Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 11 Petualang

Jilid 11 Petualang

Agar jelas marilah kita kembali lagi pada peristiwa jenderal Ko Kiat mengirim peti uang yang akan disumbangkan kepada jenderal Ui Tek Kong sebagai tanda ikut berdukacita atas kematian ibu jenderal Ui Tek Kong. Karena perbuatan jenderal Ko Kiat yang telah menyerang pasukan jenderal Ui Tek Kong ketika hendak menyambut kedatangan panglima Ui Hui, maka Ui Tek Kong marah dan hendak menyerang Ko Kiat. Hampir saja terjadi pertempuran sendiri diantara kedua pasukan Beng itu. Untunglah Su Go Hwat datang melerai.

Kebetulan mama dari Ui Tek Kong meninggal, maka Su Go Hwat menganjurkan Ko Kiat untuk mengirim sumbangan dan pernyataan berduka cita, agar Ui Tek Kong luluh hatinya.

Untuk melaksanakan pengiriman itu maka Ko Kiat telah mengundang tujuh benggolan dunia hitam. Maklum suasana saat itu memang gawat, negara sedang dalam peperangan.

Ketujuh surat undangan dapat direbut oleh pendekar Huru Hara yang lalu menghadap Ko Kiat. Tetapi pada saat itu juga muncul seorang jago muda yang menyebut diri bernama Yap Hou dengan membawa enam bulir kepala dari ketujuh benggolan hitam itu. Untuk memustuskan siapa yang berhak mendapat kepercayaan untuk membawa barang antaran itu maka diadulah pendekar Huru Hara dengan Yap Hou. Yap Hou kalah dan pendekar Huru Hara yang diberi pekerjaan mengantar barang kepada jenderal Ui Tek Kong itu.

Tetapi dasar Ko Kiat itu seorang jenderal yang licik, sebenarnya mengantar barang sumbangan kepada Ui Tek Kong itu hanya suatu formalitas yang bersifat  basa-basi saja. Dia takut kepada mentri pertahanan Su Go Hwat. Maka diam2 dia menyuruh Yap Hou untuk mengantar surat dan barang mustika kepada tay-haksu ( penasehat raja) Ma Su Ing. Barang berharga itu tak lain adalah barang yang diantar pendekar Huru Hara. Jelasnya, Yap Hou diperintah untuk merampas barang antaran yang dikawal pendekar Huru Hara itu.

Sekali tepuk dua lalat, demikian siasat yang direncanakan Ko Kiat. Dia telah melakukan anjuran mentri pertahanan Su Go Hwat untuk mengirim sumbangan kepada Ui Tek Kong. Tetapi diam2 dia suruh orang untuk merampas barang itu. Sudah tentu dia akan mengatakan bahwa memang dalam suasana negara sedang kacau, banyak sekali pengacau dan perampok merajalela. Dia bersih dari tuduhan.

Kemudian dia suruh Yap Hou mengantar barang berharga yang dirampas dari pendekar Huru Hara itu kepada Ma Su Ing.

Memang cerebk dan licin sekali Ko Kiat mengatur rencana. Tetapi perhitungannya meleset. Secara tak diduga- duca, peti yang berisi emas permata dan uang itu, telah ditukar oleb Li Li Hoa, seorang wanita cantik yang menjadi gundik kesayangan Ko Kiat. Li Li Hoa itu sebenarnya gundik dari Li Thian Ong, seorang hartawan yang termasyhur dermawan di kota Khay hong.

Mengapa Li Thian Ong mempersembahkan gundik kesayangannya kepada jenderal Ko Kiat ?

Ternyata Li Thian Ong mendengar bahwa entah dari mana asalnya, ternyata setelah pasukan kerjaan Beng mundur dari ibukota Pakkia jenderal Ko Kiat merriliki sebuah pusaka Gioksay atau Singa-kumala. Dalam mustika Singa kumala itu tersimpan sebuah peta dari rahasia tempat penyimpanan harta karun dari Cu Goan Ciang, pendiri kerajaan Beng.

Setelan dapat memikat hati Ko Kiat maka berhasillah Li Li Hoa untuk mencuri mustika Giok-say itu. Wanita itu segera menghubungi Li Thian Ong. Li Thian Ong tahu kalau dia datang ke tempat jenderal Ko Kiat, tentulah dia yang akan dituduh apabila jenderal itu tahu bahwa mustika Giok-saynya hilang.

Kebetulan sekali Li Thian Ong mendengar kabar bahwa Ko Kiat hendak mengirim barang sumbangan kepada jenderal Ui Tek Kong. Dia lalu memberi perintah kepada Li Li Hoa supaya menyelundupkan mustika Giok-say itu kedalam peti. Nanti dalam perjalanan, Li Thian Ong yang mencegat dan merampas barang antaran itu.

Li Thian Ong memang berhasil. Tetapi sial sekali. Bu Te sin-kun muncul dan dapat merebut Giok-say itu dari tangannya.

Seperti yang direncanakan jenderal Ko Kiat maka Yap Hou dengan membawa beberapa prajurit memang hendak merampas peti. Tetapi dia terlambat. Peti itu telah ditukar oleh pengemis sakti Wi sin-kay dengan tanah dan harta berharga dalam peti itu telah dikuras Wi sin-kay untuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang terserang bahaya kelaparan.

Sekarang mari kita ikuti Yap Hou yang menghadap jenderal Ko Kiat untuk melaporkan peristiwa itu.

Sebenarnya kalau hanya kehilangan harta yang dikirim kepada jenderal Ui Tek Kong itu, tentulah Ko Kiat tidak begitu kelabakan. Paling2 dia nanti dapat mencari ganti pada rakyat yang kaya, Tetapi karena kebetulan dia mengetahui hilangnya mustika Giok-say maka marahlah dia kepada Yap Hou.

Memang setiap berapa hari sekali, Ko Kiat tentu membuka peti tempat penyimpanan Giok-say. Dan kebetulan hari itu ketika membuka peti, Giok-say itu masih ada. Hampir saja dia menutup kembali peti itu. Tetapi entah kenapa saat itu dia seperti merasa ingin sekali untuk memeiiksa Giok-say itu. Ia mendengar kabar bahwa Giok- say itu tersimpan rahasia harta karun dari baginda Beng thaycou (Cu Goan Ciang) tetapi sampai berulang kali diteliti, belum juga ia dapat menemukan rahasia yang menunjukkan tulisan atau peta tempat penyimpanan harta karun.

Maka diperiksanya lagi Giok-say itu dengan teliti. Alangkah kejutnya ketika mendapatkan bahwa Giok-say itu bukan lagi terbuat daripada kumala melainkan dari gelas biasa.

Ko Kiat segera meniitahkan pengawalnya untuk menangkap Li Li Hoa karena hanya gundik itu yang tahu rahasia tempat ia menyimpan Giok-say. Tetapi walaupun disiksa, Li Li Hoa tetap tak mau mengaku. Li Li Hoa dijebloskan dalam tahanan tetapi dia berhasil minggat. Sebelumnya dia meninggalkan sura.t bahwa Giok say itu memang dia yang mengambil dan diselundupkan dalam peti barang antaran kepada jenderal Ui Tek Kong.

Itulah sebabnya maka Ko Kiat marah sekali ketika mendengar laporan Yap Hou, bahwa peti itu hanya berisi tanah, tak ada mustika Giok-say.

Yap Hou heran mengapa jenderal itu marah besar kepadanya sehingga hampir saja dia dibunuh.

"Ciangkun, aku tak tahu apa yang salah padaku," katanya kepada Ko Kiat, "memang peti itu hanya berisi tanah pasir dan tak terdapat lain barang."

"Goblok!" bentak Ko Kiat, "mengapa engkau sampai terlambat sehngga peti itu sudah dilampas lain orang dan diganti dengan tanah pasir."

"Ya, karena aku tak menyangka bakal terjadi peristiwa semacam itu," kata Yap Hou. "kalau ciangkun menghendaki supaya aku mengganti uang antaran itu, aku sanggup tetapi aku minta tempo satu bulan."

"Tidak perlu," kata Ko Kiat yang agak tenang, "yang penting engkau harus menyelidiki siapakah yang telah mendahului engkau untuk merampas isi peti itu. Kemudian laporkan kepadaku."

Yap Hou menyanggupi. Sekeluarnya dari gedung kediaman Ko Kiat, dia berpikir, "Aku harus mencari pendekar Huru Hara untuk mencari keterangan kepadanya tentang peti itu. Tentulah dia tahu siapa yang telah datang lebih dulu dari aku."

Kebetulan dia tak perlu membuang banyak tenaga untuk mencari pendekar Huru Hara karena pendekar Huru Hara juga hendak mencarinya. Pertemuan itu terjadi di sebuah rumah makan. Ketika dia sedang makan di rumah makan disebuah kota kecil maka masuklah pendekar Huru Hara bersama Cian-li-ji dan Wi sin-kay.

"Pucuk dicinta ulam tiba2," seru Yap Hou dalam hati seraya berbangkit menyambut ketiga orang itu.

"Ah, kebetulan sekali engkau datang kemari," katanya kepada pendekar Huru Hara, "aku memang hendak mencarimu."

"O," desuh pendekar Huru Hara, "engkau hendak mencari aku ? Aneh, aku juga hendak mencari engkau !"

Yap Hou tertegun. Sesaat kemudian dia mempersilakan," Mari kita duduk dan bicara yang tenang."

Yap Hou minta hidangan lagi berikut arak wangi. Ketika pesanannya datang, tiba2 timbul pikirannya untuk mencoba kepandaian pendekar Huru Hara. Kalau dapat kugertak dengan ilmu kepandaianku, tentu mudah untuk memaksanya supaya memberi keterangan, pikirnya.  Ia menuang arak kedalam sebuah cawan lalu dilemparkan kearah pendekar Huru Hara yang duduk dihadapannya, "Loan tayhiap, silakan minum "

Cawan arak itu melayang, terbang kearah pendekar Huru Hara, "Ah. terima kasih, tak perlu sungkan, sahut pendekar Huru Hara seraya ulurkan tangan menyambuti.

"Ja.....," melihat itu Wi sin-kay hendak mencegah. Ia tahu bahwa Yap Hou telah menggunakan lwekang tinggi untuk melontarkan cawan berisi arak itu.

Cawan berisi arak yang dibayangkan kepada orang itu, mengandung beberapa keanehan. Ada yang apabila disambuti, cawan terus pecah. Ada yang araknya mencurah, ada yang cawan itu lolos dan lain2 menurut kehendak si pelontar. Sudah tentu juga menurut tinggi rendahnya Iwekang dari pelontarnya.

Oleh karena itu maka Wi sin-kay terkejut ketika melihat pendekar Huru Hara mengulurkar tangan menyambuti cawan. Ia kuatlr pendekar Huru hara mendapat malu karena dipermainkan Yap Hou.

Tetapi sebelum pengemis sakti itu sempat meneruskan kata-katanya, tangan pendekar Huru Hara sudah menyambuti cawan.

"Uh, tumpah......" teriak pendekar Huru Hara pada saat tangannya memegang cawan dan arak itu terus tumpah.

Terdengar suara orang tertawa mengejek tetapi tiba2 tawa itu berhenti, berganti dengan desuh kejut, "Ih. "

Ternyata pendekar Huru Hara telah melepaskan cawan. Cawan meluncur lebih cepat, keatas meja dan tepat dapat menampung arak yang tumpah itu. Sernua masuk kedalam cawan lagi, tak ada setetespun yang tumpang ke meja. Orang yang tertawa itu tak lain adalah Yap Hou. Ia mengira pendekar Huru Hara tentu akan meringis malu tetapi dia sendiri yang terbeliak kaget.

"Ah, arak yang harum sekali," seru pendekar Huru Hara seraya meneguk cawan arak. Setelah habis, diapun mengambil poci arak dan dituangkan kedalam sebuah cawan lalu dilemparkan kearah Yap Hou, "Terimalah ini, aku juga harap mempersembahkan arah kepadamu "

Yap Hou, bahkan Cian-li-ji dan pengemis Wi sin-kay terbeliak ketika melihat layang cawan itu. Cawan itu tidak melayang seperti cawan yang dilemparkan Yap Hou, melainkan berputar-putar jungkir balik seperti roda. Namun tak setetespun arak dalam cawan itu yang menetes keluar.

''Celaka, dia melontar dengan lwekang yang istimewa," diam2 Yap Hou mengeluh, "kalau kusambuti mungkin dia nanti akan menggunakan Iwe-kang sakti untuk mempermainkan aku. Namun kalau tak kusambuti, aku pasti akan ditertawakan… "

Daripada ditertawakan, lebih baik dia menyambuti saja. Dengan mengerahkan segenap tenaga-dalam maka dia segera menyambut cawan itu.

"Uh," ia mendesuh dalam hati. Mukanya yang tegangpun berobah menjadi merah. Ternyata waktu disambuti, cawan itu tak mengandung tenaga-sakti suatu apa, tetapi seperti cawan biasa saja.

Yap Hou terkejut karena mengetahui bahwa pendekar Huru Hara telah menguasai ilmu lwe-kang tataran tinggi, dapat dipancarkan dan ditarik menurut sekehendak hatinya.

Setelah mengetahui kepandaian lwekang lawan, Yap Hou tak berani malanjutkan permainan mempersembahkan cawan arak lagi. Tetapi untuk merebut kembali kehilangan muka itu, dia masih hendak mencoba kepandaian Cian-li-ji.

Ia menuang arak kedalam sebuah cawan dan dilontarkan kearah kakek pendek itu, "Herap cian pwe suka menerima persembahan arak ini."

Cian-Ii-ji tertawa. Tanpa mengucap sepanah  katapun, dia terus menyambuti cawan arak itu. Tetapi tidak menggunakan tangan melainkan langsung dengan mulut. Dia menyedot arak dalam ca wan itu sampai habis.

Jika Yap Hou terkejut menyaksikan kepandaian kakek pendek yang sedemikian luar biasa adalah pendekar Haru Hara gembira sekali, "Bagus, paman," serunya memuji.

"Akupun juga harus menghaturkan arak kepadanya," Cian li ji menuang arak kedalam sebuah cawan lalu dilemparkan kearah Yap Hou.

Waktu Yap Hou menyambuti, tiba2 cawan itu pecah dan isinya menuang ke baju Yap Hou.

Saat itu Yap Hou benar2 tak berani lagi melanjutkan permainan itu. Demikian setelah selesai minum maka berkatalah Yap Hou, "Lian tayhiap, aku hendak mohon keterangan kepadamu."

"Soal apa?"

"Soal isi dalam peti yang engkau antar itu."

"O, bagian yang mana karena peristiwanya terjadi berturut- turut."

"Soal mengapa tiba2 isi peti itu berganti dari uang dan harta berharga, menjadi tanah pasir. Siapakah yang menukarnya?"

"Aneh," gumam pendekarHuru Hara, "'aku hanya menerima pekerjaan dari jenderal Ko Kiat untuk mengantar peti itu kepada jenderal Ui Tek Kong. Tentang apa isinya, aku tak tahu sama sekali."

"Bukankah isinya hanya tanah pasir saja? tanya Yap Hou.

"Ya."

"Apa engkau percaya kalau jenderal Ko Kiat akan mengantar peti berisi tanah kepada jenderal Ui Tek Kong?"

"Soal itu, aku tidak memeriksa lebih dulu apa isinya." "Ternyata isinya tanah," Yap Hou memberi penegasan. "Benar," tiba2 Wi sin-kay menyahut, "memang isinya

tanah."

"O, bagaimana lopeh tahu?" "'Karena aku yang membuka."

Yap Hou terkejut, "Lopeh berani membuka?”

"Ya, karena aku telah mengetahui suatu peristiwa yang tak kujangka-sangka."

Yap Hou makin tertarik dan mendesak agar pengemis sakti itu menceritakan apa yang diket,ahuinya. Wi sin- kaypun lalu menuturkan semua peristiwa yang telah dilihatnya.

Yang mengobrak-abrik peti itu adalah Thian Ong. Dia mendapatkan sebuah benda tetapi ditengah ja!an dia dicegat oleh orang dan jang itu berhasil merebut benda itu."

"Apakah nama benda itu?'' "Mereka menyebut Giok-say." "Giok-say singa kumala?" "Ya." "Benda apakah itu?"

"Entah, kemungkinan besar sebuah mustika yang jarang terdapat dalam dunia. Entah mengandung khasiat yang ajaib untuk menambahkan tenaga kepandaian. Entah karena harganya yang tiada taranya. Entah karena berkhasiat menyembuhkan segala macam racun. Pokoknya, sebuah mustika yang tiada keduanya dalam dunia ini."

"O, mungkin," diam2 Yap Hou teringat bahwa jenderal Ko Kiat tak mengatakan benda itu kepadanya. Kemungkinan karena kuatir dia nanti akan mengambil barang itu sendiri.

"Lalu siapakah yang mencegat Li Thian Ong," tanyanya pula.

"Dia mengenakan kain penutup muka sehingga sukar diketahui. Tetapi Li Thiari Ong sempat menyebut namanya

. . . . "

"Siapa?" teriak Yap Hou karena tegang. "Bu Te sin-kuu."

"Hai, Bu Te sin-kun!" Yap Hou melonjak dari kursinya.

Wi sin-kay mengiakan. Tampak Yap Hou termenung- menung sampai beberapa saat. Kemudian dia duduk lagi.

"Apakah engkau kenal dengan Bu Te sin-kun?" tiba2 pendekar Huru Hara bertanya.

"Pernah mendengar namanya tetapi belum kenal orangnya," sahut Yap Hou.

"Hm," desuh pendekar Huru Hara.

"Kudengar Bu te sinkun pernah mempunyai seorang murid, apakah engkau tahu?" tiba2 pula pengemis Wi sin- kay bertanya. Diam2 pengemis itu melirik tajam kepada Yap Hou.

"Tidak," sahut Yap Hou, "Bu Te sin-kun tak punya murid."

"Setelah mendapat keterangan dari Wi cian-pwe," kata pendekar Huru Hara, "hendak kemanakah engkau?"

"Mencari Li Thian Ong."

"Mencari Li Thian Ong?" pendekar Huru Hara heran, "bukankah dia sudah tak menyimpan benda mustika itu lagi karena sudah direbut Bui Te sin-kun?"

"Aku ingin mendapat keterangan yang jelas tentang benda itu. Kalau sebuah mustika, lalu musiika apa saja," jawab Yap Hou.

"Bagaimana kalau kita menyertaimu ke sana?" tanya pendekar Huru Hara.

''Ya, kalau Li Thian Ong menyangkal, aku dapat menjadi saksi," tambah Wi sin-kay.

"Baik," Yap Hou menerima tawaran itu. Setelah selesai makan dan membayar rekening, mereka lalu berangkat ke kota Khay-hong.

Lewat tengah hari mereka tiba di sebuah hutan. Tiba2 pendekar Huru Hara minta berhenti, 'Kita beristirahat dulu disini."

"Lho, kenapa? Apa engkau lelah? Kita harus cepai2 berjalan agar sebelum matahari terbenam sudah tiba di kota Ho ling," kata Yap Hou.

"Bukan karena lelah melainkan aku hendak bicara kepadamu," jawab pendekar Huru Hara.

"Soal apa?" terpaksa Yap Hou berhenti. "Kalau tak salah, kuperhatikan engkau terkejut gembira waktu melihat aku masuk kedalam rumah makan tadi, benar bukan?"

"Hm, lalu?"

"Dengan begitu jelas engkau memang mengharap dapat bertemu dengan aku atau bahkan memang hendak mencari aku," kata pendekar Huru Hara.

"Ya," akhirnya Yap Hou mengakui. "Mengapa?"

"Karena hendak meminta keterangan siapakah yang lebih dulu datang sebelum Li Thian Ong mengambil benda mustika itu dari peti yang engkau kawal."

"O," desuh pendekar Haru Hara, "dan bukankah Wi cianpwe sudah menjelaskan hal itu?"'

Yap Hou mengangguk.

"Ketahuilah, bung,"' kata pendekar Huru Hara pula, "aku sendiri sebenarnya juga hendak mencari engkau."

"Engkau? Mau apa?'" Yap Hou terkejut.

"Mau meminta keterangan dimanakah aku dapat menemui Bu Te sin-kun."

Yap Hou terkejut tetapi sesaat kemudian ia tenang kembali, "Aneh, mengapa bertanya kepadaku? Carilah sendiri saja."

Pendekar Huru Hara gelengkan kepala, "Sukar. Kecuali engkau mau memberi petunjuk dimana tempatnya."

"Bung, jangan bergurau."

"Siapa yang bergurau? Aku omong dengan sungguh2." "Aneh, mengapa engkau bsrtanya kepadaku?" "Karena engkaulah murid Bu Te sin-kun itu!"

Yap Hou terkejut sekali, "Tidak, aku buka muridnya!" "Dosa bagi seorang persilatan, pertama kali dia berhianat

kepada perguruannya. Kedua kali menghina gurunya. Dan engkau ini berdosa karena menghina gurumu."

"Heh, heh, mana aku menghina guruku?

"Apa namanya murid yang tak mau mengakui gurunya itu kalau bukan menghina?"

Merah muka Yap Hou.

"Kalau aku tetap menyangkal?" tanyanya "Terpaksa akan kupaksa!"

"Hm, engkau hendak main paksa, ya?"

"Sebenarnya aku tak bermaksud begitu asal engkau mau memberitahu dengan terus terang."

"Heh, heh, heh" tiba2 Yap Hou tertawa mengejek, "memang pantas kalau engkau hendak main paksa itu!"

"Apa maksudmu?" pendekar Huru Hara membelalak. "Bukankah engkau mempunyai dua orang kawan yang

dapat membantumu untuk menangkap aku?"

"Budak she Yap, jangan omong sembarangan saja!" tiba2 Cian-li-ji melengking, "engkau kira keponakanku itu seorang yang rendah budinya? Hm, aku dan pengemis tua ini takkan membantunya dan engkau boleh pilih mau berhadapan dengan siapa?"

"Apa maksudmu?" seketika berkilatlah mata Yap Hou mendengar kata2 kakek pendek itu. Pendekar Huru Hara hendak mencegah tetapi kakek Cian-li-ji sudah mendahului, "Engkau boleh pilih salah satu dari kami bertiga sebagai lawanmu!"

"Benarkah itu?" Yap Hou serentak berpaling kearah pendekar Huru Hara.

Pendekar Huru Hara tahu bagaimana perangai kakek pendek itu. Kalau dia menyangkal, kakek itu tentu marah. Apa boleh buat, iapun mengiakan saja."

"Baik," kata Yap Hou, "aku senang bermain-rnain dengan engkau, kakek?"

Bagaimana kepandaian pendekar Huru Hara, Yap Hou sudah tahu. Ia merasa tak mampu mengalahkan. Diapun kena! bahwa Kay-pang itu merupakan suatu perguruan yang terkenal lihay ilmu silatnya. Pangemis tua Wi sin-kay tentu hebat juga kepandaiannya. Hanya kakek pendek itu yang tak diketahui asal usulnya, tentulah yang paling lemah diantara ketiga orang itu. Maka pilihannya jatuh kepada Cian-li-ji.

Sebaliknya pendekar Huru Hara diam2 menghela napas longgar. Dia tahu bahwa kakek Cian tentu mampu menghadapi Yap Hou.

"Budak edan, engkau memilih aku?" seru kakek Cian-li-

ji.

'"Lho, omonganmu tadi sungguh? atau jual gertak saja?"

balas Yap Hou.

"Tentu saja sungguh2," sahut Cian-li ji maju kemuka, "engkau anggap aku tak berani melawanmu, ya? Hm, kalau aku tak mampu menampar mukamu sepuluh kaii dan gundulmu sepuluh kali, lebih baik aku pulang ke desa saja menjadi petani!" "Bagus, bagus!" seru Yap Hou, "kalau engkau mampu melakukan itu, aku akan berlutut dari menyebut ya-ya ( engkong ) kepadamu!"

"Tidak, tidak sudi! Aku tak sudi mempunyai cucu seperti engkau!'' teriak Cian li-ji

"Habis, engkau minta dipanggil apa ?"

"Panggil lo-ya (tuan besar) kepadaku ! Kalau tidak mau, akupun tak mau bertempur melawan engkau."

Diam2 Yap Hou gembira. Jelas kakek pendek itu seorang limbung. Ilmu kepandaiannya tentu tak keruan.

"Baik, aku bersedia menyebut loya kepadamu sampai

100 kali, tetapi kalau aku menang, bukan hanya engkau tetapi kedua kawanmu itupun harus pergi dari sini dan tak boleh mengganggu aku lagi!"

"Baik !" sahut Cian li-ji tanpa menghiraukan wajah pendekar Huru Hara yang terkejut dan pengemis Wi sin-kay yang melongo.

Yap Hou tak mau membuang waktu. Dia harus menggunakan kesempatan itu agar jangan terjadi perobahan lagi difihak kakek Cian-li-jj.

"Kakek pendek, inilah yang disebut Heng-cia-hi-ko atau Raja-kera-menghaturkan buah. Terima dan makanlah buah ini . . . ," Yap Hou terus mengirim sebuah pukulan.

"Ah, Kura2 tidak suka buah, lebih baik menyurutkan kepala," seru Cian-li-ji seraya mengempiskan dada ke belakang.

Tetapi Yap Hou cepat menebarkan tinju dan berseru, "Ah, kebetulan kura-kura, aku kepingin makan hatimu "

dia terus mencengkeram uluhati lawan. Jurus itu disebut Hek-hou-thou-sim atau Macan-hitam- mencengkeram-hati." “Jangan dong, hati hanya satu, mana boleh engkau ambil. Lebih baik  kura-kura  mendekam  mau  bertelur saja. " seru Cian-li-ji seraya berjongkok kebawah sehingga

serangan Yap Hou menemui angin.

"Hiu, kura-kura bandel, bagaimana kalau engkau kutindih dengan lima gunung ?" seru Yap Hou seraya menghantamkah kedua tangannya ke ubun2 kepala Clan-li- ji. Jurus itu disebut Ngo-gak-yak-ting, lima gunung menindih puncak.

'"Wah, wah, wah .... lebih baik kura-kura masuk liang saja," kara Cian-li-ji dan tahu-tahu tubuh kakek yang pendek itu telah menyusup melalui kedua kedua kaki lawan dan menerobos ke belakangnya.

Yap hou terkejut sekali. Belum pernah selama berpuluh tahun mengembara di dunia persilatan dia berhadapan dengan seorang lawan yang memiliki gerak sedemikian aneh. Masa selakan kaki dimasuki begitu saja.

Pendekar Huru Hara tertawa geli, "Ah, paman, kalau jadi kura-kura, jangan2 nanti bertelur sungguhan, lho !"

“Benar, memang lama2 boyok (pinggang) bisa patah nih," seru Cian-li-ji, "habis mau jadi apa ?"

“Kau enakan jadi burung, paman."

"O. benar, keponakanku. Tetapi jadi burung apa ?" "Burung kuntul."

"Burung kuntul ? Mengapa burung saja pilih burung kuntul ?"

'"Burung kuntul bisa terbang menutuk gundul dan muka orang."

"O, ya benar." "Dan kuntul itu bisa berbaris juga."

"Benar ! Memang kuntul bisa berbaris "

Saat itu Yap Hou sudah berputar menghadap ke belakang dan terus menyerang Cian-li-ji. Cian-Ii ji terus lari memutari lawan.

"Paman. mengapa kuntul kok lari-lari ?" seru pendekar Huru Hara.

"Ini namanya Holopis-kuntul-baris !" "Kuntul baris?"

"Ya. Bukankah engkau lihat barisan kuntul itu mengelilingi budak she Yap ini ?"

Pendekar Huru Hara tertawa. Memang saat itu Cian-li ji bergerak cepat mengelilingi Yap Hou. Sedemikian cepat sehingga Yap Hou seperti dikepung oleh belasan Cian-li. Yap Hou terkejut. Benar2 dia tak menyangka bahwa kakek pendek itu memiliki ilmu gin-kang yang sedemikian saktinya.

"Setan ....,' diapun mengamuk, menghantam kalang kabut pada bayangan Cian-li-ji.

“Plak, plak, plak .... plek, plek, plek . . .” terdengar berturut-turut telapak tangan menampar kepala dan muka orang.

Tarnyata setiap kali Yap Hou menghantam, malah dia yang menderita. Kalau tidak gundulnya ditabok, tentulah mukanya ditampar.

"Berhenti dulu paman, biarlah aku yang menghitung berapa ,kali engkau menabok gundulnya dan berapa kali engkau menampar mukanya." seru pendekar Huru Hara. "Celaka," teriak Cian-li-ji, "ya benar, aku memang lupa menghitung. Kalau terus menerus kutabok gundulnya tanpa hitungan, kasihan, gundulnya itu mumur nanti."

"Mulai, paman, satu . . , dua .. . tiga ... ," pendekar Huru Hara mulai menghitung dan Cian-li-jipun mulai menambok dan menampar.

Seumur hidup belum pernah Yap Hou menelan hinaan semacam itu. Dia seorang jago kelas satu yang cukup terkenal. Tetapi berhadapan dengan seorang kakek pendek yang tak terkenal, mengapa dia dapat dipermainkan seperti anak kecil saja.

Memang ilmu gin-kang atau meringankan tubuh dan Cian-li-ji itu luar biasa sekali. Dia tlap bergerak secepat angin puyuh atau seperti bayangan setan.

Habis sudah kepala dan muka Yap Hou ditabok dan ditampar Cian li-ji. Dia benar2 marah bukan main. Apalagi pendekar Huru Hara yang menghitung itu tentu mengiring dengan gelak tawa yang terpingkal-pingkal. Aduh mati aku, pikir Yap Hou.

Saat itu pendekar Huru Hara sudah menghitung sampai lima puluh kali untuk tabokan dan lima puluh kali untuk tamparan. Tiba2 Yap Hou mencabut pedang dan terus menyerang dengan ilmu-pedang Tat-mo-kiam dari perguruan Siau-lim-pay yang termasyhur.

Memang hebat sekali perbawa ilmupedang itu. Tetapi sayang Yap Hou belum tinggi latihannya dan dia tetap kalah jauh dalam ilmu gin-kang dengan Cian li-ji, maka serangannya itupun tak berhasil dan dia tetap harus menderita tabokan dan tamparan.

"Setan pendek, rasakan yang ini," sekonyong-konyong Yap Hou merobah permainan pedangnya. Kini dia melancarkan ilmupedang Tui-hong-kiam atau Pedang pemburu-angin dari perguruan Bu-tong-pay. Pun latihannya dalam ilmupedang itu baru setengah matang. Tetap kepala dan mukanya dibuat tabokan dan tamparan oleh Cian-li-ji.

"Keparat engkau, setan kate," teriak Yap Hou lalu mengganti permainan pedangnya lagi dengan ilmupedang Thian-san-kiam. Juga kareria latihannya baru setengah jadi, dia tetap menderita tabokan dan tamparan.

Berturut-turut Yap Hou mengganti permainannya pedang. Ilmupedang perguruan Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Hoa-san-pay dan terakhir dari perguruan Kong-tong-pay.

"Ini yang terakhir," serunya seraya mengganti permainan pedang dengan ilmupedang Kong tong-pay yang disebut Lian-hoan-toh-beng-kiam-hwat atau Pedang-berantai- pencabut-nyawa.

Keistimewaan dari ilmupedang Lian-hoan- toh-beng- kiam-hwat itu, sekali menyerang dapat menusuk 18 buah lubang. Tetapi yang mampu dilakukan hal itu rasanya pada dewasa itu sudah tak ada lagi. Demikian pula dengan kepandaian Yap Hou. Dia hanya mampu menusuk 4 lubang saja Itupun dia harus belajar mati-matian.

Bermula terkejut juga Cian-li-ji menerima serangan ilmupedang yang hebat itu. Tetapi setelah beberapa jurus, dia sudah dapat menyesuaikan diri dan bahkan mampu melanjutkan tabokan dan tamparannya.

Pendekar Huru Hara sih tak tahu apa nama bermacam- macam ilmupedang yang dimainkan Yap Hou itu. Paling- paling dia hanya memuji Terapi tidak demikian dengan Wi sin-kay, tokoh aneh dari himpunan pengemis atau Kay- pang itu. Dia terkejut ketika memperhatikan bagaimana Yap Hou dapat memainkan ilmupedang dari berbagai perguruan yang ternama. Hal itu makin menambah keyakinannya bahwa Yap Hou memang benar murid dari Bu Te sin-kun.

Kesan yang timbul dalam benak Wi sin-kay memantulkan gambaran yang menggelisahkan hatinya. Jika Yap Hou mampu memainkan ilmupedang dari berbagai perguruan ternama, jelas Bu Te sin-kun tentu juga mampu. Bahkan bukan hanya mampu, pun tentu jauh lebih hebat dari muridnya. Ah, mungkinkah pendekar Huru Hara mampu menghadapi Bu Te sin-kun? Demikian pertanyaan yang menghantui pikiran pengemis itu.

"Hai, siapa yang berkelahi itu? Hayo, berhenti!" sekonyong-konyong terdengar suara orang berseru dan pada lain saat muncullah seorang pemuda yang tampan dan berpakaian mewah.

Yap Hou terkejut. Dia hendak menghentikan serangannya tetapi kakek Cian-li-ji tak peduli. Dia terus berputar-putar seperti bayangan dan tetap melanjutkan tabokan dan tamparannya.

"Hai, berhenti, dengar tidak engkau!" teriak pemuda tampan itu.

"Aku mau berhenti tetapi kakek ini tetap menyerang aku," teriak Yap Hou. Diam2 dia girang atas kemunculan pemuda itu. Walaupun dia belum kenal tetapi dia mempunyai harapan untuk berusaha agar pemuda itu berfihak kepadanya.

Memang pemuda itu melihat kalau Cian-li ji yang tak mau mendengar permintaannya. Dia marah, "Hai, kakek pendek, apa engkau tuli?” teriaknya.

Namun Cian-li-ji tak menghiraukan dan malah menyahut, "Tunggu kalau sudah 25 kali lagi … plak, plok. " ia menampar muka dan dan menabok kepala Yap

Hou.

"Apa duapuluh lima kali itu ?" seru pemuda itu dengan heran.

"Aku berjanji hendak menabok kepalanya dan menampar mukanya sampai 100 kali. Sekarang baru 75 kali, kurang 25 kali !" sahut kakek Cian-li-ji.

"Berhenti !" teriak pemuda tampan itu seraya ayunkan tangan menghantam. Dia lepaskan pukulan Biat-gong-ciang (pukulan membelah angkasa kearah kakek Cian-li-ji.

"Jangan ikut campur !" bentak pendekar Huru Hara seraya menampar. Darrrr .... pemuda itu terpental mundur sampai satu meter.

"Hm, siapa engkau !" bentak pemuda itu seraya menghunus pedang.

"Pendekar Huru Hara !"

"Apa itu pendekar Huru Hara !" tanyanya sesaat kemud'an.

"Dua tafsiran. Yang mencari huru hara dan yang memadamkan huru hara."

"Kalau memadamkan huru hara itu memang tugas seorang pendekar," kata pemuda tampan, "tetapi mengapa harus mencari huru hara ?"

"Dimana terdapat perbuatan2 yang tidak adil, yang lalim, yang menyimpang dari kebenaran, disitulah aku mencari gara-gara. Terutama dalam keadaan dewasa ini dimana negara sedang menghadapi serangan musuh, banyak sekali kaum perampok dan pengacau yang merajalela. Siapa engkau !" tiba2 pendekar Huru Hara menutup jawabannya dengan membentak. "Orang ini kurang waras," pikir pemuda tampan namun ia menjawab juga, "Aku orang she Su nama Hong Liang,

"Siapa Su dan Hong Liang itu?''

"Eh, jangan main2 dengan nama orang. Aku bukan Su dan Hong Liang tetapi Su Hong Liang,” seru pemuda tampan itu." dan aku adalah putera dari keponakan dari menteri pertahanan Su Go Hwat.”

"Mentri pertahanan Su Go Hwat ? Oh ..."

"Ya,'" jawab Su Hong Liang, "apa engkau kenal dengan pamanku ?"

"Tentu saja, sahut pendekar Huru Hara,"' dia seorang menteri yang jujur, setia dan tegas. Dia pernah minta aku supaya bekerja kepadanya tetapi aku belum dapat."

Diam2 Su Hong Liang terkejut mendengar keterangan itu. Tetapi pada lain saat dia teringat kepada kakek Cian-li- ji, "Apakah kakek pendek itu kawanmu?"

'"Pamanku."

"Harap engkau suruh dia berhenti dulu."

Mengingat pemuda Su Hong Liang itu putera keponakan dari mentri pertahanan Su Hwat yang dikagumi maka pendekar Huru Hara pun sungkan. Dia segera berseru meminta kakek Cian-li-ji supaya berhenti.

"Ah, sialan," gerutu kakek itu seraya Ioncat mundur. Dia berseru kepada Yap Hou, "Hai, engkau, catat baik2. Engkau masih berhutang sepuluh tabok dan sepuluh tamparan. Apabila ketemu lagi, engkau harus membayar hutangmu itu.”

Yap Hou juga mendengar waktu Su Hong Liang menyebut namanya ketika pendekar Huru Hara tadi. Maka diapun segera menghampiri kehadapan Su Hong Liang dan memberi hormat. "Su kongcu, terimalah hormat aku orang she yang rendah ini."

"Siapa namamu” ''Yap Hou.

"Mengapa engkau bertempur dengan kakek pendek itu?"

'"Dia memaksa aku supaya memberi tahu dimana tempat tinggal Bu Te sin-kun.'

"Bu Te sin-kun?" Su Hong Liang terkejut. Yap Hou mengiakan.

"Mengapa engkau dipaksa begitu? Apakah Bu Te sin-kun itu gurumu?"

"Mereka menuduh begitu. Tetapi aku bu . . . bukan muridnya."

Su Hong Liang yang cerdik cepat dapat mengetahui siapa sesungguhnya Yap Hou itu. Sudah lama dia mendengar kemasyhuran nama Bu Te sin-kun tetapi selama ini belum pernah ia bertemu. Ia mempunyai rencana sendiri terhadap tokoh sakti itu. Kini setelah menduga bahwa Yap Hou tentu murid dari Bu Te sin-kun maka Su Hong Liang memutuskan untuk melindunginya.

"Hai, kakek, apa engkau tak malu seorang tua menghina anakmuda?" tegurnya kepada Cian-li ji.

"Mengapa malu? Dia yang menantang aku dan akupun hanya menabok seratus kali, menampar seratus kali saja."

"Tetapi kalau dia memang tak tahu tempat Bu Te sin- kun, mengapa engkau paksa harus memberi keterangan?"

"Lho, hak apa engkau mengurus aku?" tiba2 Cian-li-ji melengking. "Aku adalah putera keponakan dari mentri pertahanan Su Go Hwat, Jangan engkau kurang ajar !"

"Siapa yang kurang ajar ? Masakan aku seorang tua tak tahu adat ?" balas Cian-ii-ji.

"Mengapa engkau bertanya tentang hak?”

"Itu kan wajar. Aku berkelahi sendiri dengan budak she Yap itu mengapa engkau campur tangan ??"

"Aku berhak untuk menjaga keamanan negara ! Barang siapa melanggar peraturan negara akal kutangkap !"

"Lho, apa pangkatmu ?"

"Apa engkau tuli ? Bukankah sudah kukatakan aku ini putera keponakan mentri Su Go Hwa yang berkuasa penuh mengenai pertahanan dan keamanan negara."

“Itu kan mentri Su Go Hwat bukan engkau. Lalu apa pangkatmu sendiri ?"

"Kakek gila ! Aku adalah keponakannya !” "Keponakan atau putera atau saudara, hubungan dalam keluarga. Bukan hubungan dalam pekeijaan dan tak sanggut pautnya dengan pangkat. Mentri Su Go Hwat dapat memberi perintah kepada jenderal anu, jenderal anu. Tetapi apakah engkau dapat memberi perintah? Kalau engkau memaksa memberi perintah, apakah mereka menurut kepadamu."

"Kakek pendek, engkau terang menghinaku,” seru Su Hong Liang, terus menghantam. Tapi Cian-li-ji menghindar ke samping, seraya mendengus, "Hm, engkau kira aku tak berani kepadamu "

"Jangan paman !" pendekar Huru Hara memekik seraya menamparkan tangannya. Jarak ia berdiri dengan Cian-li-ji terpisah dua lima langkah. Karena melihat Cian-li-ji hendak menampar muka Su Hong Liang, pendekar Huru Hara terpaksa mencegah dengan menamparkan tangannya.

Plak.....

Tangan Cian-li-ji yang sudah diangkat ke-atas itu terdampar oleh hamburan angin tamparan pendekar Huru Hara Cian-li-ji mencelat semeter ke belakang.

"Hai, mengapa engkau hendak membela orang ini ?" Cian-li-ji deliki mata.

Pendekar Huru Hara loncat menghampiri, "Paman, harap engkau meluluskan permintaanku. Jangan berkelahi dengan Su kongcu ini."

"Mengapa ?"

"Sudahlah, paman, turut saja permintaanku.” "Tetapi dia menyerang aku lebih dulu !”

"Baik," kata pendekar Huru Hara, "kalau sampai terjadi sesuatu pada paman, akulah yang menuntut pertanggungan jawabnya."

Cian-li-ji mengangguk lalu berseru kepada Su Hiong Liang, "Tuh dengar tidak kata keponakanku. Kalau engkau berani melukai aku, engkau tentu akan dibalasnya."

"Su kongcu," tiba2 Yap Hou menyelutuk, "memang begitulah sikap mereka itu. Liar dan tak tahu adat. "

Sebelum Su Hong Liang menyahut maka berkatalah pendekar Huru Hara dengan bengis, "Orang she Yap, jangan cari perkara lagi atau aku tak mau menghentikan pamanku lagi apabila dia menabok kepalamu!"

Merah muka Yap Hou. Namun dihadapan Su Hong Liang dia tak mau unjuk kelemahan, serunya, "Karena mengingat dia seorang kakek yang tua renta dan linglung maka aku tak sampai hati membunuhnya."

Su Hong Liang mempunyai rencana maka dia segera memutus pembicaraan yang bertele-tele itu, "Sudahlah, tak perlu urusan ini diperpanjang lagi. Sekarang kemanakah engkau hendak menuju?" tanyanya kepada pendekar Huru Hara.

"Tanpa tujuan," sahut pendekar Huru Hara, "kecuali bermula memang hendak mencari Bu Te sin-kun."

"Mengapa hendak mencarinya?"

"Dia berani mengganggu barang antaran jenderal Ko Kiat yang dipercayakan kepadaku."

"O, tentu menarik sekali cerita itu. Cobalah engkau tuturkan," kata Su Hong Liang.

Dengan singkat pendekar Huru Hara menceritakan tentang peti barang berharga dari jenderal Ko Kiat yang hendak dikirim kepada jenderal Ui Tek Kong.

"Ah, kurasa," kata Sn Hong Liang dengan gaya seorang pembesar berkuasa, "soal itu tak penting. Sekarang negara sedang menghadapi peperangan. Perlu apa harus memikirkan soal2 begitu? Bukankah lebih penting dan berarti kalau kita memikirkan soal keselamatan negara?"

Pendekar Huru Hara dan kawan2 terdiam.

"Nah, kalau kalian masih ada urusan lain, silakan, akupun juga akan melanjutkan perjalanan lagi," kata Su Hong Liang pula.

"Baik," kata pendekar Huru Hara kemudian berseru kepada Yap Hou, "orang she Yap, mari kita lanjutkan perjalanan ke Khay-hong lagi. Yap Hou terkejut. Untung Su Hong Liang yang tajam mata dan pikiran cepat berkata. "Saudara Yap Hou hendak kuajak pulang ke Lam-kia, harap kalian pergi sendiri."

"Tidak bisa!" teriak Cian-li-ji, "dia harus ikut kita."

"Tak apa, kita dapat melanjutkan perjalanan sendiri," pengemis tua Wi sin-kay menyelutuk.

Huru Harapun setuju dan mereka bertiga segera berangkat meninggalkan Su Hong dan Yap Hou.

"Saudara Yap," kata Su Hong Liang setelah rombongan Huru Hara pergi, "apakah berita pemuda yang mengaku bernama pendekar Huru Hara itu benar ?"

"Benar, kongcu."

"Apakah engkau tahu apa benda yang disebut mustika Giok-say itu ?"

"Tidak," Yap Hou gelengkan kepala, "dari Ko ciangkunpun tak memberitahu kepadaku."

"Dari mana dia memperoleh mustika itu ?" "Ko Ciangkun juga tak bilang. Dia hanya menitahkan aku supaya menyelidiki, benda itu berada ditangan siapa."

"Tujuanmu mencari Li Thiang Ong di kota Khay-hong juga karena hendak menyelidiki hal itu ?"

"Benar."

Su Bong Liang merenung beberapa saat kemudian berkata, "Menilik jenderal Ko Kiat begitu marah karena kehilangan benda itu dan menilik pula bahwa Bu Te sin-kun juga turun tangan untuk merampas benda itu, jelas mustika itu tentu sangat berharga sekali. Hm, mungkin didalamnya terkandung suatu rahasia besar "

"Kemungkinan memang benar begitu, kongcu.” "Saudara Yap," cepat Su Hong Liang memotong kata2 orang, "marilah kita bicara secara terus terang. Kuminta engkau mau mempertimbangkan usulku ini dengan sungguh2,"

"Baik, kungcu, silakan mengatakan," kata Yap Hou. "Jika  engkau  mau,"  kata  Su  Hong  Liang,  "aku  dapat

mengusulkan kepada paman agar engkau diangkat kedalam

jabatan tentara. Atau jika engkau hendak bekerja, pada jenderal mana saja, aku dapat mengusulkan kepada jenderal itu."

"Terima kasih."

"Tetapi engkau tahu," kata Su Hong Liang lebih laniut, "bahwa orang tentu akan lebih menghargai kedatangan kita dengan membawa sesuatu yang berharga, daripada hanya datang dengan tangan kosong."

"Maksud kongcu?"

"Kutahu engkau tentu memiliki ilmu kepandiian silat yang tinggi. Apabila engkau mau masuk kedalam tentara Beng, mereka tentu akan menyambut kedatanganmu dengan hangat. Lebih2 apabila engkau dapat menghaturkan sesuatu yang amat berharga, engkau tentu akan disambut dengan sepuluh jari."

Tampaknya Yap Hou masih belum jelas akan k.ata2 Su Hong Liang.

"Saudara Yap. engkau tak usah curiga atau takut. Katakanlah yang sebenarnya, bukankah engkau ini murid dan Bu Te sin-kun ? Sudah lama aku sangat mengagumi namanya dan ingin sekali berjumpa namun tak berhasil. Apabila engkau dapat mempertemukan aku kepadanya, aku sungguh gembira sekali." Selama mendengarkan omongan Su Hong Liang, hati Yap Hou berdebar-debar tak keruan. Setelah mengetahui maksud Su Hong Liang barulah dia tenang kembali dan berkata, "Su kongcu, memang aku mempunyai hubungan dengan Bu Te sin-kun. Walaupun tidak dalam ikatan sebagai guru dan murid tetapi sesungguhnya dia telah memberi pelajaran ilmu kepandaian kepadaku."

"Bagus, secara resmi engkau bukan muridnya! tetapi sesungguhnya engkau menjadi muridnya, bukan?"

"Memang perangai paman Bu Te itu aneh sekali. Mengapa dia berkeras hendak memberi pelajaran silat kepadaku, aku juga tak tahu. Bahkan ketika aku menolak karena aku sudah mempunyai ilmusilat dari warisan keluarga, dia tetap memaksa dan mengatakan bahwa aku tak terikat sebagal guru dan murid dengan dia."

"Ya," kata Su Hong Liang, "'memang dalam dunia persilatan tak sedikit jumlah tokoh2 yang berwatak aneh. Misalnya seperti si pendekar Huru Hara dan kakek pendek tadi, tampakya mereka juga tokoh berkepandaian tinggi yang berwatak aneh."

"Ya," Yap Hou mengiakan, "kakek pendek itu memiliki ilmu gin-kang yang luar biasa. Juga tempo hari aku pernah bertanding dengan pendekar Huru Hara. Dia dapat mencomot kancing bajuku tanpa kuketahui sama sekali."

"Hm," desuh Su Hong Liang, "soal mereka sih mudah saja. Manusia mempunyai akal. Kalau tidak dapat mengalahkan dengan okol atau tenaga kepandaian, kita harus menggunakan akal. Berbicara mengenai Bu Te sin- kun lagi, apakah engkau dapat mempertemukan aku dengan dia?" "Dapat," kata Yap Hou, "tetapi paman Bu Te itu sukar diduga tempatnya. Dia tak mempunyai tempat tinggal tertentu. Datang dan perginya juga tak dapat diduga-duga."

"Baik," kata Su Hong Liang, "kalau begitu, apakah engkau sanggup apabila bertemu dengan Bu Te sin-kun, untuk menyampaikan keinginanku kepadanya. Katakan kepadanya, bahwa aku mempunyai urusan penting sekali yang perlu kurundingkan dengan dia."

"Baik, kongcu."

"Bagaimana kalau kita menemui Li Thian Ong?" tiba2 Su Hong Liang bertanya.

"Bukankah mereka sudah mengatakan bahwa benda berharga itu berada di tangan paman Bu Te?"

"Tetapi kita belum tahu jelas apa sesungguhnya benda itu. Apabila sudah tahu dari keterangan Li Thian Ong barulah kita pikirkan langkah selanjutnya. Apakah kita perlu mencari pamanmu Bu Te sin-kun untuk meminta benda itu ataukah cukup kita biarkan saja."

Yap Hou menyetujui, "Benar, kongcu. Marilah kita segera ke sana agar tidak didahului oleh iombongan orang2 gila tadi."

Keduanya segera melanjutkan langkah menuju ke Khay- hong.

Sementara rombongan pendekar Huru Hara sebelum mencapai Khay-hong, harus mengalami suatu peristiwa lagi. Saat itu mereka terkejut ketika tiba diluar kota Sam- kwan, rakyat berbondong-bondong mengungsi keluar kota.

"Hai, berhenti paman sekalian," pendekar Huru Hara menghadang di tengah jaian, "mau kemana saja paman sekalian ini . "Ah, hohan, ampunilah kami. "'rakyat yang mengungsi itu serentak berlutut minta ampun, “kami hanya membawa bekal pakaian dan sedikit uang untuk hidup. Harap jangan membunuh kami."

“Tidak, parnan sekalian," seru pendekar Huru Hara, “aku bukan perampok. Aku mau bertanya mengapa paman sekalian berbondong-bondong keluar kota ini ?"

"Ah, kota telah dibakar prijurit Ceng, mereka merampok harta benda rakyat dan mengganggu wanita2. Terpaksa kami lari mengungsi ke lain tempat."

"Bagaimana dengan pembesar di kota itu ? Apakah mereka tidak memberi perlawanan kepada pasukan Ceng ?" tanya Huru Hara.

"Ah, hohan," kata salah seorang lalaki tua yang rupanya menjadi jurubicara mereka, "mereka bukan melawan tetapi malah menyambut kedatangan tentara Ceng itu dengan gembira."

"Hai !" teriak Huru Hara, "mereka malah menyambut musuh ?"

"Ya."

"Siapakah nama pembesar itu ?" "Kho ti-hu (residen Kho)."

"Apakah dia masih tinggal dalam kota ?"

"Ya. Gedung ti-hu diberikan sebagai tempat markas tentara Ceng. Lho ti-hu juga tinggal di-situ.".

"Baik, paman sekalian, akan kami antar paman ke gunung yang aman dari gangguan perampok-perampok  itu," kata Huru Hara. Dia segera mengajak rombongan rakyat itu menuju ke sebuah gunung. "Celaka !" tiba2 Cian-li-ji berseru. "Kenapa ?" tanya Huru Hara.

"Ada rombongan pasukan berkuda yang menuju kemari, jangan2 mereka pasukan musuh yang hendak mengejar rombongan penduduk ini."

"Bagus!" teriak Huru Hara dengan bergelora, "kita memang hendak mencari mereka. Kalau mereka sudah datang sendiri, itu kan lebih baik bagi kita!"

"Wi cianpwe," kata Huru Hara kepada pengemis Wi sin- kay, "tolong cianpwe membawa rombongan penduduk ini ke gunung disebelah depan itu. Biarlah aku dan paman Cian-li-ji yang menghadapi musuh."

Entah bagaimana terhadap Huru Hara, sin-kay merasa suka dan menurut saja apa yang dikatakan. Dia segera membawa rombongan penduduk itu menuju ke gunung.

Tak berapa lama memang benar muncul rombongan pasukan berkuda. Tak kurang dari limapuluh prajurit berkuda sedang mencongklangkan kudanya menuju ke tempat Huru Hara.

"Ah, prajurit2 Ceng," kata Huru Hara ketika pasukan berkuda itu makin dekat.

"Biar saja, kita sikat mereka semua," seru Cian-li-ji sambil menggosok-gosok tinjunya.

"Paman Cian," kata Huru Hara, "kita hanya berdua dan mereka berjumlah puluhan orang. Mereka naik kuda dan bersenjata lengkap. Kita harus hati2', paman."

"Jangan kuatir, hiantit. Pamanmu tentu takkan mengecewakan harapanmu," kata Cian-Ii-ji dengan busungkan dadanya yang penuh bulu. Pasukan berkuda itu cepat tiba dan terus berputar memencar diri membentuk sebuah lingkaran untuk mengepung Huru Hara dan Ci»n-li ji. Kemudian salah seorang perwira yang rupanya menjadi pimpinan pasukan, melantang, "Hai, siapa kalian berdua ini!"

"Aku manusia seperti engkau!" seru Cian-li-ji.

Melihat perwujudan kedua orang itu, seorang kakek pendek yang rambutnya masih hitam dan seorang pemuda yang dandanannya seperti seorang pendekar nyentrik karena kepalanya tumbuh dua kuncir, perwira itu geli. Dia tertawa gelak2 ketika mendengar jawaban yang lucu dari kakek pendek itu.

"Ya, benar, engkau memang manusia. Tetapi mengapa manusia kok seperti kura2?" tanya si per wira pula. Rupanya perwira itu juga suka humor.

"Memang kemungkinan aku dulu keturunan kura2," sahut kakek Cian-li-ji, "tetapi kalau engkau dulu kemungkinan berasal dari kera."

Kini anak pasukan yang tertawa sedang perwira itu merah padam mukanya karena dikatakan dari keturunan kera.

"Kakek kate, jangan kurang ajar!" bentaknya dengan mata melotot.

"Eh, marah," gumam Cian-Ji-ji, "enak saja kalau ngomong. Manusia masakan dikata berasal dari kura2, sekarang kalau orang mengatakan engkau sebagai keturunan kera, engkau marah. Huhl mau cari menang sendiri, ya ?"

Perwira pasukan Ceng itu terbeliak. Biasanya orang kalau dikerumuni prajurit apalagi prajurit berkuda, tentu sudah gemetar tak dapat bicara. Tetapi mengapa kakek pendek ini malah berani menyemprot pimpinan pasukan yang mengepung nya?”

"Kakek edan barangkali orang ini" pikir perwira, "Siapa namamu !" bentak perwira itu.

"Untuk apa engkau tanya namaku itu ?"

Perwira itu tertegun. Anakbuahnya tertawa sehingga dia malu, "Kakek, aku adalah seorang perwira pimpinan pasukan berkuda ini . . .”

"Terserah saja !" tukas Cian-li-ji.

"Engkau jawab pertanyaanku yang jujur seru perwira itu pula, "kemanakah larinya rombongan penduduk yang mengungsi dari kota San kwan tadi ?"

Tiba2 kakek Cian-li-ji tertawa keras. Tertawanya bukan seperti tawa orang tetapi menyerupai kuda meringkik.

"Engkau pimpinan pasukan berkuda dan aku hanya rakyat kecil. Kalau engkau tak tahu mengapa mengharuskan aku tahu ? Silakan cari sendiri. Bukankah engkau mendapat gajih dari kerajaan Ceng ? Masakan hanya mau terima gajihnya tak mau bakerja . ., ."

"Kakek edan, tutup mulutmu !" bentak perwira itu dengan murka," jika engkau berani menghina aku, perwira kerajaan Ceng, tentu akan kutangkap!” 'kemudian cepat perwira itu beralih kepada pendekar Huru Hara,"' Hai, bung, apa engkau tahu rombongan rakyat yang mengungsi keluar dari kota tadi ?"

"Pendekar kesiangan !" "Bukan, pendekar nyentrik !" "Ha, ha, ha, ha. " Terdengar ejek dan tawa dari pasukan berkuda yang mengepung Huru Hara serta Cian-li-ji.

"Perwira, engkau tahu aturan atau tidak ?" bentak Huru Hara.

"Apa maksudmu ?" perwira Ceng terkesiap.

"Kalau engkau mau bertanya, bukan begitu caranya. Masakan engkau biarkan saja anakbuahmu mengejek dan menertawakan aku. Apa engkau seorang perwira yang tak becus mengurus anakbuah ?"

Perwira itu mengacungkan tangan memberi isyarat supaya anakbuahnya diam.

"Hayo, lekas jawab, kemana rombongan rakyait itu?" seru si perwira pula.

'"Sebelum kujawab, sukalah engkau mengatakan, perlu apa engkau mencari mereka?"

"Mereka berani menentang pada kerajaan Ceng?" sahut perwira.

"Menentang ? Apakah mereka melawan ?" "Meninggalkan rumah, membakar semua miliknya,

merusak sawah dan ladang sehingga kehidupan dalam kota menjadi sepi seperti kota mati lalu melarikan diri. Apa itu bukan melawan kerajaan Ceng namanya?"

"Aku juga seorang rakyat kecil" kata Huru Hara, tak mungkin rakyat akan lari apabila diperintah oleh penguasa yang bijaksana. Kebanyakan setelah menang, perajurit2 tentu mengganas harta benda penduduk dan mengganggu kaum wanitanya."

"Bangsat engkau juga berani menghina pemerintah Ceng!” teriak perwira itu terus memberi isyarat kepada anakbuahnya untuk bergerak, "tangkap kedua pemberontak ini !"

Cian-li-ji justeru hendak bergerak tetapi dicegah Huru Hara, "Jangan, aku mempunyai siasat lain. Biar kita ditangkap saja," bisiknya.

Memang aneh kelihatannya tetapi nyata, kakek Cian-li-ji itu, kalau terhadap lain orang tentu membantah dan mendebat, tetapi kalau terhadap Huru Hara dia selalu menurut.

"Ha, ha, tak perlu kalian harus ngotot mengeluarkan tenaga. Kalau kami berdua mau melawan, apa kalian mampu menahan amukan kami berdua ? Tetapi aku tak mau berbuat begitu, kami mau menyerahkan diri saja!” seru Huru Hara.

"Wah, sombongnya," tiba2 seorang prajurit Ceng yang bertubuh tinggi besar berseru,

"Kalau tak percaya, boleh coba l" sahut Huru Hara yang tiba2 timbul pikirannya untuk memberi bajaran kepada prajurit itu.

Sebenarnya si perwira sudah mau menerima penyerahan diri Huru Hara tetapi ketika mendengar kata2 prajurit anakbuahnya dan kemudian tantangan Huru Hara, diapun ingin tahu sampai dimana kesaktian pendekar Huru Hara itu. Dia berpaling kearah prajurit itu dan memberi anggukan kepala.

Prajurit itu ajukan kudanya dan terus mengemplangkan tombaknya kepada Huru Hara. Huru Hara menghindar dan menyambar ujung tombak lalu ditariknya, huh. prajurit

Ceng yang bertubuh tinggi besar itupun terpelanting jatuh dari kudanya. "Nih tombakmu," seru Huru Hara seraya lemparkan tombak yang direbutnya kepada prajurit itu.

Malu prajurit itu bukan alang kepalang. Dalam satu gebrak saja dia sudah rubuh. Maka setelah menyambuti tombak, dia hendak menebus kekalahannya. Serentak ia menyerang Huru Hara dengan buas.

Uh prajurit itu menjerit kaget ketika tiba2 Huru Hara

menghilang dari hadapannya dan auhhhhh .... ia menjerit kesakitan ketika telinganya dijiwir sekeras-kerasnya.

"Bangsat, aku akan mengadu jiwa dengan engkau!” prajurit itu berputar dan terus menusuk tetapi sasarannya menghilang pula dan kalau tadi telinga kiri sekarang telinga kanannya yang dipelintir sekeras-kerasnya. Karena tahu siapa yang memelintir, prajurit itupun berusaha untuk menahan sakit dan tak mau menjerit. Hanya wajahnya yang menyeringai seperti harimau tertawa.

Bukan kapok karena mendapat kopi pahit itu, kebalikannya prajurit itu malah makin kalap. Dia menyerang Huru Hara dengan kalap.

Rupanya Huru Hara jengkel juga. Setelelah menyelinap ke belakang orang, dia terus menerkam prajurit itu, diangkatnya dan terus dilemparkan kearah kawannya, “Terima kawanmu yang bandel ini!" seru Huru Hara.

Untung tubuh prajurit itu dapat disambut oleh seorang prajurit berkuda lainnya.

Melihat kesaktian pendekar yang dandanannya nyentrik itu, terlongonglah rombongan pasukan berkuda Ceng itu.

"Engkau menyerah atau tidak!” bentak perwira mereka. "Siapa bilang tak mau menyerah;"' Huru Hara balas

membentak. "Ikat kedua pemberontak ini!" seru perwira itu pula kepada anakbuahnya.

"Hai. prajurit Ceng, jangan keliwat menghina," teriak Huru Hara, "aku rela menyerahkan diri, mengapa masih hendak kalian borgol. Tidak, kalau kalian mau memborgol, aku takkan serahkan diri. Bawalah kami ke hadapan jenderalmu!"

Rupanya perwira itu menyadari bahwa Huru Hara dan Cian-li-ji memang sakti. Kalau di-siksa akan diborgol, mereka tentu akan mengamuk. Memang mungkin pasukan berkuda yang berjumlah limapuluh orang itu dapat membunuh mereka, tetapi ia yakin anakbuahnya tentu juga banyak yarg korban jiwa. Daripada harus mengorbankan jiwa anakbuahnya, lebih baik kedua orang ini dihadapkan saja kepada panglima mereka supaya dijatuhi hukuman, pikir perwira itu.

"Baik, tetapi kalau engkau coba hendak melarikan diri, aku tak dapat menjamin keselamatan jiwamu lagi," seru perwira itu.

Begitulah dengan diiring. oleh pasukan berkuda yang bersenjata lengkap, Huru Hara dan Cian-li-ji dibawa masuk kedalam kota Sam-kwan. Kemudian langsung dibawa ke markas tentara Ceng yang menempati gedung residen tihu kota itu.

Sepanjang jalan Huru Hara sempat memperhatikan bagaimana sepi jalan2 dalam kota sehingga kota itu mirip sebuah kota mati.

Dengan diantar oleh perwira itu sendiri maka Huru Hara dan Cian-li-ji dibawa masuk menghadap pimpinan pasukan pendudukan kota Sam kwan. Dia seorang Boan yang bertubuh kekar, berpangkat Sangkau atau kolonel, namanya Totay. "Lapor, ketika mengejar rakyat yang melarikan diri, kami berjumpa dengan kedua orang Han ini. Mereka tahu kemana rombongan rakyat itu tetapi tak mau memberitahu kepada kami. Bahkan malah menantang berkelahi pada salah seorang anakbuah kami," seru perwira itu sambil memberi hormat.

Kolonel Totay heran melihat perwujudan kedua tawanan yang dibawa kehadapannya itu. Yang satu seorang kakek pendek dan yang satu seorang pemuda yang memakai kain kepala tetapi dua buah kuncirnya mencuat keluar seperti sepasang tanduk.

"Hai, siapa engkau!" tegur Totay. "Huru Hara."

"Huru Hara? Apa itu?" "Loan Thian Te."

"Loan Thian Te?" ulang Totay pula. Melihat itu Kho ti- hu yang menyerahkan kota Sim kwan kepada tentara Ceng dan saat itu duduk samping Totay segera memberi penjelasan hal Loan Thian Te nama pendekar aneh itu artinya adalah Huru Hara.

"Dan engkau kakek pendek?" tegur Totay. “Cian-li-ji."

"Cian-li-ji? Apa itu?" kembali Totay heran. Kho ti-hu segera menerangkan bahwa Cian-li-ji itu berarti Telinga- seribu-Ii.

"Apa engkau dapat mendengar sampai sejauh seribu li?" Totay makin heran.

"Jangankan seribu li, bahkan detak jantungmupun aku dapat mendengar." "Hm, akan kucoba," kata Totay, "coba engkau katakan apa yang sedang kuucapkan dalam hati."

"Mudah sekali," sahut Cian-li-ji, "tetapi aku tak mau mengatakan."

"Mengapa?"

"Perlu apa mengatakan kalau tanpa imbalan suatu apa?" "Edan barangkali kakek ini. Tawanan masakan

menuntut imbalan," pikir Totay. Tetapi karena yakin kakek itu tentu tak mampu menebak isi hatinya maka dia menyetujui, "Baik, kuberi kelonggaran engkau mau minta apa saja?"

"Nah, begitu baru cara yang layak," gumam Cian-li-ji, "aku minta supaya diadakan perjamuan besar untuk merayakan kemenangan tentara Ceng yang berhasil menduduki kota ini. Nanti kita adu minum arak. Siapa yang paling banyak minum, dia yang menang dan dapat imbalan lagi."

Karena sejak menduduki kota itu Totay belum sempat mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan dan menghibur para prajurit maka permintaan Cian-li ji itupun disetujuinya.

"Ya, baik," katanya, "sekarang lekaslah engkau katakan!"

"Apa yang engkau ucapkan dalam hati," kata Cian-li-ji dengan nada seperti seorang pujangga "tak lain adalah begini : ‘tak mungkin kakek itu tahu batinku.”

Totay terkesiap. Memang begitulah yang dikandung dalam hatinya. Dia tak percaya kalau Cian-li-ji tahu isi hatinya.

Totay seorang jujur. Kebetulan dia suka dengan orang yang pandai, terutama apabila orang itu memiliki ilmusilat tinggi. Dengan sportief, dia membenarkan tebakan Cian-li- ji.

"Kapan pesta itu akan diadakan?" tanya Cian-li-ji." "Nanti malam."

Mendengar itu beberapa perwira Ceng yang hadir dalam ruangan itu bersorak gembira. Diam2 mereka berterima kasih kepada kakek Cian-li-ji.

Kemudian Totay beralih kepada Huru Hara tanyanya, "Engkau memakai nama Huru Hara, tentu ada maksudnya, bukan?"

"Ya."

"Katakan apa maksudnya?'"

"Loan Thian Te artinya ' mengacau dunia ' atau ' dunia kacau ' . Sesuatu yang kacau tentu timbul huru hara. Nah, akulah seorang pemburu dan pencipta huru hara. Kegemaranku memang menikmati huru hara."

"Hm, garang juga," desus Totay, "tetapi berdasarkan modal apa engkau berani mengangkat diri sebagai pemburu dan pencipta huru hara itu?"

"Modalku hanya satu : Kebenaran!"

"Kebenaran?" Totay mendecak mulut, "pada hal kebenaran itu sukar ditentukan. Masing2 mengaku benar."

"Tidak," seru Hara, "memang kebenaran itu banyak jumlahnya, tetapi kebenaran yang semu. Sedang Kebenaran yang sejati hanyalah satu."

"Lho, seperti pujangga sajalah engkau mengeluarkan kata2," seru Totay, "coba katakan bagaimana kebenaran yang sejati itu?" "Mudah," sahut Huru Hara, "semudah orang membalikkan telapak tangannya. Tetapi orang memang gemar mempersukar, gemar merangkai falsafah yang muluk? sehingga mengaburkan pengertian yang sesungguhnya dari apa yang hendak diterangkan."

"Ah, rupanya engkau ahli falsafah."

"Sebenarnya falsafah itu sudah ada pada saat Thian mencipta Bumi dan Langit. Setua kehidupan itu sendiri karena falsafah itu tak lain adalah cara dan pandangan hidup."

"Hm, tak nyana seorang nyentrik dapat menguraikan tentang falsafah," diam2 Totay membatin.

"Kalau begitu, setiap manusia itu mengerti falsafah?" tanyanya.

"Soal mengerti atau tidak, itu tergantung pada masing2 orang. Tetapi yang jelas, setiap manusia, sejak lahir sudah mempunyai falsafah

"Sejak lahir? Apa buktinya?"

"Waktu dilahirkan, bayi tentu menangis, sudah merupakan falsafah hidupnya bahwa tentu akan menghadapi berbagai derita dalam hidup ini. Pernahkah engkau melihat bayi lahir tak menangis tetapi tertawa?"

"Pernah!" tiba2 kakek Cian-li-ji berteriak Huru Hara dan Totay terkejut dan memandang kakek pendek itu, "Siapa bayi itu?" tanya Totay heran.

"Aku sendiri," kata Cian-li-ji. "Lho, bagaimana engkau tahu?" "Ibu bapaku yang kasih tahu."' "Mengapa engkau tertawa?" "Katanya, waktu aku lahir, aku kalung usus. Tetapi selain melilit leher, ujung usus itu menyusup kedalam ketiakku sehingga karena geli aku terus tertawa-tawa saja . .

. . "

"Celaka," Totay mengeluh dalam hati,” edan ini dia atau aku? Sudah jelas dia seorang kakek limbung mengapa aku mengajukan pertanyaan kepadanya "

"Loan Thian Te, coba engkau terangkan bagaimana Kebenaran yang sejati itu?" ia cepat beralih kepada Huru Hara lagi.

"Jika engkau berbuat sesuatu engkau merasa jengah, malu dan tak enak dalam hati, itu tandanya perbuatanmu itu tak benar. Kebalikannya kalau engkau merasa bahagia dan damai dalam hati, itu tandanya perbuatanmu itu benar," kata Huru Hara.

"Tetapi banyak orang yang mengaku bahwa yang dilakukannya itu benar," kata Totay.

"Ah, itu hanya soal gengsi atau kepentingan. Tetapi cobalah suruh dia tanya pada hati nuraninya, tentulah lain jawabannya. Misalnya tentara kerajaan Ceng yang menyerang negara kerajaan Beng ini. Dengan segala dalih alasan, orang Ceng tentu mengatakan benar. Tetapi cobalah heningkan pikiran menyelam kedalam lubuk hati nuraninya. Apakah bahagia dan enak hati kalau merampas tanah orang itu?"

"Kerajaan Beng sudah lapuk. Mentii2 korup dan jenderal2 tak becus saling cakar-cakaran berebut daerah. Tidakkah sesuatu yang sudah busuk itu harus diganti dengan yang baru?" Totay melontarkan pertanyaan tajam.

"Itu dalih bangsamu tetapi bagi bangsa Han tentu lain rasanya. Kalau memang sudah sedemikian bobrok pemerintahan Beng, seharusnyalah kalau diganti, yang mengganti dan memperbaiki adalah rakyat Han sendiri."

"Nyatanya tak seorangpun dari bangsamu yang berani bergerak untuk menumbangkan pemerintahan raja Beng oleh karena itu terpaksa kami, bangsa Boan, bertindak."

"Jika tak ada orang maka aku yang akan tampil untuk merombak pemerintahan kerajaan Beng itu, asal pasukan Ceng segera angkat kaki dari negara ini."

"Engkau?"

"Ya. Buktikan sendiri, kalau kalian sudah pergi dari  bumi ini, aku tentu akan mengajak kaum pendekar yang cinta tanah-air untuk bergerak menangkap kaurn mentri dorna dan jenderal bebodoran itu. Kalau aku tak menetapi janjiku ini potonglah leherku!"

Totay terkesiap. Dia seorang jago yang berani, gagah dan menjunjung kesetiaan terhadap negara. Dia senang melihat seorang yang mempunyai sikap dan pambek seperti dia, walaupun orang seorang musuh.

Sebaliknya Kho tihu merah mukanya. Serentak dia berseru, “To ciangkun, Iebih baik tak usah meladeni orang semacam dia. Dia jelas seorang pemberontak yang hendak menentang kekuasaan kerajaan Ceng. Lebih baik hukum mati saja !"

'Hi, ha, ha," Huru Hara tenawa gelak2, "aneh; aneh, sungguh aneh."

"Kenapa ?" tegur Totay. - "Baru kali ini aku tahu," seru Huru Hara,' "bahwa seorang budak berani memberi perintah kepada majikannya." Bukan main marah Kho tihu dimaki sebagai budak. Serentak dia berbangkit dan menuding Huru Hara, "Bangsat, engkau berani menghina seorang pembesar!"

"Pembesar ?" ejek Huru Hara, "di mata rakyat Han, engkau bukan pembesar tetapi seorang penghianat. Dalam anggapan orang Ceng, engkau juga bukan pembesar tetapi seorang budak. Salahkah kalau aku mengatakan begitu ?"

"Jahanam, kupotong lehermu!" Kho Tihu serentak mencabut pedang hendak maju menghampiri Huru Hara. Tetapi dibentak Totay, "Jangan bergerak, duduklah !"

Kho tihu tertegun. Ia hendak membantah tetapi Totay sudah berkata kepada Huru Hara, "Engkau seorang jantan yang berani. Bangsa Ceng menghargai seorang yang gagah berani. Untuk melengkapi penghargaanku, engkau akan kucoba !"

Totay bertepuk tangan dan tampillah seorang lelaki tinggi besar, tangan dan dadanya penuh bulu yang lebat.

'Loan Thian Te, cobalah engkau ciptakan gara2 dengan pengawalku Kolok ini," seru Totay.

Kakek Gan-li-ji hendak maju tetapi dicegah Huru Hara, "Biar aku yang menghadapinya," bisik Huru Hara.

Huru Hara tak tahu si tinggi besar Kolok hendak mengajaknya berkelahi dengan cara apa. Tahu2 tangan Kolok yang besar sudah mencengkeram tengkuk dan tahu2 pula dia sudah diangkat keatas, diputar-putar lalu dilempar oleh Kolok.

“Uhhhhh.....” Huru Hara bergeliatan dan berusaha agar jangan sampai jatuh terbanting ke lantai. Walaupun agak terhuyung-huyung namun dia berhasil menginjakkan kakinya ke lantai waktu melayang turun. Terdengar sorak tertawa dari Kho tihu dan beberapa perwira yang berada dalam ruangan itu. Hanya Totay yang kerutkan kening. Diam2 ia kejut melihat kepandaian Huru Hara. Ia tahu bagaimana kekuatan Kolok. Kolok dapat seekor kerbau dan melemparkan sampai beberapa tombak jauhnya. Manusia bertubuh kecil seperti Huru Hara, tentu akan lebih jauh lagi jaraknya dan tentu akan terbanting, kalau tidak remuk tulangnya paling tidak tentu pingsan.

Huru Hara maju menghampiri ke muka Kolok lagi dan menantang, "Hayo, lemparkan lagi, raksasa !'

Kolok deliki mata karena disebut raksasa itu.

.Melangkah maju dan segera merentang, kedua lengan hendak mengangkat tetapi tiba2 dia meraung dan menyurut mundur, "Aduhhhhh !"

Sekalian orang terkejut dan memandang apa yang terjadi pada raksasa itu, Kolok menunduk dan mengusap-usap dadanya. Astaga... ternyata dada Kolok yang penuh bulu itu sekarang sudah bersih dan berwarna merah karena berlumur bintik2 darah

Kini orang tahu apa yang terjadi. Bulu dada Kolok telah dicabut habis oleh Huru Hara. Orang hanya tertawa geli tetapi tidak demikian dengan Totay. Selain geli juga diam2 dia terkejut akan kepandaian Huru Hara yang dalam waktu sekejap dapat mencabut habis bulu dada Kolok.

Kolok marah. Dia terus lari menghampiri Huru Hara, menyambar tubuhnya dan lalu diangkat dan diputar putar untuk dilemparkan.

Orang2, terutama Kho tihu sudah siap bersorak untuk menyambut adegan Huru Hara terbanting di lantai. Tetapi mereka terbelalak karena sampai beberapa waktu Kolok tidak juga melemparkan Huru Hara, melainkan masih tetap diputar putar saja. "Lempar saja ! Lempar -saja !" terdengar suara orang berteriak-teriak menganjurkan. Tetapi entah bagaimana Kolok tetap memutar-mutar saja. Wajahnya mengerut seperti orang yang tengah mengangkat gunung.

Rupanya Totay memperhatikan hal itu. Dia heran juga. Apa yang menyebabkan Kolok tak dapat melemparkan tubuh Huru Hara yang sedang diputarnya itu ?

"Hian-tit, awas !" teiiak Cian-li-ji yang kuatir. "Tak apa, paman."

"Bagaimana engkau rasakan ?"

“Seperti terbang melayang-layang di angkasa paman." ''Wah, enak kalau begitu ?"

"Lumayaaannnnn."

"Hian-tit, mengapa dada si raksasa menjadi gundul ?" teriak Cian-li ji pula.

"Pindah tempat."

"Eh, bulu dada bisa pindah tempat?" "Ya."

"Pindah kemana ?"

"Ke mukanya. " sahut Huru Hara.

Dan ketika Cian-li-ji memandang Kolok, dia terus tertawa keras, "Benar, benar, aha, sekarang dia berobah menjadi kera raksasa."

Sekalian orangpun segera memandang kearah Kolok. Mereka terkejut ketika melihat wajah Kolok penuh bertumbuh bulu rambut. Apa yang dikatakan Cian-li-ji memang tepat. Kolok tampak seperti seekor kera raksasa. Lebih terkejut pula ketika mereka melihat kaki Kolok mulai melekuk dan tubuhnya makin lama makin turun ke bawah sampai akhirnya berjongkok. Dia sudah tidak dapat memutar-mutar tubuh Huru Hara lagi melainkan hanya mengangkat diatas kepalanya.

"Huakkkkk," pada lain kejab raksasa Kolok menggembor dan muntahkan segumpal darah. Tangannya lunglai dan Huru Harapun melenting berdiri.

"Paman, kasih minum anggurmu!" seru Huru Hara ketika melihat keadaan Kolok.

Cian-li-ji lari menghampiri. Saat itu Kolok berjongkok diam. Tanpa ditanya lagi, Cian-li-ji terus mencengkam mulut Kolok sehingga ternganga lalu dituang dengan arak dalam guci yang diambil dari dalam bajunya.

"Sudah, jangan engkau habiskan. Enak saja engkau," gerutu Cian-li-ji seraya lepaskan cengkeraman mulut Kolok, "kalau bukan keponakanku yang menyuruh, sekalipun engkau berlutut dihadapanku, tak nanti kuberimu minum arakku yang istimewa ini."

Beberapa saat kemudian Kolok dapat berdiri. Dia memang kasar tetapi jujur. Dia menghampiri Huru Hara, "Terima kasih atas kebaikan hohan yang memberi arak obat."

*Salah," seru Huru Hara, "bukan aku tetapi pamanku itu yang punya arak."

"Terima kasih, kakek," kata Kolok-

"Kakek? Kapan aku menikah dengan nenekmu?" lengking Cian-li-ji.

Mendengar itu Kolok terlongong tetapi semua orang tertawa. "Kolok," tiba2 Totay berseru, "apa yang terjadi  padamu?"

"Entah bagaimana tiba2 kurasakan tanganku melekat pada tubuh pemuda itu. Berulang kali hendak kulemparkan tetapi tak dapat. Dan celakanya makin lama tubuhnya makin berat sehingga aku tak kuat bertahan lagi," kata si raksasa yang jujur.

Totay geleng2 kepala, "Ini suatu pelajaran agar apabila menghadapi lawan, jangan mengabaikan kekuatan lawan. Dan kalau berkelahi, jangan hanya pakai kekuatan tenaga tetapi juga harus memakai otak, mengerti?"

Kolok mengiakan. Dan Totay suruh dia mundur kemudian berkata kepada Huru Hara, "Engkau memang hebat sekali, Loan Thian Te. Sekarang engkau boleh beristirahat dulu bersama pamanmu.”

"Eh, apakah engkau tak mau membebaskan kami?" Cian- li-ji melengking lagi.

"Apa engkau sudah lupa, kakek linglung?” balas Totay. '"Lupa apa?' Cian- li-ji melongo.

"Bukankah engkau minta dipestakan?-—Nah, nanti malam engkau boleh hadir dalam pesta yang akan kuadakan."

"Bagus, bagus," teriak Cian-li-ji, "pesta selain dapat menambah gairah, pun dapat menjadi jembatan persahabatan. Coba saja, kalau engkau mengadakan pesta setiap malam, bukankah engkau akan mendapatkan banyak sahabat?"

"Benar," sambut Totay, "memang aku akan mendapat banyak sahabat tetapi aku kehilangan seorang sahabat yang paling baik di dunia." "Siapa?"

"Sahabatku yang bernama si fulus."

"Aduh mati aku," setu Cian-li-ji, "itulah jahatnya fulus. Dia akan menjadikan setiap orang, entah bangsa apa saja, menjadi budaknya. Tetapi ingat, jangan engkau mau menjadi budak uang tetapi jadilah tuannya."

"Bagaimana maksudmu?"

"Jika terlalu menyembah uang, memuja si fulus, kita tentu menjadi budaknya. Tetapi kalau kita dapat mempergunakan menurut kehendak hati ini, kita menjadi tuannya. Seperti aku, inilah contohnya. Coba kalian geledah badanku, aku tentu tidak punya uang, Mengapa? Karena aku tak mau jadi budak uang."

"Lho, lalu bagaimana engkau akan hidup?"

"Tentu saja hidup," sahut Cian-li-ji, "aku bisa makan di rumahmakan, minum arak dan mendapatkan apa yang kukehendaki walaupun aku tak punya uang."

"Mencuri atau merampok?"

"Tidak!" teriak Cian-li-ji, "mereka senang memberikan kepadaku. Kalau perlu aku jual tenagaku kepada mereka."

"Sudahlah, silakan kalian beristirahat," kata Totay lalu menyuruh seorang prajurit untuk mengantarkan pendekar Huru Hara dan kakek Cian-li-j ji ke ruang yang disediakan untuk tetamu."

"Paman," kata Huru Hara setelah berada berdua dengan Cian-li-ji, "kita harus hati2 dalam perjamuan nanti."

"Hati2 bagaimana?" "Jangan sembarangan makan dan minum sebelum yakin makanan atau minuman itu tak mengandung racun atau bius."

"O “

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar