Pendekar Bloon Cari Jodoh Jilid 02 Satai tikus

Jilid 02 Satai tikus

Puing2 atap dan keping2 kayu lapuk, ranting dan daun2 kering yang gugur merupakan pemandangan dari pagoda yang pernah menjadi kebangaan rakyat di kota Su-ciu selatan.

Pagoda itu juga pernah mempunyai nama yang cemerlang yakni Sui-kong-tha atau pagoda Cahaya Indah. Terdiri dari tujuh tingkat. Pernah menjadi tempat yang ramai dikunjungi orang.

Tetapi kini keadaan pagoda itu sudah bobrok. Tingkat yang teratas sudah ambruk. Dan sejak terdengar kabar angin bahwa di tingkat ketujuh dari pagoda itu muncul seorang mahluk siluman, orangpun takut untuk datang. Jangankan malam, siang haripun sunyi sekali.

Tetapi hari ini datanglah seorang pengunjung yang aneh.

Orang itu duduk santai di halaman pagoda. Kalau tidak dipandang dengan teliti, mungkin dikira sebuah patung penghias pagoda itu.

Umurnya masih muda sekali, paling banyak baru 20-an tahun. Wajahnya sih lumayan walau pun tak pernah dirawat. Tetapi pakaiannya kumal2 dan kotor. Eh, dia pakai penutup kepala dari kain. Modelnya seperti seorang pendekar kesiangan.

Yang lebih aneh lagi adalah rambutnya. Biasanya kalau sudah ditutup dengan kopiah atau kain penutup kepala, tentulah rambutnya tak kelihatan. Tidak demikian dengan orang aneh itu. Kain penutup kepalanya berlubang dua, kanan kiri diatas dahinya. Dan dari kedua lubang itu menonjol keluar sepasang rambut mirip kuncir, mirip tanduk. Sepintas pandang dia tentu dikira seorang pengemis.

Disampingnya terletak sebuah tongkat pendek. Tongkat itu menggeletak tak bergerak di tanah. Tetapi orang  itu lebih tak bergerak dari tongkatnya. Dia benar2 seperti sebuah patung atau manusia yang jadi patung.

Mungkin dia sudah cukup lama duduk mematung di halaman pagoda itu. Entah siapakah dia dan apakah gerangan maksudnya duduk di halaman pagoda tua yang sunyi seperti kuburan itu.

Sedemikian rupa orang aneh itu duduk mematung sehingga seekor tikus tak tahu kalau dia itu seorang mahluk hidup dan berani menghampiri bahkan merayap ke tubuhnya.

Pada saat berada dikaki orang itu, tikus berhenti sejenak dan memandang keatas. Rupanya binatang itu cerdik juga. Dia hendak memastikan apakah benda yang hendak dirayapi itu, manusiakah atau patung. Mungkin tikus itu juga heran. Sebagai tikus dia tentu juga numpang tinggal di rumah orang dan tentu sering melihat bangsa manusia.

Tentulah tikus itu berpikir, "Ah, menilik mukanya, ini seperti manusia tetapi mengapa diam seperti patung ?"

Rupanya tikus itu juga sering berkeliaran atau bahkan penghuni dari pagoda tua itu sehingga dia faham juga apa yang disebut arca atau patung.

Setelah bercuit-cuit seperti untuk memastikan dugaannya, karena kalau manusia tentu akan segera berteriak atau bergerak memukul apabila mendengar suara tikus bercuit, maka ia tentu sudah menarik kesimpulan, "Ah, jelas ini bukan manusia. Atau kalau manusia tentu manusia yang sudah mati. Takut apa ?"

Dengan penilaian itu maka si tikuspun mulai berani merayap naik. Mungkin karena yakin orang itu kalau bukan patung tentu seorang manusia mati, tikus itu legah hatinya.

Rupanya sudah lama tikus itu tak berjumpa dengan manusiau atau patung manusia. Karena sejak bertahun- tahun pagoda itu tak pernah d kunjungi orang. Patung2 pun rusak dan hancur. Kali ini rupanya dia hendak memuaskan noltalgia atau kerinduannya terhadap bangsa manusia.

Karena tiada makanan, kawanan tikus di pagoda itu sering ngluruk mencari makan ke rumah penduduk yang tinggal jauh dari tempat itu. "Uh bangsa manusia memang jahat. Jangankan ia memberi, bahkan sisa2 makanan mereka saja kalau kita makan, mereka ngamuk. Pada hal tuh ada beberapa orang yang tinggal di rumah gedung besar, gudangnya penuh dengan beras. Dia gemuk isteri dan anak2nyapun gemuk, anjing dan kucingnya juga gemuk. Tetapi bujang2nya kurus2. Aneh mengapa orang kaya itu lebih menyukai binatang peliharaannya anjing dan kucing, daripada terhadap bujang-bujangnya ? Bukankah bujang dan pelayan itu juga bangsa manusia seperti dia ?"

Demikian kawalan tikus itu mengadakan rapat untuk mengatur langkah bagaimana mengatasi bahaya kelaparan yang mengancam mereka. Mereka memutuskan karena pagoda sudah tak ada makanan, maka harus berburu mencari makan ke rumah penduduk. Mereka memecah diri menjadi beberapa kelompok untuk masuk kota. Waktu pulang mereka berkumpul lagi menceritakan pengalaman masing2. Diantaranya tentang keadaan seorang tuan tanah kaya yang dikatakan lebih suka anjing dan kucingnya gemuk dari padra bujang-bujangnya.

"Kita serbu saja manusia semacam itu," kata seekor tikus yang masih muda.

"Serbu sih boleh saja," kata tikus yang tua, "tetapi bagaimana dengan kucing2 itu ?"

"Tak perlu takut," kata seekor tikus jantan yang bertubuh besar, "kucing2 itu sudah gemuk, mereka tentu tak ingin makan kita lagi. Kalau kucing2 itu berani mengejar kita, kita lawan saja. Asal tikus bersatu, masakan kucing berani. Kucing orang kaya tentu tak berani mati karena hidupnya enak "

Demikian terjadi penyerbuan kawanan tikus ke rumah orang kaya itu. Memang panik orang kaya itu tetapi dia dapat menyuruh orang mengadakan pembasmian. Akhirnya banyak tikus yang mati. Sejak itu kawanan tikus di pagoda yang jumlahnya tinggal sedikit itu tak berani lagi mengatakan petualangan yang berbahaya.

Kembali kepada tikus yang tengah merayap di pangkuan orang aneh itu. Dia termasuk tikus yang jarang melihat manusia dan. sudah mendapat pelajaran dari tikus2 tua tentang peristiwa serbuan ke gedung orang kaya, "Kalian harus ha-ti2. Jumlah kita hanya tinggal sedikit, jangan sampai habis mati semua," kata tikus tua itu.

Tikus itupun hati2 sekali. Setelah mencicit, diapun mendengus-dengus untuk membau, "Uh, baunya apek seperti aku," pikirnya "tentu bukan manusia hidup."

Dia gembira sekali. "Kali ini aku hendak memuaskan hati untuk menjelajah tubuh manusia. Kawan2 mengatakan belum pernah menyentuh tubuh orang karena begitu melihat tikus kalau orang itu perempuan, dia menjerit. Tetapi kalau orang lelaki tentu terus menggebuknya. Tetapi kali ini aku mendapat kesempatan. Akan kuberitakan kepada kawan2ku, bagaimana sebenarnya perut, dada, leher dan muka manusia itu. Mereka tentu kagum dan memuji aku ," pikir tikus itu.

Biasanya tikus tentu merayap dari samping entah dari lengan lalu ke bahu, entah dari punggung terus ke kepala. Tetapi tikus itu sengaja hendak melakukan penjelajahan yang istimewa. Dia merayap melalui perut, dada lalu muka orang aneh itu.

Waktu tikus itu merayap ke perut, orang itu menyeringai menahan geli. Untung tikus tak melihatnya, "Ah, betapa besar dan luas perut manusia itu," kata si tikus. Kemudian timbul pikirannya, "kata para tikus tua, daging manusia itu juga enak. Ya, mengapa tak kurasakan sekarang? Sekalian dapat kuketahui bahwa orang ini masih -hidup atau sudah mati. Kalau masih hidup tentu berdarah " "Aduh mak . . . , " orang aneh itu menjerit dalam hati ketika perutnya dikerikiti tikus itu. Rasanya sakit2 keri, lebih keras dari orang yang digigit semut. Orang aneh itu menyengir seperti kuda tertawa, hatinya seperti dikitik-kitik.

"Ini pengalaman baru. Rasanya orang di seluruh dunia ini tentu belum tahu rasanya bagai mana kalau perut dikerikiti tikus. Biarlah, aku memang hendak mencari pengalaman yang manusia belum pernah merasakan," akhirnya ia menghibur diri dan menguatkan hatinya untuk menahan siksaan itu.

"Ih, mengapa keras sekali?" tikuspun heran ketika mendapatkan perut orang aneh itu keras sekali.

Tikus tak tahu apa sebabnya. Bahkan orang itu sendiri juga tak mengerti apa sebabnya gigi tikus yang tajam itu tak dapat melukai perutnya. Dia hanya merasa keri lalu menyeringai dan kencangkan perutnya, eh, tahu2 perutnya menjadi sekeras batu. Sebenarnya hal itu hanya dapat dilakukan oleh seorang tokoh silat yang memiliki ilmu tenaga-dalam yang sakti. Tetapi anehnya, orang aneh itu tak merasa memiliki ilmu tenaga- dalam. Rupanya tikus itu bosan. Dia lalu merayap naik lagi keatas, sampai ke bagian dada. Tiba2 ia melihat segunduk benda yang menonjol, ujungnya mrentil kecil sebesar kedelai, "Kaya puncak pagoda," pikirnya.

Tertarik ingin tahu apa benda itu,  tikuspun menghampiri, "Ya, mungkin ini biji kedelai juga, pikirnya pula lalu mulai digigitnya.

"Aduh mak . . . . " orang aneh itu menjerit dalam hati ketika puting buah dadanya digigit si tikus bengal itu. Kali ini rasanya lebih sakil dari waktu perutnya dikerikiti tadi. Ingin rasanya dia menampar tikus itu. Ingin rasanya dia terus melonjak bangun. Tapi pada lain saat, dia teringat, "Kali ini Liok sumoay menganjurkan aku supaya keluar ke dunia persilatan untuk merebut sebuah kitab pusaka yang amat penting sekali. Kalau kitab itu sampai jatuh ke tangan orang jahat, dunia persilatan pasti akan kiamat. Tugas itu penting tetapi penuh bahaya sekali. Nah, kalau puting susuku digigit tikus saja aku tak tahan, mana aku dapat menghadapi bahaya di medan pertempuran?"

Dengan pemikiran itu dia menggigit gigi sekencang- kencangnya untuk menahan derita sakit yang tiada kepalang, "Pengalaman ini juga istimewa. Orang dalam dunia tentu tak ada yang pernah mengalami, membiarkan puting susunya digigit tikus," pikirnya pula.

Aneh tapi nyata. Begitu orang aneh itu mengeraskan hati untuk menahan sakit, tikus itupun terkejut - karena mendapatkan puting susu orang itu kerasnya bukan main, seperti besi. Gigi dan taringnya yang tajam terasa kesakitan, "Ah, keras, tak enak lagi," pikir si tikus lalu hentikan gigitannya.

Dia terus merambat ke leher, "Mati aku," keluh hati orang aneh dan hampir saja dia tak kuat menahan gelinya.

"Eh, apa-apaan ini? Kok ada benda seperti buah kelengkeng. Apa saja isinya? Mungkin enak," pikir si tikus lalu mulai menggigiti.

"Aduh pak , " orang aneh Itu menjerit dalam hati. Ia

ingin cari variasi. Tak mau menyebut “aduh mak” tetapi 'aduh pak '. Tak adil kalau hanya mak saja yang disambati. Pak, seharusnya juga menerima keluhan.

Ternyata yang digigiti si tikus itu adalah jakun atau buah kerongkongan (kalamenjing) orang itu. Kali ini mau tak mau orang aneh itu harus menelan airliur sehingga jakunnya mondar-mandir turun naik. Melihat itu tikus makin gembira. Dikiranya dia mendapat permainan yang lucu. Maka diapun menubruk ke atas, menerkam ke bawah."

"Tikus keparat! Masakan kalamenjing dibuat main bola," orang aneh itu tak kuat lagi menahan siksa geli dan sakit. Dia hampir gerakkan tangannya tetapi tiba2 lain pikiran melintasi pula, *'huh, mau jadi pendekar segala! Kalamenjing digigit tikus saja sudah tak tahan, pendekar apa itu?”

Dia mengangguk dalam hati, "Mungkin beginilah cara seorang pendekar itu digembeleng. Dan lagi memang pengalaman ini tentu tak pernah dialami orang di dunia kecuali aku."

Dia terus mengertek gigi untuk memperkencang lehernya, menahan sakit. Eh, lagi2 terjadi. Begitu dia keraskan hati dan kencangkan urat, tikus itupun segera berhenti menggigit. Seperti waktu menggigit perut dan puting susu, kali ini tikus itupun tak dapat menggigit kalamenjing orang aneh itu karena tiba2 kalamenjing itu berobah sekeras batu.

Tikus itu merayap lagi keatas lagi. Kali ini dia melihat sehelai benda yang lebar seperti daun, "Eh, kok ada liang seperti gua kecil. Akan kulihat, kalau memang sesuai, akan kujadikan sarangku," pikir si tikus. Dia terus menghampiri benda lebar itu.

"Aduh, kong . . . , " kembali orang aneh itu merintih kepada engkongnya. Tikus itu merayapi daun telinganya dan huh, kurang ajar benar.

Orang aneh itu hampir menjerit ketika kumis tikus menusuk lubang telinganya. Memang tidak sakit tetapi kerinya bukan kepalang. Rasa geriming yang menggetarkan uluhatinya menyebabkan ia mengerahkan tenaga untuk menahan dan eh, aneh, tahu2 daun telinganya itu dapat mengatup sendiri. Bukan hanya mengatup biasa tetapi seperti menampar si tikus sehingga binatang kurang ajar itu menyurut mundur dan lari ke pipinya. Tikus jtu juga terkejut dan kesakitan.

Setelah berhenti sejenak, tikus itu tampaknya melihat dua buah benda yang aneh bentuknya pada muka orang aneh itu.

"Kok seperti lemari rebah. Tetapi mengapa diatas lemari rebah itu terdapat rumput kecil2 dan sebatang pohon," pikir tikus nakal itu seraya melayap menghampiri.

"Mungkin dalam lemari rebah ini masih ada sisa makanan," kata si tikus sendiri dan dia coba2 hendak membuka lemari rebah yang terkancing rapat itu.

"Bangsat, mengapa dia menyingkap-nyingkap bibirku," orang aneh itu bersungut-sungut dalam hati, "uh, kurang ajar, dia mengkerikiti gigiku, aduh, aduh, linunya "

Ternyata tikus itu memang menyingkap bibir orang aneh itu dengan moncongnya yang runcing. Setelah tersingkap dia lalu menggigit gigi orang itu, "Wah, lumayan, masih ada sisa tulang ayam , " kata tikus itu.

"Wah, celaka, kalau kubiarkan, bisa ompong nanti gigiku," orang aneh itu akhirnya menggertek gigi kencang2 untuk menahan gigitan si tikus.

"Setan," gerutu si tikus, "masa tulang ayam kerasnya begini rupa. Ah, mungkin batu nih."

Tikus itu hentikan gigitannya. Ketika memandang keatas, ia terkejut, "Lho, mengapa di bawah akar pohon itu terdapat dua buah liang. Tetapi mengapa liang itu kecil? Liang semut barangkali?" Namun tikus itu ingin melihat juga. Ia naik keatas mulut, "Lho, ini juga aneh, mengapa semak rumput ini berwarna hitam? Coba kurasakan bagaimana rasa rumput hitam itu

.... "

Ternyata yang dimaksud dengan rumput hitam itu tak lain adalah kumis orang aneh yang tumbuh pendek.

"Aduh, aduh memang sialan tikus ini," orang aneh itu

menyengir seperti muka setan waktu kumisnya yang pendek itu ditarik-tarik mulut tikus. Sakit2 pedas rasanya. Serentak ia kencangkan mulut untuk menahan rasa sakit. Eh, tikus itupun terus berhenti.

"Lho, kalau rumput mengapa keras begini rupa. Ini mirip kawat, sialan . . . ," tikus itu menyumpah-nyumpah dan hentikan gigitannya. Ia menengadah memandang keatas, "Ih, silir sekali, lubang itu mengeluarkan angin," katanya.

Ia merayap naik dan merasa makin silir, "Uh, mengapa anginnya berbau tak enak?" katanya pula, "o, mungkin didalam liang itu terdapat ikan atau makanan. Akan kumasuki "

Ia terus menyusupkan moncongnya kedalam lubang hidung orang aneh itu. Sudah tentu kepalanya tak dapat masuk namun tikus itu masih berusaha untuk memutar- mutar kepalanya agar dapat masuk. Tetapi yang masuk bukan muka melainkan kumisnya. Dan karena kumis tikus itu diputar-putar maka . . .

"Ah . . ah . . ah . . jingngngngng . . Mana tahaaannn       !

"

Lubang  hidung  itu  memang  peka  sekali.  Betapapun

orang aneh itu berusaha untuk menahan pernapasan tetapi karena  lubang  hidung  dikili-kili  dengan  kumis,  buyarlah pertahanan napas orang itu. Bagaikan gunung meledak maka diapun ber-bangkis sekuat-kuatnya.

Jika orang biasa yang berbangkis, paling2 tikus itu tentu akan terkejut atau terpelanting jatuh. Tetapi orang aneh itu memang luar biasa. Angin dan air hidung yang dimuncratkan, luar biasa sekali. Tikus itu meraya seperti dilanda oleh badai prahara yang dahsyat. Dia mencelat sampai beberapa meter terbanting di tanah dan tak berkutik lagi.

Pemuda Wan-ong Kui dan gadis cantik Han Bi Giok menyaksikan peristiwa itu di tempat persembunyiannya. Berulang kali Bi Giok hampir tertawa tetapi untung mulutnya didekap oleh Wan-ong Kui. Tetapi ketika melihat adegan yang terakhir dimana hidung orang aneh itu dikili- kili kumis tikus dan berbangkis, Wan-ong Kuipun tertawa. Tetapi secepat itu pula Bi Giokpun mendekap mulutnya. Dengan demikian tanpa disadari, kedua muda mudi itu telah saling berdekapan mulut.

Mereka saling memandang dan tersipu-siput saling melepaskan dekapannya, "St, Giok-moay, jangan tertawa, lihatlah dia sudah pasang kuda-kuda lagi," bisik Wan-ong Kui.

Ternyata orang aneh itu merangkak, untuk mengambil tikus yang sudah mati itu lalu ditaruhkan dibelakang. Disitu sudah terdapat lima ekor tikus mati. Rupanya orang aneh itu memang sedang berburu tikus. Tetapi aneh, mengapa berburu tikus harus dengan mematikan diri seperti patung? Demikian timbul pertanyaan dalam hati Bi Giok dan Wan ong Kui.

"Buat apa berburu tikus? O, apakah dia seorang pengemis yang kelaparan?" Bi Giok dan Wan-ong Kui saling berpandangan. Mereka tak berani bicara dengan mulut melainkan dengan

pandang mata.

Mereka duga beberapa tikus itu tentu didapati orang aneh dengan cara yang lucu. Diam tertariklah perhatian Bi Giok dan Wan-ong Kui untuk menyaksikan gerak gerik orang aneh itu.

Kembali orang aneh itu duduk mematung Tak berapa lama. dari arah pagoda muncul seekor tikus. Tikus itu berlari-lari

menghampiri siorang aneh. Rupanya tikus itu memang bangsa tikus cross-boy. Maklum, jaman kemajuan. Bukan hanya manusia saja yang maju tetapi binatangpun mengalami evolusi dan proses kemajuan. Siapa tahu besok tikus itu akan sebesar kucing dan berbalik kucing yang takut pada kucing. Tikus tidak disukai manusia dan diuber-uber. Tentu mereka akan selalu meningkatkan daya pertumbuhan fisik (ba dan) dan mentalnya untuk hidup. Tidak demikian dengan kucing yang disayang dan dimanjakan orang, Badan gemuk, malas dan tumpul mentalnya.

Tikus yang berlari-lari itu selekas tiba dibelakang si orang aneh, tidak seperti tikus yang tadi masih bersikap hati2 untuk melihat, mencici dan mencium bau orang aneh itu, tikus yang datang ini tanpa banyak upacara lagi, terus lonca dan hinggap di tengkuk orang aneh.

"Aduh, mati aku....., " orang aneh itu menyeringai kesakitan setengah mati ketika tengkuknya digigit si tikus. Dia meregang dan menghimpun kekuatan untuk menahan kesakitan. Eh tahu2 tikus itu berhenti menggigit. Dia menyeringai, "Aneh, kerasnya seperti batu," kata tikus itu.

Tikus itu terus merayap keatas kepala, "Aha, pohon cemara yang rindang," serunya dengan gempita lalu melompat menggigit rambut yang menon jol keluar dari lubang kain penutup kepala orang aneh itu. Kiranya yang disangka pohon cemara itu tak lain adalah rambut aneh dari orang itu.

"Tikus bangsat....!" orang aneh itu menjerit dalam hati ketika tikus itu tepat hinggap di atas hidungnya.

"Karena yang diterkam ujung rambut, maka ia telah berhasil menggigit ujung rambut siorang aneh, ujung rambut yang diganduli tikus itupun segera menjuntai kebawah sehingga badan tikus itupun ikut nemplok di gunduk batang hidung orang itu.

Saat itu dia benar2 sudah tak tahan lagi untuk segera menampar tikus berandalan itu. Tetapi pada lain saat dia teringat, "Ho, engkau mau ingkar pada sumpahmu ? Bukankah tadi waktu engkau hendak berburu tikus, engkau sudah bersumpah tak mau membunuh dengan tangan dan senjata tajam ? Hayo, jangan mungkir . . . ! "

"Bangsaaaat. !" kembali dia memekik dalam hati ketika

batang hidungnya terasa "basah dan dialiri air. Waktu singgah dekat lubang hidung, aduh-duh, baunya apek sekali.

"Rasain lu, ini gara2 ingin menjadi pendekar besar, sampai2 muka dikencingi tikus," diam2 dia mengejek dirinya sendiri. Dan serentak, dia teringat akan pendiriannya pada waktu mulai hendak mengadakan perburuan tikus, "Aku lebih besar dan lebih hebat segala- galanya dari tikus. Kalau aku membunuhnya dengan tangan dan senjata, sudah tentu menang. Tapi itu tidak adil dan tidak pantas dilakukan oleh seorang pendekar besar. Aku harus berani bersumpah untuk membunuh tikus tanpa menggunakan tangan dan senjata. "

Apa boleh buat, dia harus terima nasib. Sudah bersumpah harus dituruti, pikirnya.

Tiba2 ia rasakan tikus yang masih nempel di batang hidungnya itu mulai bersiap-siap, "Eh rupanya dia hendak melonjak keatas lagi. Mungkin hendak menubruk rambutku lagi. Celaka kalau dia benar hendak menerkam ujung rambut! dia tentu akan terayun kebawah lagi dan uh, uh  kali ini batang hidungku, tetapi bagaimana nanti kalau sampai biji mataku yang di tempeli kakinya. Dan idihhh .. .

kalau dia sampai terkencing-kencing lagi, celaka mataku !"

Setelah bercuit-cuit, tikus kurang ajar itu ayunkan tubuh loncat ke atas. Memang benar dugaan orang itu. Tikus itu hendak menerkam untaian rambut yang disebelah kanan. Tadi gandulan yang sebelah kiri, kini tikus itu hendak mencoba yang sebelah kanan.

Orang aneh itu kerahkan semangatnya dan pikirannyapun menghendaki agar rambutnya berobah keras dan tegak kaku agar tikus itu jangan sampai terayun kebawah lagi.

Cit, cit, cit, ciiiiittttt .... ciiiiitttt . . . Tikus itu mencicit sekeras-kerasnya ketika ia meloncat dan menerkam ujung rambut orang itu dan tahu2 tertancap diujung rambut. Ternyata rambut orang aneh itu tiba2 berobah sekeras kawat berduri yang tajam sehingga tikus itu seperti terpanggang.

Orang itu terkejut ketika tikus berhenti bercicit. Dan tiba2 rambutnyapun melemas, tikus terjatuh bergelundungan menghantam dada dan jatuh tepat dimukanya, mati !

"O, bukan salahku kalau engkau mati tikus” kata orang aneh itu seraya menjemput tikus yang sudah mati itu. Waktu memeriksa, dia berseru, “Ai, kasihan engkau. Mukanya hancur lebur seperti tertusuk beribu jarum "

Kali ini dia berbangkit dan mengumpulkan tikus hasil perburuannya, "Ah, sudah cukup, sudah genap tujuh ekor."

Dia terus membawa tujuh ekor bangkai tikus itu ke belakang pagoda, Disitu terdapat sebuah aliran sungai kecil. Setelah dikuliti, tikus2 itupun dicuci bersih. Ia membuat tujuh batang tusuk untuk menusuk tujuh ekor tikus itu.

Kembali ke halaman pagoda, ia mengumpulkan rumput, daun, ranting kering dan keping2 kayu lalu membuat api. Ketujuh tusuk satai tikus itu dibakarnya. Ternyata dia hendak membuat sate bakar tikus.

"Huak bau satai tikus yang bertebaran keempat penjuru itu, sempat juga mencapai tempat persembunyian Bi Giok. Nona itu mual dan terus hendak muntah, untung mulutnya cepat didekap lagi oleh tangan Wan-ong Kui. Ia mengambil sebutir pil dan dimasukkan kedalam mulut nona, "makanlah obat penolak muntah ini."

Eh, rupanya orang aneh itu hendak disampingnya, mengeluarkan beberapa cawan arak dan di jajar2 berkeliling setiap cawan dengan lain cawan berjarak satu langkah.

"Ih, kalau mau pesta sendiri mengapa di menyediakan delapan cawan arak ?" bisik Bi Gioi

"Entahlah, kita lihat saja," bisik Wan-on Kui.

Selesai menjajar cawan arak, dia mengambil poci arak dan diletakkan dihadapannya. Eh, rupanya dia memang membawa persediaan lengkap. Diambilnya piring besar dan sebotol kecap, bawang dan berambang merah. Lebih dulu mengambil ketujuh tusuk sate tikus, ditaruh dalam piring.

Kepala dan isi perut tikus sudah di potong dan dibersihkan sehingga benar2 berupa hidangan sate bakar. Lalu dituangi kecap, bawang dan berambang merah  dikupas dan diiris-iris. Asyik benar, seperti seorang pedagang sate yang berpengalaman.

Ia mengambil setusuk sate yang sudah berlumuran kecap lalu digigitnya sedikit, "Wah, enak llhooo ..,!"

Setelah selesai dengan kesibukannya mengatur pesta perjamuan, ia menengadah memandang ke langit, "Huh, rembulan sudah keluar, mengapa para tetamu itu masih belum datang ?"

Tiba2 dari belakang pagoda terdengar suara tawa yang parau, "Heh, heh, sudah sejak tadi aku datang kemari!"

Sesosok tubuh muncul dari belakang pagoda dan  berjalan menghampiri ketempat orang aneh itu.

Ditingkah sinar rembulan yang terang, dapatlah diketahui bahwa pendatang itu seorang lelaki tua bertubuh kurus. Memakai kain penutup kepala, berjubah kelabu, rambut alisnya jarang dan mata sipit. Dahinya penuh keriput. Dia berlarian dengan membawa sebatang tongkat yang aneh, terbuat daripada kayu pohon cendana.

Perawakan, wajah dan gaya lelaki itu memberi kesan bahwa dia seorang setan arak yang sedang ketagihan minum."

Orang aneh itu tak terkejut, pun tak menghiraukan. Dia masih enak2 mencampur sate dengan bumbu kecap seraya berseru, "O, engkau Kolera-tua ?" Lelaki tua itu tertawa mengekeh, "Ya." "Duduklah."

Kembali lelaki kurus tua itu tertawa mengekeh dan duduk di 'meja perjamuan'. Waktu melihat di tanah telah dijajar delapan cawan arak, dia bertanya, "O, apakah masih ada lain tetamu yang engkau undang ?"

"Hm," dengus orang aneh itu.

Lelaki tua menyeringai sehingga giginya yang kuning tampak merekah, "Kukira engkau hanya mengundang aku seorang. Lalu siapakah yang enam orang itu?"

"Kawan-kawanmu."

Lelaki tua gelengkan kepala, "Aku tak punya kawan." "Mereka sama dengan bidang pekerjaanmu. Warna  pilih

warna,  kelompok  berkumpul  dengan  kelompok.  Burung

gagak disini, juga sekawan dengan gagak dari lain daerah." Wajah lelaki tua itu  agak  berobah,  serunya, "Siapakah. "

“'Manusia-pemakan-serigala Sebun Pa, Landak besi Ma Hiong, Im pohpoh, Ang-hay-ji, Harpa-asmara Hoa Lan Ing dan paderi Gemar-segala-apa," sahut orang aneh itu.

Kolera-tua kerutkan dahi, "Apakah mereka mau datang?" "Seperti engkau, mereka pasti datang."

Kolera-tua deliki mata berseru, "Bagaimana engkau dapat memastikan kalau aku tentu datang?"

"Apa sebab engkau mau datang?" orang aneh itu balas bertanya.

"Aku telah menerima sepucuk undangan dari seorang kerucuk tak ternama. Tetapi dia memakai nama yang menarik perhatian. Timbul keinginanku untuk mengetahui, siapakah dia. Oleh karena itu aku perlukan datang kemari."

"Tepat," seru orang aneh itu, "merekapunn tentu juga tergelitik hatinya untuk mengetahui. Seperti engkau,  mereka tentu akan datang tepat pada waktunya."

Lelaki tua yang bergelar Kolera-tua itu muIai menatap wajah si orang aneh dengan penuh perhatian, kemudian bertanya, "Siapa namamu?"

"Nama atau alias?" "Nama."

"Loan Thian Te." ( noot : Te, huruf e supaya dieja seperti e dalam kata ‘ekor ' )

"Loan Thian Te?" ulang Kolera-tua. "Hm."

"Apakah ada she Loan itu?"

"Semua she, memang sebelumnya tidak ada lalu diadakan. Semua buatan manusia."

"Apa artinya Loan?" "Kacau atau mengacau."

"Gile," gumam Kolera-tua, "masakan orang memakai she begituan."

"Habis mau apa kalau sudah kodrat." "Thian tentu berarti langit, bukan?" "Ya."

"Dan Te tentu berarti bumi?" "Benar." "Thian Te berarti Langit dan Bumi atau dunia." "Orang setua engkau masakan tak mengarti Thian Te." "Lalu kalau Loan Thian Te itu dirangkai artinya "

"Dunia kacau atau Mengacau dunia, terserah pilih mana."

"Hm, edan," gumam Kolera-tua, "masakan orang bernama begitu."

"Kolera-tua itu apa juga nama yang lumrah.” "Itu kan gelar."

"Aku juga punya gelar."

"Engkau tadi mengatakan alias, sekarang bilang gelar.

Mana yang betul?"

"Dua-duanya betul. Gelarku ya aliasku, liasku ya gelarku."

"Siapa gelar atau aliasmu?" "HURU HARA."

''Hus, jangan gila-gilaanl" bentak Kolera-tua, "apa-apaan gelar kok Huru Hara. Siapa yang memberi?"

"Aku sendiri. Terserah orang mau mengakui atau tidak." "O, engkau menamakan dirimu Pendekar Huru Hara." "Ya.  Sebenarnya  hanya  Huru  Hara  saja.  Tetapi  kalau

orang  mau  memberi  tambahan  kata  Pendekar,  terserah.

Yang penting gelar itu sesuai sebagai alias dari namaku yang aseli."

"Coba katakan alasanmu, mengapa engkau memakai gelar Huru Hara?" "Dunia kacau, negara timbul huru hara. Aku ingin tenang, ingin kedamaian, pun dikejar huru hara. Daripada dikejar huru hara dari penjajah Ceng dan kawanan penjahat, pengacau dan perampok, lebih baik aku membuat huru hara untuk mengejar mereka."

"Perlu apa engkau mengundang aku?"

"Demi memperlengkapi sarana berhuru-hara itu maka kuundang kalian Tujuh-momok-pembunuh untuk membantu usahaku."

"Aku seorang pembunuh bayaran yang mahal.

Kemungkinan engkau tak kuat membayar permintaanku." "Belum tentu," sahut orang aneh.

"Kolera hanya memandang uang, bukan orang." "Belum tentu," sahut orang aneh.

"Lho. mengapa engkau mengatakan begitu. Coba katakan apa maksudmu mengundang aku?"

"Sabar dulu. Tunggu setelah kalian bertujuh lengkap, baru kukatakan."

"Hm," Kolera-tua mendengus. Tiba2 matanya tertumbuk pada sate bakar yang berada dalam panggang, "Apa itu?" tegurnya.

"Hidangan sate bakar." "Satai apa?"

"Tikus."

"Edan engkau," seru Kolera-tua, "engkau hendak menjamu tokoh2 besar yang engkau undang itu dengan satai tikus?" Orang aneh mengangguk, "Habis, uangku hanya pas untuk beli arak. Selain itu, daging tikus itu bukan daging sembarangan. Satai tikus merupakan hidangan mewah yang jarang terdapat di dunia. Satai tikus diiring arak, wah, enak lhoooo. !"

--0odwo0--

Mendengar ocehan si orang aneh, Kolera-tua melonjak bangun. Ada sesuatu yang tersembunyi dibalik kata2 orang aneh itu.

"Ngaco !" bentaknya, "kalau tak memandang umurmu masih muda, saat ini engkau tentu sudah kuhajar !" — Habis berkata dia terus berputar tubuh dan ngeloyor pergi.

"Eh, datang lagi seorang," seru pendekar Huru Hara seraya tersenyum, "apakah engkau tak mau menemui kawan sekerja untuk ngobrol-ngobrol dulu ?"

Kolera-tua berhenti dan berpaling memandang kearah utara. Dari arah itu tampak segulung sinar merah yang terbang mendatangi. Dalam sekejab saja, sinar merah itupun sudah tiba di muka pagoda.

Ternyata sinar merah itu adalah pakaian dari seorang anak yang saat itu tegak berdiri di halaman pagoda.

Dikata 'anak' sebenarnya kurang tepat karena umurnya sudah hampir 40 tahun. Tetapi kalau disebut orangtua, pun kurang sesuai karena wajahnya tampak kekanak-kanakan.

Mungkin karena tubuhnya pendek kecil, pipi licin tidak berkumis dan berjanggut, apalagi gemar memakai baju merah, maka orang menyangkanya seperti anak. Juga ada keistimewaan lain yalah, bahwa dia selamanya tak memakai sepatu.

Memang sukar untuk menyebut seorang mahluk seperti dia. Anak atau orangtuakah ? Paling-paling dikatakan saja 'bayi tua'.

Melihat kedatangan orang itu, benar juga Kolera-tua batalkan maksudnya hendak pergi. Dia segera tertawa menyapanya, "Ang Hay Ji, sudah lama kita tak ketemu !"

Anak tua baju merah itu ternyata bernama Ang Hay Ji yang berarti Bocah merah. Dia tertawa mengikik seperti anak kecil lalu balas memberi salam, "Idih, Kolera-tua, mengapa engkau berada disini ?"

Aku juga menjadi tetamu," sahut Kolera tua,

“Idih," seru Ang Hay Ji terkejut lalu berpaling kearah si Huru Hara.

"Budak kecil, apakah engkau yang memakai nama Huru Hara dalam surat undangan itu?" seinnya.

Sambil masih asyik mempersiapkan satai tikusnya, Huru Hara menjawab, "Iya."

Angkuh dan tengik sekali sikap si Huru Hara dalam menjawab pertanyaan tetapi diluar dugaan Ang Hay Ji tidak marah malah tertawa, "Engkau mengundang aku kemari, apa keperluanmu?"

"Ada deh," sahut Huru Hara.

"Apakah ada kang-tau ( obyek ) yang hendak engkau berikan kepadaku?"

Huru Hara mengangguk. "Coba katakan!" "Sabar dulu," kata Huru Hara, "nanti setelah semua datang, baru kukatakan."

"Eh, budak kecil," seru Ang Hay Ji, "lagak langgammu mau meniru tokoh2 sakti yang aneh, ya?"

"Mengapa engkau mengatakan begitu?" balas  Huru Hara.

"Apa maksudmu menggunakan nama Huru Hara itu?" "Negara diserang tentara Ceng, pemberontakan timbul,

perampok seperti jamur dimusim hujan, rakyat hidup dalam penderitaan dan ketakutan, apakah itu bukan suasana huru- hara ? Aku memakai nama Huru Hara agar setiap detik aku selalu ingat akan keadaan negara dan rakyat kita saat ini."

"Apa faedahnya hanya mengingat saja ?".

"Tentu saja ada," sahut Huru Hara, "percuma pikiran kita harus selalu ingat. Dan apabila pikiran sudah terisi dengan ingatan itu maka kau tentu akan mencari usaha untuk meringankan penderitaan rakyat. Beda dengan kalau kita tak mengingatnya, kita mudah terpikat kesenangan diatas keluh rintihan rakyat."

"Wah, wah, hebat benar omonganmu," seru Ang Hay Ji, "apakah engkau mempunyai rencana untuk meringankan penderitaan rakyat ?"

"Ada deh." "Coba katakan."

"Tunggu saja nanti setelah semua sudah datang."

"Ih, engkau masih mengundang lain tetamu lagi ?" seru Ang Hay Ji.

"Ya, dia masih menunggu kedatangan lima tokoh lagi," selutuk Kolera-tua. "Siapa ?"

"Manusia-pemakan-serigala Sebun Pa, Harpa asmara Hoa Lan Ing, Landak-besi Ma Hion, Im pohpoh dan paderi Gemar-segala-apa."

Mendengar itu mendeliklah mata Ang Ha Ji lalu berteriak keras2, “Bocah badung, otak lempung, minta dipentung ! Engkau berani mengundang ke Tujuh- pembunuh-besar ? Idih, kalau engkau tak punya uang sebanyak limapuluh ribu tail perak tak mungkin engkau dapat menyuruh mereka datang kemari."

"Belum tentu, bung. Untung atau buntung sang nasib tergantung. Tuh, paderi Gemar-segala-apa sudah datang," sahut Huru Hara.

Tepat pada saat dia berkata begitu, sesosok bayangan berkelebat dan muncullah seorang paderi tua dengan mencekal tongkat pertapaan.

Paderi Gemar-segala-apa !

Paderi itu berumur lebih kurang setengah abad. Wajahnya berseri seperti wajah yang memancarkan rasa cinta kasih. Siapa yang belum kenal kepadanya tentu akan terpengaruh dengan lagak lahiriyahnya. Dan menganggap dia seorang paderi yang sudah mencapai penerangan batin tinggi.

Memang boleh juga gayanya seperti seorang paderi yang saleh. Begitu tiba, dia terus menganggukkan kepala, rangkapkan kedua tangan dan melantang doa pemberkahan, "Omitohud ! Sudah bertahun-tahun tak berjumpa dengan sicu berdua. Apakah selama ini sicu berdua baik2 saja?"

Kolera-tua tertawa, "Baik sih baik, tetapi tidak seuntung engkau yang . mendapat rejeki luar biasa melimpahnya. Kabarnya tahun lalu engkau telah mengeruk keuntungan sampai lima enampuiuh ribu tail perak, benarkah itu?"

"Omitohud," seru paderi itu, "ah, itu hanyal kabar angin. Dan angin itu tentu selalu kosong. Aku seorang umat vihara, bagaimana aku masih mempunyai nafsu temaha terhadap harta dunia Tidak banyak, hanya sekitar empat puluhan ribu saja."

Ang Hay Ji menghela napas, "Idih, tahun lalu aku hanya memperoleh hasil duapuluhan ribu saja. O, selama matahari masih bersinar nafsu manusia selalu tak puas. Rupanya manusia-manusia sekarang ini makin lama makin aneh. Yang mengejar tidak dapat, yang diam malah dikejar."

"Omitohud!" seru paderi Gemar-segala-apa "apa yang sicu keluhkan itu?"

"Aku mengeluhkan nasibku sendiri," jawab Ang Hay Ji, "aku sudah pasang merk menjadi pembunuh bayaran tetapi ternyata penghasilanku masih kalah jauh dengan seorang paderi."

"Itu kesalahanmu sendiri," tiba2 Huru Hara menyelutuk. "Apa katamu? Aku salah? Salah apa?" Ang Hay Ji

menegas.

"Salah ibumu yang mengandung, mengapa lahirkan engkau menjadi seorang pendek kecil seperti seorang bocah

……,"

"Kunyuk, engkau berani menghina aku ' A'ig Hay Ji deliki mata.

"Mengapa engkau marah?" seru Huru Hara dengan tenang2 saja," bukankah engkau ingin mengetahui mengaoa nasibmu kalah baik dengan seorang paderi ? Itulah letak sebabnya."

"Bagaimana ?"

"Karena tubuhmu kecil dan wajahmu seperti kanak2, orang tentu tak percaya engkau mampu membunuh orang. Tidak demikian dengan paderi ini. Dia berwajah terang, bergaya suci dan berbicara penuh welas asih. Orang tentu lebih percaya!"

"Omitohud," seru paderi Gemar-segala-apa. “tak perlu sicu menghiraukan omongan orang. Untung tak dapat diraih, celaka tak dapat ditolak. Tahun lalu tidak untung, tahun ini tentu banyak rejeki."

Kemudian paderi itu bertanya kepada Huru-Hara, "Apakah sicu ini yang mengundang aku ke mari ?"

"Benar."

"Apakah keperluan sicu mengundang aku ?"

"Ada," sahut Huru Hara, "tetapi harap tunggu dulu setelah semua datang."

Seperti Kolera-tua dan Ang Hay Ji, juga paderi Gemar- segala-apa mendapat keterangan yang serupa tentang tetamu2 yang diundang.

"Apakah sicu menganggap bahwa sicu perlu bantuan tenaga seorang paderi ?"

“Sebenarnya aku sangat menghormat kedudukan paderi, imam dan penganut agama yang saleh. Tetapi setelah mendengar engkau mana gelar paderi Gemar-segala-apa maka akupun mengundangmu."

"Sicu belum menjawab pertanyaanku," "Pertanyaan lo- hweshio sudah terjawab. Bukankah engkau sudah menerima undanganku ? Dengan begitu terang aku membutuhkan tenagamu.

"Dalam soal apa saja maka, sicu begitu memerlukan tenaga paderi tua semacam aku ini ?”

"Jangan terburu nafsu, hweshio tua. Nanti apabila sudah berkumpul lengkap, tentu akan kuberitahu."

"Omitohud !" seru paderi Gemar-segala-apa, “apa maksud sicu memakai gelar Huru Hara ?"

"Hweshio tua, ah, mengapa engkau mengajukan pertanyaan begitu? Tidakkah engkau sudah merasa sendiri

?"

"Apa yang harus kurasakan ?"

"Kehadiranmu ditempat ini sudah merupakan jawaban dari pertanyaanmu. Apakab engkau masih perlu penjelasan

?"

"Sekira aku sudah mengerti, masakan aku perlu bertanya lagi ?"

"Baik," kata pendekar Huru Hara," negara diserang musuh, suasana kacau, pemberontakan dan kejahatan merajalela. Negara kehilangan pimpinan, undang2 diinjak- injak, rakyat kebingungan. Apakah ini bukan suatu huru hara ?

"Ya, benar. Tetapi apa sangkut pautnya dengan nama yang engkau gunakan itu ?"

"Negara huru hara tentu akan menimbulkan jaman edan. Orang baik menjadi munafik, yang jahat makin mengumbar nafsu, karena harta, timbullah nafsu. Jaman edan memberi kesempatan sebesar-besarnya. Merampok, membunuh, memeras dan segala macam cara kejahatan dilakukan, teman makan teman bahkan saudara tega untuk mencelakai saudaranya sendiri."

"Omitohud !" seru paderi Gemar-segala-apa, "terlalu ngeri sicu melukiskan suasana negara dewasa ini. Pada hal kejahatan itu, seiring dengan kebaikan. Sejak manusia lahir, kejahatan dan kebaikan itu sudah ada."

"Tetapi dalam jaman edan seperti sekarang ini, kebaikan menipis sebaliknya kejahatan makin bertumbuh. Contoh yang paling jelas lagi. Paderi itu seharusnya berada dalam vihara dan pantang dahar makanan berjiwa. Tetapi dalam jaman edan ini terdapat paderi yang bergelar Gemar-segala- apa. Kalau yang suci sudah begitu rakus gemar segala apa , lalu apa masih ada sisa lagi untuk yang tidak suci dan orang biasa ?"

Merah muka paderi Gemar-segala-apa ia waktu mendengar kata2 tajam dari pendekar Huru Hara. Dia hendak membantah tetapi sekonyong konyong terdengar derap kuda lari mendatangi. Dari debur suaranya, kuda itu masih berada di tempat jauh. Tetapi dalam beberapa kejab saja derap kuda itu sudah makin dekat.

Sekalian orang serempak memandang kearah datangnya kuda itu. Mereka terkesiap menyaksikan suatu adegan yang hebat.

Masih terpisah berpuluh tombak dari tempat halaman pagoda, penunggang kuda sudah ayunkan tubuh ke udara, membiarkan kuda itu berlari sendiri. Kemudian bagai seekor burung garuda, orang itu melayang turun ke hadapan beberapa orang tadi.

Benar2 seorang lelaki yang jantan gagah perkasa. Kepalanya bundar besar, biji matanya besar. Mukanya berewok penuh rambut lebat tingginya hampir dua meter. Orang itu tak lain adalah benggolan pembunuh yang termasyhur dalam dunia persilatan yakni Landak-besi Ma Hiong. Setiap orang yang mendengar namanya tentu gemetar dan copot nyalinya. Bahkan anak kecil yang nangis, tentu akan diam. apabla akan dipanggilkan Ma Hiong.

Ma Hiong memang seorang raksasa seram

"Aha, engkau juga datang Ma toaya," seru Kolera-tua. "Omitohud," seru paderi Gemar-segala-apa, "selamat

datang Ma sicu."

"Idih, Ma toaya, sudah lama kita tak bertemu," seru Ang Hay Ji.

Rupanya ketiga pembunuh bayaran itu juga segan terhadap si raksasa Ma Hiong.

"Ya, ya, terima kasih," sahut Ma Hiong, "lalu mana si Huru Hara yang mengundang aku itu?"

"Dia," sahut Kolera-tua.

"Hanya seorang kunyuk kecil, Ma toaya," keru Ang Hay Ji, "mungkin tak dapat membayar kita.”

“Hm, mengapa berani mengundang kita berempat?" dengus Ma Hiong.

“'Bukan hanya empat, tetapi tujuh orang," teriak Kolera- tua.

“Tujuh orang?" Ma Hiong terkejut lalu menegur Huru Hara, "Hai, benarkah engkau megundang tujuh orang?'

"Ini," sahut Huru Hara seraya menunjuk pada tujuh cawan arak yang telah dijajar di hadapannya.

“Siapa saja?” “Selain kita berempat masih ada Im-poh-soh…….” Baru Kolera tua menerangkan sampai di situ, tiba2 dari belakang pagoda terdengar suara orang tertawa mengikik keras.

Seorang nenek tua muncul. Walaupun sudah tua tetapi nenek itu masih genit. Mukanya berbedak, bibirnya dimerah dan rambut disisir mengkilap, pakai pita, uh . . .

"Im pohpoh, datang," seru Ang Hay Ji, "benar-benar suatu peristiwa yang langka sekali bahwa hari ini Tujuh pembunuh-besar dapat berkumpul disini!"

"Hi, hik," seru nenek itu yang ternyata memang Im pohpoh, "engkau juga nongol bocah baju merah."

"Tentu," sahut Ang Hay Ji, "nih, Kolera tua, paderi Segala-apa-mau, Ma toaya dan aku. Dengan pohpoh, kita sudah berjumlah lima orang.

"Bocah merah," seru Im pohpoh pula, "mengapa engkau tampak gembira sekali? Apakah yang mengundang engkau itu akan memberimu sebuah kang-tau yang hebat?"

"Entahlah."

"Entah? Engkau tidak tahu?" Im pohpoh menegas heran. "Ya. Dia tak mau bilang sebelum kita bertujuh lengkap." "Ih, mana orangnya?"

"Tuh," Ang Hay Ji menuding pada pendekar Huru Hara yang masih berkemas mengatur hidangan sate.

"Itu kan bocah penjual sate," seru Im poh-poh.

"Bukan, pohpoh," kata Ang Hay Ji, "memang dia yang mengundang kita."

"Benar?" "Sungguh mati!" Ang Hay Ji memberi penegasan, kemudian berseru kepada Huru Hara, "hai, kunyuk, Im pohpoh yang engkau undang sudah datang, mengapa engkau diam saja?"

"Lalu engkau suruh aku bagaimana?" sahut pendekar Huru Hara.

"Sambut, dong, engkau kan tuan rumahnya!" "Cukup sudah engkau wakili."

"Hai, bocah, apakah engkau yang menggunakan nama Huru Hara.”

"Ya."

"Apa maksudnya?"

“Tidak bermaksud apa2. Itu hanya sebuah nama." "Banyak sekali nama yang bagus2, mengapa engkau

pakai yang begituan?"

"Yang penting, orangnya. Bukan namanya." "Apakah engkau sedang mengalami huru hara?" "Ya."

"O, maka engkau mengundang kami datang. Huru Hara apa yang sedang engkau derita?"

"Semua," sahut pendekar aneh itu, "'Negara, rumahtangga dan hatiku.'"

"Lalu apa maksudmu mengundang kami?"

"Masih kurang dua orang lagi. Setelah lengkap, baru nanti kukatakan,'' sahut pendekar Huru Hara.

"'Masih kurang dua? Siapa?" "Manusia-pemakan-serigala Sebun Pa dan Harpa-asmara Hoa Lan Ing, pohpoh," seru And Hayji.

"O, mereka juga diundang?"

"Benar. Tujuh pembunuh besar dalam dunia persilatan telah diundangnya. Entah dia mempunyai modal berapa sehingga berani melakukan hal itu."

"Aku datang . . . ! " tiba2 terdengar sebuah suara melengking yang tajam. Walaupun masih jauh tetapi nadanya berkumandang mengiang-ngiang di telinga sekalian orang.

Im pohpoh menyambut dengan tertawa juga, "Ih, budak Sebun Pa sekarang ini ilmu -tenaga-dalamnya maju sekali."

"Terima kasih atas pujian Im cici," seru sebuah suara dan pada lain saat muncullah sesosok bayangan biru terbang melayang ke halaman pagoda.

Namanya Manusia-pemakan-serigala tetapij ternyata orangnya cakap, berumur sekitar 50-an tahun, mengenakan dandanan seperti seorang sasterawan. Benar, memang yang muncul itu adalah Sebun Pa.

Memang tidak sesuai segala-galanya pada dirinya. Dia seorang pembunuh bayaran tetapi wajahnya cakap seperti seorang sasterawan. Biasanya srigala yang makan orang, tetapi dia memakai gelar 'manusia pemakan serigala'.

Pernah dalam kesempatan berhadapan dengan musuh dan saling mengejek, dia memberi jawaban yang tepat, "Apakah seorang sasterawan tak dapat menjadi pembunuh. Disitulah letak kelebihan diriku. Aku seorang sasterawan dapat menjadi pembunuh. Tetapi seorang pembunuh belum tentu mampu jadi sasterawan !" "Lho, kok pakai gelar Manusia-pemakan-serigala ? Apakah engkau gemar makan serigala ?" tanya seorang yang pernah berhadapan dengan dia.

"Ya." sahut Sebun Pa, "engkau tahu apa arti namaku ?" "O, apa itu ? itu kan berarti macan tutul."

"Tidakkah macan tutul gemar makan serigaIa ?"

'"O, engkau mendasarkan gelarmu itu dengan namamu yang asli ?"

"Hm, susahnya kalau orang buta huruf, disitulah," jawab Sebun Pa.

Ada juga keistimewaan dari Sebun Pa. Walaupun seorang pembunuh bayaran, tetapi tidak sembarang dia  mau terima permintaan orang walaupun dijanjikan upah besar.

"Huh, engkau tahu apa makna gelarku manusia- pemakan-serigala itu ?" tanyanya pada satu orang yang hendak menyewanya.

Kebanyakan orang tentu menjawab tak tahu dan minta keterangan.

"Gelar Manusia-pemakan-serigala bukan sekedar gelar kosong untuk menambah keseraman. Tetapi memang betul2 ada kenyataannya," kata Sebun Pa, "aku mempunyai prinsip tersendiri sebagai seorang pembunuh bayaran. Soal upah juga boieh kurang tetapi syaratnya harus dipenuhi."

"Apa syaratnya ?"

"Yang menjadi calon korbanku itu harus orang ternama, baik dalam dunia persilatan, pemerintahan, masyarakat dan dagang. Aku tak mau membunuh seorang tak bernama walaupun di beri upah besar ! Dengan begitu barulah sesuai dengan gelarku. Aku seorang manusia pemakan serigala. Serigala kuartikan orang2 besar dan ternama."

"Hola. sekarang hanya kurang seorang !" seru Ang Hay Ji seraya bertepuk tangan.

"Siapa ?'r

"Harpa-asmara Hoa Lan Ing."

Tiba2 si raksasa Ma Hiong berseru dengan suara menggeledek, "Hoa Lan Ing paling senang jual aksi. Dia selalu datang yang terakhir sendiri.”

"Benarlah, dia sudah datang," seru paderi Segala-apa- mau.

Sayup-sayup terdengar suara harpa beralun bagaikan kemerduan suara musik yang mengantar para bidadari turun dari langit. Hanya harpa Jit-luan-khim- atau harpa tujuh snaar yang mampu memperdengarkan  bunyi sesyahdu itu.

Serentak perhatianpun terpikat akan keasyikan alunan harpa itu. Bermula melukiskan curahan perasaan kesepian dan kesedihan, kemudian dalam kesedihan itu memancar rasa penasaran. Penasaran yang kecewa dan bukan kemarahan, kesedihan yang sepi bukan kedukaan, semisal dara yang kemanja-manjaan.

"Ha, perempuan busuk itu sedang melengking-lengking," dengus Ma Hiong. Habis berkata dia terus duduk bersila pejamkan mata dan menyalurkan tenaga-dalam.

Ternyata suara harpa yang menghanyutkan hati itu mengandung pancaran tenaga-dalam yang hebat. Barangsiapa lemah, urat jantungnya tentu putus.

Kolera-tua, paderi Segala-apa-mau, Ang Hay Ji dan Sebun Pa juga menyadari hal itu. Merekapun serempak duduk bersila untuk menyalurkan tenaga-dalam. Wajah mereka tampak tegang seperti sedang menghadapi musuh tangguh. Hanya Pendekar Huru Hara dan nenek  Im pohpoh yang tampak santai seperti tak merasakan suatu apa.

Im pohpoh seorang wanita, sudah tentu dia tak terpikat daya rayuan sesama jenisnya. Tetapi diam2 nenek itu heran mengapa pendekar Huru Hara juga tak tertarik ? Bukankah dia masih seorang anakmuda yang berdarah panas ?

Im pohpoh menghampiri ketempat pendekat Huru Hara dan memuji, "Budak kecil, pertahananmu sungguh kokoh sekali."

"Pertahanan apa ?" sahut Huru Hara.

"Engkau seorang pemuda tetapi ternyata mampu bertahan dari pancaran suara harpa Hoa Lan Ing yang penuh mengandung perangsang cabul. Sungguh jarang sekali pemuda seperti engkau !"

"O, suara harpanya itu memancarkan daya perangsang ?" seru Huru Hara tertawa.

"Ya," sahut Im pohpoh, "didunia hanya sedikit sekali orang yang mampu bertahan atas suara harpa asmaranya. Barangsiapa yang lemah kepandaiannya, tentu segera terhanyut dalam buaian asmara, pikiran kabur dan terus tak dapat mengendalikan diri.

"Aneh, mengapa aku tak merasa sesuatu! yang istimewa pada suara harpa itu." Huru Hara mengangkat bahu, menyeringai.

"Cobalah engkau dengarkan dengan seksama, betapa merintih-rintih irama harpa itu seperti orang meratap curahan asmara, bagai musafir yang kehausan di padang pasir yang tandus. Sebagai orang lelaki, tidakkah hatimu terketuk untuk memenuhi keinginannya?"

Huru Hara gelengkan kepala, "Aku tak mengerti irama musik, pun tak tahu apa yang terkandung dalam alunan suara harpanya. Sayang ..."

"Benar, memang sayang engkau tak mengerti hal musik, sehingga engkau tak dapat menikmati betapa keindahan asmara itu "

"Aku bukan menyayangkan diriku melainkan menyayangkan dia. Kalau benar dia hendak tujukan alunan harpanya itu kepadaku, bukankah dia hanya membuang- buang waktu percuma saja ibarat orang memetik harpa dihadapan seekor kerbau?”

"Hi, hi, hik, engkau memang seekor kerbau dungu," seru Im pohpoh tertawa mengikik.

Pada saat itu suara harpapun makin jelas dan iramanyapun makin sedih seperti seorang janda muda yang bergelimpangan di ranjang seorang diri, terkenang akan malam pengantin.

Tampak Kolera- tua mulai runtuh pertahanannya. Kepalanya mulai bercucuran keringat, muka merah tegang dan mata pun berkilat-kilat. Dia mulai terbakar oleh api asmara.

Tiba2 Im pohpoh tertawa mengikik lalu berseru nyaring, "Hoa hujin, disini banyak sahabat kita, jangan unjuk permainan semacam itu!"

Sekonyong-konyong suara harpa itupun berhenti, berganti dengan gemerencing suara tawa lengking yang membelah angkasa lalu turun melayang ke bumi. Tahu2 di halaman pagoda muncul seorang wanita yang cantik mempesonakan” Rambut hitam legam yang disanggul bagai gumpal awan, muka bulat telur dengan pipi semerah bunga mawar mekar di pagi hari. Alisnya lebat bagai gunung dimusim semi dan matanya yang bening seperti telaga, leher jenjang, dada padat dan pinggang ramping, ah, habis kiranya kata-kata untuk melukiskan kecantikan wanita itu.

Dia menjinjing sebuah harpa, dengan langkah lemah gemulai seperti pohon liu tertiup angin dia menghampiri dan tertawa merdu, "Ih, engkau juga hadir, Im cici. Maaf, atas keterlambatanku.”

Saat itu Kolera-tua, paderi Segala-apa-mau, Landak-besi Ma Hiong dan Sebun Pa sudah berbangkit. Hanya Ang Hay Ji yang masih deprok duduk di tanah, belum berani berdiri.

Sambil menyeringai seperti anak kecil minum permen, dia berseru, "Hoa hujih, ilmu kepandaianmu makin lama makin hebat. Aku benar-benar ,"

Harpa-asmara Hoa Lan Ing meludah, "Cis, anak kecil yang masih msnyusu seperti engkau mau main2 apa? Tunggu beberapa tahun lagi kalau engkau sudah besar."

Kolera-tua tertawa gelak2. Tepat sekali dampratan si cantik itu kepada bocah baju merah Ang Hay Ji. Wajah Ang Hay Ji yang merah makin merah seperti kepiting direbus.

Harpa-asmara Hoa Lan Ing mengalihkan pandang matanya kepada pendekar Huru Hara, lalu menegur dengan merdu, "Apakah anda ini pendekar Huru Hara?"

"Ya," Huru Hara mengangguk. "Sungguh aneh sekali nama itu."

Pendekar Huru Hara tertawa, "Memang selera orang berbeda. Ada orang yang suka pakai nama binatang yaitu Ati Kau ( anjing ), Ah Mau ( kucing ), Ah Hau (harimau) dan lain2. Mengapa kalau aku pakai nama Huru Hara, engkau merasa aneh?"

"Mengapa engkau mengapa nama Huru Hara? Apakah engkau sedang mengalami huru hara?"

''Ya, aku merasa begitu."

"Ah, benar sekali dugaanku," Hoa Lan Ing tertawa merdu, "hatiku memang lemah. Begitu melihat surat undangan itu tertera nama Huru Hara, aku segera memutuskan untuk datang. Huru hara apakah yang sedang engkau alami sehingga engkau mengundang aku datang kemari?"

"Tuan2 sekalian, silakan duduk dulu," tidak terus menjawab pertanyaan tetapi pendekar Huru Hara mempersilakan tetamu undangannya duduk.

Ketujuh tokoh pembunuh yang ternama itupun segera diiduk mengelilingi “perjamuan'.

Pendekar Huru Hara mengambil poci arak lalu mulai menuangkan pada delapan cawan yang telah dijajar-jajar, kemudian dia mulai membuka, perjamuan.

"Anda sekalian adalah tokoh2 dunia persilatan yang ternama. Bahwa anda telah sudi memerlukan hadir memenuhi surat undmganku itu benar2 merupakan suatu kehormatan besar bagiku. Sebagai pernyataan terima kasihku yang tak terhingga, lebih dulu aku hendak menghaturkan arak Kehormatan kepada anda sekalian!"

Habis berkata dia terus meneguk cawannya sampai habis. Ketujuh pembunuh besar itu tak mau ikut minum melainkan tersenyum saja memandangnya. Rupanya mereka tak mau menerima undangan diajak minum bersama. Pendekar Huru Hara tersenyum, serunya.

"Arak tak tercampur racun, silakan anda minum!"

Tetapi ketujuh tokoh benggolan itu tetap tak mau mengangkat cawannya.

"Mengapa anda tak mau minum ?" seru pendekar Huru Hara!

"Kami bertujuh ini selamanya memang tak pernah minum arak lain orang," sahut Ma Hiong dengan nada dingin.

"Mengapa ?"

"Terlalu banyak orang yang telah kami bunuh." "Apa hubungannya hal itu dengan arak ?"

"Orang yang dosanya setumpuk gunung, tak lurus sembarangan minum arak yang dihidangkan orang karena kuatir arak yang bersihpun nanti dapat berobah menjadi arak beracun.

Pendekar Huru Hara tertawa, "Baiklah. KaIau kuatir minum arak dapat membahayakan jiwa, akupun takkan memaksa. Tetapi aku ingin, melaksanakan kewajibanku sebagai tuan rumah untuk menghindangkan sate bakar kepada para tetamu sekalian."

Ia segera mengambil setusuk sate, dihidangkan kehadapan Harpa-asmara Hoa Lan Ing, "Silahkan nyonya yang pertama-tama menikmati hidangan sate bakar ini."

"Sate apakah itu ?" Hoa Lan Ing kerutkan alis. "Sate tikus."

"Ih, ih, memuakkan," seru Hoa Lan Ing seraya tegangkan alis mengerut jijik, “bagaimana engkau berani menghidangkan daging semacam itu kepadaku ?" "Daging manusiapun bisa dimakan apalagi daging tikus

?" sahut pendekar Huru Hara.

"Ngaco !" bentak wanita cantik itu dengan marah, "aku memang membunuh orang tetapi tak pernah makan dagingnya, singkirkanlah !"

Pendekar Huru Hara cibirkan bibir lalu mengalihkan tusuk sate bakar itu kehadapan nenek Im," Pohpoh tentu tak mungkin takut makar sate ini, bukan ?"

Im pohpoh gelengkan kepala, "Bukan karena takut tetapi aku memang tak mau makan satemu itu, bocah !"

Huru Hara tak mau memakan melainkan mengalihkan kehadapan Ang Hay Ji, "Engkau tentu tak menampik, kan

?"

Tetapi Ang Hay Ji tak mau menyambuti melainkan tertawa mengikik, "Hi, hik, segala apa saja aku makan asal bukan masakan orang."

"Maksudmu ?"

"Hidangan yang dimasak orang, selamanya aku tak mau makan."

"Takut diracun."

"Ya," sahut Ang Hay Ji, "aku mempunyai prinsip begini 'tidak mau mencelakai orang tetapi tak mau seratus persen percaya pada orang."

"O, apakah selama ini engkau benar2 tak pernah mencelakai orang ?".

"Ya," sahut Ang Hay Ji, "aku hanya membunuh orang tetapi tak pernah mencelakai orang. Mencelakai orang itu melanggar peri kemanusiaan." "Uh, bagus, bagus," seru Huru Hara seraya acungkan jempol tangannya dan tertawa mengejek, "baru kali ini aku mendengar suatu ajaran yang menarik. Membunuh itu perbuatan baik dan mencelakai itu barulah perbuatan jahat. Tetapi dimanakah letak perbedaannya ?"

"Membunuh," kata Ang Hay Ji. "hampir dilakukan tiap hari oleh orang, membunuh kerbau, kambing, ayam, ikan dan lain2 binatang. Jika membunuh binatang dianggap wajar, mengapa membunuh manusia dianggap tidak wajar ? Bukankah mereka sama2 mahluk berjiwa ?"

"O, ya, iya," Huru Hara garuk2 kepala, "lalu apa bedanya kata peri-kemanusiaan dengan peri-kebinatangan itu ?"

"Hus, bocah gila," seru Ang Hay Ji tertawa," tidak ada kata 'peri-kebinatangan' itu. Yang ada peri-kemanusiaan."

"Sebabnya ?"

''Binatang itu adalah mahluk pengisi dunia yang diperuntukkan bagi kehidupan manusia, seperti halnya dengan tumbuhkan dan lain2 benda. Kambing, kerbau, ayam dan lain2 binatang dismbelih, selain untuk lauk pauk makanan manusia pun juga untuk menambah tenaga kekuatan manusia itu."

"O, makanya aku tak pernah mendengar kata peri- kebinatangan karena binatang itu memang diperuntukkan manusia."

"Ya."

"Lalu apa yang disebut peri- kemanusisiaan itu ?"

“Peri-kemanusiaan yalah asas hidup berdasarkan rasa cinta kasih dan menghormat hak hidup seorang manusia.” "Maka mencelakai sesama manusia itu, melanggar peri- kemanusiaan ?"

"Ya, benar."

"Tetapi kalau membunuh sesama manusia itu tidak melanggar peri-kemanusiaan ?" desak Huru Hara.

"Hi, hi', hi, mari engkau sekarang bocah merah....." Im pohpoh tertawa mengikik, "engkau harus menelan lagi ludahmu tadi."

Ang Hay Ji mengangkat muka dan menyahut, "Jangan menertawakan dulu, pohpoh. Aku kan belum memberi jawaban kepada bocah ini."

Ia terus beralih memandang Huru Hara dan berseru, "Membunuh dan membunuh ada dua, bocah Engkau harus dapat membedakannya."

"O, membunuh itu ada dua ? Apa saja ?"

"Membunuh karena membela negara, tugas jalan kebenaran, tidak melanggar peri-kemanusiaan. Tetapi membunuh karena hendak nenginginkan harta benda dan dendam peribadi, itu melanggar peri-kemanusiaan."

"Dan kalau pembunuhan yang engkau lakukan itu. apakah juga tak melanggar peri-kemanusiaan?”

"Sudah tentu tidak, bocah," sahut Ang Hay i dengan yakin, "aku ini seorang pembunuh bayaran. Kalau orang suruh aku membunuh orang, itu berarti aku bekerja. Melaksanakan tugas pekerjaan, itu tidak melanggar peri- kemanusiaan. Dan selamanya aku tak mau membiarkan korbanku itu menderita kesakitan. Setiap kali terus kubunuh dengan cepat!" "Mengapa engkau harus menuntut penghiduan sebagai pembunuh ? Bukankah masih ada lain pekerjaan yang lebih baik dari pekerjaan sebagai pembunuh ?"

Ang Hay Ji tak lekas menyahut melainkan mengelilingkan pandang kearah keenam tokoh lainnya, "Pertanyaan ini menyangkut kepentingan anda sekalian. Siapa mau menjawab ?"

"Dia bertanya kepadamu, engkaulah yang wajib menjawab," seru Kolera-tua,

''Hm, baiklah," kata Ang Hay Ji lalu menghadap kearah Huru Hara lagi, "Aku bekerja sebagai pembunuh bayaran karena kuanggap pekerjaan itu mudah dan menghasilkan uang banyak."

"Hm, baik, catatlah apa yang engkau katakan ini semua," dengus pendekar Huru Hara. Ia terus menghidangkan sate tikus kepada Kolera tua, paderi Gemar-segala-apa, Landak- besi Ma Hiong dan Sebun Pa, "Aku tak dapat menghidangkan apa2, kecuali sate bakar ini. Harap anda suka mencicipi."

Tetapi keempat orang itu hanya gelengkan kepala. Pendekar Huru Hara tak mau memaksa melainkan tertawa gelak2, "Baiklah, kalau anda tak mau, aku sendiri yang akan memakannya. Lain2 ikan aku tak suka. Aku hanya gemar makan kawanan tikus saja. "

Mendengar kata2 itu, ketujuh benggolan pembunuh itu berobah cahaya wajahnya. Tetapi Huru Hara tak mengacuhkan, dia mulai memakan sate bakar itu seraya berulang-ulang berseru, "Wah enak lhooo “

Melihat tingkah laku si Huru Hara itu, Landak-besi Ma Hiong tak dapat menahan kesabarannya lagi. Wajahnya mulai menampilkan hawa pembunuhan dan serentak dia menegur bengis, "Budak kecil, apa maksudmu ini semua ?"

"Hm," acuh tak acuh Huru Hara picingkan mata melirik pada Ma Hiong.

Ma Hiong tertawa dingin, “Engkau menyuguhkan tujuh ekor tikus kepada tetamu, apa maksudmu? Apakah engkau hendak mempermainkan kita ?”

Masih santai menikmati sate bakarnya, Huru hara menjawab, "Sekarang ini rakyat sedang menderita. Musuh menyerang, perampok mengganas masih ditambah lagi dengan gangguan tikus2 busuk. Kalau aku dapat memakan seekor, berarti mengurangi beban penderitaan rakyat."

"Kata-katanya mengandung arti yang dalam," seru Kolera-tua.

"Benar, bocah itu hendak menyamakan kita sebagai tujuh ekor tikus yang hendak dimakannya!" sambut Ang Hay Ji.

"Ha, ha," Huru Hara tertawa, "kalau engkau merasa sebagai tikus yang mengganggu rakyat memang tepat sekali engkau merasa kuatir. Kegemaranku memang makan tikus."

"Selain itu," Huru Hara melanjut lagi," kini di berbagai daerah negara kita terserang paceklik musim kering panjang. Bahaya kelaparan merajalela dimana-mana. Kalau saat ini aku dapat makan daging tikus, itu sudah  suatu rejeki besar."

Ketujuh benggolan itu serentak diam. Dari nada kata- katanya, jelas Huru Hara memang mengakui kata2 Ang Hay Ji bahwa ketujuh benggolan itu hendak dipersamakan seperti tikus buduk. "Gila mengapa kita dipermainkan seorang bocah gila semacam dia," dengus Landak-besi Subun Pa seraya berbangkit lalu berseru bengis "Hai, budak kurang ajar, engkau harus menjawab dengan sungguh2 pertanyaanku. Siapakah engkau?'

"Huru Hara."

"Benarkah namamu begitu ?"

"Tolong tanya, apa artinya Loan Thian Te itu ?" balas Huru Hara.

"Hm, itukah namamu ?"

"Negara diduduki musuh, rakyat menderita rumahtangga berantakan, apakah itu bukan huru hara ?"

Sebun Pa mendengus, "Hm, apa hubungan hal itu dengan kami ?"

"Tak ada." sahut Huru Hara, "tetapi bisa ada . . ." "Lalu apa maksudmu mengundang kami ke mari ini ?"

"Tentu saja ada," sahut Huru Hara, "aku hendak pinjam sebuah barang kepada anda sekalian…."

Kolera-tua tertawa mencemoh, "Budak, kalau engkau hendak pinjam uang atau suruh kami memberi dana kepada rakyat yang kelaparan itu, engkau salah alamat!"

"O, tidak," sahut Huru Hara, "aku tidak bermaksud pinjam uang melainkan hendak pinjam sehelai kertas dari anda."

"Sehelai kertas?" Sebun Pa terkesiap, "kertas apa?" "Undangan."

"Undangan?" Sebun Pa makin tegang. "Ya. Bulan yang lalu, kalian masing2 telah menerima undangan pesta dari seorang pembesar tinggj, bukan?"

Seketika wajah ketujuh benggolan itu berobah makin tegang.

"Dari mana engkau tahu hal itu?" bentak Se-bun Pa. "Tak perlu mengurus soal sumbernya, yang penting hal

itu benar atau tidak?"

Kolera-tua batuk2. Sambil mengusap-usap dagu, dia berseru, "Perlu apa engkau hendak meminjam undangan itu?"

"Untuk melamar."

"Jelaskan!" bentak Kolera-tua.

"Aku hendak melamar pekerjaan kepada orang besar itu."

"Pekerjaan apa?"

"Hm, kalau seorang jenderal besar mengundang kalian menghadiri pesta yang diadakannya, apakah jenderal itu hanya karena ingin menjamu kalian tanpa suatu maksud tertentu?''

''Hm," dengus Kolera-tua, "apa engkau tahu pekerjaan apa yang hendak beliau berikan kepada kami?"

"Tidak tahu jelas," kata pendekar Huru Hara, "tapi mudah diduga."

"Coba engkau duga," seru Sebun Pa.

"Sebagai seorang jenderal, dia tentu pandai dan luas pengalaman. Apa yang hendak diberikan kepada kalian, tentulah disesuaikan dengan pekerjaan kalian."

"Membunuh orang?" '"Kemungkinan besar, ya," sahut Huru Hara, "tetapi mungkin juga pekerjaan lain yang sifatnya sejenis."

"Lalu apa maksudmu hendak meminjam surat undangan itu kepada kami?"

"Dengan membawa ketujuh lembar undangan yang kalian terima itu, tentulah jenderal itu segera mendapat kesan bahwa tak perlu lagi menyewa kalian bertujuh tetapi cukup memakai aku seorang saja."

Kolera-tua tertawa gelak2, "Wah, tepat sekali omonganmu, budak. Memang jenderal itu tentu mendapat kesan begitu. Tetapi apakah engkau kira kalau kami bertujuh tentu mau meminjamkan surat undangan kepadamu?"

Huru Hara tertawa hambar, "Kalau tidak boleh, akupun tak memaksa. Tetapi aku hendak pinjam lain barang lagi . .

. . "

"Barang apa lagi?" teriak Kolera- tua. "Batang kepala kalian ....

Mendengar itu ketujuh benggolan itu terbelalak tetapi Kolera-tua segera tertawa terpingkal-pingkal, "Bagus, bagus, memang rencanamu hebat, nyalimu besar. Kalau engkaiu mampu menyerahkan tujuh batang kepala kami, memang lebih memperoleh kepercayaan jenderal itu dari pada hanya membawa surat undangan kami saja."

"Itulah," seru Huru Hara, "sekarang terserah kepada kalian semua, apakah kalian mau meminjamkan surat undangan atau batang kepala?"

Ketujuh orang itu adalah tokoh2 pembunuh yang termasyhur dalam dunia persilatan. Seharusnya mereka sejak tadi marah karena dipermainkan oleh anakmuda yang bertingkah aneh seperti si Huru Hara itu. Tetapi entah mengapa, mereka seperti melihat bahwa orang aneh itu bukan seorang anakmuda biasa. Mereka tak boleh bertindak secara gegabah.

"Lebih baik engkau mengajukan permintaan yang kedua itu saja," Kolera-tua tertawa.

Huru Hara mengangguk. Setelah membersihkan mulut dan meneguk cawan arak lagi, dia menyambar tongkatnya dan berbangkit, "Baik, kalau memang begitu, silakan kemari."

Kolera-tua geleng2 kepala tertawa lalu mengikuti pendekar Huru Hara yang menuju ke sebidang lapangan kosong disebelah.

"Hayo, sudah siap?" seru Huru Hara. "Hm."

"Engkau yang mulai dulu atau aku?"

Kolera-tua tertawa, "Engkau seorang budak kecil, sudah tentu aku akan mengalah"

"Ya, benar," seru Huru Hara, "eh, tetapi aku tuanrumah dan engkau tetamu. Tidak pantas kalau tuanrumah tidak menghormat tetamu. Silakan engkau saja yang mulai!"

"Ya, engkau benar. Sekarang begini saja. Aku yang  mulai menyerang tetapi aku tak mau memakai tongkat melainkan dengan tangan kosong. Sedang engkau boleh menyambut dengan senjata apa saja."

"O, boleh, boleh," sambut Huru Hara.

Dalam pada itu ditempat persembunyiannya, Han Bi Giok dan pemuda sasterawan Wan-ong Kui mengikuti semua yang terjadi di halaman pi goda. "Ah, mengapa orang aneh itu cari mati sendiri?" bisik Bi Giok.

"Tetapi dia jujur," bisik Wan-ong Kui, "sebagai tuanrumah memang seharusnya mengalah kepada tetamu."

"Ih, tetapi bagaimana mungkin dia mampu menghadapi ketujuh pembunuh besar itu?"

"Kita belum tahu siapa dia dan bagaimana kepandaiannya. Tetapi dengan berani mengundang ketujuh tokoh pembunuh itu, dia tentu sudah mempunyai persiapan."

"Tetapi kalau menilik sikapnya yang angin-anginan, kadang seperti orang blo'on itu, mana mampu menghadapi ketujuh pembunuh itu ?"

"Entahlah." bisik Wan-ong Kui, "tetapi yang jelas dia memang hendak cari gara2 dengan ketujuh benggolan itu. Aku setuju sekali dengan tindakannya."

"Kalau begitu apakah engkau juga siap hendak membantunya apabila dia sampai terancam bahaya ?"

"Lihat saja bagaimana perkembangannya nanti."

"Uh, perlu apa engkau mengurusi orang semacam itu ?

Jijik aku melihatnya," bisik Han Bi Jok.

"St, tuh lihatlah . . . ," kata Wan-ong Kui ucara dan memperhatikan.

"Ih Bi Giok mendesis kaget ketika menyaksikan apa yang terjadi di gelanggang pertempuran," Kui- ko, ilmu permainan apa yang dimainkan si Huru Hara itu ?"

Wan-ong Kui kerutkan dahi, "Ada beberapa ilmu berputar diri, antaranya disebut Lo-ki-yau-li, Pian-hoan-kui- ing, Pit-ik-song-hui dan lain2 ilmu gin-kang sakti. Tetapi yang dimainkan si Huru Hara itu aku belum pernah melihat."

“Ih,” Bi Giok mendesis keras, untung cepat didekap Wan-ong Kui. Apa yang terjadi ?

Ternyata pertempuran antara Kolera tua lawan si Huru Hara, berjalan dengan seru tetapi aneh. Bermula Kolera-tua melancarkan pukulan tamparan, tebasan, tutukan dan tendangan. Ttapi tak ada yang berhasil. Huru Hara selalu dapat menghindar. Akhirnya tambah lama Kolera tua tambah panas hatinya. Dia melancarkan serangan yang gencar dan makin gencar. Anehnya Huru Hara juga bergerak makin lama makin deras dengan cara yang aneh. Dia berputar putar mengelilingi lawan. Lama kelamaan orangnya lenyap berobah menjadi sesosok bayangan yang mengelilingi Kolera-tua.

Orang tak tahu apa yang terjadi. Hanya berapa saat kemudian terdengar suara jeritan nyaring, bayangan loncat ke belakang dan menjadi pendekar Huru Hara yang tegak berdiri. Sedangkn Kolera-tua terhuyung-huyung kebelakang lalu jatuh terduduk. Dia terus pejamkan mata melakukan pernapasan. Wajahnya pucat lesi.

"Terima kasih, Kolera," seru Huru Hara sembari memeriksa sehelai sampul surat yang berada dalam tangannya, "karena sudah menerima surat undanganmu ini, aku tak jadi pinjam kepalamu . . . , "

Namun Kolera-tua diam saja. Sekalian orang terkejut menyaksikan kesudahan pertempuran itu. Mereka heran mengapa Kolera-tua tiba2 jatuh terduduk dan mengapa Huru Hara tiba2 sudah memegang sebuah surat undangan.

Ang Hay Ji yang bersahabat baik dengan Kolera-tua, segera menghampiri, "Kolera-tua, apakah engkau terluka ?" Namun tiada jawaban. Kolera-tua diam seperti patung. Hanya kalau tadi wajahnya pusat lesi, kini tampak makin merah dan lama kelamaan bertambah merah tua dan akhirnya makin gelap seperti hangus.

Ang Hay Ji terkejut. Serentak dia berbangkit dan menuding Huru Hara, "Bangsat, engkau benar- binatang buas !"

"Mengapa ?" balas Huru Hara.

"Engkau tegah menggunakan pukulan beracun kepadanya. Lihatlah, tubuh dan mukanya menjadi hangus.

.. ."

"Tidak, aku tidak menggunakan pukulan beracun. Bahkan aku tidak memukul sama sekali kecuali hanya lari mengelilinginya saja," bantah Huru Hara.

Ang Hay Ji memang sejak tadi heran menyaksikan permainan aneh dari Huru Hara. Maka ia segera bertanya, "Apakah nama ilmu permainanmu tadi ?"

"Suan-hong-yau jwan." "Apa artinya ?"

"Angin lesus berputar-putar."

"Angin lesus berputar-putar?" ulang Ang Hay Ji terheran- heran," dari perguruan manakah ilmu itu ?"

"Dari alam."

"Hah ?" Ang Hay Ji mendelik, "dari alam ? Jangan bergurau, aku bertanya dengan sesungguh-nya.”

"Siapa bergurau ? Aku memang menirukan gerak angin lesus yang berputar-putar,"

"Apakah engkau tak mempunyai perguruan?" Huru Hara gelengkan kepala.

Ang Hay Ji tak percaya, la mengira Huru Hara tentu mempermainkannya, "Hm, tak apa jika engkau merahasiakan nama perguruanmu. Sekarang jawablah pertanyaanku. Mengapa engkau membunuh Kolera-tua dengan pukulan beracun ?

"Sudah kukatakan," sahut Huru Hara, “aku tidak memukulnya sama sekali."

"Bocah merah, jangan menuduhnya. Kolera tua ini memang mati karena pukulan beracun Hu-kut-ciang !"

Ang Hay Ji berpaling. Ternyata yang bicara itu adalah Im pohpoh yang saat itu berada dihadapan Kolera-tua, "Apa katamu, pohpoh? Dia terkena pukulan beracun Hu- kut-ciang ?"

Hu-kut-ciang artinya pukulan yang membuat tulang belulang menjadi hangus. Sebuah pukulan yang ganas sekali.

"Lihatlah kuku jarinya yang gosong seperti hangus itu," seru Im pohpoh.

"Tetapi pohpoh, " seru Ang Hay Ji, "pukulan Hu-kut- ciang itu adalah ilmu pukulan yang dimiliki Kolera-tua sendiri. Bagaimana dia dapat terkena pukulan itu? Apakah dia memukul dirinya sendiri?"

"Tanyakan pada bocah penjual sate itu," seru  Im Pohpoh.

"Hm, engkau berani membunuh tentu berani bertanggung jawab, bukan? Nah, katakan bagai mana tadi ia membunuhnya?" seru Ang Hay Ji.

"Aku hanya berlari mengelilinginya untuk menghindari pukulan," tiba2 Huru Hara berhenti dan mengerut dahi seperti teringat sesuatu, rasanya tadi aku membau hawa yang busuk sekali. Hawa itu terpancar dari pukulannya. Terpaksa ku tolaknya."

Ang Hay Ji terkejut. Memang ia melihat bahwa selama bertempur tadi, Huru Hara tak pernah balas memukul. Hanya pada suatu saat ia melihat Huru Hara menampar- namparkan lengan bajunya. Mungkinkah dia memiliki tenaga-sakti sehingga dapat mengirim kembali pukulan beracun itu kepada Kolera-tua ..” pikirnya.

"Apakah dia mati?" seru Huru Hara. "Jangan belagak pilon!''

"Ah, sayang "

"Jangan pura2 bersedih seperti tikus yang menangisi kucing mati!"

"Hm, aku tidak menyayangkan dia mati Bukankah tadi engkau mengatakan membunuh itu tidak melanggar peri- kemanusiaan?"

"Setan, tetapi dia tak bersalah kepadamu dan tak ada orang yang menyewamu untuk membunuhnya."

"Dia tak mau meminjamkan surat undangannya kepadaku, apakah itu bukan kesalahan? Dan siapa bilang tak ada yang menyewa aku untuk membunuhnya?"

"Siapa yang menyewamu?" Ang Hay Ji tei belalak kaget. "Korban2 yang telah dibunuhnya. Mereka datang

kepadaku dan menyewa aku untuk membunuh orang yang bergelar Kolera-tua."

"Ngaco belo! Bagaimana orang yang sudah mati dapat datang kepadamu!" bentak Ang Hay Ji. "Mengapa tidak bisa? Beberapa waktu yang lalu setiap malam aku selalu bertemu dengan orang yang berlumuran darah dan mengatakan kalau dibunuh Kolera-tua "

"Kunyuk, jangan mempermainkan aku! Dimana orang2 itu sekarang, hayo tunjukkan kepadaku."

"Engkau ingin bertemu? Baik, nanti malam engkau boleh tidur disini bersama aku. Orang2 itu tentu akan datang menemuimu."

"Mereka menjadi setan?"

"Bukan. Mereka tetap menjadi mahluk manusia dan menemui aku dalam mimpi. Mereka menyewa aku untuk membunuh orang yang telah membunuh mereka."

"Apakah engkau juga hendak meminjam surat undanganku?"

“Tiada pengecualian, termasuk engkau!"

"Hm, kalau kepalaku sudah terpisah dari tubuhku, engkau baru dapat mengambil surat undangan itu!" sahut Ang Hay Ji.

"O, sebenarnya aku lebih perlu surat undang dari batang kepalamu, apaboleh buat," seru pendekar Huru Hara.

Saat itu Ang Hay Ji sudah melolos sepasang senjatanya, golok dan pedang. Golok dipegang tangan kiri dan pedang ditangan kanan.

"Bocah merah, mengapa menghadapi bocah kemarin sore saja engkau harus mengeluarkan senjatamu yang istimewa?" seru Im pohpoh.

"Engkau tak tahu pohpoh, kunyuk ini memang aneh dan luarbiasa. Entah apakah dia mendapat rejeki bertemu dengan seorang sakti yang memberinya pelajaran ilmusilat. Kolera-tua mati larena terkena pukulan Hu-kut-ciangnya sendiri," sahut Ang Hay Ji.

Ang Hay Ji memang jarang sekali menggunakan sepasang senjatanya. Biasanya dia hanya pakai satu, golok atau pedang dan musuh tentu sudah binasa. Rupanya dia memiliki selera tajam bahwa pendekar Huru Hara itu memang tak boleh dibuat main2.

"Tunggu sebentar," tiba2 Huru Hara berseru lalu lari ke 'meja perjamuan' dan meneguk arak. Setelah itu baru dia kembali berhadapan dengan Ang Hay Ji, "Siapa yang mulai menyerang dulu?" serunya.

"Terserah!" sahut Ang Hay Ji.

Kata-katanya garang sebagai seorang pendekar gagah tetapi ternyata sambil berkata diapun sudah melangkah maju dan terus tusukkan pedang ke dada Huru Hara seraya loncat mundur. Tetapi Ang Hay Ji tak mau memberi kesempatan lagi. Golok dan pedang menyambar-nyambar makin gencar bagai sepasang burung rajawali sedang bercanda.

"Tunggu dulu," teriak Huru Hara. "Engkku menyerah?" Ang Hay Ji menegas.

"Belum," sahut Huru Hara, "aku hanya ingin tanya, apakah nama ilmu permainanmu yang hebat itu?"

"Edan barangkali bocah ini. Masakan bertempur, menanyakan ilmu permainan lawan," pikir Ang Hay Ji, "hm, tak apa. Mungkin setelah mendengar ilmupedangku, dia akan menyerah"

"Ilmupedang Song-eng hwe-soan-kiam-hwat, atau ilmupedang Sepasang-rajawali-menyambar.” seru Ang Hay Ji. "Wah, hebat benar namanya !" "Engkau menyerah ?"

"Jangan terburu nafsu," seru Huru Hara, "akupun teringat akan sepasang burung camar yang bermain di permukaan laut. Bagus hayo kita mulai lagi. Engkau boleh menyerang dengan iimupedang Song-eng-hwe-soan-kiam- hwat aku akan bermain dengan gerak Song-yan-yu-hay, sepasang camar menyambar laut."

"Bocah edan !" bentak Ang Hay Ji seraya terus melancarkan serangan lagi. Kali ini dia benar2 hendak melaksanakan ciri2 dari ketujuh Pembunuh-besar. Yalah, setiap kali bertempur, dalam sekali gebrak tentu sudah melancarkan serangan maut.

Tetapi alangkah kejutnya ketika setiap kali diserang. Huru Hara tentu menghilang dan tahu2 sudah berada di belakangnya. Ternyata Huru Hara selalu apungkan tubuh mencelat ke udara.

"Hm, aku harus menggunakan tipu," pikir Ang Hay Ji. Serentak ia membuat suatu gerak menyerang dengan pedang dan secepat itu dia terus berputar tubuh dan membabatkan golok kebelakang. Cepat' sekali dia bergerak. Diperhitungkan sebelum Huru Hara sempat berdiri tegak, tentu sudah dapat dibabatnya.

"Uh.....," ia mendesuh kejut ketika babatannya hanya mengenai angin kosong.

"Bocah merah, aku disini." seru Huru Hara dari belakang. Dia menirukan lm pohpoh apabil memanggil Ang Hay Ji. Ternyata waktu melambung diatas, ditengah jalan dia melihat Ang HayJi bergerak berputar kebelakang maka diapun bergeliat melayang balik ketempat semula lagi. "Kunyuk keparat mampus engkau, "Ang Hi Ji loncat menerjang dengan kecepatan yang luar biasa.

Huru Hara terkejut. Dia masih sempat menghindar dari tabasan pedang, kemudian menghindari tusukan golok tetapi dia tak dapat menghindar dari tendangan Ang Hay Ji, plok . . .

"Auh .... aduh.....!" terdengar dua macam pekik dan jeritan. Tahu2 Ang Hay Ji terjungkal rubuh ke belakang, muka dan sepasang biji matanya berlumuran darah.

Apa yang terjadi ?

Ternyata tendangan Ang Hay Ji itu tepat mengenai perut Huru Hara. Huru Hara terkejut sekali. Perutnya terasa mual dan tahu2 mulutnya menyembur. Semburan itu berupa arak yang diteguknya tadi. Dan kebetulan pula, tepat menghambur muka Ang Hay Ji.

Arak hanyalah cairan air. Tetapi disemburkan oleh mulut Huru Hara, arak itu seperti taburan pasir besi kerasnya. Muka Ang Hay Ji hancur, biji matanyapun pecah!

"Bocah merah, jangan kolokan !" teriak Im pohpoh," masakan dengan bocah kecil saja engkau pura2 kalah ? Kalau mau tidur, pulanglah ke sarangmu !"

Sementara itu Huru Hara tanpa berkata apa2 terus merogoh baju Ang Hay Ji, mengambil surat undangan dan menyimpan kedalam bajunya.

"Pohpoh, jangan berolok," seru Manusia-pemakan- serigala Sebun Pa seraya loncat ketempat Ang Hay Ji, memeriksanya dan berseru, "dia mati. !"

"Sian-cay ! Sian-cay ! Cintailah sesama manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu," seru paderi Gemar- segala-apa," mengapa sicu gemar membunuh ? kalau ingin melampiaskan nafsu membunuh, bunuhlah tikus2 dalam pagoda rusak ini tetapi jangan membunuh jiwa manusia . .

."

"Aku tidak membunuh mereka," seru Huru Hara, "tetapi mereka yang hendak membunuh aku. Kolera-tua tadi mengeluarkan pukulan berangin panas dan Ang Hay Ji ini menendang perutku."

"Bajingan cilik !" tiba2 si raksasa Ma Hion memaki dan menghantam. Badannya yang tinggi besar menghantam dalam ilmu pukulan Toa-lat-kim-kong-ciang yang dahsyat.

Toa-lat-kim-kong-ciang atau pukulan Malaekat- bertenaga-sakti, sebenarnya merupakan ilmu pukulan sakti dari vihara Siau-lim-si. Kedahsyatannya apabila sudah mencapai tataran tinggi, mampu menghancurkan batu karang sebesar kerbau.

Ma Hiong memang murid jebolan dari perguruan Siau- lim-si. Dia tak tahan hidup terasing dalam vihara. Dia melarikan diri dan mulai bergaul dengan golongan penjahat. Sebenarnya perguruan Siau-lim hendak mencarinya untuk dihukum tetapi karena negara sedang terancam bahaya peperangan dan kekacauan, bahkan vihara Siau-Iim sendiripun turut terancam, maka rencana untuk mencari Ma Hiong itupun tertunda.

Rupanya Manusia-pemakan-serigala Sebun Pa tahu memperhitungkan. Mumpung Ma Hiong turun tangan, diapun hendak ikut bertindak Kalau satu lawan satu, apabila tiba pada gilirannya, tentulah dia sukar menghadapi pendekar Huru Hara. Serentak diapun menyerang dari belakang Huru Hara dengan ilmupukulan Thiat-sat ciang atau pukulan Pasir-besi. Telapak tangan, Sebun Pa tampak merah membara suatu pertanda bahwa dia telah mencapai tataran yang cukup tinggi dalam ilmu Thiat-lat-ciang itu.

Sebagaimana adat kebiasaan ketujuh Pembunuh-besar selama ini. Setiap kali membantai korbannya tentu dengan cepat. Begitu bergebrak terus saja melancarkan jurus pukulan maut. Demikian yang dilakukan Ma Hiong dan Sebun Pa. Sekali pukul, keduanya ingin menghancurkan Huru Hara kemudian terus akan dilempar kedalam jurang. Masakan orang tahu bahwa ketujuh Pembunuh-besar kali ini mengeroyok seorang pemuda yang tak terkenal.

Bummmmm.....desssss......

Terdengar dua macam suara yang dahsyat. Suara letusan dan api menyembur. Dan serentak terdengarlah dua buah jerit lolong yang panjang menyayat hati. Ma Hiong dan Sebun Pa sama2 terjungkal menggeletak ditanah. Muka Ma Hiong liangus seperti terbakar api dan muka Sebun Pa hancur seperti dihantam palu besi.

Ternyata waktu diserang dari muka belakang, Huru Hara terus enjot tubuh ke udara seperti dalam gerak It-ho-jong- thian atau Burung-bangau-menerobos-langit. Dia melambung sampai 3-4 tombak tingginya lalu bergeliatan melayang turun ke lanah.

Terdengar Paderi gemar segala-apa melantang doa keagamaan, "letakkan pisau penjagal dan menghadap kepada Hud-ya. Dosa takkan tercuci bersih selama tangan masih berlumuran darah, pikiran dikuasai nafsu. "

"Siancay ! Siancay!" pendekar Huru Hara tiba2 juga melantang doa keagamaan, "putih adalah putih, hitam adalah hitam. Orang boleh menipu orang lain, bahkan menipu Hud-ya. Tetapi dia tak dapat menipu batinnya sendiri." "Omitohud " seru paderi Gemar segala-apa, "apa maksud ucapan sicu ?" Bukankah aku menganjurkan agar sicu membuang golok dan menghadap Hud-ya mencari penerangan batin ?"

"Mengapa aku harus berbuat begitu ?"

"Lihat sudah empat jiwa telah melayang di tangan sicu. Apakah sicu masih tetap hendak melanjutkan perbuatan sekejam itu?"

"Aku tidak membunuh mereka," bantah Huru Hara, "mereka membunuh diri mereka sendiri, Kolera  mati karena pukulan

Hu-kut-ciangnya yang beracun. Ang Hay Ji mati karena menendang perutku yang berisi arak.    Manusia- pemakan-serigala dan si   raksasa tinggi  besar itu, saling   berhantam sendiri     sehingga kedua-duanya sama2      binasa.

Mereka mati

karena karma perbuatannya sendiri." I

"Omitohud !" seru paderi Gemar-segala-apa "sicu boleh menyangkal tetapi sicu tak dapat membantah kenyataan

"Benar," sambut Huru Hara serentak," seperti nya halnya si harimau yang memakai kulit domba, akhirnya diketahui juga karena suaranya. Betapapun orang hendak mengenakan pakaian jubah paderi, tetapi dia akan ketahuan juga belangnya karena perbuatannya."

"Omitohud !" seru paderi Gemar-segala-apa "sicu menyindir aku.. Dengan begitu sicu tentu tak mau melepaskan niat sicu untuk membunuh kami bertiga ini."

"Hal itu terserah pada kalian," seru Huru Hara, "kalau kalian mau meminjamkan surat undangan, akupun takkan memperpanjang urusan ini."

"Kalau tidak mau ?"

"Bukankah engkau sudah menyaksikan keadaan ketiga kawanmu itu ?" balas Huru Hara. I

"Baiklah, harap idinkan aku berunding dengan kedua li- sicu itu," kata paderi Gemar-segala-apa lalu menghampiri Im pohpoh dan Harpa asmara Hoa Lan Ing.

"Im pohpoh, Hoa sicu, kalian tentu sudah mengetahui apa yang kita hadapi saat ini. Anak muda itu tetap hendak meminjam surat undangan kita," kata paderi Gemar-segala- apa.

"Lalu bagaimana pendapat taysu," kata pohpoh.

"Aku menurut saja apa yang kalian putuskan," kata paderi Gemar-segala-apa, "hanya apabila kita menolak, kita harus bersatu padu menghadapinya."

"Ih," desis Im pohpoh.

Kemudian paderi Gemar-segala-apa berpaling meminta pendapat Hoa Lan Ing. Wanita cantik jelita itu menyahut dengan suara merdu, "Akan kuserahkan surat undanganku itu," katanya ambil melirik kearah Huru Hara dengan pandang mata yang membara, "asal dia bersedia menerima persembahanku sebuah lagu yang diiring dengan irama harpa."

"Oh," paderi Gemar-segala-apa segera tahu maksud wanita cabul itu. Dia memang sudah mendengar kemasyhuran Hoa Lan Ing dalam memelik harpa- asmaranya. Diantara ketujuh pembunuh bayaran yang termasyhur itu, mati ditangan si cantik Hoa Lan Ing adalah yang paling nikmat sendiri. Ibarat semut yang mati karena manisnya gula.

"Baik, Hoa sicu,". seru paderi Gemar-segala-apa dengan bersemangat, "aku bersedia untuk memeriahkan lagu yang sicu dendangkan dengan suara.

Kemudian paderi itu berpaling kearah Im popoh, "Bukankah pohpoh juga sedia meramaikan liju yang akan dinyanyikan Hoa sicu nanti?"

Im pohpoh mengangguk, "Aku akan meramaikan dengan suara tawa berirama sesuai dengan aluna lagu Lan Ing nanti."

Paderi Gemar-segala-apa mengangguk lalu berseru kepada Huru Hara, "Omitohud! Undangan itu kami terima dari jenderal Ko Kiat, suatu penghargaan dari jenderal itu kepada kami. Bagaimana mungkin penghargaan itu akan engkau pinjam?

"Kutahu," sahut Huru Hara, "bahwa penghargaan itu tak lebih hanya akan memberi kalian satu tugas untuk mengantar barang berharga. Kalian sudah sering menerima upah untuk membunuh orang. Apakah kalian masih begitu temaha untuk tidak memberi hidup kepada orang lain ? Aku sih orang penganggur, tidakkah pantas kalau kalian memberikan tugas itu kepadaku ?" "Ah, sicu hanya bicara dari segi kepentingan sicu sendiri

.,..."

"Pokoknya, engkau mau memberikan surat undangan itu atau tidak ?" seru Huru Hara.

"Yah," paderi Gemar-segala-apa mengangkat bahu, "kalau sicu memang berkeras hendak meminjam surat itu, kamipun terpaksa akan memberikan asal lebih dulu sicu setuju untuk mendengar nyanyian Hoa Lan Ing sicu yang akan diiringi dengan petikan harpanya."

"Kalau hanya begitu syaratnya, baiklah. Aku bersedia," sahut Huru Hara.

Paderi Gemar segala-apa, Im pohpoh dan Hoa Lau Ing segera bersiap-siap.

"Huru Hara, dengarkan nyanyianku dengan lirik agar hatimu tidak menderita huru hara lagi," seru Hoa Lan Ing sambil lepaskan sebuah lirikan mata yang tajam dan senyum yang menggelitik, lalu mulailah ia mengalunkan suaranya yang merdu, diiring sentuhan harpa yang syahdu :

Awan berarak, malampun makin dingin Hati menggelinjang, tubuh meregang Hanya kepadamu, duhai, sang angin Kuserahkan tubuh berpadang gersang menanti dekapmu yang memilin-milin

Suara harpa beralun makin menyayat dan kemudian terdengar rintihan tangis bagai musafir yang menggelepar kehausan.

Tangis yang merintih-rintih itu berasal dari Im pohpoh untuk mengisi-kerinduan wanita haus belaian kasih seperti yang dilukiskan dalam nyanyian si cantik. Hoa Lan Ing. Tampak Huru Hara tertegun. Iapun terkenang dirinya yang sudah sebatang kara. Terkenang akan nasib sumoaynya, teringat akan dua orang tuanya, yang sangat menyayang kepadanya tetapi kini sudah menghilang entah kemana. Teringat akan setiap orang yang pernah melimpahkan kebaikan kepadanya. Dan terakhir waktu teringat akan mendiang ibunya yang tercinta diapun mulai menangis.

"Hu, hu.hu.....," pendekar Huru Hara yang dapat membunuh Kolera-tua, Ang Hay Ji dan Sebun Pa serta Ma Hiong, ternyata saat itu menangis sesenggukan seperti anak kecil.

Melihat itu Bi Giok heran dan bertanya kepada Wan-ong Kui, "Kui-ko, mengapa dia menjadi seperti anak kecil?"

"Entahlah," sahut Wan-ong Kui, "memang aneh sekali gerak gerik orang itu. Tetapi kurasa . . “

"Bagaimana?" tanya Bi Giok.

"Ada sesuatu yang menyebabkan dia menangis itu.

Rupanya dia menangis diluar kesadarannya.”

"Maksudmu karena mendengar nyanyian dan alunan harpa itu?"

"Ya," sahut Wan-ong Kui, "rupanya nyanjian dan harpa itu mengandung tenaga-sakti yang memikat hati."

"Ih," desis Bi Giok "Tetapi mengapa engkau dan aku tak apa-apa?"

Wan-ong Kui mengatakan bahwa berkat pil yang diberikan kepada nona itu maka nona itu tahan terhadap segala ilmu suara aliran hitam.

"O, kalau begitu, mengapa Kui-ko tak mati memberikan pil itu kepada orang aneh itu?" tanyi Bi Giok. "E, engkau lupa, Giok-moay," kata Wan- ong Kui, "bukankah kita ini hendak merahasiakan diri kita dengan bersembunyi disini? Kalau perlu memang kita dapat memberikan pil kepada orang aneh itu. Tetapi sebelurnnya kita harus melihat dulu bagimana dia itu. Maksudku, apakah dia benar2 seorang pendekar yang hendak membasmi penjahat.”'

Bi Giok mengiakan.

Sementara itu di halaman pagoda telah terjadi perobahan. Hoa Lan Ing berganti dengan lagu perang. Harpapun melengking-lengking bagaikan pekik jeritan dari prajurit-2 yang sedang menyabung nyawa di medan laga. Kemudian bergemercik riuh gemuruh seperti libuan pasukan berkuda yang sedang menyerbu musuh. Im  pohpoh meringkik-ringkik seperti kuda buas dan kali ini paderi Gemar-segala-apa ikut menggembor-gembor seperti dendam kemarahan yang sedang dicurahkan oleh prajurit2 yang saling bunuh membunuh itu.

Bagaimana dengan pendekar Huru Hara ? Dia tidak menangis lagi tetapi mulai memberingas dan terus mengamuk sendiri. Dia berlari kian kemari, memukul, menghantam, menerjang dan menerkam seorang diri......

“Celaka, Kui-ko," bisik Bi Giok ditempat persembunyiannya, "engkau benar. Orang aneh itu terkena daya dari suara nyanyian dan harpa si wanita iblis dan kedua tokoh pembunuh itu."

"Ya, memang begitu," sahut Wan-ong Kui. 'Lalu bagaimana tindakan kita ?"

"Hm." "Apakah engkau biarkan saja dia nanti akan lemas kehabisan tenaga ? Bukankah dia pasti akan dibantai ketiga iblis itu ?" Bi Giok makin cemas.

"Tidak," sahut Wan-ong Kui.

"Lalu apakah engkau akan bertindak sekarang." "Tidak."

"Ih, aneh sekali engkau ini, Kui-ko. Habis maumu bagaimana sih ?"

"Tunggu saja nanti apabila sudah tiba saatnya, aku tentu akan bertindak."

"Apakah sekarang belum tiba saatnya ?"

"Lihatlah," sahut Wan-ong Kui, "pendekar Huru Hara itu masih kuat dan segar. Apalagi dia sedang mengamuk karena dikuasai suara sakti ketiga iblis itu. Kalau aku muncul, bukankah tidak mungkin dia nanti malah menyerang aku ?"

"Lalu ?"

"Kurasa si ular cantik itu tentu masih akan menghidangkan beberapa macam lagu lagi. Setelah orang aneh itu tak berdaya, dan mengunjuk tanda2 kehabisan napas barulah aku turun tangan."

Hebat adalah gerakan pendekar Huru Hara itu. Walaupun dia bergerak makin cepat menurut alunan harpa, tetapi dia tetap tampak segar dan bertenaga.

Sampai beberapa saat yang cukup lama dan melelahkan bagi seorang biasa kalau disuruh mengamuk tak keruan seorang diri itu, barulah harpa itu berhenti.

"Heran, mengapa budak kecil itu sedemikian tangguhnya. Hampir dua jam dia mengamuk main pencak tak keruan, mengapa kuat ?" bisik Hoa Lan Ing dengan menggunakan ilmu menyusup suara Goan-im-jit-bi.

"Ya, dia barangkali setan, bukan manusia." sahut Im pohpoh juga dengan ilmu menyusup suara.

"Ah, mustahil kalau seorang manusia mampu mengeluarkan tenaga sampai berjam-jam," kata paderi Gemar-segala-apa juga dengan ilmu menyusup suara, "Hoa sicu. ayo, mainkan lagn lagi supaya dia lekas kehabisan tenaga."

Kali ini Hoa Lan Ing mendendangkan lagu gembira. Lagu yang mengiring orang menari. Harpapun melantang nyaring dalam alunan irama yang hangat gembira.

Im pohpoh serentak meringkik-ringkik seperti setan tertawa mengikik. Paderi Gemar-segala-apa tertawa membatu roboh, "ho. ho, ho, ha, ha, ha,, ho, ho, ho, ha, ha, ha. "

Dan bagaimana dengan pendekar Huru Hara?

Aduh, mak. Diapun terus menari-nari sekehendak hatinya menyuruh tangan dan kaki bergerak. Apa nama tariannya itu, entahlah. Pokok asal menari. Ada kalanya mirip dengan orang berjoget dang-dut, ada kalanya seperti anak kecil berjingkrak-jingkrak, ada kalanya seperti orang yang terkejut karena hendak dipagut ular, ada kalanya lari ngiprit seperti orang dikejar anjing galak dan ada kalanya pula menari gaya seperti anak wayang. Pendek kata segala macam gaya tarian di dunia telah dipentaskan si Huru Hara dengan asyik sekali.

Sebenarnya Bi Giok hendak tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan adegan gila itu. Tetapi pada lain saat dia menyadari bahwa sebenarnya Huru Hara itu sedang terancam bahaya maut. "Kui-ko, ah, bagaimana engkau ?" bisiknya dengan makin gelisah, tadi dia sudah berjam-jam mengamuk seorang diri, sekarang dia menari-nari lagi. Entah sampai berapa jam lagi. Kalau begitu, apakah dia takkan rubuh lemas lunglai ?”

"Ya. tetapi lucu juga melihat dia menari,' sahut Wan-ong Kui seenaknya sendiri.

"Kui-ko, jangan bergurau !" teriak Bi Giok "apakah engkau benar2

hendak membiarkan orang itu akan dibantai oleh ketiga iblis laknat ?"

"Apakah aku mengatakan begitu

? Bukankal aku hanya bilang, kalau aku merasa geli melihat orang aneh itu menari kegila-gilaan. Eh, bukankah engkau sendiri sebenarnya juga sedang menahan geli ?"

"Ah, Kui-ko,"

Bi Giok makin cemberut, lalu engkau benar2 tak mau lekas menolong, aku akan kesana sendiri. "'

"Jangan Giok-moay," Wan-ong Kui cepat menyambar lengan si gadis yang hendak melangkah keluar, "sabarlah. Aku sedang mencari akal bagaimana mengacau mereka." "Tetapi harus lekas," kata Bi Giok. "O, ya, ada," kata Wan-ong Kui, "tunggu-lah disini, jangan sembarangan bergerak."

Dia terus menyelinap pergi, menghampiri ku danya. Dibukanya salah sebuah peti di punggun kuda itu. Isinya tak lain adalah emas pcrmata yang berkilau-kilauan cahayanya.

"Putih, hayo, jalanlah engkau menuju ketempat ketiga orang di halaman pagoda itu," bisiknya kepada kuda itu.

Kuda Putihpun segera melakukan perinta tuannya. Kemunculan seekor kuda putih dengan memanggul tiga buah peti, salah sebuah tutupnya terbuka dan isinya emas permata, telah membuat gempar ketiga iblis itu.

Serentak harpapun berhenti dan berserulah paderi Gemar-segala-apa, "Omitohud! Kuda siapakah itu?"

"Ih, kuda itu membawa tiga buah peti," seru Im pohpoh. "Rejeki nomplok. Peti yang terbuka itu berisi benda

kuning seperti emas ," Hoa Lau Irig, "hai, emas permata

"Lepaskan, paderi!" teriaknya makin terkejut ketika tahu2 paderi Gemar-segala-apa sudah loncat menerkam kendali kuda.

"Pohpoh!" teriak paderi Gemar-segala-apa seraya menghindari hantaman tongkat nenek Im. Ternyata yang berseru memerintahkan supaya lepaskan kuda itu adalah si cantik Hoa Lan Ing tetapi sebelum dia sempat ayunkan tubuh, Im poh poh sudah mendahului menggebuk paderi Gemar-segala-apa.

"Heh, heh," nenek Im tertawa mengekeh seraya hendak menyerang lagi, "enak saja engkau hendak mengangkangi sendiri, ya!" "Tahan, pohpoh, Hoa sicu, "kata paderi Ge mar-segala- apa, "mari kita berunding."

"Heh, heh," Im pohpoh mengekeh, "apanya yang mau dirundingkan?"

"Kuda yang membawa peti ini," kata paderi Gemar- segala-apa, "aneh sekali. Dari manakah asalnya dan siapa pemiliknya!"

"Heh, heh," kembali Im pohpoh tertawa mengekeh, "aku tak butuh pemiliknya tetapi tiga buah peti yang berada dipunggung kuda itu. Kalau engkau hendak mencari keterangan siapa pemiliknya, silakan pergi menyelidiki dan berikan kuda itu kepadaku!"

"Tak perlu kalian bersusah payah mencari, akulah pemiliknya," tiba2 mereka dikejutkan olleh sebuah suara melantang dan munculnya dua orang, seorang sasterawan muda dan seorang gadis cantik.

“Omitohud !" seru paderi Gemar-segala apa seraya rangkapkan kedua tangan, “siapa sicu berdua ini ?"

"Tak perlu kuberitahukan namaku," sahut pemuda sasterawan atau Wan-ong Kui, "yang penting, kamilah pemilik kuda putih itu. Kembalikanlah kuda itu kepada kami."

"Wah, ini sukar," jawab paderi Gemar-segala-apa, "kecuali kuda ini berada padamu, berarti kami merampok. Tetapi kuda ini sudah berkeliarai berarti tak bertuan lagi dan kami yang menemukannya maka kamilah yang berhak memilikinya.'

"Anakmuda," tiba2 Im pohpoh berseru, "perlu apa engkau menghendaki kuda itu ?" "Kami akan melakukan perjalanan jauh. Sukar kalau tiada berkuda," sahut Wan-ong Kui.

"O, baiklah," sahut Im pohpoh seraya berseru kepada si paderi, "taysu, kembalikanlah kuda itu kepadanya."

"Apa ? Mengembalikan kuda putih ini ?" paderi Gemar- segala-apa berseru kaget.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar