Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 06 Maling kemalingan

Jilid 06 Maling kemalingan

Huru Hara menghampiri dan melongok kedalam gerbong kereta. Memang peti itu tak ada lagi.

"Engkau taruh dimana peti itu?" tegurnya.

"Eh, engkau ini bagaimana hiantit," kata Cian-Ii-ji, "sejak kita berangkat dari biara tua itu, peti kutaruh lagi disini. Aku berani bersumpah, waktu kita singgah di rumah makan, peti itu masih ada."

Huru Hara kerutkan dahi, "Aneh, siapakah yang mengambilnya?"

Cian-li-ji juga garuk2 gundulnya.

"Tetapi bukankah peti itu hanya berisi tanah?" katanya. "Ya," jawab Huru Hara, "tetapi apapun isinya harus

kusampaikan pada jenderal Ui Tek Kong. Kalau nanti berhadapan dengan jenderal itu, lalu apa yang akan kita serahkan?"

"Iya, ya," kata Cian-li-ji, "eh, bukankah pundi2 uang itu masih dibawa si pengemis tua."

"Ya, tetapi dimana dia sekarang?" "Entahlah," kata Huru Hara, "sampai saat ini dia belum nongol."

"Lalu bagaimana kita sekarang?" tanya Cian- li-ji-

"Tetap menghadap jenderal Ui."

"Lalu apa yang hendak engkau serahkan?"

"Surat dari jenderal Ko Kiat dan keterangan tentang hilangnya peti itu di jalan."

"Ya, benar," Cian-li-ji mengangguk tetapi pada lain saat dia mendelik, "goblok engkau! Dengan memberi laporan itu, engkau pasti akan dihukum."

"Tetapi aku dapat menerangkan kalau peti itu hanya berisi tanah."

"Ya, ya, benar," kata Cian-li-ji pula. Tetapi pada lain saat dia mendelik lagi, "tolol engkau! Dia tentu tak percaya dan engkau tentu tetap dihukum."

Huru Hara terdiam. Beberapa saat kemudian dia mengajak lagi, "Sudahlah, paman Cian, mari kita berangkat."

"Lalu bagaimana nanti?"

"Dalam perjalanan kita nanti cari pikiran. Kalau terpaksanya kita bilang saja apa adanya."

Demikian keduanya segera berangkar. Menjelang sore hari tibalah mereka di kota Co ciu.

Ketika hendak menuju ke gedung Jenderal Ui Tek Kong, di tengah jalan muncullah Wi sin-pay, "Hian-tit, inilah kantong pundi- uang iiu." "O, dari manakah paman selama ini? Mengapa sejak di biara tua, paman terus pergi?" tegur Huru Hara. '

"Ah, - banyak pekerjaan," pengemis tua Wi sin-kay tersenyum, "yang penting serahkan dulu pundi2 uang ini nanti kuceritakan apa yang kualami."

"Apakah paman tidak ikut serta menghadap jenderal Ui?"

"Wi sin-kay tertawa mengangkat bahu, "Yang  jadi utusan jenderal Ko adalah engkau. Masakan aku harus ikut. Lebih baik aku menunggu di luar saja."

"Kalau begitu, aku juga," seru Cian-li-ji.

Huru Hara menganggap karena sudah membawa pundi2 uang maka tentulah takkan terjadi suatu apa apabila dia menghadap jenderal Ui Tek Kong. Maka diapun menyetujui keinginan kedua orang itu.

Tiba di pintu gerbang, dia disambut penjaga pintu yang bersenjata.

"Aku mau menghadap jenderal Ui," kata Huru Hara, "aku utusan jenderal Ko Kiat untuk me nyampaikan barang sumbangan." ,

“Penjaga itu kerutkan dahi, "Tetapi saat ini jenderal sedang menerima tetamu penting."

"Tetapi aku juga penting," bantah Huru Hara, "tulung laporkan kehadapan jenderal Ui."

Penjaga itu setuju. Dia masuk dan tak berapa lama keluar lagi, "Baik, jenderal mengidinkan engkau menghadap."

Waktu dibawa masuk, Huru Hara terkejut karena dalam gedung jenderal itu terdapat sebuah peti mati dan meja sembahyangan yang penuh dengan berbagai hidangan. "Hm, rakyat menderita kelaparan, sebaliknya orang mati diberi makan sampai sekian banyak," pikir Huru Hara. Tiba2 dia teringat, kalau Cian-li-ji ikut masuk, akan disuruhnya untuk mengambil sam sing yang terdiri dari kepala babi, ingkung itik dan ayam.

Huru Hara dibawa masuk ke ruang dalam. Ia terkejut ketika disitu terdapat dua orang lelaki setengah baya. Yang satu bertubuh tegap dan yang seorang bertubuh kurus seperti seorang sasterawan.

"Hamba utusan dari jenderal Ko Kiat untuk menghaturkan surat kehadapan jenderal," kata Huru Hara.

"Baik, serahkan," kata lelaki bertubuh tegap atau jenderal Ui Tek Kong.

Setelah menerima surat dari Huru Hara maka jenderal  Ui lalu membacanya. Ia tersenyum dan berkata kepada lelaki bertubuh kurus, "Jenderal Ui telah menghaturkan maaf dan pernyataan ikut berdukacita atas meninggalnya ibuku. Terima kasih Su tayjin."

Lelaki kurus yang disebut Su tayjin itu ternyata adalah Su Go Hwat, mentri pertahanan kerajaan Beng. Dia tersenyum, "Aku gembira karena jenderal Ko mau mendengar kata. Dan kuharap peristiwa itu selesai, anda dapat rukun lagi dengan jenderal Ko dan lain2 jenderal. Ini penting sekali bagi arti perjuangan kita menghadapi pasukan Ceng."

"Baik, tayjin," kata jenderal Ui. Kemudian dia beralih pertanyaan pada Huru Hara, "Siapakah namamu?"

"Hamba Loan Thian Te."

"Loan Thian Te? Aneh, nama itu berarti dunia kacau atau mengacau dunia." "Benar," sahut Huru Hara.

"Aneh." gumam jenderal Ui, "banyak nama yang bagus- bagus mengapa engkau memilih nama begitu?"

"Hamba tidak memilih, jenderal. Tetapi orangtua hamba yang memberinya."

Jenderal Ui mengangguk, "Apakah engkau orang kepercayaan jenderal Ko?"

"Tidak," sahut Huru Hara, "hamba hanya disuruh mengantarkan barang antarannya saja."

"Sebenarnya tindakan itu tidak benar, bisa dianggap lancang. Tetapi karena tepat, maka engkau kuampuni."

"Ya," seru Su Go Hwat pula, "engkau telah membeli hati rakyat kepada kita. Rakyat pasti akan setia dan membantu pasukan Beng."

Huru Hara tercengang mendengar keterangan kedua pembesar itu.

"Loan Thian Te, serahkan surat balasanku ini kepada jenderal Ko," seru jenderal Ui, "dan kalau tak ada lain persoalan lagi, engkau boleh pulang."

Huru Hara menyambuti sepucuk surat dari jenderal itu tetapi dia masih terlongong-longong seperti orang heran.

"Eh, mengapa engkau teilongong seperti orang heran?" tegur jenderal Ui.

"Hamba tak mengerti akan ucapan jenderal tadi."

"Aku sudah tahu tindakanmu membagi-bagikan uang sumbangan jenderal Ko itu kepada rakyat yang kelaparan. Tak apa. Su tayjin juga menyetujui tindakanmu itu."

"Kecuali surat, hambapun hendak menyerah kan uang sumbangan dari jenderal Ko kehadapan jenderal disini." "Eh, engkau ini bagaimana?" jenderal Ui ler tawa, "bukankah uang itu sudah engkau bagi-bagikan kepada rakyat miskin yang sedang menderita kelaparan?"

Huru Hara terkejut, "Bagaimana jenderal tahu hal itu?" "Pagi tadi beratus-ratus rakyat menghadap kemari untuk

menghaturkan terima kasih kepadaku atas pertolongan yang kuberikan kepada mereka."

"Ah "Huru Hara mengeluh. "Kenapa engkau menghela napas ?"

"Karena hamba masih membawa pundi2 uang itu dan hendak hamba serahkan kepada jenderal."

"Ah, jangan bergurau," kata jenderal Ui.

"Tidak, hamba tidak bergurau. Pundi2 uang itu masih hamba simpan dalam kereta diluar gedung ini."

"Ah, mungkin engkau sedang sakit kepala atau mungkin sedang merasa bermimpi. Jelas uang dari jenderal Ko itu sudah engkau bagi-bagikan kepada rakyat yang kelaparan, mengapa engkau masih membawa pundi2 uang itu ?"

"Tidak, jenderal. Pundi2 itu masih hamba bawa. Apakah jenderal mengidinkan hamba ambil pundi2 itu ?"

"Ya," jenderal Ui mengangguk.

Huru Hara segera keluar. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia mendapatkan pundi2 itu kosong isinya, "Celaka, mengapa uang itu lenyap ?"

Dia terus keluar dari gedung untuk mencari Cian-li-ji dan Wi sin-kay tetapi kedua orang itu tak tampak batang hidungnya.

"Gila, kemanakah kedua orang itu ? Mereka mengatakan hendak menunggu aku disini tetapi mengapa mereka tak kelihatan ?" Huru Hara heran. Dia mulai gelisah bagaimana dia harus mengatakan kepada jenderal Ui nanti. Apa boleh buat, dia membawa pundi2 kosong itu masuk lagi kedalam gedung jenderal Ui.

Jenderal Ui tertawa melihat Huru Hara tergopoh-gopoh masuk menghadapnya, "Bagaimana?" tegurnya.

"Jenderal Ui, maaf, inilah pundi2 uang dari jenderal Ko yang hamba bawa. Tetapi ternyata isinya sudah n a bis "

"Tentu saja karena sudah engkau bagi-bagi kan kepada rakyat kelaparan," kata jenderal Ui.

"Tetapi jelas uang itu tadi masih lengkap "

"Sudahlah," kata jenderal Ui seraya memerintahkan pengawal untuk mengantarkan Huru Hara keluar.

Waktu melalui meja sembahyangan, Huru Hara melirik, uh .... ia terkejut karena melihat kepala babi, ingkung itik dan ayam lenyap Juga beberapa macam hidangan ikut amblas. Tetapi dia diam saja.

Setiba diluar gedung, dia terus mencari Cian-li-ji dan Wi sin-kay. Hah .... ternyata kedua orang itu sedang duduk dibawah pohon asyiki menghadapi hidangan.

"Gila ! Itulah kepala babi, itik dan ayam di meja sembahyangan tadi," teriak Huru Hara.

"Ya, memang," sahut Cian-h-ji, "kenapa?"

"Itu kan untuk sembahyangan arwah mama dari jenderal Ui, kenapa kalian ambil?''

"Mama jenderal itu kan sudah tua, masa makannya begitu banyak," sahut Cian-li-ji," lebih baik untuk kita atau diberikan kepada rakyat yang kelaparan." "Bagaimana kabarnya waktu engkau menghadap jenderal Ui tadi ?" Wi sin-kay mengalihkan pertanyaan.

"Aneh," kata Huru Hara lalu menceritakan peristiwa yang dialaminya," mengapa pundi2 uang itu kosong ?"

"Jangan heran," kata Wi sin-kay, "uangnya telah kuambil, Nanti kita bagi-bagikan kepada rakyat yang menderita kelaparan."

Huru Hara terkejut tetapi ketika mendengar keterangan terakhir dari pengemis itu, diapun agak tenang. Namun ia tetap heran mengapa pengemis itu berbuat begitu, "Bukankah aku malu kepada jenderal Ui?"

Wi sin-kay tertawa, "Apakah jenderal itu marah kepadamu ?"

Huru Hara gelengkan kepala.

"Bukankah jenderal Ui dan Su tayjin memuji tindakanmu ?"

Huru Hara terkesiap, "Mengapa paman tahu?"

"Tentu saja tahu, karena semua itu aku yang merencanakan."

Pengemis itu lalu menceritakan apa yang telah dilakukan. Karena mendengar mentri pertahanan Su Go Hwat datang ke Co-ciu untuk sekalian menyatakan ikut berdukacita atas meninggalnya mama jenderal Ui, maka dia mengerahkan rakyat supaya berbondong-bondong menghadap jenderal Ui Tek Kong untuk menghaturkan terima kasih karena jenderal itu telah memberi sumbangan berharga menolong rakyat yang sedang menderita kelaparan.

"Kuperhitungkan jenderal Ui tentu terpaksa menerima kenyataan itu karena malu hati terhadap Su tayjin. Su tayjin seorang mentri yang jujur dan sangat memperhatikan keadaan rakyat," kata Wi sin-kay, "dan ternyata perhitungan itu tepat. Maka tak mengherankan waktu engkau menghadap jenderal Ui, engkau bertemu juga dengan Su tayjin yang ikut memuji tindakanmu."

"Ah," Huru Hara menghela napas, "mengapa paman tak bilang kepadaku ?"

"Kalau engkau sudah tahu, engkau tentu bersikap tenang2 saja dan hal itu mungkin akan menimbulkan penilaian lain dari jenderal Ui dan Su tayjin."

"Penilaian lain bagaimana ?" .Huru Hara tak mengerti. "Watak Su tayjiu itu jujur, dia tentu menyukai orang

jujur. Dan sebagai seorang mentri yang luas pengetahuan dia tentu dapat menilai engkau. Tetapi kalau engkau bersikap tenang karena sudah tahu peristiwa itu, dia tentu menganggap engkau seorang yang lancang berani mendahului perintah."

Huru Hara mengangguk Kemudian dia bertanya, "Bukankah tadi paman mengatakan hendak menceritakan sebuah hal yang penting? Apakah itu? Apakah mengenai rencana paman tentang uang dalam pundi2 itu?"

"Bukan," sahut pengemis sakti, "ada sebuah hal yang penting lagi yalah mengenai hilangnya peti uang dalam keretamu itu."

"Oh, paman tahu hal itu?" Huru Hara terkejut.

"Ya," sahut Wi sin-kay, "peristiwa itu benar2 mengejutkan sekali."

Huru Hara minta agar Wi sin-kay menceritakan saja apa yang telah terjadi. "Sebenarnya hal itu terjadi ketika masih berada di biara tua. Saat itu aku tidur diluar, tiba2 muncullah sesosok bayangan berpakaian hitam. Dia bersembunyi di balik pohon dan melontarkan sebutir kerikil ke halaman biara. Kutahu, itulah cara kaum ya-heng-jin (orang persilatan  yang bekerja pada malam hari) bertanya jalan. Artinya, dia hendak mengetahui apakah penghuni rumah yang hendak dikerjai itu sudah tidur atau belum.

Akupun pura2 tidur mendengkur "

"Setelah mendapat kepastian kalau kita sudah tidur, barulah orang itu bergerak. Ternyata dia menghampiri kereta dan membongkar peti. Diam2 aku menertawakannya. Apanya sih yang akan diambil. Kalau mau ambil tanah itu silakan saja, kataku dalam hati. Ternyata orang itu menurunkan peti dan setelah membuka tutupnya lalu menuang tanahnya. Dia mengaduk-aduk tanah itu beberapa saat dan tiba2 ia mengambil segunduk tanah yang kempal, sebesar kepala bayi. Matanya berkilat- kilat dan dengan cepat dia mengupas perongkolan tanah itu. Serentak matanyapun bersinar terang ketika melihat benda yang berada dalam perongkolan tanah itu. Benda itu  sebesar gelas dan berbentuk seperti singa. Cepat dia memasukkan benda itu kedalam baju lalu cepat2 mengembalikan lagi tanah kedalam peti dan ditaruh kembali kedalam gerbong kereta."

"Aku segera mengikuti orang itu "

"Siapakah dia?" tukas Huru Hara.

"Dia memakai kerudung muka sehingga tak kelihatan siapa orangnya," kata Wi sin-kay, "tetapi baru lebih kurang sepuluh li, tiba2 muncul seorang yang juga memakai tutup muka."

"O, kawannya?" "Bukan,"' kata Wi sin-kay, "orang itu ternyata hendak menghadangnya. Berikan Giok-say itu kepadaku, seru orang kedua. Tetapi orang pertama menyangkal, "Giok-say apa?"

"Hm, jangan kira aku tak tahu perbuatanmu. Lekas berikan sebelum kubongkar semua rahasiamu!" seru orang kedua.

"Jangan jual gertak kosong!" seru orang per tama, "aku tak tahu menahu tentang Giok-say itu."

Giok-say artinya Singa Kumala.

"Baik," kata orang kedua, "karena engkau berkeras kepala terpaksa akan kutelarjangi belangmu. Di mata orang persilatan engkau terkenal sebagai tokoh silat yang hartawan dan dermawan. Tanganmu selalu terbuka kepada siapa saja. Tetapi sebenarnya engkau tak lebih dari seekor harimau yang berselimut kulit keledai "

"Tutup mulutmu!" bentak orang pertama.

"Engkau mengorbankan gundikmu yang cantik Say-se-si Li Li Hoa untuk mengumpan Ko Kiat agar dapat mencuri pusaka Giok-say. Bukankah si Li Hoa itu menyelundupkan Giok-say itu kedalam peti yang berisi tanah yang akan dikirim Ko Kiat kepada Ui Tek Kong?"

"Ngaco belo!" bentak oiang pertama, "mana rnungkin seorang jenderal sebagai Ko Kiat hendak mengirim peti berisi tanah kepada jenderal Ui Tek Kong?"

"'Soal itu tanyakan sendiri kepada Ko Kiat. Tetapi yang jelas perbuatan Li Hoa itu sudah dikelahui Ko Kiat dan karena disiksa akhirnya perempuan itu mengaku.”

"Tidak, aku tidak tahu tentang Giok-say itu!” seru orang pertama. "Li Thian Ong, sekali lagi kuperingatkan kepadamu. Serahkan Giok say itu atau rahasia dirimu akan kubongkar, biarlah dunia persilatan tahu siapa sesungguhnya Li Thian Ong yang bergelar Dewa bertangan emas itu.”

"Siapa engkau!” teriak orang pertama yang dipanggil Li Thian Ong itu.

"Dengan susah payah aku berhasil menyelidiki siapa dirimu maka engkaupun harus menggunakan tenaga dan pikiranmu untuk menyelidiki siapa diriku. Lekas serahkan!" orang kedua itupun segera melayang dan menyerang Li Thian Ong.

Akhirnya dalam pertempuran yang dahsyat dan amat menegangkan itu, orang kedua itu berhasil menundukkan Li Thian Ong.

"Baik, akan kuserahkan tetapi lepaskanlah cengkeramanmu," seru Li Titian Ong yang bahunya dapat dicengkeram lawan. Asal lawan meremasnya tentulah tulang pi-peh-kut Li Thian Ong akan hancur dan jadilah Li Thian Ong itu seorang cacad seumur hidup.

"Baik, aku dapat membebaskan engkau pun dapat meringkusmu lagi. Tetapi ingat, apabila engkau curang, pasti akan kuhancurkan dirimu !"

Orang bertutup muka itu lepaskan cengkeramannya. Tampak Li Thian Ong merogoh kedalam bajunya dan tiba2 dia berseru, "Nih, terimalah !"

Sebuah benda sebesar kepal tangan melayang kearah orang itu. Pada saat orang itu terkejut menyambut, tiba2 Li Thian Ongpun loncat dan menyambar kain penutup mukanya, "Ah, engkau.... Bu Te sin-kun "

Orang yang disebut Bu Te sin-kun itu menyalangkan mata dan tertawa nyaring, "Bagus, Li Thian Ong, engkau berani melihat wajahku. Ketahuilah, barangsiapa melihat wajah Bu Tek sinkun, dia harus mati !"

"Tiba2 saat itu aku mendapat pikiran.” Wi sin-kay mengakhiri penuturannya, “aku ingin menolong Li Thian Ong dari keganasan Bu Tek sinkun."

"Siapa Li Thian Ong dan Bu Te sin-kun itu ?" tukas Huru Hara.

"Li Thian Ong adalah hartawan yang tinggal di Khay- hong. Dia mempunyai hubungan luas dengan kaum persilatan dan para pembesar, Tangannya selalu terbuka kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan. Itulah sebabnya maka dia diberi gelar Kim-jiu-sian atau Dewa- bertangan-emas oleh dunia persilatan."

"Sedangkan Bu Te sin-kun itu," pengemis Wi sin-kay melanjutkan pula," adalah seorang tokoh dunia persilatan yang misterius. Tempat tinggalnya tak menentu, demikian pula sepak terjangnya sukar diduga, entah berdiri pada golongan putih atau hitam. Tetapi yang jelas, dia amat bernafsu sekali mendapatkan senjata pusaka maupun kitab pusaka. Pendeknya setiap benda pusaka, tentu akan dirampas dan dia tak segan2 berhadapan dengan siapapun baik tokoh dunia hitam maupun putih.

"Apakah artinya Bu Te sin-kun itu ?" tanya Huru Hara. "Bu Te sin-kun berarti Jago sakti tanpa tanding." "Huah, sombong benar manusia itu," desuh Huru Hara.

"Ya, benar, kalau kelak kita bertemu dengan dia, kita harus memberi pelajaran," sambut Cian-li-ji.

"Mudah-mudahan akan terkabul keinginanmu itu," pengemis Wi sin-kay tertawa, "nah, dengarkanlah, aku hendak melanjutkan ceritaku lagi." "O, ya, baiklah," kata Huru Hara.

"Aku segera melontarkan batu kepadanya seraya berseru 'itulah Bu Te sin-kun, hayo, kita ringkus'. Serempak akupun terus loncat keluar seraya berseru," Li Thian Oag, jangan kuatir,   aku   dan   kawan2 datang  membantumu "

mendengar itu Bu Te sim-kun terus melarikan diri."

"Lho. katanya jago tanpa tading, mengapa melarikan diri

?" tanya Cian-li-ji.

"Pertama, dia sudah mengantongi pusaka Giok-say dan kedua, karena dia tak mau terlihat wajahnya oleh orang maka diapun lari meninggal kan Li Thian Ong," jawab Wi sin-kay.

“Kepadaku," Wi sin-kay melanjutkan ceritanya, "dia menderita luka-dalam yang cukup parah tetapi untung tak sampai membahayakan jiwanya. Karena menduga aku tentu sudah tahu peristiwa itu maka diapun membuka rahasia. Menurut katanya Giok-say itu berasal dari peninggalan Cu Goan Ciang, kaisar kerajaan Beng. Dalam usia tua Cu Goan Ciang mendapat putera dari seorang selirnya yang tercinta. Ia tahu bahwa putera2nya tidak saling akur. Terutama putera mahkota amat lemah. Kuatir kalau kelak puteranya yang masih bayi itu akan terlantar maka dia memberikan kepada selir itu sebuah Giok-say. Dalam Giok-say itu tersimpan sebuah peta dari harta karun yang disimpan Cu Goan Ciang disebuah tempat rahasia.

Ternyata apa yang dikuatirkan Cu Goan Ciang itu terbukti. Waktu dia meninggal maka kekuasaan tahta direbut dengan kekerasan oleh saudaranya yang bernama Cu Te. Cu Te naik tahta dan bergelar Beng-seng-cou. Dengan tangan besi dia memerintah dan membersihkan semua mentri yang tak setia kepadanya. Bahkan terhadap saudaranya yang berani merintangi tentu akan diambil tindakan. Selir tercinta baginda Beng thaycou (Cu Goan Ciong) karena merasa tertekan lalu lolos dari keraton. Kemudian entah berselang berapa puluh tahun kemudian, setelah kerajaan Beng runtuh diserang pasukan Ceng, dalam keadaan kacau balau kerajaan pindah dari kotaraja Pak-kia ke kota Lam-kia, entah bagaimana Ko Kiat telah berhasil merampas Giok-say itu dari tangan seorang hartawan yang tinggal di kota Thay-goan. Demikianlah riwayat Giok-say itu."

"O, jadi Giok-say itu tersimpan sebuah peta harta karun peninggalan baginda Beng thaycou ?" tanya Huru Hara.

"Ya."

Huru Hara serentak teringat akan anjuran sumoaynya agar berusaha untuk mendapatkan pekerjaan dari jenderal Ko Kiat yang akan mengirim barang antaran kepada jenderal Ui Tak Kong," Apakah yang dimaksud sumoay itu yalah pusaka Giok-say itu ? Jika Giok-say itu benar menyimpan peta harta karun, memang hal itu berguna sekali untuk menolong rakyat dari kesengsaraan dan membantu perjuangan kaum pendekar pejuang untuk menentang pasukan Ceng."

"Bagaimana mencari jejak Bu Te sing-kun itu ?" tanya Huru Hara.

"Apakah hian-tit hendak mencarinya ?"

"Ya," sahut Huru Hara tegas, "pusaka Singa-kumala itu harus kita rebut. Jika benar berisi peta harta katun, kita dapat menggunakan harta itu untuk rakyat yang kelaparan dan membantu perjuangan melawan pasukan Ceng."

Wi sin-kay mengangguk, "Baik. Kelak kita mencurinya.

Aku masih belum selesai menuturkan ceritaku ini." "O, apakah masih ada peristiwa lagi ?" "Ya," kata Wi sin-kay, ketika aku kembali ke biara, aku terkejut lagi. Tampak sekelompok prajurit sedang mengangkut peti dari keretamu. "

"Peti yang berisi tanah itu ?" Huru Hara terkejut. "Ya," kata Wi sin-kay.

"Lalu bagaimana tindakan paman ?"

"Aku tak mau menyerang mereka melainkan kuikuti saja kemana mereka pergi. Ternyata mereka adalah prajurit2 Beng juga tetapi entah dari pasukan mana. mereka menuju ke utara. Karena hanya seorang diri dan mereka berjumlah banyak, terpaksa aku kembali."

"Mereka benar prajurit Beng ?" Huru Hara menegas. "Ya, aku tahu benar dari seragam mereka.

"Aneh," Huru Hara garuk2 kepala," kalau benar begitu, tentulah mereka tergabung dalam pasukan salah seorang jenderal pasukan Beng. Tetapi perlu apa mereka hendak merebut peti dari jenderal Ko Kiat ?"

Wi sin-kay juga tak dapat memecahkan teka teki itu. Akhirnya dia membuat kesimpulan, "Jenderal Ko Kiat terkenal keras dan licik. Demikian pula dengan jenderal2 lainnya juga temaha dan rakus. Mereka saling berebut kekuasaan tempat. Bukan mustahil karena mendengar jenderal Ko Kiat mengirim peti berisi uang maka jenderal yang lain lalu menyuruh prajuritnya untuk merampas."

Huru Hara masih belum terang pikirannya, Persoalan itu sederhana tampaknya yalah dia menerima pekerjaan dari jenderal Ko Kiat untuk mengantar peti uang kepada jenderal Ui Tek Kong. Tetapi ternyata telah berekor panjang dan aneh. Pertama, ternyata peti uang itu bukan berisi uang melainkan berisi tanah. Lalu Li Thian Ong datang, membongkar peti berisi tanah itu dan menemukan pusaka Giok-say. Tetapi ditengah jalan, Li Thian Ong telah dihadang oleh Bu Te sin-kun dan Giok-say itu dapat direbutnya.

Lalu ada juga sekawanan prajurit yang mencuri peti berisi tanah itu. Dan prajurit2 itu ternyata prajurit' pasukan Beng sendiri. Perlu apakah prajurit2 itu berampas peti ? Ah, kemungkinan mereka mengira bahwa peti dari Ko Kiat itu memang berisi uang. Ya, jawaban itu memang dapat diterima akal.

"Hiantit, bagaimana tindakanmu sekarang," tanya Cian- h-ji.

"Aku hendak kembali ke Co-ciu menghadap jenderal Ko Kiat lalu, menyerahkan surat balasan dari jenderal Ui."

"Ah, buat apa ? Bukankah jenderal Ko Kiat sudah menipu kepadamu ? Dia mengatakan peti itu berisi uang tetapi ternyata berisi tanah," kata Cian-li-ji.

"Biar saja dia hendak menipu aku. Toh akhirnya jenderal Ui sudah mengaku telah menerima kiriman uang dari Ko Kiat itu. Dan memang aku hendak melihat bagaimana nanti sikap jenderal itu kepadaku," kata Huru Hara.

Wi sin-kay menyetujui dan ketiga orang itu pun segera berangkat pulang ke Co-ciu. Tetapi mereka menempuh perjalanan dengan berjalan kaki saja sekalian untuk meninjau keadaan rakyal di daerah2 yang menderita kelaparan.

Menjelang sore hari, mereka tiba disebuah daerah hutan yang sepi. Sedianya malam itu mereka akan bermalam di biara tua lagi.

"Uh, ada sebuah rombongan kereta dan penunggang kuda yang akan datang," tiba2 Cian-li-ji berseru. "Bagaimana engkau tahu ?" Wi sin-kay heran.

Huru Hara menerangkan bahwa Cian-li-ji itu memang mempunyai keistimewaan yalah dapat mendengarkan suara dari jarak beberapa li.

"O," seru Wi sin-kay, "lalu bagaimanakah?"

"Kita bersembunyi ke sana dulu," kata Huru Hara sembari menunjuk kebalik sebuah gerumbul pohon.

Ketiganya lalu bersembunyi dibalik gerumbul pohon. Tak berapa lama memang benar terdengar derap kuda yang riuh dan derak bunyi roda kereta.

"Ah, rombongan pembesar agung," bisik Wi sin-kay.

Setelah rombongan berlalu mereka pun segera melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi tiba2 Cian-li-ji berteriak, "Hai, ada orang bertempur !"

Kali ini Huni Hara dan Wi sin-kay terkejut, "Bertempur ?

Siapakah yang bertempur ?"

Mereka berlari lari menuju kedalam hutan. Dari jauh mereka melihat rombongan kereta pembesar agung tadi berhenti dan beberapa orang tengah bertempur.

"Ah. rupanya rombongan pembesar itu sedang dihadang musuh," kata Huru Hara.

Memang saat itu terjadi pertempuran yang dahsyat Rombongan pengawal kereta pembesar itu sedang berhantam dengan kawanan orang yang memakai kerudung muka dari kain hitam. Diantara kawanan penghadang itu terdapat seorang yang gagah berani. Beberapa prajurit pengiring kereta pembesar itu banyak yang telah dirubuhkan. Kini orang itu tengah berhadapan dengan seorang pengawal yang bertubuh tinggi besar bersenjata tombak. Menilik pakaiannya, rupanya orang itu kepala rombongan prajurit yang berpangkat.

"Jelas penghadang itu kaum penjahat dan yang dihadang itu adalah pembesar negeri. Mari kita tolong," kata Huru Hara seraya terus maju.

"Hai, kawanan perampok yang bernyali besar, serahkan dirimu!" seru Huru Hara seraya menerjang.

Uh, uh, uh ... . beberapa kawanan penjahat yang diterjang Huru Hara menjadi porak poranda. Ada yang menjerit kesakitan, ada yang rubuh dan ada yang melarikan diri.

Penjahat yang bertarung dengan perwira tinggi besar tadi segera melancarkan serangan yang dahsyat. Setelah berhasil menabas jatuh tombak lawan, d<a terus loncat ke arah Huru Hara.

"'Siapa engkau!' bentaknya sambil menabas dengan pedangnya.

Tetapi dia mendesuh kejut ketika menyaksikan gerakan Huru Hara yang luar biasa cepatnya. Pedang masih diangkat keatas, Huru Hara sudah menyelinap ke belakang dan menjotos punggungnya. Untung dia tahu dari angin pukulan yang menyambar punggungnya itu dan cepat loncat ke muka sehingga jotosan Huru Hara mengenai angin.

Plak . . . auh . . . tetapi sebelum orang itu berdiri tegak, tiba2 sesosok bayangan pendek melesat ke arahnya dan tahu2 menampar pipinya. Tamparan itu cukup membuatnya meringis. Mukanya pun merah padam karena malu dan marah.

"Paman Cian jangan mengganggunya, biar aku yang menyelesaikannya sendiri," seru Huru Hara. Ternyata yang melesat dan menampar pipi orang itu adalah Cian-li-ji. Memang kakek pendek itu mempunyai penyakit aneh. Dia selalu gatal tangannya apabila melihat musuh yang congkak. Dan setiap kali, dia tentu menampar pipi orang. Rupanya dia memang gemar menampar pipi.

"Siapa engkau!" teriak orang itu sambil bersiap-siap. "Mengapa engkau hendak mengganggu pembesar

negeri!" balas Huru Hara.

"Bukan urusanmu, mengapa engkau ikut campur!" "Baik," kata Huru Hara, "kalau engkau mampu

mengalahkan aku, aku akan pergi dari sini!"

"Baik,” sahut orang itu pula, “mungkin engkau tak dapat pergi lagi. Yang pergi adalah nyawamu."

"Coba saja……”

"Lihat serangan!" orang itu tiba2 menyerang dengan sebuah taburan. Pedang berhamburan laksana percikan bunga api yang mencurah ke tubuh Huru Hara.

"Bagus," seru Huru Hara lalu memutar tongkatnya. Seketika percikan bunga api itupun tersapu bersih oleh lingkaran sinar tongkat yang menderu-deru laksana angin lesus.

Dan pada akhir daripada lenyapnya percikan bunga api itu tiba2 terdengar jeritan keras, menyusul orang itupun loncat ke belakang dan terus lari. Tetapi sebelum pergi dia sempat melantangkan ancaman, "Baik, karena masih ada lain urusan yang penting, aku terpaksa pergi. Tetapi lain kali aku pasti akan mencarimu untuk membayar hutangmu hari ini!"

"Kapan dan dimana saja aku bersedia untuk menerima kedatanganmu!" sahut Huru Hara. "Kurang ajar," Cian-li-ji terus hendak mengejar tetapi dicegah Huru Hara, "Jangan paman, biarkan dia pergi. Yang penting pembesar dalam kereta ini selamat."

"Hohan Peng-poh tayjin mengundang hohan supaya menghadap," tiba2 seorang prajurit menghampiri kepada Huru Hara.

"O, baiklah," kata Huru Hara lalu mengikuti prajurit itu menghampiri kereta.

"Bagur, Loan Thian Te, engkau telah berjasa melindungi aku," seru pembesar dalam kereta.

"Ah, Su tayjin, terimalah hormat hamba," Huru Hara cepat memberi hormat setelah mengetahui bahwa dalam kereta itu tak lain adalah mentri pertahanan Su Go Hwat.

"Siapakah penjahat yang berani menghadang perjalananku itu?" tanya Su Go Hwat.

"Entah tayjin," sahut Huru Hara, "tetapi kalau menilik kepandaiannya, jelas mereka tentu kaum persilatan yang berilmu tinggi."

"Baik, Loan Thian Te, bantuanmu hari ini akan kuingat," kata Su Go Hwat, "hendak kemanakah engkau sekarang ini?"

"Hamba hendak kembali menghadap jenderal Ko Kiat." "Apakah engkau bekerja pada jenderal Ko?"

"Tidak, tayjin, hamba hanya khusus diberi tugas untuk mengantar barang sumbangan kepada jenderal Ui Tek Kong."

"Setelah tugas itu selesai, lalu apakah engkau terus bekerja padanya?" 'Tidak, tayjin. Mungkin hamba akan pulang ke gunung lagi."'

"Ah, engkau salah Loan Thian Te." kata Su Co Hwat, "saat ini negara kita sedang menghadapi serangan pasukan Ceng. Kerajaan Beng terpaksa pindah dari kotaraja Pak-kia ke kota Lam-kia. Di seluruh wilayah barat Sungai Hong ho. pasukan Beng sedang menyusun kekuatan untuk bertahan dan melakukan serangan balasan. Tetapi kekuatan pasukan saja masih belum cukup kuat. Perlu harus membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang melawan musuh.

Huru Hara tertegun mendengarkan.

"Saat ini negara sedang memerlukan putera puterinya untuk ikut berjuang membela tanah-air. Tenaga2 sesakti engkau, amat dibutuhkan sekali. Mengapa engkau hendak pulang ke gunung ? Apakah engkau tak mau mengabdikan dirimu untuk negara ?" kata mentri pertahanan Su Go Hwat lebih lanjut.

"Tetapi tayjin, hamba seorang pemuda gunung yang bodoh dan tak berguna. Mana hamba dapat membela negara ?" sahut Huru Hara.

"Engkau merasa bodoh dan tak berguna ?" seru Su Go Hwat, "salah sebali anggapanmu itu. buktinya jenderal Ko Kiat telah memilih engkau untuk mengawal barang antarannya. Dan tadipun engkau mampu menghalau perampok yang hendak menganggu aku. Engkau seorang pemuda yang sakti, apakah engkau tak mau menyumbangkan kepandaianmu itu untuk negara ?"

"Tetapi tayjin "

"Apakah engkau mau bekerja pada jenderal Ko Kiai?" "Tidak, tayjin." "Mengapa?"

"Dia jenderal temaha, suka merampas harta benda rakyat!"

Mentri pertahanan kerajaan Beng terkesiap mendengar kata2 Huru Hara yang diucapkan dengan tegas dan tenang. Walaupun kenyataannya memang begitu, tetapi jarang atau hampir tak ada orang yang berani berkata blak-blakan seperti Huru Hara. Diam2 mentri Su Go Hwat terkesiap dan memuji keberanian Huru Hara.

"Loan Thian Te, apakah engkau dapat mempertanggung- jawabkan omonganmu itu?"

"Dalam perjalanan mengantar barang sumbangan itu hamba telah dihadang oleh beratus rakyat yang kelaparan. Mereka mengatakan bahwa harta benda mereka telah habis dirampok prajurit2 jenderal Ko Kiat."

"Tetapi itu kan perbuatan prajuritnya bukan dia?"

"Kalau dia seorang jenderal yang jujur, dia tentu akan menghukum anakbuahnya itu. Jelas dia tentu sudah tahu hal itu, mungkin juga atas perintahnya."

"Loan Thian Te "

"Waktu dia hendak masuk kota Yang-ciu te tapi ditolak rakyat, dia marah dan melakukan pembunuhan besar- besaran pada rakyat dari empat desa."

"Ya, kutahu."

"Mengapa tayjin tak mau menindaknya?"

Su Go Hwat terkesiap. Dia benar2 tak menyangka bahwa Huru Hara berani mengajukan pertanyaan begitu terhadap seorang mentri pertahanan. Namun diapun makin mendapat kesan bahwa Huru Hara itu seorang yang berani dan jujur. "Loan Thian Te, tahukah engkau dengan siapa saat ini engkau bicara?"

"Tahu, tayjin," sahut Huru Hara, "paduka adalah Peng- po-siang-si kerajaan Beng."

"Jika sudah tahu, apakah engkau anggap pertanyaanmu tadi tepat engkau ajukan kepadaku?"

"Hamba adalah rakyat negeri Beng. Dan rakyatlah yang menjadi dasar dari sebuah negara. Prajurit berperang tetapi rakyatpun telah memberi amal bhaktinya kepada negara. Membayar pajak, menghasilkan pangan dan melancarkan kehidupan negara. Tanpa rakyat bagaimana mungkin negara dapat berdiri. Tanpa pangan, bagaimana prajurit dapat perang. Oleh karena melihat rakyat dibunuh secara se-wenang2 oleh seorang jenderal bangsa kita sendiri, aku berhak untuk mengutuknya. Sebagai orang atasan, layaklah kalau paduka menindak jenderal kejam itu."

"Apakah engkau tak takut kalau aku marah karena tersinggung atas ucapanmu itu lalu menghukummu ?" tanya Su Go Hwat.

"Tidak, tayjin," sahut Huru Hara, "hamba hanya menyuarakan suara hati rakyat. Sama sekali hamba tak bermaksud menyinggung perasaan tayjin. Seorang atasan menindak orang bawahannya yang salah, adalah sudah layak. Rakyat tentu akan pulih kepercayaannya terhadap tayjin dan mereka tentu merasa gembira karena mempunyai pengayoman. Namun jika kata2 hamba ini dianggap salah, hambapun menurut saja apabila akan dihukum."

Diam2 Su Go Hwat terkejut dan memuji dalam hati. Seorang pemuda yang cara dandanannya mirip seorang pendekar.kesiangan, ternyata berani melantangkan kata2 yang begitu tajam. "Benar katanya," kata Su Go Hwat dalami hati, “untuk membangkitkan rakyat supaya ikut berjuang bahu membahu dengan tentara, haruslah melindungi hak2 mereka."

"Tayjin, maafkan apabila kata2 hamba tak berkenan dihati tayjin," kata Huru Hara.

"Tidak apa2, Loan Thian Te. Engkau memang mengatakan yang sebenarnya. Memang seharusnya Ko Kiat itu kutindak. Tetapi ketahuilah Loan Thian Te,” kata Su  Go Hwat, “saat ini kita sedang menyusun kekuatan. Kutahu, kalau para jenderal itu tidak akur satu sama lain suatu pergantian atau pemecatan dan hukuman kepada mereka, mungkin akan menimbulkan bahaya. Mereka mempunyai anakpasukan. Kalau mereka membangkang kita terpaksa mengambil kekerasan. Dan apabila mereka terpojok, kemungkinan mereka akan menyebrang pada musuh. Inilah yang tak kuharap. Oleh karena itu aku terpaksa menempuh jalan lunak dan berusaha untuk menyadarkan mereka."

Huru Hara mengangguk. Dia mengakui memang pendirian mentri pertahanan itu benar. Tetapi ada juga kelemahannya.

"Tayjin, ibarat bisul, kalau tak lekas2 dipotong, kelak tentu akan makin membengkak dan menganggu tubuh kita," katanya.

"Benar" sahut Su Go Hwat, "akupun menyadari hal itu tetapi untuk sementara, aku belum perlu memotong bisul itu. Apabila sudah tiba saatnya, tentulah takkan kubiarkan bisul itu merusak tubuh kita."

"Terima kasih, tayjin." "Loan Thian Te, aku suka dengan keberanianmu dan kejujuranmu berbicara. Jika engkau suka, bekerjalah padaku saja."

Huru Hara terkejap. Ia tak mengira bahwa menteri kerajaan Beng itu akan menarik dirinya

"Tetapi tayjin, hamba seorang anak gunung yang bodoh .

. . ."

"Kuangkat engkau sebagai pengawalku peribadi. Saat ini aku sedang melakukan perjalanan keliling ke daerah2 untuk mengkonsolidasi (menghimpun) pasukan Beng di seberang barat sungai Hong-ho. Kita harus menyusun kekuatan baru untuk membendung serangan pasukan Ceng ke selatan. Dalam tugas itu kuyakin tentu banyak rintangan dan ancaman bahaya. Apabila engkau mau, engkau akan menyertai perjalananku berkeliling kedaerah2 itu."

Huru Hara terkejut. Memang hal itu merupakan suatu jalan baginya untuk menyumbangkan tenaganya kepada negara. Dia sudah mendengar bahwa mentri Su Go Hwat itu seorang mentrl yang jujur dan setia.

"Terima kasih, tayjin. atas kepercayaan tayjin kepada diri hamba," kata Huru Hara, "tetapi saat ini hamba masih harus menyelesaikan beberapa tugas. Setiap waktu tugas hamba itu sudah selesai, hamba tentu akan menggabungkan diri pada tayjin."

"Hm, baiklah," Su Go Hwat lalu merogoh kedalam baju dan kemudian berkata, "Loan Thian Te, saat ini keadaan dalam negeri sedang kacau. Gangguan dan bahaya setiap saat dapat menghadang di mana2. Maka terimalah lencana lambang peribadiku. Apabila engkau mendapat kesulitan dengan prajurit2 Beng tunjukkan lencana ini, mereka tentu akan membebaskan dan bahkan akan memberi bantuan kepadamu." "Terima kasih tayjin," ucap Huru Hara seraya menyambuti lencana itu. Lencana itu tak lain adalah sebuah cap nama terbuat dari batu kumala.

"Loan Thian Te, walaupun sekarang engkau tak dapat mengiringkan perjalananku tetapi aku hendak memberimu sebuah tugas, apakah engkau sanggup mengerjakan?" tanya Su Go Hwat.

"Apabila tayjin yang menitahkan, hamba tentu sanggup melakukannya."

"Baik," kata Su Go Hwat, "hubungilah kaum pendekar dan tokoh2 persilatan yang cinta negeri dan himpunlah kekuatan mereka kedalam sebuah wadah perjuangan guna ikut berjuang menentang serangan pasukan Ceng. Sanggupkah engkau ?"

Tanpa banyak pikir lagi Huru Hara terus menyatakan kesanggupannya. Dan karena sudah tak ada hal yang perlu dibicarakan lagi maka Huru Harapun mohon diri dan rombongan mentri Su Go Hwat itupun melanjutkan perjalanan Iagi.

Waktu mendengar penuturan Huru Hara tentang pertemuannya dengan mentri pertahanan, Wi sin-kay berseru gembira, "Kuhaturkan selamat kepadamu, hiantit. Peng-poh-siang-si Su tayjin telah memberi kepercayaan besar kepadamu. Su tayjin memang mentri yang paling setia dan gigih berjuang membela tanah-air. Mengapa engkau tak mau menggabung kepadanya."

"Bukan tak mau tetapi aku masih ingin menyelesaikan beberapa hal dulu.'

"Hal apa?"

"Pertama, menghadap jenderal Ko untuk me laporkan tentang tugas yang diberikan kepadaku. Kedua akn hendak mencari Bu Te sin-kun untuk mengambil kembali mustika Giok-say itu. Apabila berhasil, aku akan mencari harta karun itu dan akan kuberikan kepada rakyat serta para pendekar pejuang. Setelah itu baru aku nanti datang kepada Su tayjin."

Wi sin-kay menyetujui langkah Huru Hara. Ketika tiba di tempat kediamannya Ko Kiat, Wi sin-kay tak ikut masuk. Yang masuk menghadap jenderal itu hanya Huru Hara dan Cian-h-ji.

"Hm, untung engkau datang," kata jenderal Ko Kiat dengan nada dingin, "besok lusa aku sudah pindah ke lain tempat."

"Hamba hendak melaporkan tentang tugas yang jenderal berikan itu telah kuselesaikan. Dan inilah surat balasan dari jenderal Ui," kata Huru Hara seraya menyerahkan surat.

Waktu membaca, merah padamlah wajah Ko Kiat. Sudah tentu hal itu diperhatikan juga oleh Huru Hara, namun dia tetap tenang2 saja.

"Engkau bohong!" tiba2 jenderal Ko Kiat membentak keras.

"Bohong? Mengapa aku harus bohong? Apa saja yang kubohongkan itu?" sambut Huru Hara.

"Dari mana engkau memperoleh uang sekian banyak untuk jenderal Ui Tek Kong?"

"Lho, bukankah uang itu sumbangan dari jenderal sendiri?"

"Tidak .... ya. Tetapi yang engkau berikan kepadanya bukanlah uang dari peti itu."

"Eh, mengapa jenderal mengatakan begitu?" Ko Kiat memberi perintah kepada dua orang prajurit dan prajurit itupun segera pergi. Tak lama kemudian mereka kembali dengan menggotong sebuah peti. Ah, itulah peti yang diantarkan Huru Hara.

Setelah Ko Kiat memerintahkan supaya tutup peti dibuka maka dia berseru pula, "Lihatlah, peti itu masih disini, bagaimana engkau berani mengatakan kalau sudah engkau serahkan kepada jenderal Ui?"

Huru Hara diam.

“Dan lihatlah isinya. Bukankah tidak berisi uang?" "Ya, memang tidak berisi uang," sahut Huru Hara.

"O, jadi engkau sudah tahu? Kalau begitu tentu sebelumnya sudah engkau buka dan engkau ambil uangnya."

"Tidak!" sahut Huru Hara, "bukankah dalam surat balasan jenderal Ui, dia mengatakan kalau sudah menerima uang sumbangan dari jenderal?"

"Bohong!" bentak Ko Kiat pula, "apa engkau kira aku tak tahu tipu muslihatmu?"

"Silakan jenderal mengatakan kesalahanku."

"Engkau mengatakan dihadapan jenderal Ui bahwa uang itu telah engkau bagi-bagikan kepada rakyat yang kelaparan. Karena mentri pertahanan Su tayjin kebetulan sedang berkunjung pada jenderal Ui, maka jenderal itu sungkan dan menyetujui tindakanmu. Maka dia mengirim surati balasan yang mengatakan kalau sudah menerima uang sumbanganku. Pada hal engkau tidak membagi- bagikan uang itu kepada rakyat tetapi engkau kantongi sendiri!" "Tidak!" teriak Huru Hara, "aku tidak berbuat begitu. Dan jelas peti itu tidak berisi uang melainkan hanya tanah belaka. Mengapa jenderal mengirim barang semacam itu kepada jenderal Ui”

"Tidak, aku tidak mengisi peti itu dengan tanah," bentak jenderal Ko Kiat, "mana mungkin aku mengirim peti berisi tanah kepada jenderal Ui? Engkaulah yang telah membuka peti itu, mengambil uangnya lalu menggantinya dengan tanah. Hm, lekas mengaku saja, dimana engkau menyimpan uang itu?"

"Tidak, tidak! Aku tidak mengambil uang itu," bantah Huru Hara, "memang ketika bermalam di biara tua, telah muncul seorang yang tak dikenai dan membuka peti itu. Kemudian ada lagi yang datang dan bahkan mengambil peti itu."

"Lalu bagaimana jenderal Ui dapat membalas surat itu?" "Sedianya hendak kuganti tetapi jenderal Ui menyatakan

tidak perlu."

"Hm, engkau tentu membuka peti itu sebelumnya," kata jenderal Ko Kiat tetap menuduh, engkau harus mengaku atau "

"Tidak," seru Huru Hara, "aku tidak membukanya. Orang yang pertama datang itulah yang membongkar peti itu sehingga aku baru tahu kalau isinya hanya tanah. Hm, jenderal Ko, jangan menganggap bahwa sebagai seorang jenderal engkau dapat berbuat semaumu sendiri saja. Apa maksudmu mengirim tanah kepada jenderal Ui? Bukankah engkau hendak mencelakai aku?"

"Prajurit, tangkap bangsat kurang ajar ini tiba2 jenderal Ko Kiat marah dan berseru memberi perintah kepada para pengawal. Beberapa prajurit segera muncul hendak menangkap Huru Hara. Tetapi sekonyong-konyong sesosok tubuh pendek telah melesat dan tahu-tahu plak, plak, plak, terdengar suara tamparan disusul dengan jeritan mengaduh. Prajurit2 itu menjerit kesakitan karena mukanya ditampar orang. Mereka tak melihat jelas siapa yang menamparnya kecuali hanya sesosok bayangan kecil yang melayang cepat seperti setan.

'Hi, hi, hi "

"Engkau setan pendek!" kembali prajurit2 itu berteriak. Kali ini mereka berteriak marah dan mengetahui kalau Cian-li-ji tertawa mengikik seraya menuding pada prajurit2 itu. Tahu kalau Cian-j li-ji yang menampar muka mereka, prajurit2 itu pun segera ganti sasaran, bukan menangkap Huru Hara seperti yang diperintahkan Ko Kiat, melainkan menyerbu Cian-li-ji.

"Bagus, hayo tangkaplah aku kalau kalian mampu," Cian-li-ji terus bergerak melesat mengelilingi mereka. Gerakannya sedemikian pesat sepert setan.

"Tangkap bangsat ini!" teriak Ko Kiat kepada pengawalnya.

Sudah lazim di kalangan para panglima, jenderal2 dan para pembesar tinggi pada masa itu, tentu masing2 mempunyai pengawal peribadi yang berilmu silat- tinggi, demikian pula dengan Ko Kiat. Dia mempunya dua orang pengawal yang hebat ilmusilatnya. Yang seorang bernama Tek San, seorang jago perguruan Toan-kui-bun, bersenjata sepasang golok. Dan yang seorang bernama Kwe Cing, jago dari perguruan Hong-lui-bun yang mahir dalam ilmupedang Hong-lui-kiam-hwat atau ilmupedang Petir-menyambar.

Begitu mendengar perintah Ko Kiat, kedua pengawal itupun serempak mencabut senjata dan menerjang Huru Hara. Tring, tring, tring. terdengar dering gemerincing dari pedang golok yang beradu dengan benda keras, disusul dengan pekik tertahan dari kedua pengawal itu ketika golok dan pedang mereka terpental ke udara. Dan ketika masih tertegun, tahu2 sesosok bayangan setan melesat dan plak, plak, aduh . . . aduh.....

Kedua pengawal itu menyurut ke belakang sembari mendekap mulutnya yang berlumuran darah. Lagi2 kakek kate Cian-li-ji yang gatal tangannya, terus melesat dan menampar pipi kedua pengawal itu sehingga gigi mereka sampai putus.

Ko Kiat terkejut. Serentak dia berbangkit seraya lari masuk dan berteriak memberi perintah. Serentak muncullah seregu prajurit yang siap, dengan busur terentang di tangan.

"Hayo, menyerah atau mati !" teriak seorang perwira yang menjadi pimpinan regu pemanah itu.

"Paman Cian, ikutilah tindakanku," bisik Huru Hara. Kemudian dia menjawab ancaman peiwira itu," Aku tak bersalah mengapa harus menyerah ?"

"Jangan banyak mulut, ini perintah jenderal!" bentak perwira itu.

"Hm, memang benar kata orang. Dibawah pimpinan jenderal bebodoran, tentu tak ada prajuritnya yang baik. Tidak, aku takkan menyerah !'

"Panah !" serentak perwira itupun memberi aba-aba. Serenpak berpuluh-puluh anakpanah segera mencurah kearah Huru Hara. Tetapi mereka memekik kaget ketika menyaksikan cara Huru Hara menangkis serangan itu.

Ternyata dengan tangkas Huru Hara telah menyambar tubuh seorang prajurit yang menggeletak lalu diputar-putar seperti baling-baling. Puluhan batang anakpanah itu bersarang ditubuh prajurit malang itu. Sudah tentu barisan pemanah kesima dan hentikan serangannya.

"Nih, terimalah kawanmu !" Huru Hara me lontarkan tubuh prajurit itu kearah barisan pemanah. Pada saat mereka menjerit kaget, Huru Hara sudah melesat untuk meringkus perwira itu. Dan pada saat yang bersamaan, sikate Cian-li-ji pun angot lagi penyakitnya,

Wut.. , . sesosok bayangan kecil berkelebat kearah kawanan prajurit pemanah itu dan plak,…plak, plak….. aduh….aduh, …aduh terdengar jerit gemuruh dari regu

prajurit pemanah itu karena mulut mereka ditampar orang. Mereka berdesak-desak mundur sambil mendekap mulut mereka yang berdarah karena giginya putus.

Cian-li ji gembira sekali karena dapat melampiaskan kegemarannya menampar pipi atau mulut orang. Makin banyak yang ditampar, makin puaslah hatinya.

'"Jalan," terdengar Huru Hira membentak pada perwira kepala regu pemanah yang telah di lingkus dan digusurnya keluar.

Setelah rasa sakitnya berkurang, kawanan prajurit pemanah itu teringat akan tugasnya lagi. Mereka marah sekali karena ditampar oleh orang kate itu. Serempak mereka bersiap merentang busurnya lagi.

"Mau memanah ? Boleh, boleh, hayo panahlah !" seru Huru Hara seraya menghadapkan perwira itu kearah kawanan prajurit.

"Berhenti !" teriak peiwira itu dengan ketakutan karena tahu dirinya akan dijadikan perisai oleh Huru Hara.

Kawanan pemanah itupun menurut. Dan Huru Harapun menggusur perwira itu keluar. Prajurit penjaga pintu terkejut tetapi mereka terpaksa tak berani bertindak karena perwira itu meminta mereka supaya memberi jalan.

Demikianlah dengan tindakan yang berani, mengamuk dan meringkus seorang peiwira sebagai sandera, dapatlah Huru Hara dan Cian-li-ji keluar dari gedung kediaman jenderal Ko Kiat.

"O, apakah yang telah terjadi ?" Wi sin-kay menyambut kedua orang itu dengan terkejut.

"Mari kita tinggalkan tempat ini. Nanti akan kuceritakan lagi," kata Huru Hara. Ia lepaskan perwira itu, '"kembalilah dan sampaikan kepada jenderalmu. Pada satu hari aku akan menghadapinya lagi untuk minta keterangan mengenai kirimannya peti yang berisi tanah itu !"

Setelah perwira itu pergi, Huru Hara lalu menderitakan peristiwa yang dialaminya dengan jenderal Ko Kiat.

"Lalu kemanakah hian-tit hendak pergi sekarang ini?" tanya Wi sin-kay.

"Mencari Bu Te sin-kun untuk merebut Giok-say itu," sahut Hura Hara.

==000==

Marilah kita tinggalkan dulu perjalanan Huru Hara yang hendak memburu jejak Bu Te sin-kun itu. Seperti telah dikatakan pengemis sakti Wi sin-kay, Bu Te sin-kun itu seorang tokoh yang misterius. Bagaimana pendiriannya dan betapa muncul lenyapnya, tak ada orang yang dapat menduga. Memang tak mudah untuk mencari orang itu namun Huru Hara bertekad keras untuk menghadapi tokoh yang membanggakan diri sebagai Bu tek sin-kun atau jago tanpa tanding.

Kita ikuti kisah perjalanan si nona cantik Han Bi Ing dan pemuda cakap Wan-ong Kui. Keduanya sama tujuan tetapi beda maksudnya. Sama2 hendak mencari si Blo'on tetapi lain rencananya.

Han Bi Ing hendak menyerahkan surat wasiat dari ayahnya yang mengatakan kalau Blo'on itu adaIah calon suaminya. Sedang Wan-ong Kui hendak menuntut balas dendam kepada Blo’on.

Setelah menyeberangi sungai Tiang-kang, hari itu kedua muda mudi itu memasuki daerah gunung Lu san. Han Bi Ing naik dalam kereta, Wan-ong Kui mengawal dengan naik kuda. Sementara peti hartapun dimasukkan dalam kereta. Mereka menyewa seorang kusir.

Karena hari panas dan sejak pagi sudah menempuh perjalanan maka Wan-ong Kui memerintahkan kereta supaya berhenti beristirahat. Kusir kereta itu bernama Thia Kim, bertubuh kekar.

"Paman Thia," kata Wan-ong Kui membuka pembicaraan setelah beristirahat dan minum, "sepanjang perjalanan tampaknya keadaan rakyat makin gelisah. Apakah tentara Ceng sudah menyeberang sungai Hong- ho?"

"Kudengar pasukan Ceng sudah mulai mengadakan persiapan untuk menyerang ke selatan, menggempur kota Lam-kia. Walaupun daerah ini termasuk barat sungai Tiang-kiang yang jauh dari daerah peperangan, tetapi  rakyat memang sudah hidup dalam kegelisahan." "O, apakah musuh sudah merembes ke arah sini?" tanya Wan-ong Kui pula.

"Induk pasukannya memang masih berada di perairan Hong-ho, tetapi mereka telah mengirim antek2, mata2 dan cecunguk2 menyusup kedaerah pedalaman untuk mengacau dengan berbagai cara. Mengadu domba golongan dengan golongan, pembesar dengan pembesar agar tercipta suatu iklim kekacauan dan perpecahan. Kemudian mereka melancarkan anjuran supaya memberontak saja kepada kerajaan Beng yang sudah jelas diambang kehancuran, kemudian menggabung pada kerajaan Ceng. Kerajaan Ceng pasti akan menyambut kedatangan mereka dan tentu akan memberi pangkat dan kedudukan tinggi kepada mereka yang mau bekerja kepadanya."

Wan-ong Kui menghela napas, "Negara kacau, memang segala kutu busuk akan bermunculan untuk ikut menggerogoti kerajaan."

"Bagaimana rencana kongcu (tuan ) setelah tiba di Lou- hu-san nanti?" tanya kusir kereta itu.

"Terus terang, paman," kata Wan-ong Kui, "tujuanku adalah hendak mencari Kim Blo’on."

"O, Kim Blo’on putera dari Kim Thian Cong tayhiap itu?" tanya kusir kereta.

"Ya. Kenalkah engkau dengan dia?"

Kusir kereta gelengkan kepala, "Dengan Kim Blo'on aku tak kenal tetapi aku pernah bertemu dengan Kim Thian Cong tayhiap. Dia memang seorang pendekar besar yang harum namanya. Seorang pejuang yang pernah membikin pusing tentara kerajaan Kim tempo dulu."

Wan-ong Kui menghela napas dalam hati. “Ah, beda sekali ayah dengan puteranya itu.” "Kongcu, maaf, perlu apakah engkau hendak mencari Kim Blo'on itu?" tanya kusir Thia Kim.

Wan-ong Kui terkesiap. Setelah diam sejenak dia merjawab, "Aku hanya mengantar nona itu„ Dia adalah calon isteri Kim Blo'on."

"Calon isteri Blo'on? Ya allah, masakan nona secantik itu mau dijodohkan dengan Blo'on," kata kusir kereta yang mengaku bernama Thia Kim itu.

"Menurut keterangannya, sejak kecil nona itu sudah ditunangkan oleh orangtua mereka," kata Wan-ong Kui," dan apakah Blo'on itu tidak cakap?"

"Uh, namanya saja Blo'on, mana ada orang blo'on yang cakap!"

"Eh, paman Thia, jangan menghina orang. Andaikata aku seorang gadis, biar blo'on kalau aku sudah cinta, aku tetap mau menjadi isterinya," kata Wan-ong Kui agak marah.

Melihat Wan-ong Kui kurang senang, Thia Kim buru2 menyusuli kata2, "Ah, aku hanya bergurau saja, harap kongcu jangan marah. Memang jodoh itu sukar dikata. Tak dapat diukur dengan wajah cantik dan harta. Pokoknya kalau sudah mau sama mau, biar loyangpun dianggap emas."

Tengah mereka asyik berbicara, tiba-tiba terdengar  desing anakpanah melengking di angkasa. Rupanya anakpanah itu memang diperlengkapi dengan suituan. Dan beberapa saat kemudian terdengar gemuruh derap kuda dan muncullah lima penunggang kuda yang terus mengelilingi kereta Han Bi Ing. Serempak pula dari balik gerumbul semak bermunculan beberapa orang. Mereka ternyata memang anakbuah kelima penunggang kuda itu yang telah sejak lama bersembunyi dalam gerumbul.

Pemimpin dari kelima penunggang kuda itu, bertubuh tinggi, rambutnya sudah putih, umur di antara 50-an tahun. Tetapi mukanya masih berwarna merah segar, sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Yang termuda dari kelima penunggang kuda itu seorang pemuda berumur 20 tahun lebih, berwajah putih, alis lebat, tubuhnya gagah.

Kelima orang itu masing2 mengenakan mantel kulit harimau beraneka warna. Yang paling tua bermantel harimau gembong, yang kedua bermantel kulit harimau loreng, yang ketiga bermantel harimau hitam, yang keempat kulit harimau tutul dan yang kelima si pemuda gagah tadi bermantel kulit harimau putih.

"Celaka, kongcu, mareka adalah Lu-san-ngo-hou," bisik kusir Thia Kim.

"Bangsa perampok?" tanya Wan-ong Kui.

"Gerombolan penyamun dari dunia Liok-lim yang termasyhur. Jaman aman saja mereka sudah sering mengganggu keamanan, apalagi negara sedang kacau seperti sekarang ini. Di mata mereka seolah tiada beraja lagi."

Yang tertua bermantel kulit harimau gembong segera berseru, "Mengapa engkau berani, melintasi daerah Lu-san ini tanpa minta idin kepada kami Lu-san-ngo-hou (lima harimau gunung Lusan) ?"

Kusir Thia Kim diam saja karena dia tak berani melancangi Wan-ong Kui. Tetapi ternyata Wan-ong Kui juga diam tak menyahut.

"Hai, apakah kalian tuli ?" teriak lelaki bermantel kulit harimau gembong itu. Namun Wan ong Kui tetap diam, sedangkan Thia Kim hanya menunduk.

"Kurang ajar, kalian berani tak mengacuhkan aku ?" teriak lelaki itu pula seraya mencabut cambuk, "kamu hai, jawab, siapa pemilik kereta itu ?" bertanya kepada Thia Kim.

"Ampun hohan, aku hanya kusirnya. Kongcu inilah yang berkuasa," kata Thia Kim seraya mengerling mata kearah Wan-ong Kui.

"Hai, anakmuda, mengapa diam saja ?" bentak lelaki itu. '"Apakah engkau bertanya kepadaku ?" Wan-ong

tenang2 menjawab,

"Setan, siapa lagi kalau bukan engkau !"

"Kami berjumlah dua dan engkau tidak menunjuk salah satu diantaia kami berdua. Haruskah kami berdua menjawab semua ?"

"Ha, ha, ha," diluar dugaan lelaki bermantel kulit harimun gembong itu tertawa," cantik genit seperti anakperempuan. Ho, banci, mengapa engkau berani  melalui hutan ini tanpa lapor kepadaku ?"

"Milikmukah hutan ini ?"

"Dunia lioklim (kalangan penyamun) sudah tahu bahwa daerah Lusan adalah dalam kekuasaan Lu-san-ngo-hou. Mengingat engkau baru pertama kali ini lewat disini maka jiwamu kuampuni tetapi kereta itu harus engkau tinggal."

"Tetapi kereta itu tak berisi apa2 kecuali seorang gadis," seru Wan-ong Kui.

"Itu lebih baik," seru lelaki bermantel kulit harimau hitam yang umurnya disekitar 35 tahun. Sejenak berpikir, Wan-ong Kui. menjawab, "Soal itu akan kurundingkan dulu dengan nona yang berada dalam kereta."

Dia terus menghampiri kereta dan masuk kedalam gerbong, "Ing-moay, kita dihadang oleh kawanan penyamun."

"Lalu bagaimana." tanya Bi Ing dengan cemas.

"Tak perlu kuatir," Wan-ong Kui menghibur, "rasanya aku masih sanggup menghadapi mereka. Teiapi karena mereka berlima, maka dikuatirkan aku sampai tak dapat meljndungi engkau engkau harus dapat menjaga diri sendiri."

Ia mengeluarkan sebuah kantong kain dan berkata, "Kantong ini.berisi bubuk Hu-bi-an (bubuk penghancur kulit). Apabila ada salah seorang yang berani masuk kesini, tabur saja mukanya tentu hancur."

"Tetapi mengapa tak engkau pakai sendiri ? tanya Bi Ing.

"Bubuk itu harus ditaburkan dari jarak dekat dan hal itu memang tepat untukmu. Karena engkau tak memiliki ilmusilat. Sudahlah, bubuk ini tentu akan menolongmu," kata Wan-ong Kui, lalu menyerahkan kantong itu dan terus menyelinap keluar. Ia menghampiri kusir Thia Kim dan berbisik, "Paman Thia, jagalah kereta siocia ini. Kalau aku sampai terdesak, berusahalah larikan kerata itu dan lindungilah siocia !"

Setelah memberi pesan Wan-ong Kui segera maju kehadapan kelima penyamun itu.

"Nona dalam kereta itu ingin tanya, siapakah nama kalian berlima ini," serunya. "Aku Macan-gembong Beng Ho," kata lelaki bertubuh tinggi lalu menujuk berturut kepada keempat kawannya," dan ini Macang-loreng Beng Wan, Macan - hitam Beng San, Macan tutul Beng Gi dan Macan-putih Beng Lok. Dan siapa namamu ?"

"Wan-ong Kui"

"Wan-ong Kui ? Engkau setan-penasaran ? Mengapa penasaran ? Kepada siapa engkau penasaran ?"

"Kepada setiap orang yang jahat, yang suka membunuh, suka membegal, suka memeras, suka….."

"Cukup!" seru Macan-gembong Beng Ho, jadi engkau anggap dirimu itu seorang pendekar yang hendak memberantas kejahatan ? Ho, engkau benar2 seorang pendekar kesiangan yang tak tahu kenyataan. Dunia sudah kacau, negara rusak, jaman edan. Orang Boan-ceng merampas kerajaan Beng, raja Beng bersenang-senang dengan arak dan wanita cantik. Mentri2 dorna sibuk mengumpulkan harta, jenderal-jenderal giat merampok tanah dan harta benda rakyat. Mengapa engkau masih bermimpi menjadi pendekar kesiangan?"

"Suasana, negara dan dunia kacau, bersumber pada jiwa manusia. Jaman edan, apakah kita harus turut edan? Yang edan biar edan, tapi yang waras jangan ikut edan. Engkau mengejekku sebagai pendekar kesiangan karena engkau pura2 edan dan merasa berhak untuk merampok harta orang !"

"Ho, mengingat engkau seorang lelaki yang cantik, aku dapat mengampuni. Tetapi bagaimana keputusanmu? Tinggalkan kereta itu dan engkau boleh pergi atau engkau mau ikut aku sekalian, juga boleh."' "Sudah kurundingkan," sahut Wan-ong Kui dan nona itupun sudah menyerahkan keputusannya kepadaku. Terserah bagaimana aku akan memutuskan."'

"Bagus, engkau tentu setuju, bukan?"' 'Ya."'

"Wah, engkau benar2 seorang pemuda yang baik, pintar dan tahu gelagat."'

"Jangan terburu-buru mengobral pujian dulu.

"Lho, apa lagi?" Macan-gembong Beng Ho terkesiap. "Yang mengawal kereta itu, bukan hanya aku seorang,

tetapi masih ada seorang kawanku lagi. Aku setuju menyerahkan kereta itu kepadamu tetapi kawanku tidak mau."

"Setan," seru Beng Ho, "mana kawanmu itu?"

"Ini," tiba2 Wan-ong Kui mencabut pedang dari pinggangnya."

"O, engkau hendak melawan? Ha, ha, ha," Beng Ho tertawa, "tak nyana kalau seorang pemuda seperti anak perempuan begitu, berani mempermainkan Lu-san-ngo- hou. Masih kuberi kesempatan yang terakhir kepadamu, lebih baik engkau menyerah saja. Bukankah sayang kalau pemuda yang secantik engkau akan menjadi mayat berlumuran darah?"

"Apa boleh buat, aku terpaksa harus menuruti kehendak kawanku ini. Dan belum tentu siapa yang akan menjadi mayat berlumuran darah nanti."

"Toako, tak perlu banyak bicara dengan pemuda banci itu. .Kita bekuk saja " Baru- Macan-loreng Beng Wan berkata begitu karena tak sabar lagi mendengar pembicaraan Beng Ho dengan Wan- ong Kui, tiba2 terdengar derap kuda berlari dan pada lain saat muncul dua orang penunggang kuda. Seorang lelaki  tua berumur 60-an tahun dan seorang dara berumur 16-an tahun. Melihat kedatangan kedua orang itu, berobah!ah wajah Macan-gembong Beng Ho.

"Ai, Tong loya, telinga kalian benar2 tajam sekali!" seru Beng Ho.

Penunggang kuda lelaki tua itu tertawa hambar, "Apakah engkau takut kalau tanganku juga panjang?"

Beng Ho tertawa, "Ah, Tong loya bergurau. Masakan Tong loya juga tertarik akan barang dagangan yang tak berharga ini? Kuharap Tong loya suka melonggarkan tangan."

Lelaki tua yang disebut Tong loya itu deliki mata, "Kalau begitu, kalian tak senang atas kedatanganku ini?"

Si dara juga tertawa mencibir, "Harimau itu memang binatang serakah. Engkong, Macan gembong Beng Ho ini takut kalau harus membagi hasil kepada kita maka dia berusaha untuk mengambil muka pada engkong."

Kalau tadi sikap Beng Ho begitu garang terhadap Wan- ong Kui, sekarang berhadapan dengan engkong dan cucunya seorang dara i tu mereka tak berani berkutik. Bahkan disindir secara terang-terangan oleh sidara, Beng Ho hanya tertawa, "Ah, mana aku berani begitu terhadap Tong loya. Kami gembira sekali atas kedatangan Tong loya dan nona In Hong. Nona In Hong tahun ini kan sudah berumur 17 tahun, apakah nona sudah mendapat tempat ?"

Drra yang disebut dengan nama ln Hong itu deliki mata, "Macan-gembong, apakah engkau buta ? Urusan yang penting engkau berusaha menghindar, sekarang mau menggarap soal diriku. Jangan ngaco belo tak keruan. Apa engkau kira aku tak berani menampar mulutmu yang lebar itu ?”

Macan-gembong Beng Ho tertawa gelak2, "Nona In Hong, sekarang ini aku akan bicara soal yang penting. Kupercaya engkong nona tentu tak memandang mata pada dagangan sekecil ini. Tetapi karena kalian sudah datang akupun tentu akan menghaturkan persembahan kepada kalian, Dan parsembahan kami itu akan kami laksanakan waktu nona In Hong akan keluar pintu ( menikah ) nanti. Tetapi ah, ka nona kalian sudah datang kemari akupun harus menghaturkan persembahan. Kalau banyak aku tak kuat. Aku hanya kuat menghaturkan Iima ratus taji emas harap suka terima."

Begitu mudah kelima penyamun dari Lusan menyerahkan sekian banyak uang, jelas betapa besar rasa takut mereka terhadap kakek dan cucunya itu.

Karena kusir Thia Kim terpisah jauh menjaga di depan kereta, terpaksa Wan-ong Kui tak dapat bertanya. Ia heran siapakah orangtua yang disebut Tong loya dan cucunya yang bernama In hong itu? Mengapa kelima benggolan penyamun dari Lusan begitu takut kepada mereka? Ah, Tong loya itu tentu seorang jago yang lihay.

Kembali si dara In-hong tertawa dingin, serunya, "Beng lo-hou, engkau mengatakan menyambut gembira kedatangan kami kesini. Tetapi mengapa engkau keluar dari sarangmu mencari mangsa agak jauh. Apakah itu tidak berarti kalian hendak menghindari kami?"

Macan-gembong Beng Ho pura2 terkejut, “Ayah kalian sudah datang ke sarang kami? Maaf, aku tak tahu sehingga tak dapat menyambut bagaimana mestinya. Nona In, karena kuatir akan membikin kaget engkong nona, maka aku mencari mangsa agak jauh. Harap nona jangan salah faham, karena nona sudah datang maka aku tentu akan menghaturkan limaratus tail emas itu sebagai sumbangan apabila kelak nona menikah."

"Uh, siapa mengiler dengan limaratus tail emas itu?" dengus In Hong.

"Kalau begitu, tolong tanya apakah maksud kedatangan Tong loya dan nona In Hong ini? Aku pasti takkan mengecewakan pada nona In," kata Beng Ho.

"Benar, aku memang tak mau pulang dengan, kecewa.

Aku tak menghendaki emas tetapi orang!" sahut In Hong.

Beng Ho terkejut, "Engkau menghendaki orang? Siapa?" "Beng lo-hou, terus terang saja sebenarnya aku malas

keluar. Tetapi karena Hong terus merengek-rengek hendak melihat mempelai perempuan, terpaksa aku harus menemaninya."

"'Mempelai perempuan yang mana?" Beng Ho makin heran.

"Jangan pura2 tak tahu," lengking In Hong “yang berada dalam kereta itu apa bukan mempelai perempuan? Kudengar dia cantik sekali maka aku sengaja datang kemari hendak melihatnya!"

Tiba-tiba angin meniup keras dan kain tenda kereta itupun tersingkap. Sekalian ormg mencurah pandang. Tampak dalam gerbong kereta itu seorang nona cantik tengah duduk dengan tenang. Sedemikian tenang seperti tak memperdulikan dan mendengarkan apa yang sedang terjadi di luar. Wan-ong Kui mengira kalau Bi Ing tentu akan terkejut menyaksikan sekian banyak orang di luar kereta tetapi ternyata nona itu diam saja.

"Ai, benar2 seorang cantik yang tiada tandingannya. Engkong, aku suka pada taci itu. Aku ingin mengajaknya supaya tinggal di rumah kita selama beberapa hari," seru In Hong.

Engkongnya yang bernama Tong Kui Tik, hanya tertawa, "Ada pengawalnya, engkau harus minta idin dulu kepada pengawalnya itu.

In Hong terus langsung bertanya kepada Wan-ong Kui, "Engkoh yang baik, aku hendak mengajak taci dalam kereta itu ke rumahku dan tinggal beberapa hari disana. Engkau tentu tak keberatan, bukan?"

"Wah, berabe nona." sahut Wan-ong Kui.

"Apanya yang berabe? Dia seorang gadis dan akupun juga anak perempuan, kita sama-sama wanita, apanya yang berabe? Hanya kuminta supaya tinggal beberapa hari saja di rumahku masakan sampai menganggu pernikahannya? Aku juga dapat mengantarkannya kepada calon suaminya, tak perlu engkau repot2 lagi. Bukankah engkau akan lebih ringan bebanmu disamping engkau bakal terlolos dari ancaman kelima harimau di Lusan sini?"

Sebelum Wan-ong Kui menjawab, rupanya Macan-putih Beng Lok yang paling muda diantara kelima macan itu, tak sabar lagi dan terus berseru, "Nona In, kalau engkau mau ikut dalam perdagangan ini, aku sih tak keberatan. Tetapi menurut peraturan dalam Rimba Hijau ( dunia penyamun ), kan ada bedanya antara yang datang dulu dengan yang datang belakangan." Ternyata si Macan-putih Beng Lok itu telah berobah pendiriannya. Semula seperti keempat saudaranya, dia hendak merampas peti uang dalam kereta itu. Tetapi tadi waktu melihat kecantikan Bi Ing, tergeraklah hatinya. Dia ingin mendapatkan nona itu sebagai istetinya.

In Hong deliki mata, "Engkau tak setuju bukan?"

Buru-buru Macan-gembong Beng Ho campur bicara, "Harap nona jangan bergurau. Kita sekarang bicara secara serius. Lepaskan nona itu dan kami akan menghaturkan limararus tail emas di tambah lagi dengan limaratus tail perak. Tetapi harap nona jangan mengganggu kami lagi."

"Siapa ngiler pada emasmu itu ?" In Hong tertawa mengejek, "Aku hendak mengajak nona pengantin itu pulang, nanti aku akan kembali kesini memberimu limaratus tail emas. Jangan engkau campur tangan lagi."

"Ah, tidak bisa." seru Macan-putih Beng Lok, "manusia mempunyai muka dan pohon punya kulit. Kalau dagangan yang diurus keluarga Beng sampai direbut orang ditengah jalan, kelak bagaimana kami dapat berdiri di dunia persilatan lagi? Toako, jangan menerima !"

Bukan karena Macan-putih Beng Lok tak tahu betapa lihaynya jago tua Tong Kui Tek itu, tetapi dia memperhitungkan, jika dia berlima saudara maju menempur kakek dan cucunya itu, tentulah dapat menghadapi.

Pada saat suasana memuncak dalam ketegangan, sekonyong-konyong terdengar pula suara ringkik kuda dan kembali seorang penunggang kuda muncul.

Dia seorang lelaki berumur 30-an tahun, dandanannya seperti seorang sasterawan, tangannya mencekal sebatang kipas. "Mana mempelai perempuannya ? Aku juga ingin lihat," selekas datang dia terus nyelonong bicara.

Saat itu kusir Thia Kim sedang membenahi tenda kereta untuk ditutup lagi. Tetapi mata sasterawan yang celi itu sudah dapat melihat Bi Ing yang cantik.

"Bagus" dia serentak berseru gembira: "banyak sudah nona dan gadis kota yang kulihat, tapi jarang sekali sepeiti nona mempelai yang berada dalam kereta itu. Benglo-hou (macan tutul Beng), kuberimu seribu tail emas dan kasihlah mempelai cantik itu kepadaku !"

"Kentut!" Macan-gembong Beng Ho marah "apakah engkau hendak menghina aku ? Pergilah engkau tukang petik bunga. Dalam lingkungan seratus li dari lembah lima- macan ini, jangan engkau berani campur tangan !"

Sastrawan yang berwajah pucat itu berkipas seraya tertawa, "Macan tua Beng, jangan pura2 suci. Kalau engkau menghendaki harta dan orang engkau pasti akan menggigit jari. Lebih baik engkau yang mendapat uang dan aku sicantik itu. Dengan begitu kita masing2 mendapat hasil, apa tidak enak ?"

Sebenarnya Macan-tua Beng Ho itu takut kepada sasteravvan pucat. Andaikata jago tua Tong Kui Tek tidak berada disitu, tentuiah dia akan berunding untuk tawar menawar dengan sasterawan berwajah pucat itu. Tetapi karena sekarang dihadapan Tong Kui Tek, sudah tentu Beng Ho| menjaga gengsi.

"Rase buduk, apa engkau tak tahu peraturan Rimbau Hijau ? Jelas engkau takan mendapat bagian dari perdagangan ini!"

"Tetapi aku tetap hendak minta bagian, engkau mau apa

?" sasterawan berwajah pucat itu tertawa menyeringai. Sebelum Macan-gembong Beng Ho menjawab,, si dara In Hong sudah menyelutuk, "Orang she San, boleh saja engkau hendak ikut minta bagian tetapi engkau harus menyerahkan suatu barang !"

Sasterawan berwajah pucat itu bernama Sun Kian, seorang Don Yuan tukang merusak wanita atau istilahnya dalam dunia persilatan disebut Jay- hoa-cat (penjahat tukang petik bunga). Dia memiliki ilmu menutuk jalan darah yang lihay serta tenaga-dalamnya juga tinggi, tetapi karena terlalu mengumbar nafsu dengan wanita, mukanya jadi pucat seperti mayat. Senjatanya adalah kipas. Kipasnya itu bukan kipas biasa tetapi kerangkanya dari baja dan daunnya juga dari plat baja yang tipis. Dapat digunakan untuk menutuk jalan darah lawan. Thiat-san-jay-hoa-seng atau Sastewan kipas-besi-pemetik-bunga, demikian orang persilatan memberinya julukan.

Sun Kian tertawa, "Barang apa ? Kalau engkau nona In Hong yang minta, sekalipun bintang di langit, tentu akan kupetikkan."

Dara In Hong tertawa dingin, "Bintang untuk penghias langit, menerangai bumi. Tak perlu bagiku. Cukup aku minta sepasang gundu matamu saja. Lekas, koreklah sendiri

!"

Sun Kian tertawa, "Ah, nona In, mengapa minta yang itu

? Kalau tak punya gundu mata bagaimana aku dapat menikmati wanita cantik ? Perlu apa aku harus hidup lagi ? Nona In, permintaanmu itu terlalu tinggi. Minta saja yang lain, aku pasti akan melakukan."

"Sudah kukatakan aku tak butuh apa2 lagi. Uang dan mainan sudah cukup banyak. Hanya gundu mata itu yang belum punya."

"Jangan bergurau nona In !" "Siapa yang bergurau ?" sahut In Hong lalu berseru, "engkong, dia tak mau mengorek biji matanya, sendiri. Terpaksa kita harus mengoreknya. Engkong yang turun tangan atau aku saja ?"

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar