Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 10 Musyawarah

Jilid 10 Musyawarah

Hian Hian tojin, sute dari Hong Hong tojin ketua perguruan Go-bi-pay, marah sekali karena tersinggung dengan ucapan Tong Kui Tik. Dengan mengerahkan delapan bagian tenaga-sakti dia menghantam Tong Kui Tik sekuat-kuatnya. Tetapi Tong Kui Tik loncat menghindar. Dia masih mengingat bahwa Hian Hian itu adalah anakmurid dari susioknya (paman guru) Biau Ceng tojin. Dia tak kenal dengan Hian Hian tetapi ia kenal dengan susioknya Biau Ceng tojin itu. Ketika masih belajar di Go- bi-pay. dia banyak menerima petunjuk dari su-sioknya.

Dia ingin membalas budi kepada paman gurunya maka dia tak mau melayani Hian Hian dengan sungguh-sungguh.

Tong Thian siansu, ketua Ga-bipay angkatan kelima mempunyai tiga orang murid yakni Biau Gong, Biau Ceng dan Biau Hun. Sebenarnya yang layak mengganti kedudukan sebagai ciang-bun-jin atau ketua adalah Biau Gong tojin. Tetapi karena peristiwa Tong Kui Tik yang dituduh membunuh Asita lhama, kepala kuil Mutiara Putih di Tibet lalu Tong Kui Tik diusir dari perguruan, Biau Gong tojin sangat menyesal dan menolak jabatan ' ciang-bun-jin. Dia rela menjadi tiang-lo atau sesepuh perguruan Gobi-pay saja. Kedudukan tianglo itu memang sangat dihormati, hampir menyamai kedudukan penasehat atau dewan pertimbangan dari perguruan. Tetapi tak punya kekuasaan dalam urusan perguruan. Kekuasaan tetap berada di tangan ketua sepenuhnya.

Sebenarnya setelah Biau Gong mengundurkan diri, calon ketua Go-bi-pay harus jatuh pada murid yang kedua yakni Biau Ceng tojin. Tetapi Tong Thian siansu mempunyai pertimbangan lain. Seorang ketua perguruan, selain harus memiliki kepandaian ilmusilat yang tinggi, juga harus mempunyai kewibawaan dan keperibadian yang kuat dan jujur. Dalam hal itu menurut wawasan Tong Thian siansu, Biau Ceng kurang memiliki. Biau Ceng memang lebih hebat ilmusilatnya tetapi Biau Hun lebih jujur dan setia keperibadiannya.

Tong Thian siansu mengumumkan pengangkatan Biau Hong tojin sebagai ketua Go-bi-pay dalam sebuah rapat besar perguruan itu. Tetapi seminggu kemudian, Tong Thian siansu jatuh sakit dan menutup mata.

Beberapa tahun kemudian barulah Biau Ceng tojin menerima seorang murid yalah Hian Hian itu. Murid itu amat disayanginya karena baik bakat ilmusilat maupun perangainya, Hian Hian memang sesuai dengan gurunya.

Setelah Biau Hun mengundurkan diri, ketua Go-bi-pay dijabat oleh Hong Hong tojin sampai sekarang. Karena Biau Ceng tojin itu suheng dari Biau Hun tojin, maka muridnya yakni Hian Hian menurut tingkatan adalah- suheng dari Hong Hong tojin. Tetapi Hian Hian lebih senang menyebut dirinya sebagai sute karena umurnya kalah tua dengan Hong Hong tojin.

Sebenarnya Hong Hong tojin atau ketua Go-bi-pay yang sekarang sudah mencium bau tentang gerak gerik Hian Hian tojin yang mengadakan hubungan dengan tokoh2 yang bekerja pada kerajaan Ceng. Tetapi karena selama itu belum ada bukti yang jelas dan lagi paman gurunya yakni Biau Ceng siansu yang menjadi guru Hian Hian itu selalu melindungi muridnya, maka Hong Hong tojin pun agak sungkan.

Pukulan yang dilancarkan Hian Hian kepada Tong Kui Tik memang bukan alang kepalang hebatnya. Hian Hian menggunakan ilmu Pek-lui ciang atau pukulan Seratus- halilintar. Karena.Tong Kui Tik sempat menghindar maka dinding ruanganlah yang menjadi korban, hancur berantakan sehingga menimbulkan sebuah lubang besar.

"Hm, Hian Hian benar2 hendak membunuh aku," pikir Tong Kui Tik sesaat menyaksikan kedahsyatan pukulan lawan. Diam2 pula ia makin gelisah. Keadaan fihaknya tidak menguntungkan. Wan-ong Kui dihadang pertapa  yang tentu berkepandaian tinggi. In Hong berhadapan dengan Ko Cay Seng. Jelas dara itu bukan tandingannya. Sedang Blo'on yang menuju ke makam ayahnya disusul Barbak. Dia masih belum percaya kalau putera Kim Thian Cong itu map bersekutu dengan orang Boan.

"Aku harus cepat2 menyelesaikan pertempuran ini. Sebenarnya aku tak ingin melukai Hian Hian. Tetapi Hian Hian ternyata amat bernafsu sekali untuk membunuhnya, sukar untuk melepaskan diri dari libatannya," pikir Tong Kui Tik lebih lanjut, yah, apa boleh buat. Terpaksa aku harus melayani imam ini dulu."

Dia serentak mengeluarkan ilmusilat ciptaannya sendiri. Ilmusilat itu didasarkan atas perhatiannya terhadap burung elang yang terbang dan dinamakan Hui-eng-sip-pat-poh atau Delapan-belas-gerak- elang-terbang. Dengan menggunakan pukulan itu, barulah Tong Kui Tik dapat menghindar dan mengimbangi permainan Hian Hian.

Memang diam2 Hian Hian terkejut melihat permainan Tong Kui Tik yang berloncatan menyambar-nyambar seperti burung elang. Dan dia harus mengakui bahwa gaya permainan lawan yang hebat itu bukanlah ilmu kepandaian dari perguruar Go-bi-pay.

Sementara itu memang Wan-ong Kui mampu menghadapi serangan pertapa Suto Kiat sampai berpuluh jurus. Hal itu disebabkan karena Wan-ong Kui menggunakan pedang pusaka sehingga memaksa lawan harus hati2 bergerak. Tetapi bagaimanapun juga, karena pertapa itu lebih tinggi kepandaiannya maka lama  kelamaan Wan-ong Kui terdesak juga.

"Lepas!" tiba2 Suto Kian membentak.

"Ih. . . .," Wan-ong Kui mendesis kejut ketika pergeiangan tangannya tertutuk jari lawan dan pedangnya mencelat ke udara.

Setelah berhasil menutuk pergelangan tangan lawan, pertapa Suto Kiat terus maju hendak mencengkeram bahu. Wan-ong Kui tetapi pada saat itu tiba2 ia rasakan ubun2 kepalanya diserang orang. Terpaksa ia harus  membuang diri melesat ke sam ping.

Ternyata pada saat sedang melambung ke udara, Tong Kui Tik melihat pedang Wan-ong Kui mencelat keatas. Cepat ia menyambarnya lalu dengan gunakan gerak Hui- eng-cok-thau atau Elang-terbang-mematuk-kepala, ia menukik kebawah dan menghantam ubun-ubun kepala Suto Kiat. Untung pertapa itu cepat loncat ke samping, kalau terlambat sedikit saja, tentulah ubun2 kepalanya sudah bobol. "Inilah pedangmu," seru Tong Kui Tik seraya melemparkan pedang pusaka itu kepada Wan- ong Kui. Habis menyerahkan pedang, Tong Kui Tik cepat menyongsong Suto Kiat yang sudah maju menerjang.

Tetapi berbareng pada saat itu, Hian Hian tojin juga memburu datang. Dia hendak menyerang Tong Kui Tik tetapi dihadang oleh Wan ong Kui. Dengan demikian terjadilah bertukaran lawan. Sekarang Tong Kui Tik berhadapan dengan Suto Kiat. Wan-ong Kui melawan Hian Hian tojin.

Jika waktu melawan Hian Hian, Tong Kui Tik masih terpancang rasa sungkan kini berhadapan dengan Suto Kiat, dia tak sungkan lagi. Serentak dia menyerang pertapa itu dengan gerakl Hui-eng-sip-pat-poh (Delapan-belas-gerak- elang terbang). Pelahan-lahan Suto Kiat mulai terdesak dan mundur sampai akhirnya keluar dari ruang wisma. Kini mereka bertempur di halaman.

Rupanya Hian Hian juga mempunyai pikiran seperti pertapa Suto Kiat. Bertempur menghadapi seorang lawan yang menggunakan senjata pusaka, dia harus bergerak dengan lincah. Kalau berada dalam ruang yang penuh orang, jelas gerakannya kurang leluasa. Maka diapun segera memancing lawan supaya keluar ke halaman. Tetapi Hian Hian pun telah menarik pelajaran dari adegan tadi. Agar jangan sampai Tong Kui Tik sempat menolong Wan-ong Kui, maka Hian Hian memancing pemuda itu supaya meninggalkan wisma agak jauh. Setelah berada dibalik gerumbul pohon yang terpisah seratusan langkah dari wisma, barulah Hian Hian berhenti dan menghadapi Wan- ong Kui.

Kini dalam ruang itu hanya tinggal In Hong yang sedang menghadapi Ko Cay Seng bersama Han Bi Ing yang berdiri di sudut ruang. Saat itu Ko Cay Seng sudah menyerang In Hong. Dia tahu kalau adu mulut, dia tentu kalah dan bisa muntah darah karena gemas. Diapun ingin membuktikan apakah benar In Hong itu mutid dari orang sakti yang dulu pernah berjumpa dengan ayahnya ( Ko Sam Hiap ).

Ilmupedang Song-ou-tiap (sepasang kupu2 ) yang dimainkan In Hong memang cukup hebat. Untuk beberapa waktu, Ko Cay Seng memang dapat ditahan. Tetapi menghadapi ilmu tutukan jari dari keluarga Ko yang termasyhur itu, mau tak mau In Hong sibuk bukan kepalang. Itu saja Ko Cay Seng baru mencapai tataran keenam yakni baru dapat menutuk enam jalandarah. Andaikata dia sudah menguasai sampai tataran yang tertinggi, tentulah In Hong sudah sejak tadi rubuh.

Pada suatu saat yang menegangkan, jari Ko Cay Seng menyelonong menusuk uluhati In Hong.

''Adik Hong, silangkan pedang ke dada, pedang kiri julurkan kemuka, tusuk hidungnya!" tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.

Ko Cay Seng terkejut. Ia tertegun. Sesaat ia menjerit kaget karena ujung pedang In Hong sudah hampir menyentuh ujung hidungnya. Cepat ia condongkan kepala ke belakang lalu menggeliat berputar kesamping terus menutuk lagi.

"Adik Hong, putar badan kesamping dan babat lengan lawan dengan pedang tangan kiri!" kembali Han Bi Ing berteriak.

Semula In Hong tadi memang kaget waktu mendengar petunjuk Han Bi Ing. Ia tahu Han Bi Ing tampaknya seperti seorang gadis lemah yang tak mengerti ilmusilat. Namun karena Ko Cay Seng tertegun maka ia lakukan juga perintah Han Bi Ing itu. Dan karena hasilnya mengejutkan, dapat mematahkan serangan Ko Cay Seng, maka waktu kedua kalinya Han Bi Ing memberi petunjuk iru, In Hong tak ragu2 lagi untuk menurut.

"Setan," gumam Ko Cay Seng dalam hati ketika bukan saja serangannya gagal, pun ia juga terpaksa harus menyingkir supaya lengannya jangan sampai terbabat pedang In Hong.

Demikian peristiwa itu berlangsung terus menerus. Setiap kali Ko Cay Seng melancarkan serangan maut, Han Bi Ing terus berteriak memberi petunjuk kepada In Hong. Dan setelah In Hong melakukannya, memang hasilnya mengejutkan In Hong sendiri maupun Ko Cay Seng.

Setelah sepuluh jurus berlangsung begitu akhirnya marahlah Ko Cay Seng. Kalau gadis itu dibiarkan saja mengoceh memberi petunjuk, tentulah dia takkan dapat merebut kemenangan. Gadis itu harus kubungkam dulu, akhirnya Ko Cay Seng mengambil keputusan.

Dia loncat menerjang In Hong dengan sebuah tutukan ke mata. Dan saat itu Han Bi Ingpun berteriak memberi petunjuk. Pada waktu In Hong menyurut mundur dan hendak berkisar ke samping, tiba2 Ko Cay Seng loncat menerjang Han Bi Ing.

"Cici Ing !" In Hong menjerit kaget "sekali. Ia hendak

loncat tetapi sudah terlambat.

Ko Cay Seng sudah rentangkan tangan mendekap tubuh Han Bi Ing dan tampaknya Han Bi Ing tak berdaya menghadapi.

"Auhhhhh . . tiba2 Ko Cay Seng menjerit keras dan loncat mundur ke belakang.

"Adik Houg, lekas serang dia!" teriak Han Bi Ing. In Hong tak tahu apa yang terjadi namun dia lakukan juga perintah Han Bi Ing. Cepat ia loncat menerjang. Tetapi Ko Cay Seng ayunkan tangannya terus lari keluar.

"Awas, jarum beracun!"' teriak Han Bi Ing.

In Hong memang juga menduga begitu. Ia memutar pedangnya untuk menyapu senjata gelap yang ditaburkan lawan, terdengar beberapa denting kecil ketika pedangnya berhasil memukul beberapa batang jarum.

"Aduhhhhh. " In Hong menjerit dan rubuh ke lantai.

"Adik Hong!" Hin Bi Ing berteriak kaget dan lari menghampiri.

Ternyata sebatang jarum telah mengenai kaki In Hong sehingga dara itu tak dapat bergerak dan rubuh.

"Cici Ing, kakiku kena jarum," seru In Hong sembari menunjuk ke arah betis kaki kanannya.

"Ah," Han Bi Ing makin gelisah. Ia mencopot sepatu In Hong dan menggulung celananya. Tepat diatas mata kaki dara itu, tertancap sebatang jarum emas. Han Bi Ing cepat mencabutnya lalu ia mengeluarkan obat Kim-jong-san, dilumurkan pada bekas luka yang terkena jarum.

"Ah, untung bukan jarum beracun," kata Han Bi Ing setelah memeriksa jarum emas itu.

"Cici Ing, engkau ternyata mengerti ilmu silat "

"Sudahlah, adik Hong," Han Bi Ing memberi isyarat supaya gadis itu jangan bicara, "lekaslah engkau melakukan pernapasan. Kita masih menghadapi beberapa lawan yang tangguh."

In Hong menurut. "Aku hendak keluar menjenguk keadaan Wan ong-ko dan ayahmu, adik Hong,"' kata Bi Ing seraya melangkah keluar wisma.

Tiba di halaman dia heran, "Eh, kemanakah orang2 yang bertempur tadi ? Mana Wan-ong-ko ? Mana Tong lopeh ?" katanya seorang diri. Dia hendak berteriak tetapi dia kuatir akan mengganggu In Hong. Kalau dia berteriak, dara itu tentu lari keluar.

"Tidak, In Hong tak boleh terganggu ketenangan pikirannya. Biar kucari mereka sendiri," dia terus mencari ke sekeliling tempat itu tetapi tetap tak menemukan Wan- ong Kui, Tong Kui Tik maupun kedua lawan mereka.

"Aneh," pikirnya, "kalau ada yang rubuh, tentu terdapat tubuh mereka. Kalau terluka, pun tentu ada bekas2 ceceran darah. Tetapi mengapa sama sekali tak kulihat jejak suatu apa-apa?"

Akhinya ia terpaksa kembali ke wisma.

Saat itu sudah makin malam. Rembulan menyembul diantara sela2 gumpalan awan. Tiba2 Han Bi Ing melihat sesosok tubuh melesat masuk ke dalam ruang. Ia terkejut sekali dan cepatkan langkah, "Ah, sayang tenagaku masih belum pulih," gumamnya menyesali langkahnya yang terasa kurang cepat.

"Hai, siapa engkau !" tiba2 Han Bi Ing mendengar teriakan ln Hong dan pada lain saat ia mendengar suara senjata menyambar-nyambar.

Dan ketika ia melangkahkan kaki ke pintu ruang, kejutnya makin menjadi. In Hong sedang menyerang seorang lelaki muda yang bertubuh tegap. Pemuda itu hanya menghindar kian kemari seraya berseru, "Sabar, nona. Aku bukan orang jahat. Mari kita bicara dulu " "Jangan banyak mulut !'' bentak In Hong seraya menyerang dengan, sepasang pedangnya," aku bukan anak kecil yang gambang engkau bohongi. Engkau tentu konconya kawanan kuku garuda itu!"

Kuku garuda adalah istilah untuk menyebut orang yang menjadi kaki tangan pemerintah yang hendak menjajah negara Tiong-goan, misalnya kerajaan Goan. kerajaan Kim, kerajaan Ceng.

Pemuda itu terkejut ketika dirinya dimaki sebagai kuku garuda.

"Tidak, aku bukan kuku garuda !" serunya.

"Hai, mana pencuri mau mengaku pencuri?" dengus In Hong seraya makin gencarkan serangannya.

Pemuda itu benar2 kewalahan untuk membeIa diri. Terpaksa dia hanya berlincahan menghindar kesana kemari.

"Adik Hong," tiba2 Ilan Bi Ing berseru, "siapakah orang ini ?"

"Siapa lagi kalau bukan konco mereka !" In Hong melengking. "kalau kita dapat menangkap yang ini, tentu tahu sarang mereka !"

"Nona," teriak orang itu. "aku bukan konco mereka ? Aku tak tahu siapakah 'mereka' yang engkau maksudkan itu

?"

"Diam!" bentak Ia Hong, "kau mau menyerah atau tidak.

.Mumpung belum terlanjur aku mengamuk, lebih baik engkau serahkan diri saja. Asa! engkau mau memberi keterangan yang jujur, akupun takkan membunuhmu."

Pemuda itu tercengang,

"Apakah salahku ?" serunya sesaat kemudian. Diam2 Hari Bi Ing yang memperhatian pemuda itu mendapat kesan baik. Pertama wajah pemuda itu tampan dan tak mengunjuk sifat2 jahat. Dan selama diserang habis- habisan dia tak mau membalas dan hanya menghindar saja. Dari gerakan tubuhnya, jelas dia tentu memiliki kepandaian yang tinggi. Kalau mau, rasanya pemuda itu tentu sudah dapat mengalahkan In Hong.

"Adik Hong. berhentilah dulu. Rasanya ada. "

“Tidak, cici Ing, kalau sampai lolos sukar untuk menangkap gerombolan yang tadi," seru In Hong seraya menyerang makin gencar. Namun tetap ia tak mampu melukai pemuda itu.

Sekonyong-konyong terdengar derap langkah orang dan pada lain saat muncullah tiga orang lelaki mengenakan serangan prajurit. Yang satu seoang lelaki brewok dan yang dua adalah perwira prajurit Ceng.

"Hai, berhenti kalian !" benta'k lelaki brewok itu dengan suara menggeledek sehingga In Hong tertegun. Kesempatan itu digunakan oleh pemuda lawannya untuk menyurut mundur.

"Jawab, dimana pangeran Barbak ?" teriak lelaki brewok itu pula. Tetapi tak ada yang menjawab.

"Hai. anak perempuan, apa engkau tuli bentaknya kepada In Hong.

Namun In Hong tetap diam dan hanya memandang geram.

"'Gila, apa engkau tuli!" kembali lelaki brewok itu menuding In Hong, melangkah maju dan terus menampar. Uh. tiba2 ia tarik pula tangannya karena disambut dengan

tabasan pedang oleh In Hong. "Kurang ajar, engkau budak hina !" lelaki brewok itu deliki mata.

"Siapa yang engkau maki, monyet!" In Hong balas melengking.

"Budak hina, engkau berani memaki aku monyet!" lelaki brewok itu hendak memukul tetapi dicegah oleh salah seorang perwira, "Pa-heng, jangan turun tangan dulu sebelum kita mendapat keterangan tentang pangeran Barbak."

"Nona," perwira itu tampil kemuka dan berkata kepada In Hong, "aku hendak minta keterangan kepadamu."

"Aku ? "Ya."

"Baik," kata In Hong, "begitu dong kalau mau bertanya pada orang. Masakan pecicilan main tuding orang, seperti tuan besar saja lagaknya.''

Lelaki brewok hendak menjawab tetapi didahului perwira itu, "Harap nona jangan salah faham. Pertama, memang begitu perangai Pa-heng kawan kami itu. Dan kedua, kami memang perlu sekali hendak mencari pangeran Barbak."

'"Siapa Barbak itu?"

"Dia adalah adik dari panglima besar Torgun yang mengepalai pasukan Ceng."

"'O, si Barbak yang engkau maksudkan?"

"Benar, nona. Apakah engkau tahu beliau berada dimana?'' perwira itu mulai tegang.

"Si Barbak orang Boan itu to?” “ Walaupun telinga gatal mendengar berulang kali In Hong menyebut pangeran Barbak dengan embel2 si yang berarti memandang rendah, namun karena perlu mendapat keterangan, terpaksa perwira itu bersabar dan mengiakan.

"Mengapa engkau mencarinya?" masih In Hong tak mau menyahut tetapi balas bertanya.

"Dia adakah adik dari panglima kami."

"Dan engkau ini perwira dari balatentara kerajaan Ceng?"

"Ya."

"Apa engkau orang Boan?" Perwira itu gelengkan kepala.

"Lho kok aneh," teriak In Hong, "kalau bukan orang Boan mengapa mau menjadi prajurit kerajaan Ceng.

"Tidak semua prajurit pasukan Ceng itu adalah orang Boan tetapi terdiri dari berbagai suku termasuk suku Han juga."

"Kerajaan Beng itu adilah negara orang Han, mengapa engkau membantu orang Boan untuk memerangi orang Han sendiri?"

"Budak hina, jangan banyak mulut!" bentak lelaki brewok yang tak sabar melihat tingkah In Hong yang centil dan bicaranya yang sinis.

"Monyet, engkau bertanya keterangan, sekarang engkau melarang aku tak boleh banyak mulut, apa maumu?'' In Hong tak takut dan bahkan mendamprat.

Perwira memberi isyarat agar lelaki brewok bersabar, kemudian dia bertanya kepada In Hong lagi, "Soal itu adalah urusanku. Jawablah, apa engkau tahu pangeran Barbak?"

Perwira itu berpaling kearah pemuda yang menjadi lawan In Hong tadi dan menegur, "Siapa kah anda ini?"

"Aku . . . aku juga tetamu."

“Bohong!" bentak lelaki brewok, "engkau tentu kawan dari budak liar itu!"

Sebelum pemuda itu menyahut, In Hong sudah melengking, "Eh, monyet, jangan pura2 tak tahu. Dia kan kawanmu sendiri!"

"Apa? Dia kawanku?" teriak si. brewok, ''aku tak kenal . .

. . "

Baru dia berkata begitu, si perwira membisiki beberapa patah kata dan lelaki brewok itupun mengangguk.

"Mungkin anda juga sedang mengemban tugas seperti kami," kata perwira itu kepada pemuda gagah, "tetapi entah dibawah pimpinan jenderal siapakah anda ini tergabung?"

"Aku tak tahu apa yang anda maksudkan," kata pemuda itu, "aku datang kemari karena hendak mencari Kim Blo'on.

"O, Kim Blo'on putera dari Kim Thian Cong itu?" seru lelaki brewok dengan nada agak cerah-

"Ya."

"Apakah engkau ketemu?"

Pemuda tegap itu gelengkan kepala. "Apakah engkau melihat pangeran Barbak? Pemuda tegap itu kembali menggeleng.

"Dulu mana yang datang kemari, engkau atau budak liar itu?" "Dia."

"Hm," dengus lelaki brewok lalu menuding In Hong, "Budak liar, kalau engkau tak mau memberi keterangan yang sesungguhnya, terpaksa akan kuhajar!"

"Uh, uh, garang benar engkau, monyet. Datang2 terus mau menghajar orang," seru In Hong. Baik, aku mau memberi keterangan. Aku tak tahu kemana orang Boan yang menjadi tuanmu itu. Pun andaikata tahu, aku juga tak sudi memberi tahu kepadamu. Malah kalau engkau ketemu, suruh dia kemari biar kuhajarnya sampai tele2!"

"Budak liar, engkau berani menghina pangeran Barbak!" lelaki brewok tak dapat mengenidalikan diri lagi dan terus menyerang In Hong.

In Hong tak gentar. Dia mainkan ilmu pedang Song-ou- tiap dengan gencar sehingga lelaki brewok itu agak kewalahan. Sret .... uh, lelaki brewok itu berteriak tertahan dan loncat mundur selangkah seraya memeriksa lengan bajunya. Ia kejut karena ujung lengan bajunya telah terbabat kutung.

Lelaki brewok itu maju lagi. Tetapi karena agak kewalahan menghadapi permainan pedang In Hong, akhirnya perwira tadipun maju.

"Jangan menghina anak perempuan !" diluar dugaan tiba2 pemuda tegap itu menghadang si perwira.

"Ho, engkau hendak membantu budak perempuan liar itu ?" bentak si perwira.

"Aku muak melihat orang yang menghina anak perempuan !" seru pemuda itu.

Perwira itu cepat mencabut pedang dan terus menyabat, uh.....hanya dalam satu gebrak dimana pemuda itu mengayunkan tangan untuk menyambar pergelangan tangan si perwira, tahu2 perwira itu sudah menjerit tertahan karena tangannya sudah dltelikung ke belakang punggung dan pedangnyapun terlepas jatuh.

"Lepaskan!" teriak perwira yang seorang seraya loncat menghantam pemuda itu dari belakang, duk, aduh.....perwira yang kedua itu kesima ketika tinjunya, yang kuat bukan mcngenai punggung si pemuda, tetapi menghantam dada perwira kawannya sendiri. Perwira yang pertama itu menjerit dan terjungkal ke belakang.

Plak pemuda itu mengirim sebuah tendangan ke perut

orang dan perwira yang kedua itupun menjerit, tubuhnya terlempar keluar ke halaman.

Melihat kedua kawannya dalam satu gebrakan saja sudah, rubuh lelaki brewok yang bernama Pa Kim itu terkejut bukan kepalang. Dia adalah orang bawahan pangeran Barbak yang hendak mencari pangeran itu. Waktu di tengah jalan kebetulan dia berpapasan dengan dua orang perwira yang diuttus panglima Torgun untuk memanggi Barbak Mereka bertiga segera menuju ke Lou-hu-san.

Pa Kim cepat dapat melihat gelagat yang tak menguntungkan. Kalau ia nekad menyerang si dara, tentulah pemuda tegap itu akan membantu si dara dan celakalah dia. Dalam 72 cara untuk menghadapi lawan, lari adalah satu-satunya jalan. yang paling selamat.

Setelah mengirim sebuah tendangan yang memaksa In Hong harus loncat mundur, Pa Kim ayunkan tangan kearah si pemuda, "Sambutlah !”

Sebuah benda putih melayang kearah pemuda itu. Cepat dia menampar, bum .... benda putih i;u meletus dan seketika berhamburan asap tebal yang bertebaran memenuhi ruang. "Tutup pernapasanmu, nona," seru pemuda itu kepada In Hong, "mari kita keluar."

Tiba di halaman, pemuda itu bertanya. "Bagaimana, nona kan tidak menderita luka, bukan?”

"Tidak," sahut In Hong yang masih menggandeng tangan Han Bi Ing, "kemana bangsat itu?"

"Dia lari membawa kedua perwira kawannya," sahut si pemuda, "ah. untung Pik-lui-tan yang ditaburkan itu tidak mengandung racun."

"O, apa nama senjata yang ditaburkan itu?"

"Pik-lui-tan atau Peluru-geledek, semacam obat dari bahan peledak yang dapat meletus dan menghamburkan asap. Untuk mengaburkan pandang mata orang agar dia dapat melarikan diri."

"Kongcu, siapakah engkau ini ?" tiba2 Han Bi Ing bertanya.

"Mari kita bicara didalam rumah," kata pemuda itu. "Rumah mana ?" In Hong terkejut.

"Ikuilih aku," pemuda itu terus ayunkan langkah menuju ke belakang wisma. Ternyata disitu terdapat sebuah bangunan gedung yang cukup besar.

"Hai, rumah siapa ini ?" tanya In Hong pula.

"Dulu disinilah Kim tayhiap menetap sejak beliau mengasingkan diri ditempat sunyi."

Mereka masuk kedalam dan beristirahat di ruang depan. Pemuda itu masuk kedalam dan tak lama keluar lagi dengan membawa hidangan teh.

"Untung masih tersedia the hangat, "katanya. Mengapa engkau sudah biasa dengan rumah ini?

S'apakah engkau ?"'tanya In Hong keheran-heranan.

Sebelum menjawab pemuda itu mempersilakan kedua gadis itu untuk minum dulu. Setelah itu dia baru berkata dengan tertawa, '"Benar, ini memang rumah ayahku."

"Apa ? Ini rumah ayahmu ?" In Hong melonjak dari kursi karena terkejut.

Pemuda itu tertawa, "Benar, ini memang rumah ayahku."

"Bukankah ini rumah paman Kim Thian Cong ?” Han Bi Ing ikut menegas.

Pemuda itu mengangguk. Namun ia agak tertegun ketika memandang wajah nona itu. Sepasang mata beradu dan Han Bi Ingpun tersipu sipu merah mukanya.

"Mengapa engkau menyebut Kim tayhiap sebagai ayah ?

Siapakah engkau ini sesungguhnya ?" tegur In Hong. "Aku puteranya."

"Apa katamu In Hong merentang mata lebar. Sementara Han Bi Ingpun terbeliak.

'Aku putera dari mendiang Kim Thian Cong." '"Bohong .'" teriak dara itu pula.

''Bohong?'" pemuda ini terbeliak, "o, engkau anggap keteranganku tadi itu bohong?”

“Konpcu," melihat pemuda itu agak ngotot, Han Bi Ing segera menyela, "kami benar2 tak mengerti persoalannya. Harap kongcu suka memberi tahu, siapakah kongcu ini dan apakah hubungan kongcu dengan paman Kim Thian Cong

?”

"Aku memang benar puteranya," sahut pemuda itu. "Tetapi kongcu, tadi . . . tadi kami juga berjumpah dengan putera paman Kim “

"O, dimana dia sekarang ?'"

"Tetapi bukankah putera paman Kim itu-hanya seorang ?

Mengapa kongcu juga putera paman Kim ?"

"Jelas dia tentu bohong cici Ing," In Hong menyelutuk.

Pemuda itu terkesiap tetapi pada lain saat dia segera menyadari apa yang telah terjadi, katanya, "Nona,  benarkah tadi engkau berjumpah dengan putera Kim Thian Cong ?"

Han Bi Ing mengiakan. "Siapa namanya ?"

"Entah," Han Bi Ing mengangkat bahu, "tetapi ada beberapa tamu yang datang dan mengatakan kalau putera paman Kim itu bernama Kim Blo'on.

"Kim Blo’on ?'' pemuda itu terbeliak.

"Ya, kepalanya gundul tetapi memakai dua batang kuncir. Mukanya berlumuran bedak tebal dan menggunakan pedang."

"Aneh !" teriak pemuda itu, ''memang agak mirip tentang kepalanya yang gundul tetapi pakai dua kuncir. Tetapi dia seorang anak laki mengapa pakai bedak? Dan. . . dan lagi dia tak pernah pakai pedang."

"Ah, bohong," In Hong melengking lagi "masakan anak seorang pendekar besar tak mampu bermain pedang! Itu yang putera dari Kim tayhiap aseli dan engkaulah yang mengaku-aku" sebagai putera Kim tayhiap!"

"Eh, nona yang itu," seru pemuda itu, "kalau bukan puteranya perlu apa aku harus mengaku puteranya?" kemudian dia berpaling kepada Han Bi Ing, "nona, maukah engkau menceritakan apa yang engkau alami tadi?"

Han Bi Ing setuju tetapi waktu hendak bercerita, In Hong sudah menyelutak lagi, "Jangan cici Ing, jangan menceritakan diri kita kepadanya. Kita kan belum kenal, siapa tahu dia . . . dia . . . “

"Adik Hong, jangan menuduh orang," sela Han Bi Ing kemudian berkata kepada pemuda itu, "maaf, kongcu, memang adikku itu kasar tetapi dia juga hati2. Kita belum kenal dan karena sejak datang kemari telah mengalami bermacam-macam peristiwa maka adikku berlaku hati2. Maukah engkau mengatakan dulu siapa sesungguhnya dirimu itu?"

Pemuda itu menduga bahwa kedua gadis ini tentu mengalami peristiwa yang aneh sehingga mereka bingung dan curiga.

"Baik, nona," katanya setelah menduga-duga apa yang terjadi pada kedua nona itu, "aku memang putera dari Kim Thian Gong, namaku Kim Yu Ci."

"Lalu siapakah Kim Blo'on itu?" "Kim Blo'on adalah adikku." "Ah," Han Bi Ing menghela napas.

"Tidak!" teriak In Hong, "tidak mungkin engkau ini kakak dari si Blo'on itu. Jauuuuh . . ."

Pemuda yang mengaku bernama Kim Yu Ci itu terperangah, "Apanya yang jauh itu sih?"

"Jauh bedanya," kata In Hong, "dia seperti orang blo'on dan engkau . . . . " sebenarnya dia hendak mengatakan kalau Kim Yu Ci itu cakap dan gagah tetapi tiba2 ia teringat dirinya seorang anak dara. Tak lavak kalau seorang gadis memuji seorang pemuda. Maka dia tak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanyapun merah.

"Apakah Kim kongcu benar engkoh dari Kim Blo'on tadi?" Han Bi Ing ikut menegas.

"Percayalah nona." kata Kim Yu Ci, "aku memang engkoh pemuda yang engkau jumpahi tadi."

"Tetapi mengapa kongcu lain sekali dengan adik kongcu tadi?"

Km Yu Ci tertawa, "O. ya, aku lupa memberitahu. Aku dan adikku Kim Blo'on itu tunggal ayah tetapi lain ibu!"

"Oh," Han Bi Ing menghembus napas longgar, "kalau begitu memang dapat diterima. Dan apakah kongcu tidak tinggal disini ?"

"Tidak," sahut Kim Yu Gi, "aku tinggal di. gunung Hong-san dan kali ini aku hendak menjenguk keadaan adikku, sekalian hendak berziarah ke makam ayah. Sungguh aku tak mengerti mengapa keadaan di puncak , Giok-li-nia sini menjadi begini kacau balau."

Siapa Kim Yu Ci yang menjadi engkoh dan B'o'on yang lahir dari lain mama. silakan baca PENDEKAR BLO'ON.

"Nona," kata Kim Yu Ci pula," engkau tadi mengatakan kalau bertemu dengan seorang pemuda yang nyentrik dan bernama Kim Bio’on. Lalu dimanakah dia sekarang?"

Han Bi Ing menceritakan pengalaman yang di deritanya ketika tiba di Wisma Damai. Waktu terjadi salah faham sehingga bertempur dengan Kim Blo'on tiba2 muncul seorang Boan bersama tiga orang pengikutnya dan terus menyerang.

"Tiba2 orang Boan itu berteriak, suruh Kim Blo'on memeriksa makam ayahnya karena kuatir makam itu akan dibongkar orang. Dan Kim Blo’on terus lari keluar. Tetapi sampai saat ini dia tak muncul lagi. Begitu juga dengan orang Boan itu.

"Apakah orang Boan, itu bukan yang disebui pangeran Barbak?" tanya Kim Ya -Ci:

"Kemungkinan begitu,” kata Han Bi Ing, karena dia mengenakan pakaian yang mewah.

"Aneh," kata Kim Yu C., "mengapa dia kenal dengan adikku dan mengapa dia suruh anak itu memeriksa makam ayah."

"Bio'on jelas bersekutu dengan orang Boan," kembali In Hong menyelutuk, "karena begitu datang dia terus membantu Blo'on yang saat itu bertempur dengan Wan- ong-ko."

"Tidak mungkin!" bantah Kim Yu Ci, "walaupun blo'on tetapi adikku takkan sudi berhamba pada kerajaan Ceng."

"Eh, bagaimana engkau begitu yakin?"

'"Tentu saja," sahut Kim Yu Ci, "karena adikku itu dulu paling gigih menentang kejahatan."'

'Itu belum merupakan bukti kalau dia tak mau bekerja pada orang Boan. Bukankah hati manusia itu setiap waktu dapat berobah?"

"Ho, mana engkau tahu?"

'"Tahu apa sih?" In Hong melengking.

"Adikku itu pernah dipungut menantu oleh raja In Lok dari kerajaan Beng "

"Hai!" In Hong melonjak kaget. Juga Han Bi Ing terbeliak, "Apa katamu?" teriak In Hong pula. Kim Yu Ci tertegun. Sesaat ia merasa telah kelepasan bicara maka buru-buru ia menyimpangkan pembicaraan, "Ah, itu urusan lain Pokok, adikku tak mungkin mau bekerja-sama dengan kerajaan Ceng. Dia tentu difitnah oleh pangeran Barbak itu."'

"Ih, mau mengelabuhi ya ?" In Hong menyengat. "Mengelabuhi apa ?"

"Engkau tadi menceritakan adikmu diambil menantu raja, sekarang engkau hendak memutus cerita itu. Apakah itu bukan mengelabuhi nama nya. Uh, engkau kira aku ini anak kecil ?"

Kim Yuk Ci gelagapan, Dia btmr2 tobat dengan dara yang centil itu. Tetapi dia mendapat akal juga.

'"Eh, apa hubungan adikku diambil menantu raja dengan persoalan ini ? Bukankah sudah kukatakan kalau adikku tak mungkin mau bekerja sama dengan kerajaan Ceng ? Apakah engkau mengetahui tentang cerita adikku diambil menantu raja Beng itu ?"

Merah muka In Hong mendapat tangkisan itu, dia melengking, "Sudah, sudah, siapa sih kepingin mendengar cerita tentang adikmu yang blo'on itu !"

Kim Yu Ci tertawa.

"Cici Ing, mari kita cari engkong dan Wan ong-ko," teriak In Hong.

" Tetapi adik Hong," kata Han Bi Ing yang gelagapan dari menungnya," tetapi kemanakah kita harus mencarinya

?"

"Nona," kata Kim Yu Ci, "aku belum selesai bercerita, Apakah engkau tak mau mendengarkan ceritaku dulu ?" "Tidak, cici Ing, jangan dengarkan omongannya. Dia suka mengelabuhi orang,” teriak In Hong.

Kim Yu Ci geleng2 kepala, "Dara ini memang centil sekali. Mungkin selama ini dia belum ketemu batunya," pikirnya.

"Jangan kuatir, dara centil," seru Kim Yu Ci tertawa, "nanti aku bersedia membantu kalian mencari engkong dan Wan-ong-ko-mu. Eh, omong2, siapa sih engkohmu Wan- ong itu ? Apakah itu engkoh kandungmu atau kawanmu . . .

. "

"Cis, perlu apa tanya segala sampai begitu melitit ? Dia engkoh kandungku kek kawanku kek, apa hubungannya dengan pembicaraan kita ?"

Ada ubi ada tales. Ada budi tentu dibalas. Demikian peraturan yang dianut In Hong. Setiap kali orang menyentilnya, dalam suatu kesempatan In Hong tentu kontan membalasnya.

Kim Yu Ci tertawa.

"Kongcu, silakan engkau melanjutkan ceritamu tadi," tiba2 Han Bi Ing menyela.

"Baik," kata Kim Yu Ci. "'entah bagaimana, karena sudah dua tahun tak berjumpa, aku merasa kangen dengan adikku. Maka akupun berangkat kemari. Tadi waktu tiba di puncak ini aku melalui tempat makam ayah. Ah, aku harus memberi hormat dulu, pikirku. Lalu aku biluk dan bersembahyang didepan makam ayah. Waktu aku sedang mengheningkan cipta, tiba2 dari arah belakang terdengar angin berkesiur dan tahu2 bahuku dicengkeram orang, "Ho, Blo'on. ayo engkau harus ikut aku. "

"Segera kusalurkan tenaga untuk menolak tangan orang itu. Dia terkejut dan kendorkan cengkeraman. Pada saat itu kuayunkan tanganku menampar ke belakang. Dia cepat loncat mundur dan akupun mendapat kesempatan untuk berputar tubuh menghadapinya."

'O," desuh Han Bi Ing, "siapakah orang itu kongcu?" "Seorang Boan yang berpakaian indah, masih muda dan

gagah," kata Kim Yu Ci, "dia terkejut ketika melihat aku." "Hai, siapa engkau!" teriaknya.

"Siapa engkau!" aku balas menghardiknya.

"Apa engkau bukan Kim Blo'on?" dia tetap bertanya. "Kim Blo'on putera Kim Thian Cong tayhiap itu?" aku

menegas dengan penuh curiga. "Ya."

"Engkau lihat aku ini Kim Blo'on atau bukan ?"

"Wajahmu agak mirip tetapi jelas engkau bukan dia," seru orang Boan "itu, siapa engkau. ?"

"Mengapa engkau hendak mencari Kim Blo’on ? " aku juga mendesaknya.

"Dia . . . dia hendak kuajak menghadap panglima Torgun."

'Panglima Torgun ? Siapakah dia ?" aku ber tanya pula, "Hm, masa engkau tak tahu. Siapa lagi kalau bukan

panglima besar dari pasukan kerajaan Ceng."

"Hah?" aku terkejut; “perlu apa engkau ajak Kim Blo'on menghadap panglima itu ?"

"Panglima mendengar bahwa Kim Blo'on itu sakti sekali.

Dia sangat menghargai orang yang sakti." "Hanya menghargai saja ?" "Kalau Kim Blo'on mau, panglima hendak menerimanya sebagai pembantunya."

"Ah, tidak mungkin. Kim Blo'on tentu tak mau beketja sama dengan orang Boan."

"Bagaimana engkau tahu ? Engkau kan bukan dia ?" "Memang bukan dia tetapi dia sudah mengatakan begitu

kepadaku."

"Hm, anakmuda, jangan sembarangan saja engkau ngomong dihadapanku, pangeran Barbak adik panglima kerajaan Ceng!"

"Aku terkejut," Kim Yu Ci melanjutkan cerita, "dia seorang pangeran Boan yang begitu penting kedudukannya dalam pasukan kerajaan Ceng, jika aku dapat menawannya tentulah dapat kugunakan untuk menekan gerakan pasukan Ceng supaya mundur dari bumi kita."

"Bagus Kim kongcu!" seru Han Bi Ing memuji serempak.

"Jangan terburu memberi pujian dulu, cici Ing. Belum tentu d a mampu menangkap orang Boan itu," teriak In Hong.

Agak merah muka Kim Yu Ci tetapi cepat dia tertawa lagi, "Memang benar. Aku gagal menangkapnya."

"Mengapa Kim kongcu?" tanya Han Bi Ing penuh perhatian.

"Jelas tentu kalah sakti, cici Ing," seru In Hong pula.

Kim Yu Ci mengangkat bahu, "Terserah kalau mau dikata begitu."

"Tetapi .cobalah Kim kongcu menceritakan peristiwa itu. Bukankah Kim kongcu bertempur dengan dia?" tanya Han Bi Ing. "Ya," sahut Kim Yu Ci, "dan kebetulan dia memang memaksa aku. supaya memberitahu dimana adik Blo'on saat itu. Aku bilang tidak tahu tetapi dia tak percaya, "Tidak mungkin engkau tak tahu. Aku tahu jelas bahkan akulah yang menyuruhnya kemari,. Kukira dia yang sedang sembahyang dimakam ini, tak kira kalau engkau."

"Saat itu aku makin tahu jelas persoalannya. Adikku tentu kena ditipu si Barbak orang Boan itu agar menengok makam ayah lalu dia menyusul hendak menangkapnya ..."

"Tetapi dimanakah adik Kim kongcu itu sekarang?" tanya Han Bi Ing.

"Cici Ing, mengapa engkau menanyakan manusia blo'on itu? Apakah ….. " In Hong tak berani melanjutkan kata- katanya karena saat itu Han Bi Ing berkisar menghadap kearahnya dan deliki mata.

Tiba2 Kim Yu Ci tertawa gelak2.

"Hai, apa yang engkau tertawakan?" teriak In Hong. In Hong tahu bahwa dia harus membatasi diri untuk menyerang dengan mulut kepada Kim Yu Ci. Karena kalau tarung dengan ilmusilat, jelas dia kalah unggul.

"Aku tertawa karena geli sendiri." "Geli apa?"

"Lho, apakah engkau ingin tahu pikiranku?" "Tentu."

"Kok aneh, anak perempuan," Kim Yu Ci tersenyum, "masakan geli sendiri tidak boleh dan harus memberitahu kepadamu."

"Terang dong," sahut dara itu, "kalau tidak engkau tentu menertawakan aku." "Tidak, aku tidak menertawakan engkau!

"Kalau begitu engkau tentu sinting ! Karena hanya orang gila saja yang tertawa sendiri."

"Adik Hong, jangan bicara begitu terhadap Kim  kongcu," seru Han Bi Ing yang merasa sungkan terhadap Kim Yu Ci.

"Eh, cici Ing ini bagaimana. Aku membela, kepentingan kita berdua, mengapa cici Ing malah membela dia ?"

"Aku tidak membela dia, adik Hong. Tetapi sebaiknya kita bicara yang baik terhadap orang,” sahut Han Bi Ing.

“Tak apa nona," kata Kim Yu Ci. Kemudiai dia berkata kepada In Hong, "sebenarnya aku tertawa karena teringat suatu peristiwa. Peristiwa itu kubayangkan tentu berlangsung terus. Andaikata aku menyaksikannya aku tentu akan tertawa terpingkal pingkal."

"Peristiwa apa ?"

"Peristiwa dikala engkau berhadapan dengan adikku yang engkau katakan blo'on itu. Kalau berhadapan dengan aku, engkau memang menang bicara. Tetapi kalau berhadapan dengan dia, engkau baru ketemu batunya."

"O, adikmu yang blo'on dan banci itu mau mampu menghadapi aku ?"

"Lho, adikku memang agak blo'on tetapi jelas dia bukan banci !"

"Anak laki yang pakai bedak begitu tebal seperti badut, apa namanya kalau bukan banci ?"

Kim Yu Ci kerutkan kening, "Aneh, benar2 aneh. Mengapa adikku memakai bedak. Pada hal jangan lagi bedak, sedang rambut saja dibiarkan tumbuh sendiri tak pernah diurus. Pakaiannya juga sederhana. Dia tak acuh terhadap segala apa disekelilingnya."

"Segala yang kuomongkan engkau selalu tak percaya saja. Sekarang silakan tanya cici Ing" ka ta In Hoag.

"Benar, Kim kongcu." kata Han Bi Ing sebelum ditanya, "memang adik kongcu itu memakai bedak."

"Ah," Kim Yu Ci mendesuh, "aku percaya nona tentu tak berkata bohong. Tetapi aku juga merasa heran sekali. Karena sejauh yang kuketahui dia tak senang dandan apalagi berbedak."

"Engkau memang keras kepala," In Hong melengking, "masih ada sebuah bukti lagi yang menyatakan bahwa adikmu itu memang seorang banci."

'"Bagaimana buktinya ?"

'"Waktu bertempur melawan Wan-ong-ko, Wan-ong-ko menggunakan ilmupedang Peh-hoa-kiam-hwat dan adikmu melayani dengan ilmupedang Giok-li-kiam- hwat. Nah, coba katakan, apakah ada seorang anak laki yang menggunakan ilmu pedang Giok-li-kiam kalau dia bukan banci?"

"Dia bisa main pedang Giok-li-kiam-hwat ? Aneh, aneh," Kim Ya Ci garuk2 kepalanya, "ini benar2 aneh sekali."

"Mengapa ?" tanya In Hong.

"Pada hal dia paling anti kalau disuruh belajar silat. Dia tak mau belajar silat walau ayahnya seorang pendekar besar yang termasyhur."

"Aneh, aneh,” tiba2 In Hong menirukan gaya Kim Yu Ci untuk garuk2 kepalanya.

"'Apa yang aneh ?" "Tadi engkau bilang kalau adikmu si Blo'on itu sakti, sehingga si Torgun panglima pasukan Ceng ingin mengangkatnya sebagai pembantu. Sekarang engkau mengatakan kalau adikmu itu tidak bisa silat dan tidak mau belajar silat. Mana yang benar nih."

Kim Yu Ci tertawa, "Memang disitulah letak keanehan adikku itu. Dia tak mau belajar silat, dia tak mengerti ilmusilat tetapi dia memang sakti. Kalau engkau menyerangnya, dia terus dapat menirukan ilmusilatrnu. Tak peduli betapa tinggi dan betapa cepat permainanmu silat itu namun dia tetap dapat menirukan."

“Uh, uh, enaknya kalau mengelabuhi orang. Engkau anggap aku ini anak kecil yang percaya pada dongenganmu itu ?"

Kim Yu Ci geleng2 kepala dan tertawa, “Memang orang tentu tak percaya tetapi coba saja kalau engkau besok ketemu dia."

"Apa taruhannya kalau aku mampu menampar gundulnya ? Engkau berani bertaruh ?" serentak. In Hong menantang.

Kim Yu Ci membayangkan bahwa tak mungkin Blo'on dapat ditampar dara itu. Apalagi kalau tahu kepalanya akan d'tampar untuk taruhan, Blo'on tentu keluar tanduk dan tentu akan mempermainkan dara itu.

"Terserah apa yang engkau kehendaki," sahut Kim Yu Ci.

"Begini," kata In Hong, "kalau aku tak mampu menampar gundul si Blo'on, pedangku ini kuberikan kepadamu. Tetapi kalau aku mampu, engkau harus mengajarkan aku ilmu gerakan yang engkau mainkan ketika menghadapi seranganku, tadi, setuju ?" "Adik Hong, jangan," seru Han Bi Ing, "tak usah bertaruh semacam itu, Masakan kepala orang akan dibuat taruhan !"

"Eh, cici Ing, engkau membela si Blo'on ? pantas....

aduhhhhh," tiba2 In Hong menjerit keras karena lengannya dicubit Han Bi Ing.

"Tak apa nona," kata Kim Yu Ci, '"biarlah kita iseng bertaruh."'

In Hong mau ngomong tetapi Han Bi Ing sudah mendahului, "Kim kongcu, bagaimana kelanjutan ceritamu dengan pangeran Boan itu.”

"O, ya. Karena sama2 hendak menangkap dia hendak menangkap aku supaya aku memberi tahu dimana Kim Blo'on bersembunyi. Akupun hendak meringkusnya untuk membantu perjuangan para pendekar gagah yang berjuang menentang penjajah Ceng. Lalu terjadilah pertempuran. Hasilnya "

"Kalah," In Hong nyelutuk.

"Ya," sahut Ktm Cu Ci tenang2, "Walaupun" bermula aku menang. Aku berhasil menutuk lengannya. Dia sudah hampir dapat kuringkus atau tiba2 dia taburkan peluru Pik- lui-tan yang dapat meledak dan menghamburkan asap tebal. Kuatir kalau asap itu mengandung racun aku cepat loncat mundur. Tetapi ketika asap sudah tipis ternyata orang Boan itu sudah tak tampak lagi."

"Benar," sambut Han Bi Ing," tadi penjahat yang bertempur dengan adik Hong itu juga menggunakan peluru Pik-lui-tan untuk meloloskan diri."

"Setelah tak berhasil mencari pangeran Boan itu aku melanjutkan langkah ke sini dan melihat adik nona ini sedang bertempur dengan orang tadi," kata Kim Yu Ci menutup keterangannya, "tetapi apakah kepentingan nona datang kemari ?"

"Mengantar engkongku yang ingin menjenguk makam Kim tayhiap karena waktu Kim tuyhiap meninggal, engkong tak dapat menghadiri upacara pemakamannya," tiba' In Hong mendahului berkata sembari melirik kearah Han Bi Ing.

Bi Ing menunduk. Diam2 dia memuji kecerdikan si dara yang berusaha untuk menutupi keadaannya. Bukankah malu kalau mengatakan kepada Kim Yu Ci tentang surat yang diberikan kepada Blo'on itu. Tentulah Kim Yu Ci akan bertanya lebih lanjut bagaimana sikap adiknya waktu menerima surat itu? Ah, tidakkah dia akan malu kalau menceritakan bahwa Blo'on menolak perjodohan itu?

"Sekarang lebih baik kita beristirahat dulu. Bukankah nona besok pagi akan mencari Wan-ong Kui dan engkong dari adik nona itu?" kata Kim Yu Ci.

Malam itu In Hong dan Han Bi Ing tidur disebuah kamar dan Ki n Yu Ci dilain kamar. Secara kebetulan Kim Yu Ci tidur di kamar Liok Sian li, sumoay Blo'on. Dia memang tahu kalau Blo’on itu adalah adiknya dari lain ibu. Diapun tahu pula bahwa yang mencuri jenasah Kim Thian Cong adalah Tio Goan Fa, suheng dari Blo'on. Tetapi entah karena lupa atau karena memang tak acuh, maka dulu Blo'on tak mengatakan kalau dia mempunyai seorang sumoay yang bernama Liok Sian Li.

Sudah tentu Kim Yu Ci terkejut ketika melihat kamar itu terdapat alat-alat perias, seperti bedak, gincu atau liptick dan minyak wangi.

"Setan, apakah adik benar sudah menjadi banci?" pikirnya, "Celaka, " ia mengeluh,. "kalau begitu ejekan dara itu memang benar. Wah, aku tentu rnalu karena membela adik sampai begitu mati matian tetapi ternyata dia memang jadi banci . . . Jika begitu, biarlah dia nanti ditampar gundulnya oleh dara itu."

Malam itu tak terjadi suatu apa. Beberapa jam kemudian haripun sudah pagi dan setelah cuci muka maka mereka berkumpul lagi di ruang depan.

"Nona, bagaimana rencana nona sekarang ini?" tanya Kim Yu Ci.

"Bagaimana adik Hong?" tanya Bi Ing kepada dara centil itu.

"Aku hendak mencari engkong dan Wan-ong-ko," sahut In Hong.

"Baik," kata Han Bi Ing, "tetapi kalau sampai tak ketemu lalu bagaimana?"

"Terserah saja pada enci Ing." "Engkau mau ikut aku, bukan?"

"Ya," jawab In Hong, "tetapi cici hendak kemana?"

"Aku hendak ke Thay-goan untuk mencari berita mengenai ayahku."

"Bagus, cici Ing, aku ikut!" teriak In Hong. Han Bi Ing lalu menyatakan tentang rencana itu kepada Kim Yu Ci.

"Ah, keThay goan," pemuda itu menghela napas. "Ya, kenapa kongcu menghela napas?"

"Thay-goan saat ini sudah diduduki pasukan Ceng. Sepanjang utara sungai Tiangkang pun sudah penuh dengan pemusatan tentara Ceng dan setiap saat mereka tentu akan bergerak untuk menyerang ke Lam-kia. Apakah hal itu tidak berbahaya bagi keselamatan nona berdua?" "Semua pekerjaan tentu mengandung resiko dan bahaya. Bahkan makan saja juga mengandung bahaya. Orang bisa ketulangan, bisa sakit perut karena makan. Apalagi menjenguk seorang yang berada tawanan musuh, bahayanya tentu besar sekali. Tetapi apakah berbakti kepada orangtua itu harus diperhitungkan dengan untung ruginya?"

"Cek, cek, cek,"' desis Kim Yu Ci, "seperti air banjir saja kalau sudah bicara. Siaoa yang rnengatakan begitu? Aku hanya mengatakan bahwa keadaan itu penuh bahaya."

"Dan menganjurkan supaya cici Ing membatalkan rencana ke Thay-goan!" cepat In Hong menanggapi.

"Bukan begitu." jawab.Kim Yu Ci, "hanya supaya kita berlaku hati2. Syukur kalau kita mengatur rencana bagaimana supaya dapat tiba dikota tanpa harus menghadapi bahaya yang tak perlu."

"Benar, kongcu, terima kasih atas peringatanmu. Tetapi untung di Thay-goan aku kenal dengan beberapa sahabat ayah. Mereka tentu mau membantu usahaku untuk mencari berita tentang keadaan ayah."

"Baiklah," akhirnya Kim Yu Ci menyetujui. Karena dia tadi sudah menyanggupi untuk mengantarkan nona itu maka diapun harus menepati janjinya.

Mereka tinggalkan Wisma Damai. Setelah menjelajah beberapa tempat dan hutan tetapi tetap tak dapat menemukan jejak Tong Kui Tik dan Wan-ong Kui, akhirnya ketiga anakmuda itu turun gunung dan melanjutkan perjalanan menuju ke Thay-goan.

Beberapa jam selelah keberangkatan mereka maka muncullah pemuda nyentrik yang dianggap si Blo'on itu. Dia langsung masuk ke Wisma. "Celaka, mengapa tembok ruang ini jebol?" ia terkejut ketika melihat lubang pada tembok yang disebabkan lontaran peluru Pik-li-tan dari Pa Kim.

"Hai kemanakah orang? itu?" katanya setelah tak melihat barang seorangpun dari rombongan orang yang datang ke wisma itu.

Setelah menuju ke gedung di belakang wisma, ia juga kaget sekali, ""Lho, kenapa bedak dituang ke lantai, gincu diremuk dan toilet kaca dihancurkan! Kurang ajar, siapakah yang mengobrak abrik kamarku ini?"

Ia membayangkan siapakah diantara orang2 itu yang kemungkinan melakukan pengrusakan itu, "Setan, tentulah dara liar itu," akhirnya ia menga rahkan dugaannya pada In Hong.

Setelah membersihkan lantai dan kamar, ia lemparkan diri diatas tempat tidur. Semalam suntuk dia tidak tidur maka dalam beberapa kejab saja dia sudah pulas.

Sore baru dia bangun. Setelah mandi dia duduk di ruang depan, mencari makanan dan minuman, "Celaka, daging rusa bakar yang kemarin itu sudah lenyap. Juga arak wangi yang tinggal dua botol itu habis. Kurang ajar, tentulah mereka yang melalap. Awas, kalau ketemu lagi, budak liar itu tentu kuhajar."

Lagi2 dia marah kepada In Hong karena menuduh tentu dara itu yang menghabiskan persediaan makanan.

"Wah, celaka," ia mengeluh, "mengapa suko tak kembali. Tinggal seorang diri ditempat sesunyi ini, sungguh menjemukan sekali. Apalagi kalau kedatangan orang2 semacam itu, wah, berabe."

la merenung lebih lanjut. Sejak sukonya, Blo'on, turun gunung untuk ikut dalam perjamuan. Jenderal Ko Kiat mengundang tujuh tokoh hitam untuk mengantarkan barang bingkisan kepada jenderai Ui Tek. Kong.

"Ah, mengapa sampai sekarang suko belum pulang?" ia merenung lebih jauh, lalu menghela napas, "Ah, apabila Hui Gong taysu, Ang Bin tojin dan lain2 ketua perguruan berkunjung kemari bagaimana aku harus menghadapi mereka? Kalau mengatakan suko pergi, mereka tentu kuatir dan mencarinya. Namun kalau aku menyaru sebagai suko seperti yang kulakukan tadi waktu menerima rombongan orang2 itu, wah, para cianpwe itu tentu tahu."

Kemudian dia teringat akan peristiwa tadi dan timbullah pertanyaan dalam hatinya, "Mengapa ada orang Boan dan beberapa anakbuahnya yang ditang kemari? Dan mengapa mereka membantu aku karena mengira aku ini suko? Aneh, benar-, aneh. Sejak kapankah suko pernah berhubungan orang Boan itu?"

Lalu ia membayangkan bagaimana tadi karena kuatir apa yang dikatakan orang Boan itu bahwa makam suhunya ( Kim Thian Cong ) mungkin akan dibongkar orang, ia lalu lari menuju ke makam. Dan ternyata di makam itu memang tampak seorang lelaki berpakaian hitam sedang menggali makam dengan menggunakan pedang.

"Hai, bangsat, jangan mengganggu makam, ayahku," ia berteriak dan terus menyerang orang itu.

Orang itu lari dan dikejarnya. Ia teringat bahwa lari orang itu lak berapa cepat. Asalkan tambah gas lagi, tentulah dapat ditangkapnya. Tetapi apa yang terjadi? Betapapun ia berusaha untuk menambah cepat larinya, tetap saja jarak dengan orang itu tak berobah. Ia tetap tiga tombak dibelakang orang itu. Pada waktu ia kendorkan larinya, orang itu pun lambatkan larinya dan bahkan berpaling kebelakang dan berteriak mengejek, "Hayo, kejarlah aku kalau mampu."

Saat itu ia panas sekali. Kalau belum dapat menangkap orang itu tak mau pulang, pikirnya. Tetapi kenyataannya memang berlainan. Walaupun dia setengah mati mengejarnya tetap tak dapat mendekati orang itu. Semalam suntuk dia mengejar orang itu sehingga tak tahu sudah berapa jauhnya. Akhirnya ia kehabisan napas ketika hari sudah mulai terang tanah. Terpaksa dia berhenti dan beristirahat dibawah pohon.

"Hai, celaka!" tiba2 dia tersentak kaget ketika teringat sesuatu, "jelas aku terkena siasat mereka yang disebut ' memancing harimau tinggalkan sarang’. Aku dipancing supaya mengejar orang itu dan kawan orang itu akan mengobrak-abrik rumah "

Segera ia lari pulang. Tetapi tiba di Wisma Damai sudah tengah hari. Rombongan Kim Yu Ci dan kedua gadis itu sudah turun gunung. Dengan demikian dia tak dapat berjumpa dengan seorangpun juga.

Sebenarnya orang yang mempermainkannya itu tak lain adalah anakbuah pangeran Barbak. Barbak sudah mengatur siasat sedemikian rupa. Dia hendak memojokkan Blo'on sehingga kaum persilatan golongan hiap-gi atau ksatrya menyangka Blo'on sudah menyeberang dan bekerja pada kerajaan Ceng.

Pok Tian seorang tokoh hitam yang bergelar Ang-eng-cu atau si Bayangan merah, memiliki ilmu kepandaian lari cepat yang luar biasa. Memang ilmusilatnya tak berapa tinggi tetapi ilmu larinya, jarang terdapat tandingannya dalarn dunia persilatan. Ang-eng-cu itulah yang dipakai Barbak untuk mengoda Blo'on. Dipesannya Ang-eng-cu supaya jangan lari jauh.

"Tunggu setelah aku datang, aku pura2 akan memukulmu sehingga si Blo'on berterima kasih kepadaku dan mau bersahabat dengan aku," demikian rencana yang dikatakan Barbak kepada si Bayangan-merah itu.

Memang si Bayangan Merah melaksanakan perintah tuannya. l'etapi sampai tigapuluh li jauhnya belum juga tampak Barbak muncul. "Celaka, pikirnya. Kalau dia berhenti tentu diserang si Blo'on. Maka terpaksa ia lanjutkan larinya dan tak terasa telah berlari sejauh seratusan li.

Demikian juga dengan Barbak. Setelah meninggalkan wisma, dia hendak menyusul Blo'on Waktu lewat di  makam Kim Thian Cong, dia terkejut melihat seorang pemuda sedang berlutut didepan makam itu. Mengira kalau Blo,on yang bersembahyang itu dia terus menghampiri dan menepuk bahunya. Sungguh tak pernah diduganya bahwa yang berlutut itu bukan Blo'on melainkan Kim Yu Ci. Dia tak kenal siapa Kim Y u Ci apalagi Kim Yu Ci tak mau membentahu siapa namanya. Akhirnya keduanya bertempur dan karena terluka. Bahlan lalu menggunakan peluru berasap untuk melarikan diri.

Sudah tentu kedua peristiwa itu, si Blo'on tak tahu. Dan dia hanya membayangkan kalau dirinya telah disiasati lawan yang tak dikenal. Dugaan itu makin diperkuat, ketika pulang ke rumahnya kamarnya diobrak-abrik orang.

"Wah, kalau begini naga-naganya, aku bisa celaka. Siapa tahu nanti malam atau besok akan datang lagi rombongan orang Boan yang hendak menghancurkan tempat ini dan menangkap aku,” pikirnya makin lanjut. Akhirnya ia memutuskan, "Ah, kalau begitu lebih baik aku menyusul suko saja. Sekali dayung dua tepian. Aku dapat menghindari bahaya ditempat ini dan dapai membantu suko apabila dia menderita bahaya."

Ia segera membuka pakaian dan menghapus . bedak pada mukanya lalu mencabut kulit tipis yang membungkus kepalanya, "Sialan benar jadi Blo'on itu !"

Seketika berobahlah Blo'on itu menjadi seorang gadis yang cantik. Gadis itu tak lain adalah! Liok Sian Li,  sumoay dari Blo'on. Dia memang yang mengatur rencana. Setelah menganjurkan Blo’on menuju ke Ci-ciu untuk merebutkan pekerjaan dari ketujuh tokoh hitam itu, sedang Sian D sendiri tetap tinggal di gunung. Dan dia larang keluar." Untung sejak itu tak ada ketua perguruan yang datang menjenguk ke Giok-li-nia.

Waktu rombongan Tong Kui Tik datang, Sian Li sudah siap2 menyamar sebagai Blo'on. Agar jangan sampai ketahuan, maka sengaja wajahnya dilumuri bedak yang tebal. i

Demikian setelah kembali sebagai seorang gadis lagi, dia terus turun gunung untuk menyusul Blo'on.

Ketika tiba dilembah yang memisahkan puncak Giok-li- nia dengan lain puncak, dia terkejut karena mendengar suara orang menghela napas. Saat itu suasana amat sunyi sehingga suara helaan napas yang'terbawa angin itu dapat didengarnya.

"Ah, siapa ?" fa hentikan langkah dan melongok kebawah jurang yang curam sekali. Ia tak melihat sesuatu kecuali sebatang pohon siong yang kebetulan nyangkol tumbuh di tengah dinding jurang. ' "Hai, siapakah yang menghela ' napas itu ?" ia berteriak sekeras-kerasnya. Dari bawah jurang terpantul gema suaranya yang berkumandang keras. Namun tak ada jawaban.

"Apakah didalam jurang ini terdapat orang2 Jawablah, jangan takut. Aku akan menolongmu !" kembali dia berteriak. '

Rupanya kali ini teriakannya berhasil. Sayup2 terdengar suara orang menyahut, "Siapakah anda ini ?"

"Aku orang desa ini. kebetulan lalu disini mendengar suara orang menghela napas. Engkau berada dimana ?" seru Sian Li pula.

Sebagai jawaban, dari belakang batang pohon siong itu muncul sesosok tubuh. Orang itu rupanya dapat melihat Sian Li yang berada di tepi jurang sebelah atas, "O, engkau nona, apakah engkau mau menolong aku ?" teriak orang  itu.

Beda dengan orang, Sian Li yang berada diatas dan melongok kebawah tidak begitu jelas akan orang itu. Maka diapun berseru pula, "Siapa engkau dan mengapa jatuh kedalam jurang ?"

Jawab orang itu, "Tolong usahakan supaya aku dapat naik keatas dulu. Nanti akan kuterangkan segalanya kepada nona."

Siang Li memang berhati welas asih. Dia segera mencari pohon rotan yang banyak tumbuh disekeliling lembah itu. Setelah dipilin menjadi tali maka diturunkan kebawan, ujungnya yang diatas diikatkan pada sebatang pohon besar, "naiklah dengan rotan ini" teriaknya. Akhirnya orang itupun dapat mencapai tepi atas. "terima kasih nona," serta merta dia menjurah menghaturkan terima kasih.

Sian Li terkesiap kaget, "Ah, kiranya orang ini," katanya dalam hati. Namun karena sudah terlanjur menolong, diapun tak mau mencelakainya lagi. Pikirnya, dia tentu tak tahu kalau aku yang menyaru jadi suko Bio'on tadi. Biarlah kuselidiki jebih lanjut, siapa sesungguhnya dirinya itu.

"Ah, tak apa," sahut Sian Li, "mengapa engkau jatuh kedalam jurang

"Aku bertempur melawan seorang imam tua dari Go-bi- pay, kita sama2 jatuh kedalam jurang. Aku beruntung dapat meraih pohon siong tetapi imam tua itu teius meluncur ke dasar jurang.

Entah bagaimana keadaannya, mati atau masih hidup."

Sian-li kerutkan dahi, imam tua dari Go-bi-pay ? Siapa namanya ?" ia teringat akan Hong Hong tojin ketua Go-bi- pay sebagai salah seorang ketua dari tujuh perguruan besar yang bersahabat dengan mendiang suhunya.

"Dia mengaku bernama Hian Hian tojin, suheng dari ketua perguruan Go-bi-pay yang sekarang," jawab Wan-ong Kui. Agar jelas, maka dia pun lalu menuturkan tentang kedatangannya ke Wisma Damai untuk mencari Blo'on sehingga sampai terjadi beberapa pertempuran melawan beberapa musuh yang menjadi kaki tangan kerajaan Ceng.

Hanya satu yang tak dikatakan Wan-ong Kui yalah tentang tujuannya sendiri untuk mencari Blo'on itu. Sian Li ingin bertanya tetapi pada lain saat ia teringat. Kalau dia menanyakan hal itu tentulah Wan-org Kui akan mencurigai dia mengapa bertanya begitu dan mengapa Sian Li tentang persoalan itu ? Terpaksa gadis itu tak jadi bertanya. "Siapakah nona dan mengapa nona sampai ditempat ini ? "Wan-ong Kui balas bertanya.

"Aku ?" Sian Li tertegun sejenak, "aku diutus ketua perguruan Kun-lun-pay untuk menjenguk keadaan Kim Blo'on."

Sian Li sengaja berbohong. Ia tahu maksud, kedatangan Wan-ong Kui itu hendak membuat perhitungan dengan Bio’on karena Blo'on tak mau mengakui kalau puteri baginda Ing Lok dari kerajaan Beng itu calon isterinya.

"Dan apakah nona sudah bertemu dengan Blo'on ?" tanya Wan-ong Kui pula.

"Tidak," kata Sian Li, "kucari keseluruh penjuru, dia tak kelihatan. Tetapi aku beruntung mendapat sepucuk surat dalam laci kamarnya yang mengatakan bahwa dia hendak menuju ke Cociu untuk menghadap jenderal Ko Kiat."

"O," Wan-ong Kui terkejut. Bahwa Sian Li tak dapat bertemu dengan Blo’on, memang mungkin karena saat itu Blo'on terus lari meninggalkan ruang wisma untuk menjenguk makam ayahnya. Tetapi sejak itu Blo'on memang tak muncul lagi.

"Mengapa dia hendak ke Cociu ?" "Entah," jawab Sian Li.

"Lalu apakah nona hendak menyusul ke sana ?" "Ya."

"Ada urusan yang penting ?"

"Akan menyampaikan pesan suhu." "Soal apa ?"

"Maaf, pesan ini hanya boleh didengar Bio;on saja. Aku tak berani melanggar pesan suhu," kata Sian Li. Wan-ong Kui tersipu-sipu. Ia merasa telah kelepasan omong. Mana boleh rahasia perguruan diberitahukan kepada orang luar.

"Maafkan, nona, aku terlalu lancang," katanya kemudian, "tetapi aku juga ingin menemui Blo'on."

"Lho. apakah engkau belum bertemu ?"

"Sudah," sahut Wan-ong Kui, "tetapi sebelum urusan kita selesai, keburu kedatangan beberapa orang  yang dibawa oleh pangeran Barbak yang menurut pengakuannya adik dari panglima Torgun. kepala pasukan Ceng,"

Sian Li tersenyum dalam hati. Ia memang sudah tahu hal itu, "Hm, rupanya dia masih hendak melanjutkan pertempuran itu dengan suko," katanya dalam hati.

"Lalu bagaimana maksudmu?" tanyanya kepada Wan- ong Kui.

"Jika nona tak keberatan, aku ingin bersama-sama mencari Blo'on. Nona mempunyai urusan-dengan dia, akupun juga," kata Wan-ong Kui.

Sian Li tertegun. Apakah ia menerima tawaran itu atau haruskah ia menolaknya ? Kalau menerima berarti ia mengajak seorang musuh untuk mencari sukonya. Tetapi kalau menolak, ia kuatir orang itu akan curiga. Dan bukankah orang itu juga mempunyai kaki untuk secara diam2 mengikuti perjalanannya ke Co-ciu.

"Ah, daripada mempunyai musuh gelap, lebih baik membawa seorang musuh yang terang dan dapat diawasi gerak geriknya. Kalau sampai suko terancam bahaya, aku dapat membunuh orang ini lebih dulu." pikirnya.

"Hm, kalau menilik kepandaiannya bertempur dengan aku tadi, kurasa tak mungkin dia dapat mengalahkan suko," pikirnya lebih lanjut. Setelah mengambil keputusan, iapun menyatakan tak ^ keberatan untuk sama2 menuju ke Co-ciu bersama Wan-ong Kui. Keduanya segera melanjutkan langkah menuju ke Co ciu.

Ai, lakon manusia itu memang aneh. Pertama, Wan- ong Kui bertemu dengan Han Bi Ing. Wan-ong Kui hendak membunuh Blo'on tetapi sebaliknya Han Bi Ing hendak menjumpai Blo'on yang menjadi calon suaminya. Dua orang yang sama tujuan tetapi berlainan maksud sama2 menuju ke puncak Giok-li-nia mencari Blo'on.

Setelah mengalami beberapa peristiwa yang tak terduga, Wan-ong Kui ditolong oleh seorang gadis yang mengaku sebagai anakmurid perguruan Kun-lun-bay. Wan-ong Kui tak tahu kalau gadis yang dihapinya dan menolongnya dari dalam jurang itu tak lain adalah Blo'on palsu yang malam tadi bertempur dengan dia. Lebih tak menyangka dia kalau gadis itu adalah Liok Sian Li, sumoay Blo'on.

Untuk kedua kalinya Wan-ong Kui mengadakan perjalanan dengan seorang gadis lain. Tetapi lelakonnya sirna dengan ketika ia bersama Han Bi Ing. Ia hendak mencari Blo'on karena hendak membunuhnya, tetapi Sian Li Ji hendak mencari Blo'on untuk membantu sukonya.

Memang lelakon di dunia ini serba aneh dan serba tak terduga. Hanya ada sedikit perbedaan antara peristiwa yang ditempuh Wan-ong Kui tadi dengan yang sekarang.

Kalau bersama Han Bi Ing tadi, Han Bi Ing tak tahu kalau Wan-ong Kui hendak membalas dendam kepada Blo'on. Tetapi Wan-ong Kui tahu apa tujuan Han Bi Ing mencari Blo'on.

Sekarang Wan-ong Kui berbalik yang tahu siapa sesungguhnya Sian Li itu dan apa tujuannya mencari Blo'on. Sebaliknya Sian Li tahu jelas siapa Wan-ong Kui itu dan apa maksudnya hendak mencari Blo'on.

Kini diantara orang2 yang mendaki ke puncak Giok-li- nia hanya tinggal Tong Kui Tik seorang yang belum ketahuan bagaimana nasibnya. Memang jago tua bersama lawannya, pertapa Suto Kiat. belum dapat diketahui bagaimana keadaannya dan saat itu berada dimana. 

Sebenarnya In Hong bingung dan sedih sekali karena tak dapat menemukan engkongnya. Tetapi karena dihibur Han Bi Ing demikian pula Kim Yu Ci, hati dara itupun agak tenang.

''Orang yang baik tentu akan dilindungi Thian," kata Han Bi lng.

Sekarang marilah k'ta ikuti perjalanan pendekar yang- mengangkat diri sebagai pendekar Huru Hara.

Setelah marah2 dan ngamuk di markas jenderal Ko Kiat karena jenderal itu menipunya, mengatakan kalau barang antaran kepada jenderal Ui Tek Hong itu barang yang berharga, tetapi ternyata hanya peti berisi tanah, pendekar Huru Hara merasa dipermainkan.

Dia tak sudi menerima upah dari jenderal itu. Bukan upah yang diharapkan tetapi suatu penghargaan. Masakan peti berisi tanah disuruh, mengantar kepada seorang jenderal? Bukankah berbahaya sekali kalau jenderal Ui sampai membuka isinya. Kalau tidak dihukum potong leher, paling tidak dia tentu akan menerima hukuman dicambuk sampai ratusan kali.

"Pantat masih berguna sih, mengapa akan dimakan cambuk," pendekar Huru Hara, manusia yang nyentrik, bersungut-sungut. Itulah sebabnya dia ngamuk pada jenderal Ko Kiat. Memang lucu dan mengherankan kedengarannya bagaimana dia yang hanya ditemani oleh seorang kakek pendek, dapat menggegerkan markas .kediaman seorang jenderal. Tetapi kenyataan memang begitu. Berpuluh-puluh prajurit pemanah yang diperintahkan jenderal Ko Kiat untuk membunuh Huru Hara, ternyata tak mampu mengapa-apakan pendekar nyentrik itu.

Setelah keluar dari markas kediaman jenderal Ko Kiat, pendekar Huru Hara dan kakek Cian-li-ji disambut pengemis sakti Wi sin-kay yang memang menunggu di luar gedung.

Setelah menceritakan semua yang dialami dalam gedung kediaman jenderal Ko Kiat, pendekar Huru Hara menutup ceritanya, "Ah, andaikata tak mengingat bahwa jenderal Ko Kiat itu seorang panglima pasukan kerajaan Beng yang saat ini masih dibutuhkan tenaganya untuk menghadapi serangan pasukan Ceng, dia tentu sudah kugantung."

Wi Sin-kay tertawa, "Hian-tit, engkau ini sepintas memang tampak aneh dan kadang, maaf, blo'on. Tetapi engkau mempunyai peribadi yang aneh dan hati yang baik, pikiran yang bijaksana."

Pendekar Huru Hara menjawab. "Ah, janganlah cianpwe memuji aku begitu muluk. Apa sih aku ini, hanya seorang pemuda yang gendeng."

Wi sin-kay tertawa. "Ai, aku justeru senang bersahabat dengan oiang2 seperti hian-tit dan paman Cian-li-ji. Kata orang, ksatrya senang pada ksatrya, burung merpati berkelompok dengan burung merpati. Begitu juga kita ini. Aku sendiri juga orang sinting, tentu suka kumpul dengan orang gendeng dan kakek yang tak waras pikirannya, ha..ha, ha. " "Wi cianpwe, engkau tentu luas hubunganya dan banyak pengalaman. Bagaimana ya kira2 jalan yang terbaik untuk mencari Bu Te sin-kun itu?" tanya pendekar Huru Hara.

"Apakah hian-tit sungguh2 bertekad hendak menantangnya?" tanya Wi sin-kay.

"Ya."

"Tetapi dia memang seorang tokoh yang misterius dan luar biasa kepandaiannya. Kata beberapa tokoh yang pernah berhadapan dengan dia, Bu Te sin-kun itu memiliki hampir semua ilmu istitnewa dari ketujuh perguruan besar dalam dunia persilatan. Hal itu memang mengherankan sekali."

"Biarlah, cianpwe,"' kata pendekar Huru Hara, "yang penting kita coba saja dulu. Karena kalau kita terlalu mendengarkan kabar.' orang, be-]um2 kita sudah kalah sebelum bertanding."

"Benar," teriak kakek pendek Cian-li-ji, "kolesom di dunia ini banyak yang lezat dan berkhasiat tetapi masih ada yang lebih unggul lagi yaitu keluaran negen Ko-li-kok. Demikian pula dengan ilmu kepandaian orang. Yang tinggi masih ada yang lebih tinggi lagi. Jangan takut, hian-tit, selama pamanmu Cian-li-ji masih mendampingi engkau, Bu Te sin-kun tentu dapat kita bekuk."

"Hiantit," kata Wi sin-kay, "apakah engkau tak mendengar gerak gerik jenderal Ko Kiat ?"

"Tidak," sahut pendekar Huru Hara," gerak geriknya yang bagaimana ?"

"Menurut beberapa anakbuah Kay-pang yang memberi laporan, aku mendapat berita bahwa di -samping mengirim engkau untuk mengantar barang bingkisan kepada jenderal Ui Tek Kong, jenderal Ko Kiat juga suruh seorang yang bernama Yap Hou untuk mengantar suatu barang ke Lam- kia."

"Yap Hou ? Rasanya aku pernah dengar nama itu ?" pendekar Huru Hara merenung. Sesaat kemudian da berseru, "O, tentu dia. Pemuda yang menyerahkan enam butir kepala dari tokoh-hitam yang menerima undangan dari jenderal Ko Kiat. Waktu itu kudengar jenderal Ko Kiat berbisik kepadanya dan Yap Hou yang semula ngotot dengan aku tentang siapa yang berhak dianggap sebagai orang yang dapat mengalahkan ketujuh benggolan, tiba2 sikapnya berobah tenang.""

"Apakah hiantit tahu siapakah Yap Hou itu?" tanya pengemis Wi- sin-kay pula.

Pendekar Huru Hara gelengkan kepala.

"Menurut keterangan dari beberapa tokoh persilatan, Yap Hou itu adalah murid tak resmi dari Bu Te sin-kun."

"Bagus!" teriak pendekar Huru Hara serentak, "tetapi apa yang dimaksud dengan murid tak resmi itu?"

"Entah karena apa dan dalam hubungan bagaimana, Bu Te sin-kun telah memberi pelajaran ilmusilat kepada Yap Hou. Oleh karena sebelumnya Yap Hou itu juga sudah memiliki ilmusilat yang tinggi maka agar tidak dicela oleh gurunya ' yang dulu, antara Bu Te sin-kun itu tidak ada ikatan guru dengan murid. Tetapi kenyataannya, Bu Te sin- kun memang menurunkan beberapa macam ilmusilat sakti kepadanya."

"O," desuh pendekar Huru Hara, "biar bagaimana Bu Te sin-kun tentu akan membela Yap Hou apabila Yap Hou sampai dicelakai orang."

"Ya, tentu," sahut Wi sin-kay, "dan kebetulan saat ini Yap Hou sedang dalam perjalanan ke Lam-kia. Jika kita dapat menyusul dan menangkapnya, tentulah Bu Te sin-kun akan muncul untuk menolongnya."

"Bagus, Wi cianpwe," sambut pendekar Huru Hara dengan gembira, "akan kubekuk dulu si Yap Hou itu, agar Bu Te sinkun muncul tapi bagaimana kalau dia tak muncul karena mendengar berita itu?"

Wi sin-kay tertawa, "Hal itu serahkan saja kepadaku. Aku mempunyai anakbuah yang tersebar luas dimana- mana. Akan kuperintahkan mereka supaya menyiar-luaskan peristiwa itu. Masa kita takut kalau Bu Te sin-kun takkan mendengar dan takkan segera muncul mencari kita?"

"Terima kasih Wi cianpwe." seru pendekar Huru Hara, "sebenarnya aku tak berminat hendak adu kesaktian dengan Bu Te sin-kun. Dia sakti biarkan saja. Tetapi karena dia telah merampas mustika Giok-say itu, terpaksa aku harus berusaha merebutnya kembali."

"Benar, hiantit," sambut Wi sin-kay, "apabila berhasil menemukan Giok-say dan mendapatkan harta karun itu, wah, sungguh suatu bantuan besar bagi perjuangan para ksatrya dalam gerak nya menentang penjajah Ceng."

Mereka bertiga segera berangkat.

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar