Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 03 Pinjam kepala

Jilid 03 Pinjam kepala

Im pohpoh tenang2 saja menganggukkan kepala dan menjawab singkat, "Ya."

"Pohpoh, mengapa pohpoh hendak  mengembalikan kuda ini?" paderi Gemar-segala-apa menegas penasaran. Diam2 dia sudah membulatkan tekad. Kalau nenek itu bertindak gila-gilaan hendak mengembalikan kuda yang memuat tiga buah peti harta, dia akan menolaknya. Diapun mulai kurang senang melihat tingkah si nenek yang seolah- olah yang mempunyai hak penuh atas kuda ini.

"Apa kataku tadi, taysu?" balas Im pohpoh

"Bukankah pohpoh hendak suruh aku mengembalikan kuda putih ini?"

"Ya."

"Bagaimana dengan tiga buah peti itu.'" "Aku kan mengatakan kudanya saja?"

"Maksud pohpoh?" paderi Gemar-segala apa mengerut tegang.

"Ya hanya kudanya saja!" "Sian-cay! Sian-cay!" seru paderi Gemar-segaja-apa dengan riang, "pohpoh benar2 amat bijaksana dan welas asih. Benar, pohpoh, memang, kuda itu harus dikembalikan kepada kedua sicu itu. Kasihan mereka kalau harus menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki."

"Salah, salah," tiba2 Wan-ong Kui berseru, "yang kumaksudkan adalah kuda itu lengkap dengan muatannya. Karena peti itu berisi harta benda peninggalan orangtuaku. Tanpa bekal, bagaimana aku nanti dalam perjalanan?"

"Anakmuda," Im pohpoh berseru bengis, "jangan lancung mulut. Bukankah tadi engkau meminta kembali kuda itu tanpa menyebutkan muatannya? Mengapa sekarang engkau menjilat ludahmu lagi!"

"Tetapi…….”

"Jangan banyak bicara lagi!" bentak Im poh-poh makin bengis, "lihatlah .... bum!-' tiba2 nenek itu gerakkan tangan memukul segunduk batu pada jarak beberapa meter jauhnya. Batu itu pun hancur berantakan.

"Lihat anakmuda," serunya, "asal engkau mampu menerima pukulanku ini, barulah engkau berhak menerima kembali tiga buah petimu itu.

"Bummrnm!" tiba2 paderi Gemar-segala-apapun ayunkan tongkatnya menghantam sebatang pohon yang tumbuh di dekat lapangan itu. Pohon yang sebesar tubuh manusia itupun roboh seketika, "Kalau  sicu  kuat menerima tongkatku ini silakan ambil kembali ketiga peti itu."

"Ah" Wan-ong Kui menghela napas, “jadi taysu dan pohpoh maksudkan ketiga peti itu bukan milikku lagi ?"

"Kami kembalikan kuda, itu sudah suatu kemurahan besar," sahut paderi Gemar-segala-apa. "Hm, baiklah," kata Wan-ong Kui, "aku rela menyerahkan peti harta itu "

"Sian-cay ! Sian-cay ! Pucuk dicinta ulam tiba," seru paderi Gemar-segala-apa, "sicu benar2 seorang yang tahu gelagat."

"Asal kalian dapat memenuhi dua buah permintaanku," lanjut Wan-ong Kui.

"Apa ?"

"Pertama," kata Wan-ong Kui, "jawablah pertanyaanku ini. Taysu seorang pertapa dan poh-poh sudah tua. Apa guna taysu dan pohpoh menginginkan harta kekayaan sebanyak itu ?"

"Sian-cay! Sian-cay!" seru paderi Gemar-segala-apa, “harta adalah sarana hidup seperti tubuh itu sarana jiwa. Tanpa raga, jiwa merana, tanpa harta, hidup kan sengsara. Aku memang seorang paderi tetapi aku juga butuh sarana untuk hidup. Dan jangan lupa, gelaranku adalah To lau taysu atau Segala-apa-mau."

"Hi, hi, hi," Im pohpoh mengekeh, “engkau masih muda dan punya kekasih cantik. Hari depanmu masih panjang dan cerah. Tetapi aku, seorang perempuan  tua,  tiada suami tiada anak. Siapa yang akan mengurus hari tuaku kalau aku tak punya simpanan harta yang banyak ?"

"Taysu," seru Wan-ong Kui kepada si paderi, "engkau seorang paderi, seharusnya sudah tak memikirkan harta benda dan urusan keduniawian lagi."

"Dan engkau pohpoh," seru Wan-ong Kui pula, "engkau hanya memikirkan kepentingan dirimu seorang, tetapi engkau tak ingat akan nasib berpuluh juta rakyat yang saat ini sedang menderita. Engkau sudah cukup makan asam garam, matipun kiranya tak perlu takut. Tetapi bagaimana dengan anak2 kecil, pemuda pemudi, yang saat ini sedang bergelut dalam kelaparan itu ?

"O, apakah harta bendamu ini hendak engkau berikan kepada mereka ?" seru Im pohpoh. ]

"Ya," sahut Wan-ong Kui. Dalam hal ini dia memang sudah mendapat persetujuan dari Han Bi Giok, "mengapa kita hidup dalam gelimang harta yang berlimpah-limpah sedang rakyat dicengkam bahaya kelaparan ? Taysu," serunya kepada paderi Gemar-segala-apa, "bukankah dalam ajaran agama dikatakan bahwa berbuat suatu kebaikan tujuh kali lipat pahalanya dari sembahyang ?"

"Sian-cay ! Sian-cay ! Sicu memang benar, "sahut paderi Gemar-segala-apa, “tetapi mengapa kita harus mengurusi sekian banyak manusia ? Uruslah dirimu sendiri baru engkau mampu mengurus rakyat. Aku seorang paderi miskin, aku ingin menyingkir dari dunia ramai dan mengasing kan diri dalam kehidupan yang tenang. Untuk itu aku perlu bekal hidup. Negara diserang musuh, rakyat menderita bahaya kelaparan, perampok merajalela, itu kan urusan negara, bukan urusan seorang paderi seperti aku …”

Wan-ong Kui kerutkan dahi. “Sebenarnya harta benda itu akan kudermakan untuk meringankan penderitaan rakyat. ”

"Siancay ! Siancay !" seru paderi Gemar-sega la-apa. “berbuat kebaikan itu memang mulia. Tetapi tak perlu berlebih-lebihan. Yang penting ada lah diri sicu sendiri. Kalau sicu sudah dapat mengurus diri sendiri dengan baik, tidak melanggar undang2 negara, tidak merugikan lain orang, itu sudah baik sekali. Kelak sicu tentu akan naik sorga."

"Hm, ajaran yang luhur," cemooh Wan-ong Kui, "tetapi luhur untuk kepentingan diri sendiri, adalah luhur yang koukati (egois). Kita manusia mengapa tak kenal rasa peri- kemanusiaan kepada lain manusia, lebih2 bangsa kita sendiri ? Aku tak percaya kalau orang akan mendapat sorga, jika hidupnya hanya mementingkan diri sendiri dan tak mengacuhkan lain manusia yang sedang menderita. Jika memang ada ketentuan begitu, aku lebih senang masuk neraka saja karena waktu hidup sebagai manusia aku senang menolong orang yar menderita."

"Omitohud !" seru paderi Gemar-segala-apa "orang yang ditolong, makin melolong penolongan, makin mengandalkan orang. Manusia memang susah diurus, makin diurus makin murus. Bukankah lebih bahagia dan tenang, mengasingkan diri di atas gunung, mencari kesempurnaan batin agar kelak dapat mencapai Nirwana ?"

"Munafik !" teriak Wan-ong Kui, "mengurus diri, berarti mengurus manusia. Karena bukankah engkau juga seorang manusia ? Jangan pura2 bersikap suci sendiri. Orang yang berpendirian seperti itu, adalah manusia yang hendak melarikan diri dari kenyataan, adalah seorang manusia  yang hendak mendewakan diri untuk menutup kepalsuan hatinya, seperti engkau, taysu. Buktinya, engkau hendak mensucikan diri diatas tumpukan harta yang engkau rampok !"

"'Sudahlah, anakmuda, jangan mengumbar caci maki seenakmu sendiri,"  tiba2  Im  pohpoh  menyela, "pokoknya, engkau hanya dapat menerima kembali  kudamu tetapi peti itu tetap menjadi milik kami, kecuali engkau sanggup menerima pu-kulanku."

"Kui-ko," tiba2 Bi Giok ikut bicara, "berikan saja harta itu kepada mereka," VVan-ong Kui mengangguk, "Baik, pohpoh dan taysu. Peti harta itu rela kuberikan kepadamu tetapi  hanya seorang saja, bukan tiga orang….”

"Apa maksudmu ?" paderi Gemar-segala apa terbeliak heran.

"Pedang pusaka dipersembahkan untuk seorang ksatrya. Wanita cantik dipersembahkan ini tuk lelaki yang gagah berani dan hartapun dipersembahkan yang menang," seru Wan-ong ls.ui, "peti harta itu akan kami berikan hanya kepada orang yang benar2 jago sakti."

"Kami adalah tokoh2 Tujuh-pembunuh-besar yang termasyhur di dunia persilatan," seru paderi Gemar-segala- apa.

"Kumaksudkan bukan dua, tiga atau tujuh orang tetapi satu yang paling sakti sendiri. Siapakah diantara kalian bertujuh yang paling sakti sendiri, dialah yang berhak memiliki harta kekayaan itu."

"Omitohud !" seru paderi Gemar-segala-apa, "walaupun bukan suatu perhimpunan tetapi selama ini kami bertujuh saling hormat menghormati dan tak pernah berselisih."

'"Justeru karena itu belum diketahui orang siapapun diantara kalian bertujuh ini yang paling sakti," sahut Wan- ong Kui. "ingat, dalam negara tak ada dua raja, di dunia tak ada dua matahari. Ini menyangkut harta benda yang nilainya dapat dibelikan sebuah kota. Tidak adil kalau dibagi rata karena kepandaian satu sama lain tidak sama. Mika harus bertanding untuk menentukan siapa yang  paling unggul sendiri. Dan ingat ! Harta itu adalah nyawa. Untuk memperebutkan harta, nyawa sering dipertaruhkan. Yang tahu tentang harta karun ini hanya kalian bertiga. Kalau yang satu menang dan yang dua kalah, belum tentu yang kalah itu akan puas. Mereka tentu akan mencari daya upaya untuk mendapatkan harta itu !"

Sasterawan iru masih muda dan ketiga tokoh pembunuh itu rata2 sudah hampir setengah abad umurnya. Tetapi Wan-ong Kui dapat bicara seperti seorang guru terhadap muridnya. Ketiga tokoh pembunuh itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam2 menerima apa yang diucapkan Wan-ong Kui. Hal itu tak lain karena hati dan pikiran mereka tertuju pada gemerlap emas dan harta permata dalam peti itu.

"Apa yang dikatakannya memang benar. Kalau dibagi rata memang tak adil. Dan kalau nanti bertanding,  memang harus dibunuh saja agar kelak jangan sampai menimbulkan bahaya lagi, hati ketiga tokoh hitam itu menimang-nimang suatu rencana.

Sebenarnya tokoh2 yang tergabung Tujuh-pembunuh besar itu, walaupun tak pernah kerja sama tetapi merekapun saling kenal dan selama itu tak pernah saling ganggu mengganggu. Tetap kini disaat menghadapi tiga peti berisi harta karun merahlah mata mereka.

"Ai, engkau benar, anakmuda," tiba2 Im poh-poh berseru, "memang tak adil kalau harta itu dibagi rata."

"Siancay ! Siancay !" seru paderi Cemar-segala-apa, "pohpoh paling tua, aku sebagai yang lebih muda bersedia mengalah dan rela mendapat bagian lebih sedikit."

Tiba2 terdengar suara tertawa merdu, disusul dengan hamburan kata yang menggelitik hati, “Ih, To Yau taysu, enak saja kalian berunding sendiri, pada hal akulah yang pertama melihat kuda putih dengan ketiga peti harta itu!"

Paderi Gemar-segala-apa berpaling. "Omitohud! Hoa li- sicu hendak mengajukan pendapat apa, silakan." "Apakah taysu sudah yakin bahwa taysu berhak memiliki peti harta itu ?" tanya Hoa Lan Ing.

"Terang, dong," sahut paderi Gemar-segala-apa, "kita toh sama2 mendapatkan harta itu, masakan aku tak berhak mendapat bagian."

"Tetapi mengapa taysu mau mengalah dengan dasar perbedaan umur ?"

"Ah, kita kan sama2 kawan, masakan untung sedikit rugi sedikit saja, kita tak mau ?"

"Terserah kalau taysu mau begitu, Tetapi aku sih tak mau. Umur bukan merupakan ukuran dari nilai seseorang. Memang selama ini kita dijuluki sebagai Tujuh - pembunuh-besar. Tetapi orang tak dapat menerangkan urut-urutannya, mana yang kesatu, kedua dan yang terakhir. Kita rasa sekaranglah saatnya yang baik untuk menentukan urut-urutan itu sekalian untuk memperebutkan hadiah yang menggiurkan," kata Hoa Laj Ing.

"Ah, mengapa kita harus rakus ? Apabila seorang mendapat sebuah peti, rasanya sampai manapun takkan habis dipakai," bantah paderi Gemar segala-apa.

"Jadi engkau rela mengalah kepadaku si nenek tua ini ?" tiba2 pula Im pohpoh berseru.

"Ya," sahut paderi Gemar-segala-apa.

"Dan engkau, Hoa Lan Ing ?" tegur Im poh-poh. . "Maafkan, pohpoh, kuminta pohpohlah yang mengalah

kepadaku."

"Ih, mana ada orang muda tak mau mengalah kepada orangtua ?"

"Itu salah," seru Hoa Lan Ing," justeru yang tualah yang harus mengalah, karena aku yang masih muda ini tentu akan hidup lebih panjang dan perlu banyak harta untuk ongkos hidup. Sedangkan pohpoh dan taysu yang sudah tua, tak perlu banyak harta karena toh akan lekas ..."

"Taysu !" tiba? Im pohpoh mengerat kata dengan berseru kepada paderi Gemar-segala-apa, "apakah engkau benar2 mau mengalah kepadaku?”

"Dengan setulus hati, pohpoh," sahut padri Gemar- segaela.

"Baik," sahut Im pohpoh, "kalau begitu maka bereskan wanita cabul itu!"

"Ih, kalian hendak bersatu memusuhi aku?" Lan Ing menegas, kemudian tertawa melenguh, "bagus, bagus, nenek tua masih genit ingin pacar. Karena yang muda tak mau, paderi pun dirayunya, hi, hi, hi "

"Tutup mulutmu, sundal busuk! Engkau perempuan cabul, berani mengejek orang menurut ukuran dirimu!" bentak Im pohpoh marah. Kemudian berseru kepada paderi, "Gemar-segala-apa taysu, hayo kita bergerak. Akan kuberimu bagian satu peti!"

"Ya, benar, taysu, hayo cepat maju," teriak Hoa Lan Ing, "telan saja janji nenek genit itu, nanti engkau tentu akan mendapat sebuah peti harta. Tetapi hanya petinya saja, lho. Ingat, tidak engkau sudah mendengar kemasyhuran Im pohpoh yang terkenal licin dan pandai memutar lidah itu? Hi, hi, setelah aku mati, engkaupun tentu akan mendapat giliran. Maka yang akan engkau terima nanti bukan peti harta tetapi peti mati.”

"Taysu, lekas serang!" teriak Im pohpoh kesal melihat paderi Gemar-segala-apa hendak dipengaruhi Hoa Lan Ing. Dia memang paderi Gemar-segala-apa itu tertegun memikirkan ucapan si cantik. Dia menjadi ragu2. "Tetapi mengapa pohpoh juga tak bergerak sendiri?" sahutnya.

"Apa ? Engkau suruh aku bergerak ?" seru Im pohpoh, "apa artinya aku menerima permintaanmu tadi ? Kalau aku bergerak, tak perlu harus memberimu bagian."

"Kalau begitu, mari kita maju bersama," seru paderi Gemar-segala-apa, "tetapi pohpoh harus pegang janji."

"Goblok ! teriak Hoa Lan Ing," bantulah menghancurkan nenek genit itu, nanti kita bagi rata harta itu !"

Kembali paderi Gemar-segala-apa tertegun. Tawaran itu lebih menarik dari syarat lm poh-poh.

"Jangan dengarkan ocehan perempuan cabul itu ! Hayo, lekas kita bergerak," seru Im poh seraya hendak maju.

"Taysu, bagaimana kalau kita nikmati bersama saja harta itu? Kita hidup berdua ditempat yang sunyi," kembali Hoa Lan Ing membujuk.

Paderi Gemar-segala-apa makin goyah, Betapa cantiklah Hoa Lan Ing itu. Tetapi apakah bermaksud hendak ?

“Apa maksudmu ?” tanpa terasa dia menegas.

"Aya, masakan engkau tak tahu. Engkau orang pria dan aku seorang wanita, apa artinya hidup berdua itu ?" sahut Hoa Lan Ing dengan makin merayu.

"Ho, kalau begitu, aku pilih. "

"Awas, taysu, nenek genit menyerangmu !" kata kata paderi Gemar-segala-apa terputus oleh teriak Hoa Lan Ing yang memberi peringatan.

Memang saat itu Im pohpoh menyerang paderi Gemar- segala-apa seraya memaki, "Paderi jahanam, engkau !" Tetapi untung paderi Gemar-segala-apa cepat menghindar, serunya. "Pohpoh, jangan keliwat menghina orang. Apakah engkau kira aku, paderi Gemar-segala-apa ini, takut kepadamu ?"

"Paderi keparat, matamu cepat merah kalau melihat wanita cantik. Huh, apa engkau kira perempuan busuk itu benar2 suka kepadamu ? Ingat, Harpa-asmara itu terkenal sebagai perempuan yang doyan mempermainkan lelaki. Setiap lelaki yang dapat dijeratnya, apabila sudah tak mampu memenuhi nafsunya, tentu akan dibunuh !"

Paderi-gemar-segala bergidik.-“Ya, ia memang mendengar hal itu. Hoa Lan Ing itu memang seorang perumpuan yang luar biasa nafsunya.”

"To Yau taysu, mengapa engkau bersangsi ? Setelah mendapat harta karun, aku memang sudah ingin bertobat. Aku sudah setengah tua, tak mau lagi melanjutkan petualanganku yang lalu dan aku ingin hidup tenang !"

Paderi Gemar-sagala apa menjadi bingung. Akhirnya ia menjerit, "Hola, sudahlah, sudahlah, jangan kalian membujuk aku lagi. Silakan kalian bertempur sendiri, jangan memperalat diriku lagi!"

"Percuma paderi ini, lebih baik dilenyapkan dulu," pikir Im pohpoh. Tetapi berbareng itu Hoa Lan Ingpun juga mempunyai pemikiran yang sama. Im pohpoh bergerak, Hoa Lan Ingpun bergerak. Yang celaka adalah paderi Gemar-segala-apa. Dia diserang oleh kedua wanita itu.

"Hai, tunggu!" tiba2 terdengar suara teriakan nyaring dan derap lari seorang yang menghampiri.

"Ho, kiranya engkau, pendekar Huru Hara!" ketiga tokoh hitam itu serempak berseru kaget. Ternyata waktu ketiga tokoh hitam itu sedang ribut mulut mengenai pembagian rejeki sehingga sampai saling cakar-cakaran sendiri, diam2 Wan-ong Kui telah memberikan sebutir pil kepada Bi Giok dan membisikinya, "Lekas engkau masukkan pil ini kemulut pendekar Huru Hara . . ."

Karena ketiga tokoh hitam itu sedang ngotot, mereka tak sempat memperhatikan gerak gerik Bi Giok yang sudah menyelinap dan memasukkan sebutir pil ke mulut Huru Hara. Pil itu memang sebuah pil istimewa yang jarang terdapat di-dunia, namanya Siok-beng-tan atau pil Penyambung-nyawa. Selain dapat menghidupkan yang tengah sekarat mau mati, pun khasiatnya dapat menolak segala macam racun dan ilmu hitam.

Beberapa saat kemudian, Huru Harapun tersadar. Sesungguhnya apabila dia tak terkenang akan beberapa orang yang sayang kepadanya, terutama kepada mamahnya yang telah meninggal sejak ia masih kecil, tentulah dia tak sampai terkena pesona alunan suara harpa dan nyanyian ke tiga tokoh hitam itu.

Begitu sadar Huru Hara terus berteriak dan berlari-lari menghampiri, "Apa-apaan ini ? Hayo, kalian mau meminjamkan surat urdangan atau tidak ?"

Ketiga tokoh hitam itu terkejut. Diam2 mereka menyesal mengapa tadi cepat terpengaruh oleh munculnya kuda putih. Jika tadi mereka membereskan Huru Hara lebih dulu, tentu akan lebih aman.

Rupanya paderi Gemar-segala-apa cepat dapat menemukan akal, serunya, "Omitohud ! Tadi sicu ingin tidur maka kamipun tak berani mengganggu. Mengenai surat undangan itu," kata paderi itu pula, kami bersedia menyerahkan asal sicu jangan mengganggu urusan kami disini."

"Urusan apa ?" tanya Huru Hara. Paderi Gemar-segala- apa mengatakan bahwa tadi  mereka mendapat  seekor  kuda putih  yang  berkeliaran.  Ternyata  pemuda sasterawan   dan kekasihnya  datang   dan mengaku kuda itu miliknya. Karena kasihan maka kuda itupun sudah dikembalikan kepadanya.

"Ya, itu adil," sahut Huru Hara lalu berpaling kepada Wan-ong Kui, "hai, pemuda tecu engkau sudah mendapat kudamu kembali, mengapa engkau tak lekas melanjutkan perjalanan lagi'

"Engkau belum jelas persoalannya, bung kata Wan-ong Kui, "kudaputih itu membawa tiga buah peti". Yang akan dikembalikan hanya kuda tetapi tidak dengan petinya."

"'Apa isinya ?" "Harta permata.'" "O, untuk apa?"

Wan-ong Kui tak lekas menyahut. Ia masih menpertimbanugkan apalah perlu memberi keterangan yang benar atau tidak. Akhirnya ia menjawab, "Harta itu adalah penanggalan orang tua kami, tetapi karena melihat rakyat menderita kelaparan maka harta itu hendak kami dermakan kepada mereka."

"Bagus, bagus !" teriak Huru Hara sambil acungkan jempol tangannya, "itu baru perbuatan mulia. Eh, mengapa hanya kuda saja yang dikembalikan kepadamu ?"

"Tanya saja kepada mereka bertiga," sahut Wan-ong  Kui. "Ho, bagus paderi," seru Huru Hara, "engkau hendak mengelabuhi aku, ya ? Kembalikan kuda dan peti harta itu

!"

"Siancay ! Siancay !" seru paderi Gemar-segala -apa, "orang hidup jangan terlalu temaha. Mari kita bagi rejeki. Sicu pilih surat undangan itu atau tiga buah peti ?"

"Paderi, aku bukan anak kecil," seru Huru Hara, "'surat undangan itu adalah urusanku. Sedang peti itu adalah urasan pemuda itu. Jangan engkau campur adukkan."

"Baik," sahut paderi Gemar-segala-apa, "kalau begitu, surat undangan itu akan kami berikan tapi sicu-pun tak boleh mencampuri urusan pemuda itu."

Huru Hara diam sejenak, bepikir, Tiba2 dia berseru kepada Wan-ong Kui, "Hai, pemuda bagus apakah engkau mampu merebut kembali peti itu?"

“Tadi aku sudah berjanji kapada mereka." jawab Wan- ong Kui, "bahwa aku rela menyerahkan peti itu kepada orang yang paling sakti kepampuannya."

"O, sayembara ?" seru Huru Hara, "apakah aku boleh ikut ?"

"Setiap orang boleh saja ikut."

"Bagus, aku akan ikut," kata Huru Hara kemudian berseru kapada paderi Gemar-segala-apa, "nah engkau dengar tidak? Aku tidak mencampuri urusan ini tetapi aku hendak ikut bertanding untuk mendapatkan peti itu."

"Siancay ! Siancay !" seru paderi Gemar-segala-apa,"  sicu sungguh temaha sekali. Dengan membawa surat undangan itu, tentu sicu akan mendapat pekerjaan besar dari jenderal Ko Kiat. Perlu apa sicu hendak ikut memperebutkan peti itu?” "Akan kuberikan kepada pemiliknya lagi !" "Omitohud ! Sicu sungguh bodoh sekali !"

"Biar, biar, orang bodoh itu lebih tenteram, Orang pintar gemar menggunakan akal kepinterannya untuk memintari orang."

"Hoa Lan Ing, lekas engkau menyanyi dan petik harpamu lagi," tiba2 Im pohpoh berseru. Dan si cantik itupun segera menurut. Dengan suaranya yang merdu memikat, dia mulai menyanyikan sebuah lagu percintaan :

Indah, indah, apakah yang paling indah di dunia ini.

Harta, kekuasaan dan kesenangan, tiada seindah cinta.

Birahikanlah, o, angin taufan Birahikanlah, o, lidah api Bakarlah nafsunya dengan bara cintamu, o, kekasih hati ....

Pada waktu Hoa Lan Ing menyanyi dan metik harpa, Huru Hara lari kembali ke ‘meja jamuan' dan mengambil satai tikus tadi, lalu kembali ke hadapan ketiga orang itu pula.

Melihat Huru Hara masih dapat bergerak dengan leluasa, Hoa Lan Ing diam2 terkejut, Cepat ia berganti lagu. Laigu yang hot agar si Huru Hara cepat dapat angot, pikirnya.

Buat apa'harus bersedih. Hidup hanya sekali Buat apa harus berduka Hidup takkan menjelma

Mari berdendang, mari menyanyi Hidup hanya sekali

Mari berjoget, mari menari Hidup takkan menjelma lagi

Im pohpoh tertawa meringkik-ringkik, paderi Gemar- segala-apa tertawa ho-ho, ha-ha. Riuh gemuruh harpa menggelegar, gegap gempita nyanyi berseling tawa ....

Tiba2 terdengar suara aup, aup, aup .... dan serentak nyanyi, harpa dan tawapun sirap seketika.

"Ha, ha, ha," Huru Hara tertawa gelak2, suka tak suka, mau tak mau, kalian harus merasakan sate bakar tikus "

Ternyata pada waktu ketiga tokoh hitam itu sedang berusaha keras untuk memancarkan tenaga-sakti melalui ilmu suara setan, Huru Hara telah menimpukkan tiga sayat daging tikus bakar itu ke mulut mereka. Masing2 seekor tikus.

Timpukan Huru Hara itu memang luar biasa. Selain cepat, pun tepat masuk kedalam  kerongkongan  mereka dan dilakukan hampir serempak pada satu saat.

"Hi, hi, hi," Wan-ong Kui dan Han Bi Giok tak dapat menahan gelinya ketika melihat ketiga tokoh hitam itu kelabakan setengah mati.

Tetapi Wan-ong Kui dan Bi Giok tiba2 terkejut ketika melihat mulut ketiga orang itu berhamburan darah.

Ternyata daging tikus bakar yang ditimpukkan Huru Hara itu telah berobah menjadi semacam benda yang keras sehingga gigi mereka rompal, kerongkongan pecah sehingga darah bercucuran membasahi leher dan dada mereka. Dengan susah payah akhirnya ketiga orang itu berhasil mengeluarkan daging tikus dari mulut mereka. Namun mereka masih pontang panting tak keruan.

Hoa Lan Ing muntah2, Im pohpoh pun muntah2 dan berbangkis sedang paderi Gemar-segala-apa berjingkrak- jingkrak seperti kebakaran jenggot.

"Tikus makan tikus, gigi putus, perut murus. O, tikus, engkau memang binatang rakus. Kalian tikus makan tikus, kucing2 tentu kurus, ngeong, ngeong, ngeong, kasihan engkau pus . . . ." Huru Hara menyanyi sebuah lagu ciptaannya sendiri. Andaikata ditanya, dia tentu akan mengatai judul lagu itu adalah 'tikus makan tikus'.

Saking tak kuat menahan gelinya, Wan-ong Kui dan-Bi Giok tertawa mengikik.

Tiba2 tiga sosok tubuh berhamburan menerjang pendekar Huru Hara. Mereka adalah Im poh poh, Hoa Lan Ing dan paderi Gemar segala-apa. Setelah terbebas dari kesakitan dan muntah2, Im pohpoh melolos ikat pinggang yang terbuat dari urat ular, Hoa Lan Ing menggunakan harpa-asmara yang terbuat dari besi dan paderi Tou You menyerang dengan tongkat sian-tiang.

Im pohpoh pada tigapuluhan tahun yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan di barat sungai Tiangkiang dengan senjatanya yang istimewa yakni sabuk pinggang dari urat naga. Ayahnya seorang pendekar besar yang terkenal dengan ilmu Keng-sin-ci-hwat atau Tutukan- jari-malaekat-kaget. Dia mempunyai seorang murid yang kelak akan menjadi pewarisnya. Murid itu dikawinkan dengan puterinya yakni Im pohpoh. Tetapi ternyata murid itu anak dari musuhnya. Pada suatu hari dia melakukan pembalasan dengan meracuni ayah Im pohpoh. Dan sejak itu Im poh-poh telah disiksa dan ditelantarkan. Karena tak kuat menahan perlakuan yang sewenang- wenang dari suaminya, Im pohpoh minggat bersama anak perempuannya yang masih bayi. Beruntung dia telah bertemu dengan seorang sakti yang memberinya ilmusilat sakti. Orang sakti itu ternyata paman guru dari ayahnya.

Dari kakek gurunya itu Im pohpoh mendapat pelajaran ilmusilat dan ilmu permainan Keng sin tay-huat atau Sabuk- malaekat-kaget. Dia sudah bertekad hendak melakukan pembalasan kepada suaminya yang murtad itu.

Tetapi pada suatu hari terjadilah malapetaka yang hebat. Paman gurunya mati dan anak perempuan Im pohpoh yang baru berumur 4 tahun pun lenyap. Im pohpoh seperti orang kalap. Di mengembara menjelajah dunia persilatan untuk mencari suaminya. Akhirnya jerih payahnya berhasil. Dia bertemu dengan suaminya itu dan dapat membunuhnya. Tetapi anak perempuannya teta hilang.

Sedang Hoa Lan Ing juga mempunyai riwayat yang besar. Kakeknya adalah Song Ho-Yang yang pada awal kulawangsa Beng malang melintang merajai dunia persilatan. Dia menciptakan ilmu permainan Thiat-pi-peh atau Harpa-besi dan mendirikan perguruan Thiat-pi-peh- bun. Dia seorang tokoh yang sukar diduga pendiriannya, bukan golongan Hitam juga bukan golongan putih. Tetapi akhirnya dia dapat dikalahkan juga oleh Tio Tan Hong, cikalbakal dari perguruan Thian-san-pay.

Hoa Lan Ing mewarisi ilmu Thiat-pi-peh dari ayahnya. Tetapi sayang dia seorang wanita yang besar nafsu. Setelah ayahnya meninggal, dia makin   tak ada   yang   ditakuti lagi. Suaminya diracuninya dan kemudian silih berganti suami baru. Dia selalu memilih lelaki yang muda dan kuat, tetapi suami2 itu tentu selalu mati. Dewi Ular Harpa-asmara, demikian gelar indah yang seram dari Hoa Lam Ing. Sekalipun begitu tetap saja banyak kaum lelaki yang mau menjadi suaminya. Dia memang cantik bagai bidadari.

Mengenai paderi Gemar-segala-apa, semula dia menjadi anakmurid vihara Siau-lim, tetapi kemudian nyopot dan mengembara ke daerah Tibet dan berguru pada seorang paderi lhama yang sakti. Dia memiliki ilmu permainan tongkat yang disebut Hong-mo-ciang-hwat atau Tongkat- iblis-gila yang kalau dimainkan, air hujanpun tak dapat mencurah masuk.

Demikian pendekar Huru Hara diserang oleh tiga tokoh hitam yang memiliki kepandaian istimewa. Dan karena mereka telah menderita kesakitan akibat mulutnya dilontari daging tikus, merekapun menumpahkan kemarahannya habis-habisan.

Permainan harpa-asmara dari Hoa Lan Ing memang menakjubkan sekali. Waktu diayunkan dalam jurus yang berbahaya, senar harpa itupun mendenging-denging memancarkan suara yang kuasa mencabut urat2 jantung. Lawan akan merasa berdebar-debar hatinya dan pikiranpun kalut. Sedang sabuk pinggang Im pohpohpun bergeletar geletar seperti halilintar merobek langit. Masih di tambah pula dengan gerak tongkat Hong-mo-cian yang menderu- deru laksana prahara mengamuk.

Huru Hara terkejut, "Aduhhhhh !" tiba2 menjerit kesaktian karena ujung telinganya keserempet sabuk pinggang Im pohpoh. Sebenarnya Im pohpoh hendak menampar kepalanya tetap karena Huru Hara miringkan kepala, ujung telinganya yang terserempet.

"Gilaaaa !" teriak pula orang aneh itu seraya melonjak kaget karena tumit kakinya terlanggar tongkat paderi Gemar-segala apa. Tetapi diam2 paderi Gemar-segala-apa juga terkejut sendiri. Jurus Iblis-gila-menerkam-ular yang dikiranya pasti akan menghancurkan kaki Huru Hara ternyata hanya dengan berkisar sedikit saja, orang aneh itu sudah dapat menghindar walaupun ujung tumit kakinya terserempet.

"Mana tahaaaan !" kembali orang aneh memekik ketika si cantik Hoa Lan Ing sengaja membuka dadanya pada saat dia mengemplangkan harpanya ke kepala si Huru Hara. Ular cantik itu memang hendak menggunakan taktik untuk menyedot perhatian lawan sehingga biar tertegun. Tetapi ternyata Huru Hara malah berkaok kaok dan menyurutkan kepalanya ke bawah sehingga selamat dari kemplangan.

Menyaksikan pertempuran yang begitu sengit tetapi Huru Hara masih bertingkah ugal-ugalan, Han Hi Giok berbisik cemas, "Kui-ko, mengapa dia masih ugal-ugalan menghadapi serangan maut dari ketiga iblis itu ? Apakah dia orang sinting ?"

Wan-ong Kui tersenyum dan hanya geleng2 kepala. Tetapi berapa saat kemudian dia berkata, “Tuh lihat, Giok- moay, sekarang dia merobah gayanya !"

Bi Giok memandang ke medan pertempuran. Semula dia heran melihat tingkah laku Huru Hara yang seperti orang berputar-putar kian kemari. Tetapi dia heran mengapa setiap kali berkisar langkah dia terus menampar dan…. eh, mengapa tamparannya selalu mengenai sasaran, entah muka entah kepala lawan ?

Plak.... Im pohpoh meringis karena pipinya tertampar. Plok . . . paderi Gemar segala-apa menyeringai seperti macan ketawa ketika kepalanya yang gundul ditabok. Plek

.... Hoa Lan Ing menyengir ketika telinganya diselentik. "Kui-ko," bisik Bi Giok terkejut, "aneh sekali orang itu. Mengapa senjata ketiga iblis itu tak mampu mengenainya sebaliknya dia dapat mempermainkan lawan seenaknya sendiri ?"

"Ya," Wan-ong Kui kerutkan dahi, "memang aneh sekali orang itu. Rasanya tata-gerak semacam Itu disebut Ih-poh- hoan-ciang ?

Ih-poh-hoan-ciang artinya Beralih-langkah-berganti- pukulan. Setiap langkah berkisar, pukulanpun melayang dalam gaya yang lain.

Memang sepintas, tampaknya Huru Hara seperti bergerak dalam jurus mirip Ih-poh-hoan-ciang. Tetapi andaikata ditanya, dia pasti tak dapat menjawab. Dia akan mengatakan bahwa gerak yang dilakukan itu hanyalah gerak reflek menurut keadaan pada saat yang dihadapinya. Digebuk tongkat, ia harus menghindar dan balas menabok. Dikemplang harpa, dia harus berkelit dan balas menyelentik. Ditampar sabuk pinggang, dia hal mengegos dan balas menampar.

Ah, memang ugal-ugalan sekali si Huru Hara itu. Keterlaluan sekali dia mempermainkan ke tiga lawannya. Setiap kali balas menyerang, dia tentu ganti dengan gaya yang baru. Setelah

menampar pipi Im pohpoh lalu menampar pipi yang sebelah, leher dan dahi. Setelah menyelentik telinga kanan kiri dari Hoa Lan Ing lalu menoel pipi menjiwit bibirnya. Yang lucu tetapi celaka, adalah paderi Gemar-segala apa. Setelah gundul     ditabokj     hidung ditarik-tarik lalu telinga dijewer sehingga hidung dan telinga paderi itu sampai merah sekali.

"Hi, hi, hi. , " Bi Giok tertawa geli demikian Wan-ong

Kui. Walaupun menganggap Huru Hara itu orang edan tetapi merekapun senang melihat pertempuran yang menggelikan itu.

Beberapa saat kemudian, terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan. Tongkat paderi Gemar-segala apa luput menghantam Huru Hara, berganti mendapat sasaran lagi, bluk.....auh .... tongkat itu tepat menghantam bahu Hoa Lan Ing yang saat itu sedang sorongkan tubuh memamerkan buah dadanya ke muka Huru Hara. Wanita cabul itu menjerit dan terhuyung-huyung mundur kebelakang. Ternyata tulang pi-peh-kut "atau tulang bahunya telah remuk terhajar tongkat. Tulang pil peh-kut merupakan bagian yang amat penting. Tulang itu remuk maka hilanglah seluruh tenaga  kepandaian.  Demikian yang dialami Hoa Lan Ing. Saat itu dia kembali menjadi wanita biasa, ilmu silatnya lenyap untuk selama-lamanya.

Menyadari apa yang terjadi, Hoa Lan Ing marah sekali. Tetapi kemarahannya itu tertumpah pada paderi Gemar- segala-apa yang dianggapnya telah membuatnya cacad. Serentak dia mengambil segenggam kacang hijau, melangkah maju dan terus menabur kepada paderi Gemar-segala- apa.

Kembali terjadi suatu peristiwa yang menakjubkan dan lebih mengerikan dari yang tadi.

Pada saat tongkatnya menghantam bahu Hoa Lan Ing, paderi Gemar-segala-apa -kesima di tertegun diam. Huru Hara yang jahil lalu mencengkeram bahunya, maksudnya hendak memberi peringatan kepada paderi itu jangan terlongong dan supaya menyerang dia lagi. Tetapi paderi Gemar-segala-apa terkejut karena mengira tulang pi-peh-kut bahunya hendak diremas Huru Hara. Serentak dia kerahkan tenaga dalam untuk meronta. Tetapi malah celaka. Karena dia mengerahkan tenaga-dalam, cengkeraman tangan Huru-hara itu memancarkan tenaga reflek yang mengembalikan tenaga-dalam si paderi lagi. Akibatnya tulang pi-peh-kut bahu paderi itu benar-benar remuk. Paderi-gemar-segala-apa menjerit dan mengendap kebawah terbungkuk-bungkuk menyurut mundur sambil mendekap bahunya.

Belum  peristiwa  itu  selesai,  terjadi   pula peristiwa yang lain. Karena si padri membungkuk kebawah, dia terhindar dari taburan senjata rahasia berbentuk seperti kacang hijau yang ditaburkan Hoa Lin Ing. Kebetulan pula saat itu Im pohpoh maju menyerang Huru Hara dari samping. Nenek itulah yang menjadi korban, aduh. . .

Ia menjerit ketika biji2 kacang hijau itu menabur mukanya, meledak dan seketika mukanya terbakar hangus.

Yang mengerikan adalah kedua matanya juga terbakar sehingga buta. Ternyata biji2 kacang hijau itu berisi bubuk bahan peledak yang beracun. Begitu menyentuh  tubuh  atau pakaian, kacang hijau itu tentu meledak dan racunnya akan menghanguskan korbannya.

Im pohpoh menjerit ngeri. Ia mendekap mukanya yang hancur. Sesaat kemudian tiba2 ia melengking nyaring, "Sundal busuk, rasakan pembalasanku . . . ! " — Ia ayunkan tangannya. Sebatang liu-yap-to, pisau yang setipis daun liu, berkelebat kearah Hoa Lan Ing, tahu2 si cantikpun menjerit dan terus terjungkal rubuh. Karena segala kepandaiannya sudah lenyap, Hoa Lan Ing tak dapat menghindar dari taburan liu-yap-to Im po-poh. Dadanya tertembus liu-yap-to yang menyusup masuk kedalam jantung. Seketika wanita cantik yang sepanjang hidupnya berlumuran dosa asmara itu, melayang jiwanya untuk menghadap dan menerima hukuman dari Raja Akhirat.

Im pohpohpun ngelumpruk rubuh. Tak berapa lama mukanya hancur menjadi cairan. Im pohpoh nenek tua yang dengan tawanya seperti nada setan meringkik pernah menggetar! dunia persilatan selama berpuluh tahun, kini menggeletak di tanah menjadi sebuah mayat tanpa kepala.

Akan halnya paderi Gemar-segala-apa, karena tulang pi- peh-kutnya hancur, tenaga dan kepandaiannyapun punah. Menyaksikan keakhiran hidup dari kedua kawannya, bergidiklah buluromanya.

"Siancay! Siancay! Aku seorang paderi yang penuh dosa, bejat moral. Hud-ya, terimalah penebus dosa murid "

habis berkata dia terus menikamkan golok ke dadanya sendiri.

"Jangan!" tiba2 Huru Hara terkejut dan Ioncat menyambar tangan padiri Gemar-segala-apa. Karena dia mengerahkan tenaga dan sekarang paderi itu sudah menjadi orang biasa ( tenaga kepandaiannya hilang ), maka paderi itupun terpelanting jatuh.

"Ah, bangunlah, taysu," buru2 Huru Hara menariknya berdiri, "mengapa engkau hendak bunuh diri?"

"Aku merasa berdosa."

"O, apakah engkau tak pernah membayangkan bahwa engkau bakal menghadapi saat seperti hari ini?"

Paderi Gemar-segala-apa gelengkan kepala, "Tidak, tayhiap. Kalau aku dapat membayangkan hal itu, aku tentu takkan melakukan dosa. Tetapi mengapa tayhiap (pendekar besar) mencegah aku bunuh diri?" "Mengapa engkau hendak bunuh diri?" "Untuk menebus dosa."

"O, ajaran agama manakah yang mengatakan bahwa menebus dosa itu harus dilakukan dengan bunuh diri?"

"Memang tidak. Tetapi aku sudah merasa diriku ini seorang manusia yang kotor."

"Apakah dengan bunuh diri itu engkau bakal menjadi manusia bersih ?"'

"Tetapi aku malu hidup."

"Mengapa malu ? Karena berdosa ?" "Sicu……”

"Manusia tak luput dari dosa. Memang seharusnya mengingat dosa2mu yang setinggi gunung itu, masih ringan kalau engkau kubunuh. Tetapi nyawamu itu bukan aku yang memberi maka aku pun merasa tak berhak untuk mencabut. Dan sebagai hukuman, kini engkau sudah lumpuh, tak mungkin engkau dapat melakukan kejahatan lagi,

Paderi Gemar-segala-apa mengangguk.

"Menebus dosa bukan dengan bunuh diri caranya. Dengan bunuh diri, engkau malah menambah dosa, karena perbuatan bunuh diri itu sudah merupakan suatu dosa terhadap Tuhan yang telah memberi hidup. Tuhan memberi engkau hidup, tetapi engkau tolak. Itu dosa namanya."

Paderi Gemar-segala-apa diam.

"Jika engkau benar2 mau menebus dosa," kata Huru Hara dengan lagak seperti seorang guru besar, "engkau harus lebih tekun bersembahyang. Tetapi bersembahyang thok, juga kurang sempurna. Engkaupun harus menjalankan dharma dan amal kebaikan. Apakah engkau sudah sadar ?"

"Ya."

'"Siapa sadar dia sudah menapak selangkah untuk menuju jalan kearah menebus dosa. Baiklah, silakan pergi kemana yang hendak engkau tuju."

Setelah menghaturkan terima kasih, paderi itupun melangkah pergi. Tetapi baru beberapa langkah dia berhenti dan kembali menghampiri Huru Hara, "Loan tayhiap, inilah surat undangan yang engkau ingin pinjam itu."

"Ah, tak usah. Pakailah sendiri."

"Ah, janganlah tayhiap mengolok aku. Sekarang aku sudah cacat, mana mungkin ada muka melamar pekerjaan itu pada jenderal Ko Kiat ? Lebih baik tayhiap pakai saja."

Huru Hara terpaksa menerima. Karena kalau tak mau, ia kuatir disangka menghina. Demikian berhasillah orang aneh itu mengumpulkan tujuh buah undangan yang diterima ke tujuh pembunuh besar itu.

"Tikus2 sudah mati, perlu apa engkau unjuk tampang disini," tiba2 Huru Hara melemparkan sisa sate tikus ke semak belukar. Setelah itu dia pun melangkah pergi.

"Hai", tunggu dulu, bung!" teriak Wan-ong Kui.

"O, engkau ?" seru Huru Hara terkejut, "ya, aku lupa kalau kalian berada disini. Mau perlu apa dengan aku ?"

"Ah, tidak," sahut Wan-ong Kui, "aku kagum terhadap kepandaianmu dan ingin berkenalan."

"O, engkau seorang pemuda yang bagusnya seperti gadis cantik, apakah engkau tak jijik berkenalan dengan aku ?"

"Yang penting orangnya, bukan pakaiannya.” "Lho, orangnya bagaimana sih?"

"Engkau seorang pendekar yang memusuhi kejahatan. Ketujuh tokoh hitam itu telah engkau basmi, tentulah rakyat akan gembira mendengar berita itu."

"Mudah-mudahan . . . tidak."

"Lho, aneh! Mengapa tidak gembira?"

"Masih banyak hal lain yang lebih menggembirakan rakyat daripada kematian ketujuh orang itu. Bukankah rakyat sedang menderita ketakutan dan kelaparan?"

"Maksudmu?"

"Jika biangkeladi dari segala kerusuhan terbasmi, barulah rakyat benar2 gembira."

"Maksudmu tentara Ceng?" "Hm."

"Baik," kata Wan-ong Kui, "kita akan berusaha melaksanakan hal itu. Bukankah engkau tak keberatan untuk berkenalan?"

"Tidak."

"Terima kasih,"  kata Wan-ong Kui, "aku bernama Wan-ong Kui dan nona ini Han Bi Giok”

"Aku Loan Thian Te."

"Benarkah namamu itu aseli? Karena Loal Thian Te berarti dunia kacau."

"Apakah namamu itu aseli? Apa artinya Wan-ong Kui?" "Setan penasaran. Aku memang sedang penasaran dan

hendak mencari manusia yang pernah menyakiti hatiku."

"O," Huru Hara terkejut, "memang tak enak orang menderita sakithati itu. Orang yang pembuat sakithati lain orang, memang pantas dihajar biar kapok." "Ya, nanti apabila bertemu dengan orang, dia memang hendak kubunuh!"

"Hah?" Huru Hara terbeliak, "engkau gemar membunuh orang? Apakah engkau konco mereka bertujuh?"

"Jangan salah faham," sahut Wan-ong Kui, “aku tak kenal dengan mereka. Dan andaikata kenalpun aku tak sudi menjadi kawannya. Yang hendak kubunuh adalah orang yang menyakiti hatiku itu."

"Bagus," Huru Hara, "tetapi eh, siapakah orang yang membuat engkau sakithati itu?"

Wan-ong Kui tidak menyahut melainkan berpaling ke arah Bi Giok, "Giok-moay, maukah engkau mengambil arak yang berada pada kudaku itu? Kita jamu Loan tayhiap ini dengan arak."

Bi Giok mengiakan lalu menuju ketempat kuda. Menggunakan kesempatan itu, Wan-ong Kui berkata pelahan-lahan kepada Huru Hara, "Tetapi ini rahasia, jangan engkau katakan kepada siapapun, termasuk kepada nona itu, mau?"

"Baik."

"Orang itu tinggal  di gunung Lou-hu-san, namanya si Blo'on ..."

"Astagafirullah!" tiba2 Huru Hara memekik kaget, "engkau hendak mencari Blo'on?"

"Eh, mengapa engkau kaget setengah mati. Apa hubunganmu dengan Blo'on?" Wan-ong Ki heran.

"Uh . . . bukan apa2 ..." "Tetapi mengapa engkau begitu kaget?

"Uh, orang kaget kan boleh saja." "Apa engkau kenal dengan si Blo'on?" "Ti . . . dak!"

"Hm, pemuda itu memang kurang ajar sekali.”

"Tetapi apa saja yang dilakukannya sehingga membuatmu sakithati?"

"Dia pernah akan dinikahkan dengan puteri baginda Ing Lok yang bernama Ing kiong. Tetapi sebelum dinikahkan secara resmi dia sudah melarikan diri."

"Lho, engkau ini siapa? Itu kan urusan puteri raja, mengapa engkau marah? Apakah engkau puteri raja itu sendiri?"

"Bu . . . kan. Aku salah seorang bekas ponggawa istana yang dititahkan puteri untuk membunuh si Blo'on."

"O, kalau begitu engkau juga seorang pembunuh bayaran!"

"Tidak! Aku tidak menerima upah sepeser pun dari puteri. Aku hanya kasihan kepadanya.!

"O, apakah engkau pernah melihat muka Blo'on?" "Belum. Dan engkau?"

"Juga belum tetapi hanya mendengar cerita tentang dirinya dari beberapa orang persilatan."

"O, bagaimana ceritanya?"

"Dia memang bloon tetapi dia amat sakti. Aku kuatir, engkau bukan yang membunuh tetapi malah yang akan dibunuh si Blo'on nanti."

"Hm, lihat saja nanti. Blo'on pasti akan kucincang seperti bakso."

"Auh, ngeri!" teriak Huru Hara. Wan-ong Kui tertawa, "Maukah engkau membantu aku membunuh Blo'on."

"Aku engkau suruh membunuh Blo'on?" "Ya."

"Tidaaaaak! Dia tak bersalah kepadaku mengapa aku harus membunuhnya?"

Wan-ong Kui terdiam sejenak lalu berkata pula, "Kulihat tadi engkau memiliki kepandaian yang sakti. Siapakah gurumu?"

"Maaf, aku tak punya guru"

Wan-ong Kui tak mau mendesak. Ia tahu bahwa memang ada kalanya orang tak mau memberitahukan siapa guru dan perguruannya.

"Omong-omong," kata Wan-ong Kui, "kira2 lebih sakti mana, engkau dengan Blo'on?"

"Blo'on."

"Hah? Masa iya! Kurasa engkau lebih unggul." "Mana bisa!"

"Kira2 apakah aku mampu mengalahkan Blo'on, ya?" "Entah, tanya sendiri pada dirimu."

"Tetapi bagaimana aku tahu kalau belum dicoba. Maka sekarang aku ingin mencobanya."

"Engkau hendak mencoba dengan siapa? "Dengan engkau."

"Gila! Aku bukan Blo'on." "Ya, kutahu. Tetapi sebagai percobaan tak apa. Kalau aku bisa menangkan engkau, tentu ada harapan mengalahkan Blo'on. Maka tolonglah, mari kita berkelahi."

Sebenarnya Huru Hara hendak menolak tapi tiba2 ia mendapat pikiran, "Ah, benar juga pendapatnya itu. Kalau dia kalah dengan aku dia tentu takkan melanjutkan niatnya membunuh Blo'on."

"Baik," akhirnya ia menerima, "mari kita main2 sebentar."

Tiba2 Bi Giok datang dengan membawa guci arak, "Kui- ko, dimanakah kita akan menjamu pendekar aneh itu?"

"Dibawah pohon itu, Giok-moay," sahut Wan- ong Kui lalu berbisik kepada Huru Hara, "St, kita minum arak dulu, baru kita adu kepandaian. Tetapi jangan bilang soal si Blo'on kepada nona itu.”

"Mengapa ?"

"Dia berhati kecil, Dia ngeri kalau mendengar orang bertempur."

"Lalu bagaimana kita akau menjawab kalau ia bertanya

?"

"Cukup katakan saja, kita adu kepandaian untuk

merayakan perkenalan kita," "Baiklah," Huru Hara mengangguk.

Begitulah mereka minum arak dibawah pohon. Sepintas seperti tiga orang yang bersahabat. Beberapa saat kemudian tiba2 Wan-ong Kui mengerut dahi. Entah apa sebabnya, setelah minum arak ia rasakan perutnya mulas2, makin lama makin keras sehingga ia tak tahan lagi dan pamit hendak buang air besar. "Dibelakang pagoda ada sebuah parit, pergilah ke sana," kata Huru Hara.

Kini tinggal Huru Hara bersama Bi Giok. Agak kikuk juga sikap Huru Hara berhadapan dengan seorang gadis cantik.

"Loan tayhiap," tiba2 Bi Giok yang mulai bicara lebih dulu, "sungguh tepat sekali tindakanmu memberantas kawanan garong itu."

"Ah, sebenarnya aku hanya hendak pinjam surat undangan mereka."

"Undangan dari mana ?"

"Jenderal Ko Kiat penguasa kota Yang-ciu iaat ini." Dia hendak mengundang ketujuh orang itu mengantar barang berharga."

"Kan itu suatu hasil mereka," kata Bi Giok, "mengapa engkau hendak merebut mangkuk nasi orang ?"

Huru Hara gelengkan kepala, "Barang itu amat penting sekali bagi arti perjuangan kaum ksatrya menentang penjajah Ceng. Maka aku terpaksa harus bertindak. Dan tindakanku ini bukan berdasar mencari upah, harap nona tahu."

"Bagus, Koan tayhiap," seru Bi Giok memuji, "sayang aku seorang gadis. Andaikata aku seorang pemuda aku tentu akan ikut berjuang.

"Engkohmu juga gagah berkasa, mengapa engkau tak minta pelajaran silat dari dia ?"

Pertanyaan itu membuat Bi Giok kelabakan untuk menjawab. Tetapi karena ia baru kenal dengan Huru Hara maka diapun hanya tersenyum saja. "Loan tayhiap hendak menuju kemana ?" tanya Bi Giok mengalihkan pembicaraan.

"Menghadap jenderal Ke Kiat di Yang-ciu untuk melamar pekerjaan mengawal barang itu."

"O."

"Dan nona ?" Huru Hara balas bertanya Rupanya beberapa saat berbicara dengan gadis itu rasa kikuknya mulai hilang, "hendak kemana ?"

"Aku hendak ke Lou-hu-san.'"

"Hah ?" Huru Hara terkejut, "ke gunung Lou hu-san ?" "Ya."

"Apa nona tinggal di sana ?"

"Tidak. Aku dari kotaraja Pak-khia henda ke Lou-hu-  san mencari putera paman Kim Thian Cong. Engkau tentu kenal nama pendekar besar Kim Thian Cong itu, bukan ?"

Huru Hara makin berdebar-debar. Ternyata keterangan Wan-ong Kui tadi memang jujur.

"O, nona hendak melakukan pembalasan kepada Blo'on

?" tanyanya.

"Pembalasan ?" Bi Giok mengerut dahi," pembalasan apa

?"

"Bukankah Blo'on pernah membuat sakithati nona ?"

Bi Giok tertawa kecil, "Siapa yang bilang begitu ?

Apakah engkoh Wan-ong tadi mengatakan begitu kepadamu ?"

Huru Hara terkejut dalam hati. Dia sudah janji kepada Won-ong Kui untuk tidak mengatakan rahasia pemuda itu kepada siapapun juga. Maka dia terpaksa berbohong, "Tidak. Aku hanya menduga saja."

"Dugaanmu itu salah sekali," kata Bi Giok, "aku sendiri belum pernah melihat putera paman Kim yang kabarnya bernama si Blo'on."

"Aneh," guman Huru Hara, "kalau nona belum pernah melihatnya, apa tujuanmu hendak mencari pemuda itu.

"Aku hanya melakukan perintah ayahku." "Menyerahkan surat ?"

"Ya, antara lain."

"Apa yang lainnya lagi ?" "Aku harus tinggal di sana."

"Hah?" Hura Hara terbeliak," suruh tinggal di Lou-hu- san ? Apa maksudmu?"

Bi Giok tersipu-sipu menunduk. Pipinya merah. Sebenarnya tak layak orang itu menanyakan soal peribadi tetapi mengingat orang aneh itu seorang pendekar sakti yang menentang kejahatan ia mendapat kesan baik. Ah, tak apa memberita tahu kepadanya, pikirnya.

"Apakah engkau ingin tahu ?" serunya. "Rahasia penting ?"

"Ya, penting bagi diriku, bukan untuk orang lain."

"O, rahasia peribadi. Maaf kalau begitu, kutarik lagi pertanyaanku tadi."

Bi Giok tersenyum, "Tak apa. Walaupun rahasia peribadi tapi hal itu sesuatu yang layak dan terang. Akhirnya semua orangpun tahu juga."

Huru Hara hanya kerutkan dahi. "Ayah suruh aku ke Lou-hu-san mencari Blo'on dan tinggal bersamanya."

"Lho, mengapa ? Apakah engkau. "'l

"Ya, aku calon isterinya."

"Hai!" Huru Hara memekik kaget setengah mati Tetapi segera ia menyadari bahwa dirinya bukan Blo'on.

"Ih, mengapa engkau begitu kaget?"

"Tak apa2," Huru Hara agak tersipu, "tetapi sepanjang yang kudengar, Blo'on itu belum punya pacar."

"Ya, memang jarang orang tahu hal itu, bahkan aku sendiri juga tak tahu. Setelah kota-raja diduduki musuh dan ayah berjuang menghadapi mereka, barulah ayah suruh aku menyingkir ke Lou-husan mencari calon suamiku yalah putera mendiang paman Kim Tiran Cong."

"O, kapan kalian bertunangan..?"

"Sejak aku masih dalam kandungan mama, ayah dan paman Kim berjanji hendak menikahkan putera puterinya, apabila mama nanti melahirkan seorang anak perempuan."

"Mati aku,” Huru Hara mengeluh dalam hati. Ia dapat menekan perasaannya tetapi wajahnya basah keringat dan napasnya ngos-ngosan."

"Eh, kenapa engkau ini?" tegur Bi Giok heran.

"Tak apa2. Aku tak biasa minum arak maka keringatku bercucuran dan badanku panas," Huru Hara memberi alasan.

"Loan tayhiap," kata Bi Giok pula, "rupanya engkau kenal dengan Blo'on. Bagaimana sih orangnya? Apakah dia amat tampan seperti engkoh Wan-ong tadi?"

"Tidak, dia kalah tampan dengan engko Wan-ong." "Bagaimana kalau dengan ..." Bi Giok hendak kata2 meragu.

"Dengan siapa?" "Dengan tayhiap sendiri."

"O . . . eh . . . bagaimana ya," Huru Hara garuk2 kepalanya, "kalau wajah, dia lebih bagus. Tetapi keseluruhannya aku lebih sedap dipandang. Itu kata orang lho."

"Lebih sakti mana, dia atau tayhiap?" "Entah, belum pernah bertemu." "Bagaimana perangainya?"

"Jelek," seru Huru Hara, "wajah dan kelakuannya jelek semua. Malah lagi, tak mau bekerja kecuali hanya bermain- main dengan binatang peliharaannya. Ah, sayang "

"Sayang apa?"

"Nona masih remaja dan cantik sekali. Kalau jadi isteri si Blo'on bisa kelaparan nanti."

"Aku membawa harta benda yang cukup dimakan sampai tujuh turunan."

"Tapi si Blo'on juga tak suka harta benda, wanita dan suka membawa maunya sendiri. Ayahnya karena jengkel sampai meninggal."

"Habis," kata Bi Giok, "ayahku sudah terlanjur berjanji dengan paman Kim, aku harus menurut."

"Bagaimana kalau nanti Blo'on menolak nona?" tanya Huru Hara.

"Apa boleh buat, aku harus menjadi jandanya." Dalam pada berbicara itu Wan-ong Kui pun sudah muncul lagi, "Hai, kalian bicara apa saja sampai begitu asyik?"

"Jangan cemburu," sahut Huru Hara, "masakan nona ini suka dengan aku."

Merah muka Bi Giok.

"Loan tayhiap, untuk merayakan perkenalan kita  hari ini, bagaimana kalau kita saling beradu kepandaian untuk tukar pengalaman?" tiba2 Wan-ong Kui berseru.

Karena sudah berjanji maka Huru Harapun setuju. Tetapi Bi Giok menentang, "Eh, apa-apaan kalian ini? Merayakan perkenalan masakan , dengan bertanding adu kepandaian. Adu kepandaian saIah-salah bisa merusak persahabatan."

"Ah, jangan kualir Giok moay," kata  Wan-ong  kui, “kita takkan berantam sungguh2 melainkan hanya sampai salah satu ada yang tertutul.”

“O," seru Han Bi Giok, "tetapi tutulan itu tak meninggalkan bekas, bagiimana kalian tahu kalau salah satu sudah tertutul? Bagaimana kalau jari kalian dilumuri dengan tinta bak yang hitam?"

"Tepat," sahut Huru Hara, "tetapi siapa yang membawa alat tulis tinta bak?"

Bi Giok tertegun. Ia memang tak membawa tinta bak. Tetapi pada lain saat dia berseri tertawa, "Bagaimana kalau tinta bak diganti dengan gincu merah?"

Huru Hara dan Wan-ong Kui setuju. Han Bi Giok menyerahkan dua buah gincu kepada mereka.

"'Silahkan tayhiap yang mulai,” seru Wan-ong Kui. "Tidak, aku tidak bisa menyerang, engkau saja," sahut Huru Hara.

Wan-ong Kui tak mau  sungkan  lagi  membuka  serangan dengan jurus Tok-coa-tho-sii atau Ular-beracun- menjulurkan-lidah, diteruskan lagi dengan jurus Ceng-liong- tham-cu atau Naga hijau- merebut-mustika.

Tetapi dia terkejut ketika dengan gerak yang acuh tak acuh, Huru Hara dapat menghindar. Setiap kali ujung jari akan menutuk, barulah Huru Hara bergerak.

"Wan-ong Kui makin ngotot. Sampai akhirnya ia mengeluarkan ilmupedang Peh-hoa-kiam (seratus bunga ) tetapi dimainkan dengan jari. Ji Wan-ong Kui  berhamburan menjadi berpuluh-puluh  buah  dan  mencurah dari empat penjuru.

Huru Hara tetap bergerak dengan suatu tata gerak yang aneh. Dia berputar-putar seperti orang dikejar anjing galak, tetapi nyatanya serangan Wan-ong Kui tak mampu mengenainya.

"Kalau pemuda ini menang, dia tentu besar kepala dan pasti akan melampiaskan rencananya untuk melakukan pembalasan kepada Blo'on," pikir Huru Hara, "baiklah, akan kuberinya hajaran.”

'Wan-ong Kui, awas," serunya seraya berputar secepat angin lesus yang mengelilingi Wan-ong Kui.

Wan-ong Kui kelabakan. Dia berusaha sekuat tenaga untuk  menolak  serangan  lawan.  Beberapa  saat kemudian, tiba2 Huru Hara loncat mundur dan terus lari sekencang-kencangnya.

“Hai, Loan tayhiap, hendak lari kemana engkau… "

teriak Bi Giok tetapi sudah tak terdengar suara Huru Hara lagi karena dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Sementara itu Wan-ong Kui tampak tegak berdiam diri. Kedua matanya dipejamkan. Rupanya tengah melancarkan pernapasan dan pandang matanya yang nanar.

"Ah. Kui-ko, lihatlah mukamu!" seru Bi Giok. "Mukaku kena apa ?"

"Ai, sayang aku tak membekal cermin sehingga engkau dapat melihat gambar wajahmu yang penuh dengan tutulan gincu."

"Hai," teriak Wan-ong Kui terkejut seraya mengusap mukanya. Waktu memeriksa tangannya ternyata  tangannya berobah merah kena gincu, ''ah benar2 sakti sekali orang aneh itu.”

"Mengapa sampai hampir sekujur mukamu terhias tutulan gincu ? Bukankah pada waktu sekali terkena tutulan gincu, seharusnya engkau harus mengaku kalah?" Bi Giok agak menyesali Wan-ong Kui karena dianggap kurang sportief.

"Ah," akhirnya Wan-ong Kui menghela napas, "kalau aku tahu, sudah tentu aku akan berhenti dan mengaku kalah. Aku benar2 .tak merasa sama sekali."

"Luar biasa memang orang itu," seru Bi Giok, "tetapi mengapa dia melarikan diri? Apakah dia tak tahu kalau dia yang lebih unggul?"

Wan-ong Kui ge!eng2 kepala, "Aneh, memang benar2 aneh sekali orang itu."

Tak habis herannya kedua anakmuda itu atas gerak gerik pendekar Huru Hara. Jelas muka Wan-ong Kui penuh dengan tutulan gincu, tetapi mengapa Huru Hara malah yang melarikan diri. "Ya," akhirnya Wan-ong Kui terpaksa harus menghibur diri, "kata orang, dunia persilatan itu penuh dengan berbagai macam corak dan ragam manusia. Ada yang licik dan keliwat kejam. Ada yang baik dan berhati mulia tetapi ada yang aneh juga. Huru Hara itu termasuk jenis manusia aneh dari dunia persilatan.

"Kui-ko, bagaimana maksudmu sekarang” tanya Bi Giok.

“Terpaksa malam ini kita bermalam disini dan besok baru kita lanjutkan perjalanan lagi,” kata Wan-ong Kui.

===ooo==

II. Melamar.

Setelah berlari sampai beberapa saat, barulah Huru Hara berhenti, "Ah, sialan. Kalau kuladeni, aku bisa kecantol nanti," gumamnya seorang diri.

Teringat akan kedua anakmuda itu, ia berceloteh lagi, "Gila barangkali kedua pemuda itu. Yang gadis  mengatakan hendak mencari Blo'on dan akan tinggal bersama Blo'on. Dia mengaku calon isteri Blo'on. Calon isteri?"

Dia tercengang- cengang. Saat itu dia beristirahat duduk diatas segunduk batu. Ia berbangkit Idan berjalan mondar mandir kian kemari seperti sedang berpikir keras.

"Uh, Blo'on kan belum beiisteri? Eh, salah. Gadis itu mengaku sebagai calon isteri atau tunangannya. Ini juga salah," pikirnya, "kapan tia pernah melamar anak gadis orang?"

Tiba2 dia teringat akan cerita gadis cantik itu bahwa waktu mamanya mengandung, ayahnya sudah bersepakat dengan Kim Thian Cong untuk menjodohkan anak mereka apabila bayi dalam kaindungan itu keluar perempuan.

"Aneh sekali," gumamnya, "masakan bayi dalam kandungan sudah dijodohkan. Ya kalau bayi perempuan itu cantik, kalau cacad matanya! buta atau  tidak  punya  hidung atau lumpuh, apakah si Blo'on harus mau menerimanya sebagai isteri ? Eh, benar, dunia ini bukan berisi dua jenis manusia laki dan perempuan tetapi juga ada banci. Ya, kalau bayi dalam kandungan itu ternyati banci, celakalah Blo'on."

"Mengapa celaka ? Biar Blo'on menikahinya . .. . " tiba- tiba terdengar sebuah suara menyahut.

"Tidak bisa ! Mana ada orang mengambil isteri seorang banci bantah Huru Hara. Tiba-tiba ia berhenti dan terkesiap, "eh, suara siapa tadi ?"

Saat itu dia baru teringat, kata2 itu bukan dia yang mengucapkan. Dia mengeliarkan pandang ke empat penjuru tetapi tak melihat suatu apa.

"Ah, mungkin aku yang mengatakan sendiri "akhirnya dia menarik kesimpulan. Kemudian di melanjutkan renungannya lagi," orang2 tua itu memang seenaknya sendiri saja menjodohkan anak. Anak dipaksa menurut kemauan orang tua. Habis yang kawin itu si orangtua atau anak ?''

"Memang, anak harus menurut orangtua !" tiba-tiba suara itu terdengar pula, "habis, kalau anak tidak boleh nurut orangtua, apa orangtua yang harus nurut anak?"

"Ya, benar juga," sahut Huru Hara, "memang anak harus nurut orangtua. Eh, tidak, tetapi orangtua harus mengingat kepentingan anak juga. Kalau anak dipaksa kawin dengan orang yang tidak disukai anak itu, apakah itu bukan menyiksa anak namanya?"

Tidak ada jawaban.

"Eh, aku bertanya kepada siapa ini?" sesaat Huru Hara tersadar bahwa ada suara orang yang membantah perkataannya tadi. Dia lari kesana sini, loncat keatas batu karang, memandang jauh ke empat penjuru tetapi tak melihat barang seorang-pun jua.

"Apakah aku sudah gila?" akhirnya ia menampar-nampar kepalanya sendiri, "aku mendengar suara orang tetapi tak ada orang. Atau apakah aku sendiri yang bicara? Tetapi mengapa aku sendiri yang bicara? Tetapi mengapa aku tak merasa?"

"Ah, baiknya ganti pembicaraan saja, jangan tentang gadis itu tetapi tentang si pemuda bagus yang bernama Wan-ong Kui," katanya seorang iliri, "dia juga hendak mencari Blo'on tetapi dengan tujuan lain yalah hendak membunuh Blo'on. Kok aneh dunia ini. Yang satu hendak mencari Blo'on untuk menjadi isteri. Yang satu mencari Blo'on untuk dibunuh. Dan lebih lucu lagi, keduanya sama- sama seperjalanan. Bagaimana nanti kalau ketemu Blo'on, ya ? Mungkin pemecahan begini : Blo'on kawin dulu baru dibunuh. Atau dibunuh dulu baru kawin."

"Benar, benar, memang begitu.....," kembali terdengar suara itu lagi.

Kali ini Huru Hara tidak ragu2 lagi. Dia jelas sedang menutup mulut dikala suara orang itu terdengar berkumandang, "Jelas tentu orang lain, ia memastikan diri. Kini pandang matanya diarahkan keatas pohon2, barangkali orang itu bersembunyi diatas. Tetapi tetap tak bersua sesuatu. "Ah, mungkin setan yang menunggu aku ini, akhirnya ia tinggalkan tempat itu dan berjalan pesat menyusur jalan yang menuju ke kota Yang-ci.

Hari mulai terang tanah. Karena semalam  suntuk  berada di udara terbuka, Huru Hara agak dingin dan berulang kali dia harus buang air kecil.

"Celaka, mau kencing lagi," katanya terus menuju ke balik sebatang pohon besar dan membuka kran alias kencing.

"Hujan !" tiba2 terdengar suara orang berteriak kaget sehingga Huru Hara loncat mundur. Tempat dia kencing tadi, dibalik sebatang pohon besar. Karena cuaca masih gelap, dia tak peduli lagi apa yang berada disitu. Pokok dia dapat longgarkan perutnya. Sudah  tentu  dia  kaget setengah mati ketika mendengar suara orang berteriak hujan.

Memandang kearah tempat ia kencing tadi, saat itu muncul seorang mahluk kecil, mirip manusia tetapi cebol sekali. Tingginya hanya satu meter.

"Hai, hujan dari mana ini ? Mengapa mencurah deras terus cepat berhenti ?" teriak orang cebol itu.

Huru Hara terkejut. Ia mengenal nada suara orang itu seperti suara yang mengganggunya tadi. Tetapi belum sempat dia menghampiri, orang itu berteriak lagi, "Uh, kalau air hujan mengapa baunya lain ?"

Orang itu menciumi bajunya, mengusap kepala dan membaunya. Mukanya tak henti2nya menyeringai. Melihat itu Huru Hara tak dapat menahan gelinya, "Ha, ha, ha, ha

... . "

Orang cebol itu melonjak kaget, berputar tubuh dan membentak, "Siapa engkau !" "Hus, engkau bikin kaget aku, mengapa malah tanya namaku ? Engkaulah yang harus memberitahu namamu !" bentak Huru Hara.

"O, benar, benar. Kalau mau tanya nama orang, harus memberitahu namanya sendiri dulu," kata orang kate itu," tetapi nama mana yang engkau inginkan ?"

Huru Hara terbeliak, "Sudah tentu namamu yang sesungguhnya. Masakan engkau punya beberapa nama."

"Dua," sahut orang kate itu, "yang aseli dan yang baru." "Yang aseli saja," seru Huru Hara.

"Yang aseli sudah tidak laku di negeri ini bagaimana?"

"Lho, apa engkau bukan rakyat Tionggoan,” Huru Hara terkejut.

"Bukan, aku berasal dari Kolekok (Korea), negeri yang jauh dari sini."

"O, lalu mengapa namamu tak laku disini?” "Sukar mengeja, kata mereka."

"Coba engkau katakan bagaimana namamu itu."

"Ah, karena orang tak mau nama itu aku sendiri sampai lupa. Jangan cerewet, aku harus mengingat-ingat dulu," orang kate itu terus pejamkan mata merenung.

"Berhasil!" tiba2 orang kate itu berjingkrak gembira, "sekarang aku ingat. Namaku dulu Kyu Jae Kyu. Orang disini tertawa kalau mendengar nama itu maka merekapun mengganti dengan nama Lo Ay."

"Lo Ay? Ah, tepat, tepat, ha, ha, ha," Huru Hara  tertawa, "Ay artinya pendek dan ini sesuai dengan  potongan badanmu." "Tapi nama itu juga tidak laku," seru orang kate."

"Lalu  yang  laku  nama  yang mana?" "Sebetulnya itu nama gelaran tetapi malah laris bukan main."

"Edan barangkali si cebol ini," pikir Huru Hara lalu bertanya, "Siapa namamu yang terkenal itu ?"

"Cian-li-ji," kata orang kate itu, "seram ya?" "Apa artinya ?"

"Cian, seribu. Li, kilometer, ji telinga. Cian-li-ji, telinga yang dapat mendengar suara sampai sejauh seribu li."

"O," Huru Hira terkejut, "benarkan itu?"

"Tadipun sudah kulakukan," kata orang pendek itu, "waktu aku baru tidur, kudengar seseorang berkata seorang diri tentang seorang pemuda dan gadis yang hendak mencari seorang pemuda bernama Blo'on. Lantas kusahut saja ocehan orang itu."

Huru Hara mendelik, "Jadi yang mengganggu pembicaraanku tadi, engkau?"

"O, apakah yang mengoceh seorang diri tadi juga engkau

?" kala? Cian-li-ji.

Keduanya saling mendelik lalu saling tertawa geli. Huru Hara geli melihat "bentuk Cian-li-ji yang begitu kate. Sedang Can-li-jipun ngakak melihat bentuk potongan rambut Huru Hara yang mencuat keluar seperti sepasang tanduk.

Tiba2  Cian-li-jj  mendelik,  "Ha,   mengapa  rrngkau tahu kalau aku berada dalam lubang dibawah akar pohon itu ?"

"O," seru Huru Hara," aku kepingin buang air kecil, lalu aku kencing dibelakang pohon." "Hai, jadi hujan yang mencurah di kepalaku itu air kencingmu ?" tiba2 Cian-li-ji berteriak dai terus menerjang Huru Hara, duk .... auh . . Dia menjotos dada Huru Hara. Huru Hara terpental selangkah tetapi Cian-li-ji terpelanting mencelat sampai beberapa langkah.

"Aneh," gumam orang kate itu, "apakah engkau tadi balas memukul aku ?"

"Tidak."

"Lho mengapa engkau seperti memancarkan tenaga kuat mendorong aku ?"

"Tidak," sahut Huru Hara, "engkaulah yang memukul dadaku sampai aku kaget dan terdorong mundur."

"Engkau benar2 tidak membalas ?"

Huru Hara gelengkan kepala, "Tidak! Aku merasa bersalah karena mengencingi kepalamu. Tetapi benar2 aku tak sengaja. Kalau engkau mau membalas, silakan engkau mengencingi aku."

"Idih, malu," teriak orang kate itu, "sudah cukup kalau aku memukulmu tadi. Kita lunas, tidak saling berhutang."

"Bagus," seru Huru Hara, "mengapa engkau berada ditempat pegunungan sesepi ini ?"

"Ah, ceritanya panjang. Mari kita duduk di batu itu" Cian-li-ji terus menghampiri sebuah batu ditepi gerumbul pohon. Keduanya duduk.

"Aku mempunyai sejarah hidup yang panjang dan menarik. Aku ini seorang ponggawa istana raja Beng yang terakhir di Pak-khia."

"O, hebat juga engkau," seru Huru Hara, "engkau menjabat sebagai apa ?" "Mentri perkebunan istana."

"Hah ?" Huru Hara terbeliak, "baru sekali ini aku mendengar tentang pangkat semacam itu".

"Memang istimewa sekali," sahut Cian-li-ji dengan bangga, "ceritanya begini. Asal mulanya pada waktu baginda mengirim utusan ke raja Ko le-kok, raja Ko-le-kok telah menghaturkan buah ko-le-som kepada baginda. Baginda amat bersuka cita sekali setelah beberapa waktu merasakan kha siat buah som dari Ko-le-kok itu. Maka baginda mengirim utusan lagi untuk minta bibit tanaman  itu yang akan ditanam di istana.

"Disamping bangga karena mendapat pujian dari baginda dan untuk mengambil hati baginda, maka raja Ko- le-kok mengirim bibit unggul pohon itu beserta seorang ahli pemeliharaan tanaman som "

"Engkau ?" tukas Huru Hara.

"Ya," sahut Cian-li-ji, "aku diterima dengan gembira oleh seri baginda dan sejak itu aku diangkat sebagai juru kebun tanaman ko-le-som dengan pangkat mentri."

"O," desuh Huru Hara," kan enak tinggal di istana itu.

Tetapi mengapa engkau berkeliaran di tempat ini ?"

"Hus, tolol engkau !" teriak Cian-li-ji, "istanna kan diserang dan diduduki tentara Ceng. Baginda bunuh diri dan segenap keluarga raja dan menteri melarikan diri. Akupun demikian. Sebelumnya kucabuti semua tanaman ko-lesom itu sampai habis lalu aku melarikan diri. Karena takut ketahuan musuh, siang hari aku bersembunyi dan malam-hari baru melanjutkan perjalanan. Aku tak ahli arah sehingga tahu2 tiba ditempat ini. tertarik dengan hawa dan alam pegunungan disini yang indah, akupun menetap disini." "Dimana rumahmu ?"

"Aku menemukan sebuah terowongan di bawah pchon itu dan kujadikan tempat tinggal. Eh apa engkau lapar ?"

Belum sempat Huru Hara menyahut, orang kate itu terus lari dan menyusup kedaiam sarangnya. Tak berapa lama dia membawa seguci arak. Huru Hara terbeliak. Tanya lapar atau tidak, mengapa membawa hidangan arak, gerutunya.

"Nih, makanlah," Cian-li-ji memberi sebutil pil kepada Hura Hara. Huru Hara melongo, "eh bukankah engkau lapar?"

"Iya, tetapi masakan pil sekecil ini ?" bantah Huru Hara.

Orang kate itu tertawa, "Sudah bertahun tahun aku tinggal disini dengan hanya maka pil itu."

"Aku mempunyai resep warisan keluarga untuk membuat pil penahan lapar. Sehari makan satu butir sudah cukup. Sama dengan makan nasi sehari. Makanlah dan minumlah arak ini."

Huru Hara tak ragu2 terus menelan pil itu lalu minum arak. Kemudian dia menanyakan bahan pil pengganti makanan itu.

"Pil  itu  terbuat  dari  sari  buah  ko-le-som  yang berumur seratus tahun yang tumbuh diatas tanah."

"Tidak terpendam didalam tanah?"

"Tidak boleh," sahut Cian-li-ji, "harus yang keluar diatas tanah sehingga mendapat sari sinarnya matahari dan rembulan. Memang sukar untuk nencari buah ko-le-som semacam itu."

Dalam omong-omong itu Huru Hara sempat bertanya, "Beapakah umurmu?" "Entah, aku lupa. Eh, buat apa tanya umur? Dari dulu sampai sekarang aku juga tetap begini pada hal aku sudah merasa, hidupku itu lama sekali."

"Aku agak bingung menilai dirimu. Kalau mendengar sejarahmu, engkau tentu sudah tua. Tetapi kalau melihat wajahmu, engkau masih segar seperti lelaki berumur 40-an tahun."

"Apa? Empatpuluh tahun? Gila, aku sudah ikut keraton sejak baginda Beng yang pertama;"

"Mengapa engkau masih awet muda?"

"Tiap hari aku makan ko le-som dan tak memikirkan urusan dunia. Siang malam tak kuhiraukan, umurpun kubuangi semua.

"Orang edan," gumam Huru Hara dalam hati. Lalu dia bertanya pula, "masih ada tiga buah pertanyaan yang kuminta jawabanmu ..."

"Boleh, boleh," kata Cian-li-ji, "jangankan hanya tiga, tigapuluh sampai tigaratus pertanyaanpun aku sanggup menjawab!"

"Pertama, mengapa engkau begitu pendek^

"Kejadian itu begini. Waktu aku masih kecil antara umur lima tahun, aku memang nakal habis bermain aku pulang. Tetapi nasi tak ada, kedua orangtuaku juga pergi. Kulihat diatas meja terdapat buah kentang sebesar bayi. Karena lapar kumakan kentang itu sampai habis. Tetapi setelah itu aku terus pingsan. Engkau tahu apa yang kusangka kentang itu?"

Hutu Hara gelengkan kepala.

"Ternyata itu sebuah ko-le-som yang berumur ratusan tahun yang berhasil ditemukan ayah waktu mencari kayu di hutan. Lima hari lima malam aku pingsan. Badanku panas, keringat keluar seperti orang mandi. Hari keenam aku baru sadar. Saat itu kurasakan mataku terang, telinga tajam dan tubuh juga ringan dan tak kenal lelah. Tetapi celakanya badanku tak dapat tumbuh tinggi seperti orang biasa. Kawan2 mengejek aku si Kate.”

"Baik," kata Huru Hara, “'sekarang pertanyaan yang ketiga …."

"Salah, yang kedua!"

Huru Hara menerangkan bahwa pertanyaan kedua itu sudah terjawab juga dalam jawaban atas pertanyaan kesatu tadi. Tetapi karena Cian-li ji tetap ngotot, akhirnya Huru Hara bertanya juga, "Apa kepandaianmu? Siapa gurumu?"

"Aku tak punya guru. Kepandaianku yalah dapat mendengar suara oranng pada jarak jauh. Dapat memencarkan suara membikin bingung orang dan dapat berlari secepat angin"

Kepandaian itu engkau dapat karena makan ko-le-som sebesar -bayi yang berumur ratusan tahun itu?"

"Ya."

"Baik, sekarang pertanyaan yang ketiga. Apa engkau masih punya keluarga dan hendak kenanakah tujuanmu sekarang."

"Aku sudah sebatang kara, jauh sanak jauh kadang. Aku tak punya tujuan tertentu kecuali hanya menghabiskan sisa umurku dalam dunia ini.”

“Ya, sudah," kata Huru Hara, "nah, sekarang tidur saja di sarangmu. Aku hendak melanjutkan perjalanan."

"Tunggu!” teriak Cian-li ji seraya memegang baju Huru Hara ketika Huru Hara hendak berangkat, "engkau sudah mengajukan tiga pertanya kepadaku. Sekarangpun engkau harus menjawab tiga buah pertanyaanku. Itu baru adil."

"Hm, baiklah."

"Pertama, siapa namamu?"

"Loan Thian Te aiias Huru Hara."

"Engkau sudah kawin atau belum dan hendak kemana saja engkau ini?"

"Aku masih bujangan dan sekarang hendak berkunjung ke tempat jenderal Ko Kiat melamar pekerjaan."

"Kalau begitu, aku ikut engkau saja." "Lho, itu bukan pertanyaan!"

“Biar, pokoknya aku ikut engkau. Jangan kuatir, aku takkan minta makan engkau. Aku punya simpanan pil penahan lapar. Engkau dapat suruh aku kerja apa saja, aku tak minta gajih."

Huru Hara tertawa, "Mengapa engkau suka ikut aku?" "Engkau jujur dan lucu."

"Uh," Huru Hara menyeringai, "berapa umurmu?"

"Sudahlah, panggil saja aku paman dan kuanggap engkau sebagai keponakanku. Mari kita berangkat!" Cian-li ji terus menggandeng tangan Huru Hara diajak berjalan. Apa boleh buat, Huru Hara terpaksa menurut.

Mereka menuju ke kota Yang-ciu tempat kediaman jenderal Ko Kiat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar