus menyenangkan hati mereka."

"Ya," sahut Huru Hara, "oleh karena itu maka perlulah kita berhati-hati dalam pesta itu."

"Lalu bagaimana cara kita mengetahui makanan atau minuman ttu mengandung racun atau tidak ?"

"Rasanya tentu berbeda. Aku dapat mengenyam dengan lidahku." "Kalau begitu engkau harus memberitahu kepadaku setiap engkau tahu makanan atau minuman itu baracun."

"Baik," Huru Hara berhenti sejenak," tetapi kurang leluasa kalau kukatakan didepan orang. Mereka tentu mendengar."

"Ya, benar, lalu bagaimana caranya ?"

"Begini saja." kata Huru Hara, "kalau aku mengetahui makanan atau minuman itu beracun, aku akan berbatuk- batuk. Tetapi kalau aku diam saja berarti minuman dan makanan itu tidak mengandung suatu apa."

"Benar," seru Cian-li-ji gembira," aku juga akan memberi isyarat batuk2 apabila kurasakan makanan atau minuman itu mengandung racun.”

Demikian setelah menetapkan cara mereka mengadakan hubungan, pada malam itu mereka pun diundang oleh seorang prajurit supaya menghadiri perjamuan yang diadakan di ruang besar. To tay, perwira2 Ceng. Kho tihu dan pembesar2 kota Sam Kwan hadir dalam meja perjamuan. Sedang di ruang luar pun disiapkan berpuluh meja hidangan untuk .para prajurit.

Melihat kehadiran Huru Hara bersama kakek Cian- li- ji, diam2 para prajurit itu heran mengapa pimpinan mereka, kolonel Totay, begitu menaruh perhargaan teihadap kedua orang itu. Bahkan perwira yang memimpin pasukan berkuda siang tadi, tak habis herannya. Bukankah Huru Hara dan kakek itu jelas berskap menentang kepada tentara Ceng ? Mengapa Totay masih memperlakukannya sebagai tetamu terhormat.?

Namun bagi kakek Cian-li-ji, mata para hadirin yang memandangnya dengan keheranan itu, tak diacuhkan sama sekali. Dia tampak gembira sekali seperti menghadapi perjamuan biasa.

Kho tihu bertindak sebagai tuanrumah. Dia sibuk menuangkan arak ke cawan para pembesar Ceng, “Silahkan anda menikmati arak simpanan kami yang istimewa," kata tihu itu kepada Huru Hara dan Cian-li-ji.

Huru Hara dan Cian-li-ji segera menepuk cawannya, "Ah, arak begini engkau bilang rstimewa. Kurang keras, aku minta yang lebih keras lagi dari ini," kata Cian li ji seenakrya sendiri seperti orang pesan minuman di rumah- makan.

Setelah berulang kali membasahi kerongkongan dengan arak maka hidanganpun mulai mengalir.

"Tuan2 sekalian, untuk merayakan kemenangan balatentara Ceng maka malam ini sengaja kudatangkan rombongan penyanyi cantik dari So-ciu," kata Kho tihu.

Maka beberapa nona cantik segera berhamburan keluar dan berpencaran ke beberapa ruangan. Yang berada di ruang besar tempat perjamuan para pembesar, adalah seorang nona cantik berpakaian kuning muda. Dia membawa sebuah harpa.

Nona itu memperkenalkan diri dengan nama Lan Lan dan mengatakan bahwa tak begitu pandai menyanyi maka apabila terdapat kekurangan harap para tetamu suka memberi maaf.

Apa yang diduga sekalian orang bahwa nona cantik itu hanya mengucapkan kata2 merendah, memang benar. Ternyata suaranya amat merdu dan permainan harpanya pun tinggi sehingga mempesonakan sekalian hadirin.

Perjamuan berjalan dengan meriah. Silih berganti hidangan keluar. Terutama arak, tak pernah berhenti. Takeran minum kakek Cian-li ji memang hebat. Dia menantang adu minum arak tetapi tak ada seorangpun yang berani menyambuti.

Beberapa waktu kemudian, Huru Hara yang tajam hidungnya segera mencium bau yang berlainan pada arak yang dituangkan Kho tihu. Ia hendak memberi isyarat tetapi Cian-Ii ji malah tak menghiraukan lagi. Kakek itu tengah melekatkan pandang matanya kepada si penyanyi cantik. Rupanya dia terpesona melihat kecantikan nona itu. Sambil memandang sambil tangannya mengangkat cawan arak dan diminumnya,

"Ah, mengapa baru sekarang bertemu. Kalau empat limapuluh tahun yang lalu, engkau tentu menjadi milikku," Cian li-ji mengoceh seorang diri.

"Tuan2 sekalian," seru Kho tihu, "ada suatu acara yang menarik. Nona Lan Lan suka bersenandung membuat gurindam. Dia akan mengutipkan sebaris kata, barang siapa yang dapat membuat rangkaian kata untuk mengimbangi kata-katanya itu, dia akan menghaturkan arak dari So-ciu kepada tuan."

Permainan itu sebenarnya disebut tui-Iian atau memberi pasangan dari kata2 yang diucapkan si penari. Misalnya dalam bahasa Indonesia terdapat sebuah peribahasa berbunyi ..."dalam laut dapat diduga ....... " — lalu diberi pasangan yang memberi ulasan arti pada kata2 itu yakni ... "hati manusia siapa yang tahu ..."

Pengumuman Kho tihu itu segera disambut riuh rendah oleh hadirin.

"Ah, jangan melulu menghaturkan arak saja,” tiba2 kakek Cian-li-ji mengeluh.

"Habis, suruh apa lagi ?" "Hi, hi, hi. " kakek itu tertawa mengikik.

"Mengapa tertawa ?"

"Malu ah kalau mengatakan. “

"Kenapa malu ? Bilanglah !" "Kasih sun "

"Sun ? Apa itu sun ?" "Cipok. "

"Apa cipok itu ?" tanya Kho tihu.

''Engkau memang tihu goblok !" teriak kakek Cian-li-ji," masakan sun tidak tahu, ci:pok juga tak mengerti. Apa perlu kukatakan dengan tlerus terang ?"

"Ya, bilanglah kakek pendek !" teriak beberapa perwira yang geli melihat tingkah kakek itu.,

Cian-li-ji deliki mata kearah perwira2 Ceng itu lalu berseru, "Sun atau cipok artinya yalah cium, goblok!"

Gelak tertawa segera memenuhi ruang perjamuan.

Sedang Kho tihu merah mukanya.

"Baik," akhirnya dia kerkata, "tetapi untuk menjaga jangan sampai terjadi ugal-ugalan seperti tingkah kakek pendek ini, maka kutetapkan begini. Yang dapat memberi pasangan kata dengan tepat, boleh mencium. Tetapi kalau salah diapun akan dihukum. Ditampar muka, atau ditabok kepalanya, terserah pada nona Lan Lan".

"Setuju ! Akur ! " teriak hadirian.

"Tunggu !". Cian-li-ji melengking, "aku ada usul. Supaya adil, harus dua kali. Pertama, nona cantik itu yang mengeluarkan bait kata pertama lalu penantangnya mengimbangi pasangan bait kedua. Setelah itu dibalik. Penantangnya yang mengeluarkan bait kedua pasangannya. Kalau dua kali kalah, baru dihukum. Tetapi kalau duakali menang, baru diberi ganjaran. Itu baru adil!"

"Benar, benar !" Setuju sekali! "teriak hadirin. Dan Kho Tihu terpaksa menyetujui.

Lan Lan segera tampil ke tengah ruang, Tuan2, aku yang bodoh ini memang gemar bermain gurindam seloka. Silakan tuan2 memberi petunjuk," serunya dengan nada yang berirama merdu.

Cian-li-ji terus berbangkit tetapi kalah dulu dengan seorang perwira muda. Perwira itu berwajah tampan. Rupanya dia bangsa Han.

"Tuankah yang hendak menemani aku bergurindam ?" tanya Lan Lan dengan lirik mata yang menikam.

“Mati aku," Cian-li-ji menggeram dan bergeliatan di kursi seperti cacing kepanasan.

"Ah, harap nona jangan mengeluarkan bait yang sukar," perwira muda itu tersenyum.

"Curang !" tiba2 Cian-li-ji menuding perwira muda itu, "dia curang, main kayu. Masakan minta si cantik supaya mengeluarkan bait yang gampang ? Mana boleh !"

Sekalian orang tertawa. Mereka makin mendapat gambaran kalau Cian-li-ji itu seorang kakek linglung. Bukankah perwira muda itu hanya mengucapkan kata2 merendah diri ? Mengapa dituduh hendak main kayu ?

"Maaf, tuan, aku segera mulai," kata si cantik pula. Dan mulailah ia bersenandung :

Lok hoa yu ih Bunga gugur mempunyai arti

Maka menyahutlah perwira muda itu : Lang sim sui ti Hati manusia siapa yang tahu.

"Bagus, tuan," puji Lan Lan, "sekarang silahkan tuan yang mengajukan bait pertama.

Ceng jin gan li jut Se-si

Dimata sang pecinta, kekasihnya itu seperti Se-si

tampaknya.

Se Si adalah nama seorang wanita yang masyhur paling cantik dalam jamannya karena apabila melukiskan kecantikan seorang wanita lalu dikatakan seperti Se Si.

"Ih, tuan bermain api, "Lan Lan tertawa merayu.

Kemudian dia menyahut :

Hong      mo      ah      thau       sip       pat       pian    Gadis liar selalu berobah hatinya sampai delapan belas kali.

"Bagus nona," seru perwira bangsa Han itu, Maka bersenandunglah Lan Lan pula ;

Sian jin ho ki Orang baik mudah dilihat

Dan perwira itu lalu menyambuti :

Sian ma nan ki Kuda baik sukar dinaiki

Lan Lan tertawa, "Silakan tuan yang mulai." Dan perwira muda itapun bersenandung:

Jing cui kian te Air bening tampak dasarnya

Lan Lan tak lekas menyahut melainkan memenung diam. Sampai beberapa jenak baru dia berkata, "Maaf, tuan aku tak dapat mengatakan dan pasangannya. Aku menyerah " Suara tepuk tangan bergema dalam ruang itu Lan Lan lalu menghaturkan secawan arak wangi kehadapan si perwira, "Lan Lan mempersembahkan arak wangi kepada perwira yang gagah dan tampan "

"Aduh mak " Cian-li-ji makin geram.

Tiba2 dia berbangkit dan berteriak, "hayo, lekas mundur, giliran lain orang !"

Kembali terdengar suara gelak tertawa melihat tingkah laku kakek pendek itu. Perwira muda, itupun kembali ke tempat duduknya lagi. Dan kuatir kalau didahului orang lagi, Cian-li-ji teru lari ke muka Lan Lan,

"Nona manis," katanya, "dekat dengan engkau, aku merasa muda kembali. Dulu aku gemar juga merangkai syair, menggubah gurindam. Silahkan nona mengeluarkan kepandaian nona tetapi jangan yang sukar lho. "

"Curang ! Curang !" teriak beberapa perwira" Mereka hendak membalaskan kawannya si perwira muda tadi karena dituduh curang oleh Cian-li-ji. "Hai, kakek pendek, engkau menuduh perwira tadi curang, sekarang engkau sendiri juga curang, sekarang engkau sendiri juga curang !" teriak mereka.

''Betul, kalian betul!" sahut Cian-li-ji lalu berpaling kearah Lan Lan, '"maaf, nona, aku tak bermaksud hendak meminta nona mengeluarkan bait yang gampang. Tidak, silakan saja nona hendak mengeluarkan bait apa saja !"

Lan Lan tertawa geli melihat ulah kakek itu.

Jin lo bu leng Orang yang tua tidak mampu apa-apa lagi "Ai, jangan menghina dong, manis," seru kakek Cian-li-ji karena terkejut begitu membuka mulut, Lan Lan terus menyerangnya.

"Ah, tidak," Lan Lan tertawa, "itu kan hanya bait syair.

Silakan mengatakan pasangannya." "Baik," sahut Cian-li-ji lalu berkata:

Jin lo sim put lo Orangnya tua, tetapi hatinya tidak ikut tua.

Gelak tawa segera menggemuruh dalam ruang. Bahkan ada yang berseru, "Ya, itu namanya, tua-tua keladi, makin tua makin menjadi-jadi.

"Orang tua keranjingan namanya!" seru yang lain pula. "Maaf," tiba2 Lan Lan tertawa, "bukan begitu pasangan

bait itu."

"Hah? Tetapi bukankah nona melukiskan tentang keadaan orang tua?" tanya Cian-li-ji

"Ya, tetapi jangan dijawab menurut kehendak tuan sendiri. Karena setiap syair itu sudah mempunyai pasangan tertentu."

"Mati aku," Cian-li-ji mengeluh, "lalu bagaimana pasangannya yang benar?"

"Begini seharusnya : Jiu lo bu leng. Artinya pohon yang tua sudah tak punya sari”.

"Ah, belum tentu," bantah G.an-Ji-ji, "apakah semua pohon kalau sudah tua tentu lapuk? Buktinya, keladi itu makin tua kan makin menjadi-jadi suburnya."

"Ya, itu kan keladi. Tetapi ini syair yang di dasarkan pada umumnya, bukan hanya satu jenis seperti keladi," kata Lin Lan. "Kalau begitu, aku dianggap kalah nih?"

"Kalau engkau mau mengakui, engkau seorang lelaki jantan. Tetapi kalau tidak, berarti engkau banci!"

"Tidak, tidak! Aku tak suka jadi orang banci!" seru Cian- li j i, "ya, baiklah, aku mengaku kalah. Sekarang giliranku yang mengeluarkan bait pertama :

Jin lay thoh jin Orang datang mencari jodoh.

Merah muka Lan Lan, serunya, "Ah, ngawur. Masakan ada syair begitu!"

"Ada saja," lengking Cian-li-ji, kaiau tak ada, masakan aku mengada-ada. Bagaimana, engkau menyerah tidak?"

Setelah beberapa saat memikir belum juga menemukan pasangannya akhirnya Lan Lan menyatakan menyerah.

"Ah, mudah saja," kata C an-li-ji dengan bangga, "begini…..

Niau lay tho'i lim Burung datang masuk ke hutan.

'"Ya," kata Lan Lan, "sekarang aku akan mengucapkan bait pertama lagi :

Lo put ki lee Sudah tua tak kenal aturan

"Lho, mengapa engkau terus menerus menyerang orangtua saja?" teriak Cian-li-ji, "apa kalau orang sudah tua itu tentu jelek? Ingat nona manis, engkau sendiri kelak juga akan tua seperti aku, lho "

"Hi, hi, hi," Lan Lan tertawa mengikik, "bukan aku hendak menyerang tuan. Tetapi syair macam begitu memang ada. Silakan saja tuan membuat pasangannya." "Ah, mudah saja, dengarlah :

Ping put ki thi Penyakit tak pandang orang.

"Salah! Salah!" tiba2 terdengar perwira muda yang maju pertama kali tadi berseru.

"Lho, apanya yang salah?" Cian-li-ji merentang mata lebar2.

"Salah caranya!" "Salah caranya apa?"

“Tadi setelah aku dapat mengucapkan pasangan bait pertama dari nona itu maka dalam babak kedua, aku yang mengucapkan bait pertama dan nona itu yang memberi pasangannya. Tetapi mengapa dalam babak kedua, tetap nona itu yang mengucapkan bait pertama? Salah!"

"Apakah benar begitu, nona?" tanya Cian-li-ji/ Lan Lan mengangguk.

"Matiiiik," Cian-li-ji menampar, mukanya, *'jadi yang kedua tadi batal kalau begitu?"

"Ya, karena tidak menurut peraturan."

Cian-li-ji menghunjamkan kakinya ke lantai berulang- ulang, "sialan "

"Sekarang silakan tuan mengeluarkan bait pertama itu," kata Lan Lan.

"Bait syairku ini merupakan suatu pertanyaan. Mungkin dalam kamus syair-pasangan tidak ada tetapi di kalangan masyarakat hal itu ada Dengarkanlah :

Dari mana datangnya lintah? "Ah, apa itu? Itu kan bukan syair, mana aku tahu?" seru Lan Lan.

"Kampungan! Kampungan!" teriak beberapa orang. "Bukan syair, asal dapat memberi pasangannya, ya

boleh. Kalau tak dapat, ya harus kalah jawab Cian-li-ji lalu berpaling seraya mengacungkan tinju kearah orang2 yang berteriak tadi, "Kampungan atau bukan, pokoknya menang! Iri, ya?”

Hadirin menjawab dengan gelak tawa.

"Bagaimana nona?" kata Cian-li-ji, "dapat memberi pasangannya atau tidak?''

Setelah merenung beberapa jenak, Lan Lan mengangguk, "Baiklah, aku menyerah. Tetapi karena syair yang engkau katakan itu memang tidak termasuk kumpulan syair yang umum, maka aku-pun hanya menghadiahkan arak wangi saja kepadamu."

"Tidak bisa !" teriak Cian-li-ji, "peraturan dari Kho tihu tadi sudah menyebut bahwa yang menang boleh mengajukan permintaan apa saja kepadamu. Sekarang aku menghendaki hadiah yang kedua."

"Apa itu ?" tanya Lan Lan.

"Hadiah kesatu adalah hidangan arak. Dan hadiah kedua yalah .... ih, malu "

"Kakek tak tahu diri, masakan mau minta cium kepada nona yang cantik !" teriak beberapa orang.

Merah muka Lan Lan mendengar seruan itu. Namun dia tertawa, '"Begini sajalah. Pertama, akan kuhidangkan arak wangi. Setelah itu aku akan memperdengarkan sebuah nyanyian untukmu dan yung ketiga baru meluluskan permintaanmu yang kedua tadi, bagaimana ?" "Setuju !" seru Cian li-ji.

Lan Lan terus menuang arak kedalam sebuah cawan dan dengan kedua tangan dihaturkan ke hadapan Cian-li-ji, "Tuan, kupersembahkan arak wangi kepadamu. Semoga engkau dapat melayang2 ke alam impian yang indah. "

Tanpa banyak bicara, Cian-li-ji menyambuti dan terus meminumnya habis, "Apa hanya secawan saja ?"

"Oh, apa tuan menghendaki lagi?" Lan Lan pun menuang secawan lagi. Berturut-turut Cian-j li-ji telah minum sampai lima cawan.

Kemudian Lan Lanpun mendendangkan sebuah lagu yang merdu. Lagu yang kuasa mencengkam hati sekalian orang.

Belum nyanyian itu selesai tiba2 Cian-li-ji rubuh. Lan Lan menjerit kaget dan Huru Hara pun segera lari menghampiri. "Paman, kenapa engkau ?" serunya seraya mengangkat tubuh kakek itu.

"Auh .... tidak apa2, aku ngantuk sekali ingin tidur ,"

Cian-li-ji menguap.

Huru Hara heran. Pada hal jelas dilihatnya bagaimana beberapa jenak yang lalu kakek itu masih bergairah sekali adu syair dengan penyanji Lan Lan. Sekarang mengapa dia begitu lemas dan ingin tidur?

"Hai penyanyi, bawa kemari poci arak itu bentaknya kepada Lan Lan.

Lan Lan gemetar. Dia memberikan poci arak kepada Hulu Hara. Huru Hara mencium sisa arak yang masih terdapat dalam dipoci itu tetapi dia tidak merasakan suatu bau yang mencurigakan. "Engkau apakan pamanku ini ?" bentaknya kepada Lan Lan.

"Tidak apa2, tuan," kata Lan Lan ketakutan, "aku hanya menghidangkan arak wangi, kemungkinan paman tuan itu mabuk."

Karena tak mendapatkan sesuatu gejala yang membahayakan jiwa Cian-li-ji, Huru Hara menganggap kata2 Lan Lan itu benar. Huru Hara segera membawa Cian-li-ji beristirahat kedalam kamarnya. Setelah itu dia kembali ke ruang perjamuan lagi.

Perjamuan dilanjutkan sampai jauh malam. Para perwira banyak yang mabuk. Juga prajurit prajurit yang berada di luar ruang, banyak yang mabuk dan menggeletak. Mereka makan dan minum sepuas-puasnya bahkan melebihi takeran sehingga tertidur di ruang perjamuan.

Sekonyong-konyong terdengar suara ribut2 di ruang belakang. Seorang pelayan bergegas menghadap Kho tihu, "Tihu, di bagian belakang gedung timbul kebakaran !"

"Siapa yang menyebabkan kebakaran itu ?" Kho tihu terkejut.

"Entah, tihu," jawab pelayan itu, "kami semua sudah tertidur tahu2 gudang dan kandang kuda terbakar, Rupanya ada orang yang membakar!"

Belum sempat Kho tihu memberi perintah, prajurit penjaga pintu kota masuk menghadap, “Lapor ciangkun," kata mereka kepada Totay, “pintu kota telah bobol diserang pasukan musuh!"

'"Celaka!" Totay melonjak bangun, "lekas siapkan pasukan untuk menggempur mereka. Tetapi para perwira dan prajurit2 yang berada dalam ruang perjamuan itu sama tidur melentuk. "Arak apa yang engkau hidangkan, tihu ?"

"Arak wangi biasa, ciangkun," Kho tihu gemetar, "mungkin mereka minum kelewat batas hingga sampai mabuk."

"Lekas suruh orang ambil air dingin dan guyurkan pada perwira dan prajurit2 yang tertidur itu," perintah Totay.

Perwira2 dan prajurit2 itu gelagapan waktu disiram dengan air dingin. Rasa mabuk mereka memang sudah berkurang tetapi masih belum hilang sama sekali.

"Lekas bersiap menyambut serangan musuh!” teriak Totay.

Dengan masih agak pening perwira dan prajurit2 itu bergegas keluar tetapi mereka segera disambut oleh suara sorak sorai yang dahsyat.

"Ciangkun, gedung tihu sudah dikepung musuh," salah seorang perwira segera menghadap' Totay.

"Apakah pasukan Beng ?" tanya Totay.

"Bukan," sahut perwira itu," mereka tidak mengenakan seragam prajurit tetapi pakaian biasa.”

"Pertahankan gedung ini, aku akan keluar," kata Totay terus mengambil tombak dan melangkah ke luar.

"Hayo, menyerah atau tidak?" teriak seorang Ielaki setengah tua yang mencekal pedang. Rupanya dia adalah pimpinan pasukan yang menyerbu gedung tihu.

"Bakar! Bakar saja!" teriak anakbuahnya.

Dengan tenang Totay berteriak dari muka pintu, "Hai, kalian ini pasukan dari mana?"

"Pasukan rakyat Han!" teriak orang? itu. "Hm, pasukan pemberontak," pikir Totay, "kemungkinan tentu pasukan yang dibentuk tokoh2 persilatan."

"Hai, hohan yang memimpin pasukan. Aku mau menyerah kalau engkau dapat mengalahkan aku," Totay menantang.

"Jangan meladeni dia Nyo tayhiap," seru beberapa anakbuah.

"Hm, orang Ceng itu mengira kalau kita tak mampu mengalahkan dia," dengus lelaki gagah yang dipanggil Nyo tayhiap itu.

"Dia sudah ibarat ikan dalam jaring. Tak perlu meladeni kata-katanya," kata seorang lelaki yang berada disampingnya.

"Bagaimana kawan2 kita yang lain?" bisik orang she Nyo.

"Gedung ini sudah kita kepung rapat. Ki tayhiap menyerang dari bagian belakang gedung," sahut lelaki pendampingnya.

"Ki hiante, aku kepingin menjajal kepandaian jenderal Ceng itu. Pokoknya, mereka kan tak dapat lolos, biar aku bermain-main dengannya. Syukur bisa menangkapnya," kata orang she Nyo yang lengkapnya bernama Nyo Beng.

"Baik, aku akan menghadapimu," serunya seraya melangkah maju.

"Bagus," Totay juga melangkah maju, "kita bertempur dengan tangan kosong atau senjata?"

"Terserah saja," sahut Nyo Beng, "tetapi ingat, aku tak punya banyak waktu untuk meladeni engkau."

"Kalau begitu kita pakai senjata saja," seru Totay. "Baik," jawab Nyo Beng.

Keduanya segera bersiap. Totay menggunakan pedang dan Nyo Beng dengan tombak. Nyo Beng terkejut ketika menyaksikan permainan pedang Totay yang sedahsyat halilintar menyambar. Tetapi Totaypun tak kalah kejutnya ketika mengalami tekanan dari ilmu permainan tombak Nyo Beng yang dirasakan bagai naga menari-nari di lautan.

"Hm, orang Ceng ini tentu pernah mendapat pelajaran ilmusilat dari perguruan ternama,” pikir Nyo Beng.

"Hm, pemimpin barisan pemberontak ini tentu seorang tokoh silat yang hebat," demikian Totay juga menimang- nimang.

Dalam sekejap mata, keduanya sudah melangsungkan pertempuran sampai seratus jurus. Kedahsyatan pertempuran itu sampai mengaburkan mata sekalian orang yang menyaksikan.

Tiba2 dengan bermandi darah seorang perwira prajurit Ceng lari keluar dan berseru, "Ciang-kun, gedung tihu dibakar dan musuh menyerang dari belakang. Lekas ciangkun meloloskan diri .....” dan sambil berkata perwira itu terus menyerang Nyo Beng.

Totay loncat mundur dan lari kedalam. Tiba diambang pintu ia terkejut mendengar jeritan yang ngeri. Ketika berpaling ternyata perwira anakbuahnya tadi telah tertusuk ujung tombak Nyo Beng.

"Ah, jasamu takkan kulupakan. Kelak aku tentu membalaskan kematianmu, Cola," kata Totay dalam hati terus melangkah masuk.

Didalam dia disambut oleh Kho tihu dan Huru Hara, "Ciangkun, mari kita lolos dari sini," kata Kho tihu. Mereka hendak menerobos keluar pintu samping. Tetapi dari arah ruang belakang, bermunculan beberapa lasykar rakyat yang terus menyerang mereka, "Tangkap tihu penghianat! Cincang pembesar anjing itu!" teriak mereka seraya menyerbu.

"Silakan ciangkun lolos, aku yang menahan mereka," tiba2 Huru Hara loncat menahan serbuan orang2 itu.

Huru Hara menyadari bahwa lasykar rakyat itu bukan bangsa perampok maka iapun tak mau melukai mereka. Setelah berhasil mengundurkan mereka dia terus mencari Cian-li-ji.

"Hai, kemanakah paman Cian?" teriaknya terkejut ketika mendapatkan kamar tempat istirahatnya, kosong melompong. Cian-Ii ji yang berbaring ditempat tidurpun tak tampak lagi.

Dia tak dapat merangkai suatu dugaan tentang hilangnya kakek itu karena saat itu api semakin berkobar. Dia terpaksa keluar dan lari menerobos dari samping.

Disitu dia melihat suatu adegan yang menegangkan. Totay sedang menghadapi keroyokan beberapa lasykar rakyat. Belum sempat Huru Hara menghampiri dilihatnya Totay menjerit dan terhuyung-huyung mendekap bahu kirinya. Ternyata panglima Ceng itu terkena sebatang anakpanah di bahunya. Sementara Kho tihupun sudah diringkus oleh lasykar rakyat.

Tanpa banyak pikir, Huru Hara menerjang orang2 yang hendak menyerang Totay. Dan secepat kilat dia  menyambar tubuh Totay lalu membawa lari. Kebetulan dia melihat seekor kuda tengah lari kebingungan karena kandang kuda bakar. Ia segera menangkap kuda itu, mengangkat Totay ke punggung kuda dan dia terus mencelaknya dan melarikan kuda itu menerjang ke utara. “Tangkap ! Tangkap jenderal Ceng ! Jangan biarkan dia lolos!" terdengar teriak gemuruh dari lasykar rakyat yang berusaha untuk menghalangi dan mergejar. Bahkan ada juga yang melepaskan anakpanah. Tetapi kesemuanya itu dapat ditangkis oleh Huru Hara. Gemparlah suasana medan pertempuran ketika menyaksikan seorang pendekar nyentrik tengah menyelamatkan jenderal Ceng menerobos dari kepungan lasykar rakyat.

Tak tahu Huru Hara tiba dimana. Dia hanya membiarkan dirinya dibawa lari kuda itu. Untung malam itu rembulan menyembul sedikit sehingga cuaca tidak gelap. Entah berapa jam lamanya ketika tiba disebuah pegunungan dan melihat sebuah cekung karang yang menyerupai gua, Huru Hara pun berhenti dan menurunkan Totay lalu dibawa kedalam gua karang itu.

Ternyata Totay telah pingsan. Anakpanah masih menancap pada bahunya, darah mengalir membasahi pakaiannya. Ia bingung. Kalau dicabut, lukanya tentu akan mengalirkan banyak darah lagi. Namun kalau tak dicabut, jiwa orang Ceng itu akan terancam maut.

Akhirnya ia mencari rumput. Ah, kebetulan di pegunungan itu banyak tumbuh tanaman nia atau legundi. Ketika masih kecil, ia ingat sering disuruh ayahnya mencari daun nia itu.. Kata ayahnya, daun itu berkhasiat tinggi untuk obat. Sekarang ia hendak mencobanya. Setelah meremas-remasnya sampai halus, barulah ia berani mencabut anakpanah dari bahu Totay dan terus dilumuri dengan remasan daun itu.

Kemudian dia mencari air dan diminumkan. Menjelang pagi, Totay tersadar. DiIihatnya Huru Hara duduk bersemedhi dipintu gua. Totay bergeliat bangun. “Loan-heng, terima kasih atas pertolonganmu," serunya dengan pelahan.

Namun Huru Hara diam saja. Dan Totay juga tak berani mengganggunya. Setelah fajar menyingsing barulah Huru Hara tampak berbangkit, Totay mengulangi ucapan terima kasihnya.

"Ah, hanya soal kecil, tak perlu berterimakasih,'" sahut Huru Hara.

"Loan-heng," kata Toiay pula, "mengapa engkau menolong aku ?"

"Kalau engkau seorang Boan dapat berlaku secara ksatrya, mengapa aku seorang Han tidak bisa ??'' balas Huru Hara.

"Bagaimana maksudmu ?"

"Engkau mengatakan bahwa seorang ksatria akan menghargai seorang ksatrya. Pendirian kami orang Han, juga memilikinya. Engkau telah menerima dan menjamu aku, walaupun kau tahu aku menentang pasukan Ceng. Engkau menghormat aku sebagai seorang kesatria yang setia negara. Panglima pasukan Ceng, ketahuilah, bahwa bangsa Han juga tahu menghargai seorang ksatria walaupun dia itu seorang musuh"

"O, apakah engkau hendak membalas budi?" tanya Totay.

"Panglima Ceng," kata Huru Hara, "jika apa yang engkau lakukan kepadaku engkau anggap sebagai pemberian budi, maka apa yang kulakukan ini anggaplah sebagai balas budi. Tetapi pendirianku sesungguhnya hanyalah menetapi sifat seorang ksatrya yang menghargai ksatrya lain. Karena hanya seorang ksatrya sejati yang dapat menghargai ksatrya yang lain." Totay terkesiap. Tak nyana bahwa dalam diri seorang muda yang mengenakan dandanan seperti pahlawan kesiangan, ternyata bersemayam jiwa ksatrya yang luhur. Dalam perjalanan hidup selama ini baru pertama kali itu ia bertemu dengan seorang yang berjiwa ksatrya.

“Bagaimana keadaan lukamu ?" tiba2 Huru Hara beralih pertanyaan.

"Sudah tak berdarah. Kurasa tentu cepat sembuh," jawab Totay.

"Baik," kata Huru Hara, "tempat ini kurang baik bagimu. Masih berbahaya. Engkau tentu harus lekas2 kembali kedalam pasukanmu, bukan?"

Totay mengangguk.

"Silakan engkau berangkat. Kuda itu pakailah." Totay terkesiap.

"Panglima Ceng," kata Haru Hara, "sekali lagi kutandaskan bahwa apa yang kulakukan tadi adalah sesuai dengan apa yang engkau pernah lakukan kepadaku semalam. Namun sesungguhnya kita terpisah oleh dua garis perjalanan yang berbeda. Engkau seorang panglima Ceng yang ditugaskan oleh rajamu untuk memerangi kerajaan Beng. Engkau berjuang sebagai seorang ksatrya yang mengabdi kepada nagara. Tetapi akupun seorang rakyat Han. Aku juga berjuang mengabdi kepada negaraku. Walaupun kita berdiri dfihak yang berlawanan, tentu kita masing2 menetapi kewajiban sebagai seorang ksatrya. Oleh karena itu, setelah kita nanti berpisah, maka kita harus kembali kedalam perjuangan masing2. Mungkin kelak kita akan berjumpa di medan pertempuran atau di tempat2 umum kita akan saling berhadapan sebagai lawan. Dalam keadaan begitu, kita harus menjalankan kewajiban masing2, Engkau boleh membunuh aku dan akupun boleh membunuh engkau. Kematian begitu tak boleh disesalkan karena merupakan kematian ksatrya."

Totay masin terkesiap mendengarkan.

"Aku menentang tindakan kerajaan Ceng yang hendak menjajah tanah-airku. Dan engkau hanya melakukan tugasmu sebagai seorang panglima. Maka apabila kita bertemu lagi, tak perlu kita mengingat peristiwa hari ini tetapi harus sebagai musuh yang saling berhadapan."

Totay, kolonel pasukan Ceng yang sudah banyak jasanya selama dalam peperangan melawan tentara kerajaan, terpesona dan melayang-layang pikirannya seperti orang mabuk arak. Dia tidak maibuk arak tetapi mabuk mendengar untaian kata2 dari seorang pendekar nyentrik yang menamakan diri sebagai Huru Hara. Seumur hidup baru saat itu dia menyadari akan makna dari jiwa seorang ksatrya yang luhur. Biasanya orang tentu akan gembira karena dapat menangkap seorang musuh. Karena hal itu berarti suatu pahala besar yang akan memberikan dia kenaikan pangkat.

Tetapi seorang pendekar rakyat yang pakaiannya tak keruan, ternyata tidak silau akan segala jasa dan hadiah. Dia tetap menetapi laku seorang ksatrya utama. Dapat menarik garis tajam antara sifat ksatrya dengan sifat angkara, sifat temaha dengan sifat perwira, budi dengan permusuhan.

"Loan tayhiap, engkau benar2 seorang ksatria yang hebat," tak ada lain kata2 yang diucapkan mulut Totay kecuali seuntai persembahan kata pujian.

“Panglima Ceng," seru Huru Hara, "matahari sudah semakin terang, silakan lekas berangkat."! Totay mengiakan. Dia terus menghampiri kuda dan mencemplaknya, "Betapapun, aku akan selalu mengingat budimu, sampai jumpa!"

"Tunggu!" tiba2 Huru Hara berseru dan Totaypun hentikan kudanya.

"Jika engkau benar2 hendak membalas budi maka kuminta begini. Apabila engkau menduduki sebuah kota atau tempat, janganlah mengganggu rakyat. Laranglah prajurit2mu supaya jangan menganiaya rakyat, merampas harta benda dan kaum wanita mereka. Jika engkau dapat melakukan hal itu berarti engkau sudah membalas budi kepadaku."

"Baik, akan kulaksanakan," kata Totay lalu melambaikan tangan dan terus mencongklangkan kudanya.

Secara tak disadarinya, Huru Hara telah berjasa besar dalam peperangan antara pasukan Ceng dengan pasukan Beng. Totay telah melaksanakan permintaan Huru Hara sehingga rakyat di kota maupun di desa2 yang diduduki pasukan Totay selalu aman dan tak diganggu. Tetapi peristiwa itu terjadi di kelak kemudian hari. Sekarang marilah kita tetap mengikuti perjalanan Huru Hara dulu.

Dia duduk termenung-menung memikirkan apa yang telah terjadi, "Ah ....," ia menghela napas, "hidup itu memang aneh. Banyak sekali peristiwa yang muncul secara tak terduga-duga …….”

Ia hendak mencari Li Thian Ong ke kota Khay-hong, tahu2 harus mengalami peristiwa di kota Sam-kwan. Ia benci kepada orang Ceng yang hendak menduduki tanah- airnya tetapi ia berkenalan dengan seorang panglima Ceng dan bahkan menyelamatkan jiwa panglima itu dari kepungan lasykar rakyat yang hendak merebut kembali kota Sam-kwan. “Tindakanku itu tentu menimbulkan kesan mereka bahwa aku membantu orang Ceng. Tetapi mereka tak tahu bahwa aku berjuang untuk membela keluhuran jiwa orang Han. Kita orang Han tak boleh kalah berbudi dan berjiwa besar dengan orang Ceng "

'Celaka!" tiba2 ia terhenyak, "sekarang aku kejepit diantara dua kekuatan yang saling beradu, lasykar rakyat Han menuduh aku sebagai penghianat karena membantu panglima Ceng. Tetapi kerajaan Ceng juga memandang aku seorang pernberontak yang menentang mereka."

"Tetapi biarlah. Seorang lelaki harus berani bertindak melaksanakan pendiriannya. Kelak apabila mendapat kesempatan, akan kujelaskan kepada orang2 lasykar rakyat itu bagaimana pendirianku. Terserah mereka mau menerima atau tidak, akupun tetap akan melanjutkan perjuanganku menentang kerajaan Ceng."

Baru ia menenangkan perasaannya tiba2 teringat sesuatu, "Hai, kemanakah paman Cian-li-ji? Mengapa dia hilang dari kamarnya?"

Setelah mengingat akan keadaan Cian-li-ji pada saat itu, bagaimana lemas tak bertenaga dan ingin tidur, tak mungkin dalam waktu sirgkat paman Cian-li-ji itu akan bangun dan melarikan diri. Lalu siapakah yang membawanya lari?

"Hai," tiba2 ia bertemu pada suatu gambaran, "tentulah diculik oleh lasykar rakyat yang menyerang kedalam gedung tihu itu. Ya, benar, tentu begitu!"

Setelah merangkai dugaan maka timbullah keputusan pada Huru Hara, "Aku harus mencari paman Cian-li-ji. Akan kuminta dari tangan lasykar rakyat itu. Ya, benar, aku harus lekas2 kesana agar paman Cian-li-ji jangan sampai dibunuh karena dianggap menjadi kaki tangan orang Ceng!" Serentak dia ayunkan langkah.

==oo0oo==

Tiba di kota Sam-kwan, Huru Hara terkejut. Kota itu sunyi senyap seperti kota mati. Pasukan rakyat yang menyetbu gedung tihu ternyata tidak terus menduduki kota itu tetapi mengundurkan diri masuk kedalam hutan lagi. Rupanya memang begitulah siasat mereka. Tahu kalau kalah kekuatan, mereka tak mau langsung mengadakan pertempuran secara terbuka dengan pasukan Ceng. Tetapi mereka lebih senang menggunakan siasat gerilya. Tengah malam mereka menyerbu musuh, menghancurkan dan membakar markas musuh lalu menghilang pula kedalam hutan.

Huru Hara berusaha meniti mayat2 yang masih bergelimpangan di mana2. Mayat2 prajurit Ceng dan anakbuah laskar rakyat. Dia hendak mencari kemungkinan mayat paman Cian-li-ji terdapat diantara mayat2 itu. Tetapi ternyata tak ada.

Ketika ia mengangkat muka, ia terkejut ketika beberapa langkah di mukanya berdiri seorang, nenek tua yang mencekal tongkat. Nenek itu penuh keriput dahinya, rambutnya pun sudah putih semua tetapi sepasang matanya masih berkiiat-kilat tajam menikam.

"Nenek, engkau mencari siapa ?" tegur Huru Hara.

Nenek itu maju menghampiri dan tiba2 ayunkan tongkatnya menggebuk Huru Hara, "Ah Hok, ternyata engkau minggat kemari !" "Aduhhhh," Huru Hara menjerit ketika kepalanya terkemplang ujung tongkat. Ia tak menyangka akan digebuk si nenek. Pada saat si nenek ayunkan tongkat ia terkejut dan hendak menghindar tetapi tongkat nenek itu luar biasa cepatnya.

"Hayo, mau pulang tidak !" nenek itu ayunkan tongkatnya menggebuk punggung Huru Hara, bluk, bluk ....

"Nenek, engkau keliru ! Aku tak kenal engkau....." baru Huru Hara hendak memberi keterangan nenek itu sudah menggebuk punggungn lagi, "Apa engkau bilang ? Engkau tak kenal pada nenekmu ? Kurang ajar benar, engkau ini, budak liar!"

"Aduh ..... aduh .,..," Huru Hara melonjak kesakitan. Tetapi diam2 ia merasa heran. Sebenarnya ia sudah berusaha hendak menghindar tapi tak mampu.

Dan ada suatu keanehan lain yang dirasakan Huru Hara. Biasanya asal ia menghendaki, maka ada sejenis tenaga- dalam yang terkandung dalam tubuhnya dapat memancar keluar. Orang mengatakan bahwa dia memiliki apa yang disebut Ji-ih-sin-kang atau tenaga-sakti-menurut-kemauan- hatinya. Misalnya ia dipukul, ia menangkis dan orang yang memukul itu tentu terpental. Andaikata ia tak keburu menangkis, asal ia ingin untuk menahan pukulan itu maka pukulan itupun tak mempan dan si pemukul akan menderita kesakitan sendiri, bahkan dapat terpental ke belakang.

Tetapi ketika digebuk si nenek, walaupun sudah mengerahkan Ji-ih-sin-kang. tetap ia merasa kesakitan.

"Tetapi aku memang tak kenal engkau!" teriak Huru Hara. Krak.... nenek itu ayunkan tongkat hendak ngernplang kepalanya tetapi Huru Hara menangkis. Tongkat itu tetap menimbulkan rasa sakit pada tangan Huru Hara.

"Hayo, pulang," tiba2 nenek itu mencekal pergelangan tangan Huru Hara dan terus diseret pergi.

Menghadapi seorang nenek yang aneh dan tak waras pikirannya itu terpaksa Huru Hara membiarkan saja dirinya dibawa. Ternyata nenek itu menuju kesebuah hutan diluar kota.

Menyusup kedalam hutan mereka tiba disebuah lembah hutan siong. Ia heran mengapa nenek itu berjalan secara aneh, sebentar mendorongnya ke kanan, sebentar ke kiri, lalu mengajak meloncat, kemudian berputar dua tiga kali pada gerumbul pohon siong yang ditengahnya terdapal segunduk batu marmar putih,

"Apa-apaan nenek ini ? Masakan jalan kok begini aneh ? Edan barangkali, eh ..... loncat?” teriak Huru Hara ketika lengannya diseret oleh nenek itu. Walaupun tak sakit tetapi ia tak dapat melepaskan diri. Ia berusaha hendak meronta tetapi tenaganya serasa habis sehingga ia terus menuruti saja kehendak si nenek. Kalau memang harus melompati sebuah liang atau gerumbul berduri, itu sih tak apa. Tetapi ternyata yang dilompati itu hanya sebuah batu marmar kecil berbentuk segi-delapan. Dan batu marmar itu menggeletak di tanah yang datar.

Akhirnya setelah didoyong kian kemari dengan cara berjalan yang aneh, tibalah mereka sebuah pondok yang terbuat dari kayu.

"Hayo masuk," seru nenek itu seraya menyeret Huru Hara kedalam pondok. Pondok itu amat sederhana. Alat2 perabotan hanya dua buah kursi dan sebuah meja batu yang beibentuk segi- delapan.

"Ah Hok, kemana saja engkau beberapa hari ini?" tegur nenek itu pula.

"Nenek edan," gerutu Huru Hara dalam hati, "aku tak kenal dia tetapi dia tetap berkeras mengatakan aku ini, eh

..... apanya ya, aku juga belum tahu."

"Nenek ini .menganggap aku ini siapa?" akhirnya dia bertanya.

"Bocah edan," damprat nenek itu, "masakan engkau tak tahu dirimu itu apaku? Bukankah engkau ini cucuku si Ah Hok yang nakal itu?"

"Ah Hok? Ha, ha, ha," tiba2 Huru Hara tertawa gelak. "Bocah edan? Masakan engkau lupa dirimu itu siapa?"

bentak  nenek  aneh  itu.  Tetapi  tidak  marah  melainkan

tersenyum karena melihat Huru Hara tertawa.

"Tetapi aku bukan Ah Hok. Aku Huru Hara," seru Huru Hara.

"Edan engkau," teriak si nenek, "punya nama baik2 mengapa diganti dengan Huru Hara? apakah engkau hendak cari gara2?"

"Itu memang namaku, nenek."

“Sudahlah, diam saja!" bentak si nenek, "kamu keluyuran kemana-mana engkau tentu kemasukan setan sehingga namamu sendiri sampai lupa.”

Huru Hara menyeringai, "Aku tidak kemasukan setan.

Aku waras." "Memang orang gila tentu menganggap dirinya waras dan mengatakan orang yang waras itu gila. Engkaupun demikian juga. Engkau sudah tak waras lagi karena kemasukan setan lalu engkau menganggap aku nenekmu ini tidak waras. O kasihan benar engkau, cucuku Ah Hok. ,"

tiba2 nenek itu menangis.

Entah bagaimana tiba2 hati Huru Hara ikut iba, "Ah, nenek, jangan menangis. "

Tiba2 nenek itu berhenti menangis dan tertawa, "Ah, cucuku, ternyata sekarang engkau sudah ingat kepadaku lagi."

Huru Hara geleng2 kepala. Kalau dia menyangkal dia kuatir nenek itu akan menangis lagi. Namun kalau mengakui, tentu dia akan dianggap sebagai cucu si nenek itu yang bernama si Ah-Hok.

"Sekarang beristirahatlah di kamarmu sendiri, Hok," kata nenek itu.

Huru Hara melongo. Dimanakah kamar itu. "Bagaimana, apa engkau mau makan dulu?” tanya si

nenek ketika melihat Huru Hara terbengong. "Tidak," Huru Hara gelengkan kepala. "Kalau begitu, beristirahatlah di kamarmu. "Tetapi aku tak tahu di mana kamarku itu.

"Apa engkau suruh aku menangis lagi?” tanya si nenek.

“Perlu apa harus menangis ?'" bantah Huru Hara, “tetapi aku memang tak tahu kamarku itu."

"Ah Liong….! Ah Liong.....!" tiba2 nenek itu berteriak keras2. "Apa nek ? Aku sedang cari sayur," seru sebuah suara anak kecil.

"Kemarilah! Engkohmu si Ah Hok sudah pulang !" "O, benarkah itu ? Tunggu nenek aku segera datang."

Tak berapa lama muncul seorang anak laki laki berkepala gundul. Umurnya disekitar 8 tahun, wajahnya terang, mata bundar, alis tebal, bibirnya menah.

"Mana engkoh An Hok, nek ?" teriak anak lelaki kecil itu.

"Itu !" si nenek menuding kearah Huru Hara. Bocah laki itu tertegun ia merentang mata, “Lho, apa itu engkoh Ah Hok, nek ?"

"Eh, engkau juga kemasukan setan ini, Masakan engkohmu si Ah Hok engkau tak mengenalnya lagi."

"Ya, perawakanrya memang sama, wajahnya hampir mirip setapi engkoh Ah Hok tak memiliki dua kuncir begitu macam, apalagi kanan kiri."

'"Soal kuncir kan mudah. Ambil gunting dan potong saja kuncir itu, nanti kan sama dengan engkohmu si Ah Hok."

Ah Liong, bocah lelaki itu, mengiakan. Dia masuk kedalam kamar dan keluar lagi dengan membawa gunting. Dia langsung menghampiri Huru Hara, "Engkoh Ah Hok, nenek suruh aku memotong kedua kuncirmu itu."

Huru Hara mengkal. Tetapi dia ingin tahu sampai dimana tingkah laku bocah kecil dengan nenek tua itu.

“!Ya, silakan saja," katanya.

Bocah kecil yang bernama Ah Hok itu suruh Huru Hara duduk lalu dia mulai menggunting kuncir sebelah kiri dari kepala Huru Hara, "Uh, uh ..... mengapa tak mempan?" Huru Hara diam saja.

"Setelah berulang kali mencoba memotong kuncir Huru Hara dengan gunting tetapi tak mampu akhirnya Ah Hok bertanya, "Engkoh Ah Hok, dari bahan apakah kucirmu ini engkau buat?"

"Bocah edan," damprat Huru Hara, "masakan kuncir terbuat dari bahan apa. Itu kan rambut kepala yang tumbuh sendiri."

"Tetapi mengapa gunting tak mempan.?"

"Mungkin guntingmu sudah tak tajam. Cari saja pisau yang tajam."

"Benar," seru Ah Liong terus lari masuk dan keluar lagi membawa pisau yang tajam. Dijambaknya kuncir Huru Hara lalu dipotong dengan pisau, "Uh, uh ....... " kembali mulut bocah itu tak henti-hentinya mendesuh-desuh karena tak mampu memotong kuncir Huru Hara.

Saking mengkalnya, Ah Liong terus menarik kuncir Huru Hara sekuat-kuatnya. Kalau tak dapat dipotong, lebih baik dicabut saja, pikirnya.

Tetapi dia. menjerit kaget ketika kuncir itu memancarkan arus tenaga yang kuat sekali sehingga dia terlempar beberapa langkah ke belakang, uh ”

"Ah Liong, jangan kurang ajar, masakan rambut engkohmu engkau tarik2," seru nenek aneh itu.

"Aku tidak. "

"Ai, sudahlah. Kalau tidak dapat dicukur, biarlah. Tentulah engkohmu senang memakai hiasan kuncir, jangan diganggu," kata nenek itu. Ah Liong mengomel panjang pendek tetapi tak dihiraukan si nenek, "Ah Liong, bawalah engkohmu ke kamarnya. Suruh dia mandi dan ganti pakaian. Dan buatkan bubur ayam yang enak. Baik2lah engkau melayaninya kalau tidak dia tentu akan minggat lagi."

“Engkoh Ah Hok, mari kuantar ke kamarmu," kata Ah Liong seraya menarik tangan Huru Hara dan Huru Hara menurut saja.

Kamar dari Ah Hok itu ternyata terletak di luar pondok. Walaupun tak ada alat perabot lain2 kecuali balai2 dan meja, tetapi keadaan kamar itu cukup bersih.

"Disini ?" tanya Huru Hara.

"Eh, mengapa engkau lupa?" Ah Liong kerutkan dahi, lalu bertanya, "apa engkoh tidak mandi dulu?"

"Mandi? Dimana?"

"Lho, aneh," seru Ah Liong pula, "bukankah engkoh paling gemar mandi di telaga?"

Karena beberapa hari tak mandi, tubuh dan pakaian Huru Hara memang kotor. Dia memang hendak mengetahui siapa sesungguhnya nenek aneh itu.

"Baik, aku mau mandi," katanya. Dia bersama Ah Liong segera menuju kesebuah tempat di ujung lembah. Disitu terdapat sebuah telaga kecil.

"Wah, jernih sekali airnya. Apakah nama telaga ini?" seru Huru Hara.

"Telaga Kia-ti." "Kia-ti telaga kac..?"

"Ya," kata Ah Liong, "airnya bening seperti kaca sehinga dasar telagapun kelihatan." Ah, betapa sejuk air yang merendam tubuhnya ketika Huru Hara membenam diri dalam telaga itu. Segala ketegangan dan keletihan hilang sama sekali. Dia merasa semangatnya segar, pikirannya terang.

Sambil merendam diri, pikirannyapun me-layang2 merenungkan diri nenek aneh itu. Jelas bahwa nenek itu telah keliru menganggap dia sebagai cucunya yang bernama Ah Hok. Dan bocah gundul Ah Liong itu tentulah adik Ah Hok.

"Kemanakah gerangan si Ah Hok itu:'" Ialu timbul pertanyaan dalam hati Huru Hara, "ah, menurut omongan si nenek tadi, sudah beberapa waktu Ah Hok pergi dari rumah."

Kemudian ia merenung lebih lanjut, mengapa nenek itu tinggal bersama kedua cucunya dihutan yang sepi. Lalu siapakah orangtua kedua anak itu.

Tiba2 ia terkejut ketika merasa kakinya bergetar, jari- jarinya seperti melekat dan kejang. Cepat dia kerahkan tenaga untuk menolak. Tetapi beberapa saat kemudian, kembali dia merasa kejang lagi.

"Aneh," pikirnya, "rasanya kakiku seperti disedot arus air. Hm, kali ini biarlah. Coba saja akan kubiarkan kakiku disedot sampai kemana."

Karena dia mengosongkan diri dari tenaga melawan, pelahan-Iahan dia ditarik ke bawah dan makin ke bawah sehingga akhirnya kakinya seperti menginjak dasar telaga. Ia rasakan kakinya seperti melekat pada dasar telaga yang merupakan benda yang keras, mungkin batu cadas.

Huru Hara mendapat pikiran. Dia segera kerahkan seluruh tenaga ke kaki untuk menginjak kebawah. Dalam ilmu silat penggunaan tenaga untuk membuat tubuh berat atau menginjak dengan kaki, disebut ilmu Cian-kin-tui atau Tindihan-seribu-kati. Tetapi Huru Hara tak tahu, pokoknya dia mengerahkan tenaga untuk menginjak sekuat-kuatnya.

Hasilnya memang hebat. Ia rasakan tanah keras yang dipijaknya itu makin lama terasa pecah! dan makin berantakan. Tetapi kakinyapun makin terbenam kebawah. Ketika hampir mencapai lutut barulah tenaga sedot itu berhenti tetapi sebagal gantinya sekarang telapak kakinya melekat pada sebuah benda keras.

Huru Hara terkejut. Ia duga benda itulah yang memancarkan kakinya dari benda itu. Serentak ia kerahkan tenaga sakti Ji-ih-sin-kang dai berontak meluncur keatas. Memang tak terdengar suatu letupan apa2 tetapi jelas dia dapat merasakan bahwa benda2 yang membenam kakinya itu berhamburan terbuka sehingga dia dapat melambung keatas.

Tiba2 ia mendapat pikiran untuk melihat benda apakah yang telah menyedot kakinya begitu keras itu ?

Serentak ia mengayun tubuh berjumpalitan menukik kedalam dasar telaga lagi. Karena bening sekali dapatlah dia melihat benda itu.

"Ah, sebatang pedang," serunya seraya menyelam dan menyambar pedang itu, terus meluncur kepermukaan telaga.....

"Engkoh Hok, engkau masih ingat tidak bagaimana keadaan telaga ini pada malam hari?" seru Ah Liong.

"Tidak," Huru Hara terus berenang ke tepi. Ia menyelipkan pedang pandak itu dalam bajunya dan tak mengatakan apa2 kepada Ah Liong.

"Ya, memang engkau lupa segala apa tentang rumah dan tempat ini. Mengapa bisa begitu?" tanya Ah Liong. "Ah Liong," seru Huru Hara, "engkau mengatakan apa tadi? Apakah terdapat hal2 yang aneh pada telaga ini kalau pada malam hari?"

"Ya," sahut Ah Liong, "coba saja kita nanti menjenguk kemari. Tentu engkau akan tahu sendiri."

"Cobalah engkau kasih tahu sekarang Ah Liong," pinta Huru Hara, "kalau tiada yang luar biasa, perlu apa malam2 aku harus melihat kemari?"

"Kalau pada malam nari," permukaan telaga ini amat terang."

"Ah, tentu saja," kata Huru Hara, "karena tertimpa sinar rembulan, permukaan telaga kelihatan terang."

“Tidak begitu, engkoh," bantah Ah Liong, "sekalipun pada malam gelap, permukaan telaga ini tampak terang bahkan lebih terang daripada kalau malam ada rembulannya."

"Benarkah begitu ?"

"Ah, masakan aku membohongi engkau," gerutu Ah Liong, "tetapi ah, sukar engkoh Hok."

"Mengapa ?" Huru Hara heran.

"Kalau tahu kita kemari pada malam hari nenek tentu marah."

"Marah ? Kenapa marah ?"

"Hm, engkau ini pelupa sekali. Bukankah dahulu kita berdua pernah kemari pada tenga malam, tiba2 nenek muncul dan kita berdua lalu diikat pada pohon dan digebuki. Satu hari kita tidak diberi makan, "Mengapa engkau berdua berani melanggar pantangan itu tak boleh datang ke telaga Kia-ti pada malam hari ?" begitulah nenek memarahi kita." "O, apakah nenek pernah memberi larangan begitu ?" Huru Hara terkejut.

Ah Liong geleng2 kepala, "Hm, apa2 lupa apa2 lupa.

Memang nenek pernah melarang begitu." "Apa sebabnya ?"

"Entahlah."

"Tetapi mengapa engkau tahu kalau pada malam hari permukaan telaga ini bersinar terang?”

"Ya, karena pada malam itu kita kemari dan dipergoki nenek."

Huru Hara mengangguk. Tiba2 dia bertanya, "Eh, Ah Liong, aku memang pelupa sekali. Aku tak ingat apa2 lagi. Siapakah nama nenek kita itu ?"

"Entah, aku juga tak tahu."

"Engkau gila Ah Liong," seru Huru Hara, "masakan punya nenek tak tahu namanya. Habis bagaimana kalau engkau memanggilnya ?"

"Ya cukup nenek begitu saja," tiba2 Ah Liong berhenti di sebuah sungai kecil, "tunggu sebentar engkoh Hok, aku hendak menangkap ikan untuk hidanganmu nanti."

"Kenapa tidak cari di telaga saja ?"

"Telaga Kaca itu memang aneh sekali, engkoh Hok," kata Ah Liong, "jangankan ikan, bahkan tumbuhan pakispun tidak ada karena tidak dapat hidup disitu. Pernah kucoba, kusebari dengan ikan kecil tetapi besok pagi ikan2 kecil itu sudah terapung-apung mati."

Huru Hara mengikuti Ah Liong ke sungai kecil. Ah Liong berjongkok di tepi sungai dan tiba2 tangannya disorongkan kedalam air lalu diangkat, "ih, kurang besar. Kurang ajar tuh si merah, dia hendak menghindar," tangannya dicelupkan dalam air lagi dan begitu diangkat, dia sudah mencekal seekor ikan besar merah.

Heran juga Huru Hara melihat cara Ah Liong menangkap ikan, "Ah Liong, mengapa begitu pandai sekali engkau menangkap ikan?"

"Bukankah engkau juga diajari nenek menangkap ikan?" "Aku? Uh, entahlah, sudah lupa."

"Ya, tetapi dalam hal menangkap ikan dan menyumpit nyamuk, engkau memang kalah tangkas dengan aku, engkoh Hok," Ah Liong tertawa bangga.

"O, engkau juga mahir menyumpit nyamuk?”

"Tentu," kata Ah Liong, "setiap malam sebelum tidur, nenek tentu suruh aku memakai sumpit untuk menangkap sepuluh ekor nyamuk. Kata nenek, kelak kalau aku sudah mampu menangkap duapuluh lima ekor nyamuk, baru boleh berhenti dan harus ganti menyumpit lalat."

"Buat apa cari lalat?"

'"Kata nenek itu adalah suatu ilmu yang hebat. Kalau aku sudah mahir menyumpit nyamuk dan lalat, aku tentu mampu menyumpit senjata musuh apabila aku harus bertempur."

"Mengapa engkau tak pakai supit untuk nangkap ikan tadi?"

"Nenek tidak boleh. Menangkap ikan pakai tangan menurut katanya, juga suatu ilmu yang hebat. Kalau dipukul orang aku dapat menyambar tangan orang itu."

"Dulu waktu baru pertama kali, memang susah sekali. Beberapa hari aku tak dapat memperoleh ikan. Nenek marah dan menghadiahi gebukan. Lama kelamaan karena takut digebuk nenek, aku berlatih sungguh2 dan akhirnya aku berhasil, mulai dari seekor hingga dua ekor dan sekarang sudah dapat sekali mencangkum memperoleh sepuluh ekor ikan."

"Apakah dalam latihan menyupit nyamuk dan lalat, juga begitu?"

"Engkau tahu kan, bagaimana watak nenek? Kalau dia perintah, tentu harus dilakukan sampai berhasil. Nih, lihat, gundulku sampai tak dapat tumbuh rambutnya karena sudah ratusan kali dikemplang tongkat nenek."

"Tetapi sekarang engkau kan sudah mampu menyupit nyamuk dan lalat itu, bukan?"

Ah Liong mengangguk. Dia segera mengajak Huru Hara pulang. Di tengah jalan diapun bercerita lagi, "Selain itu, tiap pagi dulu aku pernah disuruh menggendong si Bule."

"Lho, siapa si Bule itu?" tanya Huru Hara. Bule artinya putih.

"Kerbau."

"Kerbau? Lalu untuk apa engkau disuruh menggendong kerbau bule itu?"

"Nenek membeli seekor anak kerbau yang berbulu putih. Suruh aku tiap hari memandikan ke telaga tetapi kalau ke telaga harus digendong. Bermula memang setengah mati. Itu waktu aku baru berumur lima tahun. Sudah tentu aku kalah kuat dengan si Bule. Lalu tiap malam nenek suruh aku minum segelas obat. Dan sebulan kemudian tenagaku bertambah kuat sekali sehingga dapat memanggul si Bule."

"Apakah sampai sekarang masih?" tanya Huru Hara. "Kata nenek aku harus memanggul si Bule tiap pagi." "Sampai kapan?" "Sampai tua."

"Ah," desuh Huru Hara, "berapa umurmu sekarang?" "Hampir sembilan."

"Kalau begitu sudah hampir empat tahun tiap pagi engkau memanggul si Bule?"

"Benar."

"Berapa besar si Bule sekarang?"

"Wah. dia sudah besar sekali dan gagah perkasa. Untung kalau kupanggul, dia masih menurut saja. Kalau tidak, wah, repot."

"Mana si Bule sekarang?"

"Setelah kumandikan, dia terus kulepas dan sepanjang hari dia keluyuran kemana-mana cari makan sendiri."

"Tenagamu sekarang tentu kuat sekali." "Temu saja."

"Apakah engkau kuat mengangkat aku, tiba-tiba timbul pikiran Huru Hara untuk menguji tenaga bocah gundul itu.

"Ho, ho, " Ah Liong tertawa, "Bule yang beratnya seratusan kali saja aku dapat mengangkat masakan engkau…….”

"Cobalah," seru Huru Hara.

Dasar bocah, ditantang begitu timbullah nafsu mencari menang. Ia menerima baik, "Baik, silakan berdiri tegak," katanya.

Huru Hara berdiri tegak dan mulailah Ah Liong mengangkat tubuhnya, hekkkk.....Ah Liong menguak, "Mati aku ....", cepat2 ia lepaskan tangannya dan terus mendekap celananya yang meluncur kebawah. "Ha, ha, ha, ha ....... , " Huru Hara tertawa terbahak- bahak ketika melihat celana anak gundul itu melorot kebawah.

Ternyata karena menggunakan segenap kekuatannya untuk mengangkat tubuh Huru Hara tetapi tak mampu, tali kolor celana Ah Liong putus dan meluncurlah celananya ke bawah. Sudah tentu dia tak mampu mengangkat Huru Hara karena Huru Hara mengerahkan tenaga Ji-ih-sin-kang untuk membuat tubuhnya berat.

"CabuI ihh!" teriak Ah Liong setelah menarik celana keatas lagi, "idih, malunya "

"Mengapa malu?" Huru Hara masih tertawa.

"Terang dong," Ah Liong khe-ki sekali, "waktu celanaku melorot turun, engkau tentu melihat… ”

"Ya, tetapi bukan salahku. Siapa suruh celanamu melorot kebawah?"

"Siapa suruh? Sudah tentu tak ada yang suruh. Masakan aku mau menyuruh celanaku supaya melorot turun? Uh, jangan bicara seenakmu sendiri saja!" Ah Long makin uring-uringan.

"Ah Liong, Ah Liong," kata Huru Hara "kelihatan itumu saja mengapa engkau marah2 tak keruan? Bukankah kita sama 2 anak laki? Mengapa harus malu?"

"Tentu saja malu," Ah Liong mcnyeringai "masakan barang itu harus diperlihatkan kepada orang?"

"Si Bule itu jantan atau betina?" tiba2 Huru Hara bertanya,

"Jantan. Kenapa?"

"Bukankah si Bule juga membiarkan itu kelihatan dan tak malu? Mengapa engkau kalah dengan si Bule?"' "Lho, mengapa kalah? Bule kan seekor kerbau dan aku kan anak manusia. Kalau tidak mengapa pakai celana untuk menutupi? Coba kau sendiri engkoh Hok, bukalah celanamu."

"Wah, jangan," kata Huru Hara.

"Kenapa jangan? Bukankah engkau juga kalah dengan si Bule?"

"Bukan begitu," kata Huru Hara, "engkau masih anak kecil dan aku sudah besar, aku tak pakai celana, orang tentu lari nanti melihat.”

“Kenapa lari? Aku tidak lari bahkan ingin melihat itumu.”

“Mereka tentu mengira aku orang gila!” kata Huru Hara, “sebaliknya kalau engkau, walaupun tidak pakai celana, orang kan tidak apa-apa. Paling2 mereka menganggap engkau seorang anak desa.”

"Ah, tetapi susah nih." "Mengapa susah ?" "Aku malu."

"Kenapa ?"

"Karena engkau telah melihat punyaku."

"Habis bagaimana, kan sudah terlanjur. Apa lagi aku tak sengaja. Yang salah kan tali kolor celanamu mengapa putus

?"

"Engkau yang salah !" tiba2 Ah Liong menuding Huru Hira, "bukankah engkau suruh aku mengangkat tubuhmu ?"

"Ya." "Nah, itulah yang menjadi gara-gara tali celanaku sampai putus.”

"Jangan begitu, Ah Liong,” bantah Huru Hara, aku kan hanya suruh engkau mengangkat aku tetapi aku tak suruh engkau harus putus tali celanamu.”

Setelah berdiam sejenak, Ah Liong mengoceh sendiri, “Ya memang benar. Engkoh Hok tidak suruh aku harus memutuskan tali celanaku. Lalu siapa yang suruh tali celana itu putus ?

"Engkau sendiri Ah Liong," kata Huru Hara.

"Ya, benar, benar, memang aku. Tetapi aku pun melakukan perintahmu untuk mengangkat engkau. Jadi....

engkau, ya, engkau engkoh Hok, biangkeladi yang menjadi gara2 tali celanaku putus !"

"Ah, hal itu sudah terlanjur. Dan itu pun hanya urusan kecil, tak perlu engkau marah atau malu ……"

"Tidak, tidak! Aku tetap malu, hu, hu, hu ...., . ," tiba 2 Ah Liong menangis.

Huru Hara geleng2 kepala, "Apakah dunia ini memang berisi orang gila ? Aku sendiri, menurut kata orang, juga sinting. Paman Cian-li-ji juga tak waras. Tetapi dia sudah tua. Dan mengapa si gundul Ah Liong ini juga blo'on "

"Sudahlah Ah Liong," terpaksa dia menghiburnya, "aku berjanji takkan mengatakan hal itu kepada siapapun juga !"

"Benarkah itu, engkoh Hok ?"

"Ya, aku berjanji dengan sumpah, tetapi…." "Tetapi bagaimana ?"

"Kalau engkau tak mau mendengar kataku terpaksa akan kuceritakan hal itu kepada orang biar engkau malu." "Baik, engkoh Hok. Akupun berjanji akan menurut pada engkau.

Sampai di pondok, Ah Liong menggoreng ikan dan menyiapkan hidangan malam untuk Huru Hara. Keduanya makan bersama.

"Apakah nenek tidak makan ?" tanya Huru Hara.

"Dia memang orang aneh," kata Ah Liong," dia tak pernah makan nasi dan ikan.

"Lalu apa makannanya ?"

"Sayur-sayuran mentah dan buah2an." "O, aneh juga."

Setelah selesai makan, mereka melanjutkan mengobrol lagi. Dalam kesempatan itu Huru Hara bertanya, "Ah Liong, apakah engkau .percaya aku ini si Ah Hok ?"

"Nenek mengatakan begitu, aku harus menurut."

"Tetapi kalau engkau 'sendiri, apakah juga menganggap begitu ?"

"Engkau memang agak mirip. Tetapi bagiku bukan soal engkau ini engkoh Hok yang tulen atau palsu."

"Lalu apa ?"

"Engkau baik kepadaku. Tidak seperti engkoh Hok yang selalu menindas aku."

"Lho, menindas bagaimana ?"

"Kalau pagi, aku harus menyediakan hidangan teh. Lalu mengantar dia ke telaga untuk mandi. Disuruh cuci pakaiannya, menyapu pondok, halaman, membersihkan tempat pembaringan Bahkan tiap malam sebelum tidur aku harus memijati kakinya. Kalau tak mau, dia tentu marah dan menempeleng aku."

"Lho apa nenek tak tahu ?" "Tidak."

"Apa engkau tak memberitahu kepadanya ?"

"Buat apa ? Toh percuma saja. Dia malah marah2 dan membela engkoh Hok."

"Lho, bukankah engkau ini sama2 cucunya ?"

Ah Liong gelengkan kepala, "Bukan. Engkoh Hok memang cucu nenek tetapi aku bukan. Aku seorang anak yatim pintu yang ditemukan nenek dan dipelihara, dianggap sebagai cucunya."

"Eh, bagaimana engkau tahu ?"

"Engkoh Ah Hok yang menceritakan," kata ' Ah Liong dengan berkaca-kaca.

Mendengar itu terharu juga hati Huru Hara Diam2 dia kasihan dan suka kepada anak itu.

"Ah Liong," katanya, "sebenarnya aku ini bukan Ah Hok tetapi entah karena rupaku mirip dengan Ah Hok, nenek itu menganggap aku Ah Hok dan memaksa membawa aku kemari."

"O, lalu siapakah engkoh ini ?"

"Aku Loan Thian Te, juga sudah sebatangkara seperti engkau, Ah Liong."

"Kalau begitu kita ini senasib, engkoh …. eh, aku harus memanggil bagaimana ?"

"Tetap panggil saja engkoh Hok, agar nenek itu tidak marah." "Baik," kata Ah Liong, "tetapi bagaimana nanti kalau yang punya nama pulang ?"

"Kita nanti bicara lagi," kata Huru Hara. Demikian setelah puas bicara mereka segera masuk tidur. Tetapi sebelumnya, Ah Liong bilang "Silakan tidur lebih dulu, aku mau berlatih dulu."

"Lho, berlatih apa “Silat."

"O," desuh Huru Hara, "boleh aku melihat?" "Boleh saja."

Mereka keluar ke halaman. Disitu Ah Liong mulai berlatih silat, makin lama makin cepat gerakannya sehingga tubuhnya tampak seperti bayangan.

"Ah Liong, ilmusilat apa itu ?" tanya Huru Hara setelah Ah Liong berhenti.

"Entah, nenek tak bilang apa2 kecuali suruh aku berlatih. Dengan ilmusilat itu, kata nenek, aku tentu dapat mengalahkan sepuluh orang jago silat."

"Uh," Huru Hara hanya mendengus. Kemudian keduanyapun masuk kedalam pondok dan tidur.

Satu-satunya kegemaran Huru Hara yalah ia semedhi dulu sebelum tidur. Kadang2 sampai berjam-jam dia bersemedhi melakukan pernapasan dan penyaluran darah. Dia merasa bahwa dengan bersemedhi itu pikirannya bertambah terang, semangat segar, badan sehat.

Pada saat mencapai tingkat yang tertentu, ia rasakan pancainderanya tajam sekali. Telinganya dapat mendengarkan suara yang betapapun lembutnya. Ia dapat mendengarkan suara semut berjalan, cicak merayap dan daun kering yang berhamburan jatuh di halaman. Dan tak berapa lama kemudian ia meningkat pula pada puncak  alam tertinggi dari semedhinya. Ia merasa, pikiran perasaan, pendengaran, penciuman, pernapasan dan bahkan dirinya telah 'lenyap' semua. Lenyap dalam kehampaan yang kosong. Hal itu berlangsung sampai pada keesokan harinya baru dia bangun.

Sejak melakukan ilmu semedhi, dia tak pernah tidur. Kalau tidur ya duduk bersemedhi itu. Keesokan harinya apabila bangun, ia rasakan semangatnya segar, lebih segar dari tidur.

Entah berapa jam dia sedang duduk bersemedhi itu tetapi yang jelas saat itu sudah lewat tengah malam di kala dia mendengar suara orang berjalan. Bermula masih jauh tetapi tak berapa lama sudah dekat dan jelas menuju ke pondok tempat kediaman nenek.

Huru Hara terkejut. Mengapa pada tengah malam buta, ada orang yang datang ke pondok nenek aneh itu? Dengan jelas ia menangkap suara langkah mereka dan dapatkan bahwa yang datang itu terdiri dari dua orang. Langkah mereka sedemikian lembut sehingga hampir seperti daun gugur. Suatu pertanda bahwa kedua pendatang tentu bangsa jago silat yang memiliki kepandaian tinggi.

Keduanya berhenti di halaman, "Benarkah Gok pohpoh ilu tinggal disini?" tanya salah seorang yang mengenakan pakaian seperti seorang pertapa.

"Ah, saudara Pat Hong apa tak percaya kepadaku?" jawab kawan yang ditanya itu, "apa gelar Coan-ti-jin (manusia serba tahu) yang diberikan kaum persilatan kepadaku itu hanya gelar kosong saja?"

"Harap saudara Coan-ti-jin jangan salah faham," sahut pertapa yang disebut Pat Hong (delapan-penjuru-angin), "aku sih hanya menginginkan kepastiannya saja. Karena kalau kita berhasil mendapatkan pusaka itu, panglima Torgun dari kerajaan Ceng sudah menjanjikan hendak mengangkat aku sebagai Kun-su (penasihat perang)"

"Hm….," Coan-ti-jin mendengus.

"Jangan kuatir, saudara Coan-ti-jin,” buru2 pertapa itu menyusuli kata2 , “kalau aku menjadi Kun-su, engkau tentu juga akan kumintakan pangkat kepada panglima Torgun.”

“Beberapa hari yang lalu aku berhasil menangkap seorang pemuda. Dia mengaku bernama Ah Hok, cucu dari nenek Gok pohpoh yang tinggal di sini. Menurut keterangannya, Gok pohpoh masih memakai tongkaat itu.”

"Oh, dimana pemuda Ah Hok itu ?" "Masih kusimpan."

"Bagus, kalau kita gagal dalam usaha ini, kita dapat memperalat anak itu," kata pertapa Pat Hong. Kemudian dia memungut sebutir batu kecil dan terus dilontarkan ke depan pintu pondok.

"Hm, kayak bangsa maling yang hendak menanyakan jalan kepada turun rumah," tiba2 dari dalam pondok terdengar suara orang. Itulah suara si nenek. Dan pada lain saat pintupun terbuka!

"Hai, pendatang dari mana itu yang tengah datang ?” seraya melangkah keluar.

"Bagus, Gok pohpoh. Apa engkau belum tidur ?"

"Hm, apa engkau buta ? Bukankah aku berdiri di tempat ini ?"

"Ha, ha," pertapa Pat Hong tertawa, "aku senang mendengar suaranya yang ketus itu. Kukira engkau sudah mampu, karena gemar menangis. Apakah engkau sudah tak suka menangis lagi ?” Gok artinya menangis. Gok pohpoh berarti Nenek penangis atau yang suka menangis.

"Malam ini tidak," sahut Gok pohpoh. "Mengapa ?"

"Karena kalian datang."

"Lho, apa hubungannya kedatangan kami dengan tangisanmu?" tanya pertapa Pat Hong.

"Kalau sampai bulan ini tak ada tetamu yang datang, berarti dalam satu tahun penuh saya nganggur. Karena itu saya harus menangis."

"O, apakah tiap tahun tentu ada orang yang berkunjung kemari?"

"Hampir dipastikan begitu. Bahkan kadang dalam setahun sampai dua tiga kali aku harus menerima tetamu."

"Mengapa engkau senang mendapat tetamu?" tanya pertapa Pat Hong.

"Karena tamanku bertambah penghuni!" "Taman apa?"

"Taman Pahlawan Sia-sia."

"Apa?" teriak pertapa Pat Hong, "engkau maksudkan taman pemakaman?"

"Apalagi kalau tidak begitu. Sebentar lagi kalianpun akan tinggal di taman indah itu. Banyak kawan disitu dan tiap hari akupun tentu datang bersembahyang."

"Nenek gila!" teriak pertapa Pat Hong, "mengapa engkau bunuh mereka?"

"Aku tak mencari mereka tetapi mereka yang mencari aku. Aku tak membunuh mereka tetapi mereka yang minta dibunuh. Bukankah kedatangan kalian ini juga hendak merampok tongkatku ini?"

"Gok pohpoh, kalau berbuat tentu merasa. Bukankah begitu?"

"Hm, siapa engkau?" tegur nenek Gok dengan kilatkan matanya yang tajam.

"Siapa namaku, aku sudah tak ingin memakai karena memakaipun orang tak mau menerima. Aku diharuskan memakai nama yang mereka berikan kepadaku yakni Coan- ti-jin. "

"Manusia-serba-tahu artinya?" nenek Gok menegas.

"Ya, begitulah. Tetapi aku sendiri memang merasa serba- tak-tahu."

"Apa yang engkau maksudkan dengan pertanyaanmu tadi?" kata nenek Gok.

"Tongkat Hek-ci-thiat (besi magnit hitam ) adalah milik dari Thiat Ci cinjin yang hidup pada seratus tahun yang lalu. Dengan sebatang tongkat dan sebatang pedang pandak dia pernah menjagoi dunia persilatan. Dia memang seorang tunas berbakat luar biasa seperti Tio Tan Hong, raja pedang yang diakui sebagai cikal-bakal perguruan Thian-san-pay. Kecerdasan Thiat Ci cinjin dipersamakan dengan Tat Mo cousu, pendiri perguruan Vihara Siau lim si. Tetapi sayang Thiat Ci tergoda oleh paras cantik dan akhirnya harus mengalami hari terakhir yang mengenaskan "

"Kang-ou-te it-bi-jin, wanita paling cantik dalam dunia persilatan Li Gwat Go berhasil merayunya dan akhirnya dapat meracuni sehingga Thiat Ci menjadi seorang invalid selama-Iamanya. Menyadari dirinya pasti akan dibunuh si ular cantik Li Gwat Go, dia segera melarikan diri dengan naik burung garuda peliharaannya " "Tepat pada saat itu muncullah Gwat Go di kamar. Melihat Thiat Ci diterbangkan burung garuda, Gwat Go marah dan lari mengejar. Dia lepaskan anakpanah. Karena gugup Thiat Ci lupa keadaan dirinya. Dia menangkis anakpanah itu de jngan tongkatnya. Sudah tentu dia tak mampu sehingga tongkatnya jatuh ke bawah dan dapat di- ambil Gwat Go.

"Di tengah udara timbullah pikiran Thiat i. Dia tahu bahwa racun itu amat ganas. Dalam beberapa waktu lagi dia tentu mati maka dia mengambil keputusan melemparkan dua buah pusaka ke bawah, "Setiap benda tentu bertuan. Hanya yang berjodoh akan mendapatkan pusaka itu……"

"Telur busuk, engkau datang kemari hendak jual cerita atau hendak merampok!" teriak nenek Gok.

"Tetapi karma telah menimpa pada si ular cantik Gwat Go. Diapun mati dipaksa minum racun oleh In Liat, murid dari Thiat Kia cinjin dan tongkat pusaka itupun jatuh ke tangan In Liat… ”

"Keparat, jangan banyak mulut!" teriak nenek Gok.

"In Liat mempunyai seorang putera bernama In Siu Lam. In Siu Lam sebenarnya sudah beristeri Tong Yan Cu tetapi karena dia pernah ditolong jiwanya oleh Beng Giok Lan, atas persetujuan Teng Yan Cu, In Siu Lun mengambil Beng G.ok Lau sebagai isteri yang kedua."

Kebetulan Tong Yan Cu dan Beng Giok Lan sama2 hamil. Ketika tiba pada waktunya, Yan Cu melahirkan seorang bayi perempuan. Tetapi tiba2 seorang wanita bernama Liu-ma yang menjadi pelayan Giok Lan memberi anjuran kepada Giok Lan. Giok Lan setuju dan pelayan yang bernama Liu-ma itu segera menukarkan bayi perempuan anak Giok Lan dengan bayi laki anak Yan Cu

....... "

"Bangsat, mampus engkau!" tiba2 nenek Gok menjerit dan ayunkan tangan kearah tetamu lelaki tua yang menamakan diri sebagai Coan-ti-jin atau si Manusia-serba- tahu ... .

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar