Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 09 Eh, ketemu lagi.

Jilid 09 Eh, ketemu lagi.

Memang Ko Cay Seng lak menyangka kalau dia harus memeras tenaga untuk menghadapi serangan sepasang ilmupedang dari kedua lawannya. Ilmu pedang Peh-hoa- kiam secara tak terduga, merupakan pasangan yang sesuai dengan ilmupedang Song-ou-tiap-kiam. Sepasang ilmupedang itu ternyata dapat saling mengisi kekurangannya.

Sebenarnya Ko Cay Seng memiliki ilmu permainan thiat- pit ( pena besi ) yang hebat. Sepasang thiat-pitnya sekali dimainkan dapat menusuk tujuh buah jalandarah pada tubuh lawan.

Kiu-kiong-sin-pit atau Pit-sakti-sembilan Istana. Yang di maksud dengan istana disini tak lain adalah jalandarah tubuh manusia. Ilmu pit Kiu-kiong-sin-pit itu sebenarnya sekaligus dapat menusuk sembilan jalandarah Kang. Tetapi Ko Cay Seng baru mampu meyakinkan menusuk enam jalandarah. Mungkin dalam dunia persilatan, sudah tak ada lagi tokoh yang mampu memainkan Kiu-kiong-sin-pit sampai tataran yang tertinggi. Bahkan mampu menusuk sampai enam buah jalandarah saja, sudah jarang terdapat.

Karena termakan oleh propokasi In Hong Ko Cay Seng panas hatinya dan sumbar2 dengan tangan kosong dia akan merubuhkan lawan dalan lima jurus. Dia tergelincir dan harus menelan ejekan dari In Hong. Karena tak mau menggunakan senjatanya thiat-pit dan hanya menggunakan jari kedua tangannya untuk menutuk, dia harus hati2, dan tak leluasa bergerak menghadapi pedang Wan-ong Kui  yang tajam luar biasa.

Walaupun ia masih mampu menghadapi kedua anakmuda itu sampai duapuluh jurus dalan kedudukan menang angin, tetapi menurut perjanjian, dia harus menyerah. Lima jurus dengan duapuluh lima jurus, terpaut banyak sekali.

"Bagaimana, mau minta tambah?" In Hong menegas lagi.

Sejenak Ko Cay Seng melirik ke arah pertapa Suto Kiat. Dilihatnya kawannya itu sedang mati-matian menghadapi lawan. Walaupun tidak kalah tetapi juga sukar memang. Iapun menyadari bahwa In Hong itu seorang yang bermulut tajam. Jika ia berkeras melanjutkan pertempuran itu, dia tentu akan diejek habis habisan.

"Hm, aku seorang ksatrya yang memegang janji. Aku bukan takut atau kalah dengan kalian budak2 yang tak ternama, melainkan hanya hendak menetapi janji saja," kata Ko Cay Seng, "tapi ingat, lain waktu kalau bertemu lagi, kalian tentu kucincang."

"Uh, engkau anggap ini daging sapi yang dapat dicincang seperti bakso ?" dengus In Hong, "pergilah, kali ini aku dapat mengampunimu ..."

Ko Cay Seng bersuit nyaring untuk melonggarkan kesesakan dada dan memberi tanda kepada kawannya. Setelah itu dia terus melesat pergi dan dalam beberapa kejap menghilang di balik gerum bui.

Setelah melancarkan serangan dahsyat sehingga dapat mendesak mundur lawan, pertapa Suto Kiatpun terus loncat keluar dan menyusul Ko Cay Seng. Tong Kui Tik duduk pejamkan mata. Melihat itu In Hong menghampiri, "Engkong, engkau bagaimana ?"

Tong Kui Tik mengangkat tangan mengisyaratkan dara itu jangan bicara. Dia sedang menyaIurkan napas memulangkan tenaga.

Sementara itu kedengaran Han Bi Ing menghela napas, "Ah, kalau ayah benar2 sakit, aku dapat menjenguknya. Orang itu sudah kabur, tak ada lagi yang dapat menunjukkan tempat ayah. "

"Ing-moay," kata Wan-ong Kui, "kita dapat pergi ke Thay-goan dan mencari sendiri."

"Tetapi Wan-ong-ko," sahut Han Bi Ing, "menurut kata orang itu, ayah bersembunyi ditempat yang dirahasiakan. Bagaimana mungkin kita dapat mencarinya ?"

"Apakah engkau percaya pada keterangan orang itu ?" balas Wan-ong Kui.

"Surat itu benar tulisan ayah," kata Han Bi Ing.

"Ya, memang," tiba2 terdengar Tong Kui Tik berseru. Ternyata jago tua itu sudah berbangkit dari duduknya. Sebelum In Hong sempat bertanya, dia sudah bicara dengan Han Bi Ing.

"Tong pehpeh," seru Han Bi Ing, "mengapa engkau melarang permintaan ayah supaya aku kembali dengan membawa peti harta itu ?"

"Ayahmu sendiri yang mengatakan." "Ayahku mengatakan ?" Han Bi Ing terkejut.

"Coba engkau ulang apa baris pertama dalam surat ayahmu itu ?" "Ayah menulis . . . 'ah, memang benar kata orang, impian itu' harus dibalik artinya'. Beberapa waktu yang - lalu aku bermimpi dipestakan orang dan dihormati dengan besar-besaran seperti mempelai agung. Tak tahunya, aku harus menderita ke dalam pertempuran. Kemudian aku bermimpi dilempar kedalam sungai dan terdampar di karang sunyi, ternyata aku tertolong ". Maka aku harus

mengakui, bahwa pentafsiran impian itu arus dibalik dengan kenyataannya. "

"Cukup," seru Tong Kui Tik, "berdasarkan itu ayahmu telah memberi isyarat, bahwa segala apa yang ditulis dalam surat itu, bahwa dia telah tolong dan dilidungi oleh pembesar2 kerajaan Ceng, harus engkau balik. Kalau dia mengatakan engkau pulang, jangan engkau pulang. Kalau dia mengatakan supaya engkau membawa peti harta itu, jangan engkau bawa peti itu. "

"Oh, Tong pepeh," serta merta Han Bi Ing memeluk kaki Tong Kui Tik," terima kasih peh-peh. Aku memang buta dan bodoh. Untung peh-peh telah menyelamatkan diriku."

Tong Kui Tik mengangkatnya bangun, "Ya, memang orang harus perlu pengalaman hidup. Yang penting, kita harus cermat dan waspada menghadapi segala apa."

"Wan-ong-ko, ilmupedangmu sungguh indah sekali," tiba2 In Hong berteriak, "apa namanya!

Wan-ong Kui tahu kalau In Hong itu seorang dara yang lincah dan polos bicara. Dia pun mengatakan nama ilmupedangnya.

"Eh, mengapa serasi benar dangan ilmupedangku Sepasang-kupu-kupu ? Seratus bunga mekar dan kupu2 menari-nari, ah " "Tetapi sasteravvan tadi juga sakti. Dia tidak kalah. Hanya karena dia terlalu congkak, dia tak dapat mengalahkan kita dalam lima jurus. Andaikata tidak ada perjanjian itu tentulah kita yang kalan," sahut Wan-ong Kui.

In Hong mengangguk, "Ya, benar. Walaupun hanya duapuluh lima jurus, tetapi dia dapat menghadapi serangan pedang kita berdua dengan tangan kosong. Engkong, siapakah sasterawan itu.”

Tong Kui Tik gelengkan kepala, "Dalam ke sempatan melirik keadaanmu tadi, dia menggunakan dua buah jari tangan kanan dan kirinya untuk menutuk pedangan. Jelas dia tentu seorang ahli tutuk yang lihay. Tetapi aku tak kenal."

"Dia adalah Kiu-kiong-thiat-pit Ko Ca Seng," tiba2 Han Bi Ing berseru.

Sekalian orang terkejut. In Hong cepat bertanya, "Bagaimana cici tahu? Bukankah tadi cici mengatakan tak kenal dengan orang itu?"

"Ayah pernah menyebut namanya tetapi aku memang belum pernah tahu orangnya," jawab Han Bi Ing.

"O, Kiu-kiong-thiat-pit? Kiu-kiong itu artinya sembilan istana. Dan thiat-pit adalah pena besi. Apa artinya?"

"Ayah mengatakan bahwa Kiu-kiong-thiat-pit Ko Cay Seng itu seorang ahli tutuk jalandarah yang sakti," kata Han Bi Ing.

"Benar," sahut Tong Kui Tik, "sekarang aku ingat. Empatpuluh tahun yang lalu, dunia persilatan mengenal seorang tokoh termasyhur bernama Ko Sam Hiap bergelar Kiu-kiong-thiat-pit. Dengan sepasang pena besi dia dapat menutuk sembilan buah jalandarah ditubuh lawan. Kiu- kiong bukan sembilan istana tetapi sembilan buah jalandarah manusia."

"Jika begitu mungkinkah sasterawan tadi putera dari Ko Sam Hap itu?" tanya In Hong.

"Mungkin saja, mengingat dia juga orang she Ko. Sedangkan Ko Sim Hiap sudah berpuluh-puluh tahun tak terdengar beritanya lagi. Kabarnya dia sudah mati," kata Tong Kui Tik lalu beralih kepada cucunya, "Hong, mengapa engkau tak dapat merobah watakmu?"

"Watak yang bagaimana, engkong?"

"Suka mengolok-olok orang. Untung sasterawan tadi sombong, kalau tidak, andaikata dia marah dan menyerangmu dengan senjata thiat-pit, apakah engkau mampu melawan?"

In Hong tertawa mengikik, "Jelek2 begini aku dapat mengenal watak orang, engkong. Kalau berhadapan dengan seorang lawan yang serius dan cerdik, aku tak berani menggodanya. Tetapi kalau dia sombong seperti sasterawan tadi, tentu akan kupancing kemarahannya supaya dia panas hati, sumbar dan lengah, hi, hi, hi "

Tong Kui Tik hanya geleng2 kepala. Kemudian dia bertanya kepada Han Bi Ing kemana tujuannya.

"Tong pehpeh," kata Han Bi Ing, "menilik surat itu memang tulisan ayah, tentulah ayah masih hidup. Maka kupikir aku hendak menuju ke Thay-goan saja untuk mencari ayah."

"Jangan," Tong Kui Tik gelengkan kepala, "ayahmu jelas tak menghendaki hal itu."

"Tetapi pehpeh," bantah Han Bi Ing, "bukankah dia akan menderita tanpa ada yang dapat memberi pertolongan? Kalau dia masih hidup, jelas dia tentu ditawan orang2 Ceng."

"Kutahu ayahmu seorang yang cerdik. Dia tahu kerajaan Ceng membutuhkan orang2 berilmu tinggi seperti dia. Walaupun ditawan tetapi dia tentu belum sampai disiksa. Untuk sementara ini dia tentu tak menderita suatu apa, kecuali hanya kebebasannya yang dirampas."

"Lalu aku harus bagaimana, Tong pehpeh?" "Laksanakan perintah ayahmu semula." "Menuju ke Lou-hu-san?"

"Ya."

"Tetapi pehpeh. Aku tak mau bersenang-senang diri sendiri kalau ayah sampai menderita."

"Kim tayhiap itu dulu pemimpin dunia persilatan. Puteranya tentu kenal dengan berbagai ketua perguruan maupun tokoh2 ternama. Kalau putera Kim tayhiap meminta, tentulah mereka akan membantu untuk membebaskan ayahmu."

"Benar, Ing-moay," kata Wan-ong Kui, "apa yang dikatakan Tong lopeh itu memang benar. Nanti setelah tiba disana, kita dapat mencari daya untuk menolong ayahmu."

Han Bi Ing mengangguk.

"Engkong, mari kita ikut mengantar cici Ing. Bukankah dulu waktu pemakaman Kim tayhiap, engkong tak dapat hadir. Nah, engkong dapat meminta maaf kepada  puteranya itu," seru ln Hong.

"Apa engkau tak jadi mencari nenek-gurumu?" "Bukankah engkong mengatakan bahwa putera Kim tayhiap itu tentu kenal dengan tokoh2 persilatan. Bukankah kita dapat menanyakan diri nenek-guru kepada mereka?"

Tong Kui Tik diam tetapi akhirnya dia menyetujui juga. Demikian mereka berempat segera melanjutkan perjalanan ke Lou-hu san.

Disepanjang perjalanan tak ada peristiwa yang penting, Hanya hubungan antara Wan-ong Kui dengan Han Bi Ing maupun In Hong, makin akrab. Lucunya, Wan- ong Kui dapat merasakan, bahwa kedua gadis itu seolah-olah terlibat dalam persaingan untuk mendekati dia. 

"Celaka," diam2 Wan-ong Kui mengeluh dalam hati, "kalau saja mereka tahu aku ini siapa, uh. "

Beberapa hari kemudian tibalah mereka di-tempat tujuan. Gunung Lou-hu-san mempunyai beberapa puncak. Tempat kediaman Kim Thian Cong di puncak Giok-li-nia.

Makin dekat dengan tempat yang dituju, makin teganglah hati Wan-ong Kui dan Han Bi Ing, Hanya saja ketegangan mereka itu tidak sama bahkan saling bertentangan.

Han Bi Ing gelisah membayangkan bagaimanakah kiranya putera Kim Thian Cong itu. Adakah dia seorang pemuda yang cakap dan berbudi halus seperti Wan-ong Kui? Adakah pemuda itu nanti mau menerimanya sebagai isteri? Adakah .... adakah .... banyak nian pertanyaan adakah yang menghuni dalam benak si jelita itu.

Sedangkan Wan-ong Kui mempunyai lain renungan. Ia merenungkan tentang peristiwa beberapa tahun yang lalu dengan putera Kim Thian Cong yang bernama Blo'on. Ia gemas dan merasa terhina sekali atas tindakan Blo'on kepadanya. Jika Blo'on mau minta maaf dan mengakui kesalahannya serta bersedia melanjutkan lagi ikatan itu, dia

. .. dia dapat mengampuni. Tetapi kalau pemuda itu berkeras kepala menolak, dia tetap akan membunuhnya.

"Ah, kasihan Han Bi Ing, dia akan menjadi janda. Tetapi apa boleh buat," akhirnya ia meneguhkan rencana dalam hatinya.

Sayup2 tampak genteng warna merah dari sebuah bangunan yang berdiri di puncak Giok-li-nia, Makin lama merekapun makin mendekati bangunan itu.

"Ah, putera Kim tayhiap itu tentu sudah besar," kata Tong Kui Tik.

"Engkong, apakah engkau kenal padanya ?" Tong Kui Tik gelengkan kepala.

Tak berapa lama merekapun melihat sebuah bangunan rumah gedung besar. Diatas pintu rumah itu tergantung sebuah papan bertuliskan Wisma Damai.

Saat itu hari sudah menjelang petang. Kabut malam mulai bertebaran menimbulkan hawa dingin.

"Ai, aneh benar pemuda itu. Masakan krasan tinggal ditempat gunung yang begini sunyi senyap," gumam In Hong.

Pintu gedung itu tidak tertutup dan mereka pun melangkah masuk. Tetapi keadaannya sunyi senyap tiada tampak barang seorangpun juga. Bahkan perabot di ruang itu juga amat sederhana, hanya seperangkat meja kursi. Satu-satunya perhiasan hanya sebuah lukisan seorang lelaki yang cakap dan berwibawa. Lukisan itu tertempel pada din- ding dan didepannya terdapat sebuah meja dari sebuah hio- lou atau tempat dupa. Dua batang dupa masih menyala mengemelutkan asapnya yang harum. "Ah, Kim tayhiap," seru Tong Kui Tik seraya menghampiri ke muka meja dan membungkukkan tubuh memberi hormat dengan khidmat.

"Hong, ayo haturkan hormat kepada Kim tayhiap," serunya.

In Hongpun segera melakukan perintah Wan- ong Kui dan Han Bi Ing juga ikut memberi hormat.

Diam2 Han Bi Ing memperhatikan gambar besar pada dinding itu. Seorang lelaki yang berumur setengah baya. Wajahnya cakap, mata dan sepasang alisnya yang lebat, menampilkan kewibawaan dan keperibadian yang kuat. Diam-diam ia membayangkan bahwa putera Kim Thian Cong tentu juga memiliki keperibadian seperti ayahnya.

"Ah, hidup manusia itu memang seperti bermimpi. Sejak berpisah dengan Kim tayhiap pada tigapuluh tahun berselang, aku tak dapat bertemu lagi dengannya untuk selama-lamanya. ," Tong Kui Tik menghela napas.

"Macan mati meninggalkan kulit, manusia mati meninggalkan nama. Walaupun sudah meninggal tetapi nama Kim Thian Cong akan tetap di kenang untuk selama- lamanya. Hong, ingatlah, engkau harus hati2 menjaga nama," kata Tong Kui Tik pula.

"Tetapi engkong, aku kan hanya seorang anak perempuan "

"Jangan mempunyai pikiran begitu, Hong," sahut Tong Kui Tik, "bukankah nama Hoa Bok Lan tercatat sebagai serikandi yang takkan terlupa sepanjang jaman ?"

"Ah, engkong, mana aku mampu menyamai Hoa Bok Lin ?" "Itulah," seru Tong Kui Tik," ibarat orang bertanding, engkau sudah kalah sebelum bertanding. Engkau telah memperkalahkan dirimu sebelum engkau berusaha. Itu anggapan salah, Hong. Setiap orang harus jangan merasa dirinya sudah kalah tetapi harus memiliki pendirian bahwa apa yang lain orang mampu, kitapun dapat melakukan juga."

"Ah, lain kata lain kenyataannya, engkong," bantah In Hong.

"Nah, itu yang disebut 'kalah sebelum bertanding'. Karena merasa sudah kalah, maka engkaupun lemas tak bersemangat lagi untuk berusaha. Itu salah," kata Tong Kui Ttk, "jangan mempunyai anggapan begitu tetapi berusaha dan berjuanglah. Soal berhasil atau gagal tidak akan mengurangi nilai daripada perjuanganmu yang engkau lakukan dengan sungguh hati. Bukankah dewasa ini negara sedang terancam musuh dari luar ? Nah, inilah kesempatan yang baik bagaimu untuk berjuang."

Sementara engkong dan cucunya itu sedang tukar pembicaraan, Wan-ong Kui juga mempunyai kesan sendiri terhadap gambar dari Kim Thian Cong. Ia menghela napas dalam hati. Dia sendiri tak tahu apa arti daripada helaan napas itu.

"Hai siapakah yang mengganggu ketenangan ruang sembahyang ini !" tiba2 terdengar suara orang berseru tak senang.

Tong Kui Tik dan ketiga pemuda serempak berpaling kearah suara itu. Seorang pemuda yang bertampang cakap dan halus masuk ke dalam ruang itu. Mereka tertegun ketika pemuda itu tiba dihadapan mereka.

Pemuda itu nyentrik sekali. Mukanya putih karena dilumuri bedak. Memakai kopiah kepala dari kain tetapi sampingnya diberi dua buah lubang. Dari kedua lubang itu mencuat keluar seuntai rambut seperti kuncir, mengenakan celana hitam dan baju merah.

Han Bi Ing terbeliak, Wan-ong Kui melotot dan In Hong mendelik. Hanya Tong.Kui Tik yang tenang2 memberi salam, "Maaf, kami telah lancang masuk kedalam ruang ini."

"Hm. mau apa kalian datang kemari ?" tegur pemuda berkuncir itu.

"Maaf boleh kami tahu siapakah anda ini ?" kata Tong Kui Tik.

"Aku yang bertanya dulu !" seru pemuda itu.

"O. kedatangan kami ini hendak mohon bertemu dengan Kim kongcu."

"Siapa Kim kongcu itu ?"

"Putera Kim Thian Cong tayhiap."

"Apa engkau belum kenal dengan pemuda itu ?" "Belum."

"Aneh," gumam pumuda nyentrik, "kalau belum kenal mengapa hendak bertemu.

Tong Kui Tik terkesiap. Ia heran melihat sikap dan bicara pemuda itu. Sebelum ia menerangkan lebih lanjut, In Hong sudah tak kuat dan menyelutuk, "Mengapa aneh ? Ini kan bukan urusanmu. Siapa engkau ? Lekas panggilkan Kim kongcu"

"Ini bukan hotel dan aku bukan jongos, mengapa engkau memberi perintah seperti tuan-besar saja !" balas pemuda nyentrik itu. Tong-Kui Tik tahu bagaimana perangai cucunya. Untuk menghindari ramai2, buru2 dia berkata, "Hong, tak boleh kurang sopan. Kita ini tetamu."

"Ya tetapi dia bicaranya seperti cuka !'

"Kailau enigkau diperlakukan tak sopan oleh orang, yang malu bukan engkau tetapi orang itu,” kata Tong Kui Tik lalu berpaling kepada pemuda nyentrik itu, "Maaf, sekali lagi kami hendak mohon bertemu dengari putera Kim tayhiap. Kami datang dengan membawa persahabatan dan kedamaian."

"Ada beperluan apakah anda hendak bertemu dia ?"' "Ajakah perlu harus diterangkan ?

"Ya."

"Mengapa ? Bukankah nanti apabila bertemu dengan Kim kongcu akan dapat mengatakannya ?"

"Setiap orang yang hendak bertemu harus lebih dulu memberitahu keperluannya."

Tong Kui Tik tertegun. Tiba2 Wan-ong Kui maju, tegurnya, "Siapa engkau?"

"Engkau lihat aku ini siapa ?" "Kim Bloon !"

Pemuda nyentrik itu tidak kaget tetapi tenang-tenang berkata, "Bagaimana engkau tahu ?"

"Itu bukan urusanmu," balas Wan-ong kui. "Siapa engkau ?"'

"Engkau lihat aku ini siapa ?" Wan-ong Kui balas menirukan gaya pemuda nyentrik tadi.

'"Setan !" Wan-ong Kui terus hendak memukul. "Eh, mau pukul-pukulan atau mau bertamu!" bentak pemuda nyentrik itu.

"Engkau menghina aku !"

'"Engkau suruh aku melihat dirimu dan aku mengatakan keadaan yang sebenarnya. Mengapa engkau marah!"

"Wan-ong siau-heng, harap sabar," seru Tong Kui Tik, "engkau bilang dialah putera Kim tay hiap itu ?"

"Siapa lagi kalau bukan pemuda macam begitu !" Wan- ong Kui menggeram.

"Benarkah engkau putera Kim tayhiap ?"

"'Ya, ampuuuun. ," tiba2 In Hong melengking.

"Ohhhh," Han Bi Ing mendesuh.

In Hong benar2 tak menyangka bahwa putera seorang pendekar besar seperti Kim Thian Cong ternyata seorang pemuda yang blo'on.

Han Bi Ingpun seperti diguyur air es. Pemuda yang dibayangkan tentu miliki sifat2 seperti gambar Kim Thian Cong ternyata seperti seorang badut. Rambutnya dibelah menjadi dua untai kuncir dan mukanya berbedak tebal seperti badut. Ah, apakah dia harus jadi isteri pemuda semacam itu…."

"Wan-ong-ko……,” tak terasa Han Bi Ing mengeluh pada pemuda cakap itu.

"Eh, apa-apaan itu, ya ampun ? Engkau minta ampun kepada siapa ?" tegur pemuda nyentrik yang mengaku sebagai putera Kim Thian Ceng.

"Hong, sudahlah," cepat Tong Kui Tik mencegah cucunya bicara. Lalu dia berseru kepada pemuda nyentrik itu, "O, sutit, engkau sudah begini besar," dia terus hendak memeluk pemuda itu, Tetapi pemuda itu menyurut mundur.

"Eh, nanti dulu, siapa engkau, aku belum kenal, jangan main peluk saja !" serunya.

Tong Kui Tik menerangkan bahwa dia sahabat Kim Thian Cong yang sudah tigapuluh tahun tak berjumpa, "Kim sutit, aku sungguh menyesal dan minta maaf karena tak dapat menghadiri upacara pemakaman ayahmu."

"Tak perlu !"

"Lho, kenapa ?" Tong Kui Tik terkejut

"Kalau mau minta maaf, mintalah kepada arwah ayah, tak perlu kepadaku."

"Eh, engkau kan puteranya."

"Ya, tetapi aku sendiri juga tidak hadir waktu itu."

"Hah ?" Tong Kui Tik terperanjat," engkau tidak hadir dalam upacara pemakaman ayahmu?"

"Sudah kukatakan tidak." "Mengapa?"

"Dia sedang sakit, engkong," tiba2 In Hong menyelutuk.

Dia tak tahan melihat sikap pemuda nyentrik itu. "Sakit apa?" Tong Kui Tik heran.

"Sakit ayan "

"Budak liar, jangan lancang mulut. Aku tidak punya penyakit ayan!" teriak pemuda nyentrik itu.

Mau tak mau Wan-ong Kui tertawa. Diam2 Tong Kui Tik juga geli. "Dia benar, engkau salah, adik Hong," seru Wan-ong Kui.

"Lalu apa penyakitnya?" In Hong masih me nanggapi. "Sinting!"

"Jahanam engkau!" pemuda nyentrik itu rnencak2 karena dimaki sinting, "aku waras, aku tidak sinting!"

"Kalau waras, mengapa engkau seorang pemuda memakai bedak setebal itu?" seru ln Hong.

"Budak perempuan liar, ketahuilah!" seru pemuda nyentrik sambil deliki mata, "disini hawanya dingin dan banyak nyamuk. Kalau malam terpaksa mukaku kubedaki begini. Bedak itu dapat menolak nyamuk dan menahan hawa dingin."

"Kim kongcu, kemana sajakah engkau ketika pemakaman ayahmu itu?'' tanya Tong Kui Tik pula.

"Mengembara."

"Cari cengkerik barangkali ..." tiba2 Iri Hong mengoceh pula.

Sekalian orang tertawa. Walaupun Tong Kui Tik deliki mata kepada dara itu tetapi diam2 dia juga geli.

"Eh, budak perempuan liar, apa engkau kira aku ini anak kecil?" tegur pemuda nyentrik itu.

"Siapa yang bilang engkau anak kecil?"

"Bukankah cari cengkerik itu perbuatan anak kecil?" "Tidak selamanya anak kecil. Orang tuapun dapat juga

mencari cengkerik. Semisal tidak selama yang berbedak itu harus orang perempuan, orang lakipun juga pakai bedak . . .

. " "Budak perempuan, ini tempatku. Kalau engkau terus menerus bersikap liar, tentu akan kuusir dari sini!"

"Ya, ampuuuuun, marah ya?"

"Sudahlah, Hong, jangan kurang sopan," seru Tong Kui Tik lalu berkata pula kepada pemuda nyentrik itu, "Kim kongcu, kedatanganku kemari ini hanyalah perlu untuk menyambangi sahabatku Kim tayhiap. Maukah kongcu menunjukkan dimana makam ayahmu itu?"

"Mau apa tanya makam ayah?"

"Aku hendak berziarah ke sana untuk menghaturkan maaf dan hormatku kepada arwah Kim tayhiap."

"Jangan!"

Tong Kui Tik terbeliak. Aneh sekali pemuda ini, pikirnya. Tetapi dia makin mendapat kesan bahwa putera Kim Thian Gong itu memang agak tidak normal pikirannya. Dia tak marah, kebalikannya malah menghela napas sedih. Sedih atas nasib Kim Thian Cong, seorang pendekar besar yang harum namanya dan diangkat sebagai pemimpin dunia persilatan tetapi mempunyai putera yang tidak waras pikirannya.

"Kim kongcu, mengapa engkau tak memperbolehkan  aku berziarah ke makam ayahmu?" katanya dengan nada masih penuh kesabaran.

In Hong heran. Berulang kali engkongnya menerima kata2 yang menusuk hati dari pemuda nyentrik itu tetapi mengapa engkongnya masih bersabar saja. Ah, In Hong memang tak tahu perasaan hati engkongnya terhadap keluarga Kim Thian Cong.

"Engkau tak tahu," kata pemuda nyentrik itu, "bahwa untuk berziarah ke makam ayah harus ada izin dulu." "Izin? Izin dari siapa?" Tong Kui Tik heran. "Izin dari tujuh perguruan besar."

"Tujuh perguruan besar yang mana saja?"

"Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Hoa-san-pa, Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Kong-tong-pay dan Kay-pang."

"Mengapa harus minta idin kepada ketujuh perguruan besar itu?"

"Karena merekalah yang bertanggung jawab akan keselamatan jenasah ayah."

"Bertanggung jawab atas keselamatan jenasah Kim tayhiap?"

"Ya."

"Aneh," gumam Tong Kui Tik, "apakah jenasah Kim tayhiap pernah diganggu orang?"

"Ya," sahut pemuda yang dianggap sebagai Kim Blo'on putera Kim Thian Cong, "pada waktu hendak dimakamkan, jenasah ayah telah hilang dicuri orang."

"Minta ampuuuuun," kembali In Hong melengking.

"Eh, apa engkau punya sakit jantung, budak liar?" tegur Blo’on kepada In Hong.

"Siapa bilang!"

"Kalau tidak mengapa tiap kali engkau selalu minta ampuuun saja."

"Hi, hik," In Hong tertawa mengikik, "cengkerik di gunung tahunya hanya ngerik saja. Tak tahu kalau di kota ada alat tetabuhan yang sangat merdu semacan harpa. Minta ampuuuun itu adalah istilah baru yang tersebar di kota, menyatakan kalau orang terkejut dan heran melihat sesuatu yang ganjil. Coba saja engkau turun ke kota, tentu setiap orang akan berteriak minta ampuuuuun kalau ketemu engkau !"

"O, jenasah Kim tayhiap pernah dicuri orang? Siapakah pencurinya ?" buru2 Tong Kui Tik mengikat perhatian Blo'on dengan pertanyaan.

"Ah, soal itu panjang sekali kalau diberitakan. Cukup kalau kukatakan bahwa persoalan itu sudah dapat diselesaikan dan jenasah ayah sudah diketemukan dengan selamat. Namun sekalipun begitu, ketua dari ketujuh perguruan besar itu tetap sepakat untuk mengadakan peraturan bahwa barangsiapa yang hendak berkunjung ke makam ayah harus mendapat idin dari mereka."

"Ah, sukar. Perguruan itu tersebar di beberapa tempat yang jarak masing2 amat jauh. Bagai mana mungkin aku hendak memperoleh idin itu?" Tong Kui Tik menghela napas.

"Maka lebih baik kalian lekas tinggalkan tempat ini dan tak perlu harus berziarah kemakam ayah," kata Blo’on.

In Hong marah karena engkongnya secara halus diusir. Tetapi sebelum dara itu sempat membuka suara, Tong Kui Tik sudah berkata lagi, "Masih ada sebuah hal vang ingin kutanyakan kepadamu, Kim kongcu."

"Soal apa?"

"Apakah tak ada ketua dari ketujuh perguruan besar itu yang datang kemari ?"

"Dulu ada," kata Blo'on, "tetapi sekarang jarang." '"Siapa yang datang kemari ?"

"Tak tentu," jawab Blo'on "tetapi yang paling sering adalah Hui Gong taysu dari Siau-lim-si dan Ang Bin tojin dari Bu-tong-pay. Ada kalanya Hong Hong tojin dari Go-bi- pay dan lain2.”

"O, apakah mereka datang sendiri ?"

"Tidak tentu. Ada kalanya hanya mengirim salah seorang muridnya."

"Baik."

"Masih ada pertanyaan lagi ?". "Tidak,"

"Jika begitu, silahkan tinggalkan tempat ini."

"Aku sih sudah tak ada urusan, tetapi Wan ong kongcu ini masih ada," kata Tong Kui Tik.

"Wan-ong kongcu? Kongcu dari mana dia?*

"Ya aku inilah," seru Wan-ong Kui seraya maju selangkah ke muka.

"'O, engkau yang mau marah tadi. Ada keperluan apa engkau kemari ?"

"Dua urusan," sahut Wan-ong Kui, "kesatu, aku mengantarkan nona Han Bi Ing dari kota Thay-goan."

"Dan yang kedua ?'

"Yang kesatu dulu," sahut Wan-ong Kui, "setelah selesai baru kukatakan yang kedua."

"Apa keperluan nona Han Bi Ing datang kemari ?" tanya Blo'on.

"Silakan tanya sendiri kepada nona Han."

Blo'on mengulangi pertanyaannya kepada Han Bi Ing. Nona itu dengan malu2 menyahut, "Aku hendak menyerahkan surat dari ayahku." "O, menyerahkan surat kepada siapa ?"

"Kepada putera Kim Thian Cong tayhiap di puncak Giok-li-nia sini. Apakah engkau benar puteranya ?"

"Engkau anggap aku pantas tidak menjadi putra ayahku

?" balas Blo'on.

"Pantas tak pantas, kalau memang benar puteranya, ya harus tetap puteranya."

"Benar puteranya atau bukan, juga terserah pada anggapanmu sendiri. Kalau engkau menganggap aku putera ayah, memang aku puteranya. Tetapi kalau engkau anggap bukan, ya bukan."

"Aneh," gumam In Hong, "kalau anaknya bilang terus terang. Kalau bukan ya harus bilang secara jujur. Mana pakai anggapan segala."

"Ya," Han Bi Ing menambah, "kalau benar puteranya, bilang putranya. Kalau bukan, ya bilang bukan. Karena surat ini hanya boleh kuserahkan kepada putera Kim tayhiap saja."

"Sudah kukatakan," sahut Blo'on, "terserah engkau mau menganggap aku ini putera Kim tayhiap atau bukan. Demikian pula dengan surat ini. Kalau mau menyerahkan, boleh. Tidak pun tak apa. Aku tak mempunyai kepentingan dengan surat itu."

"Ing-moay," tiba2 Wan-ong Kui menengahi, "dia memang Kim Blo'on putera Kim tayhiap."

"O, pantas, pantas," In Hong berteriak seraya bertepuk tangan.

"Kenapa budak liar !” bentak Blo'on. "Onng menamakan benda atau anak, tentu harus disesuaikan dengan wajudnya. Dan eigkau memang tak mangecewakan dengan namamu itu.”

"Engkau menghina ?"

“Tidak." sahut In Hong yang tajam lidah "aku hanya berkata menurut keadaan yang sebenarnya. Apakah orang seperti engkau harus memakai nama Tay Hong atau pahlawan besar? Kan tidak pantas. Kalau ayahmu .memberi kau nama Blo'on, itu memang tepat sekali."

"Hm, cewek2 semacam engkau memang genit-genit. Tetapi coba saja, pada suatu hari engkau tentu akan menangis."

"Mengapa ?'" In Hong heran.

"Kalau melihat mulutmu yaag tajam, tingkah ulahmu yang liar dan sikapmu yang genit, pemuda mana yang sudi memperisteri engkau? Nah pada saat itulah kelak engkau akan menangisi karena tak dapat jodoh "

"Tutup mulutmu, blo'on sinting!" teriak In Hong dengan merah padam karena malu, "daripa mendapat lelaki semacam engkau, lebih baik aku tak kawin. Hanya gadis yang . . . . " tiba2 ia tak melanjutkan perkataannya karena teringat akan Han Bi Ing. Dia kuatir kata2 itu akan menyinggung perasaan Han Bi Ing.

"Genit, mengapa tak melanjutkan perkataanmu? Gadis yang yang bagaimana, hayo, bilanglah!" teriak Blo'on.

"Gadis yang tak tahu dan tak kenal kepadamu!" dengan lincah dara itu dapat mengalihkan jawabannya.

"Hong, sudahlah, biarkan nona Han Bi Ing melanjutkan pembicaraannya," kata Tong Kui Tik. "Engkau mau menerima surat dari ayahku atau tidak?" rupanya Han Bi Ing jengkel juga melihat tingkah dan ucapan Blo'on.

"Lho, aneh, engkau mau menyerahkan kepadaku atau tidak?" balas Blo'on.

Wan-ong Kui menyambar surat dari tangan Han Bi Ing lalu menyerahkan kepada Blo'on, "Nih, terimalah dan baca apa isinya!'

Dengan santai Blo'on membuka surat itu. Seketika wajahnya mengerut tegang, "Ah, tak mungkin "

“Apa yang tak mungkin?" seru Wan-ong-Kui. Dia sudah tahu persoalannya dan dia mewakili Han Bi lng untuk berbicara dengan Blo'on. Ia tahu sebagai seorang gadis, Han Bi Ing tentu malu untuk mengurus tentang perjodohan dirinya. Apalagi harus otot-ototan dengan seorang pemuda nyentrik seperti Blo'on.

"Siapa Han Bun Liong itu, aku tak kenal." "Dia jelas ayah dari nona ini."

"Terserah dia punya anak siapa. Tetapi aku tak pernah merasa kenal dengan dia, mengapa dia terus berani menetapkan perjodohan ini!''

"Jelas hal itu sudah disetujui oleh kedua orangtua, ayah nona Han dan ayahmu."

" Tanyakan saja pada ayah."

"Engkau gila!" teriak Wan-ong Kui, "bukankah Kim tayhiap sudah meningal dunia?"

"Engkau susul ke akhirat atau tunggu saja kalau ayah kelak menitis kembali." "Kim Blo'on, jangan sembarangan bicara seenakmu sendiri," hardik Wan-ong Kui dengan nada tajam, "ini bukan urusan guyon tetapi mengenai nasib orang."

"Habis, aku harus bilang bagaimana?" seru Blo'on. "Bukankah isi surat itu sudih jelas?"

"Memang jelas," sahut Blo'on, "tetapi aku tak tahu menahu soal itu. Ayah tak pernah bilang apa2 kepadaku."

"Apakah ibumu tak pernah bererita?"

"Ibuku sudah meninggal sejak aku masih kecil."

Wan-ong Kui tertegun. Sesaat kemudian ia berkata pula, "Tetapi engkau harus percaya kepada apa yang dikatakan Han lo-enghiong, ayah nona Han Bi Ing ini. Kalau tak ada persetujuan begitu, masakan dia mau menyuluh nona Han datang kemari."

"Eh, bung, jangan mendesakkan alasan yang tak ada landasannya. Andaikata engkau, apakah engkau terus mau menerima saja hal itu. Engkau belum kenal dengan seseorang, lalu tiba2 engkau menerima suratnya yang menjodohkan puterinya kepada engkau. Apakah engkau terus kontan menerimanya?"

Wan-ong Kui tertegun. Memang pertanyaan Blo'on itu sukar dijawab.

"Han lo-enghiong seorang tokoh yang termasyhur kaya, dermawan dan gagah. Bagaimana mungkin beliau hendak menipu engkau?" bantah Wan-ong Kui.

"Engkau benar," kata Blo'on, "tetapi untuk engkau sendiri. Sedang untuk aku, tidak bisa. Aku belum kenal dengan Han lo-enghiong dan ayahku juga tak pernah mengatakan hal itu. Bagaimana mungkin aku dapat menerimanya begitu saja?" Wan-ong Kui tertegun.

"Ada dua jalan," kata Blo'on lebih lanjut "jika engkau hendak menyelesaikan persoalan ini.”

“Bagaimana?"

"Pertama, aku minta supaya Han lo-enghiong datang kemari untuk memberi kesaksian hal itu. Kedua, harus mencarikan bukti bahwa mendiang ayah, pernah mengadakan persetujuan begitu.

"Kalau salah satu dari permintaanmu dapat kulaksanakan, apakah engkau mau menerima?"

"Itu baru soal resmi atau tak resminya surat itu. Jelasnya, baru suatu bukti tentang terjadi per setujuan antara ajah dengan Han lo-enghiong saja. Soal aku menyetujui atau tidak, masih akan kupertimbangkan lagi."

"Wan ong-ko," teriak Han Bi Ing, "ambil kembali surat itu!"

"Kenapa, Ing-moay?"

"Aku hanya menuruti perintah ayah. Aku tidak akan mengemis belas kasihannya. Bahkan aku berterima kasih karena dia tak mengakui surat itu dan akupun tidak terikat lagi!" kata Han Bi Ing dengan nyaring.

"Baiklah, Ing-moay," kata Wan-ong Kui lalu mengajak sekalian orang keluar.

"Hai, bukankah engkau masih ada urusan lagi dengan aku?"

"Tunggu!" seru Wan-ong Kui, "nanti aku segera kembali kesini lagi." Setelah keluar dari wisma, berkatalah Wan-ong, "Tong lopeh, Ing-moy dan nona In, tolong kalian tunggu disini. Aku hendak menemui Kim Blo'on lagi."

"Lho aneh," seru In Hong, "mengapa kita tak boleh mendengarkan? Apakah rahasia?"

"Ya, anggaplah begitu," Wan-ong Kui berkata dengan nada terpaksa, "nanti setelah selesai, akan ku beritahu kepada kalian." — Habis berkata Wan-ong Kui terus masuk kedalam wisma lagi.

"Engkau mau mengatakan soal yang kedua?" tegur Kim Blo'on.

"Ya," sahut Wan-ong Kui, "tetapi soal ini menyangkut urusan peribadi kita. Kuharap jangan engkau beritahukan kepada siapa juga, tahu?"

"O, ada urusan peribadi? Apakah itu?" Kim Blo'on  heran.

"Bukankah pikiranmu masih waras?" "Apa engkau kira aku ini gila?"

"Baik, dengarkan dan jawablah pertanyaanku ini," kata Wan-ong Kui.

"Hm".

"Beberapa tahun yang lalu, apa engkau masih ingat kalau engkau pernah berkelana?"

“Ya."

"Apa engkau pernah mengobati puteri baginda Ing Lok yang sakit keras itu?"

"Rasanya pernah." "Jangan pakai rasanya. Pernah atau tidak, jawab yang tegas!"

"Ya."

"Engkau dapat menyembuhkan penyakit ki-ongcu ( puteri raja ) atau tidak?"

"Ya, kong-cu memang sembuh."

"Lalu seri baginda Ing Lok mengganjar engkau hadiah apa?"

"Puteri itu."

"Bagus," seru Wan-ong Kui, "siapa nama puteri yang akan dijodohkan kepadamu itu?"

"Eh, mengapa engkau bertanya begitu melilit?" "Jawab!" bentak Wan-ong Kui.

"Aku lupa namanya."

"Gila!"' teriak Wan-ong Kui, "masakan puteri yang hendak dijodohkan kepadamu, engkau tak tahu namanya."

"Eh, soal lupa itu hakku sendiri. Mengapa engkau hendak main paksa mengharuskan aku ingat?"

"Hm," dengus Wan-ong Kui, "engkau menganggap baginda bersungguh-sungguh hendak menganugerahkan puterinya atau hanya sekedar main2 saja?"

"Aku tak memiliki anggapan apa2!" "Apa maksudmu?"

"Baginda mau menganugerahkan puterinya atau tidak, aku tak peduli."

"Tetapi nyatanya puteri itu telah diberikan kepadamu." "Ya." "Mengapa engkau melarikan diri?" "Aku seorang manusia bebas." "Engkau pengecut!"

"Eh, apa katamu?"

"Engkau pengecut! Engkau seorang lelaki yang tak bertanggung jawab."

'"Lho, jangan seenakmu sendiri memaki orang!" "Engkau memang harus dan wajib dimaki!"

"Aku kan tuan dari diriku sendiri. Mengapa aku tak boleh berbuat apa yang kuanggap baik untukku?"

"Benar," sambut Wan-ong Kui, "engkau mau mencebur laut, mau terjun ke jurang, mau minum racun, mau apa saja, itu memang hakmu. Tetapi engkau kan mempunyai tanggung jawab kepada puteri itu, mengapa engkau minggat begitu saja? Engkau telah menghina raja, mempermainkan puteri baginda."

"Lho, aku kan belum resmi menikah tetapi baru akan dinikahkan?" bantah Blo'on.

"Itu kan soal peresmian upacara saja tetapi amanat baginda sudah dikeluarkan, berarti sudah resmi."

Blo'on terkesiap, "Eh, inikah yang engkau maksudkan dengan urusan peribadi itu?"

"Apa lagi kalau bukan begitu." "Lalu bagaimana maksudmu?" "Tergantung kepadamu."

"Aku tidak mengerti omonganmu!" "Engkau mau menerima puteri itu sebagai isterimu atau tidak?"

Blo'on tertawa.

"Mengapa tertawa?" Wan-ong Kui terbeliak.

"Kerajaan Beng sudah pecah. Jangankan puteri bahkan bagindapun sudah wafat. Dalam keadaan dimana nasib seseorang masih belum dapat dipastikan, mengapa harus meributkan persoalan suami isteri?"

"Itu bukan urusanmu, itu urusan seluruh pemerintah dan rakyat kerajaan Beng. Engkau tahu, bagaimana perasaan puteri itu?"

"Siapa yang tahu perasaan orang?"

"Engkau telah membunuh dia. Dia benci dan merasa malu karena sebagai seorang puteri raja, telah engkau permainkan begitu rupa."

Blo'on tertawa ringan, '"Engkau bicara seolah-olah engkau ini puteri itu sendiri "

"Aku utusannya!"

"O, engkau diutus puteri untuk mencariku?" "Ya."

"Untuk apa ?"

"Untuk meminta ketegasanmu. Engkau mau menerima puteri itu sebagai isterimu atau tidak!"

"Kalau menerima, mana puteri itu ?"

"Itu bukan urusanmu. Akulah yang akan membawa puteri itu kesini."

"Kalau aku tidak menerima ?" "Engkau harus mati !"

"Siapa yang membunuh aku ?" "Aku."

"O, engkau hendak membunuh aku ? Enak saja. Apa kaukira aku ini bangsa ayam yang gampang engkau sembelih ?"

"Buktikan saja nanti!"

"Hm," dengus Blo'on, "beginilah sifat manusia itu. Manusia yang berkuasa, menganggap rakyat itu harus tunduk pada perintahnya. Manusia yang tua, menganggap anak itu wajib menurut perintah orangtua. Raja memaksa aku harus menikah dengan puterinya. Tadi Han Bun Liong dari Thay-goan itu juga hendak suruh aku memperisteri anaknya. Katanya sejak kecil sudah dipacangkan dengan aku. Aku ini seperti manusia yang tak boleh memilih jodoh sendiri, tak berhak menentukan pilihanku sendiri. "

"Tidak !" tiba2 Blo'on berteriak. "Hm, engkau menolak ?"

"Engkau hanya seorang utusan. Suruh raja datang sendiri kemari untuk bicara dengan aku."

"Perlu apa ? Pertama, seri baginda Ing Lok sudah wafat. Kedua, pada waktu itu baginda sudah berkenan menurunkan amanatnya mengenal perjodohan itu."

"Itu kan kehendak raja. Semisal dengan surat dari Han Bun Liong tadi. Itu kehendak dia sendiri dan mungkin kehendak orangtuaku. Tetapi semuanya bukan kehendakku."

"Tetapi bukankah waktu itu engkau sudah menerima ?" "Aku belum pernah menyatakan begitu. Seolah-olah aku tak berhak menyatakan pendapat dan harus menerima !"

"Jadi …"

"Tak perlu membicarakan peristiwa itu lagi. Sekarang negara sedang terancam musuh. Mengapa baginda tidak memikirkan bagaimana untuk menghancurkan musuh melainkan mengurus urusan tetek-bengek begini."

Wan-ong Kui terkesiap.

"Aneh, mengapa baginda mengejar-ngejar aku. Pada hal puteri itu cantik. Baginda dapat menikahkan dengan siapa saja, yang lebih cakap lebih pandai dari aku."

"Hm," dengus Wan-ong Kui, "mungkin baginda merasa berhutang budi kepadamu karena engkau dapat menyembuhkan penyakit puteri."

"Aku tak merasa menghutangkan budi kepada baginda. Kalau aku dapat menyembuhkan, itu hanya secara kebetulan saja. Mungkin puteri memang belum takdirnya mati sehingga Thian mengirim aku untuk menolongnya."

"Ah, engkau hendak cari alasan."

'"Sebagai rakyat, akupun wajib memberi bantuan kepada raja sebagai suatu pengabdian, bukan hutarg-piutang budi !"

"Hm, engkau boleh beranggapan begitu," kata Wan-ong Kui, "tetapi akupun harus menunaikan tugas yang diberikan baginda. Kalau engkau menolak, berarti engkau menghina baginda dan puteri raja. Aku diberi kekuasaan penuh untuk membunuhmu sebagai hukuman."

"Soal itu aku minta tempo." "Berapa lama?" "Sampai nanti setelah penjajah Ceng enyah dari bumi kita !"

Wan-ong Kui terkesiap. Tetapi pada lain saat dia berkata, "Baik. Tetapi sekarang aku minta janjimu dulu."

"Apa ?"

"Engkau harus mengakui bahwa puteri raja itu adalah isterimu. Soal pelaksanaannya aku setuju pada pendirianmu yalah setelah penjajah Ceng kita usir."

"Tidak," Blo'on menolak, "soal itu kita rundingkan lagi kelak setelah peperangan ini selesai. Tak perlu segala janji."

"Penting," sahut Wan-ong Kui," dengan berjanji itu berarti puteri itu adalah milikmu.

"Engkau mencelakai puteri !" "Apa ?" Wan-ong Kui terbeliak.

"Dalam keadaan seperti sekarang ini, setiap orang tak tahu bagaimana nasibnya. Apakah engkau berani memastikan kalau aku tentu masih hidup sampai peperangan selesai ?"

"Mengapa tidak ? Kalau engkau tinggal di gunung ini, siapa yang akan mengganggumu ?"

"Tidak, aku takkan enak2 tidur selama negara ini sedang terancam musuh. Dan lagi apa engkau kira dengan tinggal di gunung ini aku tentu selamat ?"

"Mengapa tidak ?"

"Hm, kalau sudah takdirnya, masakan engkau, aku dan setiap orang mampu menghindar dari Giam-lo (raja akhirat). Di rumah, sembunyi, tidur pun orang bisa mati."

"Apa engkau hendak turun gunung ?" "Itu urusanku sendiri, tak perlu engkau ikut campur. Tetapi yang jelas, aku takkan berpeluk tangan mengawasi rakyat kita sedang ditindas penjajah Ceng."

Wan-ong Kui terdiam. Beberapa saat kemudian dia berkata, "Begini. Aku menghendaki sepatah kata saja dari mulutmu yang berjanji bahwa engkau mau menerima puteri itu sebagai isterimu."

"Tidak perlu berjanji,” seru Blo’on, “besok kalau peperangan sudah selesai dan kita masih sama2 hidup, kita bicara lagi !"

"Engkau mau mengakui puteri itu sebagai isterimu atau tidak ?"

"Ah, perlu apa harus meminta pengakuan.. Bukankah hal itu malah menyiksa dirinya ?"

"Menyiksa bagaimana ?"

"Andaikata aku mati dalam peperangan, tidakkah puteri akan menjadi seorang janda ? Lain halnya kalau tak ada pengakuan, dia masih tetap sebagai seorang gadis puteri."

Wan-ong Kui tertegun sejenak, kemudian berkata pula, "Tidak, aku harus membawa laporan kepada puteri tentang hasil pertemuanku dengan engkau. Paling tidak, engkau harus memberi suatu pengakuan bahwa engkau mengakui puteri sebagai isterimu."

"Ah, tak perlu,"

"Engkau menganggap tak perlu, tetapi aku menganggap perlu. Engkau harus memberi pernyataan, engkau mau mengakui puteri sebagai isteri atau tidak !"

"Sudah kukatakan, besok saja kalau peperangan sudah selesai. Jangan engkau memaksa sekarang." "Hm, jika begitu, jelas engkau masih ragu2, pada hal persoalan itu sudah dinyatakan dalam firman seri baginda. Baik, karena engkau keras kepala, akupun terpaksa harus menggunakan wewenang yang telah diberikan kepadaku untuk mengambil batang kepalamu!"

Noot: Tentang peristiwa Blo'on dengan puteri raja, silakan baca Pendekar Blo'on.

"Boleh, boleh," sahut Blo'on, "silakan ambil kalau engkau mampu."

Wan-ong Kui serentak mencabut pedang dan berseru, "Hayo, pakailah senjatamu juga!"

Blo'onpun segera melolos pedang. Wan-ong Kui tak mau banyak bicara lagi dan terus membuka serangan.

Tring, tring, tring ....

Terdengar sambaran angin yang tajam dari gerak permainan pedang kedua pemuda itu. Dan ada kalanya terjadi benturan senjata yang menimbulkan dering suara yang menusuk telinga.

Seru sekali pertempuran antara kedua pemuda itu. Wan- ong Kui memainkan ilmupedang Peh-hoa-kiam-hwat yang hebat tetapi dia heran atas permainan ilmupedang lawan. Kalau tak salah lawan menggunakan ilmupedang Giok-li- kiam-hwat atau ilmupedang Bidadari.

"Aneh," gumam Wan-ong Kui dalam hati, "ilmupedang Giok-li-kiam itu khusus untuk pendekar wanita. Tetapi Blo'on ini anak lelaki, mengapa dia memainkan ilmupedang itu?"

Memang Peh hoa-kiam-hwat atau ilmupedang Seratus- bunga, setanding sekali dengan ilmu pedang Giok-li-kiam. Baik gayanya yang mengutamakan keluwesan dan ketangkasan maupun jurusnya yang indah, hampir sama.

Sementara rombongan Tong Kui Tik yang menunggu di halaman luar, karena lama tak melihat Wan-ong Kui keluar dan kemudian mendengar suara gemerincing senjata beradu, menyebabkan mereka terkejut.

"Eh, rupanya terjadi pertempuran senjata," seru In Hong yang tajam telinganya. Dia terus menghampiri kedalam wisma. Tong Kui Tik dan Han Bi Ingpun mengikuti.

Apa yang mereka saksikan dalam ruang wisma itu, membuat mereka terkejut, "Ai, mereka bertempur, engkong," seru In Hong.

Wan-ong Kui terkejut, cepat ia membisiki, “Kalau engkau seorang ksatrya, engkau harus pegang janjimu tadi."

“Janji apa?" kata Blo'on seraya masih memainkan pedangnya.

"Bahwa urusan kita ini, jangan sampai terdengar mereka."

"Aku sih tak perlu harus memberitahu kepada mereka.

Mereka kan rombonganmu."

"Hm, asal engkau pegang janjimu sajalah," dengus Wan ong Kui seraya menyerang dengan deras.

Tiba2 In Hong berteriak, "Wan-ong-ko, mengapa engkau menyerangnya ?"

"Mulutnya usil, perlu diberi hajaran." sahut Wan-ong Kui.

"Ya." seru In Hong, "bagaimana kalau kubantu, biar cepat selesai?" Sebelum Wan-ong Kui menyahut, Blo'on sudah melengking, "Boleh, boleh, mari budak liar, engkau maju sekalian. Kalau perlu semua boleh maju, biar menghemat tempoku."

"Jangan Hong," cegah Tong Kui Tik ketika melihat cucunya hendak ikut mengeroyok.

"Tetapi dia menantang aku, bahkan engkong juga ditantangnya," seru In Hong.

Tong Kui Tik tersenyum, "Karena mendengar engkau menawarkan bantuan kepada Wan-ong Kui, maka dia panas hatinya."

"Tetapi engkong," In Hong masih tak puas, "mengapa engkong tak mengidinkan aku meringkusnya ?"

"Ua, uah, budak liar yang genit mulut, "tiba2 Blo'on menyanggapi," enak saja kalau ngomong. Seperti ayam saja mau diringkus. Cobalah kalau engkau mampu . . . ,"

Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring dari jauh. Dan cepat sekali terdengar langkah kaki orang memasuki ruang.

Sekalian orang berpaling dan tahu2 dalam ruang itu telah muncul empat orang lelaki.

"Ah," diam2 Tong Kui Tik mengeluh dalam hati ketika melihat dua dari pendatang itu tak lain adalah sasterawan Ko Cay Seng dan pertapa Suto Kiat.

Tetapi dia lebih terkejut ketika melihat kedua kawan Ko Cay Seng. Yang satu seorang imam tua dan yang satu seorang lelaki berumur 35-an tahun, dandanannya seperti orang Boan yang berpangkat.

Bahwa kedatangan Ko Cay Seng dan Suto Kiat membawa dua orang kawan tentulah tidak membawa maksud baik, dapat dimaklumi Tong Kui Tik. Tetapi yang mengejutkan hati jago Go-bi-pay yang telah dikeluarkan dari perguruan itu tak lain bahwa imam itu juga berasal dari perguruan Go-bi-pay.

Tetapi sebelum dia sempat bertanya, In Hong sudah menyeluluk, "Hai, mengapa kalian nongol lagi ?'"

"Budak liar, jangan bermulut tajam. Kedatanganku kemari karena mengantar kedua kawan yang mempunyai urusan disini," sahut Ko Cay Seng.

"Kim kongcu, mundurlah, biar kubereskan pemuda lawanmu itu," tiba2 orang Boan yang berpakaian indah itu berseru seraya maju dan terus menghantam Wan-ong Kui.

Sudah tentu W-an-ong Kui terkejut. Dia geliatkan pedangnya menyongsong pukulan orang Boan itu. Tetapi orang Boan itu cepat tamparkan tangan kiri sehingga pedang Wan-ong Kui tersiak ke samping.

"Kim kongcu, mengapa engkau diam saja? Hayo, ringkuslah dia!" seru orang Boan itu kepada Blo'on.

Memang saat itu Blo'on tertegun dan hentikan permainannya. Andaikata pada saat Wan-ong Kui menyerang orang Boan tadi, dia menyerang Wan-ong Kui, tentulah Wan-ong Kui celaka, Tetapi ternyata dia hentikan serangannya.

"Hai, siapa engkau!" melihat Wan-ong Kui diserang, In Hong terus melesat ke muka dan menusuk punggung orang Boan itu. Tetapi orang Boan itu menghindar ke samping.

"Ho, engkau budak liar? Dengarkanlah," seru orang Boan itu, "Kim kongcu adalah kawan kami!"

"Siapa engkau!" "Aku Barbak, adik dari panglima Torgut dari pasukan kerajaan Ceng."

"Apa putera Kim tayhiap itu kawanmu,” In Hong terkejut.

"Ya," sahut Barbak, "dia sudah banyak sekali jasanya menangkap tokoh2 persilatan yang menentang kerajaan Ceng. Kelak dia akan diambil menantu oleh kak Torgun!"

Kata2 Barbak, adik dari panglima besar kerajaan Ceng, bagaikan halilintar meletus. Sekalian orang terkejut. Bahkan Blo'on sendiri juga tersentak kaget.'

"O, dia seorang penghianat?" seru In Hong.

"Budak liar, jangan lancang mulut. Dia bukan penghianat. Dia seorang pahlawan yang berjasa besar pada kerajaan Ceng. Dia ingin menyelamatkan rakyat dari kehancuran!"

"Hai, tidak, tidak! Aku tak kenal siapa engkau! Jangan memfitnah," teriak Blo'on.

Barbak tertawa riang, "Sudahlah, Kim kong cu. Tak perlu kita main sandiwara. Di hadapan budak liar semacam ini, perlu apa kita takut membuka kartu."

"Engkau . . . eng . . . . " saking kagetnya, dada Blo'on sampai sesak bernapas sehingga ucapannya tersekat sekat.

"Sudahlah Km kongcu, jangan kuatir," Barbak tertawa, "hari ini kita memang sengaja datang kemari ini untuk menjaring mereka berempat. Lawanmu itu, adalah keluarga raja Beng, harus kutangkap. Orangtua itu, murid murtad dari perguruan Go-bi-pay, nanti Hian Hian tojin yang akan membereskan. Budak perempuan liar itu, pernah menghina Ko-heng. Ko-heng (Ko Cay Seng) yang akan memberi pelajaran. Dan gadis cantik itu, puteri Han Bu Liong, biar Suto siangjin yang menangkapnya agar Han Bun Liong menyerah. Dan engkau, Kim kongcu, silahkan memeriksa makam ayahmu. Kemungkinan ada orang yang hendak mencuri jenasah ayahmu lagi!"

"Tidak, engkau bohong !" teriak Blo'on

"Ai, mengapa engkau masih tak percaya ke pada Kim kongcu," Barbak tertawa, "kalau aku bohong, engkau boleh kembali kemari dan buntulah aku ! Lekas, jangan sampai terlambat !"

Mendengar itu Blo'on bingung. Ia tak kenal siapa mereka berempat itu. Tetapi menilik orang Boan yang bernama Barbak itu begitu serius, kemungkinan memang makam ayahnya hendak diganggu orang.

"Biarlah aku ke sana. Kalau memang dia bohong, aku masih dapat kembali kesini untuk membuat perhitungan dengan orang Boan ini," akhirnya Blo'on mengambil keputusan dan terus lari.

In Hong dan Tong Kui Tik serempak hendak mencegah tetapi begitu keduanya maju, ln Hong sudah dihantam Ko Cay Seng dan Tong Kui Tik diserang imam tua. Blo'on tak mengira kalau keadaan dalam ruang itu, dia terus lari menuju ke makam ayahnya.

Kini Wan-ong Kui berhadapan dengan Barbak, Tong Kui Tik dengan imam Go-bi-pay, In Hong dengan Ko Cay Seng. Pertapa Suto Wan tidak mendapat lawan. Dia segera menghampiri ke tempat Barbak.

'"Ciangkun," serunya. Ia menyebut Barbak dengan panggilan ciangkun (jenderal ), "potong ayam tak perlu pakai pisau pemotong kerbau. Harap ciangkun beristirahat, serahkan pemuda pucat itu kepadaku."

"Terima kasih, siangjin," sahut Barbak seraya loncat mundur, "aku hendak menyusul Kim kongcu untuk membicarakan urusan penting."

"Silakan," jawab Suto Kiat, "nanti tentu akan kami haturkan beberapa pemberontak ini."

Mendengar itu Barbak terus melesat keluar.

"Hm, kiranya engkau budak orang Boan," dengus Wan- ong Kui kepada Suto Kiat.

"Jangan banyak mulut!" bentak Suto Kiat, "kalau engkau mau menyerah, tentu engkau akan ringan hukumanmu, kemungkinan akan mendapat kebebasan. Tetapi kalau engkau keras kepala, ha, ha, jangan menyesal kalau sudah terlambat."

"Hanya manusia2 yang takut mati dan rakus hidup, bersedia menjadi budak kaum penjajah yang hendak menguasai negara kita!" seru Wan-ong Kui.

"Jangan banyak mulut!" Suto Kiat terus menampar dengan lengan jubahnya. Segelombang angin  kuat, menderu kearah Wan-ong Kui. Wan oig Kui terkejut dan cepat loncat menghindar. Namun terpaksa dia harus memutar pedangnya untuk menghapus arus tenaga lawan yang masih terasa menggetarkan tubuhnya.

Menyadari bahwa lawan memiliki tenaga pukulan yang sakti, Wan-ong Kuipun berlaku hati-hati untuk menghadapinya. Untung ia memiliki pedang pusaka yang luar biasa tajamnya sehingga banyak membantunya untuk menahan desakan lawan. Sementara In Hong yang harus berhadapan dengan sasterawan Ko Cay Seng, masih coba2 untuk menggunakan siasat membuat hati lawan panas agar mau sesumbar seperti ketika bertempur siang tadi.

"Hai, orang she Ko, mengapa tak mengeluarkan sepasang thiat-pitmu ? Apa engkau tak takut menderita kekalahan seperti siang tadi ?" In Hong sengaja mengejeknya.

Kekalahan yang diderita Ko Cay Seng sebenarnya bukan suatu kekalahan bertempur melainkan kekalahan karena kehabisan waktu. Ia sumbar kalau dalam lima jurus pasti dapat mengalahkan In Hong dan Wan-ong Kui. Tetapi ternyata sampai duapuluh lima jurus ia tetap tak berhasil. Dan akhirnya ia harus pergi.

Ia tahu bahwa dara itu memang bermaksud hendak membikin panas hatinya. Namun melihat bahwa saat itu dia hanya berhadapan dara itu seorang diri karena Wan-ong Kui sudah dikerjai Suto Kiat, diapun tetap menganggap enteng. Apa lagi dihadapan Barbak, adik dari panglima besar kerajaan Ceng, ia tentu malu sekali apabila sampai menderita kekalahan lagi.

"Ho engkau kira yang pintar itu hanya engkau sendiri, budak liar ? Bukankah engkau hendak melancarkan siasat untuk membuat panas hatiku sehingga aku mau memberi keringanan kepadamu? Heh, heh,” Ko Cay Seng tertawa mengekeh.

"Heh, heh,” In Hong balas menirukan tertawa Ko Cay Seng, “siapa sudi meminta keringanan kepadamu ? Aku kan suruh engkau pakai senjata agar jangan sampai engkau kalah seperti siang tadi ? Hm, apa engkau kira aku tak mengerti ilmu kepandaianmu yang sekaligus dapat menusuk sembilan jalandarah orang ? Tetapi uh, sebenarnya engkau masih harus belajar lagi, karena jelas kulihat engkau baru mampu menusuk tiga atau paling banyak empat jalandarah orang. Kalau mau jadi kuku garuda, harus memiliki kepandaian yang tinggi, jangan kepalang tanggung seperti engkau itu. Cis, kalau aku jadi pembesar Ceng, aku tak sudi pakai orang semacam engkau. Orang yang dengan paling2 hanya berani berhadapan anak perempuan saja!”

Bukan main marah Ko Cay Seng ditelanjangi begitu rupa oleh In Hong. Dia sudah tahu kalau si dara hendak membikin panas hatinya. Dia berusaha hendak menekan perasaannya tetapi kata2 yang berhamburan seperti banjir dari mulut dara itu, benar2 membuat mukanya merah padam seperti kepiting direbus. Apalagi ketika imam Go-bi- pay dan pertapa Suto Kiat juga mendengar dan menyempatkan waktu untuk berpaling memandangnya, Ko Cay Seng benar2 seperti semut diatas kuali panas, kelabakan setengah mati.

"Bukankah engkau ini anak dari Ko Sam Hiap yang terkenal sebagai ahli menutuk jalandarah dengan pit besi itu? Huh, kau tahu mengapa dia tak berani keluar ke dunia persilatan lagi? Tak lain karena dia takut setengah mati kepada guruku. Bapamu yang bisa menutuk sembilan buah jalandarah saja sudah keok, apalagi engkau yang baru mampu menutuk tiga atau empat jalandarah, heh, heh . . ..

"

In Hong memberondongnya dengan kata yang tajam lagi. Apa yang didengar dari keterangan engkongnya tadi tentang tokoh Ko Sam Hiap, terus dibuat senjata untuk memberondong Ko Cay Seng.

In Hong tahu bahwa saat itu dirinya terancam bahaya. Engkongnya tentu tak dapat menolong karena sedang berhadapan dengan seorang lawan. Juga Wan-ong Kui tentu sibuk sendiri karena berhadapan dengan Suto Kiat. Sedang Han Bi Ing walaupun nganggur tetapi tak dapat membantu karena tak mengerti ilmusilat. Ia nekad untuk membikin panas hati lawan. Sukur kalau lawan mau sumbar seperti siang tadi tetapi kalau tidak mau, paling tidak dia dapat mengulur waktu. Siapa tahu mungkin akan datang seseorang yang dapat merobah keadaan yang berbahaya pada saat itu.

Diluar dugaan In Hong, Ko Cay Seng tertegun mendengar ocehan dara itu. Dia heran, mengapa dara itu tahu nama ayahnya, tahu tentang ilmu kepandaian ayahnya, bahkan tahu sampai tataran berapa kepandaian ilmu thiat-pit yang dimiliki ayahnya dan dia sendiri. Tetapi ketika mendengar dara itu mengatakan kalau ayahnya (Ko Sam Hap) takut keluar karena dikalahkan oleh guru si dara itu, dia marah, "Bohong! Siapa bilang ayahku kalah dengan gurumu? Siapa nama gurumu itu?"

"Coba engkau ingat2, bukankah ayahmu  pernah bercerita kalau dia kalah unggul kepandaiannya dengan seorang tokoh yang dijumpainya?"

Ko Cay Seng tcrkesiap. Ia memang pernah mendengar ayahnya menceritakan sebuah peristiwaj yang aneh.

Pada suatu hari ayahnya ( Ko Sam Hiap ) bertemu seorang tua berambut putih dan jenggot putih yang panjang sampai menutup dada. Orang itu mengatakan dia kepingin mati tetapi sayang selama ini tak ada orang yang dapat membunuhnya, "Kalau engkau dapat membunuh aku, akan kuberimu sebuah kitab pusaka berisi suatu ilmusilat sakti yang sudah tak ada lagi dalam dunia persilatan."'

Ko Sam Hiap tertarik dan menyanggupi. Tetapi walaupun dia sudah tumpahkan seluruh ilmu menutuk sembilan buah jalandarah dengan 'thiat-pit, tetapi tetap dia tak mampu menyentuh tubuh orangtua aneh itu. Orangtua itu tidak membalas tetapi dia memiliki gerak yang mengherankan. Tampaknya diam tetapi bergerak, kosong tapi berisi, ke kanan tetapi sesungguhnya ke kiri, menyurut ke belakang tetapi ternyata maju kedepan.

Ko Sam Hiap benat2 terkejut, kagum dan putus asa. Akhirnya ia merjatuhkan berlutut minta maaf dan mohon diberi pelajaran. Tetapi orangtua aneh itu menolak, katanya, "Segala apa di dunia ini mempunyai jodoh atau pasangan. Engkau tak berjodoh dengan kitab pusaka itu

…..”

Sejak itu Ko Sam Hiap tak keluar dari tempatnya. Dia berusaha mengingat setiap gerakan orangtua itu dan coba2 untuk merangkai dan nyusunnya dalam sebuah tata-gerak. Dia memang berhasil tetapi tak dapat menentukan isi atau intisari pokok dari gerak tata-langkah yang luar biasa dari orangtua aneh itu.

Teringat akan cerita ayahnya itu, tiba2 timbul pertanyaan dalam hati Ko Cay Seng, "Apakah dara ini murid dari orangtua aneh itu?"

"Ah, tak mungkin," pada lain saat ia membantah dugaan itu, "orangtua itu ketika bertemu ayah pada tigapuluh tahun yang lalu, sudah tua renta. Kemungkinan sekarang sudah mati. Tak mungkin dara yang baru berumur belasan tahun ini dapat menjadi muridnya!"

Jika dengan gertakan itu In Hong dapat memaksa Ko Cay Seng berpikir-pikir dulu atau paling tidak dapat meagulur waktu, pun diantara Tong Kui Tik dengan imam tua dari perguruan Go-bi-pay telah terjadi percakapan yang menarik. "Hm, orang she Tong, kukira engkau sudah tak berani muncul lagi. Ternyata engkau masih hidup," seru imam tua itu.

"Siapakah tosu ini?" tegur Tong Kui Tik dengan masih bernada sabar.

"Aku Hian tojin dari Go-bi-pay."

"Dengan Hong Hong tojin ketua Go-bi-pay yang sekarang?"

"Dia murid Biau Hun ciang-bun-jin yang terdahulu dan aku murid dari Biau Ceng tojin, suheng dan Biau Hun ketua Go-bi-pay yang dulu."

Tong Kui Tik terkejut, "Jika begitu engkau adalah sutit ( murid keponakan ) dari suhuku Biau Gong tojin.....

"Memang Biau Gong tojin yang kini menjadi tiang-lo ( tetua ) Go-bi-pay adalah supehku. Tetapi aku tak kenal engkau. Hanya kudengar bahwa Biau Gong tianglo dahulu pernah mempunyai seorang murid orang biasa. Murid itu telah melanggar peraturan perguruan dan telah diusir."

Tong Kui Tik teringat bahwa waktu ia masih belajar di perguruan Go- bi-pay, memang paman gurunya, Biau Ceng tojin, masih belum mempunyai murid. Kemungkinan setelah dia diusir, barulah Biau Ceng menerima Hian Hian tojin.

"Lalu apa maksud Hian Hian sute "

"Jangan menyebut sute kepadaku. Engkau bukan murid Go bi-pay lagi!" tukas Man Hian.

Tong Kui Tik terkesiap lalu mengangguk.

"Go-bi-pay telah menentukan pendirian. Dalam peperangan ini, akan berdiri netral, tidak akan membantu kerajaan Beng, juga tidak mendukung kerajaan Ceng. Go- bi- pay hanya sebuah perguruan yang menyiarkan ajaran agama dan musilat. Tidak mencampurkan politik negara."

"0," desuh Tong Kui Tik, "sejak kapankah peraturan itu diresmikan ?"

"Mengapa engkau bertanya begitu ?" balas Tian Hian tojin.

"Karena dulu waktu aku masih belajar di Go-bi-pay." kata Tong Kui Tik, "bahkan suhu sering menanamkan ajaran2 tentang keadilan dan kebenaran. Membela keadilan dan kebenaran adalah suatu dharma yang baik."

"Memang benar," sahut Hian Hian.

"Dan membela kerajaan Beng dan serangan orang2 Boan, juga suatu dharma yang baik."

"Itu berarti mencampuri politik negara. Tidak boleh." seru Than Hian.

"O, apakah Go-bi-pay yang sekarang, menganggap bahwa pasukan Ceng yang hendak menjajah negara kita itu adil dan benar ?"

"Itu urusan negara "

"Jawab menurut suara hati nuranimu !" teriak Tong Kui Tik," adil atau tidak, benar atau tidak kalau suku Boan itu hendak menduduki negara Beng ?"

"Orang she Tong," sambut Hian Hian, "jangan mencampur-adukkan urusan perorangan dengan urusan negara. Urusan negara jauh lebih luas dan lebih banyak liku-likunya daripada urusan pertorangan."

Tong Kui Tik tertawa, "Perbedaan sedikit dengan banyak itu hanya soal jumlah tetapi tak merobah sifat pendirian itu, Keadilan harus dijunjung, Kebenaran harus ditegakkan." "Kerajaan Beng sudah bobrok. Raja hanya bersenang- senang dengan arak dan wanita. Mentri dorna menguasai pemerintah. Keadilan dan Kebenaran sudah kabur. Itulah sebabnya maka kerajaa Ceng muncul untuk membela Kebenaran dan menegakkan Keadilan di singgasananya."

"Itu alasan orang Boan. Engkau orang Han mengapa, engkau membela orang Boan," sahut Tong Kui Tik, "kerajaan Beng bobrok, kita orang Han sendiri yang akan mengurus. Tak perlu harus kerajaan Ceng campur tangan."

Hian Hian tertawa, "Jelas, jelas. Sekarang sudah jelas bahwa kabar yang mengatakan engkau menentang kerajaan Ceng dan hendak menggabung dengan kaum pemberontak, itu memang benar. Bukankah begitu ?"

"Tentang aku hendak bergabung diri pada apa yang engkau sebut sebagai pemberontak, itu masih belum kupikirkan. Tetapi yang jelas aku memang menentang kerajaan Ceng yang hendak menduduki kerajaan Beng !"

"Bagus, bagus," seru Hian Hian tojin dengan gembira, "dengan begitu jelas engkau mampunyai tiga macam dosa yang tak dapat diampuni lagi.'

Tong Kui Tik terkesiap namun sesaat kemudian ia berseru tenang, "Coba katakan apa ketiga kesalahanku itu."

"Pertama, engkau melanggar peraturan perguruan Go-bi- pay yang melarang anakmuridnya mencampuri urusan politik negara."

"Kedua," kata Hian Hian tojin pula. "engkau berani menentang kerajaan Ceng, Dan ketiga, engkau menggabungkan diri pada kaum pemberontak. Hukuman dari ketiga dosa itu adalah mati "!

"O," dengus Tong Kui Tik, "apakah aku yang hendak dihukum mati itu tak boleh membela diri ?" "Boleh."

"Terima kasih," kata Tong Kui Tik dengan nada yang tenang, "tuduhan pertama itu ngawur ! Tadi aku menyebut engkau sebagai sute, engkau menolak dan mengatakan kalau aku sudah bukan. murid. Go-bi-pay lagi. Tetapi mengapa sekarang engkau menuduh aku melanggar peraturan Go-bi-pay ? Bukankah sekarang aku sudah bukan murid Go-bi-pay lagi ?"

Hian Hian tojin mengangguk, "Benar, memang Go bi- pay tak mau mengakui engkau sebagai murid lagi. Tetapi ada suatu peraturan yang menentukan tentang bekas murid atau murid yang sudah diusir dari perguruan Go-bi-pay. Jika sudah dipecat, dia berbuat baik, hidup tenang sebagai rakyat biasa. Go-bi-paypun takkan mengambil , tindakan lagi kepadanya, Tetapi kalau dia masih aktief dalam dunia persiatan. lebih2 menggabungkan diri pada golongan Hitam atau pada gerombolan pemberontak, Go-bi-pay tetap akan mencarinya."

"Apa hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya ?"

"Dia harus mengembalikan ilmu kepandaiannya yang didapat dari perguruan Go-bi-pay !"

"Dan engkau anggap bahwa aku telah berkomplot dengan golongan Hitam dan kaum pemberontak ?"

"Ya."

"Tidak !" teriak Tong Kui Tik," aku tak pernah keluar ke dunia persilatan. Aku memang menentang kerajaan Ceng yang hendak menghancurkan negara kita ini. Itu pendirian peribadiku. Aku belum menggabungkan kepada apa yang engkau sebut sebagai kaum pemberontak itu." "Tetapi bukankah karena engkau memiliki pendirian begitu engkaupun hendak menggabungkan diri pada kaum pemberontak ?" Hian Hian tojin.

"Bagi kerajaan Ceng, memang kaum yang menentang mereka dicap sebagai kaum memberontak. Tetapi apa yang sebenarnya diberontak itu? Ap akah melawan orang asing; yang hendak menjajah negara kita pantas disebut sebagai pemberontak? Memang bagi orang Boan, bisa mengatakan begitu. Tetapi engkau seorang putera Han, mengapa engkau juga berkata begitu?"

"Aku ingin menyelamatkan rakyat dari bencana peperangan yang menghancurkan!" jawab Hian Hian tojin.

"Tojin," seru Tong Kui Tik, "tolong tanya, dalam kedudukan dan jabatan apakah engkau datang kemari?"

Hian Hian terkesiap. Namun ia tak gentar dan menyahut dengan tegas, "Aku tianglo dari Go-bi-pay yang hendak mengadakan pembersihan pada seorang bekas murid yang masih bertindak salah karena melanggar peraturan perguruan!"

"Masih kurang lengkap, tojin," seru Tong Kui Tik, "engkau harus mengatakan pula bahwa engkau adalah pembesar atau kaki tangan kerajaan Ceng."

"Kalau aku menyangkal, engkau tentu tak percaya. Maka terserah saja bagaimana engkau hendak menganggap diriku. Tetapi yang penting aku akan bertindak sebagai seorang tianglo terhadap seorang bekas murid Go-bi-pay. Engkau harus mengembalikan ilmu kepandaian yang engkau I peroleh dari Go-bi-pay!"

"Caranya ?" Tong Kui Tik menegas.

"Hm, masakan engkau masih berlagak pilon," seru *Hian Hian tojin, "engkau kan sudah tua, tentu mengerti. Terserah, engkau sendiri yang menghancurkan tulang pi- peh-kutmu atau aku yang harus bertindak !'

Tong Kui Tik tenang2 menjawab," Hian Hian tojm, sejak aku dikeluarkan dari parguruan Go-bi-pay, memang aku tak pernah menggunakan ilmu silat dari perguruan lagi. Dan aku bersumpah, selama aku tak diakui sebagai murid Go bi- pay, aku takkan mengaku sebagai murid Go-bi-pay dan takkan menggunakan llmusilat dari perguruan itu. Adakah hal itu masih belum memuaskan engkau ?"

Hian Hian tertawa mengejek. "Engkau boleh berkata begitu tetapi terhadap orang2 tua bangkotan seperti aku yang tahu akan seluk beluk ilmu.silat, hal itu tentu tak mau percaya."

Wajah Tong Kui Tik mengernyut tegang,, Serunya, "Lalu bagaimana kehendakmu ?"

"Tetap akan melaksanakan hukuman seperti yang tercantum dalam peraturan Go-bi-pay." kata Hian Hian tojin.

Tiba2 Tong Kui Tik tertawa nyaring. Nadanya seolah telah menggetarkan atap ruang dan, menyusup keluar.

Hian Hian tojin terkejut. Jelas orang she Tong itu kini memiliki tenaga-dalam yang hebat. Seingatnya, dewasa itu dalam perguruan Go-bi- pay tak ada tokoh yang mempunyai tenaga-dalam sekuat itu. Bahkan ketua Go bi- piy yang sekarang, Hong Hong tojin, juga masih kalah setingkat dengan Tong Kui Tik.

"Hian Hian tojin." seru Tong Kui Tik setelah berhenti tertawa, "silakan engkau ambil kembali kepandainku yang berasal dari Go-bi-pay. Tetapi karena sekarang aku bukan murid Go-bi-pay, aku terpaksa akan membela diri. Tetapi jangan kuatir, aku takkan menggurakan ilmusilat dari Go- bi-pay!"

"Ucapan seorang ksatrya "

"Bagi kuda binal yang lari!" sambut jago tua Tong Kui Tik. Makna ucapan itu tak lain bahwa Hian Hian tojin hendak memperingatkan Tong Kui Tik supaya tidak ingkar janji. Artinya Tong Kui Tik tak boleh menggunakan ilmusilat dari Go bi-pay.

"Oang sbe Tong, bersiaplah.!"

"Silahkan memulai dulu," jawab Tong Kui Tik.

Hian Hian tojin membuka serangan dengan jurus Hun- soh-ngo-gak atau Awan-menutup-lima-gunung. Tangannya menampar kepala Teng Kui Tik tetapi jago tua itu loncat menghindar. Hian Hian menyusuli lagi berturut-turut sampai tujuh delapan serangan, akan tetapi Tong Kui Tik tak mau menangkis melainkan hanya menghindar saja.

*'Hai, mengapa engkau hanya main menghindar saja?" tegur Hian Hian tojin.

'Betapapun aku dulu adali

etapapun aku dulu adalah murid Go-bi- pay. Kata orang meneguk air harus ingat sumbernya '. Walaupun aku sudah tak mau menggunakan ilmusilat Go-bi-pay lagi, tetapi ilmusiiat yang kuciptakan itu tak lain karena berkat pengetahuan dasar yang telah kuterima dari Go-bi-pay. Maka terhadap anakmurid Go-bi-pay, aku selalu mengalah. Kalau memaksa harus bertempur pun aku selalu mengalah sampai sepuluh jurus tak mau membalas "

"Orang she Tong, engkau bermulut besar sekali! Sambutlah seranganku ini!" dengan geram Hian Hian tojin lancarkan sebuah pukulan yang disebut Mo-thian-ciang atau pukulan Meraih langit.

Darrrrr.....

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar