Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 08 Blo’on yang blo'on

Jilid 08 Blo’on yang blo'on

Ketika masuk kedalam hutan, Wan-ong Kui, Tong Kui Tik dan In Hong terkejut melihat dua orang sedang bertempur.

"Ing-moy!" serentak Wan-ong Kui berteriak kaget ketika melihat seorang gadis cantik menggeletak dibawah sebatang pohon. Dia cepat lari menghampiri.

Memang yang menggeletak itu adalah Han Bi Ing. Dia pingsan. Setelah diberi pertolongan, ia pun dapat siuman.

"Mengapa engkau, ln-moay?" "Dia . . . dia hendak memperkosaku!" seru Han Bi Ing seraya menunjuk kearah salah seorang yang sedang bertempur itu.

"Pemuda yang berwajah cakap itu?" Wan-ong Kui berpaling dan menegas.

"Dan siapa pemuda tegap lawannya itu?" "Entahlah, aku tak kenal."

"Wan-ong-ko, mari kita tangkap bangsat itu," seru In Hong seraya maju ke gelanggang.

Yang bertempur itu seorang pemuda cakap lawan seorang pemuda yang berwajah polos. Pada saat Wan-ong Kui dan In Hong tiba, pemuda berwajah jujur itu sedang terdesak. Jelas lawannya jauh lebih sakti. Hanya dengan modal kenekadan sajalah maka pemuda jujur itu dapat bertahan.

Duk bahu pemuda berwajah polos itu termakan tinju

lawan. Dia terhuyung-huyung beberapa langkah. Dan pemuda cakappun maju hendak menghantam lagi.

"Jangan jual tingkah, bangsat!" serempak Wan-ong Kui dan In Hong berhamburan menerjang.

"O, kalian juga ikut-ikutan?" pemuda cakap itu mengejek seraya kebutkan lengan bajunya. Se-gulung tenaga Thiat- siu-kang menyiak pukulan Wan-ong Kui dan In Hong. Keduanya terkejut ketika dilanda oleh arus tenaga sakti yang memaksa mereka terdampar ke samping.

Menyadari kalau berhadapan dengan lawan yang amat tangguh, Wan-ong Kui serentak mencabut pedang, In Hong melolos sabuknya. Sekali serang, Wan-ong Kui terus memainkan jurus Peh-hoa-in-gui atau Seratus-bunga- bermekaran, sebuah jurus yang paling dahsyat dari ilmupedang Peh-hoa-kiam-hwat.

In Hong juga memainkan sabuk pinggangnya dalam jurus Song-liong-tham-cu atau Sepasang -naga-berebut- mustika. Sabuk pinggang Itu bergeliatan seperti dua ekor naga yang sedang menyambar-nyambar berebut mustika.

"Bagus, bagus!" seru pemuda cakap itu dengan gembira, "tetapi sayang ilmupedang Peh-hoa-kiammu belum mencapai tataran yang tinggi. Tenaga-dalammu masih belum mampu mengembangkan jurus2 Peh-hoa-kiam-hwat yang hebat. Dan engkau, dara manis, juga masih jauh sempurna latihanmu sehingga jurus Song-liong-tham-cu masih lamban geraknya!"

Wan-ong Kui terkejut, In Hong terbeliak kaget. Mereka tak mengira kalau lawan dapat mengetahui ilmu permainannya dan dapat pula menilai tataran yang telah mereka capai. Dan lebih terkejut pula mereka ketika dengan gerak yang indah, pemuda cakap itu dapat menghindari serangan pedang dan sabuk.

"Jangan sombong!" bentak In Hong, "kalau mampu, kalahkanlah aku!"

"Untuk mengalahkan engkau adalah semudah aku membalikkan telapak tanganku. Tetapi apa hadiahnya kalau aku dapat merebut sabukmu?" seru pemuda cakap itu.

"Engkau boleh pergi!"

"Ha, ha, hanya begitu? Tak perlu kalau gitu, makin lama engkau disini, aku makin gembira.”

"Setan, engkau menghendaki bagaimana!" teriak In Hong makin geram.

"'Asal engkau mau ikut aku!" "Cis, siapa sudi menjadi budakmu?"

"Bukan budak, dara manis, tetapi menjadi isteriku "

"Bangsat!" marah In Hong bukan kepalang. Dia serentak mainkan sabuknya lebih gencar dalam jurus Tiang ho-lok-jit atau Matahari-tenggelam-di bengawan-Tiangkiang.

Dalam pada itu pemuda berwajah polos tadi pun dengan menggenggam pedang maju pula ikut menyerang, "Bangsat, jangan menghina wanita."

"O, engkau berani maju lagi. Huh, jurus permainan pedangmu Hoan-thian-to-hay ( Langit tengkurap-laut- terbalik ) juga belum sempurna anak tolol!" seru pemuda cakap itu seraya tertawa mengejek.

Pemuda berwajah polos itu terkejut. Memang dia sedang menggunakan jurus Hoan-thian-to-hay saat itu.

Wut .... tiba2 pemuda cakap itu melambung keudara. Tumit kakinya menginjak peda pemuda berwajah polos. Dan ketika pedang tertekan kebawah, dia terus berjumpalitan. Waktu kaki diatas kepala dibawah dia menukik ke bawah untuk menampar sabuk yang meluncur kearahnya.

Ternyata ketiga anakmuda itu menyerang dengan serempak. Wan-ong Kui dan pemuda berwajah polos menabas, In Hong melecutkan sabuknya. Karena babatan pedang pemuda berwajah polos itu dapat diinjak dengan tumit kaki maka sekarang dia menampar ujung sabuk In Hong. Pada saat ujung sabuk In Hong melentuk turun, pedang Wan-ong Kui tepat membabat cret .... ujung sabuk In Hong yang terbuat dari kain sutera yang lemas tetapi ulet, terpapas kutung ujungnya.

"Ih . . . . , " In Hong mendesis kejut seraya menyurut mundur. Dan Wan-ong Kuipun juga loncat mundur. Sementara pemuda cakap itupun sudah meluncur dan tegak berdiri lagi dalam lingkar kepungan ketiga lawannya.

Sebenarnya sabuk pinggang In Hong itu juga tahan tabasan senjata. Tetapi karena pedang Wan-ong Kui itu sebuah pedang pusaka yang dapat memapas logam seperti memapas batang pohon pisang, ujung sabuk In Hongpun menderita terpapas ujungnya.

"Maaf, nona In," seru Wan-ong Kui.

"Engkau tak salah Wan-ong-ko," seru ln Hong seraya membuang sabuk dan ganti mencabut pedang.  Tetapi ketika dia hendak menyerang lagi, engkongnya berteriak, "Hong, berhenti!"

Bukan hanya In Hong, pun Wan-ong Kui dan pemuda berwajah polos juga ikut berhenti mendengar teriakan jago tua Tong Kui Tik yang penuh wibawa itu.

"Mengapa engkong?" tanya In Hong.

"Dia bukan musuhmu," kata orangtua itu seraya melangkah maju, "biarlah aku yang menghadapinya."

"Bagus, cindilnya kalah sekarang bandotannya yang maju," seru pemuda tampan itu dengan tertawa mengejek.

"Siapakah engkau?" seru Tong Kui Tik. Ia menyadari bahwa pemuda tampan itu bukan tokoh sembarangan. Ia terkejut ketika menyaksikan kepandaian pemuda itu waktu menghadapi serangan In Hong bertiga. Pada hal ia tahu bahwa In Hong itu juga lihay. Kalau hanya jago silat kelas dua saja tentulah tak mampu menghadapi dara itu. Apalagi masih dibantu Wan-ong Kui dan pemuda berwajah polos yang juga cukup tinggi kepandaiannya.

"Buat apa tanya namaku?" sahut pemuda tampan itu. "Begini," kata Tong Kui Tik dengan nada sabar, "kalau aku mati, biarlah aku dapat mengetahui siapa yang telah mengantar aku menghadap Raja Akhirat."

"O, baiklah", pemuda tampan itu tertawa bangga, engkau tentu pernah mendengar tentang seorang tokoh yang saat ini sedang menjadi bahan pembicaraan hangat dalam dunia persilatan. Cobalah engkau ingat2! "

Tong Kui Tik mengerut dahi. Banyak sekali rasanya tokoh2 yang bermunculan pada masa terakhir  ini. Terutama setelah negara mengalami kekacauan karena diserang pasukan Ceng, banyak tokoh2 baru yang muncul.

"Ah, aku si orangtua ini memang sudah rusak ingatan sehingga tak dapat menduga-duga siapa yang engkau maksudkan." akhirnya ia menyerah.

"Ah, memang banyak tokoh2 yang bermunculan tetapi siapakah diantara mereka yang paling menonjol sendiri?" pemuda cakap itu memberi jalan.

"O," tiba-tiba Tong Kui Tik teringat, "aku memang  sudah jarang keluar. Tetapi belakangan ini aku mendengar orang menyebut-nyebut tentang seorang jago silat yang menamakan dirinya sebagai Bu Te sin -kun "

"Ha, ha, ha, akhirnya engkau dapat menemukan juga," seru pemuda cakap itu.

"Engkau Bu Te sin-kun?" Tong Kui Tik terkejut dan nyalangkan mata memandang tajam2 ke arah pemuda itu seperti hendak membuktikan kepercayaannya bahwa pemuda  yang  masih semuda itu benar2 Bu Te sin-kun  atau jago tanpa tanding. Matanya yang tajam segera dapat mengetahui bahwa wajah cakap dari pemuda ini bukan wajah yang aseli melainkan hanya sebuah kedok yang terbuat dari kulit tipis yang dibuat sedemikian rupa sehingga sukar dikenali.

"Engkau tak percaya?" tanya pemuda cakap yang mengaku sebagai Bu Te sin-kun itu.

"Percaya!"

"O, apa alasanmu?"

"Engkau sebenarnya bukan engkau saat ini." "Apa maksudmu?"

"Bukalah kedok mukamu dan tunjukkanlah wajahmu yang aseli!"

Bu Te sin-kun terkejut atas ketajaman mata jago tua itu. Namun sesaat kemudian dia tertawa nyaring, "Tetapi kurasa lebih baik begini dari pada engkau melihat wajahku yang aseli."

"Mengapa? Apakah engkau tak berani unjuk muka?" "Bukan   begitu,"   sahut   Bu   Te   sin-kun,   tetapi sudah

menjadi   undang-undangku.   Bahwa   setiap   orang   yang

melihat wajahku tentu harus mati!'

"O, kebetulan sekali. Aku memang sudah rasa terlalu lama hidup. Kalau engkau dapat mengantarkan aku menghadap raja Akhirat, aku merasa beruntung sekali!"

"Ah, sudahlah. Aku tak mau membunuhmu!" "Pengecut!" tiba2 In Hong memaki.

"Jangan salah faham, nona manis," Bu Te sin-kun tertawa menyengir, "kalau engkongmu kubunuh, engkau tentu sedih dan tak mau jadi isteriku."

"Bangsat!" karena tak dapat menguasai diri lagi, In Hong terus menerjang. Tetapi dengan santai Bu Te sin-kun menghindar ke samping seraya kebutkan lengan bajunya. Dari lengan baju itu memancar arus tenaga-dalam yang mendampar batang pedang In Hong hingga tergetar keras hampir jatuh. Tenaga-dalam yang dipancarkan dari kebutan lengan baju itu disebut ilmu Thiat-siu-kang.

"Hong, minggirlah!" teriak Tong Kui Tik seraya loncat dan menarik tubuh cucunya agar jangan jatuh. Kemudian dia berpaling kearah Bu Te sin-kun, "Kalau sampai terjadi apa2 pada anak ini, aku tentu akan mengadu jiwa denganmu!" serunya geram.

"Jangan kuatir," Bu Te sin-kun tertawa, "masakan aku tega melukai dara yang kupenuju "

"Bu Te sin-kun, sebelum kita bertanding aku hendak meminta keteranganmu. Apa sebab engkau hendak mengganggu nona itu?" seru Tong Kui Tik seraya menunjuk pada Han Bi Ing.

"Ketahuilah, pak tua," seru Bu Te Bin-kun.

“Bu Te sin-kun itu adalah jago tanpa tanding. Tanpa tanding bukan melainkan dalam ilmusllat, pun dalam segala hal termasuk wanita. Sekali Bu Te sin-kun setuju, tak peduli dia itu puteri raja atau puteri pengemis, puteri tokoh persilatan sakti atau orang biasa, maupun isterinya siapa saja pasti akan diambilnya. Nona itu aku suka karena kecantikannya dan cucumu itupun aku senang karena manisnya. Kedua-duanya harus kuambil!"

Han Bi Ing, Wan-ong Kui, In Hong dan pemuda berwajah polos itu menggeram keras. Hampir saja mereka akan bergerak menyerang apabila Tong Kui Tik tak melarang dengan isyarat tangannya. "Bu Te sin-kun, engkau akan memperoleh apa yang kau kehendaki asal engkau mampu melangkahi mayatku!" seru Toig Kui Tik dengar nada marah yang tertahan.

"Baik, kalau memang engkau menghendaki syarat itu, akupun terpaksa menuruti saja!"

Menghadapi musuh yang sakti, Tong Kui Tik berlaku sangat hati2. Jurus pertama ia buka dengan Kim-peng-tian- ki atau Elang- emas-merentang-sayap. Tangan kanan menampar kepala dan tangan kiri dipersiapkan apabila lawan bergerak menghindar.

Tetapi di luar dugaan,  Bu  Te  sin-kun menyurut mundur selangkah berdiri  dengan jurus  Kim-ke-tok-lip atau Ayam-emas berdiri-sebelah. Dengan demikian tamparan Tong Km Tik itupun mengenai angin kosong. Ia terkejut heran. Mengapa dalam gebrak pertama saja lawan sudah bersiap dalam jurus Kim-ke-tok-lip.

Untuk menjajagi apa rencana lawan, Tong Kui Tik ayunkan pukulan lurus ke dada lawan dalam jurus Hek- hou-cau-sim atau Macan-hitam-menerkam-uluhati.

'"Bagus, bagus, memang di gunung Kun-lun banyak sekali macan hitam yang suka makan hati orang,*' seru Bu Te sin-kun demi melihat jurus serangan lawan.

Tong Kui Tik makin terkejut. Sekali lihat lawan sudah mengetahui dari perguruan manakah dia (Tong Kui Tik) itu. Dia benar2 heran mengapa tokoh semuda Bu Te sin- kun memiliki pengetahuan yang sedemkian luas. Namun karena sudah terlanjur menyerang mika Tong Kui Tik pun lanjutkan serangannya. Rencananya begitu dekat pada dada orang, dia hendak menebarkan jari tangannya untuk menutuk jalandarah luan-ki-hiat di uluhati. Tetapi alangkah kejutnya ketika rencana itu belum terlaksana, tiba-tiba tubuh Bu Te sin-kun yang masih berdiri dengan sebelah kaki itu, tampak berputar-putar deras. Dari gerak putaran itu memancarkan tenaga-dalam yang menyedot tangan Tong Kui Tik. Jago tua itu terkejut. Ia salurkan tenaga-dalam lunak pada tinjunya, kemudian dengan tenaga-dalam keras yang disalurkan kearah tangan kiri, ia menghantam lawan.

Terdengar letupan pelahan dan Tong Kui Tik berhasil menyelamatkan tangan kanan dari sel dotan lawan tetapi ia harus membayar dengan terpental selangkah ke belakang.

"Bagus," seru Bu Te sin-kun, "engkau termasuk salah seorang yang mampu menghindar dari tenaga sedotanku."

Tong Kui Tik makin, berhati-hati. Serangan selanjutnya ia lambari dengan tenaga-dalam yang kuat. Namun Bu Te sin- kun tetap tak mau meladeni. Dia hanya berlincahan menghindar kian kemari.

"Aneh, mengapa dia tak mau menangkis?" pikir Tong Kui Tik. Akhirnya dalam suatu kesempatan yang baik, dia dorongkan kedua tangannya kearah lawan. Tangan kiri memancarkan tenaga-dalam lunak dan tangan kanan memancarkan tenaga-dalam Kiu-yang-sin-kang yang keras.

Tampaknya Bu Te sin-kun masih memandang rendah lawan, serunya tertawa, "Ho, sekalipun tenaga-sakti Kiu- yang-sin-kangmu hebat tetapi masih belum mencapai tataran yang tertinggi!”

Kembali Tong Kui Tik terkejut karena serangannya dapat dibaca lawan. Namun diapun gembira karena lawan tak mengerti siasatnya yang lain. Lawan hanya mengatakan tenaga Kiu-yang-sin-kang tetapi tak menyebut tentang tenaga-dalam lunak yang dilancarkan dengan tangan kiri". "Uh . . . . ," tiba2 Bu Te sin-kun mendesuh kejut ketika merasa segelombang tenaga-lunak tengah melanda kepadanya, "Bian-ciang . . . ," pikirnya. Bian-ciang artinya tenaga selunak kapas.

Namun pengetahuan itu sudah terlambat. Ia tak sempat untuk menghindari arus tenaga-lunak yang sudah tiba di dadanya. Cepat ia empos semangatnya, memancarkan tenaga-dalam untuk melindungi dada lalu menghantam dengan tangan kanan, darrrr ....

Kali ini kesudahannya agak hebat. Tong Kui Tik tersurut mundur sampai tiga langkah. Wajahnya pucat. Tetapi Bu Te sin-kun juga tergetar tubuhnya dan menyurut selangkah.

Han Bi Ing, Wan-ong Kui, pemuda berwajah polos terutama In Hong terkejut menyaksikan keadaan Tong Kui Tik. Lebih terkejut pula perasaan mereka membayangkan kalau Bu Te sin-kun akan loncat menerjang orang tua itu. Serempak bertiga anakmuda itu terus hendak menyerbu kedalam gelanggang. Tetapi sebelum mereka semua bergerak, tiba-tiba Bu Te sin-kun loncat ke belakang dan berseru,  "Pak  tua,  aku  masih mempunyai lain urusan yang penting dan tak dapat melayani engkau.  Lain hari  aku   pasti akan mencarimu untuk menyelesaikan pertempuran ini," habis berkata Bu Te sin-kun berputar tubuh dan loncat pergi.

In Hong lebih penting menolong engkongnya. daripada mengejar Bu Te sin-kun, "Engkong, bagaimana keadaanmu?" tanyanya cemas.

Tong Kui Tik tak menyahut melainkan geleng2 kepala. Ia duduk bersemedhi untuk menyaIurkan pernapasannya. In Hong bertiga mendapat kesan bahwa engkongnya itu tentu menderita luka dalam yang cukup parah. Mereka tak berani mengganggu dan hanya tegak menjaga di sekeliling jago tua itu.

Lebih kurang sepeminum teh lamanya, tampak wajah Tong Kui Tik mulai segar kembali! Kemudian ia berdiri dan menghela napas, "Ah…. kalau dia mau menggunakan seluruh tenaga-dalamnya aku pasti sudah hancur."

"O, apakah engkau menderita luka?" tanya In Hong. "Ya, tetapi berbahaya. Tenaga-dalam orang itu memang

luar    biasa.    Tetapi    heran    mengapa    dia    tak    mau

menggunakan seluruh tenaga-dalamnya?!”

Tiba2 Han Bi Ing teringat peristiwa dirinya dengan Bu Te sin-kun, "O, apakah karena hal itu yang telah menyebabkan dia kehilangan tenaga-saktinya? Tetapi nona itu tak mau mengatakan hanya wajahnya saja yang bertebar warna merah.

Rupanya perobahan muka Han Bi Ing dapat diketahui Tong Kui Tik, serunya, "Nona. maaf apakah yang telah terjadi dengan nona tadi?"

Han Bi Ing menceritakan. Bahwa waktu Wan-ong Kui sedang bertempur dengan kelima harimau Lusan, tiba-tiba kusir Thia Kim menghampiri kepadanya, "Nona, Wan- ong kongcu pesan kepadaku, sebaiknya kita menyingkir dan tempat ini "

"Mengapa?" tanya Han Bi Ing.

"Karena kougcu merasa seorang diri harus menghadapi sekian banyak orang apalagi masih harus memikirkan keselamatan nona, tentulah pikirannya akan terganggu. Apabila nona sudah berada di tempat yang aman tentulah pikirannya akan lebih tenang menghadapi lawan." Han Bi Ing menganggap hal itu memang benar, tetapi iapun menguatirkan keselamatan Wan-ong Kui. Apakah ia akan membiarkan saja Wan-ong Kui mengalami bahaya seorang diri?"

"Nona, setelah kita menyingkir ke tempat yang aman, akulah yang akan ke luar untuk menemui Win-ong kongcu lagi," melihat  Han  Bi  Ing  bersangsi,  Thia  Kim menyusuli keterangan lebih lanjut.

Entah bagaimana Han Bi Ing tiba2 merobah pikirannya. Ia anggap alasan yang dikemukakanl Thia Kim itu tepat. Kalau ia sudah menyingkir tentulah Wan-ong Kui dapat mencurahkan pikirannya dengan tenang. Akhirnya ia mengikuti Thia Kim menyelinap ke dalam gerumbul dan terus menerobos ke dalam sebuah hutan kecil. Cukup lama juga mereka melintas hutan dan lembah dan akhirnya mendapatkan sebuah tempat yang sesuai untuk sembunyi.

"Tinggalkan aku dan lekas carilah Wan-ong kongcu," kata Han Bi Ing.

Thia Kimpun menurut perintah. Tetapi sampai lama belum juga kembali. Pada saat Han Bi Ing terlena tidur, ia merasa tangannya telah dipegang orang. Begitu ia membuka mata, alangkah kejutnya saat itu.

"Siapa engkau!" Han Bi Ing meronta dan membentak. "O, tak perlu takut nona," kata orang itu seorang pemuda

yang tampan dan ramah.

"Siapa engkau!" Han Bi Ing yang saat itu sudah berdiri mengulang pula pertanyaannya.

"Aku she Bu nama Te," kata pemuda tampan itu, sahabat dari Wan-ong Kui." "Wan-ong Kui? Bagaimana  keadaannya?”  Bi  Ing  mulai tegang.

'"Ah," Bu Te menghela napas sedih, "Walaupun terlambat tetapi untung aku kebetulan lewat di tempat itu. Serta melihat Wan-ong Kui sudah kepayahan menghadapi keroyokan beberapa orang, aku segera membantu. Tetapi tepat pada saat itu Wan-ong Kui pun rubuh "

"Ihhhhh," Han Bi Ing menjerit, "apakah dia tewas?" "Aku berhasil mengundurkan musuh dan terus kubawa

Wan-ong Kui lari ke dalam sebuah hutan. Dia tidak tewas

tetapi menderita luka parah sekali "

"Oh, mana dia!" teriak Han Bi Ing.

Bu Te mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum. "Ah, memang pantas kalau Wan-ong Kui begitu memperhatikan sekali kepadamu. Ternyata engkau juga sangat memperhatikan keadaannya. Ah, dia lebih beruntung dari aku "

Han Bi Ing terkesiap. "Apa katamu?"

“Setelah kuberi obat, dia dapat sadar. Dia telah menderita luka-dalam yang parah dan harus mengasoh sampai setengah tahun baru pulih kesehatannya."

Han Bi Ing terkejut.

"Tetapi jangan kuatir nona," kata Bu Te, "dia minta tolong kepadaku supaya menghantarkan nona ke Lou-hu- san. Sebagai sahabat baik sudah tentu aku wajib membantu kerepotannya."

"Ah, kurasa tak perlu  merepotkan  engkau,” kata Han  Bi Ing, "aku dapat melakukan perjalanan seorang diri."

"Ah, jangan nona," kata Bu Te, "pertama, suasana sekarang ini tidak aman, dimana-mana timbul pemberontakan dan kerusuhan. Begal dan perampok tumbuh seperti jamur dimusim hujan. Nona seorang gadis, tidakkah akan berbahaya apabila harus menempuh perjalanan seorang diri."

"Dan lagi," kata Bu Te lebih lanjut, "aku pun tak mau ingkar janji kepada sahabatku Wan-ong Kui karena aku sudah berjanji akan mewakilinya mengantar nona. Ah, dia memang seorang pemuda yang penuh tanggung jawab terhadap nona."

Han Bi Ing tertegun.

"Nona, berilah aku kesempatan untuk menghantar nona. Aku berjanji akan melindungi nona dengan segenap jiwa ragaku," Bu Te masih menusukkan kata2 yang berbisa.

Dengan kata2 yang manis dan sikap yang sopan, berhasillah Bu Te mendapat kepercayaan^ Han Bi lug. Mereka lalu meneruskan perjalanan!

Tetapi di tengah jalan entah karena apa terkenalah Han Bi Ing pada Wan-ong Kui. Kebaikan. keramahan dan sikap pemuda itu, berkesan dalam hatinya. Dia minta supaya diantarkan ke tempat Wan-ong Kui.

"Ah, perlu harus kesana? Dia perlu ketenangan dan tak mau diganggu orang," kata Bu Te.

"Tidak," kata Han Bi Ing, "biar bagaimana dia telah melepas budi kebaikan kepadaku selama dalam perjalanan ini. Aku harus melihat keadaannya. Kalau memang berbahaya, aku akan merawatnya sampai sembuh."

Bu Te terkejut dalam hati. Sebenarnya dia sudah cukup merderita menahan nafsu birahinya terhadap gadis cantik itu. Dalam keadaan terdesak, daripada ketahuan belangnya apabila harus mecari Wan-ong Kui, lebih baik ia bertindak saat itu juga. "Tidak, nona manis," katanya, "aku tak berani melanggar pesan sahabatku."

Han Bi Ing terkejut ketika Bu Te berani memanggilnya dengan kata 'nona manis’. Sedang Wan-ong Kui yang bersamanya dalam perjalanan selama beberapa hari, jangankan memanggil dengan 'nona manis', bahkan bertatapan muka saja Wan-ong Kui itu tak berani.

"Jika engkau tak mau mengantarkan kesana aku akan mencarinya sendiri," Han Bi Ingpun mulai getas.

"Ai, nona cantik," Bu Te tertawa, "mengapa engkau begitu memperhatikan sekali kepada Wan-ong Kui? Bukankah sekarang sudah ada penggantinya?"

Han Bi Ing makin mendapat kesan bahwa Bu Te itu seorang pemuda yang kurang ajar. Masa baru kenal sudah cengar cengir menyebut nona manis, nona cantik ' segala.

"Itu urusanku, engkau tak perlu ikut campur," Han Bi Ing makin getas.

"Ai, nona cantik," kata Bu Te, "jangan marah. Ketahuilah, nona manis aku juga seorang lelaki. Sudah tentu aku merasa iri terhadap Wan-ong Kui. Apanya yang menarik perhatianmu begitu rupa? Dia memang tampan tetapi ketampanannya tidak bersifat kepriaan, melainkan sebagai gadis cantik. Akupun lebih gagah dan lebih sakti dari dia. Apa yang kurang padaku?"

"Jangan banyak mulut!" bentak Han Bi Ing makin marah, "silakan engkau melanjutkan perjalananmu sendiri. Aku tak butuh pengantar."

"Ah, dara cantik, segala-galanya tentu tetap cantik.

Bahkan kalau marah malah tambah cantik, ai " Kini jelas sudah bahwa pemuda yang mengaku bernama Bu Te itu seorang pemuda yang tak baik. Tiba2 Han Bi lng teringat pada kusir kereta, "mana Thia Kim kusir kereta itu?"

"Mengapa?"

"Kalau engkau tak mau mengantarkan aku ketempat Wan-ong-ko, antarkan aku mencri kusir itu. Aku dapat melanjutkan peijalanan bersama dia."

"Aiii .... bagaimana engkau ini nona manis. Diantar seorang pemuda tampan dan gagah seperti aku tidak mau tetapi minta diantar seorang kusir?"

"Tutup mulutmu!" bentak Han Bi Ing dengan wajah kemerah-merahan. Namun ia berusaha untuk tidak marah.

"Dan jangan mengharap kusir itu mau kembali lagi." "Mengapa?" Han Bi Ing terkejut.

"Dia sudah kuberi uang dan kusuruh pulang. Aku kasihan padanya."

Han Bi Ing seorang gadis yang cerdas. Merangkai pada kata2 itu dengan tingkah laku Bu Te yang kurang ajar, diam2 ia menjadi tegang. Apakah ada udang dibalik batu atas kemunculan pemuda yang bernama Bu Te ini? Pikirnya. Ia mengeluh dalam hati karena mengingat keadaan dirinya saat itu.

"Siapa yang suruh engkau berbuat begitu?" tegur Han Bi Ing.

"Wan-ong Kui"

"Tidak percaya!" teriak Han Bi Ing seraya ayunkan langkah. "Hai, hendak kemana engkau, nona?" cepat Bu Te loncat menghadangnya.

"Mencari Wan-ong ko."

Wan-ong Kui gelengkan kepala, "Sudahlah, jangan buang waktu. Terus terang kuberitahu kepadamu bahwa Wan ong Kui sudah pulang ke rumahnya di Pak-kia?"

"Apa?" Han Bi Ing terbeliak, "dia tinggal di bekas kotaraja Pak-kia? Bukankah saat ini Pak-kia sudah diduduki tentara Ceng?"

Bu Te mengangkat bahu, "Engkau tahu siapa Wan-ong Kui itu?"

"Tidak."

"Hm," dengus Bu Te, "memang tak salah kalau engkau memilih dia. Kelak engkau tentu hidup mewah."

"Siapa orangtuanya?"

"Walikota Pak-kia yang sekarang berhamba pada kerajaan Ceng. Nah, tidakkah kelak engkau akan hidup enak?"

"Tidak, aku tak sudi bersahabat dengan puteranya antek kerajaan Ceng!"' teriak Han Bi Ing

"Bagus, kalau begitu jadilah isteriku saja, serentak Wan- ong Kui ulurkan tangan hendak memeluk nona itu.

Han Bi Ing terkejut dan menyurut mundur lalu berputar tubuh dan lari.

"Hai, percuma saja engkau lari, nona cantik," Bu Te tertawa mengekeh seraya mengejar.

Ketika berpaling ke belakang dan melihat Bu Te berada tiga empat langkah di belakangnya, Han Bi Ing menyadari kalau ia sedang berhadapan dengan seorang iblis yang hendak mengganggu dirinya.

"Daripada tercemar, lebih baik aku mengadu jiwa dengan bangsat ini. Kalau aku kalah aku akan bunuh diri," ia membulatkan tekad.

Serentak ia berhenti dan berbalik tubuh menghadapi Bu Te, "Mau apa engkau !"

"Oh, nona cantik, apakah engkau tak mengerti perasaan hatiku yang hangus terbakar oleh bara asmaramu?"

Han Bi Ing merah mukanya tetapi dia sudah bersiap-siap. "Aku sudah menjadi milik orang!"

"Siapa?"

"Putera paman Kim Thian Cong ..."

"Si Bloon itu? Ha, ha, ha . . . katak hendak makan buah teratai, uh "

"Jangan menghina calon suamiku" bentak Han Bi Ing tersipu-sipu malu, "biar jelek dia putera seorang pendekar besar, tentu baik budinya. Tidak seperti engkau, iblis pengganggu wanita!"

"Tidak!" tiba-tiba Bu Te membentak keras, "tidak bisa, biarpun bagaimana juga takkan kuberikan engkau diperisteri si Bloon itu!"

"Cis, aneh," dengus Han Bi Ing, "hak apa engkau hendak melarang aku? Perjodohan itu ayahku yang menentukan!"

"Tidak peduli ayahmu, engkongmu kek, atau raja sekalipun, aku takkan membiarkan engkau dipersunting si Blo'on!"

"Kurang ajar, apa hakmu berani melarang.” "Cintaku kepadamu, nona, yang memberi hak kepadaku untuk melarang orang lain menjamah dirimu!"

Merah muka Han Bi Ing. Tetapi dia mual mendengar ocehan Bu Te.

Tiba-tiba Bu Te sin-kun bersenandung;

Banyak bintang di langit tetapi hanya rembulan satu banyak gadis-gadis cantik tetapi hanya dikau seorang pilihanku ....

Bu Te tertawa terbahak-bahak, maju selangkah dan ulurkan tangan hendak memeluk Ha Bi Ing.

Bi Ingpun cepat bergerak dan aduhhh . . , Bu Te menjerit dan loncat mundur. Ia memandang telapak tangan kanannya yang berdarah. Seketika marahlah dia.

Apa yang telah terjadi?

Ternyata Han Bi Ing diam2 sudah mencabut tusuk kundainya. Tusuk kundai itu pernah digunakan untuk menusuk dan mencukil bola mata Sasterawan -berwajah- pucat Sun Kian. Kali ini dia gunakan untuk menusuk telapak tangan Bu Te.

Di tengah-tengah telapak tangan terdapat sebuah jalandarah yang disebut jalandarah Lau-kiong-hiat. Apabila jalandarah itu tertusuk maka tenaga-sakti yang dimiliki orang tentu akan merana. Demikian rencana Han Bi Ing dengan tusuk kundai itu.

Bu Te sudah mabuk kepayang. Ia tak mengira kalau gadis itu berani menusuk. Lebih tak mengira kalau tusukan tusuk kundai itu dengan tepat telah menyusup ke dalam jalandarah Lau Kiong-hiat. Seketika ia rasakan tangannya seperti tersentuh dengan aliran listrik yang kuat sehingga kuasa menggigit jantungnya.

Bu Te tahu artinya tusukan itu. Lengan kanannya hilang kekuatannya. Dia harus beristirahat beberapa waktu untuk memulihkan tenaga itu.

Bagi Bu Te ilmusilat itu adalah segala-galanya. Wanita cantik, tidak penting. Setiap saat dia dapat menikmati. Maka marahnya bukan kepalang. "Engkau, perempuan hina, berani melukai tanganku !"

Han Bi Ing hendak menghindar tetapi tamparan Bu Te lebih cepat, plak.......untung Han Bi Ing masih sempat mengisar kepalanya hingga mukanya selamat. Tetapi lehernya terhajar. Seketika ia terhuyung-huyung rubuh ke tanah, pakaiannyapun robek terkena duri.

Melihat betis si nona yang begitu putih mulus, seketika meluaplah nafsu Bu Te. Cepat ia menerkam gadis itu bagaikan serigala kelaparan.

Han Bi Ing tak berdaya ketika merasa tubuhnya telah didekap oleh tangan yang kuat. Seketika dia sudah memutuskan untuk bunuh diri saja. Serentak diapun mengerahkan tenaga untuk menggigit putus lidahnya.

Pada saat yang genting dimana kehormatan nona itu terancam hancur dan nona itupun sudi hendak membunuh diri, tiba2 terdengar sebuah teriakan yang keras. "Bangsat, jangan main perkosa wanita!"

Bu Te tersentak ke belakang tetapi secepat itu diapun sudah  berbalik  diri  dan   menghantam uh terdengar

penyerangnya mendesuh kaget ketika mencelat beberapa langkah ke belakang. "Bajingan, engkau berani mengganggu kesenanganku!" serentak Bu Te menerjang orang itu.

Penolong itu seorang pemuda berwajah polos yang mengenakan pakaian serba sederhana. Ia mencabut golok dan menyongsong serangan Bu te.

Untunglah Bu Tc sudah kehilangan sepan

bagian tenaganya sehingga pemuda berw j h f o los itu dapat bertahan. Sekalipun beg'tu dia basah kuyup mandi keringat menghadapi pukulan tangan Bu Te.

Bu Te terkejut juga. Dia tak kenal siapa pemuda itu tetapi ilmu permainan golok pemuda itu henar2 luar biasa sekali. Cepat dan gencar seperti hujan deras.

"Hm, budak yang tak kenal diri. Kalau dalam lima jurus aku tak mampu mengalahkan engkau, aku akan pergi dari sini," seru Bu Te seraya mulai menghitung, "satu . . . dua . .

. tiga ..."

Tring......golok pemuda itu terlepas jatuh dan saat itu diapun sudah pejamkan mata menanti pukulan maut dari Bu Te. Untung pada saat yang berbahaya itu muncul Wan- ong Kui, In Hong dan engkongnya. Walaupun dia dapat mengalahkan kedua pemuda Wan-ong Kui dan In Hong bahkan ditambah pemuda berwajah polos, namun akhirnya ketika berhadapan dengan Tong Kui Tik, ia merasa menghadapi lawan yang berat.

Tong Kui Tik memang menderita luka akibat adu tenaga-sakti dengan Bu Te. Tetapi sebagai seorang tokoh sakti, Bu Te tahu kalau Tong Kui Tik itu hebat sekali. Ia kuatir kalau sampai dikeroyok empat, tentulah dia akan menderita kekalahan. Selama gunung masih hijau, masakan takut tak ada kayu bakar, pikirnya. Lebih baik dia pergi dulu, kelak dia masih mempunyai kesempatan untuk membuat perhitungan dengan Tong Kui Tik. Maka diapun sebera melarikan diri.

"Oh, tentulah akibat tusukan tusuk kundai nona itu yang menyebabkan tenaga-sakti Bu Te sin-kun menderita," kata Tong Kui Tik setelah mendengar cerita Han Bi Ing.

"Engkong siapakah Bu Te sin-kun itu?" tanya In Hong. "Belum lama berselang ini, di dunia persilatan memang

muncul  seorang  tokoh  misterius  yang  menyebut   dirinya

sebagai Bu Te sin-kun. Ilmusilatnya tinggi sekali. Konon menurut cerita orang, dia memiliki ilmusilat istimewa dari berbagai perguruan," menerangkan Tong Kui Tik.

"Tetapi dia jelas seorang benggolan hitam yang gemar merusak wanita," seru In Hong.

"Memang demikianlah, Hong," Tong  Kui  Tik  menghela napas,"  itulah  bahayanya belajar ilmu sakti.  Jika tak kuat imannya, dia  tentu akan berobah menjadi  iblis yang berbahaya. Tetapi kalau dia memang berjiwa luhur, ilmusilat itu akan mendatangkan rahmat dan faedah be untuk memberantas kejahatan, menegakkan keadilan dan kebenaran."

Anak2 muda itupun mengangguk-angguk.

"Eh, siapakah nama siauheng?" tiba2 Tong Kui Tik bertanya kepada pemuda polos. Wan-ong Kui dan In Hongpun teringat kalau belum kenal dengan pemuda itu. Mereka memandang kearah pemuda berwajah polos.

"Wan-pwe she Bok nama Kian. Tolong tanya siapakah nama lo-cianpwe yang mulia?" kata pemuda berwajah polos itu sembari menjurah memberi hormat.

Timbul kesan baik dalam hati Tong Kui Tik. Walaupun agak ketolol-tololan tetapi jelas pemuda Bok Kian itu seorang yang jujur, "Ai, Bok liauheng, aku siorang tua ini bernama Tong Kui Tik. Dan marilah kuperkenalkan kepada beberapa anak muda disini "

In Hong terkejut dalam hati. Jarang sekali engkongnya bersikap begitu terbuka kepada orang, Engkongnya tentu memperkenalkan diri dengan nama Ah Tik kepada setiap orang yang menanyakan namanya. Mengapa terhadap pemuda itu dia mau memberilahu secara terus terang.

"Inilah cucuku perempuan In Hong yang liar," tiba2 Tong Kui Tik memperkenalkan In Hong.

Sebenarnya In Hong hendak membantah tetapi saat itu Bok Kian sudah memberi salam perkenalan, "Nona In . . . .

"

Terpaksa In Hong balas memberi hormat. Setelah satu per satu diperkenalkan  kepada  Bok  Kian,  ketika  tiba pada Han Bi Ing, nona itu pun menghaturkan terima kasih atas pertolongannya tadi.

"Ah, harap nona jangan sungkan. Rasanya tak ada orang waras yang akan membiarkan perbuatan yang tak begitu senonoh," kata Bok Kian. Mendengar itu Han Bi Ingpun merah mukanya.

"Bok siauheng," kata Tong Kui Tik pula yang rupanya menaruh perhatian kepada pemuda itu, "bolehkah aku siorangtua ini mengetahui sedikit tentang tempat tinggal dan tujuan siauheng sehingga sampai ditempat ini?"

"Ah, aku sedang melakukan tugas yang diberikan oleh Su tayjin menghadap Li Seng Tong cong-peng (jenderal ) di Ik-ciu "

"Su tayjin? Siapakah yang siauheng maksudkan dengan Su tayjin itu?" Bok Kian menyadari kalau kelepasan omong Tetapi karena dasarnya dia tak dapat berbohong apalagi ia mendapat kesan bahwa orang2 yang di hadapinya itu orang baik maka iapun bicara terus terang, "Su Go Hwat mentri pertahanan kerajaan kita."

"Oh," Tong Kui Tik terkejut, "jika demikian kongcu ini orang kepercayaan dari Su tayjin bukan?"

Siau-heng artinya engkoh kecil. Digunakan terhadap pemuda biasa. Kong-cu artinya tuan. Sebutan terhadap putera orang berpangkat atau hartawan atau ternama. Sebutan kongcu lebih menghormat daripada siau heng.

"Ah, tidak lo-cianpwe. Aku hanya seorang pegawai biasa, harap jangan menyebut aku sebagai kongcu,". kata Bok Kian.

"Dan sekarang Bok siauheng hendak menuju kemana?" tanya Tong Kui Tik pula.

"Mencari Su tayjin."

"O, apakah Su tayjin tidak tinggal di gedung kementerian pertahanan di Lam-kia?"

Bok Kian gelengkan kepala, "Su tayjin sudah sejak bebeapa waktu ketika kotaraja pindah ke Lam-kia, bertugas keluar untuk menyusun kekuatan pasukan kita di daerah2. Tempat tidak menentu karena harus keliling dari satu ke lain tempat."

"Ah," Tong Kui Tik menghela napas, "siapakah yang menugaskan Su tayjin?"

"Seri baginda Hok Ong."

"Hm, seri baginda Hok Ong kabarnya banyak dipengaruhi oleh mentri tay-haksu Ma Su Ing. Su tayjin seorang mentri jujur. Apabila beliau tak tinggal di kotaraja, tentulah Ma Su Ing makin leluasa untuk mengendalikan pemerintahan penurut sekehendak hatinya."

"Memang banyak sekali mentri dorna yang bersembunyi dalam pemerintah kerajaan Beng sehingga mudah dikalahkan musuh. Jenderal2 lapuk, anak pasukan kurang disiplin, Mentri dorna menguasai pemerintahann," tiba2 Wan-ong Kui dengan geram.

Sekalian orang terkesiap mendengar pernyataan yang berani dari pemuda itu. Terutama Han Bi Ing, dia serentak teringat, serunya, "Wan-ong ko, apa .... apakah engkau berniat hendak berhamba pada kerajaan Ceng?"

"Siapa yang bilang!" wajah Wan-ong Ku tampak memberingas.

"Jahanam Bu Te."

"Perlu apa Wan-ong Kui masih hidup begini rupa kalau mempunyai tujuan untuk berhamba pada penjajah Ceng? Hanya mereka yang berjiwa budak mau berhamba pada musuh!"

"Bagus, Wan-ong-ko, aku memang tak percaya omongan si Bu Te itu," tiba2 In Hong juga ikut memuji.

Tong Kui Tik tertawa lebar.

"Engkong, mengapa engkau tertawa?" tegur In Hong. "Engkau tak tahu Hong," seru jago tua itu "hari ini aku

merasa seperti menjadi muda kembali. Bok siau-heng, Wan- ong siau-heng adalah pemuda2 yang berjiwa patriot. Jika mereka, anak muda yang masih penuh harapan rela mengorbankan masa muda yang masih penuh harapan dan mengorbankan masa mudanya untuk berjuang membela tanah-air, mengapa aku si tua-renta yang sudah mendekati liang kubur ini, tak ikut berjuang?" "Lo-cianpwe," kata Bok Kian, "apa yang kita hadapi saat ini adalah musuh yang hendak menindas seluruh rakyat. Perjuangan melawan penjajah, bukan hanya kewajiban dari prajurit saja, pun setiap orang, seluruh rakyat yang merasa mempunyai tanah-air, wajib berjuang membasmi musuh!"

"Ah," Tong Kui Tik menghela napas, "tetapi aku sudah tua, masakan mereka mau menerima diriku?"

"Siapa yang lo-cianpwe maksudkan mereka itu?" tanya Bok Kian.

"Barisan pejuang, baik yang berbentuk kesatuan pasukan kerajaan maupun lasykar rakyat dan barisan kaum persilatan yang menentang kerajaan Ceng."

"Tidak, lo-cianpwe," seru Bok Kian, "tua, muda, lelaki perempuan, besar kecil, semua berguna untuk peluangan membela tanah-air. Apalagi lo-cianpwe seorang yang memiliki kepandaian tinggi, sudah tentu akan menyambut dengan gembira kehadiran lo-cianpwe di tengah2 kita."

Tong Kui Tik mengangguk-angguk.

"Lo-cianpwe," kata Bok Kian pula, "jika lo-cianpwe setuju, marilah kubawa lo-cianpwe menghadap Su tayjin. Su tayjin pasti gembira sekali menerima kedatangan lo- cianpwe."

"Hong, tuh dengar tidak," seru Tong Kui Tik kepada In Hong, "apakah engkau setuju ikut Wan-ong-ko?"

In Hong gelengkan kepala, ''Ih, engkong ini bagaimana.

Apakah engkong lupa akan tujuan kita?"

"Ai, engkau ini memang keras kepala, Hong,” seru Tong Kui Tik, kemudian berkata kepada Bok Kian, "terima kasih Bok siauheng atas perhatianmu. Tetapi cucuku si Hong itu masih ada urusan penting yang headak diselesaikannya maka akupun terpaksa tak dapat memenuhi anjuran siau- heng. Tetapi aku yakin, bahwa kita bersama dalam satu garis perjuangan."

"Tak apa, lo cianpwe," Bok Kian tersenyum, "dan aku terpaksa akan mohon diri untuk melanjutkan perjalanan."

"Bok siau-heng," kata Tong Kui Tik, "sekalipun hanya dalam waktu yang singkat, tetapi aku gembira sekali atas pertemuan ini. Saat ini negara sedang dalam suasana perang. Setiap orang tak tahu bagaimana nasibnya besok pagi. Aku ingin memberi sesuatu kepadamu sebagai tanda kenang2an, harap engkau jangan menolak."

"Ah, mengapa lo-cianpwe begitu sungkan2,” Bok Kian gopoh memberi pernyataan.

"Ah, bukan sesuatu barang berharga, tetapi hanya sekedar untuk kenangan saja," kata Tong Kui Tik seraya menyerahkan sebuah bungkusan kain kuning. Bok Kian terpaksa menerima dan setelah menghaturkan terima kasih lalu mohon pamit kepada sekalian orang.

"Engkong, mengapa engkau begitu suka kepada pemuda itu ?” beberapa saat kemudian setelah Bok Kian pergi, In Hong bertanya.

"Ah, entah bagaimana, tetapi melihat wajahnya, aku terkenang pada seseorang," kata Tong Kui Tik.

"Siapa engkong ?"

Tong Kui Tik termenung. Ia agak kaget dan cepat tersenyum, "Ah, seorang sahabat yang baik."

In Hong heran. Tidak biasanya engkongnya bersikap begitu kikuk.

"Wan-ong kongcu, kalian hendak kemana ?" tanya Tong Kui Tik mengalihkan pembicaraan. "Mengantarkan sumoayku ini ke Lou-husan." "Mengapa, Wan-ong-ko ?" tanya In Hong. "Mencari putera Kim Thian Cong tayhiap."

Tong Kui Tik terkejut mendengar nama Kim Thian Cong. "Tetapi bukankah Kim tayhiap sudah meninggal ?"

"Benar, lopeh, tetapi kami akan  mencari puteranya," kata Wan-ong Kui, "apakah lopeh kenal dengan Kim tayhiap ?"

"Setiap orang persilatan seangkatan dengan aku tentu kenal nama Kim tayhiap yang termasyhur. Dia adalah pemimpin dari dunia persilatan. Sayang pada waktu beliau wafat, aku sedang mengembara ke daerah Tibet sehingga tak dapat datang."

"Lalu apakah lopeh kenal dengan puteranya?”

Tong Kui Tik gelengkan kepala, "Sudah lama aku mengasingkan diri dari dunia persilatan Banyak sekali tokoh2 muda yang tak kukenal. Tetapi kalau ayahnya seorang pendekar besar tentulah puteranya juga pendekar muda yang hebat.”

Wan-ong Kui gelengkan kepala, "Tidak, lo peh. Harimau tentu beranak harimau tetapi kaum manusia belum tentu. Ayahnya pendekar sakti, puteranya seorang blo'on yang tak mengerti silat,"

"Ah, kongcu bergurau," kata Tong Kui Tik.

"Tidak, lopeh. Orang2 mengatakan bahwa putera Kim tayhiap itu seorang bloon, tak mau belajar silat."

"Lalu kongcu hendak menemuinya untuk apa ?" tanya Tong Kui Tik. "Sebenarnya   hal   itu mengenai kepentingan sumoayku," Wan-ong Kui berpaling kepada Bi Ing yang berada disampingnya, "sumoay, bolehkah kukatakan kepada cianpwe ini ?"

Han Bi Ing tidak menyahut melainkan mencubit lengan Wan-ong Kui.

"Begini lopeh." kata Wan-ong Kui yang lalu menceritakan tentang maksud tujuan Han Bi Ing mencari putra Kim Thian Cong.

"O," seru Tong Kui Tik, "tetapi boleh aku mengetahui nama ayah nona Bi Ing itu ?"

Wan-ong Kui berpaling memberi anggukan kepada Han Bi Ing dan nona itupun segera menyahut, "Aku adalah anak dari Han Bun Long dari Thay-goan-hu."

"Oh," teriak Tong Kui Tik, "aku memang sudah meragukan hal itu dan ternyata memang benar. Dimanakah sekarang ayah nona ?"

Dengan berlinang-linang air mata Han Bi Ing mengatakan bahwa ia belum tahu pasti bagaimana keadaan ayahnya. Karena waktu pasukan Ceng menduduki kotaraja Pak-kia lalu mengirim pasukan menduduki Thay-goan ayahnyapun lalu menyuruhnya ke Lou-hu-san.

"Dan dia sendiri ?" tanya Tong Kui Tik."

"Beliau sudah bertekad untuk melawan pasukan Ceng.

Oleh karena itu lebih dulu ayah telah mengungsikan aku." "Lalu ibu nona ?"

"Ibu . . . ibu sudah lama meninggal dunia." Tong Kui Tik menghela napas panjang.

"Lopeh, apakah engkau kenal dengan ayah sumoayku ?" tanya Wan- ong Kui. "Dia sahabatku yang baik." kata Tong Kui Tik, "tetapi sudah hampir duapuluh tahun kami tak bertemu. Sekarang tahu2 dia sudah mendahului aku."

"Lo cianpvve," tiba2 Han Bi Ing berkata "mohon tanya siapakah lo-cianpvve ini ? Mengapa ayah tak pernah menyebut nyebut nama lo-cian pwe kepadaku ?"

Tong Kui Tik menghela napas, "Ya, karena kalian mau berlaku jujur, akupun harus berterus-terang juga. Sebenarnya aku ini murid perguruan Go-bi-pay tetapi aku dituduh telah melakukan kesalahan membunuh Asita Ihama kepala kuil Mutiara-putih di Tibet, aku dikeluarkan dari pergu ruan "

"Ah, kurasa lopeh tentu tak melakukan pembunuhan itu, bukan?" kata Wan-ong Kui.

"Tidak," sahut Tong Kui Tik, "tetapi bukti tak dapat disangkal. Aku diketemukan berada samping Asita lhama yang sudah berlumuran darah tak bernyawa sedang tanganku masih mencekal pedang "

"Apakah lopeh tidak mengetahui hal itu?”

"Aku pingsan dan ketika sadar, tahu2 aku sudah dikepung oleh beratus-ratus lhama."

"Ah, fitnah," seru Wan-ong Kui, "lalu siapakah yang membunuh Asita lhama itu ?"

"Sejak dikeluarkan dari perguruan aku lalu mengembara untuk menyelidiki siapa pembunuh yang telah mencelakai diriku itu. Tetapi tak berhasil. Aku bertemu dengan Han Bun Liong, ayah nona Bi Ing. Kami bersahabat baik sekali. Akhirnya kami berdua masuk menjadi prajurit. Kami beruntung diterima dan dijadikan pengawal dari mentri Go Sim Kui. Karena melihat mentri itu hendak berhianat dengan bersekongkol pada raja Ceng, diam2 aku masuk ke dalam markasnya. Dia hendak kubunuh tetapi gagal karena keburu dipergoki oleh pasukan pengawal. Aku melarikan diri dari kotaraja dan sejak itu aku mengasingkan diri dari dunia persilatan "

"Dan ayah?" tanya Han Bi Ing.

"Kabarnya ayahmu juga dicurigai oleh Go Sun Kui dan dikeluarkan. Tetapi bagaimana perisitiwa yang sesungguhnya aku tak tahu karena dia juga pindah dari kotaraja. Ternyata dia berdiam di Thay-goan "

"Bagus!*' sekonyong-konyong terdengar sebuah suara berhamburan dibawa kesiur angin.

Tong Kui Tik terkejut. Ketika berpaling tampak dua orang lelaki muncul dari gerumbul pohon. Yang seorang berdandan seperti seorang sastrawan dan yang satu, seorang lelaki tua. Mereka berjalan menghampiri ketempat rombongan Teng Kui Tik.

"Loheng," setelah memberi hormat, sastrawan itu bertanya kepada Teng Kui Tik, "tolong tanya, yang manakah Han siocia itu ?"

"Siapakah anda ini ?" Tong Kui Tik balik bertanya.

"Aku orang she Ko nama Cay Sing, saya seorang sahabat dari Han Bun Liong ”

Semula Tong Kui Tik curiga. Tetapi setelah mendengar keterangan orang, dia mengira kalau Ko Cay Sing itu hendak menyampaikan berita dari ayah Han Bi Ing maka buru2 diapun memperkenalkan nona, "Yang inilah nona Han Bi Ing itu."

Tanpa menghaturkan terima kasih, Ko Cay Sing terus mengisar pandang kearah Han Bi Ing "Han siocia. aku telah mendapat pesan dari ayah nona supaya menyampaikan sebuah berita."

"O, silakan,'" kata Han Bi Ing, "apakah ayah mendapat kecelakaan ?"

Ko Gay Sing gelengkan kepala, "Tidak, nona, ayah nona tak kurang suatu apa."

"Ah," terima kasih Tuhan," seru Han Bi Ing dengan gembira," lalu dimanakah dia sekarang?”

"St. soal ini tak dapat kukatakan karena loheng pesan wanti2 jangan memberitahukan tempatnya kepada siapapun juga. Pokoknya Han beng selamat dan kini bersembunyi ditempat yang dirahasiakan."

"O," seru Han Bi Ing," lalu apa saja pesan ayah itu ?" "Ayah nona pesan supaya nona kembali ke Thay-goan

untuk merawat lukanya . .

"Ah," Han Bi Ing mengeluh kaget, "apakah eyah terluka dalam peperangan itu ?"

"Ya."

"Parahkah lukanya ?"

"Aku tak dapat mengatakan nona. Tetapi nanti nona dapat melihat sendiri. Dia benar2 membutuhkan nona untuk merawatnya, kasihan …”.

"Lalu bagaimana dengan perintahnya supaya aku menuju ke Lou-hu-san itu ?"

"O, apakah dia memerintahkan nona begitu?"

"Apakah ayah tak menceritakan kepadamu ?" Han Bi Ing balas bertanya. Rupanya orang itu menyadari kalau bicara secara tolol. Buru2 ia menyusuli kata. "Mungkin karena sedang dalam, keadaan terluka dia lupa pada perintahnya itu. Yang jelas dia sudah mengirim pesan kepadaku supaya dihaturkan kepada nona. Apakah nona tak kasihan kepada ayah nona yang sudah tua dan seorang diri dalam keadaan terluka itu

?"

"Ah. ," Han Bi Ing mendekap mukanya dengan kedua

belah tangan. "Bagaimana nona ?"

"Baik, aku akan kembali ke Thay-goan. Tetapi bagaimana dengan* peti harta yang- kubawa itu?"

"Ah, peti harta itu dibawakan nona?" Ko Cay Seng terkejut tetapi cepat pula ia menyusul kata2, 'jika demikian, bawalah sekalian peti itu mungkin bergana untuk beaya pengobatan Hai loheng."

Han Bi Ing begitu cemas dan gembira mendengar berita tentang diri ayahnya. Maklum sejal kecil dia sudah ditinggal mati mamanya sehingg/ dia rapat sekali dengan ayahnya. Demikian ayahnya, pun juga amat mencintai puteri satu- satunya itu. Maka begitu mendengar pesan ayahnya, Han Bi Ing.pun terus setuju untuk kembali ke Thay-goan.

"Jika begitu, marilah kita berangkat sekarang juga," kata Kon Cay Seng.

"Tunggu!" tiba2 Wan-ong Kui berseru. "Eh, siapa engkau!" teriak Ko Cay Seng. I "Aku pengawal dari Ing moay."

"O," seru Ko Ciy Seng, 'lalu engkau mau apa?"

"Ing-moay,'" Wan-ong Kui berpaling kearah Han Bi Ing, "apakah engkau kenal dengan kedua orang ini?"

Han Bi Ing gelengkan kepala, "Tidak." ''Mengapa engkau cepat2 percaya pada omongannya?" Han Bi Ing tertegun.

"Tetapi dia membawa berita tentang ayahku," katanya. "Dan engkau terus percaya ?"

"Habis, ayah memang benar bertempur melawan pasukan Ceng untuk mempertahankan kota. Kalau beliau terluka parah dan bersembunyi di suatu tempat yang dirahasiakan, itu memang masuk akal, Wan-ong-ko."

"Setiap orang yang mempunyai maksud, dapat saja merangkai alasan yang dapat diterima akal."

"Lalu bagai nana aku harus berbuat, Wan-ong-ko?" 'Engkau harus meminta bukti bahwa dia benar2 orang

yang disuruh ayahmu."

"Tepat," tiba2 Teng Kui Tik ikut .bicara, nona harus dapat mempertimbangkan apakah ayahmu itu seorang manusia yang suka mencla-mencle. kau disuruh menyingkir lalu disuruh kembali. Dan bukankah kota Thay- goan saat ini sudah diduduki pasukan Ceng ?"

"Dan mengapa peti harta itu juga harus taci bawa pulang

?" In Hong meriyelutuk.

Pikiran Han Ing yang semula dicengkam ketegangan karena mendengar berita ayahnya sehingga dia tak dapat memikir terang, kini seperi disadarkan. Ia anggap peringatan2 dari Wan-ong Kui, Tong Kui Tik dan In Hong itu memang tepat.

"Ko sianseng," kata Han Bi Ing kepada sasterawan yang bernama Ko Cay Seng itu, "karena aku beiurn kenal dengan tuan maka dapatkah engkau mengunjukkan barang suatu bukti bahwa engkau benar2 telah disuruh ayahku ? "Hm, ini urusan seorang anak dengan ayahnya, ayah yang sedang menderita luka parah dan perlu perawatan. Mengapa nona masih menghiraukan omongan orang2 yang tak berkepentingan itu ?"

"Tidak, Ko sianseng," seru Han Bi Ing, "mereka justeru memperhatikan kepentinganku. Karena kutahu ayah itu seorang yang berhati-hati dalam tindakan dan bertanggung jawab dalam kata2. Dia telah menyuruh aku menyingkir, mengapa tiba2 dia suruh aku kembali lagi ?"

"Tetapi ayah nona benai2 sedang menderita musibah. Sebagai puterinya wajiblah engkau lekas datang merawatnya. Apakah engkau sampai hati kalau ayahmu sampai meninggal ? Apakah engkau tak berdosa kalau engkau tak mau memenuhi keinginan ayahmu yang meminta engkau datang untuk merawatnya atau mungkin kalau dia sampai tak tertolong, pun dia merasa, terhibur hatinya karena engkau menjaga di sampingnya ?"

Han Bi Ing tertegun. Kecintaannya terhadap sang ayah memang sedemikian besar sehingga kata2 Ko Cay Seng itu tepat mengenai di hatinya. Dia merasa berdosa kalau tak dapat memenuhi panggilan ayahnya. Andaikata ayahnya sampai meninggal dunia, bukankah ia akan makin berdosa karena tak mau memenuhi panggilan itu ?

"Cici Ing," tiba2 In Hong berseru, "agar hatimu lebih mantap, mintalah bukti kepadanya !"

"Jangan usil mulut budak perempuan !" bentak Ko Cay Seng.

"Gila!" teriak In Hong, "aku bicara dengan mulutku sendiri, mengapa engkau melarang ?"

"Jangan mencampuri urusan Han siocia !" "Yang mempunyai kepentingan adalah cici Ing, kalau dia yang melarang, aku taat. Tetapi kalau engkau, huh, engkaupun hanya orang suruhan juga, bukan urusanmu!"

"Ko sianseng," cepat Han Bi Ing menukas, "agar hatiku tenang, sukalah engkau memberi bukti bahwa engkau benar2 disuruh ayah,",

"Bukti apa yang engkau kehendaki ?" "Apa saja yang engkau terima dari ayah."

"Baik," kala Ko Cay Ssng seraya merogoh kedalam saku bajunya dan mengeluarkan sebuah sampul, "inilah surat dari ayahmu."

Sambil menyambuti, Han Bi Ing berkata. "Kalau membawa surat dari ayah mengapa dari tadi tak engkau serahkan ?"

"Kukira panggilan seorang ayah kepada putrinya yang disayangi itu tak perlu  pakai segala macam  surat bukti. Tak tahunya  kalau  engkau menghendaki begitu,"  sahut Ko Cay Seng.

In Hong terkejut melihat surat itu. Ia berpaling kearah engkongnya kemudian kepada Wan-ong Kui. Tong Kui Tik dan Wan-ong Kui tenang-tenang saja.

Waktu membaca surat itu wajah Han Bi Ing tampak makin pucat dan bibirnya gemetar. Sesaat kemudian airmatanyapun muai menitik keluar.

"Baik Ko sianseng, marilah kita berangkat, katanya. "Han siocia, apakah benar surat itu dari ayahmu ?" tegur

Tong Kui Tik.

"Benar, Tong pehpeh (paman) Aku tak ragu lagi bahwa ini memang buah tulisan ayah," kata Han Bi Ing. Tong Kui Tik mengangguk, "Baiklah. Tetapi aku berkumpul dengan ayahmu sudah beberapa tahun. Akupun tahu juga gaya  tulisan ayahmu. Bolehkah aku melihat  surat itu ?"

Han Bi Ing segera menyerahkan  surat  Ketika  membaca, wajah T'ong Kui Tik tam mengeriput tegang. Beberapa saat kemudian mengangguk dan menyerahkan surat itu lagi pada  Han Bi Ing,  “Benar,  memang itu  tulisan ayahmu."

"Jika begitu, anda idinkan kami berangkat sekarang bersama Han siocia?" tanya Ko Cay Seng dengan nada riang.

"Ya." .

"Engkong!" teriak In Hong. Tetapi Tong Kui Tik tak menyahut. Wajahnya tampak membesi.

"Nona Han, mari kita berangkat sekarang." "Baik."

"Tetapi mana peti harta itu?"

Han Bi Ing tetkesiap lalu berbaling kepada Wan-ong Kui, "Wan-ong-ko, dimanakah engkau menyimpan peti itu?"

Sebelum Wan-ong Kui menjawab, Tong Kui Tik sudah mendahului, "Jika engkau hendak memenuhi panggilan ayahmu, silakan. Tetapi tentang peti harta itu, jangan engkau bawa serta."

"Mengapa?" Ko Cay Seng tercejut. "Karena itu bukan milik Han Bun Liong!"

Han Bi Ing terkejut, lebih2 Ko Cay Seng. Serentak dia berseru, "Apa katamu? Harta itu bukan milik Han Bun Liong?" "Ya."

"Lalu milik siapa?"

"Milik mentri Go Sam Kui!"

"Hai!" teriak Ko Cay Seng, "jangan engkau bergurau sahabat."

"Siapa yang bergurau?" balas Tong Kui Ti "memang harta karun itu milik mentri penghianat Go Sam Kui. Kalau tak percaya tanyakan sendiri kepada Han Bun Liong."

"Tidak! Han Bun Liong tidak mengatakan apa2 bahkan dialah yang suruh puterinya membawa kembali harta itu," bantah Ko Cay Seng.

"Tidak bisa," seru Tong Kui Tik dengan tegas, "kalau Han Bun Liong menanyakan, suruh dia mencari aku si Ah Tek."

Ko Cay Seng mulai tegang, "Tidak mungkin. Harta itu adalah milik Han Bun Liong sendiri. Aku salah seorang sahabatnya yang tahu betul akan keadaannya."

"Dari mana dia memperoleh harta kekayaan sebesar itu?" tanya Tong Kui Tik.

"Dahulu dia bekerja sebagai pengawal mentri Go Sam Kui."

"Berapa gajih seorang pengawal mentri? Bahkan mentripun kalau dia benar2 jujur, tak mungkin akan memiliki harta karun yang sedemikian besarnya."

"Bagaimana mungkin mentri Go Sam menyerahkan harta karun itu kepada Han BuLiong?" bantah Ko Cay Seng. "Itu memang suatu rahasia, engkau tak perlu tahu. Pokok, aku tahu jelas tentang persoalan itu. Kalau tak percaya tanyakanlah sendiri kepada Han Bun Liong."

"Hm, rupanya anda hendak cari perkara, bukan?" seru Ko Cay Ssng yang mencium gelagat tak baik.

"Itu terserah kepadamu," sahut Tong Kui Tik, "kalau engkau tak mengutik tentang peti harta itu, urusan inipun selesai. Tetapi kalau engkau berkeras kepala, hm, bukan salahku kalau terjadi sesuatu!"

"Nona Han, dimana peti itu?" seru Ko Cay Ceng kepada Han Bi Ing.

Han Bi Ing heran mengapa tiba2 Tong Kui Tik bersikap demikian. Tetapi dia seorang nona yang cerdas. Ia tahu bahwa tentu ada hal2 yang menyebabkan mengapa Tong Kui lik bersikap begitu.

Wan-ong Kui juga mempunyai pendapat begitu. Serentak dia berseru, "Ing-moay, jika engkau liendak merawat ayahmu, silakan. Tetapi peti itu janganlah engkau bawa dulu. Kalau benar ayahmu menghendaki barang itu, baru nanti kita mengambilnya."

"Wan-ong-ko, maukah engkau ikut aku menjenguk ayah?" tiba2 Han Bi Ing bertanya.

"Baik," sahut Wan-ong Kui. Karena sudah menyanggupi hendak mengantar Han Bi Ing, malu kemanapun dia akan tetap mengantar. Diam2 iapun curiga kepada kedua pendatang itu.

"'Ko sianseng," kata Han Bi Ing, "nanti setelah bertemu dengan ayah dan jika ayah benar2 menghendaki, kami akan datang kemari lagi untuk mengambilnya." "Tidak, nona Han," jawab Ko Cay Seng dengan nada keras, "perintah ayah nona harus di-laksanakan. Aku tak mau mengantar nona kalau nona tak membawa peti itu."

"Hm, aneh engkau ini," seru In Hong, "mengapa engkau berkeras menghendaki peti itu?"l

"Jangan ikut campur, budak perempuan!" bentak Ko Cay Seng.

Memang In Hong sudah tak senang kepada Ko Cay Seng. Dibentak dan dimaki sebagai budak  perempuan,  dara itupun marah, "Kalau begitu pergilah  engkau.  Cici Ing tidak boleh pergi, peti itupun jangan harap kami serahkan kepadamu!"

"Budak liar, engkau berani lancang bicara! kutampar mulutmu!"

"Coba saja kalau engkau berani!" In Hong menantang, melangkah maju dan tegak bercekak pinggang dihadapan Ko Cay Seng.

Tiba2 lelaki kawan Ko Cay Seng, segera maju dan ayunkan tangannya.

"Hong, jangan cari perkara," teriak Tong Kui Tik seraya mengangkat tangan seperti sikap orang yang mencegah.

Plok.....auh,  lelaki tua  itu terlempar dua tiga  langkah  ke belakang karena perutnya didupak In Hong.

Ketika hendak menampar, sekonyong-konyong lelaki tua yang berpakaian seperti seorang pertapa itu rasakan tangannya kaku sehingga sukar digerakkan. Dan pada saat itulah I n Hong mengirim sebuah tendangan ke perut orang.

Merah padam muka pertapa tua itu. Walau pun dia tak terluka  tetapi  sekali  gebrak  dijatuhkan  oleh  seorang anak perempuan, dia malu sekali. Dan sebagai seorang berilmu tinggi dia tahu apa sebab lengannya mendadak kaku.

"Ho, rupanya engkau memiliki ilmu tenaga-sakti yang hebat, loheng," serunya kepada Tong Kui Tik, "tetapi sayang caramu tadi tidak sportif."

"Benar," sahut Tong Kui Tik, "tetapi rasanya masih  lebih sportitf daripada perbuatan seorang angkatan  tua yang hendak menghina seorang bocah perempuan."

"Baik," sahut pertapa itu, "jika demikian aku jngin berkenalan dengan kepandaianmu. Mari kita bermain beberapa jurus."

Tong Kui Tik terpaksa menyambut tantangan itu. Keduanya segera berhadapan. Tetapi sebelum  mereka mulai bertempur, Ko Cay  Seng suh berseru,  "Suto  siangjin, kalau siangjin hendak bertempur, jangan bertempur secara percuma."

"Bagaimana maksud Ko-heng?" sahut pertapa itu. "Bukankah dia tadi yang menentang soal peti harta?"

"O, benar, benar," pertapa itu cepat dapat menanggapi maksud kawannya. Ia berkata kepada Tong Kui Tik, "Anda melarang peti harta itu tak boleh kami bawa, bukan?"

"Ya."

"Nah, kita bertaruh. Kalau aku menang, apakah engkau bersedia menyerahkan peti itu?"

"Aku takkan menghalangi!" "Apa maksudmu?"

"Peti itu bukan aku yang menyimpan. Tetapi aku berhak untuk melarang setiap orang tak bertanggung jawab yang hendik membawanya." "Lalu siapa yang menyimpan?"

"Aku tak berhak menjawab. Sekarang kita bicarakan persoalan kita sendiri. Bagaimana kalau engkau kalah?"

"Aku pergi dari sini!" sahut pertapa itu. "Baik, mari kita mulai."

"Tunggu," seru pertapa, lalu berpaling kearah Ko Cay Seng, "bagaimana pendapat Ko heng?"

"Syaratnya terlalu enteng," seru Ko Cay Seng, "paling tidak, dia haius memberitahu dimana tempat peti itu disimpan."

"Ti.lak perlu," tiba2 Wan-ong Kui menyelutuk, "akulah yang menyimpan peti itu. Jangan mendesak Tong lo- cianpwe."

“Ho, lalu engkau juga menghendaki bertempur?"

"Ya," jawab Wan-ong Kui. Ia memperhitungkan rrenghendaki atau tidak, orang she Ko itu tentu akan mendesak iya untuk memberikan peti itu.

"Apakah engkau yang hendak  menantang Wan-ong- ko?" teriak In Hong.

'Ya," sahut Ko Cay Seng

“Ah, masakan engkau berani." “Kenapa tak berani?"

"Karena setiap kali bertempur, Wan-ong-ko tentu maju berdua dengan aku. Dan biasanya setiap lawan tentu tak dapat bertahan lama ..."

'"Sombong!" bentak Ko Cay Seng, "jangankan hanya dua, empat atau sepuluh budak perempuan seperti engkau, aku masih sanggup menghajar." "Baik," kata In Hong lalu mengajak Wan-ong Kui, "Wan-ong-ko, mari kita remuk manusia yang ingin merampok peti harta ini!"

Wan-ong Kui mengangguk.

"Apa janjimu kalau kalian kalah ?" seru Ko-Cay Seng. "Bukankah engkau menghendaki peti harta itu ?" balas I

n Hong.

"Ya."

"Dan apa janjimu kalau engkau yang kalah.

Ko Cay Seng tertawa lepas, "Jika aku kalah, ha, ha, terserah saja pada kalian aku bagaimana ?"

"Baik. bersiaplah," seru In Hong seraya mencabut sepasang pedang. Wan-ong-kui pun juga melolos pedangnya.

"O, kalian menggunakan pedang ?" seru Ko Cay Seng," bagus, bagus ! Supaya pertempuran ini lebih menggairahkan semangatku, biarlah kulayani kalian dengan sepasang tangan kosong. Karena kugunakan senjataku, dikuatirkan terlalu cepat selesainya, kurang menarik."

In Hong geram tetapi diam2 ia hendak membikin panas hati orang, "Jangan sombong,  bung.  Coba  engkau katakan, berapa lama engkau mampu bertahan ?"

"Ho, budak perempuan, engkau benar2 bermulut besar," seru Ko Cay Seng, "kalau dalam sepuluh jurus aku tak mampu mengalahkan kalian aku akan pergi dari sini !"

"Ah, jangan," seru In Hong, "kasihan kalau dalam sepuluh jurus. Bagaimana kalau kuberi seratus jurus ?"

"Gila!" teriak Ko Cay Seng makin panas, 'sebenarnya sepuluh jurus itu sudah terlalu banyak. Kalau aku mau mempercepat, dalam lima atau enam jurus saja, kalian tentu sudah rubuh!"

"Cis, enak saja kalau ngoceh," teriak In Hong, "lima kali lima, duapuluh lima jurus, kuberi kesempatan kepadamu."

"Budak liar, kalau dalam lima jurus aku tak dapat mengalahkan engkau, aku akan pergi!"

"Uh

"Jangan banyak mulut, lekas mulai!" bentak Ko Cay Seng seraya menampar In Hong.

In Hong loncat menghindar ke samping. Namun ia rasakan angin pukulan sasterawan yang menyambar telinganya, tajam sekali.

Ko Cay Seng tak dapat melanjutkan serangannya kepada In Hong karena saat itu dia sudah diserang Wan-ong Kui. Wan-ong Kui tahu bahwa dibalik kata2 yang congkak dari sasterawan itu tentu didukung oleh kepandaiannya yang sakti. Maka ia terus melancarkan ilmupedang Peh-hoa- kiam.

In Hong juga maju dan memainkan ilmupedang Song ou-tiap-kiam atau ilmupedang Sepasang-kupu-kupu. Ilmupedang itu ia dapatkan dari Sim Hui suthay, seorang rahib sakti kenalan Tong Kui Tik. Kebetulan Sim Hui suthay yang tengah mencari daun obat, bertemu dengan In Hong. Melihat dara itu mempunyai bakat dan tulang yang bagus, Sim Hui suthay segera menyatakan hendak mengambilnya sebagai murid.  Tetapi dasar  nakal,  In Hong malah menghina  rahib  itu,  "Kalau  engkau  memang sakti, hayo kejarlah aku "

In Hong terus lari naik ke puncak gunung. Ia mengira masakan rahib tua yang lemah itu mampu mengejarnya. Tiba di pondoknya, engkohnya sudah menyambut diiuar. 'Engkong, ada seorang rahib tua hendak mengambil aku sebagd murid. Lucu," ln Hong tertawa mengejek.

"Mengapa lucu?" tanya engkongnya.

"Bukankah apa yang engkong ajarkan kepadaku itu sudah hebat sekali?"

Tong Kui Tik gelengkan kepala, "Diatas gunung masih ada langit. Orang sakti masih ada yang lebih sakti. Hong, jangan engkau membanggakan kepandaianmu. Ilmusilat  itu tiada batasnya dan orang sakti yang terpendam itu, banyak sekali. Hong, mengapa engkau menolak diambil murid ?”

"Eh, engkong ini bagaimana sih?" gumam  Hong, "sedang berjalan mendaki gunung sudah susah, masakan hendak menjadi guruku,” dia lalu  menceritakan  bagaimana ia menantang rahib tua itu untuk mengejarnya.

Tong Kui Tik tertawa, "Ya, benar. Tetapi engkau juga keterlaluan, masakan seorang tua engkau ajak adu lari."

'Salahnya mengapa mau

In Hong tertawa, “Salahnya mengapa mau mengambil murid aku"'

"Tetapi kalau umpama dia mampu mengejarmu, apakah engkau mau menjadi murdnya?"

Tanpa ragu2 In Hong mengiakan. Tong Kui Tik tertawa, "Ai, engkau ini memang budak liar. Hong, ambilkan pipaku di meja dalam."

In Hong lari masuk kedalam ruangan. Tiba? ia menjerit dan lari keluar lagi, "Engkong .... engkong mengapa

rahib itu berada dalam ruang kiia?"

"Rahib tua? Aneh, aku juga tak tahu," engkongnya tertawa dan mengajak In Hong masuk. "Suthay, memang beginilah watak cucuku yang liar itu," Tong Kui Tik tertawa lalu membentak In Hong, "Homg, mengapa engkau tak lekas menghaturkan hormat dan maaf kepada suthay, Sun Hui suthay adalah guru dari mendiang mamamu!"

In Hong terkejut dan gopoh berlutut memberi hormat serta menghaturkan maaf.

"Bangunlah, nak. Kalau melihat wajahmu, aku terkenang pada ibumu," kata Sim Hui su;hay dengan berlinang-linang.

"Hong, adalah karena melihat wajahmu yang mirip mamamu itu maka suthay tertarik dan hendak mengambilmu sebagai murid," kata Tong Kui Tik.

Dari hasil pembicaraan, mengingat In Hong berat untuk berpisah dengan engkongnya, maka Sim Hui  suthay  tinggal beberapa waktu di gunung itu. Setiap  setengah tahun atau paling lama setahun sekali, Sim Hui suthay  tentu datang lagi untuk memberi pelajaran ilmusilat.

Song-ou-tiap kiam-hwat atau ilmupedang Sepasang- kupu2 adalah ajaran dari Sim Hui suthay. Berkata suthay itu, "Inilah ilmupedang yang pernah kuberikan kepada mamamu dulu. Engkau harus mampu mempelajarinya dan mencapai hasil yang lebih baik dari mamamu."

Ilmupedang Sepasang-kupu2 memiliki gaya dan gerak yang lincah dan lemas. Sim Hui suthay telah menciptakannya sendiri. Ilmupedang itu tepat sekali untuk wanita.

Sudah dua bahkan hampir tiga tahun Sim Hui suthay tak datang. In Hong gelisah dan akhirnya mendesak engkongnya diajak turun gunung mencari nenek-gurunya itu. Kebetulan pula Wan-ong Kui memainkan ilmupedang Peh-hoa-kiam atau Seratus-bunga. Ilmupedang itu serasi sekali mempunyai imbangan ilmupedang Sepasang-kupu- kupu. Yang satu berhamburan bagai seratus bunga mekar. Yang satu berlincahan bagaikan  sepasang kupu  menari- rari diatas rumpm bunga.

Tetapi Ko Cay Seng memang lihay. Walaupun dia  dijepit dan muka belakang tetapi dia masih dapat menghalau ataupun menghindar dari ke dua taburan pedang lawan. Hanya diam2 dia terkejut dan gelo karena terlalu memandang rendah kepada lawan.

Sementara di partai lain yaitu Tong Kui Tik lawan pertapa tua Suto Kiat, juga berlangsung pertempuran yang dahsyat. Keduanya bertempur dengan tangan kosong, tetapi dahsyatnya lebih dari nenggunakan senjata tajam.

Pertapa Suto Kiat itu memiliki ilmupukulan luar biasa yakni Im-yang-ngo-heng-ciang atau Pukulan Lima-unsur- negatip-positip. Suatu ilmu-pukulan yang sakti dari dunia persilatan daerah Tibet. Disebut lima unsur karena pukulan itu mengandung lima macam tenaga-dalam panas, dingin, keras, lunak dan lekat. Untung kepandaian pertapa itu belum mencapai tingkat yang tinggi dan baru mencapai tataran ketujuh, Tetapi sekalipun demikian, hebatnya sudah tak terperikan.

Dengan susah payah Tong Kui Tik menggunakan tenaga-sakti Kiu-yang-sin-kang, ilmu andalan dari perguruan Go-bi-pay. Ku-yang-sin-kang bersifat lunak tetapi menghancurkan yang keras.

'"Hm, siapakah pertapa ini ? Walaupun ilmu pukulan Im- yang-ngo-heng-ciang yang dimiliki belum mencapai tataran kesembilan, tetapi sudah begini hebat," pikir Tong Kui Tik. Karena pernah mengembara ke daerah Tibet maka diapun dapat mengenal ilmupukulan im-yang-ngo-heng ciang. Ilmupukulan itu termasuk salah satu dari sepuluh Lui-ciang atau Pukulan-geledek dari dunia persilatan Tibet.

Tetapi pertapa itu juga tak kurang kejutnya "Siapakah orangtua ini ? Mengapa dia memiliki tenaga-sakti Kiu-yang- sin-kang yang begini hebat ?"

Karena saling jeri, keduanya tak berani memandang enteng lawan. Pada saat pertempuran yang berjalan serba cepat dan dahsyat itu mencapai limapuluh jurus, tiba2 pertapa Suto Kiat menyerang dengan jurus Sin-eng-tian-ki atau Rajawali-sakti-mengebas-sayap. Sspasang tangan  susul- menyusul melancarkan pukulan maut. Yang satu di'ambari dengan tenaga-dalam keras dan  yang  satu dengan tenaga-dalam lekat.

"Hm. apa boleh buat," pikir Tong Kui. Cepat dia gunakan jurus Cui-ta jut-mui atau mabuk-keluar-pintu. Jurus itu merupakan jurus serangan membalas serangan. Dengan gerak sempoyongan  seperti  orang  mabuk sepasang tangan Tong Kui Tik pun berhamburan menangkis dan menghantam tangan lawan.

Terdengar bunyi macam api disiram air ketika tangan mereka beradu. Keduanya tersurut mundur dua langkah. Tong Kui Tik rasakan lengannya kesemutan tetapi pertapa itupun tergetar lengannya. Jelas keduanya berimbang.

Diam2 Tong Kui Tik terkejut. Belasan tahun ia mengasing diri di gunung untuk mengasuh In Hong. Sejak ditinggal mati oleh kedua orangtuanya, In Hong yang masih kecil itu ikut pada eng-kongnya. Disamping mengajarkan ilmusilat kepada cucunya, Tong Kui Tik sendiripun giat berlatih ilmusilat, terutama untuk mencapai kesempurnaan dalam tenaga-sakii Kiu-yang-sin-kang. Tetapi dia tak kira bahwa begitu turun gunung dia harus sudah bertemu dengan seorang pertapa dari Se-ik yang berkepandaian begitu tinggi.

Ternyata pertapa Suto Kiat itu salah seorang kaki tangan Torkun, panglima besar balatentara Ong. Demikian pula sasterawan Ko Cay Seng. Keduanya memang diperintah Torkun untuk menyelundup kedilam daerah kekuasaan kerajaan Beng, untuk menyelidiki kekuatan mereka. Dan juga untuk menghubungi dan membujuk jenderal2 maupun mentri kerajaan Beng yang ingin berhamba pada kerajaan Ceng.

Sejak ikut Torgun, baru pertama kali itu Suto Kiat menghadapi seorang lawan yang dapat mengimbangi kepandaiannya.

Tengah kedua lawan itu menumpahkan seluruh kepandaiannya, sekonyong-konyong di sebelah sana terdengar In Hong berteriak, "Hai, sasterawan gadungan, engkau mempunyai muka atau tidak ?"

"Hm," desuh Ko Cay Seng dengan geram.

"Wan-ong-ko, berhenti dulu," teriak In Hong seraya loncat ke belakang.

''Kenapa ?" walaupun heran namun Wang-ong Kui ikut loncat mundur.

"Tadi dia bilang dalam lima jurus tentu dapat mengalahkan kita. Sekarang sudah berapa! jurus ?"

"Duapuluh lima jurus :"

In Hong berpaling kearah Ko Cay Seng, serunya, "Tuh dengar tidak ? Kalau minta tambah bilang dong terus terang l"

Merah padam muka Ko Cay Seng. -oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar