Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 04 Comat comot

Jilid 04 Comat comot

Serangan tentara Ceng yang berhasil menduduki kotaraja Pakkhia telah membuat kerajaan lleng kocar kacir. Ibukota pindah ke Lamkia dan karena baginda Cong Ceng bunuh diri maka tahtapun kosong. Timbul pertentangan diantara para mentri dan panglima untuk menobatkan raja yang baru.

Mereka terpecah menjadi dua golongan. Golongan yang mendukung pangeran Hok-ong dan golongan yang mendukung pangeran Lok-ong. Hok-ong ramah dan welas asih. Lok-ong tangkas dan cerdik.

Itu waktu mentri urusan tentara atau Peng-oh-siang-su dipegang oleh Su Go Hwat. Saat itu bala balatentara kerajaan Beng bermarkas di Hu-o. Mendengar pertentangan dikalangan menteri tentang pengangkatan raja baru, Su Go Hwat condong mengangkat Lok-ong.

Tetapi gubernur wilayah- Hong-yang-hu yakni Ma Su Ing yang licik, hendak memanfaatkan kelemtahan pangeran Hok-ong untuk kepentingannya. Diam2 dia bersekutu dengan Lau Liang Co dan lain2 menghadap dan menghaturkan laporan pada mentri urusan tentara Su Go Hwat, menyatakan bahwa golongan pendukung Hok-ong itu besar pengaruhnya. Kalau sampai Hok-ong tidak diangkat dikuatirkan akan timbul pemberontakan.

Su Go Hwat terpaksa menurut. Begitulah dengan membawa pasukan besar, Ma Su Ing menekan pada mentri dan jenderal yang terbesar di seluruh wilayah Kangpak agar mendukung Hok-ong. Akhirnya Hok-onglah yang dinobatkan sebagai raja baru.

Setelah maksudnya tercapai, Ma Su Ing me lanjutkan rencananya lagi. Dia hendak menyingkirkan mentri setia Su Go Hwat dan akan merebut kedudukan sebagai Sen-siang atau perdana mentri. Saat itu Su Go Hwat sedang mengadakan pembaharuan dan penyederhanaan di kalangan tentara. Antara lain, pasukan bhayangkara Kim ih-wi, Gi-lim-kun dan lain2 digabung kedalam pasukan tentara di bawah komando mentri urusan tentara.

Melihat itu Ma Su Ing cemas. Dia kuatir Go Hwat hendak menguasai tentara. Maka diam2 dia

,memerintahkan jenderal Ko Kiat supaya menganjurkan baginda supaya memintakan Su Go Hwat keluar mengadakan inspeksi ke daerah2.

Hok-ong memang lemah dan doyan pelesir. Sejak naik tahta dia hanya memanjakan diri dalam bersenang-senang dengan wanita cantik.

Pada suatu hari kerajaan mengadakan sidang lengkap, membicarakan soal peperangan menghadapi pasukan Ceng. Su Go Hwat menganjurkan agar baginda keluar ke daerah untuk membangkitkan semangat rakyat, menyusun kekuatan dan memperkuat kekuatan pasukan. Tetapi baginda menolak dan meminta salah seorang mentri yang melaksanakan tugas itu. Ada yang mengusulkan supaya Ma Su Ing yang diangkat sebagai Kian-siu atau Duta raja. Tetapi Mo Su Ing menolak. Akhirnya pilihan jatuh pada Su Go Hwat. Karena menganggap tugas itu amat penting, Su Go Hwat terpaksa menerima.

Su Go Hwat seorang mentri yang jujur dan berwibawa. Dia mendapat dukungan penuh dari rakyat dan ditakuti jenderal2 penguasa daerah.

Diantara jenderal2 pasukan Beng, terdapat empat orang jenderal yang tak becus. Mereka yalah Lau Cek Cing, Ui Tek Kong, Lau Liang Co dan Ko Kiat.

Bermula terjadi persaingan diantara Ui Tek Kong, Liu Cek Cing dan Ko Kiat untuk menguasai kota Yang-ciu. Ternyata Ko Kiat dengan pasukannya tiba lebih dulu. Tetapi rakyat Yang-ciu yang tahu Ko Kiat itu seorang jenderal yang kejam, menolak kedatangannya. Pintu kota ditutup rapat2. Ko Kiat marah. Dia memerintahkan pembunuhan besar-besaran pada rakyat dari empat buah desa disekeliling kota Yang-ciu itu.

Mendengar itu rakyat Yang-ciu makin benci dan tak mau membukakan pintu kota. Sampai satu bulan lamanya pasukan Ko Kiat menyerang dan mengepung kota itu tetap tak berhasil.

Sebelum itu ketiga jenderal yang lain Lau Cek Cing, Ui Tek Kong dan Lau Liang Ge juga mengadakan huru-hara gara2 ditolak rakyat. Kerajaan tak dapat berbuat apa2 dan menitahkan Su Go Hwat untuk mengatasi persoalan itu. Berkat kewibawaannya, dapatlah ketiga jenderal yang saling berebut daerah itu ditundukkan dan taat pada perintah Su Go Hwat.

Setelah itu Su Go Hwat lalu ke Yang-ciu menemui Ko Kiat. Ko Kiat ketakutan. Dalam waktu satu malam dia perintahkan prajuritnya untuk membuat seribu liang, mengubur mayat2 rakyat yang dibunuhnya itu.

Su Go Hwat pura2 tak tahu peristiwa itu dan mengangkat Ko Kiat sebagai penguasa di Co ciu. Kekuasaan atas Yang-ciu. dipegang sendiri oleh Su Go Hwat. Diam2 Su Go Hwat menyerahkan kota Gi - cin kepada. pasukan U Tek Kong agar dapat mengawasi dan menindak Ko Kiat kalau sampai nyeleweng lagi.

Waktu itu panglima besar atau Cong-peng yang baru diangkat yakni Ui Hui akan datang untuk memangku jabatan. Karena dia masih bersaudara dengan Ui Tek Kong maka dia minta supaya Tek Kong membawa pasukan untuk menyambutnya, menjaga kemungkinan yang tak diingini dalam suasana kacau seperti waktu itu.

Mendengar itu Ui Tek Kong lalu membawa 100 pasukan untuk menyambut ke Ko-yu. Hal ini menimbulkan kecurigaan Ko Kiat yang mengira Ui Tek Kong hendak menyerangnya. Dia menitahkan pasukannya bersembunyi menyegat di tengah jalan. Waktu Ui Tek Kong dan pasukannya sedang beristirahat maka muncullah pasukan Ko Kiat yang menyerangnya.

Tek Kong dengan susah payah dapat lolos dari bahaya walaupun kuda tunggangannya terpanah mati. Rupanya Ko Kiat masih belum puas. Dia mengirim pasukan untuk menyerang di pos pertahanan Tik Kong di kota Gi-cin. Tek Kong menderita kerusakan besar.

Sudah tentu Tek Kong marah sekali. Dia nengirim surat kepada baginda Hok Ong, mohon diperkenankan untuk menghancurkan Ko Kiat. baginda menitahkan Su Go Hwat untuk menyelesaikan perselisihan itu.

Kebetulan mamahnya Tek Kong meninggal. Waktu melayat, Su Go Hwat membujuk Tek Kong agar menghapus dendam kemarahannya kepada Ku Kiat.

"Demi kepentingan negara, kupercaya ciang- kun tentu berjiwa besar untuk menghapus dendam itu. Semua orang tahu bahwa Ko Kiat yang bersalah maka akan kusuruh dia menghaturkan maaf kepada ciang-kun," kata Su Go Hwat.

Ko Kiat menurut perintah. Dia hendak mengganti semua kerugian pasukan Tek Kong dan akan menghaturkan seribu tail emas sebagai tanda ikut berdukacita atas kematian ibunda Tek Kong. Dengan tindakan itu dapatlah Su Go Hwa untuk kesekian kalinya menjaga keutuhan para jenderal pasukan kerajaan Beng.

Demikian jenderal Ko Kiat telah mengirim undangan kepada tujuh tokoh hitam yang ganas untuk mengawal uang sebanyak seribu tail emas itu.

Memang sejak menguasai kota Yang-ciu, Ko Kiat mempergunakan juga tenaga2 tokoh hitam dalam dunia persilatan untuk menjalankan tangan besi menindas rakyat. Rakyat makin menggigil karena marah, benci tetapi takut.

Munculnya seorang pemuda aneh di kota Yang-ciu, tidaklah banyak menarik perhatian orang kecuali mereka hanya menyangka bahwa pemuda aneh itu seorang yang kurang waras pikirannya, tapi sebuah peristiwa yang cukup menggempar, membuat pemuda aneh itu dapat merebut hati rakyat.

Peristiwa itu terjadi diwaktu sore dikala matahari masih bersinar terang. Sekawanan prajurit anakbuah Ko Kiat yang terdiri dari 10 orang, makan minum disebuah rumah makan. Kebetulan saat itu Loan Thian Te atau si Huru Hara juga berada dalam rumahrnakan itu. Melihat kawanan prajurit masuk, pelayan ketakutan setengah mati. Meja2 sudah penuh diduduki tetamu. Yang ada hanya meja si Huru Hara yang masih kosong karena hanya diduduki Huru Hara seorang.

"Tuan, maafkan, kuminta tuan suka mengalah untuk para loya ( tuan besar ) itu. Tuan tak perlu membayar rekening makanan tuan,'' kata pelayan itu.

Huru Hara deliki mata kepada si pelayan tapi sesaat kemudian mau menjawab juga, "Kalau mereka mau duduk, silakan saja duduk, perlu harus mengusir lain tetamu?" "Tetapi tuan ....," belum habis pelayan berkata, rombongan prajurit itupun menghampiri dan berseru, "Hai, meja masih kosong. Kita dudukdisini "

"Hai, tolol, lekas pergi," bentak salah seorang prajurit kepada Huru Hara.

"Enak saja engkau ngomong," sahut Huru hara, "ini kan rumahmakan umum, bukan milikmu. Mengapa engkau berani mengusir tetamu?"

"'Eh, rupanya engkau sudah bosan hidup, ' bentak prajurit itu seraya terus hendak memukul Huru Hara.

"Lo Bun, dia orang gila, perlu apa marah kepadanya?" seorang prajurit kawannya mencegah "seret saja dia keluar sana!"

Prajurit yang pertama membentak tadi, serentak terus menarik Huru Hara. Biasanya orang menyeret tentu menarik tangannya tetapi prajurit itu memang ugal-ugalan. Dia menarik kuncir rambut Huru Hara, "Hayo, keluar babi!"

Tetapi alangkah kaget prajurit itu ketika ia tak kuat menarik orang aneh itu. Huru Hara melanjutkan menyantap hidangannya, menyumpit sekerat tulang ayam dan terus dimasukkan kelubang hidung si prajurit, "Makanlah !"

"Aduhhhhh," prajurit itu menjerit sekeras-kerasnya ketika lubang hidungnya kemasukan tulang ayam yang tajam. Hidungnya berdarah, lepaskan cekalannya pada kuncir rambut Huru Hara dia berusaha  untuk mengeluarkan tulang itu dari hidungnya tetapi tak berhasil.

"Haya, celaka, bagaimana hidungku ini….. prajurit itu berjingkrak-jingkrak seperti orang gila. Beberapa tetamu ketakutan dan bubar. Ada yang menolong prajurit celaka itu, ada pula kawannya yang terus menghampiri Huru Hara, "Bangsat, engkau berani menganiaya kawanku,” dia hendak memukul tetapi sebelum tinju mendarat dia sudah menjerit keras karena mukanya disembur dengan arak oleh Huru Hara.

Demikian berturut-turut tanpa ada yang bebas, kesepuluh prajurit anakbuah Ko Kiat itu telah menelan pil pahit dari si orang aneh Huru Hara. Ada yang giginya putus, ada yang mukanya disembur arak, matanya ditabur bubuk lada. Yang paling sial adalah prajurit yang telinganya dimasuki biji kacang. Prajurit itu benar2 koming setengah mati dan berteriak-teriak di sepanjang jalan seperti orang gila. Dia terus terjun kedalam sungai karena tak kuat menahan rasa sakitnya.

Demikian peristiwa 10 orang prajurit dihajar oleh seorang aneh telah tersebar luas di kota Yang-ciu.

Huru Hara mendengar tentang surat undangan jenderal Ko Kiat kepada ketujuh tokoh hitam. Dia memutuskan untuk merebut pekerjaan itu. Dia hendak melihat apakah benda yang hendak dikirim Ko Kiat itu. Kalau hal itu merugikan rakyat, dia akan membagi-bagikan barang itu kepada rakyat.

Begitu sekelumit cerita munculnya seorang aneh yang menamakan diri sebagai Loan Thian Te atau pendekar Huru Hara di kota Yang-ciu.

Setelah berhasil membereskan ketujuh Pembunuh besar, maka Huru Hara hendak masuk ke dalam kota Yang-ciu tetapi ditengah jalan dia berjumpa dengan seorang manusia aneh, tingginya hanya satu meter dan bergelar Cian-li-ji atau Telinga-seribu-li dan mengaku menjabat sebagai mentri kebun istana raja. Apa boleh buat karena kasihan kepada orang kate itu, Huru Harapun mau membawanya. Tiba di Yang-ciu mereka mendapat keterangan bahwa jenderal Ko Kiat tidak tinggal di kota itu melainkan di Cho-ciu. Huru Hara dan Cian-li-ji menuju ke sana.

Sudah tentu tak sembarang orang dapat masuk kedalam gedung kediaman jenderal Ko Kiat penguasa kota. Selain dikelilingi dengan pagar tembok yang tinggi, pun di pintu gerbang dijaga oleh selusin prajurit bersenjata lengkap.

"Berhenti!" bentak seorang prajurit penjaga seraya mengacungkan tombak ketika melihat Huru Hara dan Cian- li-ji terus hendak masuk begitu saja tanpa menghiraukan para penjaga itu.

"Kalian ini setan2 dari mana saja berani masuk kedalam gedung ciangkun!" seru prajurit itu.

"Aku manusia dan pamanku ini juga manusia, bukan setan," sahut Huru Hara dengan polos.

Melihat bentuk potongan kedua orang itu, yang satu berpakaian seperti pendekar, pakai kain kepala tetapi berlubang dua. Yang satu seorang lelaki kate, keduabelas prajurit itu tertawa gembira.

"Aku datang kemari bukan untuk menjadi bahan tertawaan kalian tetapi hendak menghadap jenderal Ko," kata Huru Hara mulai tak sabar.

"Engkau hendak menghadap ciangkun ? Ha, ha, ha ,"

kembali penjaga itu tertawa gelak2, "tak perlu, cukup menghadap aku saja. Mau apa engkau ?"

"Penjaga," seru Huru Hara dengan serius, "jangan berolok-olok. Aku benar2 hendak menghadap ciangkun. Jika engkau tak mengidinkan terpaksa aku harus masuk sendiri." "Engkau hendak masuk sendiri ?"" ulang prajurit itu, "boleh, boleh asal engkau mampu melewati selakangku,"

prajurit itu terus merentang kedua kakinya.

Huru Hara terkesiap. Sejenak iapun berseru, "Apakah kakimu cukup kuat untuk menerima tubuhku ? Kalau terlanggar, mungkin engkau akan terjerembab. Lebih baik kuperisanya dulu.

Huru Hara terus maju menghampiri, "Awas, kencangkanlah kakimu kuat2, bung !" Ia gerakkan kakinya pelahan-lahan untuk mengait kaki prajurit itu. Karena hendak dikait, prajurit itu kencangkan kakinya untuk bertahan. Tetapi akibatnya, bum.....dia terpelanting terbanting ke tanah.

Gelak tawa kawanan penjaga itu sirap seketika, "Lo Kian, mengapa engkau tak punya guna lama sekali ?"

Namun penjaga yang terbanting itu hanya meringis kesakitan. Kepalanya pusing tujuh keliling dan matanya berbinar-binar.

"Hayo siapa yang mau menggantinya ?" seru Huru Hara. "Aku," seru seorang penjaga yang bertubuh besar seraya

bersiap.

"Huh.....!" ia memekik ketika Huru Hara gerakkan kakinya mengait dan dia terpelanting jungkir balik.

Kali ini kawanan penjaga itu benar2 terkejut. Lo Siang, penjaga bertubuh tinggi besar itu paling kuat sendiri diantara mereka. Tetapi mudah seperti tak menggunakan tenaga, orang aneh itu dapat mengaitnya jatuh. Mereka kasak kusuk lalu dua orang maju, "Engkau hebat sekali. Apa engkau mampu mengait kami berdua ?"

"Jangan !" "Apa maksudmu ?"

"Terlalu membuang waktuku." "Hah ?"

"Kalian maju semua saja. Boleh pilih, mau mengait atau dikait ?" kata Huru Hara.

"Setan, sombong benar engkau !" teriak penjaga2 itu," baik, karena engkau sendiri yang menantang, kami akan maju berdelapan. Kalau engkau tak mampu mengait jatuh, lehermu kupotong mau ?"

"Bersiaplah !" sahut Huru Hara.

Kedelapan penjaga itu segera berjajar melipat dan merentang kakinya. Maka bergerak kaki Huru Hara menyusup kebelakang tumit mereka dan sekali bergerak, uh, ah, auh, ih, hait .... bum……bum, terdengar delapan sosok tubuh berjatuhan ketanah seperti buah kelapa yang gugur dari atas pohonnya.

"Hi, hi. hi," Cian-li-ji tertawa mengikik, 'hai, tunggu aku.....!" ia berteriak kaget ketika Huru Hara terus melangkah masuk ke halaman gedung.

Cian-li-ji lari menyusul. Dia heran. Walaupun tampaknya seperti berjalan, tetapi langkah Huru Hara itu amat cepat sekali. Sepintas keduanya seperti orang yang kejar mengejar.

"Berhenti!" tiba2 dua orang prajurit menyongsongkan tombak menghadang mereka. Ternyata dipintu ruang muka juga dijaga oleh empat orang prajurit bersenjata lengkap. Melihat dua orang aneh berlari-lari hendak masuk kedalam gedung, prajurit2 itu terkejut. Disangkanya kedua orang itu orang gila yang hendak mengamuk. Memang mengingat suasana yang masih genting dan karena merasa telah melakukan pembunuhan besar-besaran pada rakyat di empat desa maka jenderal Ko Kiat merasa cemas. Untuk menjaga keselamatannya maka Ko Kiat mengatur penjagaan yang keras. Setiap orang yang hendak masuk ke gedung panglima, harus minta izin lebih dulu. Kalau tidak, prajurit2 penjaga diberi hak untuk menangkap, kalau perlu boleh dibunuh ditempat.

"Aku hendak menghadap jenderal Ko Kiat, seru Huru Hara.

"Apa ? Engkau hendak menghadap ciangkun? Pergi !"

prajurit itu terus tusukkan ujung tombak untuk menghalau. Tetapi Huru Hara tenang2 saja. Prajurit itu tertegun sendiri, "Hai, apa engkau benar2 tak mau pergi ?"

"Aku belum bertemu jenderal, mengapa harus pergi ?" sahut Huru Hara.

"Eh, orang gila, kalau belum ditusuk tentu tak kapok," prajurit itu terus menusuk dada Huru Hara, uh…….

uh… uh

Huru Hara kisarkan tubuh dan ujung tom bak itupun menyusup kebawah ketiaknya. Prajurit rasakan tombaknya macet seperti terjepit kepingting baja. Dia kerahkan tenaga untuk menarik keluar. Tetapi sampai mulutnya mendesus- desuh ah-uh, dia tetap tak mampu menarik tombaknya dari kepitan ketiak Huru Hara.

Melihat itu seorang prajurit kawannya terus menusukkan tombaknya ke dada Huru Hara. Maksudnya agar Huru Hara ketakutan dan melepaskan kepitannya. Cret ..uh,  uh…    ternyata prajurit yang kedua itu juga menderita nasib

seperti kawannya tadi. Waktu ujung tombak meluncur maju,    tiba2    Huru    Hara    ngangakan    lengannya   dan mengempit ujung tombak itu. Kini dia mengepit kedua ujung tombak dalam ketiak kanan dan kiri.

Kedua prajurit itu mengerahkan seluruh tenaga namun sampai muka mereka merah padam dan mata mendelik, kumis meregang tegak, tetap mereka tak mampu menarik keluar tombaknya.

Melihat kejadian seaneh itu, dua prajurit yang lain terkejut. Mereka berhamburan menghampiri dan hendak menusuk Huru Hara. Tetapi sekonyong-konyong mata mereka seperti ditabur oleh bayangan hitam yang berkelebat seperti kilat menyambar, plok . . .plak . . .

"Aduh . . . aduh . . . , " kedua prajurit itu menjerit ketika yang satu pipinya ditampar dan yang satu kepalanya ditabok orang,

Mereka hentikan gerakan tombaknya dan hendak mencari siapa bayangan aneh yang menampar mukanya itu.

"Setan kate, engkau!" teriak prajurit itu ketika melihat Cian-li it tegak dihadapan mereka dengan tertawa  mengikik.

"Jangan rnembunuh keponakanku!" seru Cian-li it.

"Ya, tidak keponakanmu tetapi engkau!" kedua prajurit itu ganti sasaran, menyerang Clan-li-it tapi seperti tadi, merekapun gelagapan ketika disambar oleh berkelebatnya bayangan hitam yang berputar mengelilingi mereka.

'Aduh-duh . . . aiihhhh . . . , " kedua prajurit itu memekik keras lagi. Yang satu, kumisnya sebelah kiri dicabut sampai brodol. Yang satu, hidungnya merah sekali karena diremas keras2. Mereka berhenti dan ha, ha, ha . . . tiba2 yang hidungnya merah itu tertawa geli, “Lo Sim, mengapa kumisnya brodol separoh "

"Bangsat, jangan menertawakan aku. Hidungmu sendiri juga merah seperti kepiting rebus!" seru yang dipanggil Lo Sim dengan rnarah, "hayo kita sate saja setan kate itu!"

Tetapi sebelum sempat bergerak, mereka gelagapan karena disambar sesosok bayangan hitam.

"Aduh-duh . . . mati aku ," kembali kedua prajurit itu

menjerit lagi. Tetapi beberapa saat yang kumisnya brodol tadi segera tertawa, "Ha, ha, ha, mengapa kumismu juga brodol, kawan?"'

Memang kali ini mereka mendapat giliran. Yang hidungnya diremas sampai merah tadi, sekarang kumisnya sebelah kanan brodol. Sedang prajurit yang kumisnya sebelah kiri brodol tadi, kini telinganya merah padam karena dipelintir sekeras- kerasnya.

"Anjing lu Lo Sim, mengapa menertawa aku, hayo bunuh si kate!" rupanya prajurit itu marah.

Keduanya segera menyerang dengan kalang-kabut. Tetapi yang diserang itu bukan si kate Cian-li-ji melainkan sesosok bayangan hitam yang berputar-putar seperti angin meniup.

Tungng, cret . . . aduh . . . auh . . . terdengar suara senjata mengenai tubuh dan jerit mengaduh disusul dua tubuh prajurit itu terhuyung-huyung jatuh ke tanah.

Ternyata mereka saling menghantam kawan sendiri. Tombak Lo Sim menusuk kaki kawannya dan ujung tombak kawannya itu mengemplang kepala Lo Sim. "Uh.. . . uh . . . tiba2 terdengar pula suara mendesuh kejut dan kedua prajurit yang tengah menarik tombaknya dari kepitan lengan Huru Hara itu terdorong kebelatang, kepalanya terantuk tembok dan tersungkurlah mereka di tanah.

Ternyata pada saat kedua prajurit itu mengerahkan segenap kekuatannya, tiba2 Huru Hara membuka kepitan lengannya sehingga kedua prajurit itu terjorok ke belakang dan membentur tembok.

"Beres!" seru Huru Hara terus melangkah masuk diikuti Cian-it-ji.

Melintasi ruang depan mereka harus melalui sebuah halaman lagi. Halaman itu merupakan halaman sebelah dalam dari ruang tempat kerja jenderal Ko Kiat. Ujujug halaman merupakan titian batu yang naik keatas ruang.

Juga di halaman, tepatnya di bawah titian batu itu,  dijaga oleh empat prajurit gagah perkasa. Menilik seragamnya mereka bukan prajurit kerucuk tetapi berpangkat perwira.

Sudah tentu mereka terkejut melihat munculnya dua manusia aneh di halaman itu, "Gila mereka itu! Mengapa orang2 gila semacam ini dibiarkan masuk," seru salah seorang perwira yang bertubuh kekar.

"Berhenti!" serentak dia maju menghadang Huru Hara dan Cian-li-ji, "mau apa kalian masuk kemari?"

"Aku hendak menghadap jenderal Ko Kiat,'! sahut Huru Hara.

"Siapa engkau?"

"Aku diundang jenderal Ko!"' "Gila! Masakan Ko ciangkun sudi mengundang manusia semacam kalian, lekas enyah!" bentak perwira itu.

Huru Hara menyadari bahwa kali ini dia tak mau berkelahi. Lebih baik dia menyelesaikan dengan damai, "aku membawa surat undangal jenderal Ko' serunya seraya mengeluarkan tujuh buah surat undangan.

Perwira itu menyambarnya lalu memeriksa. Ia memanggil ketiga kawannya, "Apakah surat undangan ini tidak palsu?"

"Menilik tanda tangannya memang tulisan Ko ciangkun," salah seorang perwira menyatakan,

"Lalu bagaimana?" tanya perwira pertama itu.

Kawannya mengusulkan, lebih baik dilaporkan kepada jenderal. Sedang kedua orang itu harus ditahan dulu. Kalau mereka bohong, barulah di tangkap atau dibunuh.

"Baik, kalian tunggu dulu," kata perwira yang pertama. Setelah suruh ketiga kawannya menjaga disitu, dia terus masuk kedalam.

"Hai, bung, dari mana saja engkau mendapat surat undangan itu ?" tanya seorang perwira secara iseng.

"Rahasia," sahut Blo'on. "Engkau menemu di jalan, ya ?" "Tidak."

"Mencuri ?"

"Eh, jangan bicara seenakmu sendiri!"

"Eh, pak tua, mengapa engkau sependek itu?" seorang perwira yang lain menggoda Ciang-li-ji. "Entah, aku sendiri juga tak tahu," sahut Cian-li-ji seraya mengeluarkan botol dari dalam bajunya. Membuka tutup botol lalu meneguknya, gluk, gluk, gluk.....habis itu diberikan kepada Huru Hara, "minumlah nak."

Huru Hara menyambuti dan terus meneguk lalu diberikan kembali kepada Cian-li-ji. Cian-li-ji memasukkan lagi kedalam bajunya.

Bau arak itu luar biasa harumnya. Ketiga perwira itu melongo dan meneteskan air liur.

"Aduh, harumnya arakmu itu," seru mereka.

Tetapi Cian-li-ji tak mengacuhkan. Sebelum memasukkan kedalam baju, lebih dulu dia membuka tutup botol, dituangkan sedikit ke tanah.

"Hai, mengapa arak begitu harum engkau buang ke tanah ?" kembali perwira itu menegur seraya meneguk airliurnya.

"Mau gua minum habis, mau gua buang kek, mau gua tuang ketanah kek, apa pedulimu ?" sahut Cian-li-ji dengan sinis.

"O, dari pada dibuang kan lebih baik kasih kan kepadaku saja," seru perwira itu.

"Engkau kan orangnya jenderal Ko, makan minum tentu serba lezat. Mengapa masih seperti tikus yang rakus ?"

"Tetapi arakmu itu luar biasa harumnya! Mungkin ciangkunpun tidak memiliki persediaan arak seperti itu !

"Terang dong," sahut Cian-li-ji, "jangankan jenderalmu disini, pun di istana raja juga tak punya arak seperti ini !"

"Jangan sombong! Tak mungkin raja tak punya arak seperti itu." "Mari kita bertaruh. Kalau raja punya arak begini, potonglah leherku. Tetapi kalau dia tak punya, kepalamu kupenggal!"

"Dari mana engkau memperoleh arak itu ?”

"Itu rahasia. Kalau kukatakan nanti orang dapat membuatnya, "Cian-li-ji minum lagi seteguk sehingga bau arak bertebaran menyengat hidung, menyegarkan semangat.

Rupanya perwira itu benar2 tak kuat menahan keinginannya lagi, serunya, "Pak tua, maukah engkau memberi aku barang seteguk dua teguk saja ?"

"O, boleh, boleh, asal engkau menurut syaratku." "Apa ?"

"Engkau harus berlutut dan memberi hormat sampai tujuh kali dan menyebut loya (tuan besar) kepadaku.”

Perwira itu kerutkan dahi, "Aku seorang perwira, mana aku sudi engkau suruh bertekuk lutut dihadapanmu untuk mengemis arak ? Pak tua, sudah baik kalau aku memintanya secara baik2. Tetapi kalau engkau berkeras kepala, terpaksa aku akan menggunakan hak kekuasaanku

!"

"Lho, engkau hendak main paksa mengambil arakku ?" "Bukan mengambil tetapi merampas. Karena setiap

orang, baik siapapun saja, kalau hendak menghadap ciangkun harus digeledah. Semua barang yang dibawanya, apakah itu senjata atau barang pusaka, harus dirampas. Nah, sekarang berikan saja arak itu dengan baik agar aku tak perlu menggunakan paksaan."

"Tidak bisa !" teriak Cian-li-ji," kalau memang terdapat peraturan begitu, aku mau keluar dulu untuk menyimpan botol arakku, baru nanti aku kembali kesini lagi !" "Tunggu !" cepat perwira itu loncat menghadang, "disini bukan tempat seperti jalanan dimana orang boleh keluar masuk seenaknya sendiri. Masuk pakai izin, keluarpun juga harus pakal izin !"

Cian-li-ji mendelik, serunya, "Baik, aku tidak jadi keluar. Ia mengambil botol arak lalu diteguknya sampai habis, kemudian memberikan botol yang sudah kosong itu kepada perwira, "ni daripada engkau rampas, sekarang kuberikan secara baik2."

"Orang kate, engkau berani menghina aku," merasa dipermainkan, perwira itu marah dan terus ayunkan tangan menampar kepala Cian-li-ji. Tetapi alangkah kejutnya ketika sesosok bayangan hitam berkelebat dimuka mengaling pandang matanya dan aduh.... ia menjerit kaget ketika daun telinganya diselentik sekeras-kerasnya sampai merah dan panas rasanya.

"Setan tua. mampus engkau !" perwira itu mencabut pedang dan menyerang Cian-li-ji dengan jurus Soh-ju-cian- kun atau Menyapu-seribu prajurit. Dari kaki sampai ke kepala Cian-li diserangnya habis-habisan.

Perwira itu makin penasaran. Dia merasa dirinya dikepung oleh beberapa bayangan si orang kate sehingga  dia terpaksa berputar-putar sederas kitiran.

"Uh . . . , " tiba2 perwira itu mendesuh kaget dan berhenti. Tangan kiri mendekap pinggang. Apa yang terjadi?

Ternyata tali celana perwira itu telah putus. Entah apa sebabnya. Karena celana hendak meluncur kebawah, perwira itupun buru2 hentikan serangan dan mendekap pinggangnya untuk mencegah jangan sampai celananya longsor turun. "Ha, ha, ha . . . , " kedua perwira kawannya tertawa geli menyaksikan peristiwa kawannya tertawa geli menyaksikan peristiwa itu.

"Hai. mengapa ribut2 itu!" teriak seseorang yaitu perwira pertama yang masuk melapor kepada jenderal Ko Kiat tadi. Dan dia juga ikut melongo ketika melihat perwira kawannya sedang sibuk mengurus celananya.

"Kenapa Lo Gan itu?" tegurnya

“Tali celananya putus, ha,..ha…ha,” kawan-kawannya menyahut dengan tertawa.

"Bagaimana?" Huru Hara terus meminta keterangan kepada perwira yang habis menghadap jenderaI Ko Kiat.

"Ya, mari masuk," kata peiwira itu. Dia segera membawa Huru Hara dan dan Cian-li-ji masuk kedalam.

Dalam sebuah ruang yang indah dengan dindingnya yang tebal kokoh, si seorang lelaki berumur sekitar 45 tahun, sedang duduk di atas sebuah kursi besar. Sehelai kulit macan terdampar dibawah kakinya. Wajahnya biasa, tak terdapat ciri2 yang istimewa kecuali sepasang kelopak matanya yang cekung kedalam, hidung agak bengkok.

Dia adalah jenderal Ko Kiat. Jenderal yang mengganas empat buah desa di daerah Yang-ciu karena marah kepada rakyat Yang-ciu yang tak mau menerimanya masuk kota.

Saat itu jenderal Ko sedang duduk menunggu tetamu yang dilaporkan penjaga tadi. Dua orang bu-su (jago silat) dengan pangkat perwira tegak di kanan kiri jenderal itu.

Ko Kiat terkejut ketika penjaga membawa dua orang yang aneh. Seorang pemuda dengan dandanan kaum pendekar, kain kepalanya berhias dua untai rambut yang menyembul keluar. Sedang yang satu, seorang lelaki tua berwajah kanak2 tubuh kate. Hal itu benar2 diluar dugaannya. Ia menduga yang datang itu tentulah seorang jago silat yang gagah perkasa.

"Hai, mana yang lainnya?" tegur jenderal Ko kepada penjaga.

"Maaf, ciangkun, memang hanya dua ini "Tetapi bukankah engkau menghaturkan tujuh buah surat undangan kepadaku tadi ?"

"Benar," sahut si penjaga, "hamba terima surat itu dari orang yang muda ini."

Setelah memberi isyarat kepada penjaga supaya kembali ke tempatnya, jenderal itu sepera mengajukan pertanyaan, "Benarkah (kalian yang membawa ketujuh surat undangaaku itu ?"

"Benar, ciangkun," sahut Huru Hara. "Apa maksudmu ?"

"Untuk melamar pekerjaan yang ciangkun . hendak berikan kepada mereka."

"Apakah mereka sudah setuju ?" "Akhirnya harus setuju."

Ko Kiat kerutkan dahi, "Apa maksudmu ?"

"Bermula mereka menolak tetapi satelah hamba ajak berkelahi merela kalah dan mau menyerahkan surat undangannya kepada hamba."

Ko Kiat terkejut, "Ketujuh orang itu termasyhur sebagai tokoh persilatan yang sakti. Apakah mereka benar2 kalah dengan engkau?"

"Jika tidak, bagaimana mungkin hamba dapat membawa tujuh buah surat undangan itu," "Ah, jika begitu, kalian berdua ini tentu memilik kepandaian yang sakti sekali."

"Tidak, ciangkun," tiba2 Cian-li-ji berseru, “hanya keponakanku ini yang mengalahkan mereka, tetapi aku tidak ikut berkelahi."

"O, betulkah itu ?" Ko Kiar menegas.

Huru Hara mengangguk. "Lalu mengapa engkau ajak dia kemari ?"

"Sebagai pembantuku."

"Siapa namamu ?" tanya Ko Kiat pula. Dan ketika mendapat jawaban, dia terkejut, "Loan Thian Te?"

"Ya, alias Huru Hara."

"Apakah itu nama buatanmu sendiri . "Bukan. Itu nama aseli pemberian orangtua.”

"Baik," kata Ko Kiat, "memang aku hendak memberi suatu tugas penting kepadamu. Apabila engkau berhasil menunaikan tugas, engkau akan kuberi ganjaran besar."

"Silakan ciangkun memberi petunjuk."

"Sebagai ujian pertama, akan kusuruh engkau mengawal antaran uang dan emas permata kepada jenderal Ui Tek Kong. Apabila engkau dapat menyelesaikan tugasmu dengan baik, barulah kupercayakan lagi sebuah tugas lain yang lebih berat," kata jenderal Ko Kiat.

"Dirnana tempat tinggal jenderal Ui Tek Kong itu?"

"Dia tinggal di Gi-cin, hanya perjalanan sehari semalam dan Cho-ciu sini. Ibu dari jenderal Ui Tek Kong meninggal dunia. Haturkanlah peti uang itu kepada jenderal Ui, katakan kalau aku, jenderal Ko Kiat, ikut berduka yang sedalam-dalamnya atas kepergian ibu jenderal Ui. Ingat, walaupun Cho-ciu itu tak berapa jauh dengan kota Gi-cin, tetapi mengingat sekarang ini suasana sedang kacau dan keamanan terganggu maka engkau harus dapat menjaga baik2 peti uang itu agar jangan sampai dirampok penjahat."

"Terserah engkau hendak menggunakan alat pengangkat apa saja, kereta, gerobak atau kuda dan membawa berapa pengiring, engkau boleh minta kepada perwira bagian perlengkapan, supaya menyediakannya. Tetapi yang penting, malam ini juga engkau harus berangkat agar besok sore sudah tiba disana."

"Tugas ini penting maka besar ganjarannya tetapi pun berat hukumannya, kalau sampai gagal. Nah, apa engkau masih ada pertanyaan?"

"Ada." "Katakan."

"Apa sebab jenderal menyumbang seperti uang perak kepada jenderal Ui yang kematian ibu nya? Dari mana jenderal memperoleh harta sekian banyak itu?"

Ko Kiat berobah mukanya seketika. Namun karena dia yang memberi kesempatan kepada Huru Hara untuk bertanya, maka ia menekan perasaannya.

"Karena salah faham, aku pernah menyerang pasukan jenderal Ui sehingga hancur berantakan. Dia marah dan mendendam kepadaku. Untung Peng-poh-siang-si ( mentri hankam ) Su Go Hwat mendamaikan dan menganjurkan aku supaya menyumbang besar-besaran atas kematian ibu jenderal Ui dan menghaturkan maaf. Kita sama2 jenderal kerajaan Beng, harus bersatu untuk meng hadapi pasukan Ceng yang saat ini sedang menyerang negeri kita."

Baru jenderal Ko Kiat berkata sampai disitu, tiba2 seorang perwira masuk menghadap dan menghaturkan laporan, "Hatur bertahu kepada ciangkun, bahwa ada seorang lelaki mohon menghadap ciangkun."

"Siapa orang itu?"

"Hamba belum kenal, ciangkun. Tetapi dia mengatakan dari perguruan Macan Hitam atau Hek-hou-bun yang termasyhur."

"Hek-hou-bun?" ulang Ko Kiat, kemudian berpaling kearah Huru Hara, "pernahkah engkau mendengar tentang perguruan itu?"

"Belum."

"Apa keperluannya hendak menghadap aku?"! tanya jenderal itu kepada perwira.

"Dia hendak memenuhi undangan ciangkun.”

"Hah? Aku mengundang dia? Gila, aku tak pernah mengundangnya."

"Tetapi dia mengatakan dengan sungguh2, bahwa ciangkun mengundangnya."

Sejenak berdiam maka jenderal Ko lalu perintahkan perwira itu supaya membawa orang itu masuk, "Kalau dia bohong, bunuh saja!"

Tak berapa lama perwira itu masuk pula dengan seorang lelaki muda berumur sekitar 30 tahun. Mengenakan dandanan seperti seorang persilatan. Dia memanggul sebuah karung dari kain hitam.

Setelah memberi hormat, dia memperkenalkan diri dengan nama Yap Hou, murid pertama dari perguruan Macan Hitam.

"Hek-hou-bun," kata jenderal Ko Kiat, "mengapa dalam dunia persilatan tak pernah kudengar nama perguruan itu?" "Ciangkun seorang jenderal perang yang sibuk mengurus pasukan, sudah tentu ciangkun tak sempat memperhatikan perkembangan yang terjadi dalam dunia persilatan," kata Yap Hou, "memang perguruan hamba, belum berapa lama muncul dalam dunia persilatan. Apalagi saat ini sedang perang, orang tak memperhatikan lagi peristiwa dalam dunia persilatan."

Diam2 jenderal Ko Kiat mendapat kesan bahwa pemuda Yap Hou itu lebih genah dan lebih pintar bicaranya dari si Huru Hara. Kemudian dia bertanya apa keperluan Yap Hou menghadap kepadanya.

"Hamba hendak memenuhi perintah paduka seperti yang termaksud dalam surat undangan kepada ketujuh tokoh hitam yang termasyhur itu." Jenderal Ko Kiat terkejut. Bukankah si Huru Hara juga menyerahkan tujuh buah surat undangan yang dirampasnya dari ketujuh tokoh hitam itu? Mengapa sekarang Yap Hou juga mengatakan begitu?

"Hm, untung dia datang," gumam jenderal dalam hati, "dengan begitu dapatlah kuketahui siapa yang berani mati hendak menipu aku.”

"O, engkau hendak melamar pekerjaan yang hendak kuberikan kepada ketujuh tokoh benggolan itu?" ia menegas.

"Benar, ciangkun."

"Apakah engkau membawa surat undangan mereka?" "Tidak, ciangkun."

Jenderal Ko Kiat kerutkan dahi, "Tidak membawa surat undangan mereka tetapi engkau hendak melamar pekerjaan yang kuberikan kepada mereka? Apa artinya ini?" "Hamba memang merasa berhak untuk menggantikan mereka, ciangkun."

"Jangan berbelit-belit, lekas katakan. Mana buktinya kalau engkau lebih sakti dari mereka,” suara jenderal itu makin keras. Rupanya dia mulai marah.

"Hamba dapat membuktikan hal itu," kata Yap Hou, "tetapi apakah ciangkun takkan marah kepada hamba?"

"Mengapa marah?"

"Karena hal itu mungkin akan menimbulkan rasa kejut dan ngeri pada ciangkun."

"Hm, aku biasa maju di medan perang. Mayat yang bagaimana bentuknya, sudah pernah ku lihat semua dan aku tak merasa ngeri. Lekas tunjukkan!"

"Baik, ciangkun, hamba akan melaksanakan perintah," kata Yap Hou. Dia pelahan-lahan mengambil karung hitam yang dipanggul dibelakang bahunya. Setelah tali pengikatnya dibuka, tenang2 dia mencurahkan isi karung itu.

Gluduk.,. . sebuah kepala manusia menggelundung keluar . , . . "Inilah kepala Sebun Pa yang bergelar Manusia- pemakan-serigala," seru Yap Hou.

Gluduk ..... "Inilah kepala Ma Hiong yang bergelar Landak-bun."

Geluduk .... "Ini kepala dari setan tua yang bergelar Kolera-tua."

Geluduk ..... "Ini kepala benggolan licik yang berwajah seperti anak2, Ang Hay Ji.

Geluduk ..... "Ini kepala paderi Tou Yau alias Paderi Gemar-segala-apa.. dan ini kepaIa si laknat Im pohpoh terakhir ini, kepala si cantik berbisa Harpa-asmara Hoa Lan Ing. Tujuh batang kepala, tak lebih tak kurang. Bukankah ketujuh benggolan ini yang ciangkun undang itu ?"

Walaupun sudah mengatakan kalau sudah biasa melihat mayat2 bergelimpangan di medan perang daIam berbagai keadaan yang mengerikan tapi tak urung bergidik juga jenderal Ko Kiat waktu menyaksikan tujuh butir kepala manusia yang bergelundungan di lantai saat itu.

"Lekas masukkan lagi," serunya.

"Nah," kata Yap Hou seraya memasukkan ketujuh butir batang kepala manusia itu kedalam tas lagi, "sekarang bukankah ciangkun percaya kepadaku ?"

"Ya," sahut jenderal Ko, "tetapi mengapa engkau tak membawa surat undangan mereka ? Kemana saja surat undangan itu ?"

"Karena hamba kira, kepala mereka lebih dapat menjadi saksi yang kuat daripada hanya surat undangan saja !"

Kini jenderal Ko beralih kepada Huru Hara, "Benarkah engkau telah membunuh mereka dan surat undangan mereka ?"

“Mengapa hamba harus berbohong kepada jenderal ?" balas Huru Hara.

"Mengapa tak engkau potong kepala mereka ?"

"Ah, terlebih kejam, ciangkun," kata Huru Hara, "musuh yang sudah kalah tak boleh terlalu dikaniaya. Karena dengan mendapat surat undangan itu tujuan hamba sudah tercapai maka hamba tak mau membunuh mereka lagi."

"Ya, benar," kata jenderal Ko Kiat yang diam-diam makin bingung. Baik alasan dan bukti dari Huru Hara itu memang kuat dan alasan serta bukti yang dibawa Yap Hou juga kuat. Lalu siapakah diantara kedua orang itu yang benar2 dapat mengalahkan tujuh benggolan itu ?

"Hai, apakah kalian tahu dengan siapa kalian berhadapan saat ini, ?" akhirnya ia membentak Huru Hara dan Yap Hou.

Kedua orang itu mengatakan bahwa mereka sadar kalau sedang menghadap jenderal pasukan kerajaan Beng yang bernama Ko Kiat.

"Saat ini negara sedang dalam perang, hukum perang berlaku dimana-mana. Diantara kalian berdua, tentu ada salah seorang yang bohong dan hendak menipu aku. Mengakulah saja agar aku dapat  memperingan hukumanmu !"

"Hamba harus mengaku bagaimana ?" tanya Huru Hara, "apa yang hamba lakukan, memang sungguh2 benar. Hamba anggap, orang yang sudah menyerahkan surat undangannya tak perlu harus dibunuh lagi."

"Ciangkun," seru Yap Hou, "ketujuh bangolan itu merupakan momok yang paling menggangu rakyat maka harus dibunuh."

"Apakah waktu kau bunuh, surat undangan  Hasih berada dalam baju mereka ?" tanya Ko Kiat.

"Hamba pikir. kepala mereka sudah cukup menjadi bukti maka hambapun tak menggeledah badan mereka lagi."

Jenderal Ko Kiat garuk2 kepala. Ia anggap alasan kedua orang itu memang sama2 kuat. Lalu apakah yang harus dianggap sebagai orang yang mengalahkan ketujuh benggolan itu? Tiba2 ia menapat akal. "Baik, untuk mengetahui siapa sebenarnya yang berkepandaian sakti dan pantas menerima pekerjaan yang akan kuberikan, apakah kalian sanggup diadu ?" tanyanya.

Melihat Huru Hara itu berdandan seperti seorang persilatan yang nyentrik, serentak Yap Houpun menyahut, "Sanggup."

"Dan engkau ?" tegur Ko Kiat karena Huru Hara diam saja.

"Terserah, hamba menurut saja perintah ciangkun." "Baik, sekarang kalian boleh beradu kepandaian

dihadapanku. Mana yang menang, dialah yang akan kuserahi tugas itu."

Demikian kedua orang itu tegak berhadapan. Yap Hou tak mau bersikap sungkan lagi, begitu sudah saling berhadapan, dia terus mulai menyerang dulu. Rupanya dia benar2 ingin menunjukkan kepandaiannya dihadapan jenderal Ko Kiat maka walaupun baru bergebrak, dia sudah melancarkan jurus yang ganas.

Hek-hou-thou-sim atau Macan-hitam mencuri-hati, demikian jurus yang dilancarkan itu bergerak cepat sekali. Tangan Yap Hou mengarah uluhati Huru Hara. Gerakannya seperti orang mencengkeraman tetapi setiap saat dapat dirobah menjadi jurus menutuk atau menghantam.

Huru Hara menyurut mundur lalu bergerak kian kemari menghindari jari2 maut lawan.

Jenderal Ko Kiat terkejut ketika menyaksikan ilmu kepandaian Yap Hou. Serangannya, walaupun hanya dalam satu jurus, tetapi mengandung gerak dari berbagai aliran ilmusilat perguruan ternama, antara lain Siau-lim, Butong, Go-bi, Kun-lun dan Kay-pang. Walaupun bukan seorang jago kelas satu tetapi jenderal itu juga memiliki ilmu-silat yang hebat. Dia benar2 terpikat hatinya oleh kepandaian Yap Hou. Diam2 timbullah rasa suka dan ingin mengangkat pemuda itu sebagai pengawalnya.

Karena perhatiannya tercurah kepada Yap Hou maka jenderal itupun tak memperhatikan Huru Hara. Beberapa saat kemudian, pada saat ia mulai memperhatikan orang aneh itu. serentak diapun terkejut sekali.

Serangan Yap Hou memang luar biasa cepat dan derasnya tetapi sampai sekian lama ternyata tetap tak mampu merubuhkan Huru Hara. Jenderal itu tercengang dan heran menyaksikan gaya permain lan Huru Hara yang berlincahan kian kemari menurutkan gerak serangan lawan. Dia tak tahu nama ilmusilat yang dimainkan si Huru Hara itu. Yang jelas, Huru Hara hanya menghindar tak mau balas menyerang.

Yap Hou sendiri memang penasaran sekali. Ia merasa setiap kali pukulannya hampir mengenai tentu tahu2 lawan sudah menyelinap hilang.

Siapakah orang aneh ini ?" pikirnya. Namun baik orang maupun aliran ilmu kepandaian lawannya itu, ia tak kenal sama sekali. Waktu masih belajar dalam perguruan, gurunya juga memberi pengetahuan tambahan tentang tokoh2 silat ternama dalam dunia persilatan. Tetapi suhunya tak pernah menyinggung tentang seorang pendekar aneh semacam Huru Hara itu.

"Hm, kalau sampai tak mampu mengalahkan orang ini, jenderal Ko tentu tak percaya kepadaku," setelah menimang-nimang ia segera mengganti gerak langkahnya dalam ilmu Hui-eng-sip-pat poh atau delapanbelas-langkah- garuda-melayang dan melancarkan ilmu pukulan Hoan- thian hay-ciang (menjungkir-langit-membalik-laut ), sebuah ilmu pukulan dari perguruan Bu-tong pay.

Seketika terjadilah perobahan dalam ruang pertandingan itu. Yap Hou seperti seekor burung garuda yang melayang- layang dan menyambar nyambar lawan. Sedang Huru Hara hanya seperti kelinci yang lari ketakutan hendak menyelamatkan diri.

Jenderal Ko Kiat makin kagum akan kepandaian Yap Hou tetapi diapun tak habis mengerti mengapa serangan yang begitu dahsyat dan gencar, tetapi tak dapat mengenai tubuh Huru Hara. Entah bagaimana, tanpa disadari  jenderal lebih simpathi dan senang kepada Yap Hou mengharap Yap Hou dapat menyelesaikan lawannya.

Akhirnya yang dinanti-nantikan itu terjuga. Dengan sebuah gerak tipu yang indah Yap Hou berhisil menggertak Huru Hara supaya bergerak kesebelah kiri. Tiba2 tubuh Ya p Hou berputar dan cepat sekali tangannya menghantam bahu Huru Hara. Sebenarnya dia hendak mengarah tulang pi-peh-kut orang tetapi tak berhasil dan hanya mengenai pangkal bahu Huru Hara, duk . . . Huru Hara terhuyung sampai dua langkah. Tetapi anehnya, Yap Hou juga mencelat sampai satu tombak kebelakang.

"Cukup!" tiba2 jenderal Ko berseru menghentikan pertandingan, "engkaulah yang menang!" ia menunjuk Yap Hou.

Saat itu Yap Hou sedang tertegun. Ia masih heran mengapa waktu pukulannya mengenai bahu Huru Hara, tangannya seperti tertolak tenaga yang kuat sekali sehingga dia mencelat ke belakang.

"O, terima kasih, ciangkun," ia gelagapan ketika mendengar kata2 jenderal Ko. Bergegas ia maju kehadapan jenderal itu dan memberi hormat. Tiba2 jenderal Ko Kiat melihat sesuatu yang kurang pantas pada baju Yap Hou. Cepat dia ber kata, '"Hai, kancingkanlah bajumu itu!"

Yap Hou menunduk. Ia terkejut ketika bajunya terbuka sehingga dada kelihatan. Buru-buru ia hendak mengancingkannya. Tetapi ia terkejut ketika buah bajunya hilang. Mungkin terlepas jatuh maka iapun memandang ke sekelili permukaan lantai. Tetapi tak bertemu. Terpakasa ia mendekap dada bajunya.

"O, apakah engkau hendak mencari kancing bajumu ?" tiba2 terdengar suara orang menghampiri. Ketika Yap Hou berpaling ternyata yang menghampiri itu adalah Huru Hara seraya menyodorkan sebuah kancing baju, "maaf, buah bajumu ini tertarik tanganku "

Seketika pucatlah wajah Yap Hou. Ia tahu apa artinya itu. Buah bajunya telah tercabut oleh lawan tanpa ia merasa sama sekali.

Jugu jenderal Ko Kiat terkejut. Ia tak menyangka kalau Huru Hara mampu mencomot buah baju Yap Hou. Itu berarti kalau Huru Hara mau dia tentu sudah dapat memukul dada lawannya.

Jenderal Ko Kiat cepat memberi keputusan "Baik, Loan Thian Te, karena tadi aku sudah nyerahkan tugas itu kepadamu, maka engkau! yang wajib menerima tugas itu. Sekarang silahkan engkau mempersiapkannya," jenderal itu menyuruh salah seorang pengawal untuk membawa Huru Hara dan Cian-li-ji keluar menuju ketempat perwira yang telah diserahi mengatur peti yang hendak dikirim kepada jenderal Ui Tek Kong.

"Yap sauhiap," seru jenderal Ko Kiat kepada Yap Hou, "apakah engkau suka bekerja kedaku?" "Tetapi ciangkun, hamba telah dikalahkan pemuda tadi," sahut Yap Hou.

"Tak apa," kata jenderal Ko Kiat," memang orang itu aneh, dan ilmu kepandaiannyapun aneh. Akan kuberimu kesempatan untuk menebus kekalahanmu itu, sanggupkah engkau ?"

"Baik, ciangkun," sahut Yap Hou, "kalau ciangkun tetap berkenan menerima hamba, hamba pun akan sanggup melaksanakan tugas apa saja yang ciangkun hendak berikan kepada hamba."

Jenderal itu mengajak Yap Hou masuk kedalam kamar tulisnya "Yap sauhiap, tugas yang kuberikan ini amat penting dan rahasia sekali. Jangan sampai engkan beritahu dan diketahui orang. Maukah engkau berjanji ?"

"Baik, ciangkun."

"Jika sampai hal itu bocor, engkau akan kujatuhi hukum perang."

Yap Hou mengiakan.

"Rebutlah peti uang yang diantar Loan Thian Te itu , ,. .

"

"Ciangkun !"

"Jangan putus omonganku dulu !" kata jen-leral Ko Kiat,

"sebenarnya aku enggan untuk menyumbang sekian banyak kepada jenderal Ui Tek wong, Tetapi karena yang menganjurkan Su Go Iwat tayjin, terpaksa aku menurut. Jika engkau berhasil merampas antaran itu, sekali gus aku nendapat dua keutungan. Disatu fihak aku mentaati perintah Su tayjin sehingga di mata orang aku benar2 menginginkan kerukunan diantara sesama panglima. Tetapi dilain fihak, aku tak kehilangan Sepeser buta." "O, inilah yang disebut siasat unjuk kepala sembunyikan ekor'," kata Yap Hou.

"Apakah engkau sanggup ?" jenderal Ko Kiat menegas. "Hamba sanggup."

"Bagus," seru jenderal Ko Kiat, "apabila engkau benar2 mampu menyelesaikan tugasmu itu, engkau akan kuanggap sebagai pengawal kepercayaanku. Saat ini negara sedang perang. Inilah saatnya bagi semua orang gagah untuk muncul dar membuat jasa. Asal dapat memilih jalan yang tepat, kelak tentu akan mulia hidupmu."

Yap Hou menghaturkan terima kasih.

"Usahakan jangan sampai orang tahu tentang rencanaku ini. Besok engkau boleh berangkat dan kepada orang2 engkau katakan saja bahwa engkau kutugaskan untuk menyelidiki keadaan musuh di utara. Dan waktu merampas barang antaran itu, pakailah penutup muka atau menyaru

.... eh, sebaiknya menyarulah seperti prajurit Beng dan bawalah sekelompok anakbuah."

"Bagaimana maksud ciangkun ?"

"Agar memberi kesan bahwa yang merampas peti antaran kepada jenderal Ui Tek Kong itu, anak pasukan Beng juga. Yang kini berkumpul di wilayah Holam, ada empat jenderal yaitu jeaderai Lau tek Jing, Ui Tek Kong dan Lau Liang Co dan aku. Ui Tek Kong tentu menduga kalau anak pasukan Lau Cek Jing atau Lau Liang Co yang melakukan perampasan itu. Mereka akan saling mencurigai dan aku dapat memanfaatkan hubungan mereka yang buruk itu untuk menguasai mereka. Mengerti ?"

Yap Hou mengiakan. Keesokan harinya semua perintah jenderal Ko Kiat telah dilaksanakannya. Dihadapan para perwira anakbuah Ko Kiat mengatakan kalau mendapat tugas jenderal untuk menyelidiki medan perang di utara. Dan memang diapun segera berangkat menuju ke utara.

Sebenarnya ia lebih suka bekerja seorang diri tetapi karena Ko Kiat menghendaki supaya ia membawa anakbuah, maka terpaksa ia mencari orang lebih dulu. Tidak sukar untuk mendapatkan orang2 itu. Ia menyewa sepuluh orang kaum persilatan dari aliran hitam. Mereka disuruh mengenakan pakaian seragam prajurit. Demikian Yap cu segera membawa anakbuahnya untuk mencegat perjalanan Huru Hara dengan barang antarannya itu.

Ko Kiat memang licik. Selain suruh Yap cu melakukan perampasan, pun diam2 ia suruh orang untuk menyiarkan berita itu keluar supaya orang-orang tahu.

Walau hanya sebuah peti besi tetapi peti itu amat besar dan berat sehingga Huru Hara terpaksa meminta sebuah kereta dengan dua ekor kuda. Cian-li-ji disuruh jadi kusir dan Huru Hara mengawal di belakang dengan naik kuda.

Saat itu mereka tiba disebuah jalan sempit di pegunungan. Huru Hara suruh Cian-li-ji berhenti, "Carilah rumput dan aku akan mencari air untuk kuda itu," katanya.

Cian-li-ji melakukan perintah. Setelah Huru Hara datang membawa air, maka rumput di masukkan kedalam tong air dan dihidangkan kepada kuda itu.

Tiba2 dari arah belakang muncul seseorang. Seorang lelaki tua, pakaian penuh tambalan dan bahunya menyanggul kantong kain yang besar berjalan dengan sebatang tongkat bambu, Aneh benar orang itu. Berjalan pakai tongkat tetapi cepatnya bukan main. Huru Hara hanya mengerling sejenak kearah orang itu dan lanjutkan pekerjaannya memberi makan pada kuda.

Tiba di dekat kereta, orang itu berhenti dan tertawa mengekeh, "Tuan, apakah engkau hendak menuju ke Yang- ciu?"

Huru Hara hanya mengangguk tak mau men jawab.

"Ha, ha, aku pengemis tua ini juga akan ke Yang-ciu," seru orang itu, "apakah aku boleh numpang di kereta tuan?"

"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala. "Mengapa tak boleh? Apakah harus pakai bayaran? Ah, kalau soal uang aku pengemis tua ini memang tak punya."

"Pergilah, jangan ganggu aku," seru Huru Hara.

"Tetapi tuan," masih pengemis tua itu memjantah, "aku dapat membantu tuan menggebuk kawanan anjing yang hendak mengganggu tuan. Sejak terjadi pembunuhan besar- besaran atas rakyat empat desa, sekarang ini banyak bangsa anjing dan serigala yang berkeliaran. Rupanya setelah merasakan daging manusia, mereka jadi ketagihan.''

Huru Hara tertegun. Ia terkejut mendengar kata2 si pengemis tentang pembunuhan besar-besaran itu.

"Siapa yang membunuh mereka?" tanyanya.

"Eh, apakah engkau belum tahu?" pengemis tua itu heran.

"Kalau sudah tahu perlu apa harus bertanya lagi?" "Jenderal Ko Kiat yang mundur dari medan perang

utara, hendak menduduki kota Yang-ciu. Tetapi rakyat menolak. Jenderal itu marah lalu mengadakan pembunuhan besar-besaran pada rakyat empat desa di sekeliling Yang- ciu." "Uh," Huru Hara mendesuh. Diam2 dia menyesal mengapa mau bekerja untuk jenderal itu.

"Bagaimana, apa aku boleh numpang di keretamu?" ulang pengemis itu pula.

"Tidak!"

"Lho, apakah keretamu itu ada muatannya?' "Ya."

"Jika begitu bukankah engkau untung sekali kalau aku ikut naik sekalian menjaga barangmu itu?"

"Aku dapat menjaganya sendiri."

"Uh, memang pengemis itu kemana-mana tentu tak dipandang mata. Tetapi coba saja nanti apakah engkau mampu menolak permintaan tiga orang yang akan datang setelah aku ini?" pengemis itu bersungut-sungut seraya lanjutkan langkah,

Huru Hara tak mengacuhkan. Setelah rumput dan air habis, dia lalu menyimpan tong di belakang kereta dan perintahkan Cian-li-ji rangkat lagi.

Kereta meluncur cepat. Tak berapa lama sudah melampaui pengemis tua yang berjalan kaki tadi. Kini kereta memasuki sebuah hutan. Dan tepat pada saat itu di belakangpun muncul tiga sosok bayangan orang yang mencurigakan. Ketiga orang itu berlari-lari mengejar kereta Huru Hara.

"Hm, rupanya pengemis tua tadi memang benar. Ketiga orang ini rupanya hendak cari perkara dengan aku," gumam Huru Hara. Ia suruh Cian-li-ji berhenti.

"Mengapa?" tanya Cian-li-ji. "Ada tiga orang mengejar kita. Lebih baik kita hadapi saja," kata Huru Hara. Tiga orang yang mengenakan pakaian seperti pedagang cepat tiba. Salah seorang yang berbibir tebal segera tertawa, "Hai, bung, apakah kami boleh numpang?"

"Maaf, aku mau pakai sendiri," sahut Huru Hara.

Pedagang bibir tebal itu tertawa, "Ah, mutanmu masih sedikit, mengapa kami tak boleh ikut numpang?"

Huru Hara turun dari kuda dan tersenyum, Mengapa kalian tak mau omong terus terang saja?"

Pedagang itu tertawa gelak2, "Baik, tetapi kuheran mengapa hanya engkau dan seorang kusir saja?"

"Karena jenderal Ko menganggap, kekuatan pasukan itu bukan terletak pada jumlahnya tetapi pada mutunya. Katanya, cukup aku seorang saja, sahut Huru Hara dengan tenang.

"O, apakah engkau ini Bu-te-sin-kun?" seru pedagang yang berbibir tebal pula. Bu-te-sin-kun artinya Jago-tanpa- tanding.

"Siapa itu Bu-te-sin-kun?" "O, engkau tak kenal?"

"Perlu apa harus mengenalnya? Apakah engkau kira hanya Bu-te-sin-kun saja yang dapat mengavval barang?"

"Kabarnya Bu-te-sin-kun itu seorang jago muda yang belum lama muncul dalam dunia persilatan. Ilmu kepandaiannya luar biasa sekali. Dia dapat memainkan segala jenis ilmusilat dari berbagai aliran. Siapa yang berani menentangnya tentu akan dibasmi habis-habisan."

"Sayang aku bukan dia." "Aneh," seru pedagang berbibir tebal itu "apakah jenderal Ko tidak memberitahu kepadamu tentang bahaya yang bakal engkau hadapi dalam perjalanan?"

"Biasa," sahut Huru Hara. "apalagi dalam jaman edan begini. Jangan lagi membawa harta, membawa nyawa juga diganggu."

"Apakah jenderal Ko Kiat memang sengaja hendak suruh engkau mengantar jiwa?"

"Lebih dan itu," kata Huru Hara, "dia bilang, mungkin aku akan mengalami mati sampai tujuh kali."

Pedagang bibir tebal itu tertawa menyeringai, "Lalu mengapa engkau masih berani melakukan ?"

"Sudah terlanjur, aku harus menyelesaikan sampai tuntas," sahut Huru Hara, "aku harus berani mati sampai tujuh kali."

Pedagang itu tertawa gelak2, "Ha, ha, ha, menurut pandanganku, engkau tak lebih hanya anak kemarin sore yang tak tahu tingginya langit."

"Apakah engkau hendak menantang aku ?"

Wajah pedagang itu tiba2 berobah sarat, serunya dengan bengis, "Mengingat engkau masih muda, lekaslah engkau tinggalkan kereta ini dan pergi dari sini !"

"O, engkau hendak mengganggu aku ?" "Jangan banyak bicara !" bentak pedagang itu. "Baik, mari kita main-main," kata Huru Hara.

"Hm, biarlah keinginanmu tercapai dan bisa bertamasya ke akhirat !" pedagang bibir tebal itu merogoh kedalam baju. sing, tahu2 tangannya sudah mencekal sebatang bian- to atau golok tipis. Golok itu tidak bersinar, batangnya berwarna hitam.

"O, engkau hendak main2 dengan pedang ?" seri Huru Hara.

"Lekas cabut senjatamu !" bentak pedagang.

"Aku tak punya pedang, melainkan tongkat pendek ini," kata Huru Hara seraya lari kedalam kereta dan mengambil sebatang tongkat bambu, "hayo, silakan mulai !"

Merasa di hina, pedagang bibir tebal itu marah. Ia hendak memberi pelajaran yang pahit kepada Huru Hara. Serentak dia menabhas sekuat-kuatnya, tring.....

Pedagang bibir tebal itu terkejut bukan kepalang. Bukan saja tongkat bambu si Huru Harar tak kurang suatu apa, pun dia sendiri malah terpental sampai tiga empat langkah ke belakan. Seketika berobahlah wajahnya.

"Ho, ternyata engkau berisi juga, budak,” serunya seraya maju menyerang dengan dahsyat. Dia gunakan jurus Jay- hong-suan-ok atau Burung hong-memutari-sarang. Golok melingkar-lingkar tiga kali membabat kaki Huru Hara.

Huru Hara mencelat ke udara. Gerakan mirip jurus It- ho-jong-thian atau Burung-bangau melambung-ke-udara. Tetapi cepatnya berlipat ganda dari gerakan yang sering dilakukan orang. Sebelum pedagang itu sempat berputar tubuh, Huru Hara sudah berada di belakangnya. Pedagang itu terkejut sekali. Cepat dia loncat ke muka dan berputar diri. Ah, ternyata Huru Hara tenang saja menunggunya.

Pedagang bibir tebal itu tergetar hatinya. Tetapi bukannya jera, dia malah makin marah. Diserangnya Huru Hara makin seru. Huru Hara tetap melayani dengan gerak yang aneh. Dia berputar-putar mengelilingi lawan, seperti sesosok bayangan. Melihat kawannya sudah mengerjai Huru Hara, kedua orang yang lain segera hendak masuk kedalam kereta. Tetapi tiba2 mereka disongsong dengan cambuk oleh Cian- li-ji, tar . . .

Kedua orang itu umurnya sebaya dengan lawan Huru Hara, juga mengenakan pakaian seperti pedagang. Mereka terkejut ketika diserang cambuk.

"Hai, kusir. jangan kurang ajar engkau ….!” mereka loncat menghindar. Yang satu loncat menyambar kaki Cian-li-ji, yang satu menyambar ujung cambuk dan ditariknya.

"Uh, …….,” yang menyambar kaki Cjan-li-ji terkejut karena orang kate itu tiba2 loncat kebawah. Yang menarik cambukpun terkejut karena dengan mudah sekali dia sudah dapat merampas cambuk. Habis itu dia terus membuka pintu kereta, duk …….

"Uh . .," orang itu menjerit kaget dan terpelanting keluar ketika sebuah kaki menyambut dari dalam kereta, tepat menjejak dadanya.

"Bajingan !" teriak yang berada diatas tadi ketika melihat kawannya didupak oleh kusir kereta. Dia heran mengapa secepat itu, kusir sudah dapat menyelundup masuk kedalam gerbong. Dia terus loncat turun hendak menghajar kusir itu Tetapi sekonyong-konyong pedagang bibir tebal menjerit keras dan sempoyongan beberapa langkah lalu jatuh terduduk.

Pedagang yang hendak menyerang kusir tadi tertegun, berpaling. Plak ..... aduh........ tiba2 pipinya ditampar oleh Cian-li-ji. Dan tiba2 pula leher bajunya mengencang, tubuhnya terangkat dan terus melayang kedalam semak belukat bum ..... Ternyata setelah dapat menghajar pedagang bibir tebal sampai kepalanya benjut dan mata berkunang-kunang, Huru Hara lompat menerkam pedagang yang ditampar Cian-li--ji, mengangkat tubuhnya dan diiempar kedalam semak berduri. Setelah itu dia terus hendak membereskan yang satu lagi.

"Jangan dia bagianku." teriak Cian-li-ji terus mengangkat orang itu bangun, hayo, kita Ianjutkan lagi !"

Melihat bagaimana kedua kawannya dengan mudah dapat dibereskan Huru Hara, pedagang itu kesima. Berpaling ke kanan, ia melihat kawan si bibir tebal tadi masih duduk pejamkan mata wayahnya pucat lesi. Berpaling ke kiri dilihat kawannya yang seorang, masih menggeletak dalam semak berduri.

"Lekas ! plak........ ," tiba2 ia terkejut ketika sesosok bayangan berkelebat menerjang kehadapannya dan tahu2 mulut ditampar keras. Ia mengaduh karena dua buah gigi muka putus. Dan sebelum rasa sakit itu hilang, kembali kepalanya ditempeleng, plak        seketika orang itu  rasakan

matanya seperti memancar beribu bintang dan benda2 disekelilingnya    seolah-olah    berputar    deras,    bluk   .....

rubuhlah dia tak sadarkan diri.

"Bagus, hiantit, kau apakan pedagang yang bibirnya tebal tadi ?" seru Cian li-ji. Ia memanggil Huru Hara dengan sebutan ‘hian-tit’ atau keponakanku.

"Sebenarnya aku tak tegah memukulnya tetapi dia amat ganas sekali hendak membacok kepalaku. Terpaksa kukemplang kepalanya dengan tongkatku," kata  Huru Hara.

"Bagus, hiantit, tadi yang satupun kujejak dadanya," kata Cian-li-ji. "Paman Cian," kata Huru Hara, "mungkin kita nanti masih akan menghadapi beberapa penjahat yang hendak merampok peti uang dalam kereta itu, Kuminta, apabila tidak sangat terpaksa, janganlah paman sampai membunuh mereka. Cukup kalau dihljar sampai tele-tele saja."

"Bagus, hiautit, aku setuju sekali. Memang aku juga tak mau membunuh jiwa manusia. Soal mencabut jiwa manusia itu urusan Giam-lo-ong (raja Akhirat)."

=====

Hal 54-55 tidak ada

======

"Kalau barangku sih boleh saja. Tetapi ini adalah barang dari jenderal Ko Kiat yang suruh aku mengawal. "

"Persetan dengan jenderal Ko Kiat atau Teh Kiat. Masakan seorang jenderal bisa punya sekian banyak harta benda. Dari mana dia memperolehnya kalau tidak merampas harta benda rakyat.”

"O, apakah hendak engkau berikan kepada rakyat ?" Huru Hara menegas.

"Enaknya," sahut salah seorang Se-pak-song-eng, "sudah tentu akan kami ambil sendiri. Rakyat kan urusan negara bukan urusan kami berdua.

Huru Hara berbangkit. Dia marah mendengar keterangan kedua orang itu, "Jika begitu kalian ini bangsa perampok yang harus dibasmi!"

Se-pak-song-eng itu sepasang saudara kembar. Yang besar bernama Siang Hong dan adiknya Siang Gi. Keduanya memiliki ilmusilat Eng jiau-kang atau Cakar- garuda yang sakti. Dan biasanya, melawan siapa saja, mereka tentu maju berdua. Serempak mereka pun segera menyerang Huru Hara. Yang satu menerkam kepala dan yang satu menyerang punggung Huru Hara. Tetapi mereka terkejut ketika menyaksikan gerak gerik Huru Hara yang aneh. Mereka harus melalui pertempuran dengan berpuluh jago2 silat lihay sebelum mereka mampu mengangkat nama sebagai Se-pak-song-eng. Tetapi kali ini mereka benar2 bingung dan tak tahu gerak ilmusilat apa yang dimainkan Huru Hara saat itu. Tetapi yang jelas, betapapun mereka menyerang dengan ganas, Huru Hara tetap dapat menghindari dan bahkan dapat membalas dengan tamparan.

Akhirnya kedua orang itu marah sekali. Dalam suatu kesempatan, tiba2 mereka menerjang dan memukul sekuat- kuatnya. Suatu hal yang menyebabkan mereka harus lekas rubuh sendiri karena dengan suatu gerak yang hampir tak dapat dipercaya, Huru Hara sudah melambung ke udara sehingga kedua saudara kembar itu harus saling berbentur sendiri. Akibatnya keduanya saling terpental ke belakang dan menderita luka parah.

Memang Huru Hara memiliki suatu gerak tubuh yang luar biasa anehnya. Entah dia berputar-putar mengelilingi lawan, entah loncat ke udara, entah bergeliatan menghindar tetapi yang jelas, gerakannya itu luar biasa cepatnya. Dan ada sebuah keistimewaan lagi dari dia. Kalau lawan belum dapat menghantam tubuhnya, lawan masih bertahan beberapa waktu. Tetapi setiap kali lawan berhasil memukul tubuh Huru Hara, lawan itu pasti serentak menderita. Karena setiap kali terkena pukulan, tubuh Huru Hara itu seperti memancarkan tenaga-membal (refleks) yang mengembalikan pukulan orang. Makin besar tenaga yang digunakan orang dalam pukulannya itu, makin parah dia nanti akan menderita. Kedua Se-pak-song- eng itu menderita luka-dalam yang parah akibat pukulan mereka sendiri! Mereka terpaksa melarikan diri seperti anjing yang takut digebuk. Tetapi Huru Hara tak mau mengejar.

"Wah, berabe sekali," gumam Huru Hara.

"Habis mengapa engkau begitu ngotot hendak melamar pekerjaan itu kepada Ko Kiat ?" tegur Cian-li-ji.

"Itu sih sumoayku yang menganjurkan. Siapa tahu bukan benda pusaka tetapi hanya uang yang dikirimkan jenderal Ko Kiat,. "

"Apa ? Pusaka ?" Cian-li-ji menegas.

"Ya, kabarnya sebuah pusaka yang mempunyai sangkut paut penting terhadap nasib kaum persilatan. Tetapi ternyata hanya uang dan uang itupun asalnya dari rakyat. Sialan "

"Lalu bagaimana tindakanmu ?"

"Karena sudah terlanjur, kita harus menyampaikan kepada jenderal Ui Tek Kong. Akan kuanjurkan kepada jenderal Ui agar uang itu dikembalikan saja kepada rakyat."

Demikian keduanya segera meneruskan perjalanan. Tiba2 mereka melihat sebuah biara Huru Hara berhenti di biara itu. Malam hari lanjutkan perjalanan, banyak bahayanya. Lebih baik bermalam di biara situ dan esok harinya baru berangkat lagi.

"Hai, ketemu lagi!" tiba2 terdengar suara orang menyambut dari dalam biara.

"O, engkau," sahut Huru Hara ketika melihat yang berseru itu tak lain adalah pengemis yang siang tadi hendak minta numpang naik di keretanya.

"Ya mengapa engkau disini ?" "Bermalam," sahut Huru Hara.

"Ah, mengapa tak bermalam didalam kota Disini banyak setan."

"O, kebetulan sekali. Aku memang kepingin melihat bagaimanakah sebenarnya setan itu."

"Engkau tak takut ?"

"Kalau manusia takut setan, lebih baik serahkan saja bumi ini kepada setan. Manusia supaya berhenti hidup."

"Benar," sahut pengemis tua itu, "mudah-mudahan engkau nanti dapat menghadapi mereka dengan baik," kata pengemis tua itu seraya ngeloyor keluar.

"Mau kemana ?" tegur Huru Hara. "Aku sih seorang pengemis, bisa tidur diluaran di emper. Beda dengan engkau yang sedang menjalankan tugas seorang jenderal . .

."

Huru Hara terkesiap. Kata2 pengemis itu menusuk hatinya tetapi pengemis itupun sudah melangkah keluar, terpaksa Huru Hara diam.

Malam itu gelap dan sunyi. Huru Hara hampir mau pulas ketika tiba2 ia mendengar suara lengking jeritan, "aduh .... ampun, loya….ampunilah….bunuhlah aku saja, jangan anakku yang masih kecil itu ... . aduh…..

Huru Hara terkejut. Sesaat telinganya terngiang  pula oleh suara yang amat halus tetapi cukup tajam, "Dengarkanlah, hai, engkau, yang mengangkat nama sebagai pendekar Huru Hara .. . itulah suara jerit tangis dari rakyat empat desa yang telah dijagal oleh anak pasukan jenderal si Ko Kiat itu. Engkau rela menjadi anteknya dan engkau begitu mati-matian mengawal uang berdarah itu, huh ..". Huru Hara makin gelagapan. Serentak pun mendengar ruang depan biara itu penuh hamburan suara orang menjerit-jerit.    "Hayo,   kembalikan   uangku hayo,

bayarlah jiwaku bayarlah darahku ... suamiku, isteriku, anak-anakku .. “

Huru Hara benar2 tak kuat mendengar suara yang memenuhi telinganya itu, Serentak dia loncat dan terus lari keluar, Ah di halaman biara itu penuh dengan orang2

yang berpakaian jembel. Mereka membawa mangkuk kosong dan, merintih-rintih, "Kami lapar . . . kami lapar .. berilah kami makan "

Huru Hara makin tak mengerti, "Siapakah kalian ini ?" teriaknya.

"Kami adalah rakyat daerah Yang-ciu yang kelaparan. Harta benda kami telah dirampas, sawah dan ladang kami telah dibabati semua."

"Siapa yang merampasnya?" seru Huru Hara.

"Prajurit2 itu. Prajuri!2 yang telah menjagal beribu ribu penduduk dari empat desa yang tak berdosa "

"Prajurit2 dari jenderal Ko Kiat?" ”Ya.”

"Lalu sekarang kalian mau apa?"

"Kami lapar .. kami lapar .. kami tak punya apa2 lagi .. .

"Mengapa kalian datang kepadaku?"

"Karena hohan membawa harta dari jenderal Kiat. Itulah harta yang dirampasnya dari penduduk."

"Lalu maksud kalian?"

"Bagikan harta itu kepada kami atau bunuhlah kami

ini semua " "Siapa yang kasih tahu kepada kalian?" "Wi sin-kay!"

"Siapa Wi sin-kay itu?"

"Wi sin-kav adalah pengemis sakti yang berhati  budiman. Dialah yang sering datang kepada kami untuk membagi-bagikan uang dan beras. Kali ini dia bilang, lebih baik kami datang menghadap dan meminta kepada hohan sendiri."

"O, apakah dia seorang pengemis tua yang kakinya pincang dan kalau jalan pakai tongkat?"

"Benar, benar, diatah Wi sin-kay yang mulia itu!” seru berpuluh rakyat. lapar itu.

"Baik, kalian tunggu disini !" kata Huru Hara terus menghampiri ke tempat kereta. Dia mencari-cari Cian-li-ji yang tidur dalam kereta itu tetapi orang kate itu tak dapat diketemukan, "setan, kecil manakah si pendek itu ?"

Ia terus mengangkat peti, dibawa kedalam biara, "Baik, karena uang ini berasal dari penduduk maka akan kukembalikan lagi kepada kalian!"

Kawanan rakyat itupun bersorak kegirangan dan menghaturkan terima kasih. Tetapi tiba2 reka terbelalak ketika melihat Huru Hara mendelik memandang peti besi yang telah dibongkar itu. Huru Hara sibuk mengaduk-aduk isi peti seperti hendak mencari sesuatu. Tetapi akhir dia geleng2 kepala.

"Bagaimana hohan ?" seru kawanan rakyat. "Celaka ! Aku ditipu jenderal itu !"

"Ditipu bagaimana ?" "Lihatlah !" seru Huru Hara, "ternyata peti yang berat ini hanya berisi tanah !"

"Ah, kalau begitu engkau ditipu mentah-mentah oleh jenderal keparat itu !"

"Ya," sahut Huru Hara, "apakah kalian betul2 lapar ?"1 "Kami hanya makan akar2 pohon saja. Di mana2 rakyat

menderita bahaya kelaparan."

Huru Harad mengambil pundi2 peberian Jenderal Ko Kiat, jenderal itu memberi uang muka sepuluh tail perak, "Kalau sudah selesai, kembalilah kesini. Kuberi kamu seribu tail uang perak," katanya.

"Uangku hanya sepuluh tail perak," kata Huru Hara kepada kawanan rakyat itu, "kalian bagi rata untuk beli makanan."

"Bagus hiantit !" tiba2 terdengar suara orang memuji. Huru Hara mengenali suara itu adalah suara Cian-li-ji tetapi orangnya belum tampak.

Beberapa saat kemudian muncullah orang kate itu bersama si peagemis tua. Cian-li-ji membawa sebuah karung besar. Sebelum Huru Hara sempat bertanya, Cian-li- ji sudah membuka karung itu mengeluarkan kepingan perak hancur, "Nih, saudara2, kutambah lagi. Belilah makanan dan berusahalah lagi untuk menanarni sawah dan ladang kalian."

Riuh rendah kawanan rakyat itu menerima hadiah dari Cian-Ii-ji. Ada salah seorang uang berkata, "Tetapi kami takut pulang. Kalau pulang dan membawa uang, tentu akan dirampas oleh prajurit2 itu,"

"Saudara2," seru pengemis tua, "jika demikian, tempat yang aman ke gunung atau lembah yang sunyi." Rakyat berteriak menghaturkan terima kasih. mereka membungkukkan tubuh dihadapan pengemis tua itu, "Hidup Wi sin-kay! Semoga Tuhan melindungi Wi sin-kay yang mulia!"

Setelah kawanan rakyat itu pergi maka Huru Hara segera minta keterangan kepada Cian-li-ji kemana saja tadi dia pergi.

"Dia mendatangi aku," kata Cian-li ji seraya menunjuk pada pengemis tua, "dan mengajak bertaruh. Katanya, peti ini tentu tidak berisi uang Kalau berisi uang, dia berani membayar sejumlah berapa besarnya uang itu. Tetapi kalau kosong aku harus ikut dia ..."

"O, lalu?" kata Huru Hara.

"Aku menerima pertaruhan itu dan peti terus kobongkar.

Ternyata isinya hanya tanah. Sialan "

"Teruskan!"

"Aku kalah dan terpaksa menurut perintahnya. Aku diajak kembali ke tempat jenderal Ko Kiat.

"Hah?" Untuk apa?" "Mencuri!"

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar